Anda di halaman 1dari 67

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia dan
kecacatan utama di banyak negara. Di negara berkembang, jumlah penderita
stroke sangat tinggi dan mencapai 2/3 dari total penderita stroke di dunia.1 Di
Indonesia, stroke memiliki angka mortalitas yang tinggi dan merupakan penyebab
kematian nomor satu untuk golongan penyakit yang tidak menular.2 Kemenkes RI
menyebutkan angka prevalensi stroke di Indonesia sebanyak 8,3 per 1000 jiwa
pada Riskesdas 2007 dan 12,1 per 1000 jiwa pada Riskesdas 2013. Di Sumatera
Selatan, angka prevalensi stroke sebesar 7,8 per 1000 jiwa. Angka prevalensi
stroke di RSUP Dr.Muhammad Hoesin Palembang sebesar 2,16%.3 Pada tahun
2010 angka kejadian stroke di Departemen Neurologi Rumah Sakit Umum
Muhammad Hoesin Palembang cukup tinggi, sebanyak 515 pasien stroke non
hemoragik dan 381 pasien stroke hemoragik.
Stroke secara umum dibagi menjadi dua, yaitu stroke iskemik dan stroke
perdarahan. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi pada pembuluh darah di otak
sehingga menyebabkan infark cerebri. Defisit neurologis yang timbul pada pasien
stroke menggambarkan luas dari infark yang terjadi. Manifestasi klinis yang
paling sering terjadi pada pasien stroke adalah parese (defisit motorik). Selain itu
juga dapat terjadi defisit sensorik, afasia (gangguan berbahasa), defek lapang
pandang, diplopia, dizzines, disartria.4
Ropper dkk menyebutkan bahwa tidak ada parameter yang dapat dijadikan
sebagai prediktor luaran motorik paska stroke. Secara umum, beberapa faktor
yang mempengaruhi prognosis pasien stroke adalah etiologi dari stroke itu sendiri,
lokalisasi lesi, luas lesi, anastomosis pembuluh darah yang terkena dan kecepatan
mendapat pengobatan.4 Di sisi lain, faktor yang mempengaruhi prognosis
perbaikan motorik pada pasien paska stroke adalah derajat keparahan paresis
inisial, perubahan tonus otot, gangguan kesadaran pada fase akut. Bagaimanapun
juga, tidak ada faktor tunggal sebagai prediktor yang akurat. 5,6 Pengukuran fungsi
motorik yang akurat sangat penting karena dapat memberikan informasi yang

1
tepat mengenai derajat keparahan stroke dan memberikan intervensi rehabilitasi
yang optimal.7
Motor Evoked Potential (MEP) merupakan standar pengukuran respon
motorik dengan menggunakan alat Transcranial Magnetic Stimulation (TMS).
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai integritas jaras
kortikospinalis dari korteks motorik sampai motor neuron medulla spinalis, dan
juga sampai otot. TMS merupakan suatu metoda stimulasi otak non invasif yang
menggunakan gelombang magnet. Pada teknik stimulasi ini, sejumlah lempeng
ditempatkan pada kulit kepala, selanjutnya arus listrik yang dialirkan ke lempeng
tadi menghasilkan medan magnet yang menstimulasi otak. Aktivasi korteks
motorik oleh TMS menghasilkan motor-evoked potentials (MEPs) kontralateral
yang selanjutnya dapat digunakan sebagai alat untuk pemetaan fungsional dari
korteks motorik. Kemajuan teknologi kemudian memperkenalkan alat ini sebagai
suatu alat yang mampu menghasilkan stimulasi magnetik secara cepat dan
berulang. Medan magnet melewati rambut, kulit, tulang dan selanjutnya mencapai
jaringan otak yang kemudian menginduksi arus listrik mengalir ke otak tanpa
menimbulkan kejang dan tanpa membutuhkan obat anastetik. Jumlah listrik yang
dialirkan sangat kecil dan tidak dapat dirasakan oleh pasien, tetapi listrik tadi
dapat mengakibatkan neuron menjadi aktif dan selanjutnya melepaskan
neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin dan dopamin.8,9
Central Motor Conduction Time (CMCT) merupakan salah satu parameter
pengukuran TMS. CMCT didefinisikan sebagai perkiraan waktu konduksi serabut
kortikospinal antara korteks motorik sampai motor neuron spinal (atau bulbar).
Hal ini termasuk waktu untuk eksitasi sel kortikal, konduksi melalui traktus
kortikospinal (atau kortikobulbar) dan eksitasi dari motor neuron. Perkiraan
tersebut didapatkan dengan mengurangi latensi dari korteks ke otot dengan latensi
motor neuron spinal ke otot.9 Nilai prognostik TMS dalam memprediksi luaran
motorik stroke telah lama diteliti. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa
CMCT dan MEP yang diperiksa dengan alat TMS berguna dalam memprediksi
luaran motorik paska stroke.4
Sebuah studi yang dilakukan Kandler dkk (1991), melakukan stimulasi pada
22 pasien stroke akut menunjukkan pemanjangan CMCT pada satu pasien.

2
Pemanjangan CMCT tersebut berhubungan dengan pemulihan motorik yang
buruk. Sebelas pasien didapatkan absen atau penurunan MEP, dan sepuluh
diantaranya mempunyai pemulihan yang buruk. Sedangkan sebelas pasien
sisanya, nilai MEP dan CMCT dalam batas normal, dan kesebelas pasien tersebut
mempunyai pemulihan motorik yang baik. Peningkatan amplitudo yang signifikan
terlihat pada pasien dengan perbaikan klinis, tetapi tidak terlihat pada pasien tanpa
perbaikan klinis. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa TMS selain dapat
digunakan untuk menilai prognosis, TMS dapat juga digunakan untuk memonitor
kemajuan terapi.10
Heald dkk (1993) memeriksa CMCT pada 118 pasien stroke akut dan
menilai prediksi keluaran dan mortalitas satu tahun paska stroke. Pasien direkrut
dalam 12-72 jam pertama setelah onset, dan dibagi menjadi tiga kelompok:
normal CMCT, pemanjangan CMCT dan tidak ada respon. Pada minggu pertama
paska stroke, pada kelompok dengan absen CMCT, tidak didapatkan perbaikan
klinis neurologi, dan pada follow up 12 bulan sesudahnya defisit neurologis yang
lebih buruk dibandingkan kelompok lainnya. Pada kelompok normal CMCT,
menunjukkan nilai yang makin meningkat pada 12 bulan berikutnya dan
mempunyai perbaikan fungsional yang lebih baik. Pada kelompok pemanjangan
CMCT, mempunyai keluaran satu tahun hampir sama dengan kelompok normal
CMCT. Pasien dengan nilai motor threshold (MT) tinggi mempunyai keluaran
fungsional yang buruk. Angka mortalitas tinggi pada kelompok absen CMCT.11
Dalam manajemen pasien stroke, sangat penting untuk mendapatkan
informasi mengenai derajat keparahan fungsi motorik, dikarenakan
mempengaruhi luaran motorik pasien stroke. Belum adanya parameter yang
objektif dalam mengukur derajat keparahan fungsi motorik. CMCT diketahui
dapat memberikan informasi mengenai integritas jaras kortikospinalis. Telah
banyak penelitian yang meneliti TMS dengan stroke, akan tetapi di Indonesia
belum ada penelitian yang meneliti korelasi antara CMCT dengan kekuatan
motorik pada pasien stroke iskemik. Atas dasar pemikiran diatas maka penulis
tertarik melakukan penelitian mengenai korelasi antara nilai CMCT dengan
kekuatan motorik ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik.

3
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana korelasi Central Motor Conduction Time (CMCT) ekstremitas
atas dengan kekuatan motorik ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik di RSI
Siti Khadijah Palembang?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana korelasi antara nilai Central Motor
Conduction Time (CMCT) ekstremitas atas dengan kekuatan motorik ekstremitas
atas pada pasien stroke iskemik di RSI Siti Khadijah Palembang.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Mendapatkan nilai CMCT ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik.
2. Mendapatkan nilai kekuatan motorik ekstremitas atas dengan menilai skala
MRC ekstremitas atas kontra lesi pasien stroke iskemik.
3. Melakukan analisis korelasi nilai CMCT ekstremitas atas sisi lesi dengan
dengan skala MRC ekstremitas atas kontra lesi pasien stroke iskemik.
4. Melakukan analisis korelasi nilai CMCT ekstremitas atas sisi lesi dengan
dengan luas lesi pasien stroke iskemik.
5. Melakukan analisis korelasi nilai CMCT ekstremitas atas sisi lesi dengan
dengan lokasi lesi pasien stroke iskemik.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat untuk ilmu pengetahuan.
Dengan mengetahui korelasi antara nilai CMCT dengan kekuatan motorik
ekstremitas atas pasien stroke iskemik diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah
tentang pentingnya nilai CMCT dalam merepresentasikan kekuatan motorik
ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik.
Manfaat untuk praktisi.
Hasil yang didapat diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para klinisi
untuk melakukan pemeriksaan CMCT pada pasien stroke sehingga dapat
mengetahui derajat kerusakan motorik pada pasien stroke iskemik, yang

4
merupakan salah satu parameter dalam mengetahui luaran motorik pasien stroke
iskemik.
Manfaat untuk pasien.
Memberikan gambaran kepada pasien stroke iskemik tentang derajat
kerusakan motorik, sehingga dapat memberikan motivasi mengenai kesembuhan
motorik pada pasien stroke iskemik.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke Iskemik


2.1.1. Definisi Stroke
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24
jam, atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukan penyebab selain dari
gangguan vaskular.1
2.1.2. Patofosiologi Stroke12,13,14
Pada stroke iskemik, nekrosis pada neuron terutama akibat disintegrasi
struktur sitoskeleton karena zat-zat neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada
proses hipoksia akut. Selain itu pada stroke iskemik, kerusakan yang terjadi lebih
lambat, akibat berkurangnya energi yang berkepanjangan pada sel-sel otak
menyebabkan apoptosis, yaitu kematian sel secara perlahan karena kehabisan
energi pendukungnya.12
Stroke iskemik mengakibatkan sirkulasi aliran darah ke otak berhenti.
Akibatnya nutrisi sel berupa glukosa dan oksigen yang terkait dengan anatomis
sirkulasi tersebut juga berhenti. Walaupun berat otak hanya berkisar sekitar 2%
dari berat badan keseluruhan, akan tetapi otak membutuhkan bahan energi sekitar
20% dari kebutuhan tubuh. Untuk menjamin kehidupan sel di otak yang normal,
maka otak membutuhkan energi yang cukup secara terus menerus berupa glukosa
dan oksigen. Hal ini penting karena otak tidak mempunyai persediaan energi dan
oksigen. Oleh sebab itu jika sirkulasi berhenti selama 8-10 detik saja akan
mengakibatkan disfungsi otak.12 Energi dibutuhkan untuk mempertahankan
keseimbangan ion-ion yang berada di intra seluler seperti kalium (K+) dan ekstra
seluler seperti natrium (Na-), kalsium (Ca++) dan khlorida (Cl). Keseimbangan ini
dipertahankan melalui pompa ion yang aktif yang bergantung pada keberadaan
energi tinggi, adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP).13
Iskemik dengan Gangguan Keseimbangan Ion
Pada kondisi iskemik dibedakan dua daerah, yakni core (infark) dan daerah
di sekitar infark tadi yang disebut sebagai penumbra.12 Daerah infark dan

6
penumbra mempunyai karakteristik kematian sel yang berbeda yakni
nekrosis dan apoptosis. Akibat perfusi yang defisit pada daerah infark
menyebabkan terputusnya proses metabolisme, suplai energi dan gangguan
keseimbangan ion. Keadaan ini mengakibatkan kehilangan integritas sel dalam
beberapa menit setelah awitan (onset) stroke. Pada penumbra beberapa residu
perfusi masih berfungsi melalui sirkulasi kolateral akan tetapi juga tidak dapat
mempertahankan metabolisme secara penuh. Hal ini mengakibatkan
bertambahnya volume infark dalam kurun waktu yang lama. 12
Proses kerusakan awal pada stroke iskemik dimulai oleh deplesi energi
setempat pada inti daerah infark otak, akibat penurunan kadar oksigen dan
glukosa secara drastis. Dalam keadaan iskemik, pompa ion tidak akan bekerja,
karena pompa ini tergantung pada aktivitas metabolisme sel, yakni energi dan
oksigen. Akibatnya terjadi akumulasi intraseluler ion Na+ dan Cl- disertai oleh
masuknya H2O. Hal ini menyebabkan edema sel, baik neuron maupun glia.
Mekanisme edema akibat iskemik bisa diklasifikasikan atas edema sitotoksik dan
vasogenik. Keadaan ini bisa terjadi dalam waktu singkat, sekitar 5 menit setelah
terjadinya iskemik. Jaringan yang edema sitotoksik ini bisa ditolong melalui
tindakan dini terhadap reperfusi dan terapi sitoprotektif.12
Selain itu, akibat iskemik terjadi metabolisme glukosa anaerob sehingga
muncul asidosis laktat. Keadaan ini akan memperburuk kondisi sel yang masih
hidup. Penelitian pada hewan percobaan membuktikan bahwa kadar glukosa pre-
iskemik akan mempengaruhi berat ringannya asidosis laktat, dan bahwa dengan
penngkatan kadar glukosa darah pada stroke iskemik justru akan mengakibatkan
perburukan tanda-tanda klinis. Sementara reduksi energi tinggi akibat iskemik
akan mempengaruhi pompa ion. Fenomena yang menarik dari hewan percobaan
ini adalah bahwa kehabisan energi tidak berkorelasi secara langsung dengan sel.
Ini membuktikan bahwa pada awalnya, pengaruh konsentrasi ion dan pompa ion
sangat berperan dalam menentukan ireversibilitas kerusakan sel.14

7
Iskemia

Pompa Na-K ATPase gagal

Depolarisasi

Pelepasan Glutamat Kanal Ca++ terbuka

Reseptor Reseptor Reseptor


AMPA Metabotropik NMDA

Influks Ca++
Pelepasan Ca++ intrasel

Peningkatan Ca++ intrasel

Kematian sel

Gambar 1. Diagram kaskade eksitatorik iskemik.14

Iskemik dan Eksitatorik14


Komunikasi interseluler secara normal bergantung pada keberadaan
neurotransmitter serta energi di sinaps. Neurotranmitter ini secara difus akan
berinteraksi dengan reseptor di paska sinaptik untuk selanjutnya memberikan
repon sel tersebut sebagai metabolisme. Neurotransmitter eksitatorik seperti
glutamat dan aspartat akan menstimulasi neuron paska-sinapsis, sementara
gamma ammino-butyric acid (GABA) akan bekerja sebaliknya.14
Keadaan defisit energi lokal seperti pada iskemik akan menyebabkan
depolarisasi neuron dan glia yang kemudian memicu akivasi dari kanal Ca++ serta

