Anda di halaman 1dari 46

A.

Definisi
Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak secara
akut dan dapat menimbulkan kematian (WHO, 2014 dalam Latifah 2016). Stroke
adalah gangguan fungsi otak yang timbulnya mendadak, berlangsung selama 24 jam
atau lebih, akibat gangguan peredaran darah di otak (Yayasan Stroke Indonesia,
2010). Stroke diklasifisikan menjadi dua yaitu stroke iskemik dan perdarahan
(Hemoragik). Stroke adalah suatu keadaan yang mengakibatkan seseorang mengalami
kelumpuhan atau kematian karena terjadinya gangguan perdarahan di otak yang
menyebabkan kematian jaringan otak (Batticaca, 2009 dalam Latifah 2016).
Stroke Iskemik atau Non-Hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh suatu
gangguan peredaran darah otak berupa obstruksi atau sumbatan yang menyebabkan
hipoksia pada otak dan tidak terjadi perdarahan (AHA, 2015). Stroke Iskemik atau
non-hemoragik merupakan stroke yang disebabkan karena terdapat sumbatan yang
disebabkan oleh trombus (bekuan) yang terbentuk di dalam pembuluh otak atau
pembuluh organ selain otak (Sylvia, 2005 dalam Latifa 2016).
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju, setelah
penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalan 2 per 1000 populasi. Di
Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah
penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke
di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita
stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan
175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001 dalam Agustina, 2014).
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3
per 1000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per
1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus stroke pada masyarakat
telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Data nasional yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa stroke menempati
urutan pertama sebagai penyebab kematian untuk semua umur, dimana stroke menjadi
penyebab kematian terbanyak (15,4%) (Depkes RI, 2008 dalam Sofyan, 2015).

C. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran
darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan
kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi
pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi
karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus
di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli
tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik
3. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.

D. Faktor Resiko
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada penyakit stroke diantaranya adalah riwayat
stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, penyakit karotis asimptomatis,
transient ischemic attack, hiperkolesterolemia, penggunaan kontrasepsi oral, obesitas,
merokok, alkoholik, penggunaan narkotik, hiperhomosisteinemia, antibodi
antifosfolipid, hiperurisemia, peninggian hematokrit, dan peningkatan kadar
fibrinogen, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis
kelamin, herediter, dan ras/etnis (Misbach dkk., 2004 dalam Sofyan 2015).
Berbagai penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko stroke antara
lain herediter, usia, jenis kelamin, sosioekonomi, letak geografi, makanan tinggi
lemak dan kalori, kurang makan sayur buah, merokok, alkohol, aktifitas fisik kurang,
hipertensi, obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit arteri perifer, penyakit
jantung (heart failure), dan dislipidemia (Lannywati, 2016).
Faktor risiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi (AHA,
2015).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis kelamin,
dan riwayat stroke sebelumnya (AHA, 2015).
a. Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang memiliki
riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki risikotinggi mengalami
stroke, ras kulit hitam lebih sering mengalami hipertensi dari pada ras
kulit putih sehingga ras kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena
stroke.
b. Faktor usia, stroke dapat terjadi pada semua rentang usia namun
semakin bertambahnya usia semakin tinggi pula resiko terkena stroke.
Usia diatas 50 tahun risiko stroke menjadi berlipat ganda pada setiap
pertambahan usia.
c. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke, laki-laki
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan perempuan,
hal ini terkait kebiasaan merokok, risiko terhadap hipertensi,
hiperurisemia, dan hipertrigliserida lebih tinggi pada laki-laki.
d. Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang dikenal
dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga berisiko tinggi
mengalami stroke, AHA (2015) menyebutkan bahwa 15% kejadian
stroke ditandai oleh serangan TIA terlebih dahulu.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang dapat diubah adalah obesitas (kegemukan), hipertensi,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, dan
pola hidup tidak sehat (AHA, 2015).
a. Secara tidak langsung obesitas memicu terjadinya stroke yang
diperantarai oleh sekelompok penyakit yangditimbulkan akibat
obesitas, selain itu obesitas juga salah satu pemicu utama dalam
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler.
b. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya stroke, beberapa
studi menunjukkan bahwa manajemen penurunan tekanan darah dapat
menurunkan resiko stroke sebesar 41%.
c. Hiperlipidemia atau kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar
lemak di dalam darah dapat memicu terjadinya sumbatan pada aliran
darah.
d. Individu yang merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol
memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke karena dapat memicu
terbentuknya plak dalam pembuluh darah.

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat ringannya
lesi dan juga topisnya. Tanda dan gejala stroke non hemoragik secara umum yaitu:
(Prakasita Masayu, 2014)
1. Gangguan Motorik
2. Gangguan Sensorik
3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi
a. Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah
4. Gangguan Kemampuan Fungsional
Gangguan dalam beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet dan
berpakaian.

Kesadaran seseorang dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow


yaitu:

Tabel 2.1. Skala koma Glasgow.

Buka mata (E) Respon motorik (M) Respon verbal (V)


1. 1. Tidak ada 1. Tidak ada gerakan
1. Tidak ada suara
respons
2. Ekstensi abnormal
2. Respons 2. Mengerang
dengan
rangsangan
nyeri

3. Bicara kacau
3. Buka mata 4. Fleksi abnormal
dengan
perintah

4. Disorientasi tempat
5. Buka mata 5. Menghindari
dan waktu
spontan nyeri

5. Orientasi baik dan


6. Melokalisir
sesuai
nyeri

7. Mengikuti
perintah

Penilaian skor skala koma Glasgow :


a. Koma (GCS = 3-8)
b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)
c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)

Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese), sensorik


(anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung serta
simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi,
salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan sifat khas
manusia, dan gangguan koordinasi (sidrom serebelar):
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan
seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam
mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan
lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik
secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis
tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan
supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam
hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap
sehingga bergoyang-goyang.

Tabel 2.2. Gangguan nervus kranial.


Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis
dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan
Okulomotorius pupil; akomodasi kembar), ptosis;
midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit mati rasa pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Hilangnya kemampuan
umum pada platum dan mengecap pada dua
telinga luar; sekresi pertiga anterior lidah;
kelenjar lakrimalis, mulut kering; hilangnya
submandibula dan lakrimasi; paralisis otot
sublingual; ekspresi wajah wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging
Vestibulokokleari keseimbangan terus menerus); vertigo;
s nitagmus
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya
Glosofaringeus umum pada faring dan pengecapan pada
telinga; mengangkat sepertiga posterior lidah;
palatum; sekresi kelenjar anestesi pada farings;
parotis mulut kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan
umum pada farings, laring menelan) suara parau;
dan telinga; menelan; paralisis palatum
fonasi; parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
Spinal leher dan bahu otot kepala, leher dan
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana Pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian
juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami
hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian
tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular :
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.

2. Arteri serebri media (tersering)


a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua
fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasi

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)


a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis

4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)


a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran

5. Arteri serebri posterior


a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

F. Patofisiologi
Adanya stenosis arteri dapatmenyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi
yang diperlukan untuk menjalankankegiatan neuronal berasal dari metabolisme
glukosa dan disimpan di otak dalam bentukglukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit. Bila tidak ada alirandarah lebih dari 30 detik gambaran
EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitasjaringan otak berhenti, bila lebih
dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bilalebih dari 9 menit
manusia dapat meninggal.
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukanuntuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+
ATP-ase, sehinggamembran potensial akan menurun.13 K+ berpindah ke ruang
ekstraselular, sementara ion Nadan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan
permukaan sel menjadi lebih negatif7sehingga terjadi membran depolarisasi.7 Saat
awal depolarisasi membran sel masih reversibel,tetapi bila menetap terjadi perubahan
struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.Keadaan ini terjadi segera
apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan,yaitu bila aliran
darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit.
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan menyebabkan iskemia
disuatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di sekitarnya disertai mekanisme
kompensasi fokalberupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya beberapa keadaan
berikut ini (Wijaya, 2013):

1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasidengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis
gejala yang timbuladalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat
berupa hemiparesis yangmenghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum
sepintas.

2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional
lebihbesar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan
fungsineurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu.
Mungkin padapemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara
klinis disebut RIND(Reversible Ischemic Neurologic Deficit).

3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas


sehinggamekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam
keadaan ini timbuldefisit neurologi yang berlanjut.
Pathway Stroke Non-Hemoragik

Trombosis cerebral Emboli cerebral

Sumbatan pembuluh
darah otak

Suplai darah dan O2 ke otak menurun

Menurun 25-30 ml/100 gr Gangguan perfusi Menurun > = 18 ml/100


otak/menit jaringan gr otak/menit

Iskemik otak Infark serebri

< 24 jam 24 jam - 21 hari


STROKE
KOMPLIT

Transient Stroke in Evolution


Ischemic Attack

Kelainan Gejala neurologik


neurologik bertambah Cerebrum Batang otak Cerebellum
sementara

Sembuh total < 24 Sembuh total Pengobatan &


jam beberapa hari perawatan tidak
akurat
G. Klasifikasi
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah :
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak sepintas
dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebih dari 24 jam.
b. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak
berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1-3 minggu
c. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan
peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal dalam
beberapa jam sampe bbrpa hari
d. Stroke in Resolution
Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan
peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai maksimal
dalam beberapa jam sampai bbrapa hari
e. Completed Stroke (infark serebri)
Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan
peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa memburuk lagi.

Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik (Stroke
Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi :
a. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena trombosis di
arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri media. Permulaan
gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau sedang istrirahat kemudian
berkembang dengan cepat,lambat laun atau secara bertahap sampai mencapai
gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang dalam beberapa hari (2-3
hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk membaik
dalam beberapa hari,minggu atau bulan.
b. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli yang
pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat mendadak
berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu, kemungkinan juga
disertai emboli pada organ dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa
hari, minggu atau bulan.
H. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah (Firdayanti, 2014):
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan,
konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non hemoragik
meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang (Jauch, 2016).
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi
meskipun agak jarang (10-20%).
2. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras
adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan.
Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat
dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam
pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa
adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan
penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan
hematoma yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang
mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders.
Kejang sekunder dari stroke stroke non hemoragik harus dikelola dengan cara
yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis
injury.

I. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008) dalam Firdayanti (2014), pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan yaitu sebagai berikut :
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular. Angiografi otak
adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X kedalam
arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan
pembuluh-pembuluh darah di kepala dan leher. Angiografi otak menghasilkan
gambar paling akurat mengenai arteri dan vena dan digunakan untuk mencari
penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma. Namun,
tindakan ini memiliki resiko kematian pada satu dari setiap 200 orang yang
diperiksa (Simangunsong, 2011). Proses dari angiografi serebral yaitu pasien
akan diinfus pada bagian lengan sehingga dokter dapat memberikan obat atau
cairan kepada bila diperlukan. Alat yang disebut pulse oximeter, yang
berfungsi mengukur tingkat oksigen dalam darah, akan diselipkan pada jari
atau telinga Anda. Cakram kecil (elektorda) ditempatkan pada lengan, dada,
atau kaki Anda untuk merekam denyut serta irama jantung. Pasien akan
berbaring telentang pada meja sinar-X. Sebuah tali, perban, atau kantong pasir
mungkin akan digunakan untuk membuat pasien tetap diam tidak bergerak.
Bagian selangkangan pasien akan disterilkan dan akan dimasukkan katerer
melalui pembuluh darah dan menuju ke dalam arteri karotis, yang berada di
leher. Pewarna kontras akan mengalir melalui kateter ke dalam arteri, di mana
kemudian akan bergerak ke pembuluh darah di otak. Ketika pewarna kontras
mengalir dalam tubuh pasien maka pasien akan merasa hangat. Kemudian
beberapa pencitraan sinar-X pada kepala dan leher akan diambil. Setelahnya,
katerer akan diangkat dan penjahitan akan dilakukan pada bagian terinjeksi
tersebut. Seluruh prosedur membutuhkan waktu antara satu hingga tiga jam
(Samiadi, 2017).

b. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang
sub arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui
daerah segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan
aseptik. Posisi pasien yaitu posisi tidur miring dengan fleksi maksimal dari
lutut, paha, dan kepala semua mengarah ke perut, kepala dapat diberi bantal
tipis.
Hasil dari pemeriksaan lumbal pungsi yaitu tekanan yang meningkat dan
disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada
subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein
menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah
biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang
kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari
pertama.

c. CT Scan (Computerized Tomography Scanning)

