Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan mukosa hidung dan mukosa sinus

paranasal.1 Rinosinusitis kronik (RSK) terjadi sedikitnya berlangsung lebih dari 12

minggu.2 Penyebutan rinosinusitis ini berdasarkan atas kedekatan anatomis, kemiripan

histologis antara hidung dan sinus paranasalis serta patogenesis terjadinya rinosinusitis.3

RSK menjadi masalah bagi dokter umum maupun ahli Telinga Hidung Tenggorok

(THT) mengingat anatomi dan etiologi yang komplek. Prevalensi RSK di Amerika

berkisar 14% - 16% dari keseluruhan populasi tiap tahun. RSK mengakibatkan

kehilangan hari kerja sebanyak 73 juta hari (3% hari kerja penduduk produktif). 4 Pada

tahun 2001 jumlah kunjungan mencapai 18,3 juta meningkat 50 juta kehilangan hari kerja

dibandingkan tahun 1986. Diagnosis menghabiskan biaya mencapai $3,5 miliar, dimana

24% untuk Computerized Tomography (CT) sedangkan untuk pengobatan diperkirakan

sebesar $5,8 miliar dalam satu tahun.5 Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 2002-

2004 didapatkan frekuensi penderita rinosinusitis kronis berkisar antara 3-4,6% selama 3

tahun terakhir di RS Dr. Sardjito dan menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya.

Jumlah operasi sinus tercatat terus meningkat dari tahun 2001 sebanyak 31 kasus menjadi

41 kasus tahun 2003.6

Diagnosis rinosinusitis kronik bisa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau

alat penunjang sederhana hingga canggih. Anamnesis yang lengkap dan teliti dapat

mengarahkan diagnosis rinosinusitis. Berdasarkan survey terbaru dari 322 pasien

didapatkan gejala rinosinusitis kronik adalah sebagai berikut: discharge hidung (82%),

hidung tersumbat (94%), kongesti wajah (85%), nyeri wajah (83%), nyeri kepala (83%),
fatigue (84%), gangguan penghidu (68%), nyeri telinga (68%), batuk (65%), nafas bau

(53%), dan demam (33%).7 Hwang et al. (2003) meneliti hubungan antara gejala

rinosinusitis dengan derajat CT scan sesuai klasifikasi Lund McKay. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa discharge purulen mempunyai nilai duga positif (NDP) sebesar

0,75%, hiposmia (0,69%), kemeng-kemeng wajah (0,67%), hidung tersumbat (0,67%),

nyeri wajah (0,64%), dan nyeri kepala (0,64%).8

Terapi operatif sinusitis maksilaris kronik terdiri dari operasi konservatif dan

radikal. Pada operasi konservatif terdiri dari irigasi sinus dan antrostomi intra nasal, 9

sedangkan operasi radikal adalah dengan operasi Caldwell-Luc (CWL).10

Hasil akhir yang diharapkan pada terapi sinusitis maxillaris kronik adalah eradikasi

penyakit, eliminasi obstruksi ostiomeatal dan menormalkan clearance mukosilia.10

Keberhasilan dari operasi CWL selain ditentukan keberhasilan saat operasi juga

ditentukan oleh perawatan setelah operasi. Tujuan penulisan ini adalah memberikan

masukan bagaimana perawatan pasien pasca operasi CWL kepada sejawat perawat

supaya dapat mendukung proses keberhasilan terapi CWL.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi dan fisiologi sinus paranasal