8
sekresi asam amino eksitatorik glutamat di ekstrasel. Selain itu, sel yang iskemik
tidak mempunyai kesanggupan untuk memetabolisme atau memecah
neurotransmitter eksitatorik tersebut akibat terganggunya enzim pemecah pada
iskemik, sehingga terjadi penumpukan glutamat di sinaps.14
Glutamat yang berlebih akan berikatan dengan 3 reseptor glutamat, yaitu N-
methyl-D-aspartate (NMDA), -amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic
acid (AMPA) dan reseptor metabotropik. Ikatan dengan reseptor NMDA
menyebabkan masuknya ion Na+ dan Ca++ ke dalam sel melalui kanal ion.
Meningkatnya ion Na+ dan Ca++ juga berakibat pada masuknya cairan H2O yang
berlebihan karena dalam keadaan iskemik pompa ion juga tidak berfungsi.
Aktivasi reseptor AMPA yang berlebihan juga menyebabkan gangguan
homeostasis, dengan dibarengi masuknya cairan H2O ke dalam sel merupakan
penyebab edema toksik, serta merupakan faktor penyebab sel lisis (nekrosis).
Kejadian ini secara primer ditemukan di daerah infark, berbeda dengan di
penumbra, yang kematian selnya sering akibat terjadinya apoptosis dan
inflamasi.14
Selanjutnya reseptor sel metabotropik glutamat menjadi aktif dengan
memblok induksi fosfolipase C dan inositol trifosfat serta diiringi oleh mobilisasi
Ca++ yang tersimpan di dalam sel.
Kondisi lain adalah masuknya Ca++ melalui kanal ion akibat ikatan
neurotrasmitter eksitatorik dengan reseptor NMDA. Keadaan ini diperburuk oleh
kejadian iskemik, yaitu Ca akan keluar dari mitokondria dan retikulum
endoplasmik sehingga secara substansial terjadi penumpukan kalsium di intra
seluler yang menyebabkan kerusakan neuron yang ireversibel.
Kalsium dan kematian sel14
Kalsium berperan mengaktivasi enzim perusak asam nukleus, protein dan
lipid dengn target utama membran fosfolipid yang sangat sensitif. Seperti
diketahui, konsentrasi Ca++ di ekstra sel ditemukan sekitar 10.000 kali lebih besar
dibanding intrasel. Keseimbangan ini dipertahankan melalui 4 mekanisme untuk
menjaga tidak masuknya Ca++ ke intrasel, yaitu melalui pompa ATP yang aktif,
intaknya pertukaran Ca++ dan Na+ di membran oleh adanya pompa Na+-K+,
pemisahan Ca++ intraseluler di retikulum endoplasmik melalui proses penggunaan

9
ATP yang aktif, serta akumulasi dari Ca++ intraseluler melalui pemisahan Ca++ di
mitokondria secara oksidatif.14
Dalam keadaan iskemik tidak terdapat bahan energi, akan terjadi kehilangan
keseimbangan gradien antara Na+ dan K+ yang secara beruntun mengakibatkan
gangguan keseimbangan Ca++. Hal ini akan menyebabkan masuknya Ca++ ke
dalam sel secara masif yang selanjutnya mengakibatkan beban mitokondria
berlebihan. Kalsium akan mengaktifkan fosforilase membran dan protein kinase.
Akibatnya terbentuk asam lemak bebas (FFA) yang berpotensi menginduksi
prostaglandin dan asam arakidonat. Metabolisme asam arakidonat ini akan
membentuk radikal bebas seperti toxic oxygen intermediates, eikosanoid, dan
leukotrin yang kesemuanya akan memacu agregat platelet dan vasokonstriksi
vaskuler. Selain itu keberadaan Ca++ yang berlebihan dalam sel akan merusak
beberapa jenis enzim termasuk protein kinase C, kalmodulin-protein kinase II,
protease dan nitrik okside sintesase. Ca++ juga mengaktivasi enzim sitosolik dan
denukleasi yang mengakibatkan terjadinya apoptosis.14
Dapat dikatakan bahwa kematian sel secara umum diakibatkan oleh tidak
terdapat energi berupa glukosa dan oksigen yang menyebabkan gangguan
homeostasis sehingga terjadi kematian sel secara tidak langsung. Efek
neurotransmitter eksitatorik yang berlebihan di daerah iskemik secara biokimiawi
akan menyebabkan kerusakan sel yang lebih berat dibanding dengan efek iskemik
secara langsung. Oleh sebab itu prinsip penanggulangan melalui inhibisi ikatan
eksitatorik dengan reseptor NMDA juga merupakan bagian dan strategi dalam
mencegah proses biokimiawi sebagai perusak sel di daerah ikemik.
Mekanisme kematian sel dapat berupa nekrosis ataupun apoptosis,
tergantung pada beratnya iskemik dan cepatnya kerusakan yang terjadi. Pada
nekrosis, struktur sel menjadi hancur secara akut disertai dengan reaksi inflamasi,
makrofag akan menyerbu dan memfagositasi sisa-sisa sel. Sedangkan pada
apoptosis tidak terjadi proses inflamasi, melainkan struktur sel akan menciut
(shrinkeage). Selain proses kematian neuron pada stroke akut, integrasi antara
neuron-neuron dan matriks sekitarnya terutama sel-sel glia dan endotel kapiler
juga berperan penting. Berbagai penelitian menunjukkan ada zat-zat aktif yang
aktif berperan pada kematian beberapa jenis sel otak. Salah satunya adalah the

10
stress-activated protein kinase p38 yang tidak hanya menstimulasi kematian
neuronal, tetapi juga merangsang pembentukan enzim caspase 3 sebagai mediator
kematian sel, di endotel serebral pada keadaan hipoksia serebral iskemik. Enzim
lain adalah lipoksigenase 12/15 yang berperan pada glutamate-induced oxidative
cell death pada proses kematian neuron dan oligodendrosit.14
Iskemik dan Angiogenesis14
Pengaruh iskemik akut yang disebabkan oeh penurunan suplai sirkulasi ke
otak (penurunan glukosa dan oksigen) akan berakibat pada perubahan tatanan
biokimiawi di otak. Hal ini yang merupakan penyebab kematian dari jaringan
otak. Hal ini yang merupakan penyebab kematian dari jaringan otak. Dalam
pengamatan neovaskularisasi di daerah infark dan peri-infark berkaitan dengan
survival penderita stroke membuktikan bahwa angiogenesis merupakan proses
kompensasi atau proteksi yang sekaligus merupakan target terapi stroke.14
Pada penelitian hewan model stroke ditemukan bahwa neovaskularisasi
akan terbentuk dalam kurun waktu yang singkat yakni satu sampai tiga hari
setelah terjadinya penyumbatan. Kejadian ini berbarengan dengan akan
meningkatkan ekspresi dari neuron, sel mikroglia, astrosit, dan molekul
angiogenik, vascular endothel growth factor (VEGF). VEGF merupakan faktor
angiogenesis yang berperan lewat reseptor VEGF tirosin kinase, VEGFR-1 dan 2,
serta neurophilin-1 dan 2 (NP-1 dan NP-2).14
Iskemik dan Radikal Bebas14
Konsekuensi iskemik dan reperfusi adalah terbentuknya radikal bebas
seperti superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Keberadaan nitric
oxide (NO) sendiri adalah melalui aktivasi inducible nitric oxide synthase (iNOS).
Sumber lain akibat pemecahan produksi ADP melalui okidasi xantine dan reaksi
iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang bermacam-macam ini akan
bereaksi dengan komponen seluler seperti karbohidrat, asam amino, DNA, dan
fosfolipid sebagai korbannya sendiri.14
Iskemik dan Inflamasi14
Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah awitan (onset)
iskemik dengan karakteristik munculnya ekspresi adhesi molekul di endotel
pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak melewati endotel

11
keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim otak yang mengakibatkan
reaksi inflamasi. Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh populasi dari sel
mikroglia yang disebut juga efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP).
Mikroglia adalah fagosit aktif dan merupakan target utama yang sanggup
menghasilkan sitokin dan enzim pro-inflamasi. Oleh sebab itu, inhibisi terhadap
aktivitas mikroglia juga merupakan strategi protektif pada stroke eksperimental
dan pemberian antagonis sitokin mengurangi volume infark pada hewan
percobaan.14
Kelompok sitokin antiinflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1
beta) dan IL-10 yang bersifat sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap
stimulasi mikroglia. Secara klinis, kelompok sitokin yang domainnya terdiri dari 2
kelompok protein adalah iNOS dan kelompok cyclo-oxygenase 2 (Cox-2).
Pemberian iNOS inhibitor pada hewan percobaan akan dapat mengurangi volume
infark sekitar 30%, walaupun pemberian dilakukan 24 jam setelah awitan (onset)
iskemik. Cox-2 secara umum ditemukan di penumbra serta bekerja melalui
produksi oksigen radikal bebas dan prostanoid toksik. Berdasar pada eksprerimen
Cox-2 dan iNOS akan memberi harapan dalam terapi stroke, karena ternyata
masih efektif sampai 24 jam onset iskemik.14
2.1.3. Reorganisasi Paska Stroke
Beberapa penelitian yang terintegrasi, dengan menggabungan studi dengan
binatang, neuroimaging, dan neurofisiologis menggunakan TMS secara luas telah
dilakukan untuk mengetahui mekanisme yang berperan dalam perbaikan
fungsional setelah stroke. Perbaikan awal setelah beberapa hari paska stroke
dikarenakan resolusi dari edema dan jaringan nekrosis maupun reperfusi dari
daerah penumbra melalui peran sirkulasi kolateral. Setelah periode awal tersebut,
kebanyakan perbaikan paska stroke melalui mekanisme neuronal seperti
pengerahan jalur fungsional sepancaran (functionally homologous pathways),
disinhibisi dari hubungan neuronal yang berlebihan, resolusi diaschisis dan
pembentukan jaringan neuronal baru untuk mengambil alih fungsi area otak yang
rusak. Susunan plastisitas sistem motorik mempunyai korelasi dengan derajat
kerusakan traktus kortikospinal dan diduga dapat mengontrol optimalisasi dari
perbaikan neuron motorik yang tersisa.15,16

12
2.1.3.1. Reorganisasi Lokal.
Satu strategi dalam perbaikan pasien stroke adalah dengan mempertahankan
daerah penumbra untuk mengambil kendali fungsi dari area yang rusak melalui
reorganisasi somatotopik, adalah fenomena yang disebut debagai vicariation.
Beberapa penelitian pada binatang menduga bahwa dengan memelihara daerah
penumbra periinfark dapat memberikan substrat pemulihan dengan membuka
sebagian area motorik yang berlebihan ke dalam area infark. Reorganisasi
periregional ini juga telah ditunjukkan pada penelitian yang menggunakan subjek
manusia dewasa normal dan pada pasien stroke. Faktanya, korteks motorik primer
mampu memperbaiki fungsinya sendiri setelah lesi iskemik pada area tersebut.17
2.1.3.2. Reorganisasi area motor sekunder.
Jika kerusakan neuron lebih luas, tidaklah cukup neuron kortikal mengalami
reorganisasi somatotopik pada area penumbra. Strategi lain adalah adanya area
yang secara fungsional hampir sama dengan area infark, yang secara anatomi di
proksimal dari infark, yang mengambil alih fungsi dari area infark. Pasien stroke
yang mempunyai pemulihan baik mempunyai eksitabilitas kortikospinal
ipsilateral yang menurun, dibuktikan dengan penurunan amplitudo MEP, diduga
bahwa mekanisme alternatif seperti reorganisasi kortikal dan peningkatan
aktivitas area motorik sekunder mempunyai peranan dalam pemulihan
motoriknya.18 Faktanya, korteks premotor (PM) dan area motorik suplemen
(SMA) mempunyai peranan fungsional yang relevan dalam menilai jalur luaran
motorik alternatif dan membuat jaringan neuron alternatif pada pasien dengan
gangguan sistem kortikospinal. Hal ini mirip dengan organisasi somatotropik dan
traktus eferen yang turun secara pararel dari korteks sensorimotorik primer
ipsilesi. Beberapa studi dengan sampel binatang primata menunjukkan perubahan
reorganisasi dan pembentukan koneksi neuron setelah adanya lesi kortikal. Pada
beberapa studi yang sama, pada pasien stroke yang mengalami perbaikan, dapat
mengidentifikasikan area PM dengan menggunakan TMS single pulse dari
korteks PM dorsal ipsilesi. Beberapa studi pada pasien stroke, menunjukkan
kurangnya aktivasi functional MRI (fMRI) menunjukkan pemulihan yang lambat,
sebaliknya aktivasi fMRI yang tinggi menunjukkan pemulihan yang lebih cepat

13
dan lebih baik. Pada dewasa normal, SMA berkaitan dengan eksekusi dari
gerakan kompleks, sehingga diduga bahwa perbaikan pasien stroke membutuhkan
energi tambahan untuk dasar kontrol motorik. SMA juga penting dalam menilai
energi neuron tambahan dari hemisfer kontralesi dalam mengorganisir pergerakan
pada ekstremitas yang parese.19
2.1.3.3. Reorganisasi bihemisfer.
Beberapa studi imaging menunjukkan bahwa pada pasien stroke, aktivitas
jaringan motorik meluas bilateral, jika dibandingkan dengan individu normal.
Meskipun aktivitas pada kedua hemisfer merefleksikan reorganisasi, masih belum
jelas bagaimana mekanismenya dalam perbaikan motor pasien stroke. Biasanya
aktivasi dari hemisfer ipsilesi berkaitan dengan perbaikan motorik yang lebih baik
dan pada pasien dengan pemulihan yang buruk mempunyai aktivasi bilateral yang
lebih buruk. Misalnya, pada pasien dengan pemulihan baik, stimulasi TMS
suprathreshold di ipsilesi MI akan menyebabkan gerakan pada tangan yang
parese, tetapi pada stimulasi kontralesi tidak. Temuan ini dapat dijelaskan dengan
model anatomi, yaitu kontrol hemisfer berdasarkan proyeksi medula spinalis
kontralateral dari area motorik kortikal. Akan tetapi peran hemisfer kontralesi
pada pemulihan motorik masih diperdebatkan. Ada beberapa studi yang signifikan
menduga bahwa aktivasi yang berkelanjutan pada sisi kontralesi mungkin tidak
mempunyai keuntungan dalam pemulihan motorik. Contohnya, studi pencitraan
telah mengalami perkembangan yaitu dengan perubahan aktivasi berkaitan dengan
pemulihan yang bersamaan, dimulai di sisi kontralesi dan diikuti sisi ipsilesi. Pada
pasien stroke dengan pemulihan buruk menunjukkan aktivasi kontinu dari
hemisfer kontralesi.20
2.1.4. Perjalanan Impuls Motorik21
Impuls motorik untuk gerakan volunter terutama dicetuskan di girus
presentralis lobus frontalis (korteks motorik primer, area 4 Broadmann) dan area
kortikal di sekitarnya (neuron motorik pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam
jaras serabut yang panjang (terutama traktus kortikonuklearis dan traktus
kortikospinalis/jaras piramidal), melewati batang otak dan turun ke medula
spinalis ke kornu anterior, tempat mereka membentuk kontak sinaptik dengan

14
neuron motorik kedua, biasanya melewati satu atau beberapa interneuron
perantara.
Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan
bersama-sama membentuk traktus piramidalis yang merupakan hubungan yang
paling langsung dan tercepat antara area motorik primer dan neuron motorik di
kornu anterior. Selain itu, area kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6)
dan nuklei subkortikalis (terutama ganglia basalis) berpartisipasi terutama dalam
kontrol neuron gerakan. Area-area tersebut membentuk lengkung umpan balik
yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan korteks motorik primer dan
serebelum; struktur ini mempengaruhi sel-sel di kornu anterior medula spinalis
melalui beberapa jaras yang berbeda di medula spinalis. Fungsinya terutama
untuk memodulasi gerakan dan untuk mengatur tonus otot.
Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuklei nervi kranialis
dan kornu anterior medula spinalis berjalan melewati radiks anterior, pleksus saraf
(di regio servikal dan lumbosacral) serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot.
Impuls dihantarkan ke sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuskular.
Stimulus elektrik langsung pada area 4, dapat mencetuskan kontraksi masing-
masing otot.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan dihasilkan oleh interaksi
antara sistem piramidal (sentral dan perifer), sistem ekstrapiramidal dan
serebelum. Gerak diinisiasi dari sistem piramidal, diperhalus dengan proses
fasilitasi dan inhibisi oleh sistem ekstra piramidal dan dikoordinasi oleh
serebelum.
2.1.5. Paralisis yang disebabkan oleh lesi pada upper motor neuron.4
Traktus kortikospinalis dapat terganggu oleh adanya lesi pada level
manapun sepanjang jaras kortikospinalis, mulai dari korteks serebri, subkortikal
(substansi putih), kapsula interna, batang otak atau medula spinalis. Biasanya jika
paresisnya berat dan permanen, jaras kortikospinalis yang terkena lebih banyak
dan lebih panjang. Pada substansi putih (korona radiata) dan kapsula interna,
serabut kortikospinalis berbaur dengan serabut kortikostriata, kortikotalamik,
kortikorubral, kortikopontin, kortiko-olivari dan kortikoretikular. Yang perlu
diperhatikan adalah serabut talamokortikal merupakan jalur asending yang

