Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas mata pelajaran Agama Islam.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui
berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas
abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan
pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang tokoh-tokoh
Muhammadiyah yang berperan di kanca nasional, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang
datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para Siswa SMP Muhammadiyah 1 Pontianak. Saya
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kepada guru saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa
yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Pontianak, 3 September 2015

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I ISI

A. Jendral Soedirman 3

B. Abdul Kahar Muzakkir 6

C. Buya Hamka 13

D. Ir. Soekarno 15

E. Ir. Djuanda 17

F. Jendral Basuki Rahmat 23

G. Jendral M. Sarbini 27

BAB II PENUTUPAN

A. Penutup 28

JENDRAL SOEDIRMAN

2
SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia
(TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal
berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku
sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas
Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.
Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja
yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman
Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan
tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti
tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi
kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.

Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih
spesifik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981),
"Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di
Indonesia, Kisah Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur
DKI Tahun 1977-1982, atau "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah"
(2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar
buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih
berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.

Sedikit saja buku seperti "Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in
Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan
politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap
langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-
langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan
keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada
pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung "melindungi" keterlibatan
Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d' tat dan "membersihkan"
kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.

Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar

3
pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi,
ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung
membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku
Politik Panglima Besar Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai
fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal
kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil
Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang
berkembang saat itu.

Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua
pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan
Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain
itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan
dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi
Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun
1974-1981.

Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal
tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan
kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung
(Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat
diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi
landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.

Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan


pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah
Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman
sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari
pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya
berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi"
(Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.

Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam


konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli
4
1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d' tat terhadap duet
Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme
independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani
tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang
teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran
yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan
pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir
Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis
untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.

Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3
Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung,
kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam
peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu
Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa
telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang
secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d'
tat.

Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli


1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan
keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga
manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju
dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara
dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum
program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang
tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal,
peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan
Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi
Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis
mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde
Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari
fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati).

5
ABDUL KAHAR MUZAKKAR

(ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa,
Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama
kecilnya La Domeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang
merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa
itu.

Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga


balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah
pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.

Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam
(DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam
pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar
Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan parau
bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah,
jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.

Tertembaknya Kahar Muzakkar

TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam
kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat
kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin
Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.

Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di
ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di
bawah mereka. Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival, kata Ili
Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafii dari
Gatra.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu tapi Sadeli, yang ditemui dirumahnya di Desa
Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas
pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di
sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih mengagetkan: muncul pula
beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.

Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka dari Jawa Barat hingga Makassar
telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam

6
Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir Jenderal Andi Muhammad Jusuf.

Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar
memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke
perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral
dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.

Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah
sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke
perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu
Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di
jalan setapak, untuk ikut menyerbu.

Sadeli, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-
semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang pertama ini lewat
melenggang. Saya tegang, senjata pun macet, kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar
satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.

Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan
raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto
Kahar Muzakkar, bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu
membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.

Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli,
tepat pukul 06.05 WIB. Kahar geus beunang hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah
tertangkap), Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar
pun bergegas memeriksa mayat itu.

Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa
jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. Toh, keberhasilan regu Umar
Sumarna, dan Ili Sadeli, tak lantas mengakhiri sejarah Kahar Muzakkar. Kontroversi
mengenai kematian Kahar justru muncul setelah penembakan ini.

Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh Ili Sadeli
bukanlah Kahar yang sebenarnya. Kahar yang asli, menurut mereka, telah lenyap
menyembunyikan diri. Kontroversi inilah yang terus berkembang hingga 36 tahun setelah
penembakan oleh Ili Sadeli ini (baca: Reinkarnasi Kontrarevolusi).

Jusuf Menolak Memberitahu

Ketidakjelasan di mana jenazah Kahar Muzakkar dikuburkan juga menambah kecurigaan


bahwa Kahar tak benar-benar mati. Hasan Kamal Muzakkar, 52 tahun, anak sulung Kahar
dari istrinya, Corry van Stenus, mewakili keluarganya pernah datang pada M. Jusuf untuk
meminta keterangan tentang makam ayahnya. Tapi, Jusuf menolak memberitahu.

7
Jenderal M. Jusuf

Menurut Jusuf, kalau letak kuburan Kahar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah
dan dikeramatkan. Itu syirik, kata Hasan Kamal Muzakkar kepada Gatra. Membisunya M.
Jusuf soal makam Kahar ini menyebabkan di masyarakat muncul banyak versi tentang di
mana sebenarnya letak makam Kahar.

Salah satu versi menyebutkan, berdasarkan salah satu sumber intelijen di TNI Angkatan
Darat, ketika jenazah dibawa ke Jakarta, sebenarnya ada dua peti jenazah. Satu dibuang ke
laut, satu peti lainnya dibawa lagi ke Makassar dan dimakamkan di taman makam pahlawan.
Ini menyebabkan sebuah kuburan tak bernama di sebelah kiri gerbang taman makam
pahlawan dianggap sebagai kuburan Kahar Muzakkar.

Versi lain datang dari KH Masud, kerabat dekat Kahar Muzakkar. Menurut versi ini, makam
Kahar Muzakkar sebenarnya terletak dekat sebuah pohon besar di dekat jalan menuju
Bandara Makassar. Semua kesimpangsiuran mengenai letak makam Kahar kalau jenazahnya
benar dikuburkan membuat kepercayaan tentang masih hidupnya Kahar terus terpelihara.

Hingga kini, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Zaenal Dalle, di Kabupaten Luwu,
Sulawesi Selatan, tempat kelahiran dan basis perjuangan Kahar, pendatang perlu berhati-hati
bila bercakap bahwa Kahar telah wafat. Sebab, bisa-bisa akan kena damprat penduduk
setempat yang fanatik pada Kahar, dan percaya ia masih hidup.

Pada 1989, sebuah jajak pendapat yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas
Hasanuddin memperoleh hasil yang mengejutkan. Jajak pendapat itu mengambil sampel 200
responden, warga Makassar berusia 19-23 tahun yang tentu saja tak bersentuhan langsung
dengan gerakan DI/TII. Hasilnya; 75% yakin bahwa Kahar Muzakkar masih hidup!

Toh, bagi istri kedua Kahar, Corry van Stenus, kini 78 tahun, kematian suaminya adalah
sebuah kepastian. Ia memang tak menyaksikan langsung jasad Kahar. Tapi, bagi Corry,
isyarat perpisahan dari Kahar jauh lebih ia percayai. Ketika pasukannya mulai berkurang,
Kahar sempat meminta Corry bersembunyi bersama anak bungsunya, Abdullah Mudzakkar,
yang baru berusia delapan tahun.

Isyarat Perpisahan

Saya titipkan untukmu satu peleton pasukan inti. Pergilah, kata Kahar. Lalu Corry pun
diantar Kahar ke salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak
bisa menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, Istriku, barangkali inilah pertemuan
kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.

Bagi Corry, ucapan Kahar itulah isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak
berpesan banyak. Jaga kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar
jadi anak yang saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar, kata Corry dengan
nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.

8
Corry mengenang, Kahar, yang terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung
kesedihannya yang mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar
untuk memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca kabar
kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.

Corry pun turun gunung, dan berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi,
M. Jusuf yang bertanggung jawab atas jenazah Kahar melarang Corry melihat jenazah
suaminya. Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah
diangkut dengan heli menuju Makassar, kata Corry.

Beruntung, sebelumnya M. Jusuf sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan
Farida, yang ditemani suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah
Sakit Palemonia, Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin
bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar. Sebab, ada bekas eksem di kaki, leher, serta
cambangnya.

Kahar, yang kelak penuh mitos ini, sebenarnya lahir dari keluarga biasa. Dengan nama
Kahar, ia lahir pada 24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, Luwu, Sulawesi Selatan, dari
lingkungan keluarga Bugis-Luwu yang dikenal memiliki keberanian luar biasa. Kahar pun
sejak kecil menunjukkan keberaniannya. Ia sangat suka main perang-perangan. Kalau
berkelahi, ia tak pernah kalah.

