Faktor internal dan eksternal mempengaruhi karakteristik politik luar
negeri pada setiap periode pemerintahan. Presiden Soeharto, mewarisi pengalaman domestik akibat kebobrokan ekonomi, disintegrasi, dan kudeta politik sehingga politik luar negeri Indonesia ketika itu lebih terkonsentrasi pada pemulihan ekonomi dan kepemimpinan politik. Berbeda sekali dengan masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Politik luar negeri pada masa pemerintahan beliau, lebih terfokus pada pemulihan nama baik Indonesia serta peningkatan peran diplomasi Indonesia di organisasi Internasional mengenai berbagai isu-isu internasional sekaligus perbaikan mutu birokrasi. Sehingga peran presiden dalam diplomasi politik menjadi salah satu karakter politik luar negeri Indonesia. Politik luar negeri merupakan perpanjangan faktor internal (politik dalam negeri) yang dibawa keluar. Politik luar negeri diperuntukkan untuk menjamin (mewakili) kepentingan domestik dan kebutuhan nasional. Sejarah politik luar negeri Indonesia, dari waktu ke waktu, mengalami perkembangan sesuai dengan sejarah pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal tersebut lebih bersifat operasional, artinya dalam pelaksanaan menyesuaikan dengan kondisi geopolitik internasional saat itu. Namun demikian, asas dan landasannya merupakan hal yang solid. Era orde baru merupakan masa dimana lengsernya Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia yang kemudian digantikan oleh Bapak Soeharto. Era orde baru merupakan salah satu rezim pemerintahan yang berjalan paling lama di Indonesia. Soeharto memerintah selama kurun tiga dekade yang dimukai sejak tanggal 12 Maret 1967 sampai 21 Mei 1997., saat kepemimpinan Soeharto Indonesia mengalami banyak perubahan.
Perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dan
Soeharto mengenai Politik Luar Negeri Indonesia dikarenakan adanya militer pada masa Soeharto yang mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dan dalam negeri. Keterlibatan militer ini dikarenakan Soeharto yang memiliki latar belakang dalam dunia militer sehingga unsur militer pun ikut mewarnai pemerintahan Soeharto. Hingga akhirnya pada saat kekuasaan berada di tangan Soeharto tepatnya setelah peristiwa kudeta pada tahun 1965, militer menjadi kekuatan sosial-politik yang paling menentukan dan berkembang baik dalam ranah nasional maupun internasional.
Kepentingan nasional pada orde baru lebih terfokuskan pada
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan internasional yang termasuk dalam ekonomi pembangunan demi meningkatkan ekonomi negara. Dengan adanya program pembangunan ekonomi, Soeharto banyak melakukan hubungan dan relasi kerjsama dengan negara lain, terlebih pada Barat, dan banyak turut serta dalam dalam organisasi internasional maupun regional seperti masuk kembali dalam anggota PBB dan mengusulkan pembentukan organisasi regional, ASEAN. Hal ini semua untuk menunjang keberhasilan program pembanguan ekonomi yang berlandaskan pada perbaikan keadaan ekonomi dan kesejahteraan nasional untuk masyarakat. Pencapaian program pembangunan ekonomi yang sesuai target akan dapat menghasilkan negara dalam keadaan yang sejahtera, pada waktu itu. Soeharto memang lebih memfokuskan pada kerjasama internasional dengan dindai dengan teraksi dan kerjasama internasional.
Disisi lain Soeharto juga menekankan pada ketahanan nasional.
Ketahanan nasional yang berangkat dari pembangunan ekonomi yang dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang mempunyai pengaruh dibidang ekonomi dan pertanian di kawasan regional maupun dunia global. Bahkan dengan ketahanan nasional Indonesia yang cukup kuat, Indonesia pada wktu itu diprediksikan dapat menjadi macan asia. Indonesia dengan ketahan nasionalnya (termasuk ketahan pangan) memperkuat peran Indonesia di dunia global dan menjadi salah satu peran penting di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mulai unjuk gigi dalam taraf internasional. Akuan dan kepercayaan dari dunia internasional terbukti dengan berbagai prestasi yang telah dicapai Indonesia, antara lain pernah menjabat menjadi ketua organisasi Konferensi Islam (OKI), dan ketua Gerakan Non Blok dan Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
KEBIJAKAN SOEHARTO PADA ERA ORDE BARU
Kebijakan politik luar negeri merupakan cerminan dari kepentingan
nasional suatu negara. Pembuatan kebijakan politik luar negeri sebuah negara guna untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri merupakan wujud suatu instrumen untuk menghadapi dunia global sebagai alat interaksi dengan negara lain untuk mencapai tujuan nasional yang dikemas dalam kepentingan nasional. Pada masa Era Orde Baru banyak kegiatan dan kebijakan yang lebih mengarah pada rebuiding image. Pengubahan akan citra negara dari yang sebelumnya, pemerintah banyak melakukan kegiatan serta membuat kebijakan yang berhubungan dengan perubahan image di perspektif global maupun dalam negeri.