Fungsi sebenarnya empat pasang sinus paranasal tidak diketahui. Fungsi sinus

termasuk menurunkan tekanan intranasal yang mendadak, resonansi suara, kemungkinan

berperan dalam penghidu, melembabkan udara pernafasan dan menurunkan berat

tengkorak. Sinus maksila dan ethmoid ada sejak lahir, sinus sphenoid dan frontal tampak

mulai tahun kedua hingga ketiga kehidupan.11,12

Sinus maksilaris menjadi sinus terbesar, ostium sinus accessory terletak di bagian

anterior meatus media dan ostium sinus maksilaris di dinding lateral sinus seperti tampak

pada gambar 1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan ujung akar gigi di alveolus,

khususnya premolar II dan molar I. Sisi ini merupakan tempat terjadinya odontogenic

sinusitis.11

Sinus frontalis mempunyai ostium yang bermuara di meatus media. Sinus

ethmoidalis dapat dibedakan secara klinis bagian anterior dan posterior sinus, bagian

anterior mempunyai ostium di meatus media dan posterior di meatus superior. Ostium

sinus sphenoidalis terletak di dinding anterior tulang sphenoidalis di resessus ethmoidalis

posterior dan beberapa di atas konka superior.12


Gambar 1. Dinding lateral kavum nasi dan ostium sinus paranasal
(sumber: Casiano dan Lasco, 1999)

Bangunan komplek osteomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus ethmoidalis

anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat sebagai suatu

rongga diantara konka media dan lamina papiracea (gambar 2). Isi KOM meliputi

recessus frontalis, infundibulum, bulla ethmoidalis dan sellulae ethmoidalis anterior

lainnya, dimana semuanya berupa celah sempit yang mudah mengalami penyempitan. 11

Komponen lain yang berpengaruh terhadap patensi KOM diantaranya ostium sinus

maksilaris, processus uncinatus, bulla ethmoidalis, infundibulum, konka media, dan

meatus media.13 Variasi anatomi yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi

potongan koronal dapat berupa haller cells (infraorbital recess cells), pelebaran bulla

ethmoid, processus uncinatus yang deviasi atau pneumatisasi, konka media paradok,

konka bullosa, septum deviasi, dan sel onodi.11


Gambar 2. Sinus paranasal dan bangunan komplek osteomeatal
(sumber: Pinheiro et al., 1998)

B Prosedur operasi CWL

Indikasi operasi CWL adalah: sinusitis maksilaris dengan kerusakan mukosa

irreversible yang gagal diterapi dengan terapi konservatif, untuk revisi operasi sinus yang

gagal, pada keragu-raguan sinusitis berulang, untuk evakuasi polip antrokoanal, sinusitis

maksilaris dari infeksi gigi, rhinitis alergi dengan polip bilateral kronik yang disertai

opersi intranasal, fistula antro-alveolar, biopsy sinus maksilaris dan pengangkatan kista
10
antrum. Miller et al cit Dixon melakukan banyak operasi CWL pada kasus yang

irreversible yang tidak berespon terhadap irigasi dan antrostomi.

Operasi CWL adalah operasi pada sinus maksilaris melalui mulut dengan insisi

mukosa bukal pada regio kaninus maksila, mengeluarkan mukosa yang sakit dan

membuat lubang antrostomi di meatus nasi inferior. Pada operasi CWL pasien dilakukan

anestesi umum dan anestesi topical pada meatus inferior, meatus media dan infiltrasi pada

daerah insisi. Infiltrasi dilakukan dengan xylocain 2 % dengan adrenalin 1 : 100.000


untuk membantu hemostasis dan suplemen anestesi. Insisi dilakukan pada 3 mm diatas

sulkus ginggivo bucal, panjang irisan antara gigi kaninus sampai tepi molar pertama. 14

Pada operasi ini perlu tidaknya evakuasi lesi patologis atau membrana mukosa
15
tergantung dari filosofi operator, yaitu radikal atau konservatif. Beberapa penulis

berpendapat operasi CWL untuk mengeluarkan mukosa sinus yang irreversibel, tetapi ada

yang tidak memperdulikan status mukosa dan mukosa harus diangkat secara radikal,

meskipun pengalaman menunjukkan bahwa drainage yang adekuat akan menyembuhkan

penyakit tanpa perlu pengangkatan mukosa antrum. Pada anak penggunaan metode CWL

dihindari, bila digunakan CWL tidak mengangkat lapisan mukosa sinus seluruhnya

karena secara fisiologis lapisan ini penting untuk membersihkan bakteri dan

membersihkan sekresi sinus, selain itu pada anak mukosa jarang yang berubah

irreversibel. Setelah jaringan yang sakit diangkat dibuat lubang antrostomi pada meatus

