Anda di halaman 1dari 11

Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Pencemaran Limbah Industri Kulit di Sungai

Gandong Kabupaten Magetan

Siti Elfiyanti*

(2040520027)

Abstrak

Air adalah sumber kehidupan, keberadaanya sangat penting untuk keberlangsungan


seluruh makhluk hidup di bumi. Karena manfaatnya yang begitu penting sudah semestinya
kualitas, kuantitas dan kelestariannya tetap terjaga. Akan tetapi di era modernisasi dimana
kegiatan pembangunan dan industri semakin pesat dilakukan oleh manusia, kegiatan tersebut
tidak hanya membawa dampak positif tetapi diantaranya juga membawa dampak negatif.
Salah satunya adalah pencemaran air sungai akibat limbah.

Pencemaran air di Kabupaten Magetan terjadi di Sungai Gandong akibat limbah


bahan berbahaya dan beracun dari Lingkungan Industri Kulit Kabupaten Magetan (LIK
Magetan) sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Padahal air sungai tersebut banyak
digunakan oleh warga Magetan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum,
mandi, mencuci, kakus, dan irigasi pertanian.

Untuk mengatasi masalah pencemaran air sungai di Sungai Gandong, dibutuhkan


kebijakan pemerintah sebagai pengendali pencemaran. Dengan menggunakan teori politik
hijau dan pembangunan berkelanjutan, penulisan ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan
pemerintah dalam perspektif ekologi.

Kata kunci: Kebijakan pemerintah, Pencemaran limbah di air sungai.

Pendahuluan

Pencemaran oleh limbah industri/pabrik pada lingkungan bukanlah hal yang asing lagi
untuk didengar di telinga kita. Terlebih pada era modern saat ini, dimana industri berkembang
sangat pesat dengan penggunaan teknologi canggih yang diterapkan. Ada dua sisi yang akan
didapatkan dari pemanfaatan penerapan teknologi dalam proses produksi yaitu di satu sisi
penggunaan teknologi dalam industri akan memudahkan pekerjaan dan memberikan efesiensi
waktu dan biaya produksi. Akan tetapi disisi lainnya apabila tidak teliti dalam
pengelolaannya maka penerapan teknologi akan membawa dampak buruk terutama pada
lingkungan sekitar. Industri yang dalam proses produksi barangnya menggunakan teknologi
bahan kimia dan mesin memiliki potensi besar untuk menghasilkan limbah industri yang
berbahaya bagi lingkungan di sekitar. Apabila tidak diolah dan dilakukan penanganan dengan
baik maka hasilnya akan terjadi pencemaran lingkungan akibat limbah tersebut.

Pencemaran lingkungan memiliki pengertian perubahan mutu dari lingkungan akibat


adanya zat-zat lain yang bersifat parasit atau merusak tatanan ekosistem makhluk hidup, air,
udara dan tanah atau lain-lainnya. Sedangkan limbah adalah hasil dari suatu proses kegiatan
produksi yang tidak memiliki nilai lagi baik nilai ekonomis ataupun nilai gunanya. Untuk
limbah industri sendiri memiliki berbagai karakteristik dan kategori tingkatan yang
bermacam-macam tergantung dari jenis dan sumbernya. Kedua hal ini, yaitu peristiwa
pencemaran dan limbah sering disebut juga dengan peristiwa polusi.

Salah satu daerah yang memiliki kawasan perindustrian adalah Kabupaten Magetan.
Magetan merupakan daerah yang terkenal akan pengrajin kulit dengan kualitas yang sangat
baik. Akan tetapi industri kulit yang ada di wilayah kabupaten Magetan ini masih mengalami
banyak permasalahan, utamanya dalam penanganan limbah industri yang dihasilkan karena
limbah industri dari kulit yang dihasilkan termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya
dan beracun. Berdasarkan penelitian Cahyono (dalam Rahayu, 2015) limbah industri kulit di
Kabupaten Magetan mengandung amonia yang tinggi. Amonia tersebut dihasilkan dari proses
penyamakan kulit dan termasuk dalam limbah berbahaya dan beracun. Hasil studi terdahulu
yang dilakukan oleh Rahayu (2015) menunjukkan bahwa kadar amonia di Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) industri kulit Magetan yang dibuang ke sungai Gandong
sebesar 37,93 mg/l, dimana angka tersebut melebihi standar baku mutu air limbah. Padahal
seharusnya dengan adanya IPAL maka limbah kulit yang dibuang akan lebih aman dan
berkurang secara kuantitas.