15
penting dalam menghubungkan ganglia basalis dan serebelum, yang juga
melewati kapsula interna dan substansi putih. Lesi pada serabut talamokortikal
dapat mengganggu sistem kortikospinal dan ekstrapiramidal. Istilah hemiplegi
kapsular karena semata-mata lesi pada jaras kortikospinalis tidak sepenuhnya
benar. Istilah paralisis upper motor neuron (supranuklear) lebih tepat karena
adanya keterlibatan beberapa serabut desenden.
Pada primata, lesi yang terbatas pada area Brodmann 4 korteks motorik
menyebabkan hipotonia dan kelemahan otot tungkai bagian distal. Lesi pada
korteks premotor (area 6) menyebabkan kelemahan, spastisitas dan peningkatan
tonus dan peningkatan refleks regang. Lesi pada korteks motorik suplemen
menyebabkan involuntary grasping. Reseksi pada area 4 dan area 6 kortikal dan
subkortikal menyebabkan paralisis komplit dan permanen dan spastisitas. Efek
klinis ini belum bisa dijelaskan pada manusia. Satu tempat dimana serabut
kortikospinalis terisolasi adalah traktus piramidalis di medula. Ada suatu laporan
kasus lesi terisolasi pada traktus kortikospinalis di medula, dimana gejala yang
timbul adalah hemiplegia flaksid, dengan pemulihan yang baik. Studi yang lain
oleh Tower dkk, melakukan interupsi pada traktus kortikospinalis bilateral pada
monyet. Gejala yang muncul adalah paralisis hipotonik. Pada akhirnya didapatkan
perbaikan motorik, akan tetapi meninggalkan gejala sisa hilangnya gerakan jari.
Dari beberapa kasus sebelumnya mengindikasikan bahwa lesi murni pada traktus
piramidalis tidak menghasilkan spastisitas. Selain itu kontrol dari gerakan
voluntar tergantung pada jaras motor nonpiramidal. Percobaan pada binatang
menyimpulkan bahwa jaras kortikoretikulopinal penting untuk kontrol gerakan,
dikarenakan serabut ini tersusun secara somatotopik dan mempengaruhi reflek
regang. Beberapa studi pada manusia, menggunakan teknik diffusion tensor
imaging diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan gerakan
voluntar dan spastisitas.
Distribusi paralisis yang disebabkan oleh lesi UMN bervariasi tergantung
dari lokasi lesi. Gerakan selalu melibatkan kelompok otot, tidak pernah hanya satu
otot, dan memerlukan koordinasi antara otot agonis, antagonis, sinergis dan
fiksator yang baik. Pada pengamatan yang jeli, paralisis tidak pernah hanya
melibatkan semua otot dari satu sisi bagian tubuh, meskipun pada kasus

16
hemiplegia. Gerakan yang terjadi bilateral, seperti gerakan mata, rahang, faring,
wajah bagian atas, laring, leher, thoraks, diafragma dan abdomen pasti juga
sedikit terganggu. Hal ini terjadi karena semua otot-otot tersebut mendapat
inervasi bilateral. Paralisis UMN jarang komplit pada periode jangka panjang,
berbeda dengan paralisis akibat destruksi pada kornu anterior medulla. Lesi UMN
mempunyai karakteristik lanjutan, yaitu keistimewaan gerakan yang tertahan.
Adanya penurunan dorongan voluntar pada neuron motor spinal (beberapa motor
unit dikerahkan dan pelepasannya melambat) sehingga menyebabkan perlambatan
gerakan. Juga didapatkan peningkatan otot antagonis, merefleksikan kecepatan
gerakan bolak-balik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena diperlukan upaya
yang lebih besar untuk menggerakkan otot yang parese sehingga menimbulkan
kelelahan pada otot yang mengalami kelemahan. Fenomena lain untuk
mengaktivasi otot yang paresis adalah automatisme (synkinesia). Misalnya pada
lengan yang paresis dapat tiba-tiba bergerak saat menguap atau meregangkan otot.
Pasien yang mencoba untuk menggerakkan tungkai yang hemiplegis dapat
menyebabkan gerakan di tempat lain. Fleksi lengan dapat menyebabkan pronasi
dan fleksi involunter kaki atau dorsofleksi dan eversi kaki.4

17
Gambar 2. Perjalanan traktus piramidalis21

18
2.2. Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
2.2.1. Prinsip Kerja TMS.8
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merupakan suatu metoda
stimulasi otak non invasif yang menggunakan gelombang magnet. Pada teknik
stimulasi ini, sejumlah lempeng ditempatkan pada kulit kepala, selanjutnya arus
listrik yang dialirkan ke lempeng tadi menghasilkan medan magnet yang
menstimulasi otak.
Alat TMS terdiri dari dua komponen utama, yaitu generator gelombang dan
elektroda atau kumparan yang diposisikan pada tubuh. Prinsip kerja alat ini
mengikuti hukum Faraday. Generator gelombang menghasilkan arus listrik yang
kemudian dialirkan pada elektroda atau kumparan. Ketika arus listrik melewati
sepanjang kawat maka akan menginduksi timbulnya medan magnet di ruang
sekitarnya. Pada tahun 1831, Michael Faraday menemukan bahwa ketika dua
kumparan yang berdekatan (tapi tidak bersentuhan) dan kemudian dialirkan arus,
arus pendek listrik akan melewati kumparan kedua. Medan magnet dihasilkan dari
arus listrik pada kumparan pertama meluas ke kumparan kedua, dan ketika medan
magnetik mulai timbul dan kemudian menghilang, akan menimbulkan arus dalam
kumparan itu.
TMS melibatkan arus listrik yang melewati kumparan untuk menghasilkan
medan magnet yang selanjutnya menginduksi jaringan otak. Medan listrik yang
ditimbulkan oleh tiap kumparan sebanding dengan laju perubahan arus kumparan
dan juga sebanding dengan tegangan kumparan.

19
Gambar 3. Komponen utama dan prinsip kerja alat TMS8

Tegangan pulse dan arus dalam coil tergantung pada perangkat dan
parameter coil, dan tidak bergantung pada jaringan tubuh karena impedansi listrik
jaringan tubuh terlalu tinggi untuk mempengaruhi medan magnet secara
signifikan. Distribusi medan magnet di kepala tergantung pada dosis
elektromagnet dan geometri serta sifat listrik jaringan. Dosis elektromagnet dapat
dikontrol oleh desain stimulator dan pengaturan oleh operator. Medan magnetik
yang dihasilkan alat TMS besarnya hampir sama dengan MRI, dan umumnya
pulse yang timbul hanya mencapai kedalaman 5 cm jaringan otak, kecuali TMS
yang digunakan merupakan jenis deep transcranial magnetic stimulation (deep
TMS). Deep TMS dapat mencapai jaringan otak sedalam 6 cm sehingga dapat
menstimulasi lapisan terdalam dari koteks motorik.
Terdapat beberapa tipe coil pada TMS, perbedaan ini didasarkan pada jenis
bahan yang digunakan untuk membentuk inti coil, geometri coil, dan karakteristik
biofisika pulse yang akan diproduksi coil. Terdapat beberapa bahan yang
digunakan untuk membentuk inti coil, yaitu magnetically inner substrate (disebut
juga air core design) dan ferromagnetically active material (disebut juga solid
core design). Solid core design menghasilkan transfer energi elektrik yang lebih
efisien dengan cara mengurangi jumlah energi yang diubah menjadi panas

20
sehingga dapat lebih lama digunakan tanpa menghasilkan panas yang berlebihan.
Variasi bentuk geometris coil mempengaruhi luas area, bentuk dan kedalaman
penetrasi medan magnet ke dalam jaringan. Perbedaan bahan coil dan pemberian
suplai arus listrik ke coil menghasilkan perbedaan karakteristik biofisika pulse
magnetik yang dihasilkan (mencakup kedalaman dan durasi pulse medan
magnetik).
Berikut ini beberapa contoh jenis coil yang umum digunakan :
Round coil; jenis ini merupakan jenis coil TMS yang pertama kali digunakan.
Figure-eight coil (butterfly coil); jenis ini menghasilkan medan magnetik
yang lebih terfokus ke satu area.
Double-cone coil; mengikuti bentuk kepala, digunakan untuk menstimulasi
jaringan yang lebih dalam.
Four-leaf coil; digunakan untuk stimulasi fokal saraf perifer.
H-coil; digunakan pada deep TMS.
2.2.2. Parameter Pengukuran TMS
2.2.2.1 Motor Evoked Potentials (MEP)22
Pada subyek sadar, stimulasi magnet dari coil pada kulit kepala dan tulang
yang masih intak dapat menimbulkan aksi potensial yang disebut Motor Evoked
Potentials (MEP). Amplitudo menggambarkan respon voltase yang terekam.
Dapat diukur dari dasar puncak negatif sampai puncak positif (peak to peak
amplitudo). Satuan pengukurannya adalah mV. Kadang-kadang juga digambarkan
dengan persentase respon maksimal setelah stimulasi saraf. Amplitudo semakin
meningkat dengan semakin tingginya intensitas stimulus, selain itu amplitudo
mempunyai nilai yang berbeda bila stimulasi dilakukan saat otot istirahat atau saat
otot kontraksi. Stimulasi saat otot-otot kontraksi akan memberikan nilai amplitudo
yang lebih tinggi dibandingkan stimulasi saat otot-otot istirahat. Perubahan posisi
dari coil saat menstimulasi permukaan kranium dapat menimbulkan respon MEP
yang bervariasi. Akan tetapi sebuah studi dari Ellaway, gagal menunjukkan
variabilitas amplitudo MEP. Beberapa peneliti menyarankan untuk melakukan
stimulus yang berulang kali pada korteks agar mendapatkan amplitudo terbaik.22

21
Latensi adalah jarak dari pemberian stimulus sampai menimbulkan respon
dan merefleksikan total waktu konduksi motorik dari korteks sampai otot target.
Latensi dapat juga diartikan onset dari aksi potensial, dan diberi satuan milisekon.
Latensi MEP dipengaruhi oleh ukuran serabut saraf, tebal atau tipisnya mielin,
dan jumlah sinaps. Beberapa studi fisiologis dan klinis menyatakan pada respon
latensi yang terpendek dikaitkan dengan kecepatan konduksi yang tercepat dari
traktus kortikopinalis desendens. Kebanyakan sinyal didominasi oleh konduksi
serabut saraf berdiameter besar. 22

Gambar 4. Motor Evoked Potentials yang direkam dari m.abduktor pollisis brevis
setelah stimulasi magnetik pada tempat yang berbeda. Stimulasi pada kepala
menghasilkan aksi potensial yang lebih kecil, meskipun menggunakan stimulus
optimal, dikarenakan dispersi temporal dan penundaan fase (phase cancellation)
sepanjang jalur motorik22

Faktor-faktor yang mempengaruhi latensi dan ukuran MEP adalah intensitas


stimulus, durasi pulsasi, jarak dari coil ke korteks, eksitabilitas intrinsik dari
elemen neural.22
2.2.2.2 Motor Threshold (MT)23
Motor Threshold (MT) adalah intensitas terendah dari TMS yang mampu
memicu timbulnya small motor evoked potentials (MEPs), dan besarnya
amplitudo biasanya berkisar lebih dari 50 V pada saat otot istirahat atau 200 V
pada saat otot berkontraksi. Metode ini dinilai cukup akurat, namun metode

22
lainnya yaitu dengan cara menentukan threshold terendah (intensitas stimulus
tertinggi yang tidak membangkitkan respon) dan threshold tertinggi (intensitas
stimulus terendah yang membangkitkan respon). MT memberikan informasi
mengenai inti pusat neuron yang mengatur pergerakan otot pada korteks motorik.
Nilai MT pada otot-otot tangan lebih rendah dibandingkan otot-otot proksimal
lengan, tungkai dan otot punggung. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kekuatan
proyeksi kortikospinal. MT menggambarkan eksitabilitas membran sel saraf. MT
meningkat dengan pemberian obat penghambat kanal sodium dan menurun pada
pemberian obat non-NMDA glutamatergic agent, serta tidak dipengaruhi oleh
obat perubah transmisi GABA maupun NMDA glutamate.23
2.2.2.3 Central Motor Conduction Time (CMCT)9,22
Central Motor Conduction Time (CMCT) didefinisikan sebagai perkiraan
waktu konduksi serabut kortikospinal dari korteks motorik sampai motor neuron
medula spinalis (atau bulbar). Atau bisa didefinisikan sebagai perbedaan latensi
antara Motor Evoked Potentials (MEP) yang diinduksi oleh stimulasi korteks
motorik dengan latensi stimulasi radiks motorik medulla spinalis. Sehingga
nilainya dapat dihitung dengan cara mengurangi latensi potensial motorik korteks
dengan latensi potensial motorik radiks medula spinalis (gambar 4). Jika coil TMS
ditempatkan pada leher bagian belakang, gelombang magnetik akan menstimulasi
radiks medula spinalis, bukan pada traktus spinalis desendensnya. Beberapa studi
menunjukkan bahwa sangat sulit untuk menstimulasi medula spinalis dengan
gelombang magnet dan kurangnya latensi yang ditimbulkan MEP, meskipun
dengan menggerakkan coil pada aksis restrocaudal tulang belakang. Central
motor conduction time dihitung dari data stimulasi magnet, yaitu waktu
sebenarnya dari konduksi motorik sentral ditambah synaptic delay pada level
spinal dan waktu dari radiks proksimal sampai dengan foramen intervertebral.
Lebih tepatnya lagi, central conduction time lebih mudah diukur dengan
menggunakan latensi F-wave daripada radiks spinal TMS.9
Pemanjangan CMCT didapatkan pada demielinisasi atau transmisi via
serabut yang bermielin tipis, atau setelah degenerasi serabut kortikospinalis. Pada
umumnya, pemanjangan CMCT menunjukkan korelasi dengan derajat blok
konduksi dan dispersi temporal.22

23
Gambar 5. Skema Pengukuran Central Motor Conduction Time9
(disadur dari THE LANCET Neurology Vol 2 March 2003
http://neurology.thelancet.com dengan izin).
Motor Evoked Potentials (MEP) yang diinduksi oleh TMS. (b) MEP setelah
stimulasi radiks servikal medula spinalis. (c) F-waves setelah stimulasi elektrik
nervus ulnaris. CMCT dihitung dari latensi T1 dikurangi dengan latensi T2.
CMCT dapat juga dihitung dengan rumus T1-(F+M-1)/2. T1=latensi MEP yang
diinduksi TMS; T2=latensi MEP yang diinduksi oleh coil yang ditempatkan pada
servikal medula spinalis; M=latensi M-wave pada stimulasi elektrik nervus
ulnaris; F=latensi F-wave pada stimulasi elektrik nervus ulnaris.