Pemindaian ini
memperlihatkan
secara spesifik letak edema,
posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang
pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. Pada CT,
pasien diberi sinar X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus
kepala. Sinar X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi
dengan panjang ke radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan
waktu 15 20 menit, tidak nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal
keculi pada wanita hamil. CT sangat handal mendeteksi perdarahan
intrakranium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan,
terutama pada tahap paling awal. CT dapat memberi hasil negatif - semu
(yaitu, tidak memperlihatkan adanya kerusakan) hingga separuh dari semua
kasus stroke iskemik (Simangunsong, 2011).

d. MRI

MRI

(Magnetic Resonance Imaging) menggunakan gelombang magnetik untuk


menentukan posisi dan besar / luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat
dari hemoragik. Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk
menghasilkan dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet
dan nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di dalam
jaringan kepala. Pemindaian dengan MRI biasanya berlangsung sekitar 30
menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau alat
logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu, orang bertubuh besar mungkin tidak
dapat masuk ke dalam mesin MRI, sementara sebagian lagi merasakan
ketakutan dalam ruangan tertutup dan tidak tahan menjalani prosedur meski
sudah mendapat obat penenang. Pemeriksaan MRI aman, tidak invasif, dan
tidak menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam
mendeteksi stroke iskemik, bahkan pada stadium dini. Alat ini kurang peka
dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan
(Simangunsong, 2011).

e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan
otak.
g. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau
penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG
biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak
menimbulkan nyeri (Simangunsong, 2011).
h. Pemeriksaan darah dan urine
Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan
untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Pemeriksaan yang
direkomendasikan:
1) Hitung darah lengkap
Merupakan tes rutin untuk menentukan jumlah sel darah merah, sel
darah putih, trombosit dalam darah. Hematokrit dan hemoglobin
adalah ukuran jumlah sel darah merah. Hitung darah lengkap dapat
digunakan untuk mendiagnosis anemia atau infeksi. Hitung darah
lengkap digunakan untuk melihat penyebab stroke seperti
trombositosis, trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle
cell disease).
2) Tes koagulasi
Tes ini mengukur seberapa cepat bekuan darah. Tes yang paling
penting dan evaluasi darurat stroke adalah glukosa (atau gula darah),
karena tingkat glukosa darah yang tinggi atau terlalu rendah dapat
menyebabkan gejala yang ungkin keliru untuk stroke. Sebuah glukosa
darah puasa digunakan untuk membantu dalam diagnosis diabetes yang
merupakan faktor risiko untuk stroke. Tes kimia darah lainnya untuk
mengukur serum elektrolit, ion ion dalam darah (natrium, kalium,
kalsium) atau memeriksa fungsi hati atau ginjal.
3) Serologi untuk sifilis.
4) Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia.
5) Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke (Greenberg, 2002 dalam
Simangunsong, 2011).
Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk
mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal (Feigin, 2009 dalam
Simangunsong, 2011 ) .

J. Pencegahan
Pencegahan untuk stroke non-hemoragik ada dua yaitu (Mansjoer dkk, 2000):
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara menghindari rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan (obesitas), konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan
amfetamin, kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam
makanan, mengendalikan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit
vaskular aterosklerotik lainnya serta perbanyak konsumsi gizi seimbang dan
olahraga teratur.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup yang
berisiko seperti hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus
dengan diet dan obat hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan
antikoagulan oral, dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat anti
dislipidemia, dan berhenti merokok, serta hindari kegemukan dan kurang gerak.

K. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010) dalam Setyadi
(2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke otak, membantu lisis
bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan, melindungi jaringan otak yang
masih aktif dan mencegah cedera sekunder lain, beberapa terapinya adalah :
a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen activator
(rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan menguraikan
bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam waktu 3 jam sejak
manifestasi klinis stroke timbul dan hanya dilakukan setelah kemungkinan
perdarahan atau penyebab lain disingkirkan
b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat resiko tinggi
kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi, atau fibrilasi atrial
c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel dapat
diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan memperpanjang
waktu pembekuan
d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke dengan
tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan oksigenasi,
pemantauan dan pengendalian tekanan darah untuk 13 mencegah perdarahan
lebih lanjut, pengendalian hiperglikemi pada pasien diabetes sangat penting
karena kadar glukosa yang menyimpang akan memperluas daerah infark.
2. Penalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas
fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk
semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang
membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat
tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet
dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011 dalam
Agustina, 2014 ). Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau
berbunga terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik
pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam Agustian
(2014) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233) dalam
Agustina (2014), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari
mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak
trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan.
Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per
hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga
20% dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557) dalam Agustina
(2014), namun konsumsi alkohol berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan
risiko stroke.
2) Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke
setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya
melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua
pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30-
45 menit setiap hari (Goldszmidt et al., 2011 dalam Agustina, 2014).
Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme
karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung).
Latihan juga merupakan komponen yang berguna dalam
memaksimalkan program penurunan berat badan, meskipun
pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan
dan pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009 dalam Agustina,
2014).
b. Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi
1) Pengertian rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan penderita stroke
(Wang, 2014 dalam Fitriani, 2016). Rehabilitasi stroke merupakan
sebuah program komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan
rehabilitasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan memodifikasi
keampuan fungsional yang ada (Stein, 2009 dalam Fitriani, 2016).
Rehabilitasi dini diunit 21 penanganan stroke dapat berpengaruh kepada
keselamatan hidup penderita stroke (Ginsberg, 2007 dalam Fitriani,
2016).
2) Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein (2009)
dalam Fitriani (2016) yaitu: a. Mengoptimalkan dan memodifikasi
keampuan fungsional b. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif
dan fungsi lain yang terganggu c. Membantu melakukan kegiatan
aktivitas sehari hari d. Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan
hubungan interpersonal dan aktivitas sosial
3) Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi Menurut (Lingga,
2013) program rehabilitasi mencakup berbagai macam kegiatan untuk
melatih kembali fungsi tubuh pasien yang lemah akibat stroke yang
dialami. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien
stroke meliputi:
a) Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip
Pengertian latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical
grip adalah latihan rentang gerak aktif merupakan latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki pergerakkan
sendi untuk meningkatkan masa otot dan kekuatan otot (Potter &
Perry, 2005 dalam Fitriani, 2016). Latihan cylindrical grip
merupakan suatu bentuk latihan fungsional tangan dengan cara
menggenggam sebuah benda berbentuk silindris 22 seperti tisu
gulung pada telapak tangan, yang bertujuan untuk menunjang
pemulihan kemampuan gerak dan fungsi tangan, dengan
melakukan latihan dengan menggunakan cylindrical grip akan
membantu proses perkembangan motorik tangan (Irfan, 2010
dalam Fitriani, 2016). Cylindrical grip merupakan salah satu dari
power grip yang menggunakan benda berbentuk silindris berfungsi
untuk menggerakkan jari-jari tangan dan membantu menggenggam
dengan sempurna (Irfan, 2010 dalam Fitriani, 2016). Macam-
macam latihan dengan power grip dengan menggunakan pola
menggenggam dan memegang terdiri atas cylindrical grip,
spherical grip, hook grip, dan lateral prehension (Irfan, 2010 dalam
Fitriani, 2016)
Lama latihan rentang gerak Menurut (Potter & Perry, 2005 dalam
Fitriani, 2016) frekuensi latihan yang baik dalam sehari adalah dua
sampai tiga kali sehari dan lama latihan minimal tiga menit setiap
sendi dan 15-20 menit dalam satu kali sesi latihan. Penelitian yang
dilakukan oleh Garber et al (2011) dalam jurnal yang berjudul
Quantity and Quality of Exercise for Developing and 25
Maintaining Cardiorespiratoy, Musculoskeletal, and Neuromotor
Fitness in Apparently Healthy Adults : Guidance for Prescribing
Exercise rekomendasi dasar untuk melakukan latihan neuromotor
yang melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan
keseimbangan, latihan gerak, koordinasi, dan gaya berjalan untuk
meningkatkan fungsi fisik dengan frekuensi dua sampai tiga kali
perminggu, tiap sesi lebih dari 20-30 menit total lebih dari 60
menit latihan per minggu.
b) Terapi musik
Pengertian terapi musik adalah terapi yang menggunakan musik
secara terapeutik terhadap fungsi fisik, fisiologis, kognitif dan
fungsi sosial (American Music Therapy Association, 2011 dalam
Fitriani, 2016). Musik merupakan seni mengatur suara dalam
waktu yang berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi
melalui melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna nada
(Snyder, 2010 dalam Fitriani, 2016).
Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat dari terapi
musik yaitu untuk mengembalikan fungsi individu sehingga dapat
mencapai kualitas hidup yang lebih baik, melakukan pencegahan,
pengobatan, dan rehabilitasi dengan pemberian terapi karena
musik dianggap mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan
(Wigram, 2004 dalam Fitriani, 2016).
Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis musik yang
diberikan untuk pasien stroke adalah musik yang lembut dan
getaran yang lambat (Forsblom, 2012 dalam Fitriani, 2016).
Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses motorik
melalui sinkronisasi sensorimotorik dengan musik (Fujioka et al,
2012 dalam Fitriani, 2016). Salah satu jenis musik yang lembut
dan nada yang lambat adalah musik instrumental (Gillen, 2009
dalam Fitriani, 2016).
Lama pemberian terapi musik Terapis dapat melakukan terapi
musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari,
namun waktu 10 menit dapat diberikan karena selama waktu 10
menit telah membantu pikiran klien beristirahat (Wigram, 2004
dalam Fitriani, 2016). Posisi pasien harus nyaman saat
mendengarkan musik, tempo sedikit lebih lambat 60-80 ketukan
per menit dengan irama yang tenang (Schou, 2008 dalam Fitriani,
2016). Salah satu contoh musik instrumental yang memiliki tempo
lambat 60-80 ketukan per menit yaitu musik ethnic bali seperti gus
teja. Pola sensori musik diorganisir dalam pola irama, tidak hanya
membantu pasien untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak
sesuai ketukan, tetapi juga membantu terapis dalam perencanaan
program yang disesuaikan dengan pola gerak pasien (Djohan, 2006
dalam Fitriani, 2016).

L. Diagnosa yang kemungkinan mundul pada pasien stroke non hemoragik


1. Hambatan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuskular (stroke)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan koordinasi gerakan
meningkat dengan kriteria hasil:
a. Kekuatan kontraksi otot meningkat
b. Kontrol gerakan meningkat
c. Ketegangan otot menurun

Intervensi:

Terapi latihan: kontrol otot

a. Berkolaborasi dengan terapis fisik, pekerjaan, dan rekreasi dalam


mengembangkan dan melaksanakan program latihan
b. Konsultasikan terapi fisik untuk mengetahui posisi optimal pasien selama
latihan dan jumlah pengulangan untuk setiap pola gerakan
c. Instruksikan pasien untuk melancarkankan setiap gerakan

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan


makan karena kelemahan otot akibat stroke
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status nutrisi meningkat
dengan kriteria hasil:
a. Asupan nutrisi meningkat
b. Asupan makanan meningkat
c. Asupan cairan meningkat
d. Energi meningkat

Intervensi:

Manajemen nutrisi

a. Berikan lingkungan optimal untuk konsumsi makanan


b. Bantu perawatan mulut pasien sebelum makan
c. Bantu pasien dengan membuka bungkus, potong makanan, dan makan

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. disfungsi neuromuskular


Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kepatenan jalan napas
meningkat dengan kriteria hasil:
a. Tingkat pernapasan normal
b. Kemampuan membersihkan sekret meningkat

Intervensi:

Peningkatan batuk

a. Bantulah pasien pada posisi duduk dengan kepala sedikit tertekuk, bahu
relaks, dan lutut ditekuk
b. Dorong pasien untuk menarik beberapa napas dalam
c. Dorong pasien untuk menarik napas dalam, tahan 2 detik, dan batuk dua atau
tiga kali berturut-turut
d. Instruksikan pasien untuk tarik mapas dalam beberapa kali, menghembuskan
napas perlahan, dan membatukannya

4. Hambatan komunikasi verbal b.d. melemahnya fungsi otot


Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan komunikasi
membaik/meningkat dengan kriteria hasil:
a. Bahasa tulis meningkat
b. Bahasa lisan meningkat
c. Bertukar pesan secara akurat dengan orang lain

Intervensi:

Peninangkatan komunikasi

a. Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien


b. Memberikan penguatan positif
c. Berikan rujukan ke ahli patologi atau ahli terapi bicara
d. Mengkoordinasikan kegiatan tim rehabilitasi
ASUHAN KEPERAWATAN PADA STROKE NON HEMORAGIK

