Mineral Lempung
Mineral Lempung
Merupakan kelompok mineral, kristalnya sangat kecil, hanya dapat dilihat dan dibedakan
dengan mikroskop, biasanya dengan mikroskop elektron. Berdasarkan struktur kristal dan
variasi komposisinya dapat dibedakan menjadi belasan jenis mineral lempung.
Mineral lempung merupakan koloid dengan ukuran sangat kecil (kurang dari 1 mikron).
Masing-masing koloid terlihat seperti lempengan-lempengan kecil yang terdiri dari
lembaran-lembaran kristal yang memiliki struktur atom yang berulang.
Lembaran-lembaran kristal yang memliki struktur atom yang berulang tersebut adalah:
Mineral lempung terbentuk di atas permukaan bumi dimana udara dan air berinteraksi dengan
mineral silikat, memecahnya menjadi lempung dan produk lain (sapiie, 2006).
Mineral lempung adalah mineral sekunder yang terbentuk karena proses pengerusakan atau
pemecahan dikarenakan iklim dan alterasi air (hidrous alteration) pada suatu batuan induk
dan mineral yang terkandung dalam batuan itu.
Ortoklas, apabila lapuk dan terubah menjadi illit, manakala Kplagioklas, amphibol dan
piroksin pula selalunya menjadi smektit.
Berdasarkan struktur kristal dan variasi komposisinya dapat dibedakan menjadi belasan jenis
mineral lempung dan diantaranya:
kaolinit
halloysite
momtmorillonite (bentonites)
illite
smectite
vermiculite
chlorite
attapulgite
allophone
Dalam dunia perdangan kita mengenal beberapa tipe mineral lempung, diantaranya adalah:
Ball clay
Bentonite
Common clay
Fire clay
Fullers earth
Kaolin.
Dalam penentuan jenis mineral lempung baik secara kimia maupun secara fisik telah
dikembangkan berbagai metode dengan menggunakan alat mulai dari yang sederhana sampai
penggunaan alat yang modern. Menurut Sastiono (1997) dan Sjarif (1991), penentuan mineral
lempung secara kualitatif dan kuantitatif dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu :
2. metode berdasarkan sifat fisik. Salah satu metode berdasarkan sifat fisik adalah
penggunaan sinar X.
Kelemahan dari lempung di alam adalah rusaknya struktur lapis dan hilangnya porositas
karena pemanasan pada suhu tinggi (Cool dan Vansant, 1998). Hal ini dapat diatasi dengan
melakukan proses penyisipan ion atau molekul ke dalam interlayer yang dikenal dengan
proses interkalasi. Pemanasan interkalat akan menghasilkan pilar, sehingga proses ini lebih
dikenal dengan sebutan proses pilarisasi.
Penelitian terus berlanjut sampai ditemukan metode baru dalam sintesis lempung terpilar,
yaitu interkalasi surfaktan ionik ke dalam rongga antarlapis lempung. Penambahan surfaktan
bertujuan untuk membuka rongga pada antarlapis lempung sehingga mudah untuk
diinterkalasi lebih lanjut dengan kation logam. Dengan adanya surfaktan diharapkan akan
mampu meningkatkan porositas serta luas permukaan dibandingkan dengan lempung terpilar
tanpa surfaktan.