Pemanjangan CMCT didapatkan pada proses demielinasi, sedangkan respon


amplitudo yang rendah dengan sedikit pemanjangan atau absennya respon
didapatkan pada hilangnya neuron atau akson. Multiple sklerosis dan myelopati
spondilitis servikal merupakan penyakit tipikal yang menunjukkan pemanjangan
waktu konduksi dengan respon yang terdispersi dan lambat. Sedangkan pada
amyotrophic lateral sclerosis (ALS), amplitudo MEP rendah tetapi CMCT sedikit
menurun. Pengukuran ini juga terkait dengan derajat keparahan defisit motorik
paska stroke. Pengukuran CMCT dapat membantu menegakkan diagnosis dan
juga dapat digunakan sebagai penanda objektif dalam progresifitas dan prognosis.

24
Bagaimanapun juga, perubahan pada CMCT tidak spesifik pada penyakit
tertentu.22

2.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya


Sangat memungkinkan untuk memprediksi perbaikan motorik pada pasien
stroke dengan menggunakan pengukuran MEP dan CMCT. Berikut ini adalah
penelitian-penelitian terbaru mengenai TMS dan stroke yang dititikberatkan pada
prediksi perbaikan motorik paska stroke.
Stimulasi pada 22 pasien stroke akut menunjukkan pemanjangan CMCT
pada satu pasien. Pemanjangan CMCT tersebut berhubungan dengan pemulihan
motorik yang buruk. Sebelas pasien didapatkan absen atau penurunan MEP, dan
sepuluh diantaranya mempunyai pemulihan yang buruk. Sedangkan sebelas
pasien sisanya, nilai MEP dan CMCT dalam batas normal, dan kesebelas pasien
tersebut mempunyai pemulihan motorik yang baik. Peningkatan amplitudo yang
signifikan terlihat pada pasien dengan perbaikan klinis, tetapi tidak terlihat pada
pasien tanpa perbaikan klinis. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa TMS
selain dapat digunakan untuk menilai prognosis, TMS dapat juga digunakan untuk
memonitor kemajuan terapi.10
MEP kortikal diukur dari otot APB pada 41 pasien stroke. Perbedaan yang
signifikan terlihat pada latensi, amplitudo MEP dan CMCT antara sisi lesi dengan
sisi yang normal. Perbedaan yang signifikan juga didapatkan pada nilai CMCT
pada pasien stroke dengan individu normal. Secara statistik didapatkan korelasi
antara derajat kelemahan motorik dan temuan abnormalitas MEP kortikal. Pasien
stroke hemoragik mempunyai nilai abnormalits MEP yang lebih tinggi
dibandingkan pasien infark. Didapatkan absennya MEP pada semua pasien infark
MCA (n=4), baik kortikal maupun subkortikal. Korelasi jelas terlihat antara luas
infark dengan defisit motorik yang tampak.24
Heald dkk (1993) memeriksa CMCT pada 118 pasien stroke akut dan
menilai prediksi keluaran dan mortalitas satu tahun paska stroke. Pasien direkrut
dalam 12-72 jam pertama setelah onset, dan dibagi menjadi tiga kelompok:
normal CMCT, pemanjangan CMCT dan tidak ada respon. Pada minggu pertama
paska stroke, pada kelompok dengan absen CMCT, tidak didapatkan perbaikan

25
klinis neurologi, dan pada follow up 12 bulan sesudahnya defisit neurologis yang
lebih buruk dibandingkan kelompok lainnya. Pada kelompok normal CMCT,
menunjukkan nilai yang makin meningkat pada 12 bulan berikutnya dan
mempunyai perbaikan fungsional yang lebih baik. Pada kelompok pemanjangan
CMCT, mempunyai keluaran satu tahun hampir sama dengan kelompok normal
CMCT. Pasien dengan nilai motor threshold tinggi mempunyai keluaran
fungsional yang buruk. Angka mortalitas tinggi pada kelompok absen CMCT.11
Dua puluh tujuh pasien dievaluasi pada tujuh hari pertama, tiga bulan, enam
bulan paska stroke. Selama evaluasi, MEP diukur bilateral dari otot APB dan
tibialis anterior. Pada 63% pasien tidak didapatkan MEP, pasien ini mempunyai
skor klinis yang lebih buruk dibandingkan pasien yang mempunyai MEP. Tidak
ada perbedaan signifikan yang terlihat pada perbaikan motorik selama periode
follow up. 24
Sebanyak enam puluh pasien stroke iskemik sylvian akut diperiksa
eksitation threshold (ET). Rata-rata nilai ET diukur pada hari ke tujuh, tiga puluh
dan sembilan puluh paska stroke pada otot dari ekstremitas atas bilateral. Nilai
rata-rata ET meningkat pada hari ke tujuh. Pada pasien dengan perbaikan klinis
nilai ET menurun pada hari ke tiga puluh dan hari ke sembilan puluh
dibandingkan pasien dengan pemulihan yang buruk. Nilai ET menurun pada
semua pasien pada hari ke sembilan puluh, dan efeknya nyata terlihat di antara
hari ke tiga puluh sampai hari ke sembilan puluh. Lokasi lesi tidak mempunyai
hubungan dengan nilai ET.26
Pada tahun 1996, Rapisarda dkk menemukan bahwa pada stroke iskemik
dengan nilai MEP normal (lebih dari 5% Mmax) pada pasien dengan parese
ekstremitas atas komplit mempunyai prognosis perbaikan motorik ekstremitas atas
yang baik. Sedangkan pada pasien dengan nilai MEP kurang dari 5% Mmax tidak
didapatkan prognosis yang baik, setidaknya setelah dua minggu. Ada hal lain dari
studi ini yang menyatakan bahwa amplitudo MEP pada hari pertama lebih
berguna dalam memprediksi luaran motorik dibandingkan skala klinis yang
digunakan. Para ahli juga menyatakan bahwa amplitudo MEP > 5% Mmax lebih
baik digunakan untuk memprediksi prognosis dibandingkan CMCT.27

26
Nilai MEP dan Somatosensory Evoked Potentials (SEP) diperiksa pada 50
pasien dengan infark MCA akut. MEP dan SEP diukur pada hari ke empat,
minggu ke enam dan tiga bulan paska stroke. Setiap parameter yang diperiksa
ditentukan nilai prognostiknya terhadap keluaran klinis. MEP dan usia
mempunyai kontribusi baik terhadap keluaran klinis dengan analisa regresi.
Pasien dengan MEP normal atau memanjang pada pengukuran hari ke empat
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan MEP
yang tidak timbul.28
Tujuh pasien dengan lesi hemiserebelar yang terisolasi dilakukan
pemeriksaan CMCT dengan TMS. Nilai CMCT secara signifikan memanjang jika
stimulasi dilakukan kontralateral terhadap DH dibandingkan stimulasi ipsilateral.
Pemanjangan CMCT mempunyai korelasi positif dengan beratnya kerusakan
fungsi motorik.29
DOlhaberriague dkk mengevaluasi kegunaan MEP pada stroke iskemik.
Mereka juga melakukan studi hubungan antara abnormalitas MEP dengan
topografi infark. Lima puluh pasien stroke iskemik dilakukan follow up sampai
satu tahun, dan dilakukan pengukuran MEP pada hari pertama, ketiga, ketiga
puluh, dan kesembilan puluh paska stroke. Amplitudo dan latensi MEP/CMCT
diperiksa pada otot hipotenar, biceps, brachialis, gastrocnemeus dan quadriceps.
Pasien dengan skor 1-3 Rankin scale pada satu tahun paska stroke mempunyai
latensi MEP yang lebih pendek dibandingkan dengan pasien dengan skor 4-5
Rankin scale atau pasien yang telah meninggal selama tahun pertama paska
stroke. Dengan menggabungkan nilai MEP dan nilai klinis meningkatkan faktor
prediktor dari 76% menjadi 84%.30
Hendricks dkk melakukan pengukuran MEP dan SEP dari pasien stroke
infark pada teritori MCA sampai hari ke 29 paska stroke. Semua pasien
mengalami parese pada ekstremitas atas. Didapatkan korelasi yang signifikan
antara timbulnya MEP pada saat akut dengan perbaikan motorik.31
Dilakukan pemetaan luaran motorik terhadap otot ADM pada 15 pasien
stroke nonhemisferik dengan menggunakan TMS fokal dan evaluasi MEP. Pasien
rata-rata mengalami stroke 2 bulan sebelumnya. MEP diukur pada otot ADM
diikuti dengan TMS fokal dari DH dan UH pada awal studi (T1) dan setelah 8-10

27
minggu paska neurorehabilitasi (T2). MEP threshold pada sisi lesi secara
signifikan lebih besar dibandingkan pada sisi normal pasien stroke. MEP
threshold pada sisi lesi pasien stroke juga lebih besar dibandingkan dewasa
normal. Tidak ada perbedaan yang bermakna nilai MEP threshold pada sisi
normal pasien stroke dengan dewasa normal. Latensi MEP memanjang secara
signifikan pada sisi lesi pada pengukuran T1 dan T2. Terjadi penurunan
extenuation luaran motorik pada otot ADM sisi lesi yang signifikan selama T1,
tetapi tidak pada sisi normal atau dewasa normal. Area extenuation ini semakin
meluas selama T2. Amplitudo MEP yang diukur pada sisi normal pasien stroke,
baik pada saat istirahat maupun saat kontraksi, menunjukkan hasil yang secara
signifikan lebih rendah dibandingkan amplitudo MEP pada dewasa normal.
Amplitudo T2 meningkat saat istirahat, tetapi masih lebih rendah dibandingkan
dengan amplitudo dewasa normal saat kontraksi. Selain itu juga didapatkankan
bahwa CMCT yang memanjang pada saat T1 dan T2 mempunyai korelasi dengan
perbaikan klinis dan skor disabilitas yang buruk.32
Pada tahun 1998, Cruz-Martinez dkk menemukan korelasi antara CMCT,
amplitudo MEP dan intensitas threshold dengan pemulihan fungsi motorik
ekstremitas atas paska stroke. Periode inhibisi pada pasien parese ekstremitas atas
yang spastik ternyata lebih pendek dibandingkan sisi ekstemitas yang normal.
Pemendekan ini berkorelasi dengan derajat spastisitas.33
Pada tahun 1998, Escudero dkk memeriksa MEP pada pasien stroke.
Mereka menemukan bahwa prognosis stroke tidak mempunyai korelasi yang
konsisten dengan beratnya paresis pada saat terjadinya stroke, inkontinensia
sphincter, riwayat stroke sebelumnya, skor fungsional saat masuk rumah sakit dan
gangguan kognitif. Timbulnya MEP atau normal CMCT berkaitan dengan
probabilitas yang tinggi dan pemulihan fungsional yang baik. Pasien dengan MEP
yang tidak timbul atau pasien dengan MEP yang CMCTnya memanjang
mempunyai pemulihan jelek bahkan mempunyai risiko kematian tinggi karena
stroke. Pasien dengan MEP yang tidak timbul saat awal stroke, tetapi
menunjukkan perbaikan klinis ternyata MEPnya timbul kembali saat diperiksa
ulang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa MEP yang diperiksa dengan

28
menggunakan TMS merupakan metode yang berguna untuk menilai prognosis
awal perbaikan fungsi motorik pada pasie stroke iskemik.34
TMS fokal digunakan untuk memeriksa MEP baik pada hemisfer lesi
(damaged hemisphere = DH) maupun hemisfer yang normal (undamaged
hemisphere = UH) pada pasien stroke subakut monohemisfer. MEP diperiksa dua
bulan (T1) dan empat bulan (T2) paska stroke. Pada saat T1, MEP saat istirahat
pada DH lebih rendah dibandingkan UH dan dewasa normal. Pada saat T2,
amplitudo MEP saat istirahat pada DH pasien dengan perbaikan klinis lebih besar
daripada dewasa normal. Amplitudo MEP saat kontraksi (T1) pada DH lebih
besar dibandingkan dewasa normal. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pemulihan
dari eksitabilitas DH threshold merupakan penanda predikif untuk perbaikan
fungsi motorik tangan.35
Dua puluh pasien diperiksa MEP bilateral pada otot thenar pada hari
pertama paska stroke. Dibandingkan intensitas threshold, CMCT dan amplitudo
MEP antar DH dan UH. Pasien kemudian diperiksa ulang 6 bulan kemudian.
Disimpulkan bahwa dalam beberapa hari paska stroke, MEP yang diukur saat otot
istirahat maupun kontraksi dapat digunakan sebagai prognosis keluaran stroke,
seperti pada pasien yang menunjukkan respon awal MEP mendapatkan kembali
fungsi motorik yang baik selama beberapa bulan kemudian. Beberapa perbaikan
fungsional elektrofisiologis berkaita erat dengan perbaikan fungsi motorik.36
Feys dkk melakukan studi untuk mengetahui apakah MEP atau SEP yang
lebih baik untuk menilai perbaikan klinis paska stroke. Pada stroke akut, hanya
satu dari 50 pasien mempunyai normal respon terhadap TMS. Pada 74% pasien,
tidak didapatkan respon terhadap TMS. Dua bulan kemudian, respon MEP normal
hanya didapatkan pada dua dari 50 pasien. Mereka menyimpulkan bahwa tidak
cukup hanya pengukuran MEP atau SEP saja yang digunakan sebagai indikator
perbaikan motorik pada pasien paska stroke. Pengukuran elektrofisiologis tersebut
lebih baik dikombinasikan dengan pemeriksaan klinis.37
Tiga puluh delapan pasien stroke unilateral kortikal maupun subkortikal
diperiksa CMCT. Didapatkan bahwa amplitudo MEP dan CMCT mempunyai
korelasi dengan perubahan persentase pada skor pemulihan yang diukur tiga bulan
paska stroke. Pemulihan kekuatan otot berkaitan erat dengan amplitudo MEP.38

29
MEP diukur menggunakan TMS pada korteks motorik ipsilateral dan
kontralateral otot thenar pada 21 pasien stroke. Tidak didapatkan respon di DH
dan UH pada 10 pasien dan pemulihan motorik pada pasien ini jelek, diduga
berkaitan dengan nilai MEP pada sisi yang normal. Pada 5 pasien, didapatkan
nilai MEP lebih besar pada korteks motorik sisi yang normal dibandingkan
korteks sisi lesi, pada pasien ini perbaikan motoriknya baik. Sedangkan pada 6
pasien sisanya, MEP pada otot sisi lesi lebih besar dibandingkan otot sisi normal,
pasien ini juga mempunyai perbaikan motorik yang baik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa timbulnya MEP awal berguna dalam memprediksi perbaikan
motorik pada pasien stroke akut.39
Seratus pasien dengan hemiparesis satu sisi, diperiksa MEP dari otot tibialis
anterior setelah empat minggu paska stroke, dan delapan minggu kemudian
setelah mengikuti rehabilitasi. Hasilnya adalah adanya korelasi antara nilai MEP
dengan defisit motorik, aktivitas harian dan kemampuan berjalan. Dimana jika
nilai MEP normal, maka probabilitas pasien untuk menjadi mandiri dalam
melakukan aktivitas harian, dan berjalan menjadi semakin besar. Pasien juga
cenderung mencapai global outcome scales yang lebih besar.40
Penggunaan TMS sebagai metode dalam memprediksi perkembangan
distrofi reflek simpatetik (RSD) paska stroke sudah diteliti. Dua puluh pasien
yang sedang menjalani rehabilitasi diperiksa MEP pada sisi lesi. Didapatkan
korelasi yang signifikan antara MEP dengan indeks Motricity tetapi didapatkan
perbedaan yang signifikan antara MEP dan skor Enjalbert. Meskipun tidak ada
hubungan yang signifikan antara parese pada ekstremitas atas dan intensitas RSD
dalam 10 minggu paska stroke, MEP mengkategorikan pasien berdasarkan skor
Enjalbert yang berbeda, yang terlihat 1-2 bulan kemudian.41
Reorganisasi pemetaan motorik pada lesi vaskuler mono hemisfer telah
dilakukan dengan menggunakan TMS. Didapatkan beberapa gambaran MEP
spesifik terlihat pada 19 pasien stroke. Gambaran ini disebabkan perubahan
eksitabilitas dari area kortikal motorik yang terjadi selama proses perbaikan
kronis. Disarankan untuk memberikan perhatian lebih besar pada pemilihan otot
yang diperiksa dan TMS berguna dalam mempertimbangkan terapi rehabilitasi
spesifik yang diperlukan paska stroke.42