KASUS

Klien Ny. M, berumur 62 tahun datang ke IGD RSUD Tarakan Jakarta bersama
keluarga, pada tanggal 08Mei 2017, pukul 09.30 WIB, dengan keluhan badan
terasa lemas tidak mampu untuk duduk atau berdiri sendiri tangan dan kaki
kanan tidak dapat digerakan. Tindakan yang dilakukan yaitu mengobservasi
TTV, TD : 150/90 mmHg, N : 84 x/menit, Rr : 21 x/menit, S : 36,5 0C, infuse
Ring Asering/ 12 jam, Diagnosa Medis Stroke Iskemik. Obat- obat yang
didapatkan yaitu Metformin 3 x 500 Mg, Cpg 1 x 75 Mg, Ksr 2 x 1 Mg,
Piracetam 3 x 3 gram. Hasil laboratorium pada tanggal 22 Desember 2014, yaitu
Hb 12,5 g/dl, Ht 34,8 vol%, Eritrosit 4,07 Juta/ul, Leokosit 8550 /ul, Trombosit
234000/ul, Ureum 45 mg/dl, Kreatinin 1,16 mg/dl, GDS 376 mg/ dl. Pada
tanggal 10 Mei 2017 pukul 19.00 WIB, klien pindah keruang Dahlia, saat
perawat ruangan melakukan pengkajian didapatkan data TTV : TD : 150 / 90
mmHg, N : 84 x/ menit, S : 36,5 C, Rr : 21 x/menit, Klien terlihat lemah,
kesadaran compos mentis, kaki kanan dan tangan kanan lemas dan tidak dapat
digerakan. Obat- obat yang didapatkan Metformin 3 x 500 Mg, Cpg 1 x 75 Mg,
Ksr 2 x 1 Mg, Piracetam 3 x 3 gram.

I. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien datang ke RSUD Tarakan dengan Keluhan badan terasa lemas
tidak mampu untuk duduk atau berdiri sendiri tangan dan kaki kanan
tidak dapat digerakan. Factor pencetus klien, darah tinggi yang
meningkat akibat emosi yang tidak terkontrol dan Diabetes Melitus,
Timbulnya keluhan pada klien secara bertahap, lama keluhan yang
dirasakan 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, upaya untuk
mengatasi penyakit yang diderita klien, keluarga klien mengajak klien
untuk berobat ke RSUD Tarakan Jakarta.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat penyakit sebelumnya klien mempunyai riwayat Hipertensi
dan Dm 3 bulan, riwayat alergi tidak ada, riwayat pemakaian obat
captropil 2 x 25 mg.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien anak kedua dari lima bersaudara, klien mempunyai enam orang
anak, Klien tinggal serumah dengan suami dan dua orang anak yang
pertama sudah menikah dan anak ke enam belum menikah. Riwayat
penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga klien adalah
ayahnya yang menjadi factor resiko hipertensi dan DM
d. Riwayat Psikososial dan Spiritual
Orang yang terdekat dengan klien yaitu suami dan anaknya, interaksi
dengan keluarga baik, pembuat keputusan dianggota keluarga yaitu
suami, klien mengatakan bila ada masalah pada anggota keluarga klien
selalu dimusyawarahkan kepada angota keluarga terutama suami dan
anaknya. Dampak penyakit klien dengan keluarga klien sedih, masalah
yang mempengaruhi klien, klien mengatakan tidak bias beraktifitas
seperti biasanya, mekanisme koping terhadap stress, klien mengatakan
dengan cara pemecahan masalah, persepsi klien terhadap penyakitnya,
hal yang dipikirkan klien saat ini, klien ingin cepat sembuh, harapan
setelah menjalanin perawatan klien ingin cepat sembuh, dan mengikuti
pengobatan di rumah sakit. perubahan yang dirasakan setelah jatuh
sakit, klien tidak dapat beraktifitas seperti biasa dan dibantu keluarga.
System nilai kepercayaan, nilai-nilai yang bertentangan dengan
kesehatan, klien mengatakan selalu berdoa kepada allah swt agar
diberi kesembuhan. Kondisi lingkungan rumah klien bersih, nyaman
lingkungan rumah yang mempengaruhi kesehatan keluarganya yaitu
klien tinggal didekat jalan raya ( berisik) dan banyak polusi kendaraan.