inferior, dilakukan pemasangan tampon di sinus maksilaris dengan ujung tampon keluar

melalui lubang antrostomi di meatus inferior. Juga dilakukan tampon pada lubang hidung

sisi yang dilakukan operasi. Luka insisi pada mukosa bukal dijahit dan pada hidung

dipasang kasa yang menutup lubang hidung. 15

Operasi CWL sebaiknya dihindari pada anak kecil dan jarang diindikasikan pada

anak karena risiko terjadinya gangguan pertumbuhan gigi, yaitu paling sering pada

premolar 2. Bila dilakukan operasi CWL pada anak lubang CWL setinggi mungkin dan

harus mempertimbangkan bahwa akar gigi kurang lebih dua kali tinggi dari mahkota gigi.
15

C. Perawatan pasca operasi CWL


Pada seluruh pasien yang dilakukan operasi harus dilakukan pengawasan atau

monitor tanda vital. Pada 24 jam pertama setelah operasi dilakukan observasi adanya

perdarahan, gangguan pernafasan dan oedem. Pasien disuruh menambah jumlah minum

agar menjaga sekresi tetap basah. 16

Meskipun operasi sinus relatif minor pasien mengeluh tidak enak pada luka insisi,

jika pasien dilakukan pemasangan tampon ini akan menambah berat keluhan tersebut.

Sehingga memerlukan intervensi perawatan rasional meliputi: 17

Menilai keluhan nyeri menggunakan skor 0-10. Memberikan analgetik jika

diperlukan, tetapi biasanya analgetik selalu diberikan. Penurunan nyeri

menimbulkan perasaan yang baik dan membantu proses penyembuhan.

Mengkompres es pada hidung. Kompres dingin selain mengurangi

pembengkakan dan menghentikan perdarahan dapat menimbulkan analgesia

lokal.

Posisi tidur dengan kepala lebih tinggi sampai posisi Flower atau Flower

tinggi pada 24 sampai 48 jam pasca operasi. Posisi kepala seperti ini

menurunkan pembengkakan dan mengurangi rasa nyeri. Selain itu posisi

kepala ini menimbulkan gerakan kepala yang optimal.

Kassa penutup pada hidung dapat menyerap cairan yang keluar dari hidung atau

sinus sehingga cairan tidak perlu dihisap. Kassa tersebut dapat diganti tergantung

keadaan atau kebijaksanaan yang merawat pasien. Dapat dilakukan pemasangan dressing

dengan penekanan dari luar diatas maksila yang dipasang selama 24-36 jam untuk

menurunkan kejadian bengkak pada pipi. Perdarahan dari hidung diharapkan berkurang

atau minimal pada 24-48 jam pasca operasi. 16


Perasaan berbau, nafsu makan menurun dapat terjadi karena adanya tampon pada

hidung. Pasien juga merasakan nafasnya tersumbat pada saat makan. Selain itu pasien

dapat mengalami gangguan mengunyah pada sisi yang dioperasi juga pasien tidak boleh

mengunyah sampai luka insisi sembuh. Makanan cair diberikan pada 24 jam pertama

kemudian diikuti diet lunak. 16

Intervensi perawatan rasional meliputi: 17

Memberikan diet cair yang diteruskan diet lunak. Diet tambahan yang

tinggi kalori dapat diberikan. Perpindahan ke diet lunak dilakukan sesuai

kemampuan menelan dengan tanpa disertai adanya rasa nafas tersumbat

saat menelan. Makanan tinggi kalori dan nilai gizi akan bermanfaat untuk

proses metabolik dan proses penyembuhan.

Dilakukan monitoring intake dan output seperti berat badan harian.

Informasi ini juga penting untuk balance cairan. Monitor berat badan ini

juga sebagai indikator adekuat tidaknya intake makanan.

Pada saat menelan pasien disuruh mengangkat kepala. Posisi ini

memudahkan proses menelan dan mengurangi risiko terjadinya aspirasi.