30
Respon eksitasi korteks motorik dan inhibisi telah diperiksa pada 20 pasien
stroke iskemik. Teritori arteri yang terkena adalah arteri serebri media dengan
onset 24 jam. Parameter tersebut dibandingkan dengan MEP. CMCT abnormal
pada 2 pasien, tetapi inhibisi kortiko-kortikal ipsilateral terlihat menurun pada
semua pasien setelah stimulasi pada korteks yang mengalami iskemik. Durasi
silent period (SP) memanjang pada 15 pasien, resting threshold abnormal pada 8
pasien. Hanya resting threshold abnormal yang konsisten yang berkaitan dengan
pemulihan motorik yang buruk. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran threshold
korteks motorik merupakan pengukuran yang baik dalam menentukan prognosis
yang buruk.43
Pada 40 pasien dengan stroke murni motorik, diukur MEP dari otot FDI saat
6 bulan atau lebih paska stroke. Hasilnya didapatkan bahwa amplitudo MEP,
CMCT dan MT dari DH berbeda secara signifikan dibandingkan UH dan dewasa
normal. Parameter tersebut mempunyai korelasi yang signifikan dengan klinis,
terlihat pada 86% pasien dengan parese pada ekstremitas atas mempunyai
abnormal MEP. Pada pasien yang mengalami pemulihan sempurna (n=21)
didapatkan penurunan amplitudo MEP dan peningkatan MT di DH.44
Thickbroom dkk mengukur amplitudo MEP dan MT pada 23 pasien yang
mengalami stroke iskemik subkortikal 23 bulan sebelumnya. Pengukuran
dilakukan pada kedua hemisfer (DH dan UH). Didapatkan adanya korelasi antara
amplitudo MEP dan MT dengan kekuatan motorik, tetapi tidak ada korelasi antara
amplitudo MEP dan MT dengan ketangkasan motorik.45
Dengan stimulasi paired TMS dari korteks motorik pada pasien stroke
terungkap perubahan terhadap intracortical facilitation (ICF) dan intracortical
inhibition (ICI) di DH dan UH. Kurva perbedaan interhemisfer antara ICI dan ICF
pada dewasa normal mengikuti rangkaian waktu terdekat di kedua hemisfer.
Kurva perbedaan ICI dan ICF berbeda secara signifikan antara DH dan UH pada
pasien stroke, yaitu ICI menurun pada DH dan normal pada UH. Peneliti
menyimpulkan bahwa kedua parameter ini dapat digunakan untuk memprediksi
perbaikan stroke dan untuk evaluasi stroke pada pasien stroke monohemisfer.46
Dachy dkk melakukan investigasi apakah paired TMS pada pasien stroke
lebih unggul sebagai prediktor dibandingkan single TMS selama fasilitasi. Lima

31
puluh enam pasien stroke dengan lesi iskemik tunggal dan tanpa respon MEP
dengan menggunakan single TMS pada hari ke 32 paska stroke. Penilaiannya
terdiri dari stimulasi tunggal pada saat tangan menggenggam dan fleksi siku
diikuti dengan paired pulse stimulasi pada saat istirahat. Kemudian dilakukan
evaluasi ulang saat hari ke 26 dan 76 paska stroke. Selama fasilitasi, 37% pasien
masih berespon terhadap single TMS; pada pasien ini mempunyai skor klinik
yang lebih baik saat evaluasi dan pemulihan yang lebih baik. Dengan paired
TMS, 54% pasien yang berespon, skor meningkat pada evaluasi kedua dan
mereka mempunyai pemulihan klinis yang lebih baik. Semua pasien yang
berespon terhadap single TMS juga berespon terhadap paired TMS.47
Pasien dengan stroke iskemik pertama pada teritori MCA dan mengalami
parese berat pada ekstremitas atas dilakukan pengukuran MT dan amplitudo MEP
pada DH dan UH pada hari ke-1, 8, 30, 90, 180, 360 paska stroke. Pada pasien
yang tereksitasi di DH saat hari pertama, ternyata tidak ada perbedaan nilai MT
yang signifikan pada DH dan UH, dan nilainya hampir sama dengan dewasa
normal. Sehingga bisa disimpulkan bahwa persistensi MEP pada sisi lesi pada hari
pertama stroke merupakan prediktor yang dapat dipercaya dari perbaikan fungsi
motorik. Fungsi kortikospinal yang cepat, dapat dianalisa dengan MEP, dimana
digunakan untuk mengukur pemulihan motorik pada 55 pasien stroke dengan
gejala parese pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Otot yang diperiksa
adalah ADM, vastus medialis, biceps brachii (BB) dan tibialis anterior dalam 10
hari dan 40 hari setelah onset stroke. Kekuatan motorik juga dievaluasi pada hari
ke-10, 40 paska stroke dan 26 minggu paska stroke. Jika MEP muncul pada pada
hari ke-10, perbaikan motorik sangat cepat dan nyata. Kebanyakan MEP muncul
pada hari ke-40 dibandingkan hari ke-10.48
Hendricks dkk menilai MEP untuk prognostik pemulihan motorik tangan
dan lengan. MEP diukur pada hari ke-10 paska stroke di otot BB dan ADM. Dari
40 pasien yang diperiksa, 14 pasien mendapatkan perbaikan motorik otot lengan
yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari nilai MEP otot BB dapat
diramalkan kemungkinan perbaikan motorik tangan dan lengan atas.49
Pada tahun 2003, Stulin dkk melakukan penelitian MEP pada 52 pasien
stroke, 29 diantaranya mempunyai keluaran fungsional yang baik dan 23

32
diantaranya mempunyai keluaran fungsional yang buruk. Latensi MEP
memanjang saat stimulasi area motorik di korteks DH dilanjutkan dengan
stimulasi pada medulla spinalis. Nilai CMCT juga meningkat pada DH, dan
mempunyai korelasi negatif dengan defek motorik. Nilai latensi MEP DH juga
mempunyai korelasi negatif dengan defek motorik.50
Nilai prognostik MEP awal jika dikombinasikan dengan variabel klinis
lainnya telah dievaluasi pada 19 pasien stroke fase akut yang baru pertama kali
mengalami stroke pada teritori MCA. MEP yang dikombinasikan dengan National
Institutes of Health Stroke Scale score merupakan informasi yang penting dalam
memprediksi luaran motorik tangan.51
Dua puluh tujuh pasien stroke iskemik subkortikal dievaluasi pada hari ke-
10, satu bulan dan enam bulan paska stroke. Pasien stroke mempunyai inhibisi
paired pulse lebih tinggi jika dibandingkan dengan dewasa normal. Fasilitasi
paired pulse juga meningkat setelah stroke kortikal. Pasien stroke subkortikal
mempunyai inhibisi awal lebih tinggi kemudian menjadi menurun, sedangkan
pasien stroke kortikal tidak berefek inhibisi meskipun mempunyai efek fasilitasi
lebih cepat dan lebih lama. Pada pasien stroke subkortikal, inhibisi yang menurun
diikuti dengan perbaikan motorik.52

33
2.4. Kerangka Teori

Stroke Iskemik

Pompa Na-K ATPase gagal

Depolarisasi

Pelepasan Glutamat
Kanal Ca++ terbuka

Reseptor Reseptor
Metabotropik Reseptor
AMPA NMDA

Pelepasan Ca++ intrasel


Influks Ca++

Peningkatan Ca++ intrasel

Kematian Neuron di otak

Demielinisasi atau kerusakan akson

Blok konduksi syaraf

Pemanjangan waktu hantar syaraf (pemanjangan CMCT)


atau tidak ada respon MEP (dapat dinilai dengan TMS).

Penurunan kekuatan motorik

34
2.5. Kerangka Konsep

Stroke
iskemik

Kerusakan Defisit
neuron motorik
motorik di Luaran
otak (dinilai (dinilai motorik
dengan dengan skala
CMCT) MRC)

* Etiologi
stroke
Lokalisasi
lesi
Luas lesi
Kecepatan
mendapat
pengobatan

Keterangan:
: : Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti.

35
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang
dan ruang pemeriksaa TMS di poli syaraf RSI Siti Khadijah Palembang pada
periode September-Desember 2016.

3.3. Populasi Penelitian


Sampel penelitian ini diambil dari populasi target dan terjangkau yang
memenuhi kriteria inklusi.
3.3.1. Populasi target
Pasien stroke iskemik di kota Palembang.
3.3.2. Populasi terjangkau
Pasien yang dirawat di ruang rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang
dengan diagnosis stroke iskemik.
Kriteria inklusi :
Pasien stroke iskemik.
Pasien dengan gejala hemiparese.
Bersedia untuk ikut dimasukkan dalam sampel penelitian.
Kriteria Eksklusi :
Ibu hamil.
Kebiasaan konsumsi alkohol atau obat psikotropika.
Pada pemeriksaan nervus medianus didapatkan abnormalitas.
Memiliki riwayat penyakit neurologi lainnya, misalnya tumor intrakranial,
meningitis, ensefalitis, multiple sclerosis, abses serebri, dll.
Pasien dengan penurunan kesadaran.
Pasien yang menunjukkan pemulihan motorik dalam 24 jam paska stroke.
Riwayat patah tulang.

36
Memakai cardiac pacemaker, memakai implant metalik.

3.4. Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu pasien
stroke iskemik yang dirawat di ruangan rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang
sesuai dengan kriteria penelitian. Pengambilan sampel dihentikan setelah jumlah
subjek yang diperlukan terpenuhi.

3.5. Besar Sampel


2
(Z+Z
n=( 1+r ) +3
0,5 ln
1r

n = jumlah sampel.
Z= tingkat kemaknaan (Z kesalahan tipe I) = 1,64.
Z = power (Z kesalahan tipe II) = 1,28
ln = logaritma.
r = korelasi = 0,5, karena belum ada data hasil korelasi sebelumnya.
Maka besar sampel minimal adalah 32 orang.

3.6. Variabel Penelitian


3.6.1. Variabel Independen :
Nilai Central Motor Conduction Time (CMCT) ekstremitas atas, yang
diukur dengan menggunakan TMS.
3.6.2. Variabel Dependen :
Kekuatan motorik stroke iskemik, yang diukur dengan menggunakan
parameter Skala Medical Research Council (MRC).
3.6.3. Variabel Terkait/Kovariabel :
1. Etiologi stroke.
2. Lokalisasi lesi.
3. Luas Lesi.
4. Kecepatan mendapat pengobatan.
5. Riwayat penyakit sebelumnya.

37
3.7 Definisi Operasional Penelitian
1. Central Motor Conduction Time (CMCT)
Definisi :
Didefinisikan sebagai perkiraan waktu konduksi serabut kortikospinal antara
korteks motorik sampai motor neuron spinal (atau bulbar). Diberi satuan
milisekon/milidetik.
Metode :
Stimulasi gelombang elektromagnet pada korteks serebri.
Alat ukur :
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merk Neurosoft tahun 2011.
Hasil ukur :
Data numerik dengan satuan mdet dan data kategorik, yaitu :
o CMCT Normal : 9,63 mdet.
o CMCT memanjang : > 9,63 mdet.
o Absen : tidak ada respon gelombang MEP dengan stimulasi TMS.
2. Stroke iskemik
Definisi:
Stroke iskemik adalah kumpulan gejala defisit neurologis akibat gangguan
fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurangnya atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak yang dapat
disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah arteri atau vena, yang
dibuktikan dengan pemeriksaan imaging.
Metode :
Dengan melakukan anamnesis pasien/keluarga pasien, pemeriksaan fisik dan
dikonfirmasi dengan CT scan kepala yang dilakukan oleh peneliti.
Alat ukur :
Hammer reflek, CT Scan kepala tanpa kontras.
Hasil ukur :
Data kategorik, yaitu stroke iskemik dan bukan stroke iskemik.
3. Skala Medical Research Council (MRC).
Definisi :
MRC adalah skala pengukuran kekuatan motorik.

38
Metode :
Pemeriksaan neurologi yang dilakukan oleh peneliti.
Alat ukur :
Hammer reflek, formulir pemeriksaan MRC.
Hasil ukur :
Data numerik berupa :
0: tidak ada gerakan.
1: gerakan pada sendi-sendi kecil.
2: tidak dapat melawan gravitasi.
3: dapat melawan tahanan lemah.
4: dapat melawan tahanan kuat.
5: kekuatan motorik normal.
4. Etiologi stroke
Definisi :
Penyebab stroke.
Metode :
Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan CT scan kepala tanpa
kontras yang diekspertise oleh dokter spesialis radiologi.
Alat ukur :
CT scan kepala tanpa kontras.
Hasil ukur :
Data kategorik berupa :
o Stroke trombosis.
o Stroke emboli.
5. Lokalisasi lesi
Definisi :
Tempat di otak yang mengalami infark.
Metode :
Dengan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras, yang dinilai oleh peneliti.
Alat ukur :
CT scan kepala tanpa kontras.
Hasil ukur :

39
Data kategorik berupa :
o Tidak ditemukan lesi.
o Kortikal.
o Subkortikal.
o Batang Otak.
4. Luas lesi
Definisi : area infark pada CT scan kepala.
Metode : Dengan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras yang diekspertise
oleh dokter spesialis radiologi.
Alat ukur : CT scan kepala tanpa kontras yang diukur dengan skala.
Hasil ukur :
Data kategorik berupa :
o Kecil bila normal CT scan atau luas infark < 3 mm.
o Sedang atau besar bila luas infark > 3 mm.
5. Kecepatan mendapat pengobatan.
Definisi : jarak waktu dari onset terjadinya stroke sampai penderita
mendapatkan anti agregasi platelet (aspilet 320 mg/hari).
Metode : data dari rekam medis pasien.
Alat ukur : jam tangan.
Hasil ukur :
Data kategorik berupa :
o Kurang dari 48 jam mendapat aspilet.
o Lebih dari 48 jam mendapat aspilet.
6. Riwayat penyakit sebelumnya.
Definisi:
Penyakit-penyakit lain yang secara langsung atau tidak langsung menjadi
faktor resiko stroke, misalnya hipertensi, DM, dislipidemia, kelainan darah
(hipercoagulable state, sickle-cell disease), jantung koroner, asam urat, stroke
sebelumnya, gagal ginjal, dan tumor.
Metode :
Anamnesis dan data dari rekam medis.
Hasil ukur:

40
Data kategorik:
A. Ya
B. Tidak

3.8. Bahan Penelitian


Lembar pengumpulan data yang berisi identitas pasien dan variabel-variabel
penelitian.
Alat tulis.
Lembar persetujuan ikut penelitian.
Alat Transcranial Magnetic Stimulator (TMS) merk Neurosoft tahun
2011 yang dilakukan kalibrasi setiap setahun sekali.