Mengawal Soekarno

Ayah Kahar, yang bernama Malinrang, memiliki banyak sawah dan ladang. Walau tak
berasal dari kalangan bangsawan, ayah Kahar memiliki kemampuan berdagang yang baik,
sehingga punya banyak uang dan disegani masyarakat. Tapi uniknya, Kahar justru tumbuh
menjadi remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar La Domeng,
alias tukang main domino.

Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo, Jawa Tengah,
untuk belajar di sekolah Mualimin Muhammadiyah. Konon, di sekolah inilah KH Sulaeman
Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) negara yang didirikan
Kahar pertama kali bertemu tokoh ini.

Sulaeman Habib pulalah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar
Muzakkar, mengambil nama seorang guru sekolah Mualimin, yang bernama Kahar
Muzakkir. Namun, Kahar tak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri
Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.

Di Luwu, Kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, Nippon Dahopo. Tapi, sikap
antifeodalisme dan antipenjajahan Kahar terlalu kental. Akibatnya, ia tak hanya dibenci
Jepang, Kahar pun tak disukai Kerajaan Luwu. Kahar difitnah. Ia dituduh mencuri. Kerajaan
pun menghukumnya dengan hukum adat: diusir dari Luwu.

Maka, untuk kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halamannya,
balik ke Solo. Di kota ini, ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Tapi, ternyata Kahar

9
lebih tergoda oleh pergerakan kemerdekaan. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia
pergi ke Jakarta.

Di Ibu Kota, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian
menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi. Di Jakarta pula Kahar membuktikan
keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.

Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI

Menghadang Bayonet Jepang.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani
berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua
tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang. Dengan berani, Kahar mendesak mundur
bayonet-bayonet pasukan Jepang yang saat itu sudah mengepung kedua proklamator itu.

Pada Desember 1945, Kahar membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, dan


membentuknya menjadi laskar andalan di bawah Badan Penyelidik Khusus, badan intelijen di
bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Kahar juga mengikuti berbagai pertempuran penting
untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, karier Kahar di Angkatan Perang
Republik Indonesia (APRI) makin menanjak.

Kahar, misalnya, dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-


Sulawesi. Ia pun manjadi orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel
(letkol). Tapi, perjalanan karier Kahar ternyata tidak selamanya mulus. Ketika pasukan di
luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, Kahar tak ditunjuk sebagai pemimpin.

Yang ditunjuk adalah Letkol J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil
komandan. Pada 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi
Selatan, Kahar menuntut Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10
batalyon, secara otomatis dimasukkan ke dalam APRI dan menjadi Brigade Hasanuddin
dibawah kepemimpinannya.

Tapi, Kolonel Kawilarang, Panglima Wirabuana saat itu, menolak. Kekecewaan Kahar pun
memuncak. Ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Menurut Anhar
Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, rentetan kegagalan itu membuat Kahar
merasa gagal mengembalikan siri pesse (harga diri)-nya sebagai orang Bugis-Makassar.

Menurut analisis Anhar Gonggong, setelah 1953 itu, selain akumulasi siri pesse, ideologi
Islam juga sudah mulai membentuk jati diri Kahar. Pada 3 Agustus 1953, Kahar dan KGSS-
nya menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo. Belakangan, pada 1962,
Kahar membentuk RPII, yang terpisah dari DI/TII Kartosoewirjo.

Penghargaan Khusus untuk Corry

Kekerasan hati Kahar sebagai pejuang membuatnya menjadikan pernikahan juga sebagai
bagian dari perjuangannya. Istri pertamanya, Siti Walinah, ia ceraikan karena tidak mau
diajak berjuang di Sulawesi. Banyak pernikahan Kahar lebih dilandasi kepentingan

10
perjuangan dari kepentingan lain. Secara keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri,
dan 15 anak.

Tapi, dari semua istrinya, tampaknya Corry van Stenus-lah yang memiliki kedudukan paling
istimewa. Sebab, sebagai istri, Corry mengizinkan Kahar menikah lagi berkali-kali. Alasan
masing-masing pernikahan Kahar memang berbeda-beda. Boleh jadi, Corry mengerti dan
menyetujui semua alasan Kahar menikahi banyak istri.

Ketika menikahi Corry van Stenus, misalnya. Kahar bermaksud mengislamkan dan
mengajaknya ikut berjuang. Ketika memutuskan menikahi Siti Hami yang dinikahi Kahar
pada usia 60 tahun Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai perjuangannya.
Siti Hami memang memiliki kebun kopra sangat luas.

Istri lain Kahar, Siti Habibah, dinikahi untuk menjaga kehormatan istri panglimanya yang
gugur dalam pertempuran. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai simbol
pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Walau bukan berasal dari kelompok bangsawan,
Kahar sangat dihormati, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk
dipersunting.

Tapi, Kahar justru memilih Daya sebagai istri terakhirnya. Daya adalah gadis berusia 15
tahun dari suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan Bugis. Yang
unik, Corry-lah yang melamar beberapa istri Kahar lainnya. Corry-lah yang melamar Siti
Hami untuk Kahar. Bahkan, Corry memandikan Daya dengan tangannya sendiri, sebelum
dinikahkan.

Untuk semua pengabdian Corry, Kahar punya penghargaan khusus. Dalam ceramah di depan
para pendukungnya, Kahar selalu menegaskan, Sepeninggalku, kalian boleh menikahi
semua bekas istriku, kecuali Corry. Haram hukumnya, karena riwayat hidup saya akan
menjadi rusak. Dan terbukti, dari semua istri Kahar, yang tidak menikah lagi hanya Corry
van Stenus.

Meninggalkan 20 Buku

Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan
Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di
sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah
absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.

Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran
rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Apalagi, Kahar selalu menggodanya. Suatu kali, Kahar
pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah
penggaris itu dikembalikan Kahar.

Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. Saya
pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi, Corry mengenang.
Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis
keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.

11
Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis
bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil
Dapelaaf. Kamu mau selamat atau tidak? Kahar bertanya. Lebih baik mundur saja. Saya
yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.

Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua
Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada
kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa
Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.

Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang
Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan
ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan,
dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry
pun kemudian tak terpisahkan.

Walau tak banyak bertemu dengan Kahar, hampir semua anak Kahar merasa dekat dengan
sang ayah. Abdullah Mudzakkar, anak bungsunya dari Corry, punya kenangan khusus tentang
ayahnya. Seingat dia, ke mana-mana Kahar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi
dokumen, Al-Quran, hadis, dan buku harian.

Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar
menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong,
kualitas tulisan Kahar cukup baik. Misalnya, tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan
Jenderal A.H. Nasution (almarhum).

12
BUYA HAMKA

Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) menggelar Tasyakuran


Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Buya Hamka di Auditorium UHAMKA,
pada 12 November 2011. Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh nasional, seperti Menteri
Kehutanan RI Zulkifli Hasan, wakil menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim,
anggota DPD RI AM Fatwa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqi,
cendikiawan muslim, Azyumardi Azra, Ketua MUI KH Amidhan, penyair Taufik Ismail,
Soelastomo dan ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin serta keluarga
besar Buya Hamka yang diwakili oleh anak-anaknya, seperti Aliyah Hamka, Rusdy Hamka,
Fatyah Hamka dan Irfan Hamka.
Rektor UHAMKA, Prof. Dr. H. Suyatno menyatakan UHAMKA sangat bangga dengan
dianugerahinya Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau yang lebih dikenal dengan Buya
Hamka sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia pada 10 November
lalu.
Dengan pengakuana tersebut, Suyatno berharap kalangan mahasiswa dan sivitas akademika
UHAMKA dapat lebih tergugah untuk meneladani kepribadian Buya Hamka. Bagi
UHAMKA, warga Muhammadiyah, warga bangsa, khususnya tokoh-tokoh pemuda yang
akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, amat perlu meneladani kearifan Buya
Hamka,ujarnya.