17
Follow up pasien dilakukan terhadap:

Gangguan pembersihan jalan nafas karena operasi, karena radang dan

karena tampon hidung.

Risiko infeksi yang berhubungan dengan operasi

Gangguan tidur yang disebabkan karena nyeri dan gangguan pernafasan,

sehingga posisi tidur dengan kepala lebih tinggi dari badan untuk

meminimalkan keluahn.
Tampon hidung biasanya diangkat pada pagi hari setelah operasi sedangkan

tampon sinus dipertahankan pada 36-72 jam. Pada saat sebelum pengangkatan tampon

pemberian analgetik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. 16

Selama 2 minggu setelah pengangkatan tampon pasien harus menghindari

manuver valsava (tidak boleh meniupudara lewat hidung, batuk, atau membuang ingus

keras). Untuk mengatasi masalah ini pasien disuruh menghisap ke arah tenggorok dan

meludahkan tanpa meniup. Pasien diajarkan cara bersin hanya lewat mulut. Pasien juga

diperintahkan untuk meminimalkan kegiatan fisik dan kerja berat, mengangkat berat,

tegang selama kurang lebih 2 minggu. 16

Pasien dianjurkan untuk menjaga luka insisi bersih dengan menggunakan

lidahnya. Benamg jahitan dapat diangkat setelah hari ke tujuh atau kesepuluh. Pasien

yang memakai gigi palsu saat operasi dilepas dan dapat dipasang kembali setelah operasi

selesai. Larutan NaCl spray dapat diberikan mulai 3 sampai 5 hari pasca operasi untuk

membasahi mukosa hidung. Untuk memperlancar regenerasi mukosa setiap pasien

dilakukan bilas antrum dengan larutan NaCl setiap hari dan untuk membersihkan pus,

darah, dan krusta pada awal pasca operasi selama periode 1 minggu. 2

Pada pasien pasca operasi sinusitis maksilaris kronis karena pseudomonas

aeruginosa untuk memperlancar regenerasi dilakukan irigasi pada sinus setiap hari

dengan NaCl fisiologis bahkan dianjurkan 2 kali sehari untuk membersihkan pus, darah,

dan krusta selama seminggu setelah operasi, dilanjutkan irigasi setiap minggu sekali

selama 4 6 minggu. Penghentian irigasi berpedoman pada 2 hasil irigasi sebelumnya

yang menunjukkan hasil jernih tidak didapatkan pus dan debris. 2


Pada sinusitis maksilaris kronis karena pseudomonas aeruginosa, untuk

menurunkan jumlah bakteri yang berada di sinus dan hidung diberikan tetes hidung

gentamisisn sulfat pada sisi hidung yang terkena infeksi 3 kali sehari. Ini dimulai setelah

tampon dicabut dan diteruskan dirumah. Pemberian tetes ini dihentikan bersamaan

dengan dihentikannya irigasi antrum. Pemberian aminoglikosida sistemik diindikasikan

pada pasien ini. 16

Pada setelah operasi pasien dapat mengeluh merasakan anestesia atau mati rasa

pada bibir atas dan gigi, keluhan ini dapat dirasakan sampai beberapa bulan setelah

operasi. Keadaan ini disebabkan karena beberapa saraf sensoris terpotong saat operasi.

Gangguan sensitivitas saraf yang terjadi pada periode waktu 12-15 bulan, meliputi:

anestesi pada bibir, gigi atau gusi atas, hipo/parestesia pada wajah, nyeri pada muka

bagian tengah, pipi terasa tertekan/ tidak nyaman, tidak nyaman di pipi tergantung

perubahan musim, devitalisasi gigi. Trigeminal neuralgia atau tic doulourex gangguan

saraf yang berupa rasa sakit pada wajah yang bersifat tajam, paroksismal dan berulang.