3.9. Prosedur Kerja


Penderita stroke iskemik yang dirawat di ruang rawat inap RSI Siti Khadijah
Palembang dilakukan wawancara terlebih dahulu mengenai riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat pemakaian alkohol maupun obat psikotropika. Penderita
yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent dan tanda tangan
persetujuan ikut serta dalam penelitian. Sampel penelitan didampingi keluarganya
diberikan penjelasan tentang tujuan dan prosedur penelitian. Semua penderita
diberikan terapi sesuai dengan clinical pathway yang berlaku di RSI Siti Khadijah
Palembang dan fisioterapi.
Dilakukan pencatatan identitas subjek penelitian dan penilaian skala MRC
pada ekstremitas atas. Dilakukan pemeriksaan nervus medianus kanan dan kiri.
Bila didapatkan hasil yang normal (KHS 52-66 m/det; latensi 2,7-3,9 mdet;
amplitudo 8-14 mV), akan dilanjutkan dengan pemerikaan CMCT ekstremitas
atas menggunakan TMS koil tipe round coil diameter 7,5 cm. Pemeriksaan
CMCT dilakukan setelah 48 jam dari awitan stroke.
Koil diletakkan di verteks dengan arah arus listrik koil ke arah otot yang
akan distimulasi. Diberikan stimulasi dengan intensitas 100 mA lalu posisi sedikit
digeser sampai ditemukan hot-spot yang menghasilkan gelombang paling tinggi.
Setelah itu dilakukan stimulasi dengan intensitas stimulus 70 mA pada radiks

41
servikal medulla spinals (pada area bahu 3 jari lateral dari prosesus spinosus
C7) dengan arah koil berlawanan dengan pemeriksaan kortikal (verteks).
Nilai CMCT ekstremitas atas didapatkan dengan mengurangi latensi MEP
yang diinduksi oleh TMS dengan latensi MEP setelah stimulasi radiks servikal
medulla spinalis.6 Latensi MEP didapatkan dengan mengukur jarak dari
pemberian stimulus magnet sampai menimbulkan respon. Respon maksimal
voltase yang terekam. Amplitudo dapat diukur dari dasar dari puncak negatif
sampai puncak positif (peak to peak amplitudo). Dilakukan pencatatan variabel
penelitian pada lembar pengumpulan data.

42
3.10. Alur Penelitian

Pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria inklusi (melaui


wawancara dan data dari rekam medis)

Persetujuan ikut penelitian

Dilakukan penilaian MRC pada ekstremitas atas kanan dan kiri

Dilakukan pemeriksaan nervus medianus


kanan dan kiri

Bila hasilnya normal dilanjutkan dengan pemeriksaan CMCT pada


M.abduktor pollisis brevis kanan dan kiri

Dilakukan pencatatan nilai CMCT, nilai MRC dan variabel penelitian


lainnya pada lembar pengumpulan data.

Analisa Data

Penyajian Data

43
3.11. Pengumpulan, Pengolahan, dan Rancangan Analisis Data
Pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu data
dikumpulkan dari rekam medis dan pemeriksaan CMCT dengan menggunakan
TMS.
Pengolahan dan rancangan analisis data menggunakan program SPSS 22 for
Windows. Rancangan analisis data adalah sebagai berikut:
1. Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik dari sampel
penelitian. Semua variabel akan dianalisis secara univariat yang hasilnya akan
ditampilkan dalam bentuk:
A. Tabel distribusi frekuensi jika data bersifat kategori.
B. Nilai mean (rata-rata) dan standar deviasi jika data bersifat numerik.
Contoh:

A. Data yang bersifat kategori


Jenis kelamin n Persentase
Laki-laki
Perempuan

B. Data yang bersifat numerik


Variabel Rata-rata Standar deviasi

2. Analisis bivariat
Untuk melihat adanya hubungan korelasi antara nilai CMCT dengan luaran
motorik ekstremitas atas pasien stroke iskemik dilakukan analisis dengan
menggunakan uji korelasi Pearson atau Spearman tergantung pada sebaran
distribusi data.
3. Analisis regresi linier
Bila memenuhi syarat, analisis data akan dilanjutkan dalam bentuk analisa
regresi linier dengan formula :

44
Y = + 1. X1 + 2. X2 + 3. X3 + ... n. Xn

Keterangan:
Y = derajat luaran motorik (data numerik)
= konstanta
X1 = nilai CMCT
1 = koefisien dari X1
X2... Xn = variabel terkait (kovariat)
2... n = koefisien terkait (kovariat)

45
BAB 4
JUSTIFIKASI ETIK

4.1. Rangkuman Karakteristik Penelitian


Dalam manajemen pasien stroke, sangat penting untuk mendapatkan
informasi terjadinya perbaikan motorik. Karena dapat membantu dalam
memotivasi pasien dalam pelaksanaan terapi dan rehabilitasi. TMS merupakan
metode stimulasi korteks motorik manusia non invasif dan digunakan untuk
meneliti fungsi eferen jalur motorik. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa
TMS berguna dalam memprediksi luaran motorik paska stroke. Penelitian ini
adalah uji korelasi untuk mengetahui bagaimana korelasi Central Motor
Conduction Time (CMCT) dengan kekuatan motorik ekstremitas atas pada pasien
stroke iskemik di RSI Siti Khadijah Palembang.
Subjek penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruangan rawat inap RSI
Siti Khadijah Palembang dengan diagnosis stroke iskemik. Semua subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dimasukkan kedalam penelitian, kemudian dilakukan
pemeriksaan CMCT ekstremitas atas dengan menggunakan TMS.

4.2. Prinsip Pelaksanaan Penelitian


1. Autonomous
Subjek penelitian sebelum dimasukkan menjadi sampel dilakukan inform
consent. Peneliti akan menjelaskan secara jujur dan terperinci mengenai tujuan,
cara, dan manfaat penelitian. Setelah diberikan penjelasan yang cukup tentang apa
yang akan dilakukan terhadapnya, pasien dimintakan kesediannya untuk menjadi
subjek penelitian secara tertulis dengan mengisi inform consent. Tidak ada unsur
paksaan, subjek dapat menolak untuk ikut dalam penelitian dan tetap akan
mendapatkan pelayanan serta penanganan penyakitnya sesuai standar pelayanan
di RSI Siti Khadijah Palembang. Peneliti akan menjaga kerahasiaan data subjek
yang didapat.

46
2. Non-maleficence
Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian bagi subjek penelitian baik
secara psikologis, kesehatan, dan finansial. Pasien stroke iskemik yang dirawat di
ruangan rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang akan mendapat perlakuan
sebagaimana pasienpasien lain sesuai standar pelayanan yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, dan terapi.
Peneliti tidak mengintervensi keputusan klinik terhadap subjek. Dilakukan
penilaian kekuatan motorik dengan skala MRC. Pasien juga dilakukan
pemeriksaan CMCT dengan menggunakan TMS. Pemeriksaan TMS adalah
pemeriksaan non-invasif yang tidak menimbulkan kerugian bagi pasien.
3. Beneficence
Penelitian ini memberikan manfaat kepada subjek penelitian yaitu untuk
mengetahui nilai CMCT sehingga bisa diketahui derajat kerusakan motorik, dan
diharapkan dapat memberikan motivasi bagi kesembuhan pasien.
4. Justice
Pasien diperlakukan secara hormat dan adil tanpa memandang suku, bangsa,
agama, dan kedekatan emosional dengan peneliti.

4.3. Analisis Kelayakan Etik


Penelitian ini telah berdasarkan landasan ilmiah yang kuat sehingga
bermanfaat dan dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan. Penelitian ini
dilakukan dengan inform consent, tidak ada paksaan bagi subjek penelitian untuk
ikut serta, tidak merugikan subjek penelitian baik secara psikologis, kesehatan,
dan finansial, juga memberi manfaat. Penelitian ini akan memperlakukan subjek
secara hormat dan adil tanpa memandang suku, bangsa, agama, dan kedekatan
emosional dengan peneliti. Bahwa tidak ada masalah khusus yang akan dihadapi
pada subjek penelitian.

4.4. Rincian Biaya


Untuk pasien yang memiliki asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) atau asuransi lainnya, biaya untuk prosedur pemeriksaan TMS,
pemeriksaan laboratorium, atau pemeriksaan lainnya sesuai indikasi ditanggung

47
oleh asuransi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jika ada biaya yang tidak
ditanggung asuransi, maka biaya akan ditanggung oleh peneliti.
1. Pembuatan proposal Rp. 500.000,00
2. Cetak makalah penelitian Rp. 300.000,00
3. Presentasi proposal penelitian Rp. 1.000.000,00
4. Seminar hasil penelitian Rp. 1.000.000,00
5. Biaya tak terduga Rp. 1.000.000,00
Jumlah Rp. 3.800.000,00

4.5. Simpulan
Oleh karena peneliti berpendapat bahwa penelitian ini memiliki landasan
keilmuan yang kuat dan akan bermanfaat hasilnya, dilaksanakan dengan cara yang
baik dan benar, serta tidak membahayakan subjek. Peneliti berkeyakinan bahwa
penelitian ini secara etik layak untuk dilaksanakan.

48
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan suatu penelitian uji korelasi antara nilai Central
Motor Conduction Time (CMCT) ekstremitas atas dengan kekuatan motorik
ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik. Kekuatan motorik dinilai dengan
menggunakan skala Medical Research Council (MRC). Subjek penelitian adalah
pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria inklusi. Proses pengambilan sampel
dilakukan secara konsekutif (consecutive sampling), yaitu semua sampel yang ada
dan memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah
sampel yang diperlukan terpenuhi.
Setiap penderita stroke iskemik yang dirawat di RSI Siti Khadijah
Palembang pada bulan September sampai Desember 2016 yang memenuhi kriteria
inklusi dilakukan informed consent. Setelah itu dilakukan pemeriksaan kekuatan
motorik ekstremitas atas kanan dan kiri, yang dinyatakan dalam skala Medical
Research Council (MRC). Kemudian dilakukan pemeriksaan konduksi hantar
saraf nervus medianus kanan dan kiri. Bila didapatkan hasil yang normal (KHS
52-66 m/det; latensi 2,7-3,9 mdet; amplitudo 8-14 mV), akan dilanjutkan dengan
pemerikaan CMCT ekstremitas atas menggunakan koil tipe round diameter 7,5
cm.
Didapatkan 26 pasien stroke iskemik di RSI Siti Khadijah. Lima orang
dieksklusi, terdiri dari tiga orang pasien mengalami penurunan kesadaran, satu
pasien memiliki riwayat kejang dan satu pasien menolak ikut dalam penelitian.
Sehingga didapatkan 21 orang pasien yang memenuhi subjek penelitian. Menurut
perhitungan jumlah sampel minimal seharusnya minimal 32 sampel, karena
keterbatasan waktu, maka yang didapatkan hanya 21 sampel.

5.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian


Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik umum subjek penelitian. Didapatkan
bahwa kategori usia terbanyak subjek penelitian adalah usia 45 64 tahun, yaitu
sebanyak 12 orang (57,1%). Jenis kelamin terbanyak subjek penelitian adalah

49
perempuan, yaitu sebanyak 14 orang (66,7%). Dengan perbandingan laki-laki
dibanding perempuan adalah 1:2.

Tabel 5.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Karakteristik Demografi n %
Kategori Usia
< 45 tahun 0 0
45 64 tahun 12 57,1
65 tahun 9 42,9
Jenis Kelamin
Laki-laki 7 33,3
Perempuan 14 66,7

5.2. Karakteristik Klinis Subjek Penelitian


Tabel 5.2 menunjukkan karakteristik klinis subjek penelitian. Berdasarkan
etiologi stroke, dari 21 total subjek penelitian, didapatkan 20 orang (95,2%)
dengan etiologi trombosis serebri. Berdasarkan lokasi lesi di CT scan kepala,
paling banyak subjek penelitian mempunyai lesi di subkortikal, sebanyak 13
orang (61,9%). Berdasarkan luas lesi, paling banyak subjek penelitian dengan lesi
kecil (< 3 cm), yaitu sebanyak 17 orang (81%). Sebanyak 20 (95,2%) subjek
penelitian mendapatkan pengobatan aspilet dalam 48 jam pertama. Sebanyak 11
(52,4%) subjek penelitian merupakan serangan stroke pertama. Paling banyak
pasien mengalami riwayat hipertensi, yaitu pada 20 pasien (95,2%).

Tabel 5.2. Karakteristik Klinis Subjek Penelitian

Karakteristik Klinis N %
Tipe Stroke
Trombosis 20 95,2
Emboli 1 4,8
Lokasi Lesi (dari CT scan kepala)
Tidak ditemukan lesi 4 19
Kortikal 3 14,3
Subkortikal 13 61,9
Batang otak 1 4,8
Luas Lesi
Kecil ( < 3 cm) 17 81
Sedang-besar ( 3 cm) 4 19

50
Durasi stroke sampai mendapat aspilet
48 jam 20 95,2
> 48 jam 1 4,8
Residivitas
Serangan pertama 11 52,4
Serangan kedua 10 47,6
Riwayat penyakit sebelumnya
Hipertensi 20 95,2
Diabetes mellitus 6 28,6
Dislipidemia 11 52,4
Hiperuricacidemia 3 14,3
Atrial fibrilasi 1 4,8
Stroke 10 47,6

5.3. Nilai CMCT Ekstremitas Atas Subjek Penelitian


Kami mengelompokkan nilai CMCT subjek penelitian menjadi 3 kategori,
yaitu :
Tidak respon/absen CMCT: artinya saat distimulasi dengan TMS, tidak
muncul gelombang motor evoked potential (MEP) dan CMCT. Hal ini
menandakan adanya blok konduksi yang berat.
CMCT memanjang: artinya saat distimulasi dengan TMS, nilai CMCTnya >
9,63 mdet.
CMCT ormal: artinya saat distimulasi dengan TMS, nilai CMCTnya 9,63
mdet.
Tabel 5.2 menunjukkan nilai CMCT subjek penelitian. Dari 21 subjek
penelitian yang diperiksa CMCT pada sisi lesi didapatkan 9 (42,9%) orang tidak
respon/absen, sebanyak 7 (33,3%) orang dengan CMCT memanjang dan 5
(23,8%) orang dengan nilai CMCT normal. Sedangkan pada pemeriksaan CMCT
kontra lesi didapatkan 10 (47,6%) orang dengan nilai CMCT memanjang dan 11
(52,4) orang dengan nilai CMCT normal.

Tabel 5.3 Nilai Central Motor Conduction Time (CMCT) Ekstremitas Atas
Subjek Penelitian
Nilai CMCT sisi lesi n %
Tidak respon/Absen 9 42,9
Memanjang 7 33,3
Normal 5 23,8

51
Nilai CMCT kontra lesi n %
Tidak respon/Absen 0 0
Memanjang 10 47,6
Normal 11 52,4

5.4. Distribusi Nilai CMCT Ekstremitas Atas dengan Rerata MRC, Luas
Lesi dan Lokasi Lesi
Pada tabel 5.3 menunjukkan distribusi nilai CMCT ekstremitas atas subjek
penelitian dengan rerata nilai MRC ekstremitas atas, luas lesi dan lokasi lesi. Pada
kelompok CMCT absen didapatkan rerata nilai MRC 1,33 1,5, sedangkan pada
kelompok CMCT memanjang didapatkan rerata nilai MRC 3,29 1,13,
sedangkan pada kelompok normal CMCT didapatkan rerata nilai MRC 3,20
1,483. Pada kelompok lesi kecil terdiri dari 6 orang dengan CMCT absen, 6 orang
dengan CMCT memanjang dan 5 orang dengan normal CMCT paling banyak
mempunyai luas lesi kecil. Pada kelompok lesi sedang-besar terdiri dari 3 orang
dengan CMCT absen, 1 orang dengan CMCT memanjang.
Pada kelompok dengan lokasi lesi kortikal terdiri dari 1 orang dengan
CMCT absen, 2 orang dengan CMCT memanjang. Pada kelompok dengan lokasi
lesi di subkortikal terdiri dari 5 orang dengan CMCT absen, 4 orang dengan
CMCT memanjang, 4 orang dengan CMCT normal. Satu orang pasien dengan
lokasi lesi di batang otang mempunyai CMCT absen. Pada kelompok yang tidak
ditemukan lesi CT scan, terdiri dari 2 orang dengan CMCT absen, 1 orang dengan
CMCT memanjang dan 1 orang CMCT normal.