Ulama dan Pejuang


Ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin menegaskan bahwa Buya
Hamka merupakan seorang Pahlawan Sejati bagi bangsa ini. Sebab selain dikenal sebagai
seorang ulama yang memiliki integritas, sastrawan dan budayawan dengan beragam karya
sastra, Buya Hamka juga seorang pejuang dalam perang kemerdekaan.
Keluarga besar Muhammadiyah sangat bersyukur, bahagia dan berbangga akhirnya
pemerintah mengakui dan memberikan anugerah Pahlawan Nasional pada seorang tokoh
Muhammadiyah, Prof. Dr. Hamka. tak pelak lagi Buya Hamka adalah Pahlawan Sejati.
Bukan hanya karena keulamaanya pendiri ketua pertama MUI, keilmuan dengan gelar Doktor
Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Mesir, juga karya-karya dalam bidang sastra tetapi
juga karena kepejuangannya dalam perang kemerdekaan RI,ujarnya.
Menurut Din Syamsuddin, sebagai ulama Buya Hamka berada dalam posisi tengahan,
memadukan ketegaran dalam memegang prinsip. Seperti ketika menjadi ketua umum MUI
dengan Fatwa Natal, dimana dia rela mundur dari jabatan ketua umum MUI, demi prinsip
yang dianutnya.
Dalam hal lain, beliau seorang ulama yang sangat fleksibel dan toleran. Sehingga ceramah-
ceranahnya selain disukai oleh umat Islam juga oleh kalangan non muslim. Dan bahkan
terhadap musuh politiknya, ia memaafkan.
Ini sebuah sikap kenegarawanan, kearifan dan kebijaksanaan yang tetap berpegang pada
prinsip keagamaan. Bagi saya ini sebuah watak kepemimpinan yang langka saat ini ketika
bangsa ini merindukan pemimpin yang berwatak. Dan bukan pemimpin yang lembek, lemah.
Kita harus meneladani Buya Hamka,ujarnya.
Din Syamsuddin berharap anugerah gelar Pahlawan Nasional bagi Buya Hamka bisa memacu
dan memicu generasi penerus tidak hanya di Muhammadiyah, umat Islam, tetapi juga
masyarakat Indonesia untuk tampil sebagai Hamka-Hamka baru dalam konteks zaman yang
berbeda.

13
Din Syamsuddin juga berharap agar UHAMKA bisa menampilkan, mendalami dan
menyampaikan nilai-nilai HAMKA untuk menjadi teladan bagi keluarga besar
Muhammadiyah.
Saya pikir bangsa kita harus menyebarluaskan keteladanan dari para pahlawan. Karena nilai-
nilai keutamaan seperti itu akan sangat membantu dalam membentuk dan menanamkan
karakter bangsa. Saya tahu bangsa-bangsa besar di dunia yang sudah mempunyai masa
lampau yang jaya sangat berpegang teguh pada pikiran-pikiran para bdayawan dan pemikir
masa lampau sehingga menjadi nilai-nilai bangsa. Saya kira konsekuensi dari
penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Buya Hamka harus ditindaklanjuti oleh
negara,ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sedangkan cendikiawan muslim, Prof. Dr. Azyumardi Azra menegaskan Buya Hamka selain
seorang ulama juga tokoh perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Jejak perjuangannya
terlihat aktif terlibat dalam Sarekat Islam (SI) di Padangpanjang tahun 1925. Buya Hamka
melihat SI sebagai kekuatan sosial (keagamaan) Islam yang tangguh menghadapi
kolonialisme Belanda. Selain aktif di SI ia juga aktif berjuang melawan Belanda saat
menjabat konsul Muhammadiyah di Makasar dan Medan tahun 1936.
Di dalam buku otobiografinya yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup (jilid 4), Buya Hamka
menceritakan kiprahnya dalam bergerilya di hutan sekitar Medan dan Sumatra Barat. Ia
menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dengan kelompok-kelompok pejuang
lainnya. Kiprah Buya Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949, lanjut
Azyumardi kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang
kembalinya Belanda ke tanah air. Tahun 1947, Buya Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan
Pertahanan Nasional bersama Rasuna Said. Selain itu, ia juga diangkat oleh Bung Hatta
sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Keaktifan Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan dilanjutkan dengan membentuk
Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang nerupakan barisan perlawanan gerilya
terbesar di wilayah Sumatera Barat. Selain Din Syamsuddin dan Azyumardi Azra, sejumlah
tokoh nasional memberikan kesan terhadap pribadi Buya Hamka. AM Fatwa, Zulkifli Hasan
dan Musliar Kasim mengaku sangat terinspirasi oleh kiprah dan buku-buku karya Buya
Hamka.

14
IR SOEKARNO

Ir Soekarno atau Bung Karno, kita mengenalnya selama ini adalah sebagai bapak
Proklamator Republik Indonesia. Sosok Soekarno banyak dipuja-puji masyarakat Indonesia.
Ia yang lahir pada 6 Juni 1901 dari ayah, seorang priyayi jawa bernama Raden Sukemi
Sosrodiharjo, sangat kental diwarnai sinkretisme ajaran Kejawen. Ayahnya menemukan
jodoh di Bali, yakni Idayu Nyoman Rai, seorang wanita dari kasta Brahmana. Perkawinan itu
tidak direstui oleh keluarga Idayu karena sang mempelai pria bukan dari keturunan
Brahmana. Di Bali, Raden Sukemi yang mendapatkan sertifikat untuk mengajar sekolah
pribumi, sempat menjadi asisten professor Van Der Tuuk, Sarjana Belanda ahli bahasa
Indonesia, yang giat meneliti bahasa Bali. Kakak perempuan Sukarno, Soekarmini, lahir di
Singaraja-Bali, sedangkan Soekarno sendiri lahir di Surabaya dengan nama Kusno Sosro
Sukarno.
Namun tahukah anda bahwa Soekarno juga merupakan warga Muhammadiyah?
Soekarno jatuh hati pada Muhammadiyah yang berilian dengan ide pembaruan.
Ketertarikannya dengan Muhammadiyah sejalan dengan ikhtiar Soekarno untuk membuka
tabir kemajuan peradaban di balik kata Islam dari tokoh-tokoh pencerahan Islam seperti
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, sampai proklamator kebangkitan Islam Ali
Pasha, Arabi Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan Mohammad Ali, yang menghiasi wawasan
keislaman dan kemuhammadiyahannya.
Sewaktu muda, ia kagum terhadap K.H. Ahmad Dahlan yang mengumandangkan kebebasan
berijtihad, dan dakwah nya untuk membebaskan umat dari khurafat dan bidah. Bahkan di
depan para peserta Muktamar Muhammadiyah yang berusia setengah abad berpidato,
menyanjung peran pendiri organisasi yang lahir di Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan.
Presiden pertama itu memuji K.H. Ahmad Dahlan, yang mampu menerangkan Islam lebih
hidup dan menangkap semangat zaman.
"Dalam suasana yang remang-remang itu datanglah Kiai Ahmad Dahlan di Surabaya dan
memberi tablig mengenai Islam. Bagi saya (pidato) itu
berisi regeneration danrejuvenation daripada Islam. Sebab, maklum, ibu meskipun beragam
Islam (tapi) berasal dari agama lain, (beliau) orang Bali. Bapak meskipun agama Islam,
beliau adalah beragama teosofi. Jadi (orang tua) tidak memberi pengajaran kepada saya
tentang agama Islam."