Bukan hanya amonia yang tinggi, menurut Astuti (2009) limbah yang dibuang di
Sungai Gandong juga mengandung kapur, khorm dan sulfidat. Unsur-unsur kimia tersebut
juga termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun yang dapat mengurangi kualitas air
dalam sungai. Perubahan kualitas yang terjadi dalam air sungai nantinya akan mempengaruhi
kehidupan ekosistem atau biota sungai dan masyarakat sekitar yang setiap harinya selalu
memanfaatkan air sungai dalam berbagai aktifitasnya.

Akibatnya, air sungai Gandong yang ada di wilayah Kecamatan Magetan berbau,
berwarna hitam dan ikan-ikan banyak yang mati. Selain itu banyak warga sekitar kawasan
industri terkena sesak nafas dan asma akibat pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan
banyak warga Kecamatan Magetan menggunakan air sungai untuk kegiatan sehari-hari
seperti untuk mandi, mencuci, dan kakus. Perubahan kualitas air ini sangat dirasakan oleh
masyarakat sekitar industri terutama masyarakat Desa Ringinagung dan Tambakrejo yang
jaraknya cukup dekat dengan pabrik industri kulit (Dwitawati, 2015).

Pencemaran Sungai Gandong ini sudah berlangsung cukup lama dengan masyarakat
yang juga sudah melakukan protes akan tetapi tanggapan dari pemerintah belum dirasa
signifikan. Padahal dalam rangka otonomi daerah, masalah pencemaran dan kerusakan
lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka dari itu
tulisan ini dirasa penting oleh penulis karena pemerintah adalah satu-satunya yang memiliki
kebijakan atau wewenang resmi untuk mengontrol, memonitoring dan mengevaluasi kegiatan
industri yang ada diwilayahnya.

Tujuan dari essai ini didasarkan pada permasalahan pencemaran air Sungai Gandong
di Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan untuk memahami pentingnya mengatasi
pencemaran limbah dan sejauh mana kebijakan pemerintah Magetan dalam mengatasi limbah
di air Sungai Gandong dilhat dari perspektif ekologi. Yang mana air adalah sumber kehidupan
bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Meskipun masuk sebagai salah satu sumber daya alam
yang dapat diperbarui, menjaga kualitas dan kuantitas air tetap stabil adalah hal yang mutlak
dan harus tetap dilakukan untuk menjaga keberlanjutannya. Lebih utamanya, air Sungai
Gandong dijadikan sebagai salah satu sumber air bagi masyarakat Kabupaten Magetan. Maka
sudah seharusnya air Sungai Gandong bebas dari pencemaran limbah industri kulit yang
berbahaya dan beracun.

Oleh karena itu, tulisan dalam essai ini akan dibagi menjadi tiga bagian untuk
mencoba menjawab pertanyaan tentang dampak pencemaran limbah di Sungai Gandong dan
sejauh mana kebijakan pemerintah dalam mengatasinya. Pada bagian pertama akan dijelaskan
latar belakang penulisan essai lalu kedua menganalisis data di pembahasan. Selanjutanya
yang terakhir yaitu penutup dengan menuliskan kesimpulan beserta saran.

Pembahasan

Kabupaten Magetan merupakan kabupaten yang memiliki luas terkecil kedua di


Provinsi Jawa Timur dan terletak di ujung barat berbatasan dengan Jawa Tengah. Sebagian
masyarakatnya bekerja sebagai petani karena letak geografisnya yang cocok untuk bercocok
tanam. Masyarakat disana dikenal dengan masyarakat yang masih tradisional dengan tetap
menfaatkan alam secara langsung untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Tak terkecuali
memanfaatkan air sungai sebagai andalan untuk memenuhi kebuhan air mereka. Di
kabupaten Magetan terdapat enam aliran sungai dengan Sungai Gandong sebagai sungai
terluas. Sungai ini merupakan sungai yang terkenal di wilayah Magetan karena aliran
sungainya melintasi wilayah tengah Kabupaten Magetan. Maka tidak mengherankan lagi air
tercemarnya air Sungai Gandong dengan limbah bahan berbahaya dan beracun akibat dari
adanya limbah hasil penyemakan industri kulit menimbulkan keresahan masyarakat
Kabupaten Magetan.