e. Pola Kebiasaan klien sebelum sakit atau sebelum di rumah sakit


1) Pola nutrisi Sebelum sakit frekuensi makan klien 3 x/ hari,
nafsu makan klien baik, setiap makan klien menghabiskan 1
porsi makan. Klien mengatakan tidak ada makanan yang tidak
disukai dan makanan yang membuat alergi. Pantangan bagi
klien adalah makanan yang mengandung garam mengandung
lemak, makanan diit tidak ada dan penggunaan obat-obatan
sebelum makan tidak ada. Pengunaan alat bantu ( NGT dll)
tidak ada atau tidak menggunakanya.
2) Pola eleminasi frekuensi buang air kecil 2 x/hari, warna kuning
jernih, klien mengatakan tidak ada keluhan pada saat buang air
kecil klien tidak ada keluhan. Pengunaan alat bantu ( NGT dll)
tidak mengunakan. Frekuensi buang air besar klien 2 x/hari,
waktu tidak tentu, warna kuning kecoklatan, konsistensi buang
air besar padat. Keluhan buang air besar tidak ada keluhan.
Pengunaan laxatif tidak ada.
3) Pola personal Hygiene frekuensi klien saat mandi 3 x/hari,
waktu mandi pada pagi dan sore hari, frekuensi oral hygiene 3
x/hari waktunya pagi hari dan sore hari, mengunakan shampo.
4) Istirahat dan tidur lama tidur siang 2 jam/hari, dan lama tidur
pada malam hari adalah 8 jam/hari. Adapun kebiasaan klien
sebelum tidur adalah berdoa.
5) Pola aktivitas dan latihan klien tidak bekerja, klien berolah
raga tidak ada, frekuensi olahraga tidak melakukan, keluhan
dalam beartifitas , klien mengatakan tidak ada keluhan.
6) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan klien mengatakan
tidak ada riwayat merokok, minum minuman keras/NAPZA
tidak mengkonsumsi.
II. Pengkajian Fisik
a. Saat dilakukan pemeriksaan fisik umum didapatkan berat badan
sebelum masuk rumah sakit 54 kg, dan setelah sakit 53 kg, tinggi
badan 160 cm, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 84 x/menit,
frekuensi nafas 21 x/menit, suhu tubuh 36.50 C, keadaan umum klien
tampak sakit sedang dan tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening.
b. Sistem Penglihatan, Posisi mata klien simetris, kelopak mata klien
normal, pergerakan bola mata klien simetris, konjungtiva klien
anemis, kornea klien normal, sklera klien ikterik, pupil saat diberikan
cahaya pupil mengecil (isokor), otot mata klien tidak ada kelainan,
fungsi penglihatan baik dan focus terhadap sasarannya, tanda-tanda
radang tidak ada, klien mengatakan tidak memakai kaca mata/ lensa
kontak, reaksi terhadap cahaya positif.
c. Sistem Pendengaran, daun telinga klien kanan dan kiri simetris, tidak
ada serumen pada telinga klien, kondisi telinga tengah normal, cairan
dari telinga tidak ada, tinitus tidak ada dan fungsi pendengaran
normal.
d. Sistem Wicara pada sistem wicara klien mengalami velo.
e. Sistem Pernafasan, Jalan nafas klien bersih, klien tidak mengunakan
alat bantu pernafasan, frekuensi nafas klien 21 x/menit, irama nafas
klien teratur, klien bernafas spontan, kedalaman nafas dalam, klien
mengatakan tidak ada batuk, sputum tidak ada, tidak ada darah, klien
tidak mengunakan alat bantu pernapasan
f. Sistem Kardiovaskuler, frekuensi nadi 84 x/menit, irama teratur,
tekanan darah 150/90 mmHg, distensi vena jugularis kanan dan kiri
tidak ada, temperatur kulit hangat, warna kulit kemerahan, pengisian
kapiler < 3 detik, tidak terdapat oedem pada tungkai bawah sebelah
kiri, kecepatan denyut nadi apikal 84 x/menit, irama teratur dan tidak
ada kelainan bunyi jantung. Klien mengatakan ada riwayat penyakit
jantung dan sakit dada pada saat beraktivitas yang berat.
g. Sistem Saraf Pusat, klien mengatakan sakit kepala, kesadaran klien
compos mentis, Glasgow Coma Scale : 15 ( E: 4 M: 6 V : 5) dan tidak
ada peningkatan tekanan intrakranial pada klien (muntah proyektil,
nyeri kepala hebat, pupil isokor). Sistem persyarafan cranial,
kelumpuhan ekstremitas pada tangan kanan dan kaki kanan. Reflek
fisiologis tidak normal pada tangan kanan dan kaki kanan. Reflek
patologis pada tangan kanan dan kaki kanan.
h. Sistem Pencernaan, keadaan mulut klien tidak ada caries, tidak
menggunakan gigi palsu, klien tidak ada stomatitis. Lidah klien
tampak kotor, saliva normal, klien tidak ada muntah, klien mengatakan
tidak ada nyeri pada bagian perut, bising usus klien 18 x/menit, tidak
ada diare dan konstipasi padat. Saat dilakukan palpasi abdomen
lembek dan hepar tidak teraba.
i. Sistem Endokrin, pada kelenjar thyroid tidak mengalami pembesaran
seperti (exoptalmus, diaporesis, tumor) nafas klien tidak berbau keton
dan klien tidak ada luka.
j. Sistem Integumen, turgor kulit klien elastis, dengan temperatur 36,5 0
C, warna kulit klien kemerahan, keadaan kulit baik, tidak terdapat
kelainan kulit pada klien. Keadaan rambut klien baik dan bersih.
k. Sistem Muskoloskeletal, klien mengatakan kesulitan dalam pergerakan
yaitu pada tangan dan kaki kanan, tidak ada kelainan bentuk tulang
sendi. Pada ekstremitas atas dan bawah sebelah kanan. Kelainan
struktur tulang belakang tidak ada.
l. Data Tambahan ( pemahaman tentang penyakit)
Keluarga klien mengatakan kurang mengerti tentang pengobatan
penyakit yang diderita klien. Keluarga selalu bertanya-tanya, meminta
informasi dan penjelasan dari dokter dan perawat, klien tampak
menyimak penjelasan yang di berikan dokter dan perawat.

III. Data Penunjang

Hematologi Hasil Nilai Normal


HB 12,5 13-18 /dl
HT 41,8 40-52 /dl
Eritrosit 4,07 4,3-6,0 /dl
Leukosit 8550 4.800-10.800 u/l
Trombosit 234000 150.000-400.000 u/l
Ureum 45 20-50 mg
Kreatinin 1,3 0,5-1,5 mg
Asam urat 3,7
Kolesterol 233

IV. Penatalaksanaan ( Therapi/ pengobatan termasuk diet)


1. Klien dapat therapy infuse : Ring As 500 mg/12 jam,
2. Obat-obat yang didapat klien :
a. Metformin 3 x 500 Mg
b. Cpg 1 x 75 Mg ( Tablet)
c. Ksr 2 x 1 Mg,
d. Piracetam 3 x 3 gram
V. Data Fokus

DATA FOKUS
Subjektif Objektif
- Tangan dan kaki kanan tidak -Kesadaran composmentis
-Lemah
dapat digerakan
-Kelumpuhan tangan dan kaki
- Pusing
- Badan terasa lemas kanan
- Aktifitas sehari- hari dibantu -kekuatan otot tangan dan kaki
keluarga kanan klien 0
- Personal hygiene ( mandi, -dibantu keluarga (makan,
BAB, BAK) dibantu mandi, BAB, BAK) dibantu
keluarga keluarga
- Klien dan keluarga -klien dan keluarga tampak
mengatakan kurang bingung saat ditanya
mengerti mengenai mengenai penyakit stroke.
-Hasil pemeriksaan TTV : TD :
perawatan penyakit yang
150/90 mmHg, N : 84
diderita klien.
x/menit, Rr : 21 x/menit,
Suhu : 36,50C, terpasang
IVFD Ring As 500 Ml/12 jam,
VI. ANALISA DATA

No Hari/Tanggal Data Fokus Etiologi Masalah Dx. Keperawatan


1. DS : Penurunan aliran darah Perubahan perfusi jaringan Perubahan perfusi serebral
- Lemah obstruksi arteri serebral berhubungan penurunan aliran
- Pusing
darah obstruksi/bekuan arteri.