Soekarno muda yang sangat energetik itu, menyerang doktrin taklid dan sikap menutup pintu
ijtihad. Ia menantang kekolotan, ketakhayulan, bidah dan anti-rasionalisme yang dianut oleh
masyarakat Muslim Indonesia. Ia berpendapat, bahwa Islam telah disalah-tafsirkan, karena
umat Islam dan para ulamanya lebih percaya dan berpedoman kepada hadist-hadist dan
pendapat ulama, dari pada berpedoman kepada al Quran. Ia pernah meminta kiriman buku

15
kunpulan hadist Bukhari, karena ia mencurigai beredarnya hadist-hadist palsu yang
bertentangan dengan al Quran. Di sini Soekarno muda sudah memasuki pemikiran kritik
hadist, yang hanya baru-baru ini saja menjadi perhatian studi akademis.
Ketika Soekarno dipindahkan oleh Belanda dari Flores ke Bengkulen (Bengkulu), Soekarno
bertemu dengan banyak tokoh Islam di sana salah satunya adalah H. Hasan Din, seorang
tokoh Muhammadiyah Bengkulu dan resmi masuk menjadi anggota Muhammadiyah pada
tahun 1938. Hasan Din memiliki anak perempuan cantik bernama Siti Fatimah yang
kemudian diperistri Soekarno. Mungkin Anda tidak tahu, siapa Siti Fatimah? Beliau adalah
Fatmawati, Ibunda Megawati Soekarno Putri.
Setelah menikah dengan Soekarno, Siti Fatimah mengganti nama dirinya dengan Fatmawati.
Dari perkawinannya dengan Fatmawati, Soekarno dikaruniai 5 anak: Guntur Soekarnoputra,
Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh
Soekarnoputra.
Khadafi bangga dengan Soekarno, dan di Afrika selatan pun semangat ingin merdeka karena
kata-kata Soekarno, dan Soekarno bangga sebagai Warga Muhammadiyah dan pemikiran
Muhammadiyah. Sebagaimana isi pesan pesan Soekarno;
Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Kata-kata ini bukan untuk Muhammadiyah
saja, tapi juga untuk saya. Saya harap kalau dibaca lagi nama-nama anggauta
Muhammadiyah yang 175.000 orang banyaknya, nama saya masih tercantum di dalamnya.
Saya harap nama saya tidak dicoret dari daftar keanggautaan Muhammadiyah. (Soekarno,
1957)
Tak hanya itu saja, menurut Manyur Suryanegera, seorang sejarawan dari Universitas
Padjajaran Bandung mencatat, Bung Karnolah satu-satunya presiden di dunia yang minta
jenazahnya diselimuti bendera Muhammadiyah; bukan Sang Saka Merah Putih, betapapun
nasionalisnya dia sepanjang hidup.
Moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanallah Wataala, dan jikalau saya
meninggal dunia, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain
kafan saya (Soekarno, 1962)

16
IR DJUANDA

Ir. Haji Djuanda Kartawidjaya di lahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1911. Ayahnya
adalah Raden Kartawidjaya, seorang guru pada Sekolah Dasar (Hollandsch Inlandschie
School) pada zaman Hindia Belanda. Ibunya bemama Nyi Momot berasal dari Tasikmalaya
juga.

Sejak kecil Djuanda mempunyai sifat pendiam, tetapi cerdas. kedudukan ayahnya sebagai
guru HIS membuka jalan bagi Djuanda untuk memasuki Sekolah Dasar Belanda Europeesche
Lagere School di Cicalengka. Kecerdasan Djuanda dibuktikan ketika ia dinaikkan dua kelas,
dari kelas V langsung ke kelas VII. Djuanda memang seorang yang rajin, tekun, cerdas, teliti
dan cermat. Ia suka sekali membaca buku.

Pada tahun 1924, Djuanda sudah tamat ELS dan meneruskan ke HBS ( Hogere Burger
School) di Bandung. Kebanyakan murid HBS adalah anak Belanda, tetapi Djuanda tetap
menjadi anak yang pandai, terutama pada mata pelajaran ilmu pasti dan ilmu alam. Selama
tiga tahun di HBS, yaitu dari kelas I hingga kelas II, Djuanda pulang pergi ke sekolah dengan
menggunakan kereta api. Ia harus berangkat di waktu subuh dan pulang sesudah Asar. Pada
kelas IV Juanda mulai tinggal di Bandung, masuk asrama supaya lebih mahir dalam
berbahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. Karena kepandaiannya, maka Djuanda
dapat lulus ujian penghabisan HBS pada tahun 1929 dengan nilai yang amat bagus dan lulus
dengan gemilang (schitterend geslaagd). Dengan nilai sebagus itu Juanda langsung diterima
sebagai mahasiswa pada Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan
memperoleh beasiswa.

Sejak muda Djuanda memang amat gemar membaca, karena itu sejak muda pula ia sudah
memakai kacamata. Ia pun menyukai olah raga, terutama berenang dan polo air. Sebagai
pencinta alam ia sering mendaki gunung dengan menyandang sebuah alat pemotret merek
Rolefex.

Djuanda memasuki Fakultas Ilmu Teknologi yang mempelajari tehnik pengairan dan jalan
(Wegen en Waterbouwkunde). Angkatanya sebanyak 39 orang mahasiswa tediri dari 18
mahasiswa Indonesia, 2 keturunan Cina dan 19 orang Belanda. Djuanda senantiasa belajar
dengan sungguh-sungguh dan tidak banyak membuang-buang waktu. Ia hanya kadang-
kadang menonton bioskop dikelas kambing.

Sebagai mahasiswa, ia memasuki organisasi Indonesische Studenten Vereeninging


(Perkumpulan Mahasiswa Indonesia) Perkumpulan yang bersifat kebarat-baratan. Pada
mulanya Djuanda memang belum tertarik pada perjuangan politik, walaupun ia sudah setia
membaca mingguan berkala Sipatahunan yang bahasa Sunda dengan artikel-artikel yang
bercorak kebangsaan. Makin lama makin tertarik pada kehidupan kemasyarakatan dan
politik, lebih-lebih berkali-kali mendengar ceramah Ir. Sukarno di Bandung. Akhirnya
Menjadi Ketua dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia pada tahun ke-3 dengan Gunarso
sebagai sekretaris. Pada tahun 1933 Djuanda lulus dari THS dan sesudah tamat dari THS,

17
Djuanda menikah dengan gadis Julia Virzsia, seorang guru muda Taman Kanak-Kanak yang
berada dibawah ayahnya. Meskipun Djuanda sudah menjadi insinyur, tetapi karena keadaan
ini pekerjaan. Akhirnya sebagai perantaraan Otto Iskandardinata seorang tokoh perjuangan
yang juga Wartawan Nasional.

Djuanda diangkat sebagai guru pada SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru
(Kweekschool) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Jakarta. Setahun kemudian Djuanda
bahkan menjadi Direktur SMA Muhammadiyah, padahal ia baru berumur 23 Djuanda
memang seorang pemimpin. Ia bersikap tenang, ramah, tidak mudah marah dan selalu
seimbang jiwanya. Siswa-siswanya memandang Pak Djuanda sebagai seorang Direktur yang
lemah-lembut, simpatik dan disegani. Direktur ini selalu berusaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan para siswanya sehingga tidak kalah dari mutu sekolah SMA Pemerintah Belanda.
Ir. Juanda juga menerjuni politik dalam Budi Utomo.

Ia menyokong Taman Siswa di Pasundan dalam menentang wilde Scholen Ordonnantie atau
undang-undang sekolah liar. Lima tahun Djuanda menjadi Direktur SMA Muhammadiyah,
dan waktu sekian itu cukup baginya untuk menempatkan dirinya sebagai pemimpin. Pada
tahun 1936 ia diterima sebagai insinyur Pada Jabatan Pengairan Propinsi Jawa Barat
termasuk Departemen Pekerjaan Umum itu Jakarta. Selanjutnya Jawatan tersebut pindah ke
Bandung berpusat di Gedung Waktu pasukan Jepang memasuki Indonesia Ir. Djuanda masih
di Bandung. Di zaman Jepang ia bekerja pada Jawatan Pekerjaan Umum. Tidak banyak
pekerjaan yang dilakukan pada zaman itu. Ir. Djuanda hanya bertugas merencanakan
pembangunan jembatan sungai Citarum di KcJunggede yang telah dibumi hanguskan oleh
Bclanda. Jembatan tersebut dari konstruksi kayu dan mempunyai daya dukung truk berukuran
5 ton. Sehingga tahun 1958 jembatan tersebut masih berfungsi.

Perhatian Ir. Djuanda terhadap pada soal-soal kemasyarakatan bangsanya makin meningkat.
la lebih condong pada aliran evolusioner yaitu maju berkembang setapak demi setapak,
dengan pasti dan mantap.