Industri kulit yang ada di Kabupaten Magetan merupakan bagian dari Dinas Industri
dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Timur sebagai unit pelaksana teknis yang terletak di
Desa Ringinagung Kecamatan Magetan. Kawasan industri ini memiliki luas area empat
hektar dan sering dikenal/disebut dengan UPT LIK Magetan atau kepanjangan dari Unit
Pelaksana Teknis Lingkungan Industri Kulit Kabupaten Magetan. UPT ini sudah berdiri sejak
tahun 1981 dan telah beroperasi selama 36 tahun sampai saat ini tahun 2017. Didalamnya
juga tercatat terdapat Pabrik Kulit Carma Wira Jawa Timur yang merupakan bagian dari
Badan Usaha Milik Dearah Provinsi Jawa Timur (BUMD Jatim). Pada awalnya limbah yang
dihasilkan oleh UPT dan pabrik ini tidak menjadi masalah bagi masyarakat disekitar Sungai
Gandong. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu dan produksi industri kulit yang semakin
meningkat maka mulailah pencemaran air akibat pembuangan limbah di Sungai Gandong
dirasakan. Masyarakat yang selama ini mengutamakan air sungai untuk kebutuhannya mulai
terusik akan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh limbah industri kulit tersebut.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan diatas bahwa limbah yang
dihasilkan oleh UPT LIK Magetan ini mengandung unsur B3 yaitu limbah dari bahan yang
berbahaya dan beracun. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengeloaan Lingkungan Hidup, pada pasal 58 ayat (1) dan 59 ayat (1) telah
jelas diatur bahwa setiap orang yang mengelola dan menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah dari B3 yang dihasilkannya. Terkait pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun dilakukan agar limbah tesebut tidak mencemari lingkungan
karena jenis dari limbah B3 adalah merusak dan membahayakan kelangsungan hidup
masnusia dan makhluk lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaannya
sendiri sudah diatur dalan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Keresahan yang dirasakan warga ini dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkan
semakin meresahkan dari adanya limbah B3 yang masuk ke air sungai membuat Sungai
Gandong tercemar parah. Dampak negatif tersebut adalah pertama air sungai berbau. Bau air
sungai ini sangat mengganggu aktivitas warga yang ada di aliran Sungai Gandong. Tidak
hanya mengganggu, bau yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat seperti
masayarakat yang merasakan sesak nafas di dada, mual dan pusing. Bau yang tidak sedap
bisa muncul kapan saja dan tidak dapat diprediksi. Hal ini dikarenakan dari pabrik industri
kulit tidak memberikan informasi terkait limbah kulit yang dibuang di aliran Sungai Gandong
Apabila ini terus berlanjut maka masyarakat dapat berpotensi untuk terjangit penyakit yang
lebih serius akibat racun unsur kimia dari limbah yang dihirupnya.

Kedua adalah air Sungai Gandong bewarna hitam atau keruh, dengan adanya
perubahan warna dan bau ini membuat masyarakat Sungai Gandong tidak dapat
memanfaatkan lagi air sungai untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, mencuci,
mandi dan kakus. Karena pada umumnya struktur masyarakat Kabupaten Magetan masih
kental dengan nuansa tradisional dan daerah pedesaan, banyak dari warganya masih
memanfaatkan air sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, air sungai disana
juga digunakan sebagai sumber irigasi persawahan dan kebun oleh para petani. Air bersih dari
sungai sudah menjadi bagian penting dari masyarakat disana untuk dimanfaatkan, mulai dari
untuk memenuhi kebutuhan pribadi sampai kebutuhan bersama.

