Anda di halaman 1dari 28

BIOETANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

Disusun Oleh :
Indah Pratiwi 0609 4041 1362
Indah Syapitri 0609 4041 1363
Nurfadhlah 0609 4041 1370

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA


PALEMBANG
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat


rahmat dan karunia-Nya jualah makalah yang berjudul Bioetanol sebagai Bahan
Bakar Alternatif ini dapat diselesikan dengan baik dan tepat waktunya. Selain itu
juga penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak. selaku dosen pembimbing
yang berperan besar dalam proses pembuatan makalah ini.

Dan semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan mahasiswa


khususnya mahasiswa program studi DIV Teknik Energi. Oleh sebab itu saran dan
kritik yang membangun sangat kami harapkan, agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya dapat lebih baik.

Palembang, Mei 2012

Penulis
BAB I

PENDAHULIUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam


terbarui dan tidak terbarui. Di Indonesia bahan bakar minyak yang berasal dari
sumber daya lam tak terbarui menjadi sumber energi utama. Penggunaan
sumber daya alam tidak terbarui secara terus menerus akan mengakibatkan
menipisnya cadangan minyak bumi yang sudah diketahui, kenaikan atau
ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi
minyak, dan polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan
bakar fosil.

Persentase konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia merupakan yang


terbesar dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 konsumsi bahan
bakar minyak (BBM) sebesar 169.168 Setara Barel Minyak (SBM), angka ini
adalah 40, 2% dari total konsumsi energi final. Sepuluh tahun kemudian, pada
tahun 2000, konsumsi BBM di Indonesia meningkat menjadi 304.142 SBM,
angka ini adalah 47, 4 % dari total energi final. Dengan demikian terjadi
peningkatan yang cukup signifikan dalam konsumsi BBM di Indonesia. Jika hal
ini dibiarkan berlangsung secara terus menerus krisis energi di Indonesia tidak
dapat dihindari lagi.

Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memproduksi


energi alternatif sebagai pengganti BBM. Indonesia memiliki bahan baku yang
melimpah untuk membuat sumber energi alternatif yang berasal dari sumber
daya alam terbarukan seperti umbi-umbian yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan bahan bakar bioetanol. Bio-etanol merupakan salah satu
jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan tumbuhan) di samping
Biodiesel. Bio-etanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi
glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi.
Bioetanol dapat dijadiakn sebagai bahan bakar alternatif teatapi
permaasalahnya adalah sebagaian masyarakat yang sudah terbiasa
menggunakan bahan bakar minyak sebagai sumber energi utama belum
mengetahui adanya sumber energi alternatif ini. Untuk itulah masyarakat harus
mengetahui manfaat dan keunggulan sumber energi alternatif ini agar dapat
menjadi pengganti energi alternatif.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam pembuatan makalah ini rumusan masalah yang akan dibahas


mengenai

a. Apa yang dimaksud dengan bioeatanol ?


b. Sumber energi apa saja yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan bioetanol ?
c. Bagaimana potensi bioetanol di Indonesia dan di Dunia ?
d. Bagaimana proses pembuatan bioetanol ?
e. Apa saja kelebihan dan kekurangan bioetanol sebagai bahan bakar ?
f. Bagaimana pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif ?

1.3 Tujuan

Tujuan pokok pmbuatan makalah ini, yaitu :

a. Dapat mengetahui definisi bioetanol


b. Dapat menegetahui sumber energi apa saja yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan bioetanol
c. Dapat mengetahui potensi bioetanol di Indonesia dan di Dunia
d. Dapat menegetahui proses pembuatan bioetanol
e. Dapat menegetahui kelebihan dan kekurangan bioetanol sebagai bahan
bakar
f. Dapat menegtahui pemanfaatan bioetanol
1.4 Metode

Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu


menggunakan metode Studi pustaka melalui sumber-sumber tertulis.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bioetanol

Bioetanol adalah sebuah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan
(biomassa) dengan cara fermentasi, Fermentasi adalah suatu proses perubahan
kimia yang disebabkan oleh aktivitas mikroba ataupun oleh aktiviatas enzim yang
dihasilkan mikroba.

2.2 Sumber Energi Bioetanol

Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat
di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena
bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk
menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete
(limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol
jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan,
menyebabkan pihak pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai
dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah
yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat
diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah
dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol
yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan
bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah
kayu.

2.3 Potensi Bioetanol

A. Sagu
Potensi Pohon penghasil sagu (Metroxylon spp) termasuk jenis palma yang
banyak tumbuh di Indonesia bagian Timur. Sagu merupakan salah satu
komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dimana kandungan
karbohidratnya lebih tinggi dari pada kandungan tanaman lainnya. Secara
alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia
dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya
terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (Gambar 1). Tumbuhan
ini merupakan asli dimana sagunya selain sebagai bahan pangan juga dapat
dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax
(E) atau pada keadaan tertentu dapat digunakan secara penuh (E100), untuk
menggerakkan (mengoperasikan) mesin mesin berdasar bensin. Populasi
tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta
ha dan 90% di antaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku (Flach, 1997).
Kedua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di
beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi
budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu
1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta
148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien
sebagai penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun
atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.

Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang Pariaman (A), bekas tebangan sagu
(B).

Di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469 ha tegakan sagu. Setiap ha


tegakan sagu per tahun paling sedikit dihasilkan 2,5 ton pati sagu (Flach, 1983).
Dengan demikian di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3.516.176 ton
sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian membutuhkan sekitar
150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar
3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. Di Mentawai terdapat sekitar
56.100 ha tegakan sagu dengan produksi sekitar 1.200 ton, berarti di Mentawai
terdapat potensi pati sagu sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman
terdapat tegakan sagu sekitar 95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun di
daerah ini terdapat potensi sagu yang belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton
sagu/tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu sangat tinggi dan sudah
saatnya dilakukan pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi
bioetanol, baik skala laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan
penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas
bioetanol dari sagu.

B. Ganyong (Canna edulis)

Di Indonesia ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang memiliki


banyak manfaat, antara lain umbi mudanya untuk sayuran, umbi tuanya dapat
diekstrak patinya untuk dibuat tepung, sedangkan daun dan tangkainya digunakan
untuk pakan ternak (Rukmana, 2000). Umbi ganyong mengandung karbohidrat
yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan dasar untuk produksi
glukosa dan fermentasi etanol. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan
katalis asam, kombinasi asam dan enzim, serta kombinasi enzim dan enzim
(Judoamidjojo et al., 1992). Hasil penelitian Wulansari (2004) dan Putri dan
Sukandar (2008) menunjukkan bahwa pati ganyong memiliki karbohidrat yang
didominasi pati dengan kadar 80% dan kadar air 18%. Pati ganyong memiliki
warna putih kecokelatan dan tekstur halus. Kadar pati ganyong yang tinggi
menunjukkan pati tersebut dapat dijadikan bahan baku melalui proses
hidrolisis untuk pembuatan sirup berkadar glukosa tinggi menunjukkan
bahwa pati ganyong berpotensi sebagai bahan baku untuk bioetanol melalui
fermentasi glukosa atau isomernya. Jenis asam dan konsentrasi asam tidak
berpengaruh signifikan terhadap gula pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis
pati ganyong, hidrolisis optimum didapat dengan HNO3 7%. Kadar glukosa pada
fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan secara positif. Pada
penelitian ini fermentasi dengan kadar glukosa hasil hidrolisis sebesar
4,81% menghasilkan etanol 4,84%, sedangkan dengan kadar 14%, etanol
yang dihasilkan meningkat menjadi 8,6%.

C. Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa


berserat selulosa yang memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi.
TKKS merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit yang
pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku pembuatan matras,
dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian Iriani (2009)
dalam Muthuvelayudham dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan
kondisi sakarifikasi terbaik pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma
reesei dan melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae,
dimana masing-masing menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan
alkohol paling tinggi.

D. Nira Sorgum (Sorgum bicolor)

Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman


serealia yang mempunyai potensi besar dikembangkan di Indonesia karena
mempunyai area adaptasi yang luas. Sorgum merupakan tanaman bukan asli
Indonesia, melainkan berasal dari Ethiopia dan Sudan Afrika. Di Indonesia
sorgum mempunyai beberapa nama seperti gandrung, jagung pari, dan
jagung cantel. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat
berproduksi pada lahan marjinal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau
penyakit. Selama ini batang sorgum hanya digunakan untuk pakan ternak. Nira
sorgum yang berasal dari batang tanaman sorgum dapat dimanfaatkan
untuk membuat bioetanol, karena komposisi nira sorgum hampir sama
dengan nira tebu (Tabel 2). Batang sorgum apabila diperas (dikempa) akan
menghasilkan nira yang rasanya manis. Kadar air dalam batang sorgum
kurang lebih 70 persen di mana sebagian besar nira sorgum terlarut dalam
air tersebut. Selama ini batang sorgum yang menghasilkan nira biasanya hanya
digunakan sebagai pakan ternak, sehingga belum memiliki nilai ekonomis optimal.
Mengingat nira sorgum mengandung kadar glukosa yang cukup besar (Tabel 2),
serta memiliki kualitas setara dengan nira tebu, maka sorgum boleh menjadi
pertimbangan sebagai salah satu sumber karbohidrat penghasil bioetanol di masa
depan.