Pada tahun 1934, selagi ia menjabat Direktur SMA (AMS) Muhammadiyah atas pengarahan
Otto Iskandardinata, ia memasuki Paguyuban Pasundan. Pada waktu itu gerakan Paguyuban
Pasundan sudah meluas, mempunyai 52 cabang dengan 3217 angota, ditambah anak
organisasinya seperti Pasundan Istri, Patvinders Organisatie Pasundan (Kepanduan). Yayasan
Obor Pasundan (JOP) dengan sekolah-sekolah Pasundan yang bertebaran di pelosok Jawa
Barat, Bale Ekonomi Pasundan dan sebagainya. Masuknya Ir. Djuanda ke Paguyuban
Pasundan, merupakan sumbangan yang besar, karena Djuanda merupakan cendekiawan yang
alim, cerdas, berbudi luhur dan terkenal.

Ir. Djuanda seringkali mengemukakan pendapatnya yang bersifat membangun. Antara lain ia
pernah berkata, Suatu tindakan yang bijaksana, bahwa pemerintah memberikan jabatan
pimpinan kepada akademis Indonesia.

Bahwa Pasundan mempunyai perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran
bagi bangsa Indonesia, dapatlah diketahui dari tujuan yang dicita-cita oleh pendirinya, yaitu :
Mengangkat bahasa Indonesia kesuatu tingkat politik, ekonomi dan sosial yang lebih tinggi

18
agar menjadi suatu bangsa yang terhormat diantara bangsa-bangsa yang telah dewasa dan
merdeka.

Ir. Djuanda yakin, bahwa tujuan akhir perjuangan bangsa Indonesia ialah Kemerdekaan.
Dengan sengaja ia mengemukakan pendapat Gijsbert Karel Van Hoogendorp, seorang
pejuang kemerdekaan bangsa Belanda yang berkata, Usaha untuk mengembangkan tanah
jajahan, ya, saya mengakuinya, adalah usaha untuk mengembangkan detik kemerdekaannya
Ir. Djuanda sendiri berkata. Sebagian lagi dapat diterangkan dari kenyataan bahwa dalam
seperempat abad ini Pasundan telah melaksanakan garis-garis kebijaksanannya dan hal itu
selalu memperkuat keyakinan kita, bahwa masyarakat Indonesia yang berkembang secara
perlahan-lahan lebih memberi jaminan akan tercapainya hasil yang nyata dan tetap.
Mengenai ekonomi Ir. Djuanda mengatakan, Susunan masyarakat disini membatasi daya
serap terhadap para akademisi. Ini sangat terasa didalam lingkungan masyarakat Indonesia
sendiri. Scsuatu golongan menengah yang berdiri sendiri, sebagai suatu syarat utama bagi
perkembangan perusahaan yang sehat dan yang bisa menumbuhkan dan mengasuh
perindustrian dan tehnik, tidak ada sama sekali. Kesempatan untuk menduduki suatu jabatan
yang bertanggungjawab didalam perusahaan swasta di kemudian hari, sangat terbatas bagi
para akademis Indonesia berlainan sekali dengan koleganya di lain negara.

Setelah Indonesia merdeka Ir. Djuanda memperoleh kepercayaan Presiden dan kembali
duduk dalam kabinet sehingga disebut Menteri Marathon dalam 17 kabinet dalam tahun
1945. la duduk sebagai Menteri Muda satu kali, dan empat belas kali menjadi Menteri serta
tiga kali menjadi Menteri Pertama. Ir. Djuanda memulai kariernya sebagai menteri muda
dalam Kabinet Sjzhrir II, tahun 1946.

Kegiatan Ir. Juanda pada masa awal berdirinya Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
Mula-mula Ir. Djuanda diangkat oleh pemerintah RI sebagai Kepala Jawatan Kereta Api
Republik Indonesia. Ini suatu tugas yang amat berat karena keadaan kereta api sejak jaman
Jepang sudah amat kacau balau. Kereta Api sudah tidak terurus, baik lokomotif maupun
gerbong-gerbong dan stasiun serta rel-relnya sudah rusak sekali.

Apalagi sesudah Belanda mulai menduduki kembali Indonesia, maka terjadilah pengungsian
yang luar biasa. Mereka menggunakan jasa kereta api untuk mengungsi. Demikian pula
angkatan bersenjata dan laskar-laskar bergerak dengan menggunakan kereta api. Pekerjaan Ir.
Djuanda menjadi makin berat. Selama memimpin Jawatan Kereta Api ini keluarga Ir.
Djuanda menetap di Cisurupan, yang terletak antara Garut Cikajang, sedangkan ia sendiri
berada di Yogyakarta.

Pada bulan Maret 1946, Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan
merangkap sebagai Kepala Jawatan Kereta Api.

Dalam Kabinet Syahril (1946). Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perhubungan.
Tugasnya menyelenggarakan perhubungan setaraf dengan kereta api, hubungan pos, dan
telegrap (PTT) dan kemudian juga memulai memikirkan hubungan pelayaran laut.

19
Pada masa Kabinet Amir Syaifuddin (1947) Ir. Djuanda tetap menjabat Menteri
Perhubungan, bahkan pada kabinet Hatta, Ir Djuanda selain menjadi Menteri Perhubungan
juga Menteri Pekerjaan Umum selama beberrapa bulan. Ir. Djuanda juga ditunjuk untuk
duduk dalam perundingan dengan Belanda. la bertindak sebagai ketua Panitia
Ekonomi/Keuangan dalam delegasi Indo-nesia. Pada masa itu ia sering mondar-mandir
Yogyakarta Kaliurang Jakarta. Ir. Djuanda sebenarnya tidak berpartai. Ia bersikap non
partai dan dengan teguh berdiri diluar semua partai dan mengabdi dengan seria kepada
negara.

Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Ir. Djuanda berada di
Istana Presiden di Yogyakarta. Ia tertangkap, tetapi kemudian dilepaskan kembali lalu pulang
kerumahnya.

Berkali-kali ramahnya didatangi tentara Belanda untuk menggeledahnya, tetapi Ir. Djuanda
tetap tenang. Belanda juga datang dan membujuk beliau agar mau bekerja sama dan
mengambil bagian dalam pemerintahan di Negara Pasundan, tetapi It. Djuanda menolak
bujukan Belanda itu. Mungkin karena sikapnya itu sebuah granat pernah diletuskan di
rumahnya, syukur tidak membawa bencana.

Sesudah pemerintah RI kembali ke Jakarta, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Negara.
Beliau juga duduk sebagai Ketua Komisi Ekonomi dan Keuangan dalam Delegasi RI pada
perundingan KMB.

Sesudah RIS berdiri (1949), Ir. Djuanda diangkat menjadi Menteri Perekonomian dalam
Kabinet Hatta. Ia harus berusaha memperbaiki perekonomian rakyat, keadaan keuangan,
perhubungan, perumahan dan kesehatan, mengadakan persiapan untuk jamunan sosial dan
penempatan kerja kembali dalam masyarakat. Juga mengadakan peraturan tentang upah
minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat
seluruhnya.

Bagi Ir. Djuanda urusan ekonomi rakyat merupakan hal yang baru dan dengan tekun ia
mempelajari seluk-beluk ekonomi dan keuangan hingga memahami benar persoalannya.

Pada masa kabinet Moh. Natsir (1950), kembali Ir.Djuanda mamangku jabatan Menteri
Perhubungan. Demikian juga pada kabinet Sukiman Suwiryo (1951) dan kabinet Wilopo
(1952) Ir. Djuanda tetap memegang jabatan Menteri Perhubungan hingga tahun 1953. Pada
masa Kabinet, Ali Sastroamijoyo I (1953) dan kabinet Burhanuddin Harahap (1955) Ir.
Djuanda tidak duduk dalam kabinet, selama tiga tahun. Ia muncul kembali sebagai Menteri
Negara Urusan Perencanaan pada kabinet Ali Sastroamijoyo II pada tahun 1957.