Selanjutnya dampak ketiga adalah dampak untuk ekosistem air sungai di Sungai
Gandong dimana dikhawatirkan oleh masayarakat akan semakin rusak. Hal ini dikarenakan
ikan yang ada disekitar sungai ditemukan mati setiap limbah dari industri kulit dibuang ke
sungai. Ikan-ikan yang hidup di sungai tersebut mati karena keracunan akibat pencemaran air
sungai yang sudah tidak dalam batas wajar. Jika ini terus terjadi biota ikan akan punah
dengan seiring waktunya dan mengganggu ekosistem sungai serta hewan lainnya.

Dampak selanjutnya adalah dampak yang didapatkan oleh Kabupaten Magetan secara
sosial yaitu berkurangnya nilai keindahan dari Kabupaten Magetan karena adanya bau
menyengat dan warna air yang berubah saat melintasi Kabupaten Magetan. Hal tersebut dapat
berdampak jelek pada image dari Kabupaten Magetan dan dapat mengurangi jumlah
wisatawan yang datang. Dimana Magetan juga terkenal dengan daerah pariwisata yang
didatangi oleh pengunjung dari luar daerah/kota. Serta dapat menghambat ikon Kota Magetan
sebagai ikon kota pariwisata.
Pada dasarnya manusia dan alam memiliki hubungan saling keterkaitan yang sangat
erat, Manusia membutuhkan alam begitupun alam membutuhkan manusia akan tetapi apa
yang terjadi adalah justru kebalikannya. Alam dijadikan objek oleh manusia dan dipaksa
untuk memenuhi keinginan pribadi tanpa ada timbal balik yang menguntungkan terhadap
lingkungan sehingga alam menjadi rusak. Berawal dari hal inilah muncul konsep ekologi
politik yang menjadi paradigma baru bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan dalam
mengelola ataupun memanajemen sumberdaya yang ada di daerahnya (Jati,2013). Bukan
hanya mengelola sumberdaya alam akan tetapi juga harus memberikan kebijakan yang dapat
mengendalikan kerusakan alam seperti pencemaran lingkungan, polusi, dan hal-hal lainnya
yang mengancam kelestarian alam.

Pemerintah Kabupaten Magetan dalam mengatasi pencemaran oleh limbah industri


dan pabrik kulit ini melalui Badan Lingkungan Hidupnya melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan oleh UPT LIK-Magetan. Selain itu
pemerintah provinsi Jawa Timur selaku pemilik UPT dan BUMD, membuat IPAL atau
Instalasi Pengelolaan Air Limbah untuk mengelola limbah B3 yang dihasilkan. Untuk
mendukung fungsi IPAL dan mengatasi pencemaran, Pemerintah Magetan membuat program
jangka pendek dan jangka panjang. Program jangka pendeknya adalah mengoptimalkan IPAL
dari LIK, dan membangun IPAL baru untuk menambah volume limbah yang dapat diolah.
Kemudian untuk jangka panjang pemerintah Magetan berencana membuat kawasan baru dan
melakukan relokasi LIK, lalu yang kedua adalah menyusun ulang pengelolaan limbah agar
lebih sistematis dan sesuai dengan peraturan. Program ini dilaksanakan dengan bekerjasama
antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat provinsi. Akan tetapi pemerintah Magetan
mengakui adanya hambatan utama dalam melaksanakan kebijakan dan program tersebut
dikarenakan keterbatasannya dana dan kurangnya sumberdaya manusia (Astuti, 2009).

Untuk menganalisis kebijakan pemerintah dalam menangani limbah, penulis


menggunakan teori politik hijau dan teori pembangunan yang berkelanjutan. Dalam
kebijakan pemerintah menurut Dharmawan (dalam Amalia, 2013) tedapat ruang konflik yang
digunakan untuk memproses dan membuat perumusan kebijakan dengan mengikutsertakan
beragam kepentingan. Lalu ruang kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah selaku
pemegang jabatan digunakan untuk menjalankan kebijakan yang telah dibuat. Kemudian,
kepentingan dari para aktor ekonomi yang didasarkan pada pengambilan untung yang
sebesar-besarnya. Sehingga apabila tujuan pembangunan menitikberatkan pada aspek
keuntungan yang besar maka tidak aneh/mengherankan lagi jika aspek lingkungannya akan
terabaikan. Tentunya hal ini mendakan bahwa ada hubungan erat dengan dibangunnya suatu
industri di sebuah tempat dengan pencemaran lingkungan yang ada akibat dari hasil limbah
produksi industri ditempat tersebut.