Tabel 5.4. Distribusi Nilai Central Motor Conduction Time (CMCT) Ekstremitas
Atas Subjek Penelitian dengan Rerata Nilai Medical Research Council (MRC),
luas lesi dan lokasi lesi.

CMCT absen CMCT CMCT


memanjang normal
Rerata MRC kontra lesi 1,33 1,5 3,29 1,13 3,20 1,483
Luas lesi
Kecil 6 6 5
Sedang-besar 3 1 0
Lokasi lesi
Tidak ditemukan lesi 2 1 1
Kortikal 1 2 0

52
Subkortikal 5 4 4
Batang otak 1 0 0

5.5. Korelasi antara Nilai CMCT Ekstremitas Atas dengan Kekuatan


Motorik Ekstremitas Atas, Luas Lesi dan Lokasi Lesi.
Telah dilakukan analisis bivariat antara nilai Central Motor Conduction
Time (CMCT) ekstremitas atas dengan kekuatan motorik ekstremitas atas dengan
menggunakan metode Spearman. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang
signifikan antara CMCT ekstremitas atas sisi lesi dengan kekuatan motorik
ekstremitas atas. Akan tetapi lain halnya dengan CMCT kontra lesi, ternyata
didapatkan hubungan korelasi yang lemah antara CMCT sisi lesi dengan kekuatan
motorik ekstremitas atas. Sedangkan hubungan antara nilai CMCT sisi lesi dengan
luas lesi didapatkan hubungan yang lemah. Serta hubungan antara CMCT sisi lesi
dengan lokasi lesi juga didapatkan hubungan yang lemah.

Tabel 5.5. Analisis bivariat antara nilai Central Motor Conduction Time (CMCT)
dengan kekuatan motorik ekstremitas atas

CMCT abduktor pollisis brevis r p


CMCT sisi lesi dengan MRC kontra lesi 0,497* 0,011
CMCT kontra lesi dengan MRC normal 0,107 0,322
CMCT sisi lesi dengan luas lesi 0,229 0,317
CMCT sisi lesi dengan lokasi lesi 0,231 0,314
Ket: Signifikan jika p < 0,05, CI 95%. r = koefisien korelasi, nilai r < 0,20 = korelasi sangat
lemah, nilai r 0,25-0,39 = korelasi lemah, nilai r 0,40-0,59 = korelasi sedang, nilai 0,60-0,79 =
korelasi kuat, r 0,8 korelasi sangat kuat.

5.6. Analisis Regresi Linier nilai CMCT Ekstremitas Atas dengan kekuatan
motorik ekstremitas atas.
Dengan menggunakan program statistik telah dilakukan analisis regresi
linier CMCT sisi lesi terhadap nilai skor Medical Research Council (MRC) kontra
lesi dan didapatkan korelasi antara CMCT sisi lesi dengan kekuatan motorik
ekstremitas atas kontra lesi dengan hubungan korelasi sedang (r = 0,191). Secara
matematis disajikan dengan persamaan berikut:
MRC = 1,628+0,136 CMCT, (r2 = 23,2, adjusted r2 = 0,191, p = 0,027).

53
54
BAB 6
PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian pada 21 pasien stroke iskemik yang dirawat di


RSI Siti Khadijah Palembang pada periode September-Desember 2016. Penelitian
ini merupakan suatu penelitian uji korelasi antara nilai Central Motor Conduction
Time (CMCT) ekstremitas atas dengan kekuatan motorik ekstremitas atas pada
pasien stroke iskemik. Subjek penelitian adalah pasien stroke iskemik yang
memenuhi kriteria inklusi. Proses pengambilan sampel dilakukan secara
konsekutif (consecutive sampling).

6.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian


Didapatkan bahwa kategori usia terbanyak subjek penelitian adalah kategori
usia 45 64 tahun, selanjutnya diikuti oleh kategori usia 65 tahun. Sedangkan
kategori usia < 45 tahun tidak ada. Hasil penelitian ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh ASNA (Asean Neurologic Association). Penelitian
studi berbasis hospital secara prospektif di tujuh negara ASEAN yaitu Brunei
(n=53), Indonesia (n=2065), Malaysia (n=300), Filipina (n=545), Singapura
(n=232), Thailand (n=244), dan Vietnam (n=284) dengan melibatkan para
spesialis neurologi selama periode Oktober 1996 sampai Maret 1997. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia terbanyak stroke adalah kelompok usia 45-64
tahun, yaitu berjumlah 54,7%. Sedangkan usia di atas 65 tahun sebanyak 33,5%
dan profil usia dibawah 45 tahun sebanyak 11,8%.53 Usia merupakan salah satu
faktor resiko stroke yang paling penting. Setelah usia 55 tahun, resiko terkena
stroke meningkat menjadi dua kali lipat. Pada usia 75 tahun, satu dari lima
perempuan akan terkena stroke dan satu dari enam laki-laki akan terkena stroke.54
Pada penelitian ini jenis kelamin terbanyak adalah perempuan, dengan
perbandingan laki-laki dibanding perempuan adalah 1:2. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian sebelumnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh ASNA, didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke, yaitu 55%
dan perempuan 45%.53 Hal ini kemungkinan disebabkan periode waktu penelitian

55
yang lebih singkat dibandingkan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian ini
selama 4 bulan, dibanding 6 bulan.

6.2. Karakteristik Klinis Subjek Penelitian


Berdasarkan kategori etiologi stroke didapatkan hampir semua subjek
penelitian penyebabnya adalah trombosis cerebri. Hanya satu subjek penelitian
yang penyebabnya emboli cerebri. Dari penelitian ASNA, didapatkan etiologi
stroke non lakuner anterior (32%), lakuner (14%), hemoragik (26%).53 Belum ada
data yang menunjukkan angka kejadian stroke trombosis dan emboli, Data yang
didapatkan hanya angka kejadian stroke hemoragik dan stroke iskemik.
Berdasarkan lokasi lesi, didapatkan bahwa sekitar tiga perlima subjek
penelitian mempunyai lokasi lesi terbanyak di subkortikal. Data yang didapatkan
pada penelitian ini hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan Escudero dkk,
didapatkan lokasi terbanyak di subkortikal (48%).34 Pada penelitian Jae Yong Jo
dkk juga didapatkan lokasi infark subkorteks merupakan lokasi terbanyak
(66,4%).55
Berdasarkan luas lesi, didapatkan bahwa sebanyak empat perlima subjek
penelitian mempunyai luas lesi yang kecil, yaitu sebanyak 17 pasien (81%). Hal
ini hampir sama dengan penelitian Escudero dkk, yaitu sebanyak 20 pasien (40%)
yang mempunyai luas lesi kecil (0-2 cm).34 Penelitian Escudero mengelompokkan
ukuran infark menjadi tiga kategori, yaitu kecil (0-2 cm), sedang (2-4 cm) dan
besar (>4 cm), sedangkan pada penelitian ini mengelompokkan ukuran infark
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok lesi kecil (< 3 cm) dan kelompok sedang-
besar ( 3 cm).

6.3. Nilai CMCT Ekstremitas Atas Subjek Penelitian


Berdasarkan pengukuran CMCT, kami mengelompokkan subjek penelitian
menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok absen CMCT, pemanjangan CMCT dan
kelompok normal CMCT. Hasilnya hampir sama dengan penelitian Escudero dkk,
dan sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kandler dkk dan
Heald dkk. Tabel 6.1 menunjukkan perbandingan hasil pengukuran CMCT pada
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

56
Tabel 6.1. Perbandingan Hasil Pengukuran CMCT dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian n CMCT Absen CMCT CMCT normal
memanjang
Kandler dkk (1991) 22 10 (45,5%) 1(4,5%) 11 (50%)
Heald dkk (1993) 118 44 (37,3%) 7 (5,9%) 67 (56,8%)
Escudero dkk (1998) 50 20 (40%) 13 (26%) 17 (34%)
Penelitian di RSI Siti 21 9 (42,9%) 7 (33,3%) 5 (23,8%)
Khadijah (2016)

Dari literatur didapatkan faktor-faktor yang menentukan nilai normal


CMCT adalah lokasi otot target, posisi coil, ukuran coil, arah arus magnet,
intensitas stimulus.22 Pada penelitian ini, otot target penelitian sama dengan
penelitian sebelumnya, yaitu diambil dari otot abduktor pollisis brevis, dengan
penempatan elektrode yang sama. Koil yang digunakan pada penelitian ini
berbentuk round coil dengan diameter 7,5 cm. Intensitas stimulus yang digunakan
pada penelitian ini adalah 100%. Pada penelitian Heald dkk dan Escudero dkk
melakukan pengukuran CMCT pada otot abduktor pollisis brevis menggunakan
round coil diameter 9 cm, dengan intensitas stimulus 100%. Pada penelitian
Kandler dkk, otot yang diperiksa adalah otot abduktor digiti minimi11,34
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, mayoritas
kelompok di tiap subjek penelitian pada pemeriksaan dengan menggunakan TMS,
tidak didapatkan gelombang MEP, dengan kata lain absen CMCT. Absennya
CMCT berkaitan dengan pemulihan yang buruk. Menurut Heald, pada kelompok
dengan CMCT absen, tidak didapatkan perbaikan klinis neurologi, dan pada
follow up 12 bulan sesudahnya defisit neurologis yang lebih buruk dibandingkan
kelompok lainnya. Akan tetapi, absennya nilai CMCT tidak menyingkirkan
kemungkinan prognosis yang baik. Hal ini terjadi pada sebagian kecil pasien.11
Adanya perbedaan persentasi yang cukup bermakna pada kelompok CMCT
memanjang antara penelitian Kandler dan Heald dibandingkan dengan penelitian
Escudero dan penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena pada penelitian
Heald dkk, batas atas nilai normal CMCT adalah 9,2 mdet, sedangkan pada
penelitian Escudero dkk adalah 8,13 mdet. Sedangkan pada penelitian ini, batas
atas nilai normal CMCT adalah 9,63 mdet. Besarnya persentase kelompok CMCT
memanjang kemungkinan dikarenakan waktu dilakukannya pengukuran CMCT.
Pada penelitian Heald, pengukuran CMCT dilakukan pada hari pertama onset

57
stroke, sedangkan pada penelitian Escudero dan penelitian ini pengukuran CMCT
dilakukan pada hari setelah hari ketiga onset stroke. Pada fase akut, terjadi edema
cerebri dan adanya daerah penumbra dapat menyebabkan absennya MEP dan
CMCT yang reversibel, sehingga dalam beberapa hari kemudian dapat
menyebabkan pemanjangan CMCT. Hal ini yang menyebabkan prosentase
kelompok CMCT memanjang pada penelitian Escudero dkk dan penelitian kami
cukup tinggi dibandingkan penelitian Kandler dkk dan Heald dkk.
Pada penelitian ini, hampir seperempat subjek penelitian mempunyai nilai
CMCT sisi lesi normal, kemungkinan dikarenakan waktu dilakukan pengukuran
CMCT pada penelitian ini setelah hari ketiga dari onset stroke, sehingga sudah
terjadi resolusi dari edema. Selain itu kemungkinan juga karena 4 dari 5 pasien ini
mempunyai lokasi lesi di subkortikal. Semakin dalam lesi, maka membutuhkan
intensitas stimulus yang lebih tinggi, sehingga kemungkinan pulse yang
dikeluarkan dari alat TMS berkurang saat mencapai lapisan subkortikal. Atau arah
arus magnet yang tidak mengenai lokasi infark. Menurut Heald dkk, pada
kelompok CMCT normal menunjukkan nilai motorik yang makin meningkat pada
12 bulan paska stroke dan mempunyai perbaikan fungsional yang lebih baik
dibandingkan kelompok CMCT memanjang dan kelompok CMCT absen.11
Dari hasil pengukuran nilai CMCT ekstremitas atas kontra lesi didapatkan
CMCT normal pada separuh pasien dan CMCT memanjang pada hampir dari
separuh pasien. Menurut teori, seharusnya nilai CMCT pada kontra lesi
mempunyai nilai normal. Dengan didapatkannya pemanjangan nilai CMCT pada
penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena 5 dari 10 pasien tersebut
mengalami serangan yang kedua, dan selebihnya merupakan serangan yang
pertama dengan luas lesi yang sedang sampai besar.

6.4. Distribusi Nilai CMCT Ekstremitas Atas dengan Rerata MRC, Luas
Lesi dan Lokasi Lesi
Dari data distribusi nilai CMCT ekstremitas atas dengan rerata MRC
didapatkan bahwa pada kelompok CMCT yang abnormal (absen atau memanjang)
kekuatan motoriknya lebih rendah dibanding kelompok pasien dengan normal
CMCT.

58
Pengukuran CMCT dengan menggunakan TMS merupakan metode untuk
menilai fungsi motorik dari traktus kortikospinalis. Sedangkan luas lesi pada
penelitian ini dinilai dengan pengukuran CT scan kepala. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa adanya hasil CMCT absen dan memanjang pada pasien dengan
lesi kecil. Hal ini disebabkan karena waktu dilakukannya pemeriksaan CT scan
yang terlalu dini dengan onset stroke, sehingga belum terbentuk infark pada
pemeriksaan CT scan kepala. Pada pasien yang memiliki lesi sedang-besar ( 3
cm) terdiri dari 3 pasien dengan absen CMCT dan 1 pasien dengan CMCT
memanjang. Hal ini sesuai dengan teori yang diharapkan, karena semakin besar
lokasi kerusakan, maka defisit neurologis yang timbul juga semakin berat. Tidak
didapatkan nilai normal CMCT pada kelompok lesi sedang-besar.
Pasien dengan lokasi lesi kortikal terdiri dari 1 pasien dengan CMCT absen,
2 pasien CMCT memanjang dan tidak didapatkan pasien dengan normal CMCT.
Pasien dengan lokasi lesi subkortikal terdiri dari 5 pasien dengan CMCT absen, 4
pasien dengan CMCT memanjang dan 4 pasien dengan CMCT normal.
Adanya hasil CMCT normal pada kelompok lesi subkortikal kemungkinan
lesi terlalu dalam sehingga pulse yang tidak dapat mencapai lokasi infark. Atau
arah medan magnet yang tidak mengenai area infark. Medan magnetik yang
dihasilkan alat TMS besarnya hampir sama dengan MRI, dan umumnya pulse
yang timbul hanya mencapai kedalaman 5 cm jaringan otak, kecuali TMS yang
digunakan merupakan jenis deep transcranial magnetic stimulation (deep TMS).
Deep TMS dapat mencapai jaringan otak sedalam 6 cm sehingga dapat
menstimulasi lapisan terdalam dari korteks motorik.8 Pada penelitian ini
menggunakan koil tipe round sehingga pulse yang timbul hanya mencapai
kedalaman 5 cm dari korteks.
Pada pasien dengan lokasi lesi di batang otak didapatkan CMCT absen,
dikarenakan pada pasien ini merupakan serangan kedua, kemungkinan lokasi
infark yang baru belum dapat terdeteksi dengan CT scan kepala.