E. Tetes Tebu

Pada molase atau tetes tebu terdapat kurang lebih 60% selulosa dan
35,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini dapat
dihidrolisis menjadi gula sederhana (mono dan disakarida) yang selanjutnya
difermentasi menjadi etanol. Di Indonesia potensi produksi molase ini per ha
kurang lebih 1015 ton, Jika seluruh molase per ha ini diolah menjadi
ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih
766 hingga 1.148 liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku molase layak
diusahakan karena tingkat keuntungan finansialnya mencapai 24%.

F. Jerami Padi
Jerami padi mengandung kurang lebih 39% selulosa dan 27,5%
hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini, sama
halnya dengan tetes tebu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang
selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Potensi produksi jerami
padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah dengan kadar air kurang
lebih 60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade
ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766-1.148 liter/ha
FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel
grade(FGE) sekarang adalah Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka
nilai ekonominya kurang lebih Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha.
Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2006, keseluruhan luas sawah
di Indonesia adalah 11,9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang
lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini diolah menjadi bioetanol
maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioetanol (FGE) dengan nilai
ekonomi Rp. 50.1 triliun. Menurut perhitungan, etanol dari jerami sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan karbohidrat pada jerami
padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga
terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.
Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim dan Dale (2004) dalam Patel dan
Shoba (2007), adalah sebesar 0,28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan
cara Badger (2002) dalam Patel dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,20 l/kg
jerami. Jika berdasarkan prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka
jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 -
11,874 juta liter. Banyaknya bioetanol yang dihasilkan tersebut cukup untuk
memenuhi kebutuhan bensin Nasional selama satu tahun.

G. Bonggol Pisang (Musa paradisiaca)

Bonggol pisang (Musa paradisiaca) memiliki komposisi 76% pati


(karbohidrat), 20% air, sisanya adalah protein dan vitamin (Yuanita, 2008).
Kandungan korbohidrat bonggol pisang tersebut sangat berpotensi sebagai
sumber bioetanol. Bonggol pisang (Gambar 4) juga dapat dimanfaatkan untuk
diambil patinya, dimana pati tersebut menyerupai pati tepung sagu dan
tepung tapioka. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol
disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki potensi hasil panen
yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani, dan rotasi umur panen yang pendek
(Prihandana, 2007).

H. Singkong Karet
Singkong karet atau singkong gajah merupakan salah satu jenis pohon
singkong dimana umbinya mengandung senyawa beracun, yaitu asam sianida
(HCN), sehingga umbi tersebut tidak diperdagangkan dan kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat (Anonim, 2009). Oleh karena itu sangat tepat sekali bila singkong
karet tersebut ini digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian Sriyanti
(2003), menunjukkan bahwa dari tiga varietas singkong yakni randu, mentega dan
menthik, ternyata kadar gula dan alkohol tertinggi dari hasil sakarifikasi dan
fermentasi terdapat pada varietas mentega yakni sebesar 11,8% mg (kadar gula)
dan 2,94% mg (kadar alkohol). Menurut Sugiarti (2007) dalam Setyaningsih
(2008), bahwa kandungan alkohol hasil fermentasi ubi kayu varietas randu
sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih (2008), setelah dilakukan
pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil fermentasi ampas umbi singkong
karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah adalah
11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis ragi 2 gram. Sedangkan kadar
alkohol tertinggi adalah 41,67% pada waktu fermentasi 15 hari dan dosis ragi
8 gram.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba
pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk
menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram
singkong. Bioetanol tersebut nantinya dapat untuk bahan bakar cair dengan nilai
oktan 40% atau seperti halnya nilai oktan minyak tanah (40%), premium (70%),
dan bahkan pertamax (90%). Biaya produksi untuk satu liter bioetanol dari
singkong karet sekitar Rp3.000, jadi kalau dijual Rp 4.000,- lebih murah dari
premium. Anonim (2007) menyatakan bahwa pada skala usaha rumah tangga,
dari 6,5 kg singkong dengan kandungan karbohidrat 24% akan dihasilkan 1 liter
bioetanol.