Hal ini dapat diartikan pula bahwa ada hubungan dan kerjasama antara para politisi,
birokrat selaku pemerintah dan pengusaha yang semakin memperburuk kondisi lingkungan
dikarenkan hubungan dari ketiganya tidak memperhatikan sisi lingkungan maupun
keterbatasan sumberdaya alam yang ada. Menurut Dharmawan (dalam Amalia, 2013) dari
keadaan ini disimpulkan bahwa ada kegagalan system yang tejadi dalam mengatur
sumberdaya alam dengan pembangunan yang dilaksanakan. Kemudian, adanya ketimpangan
dalam pertukaran system ekologi dimana harusnya ada hubungan timbal balik antara manusia
dengan alam tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Ketimpangan ini menyebabkan dampak
negatif dan gangguan pada ekosistem akibat ketidakseimbangan alam.

Melalui teori politik hijau, adanya fenomena diatas menjelaskan bahwa ada
keterlibatan peran pemerintah dalam persoalan kerusakan lingkungan. Selanjutnya Dobson
(dalam Al Halim, 2014) menjelaskan bahwa tujuan politik hijau terdiri dari dua hal yaitu
konsumsi alat industri yang harus dikurangi dan beralih ke pembangunan yang berkelanjutan.
Ide ini tercetus karena sebagian besar kawasan Eropa lingkungannya mengalami kerusakan
dan pencemaran sejak adanya revolusi industry abad ke 18. Selanjutnya dalam politik hijau,
pemerintah dituntut untuk peka terhadap permasalahan polusi, pencemaran dan kerusakan
lingkungan sehingga nantinya dalam membuat kebijakannya dapat dihasilkan peraturan yang
positif yaitu meningkatkan kualitas hidup bagi keberlanjutan lingkungan dan sumberdaya
alam yang ada.

Amalia (2013) mengungkapkan ada dua alasan mengapa masalah lingkungan harus
menjadi konsentrasi dari pihak pemerintah dan masuk dalam menyusun proses kebijakan
yaitu yang pertama adalah semua yang ada di bumi ini adalah anugrah dari Tuhan yang harus
dijaga kelestariaannya. Sumberdaya alam yang ada juga memiliki fungsi yang sangat penting
dalam memenuhi sumber enegi dan kehidupan manusia. Baik itu air, tanah, udara, hutan dan
hewan memiliki fungsi penopang kehidupan bagi keberlanjutan hidup manusia. Apabila ada
kerusakan atau terjadi ketidakseimbangan diantaranya maka akan terjadi bencana alam yang
merugikan dan berdampak langsung maupun tidak langsung pada manusia. Kedua,
pemerintah selaku pemegang otoritas sudah wajib untuk mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan yang ada dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (masyarakat). Di
Indonesia sendiri hal tersebut sudah tercantum dalam Undang-Undang 45. Dengan
melakukan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan masyarakat
maka pemerintah bertanggungjawab atas pemenuhan hak warga negaranya.

Politik Hijau menurut Dobson (dalam Halim, 2014) dapat dilakukan melalui
perubahan pemikiran dan tindakan sosial. Sehingga tidak dapat dielakkan bahwa meskipun
kebijakan pemerintah yang mengatur tentang kepentingan lingkungan agar lestari dan tidak
rusak namun pada nyatanya kerusakan alam masih berlanjut. Maka dengan teori ini
pemerintah Kabupaten Magetan dan Provinsi Jawa Timur harus membuat saluran yang dapat
merubah pemikiran dan tindakan sosial baik dari politisi pemerintah, birokrasi dan aktor
ekonomi serta melibakan masyarakat untuk memperjuangkan keberlanjutan lingkungan.

Selajutnya dilihat dari teori pembangunan yang berkelanjutan maka


pemerintah dalam melakukan pembangunan harus memperhatikan sisi
lingkungan, ekonomi dan inklusi sosial agar terciptanya keseimbangan diatara
ketiganya. Menurut WCED (dalam Sachs, 2015) pembangunan berkelanjutan adalah
proses pembangunan yang menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Teori ini dicetuskan oleh
Brudsland, karena melihat kondisi alam yang semakin rusak seperti menipisnya CO2, adanya
hujan asam dan adanya externalitas yang diakibatkan oleh berdirinya sebuah
perusahaan/industry.

