Perawatan CWL
Perawatan CWL
PENDAHULUAN
histologis antara hidung dan sinus paranasalis serta patogenesis terjadinya rinosinusitis.3
RSK menjadi masalah bagi dokter umum maupun ahli Telinga Hidung Tenggorok
(THT) mengingat anatomi dan etiologi yang komplek. Prevalensi RSK di Amerika
berkisar 14% - 16% dari keseluruhan populasi tiap tahun. RSK mengakibatkan
kehilangan hari kerja sebanyak 73 juta hari (3% hari kerja penduduk produktif). 4 Pada
tahun 2001 jumlah kunjungan mencapai 18,3 juta meningkat 50 juta kehilangan hari kerja
dibandingkan tahun 1986. Diagnosis menghabiskan biaya mencapai $3,5 miliar, dimana
sebesar $5,8 miliar dalam satu tahun.5 Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 2002-
2004 didapatkan frekuensi penderita rinosinusitis kronis berkisar antara 3-4,6% selama 3
tahun terakhir di RS Dr. Sardjito dan menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya.
Jumlah operasi sinus tercatat terus meningkat dari tahun 2001 sebanyak 31 kasus menjadi
alat penunjang sederhana hingga canggih. Anamnesis yang lengkap dan teliti dapat
didapatkan gejala rinosinusitis kronik adalah sebagai berikut: discharge hidung (82%),
hidung tersumbat (94%), kongesti wajah (85%), nyeri wajah (83%), nyeri kepala (83%),
fatigue (84%), gangguan penghidu (68%), nyeri telinga (68%), batuk (65%), nafas bau
(53%), dan demam (33%).7 Hwang et al. (2003) meneliti hubungan antara gejala
rinosinusitis dengan derajat CT scan sesuai klasifikasi Lund McKay. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa discharge purulen mempunyai nilai duga positif (NDP) sebesar
Terapi operatif sinusitis maksilaris kronik terdiri dari operasi konservatif dan
radikal. Pada operasi konservatif terdiri dari irigasi sinus dan antrostomi intra nasal, 9
Hasil akhir yang diharapkan pada terapi sinusitis maxillaris kronik adalah eradikasi
Keberhasilan dari operasi CWL selain ditentukan keberhasilan saat operasi juga
ditentukan oleh perawatan setelah operasi. Tujuan penulisan ini adalah memberikan
masukan bagaimana perawatan pasien pasca operasi CWL kepada sejawat perawat
PEMBAHASAN
Fungsi sebenarnya empat pasang sinus paranasal tidak diketahui. Fungsi sinus
tengkorak. Sinus maksila dan ethmoid ada sejak lahir, sinus sphenoid dan frontal tampak
Sinus maksilaris menjadi sinus terbesar, ostium sinus accessory terletak di bagian
anterior meatus media dan ostium sinus maksilaris di dinding lateral sinus seperti tampak
pada gambar 1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan ujung akar gigi di alveolus,
khususnya premolar II dan molar I. Sisi ini merupakan tempat terjadinya odontogenic
sinusitis.11
ethmoidalis dapat dibedakan secara klinis bagian anterior dan posterior sinus, bagian
anterior mempunyai ostium di meatus media dan posterior di meatus superior. Ostium
anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat sebagai suatu
rongga diantara konka media dan lamina papiracea (gambar 2). Isi KOM meliputi
lainnya, dimana semuanya berupa celah sempit yang mudah mengalami penyempitan. 11
Komponen lain yang berpengaruh terhadap patensi KOM diantaranya ostium sinus
meatus media.13 Variasi anatomi yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi
potongan koronal dapat berupa haller cells (infraorbital recess cells), pelebaran bulla
ethmoid, processus uncinatus yang deviasi atau pneumatisasi, konka media paradok,
irreversible yang gagal diterapi dengan terapi konservatif, untuk revisi operasi sinus yang
gagal, pada keragu-raguan sinusitis berulang, untuk evakuasi polip antrokoanal, sinusitis
maksilaris dari infeksi gigi, rhinitis alergi dengan polip bilateral kronik yang disertai
opersi intranasal, fistula antro-alveolar, biopsy sinus maksilaris dan pengangkatan kista
10
antrum. Miller et al cit Dixon melakukan banyak operasi CWL pada kasus yang
Operasi CWL adalah operasi pada sinus maksilaris melalui mulut dengan insisi
mukosa bukal pada regio kaninus maksila, mengeluarkan mukosa yang sakit dan
membuat lubang antrostomi di meatus nasi inferior. Pada operasi CWL pasien dilakukan
anestesi umum dan anestesi topical pada meatus inferior, meatus media dan infiltrasi pada
sulkus ginggivo bucal, panjang irisan antara gigi kaninus sampai tepi molar pertama. 14
Pada operasi ini perlu tidaknya evakuasi lesi patologis atau membrana mukosa
15
