Makalah Bioetanol
Makalah Bioetanol
Disusun Oleh :
Indah Pratiwi 0609 4041 1362
Indah Syapitri 0609 4041 1363
Nurfadhlah 0609 4041 1370
Penulis
BAB I
PENDAHULIUAN
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Bioetanol adalah sebuah bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan
(biomassa) dengan cara fermentasi, Fermentasi adalah suatu proses perubahan
kimia yang disebabkan oleh aktivitas mikroba ataupun oleh aktiviatas enzim yang
dihasilkan mikroba.
Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat
di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena
bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk
menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete
(limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol
jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan,
menyebabkan pihak pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai
dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah
yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat
diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah
dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol
yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan
bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah
kayu.
A. Sagu
Potensi Pohon penghasil sagu (Metroxylon spp) termasuk jenis palma yang
banyak tumbuh di Indonesia bagian Timur. Sagu merupakan salah satu
komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dimana kandungan
karbohidratnya lebih tinggi dari pada kandungan tanaman lainnya. Secara
alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia
dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya
terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (Gambar 1). Tumbuhan
ini merupakan asli dimana sagunya selain sebagai bahan pangan juga dapat
dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax
(E) atau pada keadaan tertentu dapat digunakan secara penuh (E100), untuk
menggerakkan (mengoperasikan) mesin mesin berdasar bensin. Populasi
tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta
ha dan 90% di antaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku (Flach, 1997).
Kedua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di
beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi
budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu
1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta
148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera
Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien
sebagai penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun
atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.
Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang Pariaman (A), bekas tebangan sagu
(B).
E. Tetes Tebu
Pada molase atau tetes tebu terdapat kurang lebih 60% selulosa dan
35,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini dapat
dihidrolisis menjadi gula sederhana (mono dan disakarida) yang selanjutnya
difermentasi menjadi etanol. Di Indonesia potensi produksi molase ini per ha
kurang lebih 1015 ton, Jika seluruh molase per ha ini diolah menjadi
ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih
766 hingga 1.148 liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku molase layak
diusahakan karena tingkat keuntungan finansialnya mencapai 24%.
F. Jerami Padi
Jerami padi mengandung kurang lebih 39% selulosa dan 27,5%
hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini, sama
halnya dengan tetes tebu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang
selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Potensi produksi jerami
padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah dengan kadar air kurang
lebih 60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade
ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766-1.148 liter/ha
FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel
grade(FGE) sekarang adalah Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka
nilai ekonominya kurang lebih Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha.
Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2006, keseluruhan luas sawah
di Indonesia adalah 11,9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang
lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini diolah menjadi bioetanol
maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioetanol (FGE) dengan nilai
ekonomi Rp. 50.1 triliun. Menurut perhitungan, etanol dari jerami sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan karbohidrat pada jerami
padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga
terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.
Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim dan Dale (2004) dalam Patel dan
Shoba (2007), adalah sebesar 0,28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan
cara Badger (2002) dalam Patel dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,20 l/kg
jerami. Jika berdasarkan prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka
jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 -
11,874 juta liter. Banyaknya bioetanol yang dihasilkan tersebut cukup untuk
memenuhi kebutuhan bensin Nasional selama satu tahun.
H. Singkong Karet
Singkong karet atau singkong gajah merupakan salah satu jenis pohon
singkong dimana umbinya mengandung senyawa beracun, yaitu asam sianida
(HCN), sehingga umbi tersebut tidak diperdagangkan dan kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat (Anonim, 2009). Oleh karena itu sangat tepat sekali bila singkong
karet tersebut ini digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian Sriyanti
(2003), menunjukkan bahwa dari tiga varietas singkong yakni randu, mentega dan
menthik, ternyata kadar gula dan alkohol tertinggi dari hasil sakarifikasi dan
fermentasi terdapat pada varietas mentega yakni sebesar 11,8% mg (kadar gula)
dan 2,94% mg (kadar alkohol). Menurut Sugiarti (2007) dalam Setyaningsih
(2008), bahwa kandungan alkohol hasil fermentasi ubi kayu varietas randu
sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih (2008), setelah dilakukan
pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil fermentasi ampas umbi singkong
karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah adalah
11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis ragi 2 gram. Sedangkan kadar
alkohol tertinggi adalah 41,67% pada waktu fermentasi 15 hari dan dosis ragi
8 gram.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba
pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk
menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram
singkong. Bioetanol tersebut nantinya dapat untuk bahan bakar cair dengan nilai
oktan 40% atau seperti halnya nilai oktan minyak tanah (40%), premium (70%),
dan bahkan pertamax (90%). Biaya produksi untuk satu liter bioetanol dari
singkong karet sekitar Rp3.000, jadi kalau dijual Rp 4.000,- lebih murah dari
premium. Anonim (2007) menyatakan bahwa pada skala usaha rumah tangga,
dari 6,5 kg singkong dengan kandungan karbohidrat 24% akan dihasilkan 1 liter
bioetanol.
a. PROSES GELATINISASI
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau
jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang
diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut
dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel.
Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
B. PROSES FERMENTASI
Sedikit kita cerita tentang reaksi kimia. Persamaan reaksi yang telah disetarakan
adalah:
C6H12O6 > 2CH3CH2OH + 2CO2
= (2 x 46,07)/180,16
= 0,511gr (etanol absolute)
Pada kenyataannya tidak ada atau zulit zekali kita mendapatkan etanol
absolute,apalagi dengan peralatan seadanya.
Kadar bioetanol maksimal yang bisa diperoleh dari proses distilasi adalah
95%. Seringkali kadarnya hanya 60%, 80%, atau 90%. Kita menghitungnya
berdasarkan kadar etanol yang keluar dari distilator saja.
Sebagai contoh:
Kadar gula = 10%
Volume = 100 liter
maka total etanol teoritis yang bisa diperoleh adalah:
= 5,1 kg x 0,789
= 4,03 liter.
Karena efisiensi distilasi tidak pernah 100%, maka perlu dikoreksi dengan
efisiensi hidrolisisnya. Misalkan saja 95%. Jadi volume etahnol absolute yang bisa
didapat adalah:
Kalau kadar etanolnya 60%, bisa dihitung dengan cara yang sama:
Kita perlu mencari data terlebih dahulu berapa potensi ketersediaan bahan
baku. Cari data sevalid mungkin, karena ini urusannya dengan duit, investasi, dan
berimbas ke banyak hal.. Misalkan di sebuah kebun pepaya. Potensi buah afkir
yang bisa diolah menjadi etanol adalah:
Sari buah yang bisa kita peroleh sekitar 80% dari beratnya, jadi volumenya:
Andaikan kadar gulanya 10%, efisiensi hidrolisisnya 95%, dan kadar etanol yang
dihasilkan 95%, maka volume etanol yang dihasilkan adalah
Omzetnya adalah
Andaikan dalam sebulan ada 25 hari kerja, maka kapasitas pengolahannya adalah
Andaikan luas kebun di wilayah itu adalah 50 ha, maka kapasitas produksinya
= 2,56 x 50
= 128.16 liter
Dan omzetnya
Selain memiliki keunggulan yang begitu banyak bioethanol ini pun terdapat
kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya:
1. Memerlukan modifikasi mesin jika ingin menggunakan bioethanol murni pada
kendaraan
2. Bisa terjadi kemungkinan ethanol mengeluarkan emisi polutan beracun.
kelebihan bioetanol dibanding minyak tanah adalah api berwarna biru sehingga
tidak menghanguskan alat masak. Bahan bakar dari bioetanol juga tidak berbau
dan mudah dipadamkan dengan air
PENUTUP