Selama tahun 1953 1956, Ir.Djuanda menjadi Direktur Biro Perancang Negara, yang
menitikberatkan perencanaan pembangunan pertanian, irigasi, jalan, pelabuhan dan infra
stuktur lainnya. Dalam pekerjaan Biro Perancang Negara ini telah diikutsertakan dua tokoh
muda yaitu Wijoyo Nitisastro dan Emil Salim, kedua-duanya mahasiswa Universitas
Indonesia, yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh perancang pembangunan pada masa
Orde Baru.

20
Pada tahun 1957, Ir. Djuanda ditunjuk menjadi Perdana Menteri, Beliau dibantu oleh tiga
orang WakilPerdana Menteri, yaitu Mr. Hardi (PNI), Haji Idham Chalid (NU), dan dr. J.
Leimena (Parkindo), Tugas P.M. Ir Djuanda sungguh amat berat karena pada zaman itu,
keadaan bangsa dan negara dalam keadaan berbahaya dan terancam perpecahan. P.M.
Djuanda berhasil menyelenggarakan musyawarah Nasional yang berusaha menyatukan
kembali Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta. P.M. Djuanda mengucap pidato sebagai berikut,

Betapa penting Musyawarah Nasional diadakan pada waktu ini, mengingat kepentingan
Negara dan Bangsa yang sudah sangat mendesak karena terjadinya tindakan-tindakan
simpang siur yang amat mempengaruhi masyarakat dan negara kita, dan menghambat
jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kejadian-kejadian yang tidak nor-mal di negara
kita akhir-akhir ini perlu segera dipecahkan dan dicarikan jalan penyelesaiannya sehingga
keadaan Republik Indonesia normal kembali.

Dalam hal ini pemerintah berkeyakinan bahwa dengan Musyawarah Nasional ini kita akan
dapat membuka jalan guna mengatasi persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran karena
para peserta ikhlas datang ke tempat musyawarah untuk sama-sama menghadapi dan
menyelesaikan bahaya yang mengancam kita bersama di mana akan tidak terjadi pendiktean
oleh suatu pihak terhadap yang lainnya, tidak terdapat curiga-mencurigai satu sama lain dan
tidak akan saling tuduh menuduh siapa yang bersalah.

Musyawarah Nasional adalah gelanggang persaudaraan serta keutuhan dan diatas semuanya
ini Proklamasi 17 Agustus 1945. Musyawarah Nasional ini telah berhasil melahirkan suatu
Pernyataan Bersama antara Ir. Soekarno dengan Dr. Mohammad Hatta. Dalam pidato
penutupan Musyawarah Nasional itu, P.M. Djuanda berkata, Marilah kita waspada, keadaan
buruk di dalam negara kita merupakan tanah yang subur bagi anasir-anasir yang ingin melihat
hancurnya Republik Indonesia Proklamasi 1945. Marilah kita mengadakan Zelfcorrectie,
memeriksa diri pribadi, apakah kita sungguh selaras dengan dasar-dasar Proklamasi 17
Agustus 1945. Marilah kitajauhkan diri dari prasangka, tuduh menuduh dan curiga
mencurigai. Marilah kita resapkan rasa sebangsa, setanah air, utuh dan bersatu dalam suka
dan duka. Marilah kita songsong Indonesia Jaya dengan rasa cinta kasih, perjuangan dan
pengorbanan.

Walaupun P.M. Djuanda sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kesatuan dan
ketertiban, namun terjadi juga gerakan separatisme. Sungguh berat tanggung jawab P.M
Djuanda tetapi tindakan harus diambil untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

P.M. Djuanda yang juga Menteri Pertahanan tidak hanya berhadapan dengan kekuatan dan
gerakan separatisme di daerah, tetapi juga harus mengatasi gerombolan DI/TII Kartosuwiryo
di Jawa Barat dan tempat-tempat lain.

PM. Djuanda berhasil menyusun organisasi Departemen Angkatan Darat, Angkatan laut dan
Angkatan Udara. Juga DPR menyelesaikar Undang-undang Wajib Militer, Undang-Undang
Sukarelawan dan Undang-Undang Veteran Perjuangan RI.

21
Salah satu hasil lainnya dari P.M. Djuanda yang gemilang ialah dicetuskannya Dekiarasi
Juanda Pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut menentukan Wilayah Perairan
Republik Indonesia, yaitu bahwa bagian-bagian laut yang terletak disekitar dan diantara
pulau-pulau Indonesia yang dahulunya berstatus laut bebas, kini menjadi Laut Nasional.

Ujian berat juga dihadapi P.M.Djuanda dengan adanya pertentangan politik dan idiologi di
dalam konstituante, sehingga akhirnya P.M. Djuanda merintis jalan penyelesaian dengan cara
kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Pada tanggal 6 Mi 1959 sesudah Dekrit Presiden,
maka P.M. Djuanda mengembalikan mandat kepada Presiden.

Dalam Kabinet Karya I, Ir. Djuanda ditunjuk sebagai menteri Pertama merangkap Menteri
Keuangan. Apabila Presiden Sukarno bepergian ke luar negeri, maka Ir. Djuanda menjadi
pejabat Presiden RI.

Zaman Demokrasi terpimpin (1959 -1965) yang penuh dengan ketegangan dan perbenturan,
sungguh merupakan zaman berat bagi Menteri Juanda, tetapi bagaimanapun ia selalu
berpendirian sebagai berikut Ketahuilah, bahwa semua perbedaan itu akan dapat kita
selesaikan dengan baik asal kita semua tetap mengutamakan keselamatan negara dan
persatuan nasional diatas segala kepentingan.

Empat tahun lamanya Ir. Djuanda menyertai Kabinet Kerja sebagai orang kedua dalam
pemerintahan. Dalam Kabinet Kerja II dan III, Ir. Djuanda tetap menduduki Menteri Pertama
dengan Wakil Menteri Pertama dr. J. Leimena dan dr. Subandrio.

Sementara itu dikalangan pemerintah terjadi pertentangan dan ketegangan. Dalam keadaan
penuh konflik itu, Ir. Djuanda bersama dr. J. Leimena merupakan Manx stabilisasi dalam
pergolakan politik. Ir. Djuanda bukanlah orang partai, ia orang administrator yang baik. Ia
dapat memahami apa yang dirasakan oleh orang-orang partai, tetapi ia tidak mengeluarkan
pertanyaan politik. Secara prifadi ia anti komunisme. Mengadu domba partai atau mengadu-
adukan partai bukan sifat dan wataknya. Terhadap yang bersalah Ir. Djuanda akan bertindak.

Situasi politik dan terutama tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang diambil pada zaman
Demokrasi Terpimpin menyebabkan Ir. Djuanda sering mengalami pertentangan batin.
Keadaan demikian ditambah banyaknya keruwetan dalam pekerjaan, menyebabkan Ir.
Djuanda menjadi sering sakit. Beliau diharuskan berobat ke Tokyo karena jantungnya
terganggu.

Penyakitnya makin lama makin parah, tetapi beliau masih tetap bertugas sebagaimana
biasanya. Pada tanggal 7 November 1963, Ir. Haji Djuanda berpulang kerahmatullah, dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 244 tahun 1963 tanggal 29 November 1963,
mengangkat Ir. Djuanda Kartawijaya sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan
Nasional.

22
JENDRAL BASUKI RAHMAT

Markas Belanda di Dander mendapat informasi bahwa semua pimpinan gerilya Karesidenan
Bojonegoro sedang berada di Gondang mengadakan rapat, termasuk Basuki Rachmat yang
selalu mereka cari. Belanda segera menyerang Gondang pada tanggal 27 Maret 1949.
Sepanjang jalan antara Dander dan Gondang gerakan pasukan Belanda dihadang oleh
pasukan Basuki Rachmat, sehingga pimpinan-pimpinan gerilya mempunyai kesempatan
untuk meninggalkan desa Gondang. Waktu pasukan Belanda tiba di Gondang tanggal 29
Maret 1949, mereka tidak menemukan siapa-siapa, sehingga mereka kembali lagi ke Dander.