I. Talas (Colocasia esculenta)

Tanaman talas bentul (Colocasia esculenta L.) mempunyai nama lain


dalam bahasa Inggris yaitu taro, old cocoyam, dasheen, eddoe, dan dalam
bahasa Prancis adalah taro. Di Indonesia dikenal dengan nama bentul, talas
dan keladi. Tanaman ini tumbuh dengan baik di tanah yang basah dengan
temperatur 25 30oC dan dengan kelembaban yang tinggi. Talas tumbuh pada
ketinggian 1200 m dpl (dari permukaan laut) di Malaysia, di Filipina 1800 m dpl,
dan bahkan 2700m dpl di Papua New Guinea. Tanaman ini toleran terhadap
naungan (tempat teduh) dan ditanam sebagai tumbuhan selingan pada pertanian.
Kadar pati umbi talas 66,8% dengan kadar air sekitar 7,2%. Retno (2008)
melakukan penelitian pembuatan bioetanol dari tepung talas. Setelah
dikeringkan tepung talas selanjutnya menjalani perlakuan reaksi hidrolisa
dengan bio katalis (enzim) alpha amylase pada pH 6,9 suhu 80oC, dan enzim
glucoamylase pada pH 4,8 suhu 55oC untuk menghasilkan glukosa.
Bioetanol yang diperoleh dari 8,7kg tepung talas sebesar 1006 ml. Biaya yang
dibutuhkan pada pembuatan bioetanol (FGE) dari tepung talas dengan kadar 99,4
%, sebesar Rp. 6.625,-/ liter.

2.4 Proses Produksi Bioetanol

Secara umum, proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu,


jagung dan sagu untuk menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses
urutan. Pertama adalah proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi
glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati
terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan
amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik
sebanyak 4-5% dari berat total. Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya
adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa
(C6H12O6). Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi
keduanya.

Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan


hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer
pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara
acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara
spesifik pada percabangan tertentu.

Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang


mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat
menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung
pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol.
Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan
Tetes Menjadi Bio-Ethanol

Bahan Baku Kandungan Jumlah Hasil Perbandingan


Gula Konvers Bahan Baku
Dalam Bahan dan Bioetanol
Baku

Jenis Konsumsi (Kg) Bio-etanol


(Kg) (Liter)

Ubi Kayu 1000 250-300 166.6 6,5:1


Ubi Jalar 1000 150-200 125 8:1
Jagung 1000 600-700 200 5:1
Sagu 1000 120-160 90 12:1
Tetes 1000 500 250 4:1

Beberapa artikel juga menulis beberapa perbandingan bahan bahan yang


sudah di uji coba

Hasil Panen Perolehan Alkohol


Sumber Karbohidrat
Ton/ha/th Liter/ton Liter/ha/th

Singkong 25 (236) 180 (155) 4500 (3658)


Tetes 3,6 270 973
Sorgum Bici 6 333,4 2000
Ubi Jalar 62,5* 125 7812
Sagu 6,8$ 608 4133
Tebu 75 67 5025
Nipah 27 93 2500
Sorgum Manis 80** 75 6000

NB : *)= Panen 2 kali/th; $ = sagu kering; **= panen 2 kali/th.


Sumber: Villanueva (1981); kecuali sagu, dari Colmes dan Newcombe (1980); sorgum
manis, dari Raveendram ; dan Deptan (2006) untuk singkong; tetes dan sorgum biji
(tulisan baru)
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat
dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa
asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat
ini
hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam
(misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses
pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa
enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air
dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses
peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast
atau
ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara
sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman


yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan
tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin
mengakibatkan proses
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol
dari selulosa tidak perlu direkomendasikan.

Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah


lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan
memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi
yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy
balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih
lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan. Secara
singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam
tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.

a. PROSES GELATINISASI

Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau
jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang
diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut
dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel.
Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

Bubur pati dipanaskan sampai 130o C selama 30 menit, kemudian


didinginkan sampai mencapai temperature 95o C yang diperkirakan
memerlukan waktu sekitar jam. Temperatur 95o C tersebut
dipertahankan selama sekitar 1 jam, sehingga total waktu yang
dibutuhkan mencapai 2 jam.
Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai
mencapai temperatur 130o C selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai


keuntungan, yaitu pada suhu 95o C aktifitas termamyl merupakan yang
paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif.
Pemanasan dengan suhu tinggi (130o C) pada cara pertama ini
dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah
terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi
tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan
tersebut tidak mudah terkontaminasi.

Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (


gelatinasi dengan enzyme termamyl ) pada temperature 130o C
menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas
yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu
130o C akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun
terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan
berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas
termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95o C. Selain itu,
tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari
termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93o C, half
life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107o C,
half life termamyl tersebut adalah 40 menit.

Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai


mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi
dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi)
Saccharomyzesceraviseze.

Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara


tersebut adalah sebagai berikut :
a. Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
b. NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK
sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian
ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk.

Bahan aktif ragi roti adalah khamir Saccharomyces cereviseae


yang dapat memfermentasi gula menjadi etanol. Ragi roti mudah dibeli
di toko-toko bahan-bahan kue atau di supermarket. Sebaiknya tidak
menggunakan ragi tape, karena ragi tape terdiri dari beberapa mikroba.
Kebutuhan ragi roti adalah sebanyak 0.2% dari kadar gula dalam larutan
molasses. Untuk contoh di atas kebutuhan raginya adalah sebanyak 28 gr.
Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian
diaduk-aduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru
dimasukkan ke dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat.

Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap


likuifikasi, sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim
glukoamilase. Berdasarkan penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap
likuifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-
amilase 1.75 U/g pati dan waktu likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase
pada tahap sakarifikasi menghasilkan DE tertinggi yaitu 98.99 pada
konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu sakarifikasi 48 jam.

B. PROSES FERMENTASI

Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi


glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah
perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada
proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme
glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi
pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam piruvat yang
dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian
mengalami dehidrogenasi menjadi etanol .
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol
adalah Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi
tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan
terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada
suhu 4-32oC.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk
memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen
berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78o C
sedangkan air adalah 100o C (Kondisi standar). Dengan memanaskan
larutan pada suhu rentang 78 100o C akan mengakibatkan sebagian
besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa
dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.Proses fermentasi
dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol
(alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari
proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen
volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula
(molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan
ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu
memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan
proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan
membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.

Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih


mengandung gas - gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari
pengubahan glucose menjadi ethano l/ bio-ethanol) dan aldehyde
yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut
biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh
ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol
tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut.Proses pembersihan
(washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang
terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih
dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses
fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja,
sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen
diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi
dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer
column dan tingkat kedua dengan rectifying column.

Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen)


volume adalah volume ethanol pada temperatur 15o C yang terkandung
dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu
(pengukuran).

Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran


adalah 27,5o C dan kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2%
pada temperatur 15o C (Wasito, 1981).

Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol


yang mempunyai kemurnian sekitar 30 40% dan belum dpat
dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian
diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.

c. PROSES DISTILASI ( PENYULINGAN ):


Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu
continuous-feed distillation column system dan pot-type distillation system.
Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan
tekanan rendah dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan
konsentrasi alkohol yang lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk
destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88 psi. Dengan tekanan tersebut,
suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom adalah 35o C dan 20o
C di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati disajikan pada
Gambar 49, sedangkan Gambar dibawah ini menunjukkan proses produksi
FGE dari ubi kayu.

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol


menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan
bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40%
tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air
dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang
kemudian diembunkan kembali.

Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari


99,5% atau yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul
adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia
alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan
fuel grade ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara
Azeotropic destilasi.

2.5 Perhitungan Produksi Energi Bioetanol

FAKTOR KONVERSI GLUKOSA-ETANOL

Untuk menghitung produksi energy bioetanol diperlukan perhitungan faktor


konversi glukosa menjadi etanol. Faktor konversi tersbut terdiri dari thap
fermentasi. Fermentasi etanol adalah proses perombakan gula oleh mikroba (bisa
yast/khamir atau bakteri) menjadi etanol.

Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:

C6H12O6 > CH3CH2OH + CO2

Sedikit kita cerita tentang reaksi kimia. Persamaan reaksi yang telah disetarakan
adalah:
C6H12O6 > 2CH3CH2OH + 2CO2

Jadi setiap 1 mol glukosa akan dihasilkan 2 mol etanol..