Dominasi Soeharto pada era Orde Baru sebenarnya tidak
sepenuhnya dominan, melainkan ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam perumusan politik luar negeri Republik Indonesia karena Soeharto tidak memiliki cukup banyak pengalaman mengenai isu-isu internasional. Militer menjadi tonggak utama dalam pemerintahan, mengingat latar belakang Soeharto yang juga merupakan orang yang berkontribusi besar dalam bidang militer sejak era Soekarno. Sehingga militer menjadi kekuatan utama yang berkuasa dalam birokrasi Indonesia. Sebelum militer mendominasi, sebenarnya keterlibatan peran Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai perumus utama politik luar negeri sangatlah penting, dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh para diplomat. Namun peran Deplu berangsur-angsur digantikan oleh kelompok-kelompok militer yang turut serta merumuskan politik luar negeri Republik Indonesia, seperti Departemen Pertahanan dan Keamanan, Badan Pusat Intelijen, Lembaga Pertahanan Nasional, serta Sekretaris Negara. Mereka berperan aktif dalam bidang masing-masing, mulai dari penanganan permasalahan luar negeri dan pertahanan hingga ranah perekonomian (Suryadinata, 1998: 43-44). Pengaruh militer dalam pengambilan keputusan politik luar negeri pada masa Soeharto dapat dibagi menjadi dua periode. Periode awal Orde Baru, ada beberapa kelompok perumus politik luar negeri Indonesia, yaitu militer yang terdiri dari Departemen Pertahanan dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN. Sedangkan yang kedua adalah Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Bappenas. Namun pada masa orde baru peranan deplu perlahan mulai memudar dikarenakan Adam Malik yang saat itu menjadi sosok penting dalam departemen luar negeri perlahan mulai disingkirkan oleh militer.
Peranan Deplu semakin surut dalam ranah perumusan politik luar
negeri Republik Indonesia dikarenakan Adam Malik, tokoh penting dalam Deplu disingkirkan oleh kelompok militer tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa kudeta 1965, militer memasuki Deplu untuk mengikis PKI dan simpatisannya dalam lingkup internasional. Penguatan peran ABRI merupakan agenda nasional Indonesia saat itu sebagai wujud bahwa Indonesia adalah negara anti-komunis. Akhirnya ABRI turut campur dalam proses perumusan kebijakan dalam bidang politik maupun ekonomi. Bahkan posisi strategis di kedutaan-kedutaan Indonesia juga diduduki oleh ABRI. Peran Deplu pun menjadi sangat terbatas, yakni hanya untuk memberikan umpan balik dan dukungan terhadap kebijakan pemerintah melalui lembaga dengar pendapat. Terlebih ketika Soeharto membuat kebijakan dwifungsi ABRI, yakni militer juga memiliki hak untuk terlibat dalam bidang politik di era Soeharto. Konsep dwifungsi ABRI merupakan perpanjangan dari konsep Middle Way yang diajukan oleh Jendral A.H. Nasution (Suryadinata, 1998:43-44). Sikap tegas dari militer mulai ditunjukkan dengan peranannya yang mulai menjalar ke Deplu untuk mengikis PKI beserta simpatisannya di ruang internasional. Sehingga dalam sistem ini peranan ABRI semakin mencuat dalam deplu ( Suryadinata, 1998). Tak hanya Deplu saja yang diintervensi, tetapi juga merambah menuju Bappenas yang juga menjadi salah satu target aksi tegas militer tersebut. Situasi lain yang membedakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia Soeharto dengan Soekarno adalah Soeharto menginvasi Timor-Timur untuk menjadikan negara tersebut sebagai bagian dari negara Indonesia, dengan asumsi Timor-Timur menganut paham sosialis dan membawa kekhawatiran terhadap Indonesia akan paham tersebut kembali berkembang. Politik Indonesia yang sangat dekat dengan Barat pada saat itu membuat Indonesia sangat didukung pada dekade 1980-an dan mendominasi ASEAN, namun semua dukungan Barat terhadap Indonesia semakin lama menjadi berkurang seiring berakhirnya perang dingin dengan Amerika Serikat sebagai pemenang.