Tanggal 24 September 1949, Komandan Brigade Ronggolawe masuk kota Bojonegoro untuk
berunding dengan Komisi Tiga Negara (KTN) mengenai pelaksanaan gencatan senjata.
Untuk pelaksanaannya akan ditangani dan diawasi oleh sebuah komisi yang dibentuk tanggal
20 Oktober 1949, terdiri dari pihak Republik Indonesia, Belanda, dan KTN. Panitia ini
disebut Local Joint Committee (LJC=Komisi Bersama Setempat).

Basuki Rachmat ditunjuk menjadi anggota LJC untuk wilayah Bojonegoro Selatan, termasuk
kota Bojonegoro. Pada tanggal 19 Desember 1949 Belanda meninggalkan daerah Bojonegoro
dan pada pukul 10.00 pagi Batalyon 16 Basuki Rachmat masuk kota. Sirine, beduk mesjid,
lonceng gereja, di seluruh kota dibunyikan menyambut masuknya kembali TNI. Kemudian
masuk pula aparat pemerintah sipil di bawah pimpinan Bupati Surowijono bersama
Kepolisian, diikuti oleh para pengungsi.

Setelah Pengakuan Kedaulatan, pada tanggal 2 Juni 1950 ia ditetapkan sebagai pejabat
Komandan Brigade II Narotama Divisi I Jawa Timur. Pangkatnya tetap mayor. Pada tanggal
16 Mei 1953, ia diangkat menjadi Kepala Staf Tentara dan Territorium V/Brawijaya, dan
pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Kolonel.

Sebagai Kepala Staf TT V/Brawijaya ia berusaha agar keamanan dan ketertiban tetap
terpelihara, sehingga pelaksanaan Pemilihan Umum 1955 dapat berlangsung dengan baik.
Pada tanggal 1 Juli 1956 Basuki Rachmat mendapat panggilan supaya menghadap Kepala
Staf Angkatan Darat (KASAD) ke Jakarta. Ternyata KASAD menunjuk ia untuk menjadi
Atase Militer di Australia. Tugas itu mulai dilaksanakan sejak bulan September 1956, dan
berakhir pada bulan November 1959. Selanjutnya Basuki Rachmat diangkat menjadi Asisten
IV KASAD dengan pangkat Kolonel, membawahi bagian logistik Angkatan Darat.

Ketika baru saja empat bulan ia memangku jabatan Asisten IV KASAD, pada bulan Maret
1960 ia diangkat menjadi Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Jabatan Asisten
IV KASAD tetap dipegangnya. Tugas dan tanggung jawab Basuki Rachmat menjadi
bertambah berat, karena itu setelah satu tahun melaksanakan jabatan yang rangkap, ia
dibebaskan dari tugasnya sebagai Asisten IV KASAD.

Mengemban Tugas Sebagai Pangdam VIII/Brawijaya

23
Mungkin karena kesibukannya, Basuki Rachmat jatuh sakit yang agak serius. Setelah
sembuh, ia dibebaskan dari tugasnya selaku Kepala Staf Peperti dan diangkat menjadi
Panglima Kodam VIII/Brawijaya. Menjelang meletusnya pemberontakan G 30S/PKI, di
Surabaya sering terjadi demonstrasi ormas PKI yang terutama ditujukan kepada Gubernur
Jawa Timur Kolonel Wiyono. Puncak demonstrasi terjadi tanggal 27 September 1965 yang
dilakukan oleh Gerwani. Basuki Rachmat sedang berada di Suradan, Madiun, meninjau
latihan militer. Ketika mendengar laporan bahwa kediaman Gubernur Jawa Timur dirusak
oleh massa demonstran Gerwani, hal ini dinilai oleh Pangdam VIII/Brawijaya sebagai sangat
serius.

Pada tanggal 30 September malam Pangdam VIII/Brawijaya menghadap Men/Pangad Letnan


Jenderal A.Yani di kediamannya. Ia melaporkan mengenai peristiwa demonstrasi Gerwani
tanggal 27 September 1965 di Surabaya, sambil mengajukan saksi utama yang melihat
peristiwa itu ialah Mayor Sugianto. Setelah Men/Pangad Letnan Jenderal A.Yani
mendengarkan laporan, secara spontan mengirim kawat pernyataan simpati kepada Gubernur
Wiyono.

Selanjutnya Men/Pangad bertanya kepada Mayor Sugianto, apakah ia berani melaporkan


peristiwa itu kepada Presiden Sukarno. Mayor Sugianto menyatakan bersedia, kemudian
Men/Pangad memerintahkan kepada Pangdam VIII Brawijaya Brigjen Basuki Rachmat dan
Mayor Sugianto, supaya besok tanggal 1 Oktober 1965 menghadap dengan pakaian PDUK
(Pakaian Dinas Upacara Kecil), untuk selanjutnya bersama-sama berangkat menghadap
Presiden. Rencana itu tidak pernah terlaksana karena kudeta berdarah G 30S/PKI pada
tanggal 1 Oktober 1965 telah mendahuluinya.

Pesannya Dalam Penumpasan G.30S/PKI

Karena terjadinya peristiwa G.30S/PKI tersebut, Basuki Rachmat tidak segera kembali ke
Jawa Timur, tetapi langsung menggabungkan diri ke Komando Strategi Angkatan Darat
(Kostrad) untuk bersama-sama mengatur penumpasan terhadap G 30S/ PKI. Dari sini ia
mengadakan kontak dengan Markas Komando Brawijaya, untuk menyelamatkan
komandonya dalam saat yang kritis itu. Belakangan diketahui dari Mahkamah Militer Daerah
Militer (Mahmildam) Brawijaya, bahwa sepasukan Raiders dibawah pimpinan Kapten
Kasmidan sudah merencanakan dan bersiap-siap akan menculiknya, seandainya waktu itu
Basuki Rachmat berada di Surabaya. Kiranya Tuhan telah melindunginya.

Berhubung beberapa pejabat Asisten dan Deputy Pangad telah diculik dan dibunuh oleh G
30S/PKI, maka Pangad Jenderal Soeharto mengangkat Mayor Jenderal Basuki Rachmat
menjadi Deputy Khusus Pangad, di samping itu jabatannya selaku Panglima Divisi Brawijaya
diserahterimakan kepada penggantinya. Ketidaktegasan pemerintah dalam penyelesaian
politik masalah G 30S/PKI menyebabkan rakyat tidak puas. Dengan dipelopori oleh para
pemuda pelajar dan mahasiswa mereka mengadakan demonstrasi. Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura) dicetuskan, yang berisi tuntutan agar pemerintah membubarkan PKI beserta ormas-
ormasnya, membersihkan Kabinet dan oknum-oknum yang berindikasi G 30S/PKI, dan

24
turunkan harga-harga. Sikap pemerintah yang tidak tegas telah menimbulkan ketegangan-
ketegangan, sehingga aksi-aksi pemuda semakin bertambah tajam.

Demonstrasi-demonstrasi yang dilancarkan oleh pemuda-pemuda itu mencapai puncaknya


pada tanggal 11 Maret 1966, ketika diadakan sidang kabinet di Istana, Jakarta. Ditengah-
tengah persidangan itu Presiden Sukarno menerima laporan dari ajudan Presiden/Komandan
Pasukan Pengawal Cakrabirawa Brigadir Jenderal M. Sabur, bahwa di sekitar Istana ada
pasukan yang tidak dikenal. Setelah menrima laporan tersebut, Presiden Sukarno segera
menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II dr. Leimena, dan Presiden langsung
meninggalkan sidang. Dengan menggunakan pesawat helikopter yang telah disiapkan,
berangkat menuju Istana Bogor. Waperdam I Dr. Subandrio, dan Waperdam III Dr. Chairul
Saleh menyertai Presiden berangkat bersama-sama ke Bogor.