6.5. Korelasi antara nilai CMCT Ekstremitas Atas dengan kekuatan


motorik ekstremitas atas.
Telah dilakukan analisis bivariat tentang korelasi antara nilai Central Motor
Conduction Time dengan kekuatan motorik ekstremitas atas dengan menggunakan

59
metode Spearman. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan pada
nilai Central Motor Conduction Time sisi lesi dengan kekuatan motorik
ekstremitas kontra lesi (p = 0,011) atas dengan koefisien relasi (r = 0,497), yakni
mempunyai hubungan korelasi sedang.
Dengan jumlah sampel yang sedikit (21) sudah didapatkan korelasi yang
sedang, hal ini membuktikan bahwa memang ada hubungan yang signifikan
antara nilai CMCT dengan kekuatan motorik. Kemungkinan dengan jumlah
sampel yang semakin besar akan didapatkan hubungan yang semakin kuat.
Dengan kata lain bisa dikatakan nilai CMCT merepresentasikan kekuatan motorik
pasien stroke iskemik.
Dengan menggunakan program statistik telah dilakukan analisis regresi
linier CMCT sisi lesi terhadap nilai skor Medical Research Council (MRC) kontra
lesi, didapatkan bahwa 19% dari nilai MRC berasal dari CMCT. Selebihnya
berasal dari faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kekuatan motorik.
Gerakan voluntar dihasilkan oleh interaksi antara sistem piramidal, sistem
ekstrapiramidal, dan serebelum. Gerakan diinisiasi dari sistem piramidal,
diperhalus dengan proses fasilitasi dan inhibisi oleh sistem ekstrapiramidal, dan
dikoordinasi oleh serebelum. CMCT didefinisikan sebagai perkiraan waktu
konduksi serabut kortikospinal dari korteks motorik sampai motor neuron medula
spinalis. Sehingga CMCT dapat memberikan informasi mengenai integritas jaras
kortikospinal atau yang kita kenal dengan jaras piramidal. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa CMCT dapat digunakan untuk pengukuran objektif
kekuatan motorik.
Penelitian ini mempunyai hasil yang hampir sama dengan penelitian Choi
dkk, dimana didapatkan korelasi antara nilai amplitudo MEP dengan gambaran
klinis (menggunakan parameter Brunnstrom stage) dengan nilai koefisien relasi r
= -0.427, p=0.013. Sedangkan nilai latensi MEP tidak menunjukkan korelasi yang
bermakna dengan gambaran klinis. Penelitian ini tidak melakukan pengukuran
CMCT.
Dari literatur didapatkan pada pasien stroke iskemik terjadi kerusakan
neuron akibat kegagalan energi. Stroke iskemik mengakibatkan sirkulasi aliran
darah ke otak berhenti. Akibatnya nutrisi sel berupa glukosa dan oksigen yang

60
terkait dengan anatomis sirkulasi tersebut juga berhenti. Walaupun berat otak
hanya berkisar sekitar 2% dari berat badan keseluruhan, akan tetapi otak
membutuhkan bahan energi sekitar 20% dari kebutuhan tubuh. Untuk menjamin
kehidupan sel di otak yang normal, maka otak membutuhkan energi yang cukup
secara terus menerus berupa glukosa dan oksigen. Hal ini penting karena otak
tidak mempunyai persediaan energi dan oksigen. Oleh sebab itu jika sirkulasi
berhenti selama 8-10 detik saja akan mengakibatkan disfungsi otak. Apabila
terjadi kegagalan energi maka dapat mengganggu keseimbangan ion-ion yang
berada di intra seluler seperti kalium (K+) dan ekstra seluler seperti natrium (Na-),
kalsium (Ca++) dan khlorida (Cl).12
Selain itu pada stroke iskemik juga terjadi disintegrasi struktur sitoskeleton
karena zat-zat neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada proses hipoksia akut.
Proses-proses tersebut menyebabkan kerusakan neuron di parenkim otak. Adanya
kerusakan neuron motorik di otak akan menyebabkan terganggunya integritas
konduksi pada jaras kortikospinal. Central motor conduction time (CMCT)
memberikan informasi mengenai integritas konduksi jaras kortikospinal, karena
CMCT dapat menilai waktu konduksi jaras kortikospinal dari korteks motorik
sampai motor neuron medulla spinalis. Semakin besar derajat kerusakan motorik
maka nilai CMCT akan memanjang, bahkan jika kerusakan jaras kortikospinal
sangat panjang dan luas akan menyebabkan absennya Motor Evoked Potentials
(MEP) dan absennya CMCT.
Perbaikan awal setelah beberapa hari paska stroke dikarenakan resolusi dari
edema dan jaringan nekrosis maupun reperfusi dari daerah penumbra melalui
peran sirkulasi kolateral. Setelah periode awal tersebut, kebanyakan perbaikan
paska stroke melalui mekanisme neuronal seperti pengerahan jalur fungsional
sepancaran (functionally homologous pathways), disinhibisi dari hubungan
neuronal yang berlebihan, resolusi diaschisis dan pembentukan jaringan neuronal
baru untuk mengambil alih fungsi area otak yang rusak. Susunan plastisitas sistem
motorik mempunyai korelasi dengan derajat kerusakan traktus kortikospinal dan
diduga dapat mengontrol optimalisasi dari perbaikan neuron motorik yang
tersisa.15,16 Dari penelitian yang dilakukan oleh Kandler dkk dikatakan bahwa

61
pemeriksaan CMCT dapat digunakan untuk evaluasi perbaikan fungsi motorik
pada pasien stroke.10
Jika kerusakan neuron lebih luas, tidaklah cukup neuron kortikal mengalami
reorganisasi somatotopik pada area penumbra. Strategi lain adalah adanya area
yang secara fungsional hampir sama dengan area infark, yang secara anatomi di
proksimal dari infark, yang mengambil alih fungsi dari area infark.18 Aktivitas
reorganisasi kortikal inilah yang dapat dinilai dengan CMCT dan MEP. Jika tidak
didapatkan CMCT atau MEP, artinya tidak ada aktivitas reorganisasi kortikal
yang akan mengambil alih fungsi neuron motorik yang rusak. Sehingga dapat
memperkirakan luaran motorik pasien stroke. Sedangkan jika didapatkan
pemanjangan CMCT atau nilai CMCT yang normal maka aktivitas kortikal
diharapkan dapat mengambil alih fungsi neuron motorik yang rusak sehingga
luaran motorik pasien stroke lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Escudero terhadap 50 pasien stroke iskemik.
Dilakukan penilaian klinis menggunakan skala Medical Research Council (MRC),
Canadian Neurological Scale dan indeks Barthel pada minggu pertama serangan
dan follow up setelah 6 bulan paska stroke. Peneliti membagi menjadi kelompok
absen CMCT dan kelompok CMCT timbul. Dari analisis bivariat didapatkan
peningkatan kekuatan motorik yang bermakna pada pengukuran inisial dan 6
bulan paska stroke pada kelompok CMCT timbul (p = 0,042). Sensitivitas MEP
dalam memprediksi luaran motorik pada adalah 87,1% dan spesifisitas 81%.
Heald dkk melakukan penelitian longitudinal CMCT pada 118 pasien paska
stroke. Luaran klinis dan fungsional dinilai sampai 12 bulan paska stroke. Pada
periode follow up setelah 12 bulan paska stroke, mayoritas pasien dengan nilai
normal CMCT bertahan dengan nilai normal sampai akhir follow up. Pada
kelompok CMCT absen yang bertahan hidup (16 pasien), sebanyak 4 pasien
CMCTnya absen, 7 pasien menjadi memanjang, dan 5 pasien nilai CMCTnya
menjadi normal. Mereka mengambil kesimpulan bahwa didapatkan korelasi yang
kuat antara luaran klinis dengan nilai CMCT yang diperiksa pada 12-72 jam
pertama paska serangan. Pada kelompok normal CMCT dan pemanjangan CMCT
mempunyai angka survival yang tinggi dan pemulihan yang baik setelah 12 bulan,

62
akan tetapi pada kelompok absen CMCT, mempunyai probabilitas kematian yang
tinggi dan luaran fungsional buruk.11
Sensitivitas pengukuran CMCT dalam memprediksi luaran fungsional pada
hari pertama adalah 63,9%, meningkat menjadi 77,8% pada bulan ke-12.
Sedangkan spesifisitas pengukuran CMCT dalam memprediksi luaran fungsional
pada hari pertama adalah 73,7% menjadi 68,4% pada bulan ke-12. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa pengukuran CMCT pada 12-72 jam paska stroke
merupakan metode yang aman, non invasif dalam memprediksi luaran fungsional
pada 12 bulan paska stroke, dengan dilengkapi penilaian klinis dan teknik
imaging.11
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Rapisarda dkk yang
melakukan pengukuran MEP dan CMCT terhadap 26 pasien stroke iskemik akut
dengan follow up selama 14 hari. Mereka menyimpulkam bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara CMCT hari pertama dengan kekuatan motorik
pada hari ke-14. Akan tetapi mereka menemukan korelasi yang kuat antara
amplitudo MEP hari pertama dengan kekuatan motorik pada hari ke-14 (p <
0,001, r = 0,876, Spearman).27Kemungkinan hal ini disebabkan periode follow up
yang terlalu singkat dan pada kebanyakan kasus perbaikan motorik didapatkan
paling sering setelah 6 bulan paska stroke.
Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang lemah antara nilai Central
Motor Conduction Time kontra lesi dengan kekuatan motorik ekstremitas atas sisi
normal (p = 0,322). Hal ini membuktikan bahwa pada kondisi normal, kekuatan
motorik tidak berkorelasi dengan nilai CMCT. Hal ini disebabkan karena hampir
setengah dari subjek penelitian merupakan stroke serangan kedua, sehingga
kemungkinan didapatkan hasil CMCT yang abnormal. Penelitian yang dilakukan
oleh Ratmono dkk, melakukan pengukuran MEP pada 37 pasien stroke juga
mendapatkan hasil yang sama, bahwa nilai CMCT pada sisi kontra lesi
mempunyai nilai rerata yang memanjang.56
Berdasarkan analisis bivariat juga didapatkan hubungan yang lemah antara
nilai Central Motor Conduction Time sisi lesi dengan luas lesi (p = 0,317).
Artinya semakin kecil infark yang ditunjukkan dengan pemeriksaan CT scan
kepala tidak menunjukkan nilai CMCT yang semakin baik. Atau semakin besar

63
infark tidak menunjukkan nilai CMCT yang semakin jelek. Malahan didapatkan
pasien dengan lesi kecil menunjukkan absen CMCT. Hal ini disebabkan karena
Waktu dilakukannya pemeriksaan CT scan kepala yang terlalu cepat (< 3 hari dari
onset stroke), sehingga belum terbentuk infark, sehingga pada hasil CT scan
kepala tidak didapatkan lesi, atau infark yang timbul kecil. Tidak didapatkan data
mengenai penelitian-penelitian lain yang meneliti hubungan antara CMCT dengan
luas lesi.
Pada penelitian ini juga didapatkan hubungan yang lemah antara nilai
Central Motor Conduction Time sisi lesi dengan lokasi lesi (p = 0,314). Artinya
semakin dalam lesi tidak menunjukkan nilai CMCT yang semakin rendah, atau
semakin luar lokasi lesi tidak memberikan nilai CMCT yang semakin tinggi. Hal
ini sesuai dengan literatur bahwa faktor-faktor yang menentukan nilai normal
CMCT adalah lokasi otot target, posisi koil, ukuran koil, arah arus magnet,
intensitas stimulus.22
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Misra dkk yang melakukan
pemeriksaan CMCT pada 16 pasien stroke dengan lokasi lesi di kapsula interna
dan 17 pasien stroke dengan lokasi lesi di korona radiata. Didapatkan hasil bahwa
pengukuran CMCT pada pasien stroke dengan lokasi infark di kapsula interna
lebih baik dalam memprediksi luaran motorik dibandingkan pengukuran CMCT
pada pasien stroke dengan lokasi infark di korona radiata. Hal tersebut disebabkan
karena jaras kortikospinalis lebih banyak di kapsula interna dibandingkan di
korona radiata. Pada penelitian kami penggolongan lokasi infark hanya di
kortikal, subkortikal dan batang otak. Kami tidak membandingkan lokasi di
kapsula interna dan di korona radiata.57
Studi yang dilakukan oleh Ferbert dkk yang melakukan pemeriksaan CMCT
pada 20 pasien stroke iskemik dengan lokasi lesi di pons didapatkan kesimpulan
bahwa semakin berat paresis, maka nilai CMCT yang didapatkan semakin
memanjang.58

6.6. Kekurangan Penelitian


Adapun kekurangan pada penelitian ini adalah pengukuran CMCT dan
MRC hanya dilakukan sekali, dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.

64
Seharusnya dilakukan pengukuran CMCT dan MRC ulangan agar dapat diketahui
nilai prognostik dari CMCT dalam menilai luaran motorik pada pasien stroke
iskemik. Waktu dilakukan pemeriksaan CMCT pada subjek penelitian juga tidak
sama antara satu subjek penelitian dengan subjek penelitian yang lain.

65
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
1. Hampir setengah dari subjek penelitian (42,9%) mempunyai nilai CMCT
ekstremitas atas absen/tidak respon. Sekitar sepertiga dari subjek penelitian
(33,3%) mempunyai nilai CMCT memanjang dan sekitar seperempat dari
subjek penelitian (23,8%) mempunyai nilai CMCT normal.
2. Korelasi antara nilai CMCT ekstremitas atas dengan kekuatan motorik
eksremitas atas pada pasien stroke iskemik di RSI Siti Khadijah Palembang
mempunyai hubungan korelasi sedang (p = 0,011) dengan koefisien relasi (r =
0,497). Sehingga nilai CMCT dapat merepresentasikan kekuatan motorik pada
pasien stroke iskemik. Nilai CMCT dapat digunakan sebagai parameter
pengukuran objektif dari kerusakan traktus kortikospinalis.
3. Korelasi antara nilai CMCT ekstremitas atas dengan luas lesi pada pasien
stroke iskemik di RSI Siti Khadijah Palembang mempunyai hubungan korelasi
lemah.
4. Korelasi antara nilai CMCT ekstremitas atas dengan lokasi lesi pada pasien
stroke iskemik di RSI Siti Khadijah Palembang mempunyai hubungan korelasi
lemah.

7.2. Saran
1. Penelitian ini berhasil menunjukkan korelasi yang sedang antara nilai CMCT
ekstremitas atas dengan kekuatan motorik ekstremitas atas pada pasien stroke
iskemik. Hal ini menunjukkan bahwa nilai CMCT dapat menunjukkan derajat
berat ringannya defisit motorik pada pasien stroke iskemik. CMCT dapat
digunakan sebagai parameter objektif dalam menilai kekuatan motorik
ekstremitas atas pasien stroke iskemik. Disarankan untuk dilakukannya
pengukuran CMCT inisial pada pasien stroke iskemik untuk mengetahui
derajat berat ringannya defisit motorik, sehingga dapat digunakan sebagai
dasar dilakukannya fisioterapi.

66
2. Penelitian ini merupakan penelitian analitik cross sectional, pengukuran
CMCT dan kekuatan motorik hanya dilakukan sekali pengukuran. Untuk
menilai perbaikan motorik paska stroke diperlukan pengulangan pengukuran
CMCT dan kekuatan motorik. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan
desain penelitian uji prognostik, sehingga bisa diketahui nilai CMCT sebagai
prediktor luaran motorik ekstremitas atas pada pasien stroke iskemik.
3. Pada penelitian ini menggunakan jumlah sampel yang tidak memenuhi jumlah
sampel minimal. Disarankan pada penelitian berikutnya untuk menggunakan
teknik pengambilan sampel kuota. Selain itu dengan dilakukan upaya
spesifisitas supaya tidak ada variabel perancu.

67

Anda mungkin juga menyukai