Berat molekul (BM) Glukosa adalah 180,16 gr/mol
BM etanol adalah 46,07 gr/mol
Jadi memfermentasi 1 gr glukosa, etanol yang dihasilkan kurang lebih adalah

= (2 x 46,07)/180,16
= 0,511gr (etanol absolute)

Atau bisa disimpukan faktor konversinya adalah 51%.


Berat jenis etanol pada kondisi standard adalah 0,789 gr/cm3 , sehingga
volumenya adalah

= 0,511 gr x 0,789 gr/cm3


= 0,403 cm3

Pada kenyataannya tidak ada atau zulit zekali kita mendapatkan etanol
absolute,apalagi dengan peralatan seadanya.

Demikian pula rasanya tidak mungkin mendapatkan/merecovery 100%


etanol yang ada di dalam cairan fermentasi. Dengan kata lain tidak mungkin
efisiensi hidrolisisnya mencapai 100%. Efesiensi hidrolisinya dapat mencapai 95%
dari total etanol saja sudah baik sekali.

Kadar bioetanol maksimal yang bisa diperoleh dari proses distilasi adalah
95%. Seringkali kadarnya hanya 60%, 80%, atau 90%. Kita menghitungnya
berdasarkan kadar etanol yang keluar dari distilator saja.

Menakar molases sebelum fermentasi


Kini saatnya mulai berhitung. Pertama yang perlu diketahui adalah kadar gula atau
kadar glukosanya. Data ini menjadi dasar dari semua perhitungankadar gulanya
kira2 lebih dari 10%.

Sebagai contoh:
Kadar gula = 10%
Volume = 100 liter
maka total etanol teoritis yang bisa diperoleh adalah:

= 10% x 100 liter x 0,511


= 5,11 kg

Volume etanolnya adalah

= 5,1 kg x 0,789
= 4,03 liter.

Karena efisiensi distilasi tidak pernah 100%, maka perlu dikoreksi dengan
efisiensi hidrolisisnya. Misalkan saja 95%. Jadi volume etahnol absolute yang bisa
didapat adalah:

= 4,03 liter x 95%


= 3,83 liter

Kalau kadar etanolnya 95%, maka volumenya adalah:

= (100%/95%) x 3,83 liter


= 4,03 liter

Kalau kadar etanolnya 60%, bisa dihitung dengan cara yang sama:

= (100%/60%) x 3,83 litere


= 6,38 liter

MENGHITUNG KAPASITAS PRODUKSI

Kita perlu mencari data terlebih dahulu berapa potensi ketersediaan bahan
baku. Cari data sevalid mungkin, karena ini urusannya dengan duit, investasi, dan
berimbas ke banyak hal.. Misalkan di sebuah kebun pepaya. Potensi buah afkir
yang bisa diolah menjadi etanol adalah:

= 0.25 ton buah per minggu per ha atau


= 2 ton buah per ha per bulan

Sari buah yang bisa kita peroleh sekitar 80% dari beratnya, jadi volumenya:

= 2000 kg x 80% = 1600 liter

Andaikan kadar gulanya 10%, efisiensi hidrolisisnya 95%, dan kadar etanol yang
dihasilkan 95%, maka volume etanol yang dihasilkan adalah

= 10% x 1600 liter x 0,511 x 0.789 x 95% x (100%/95%)


= 64,408 liter per ha per bulan.

Omzetnya adalah

= 64,408 liter x Rp 13.000/liter


= Rp. 838.612

Andaikan dalam sebulan ada 25 hari kerja, maka kapasitas pengolahannya adalah

= 64 liter per hektar per hari

dan kapasitas produksinya adalah

= 2,56 liter etanol per hektar per hari

Andaikan luas kebun di wilayah itu adalah 50 ha, maka kapasitas produksinya

= 2,56 x 50
= 128.16 liter

Dan omzetnya

= 128,16 liter X Rp. 13.000/liter


= Rp. 1.666.080/hari
Nilai yang cukup untuk sebuah produk yang diolah dari limbah. Nilai
keuntungan ini akan semakin melimpah andaikata limbah bioetanol tersebut diolah
menjadi POC yang nilainya bisa 3 x lipat lebih tinggi dari bioetanol. Catatan
volume limbah bioetanol 13 x lipat dari kapasitas produksinya. Jadi nilai ekonomi
POC bisa mencapai 39 kali dari potensi ekonomi bioetanol.