Paradigma ini melihat bahwa dalam rangka meningkatkan perekonomian di sutu


negara atau daerah dengan membangun sebuah industri ataupun pabrik, pemerintah tidaklah
mengesampingkan lingkungan dan inklusi sosial. Jadi nanti hasilnya akan diperoleh keadaan
dimana suatu daearah ekonominya naik tetapi lingkungan tidak rusak dan semua masyarakat
terlibat dalam pembangunannya. Serta dilihat dari keterbatasan planet kita yaitu bumi dalam
bukunya Sachs Jeffrey (2015) menjelaskan permasalahan batas planet yang salah satunya
adalah terjadinya krisis air karena penggunaan yang berlebihan dan pencemaran. Seperti apa
yang terjadi di Kabupaten Magetan, air yang harusnya dapat dikonsumsi oleh masyarakat
tetapi akibat pencemaran limbah maka tidak dapat digunakan. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan krisis air, terutama air bersih dikawasan yang terdampak limbah. Maka dari itu
untuk menyelesaikan permasalahan limbah yang terjadi di Magetan dapat diselesikan dengan
pemerintah dalam menyusun kebijakannya melihat sisi lingkungan, ekonomi, dan inklusi
sosial.
Berdasarkan dua teori diatas, kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan
limbah bahan berbahaya dan beracun di Kabupaten Magetan sudah menggunakan kebijakan
yang memberi perhatian pada sisi lingkungan yaitu adanya peraturan terkait lingkungan
hidup dan pengelolaan limbah serta program pendukung. Dalam pembangunan industri LIK-
Magetan juga sudah memperoleh izin yang resmi dan membangun IPAL sebagai syarat untuk
sarana pengolah limbah B3. Akan tetapi pada nyatanya pencemaran air Sungai Gandong
masih terus terjadi dan semakin mengkhawatirkan. Meminjam teori dari buku Purnomo dan
Dkk (2016) terkait konsep kelembaman birokrasi yang terjadi pada pemerintah, adanya
permasalahan yang tidak selesai dalam suatu kasus padahal kasus tersebut sudah terjadi
berulangkali atau terus menerus maka kelembaman birokrasi bisa menjadi penyebab
utamanya. Kelembaman birokrasi memiliki pengertian lambannya penanganan dari
pemerintah terhadap kejadian atau bencana yang rutin terjadi.

Dari hal tersebut dapat dianalisis bahwa penanganan kebijakan yang diambil oleh
Kabupaten Magetan dalam menangani kasus pencemeran air Sungai Gandong mengalami
kelembaman. Dari data Astuti (2009) didapatkan permasalahan pencemaran air Sungai
Gandong sudah ada sejak tahun 2000. Akan tetapi kinerja dan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi pencemaran masih belum optimal dengan alasan faktor penghambat yang ada.
Purnomo dan Dkk (2016) dalam bukunya ekologi pemerintahan terkait tata kelola dan
kelembaman birokrasi menyatakan bahwa pemerintah dalam pernyataannya memang
seringkali menyalahkan dengan mengatakan kekurangan SDM, dana dan luasnya lahan yang
dikelola sebagai kambing hitam dari kelembaman yang terjadi di birokrasinya.

Penutup

Berdasarkan permasalahan lingkungan yang ada, baik pencemaran, polusi maupun


kerusakan lingkungan untuk mengatasinya adalah dengan memasukkan permasalahan
lingkungan dalam ranah politik. Yakni pembangunan yang ada di daerah didasarkan pada
kebijakan yang berwawasan politik hijau dan berkelanjutan. Secara umum, Pemerintah
Kabupaten Magetan dan Provunsi Jawa Timur dalam mengatasi permasalahan pencemaran
air Sungai Gandong yang diakibatkan dari adanya limbah bahan berbahaya dan beracun dari
Lingkungan Industri Kulit dan Pabrik Kulit di Magetan melalui kebijakan yang berwawasan
lingkungan. Akan tetapi dalam implementasinya belum dirasa maksimal karena pencemaran
air sungai dalam tahap mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari dampak yang telah
ditimbulkan oleh pencemaran air yang dirasakan oleh warga yang berada di aliran sungai.
Tidak hanya masyarakat, dampak yang ditimbulkan adalah juga dapat menghambat Magetan
sebagai ikon kota pariwisata karena bau busuk limbah yang sangatn menyengat.