tergantung dari filosofi operator, yaitu radikal atau konservatif. Beberapa penulis
berpendapat operasi CWL untuk mengeluarkan mukosa sinus yang irreversibel, tetapi ada
yang tidak memperdulikan status mukosa dan mukosa harus diangkat secara radikal,
penyakit tanpa perlu pengangkatan mukosa antrum. Pada anak penggunaan metode CWL
dihindari, bila digunakan CWL tidak mengangkat lapisan mukosa sinus seluruhnya
karena secara fisiologis lapisan ini penting untuk membersihkan bakteri dan
membersihkan sekresi sinus, selain itu pada anak mukosa jarang yang berubah
irreversibel. Setelah jaringan yang sakit diangkat dibuat lubang antrostomi pada meatus
inferior, dilakukan pemasangan tampon di sinus maksilaris dengan ujung tampon keluar
melalui lubang antrostomi di meatus inferior. Juga dilakukan tampon pada lubang hidung
sisi yang dilakukan operasi. Luka insisi pada mukosa bukal dijahit dan pada hidung
Operasi CWL sebaiknya dihindari pada anak kecil dan jarang diindikasikan pada
anak karena risiko terjadinya gangguan pertumbuhan gigi, yaitu paling sering pada
premolar 2. Bila dilakukan operasi CWL pada anak lubang CWL setinggi mungkin dan
harus mempertimbangkan bahwa akar gigi kurang lebih dua kali tinggi dari mahkota gigi.
15
monitor tanda vital. Pada 24 jam pertama setelah operasi dilakukan observasi adanya
perdarahan, gangguan pernafasan dan oedem. Pasien disuruh menambah jumlah minum
Meskipun operasi sinus relatif minor pasien mengeluh tidak enak pada luka insisi,
jika pasien dilakukan pemasangan tampon ini akan menambah berat keluhan tersebut.
lokal.
Posisi tidur dengan kepala lebih tinggi sampai posisi Flower atau Flower
tinggi pada 24 sampai 48 jam pasca operasi. Posisi kepala seperti ini
Kassa penutup pada hidung dapat menyerap cairan yang keluar dari hidung atau
sinus sehingga cairan tidak perlu dihisap. Kassa tersebut dapat diganti tergantung
keadaan atau kebijaksanaan yang merawat pasien. Dapat dilakukan pemasangan dressing
dengan penekanan dari luar diatas maksila yang dipasang selama 24-36 jam untuk
menurunkan kejadian bengkak pada pipi. Perdarahan dari hidung diharapkan berkurang
hidung. Pasien juga merasakan nafasnya tersumbat pada saat makan. Selain itu pasien
dapat mengalami gangguan mengunyah pada sisi yang dioperasi juga pasien tidak boleh
mengunyah sampai luka insisi sembuh. Makanan cair diberikan pada 24 jam pertama
Memberikan diet cair yang diteruskan diet lunak. Diet tambahan yang
saat menelan. Makanan tinggi kalori dan nilai gizi akan bermanfaat untuk
Informasi ini juga penting untuk balance cairan. Monitor berat badan ini
sehingga posisi tidur dengan kepala lebih tinggi dari badan untuk
meminimalkan keluahn.
Tampon hidung biasanya diangkat pada pagi hari setelah operasi sedangkan
tampon sinus dipertahankan pada 36-72 jam. Pada saat sebelum pengangkatan tampon
manuver valsava (tidak boleh meniupudara lewat hidung, batuk, atau membuang ingus
keras). Untuk mengatasi masalah ini pasien disuruh menghisap ke arah tenggorok dan
meludahkan tanpa meniup. Pasien diajarkan cara bersin hanya lewat mulut. Pasien juga
diperintahkan untuk meminimalkan kegiatan fisik dan kerja berat, mengangkat berat,
lidahnya. Benamg jahitan dapat diangkat setelah hari ke tujuh atau kesepuluh. Pasien
yang memakai gigi palsu saat operasi dilepas dan dapat dipasang kembali setelah operasi
selesai. Larutan NaCl spray dapat diberikan mulai 3 sampai 5 hari pasca operasi untuk
dilakukan bilas antrum dengan larutan NaCl setiap hari dan untuk membersihkan pus,
darah, dan krusta pada awal pasca operasi selama periode 1 minggu. 2
aeruginosa untuk memperlancar regenerasi dilakukan irigasi pada sinus setiap hari
dengan NaCl fisiologis bahkan dianjurkan 2 kali sehari untuk membersihkan pus, darah,
dan krusta selama seminggu setelah operasi, dilanjutkan irigasi setiap minggu sekali
menurunkan jumlah bakteri yang berada di sinus dan hidung diberikan tetes hidung
gentamisisn sulfat pada sisi hidung yang terkena infeksi 3 kali sehari. Ini dimulai setelah
tampon dicabut dan diteruskan dirumah. Pemberian tetes ini dihentikan bersamaan
Pada setelah operasi pasien dapat mengeluh merasakan anestesia atau mati rasa
pada bibir atas dan gigi, keluhan ini dapat dirasakan sampai beberapa bulan setelah
operasi. Keadaan ini disebabkan karena beberapa saraf sensoris terpotong saat operasi.