DO :
- Keadaan klien
sedang, kesadaran
compos mentis
- Paralisis tangan dan
kaki kanan
- Observasi TTV :
TD :150/90 mmHg
N : 84 x/menit
Rr : 21 x/menit
S : 36,5 0C

2. DS : Kelemahan Keterbatasan aktifitas dan Keterbatasan aktifitas dan


- Lemas neoromuskuler merawat diri merawat diri berubungan dengan
- Tangan dan kaki kanan
kelemahan neoromuskuler
tidak dapat digerakan
- Aktifitas sehari-hari
seperti makan dan
minum dibantu
keluarga
- Personal hygiene
(Mandi, BAK, BAB)
dibantu keluarga
DO:
- Lemah
- Paralisis tangan dan kaki
kanan
- Kekuatan otot tangan
dan kaki kanan klien
masih 0
- Dibantu oleh keluarga
(makan, minum, BAB,
BAK) dibantu keluarga
3. DO : Tentan kondisi dan Kurang pengetahuan Kurang pengetauan tentang
- Klien dan keluarga pengobatan, prawatan, kondisi, pengobatan, perawatan,
mengatakan kurang rehabilitasi, tanda dan rehabilitas, tanda dan gejala
mengerti mengenai gejala komplikasi komplikasi.
perawatan penyakit yang
diderita klien
DS :
- Klien dan keluarga
tampak bingung saat
ditanya mengenai
penyakit stroke.

VII. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Perubahan perfusi serebral berhubungan penurunan aliran darah obstruksi/bekuan arteri.
2. Keterbatasan aktifitas dan merawat diri berubungan dengan kelemahan neoromuskuler
3. Kurang pengetauan tentang kondisi, pengobatan, perawatan, rehabilitas, tanda dan gejala komplikasi.
1.
VIII. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

4. 5. Hari 6. Dx 8. Tujuan dan


9. Intervensi 10. Rasional
No. /Tgl 7. Keperawatan Kriteria Hasil
11. 12. 1. Perubahan perfusi 14. Setelah - mengkaji dan evaluasi - Untuk mengetahui
serebral dilakukan tindakan perubahan perfusi perubahan selanjutnya
berhubungan keperawatan 3 x 24 jaringan serebral: yang lebih baik
- Untuk mengetahui
penurunan aliran jam, diharapkan tingkat kesadaran.
- mengobservasi tanda tanda-tanda vital yang
darah perubahan perfusi
tanda vital dialami pasien
obstruksi/bekuan jaringan serebral
- menganjurkan pasien - Untuk melatih
arteri. adekuat dengan kriteria
menggerakkan anggota kelenturan otot dan
13. hasil :
badan yang sakit 2 4 sebagai terapi
15. Kesadaran
x/jam penyembuhan
composmentis
- menganjurkan pasien - Menganjurkan pasien
- Kaji dan
untuk bad rest untuk bed rest fungsinya
evaluasi
- mengolaborasikan
agar pasien bisa istirahat
perubahan
dengan dokter dalam
total
perfusi
penganan medis dan
jaringan :
pemeriksaan.
tingkat
kesadaran.
16. Tanda vital
dalam batas
normal
- Obsrvasi tanda
tanda vital
17. Fungsi
sensorik
dan
motorik
meningkat
- Observasi dan
minta klien
melaporkan
sensasi yang
tidak biasa/baru
dirsakan
berbeda
misalnya
kesemutan,
kebas,
penurunan
kemampuan
mengerakkan
jari, nyeri yang
tidak hilang.
- Observasi dan
minta klien
melaporkan
akibat
penurunan
perfusi
serebral :
gangguan
mental (cemas,
binggung),
pingsan, reaksi
pupil terhadap
cahaya,
penglihatan
kabur, nyeri
kepala, gerakan
bola mata).
- Cegah
peningkatan
suhu tubuh
- pertahankan
jalan nafas yang
adekuat, beri
posisi head up
35 45 derajat
(leher lurus
dengan tulang
belakangan),
monitor status
neurology dan
tanda tanda
TIK.
- Anjurkan untuk
bed rest
18. 19. 20. Keterbatasan 21. Setelah - mengkaji keterbatasan - Untuk mengetahui
2. aktifitas dan dilakukan aktivitas yang di alami keterbatasan fisik pasien
- mengajarkan untuk - Untuk melatih
merawat diri tindakan
melakukan latihan perkembangan mobilitas
berubungan keperawatan
rentang gerak aktivitas fisik pasien
dengan selama 3 x
- Untuk membantu pasien
aktif/pasif pada anggota
kelemahan 24 jam
dalam bergerak karena
yang sehat
neoromuskul diharapkan
- memberi dorongan kelemahan otot
er peningkatan
penggunaan anggota
mobilitas
gerak yang sakit /
sampai
lemah jika
dengan memungkinkan.
maksimal Gunakan lengan yang
diharapkan tidak sakit untuk
pasien: melatih lengan yang
22. Tampak sakit/lemah
- membantu pemenuhan
peningkata
kebutuhan klien,
n mobilitas
libatkan keluarga jika
- Kaji keterbatasan
perlu
aktivitas yang di
- mengkolaborasi dengan
alami
medis untuk penangan
- Cegah komplikasi
medis dan fisioterapi.
imobilitas: ganti
posisi, latih
pernafasaan, jaga
kebersihan kulit.
- Melakukan
mobilisasi
progresif
- Ajarkan klien
tindakan
kewaspadaan
keamanan:
lindungi daerah
yang mengalami
penurunan sensasi
dari panas/dingin
yang berlebihan,
latih jatuh dan
bagaimana bangun
dari jatuh,
meletakkan
anggota gera
dengan tepat,
memeriksa alat
bantu yang
digunakan.
23. Kekuatan
otot
meningkat
- Beri dorongan
penggunaan
anggota gerak
yang sakit / lemah
jika
memungkinkan.
Gunakan lengan
yang tidak sakit
untuk melatih
lengan yang
sakit/lemah
- Observasi status
penyebab
kerusakan
mobilitas fisik:
tingkat kerusakan
neuromuskuler,
kondisi klien
akibat peningkatan
TIK
- Bantu pemenuhan
kebutuhan klien,
libatkan keluarga
jika perlu
- Minimalkan
perlukaan dan
penekanan pada
anggota tubuh
yang sakit/lemah.
24. 3 25. 26. Kurang 27. Setelah - mengaji tingkat - Memberikan pengarahan
. pengetahuan dilakukan tindakan pengetahuan klien / kepada pasien dan
tentang keperawatan selama keluarga keluarga tentang
- memberikan dan
kondisi, 3 x 24 jam pengetahuan Stroke Non
memfasilitasi
pengobatan, diharapkan klien dan Hemorogic
kebutuhan informasi - Agar pasien dan
perawatan, keluarga tahu dan
yang cukup untuk klien keluarga terfasilitasi
rehabilitasi, mengerti tentang
dan keluarga untuk sehingga membantu
tanda dan informasi yang
menunjang dalam perawatan pasien
gejala, diberikan dengan
- Agar keluarga pasien
pengetahuannya
komplikasi, kriteria hasil :
- memberikan dapat menggali
28. Klien dan
ditandai
kesempatan bertanya pengetahuan tentang
keluarga dapat
dengan
dan melibatkan perawatan pasien
tahu penyebab yang
keluarga pasien dalam lebihndalam
terjadi yang sudah
31.
perawat yang belum
dijelaskan
- Kaji tingkat diketahui
- menjelaskan kepada
pengetahuan klien /
pasien dan keluarga
keluarga
- Beri dan fasilitasi mengenai perawatan
kebutuhan informasi pasien, pengobatan apa
yang cukup untuk yang harus dilakukan
klien dan keluarga serta tanda dan gejala
- Beri pujian dan
yang menyerang
dorongan untuk pasien.
30.
tindakan / kegiatan
positif yang
menyangkut
kesehatan yang
dilakukan klien /
keluarga.
29. Klien
mematuhi aturan
pengobatan dan
perawatan
- Klien mematuhi
aturan pengobatan
dan perawatan
- Identifikasi factor
penyebab/penunjang
yang dapat
menghalangi
penatalaksanaan
efektif
(kesadaran/kemauan
, pengetahuan,
dukungan, dan
sumber).
- Beri kesempatan
bertanya dan
libatkan dalam
perawatan
- Jelaskan / ajarkan
tentang : perawatan,
rehabilitasi, tanda
dan gejala,
komplikasi,
pengobatan, dan
kondisi ( kolaborasi
dengan dokter).
32. DAFTAR PUSTAKA