Operasi CWL mempunyai lapangan operasi yang lebih kuas, tetapi potensi kerusakan

gigi dan mortalitasnya besar. Pada anak kegagalan perkembangan gigi dapat

bermanifestasi kematian gigi permanen. Komplikasi CWL yang jarang terjadi meliputi

fistula oroantral, empiema, osteomielitis dan perluasan infeksi dapat menyebabkan

celulitis orbita. 17

III. KESIMPULAN
Hasil akhir yang diharapkan pada terapi sinusitis maksilaris kronik adalah

eradikasi penyakit, eliminasi obstruksi ostiomeatal kompleks dan menormalkan

clearance mukosilia. Keberhasilan terapi selain ditentukan keberhasilan saat operasi juga

ditentukan oleh perawatan pasca operasi. Perawatan operasi yang optimal meliputi

pengawasan tanda vital, perawatan luka operasi, pemberian terapi medikamentosa,

pengaturan diet yang baik dan irigasi akan penting untuk keberhasilan terapi CWL pada

sinusitis maksilaris kronik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Casiano RR, Lasco DS. 1999. Diagnosis and management of rhinosinusitis. Hospital
Physician 64: 25-39.
2. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. 2003. Adult chronic rhinosinusitis: definitions,
diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (supl)
129S: S1-S32.
3. Hilger PA. 1997. Penyakit sinus paranasalis. Dalam Boies buku ajar penyakit THT;
Effendi H editor. 6th eds. EGC, Jakarta.
4. Cauwenberge PV, Watelet JB. 2000. Epidemiology of chronic rhinosinusitis. Thorax
55 (Suppl 2): S20S21.
5. Ray NF, Baraniuk JN, Thamer M. 1999. Health care expenditures for sinusitis in
1996: contributions of asthma, rhinitis, and other airway disorders. J Allergy Clin
Immunol 103: 408-14.
6. RSUP Dr. Sardjito. 2003. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta.
7. Meztler EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple DF, Niklas RA et al. 2004.
Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical research and patient care.
Otolaryngol Head Neck Surg; 131: s1-62.
8. Hwang PH, Irwin SB, Griest SE, Caro JE, Nesbit GM. 2003. Radiologic correlates of
symptom-based diagnostic criteria for chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck
Surg; 128: 489-96.
9. Bell RD, Stone HE. 1976. Conservative surgical procedures in the inflammatory
Disease of the maxillary sinus. Symposium on the maxillary sinusitis. Dalam : Noyek
AM The otolaryngology clinics of North America. WB Saunders Company,
Philadelphia 9: 175-186.
10. Goodman WS. 1976. The Caldwell-Luc procedure. Symposium on the maxillary
sinusitis. Dalam : Noyek AM The otolaryngology clinics of North America. WB
Saunders Company, Philadelphia 9: 187-195.
11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. 1994. Ear, Nose, and Throat. Georg Thieme
Verlag, Stuttgart.
12. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In Bailey BJ. Head & Neck
Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave, New York. 1998; p: 413-421.
13. Muhaimeed HA, Hashashb Y, Hashasha SM. 2002. Ostiomeatal Complex in Normal
Semitic Adults. J ORL; 64: 443447.
14. Kuhuwael FG, Gosad ID, Setiaji R.1995. Uji klinik tenoxicam terhadap oedema pipi
pasca operasi CWL pada beberapa rumah sakit di Ujung Pandang. Dalam : Loson K.
Kumpulan naskah Kongres Nasional XI Perhati Yogyakarta, 5: 279-292.
15. Montgomery W, Singer M, Hamaker R. 1993. Terapi bedah pada infeksi sinus.
Dalam: Terjemahan penyakit telinga hidung tenggorok dan kepala leher. Ballenger JJ
Disease of the nose, throat, ear head and neck 13th ed. 254-274.
16. Black JM, Matassarin-Jacobs E. 1997. Nursing management for continuity of care. 4
ed. Philadelpia: WB Saunders Company. 1077-1079.
17. LeMine P, Burke KM. 1996. Medical surgical nursing. Critical thinking in client care.
2 nd ed. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company. 1337-1340.

Anda mungkin juga menyukai