Setelah sidang kabinet ditutup oleh dr. Leimena, tiga orang Perwira Tinggi Angkatan Darat
yang ikut dalam sidang kabinet tersebut, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat (Menteri
Veteran), Brigadir Jenderal M. Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigadir Jenderal
Amir Machmud (Pangdam V/Jaya), langsung menghadap Men/Pangad Letnan Jenderal
Soeharto di kediamannya Jalan Haji Agus Salim, yang hari itu tidak dapat ikut hadir dalam
sidang kabinet karena sedang sakit. Di samping melaporkan tentang keadaan sidang kabinet
yang baru lalu itu, ketiga Perwira Tinggi itu juga meminta izin kepada Men/Pangad untuk
menemui Presiden Sukamo di Istana Bogor, guna melaporkan situasi yang sebenarnya. Tidak
benar ada pasukan liar di sekitar Istana, dan bahwa ABRI, khususnya Angkatan Darat, tetap
setia dan taat kepada Panglima Tertinggi ABRI.

Men/Pangad Letnan Jenderal Soeharto mengizinkan ketiga Pati tersebut pergi ke Bogor,
disertai pesan untuk disampaikan kepada Presiden bahwa Letnan Jenderal Soeharto sanggup
mengatasi keadaan apabila Bung Karno mempercayakan hal itu kepadanya.

Dipercaya Membawa Supersemar

Di Bogor ketiga Pati, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.Yusuf dan
Brigadir Jenderal Amir Machmud lalu menghadap Presiden Sukarno yang didampingi oleh
Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, Dr. J. Leimena, dan Ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.
Sabur. Setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam, akhirnya
Presiden Sukarno memutuskan untuk memberikan surat perintah kepada Letnan Jenderal
Soeharto. Ditugaskan kepada yang hadir, yaitu Dr. Subandrio, Dr. Chairul Saleh, Dr. J.
Leimena, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal
Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal M. Sabur untuk merumuskan surat perintah tersebut.

Pada sore hari pukul 19.00 surat perintah tersebut sudan siap disusun, dan ditandatangani
oleh Presiden Sukarno. Surat Perintah tersebut dibawa langsung oleh ketiga Pati itu, dan
disampaikan pada malam hari itu juga kepada Letnan Jenderal Soeharto di Jakarta.

lsi pokok surat perintah itu ialah perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, mengambil segala tindakan

25
yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
pemerintahan.

Pada masa Pemerintah Orde Baru terbentuk, Basuki Rachmat diangkat sebagai Menteri
Dalam Negeri sampai akhir hayatnya. Selain menjabat menteri ia juga menjadi anggota
MPRS dan Ketua Pengurus Besar Palang Merah Indonesia (PMI).

Penghargaan Sebagai Pahlawan Nasional

Jenderal Basuki Rachmat meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 1969, pada saat
mengucapkan pidato dalam upacara pembubaran Dana Bantuan PBB untuk Irian Barat, di
Departemen Dalam Negeri. Kata-kata yang paling akhir dalam pidatonya itu ialah "Kita
semua harus mensukseskan Repelita, dan pembangunan Irian Barat tidak bisa dipisahkan dari
Repelita . . . . "

Sebagai prajurit Saptamargais, loyalitas Pak Bas, demikian ia dipanggil, telah banyak dikenal
orang. Mulai dari komandan batalyon pada waktu awal perang kemerdekaan, hingga akhir
hayatnya sebagai Menteri Dalam Negeri. Loyalitas dan pengabdiannya yang tulus, baik
terhadap Tuhan, tanah air, dan tugas kewajibannya itulah yang membuat ia dipercaya untuk
memikul tanggung jawab dalam segala jabatan yang telah ia alami. Kesemuanya telah
dilaksanakannya dengan penuh kesadaran, sadar akan kemuliaan tujuan dan cita-cita bangsa.

Dalam peristiwa lahirnya SP 11 Maret, sebagai pembuka lembaran sejarah Orde Baru, nama
Basuki Rachmat tercatat sebagai benang emas untuk selama-lamanya. Ia meninggalkan
seorang isteri bemama Sriwoelan dan empat orang anak. Jenazahnya dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Selama pengabdiannya ia telah memiliki 15 bintang jasa.

Untuk menghormati jasa dan pengabdiannya kepada Nusa dan Bangsa, pemerintah Republik
Indonesia mengangkat beliau menjadi Jenderal Anumerta. Sebagai penghargaan tertinggi
Pemerintah telah menetapkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, dengan Surat Keputusan
Presiden RI. No. 01/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969.

26
JENDRAL M. SARBINI

Munculnya wacana diusulkannya Jenderal HM Sarbini menjadi pahlawan nasional kepada


pemerintah pusat ditanggapi dingin oleh keluarga besarnya. Pasalnya, diakui atau tidak diakui
oleh Negara, Jenderal HM Sarbini merupakan seorang pahlawan yang terlibat langsung pada
perang kemerdekaan.
Keluarga besar Jenderal HM Sarbini yang diwakili oleh Gatot Amir Pujo Sutono (66)
mengaku tidak pernah mengusulkan Almarhum Pakdenya menjadi pahlawan nasional.
Menurut pria yang sejak balita hingga lulus SMP tinggal bersama Jenderal HM Sarbini itu,
keluarga besar tidak menghendaki pengakuan itu.
Biarlah Pak Sarbini tenang di Taman Makam Pahlawan sana. Kami sama sekali tidak pernah
mengajukan usulan agar diakui menjadi pahlawan nasional. Keluarga besar sama sekali tidak
kepingin, kata pria yang masih keponakan dan anak angkat Jenderal Sarbini ini di
kediamannya di Desa Wonosari Kecamatan Kebumen, Selasa (12/11).
Gatot Amir mengaku, sudah banyak orang yang mengaku dari instansi tertentu datang ke
kediamannya meminta data pendukung pengusulan Jenderal HM Sarbini. Namun, pihaknya
tidak memenuhinya.
Yang namanya pahlawan itu nggak usah diusul-usulkan lah, saya bilang keluarga besarnya
tidak tertarik. Diaku ya kena enggak juga kena, ujarnya.
Gatot menceritakan, bukan hanya usulan tersebut yang tidak dikehendaki keluarga. Saat
pembangunan Taman Sarbini, pihaknya juga keberatan dengan pembuatan patung yang saat
ini ada di Taman Kota itu.
Pak Sarbini itu kan merupakan tokoh Muhammadiyah, yang pantang dipatungkan. Kita
sebenarnya keberatan, tapi karena memaksa untuk kenang-kenangan katanya, ya silahkan,
ungkapnya.
Akhirnya, pihak keluarga terpaksa mengizinkan pembuatan patung itu dengan syarat tidak
membuat patung utuh seluruh badan. Pihak keluarga hanya mengijinkan patung setengah
badan saja.
Waktu itu, kita disuruh memotong pita, kita nggak mau. Yang namanya berjuang dulu kan
yang berjuang saja, nggak perlu dipublikasikan, tandasnya.
Namun, saat ditanya jika masyarakat menghendaki agar Jenderal HM Sarbini tetap diusulkan
menjadi pahlawan nasional, dia tidak berani menjawab.
Pengakuan itu cukup dihati saja. Keluarga ahli waris tidak berkehendak, pungkasnya.
Untuk diketahui, Jenderal HM Sarbini merupakan salah satu putra terbaik asal Kabupaten
Kebumen. Dia sudah malang melintang di bidang militer dan pemerintahan. Jenderal HM
Sarbini lahir di Desa Indrosari Kecamatan Buluspesantren pada 1914.
Dia Pernah menjabat Menteri Pertahanan pada tahun 1966 di era Presiden Soekarno,
menggantikan Jenderal AH Nasution. Menjabat Pangdam IV/Diponegoro sekitar 1961-1964.
Dalam masa perjuangan, terutama pada tanggal 20 Oktober 1945, dia, yang pada waktu itu
berpangkat Letkol, memimpin pasukan Tentara Keamanan Rakyat Resimen Kedu Tengah
dan menyerang, serta mengepung tentara Sekutu dan NICA di desa Jambu, Ambarawa yang
kemudian dikenal sebagai peristiwa palagan Ambarawa.

27
BAB II

PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

28

Anda mungkin juga menyukai