33.

34. Agustina R.,R. 2014. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
dalamhttp://repository.wima.ac.id/3139/3/Bab%202.pdf

35. Latifah L. 2016. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9422/4%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

36. Sofyan A.,M. 2015. Hubungan Umur, Jenis Kelamin, Dan Hipertensi Dengan
Kejadian Stroke. Diakses pada tanggal 28 April 2017 dalam
file:///C:/Users/DEWI/Downloads/182-514-1-PB.pdf

37. Ghani L. 2016. Faktor Risiko Dominan Penderita Stroke Di Indonesia (Dominant
Risk Factors Of Stroke In Indonesia). Diakses pada tanggal 28 April 2017 dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=434745&val=4882&title=Faktor
%20Risiko%20Dominan%20Penderita%20Stroke%20di%20Indonesia

38. Ginsberg L. 2008. Lecture Notes Neurologi. Erlangga : Jakarta

39. Smeltzer, Suzanne C. 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. EGC, Jakarta.

40. Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

41. Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Sistem Persyarafan.


Jakarta: Sagung Seto

42. Prakasita Masayu. 2014. Laporan Karya Tulis Ilmiah BAB II. Diakses dari:
eprints.undip.ac.id Pada tanggal 1 Mei 2017 Pukul 08.13 WIB.

43. Wijaya, Aji Kristianto. 2013. Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik Akibat Trombus.
Diakses pada 29 April 2017, dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=82595&val=970

44. Firdayanti. 2014. Laporan PendahuluanStroke Non Hemoragik (SNH). Diakses Pada
28 April 2017, dari:
https://Www.Academia.Edu/10077081/LAPORAN_PENDAHULUAN_KLIEN_DEN
GAN_STROKE_NON_HEMORAGIK_SNH

45. Jauch, Edward C. 2016. Ischemic Stroke. Diakses pada 28 April 2017, dari:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-followup

46. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita selekta


kedokteran fkui jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000; hal. 17-18.

47. Simangunsong. (2011). Gambaran Profil Lipid pada Penderita Stroke di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Diakses pada 30 April 2017 dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21421/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=6D83DFD463E04EDB88052197F1B00726?sequence=4

48. Samiadi. (2017). Angiografi Serebral. Diakses pada 10 Mei 2017 dari :
https://hellosehat.com/angiografi-cerebral/

49. Setyadi, Imam M. 2014. Kajian Asuhan Keperawatn Pasien Dengan


Gangguan Mobilisasi Pada Penyakit Stroke Non Hemoragik di RSUD Dr.
Moewardi. Diakses pada 30 April 2017. Diakses dari :
http://stikespku.com/digilib/files/disk1/2/stikes%20pku--imammasyku-
85-1-imammas-i.pdf

50. Agustina, R Ruth. 2014. Studi Penggunaan Angiostensi Reseptor Bloker (ARB) Pada
pasien Stroke Rawat Inap di RSU. Dr Saiful Anwar Malang. Diakses pada 30 April
2017. Diakses dari : http://repository.wima.ac.id/3139/3/Bab%202.pdf

51. Fitriani, Ni Luh Eka T. 2016. Pengaruh Stimulasi Dua Dimensi Terhadap Kekuatan
Otot Ekstremitas Atas Pasien Stroke Non Hemoragik Di Rsup Sanglah
Denpasar.Diakses pada 30 April 2017. Diakses dari :
erepo.unud.ac.id/17414/3/1102106073-3-BAB%20II.pdf

52. Latifah L. 2016. BAB II Tinjauan Pustaka. Diakses pada tanggal 28 April 2017
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/9422/4%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

53.
54.

55.

56. STROKE NON HEMORAGIK

57. Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Keperawatan Dewasa II

58. Dosen Pembimbing: Dr. Untung Sujianto, S.Kp.M.Kes

59. Disusun oleh:

60. Indun Candra Kirana 22020115120027

61. Melinda Kumalasari 22020115130082

62. Halimah Wenny Yuliana A 22020115120032

63. Yulita Intananda Pamungkas 22020115120018

64. Ika Rahmawati 22020115120005

65. Muliawati Nugrahaningtyas 22020115120047

66. Yuni Purnama Sari 22020115130072

67. Anastariva Ambar Vianingsih 22020115120056

68. Aulia Nur Prasetya 22020115120035

69. A.15.1

70. DEPARTEMEN KEPERAWATAN

71. FAKULTAS KEDOKTERAN


72. UNIVERSITAS DIPONEGORO

73. 2017

Anda mungkin juga menyukai