Penulis melihat bahwa pemerintah Kabupaten Magetan belum menerpakan politik


hijau dan pembangunan yang berkelanjutan dalam pengelolaan LIK-Magetan sehingga
dihasilkan kebijakannya belum efektif dalam mengatasi permasalahan pencemaran air Sungai
Gandong akibat limbah bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh UPT LIK-
Magetan. Misalnya dalam hal kebijakan untuk mengurangi bahan kimia dalam proses
penyemakan kulit, melibatkan partisipasi masyarakat maupun bekerjasama dengan swasta
dalam hal pengelolaan limbah karena menurut Ostrom (dalam Purnomo, dkk, 2016) dalam
mengelola sumberdaya alam dan masalah lingkungan dapat sukses apabila para pemangku
kepentingan dapat bekerjasama sesuai konteksnya.

Saran dari penulis adalah perlunya kesimbangan dalam perumusan kebijakan untuk
mengatasi pencemaran air, baik dari lingkungan, ekonomi, dan sosial, serta memperhatikan
keterbatasan air untuk menerima limbah yang dibuang. Sinergi kebijakan antara pemerintah
Kabupaten Magetan dan Provinsi Jawa Timur haruslah ditingkatkan untuk segera mengatasi
pencemaran air Sungai Gandong saat ini dan membuat kebijakan pembangunan yang
berkelanjutan untuk diterapkan dalam LIK-Magetan. Selanjutnya, pemerintah tidak hanya
fokus pada tahap mengatsi pencemaran air limbah tetapi juga harus berfkokus pada tahap
pencegahan untuk tidak terjadinya kembali pencemaran air Sungai Gandong, Serta
melakukan pengawasan ketat dengan memberikan sanksi tegas pada pelanggaran yang
dilakukan oleh LIK-Magetan

Daftar Pustaka

Al Halim, M. T. (2014). Strategi LSM Lingkungan Dalam Penyelamatan Hutan Mangrove di


Surabaya (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Amalia, G. R. (2013). Peran Stakeholder Dalam Implementasi Kebijakan Pengendalian
Pencemaran Air Sungai Di Kota Surabaya. Media Jurnal Politik Muda, 2(2), 65-71.
Astuti, A. D. (2009). Pengaruh Pembuangan Limbah Penyamakan Kulit Terhadap Kualitas
Air Sungai Gandong Kabupaten Magetan. SKRIPSI Jurusan Geografi-Fakultas Ilmu
Sosial UM.
Dwitawati, D. A., Sulistyarsi, A., & Widiyanto, J. (2015). Biomonitoring Kualitas Air Sungai
Gandong Dengan Bioindikator Makroinvertebrata Sebagai Bahan Petunjuk Praktikum
Pada Pokok Bahasan Pencemaran Lingkungan SMP Kelas VII. Florea: Jurnal Biologi
dan Pembelajarannya, 2(1).
Jati, W. R. (2013). Manajemen Tata Kelola Sumber Daya Alam Berbasis Paradigma Ekologi
Politik. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 3(2), 98-111.
Purnomo, E. P. Dkk. (2016). Ekologi Pemerintahan: Tata Kelola dan Kelembaman Birokrasi
dalam Menangani Kebakaran Hutan, Pengelolaan Sawit, Serta Penataan Elit Lokal.
LP3M UMY.
Rahayu, L. H. (2015). Keefektifan Variasi Dosis Pac (Poly Aluminium Chloride) Dalam
Menurunkan Kadar Amonia Air Limbah Industri Penyamakan Kulit Di
Magetan (Doctoral dissertation, Universitas Muhammaiyah Surakarta).
Sachs, J. D. (2015). The age of sustainable development. Columbia University Press

Anda mungkin juga menyukai