Ketergantungan utang luar negeri Indonesia membuat posisi Indonesia
terpuruk pada saat krisis Asia Tenggara yang dimulai 1997. Situasi ini mengakibatkan Indonesia harus menambah pinjaman lagi terhadap IMF (International Monetary Fund). Dapat disimpulkan, pelaksanaan dari politik bebas aktif yang dipraktekkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto, sangat tergantung dan lebih memilih pihak Barat sehingga tidak mencerminkan nilai bebas dalam politik bebas-aktif, namun kepemimpinan Indonesia di dunia Internasional, khusunya dalam ASEAN sangat terlihat signifikan.
Politik Luar Negeri pada Masa Soeharto
Peran Sentral Presiden
Pengaruh Kuat Militer Politik Luar Negeri untuk Pembangunan Ekonomi
PERAN SENTRAL PRESIDEN SOEHARTO
Soeharto dilantik sebagai pengganti Presiden Soekarno segera setelah
Supersemar dikeluarkan tahun 1966. Namun, belakangan ini muncul kontroversi bahwa dalam pidato terakhir yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno tidak disebutkan adanya pengalihan kekuasaan kepada Soeharto. Isi dari Supersemar hanya meliputi pengamanan negara, pengamanan diri presiden, dan pelaksanaan ajaran presiden (Roy Suryo, 2008). Hal itu semakin memperkuat dugaan bahwa sejak awal pemerintahannya, Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaan. Selama masa pemerintahan Soeharto berlangsung, banyak sekali kebijakan- kebijakan yang sengaja dibuat Pro Barat. Hal itu dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintahan Presiden Soekarno yang jatuh akibat Pemberontakan PKI tahun 1965, serta krisis ekonomi yang berkepanjangan karena penerapan ideologi yang terlalu condong kiri.
Pergantian masa kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto menandai
babak baru dari orde lama ke orde baru. Apabila selama masa pemerintahan Soekarno, kebijakan yang diambil banyak bertentangan dengan Barat hal sebaliknya justru terjadi di masa orde baru. Konflik- konflik yang banyak terjadi di era Soekarno terbukti banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar hingga berdampak pada krisis ekonomi, oleh sebab itu maka kebijakan yang diambil Soeharto cenderung untuk memperbaiki ekonomi negara melalui peningkatan pembangunan diberbagai sektor. Dalam masa jabatannya, Soeharto selalu mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah Amerika Serikat. Selain karena kebijakannya yang sangat antikomunis, Soeharto sangat tertarik pada hal- hal yang berbau kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain. Soeharto memiliki kepercayaan bahwa
Pada awalnya Soeharto berusaha mengarahkan kebijakannya pada
kembali pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif. Hal yang pertama dilakukan adalah bergabung kembali menjadi anggota PBB serta menjalin hubungan baik dengan Malaysia dan Singapura. Dalam politik luar negerinya, Soeharto berusaha membangun image dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Soeharto pernah mengatakan bahwa Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia, dan politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi (Sabam Siagian, 2008). Dengan adanya dukungan serta kestabilitasan politik luar negeri maka secara tidak langsung akan mendukung stabilitas politik ke luar negeri. Dengan demikian, maka kepentingan nasional Indonesia akan mudah dicapai.
Selama masa pemerintahannya, Soeharto juga berperan dan berpengaruh
kuat di kalangan militer, birokrasi maupun bisnis (Anonim, 1996). Hal itulah yang juga membuat peran sebagai presiden menjadi sentral pemerintahan. Soeharto juga dikenal sangat otoriter, banyak kebijakan dibuat hanya untuk mempertahankan kekuasaannya meski merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Sering terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto apabila ada pihak yang secara terang-terangan menolak dan menentang kebijakan yang dibuatnya. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto dapat dilihat dari kasus 27 Juli dan kasus Trisakti (Ramidi, 2004), serta peristiwa Malari.