2.6 Kelebihan & Kekurangan Bioetanol

Beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari bioethanol adalah sebagai


berikut:
1. Nilai oktan yang tinggi menyebabkan campuran bahan bakar terbakar tepat
pada waktunya sehingga tidak menyebabkan fenomena knocking
2. Emisi gas buang tidak begitu berbahaya bagi lingkungan salah satunya gas
CO2 yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesa
serta emisi NO yang rendah
3. Efisiensi tinggi dibanding bensin

Selain memiliki keunggulan yang begitu banyak bioethanol ini pun terdapat
kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya:
1. Memerlukan modifikasi mesin jika ingin menggunakan bioethanol murni pada
kendaraan
2. Bisa terjadi kemungkinan ethanol mengeluarkan emisi polutan beracun.

kelebihan bioetanol dibanding minyak tanah adalah api berwarna biru sehingga
tidak menghanguskan alat masak. Bahan bakar dari bioetanol juga tidak berbau
dan mudah dipadamkan dengan air

2.7 Pemanfaatan dari bioetanol

Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan


senyawa lain (asap, gas, dan partikel padat timbal) dari kendaraan. Hal ini sudah
dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikan
bioetanol tersebut, seperti Brasil dan Jepang. Perkembangan bisnis bioetanol di
Indonesia seharusnya juga bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan
melimpahnya bahan baku, seharusnya kita bisa menggantikan sebagian
pemakaian BBM yang sudah semakin langka dengan bioetanol. Selain untuk
bahan bakar, bioethanol (FGE) dapat digunakan untuk industri kimia, farmasi,
kedokteran, kosmetik, bahan baku aneka minuman, dan sebagainya. Bioetanol
dapat dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat,
pembuatannya dapat dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Selain itu juga
pengoperasian bioetanol lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak
tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16.000,-, maka dengan
bioetanol dapat menghemat Rp 4.000,-. Pengalaman membuat dan menggunakan
bioetanol ini diceritakan oleh seseorang bernama Bambang Kisudono, warga kota
Surabaya yang memanfaatkan sampah dapur rumahnya untuk membuat dan
mengembangkan bioetanol di lingkungan tempat tinggalnya. Awalnya Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya
(ITS) Surabaya dari kajiannya menyimpulkan bahwa kompor yang dirancang
khusus untuk bioetanol (Gambar 5) terbukti lebih efisien dibandingkan kompor
kerosin (minyak tanah/konvensional). Hal ini mendorong orang tersebut
melakukan pengolahan bioetanol sendiri.

Untuk kompor rumah tangga, perbandingan (rasio) penggunaan bioetanol


dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya adalah dengan 3 liter minyak tanah efisiensi
panas yang dihasilkan akan setara dengan satu liter bioetanol. Dengan volume
100cc bioetanol akan membuat api menyala sekitar 30 - 40 menit. Bahkan
menurut peneliti bioetanol Ir Sri Nurhatika MP di ITS, Surabaya, mengemukakan
penggunaan bioetanol akan lebih efisien lagi karena 1 liter bioetanol sama dengan
9 liter minyak tanah. Bahan baku untuk pembuatan bioetanol terbagi tiga, yaitu
bahan berpati, bergula, dan bahan berselulosa. Bahan baku bergula, misalnya
adalah tebu, nira, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya sagu, ubi kayu,
jagung, biji sorgum, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh
manusia. Sehingga sebaiknya pengembangan bioetanol masa depan lebih
ditujukan kepada penggunaan bahan yang tidak dikonsumsi manusia, sehingga
tidak mengganggu ketahanan pangan nasional. Selanjutnya bahan
berlignoselulosa contohnya adalah TKKS, dimana polimer selulosa lebih sulit
diuraikan (dihidrolisis) daripada polimer pati dan hal ini perlu diperhatikan.
BAB III

PENUTUP

Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan


(biomassa) dengan cara fermentasi, dimana proses perubahan kimia disertai
dengan aktivitas dan dapat juga dibantu dengan aktivitas enzim Proses
pembuatan bioetanol cukup sederhana, adapun tahapan tahapan dalam
pembuatan bioetanol, yaitu gelatinasi, sakarifikasi, dan fermentasi.Bioetanol dari
tanaman umbi-umbian sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena bahan
baku yang dapat disediakan dengan melimpah, dan juga proses produksinya yang
sederhana.

Anda mungkin juga menyukai