Gangguan sensitivitas saraf yang terjadi pada periode waktu 12-15 bulan, meliputi:
anestesi pada bibir, gigi atau gusi atas, hipo/parestesia pada wajah, nyeri pada muka
bagian tengah, pipi terasa tertekan/ tidak nyaman, tidak nyaman di pipi tergantung
perubahan musim, devitalisasi gigi. Trigeminal neuralgia atau tic doulourex gangguan
saraf yang berupa rasa sakit pada wajah yang bersifat tajam, paroksismal dan berulang.
Operasi CWL mempunyai lapangan operasi yang lebih kuas, tetapi potensi kerusakan
gigi dan mortalitasnya besar. Pada anak kegagalan perkembangan gigi dapat
bermanifestasi kematian gigi permanen. Komplikasi CWL yang jarang terjadi meliputi
celulitis orbita. 17
III. KESIMPULAN
Hasil akhir yang diharapkan pada terapi sinusitis maksilaris kronik adalah
clearance mukosilia. Keberhasilan terapi selain ditentukan keberhasilan saat operasi juga
ditentukan oleh perawatan pasca operasi. Perawatan operasi yang optimal meliputi
pengaturan diet yang baik dan irigasi akan penting untuk keberhasilan terapi CWL pada
DAFTAR PUSTAKA
1. Casiano RR, Lasco DS. 1999. Diagnosis and management of rhinosinusitis. Hospital
Physician 64: 25-39.
2. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. 2003. Adult chronic rhinosinusitis: definitions,
diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (supl)
129S: S1-S32.
3. Hilger PA. 1997. Penyakit sinus paranasalis. Dalam Boies buku ajar penyakit THT;
Effendi H editor. 6th eds. EGC, Jakarta.
4. Cauwenberge PV, Watelet JB. 2000. Epidemiology of chronic rhinosinusitis. Thorax
55 (Suppl 2): S20S21.
5. Ray NF, Baraniuk JN, Thamer M. 1999. Health care expenditures for sinusitis in
1996: contributions of asthma, rhinitis, and other airway disorders. J Allergy Clin
Immunol 103: 408-14.
6. RSUP Dr. Sardjito. 2003. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta.
7. Meztler EO, Hamilos DL, Hadley JA, Lanza DC, Marple DF, Niklas RA et al. 2004.
Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical research and patient care.
Otolaryngol Head Neck Surg; 131: s1-62.
8. Hwang PH, Irwin SB, Griest SE, Caro JE, Nesbit GM. 2003. Radiologic correlates of
symptom-based diagnostic criteria for chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck
Surg; 128: 489-96.
9. Bell RD, Stone HE. 1976. Conservative surgical procedures in the inflammatory
Disease of the maxillary sinus. Symposium on the maxillary sinusitis. Dalam : Noyek
AM The otolaryngology clinics of North America. WB Saunders Company,
Philadelphia 9: 175-186.
10. Goodman WS. 1976. The Caldwell-Luc procedure. Symposium on the maxillary
sinusitis. Dalam : Noyek AM The otolaryngology clinics of North America. WB
Saunders Company, Philadelphia 9: 187-195.
11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. 1994. Ear, Nose, and Throat. Georg Thieme
Verlag, Stuttgart.
12. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In Bailey BJ. Head & Neck
Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-lave, New York. 1998; p: 413-421.
13. Muhaimeed HA, Hashashb Y, Hashasha SM. 2002. Ostiomeatal Complex in Normal
Semitic Adults. J ORL; 64: 443447.
14. Kuhuwael FG, Gosad ID, Setiaji R.1995. Uji klinik tenoxicam terhadap oedema pipi
pasca operasi CWL pada beberapa rumah sakit di Ujung Pandang. Dalam : Loson K.
Kumpulan naskah Kongres Nasional XI Perhati Yogyakarta, 5: 279-292.
15. Montgomery W, Singer M, Hamaker R. 1993. Terapi bedah pada infeksi sinus.
Dalam: Terjemahan penyakit telinga hidung tenggorok dan kepala leher. Ballenger JJ
Disease of the nose, throat, ear head and neck 13th ed. 254-274.
16. Black JM, Matassarin-Jacobs E. 1997. Nursing management for continuity of care. 4
ed. Philadelpia: WB Saunders Company. 1077-1079.
17. LeMine P, Burke KM. 1996. Medical surgical nursing. Critical thinking in client care.
2 nd ed. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company. 1337-1340.