PENGARUH KUAT MILITER
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Soeharto sangat
berpengaruh kuat di kalangan militer, birokrasi, dan pebisnis. Militer menjadi sumber utama untuk menegakkan ketertiban, peraturan, dan undang-undang. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi pemerintahan Soeharto di Indonesia. Siapapun yang menentang kebijakan Presiden maka militer akan bertindak sebagai penegak hukumnya. Hal itulah yang membuat tidak ada satu pihak pun baik dari dalam maupun luar yang berani mengusik pemerintah Indonesia. Tindakan otoriter yang selama ini dilakukan oleh Soeharto juga didukung oleh militer. Keberhasilan Soeharto dalam menyebarkan pengaruhnya di kalangan militer tidak terlepas dari pengalamannya sebagai anggota Angkatan Darat. Soeharto melebarkan peran Angkatan Darat melalui kebijakan Dwifungsi ABRI yang merupakan sebuah konsep dasar TNI dalam menjalankan peran sosial politik (Dephan RI, 2005). Peran sosial mencakup program-program kemanusiaan, bencana alam, pelayanan kesehatan, TNI masuk desa, dan bakti TNI. Sedangkan peran politik, meliputi pengembangan kesadaran bela negara kepada setiap warga negara, setia kepada cita-cita proklamasi 17 agustus 1945 dan NKRI, pengembangan nilai-nilai persatuan dan wawasan kebangsaan.
Dalam kenyataannya, penerapan yang dilakukan menyimpang dari
konsep awal. Soeharto berhasil memimpin selama 32 tahun dan orang- orang militer membanjiri panggung politik. Banyak pejabat negara dan anggota administasi sipil yang memiliki latar belakang militer. Itu berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, yang otomatis mendukung Presiden. Namun apabila dilihat dari sisi eksternal, posisi Indonesia secara internasional semakin kuat meski demokrasi semakin melemah. Keberhasilan ekonomi yang dicapai pemerintah bisa menutupi buruknya tingkat demokrasi di Indonesia.
POLITIK LUAR NEGERI UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI
Indonesia mengalami kejayaan pembangunan dan kemajuan ekonomi di
Indonesia di masa pemerintahan Soeharto. Politik luar negeri sepenuhnya difokuskan untuk pembangunan nasional di berbagai sektor. Melalui program Repelita, Indonesia mampu meningkatkan ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang sangat pesat dan menjadi negara pengekspor beras terbesar sehingga mendapat penghargaan dari FAO yakni medali yang bertuliskan from rice importer to self sufficiency (Anonim, 2005). Soeharto dianggap berjasa besar dalam menyelesaikan masalah hutang dan pinjaman luar negeri ditimbulkan oleh pemerintahan Soekarno. Untuk mengatasi hutang-hutang tersebut, Soeharto mencanangkan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) yang berfungsi untuk melakukan rehabilitasi terhadap perekonomian yang sedang kacau melalui kerjasama dan bantuan asing. Secara regional, Indonesia berhasil mendirikan ASEAN yang selain untuk menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan juga berfungsi untuk mengakhiri konfrontasi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto melakukan usaha yang cukup penting dalam sejarah politik luar negeri RI saat itu. Keberhasilan dalam membentuk ASEAN berdampak positif bagi pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara berkembang yang berhasil mencetuskan organisasi regional yang cukup penting secara internasional.
Kemajuan ekonomi dan kestabilitasan secara politik tidak membuat
pemerintahan Soeharto bertahan untuk selamanya. Banyaknya penyelewengan yang terjadi mulai dari praktek KKN, pelanggaran HAM, dan pengekangan terhadap masyarakat menjadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri. Meski secara internal, regional, dan internasional Indonesia dapat dikatakan mencapai kejayaan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun demokrasi tidak dapat ditegakkan. Untungnya keberhasilan pembangunan nasional berhasil menutupi kebobrokan pemerintahan dalam negeri. Ekonomi yang sangat pesat membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai Macan Asia.