Anda di halaman 1dari 4

Peta gempa adalah peta wilayah yang menunjukan besaran percepatan tanah dasar akibat gempa

rencana yang kemungkinan menimpa gedung yang kita bangun. Peta ini merupakan hasil analisis
probabilitas dari data-data kejadian gempa yang ada di suatu wilayah. Artinya, data-data kejadian
gempa yang ada diolah dan dianalisis untuk menghasilkan niali peluang terjadinya suatu gempa
pada masa yang akan datang.

Peta gempa di suatu negara selalu berbeda dengan peta gempa di negara lain. Hal ini terjadi
karena karakteristik kegempaan suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain. Selain itu,
perbedaan metode analisis karakteristik gempa dan analisis probabilitas gempa pun
mempengaruhi bentuk peta gempa yang terjadi. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika
peta gempa Indonesia dan peta gempa Jepang yang sama-sama termasuk daerah rawan gempa
pun berbeda satu-sama lain. Karena sifatnya yang sangat spesifik terhadap wilayah ini, kita patut
berbangga bahwa peta gempa Indonesia merupakan hasil nyata insinyur-insinyur dan peneliti-
peneliti Indonesia meskipun masih terdapat kontribusi pihak asing didalamnya.

Peta gempa Indonesia berdasarkan SNI Perencanaan Ketahanan Gempa Gedung 1726 tahun
2002 dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Dalam peta ini, Indonesia ditetapkan terbagi dalam
6 Wilayah Gempa di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah
dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini,
didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan
perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa dapat dilihat pada
Gambar dibawah.
Perlu digarisbawahi bahwa gempa yang diperhitungkan adalah gempa akibat pergeseran pelat
tektonik saja dan tidak termasuk gempa vulkanik akibat letusan gunung berapi. Selanjutnya,
percepatan ini hanya pada batuan dasar saja. Kecepatan di permukaan tanah dapat berbeda sesuai
jenis lapisan tanah seperti data pada tabel dibawah.

Peta ini dibuat dengan memperhitungkan 10% kemungkinan terlampaui dalam 50 tahun. Artinya,
masih tetap ada kemungkinan 10% percepatan gempa akan lebih besar dari yang terdapat di peta
selama 50 tahun. Selanjutnya, periode ulang gempa adalah 500 tahun yang artinya gempa yang
diperhitungkan dalam analisis probabilitas adalah gempa yang terjadi tiap 500 tahun sekali.
Semakin lama periode ulangnya, semakin besar gempa yang terjadi. Sebagai contoh, gempa
Aceh 2004 lalu memiliki periode ulang selama 200 tahun yang artinya terjadi tiap 200 tahun.
Periode ulang 500 tahun bukan berarti bahwa gempa akan terjadi tiap 500 tahun. Periode ulang
digunakan untuk memberikan gambaran kemungkinan (probabiltias) terjadinya gempa yang
artinya 1/500 (0.2% kemungkinan terjadi) dalam satu tahun. Dalam konteks peta gempa, tidak
digunakan kemungkinan terjadi tetapi digunakan kemungkinan terlampaui. Artinya, pada peta
gempa 500 tahunan, ada kemungkinan (probabilitas) sebesar 0.2% untuk terjadinya gempa yang
nilai percepatannya lebih besar dari percepatan yang dituliskan pada peta gempa.

Selanjutnya, wilayah gempa terbagi menjadi 6 wilayah. Dari peta gempa Indonesia kita dapat
melihat sebaran percepatan gempa di wilayah Indonesia. Daerah berwarna putih adalah daerah
dengan percepatan gempa terkecil dan wilayah berwarna merah adalah daerah dengan percepatan
gempa terbesar. Dari peta tersebut kita dapat melihat bahwa seluruh wilayah Indonesia kecuali
sebagian besar daerah Kalimantan memiliki potensi terjadinya gempa dengan percepatan
yang besar. Hal ini sudah terbukti dengan terjadinya gempa-gempa besar di Aceh, Padang, Jawa
Barat, Yogyakarta, NTB, bahkan hingga ke Papua. Tidak mengherankan pula jika daerah
Sumatra bagian pesisi barat sering dilanda gempa besar dalam beberapa dekade terakhir ini.

Bagaimana dengan jalur Jakarta hingga bandung dimana saya tinggal? Dari peta dapat kita lihat
bahwa Jakarta berada pada zona 3 dengan percepatan gempa sebesar 0.15 g dan Bandung berada
pada zona 4 dengan percepatan gempa sebesar 0.2 g. Artinya, untuk kondisi tanah yang sama,
gaya gempa yang menimpa bangunan di Bandung harus direncanakan lebih besar dibanding
bangunan di Jakarta. Selain itu untuk kondisi tanah yang sama, akan lebih mudah dalam
membangun bangunan tingkat tinggi di Jakarta dibanding di Bandung karena gaya gempa
rencana di Jakarta lebih kecil dari gaya gempa di Bandung.
Peta gempa ini seharusnya menjadi acuan dalam membangun suatu bangunan karena
menyangkut beban rencana yang digunakan dalam merancang struktur bangunan. Dengan
perhitungan beban gempa yang lebih akurat, keruntuhan bangunan akibat gempa dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai