Anda di halaman 1dari 18

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PALEONTOLOGI ANALISIS


DAERAH KALI NGALANG KECAMATAN NGALANG
KABUPATEN GUNUNG KIDUL
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH :
AMANDA AYUDHIA SAHRI (13/346677/TK/40568)
FRANSISKUS L B (13/348529/TK/40958)
HENDRA MAULANA IRVAN (13/348600/TK/40980)
M. VIRGIAWAN AGUSTIN (13/353018/TK/41322)
NURUL YULANDA (13/

ASISTEN PEMBIMBING :
M. ANZJA CHABBANI ISTALA

YOGYAKARTA
DESEMBER
2015DAFTAR ISI
JUDUL .i

DAFTAR ISI .....................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................1

I.1. LOKASI PENELITIAN ................................................................................

I.2. GEOLOGI REGIONAL..................................................................................

II.2.A. FISIOGRAFI......................................................................................

II.2.B. STRATIGRAFI...................................................................................

II.2.B.1. Batuan malihan.......................................................................

II.2.B.2. Formasi Wungkal-Gamping...................................................

II.2.B.3. Formasi Kebo-Butak...............................................................

II.2.B.4. Formasi Semilir......................................................................

II.2.B.5. Formasi Nglanggran...............................................................

II.2.B.6. Formasi Sambipitu..................................................................

II.2.B.7. Formasi Oyo...........................................................................

II.2.B.8. Formasi Wonosari...................................................................

II.2.B.9. Formasi Kepek........................................................................

II.2.B.10. Endapan Kuarter...................................................................

BAB II. PENDAHULUAN .................................................................................


BAB I. PENDAHULUAN

I.1. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian secara administratif berada di Kali Ngalang, Desa Gedangsari,


Kecamatan Ngalang, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Gambar I.1.). Sebelah utara daerah penelitian dibatasi oleh Desa Nglampar, sebelah barat
dibatasi oleh Desa Sambidemang, sebelah selatan dibatasi oleh Desa Banyuurip dan sebelah
timur dibatsi oleh Desa Kenteng.

Gambar I.1. Lokasi penelitian

Daerah penelitian dapat dijangkau dengan transportasi darat, dengan kendaraan bermotor
roda empat maupun roda dua dengan waktu tempuh 60 menit dari Kota Yogyakarta dengan
jarak 50 km dari Kota Yogyakarta. Lokasi penelitian berupa lintasan sepanjang 50 meter
di sepanjang Kali Ngalang (Gambar I.2.) dengan koordinat awal 452935, 9128528 dan
koordinat akhir.
I.2. GEOLOGI REGIONAL

I.2.A. FISIOGRAFI
Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan yang berada
di sisi selatan Pulau Jawa di bagian timur dan memanjang relatif berarah timur-tenggara -
barat-baratlaut (TTg - BBL), mulai dari Parangtritis hingga Ujung Purwo dengan lebar yang
tidak selalu sama. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat oleh van Bemmelen (1949)
dibagi lagi menjadi tiga satuan geomorfologi. Paling selatan yang tersusun oleh perbukitan
karst yang didominasi oleh kerucut karst (connical hill) dan langsung berbatasan dengan
Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan Sewu. Sedangkan daerah yang berada di sebelah
utaranya yang berupa dataran tinggi (plato) disebut sebagai Dataran Tinggi Wonosari (Plato
Wonosari). Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan vulkanik
dengan kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari
Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat
merupakan suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen - Miosen Tengah yang
ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen, yang kemudian
mengalami pengangkatan dan penyesaran bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan
ke arah selatan (Husein & Srijono, 2007 dalam Novian, dkk., 2014).

Gambar I.3. Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (Pannekoek, 1949; van
Bemmelen, 1949 dalam Novian, dkk, 2014).

Sungai-sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke selatan


dan bermuara di Samudera Hindia. Igir-igir utara Pegunungan Selatan umumnya dierosi oleh
sungai-sungai yang mengalir ke arah Zona Solo. Pengecualian terjadi di Pegunungan Selatan
bagian barat, dimana sungai-sungai permukaan yang berhulu di Igir Baturagung dan mengalir
ke selatan melalui Plato Wonosari kemudian melanjutkan perjalanannya di bawah permukaan
kawasan kars Gunung Sewu sebagai jaringan sungai-sungai bawah tanah (sub-terranean
drainage system). Di sebelah barat Teluk Pacitan, terdapat alur lembah kering memanjang
relatif utara-selatan yang diduga sebagai jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang
dirompak (stream piracy) oleh penurunan blok Depresi Baturetno (Husein & Srijono, 2007
dalam Novian, dkk., 2014).

I.2.B. STRATIGRAFI
Menurut beberapa peneliti terdahulu (van Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1956;
Surono dkk, 1992; Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 1994 dalam Novian, dkk., 2014) urutan
stratigrafi daerah ini dari yang paling tua hingga yang paling muda adalah sebagai berikut:

II.2.B.1. Batuan malihan


Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah batuan malihan yang diduga
berumur Kapur-Paleosen Awal. Satuan ini terdiri dari filit, sekis mika, sekis calc-silicate, dan
pualam. Di bagian barat Perbukitan Jiwo dijumpai singkapan sekis epidote-glaucophane
berdekatan dengan serpentinit. Beberapa batuan karbonat terubah menjadi batuan metamorfik
kontak berupa garnet-wollastonite skarn disebabkan adanya intrusi diabas.

II.2.B.2. Formasi Wungkal-Gamping


Di atas batuan malihan diendapkan secara tidak selaras Formasi Wungkal - Gamping
yang tersusun Anggota Wungkal dan Anggota Gamping. Anggota Wungkal tersusun oleh
konglomerat kuarsa, breksi polimik, batupasir kuarsa, batupasir karbonatan, batulanau
karbonatan dan sisipan batugamping nummulites berumur Eosen Awal-Tengah. Hal itu
diperkuat dengan adanya asosiasi foraminifera kecil berupa Morozovella formosa Formosa,
Turborotalia pseudomayeri dan Globigerinatheka subconglobata subconglobata. Di bagian
atas diendapkan secara menjari Anggota Gamping berupa sandy Numulitic limestone dengan
Nummulitic rudstone floatstone pada bagian bawah, kemudian pada bagian atas tersusun
oleh perselingan micritic sandstone dengan quartz arenite dan Nummulitic rudstone
floatstone. Foraminifera besar yang dijumpai di anggota ini berupa Nummulites acutus
(Sowerby), N. atacicus Leymerie, N. Bagelensis Verbeek, N. boniensis Hanzawa, N. densa
Doormink, N. discorbinus Scholothemim, N. exilis Douville, N. gerthii Doormink, N.
gizehensis (Forskal), N. mamila Fichtell & Moll, N. nanggoelani Verbeek, N. perforates de
Montfort, N. variolarius (Lamark), N. Javanus (Verbeek), N. djogdjakartae (Martin), N.
pengaronensis, Discocyclina omphalus (Frisch), D. sowerby Nuttall, D. dispansa (Sowerby),
D. assamica Samanta, D. javana (Verbeek), Assilina eksponens (Verbeek), A. granullata
(DArchiac), A. leymeriey DArchiac & Haime, A. spira (de Roissy), Pellatispira orbitoidea
(Provale), Asterocyclina penuria, A. matanzensis, Operculinella sp., Amphistegina sp.,
Spiroclypeus vermicularis, Heterostegina sp., Alveolina oblonga, A. cucumiformis Hotinger,
A. eliptica nutali Davies, A. Globosa (Leymerie) (Diana, R., 2012; Umiyatun, S., drr., 2006).
Asosiasi foraminifera besar tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah Eosen Akhir.
Lingkungan pengendapan anggota ini berada pada daerah fore reef hingga fore slope pada
paparan karbonat.

II.2.B.3. Formasi Kebo-Butak


Formasi Wungkal Gamping berubah secara gradasional menjadi Formasi Kebo-
Butak. Bagian bawah Formasi Kebo-Butak terdiri dari perselingan batupasir dengan batupasir
kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf dan serpih (Surono, 2008). Bagian
tengah formasi ini terdiri dari batupasir kerikilan. Sedangkan bagian atasnya terdiri dari
perselingan breksi polimik dengan batupasir, batupasir kerikilan, batulempung, dan batulanau
/ serpih. Breksi polimik memiliki ukuran fragmen dari kerikil bongkah, berupa andesit,
basal, batuan sedimen karbonan dan kuarsa serta beberapa fragmen yang telah mengalami
alterasi berubah menjadi klorit berwarna hijau. Kumpulan fosil foraminifera pada conto
batuan di Gunung Pegat, Watugajah dan Pututputri, ditemukan keberadaan spesies
Globigerina ciperoensis, Catapsydrax dissimilis dan Globigerinoides primordius yang
menunjukkan umur P22 N4 (Oligosen Akhir Miosen Awal) (Rahardjo, 2007). Kemudian
berdasarkan kandungan nannofosil dari Perbukitan Jiwo Timur didapatkan spesies
Sphenolitus moriformis, Sphenolitus heteromorphus, Sphenolitus conicus, Sphenolitus
belemnos, Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri, dan H. euphratis yang
menunjukkan umur NN3 (Miosen Awal) (Surono, 2008). Lava basalt berstruktul bantal
dijumpai menyisip di beberapa tempat pada bagian bawah formasi ini (Husein & Sari, 2011).
Selain itu dijumpai intrusi batuan beku berupa diorit, dolerit, andesit porfir dan basalt di
daerah Perbukitan Jiwo yang bertarikh Oligosen Akhir (Surono drr, 2006).

II.2.B.4. Formasi Semilir


Selaras (setempat menjari) di atas Formasi Kebo-Butak terendapkan Formasi Semilir
yang berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini terdiri dari lapili tuf, batupasir
tufan, breksi autoklastik dan breksi polimik semakin keatas muncul perlapisan batupasir tufan
karbonatan. Pada bagian bawah Formasi Semilir juga dijumpai sisipan lava andesit yang
tersingkap di sekitar Wukirharjo, Prambanan. Pada jalur Kali Ngalang Formasi Semilir secara
selaras berubah menjadi Anggota Buyutan yang berumur Miosen Awal (Novian drr., 2012).
Bagian bawah Anggota Buyutan tersusun atas perselingan batupasir tufan dengan batulanau
dan batubara serta dibeberapa bagian disisipi oleh breksi vulkanik. Pada bagian atas Anggota
Buyutan terdiri dari perselingan batupasir tufan dengan konglomerat serta terdapat sisipan
batulanau yang kaya akan karbon. Beberapa peneliti menunjukkan umur dan stratigrafi yang
berbeda dari Formasi Semilir (Surono, 2008). Foraminifera pada bagian tengah menunjukkan
umur Oligosen Akhir Miosen Awal (Rahardjo dkk., 1995) Miosen Awal hingga Miosen
Tengah (Sumarso dan Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1989; Samodra dkk., 1992).
Smyth (2005) dengan menggunakan metode U-Pb mendapatkan umur 20 juta tahun yang lalu
atau sekitar Miosen Awal. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah lingkungan darat
laut.

II.2.B.5. Formasi Nglanggran


Di bagian barat Kali Ngalang Formasi Semilir tertindih selaras oleh Formasi
Nglanggran. Di beberapa tempat Formasi Semilir dan Nglanggran ini berhubungan menjari.
Formasi Nglanggran terdiri dari konglomerat polimik, batupasir kerikilan, batupasir tufan,
breksi andesit dengan sisipan tuf dan lava andesit basalt. Dijumpai juga intrusi
mikrodiorit/andesit yang memotong Formasi Nglanggeran pada daerah Wediombo. Umur
Formasi Nglanggran dan intrusi mikrodiorit/ andesit adalah Miosen Awal.

II.2.B.6. Formasi Sambipitu


Selaras menindih di atas Formasi Nglanggran diendapkan Formasi Sambipitu.
Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batupasir karbonatan dengan batulanau, dan
perulangan batupasir karbonatan pada bagian atas yang berumur. Di daerah Ngalang Formasi
Sambipitu tersusun oleh micritic tuff dengan tuffaceous mudrocks serta pada beberapa bagian
terdapat sisipan allochemic conglomerate, muddy allochemic limestone, rudstone dan tuff.
Kemudian semakin ke atas keberadaan sisipan batugamping semakin banyak. Formasi ini
berumur tengah Miosen Awal awal Miosen Tengah.

II.2.B.7. Formasi Oyo


Di atas formasi ini secara menjari diendapkan Formasi Oyo berumur Miosen Tengah
yang terdiri dari perselingan muddy allochem limestone dengan sisipan tuffaceous sandstone
pada bagian bawah. Kemudian pada bagian atas dijumpai perselingan foraminiferal lime
packstone, algal foraminiferal lime packstone, dan foraminiferal lime wackestone.
Berdasarkan data biofacies menurut Hidayat (2005), paleobatimetri formasi ini pada bathyal
atas bawah.

II.2.B.8. Formasi Wonosari


Bagian atas Formasi Oyo menjari dengan Formasi Wonosari. Formasi Wonosari
terdiri dari perselingan batugamping dengan batugamping pasiran, batugamping berlapis,
batugamping dengan sisipan batupasir karbonatan, perselingan batugamping dengan
batupasir karbonatan, serta batugamping silangsiur yang berumur Miosen Tengah awal
Pliosen. Di Perbukitan Jiwo, Formasi Wonosari tersusun atas perselingan
packstonewackestone dengan napal pada bagian bawah ke arah atas berubah menjadi
perselingan packstone dengan sisipan rudstone dan tuf dengan umur Miosen Tengah Akhir.
Foraminifera besar yang dijumpai pada formasi ini adalah Austrotrillina howchini,
Amphistegina quoyii dOrbigny, Ceriopora globula Reuss dan Palaeonummulites,
Lepidocyclina bonarelli (Provale), Cycloclypeus indopacificus Tan, Miogypsina spp., dan
Miogypsinoides spp. Berdasarkan data foraminifera besar tersebut maka umur formasi ini
berkisar antara Akhir Miosen Bawah hingga Awal Miosen Tengah (Fadhilestari, 2011).
Kemudian lingkungan pengendapan Formasi ini berada pada reef platform margin antara
back reef hingga reef front.

II.2.B.9. Formasi Kepek


Bagian atas Formasi Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi Kepek
pada bagian bawah tersusun oleh perselingan tuf dengan batulempung dengan tebal 1,5 m
kemudian batupasir tufan dengan ketebalan sekitar 1 m, ke atas diendapkan perulangan
bindstone yang berseling dengan bafflestone serta framestone dengan tebal 15 20 m,
kemudian di bagian tengah formasi ini tersusun oleh perselingan wackestone dengan
floatstone yang secara perlahan berubah menjadi perselingan packstone dengan rudstone
pada bagian atas, setempat ditemukan sisipan sandy micrite dan muddy micrite kemudian
bagian paling atas dari formasi ini tersusun oleh perselingan packstone dan grainstone. Fosil
foraminifera kecil yang terdapat dalam formasi ini adalah Orbulina unuversa, sedangkan
foraminifera besarnya antara lain Lepidocyclina, Operculina, dan Amphistegina, berdasarkan
keberadaan fosil tersebut umur formasi ini berkisar antara N9 N17. Kemudian foraminifera
bentonik yang terkandung dalam formasi ini antara lain Bulimina striata dan Sphaerodinella
bulloides yang menunjukkan paleobatimetri batial tengah.
II.2.B.10. Endapan Kuarter
Produk fluvio-vulkanik endapan Merapi Muda mengisi Graben Yogyakarta dan
dataran di sekitarnya. Dataran di bagian utara Gunung Baturagung telah terisi oleh material
fluvio-vulkanik yang dihasilkan sejak Pleistosen hingga saat ini.
BAB II. ISI

II.1.A. PEMBAHASAN BIOSTRATIGRAFI


Biostratigrafi adalah ilmu yang membahas mengenai pengelompokkan batuan
berdasarkan fosil yang terkandung di dalamnya. Biostratigrafi dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan umur dari sebuah sekuen perlapisan batuan. Berbeda dengan litostratigrafi, batas
dari biostratigrafi tidak berimpit dengan perlapisan batuan. Batas biostratigrafi didasarkan
pada awal dan akhir kemunculan dari suatu fosil, khususnya fosil foraminifera plangtonik.
Analisis biostratigrafi dilakukan pada contoh batuan yang diambil di daerah Kali
Ngalang, Desa Gedangsari, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pemilihan sampel untuk analisis biostratigrafi dipilih dengan memperhitungkan
jarak dan litologi. Pengambilan sampel dilakukan berdasarakan 5 jalur pengukuran stratigrafi
terukur, dengan masing-masing jalur terdapat 3 sampel untuk analisis biostratigrafi yang
mencerminkan bagian bawah, tengah, dan atas jalur pengukuran.
Sampel yang telah diayak dan diamati kemudian dianalisis untuk menentukan
hubungan biostratigrafi pada daerah pengamatan. Diketahui bahwa pada total fosil
foraminifera plangtonik yang diamati berjumlah 360 buah yang terbagi dalam 22 spesies
yang berbeda. Berikut merupakan rincian dari fosil-fosil foraminifera plangtonik yang telah
dianalisis:
Nama Spesies Jumlah Nama Spesies Jumlah
Globigerina praebulloides 8 Globigerina venezuelana 45
Globigerina binaiensis 2 Globigerinoides altiaperturus 2
Globigerinoides diminutus 51 Globigerinoides obliquus 11
obliquus
Globigerinoides sicanus 20 Globigerinoides trilobus 20
immaturus
Globigerinoides trilobus 39 Globoquadrina altispira 29
trilobus altispira
Globoquadrina dehischens 14 Globorotalia obesa 8
dehischens
Globorotalia peripheronda 12 Globorotalia mayeri 31
Globogerinatella insueta 12 Globigerinoides ruber 18
Praeorbulina transitoria 3 Orbulina bilobata 22
Praeorbulina glomerosa 7 Globigerinoides primordius 3
Cassigerinella chipolensis 1 Catapsydrax stainforthi 2
Berdasarkan data fosil yang diamati, diketahui bahwa sepanjang jalur pengukuran
Kali Ngalang terbagi menjadi dua buah biozonasi yaitu Zona Globigerinoides obliquus
obliquus, yang mencirikan umur N 8, dan Zona Globigerinoides diminitus, yang mencirikan
umur N 7. Pembagian zonasi tersebut didasarkan pada awal kemunculan Globigerinoides
obliquus obliquus pada sampel nomor 5, sehingga biodatum yang digunakan adalah awal
kemunculan Globigerinoides obliquus obliquus. Tabel persebaran fosil terlampir.

II.1.B. PEMBAHASAN PALEOCLIMATE


Iklim suatu daerah dapat mempengaruhi makhluk hidup di sekitarnya. Dalam konteks
paleontologi, khususnya foraminifera, iklim mempengaruhi suhu air di mana mikroorganisme
tersebut hidup. Suhu air berpengaruh pada jumlah (populasi) maupun pada besarnya
cangkang mikroorganisme (Stone, 956). Suhu air pada daerah yang beriklim tropis lebih
hangat dibandingkan pada daerah yang beriklim subtropis. Secara sederhana, daerah yang
semakin jauh dari garis khatulistiwa bumi akan memiliki suhu air yang semakin dingin.
Iklim purba atau paleoclimate secara tidak langsung telah mempengaruhi morfologi
dari mikroorganisme. Perubahan-perubahan mendasar dengan fungsi adaptasi
mikroorganisme terhadap iklim tercermin pada variasi arah putaran cangkang, variasi bentuk
test, variasi ukuran pada kamar terakhir, variasi bentuk pada kamar terakhir, dan variasi
ukuran test. Kelima fungsi adapatasi tersebut menjadi indikator yang tepat untuk penafsiran
paleoclimate.
Penafsiran paleoclimate dari jalur pengukuran stratigrafi terukur didasarkan pada
variasi ukuran test, pada fosil yang memiliki bentuk dasar test globular dan subglobular, dan
variasi arah perputaran cangkang, pada fosil spesies Globorotalia. Ukuran test dari fosil yang
berbentuk dasar globular dan subglobular didasarkan pada batimetri di mana mikroorganisme
itu hidup. Mikroorganisme globular dan subglobular hidup pada batimetri yang relatif dalam,
yang mana sinar matahari tidak dapat mencapai zona tersebut. Sehingga suhu air ditafsirkan
mendapat pengaruh langsung dari iklim. Variasi arah perputaran cangkang pada spesies
Globorotalia digunakan dengan alasan arah dari perputaran tersebut merupakan pengaruh
adaptasi Globorotalia terhadap iklim saat itu.
Tabel di atas menunjukkan kondisi perputaran dari fosil spesies Globorotalia dan
ukuran (secara relatif) dari spesies Globigerina dan Globigerinoides. Rata-rata dari informasi
statistic di atas dianggap merepresentasikan paleoclimate ketika terjadi pengendapan pada
daerah Kali Ngalang. Arah perputaran fosil spesies Globorotalia secara umum terputar secara
dekstral, yang mencerminkan iklim yang hangat. Sedangkan ukuran fosil spesies
Globigerina-Globigerinoides secara umum relatif berukuran kecil yang juga mencerminkan
iklim yang hangat.

II.1.C. PEMBAHASAN P/B RATIO


Rasio pelagik/bentonik adalah perbandingan antara fosil pelagik dengan fosil
bentonik. Rasio P/B ini merupakan salah satu metode untuk memperkirakan kedalaman
pengendapan suatu batuan sedimen pelagik. Parameter yang digunakan adalah jumlah fosil
plangtonik dan jumlah fosil bentonik dalam suatu sampel, jika menggunakan banyak sampel
maka berat sampel ayakan yang digunakan untuk analisis rasio P/B harus sama agar
menghasilkan hasil analisis yang valid.

a. Hubungan Rasio P/B dengan kedalaman laut


Hubungan antara rasio P/B dengan kedalaman laut menurut Tipsword et. al (1966)
tertera dalam (Tabel 2.1). Tabel tersebut menunjukkan hubungan antara rasio P/B (%) dengan
kedalaman pengendapan suatu batuan sedimen pelagik. Semakin besar rasio P/B (%) dalam
suatu sampel batuan, maka batuan tersebut terendapkan pada lingkungan yang seakin dalam.

Tabel 2.1 Hubungan rasio P/B dengan kedalaman laut

Lingkungan Kedalaman (m) % pelagik rasio

Inner shelf 0-20 0-20%

Middle shelf 20-100 20-50%

Outer shelf 100-200 20-50%

Upper slope 200-1000 30-50%

Lower slope 1000-2000 50-100%

b. Hasil Analisis Rasio P/B


Analisis rasio P/B ini menggunakan 15 sampel ayakan batuan dengan berat tiap
sampel adalah 2 gram. Fosil plangtonik dan fosil bentonik dipisahkan, kemudian jumlah
masing-masing dihitung. Hasil pengamatan rasio P/B dapat dilihat pada (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Analisis Rasio P/B


Hasil analisis rasio P/B yang tertera dalam (Tabel 2.1) menunjukkan nilai rasio P/B
dalam (%). Rasio P/B yang dihasilkan adalah antara 67% - 100%. Sampel No. 7 merupakan
sampel dengan rasio P/B paling rendah yaitu 67%, maka batuan pada sampel No.7
terendapkan pada kedalaman kira-kira 680 m 825 m, kedalaman tersebut adalah lingkungan
batimetri Upper slope. 14 sampel lain memiliki rasio P/B antara 82% - 100%, rasio tersebut
menunjukkan bahwa batuan terendapkan pada kedalaman kira-kira 1200 m 2000 m, yaitu
lingkungan batimetri Lower slope. Hal ini menunjukkan bahwa sempat terjadi perubahan
lingkungan menjadi lebih dangkal dari sampel No. 6 ke No. 7, kemudian terjadi perubahan
lingkungan menjadi semakin dalam yang ditunjukkan oleh sampel No. 8 hingga No. 15.
Hasil analisis rasio P/B tersebut kemudian digunakan untuk menentukan lingkungan
pengendapan batuan sedimen pelagik yang dianalisis. Klasifikasi lingkungan pengendapan
laut pada (Gambar 2.1) menurut Tipswords et al (1966) menunjukkan bahwa batuan di daerah
pengamatan terendapkan pada lingkungan pengendapan Bathyal bawah.

Gambar 2.1 Klasifikasi lingkungan pengendapan laut menurut Tipsword et al (1966). Kotak merah
menunjukkan lingkungan pengendapan batuan di lokasi pengamatan yaitu Bathyal bawah.

II.1.D. PEMBAHASAN PALEOBATIMETRI


Analisis paleobatimetri adalah analisis lingkungan pengendapan batuan sedimen
pelagik menggunakan data fosil bentonik yang terkandung dalam batuan tersebut. Hasil
analisis paleobatimetri menggunakan fosil bentonik tertera pada (Tabel 2.3), hasil analisis
menunjukkan lingkungan batimetri pengendapan batuan adalah pada lingkungan Slope,
namun terjadi fluktuasi kedalaman lingkungan seiring pengendapan batuan di daerah
pengamatan. Analisis paleobatimetri menggunakan 7 spesies fosil bentonik yang hadir pada
15 sampel ayakan batuan.
Batuan termuda dengan No. Sampel 1 terendapkan pada lingkungan batimetri upper
slope, kemudian terjadi perubahan lingkungan menjadi semakin dalam hingga sampel batuan
no. 5 menjadi lingkungan middle slope. Perubahan lingkungan terjadi lagi pda sampel batuan
no. 5 hingga sampel no. 6 yaitu mendangkal lagi menjadi upper slope. Kemudian, lingkungan
pengendapan berubah menjadi semakin dalam seiring pengendapan batuan no.6 hingga no. 8,
lingkungan menjadi lower slope. Lalu, lingkungan berubah menjadi semakin dangkal seiring
pengendapan batuan dengan no. Sampel 8 hingga no. 15. Pada sampel No. 14 dan 15,
lingkungan berubah menjadi upper slope.

Tabel 2.3 Hasil analisis paleobatimetri


BAB II. KESIMPULAN

Berdasarkan peng
DAFTAR PUSTAKA

Novian, dkk., 2014. Buku Panduan Ekskursi Regional 2014. Yogyakarta : Jurusan Teknik
Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai