NOTA KEUANGAN
DAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB I
UMUM
1.1 Pendahuluan
Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi tersebut, Pemerintah dengan bantuan teknis
dan dukungan keuangan Dari beberapa lembaga internasional dan negara-negara sahabat
yang dikoordinasikan oleh lnternational Monetary Fund (IMP) telah melaksanakan program
stabilisasi dan reformasi perekonomian. Dalam rangka pelaksanaan program ini, dalam tahun
anggaran 1998/1999 telah diambil berbagai langkah kebijakan di biuang fiskal, moneter,
perbankan, neraca pembayaran, serta sektor riil. Dalam tahun anggaran 1999/2000 langkah-
Iangkah tersebut akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan, sehingga dalam tahun anggaran
tersebut ekonomi nasional diharapkan telah memulai proses pemulihannya. Sasaran utama
sekitar 12,0 persen, seuangkan inflasi diperkirakan akan dapat dikendalikan pada tingkat
sekitar 17,0 persen, menurun dibandingkan perkiraannya dalam APBN 1998/1999 sekitar
66,0 persen.
Sebagai salah satu bagian dari tatanan ekonomi global, keberhasilan pemulihan
ekonomi nasional mempunyai arti sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini semua
bangsa seuang berlomba untuk meningkatkan daya saingnya dalam rangka meraih manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya dari kebebasan ekonomi dan makin derasnya
arus investasi dunia. Kontraksi ekonomi dalam tahun 1998 yang diperkirakan sekitar 13
persen mempunyai dampak negatif yang sangat mendalam, tidak saja bagi tingkat
kesejahteraan rakyat Indonesia tapi juga bagi upaya peningkatan daya saing. Sebagai
anggota kerjasama ekonomi multilateral Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade
Organization/WTO), kerjasama ekonomi regional Asia Posifik (Asia Posific Economic
Cooperation! APEC), serta kerjasama ekonomi sub regional wilayah perdagangan bebas
ASEAN (ASEAN Free Trade Area / AFTA), yang direncanakan akan mulai memberlakukan
liberalisasi perdagangan mulai tahun 2003, bangsa Indonesia sudah harus mengantisiposi
dan mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat.
Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia memang berat. Tapi bila semua
komponen bangsa -masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha bersatu padu, tantangan
tersebut akan dapat diatasi. Walaupun di satu pihak bangsa Indonesia terhambat
kemajuannya oleh karena krisis ekonomi yang terjadi, di lain pihak bangsa Indonesia telah
mencapai kemajuan yang sangat besar di biuang kehidupan demokrasi. Demokrasi yang
sesuai dengan aspirasi rakyat di segala biuang baik politik, ekonomi dan sosial merupakan
kekuatan luar biasa yang akan mengantarkan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya,
yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
1.2 Krisis Nilai Tukar Rupiah dam Dampaknya Bagi Ekonomi Nasional
Kinerja ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir sampai dengan tahun 1996
cukup menggembirakan. Produk domestik bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata sekitar 7 persen
pertahun dan inflasi dapat dikendalikan pada tingkat satu digit. Pendapatan per kapita
meningkat secara berarti, dari sekitar di bawah US$I00 dalam tahun 1970 menjadi sekitar
US$ 1. 155 dalam tahun 1996 dan penduduk miskin menurun Dari sekitar 60 persen Dari
jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen dalam tahun 1996.
Dalam tahun 1996 PDB riil masih tumbuh dengan tingkat 7,98 persen. Namun sejak
pertengahan tahun 1997 pertumbuhan PDB riil mulai mengalarni perlambatan dan untuk
seluruh tahun PDB riil hanya tumbuh dengan tingkat 4,65 persen. Pertumbuhan PDB riil
diperkirakan akan menurun tajam dalam tahun 1998 menjadi sekitar minus 13,06 persen
(Tabel 1.1). Perlambatan pertumbuhan PDB riil dalam tahun 1997 terutama disebabkan oleh
musim kemarau yang berkepanjangan dan krisis nilai tukar rupiah yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997, sedangkan kinerja ekonomi yang memburuk dalam tahun 1998
terutama disebabkan oleh dampak krisis nilai tukar rupiah yang telah mengganggu hampir
semua sendi-sendi perekonomian nasional. Dalam tahun 1998 semua lapangan usaha
diperkirakan akan mengalarni pertumbuhan negatif, kecuali lapangan usaha pertanian yang
masih dapat tumbuh positif dengan tingkat cukup lemah. Dari semua lapangan usaha,
lapangan usaha yang paling terpukul adalah lapangan usaha bangunan, yang mengalarni
penurunan 35,44 Persen disusul lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran yang
menurun 21,42 persen.
Tabel 1.1
LAJU PERTUMBUHAN PDB ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT
LAPANGAN USAHA, 1996 - 1998
_:
*) AngkaSementara
**) Angka Sangat Sementara
e) AngkaPerkiraan
Krisis nilai tukar yang dialami Indonesia merupakan salah satu konsekuensi Dari
terintegrasinya secara finansial ekonomi Indonesia dengan ekonomi global, yang ditandai oleh
hampir tidak adanya hambatan atau batasan aliran uang modal antara Indonesia dengan dunia
luar. Kinerja ekonomi Indonesia yang cukup baik, stabilitas politik yang mantap, serta
kecenderungan penurunan suku bunga di negara-negara maju telah mengakibatkan Indonesia
mengalami aliran masuk modal swasta yang cukup besar sejak awal tahun 1990-an. Aliran
masuk modal swasta tersebut telah memberikan manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain
memberikan kesempatan meningkatkan investasi dengan tabungan luar negeri, perbaikan
alokasi sumber daya dan memperkuat pasar keuangan domestik. Namun di samping manfaat
tersebut, aliran modal masuk swasta, terutama yang berjangka pendek, juga membawa bahaya
bagi ekonomi Indonesia, yaitu bila terjadi penarikan modal keluar (capital outflows) dalam
jumlah besar secara tiba-tiba, yang umumnya dapat terjadi bila para investor asing kehilangan
kepercayaan akan mata uang dan perekonomian Indonesia. Hilangnya kepercayaan para investor
asing dapat disebabkan atau dipicu oleh faktor domestik atau kejadian di negara lain (contagion
effect).
Krisis nilai tukar yang terjadi di beberapa negara Asia merupakan suatu garnbaran yang
nyata, bagaimana suatu kejadian (shock) di suatu negara dapat ditularkan ke negara-negara lain.
Krisis nilai tukar di Asia bermula dari krisis mata uang Thailand, kemudian merambat ke
Philipina, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan. Nilai mata uang kelima negara ini telah
mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap dolar Amerika Serikat dan diantara kelima
negara tersebut rupiah mengalami depresiasi yang paling berat (Grafik 1.1). Pada bulan Juni
1997 kurs rata-rata rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berada pada tingkat Rp2.44 7
tapi pada bulan Juli 1998 telah mencapai Rp14.622 atau rupiah mengalami depresiasi sekitar 83
persen (US$ apresiasi sekitar 498 persen) bahkan kurs rupiah terendah pernah terjadi pada
pertengahan Juli 1998, yaitu sebesar Rp I4.700.
Faktor utama penyebab krisis nilai tukar rupiah adalah jumlah tiffing luar negeri swasta
yang cukup besar yang dikelola atau dialokasikan secara kurang tepat. Sektor swasta terlalu
agresif melakukan investasi dengan dana pinjarnan luar negeri yang sebagian besar berjangka
pendek, narnun diinvestasikan untuk jangka panjang (maturity mismatching), dan berisiko
tinggi, seperti properti, serta tidak dilindungi Dari fisiko pergerakan kurs (currency
mismatching).
Dengan terjadinya krisis mata uang bath Thailand, telah menyebabkan para investor
(kreditor) asing berpendapat bahwa krisis yang sama dapat terjadi di Indonesia, mengingat
kedua negara mempunyai permasalahan yang sama di sektor ekstenal. Hal ini telah mendorong
para investor asing harnpir secara bersamaan menarik dana mereka ke luar Dari Indonesia, yang
pada gilirannya telah memberikan tekanan yang sangat berat terhadap nilai tukar rupiah di pasar
valuta asing.
Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi berat dan berfluktuasi telah menggoyahkan rasa
kepercayaan para investor asing akan hilang uang rupiah dan perekonomian Indonesia, sehingga
para investor keluar Dari investasi porto folio (pasar modal) dengan melepos saharn-saham yang
mereka pegang. Mengingat peranan investor asing yang cukup besar dalarn pasar modal, maka
dengan keluamya mereka Dari pasar modal telah memberi tekanan yang luar biasa terhadap
harga-harga saham di pasar modal, seperti yang ditunjukkan oleh pergerakan indeks harga
saham gabungan (IHSG). Sebelum terjadi krisis, kinerja pasar modal cukup mantap dengan
IHSG mencapai 721,27 pada bulan Juli 1997, tapi setelah krisis terjadi IHSG menurun menjadi
493,96 pada bulanAgustus 1997 dan mencapai titik terendah pada September 1998 pada tingkat
276,15 (Grafik 1.2) .
Depresiasi rupiah yang cukup besar selain telah menciptakan ketidakstabilan di pasar
uang, pasar valuta asing dan pasar modal, juga telah menciptakan ketidakstabilan di pasar
barang dan jasa yang ditunjukkan oleh pergerakan harga barang dan jasa (inflasi) yang cukup
tajarn. Sebelum krisis nilai tukar terjadi, harga barang dan jasa cukup stabil seperti ditunjukkan
oleh tingkat inflasi periode Januari-Juni 1997 yang sebesar 2,54 persen, tapi sejak Juli 1997
tekanan inflasi mulai terasa, di mana inflasi meningkat Dari minus 0,17 persen pada bulan Juni
1997 menjadi 0,66 persen pada bulan Juli 1997.
Bulan-bulan berikutnya tekanan inflasi semakin berat, karena selain tekanan dari
depresiasi rupiah juga diperberat oleh musim kemarau yang berkepanjangan, yang
mengakibatkan terganggunya posokan dan sistem distribusi. Tekanan inflasi mencapai
puncaknya pada bulan Februari 1998, yaitu 12,76 persen (Grafik l.3). Dengan demikian, apabila
inflasi pada semester pertama tahun 1997 hanya 2,54 persen, maka dalam semester kedua tahun
1997 telah mencapai 8,51 persen, sehingga untuk seluruh tahun 1997 mencapai 11,05 persen,
suatu kenaikan yang cukup besar hila dibandingkan dengan inflasi tahun 1996 yang hanya 6,47
persen. Dalam tahun 1998 inflasi mencapai 77,63 persen.
Gejolak nilai tukar rupiah juga telah mempengaruhi kinerja neraca pembayaran
Indonesia. Defisit transaksi berjalan yang merupakan selisih negatif antara ekspor barang dan
jasa dengan impor barang dan jasa mengalami penurunan Dari minus US$8.069,0 juta (3,4
persen PDB) dalam tahun anggaran 1996/1997 menjadi minus US$1.699,0 juta (1,2 persen rOB)
dalam tahun anggaran 1997/1998 (Tabel 1.2). Penurunan defisit terjadi terutama karena
penurunan nilai impor barang sebagai akibat depresiasi rupiah yang cukup besar, serta
peningkatan nilai ekspor barang yang cukup tinggi sebagai dampak positif depresiasi rupiah.
Tidak seperti transaksi berjalan, transaksi modal justru mengalami tekanan berat, yang
terutama disebabkan oleh kuatnya arus modal keluar sektor swasta. Bila dalam tahun anggaran
1996/1997 aliran masuk modal bersih sektor swasta mencapai US$13.488, juta, maka dalam
tahun anggaran 1997/1998 keadaan berbalik menjadi aliran keluar modal bersih sebesar
US$11.827, juta. Aliran modal keluar ini terjadi terutama karena merosotnya kepercayaan asing
terhadap prospek perekonomian nasional, meningkatnya pembayaran utang luar negeri swasta
yang jatuh tempo, serta akibat ditundanya realisasi penanaman modal asing (PMA) yang telah
disetujui.
Dengan adanya defisit lain lintas modal bersih swasta, surplus lain lintas modal bersih
pemerintah, dan defisit transaksi berjalan serta selisih yang belum dapat diperhitungkan yang
mencapai negatif US$694, juta, maka neraca pembayaran secara keseluruhan dalam tahun
anggaran 1997/1998 mengalami defisit sebesar US$10.022, juta. Dengan demikian cauangan
devisa kotor mengalami penurunan menjadi US$16.509, juta dalam tahun anggaran 1997/ 1998
atau setara dengan 4,6 bulan impor nonmigas.
Sementara itu, dalam tahun anggaran 1998/1999 transaksi berjalan diperkirakan akan
mengalami surplus US$4.487, juta (4,2 persen PDB). Hal ini dapat terjadi, karena nilai total
impor barang yang diperkirakan akan menurun lebih cepat Dari pada penurunan total ekspor
barang, dengan perkembangan jasa-jasa bersih yang diperkirakan stabil, dibandingkan dengan
keadaannya dalam tahun anggaran 1997/1998. Lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan
masih tetap minus, yaitu US$10.769, juta, seuangkan lalu lintas modal bersih pemerintah akan
surplus US$15.206, juta. Dengan demikian, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan
akan mengalami surplus US$9.903, juta, yang berarti cauangan devisa kotor akan naik dari
US$16.509, juta menjadi US$26.412, juta atau setara dengan 10,2 bulan impor nonmigas.
Rentannya perbankan nasional terhadap gejolak nilai tukar rupiah disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut. Pertama, terbukanya perbank;an nasional terhadap resiko
pergerakan kurs yang dikarenakan besarnya kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing.
Dalam tiga tahun terakhir (1995-1997) kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing
meningkat tajam, yang tercermin Dari memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya
rekening administratif dalarn valuta asing. Kedua, kredit bermasalah pada beberapa bank
nasional cenderung meningkat, sementara efisiensi usaha memburuk. Ketiga, kondisi internal
perbankan yang lemah, yang ditandai oleh lemahnya manajemen,. konsentrasi kredit yang
berlebihan, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, dan belum
efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Dengan kondisi perbankan nasional tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah
menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang sangat besar, yang pada
akhirnya telah memicu terjadinya krisis perbankan nasional. Dalam perkembangannya krisis
IX:rbankan semakin dalam dan berat, karena diperburuk oleh merosotnya kepercayaan
masyarakat, baik dalam maupun luar negeri terhadap perbankan nasional, yang ditandai dengan
penarikan tunai dana perbankan dan pemindahan dana secara besar-besaran Dari bank-bank
yang dianggap lemah ke bank -bank yang dinilai kuat.
Untuk membantu perbankan nasional, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
disalurkan kepada perbankan meningkat tajam sejak bulan Maret 1998, yakni dari Rp87,04
triliun menjadi Rp135,94 triliun pada akhir November 1998. Dalam kaitan ini, dalam rangka
mempercepat proses penyehatan perbankan nasional, Bank Indonesia pada bulan April 1998
telah mengalihkan pengawasan 54 bank (4 bank persero, 23 Bank Umum Swasta Nasional
(BUSN) devisa, 14 BUSN bukan devisa, 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 2 bank
carnpuran eks Lembaga Keuangan Bukan Bank) yang dinilai bermasalah kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Status ke 54 bank tersebut adalah 7 bank beku operasi
(BBO), 7 bank take over (BTO), dan 40 bank dalam perawatan, yang merupakan bank-bank
yang telah menggunakan fasilitas BLBI lebih Dari 200 persen Dari modalnya dan "capital
adequacy ratio" (CAR) kurang Dari 5 persen.
Selain itu, krisis utang luar negeri swasta ini telah berpengaruh buruk terhadap kepercayaan luar
negeri, yang selanjutnya akan dapat menutup akses dunia usaha terhadap pasar uang dan modal
luar negeri.
Gejolak nilai tukar rupiah juga mempengaruhi besaran-besaran moneter. Dalarn
rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan
terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan
likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Hasil Dari pelaksanaan kebijakan tersebut
tercermin pada menurunnya pertumbuhan uang beredar (Ml) yaitu Dari 6,0 persen dalam
periode April-Oktober 1997 menjadi 1,4 persen dalarn periode yang sama tahun 1998.
Sementara itu, dalarn April-Oktober 1998 pertumbuhan likuiditas IW-rekonomian (M2)
mencapai 18,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama
tahun 1997 yang mencapai 15,7 persen. Pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut dipicu
oleh melonjaknya posisi uang kuasi (tabungan dan deposito berjangka) yang mencapai 23,0
persen. Melonjaknya uang kuasi tersebut, telah meningkalkan pertumbuhan dana perbankan,
hingga mencapai 16,5 persen selarna periode April-Oktober 1998, seuangkan alokasi kredit
perbankan mengalami penurunan sebesar 1,1 persen. Pertumbuhan dana perbankan tersebut
dipengaruhi oleh tingginya tingkat bunga simpanan, khususnya suku bunga deposito berjangka.
Seuangkan penurunan pertumbuhan kredit perbankan antara lain dipengaruhi oleh lemahnya
permintaaan kredit karena tingginya suku bunga kredit dan lesunya kegiatan sektor riil, serta
menurunnya nilai rupiah posisi kredit dalarn valuta asing sehubungan dengan menguatnya nilai
tukar rupiah dalam bulan Oktober 1998.
Tabel I.3
INDIKATOR MONETER
1997/1998 % 1998/1999 %
(realisasi) perubahan (perkiraan) perubahan
Likuiditas Perekonomian
449,8 52,7 491,3 9,2
(M2)
Catatan: base money danetinisikan sebagai uang primer ditambah kekurangan giro wajib minimum (GWM)
Sampai dengan akhir tahun anggaran 1998/1999 pertumbuhan base money diperkirakan
sebesar 17,6 persen, uang beredar 7,2 persen, likuiditas perekonomian 9,2 persen, dan kredit
perbankan minus 15,4 persen (Tabel 1.3).
Pelaksanaan kebijakan moneter ketat tersebut telah mendorong naiknya suku bunga
secara tajam. Pada bulan Juni 1997 (sebelum krisis nilai tukar) tingkat suku bunga masih dalam
keadaan normal, dimana suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), 1 bulan sebesar 10,50
persen, deposito bank pemerintah 1 bulan sebesar 13,36 persen, suku bunga kredit modal kerja
sebesar 18,56 persen dan suku bunga kredit investasi sebesar 16,19 persen, namun pada bulan
Agustus 1998 masing-masing suku bunga telah meningkat tajam, menjadi 70,44 persen, 60,71
persen, 34,95 persen dan 24,23 persen (Tabel 1.4)
Tabel 1.4
SUKU BUNGA, 1997 - 1998
(persen per tahun)
Naiknya suku bunga secara tajam telah menambah pukulan terhadap sektor perbankan,
karena perbankan mengalami spread negatif, yaitu biaya dana (suku bunga simpanan) jauh lebih
besar Dari pendapatan (suku bunga pinjaman). Selain itu, kenaikan suku bunga ini juga telah
memukul berat sektor usaha, karena biaya dana yang meningkat tajam dan penyaluran kredit
yang tidak lancar Dari sektor perbankan. .
Tingginya keterbukaan dan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap dunia luar telah
mengakibatkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan-perubahan (shocks) yang
terjadi di dunia loaf. Krisis nilai tukar yang terjadi di Thailand secara perlahan merambat ke
Indonesia dan pada awal luti 1997 rupiah mulai mengalami tekanan. Dengan pertimbangan
bahwa tekanan terhadap rupiahhanya bersifat sementara, Pemerintah mencoba mengatasi
tekanan dengan mengandalkan kebijakan moneter, yaitu melebarkan rentang kendali nilai tukar
dari 8 persen menjadi 12 persen dengan disertai intervensi Bank Indonesia baik di pasar spot
maupun forward. Namun, kebijakan ini tidak berhasil meredam tekanan bahkan tekanan justru
makin kuat. Dengan melihat pengalaman Thailand dan untuk menghindari terkurasnya cauangan
devisa, pada tanggal14 Agustus 1997 Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk merubah
sistem nilai tukar dari mengambang terkendali menjadi mengambang bebas. Selain itu, dalam
rangka mengurangi tekanan terhadap rupiah, Pemerintah melaksanakan pengetatan uang beredar
melalui pemberhentian lelang Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), peniadaan pembelian
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) , menaikkan tingkat suku bunga SBI serta pernindahan deposito
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dari bank-bank swasta ke bank-bank pemerintah.
Untuk sementara hasil kebijakan tersebut cukup menggembirakan, yang tercerrnin dari
stabilnya nilai tukar rupiah antar bank pada kisaran terendah Rp2.975 dan tertinggi Rp3.025.
Namun kebijakan ini membawa konsekuensi naiknya suku bunga pasar uang antar bank secara
tajam, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga
pinjaman. Meningkatnya suku bunga secara tajam telah mempengaruhi kinerja sektor perbankan
dan sektor riil. Ekspansi kredit perbankan terhambat dan kualitas aktiva produktif memburuk,
sementara di sektor riil terjadi penurunan perrnintaan domestik. Keadaan ini telah memperburuk
ekonomi nasionaldimana pertumbuhan sektor riil, menurun dari 6,8 persen pada triwulan kedua
menjadi 2,5 persen pada triwulan ketiga tahun 1997.
Dalam rangka mengatasi kinerja perekonornian yang semakin memburuk serta untuk
mengembalikan stabilitas makro ekonorni yang terganggu, pada tanggal 3 September 1997
Pemerintah mengambil langkah-langkah selan di bidang moneter, juga mencakup bidang fiskal,
perbankan, dan pasar modal. Langkah-Iangkah tersebut mencakup pelonggaran moneter secara
berhati-hati, penghematan anggaran, penyehatan sistem perbankan, dan penghapusan batasan 49
persen pembelian saham oleh investor asing di pasar modal. Namun, kebijakan tersebut belum
memberikan hasil seperti yang diharapkan, rnisalnya penurunan suku bunga yang dilakukan
justru telah memberikan tekanan berat terhadap rupiah, yang pada awal Oktober 1997
mengalami depresiasi menjadi sekitar Rp 3.600.
Depresiasi rupiah yang terus berlanjut ternyata semakin berpengaruh buruk terhadap
kinerja ekonomi nasional. Menyadari kenyataan tersebut dan kelemahan mendasar yang terdapat
di sektor riil dan keuangan, Pemerintah kemudian menempuh kebijakan yang lebih
komprehensif melalui program stabilisasi makro ekonomi dan reformasi di biuang keuangan dan
sektor riil. Program stabilisasi dan reformasi tersebut dilaksanakan dengan dukungan keuangan
dan teknis Dari lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF),
the World Bank (WB), the Asian Development Bank (ADB) dan beberapa negara sahabat,
seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Australia, Cina, Hongkong dan Brunei
Darussalam, yang dituangkan dalam nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tanggal l5
November 1997. Lebih lanjut untuk mengkoordinasikan pelaksanaan langkah-Iangkah reformasi
tersebut, pemerintah membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan
(DPKEK).
Sementara itu, sebagai tahap awal reformasi di biuang perbankan, pada tanggal 1
November 1997 telah dilakukan pencabutan izin 16 bank yang insolven. Tindakan ini
dimaksudkan selain untuk menyehatkan sektor perbankan itu sendiri, juga sekaligus untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat akan perbankan nasional. Namun demikian, pencabutan
izin tersebut telah membawa dampak negatif yang tidak diharapkan, yaitu terjadinya penarikan
dana secara besar-besaran oleh masyarakat dari perbankan, yang danorong oleh kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya pencabutan izin bank lainnya, sementara tidak adaj aminan atau
perlindungan terhadap dana deposito masyarakat. I
Indonesia sebagai lender of last resort telah menyalurkan bantuan likuiditas (BLBI) kepada
bank-bank umum. Penyaluran BLBI yang cukup besar jumlahnya tersebut telah mengakibatkan
meningkatnya jumlah uang beredar, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya harga-harga
dan tindakan spekulasi di pasar valuta asing. Kondisi perbankan yang lemah tersebut telah
diperburuk oleh penurunan rating perbankan nasional dengan akibat banyak bank-bank luar
negeri tidak bersedia menerima Letter of Credit (LC) yang diterbitkan oleh bank-bank nasional.
Memasuki tahun 1998 tekanan terhadap rupiah terus berlanjut. Tekanan terhadap
rupiah diperburuk oleh penurunan rating Indonesia oleh S&P 500 dan Moodys menjadi non
investment rating, serta tindakan spekulasi di pasar valuta asing yang danorong oleh informasi
spekulatif mengenai utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Berbagai kejadian tersebut telah
semakin menekan nilai rupiah yang pada akhir Januari 1998 terpuruk menjadi Rp9.500.
Melihat kenyataan bahwa krisis ekonomi yang terjadi semakin dalam dan telah
menyentuh semua sendi-sendi perekonomian nasional, Pemerintah berusaha untuk mempercepat
proses stabilisasi dan memperluas reformasi ekonomi serta merevisi target-target makro
ekonomi. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah menandatangani nota kesepakatan (letter of intent)
dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998 yang berisi 50 butir kesepakatan yang meliputi sektor
fiskal, moneter, neraca pembayaran, perbankan, dan sektor riil.
Di bidang fiskal, ditentukan langkah-Iangkah yang perlu dilakukan antara lain merevisi
RAPBN 1998/1999, pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pencabutan keringanan
perpajakan untuk proyek mobil nasional, dann penghentian bantuan anggaran dan perlakuan
khusus bagi proyek- proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Di biuang moneter,
antara lain mencakup pemberian otonomi kepada Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan
moneter, melakukan perubahan struktur dan kenaikan suku bunga SBI secara tajam,
Dalam kaitan kesepakatan tersebut, dalam bulan Januari 1998 telah dilakukan revisi
RAPBN 1998/1999 Dari semula Rp133.491,9 miliar menjadi RpI47.220,8 mlliar. Sementara itu
telah terjadi ketidakpostian yang berkepanjangan dalam mencari sistem untuk mengatasi gejolak
nilai tukar telah menimbulkan semakin tingginya ketidakpostian dalam ekonomi nasional, dan
ketidakpostian ini semakin diperburuk oleh kondisi biuang politik yang makin memanas
menjelang Siuang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998.
Berbagai kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keraguan masyarakat baik asing
maupun Indonesia mengenai prospek ekonomi Indonesia. Hingga Maret 1998 kinerja ekonomi
nasi onal semakin memburuk, sektor riil mengalami kemunduran, sektor perbankan tetap rapuh,
inflasi r:neningkat tajam dan nilai tukar rupiah tetap melemah. PDB riil dalam triwulan pertama
tahun 1998 mengalami kontraksi 6;20 persen, suatu penurunan yang cukup tajam dibandingkan
dengan triwulan pertama tahun 1997 yang mencapai pertumbuhan 8,46 persen.
Sehubungan dengan berbagai perubahan yang terjadi dan dalam rangka mempercepat
proses pemulihan ekonomi.nasional, pada bulan April 1998 Pemerintah telah menandatangani
memorandum tambahan yang berisi kesepakatan-kesepakatan tambahan (baru) dengan IMF
mengenai kebijaksanaan ekonomi dan keuangan, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan,
pelengkap, dan modifikasi dari memorandum tanggal15 Januari 1998. Dalam garis besarnya,
kesepakatan ini bertujuan antara lain untuk (i) menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang
mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia, (ii) memperkuat dan mempercepat
restrukturisasi sistem perbankan, (iii) memperkuat pelaksanaan reformasi struktural yang akan
menciptakan landasan bagi ekonomi yang.efisien dan lebih berdaya saing, (iv) menyiapkan
strategi penyelesaian utang swasta secara kompfehensif, dan (v) menyiapkan bantuan bagi
pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi dan bagi kelompok masyarakat miskin
untuk meringankan beban karena dampak krisis moneter.
Berbagai peristiwa kerusuhan pada bulan Mei 1998 dan perubahan politik yang sangat
cepat yang mencapai puncaknya pada pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei
1998 telah mengakibatkan kinerja ekonomi dan prospeknya semakin memburuk. Jaringan
distribusi barang mengalami rusak berat, kegiatan ekonomi termasuk ekspor terganggu,
kepercayaan dunia usaha menurun, nilai kurs rupiah mengalami depresiasi tajam dan inflasi
meningkat cepat, sementara keadaan politik tidak menentu. Sebagai akibatnya, ekonomi berada
dalam keadaan krisis yang sangat serius. Dengan pertimbangan tersebut, pada bulan Juni 1998
Pemerintah dengan IMF telah melakukan lagi penandatanganan memorandum tambahan yang
antara lain menekankan mengenai pentingnya penyediaan jaring pengaman sosial (social safety
net), perlunya dilakukan revisi APBN 1998/1999 mengingat asumsi yang digunakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan yang terbaru, serta penekanan kembali percepatan
restrukturisasi sistem perbankan.
Mengingat strategisnya peran fiskal dalam program stabilisasi dan reformasi ekonomi,
Pemerintah senantiasa melakukan kaji ulang kebijakan fiskal dengan fokus kepada upaya untuk
melakukan stimulasi fiskal, melalui jaring pengaman sosial, pemantapan kerangka kelembagaan
pengeluairan pembangunan, dan program privatisasi BUMN. Karena pengeluaran pembangunan
mengalami perlambatan pada semester pertama tahun anggaran 1998/1999, maka pada semester
kedua pengeluaran pembangunan akan dipercepat, sehingga dapat mendorong meningkatnya
permintaan agregat dan penguatan jaring pengaman sosial. Pengeluaran pembangunan yang
mengalami kelambatan tersebut dan penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi diperkirakan akan
menghasilkan defisit anggaran 1998/1999 sebesar 6 persen Dari PDB, lebih rendah dari yang
direncanakan sebesar 8,5 persen dari PDB.
level tertinggi 70,6 persen pada lelang tanggal2 September 1998 menjadi 42,4 persen pada
lelang terakhir bulan November 1998. Suku bunga bank-bank umum juga menunjukkan
kecenderungan menurun dan spread antara bunga deposito dan bunga pinjaman telah mulai
bergerak ke arah normal kembali.
Stabilitas makro ekonomi yang mulai mantap telah memungkinkan untuk mempercepat
proses pemulihan ekonomi nasional. Namun, untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang
memadai dan berkelanjutan, dua persoalan pokok yang mendesak untuk dituntaskan, yaitu
masalah restrukturisasi perbankan dan penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta. Kedua
persoalan ini apabila tidak segera diatasi akan sangat menghambat serta merugikan
perkembangan ekonomi nasional.
dapat disehatkan sehingga dapat segera mendorong kegiatan ekonomi, dan (iii) dana
rekapitalisasi dapat diperoleh kembali pada saat Pemerintah meleposkan kepemilikan bank-bank
bersangkutan.
Program rekapitalisasi dilaksanakan dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana
kerja yang jelas dan disetujui Bank Indonesia, serta menyetor sekurang-kurangnya 20 persen
Dari jumlah kebutuhan rekapitalisasi, seuangkan pemerintah menyediakan 80 persen. Sifat
pendanaan pemerintah tersebut adalah penyertaan modal, yang dapat dilepos kembali pada
harga yang memberikan peluang untuk memperoleh nilai tambah. Penyertaan dilakukan dengan
konversi BLBI menjadi penyertaan (equity) pemerintah serta dengan obligasi, sehingga yang
dibebankan adalah bunganya. Pada waktu bersamaan pemerintah akan memperoleh penerimaan
Dari penjualan asset (yang dikuasai BPPN) para pemilik lama bank-bank Bank Take Over
(BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO), yang dapat digunakan untuk mendukung pembayaran
beban bunga.
Dari 166 bank nasional sebanyak 150 telah selesai dilakukan proses "due diligence"
dengan hasil (i) 54 bank mempunyai "capital adequcy ratio" (CAR) 4 persen atau lebih
(kategori A), (ii) 56 bank mempunyai CAR antara minus 25 persen sampai plus 4 persen
(kategori B), dan (iii) 40 bank mempunyai CAR kurang Dari minus 25 persen (kategon C).
Bank yang dapat dipertimbangkan ikut seleksi dalam program rekapitalisasi adalah bank dalam
kelompok kategori B. Seuangkan bank-bank kategori C diberi kesempatan untuk segera (dalam
waktu 30 hari sejak panggilan Bank Indonesia) menambah modal sendiri, agar dapat masuk
kategori B.
Adapun ketentuan yan,g wajib dipenuhi oleh bank-bank kategori B untuk dapat turut
dalam program rekapitalisasi, antara lain (i) menyusun suatu rencana kerja yang berisi langkah-
langkah yang akan diambil sampai dengan akhir tahun 2001, yang menunjukkan bahwa akan
mampu beroperasi dengan baik. Langkah-Iangkah ini mencakup jadwal penyelesaian semua
kredit bermasalah dan pinjaman kepada grup untuk properti di luar kredit pemilikan rumah
sederhana KPRS) dan rumah sangat sederhana (KPRSS) danj adwal untuk mencapai CAR 8
persen dalam waktu selambat-Iambatnya 3 tahun, (ii) menyelesaikan kredit kepada kelompok
sendiri yang melebihi ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK), dan (iii)
menyerahkan 20 persen Dari kekurangan modal dalam waktu 4 (empat) minggu setelah rencana
kerjanya disetujui Bank Indonesia.
sebagai mitra dagang utama Indonesia, perekonomiannya dalam tahun 1999 diperkirakan akan
lebih baik dibandingkan tahun 1998, yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar minus 2,5
persen. Kebijakan moneter yang diambil dengan menurunkan beberapa kali tingkat suku bunga
dan kebijakan fiskal yang 1ebih ekspansif melalui penurunan tingkat pajak dan peningkatan
belanja pemerintah dalam tahun 1998 diharapkan akan dapat mendorong perekonomian Jepang
dalam tahun 1999, yang diperkirakan akan dapat tumbuh dengan tingkat 0,5 persen. Kinerja
perekonomian Jepang ini akan mempunyai arti yang positif bagi perekonomian Indonesia
karena sekitar 18,0 persen ekspor nonmigas Indonesia ditujukan ke Jepang.
Ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang cukup mengesankan da1am beberapa tahun
lalu antara lain danorong oleh konsolidasi fiskal yang memungkinkan surplus anggaran belanja
pemerintah, kebijakan moneter yang berhasil mendorong ekspansi perekonomian namun dapat
mempertahankan inflasi yang rendah, serta pasar barang dan pasar tenaga kerja yang fleksibel,
te1ah dapat meningkatkan kesempatan kerja dengan cepat. Namun krisis keuangan yang terjadi
di Asia te1ah mempengaruhi kinerja ekonomi Amerika Serikat me1a1ui penurunan ekspor,
terutama ke negara-negara yang, dilanda krisis keuangan. O1eh karena itu, kinerja ekonomi
Amerika Serikat yang merupakan negara tujuan sekitar 16 persen ekspor nonmigas Indonesia,
da1am tahun 1998 diperkirakan akan me1emah menjadi 3,5 persen dibandingkan dengan tahun
1997 (sebesar 3,9 persen), dan 1ebih 1anjut diperkirakan menjadi 2,0 persen da1am tahun 1999,
yang dianggap mendekati tingkat pertumbuhan potensial. Penurunan ini terjadi terutama karena
me1emahnya perrmintaan domestik yang disebabkan menurunnya harga-harga saham (equity)
dan permintaan luar negeri. Kinerja ekonomi Amerika Serikat dalam tahun 1999 cenderung
akan memburuk bila kondisi perekonomian di Asia dan kekacauan keuangan dunia terus
berlanjut, serta penurunan 1ebih 1anjut harga-harga saham.
Perekonomian Singapura yang se1ama beberapa tahun dapat tumbuh dengan kuat
mu1ai menga1arni penurunan, terutama karena krisis ekonomi yang terjadi di kawasan ASEAN.
Da1am tahun 1997 ekonomi Singapura, yang merupakan negara tujuan sekitar 11,0 persen
ekspor nonmigas Indonesia masih tumbuh dengan tingkat 7,8 persen, namun da1am tahun 1998
hanya tumbuh dengan tingkat 0 (nol) persen. Kebijakan paket fiska1 sebesar 1,5 persen Dari
PDB yang diumumkan pada akhir Juni 1998 diperkirakan tidak akan mempengaruhi
perekonomian Singapura da1am tahun 1999 secara berarti, sehingga pertumbuhan diperkirakan
hanya akan mencapai 0,2 persen.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masyarakat Eropa dalam tahun 1999 tidak jauh
beda dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi da1am tahun 1998. Dampak kontraksi Dari krisis
ekonomi Asia terhadap ekspor dapat diimbangi dengan dampak ekspansif Dari perbaikan nilai
tukar perdagangan (terms of trade), suku bunga yang 1ebih rendah, dan pertumbuhan ekonomi
yang kuat dan berkelanjutan di negara-negara bukan Asia. Bi1a perturnbuhan ekonomi
masyarakat Eropa da1am tahun 1998 diperkirakan sebesar 2,9 persen, maka da1am tahun 1999
diperkirakan akan menurun sedikit menjadi 2,5 persen, sehingga hal ini diperkirakan tidak akan
banyak mempengaruhi ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara tersebut yang porsinya
sekitar 19,0 persen.
Tabel 1.5
REALISASI SEMESTER 1 APBN 1998/1999
(dalam miliar rupiah)
Sementara itu, penerimaan PPh dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih rendah
Dari semester I berkaitan dengan menurunnya penerimaan PPh atas bunga deposito, PPh atas
pesangon, dan kemungkinan adanya restitusi pajak. Seuangkan penerimaan PPN dan PPnBM,
cukai dan bea masuk diperkirakan akan lebih baik Dari semester I. Selanjutnya, dengan melihat
kepada berbagai upaya pemulihan perekonomian nasional serta pelaksanaan privatisasi BUMN,
penerimaan negara bukan pajak dalam semester II diperkirakan lebih tinggi dibandingkan
dengan realisasi semester I. Namun demikian, secara keseluruhan realisasi penerimaan di luar
migas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan masih lebih tinggi Dari APBN-nya.
Sementara itu, realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999 mencapai
Rp70.948,0 miliar atau 41,4 persen Dari anggaran yang ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan
perkembangan realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999, serta
memperhitungkan berbagai faktor dan kebutuhan pembiayaan yang diperkirkan dalam enam
bulan berikutnya, maka alokasi anggaran be1anja rutin dalam semester II 1998/1999
diperkirakan lebih tinggi Dari realisasinya dalam semester 11998/1999. Lebih tingginya
perkiraan tersebut terutama berkaitan dengan tingginya perkiraan kebutuhan pembiayaan
operasional dan pemeliharaan, dan pembiayaan subsidi non-BBM, di samping direalisasikannya
pembayaran utang dalam negeri.
Atas dasar perkiraaan realisasi semester I dan prognosa semester II, realiasasi anggaran
belanja rutin dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Daripada anggaran
yang ditetapkan dalam APBN-nya.
1.6 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
1999/2000
Sebagai kelanjutan kebijakan fiskal tahun anggaran 1998/1999, kebijakan fiskal dalam
tahun anggaran 1999/2000 dilaksanakan dengan misi utama untuk memberikan perlindungan
dan pemulihan kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat yang rentan akibat krisis ekonomi,
yang dilakukan melalui jaring pengaman sosial, serta untuk menstabilkan dan menggerakkan
perekonomian nasional, yang dilakukan melalui berbagai pengeluaran yang benar-benar efektif
dapat memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi, khususnya usaha kecil, menengah
dan koperasi.
Perencanaan besaran-besaran penerimaan dan pengeluaran negara dalam APBN
1999/2000 dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan serealistis mungkin.
Beberapa faktor penting yang menentukan besaran-besaran tersebut mencakup kondisi terakhir
perekonomian dalam negeri dan global, harga minyak di pasar intenasional, nilai tukar (kurs)
rupiah, sasaran-sasaran program stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta kemampuan sumber-
sumber pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik Dari dalam negeri maupun
Dari luar negeri.
Kondisi ekonomi dalam negeri yang secara umum telah mulai menunjukkan
perkembangan yang membaik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN
1999/2000. Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah yang makin stabil
kearah keseimbangan bam yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai terkendali dan tingkat
suku bunga yang mulai bergerak turun. Sementara itu perkembangan harga minyak di pasar
internasional cenderung menurun karena kelebihan posokan dan lemahnya permintaan.
APBN APBN
1999/2000 1998/1999
1.Pertumbuhan ekonomi (%) 0,0 - 12,0
2.Laju inflasi (%) 17,0 66,0
3.Harga minyak mentah (US$/barel) 10,5 13,0
4.Produksi minyak (ribu barel/hari) 1.520,0 1.520,0
5.Kurs (Rp/US$) 7.500,0 10.600,0
Dengan asumsi dasar tersebut dan dengan memperhatikan faktor - faktor yang berkaitan
dengan sisi penerimaan dan pengeluaran, maka APBN 1999/2000 direncanakan pada tingkat
Rp219.603,8 miliar atau 83,2 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam tahun 1998/1999
(Tabel 1.7).
Di sisi penerimaan, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan berpengaruh
positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn-BM),
serta penerimaan cukai. Penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan berpengaruh negatif
terhadap penerimaan PPh khususnya yang berasal dari bunga deposito, namun diharapkan hal
ini dapat diimbangi dengan penerimaan PPh dari sektor lainnya akibat perbaikan kondisi
ekonomi. Sementara itu, penguatan nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap sasaran
penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan bea masuk, pajak ekspor, serta
penerimaan luar negeri.
Di lain pihak, rencana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga akan sangat
dipengaruhi oleh keberhasilan pelaksanaan strategi kebijakan program privatisasi BUMN,
mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan berasal Dari hasil divestasi saham pemerintah
pada BUMN relatif cukup besar.
Tabel 1.7
IKHTISAR APBN SECARA GARIS BESAR
(dalam miliar rupiah)
1 2 3 4 5 (6=4:3) (7=5:3)
1) Angka APBN-P
Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara
adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor atas Crude Palm Oil (CPO) dan
produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor
dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik perkembangannya dalam tahun anggaran
1998/1999, mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal Dari pungutan atas
ekspor komoditi CPO dan produk-produk turunannya.
Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin
akan diarahkan kepada upaya-upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRI agar tidak
merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis
melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis. Sehubungan dengan itu,
direncanakan untuk memberikan kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan
pensiunan, serta penyesuaian besarnya uang makan lauk-pauk bagi anggota ABRI. Demikian
pula, pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), yang jumlahnya diperkirakan akan lebih
kecil Dari tahun sebelumnya mengingat penguatan nilai rupiah. Sementara itu, rencana
penundaan (reschedulling) pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo
dalam tahun anggaran 1999/2000 sesuai dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam
pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan dapat menghemat anggaran rutin.
1.7 Penutup
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan penderitaan yang
cukup berat bagi bangsa Indonesia. Tingkat kesejahteraan masyarakat telah menurun drastis,
karena harga barang-barang kebutuhan pokok yang meningkat tajam, banyaknya anggota
masyarakat yang kehilangan pekerjaan, serta keresahan sosial yang meningkat.
Langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut
mempunyai arah yang jelas. Pada akhir tahun 1998 stabilisasi ekonomi makro telah berangsur-
angsur dapat diciptakan, selanjutnya dalam tahun 1999 dan tahun 2000 perekonomian
diperkirakan memulai proses pemulihan. Struktur dan kinerja perekonomian nasional terus
diupayakan agar lebih efisien sehingga akan lebih mampu bersaing baik di pasar domestik
maupun pasar global.
Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan seperti masa
sebelum krisis, banyak persoalan mendesak yang harus diselesaikan, diantaranya adalah
penyehatan perbankan nasional dan penyelesaian utang luar negeri swasta. Penanganan masalah
tersebut secara tuntas menuntut pengertian dan kerjasama antara Pemerintah, masyarakat luas
dan dunia usaha baik perbankan maupun bukan perbankan.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya, Bangsa Indonesia telah beberapa kali dihadapkan
pada persoalan yang sangat berat dan selalu berhasil mengatasinya Demikian juga dalam
menghadapi krisis ekonomi yang seuang terjadi, dengan penuh keyakinan akan dapat segera
diatasi. Dengan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, budaya
disiplin dan kerja keras, serta semangat persatuan, kesatuan dan keadilan, masa depan Indonesia
yang lebih baik akan dapat dibangun.
BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
2.1 Pendahuluan
Sebagai salah satu piranti utama pelaksanaan kebijakan fiskal, pengelolaan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam dua tahun anggaran terakhir menghadapi
tantangan berat. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia
dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan, diawali oleh adanya krisis moneter yang
dipicu oleh krisis mata uang bath Thailand pada bulan luli 1997 dan menjalar ke kawasan Asia
Tenggara, dan berkembang menjadi krisis ekonomi, bahkan berlanjut menjadi krisis
kepercayaan di dalam negeri. Keadaan tersebut telah menyebabkan nilai tukar (kurs) rupiah
terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika, sangat mudah goyah dan cenderung terus
melemah, sehingga berdampak negatif terhadap kinerja perekonornian nasional, termasuk
pelaksanaan APBN 1998/1999. Seiring dengan terjadinya krisis, gejolak dan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga mewarnai dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga menjadikan tahun 1998 penuh dengan rasa keprihatinan.
Dengan adanya krisis tersebut sendi-sendi kegiatan ekonomi menjadi terganggu,
sehingga berdampak pada makin menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Hal ini telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran dan
setengah pengangguran, serta terganggunya sistem distribusi dan penyediaan bahan kebutuhan
pokok masyarakat yang memuncak pada kerusuhan media Mei 1998. Keadaan tersebut
mendorong perlunya dilakukan penyesuaian kembali berbagai sasaran dan program di biuang
fiskal, dengan lebih mengutarnakan penyediaan anggaran bagi perluasan kesempatan kerja,
pemenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan, serta penyediaan subsidi
bahan kebutuhan pokok untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net).
Di lain pihak, terjadinya krisis juga menghambat upaya pengerahan sumber dana dari
dalam negeri. Menurunnya aktivitas dunia usaha, telah berdampak kepada sulitnya upaya
peningkatam pendapatan negara, terutama dari sektor pajak. Sementara itu, penerimaan dari
sektor rnigas dalam beberapa waktu terakhir sulit diharapkan untuk meningkat, mengingat
perkembangan harga minyak dunia yang cenderung melemah. Di biuang penerimaan negara
bukan pajak (PNBP), meskipun Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 telah diberlakukan
sehingga diharapkan pengelolaan jenis penerimaan ini dapat semakin tertib, namun merosotnya
perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap rendahnya kegiatan masyarakat yang
memerlukan jasa pemerintah serta menurunnya keuntungan yang diperoleh BUMN. Kondisi
tersebut semakin dipersulit, mengingat pelaksanaan privatisasi beberapa BUMN yang semula
diharapkan dapat memberikan sumbangan cukup besar terhadap penerimaan negara, sampai saat
ini belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Dalam upaya mencukupi kebutuhan meningkatnya anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan, penerimaan yang bersumber dari bantuan luar negeri, baik bantuan
program maupun bantuan proyek ditingkatkan. Bantuan tersebut diharapkan diperoleh dari
lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), dan Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank), serta Dari bantuan bilateral. Sasaran penerimaan
pembangunan dimaksudkan untuk dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan meningkatnya
anggaran belanja negara. Sebagai gambaran, perkembangan kebijakan fiskal dalam Repelita V
dan RepelitaVI dapat diikuti dalam Tabel 11.1.
Sebagai pelaksanaan operasional tahun kelima Repelita VI, penyusunan APBN tahun
anggaran 1998/1999 juga tetap danasarkan kepada prinsip anggaran berimbang yang dinamis.
Namun dalam pelaksanaannya, APBN tahun anggaran 1998/1999 tidak terlepos dari berbagai
perkembangan yang terjadi di dalam dan di luar negeri, baik di biuang politik, ekonomi maupun
sosial. Dalam kaitan ini, terus memburuknya kondisi perekonomian nasional sejak pertengahan
tahun 1997 berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian nasional, sehingga memberikan
tekanan yang sangat berat terhadap pelaksanaan APBN tahun anggaran 1998/1999.
Berkaitan dengan hal tersebut pada bulan Juli 1998 telah dilakukan penyesuaian
kebijakan fiskal yang mendasar, yaitu dengan melakukan revisi atas APBN tahun anggaran
1998/1999, yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah disetujui dan selanjutnya disahkan
sebagai Unuang Unuang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
3 Tahun 1998 tentang APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Kebijakan tersebut dimaksudkan
agar sasaran yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dapat dilaksanakan secara
wajar dan sejalan dengan perkembangan dan perubahan keadaan, serta dapat mendukung
program reformasi dan stabilisasi di biuang ekonomi. Selain itu, langkah kebijakan dimaksud
juga merupakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat di dalam dan di luar negeri
terhadap perekonomian nasional, sehingga upaya pemulihan kondisi perekonomian dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan .
Dengan adanya perubahan dimaksud, volume APBN tahun anggaran 1998/1999
berimbang pada tingkat Rp 263.888,1 miliar. Namun demikian apabila dikaji lebih mendalam,
dalam perubahan APBN tahun anggaran 1998/1999 tersebut tabungan pemerintah menjadi
negatif Rp 21.902,6 miliar.
Di sisi pendapatan negara, dengan adanya kecenderungan harga minyak mentah yang
melemah dalam tahun anggaran 1998/1999, sementara kondisi perekonomian nasional masih
mengalami krisis, maka optimalisasi penggalian terhadap berbagai pos penerimaan negara tetap
diupayakan. Di sektor migas, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam tahun
anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari tahun sebelumnya. Hal ini terutama
disebabkan oleh adanya kecenderungan menurunnya harga minyak mentah di pasar
internasional sebagai akibat kelebihan produksi minyak dunia, dan turunnya permintaan sejalan
dengan krisis ekonomi dan keuangan yang dialami beberapa negara di kawasan Asia. Namun
demikian, dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang cukup tajam diharapkan penerimaan
migas dalam bentuk rupiah masih memberikan sumbangan yang cukup besar.
prioritas, seraya rnelakukan realokasi dan tarnbahan anggaran untuk rnernperkuat jaring
pengarnan sosial (social safety net). Dalam upaya rnengurangi dampak sosial yang rnakin luas
dari krisis ekonorni dan rnoneter, anggaran bagi subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pangan
dan subsidi obat-obatan rnenjadi bertarnbah besar. Hal ini terutarna berkaitan dengan
rneningkatnya harga pangan sebagai akibat rnenurunnya produksi dan kekurangan posokan
karena kekeringan panjang pada rnusirn tanam tahun 1997, serta rneningkatnya harga obat
sebagai akibat dari rneningkatnya biaya irnpor obat jadi dan bahan baku obat karena depresiasi
rupiah.
Dalam upaya rneringankan beban anggaran negara, rnelalui perternuan Paris ( Paris
Club) telah diupayakan penangguhan (reschedulling) terhadap sebagian pernbayaran kewajiban
cicilan pokok pinjarnan luar negeri, terutarna pinjarnan bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Di
lain pihak, guna rnenutup defisit APBN yang cukup besar akibat tambahan beban pengeluaran
bagi berbagai jenis subsidi dan anggaran bagi prograrn jaring pengaman sosial, rnelalui
perternuan Consultative Group on Indonesia telah berhasil diupayakan untuk rnernperoleh
tarnbahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan (fast disbursing assistance/FDA).
Sejalan dengan perkernbangan ekonorni saat ini, peran penerirnaan dalam negeri bagi
APBN rnenjadi rnakin penting baik dalarn rangka pernbiayaan kegiatan pernerintah rnaupun
dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijaksanaan fiskal. Oleh karena itu, penerirnaan dalarn
negeri yang terdiri dari penerirnaan rninyak bumi dan gas alarn (rnigas), penerirnaan
perpajakan, dan penerimaan bukan pajak senantiasa dikernbangkan dari waktu ke waktu.
Berkaitan dengan kurang menentunya perkembangan penerimaan migas yang sangat ditentukan
oleh berbagai faktor eksternal yang variatif dan sulit untuk diperkirakan, maka harapan
pengembangan penerimaan dalam negeri dititikberatkan pada penerimaan perpajakan.
Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak yang meliputi laba BUMN dan berbagai
jenis penerimaan yang berasal dari departemen/lembaga pemerintah nondepartemen terus
diupayakan peningkatannya. Hal itu dilakukan melalui ditempuhnya berbagai kebijaksanaan
dengan harapan agar penerimaan ini dapat memberikan kontribusi yang makin besar bagi
penerimaan dalam negeri. Langkab-langkab yang ditempuh antara lain pemberlakuan Undang-
undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta upaya privatisasi BUMN.
Komoditas minyak bumidan gas alam, sampai dengan saat ini masih memegang peran
yang cukup penting, baik sebagai somber pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri maupun
sebagai somber penerimaan negara. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini sumbangannya
terhadap penerimaan negara tidak sebesar pada periode.sebelumnya, penerimaan dari minyak
bumi dan gas alam (migas) masih merupakan sumber penerimaan yang handal bagi penerimaan
negara.
Besarnya penerimaan minyak bumi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah
Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) di pasar internasional, besarnya produksi minyak
yang disepakati dalam siuang OPEC, serta fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Memasuki awal PIP II, pada tahun anggaran 1994/1995, harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (ICP) mencapai US$ 14,75 per barel. Dalam perkembangan selanjutnya harga
tersebut cukup berfluktuasi. Harga rata-rata ICP tertinggi dalam tahun pertama Repelita VI
mencapai US$ 17,84 per barel pada bulan Februari 1995, seuang dalam tahun kedua, ketiga dan
keempat Repelita VI, masing-masing mencapai US$ 18,98 per barel pada bulan Januari 1996,
US$ 23,90 per barel pada bulan J anuari 1997, dan US$ 19,50 per barel pada bulan Oktober
1997. Berfluktuasinya harga rata-rata ICP ini disebabkan oleh pergerakan permintaan dan
penawaran minyak mentah di . pasar internasional. Perkembangan harga ekspor minyak mentah
Indonesia sejak awal Repelita I sampai dengan November 1998 dapat diikuti dalam Tabel 11.2.
Tingkat produksi minyak bumi dan kondensat di dalam Negeri selama empat tahun pelaksanaan
Repelita VI menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun anggaran
1994/1995, produksi minyak bumi dan kondensat mencapai 588,6 juta barel, dan terus
mengalarni penurunan hingga mencapai 571,2 juta barel dalam tahun keempat Repelita VI.
Turunnya produksi minyak mentah dan kondensat ini antara lain disebabkan oleh menurunnya
penandatanganan pembagian kontrak produksi CKPS) baru dan terbatasnya dana KPS, sehingga
target penyelidikan seismik (penyelidikan awal, sebelum dilakukan pengeboran eksplorasi) dan
pengeboran eksplorasi tidak tercapai. Di samping itu juga disebabkan oleh berkurangnya
penemuan lapangan baru yang ekonomis.
Sementara itu, seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, terutama
pada sektor-sektor industri, transportasi dan pembangkit tenaga listrik, kebutuhan bahan bakar
minyakpun terus meningkat. Untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan tersebut, maka harus
disediakan dari kilang dalam negeri, termasuk mengilang minyak bumi dalam negeri yang
seharusnya diekspor. Kondisi ini pada gilirannya akan mempengarnhi kemampuan ekspor
minyak bumi dan kondensat. Pada tahun anggaran 1996/1997, ekspor rninyak mentah dan
kondensat mencapai 288,2 juta barel, namun pada tahun anggaran 1997/1998 berkurang menjadi
272,9 juta barel.
Tabel ll.2
BARGA EKSPOR MINY AK MENT AH INDONESIA, 1969 - 1998 1)
(dalam US$ per barel)
Taboo Barga Taboo Barga
(1) (2) (3) (4)
1969 April 1,67 1995 Januari 16,96
Februari 17,84
1970 April 1,67
Maret 17,79
1971 April 2,21 rjl 18,08
el18,23
1972 April 2,96
Juni 17,24
1973 April 3,73 Juli 16,02
1974 April 11,70 Agustus 16,22
September 16,31
1975 April 12,60
Oktober 16,05
1976 April 12,80 November 16,65
1977 April 13,55 Desember 18,02
1996 Januari 18,98
1978 April 13,55
Februari 18,56
1979 April 15,65 Maret 18,97
1980 April 29,50 rjl 19,21
el18,86
1981 April 35,00
Juni 19,05
1982 April 35,00 Juli 19,45
Agustus 19,33
1983 April 29,53
September 20,92
1984 April 29,53 Oktober 23,04
1985 April 28,53 November 22,47
Desember 22,78
1986 April 10,66
1997 Januari 23,90
1987 April 17,57 Februari 21,21
1988 April 17,56 Maret 19,37
1989 April 18,35
April 17,93
Mei 18,78
1990 April 17,23 Juni 17,86
1991 April 17,05 Juli 17,51
Agustus 18,00
1992 April 17,23
September 17,78
1993 April 18,80 Oktober 19,50
1994 Januari 14,70 November 19,19
Februari 14,91 Desember 17,24
Maret 14,18 1998 Januari 14,52
April 14,75 Februari 13,47
Mei 15,52 Maret 12,14
Juni 16,39 rjl 13,20
el12,91
Juli 17,48
Juni 12,09
Agustus 17,61 Juli 12,51
September 16,31 Agustus 12,06
Oktober 16,18 September 12,09
November 16,27 Oktober 12,94
Desember 16,11 November 11,82
Selain menghasilkan minyak bumi pengeboran eksplorasi juga menghasilkan gas alam
Pada tahun anggaran 1997/1998, produksi gas alam mencapai 3.130,5 miliar kaki kubik, atau
0,97 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya, yang mencapai 3.161,3 miliar kaki kubik.
Seuangkan pemanfaatan pada tahun anggaran 1997/1998, hanya mencapai 2.940,0 rniliar kaki
kubik atau 1,49 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Turunnya produksi dan
pemanfaatan gas alam ini sebagai akibat Dari berkurangnya perrnintaan pemakaian gas alam
untuk memenuhi kebutuhan LNG Bontang Train dan ekspansi train lainnya, serta
berkurangnya perrnintaan gas alam sebagai bahan baku industri dan pembangkit tenaga listrik.
Sementara itu, produksi liquid natural gas (LNG) dalam tahun anggaran 1997/1998
mengalarni peningkatan menjadi 1.401,2 juta MMBTU Dari 1.354,8 juta MMBTU pada tahun
sebelumnya. Peningkatan ini disebabkan oleh telah beroperasinya kilang Train F Bontang,
sementara train yang lainnya dapat beroperasi secara normal. Seuangkan ekspor LNG pada
tahun anggaran 1996/1997 mencapai 1.367,1 juta MMBTU dan pada tahun anggaran 1997/1998
meningkat menjadi 1.382,7 juta MMBTU. Peningkatan ekspor LNG ini antara lain disebabkan
oleh adanya tambahan kontrak jangka pendek ke Jepang, Korea dan Taiwan. Berbeda dengan
produksi LNG yang meningkat, produksi liquid petroleum gas (LPG) mengalami penurunan
Dari 3,1 juta ton pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi 2,7 juta ton pada tahun anggaran
1997/1998. Seuangkan ekspor LPG pada tahun anggaran 1996/1997 mencapai 2,6 juta ton, dan
pada tahun anggaran 1997/1998 menurun menjadi 2,1 juta ton. Menurunnya ekspor LPG ini
antara lain berkaitan dengan menurunnya permintaan LPG di luar negeri, sebagai akibat adanya
resesi ekonorni.
Melihat kepada perkembangan harga dan produksi rninyak mentah Indonesia di pasar
internasional serta produksi dan ekspor LNG dan LPG, maka dalam empat tahun pertama
pelaksanaan Repelita VI, penerimaan minyak bumi rata-rata tumbuh 36,64 persen per tahun,
seuangkan penerimaan gas alam mengalarni peningkatan rata-rata 40,67 persen per tahun.
Sementara itu, pada tahun anggaran 1998/1999, penerimaan minyak bumi dan gas alam
diperkirakan meningkat cukup tajam yaitu 40,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya.
Peningkatan ini lebih banyak disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi, yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.
Pada masa krisis yang telah berlansung dalam satu tahun terakhir ini, penerimaan
pajak tidak terlalu menggembirakan. Hal itu berkaitan dengan melemahnya pertumbuhan sektor
swasta dan dunia usaha, yang pada gilirannya berpengaruh pada menurunnya kontribusi sektor
tersebut pada penerimaan perpajakan. Dalam kondisi normal, penerimaan pajak berhubungan
erat dengan beberapa variabel makro, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, perkembangan
harga (inflasi), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sementara itu, khusus untuk
pajak penghasilan, peningkatan suku bunga deposito yang terjadi akhir-akhir ini, telah
berpengaruh positif kepada meningkatnya potensi penerimaan PPh. Namun di lain pihak
kemerosotan biuang ekonomi, telah memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi
hampir semua jenis pajak pada tahun anggaran 1998/1999.
orang pribadi. Berbagai perubahan yang diikuti dengan penyempurnaan berbagai peraturan
lainnya tersebut dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk membayar pajak,
telah meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir.
Pencapaian sasaran penerimaan pajak penghasilan selain sangat ditentukan oleh kondisi
perekonomian juga ditentukan oleh intensitas upaya pemerintah untuk melakukan
pemungutannya. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
penghasilan telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 110 Tahun 1997
tanggal 19 Juni 1997 yang mengatur tentang pelimpahan wewenang Direktur Jenderal Pajak
kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat persetujuan
pemusatan pajak penghasilan Pasal 21 sepanjang kantor pelayanan pajak terkait berada dalarn
satu wilayah kerja yang sama. Seuangkan untuk mendukung pelaksanaan peningkatan efisiensi
administrasi perpajakan yang berkenaan dengan transaksi impor, telah diterbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 450 Tahun 1997 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya.
Selanjutnya, sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan PPh telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996, tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, yang telah ditindak
lanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996
tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah
dan/atau Bangunan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah, rumah, apartemen, dan
sejenisnya, ditetapkan terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Selain itu juga telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1996 tanggal 8 Juli 1996 tentang Pajak
Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi yang dijual di Bursa Efek. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersebut, penghasilan berupa bunga diskonto yang berasal Dari obligasi
yang dijual di bursa efek dipotong pajak penghasilan yang bersifat final. Sementara itu, dalarn
rangka mendorong pemulihan kondisi perekonomian Indonesia, dipanuang perlu untuk
memberikan kemudahan perpajakan bagi sektor-sektor perbankan, perdagangan, industri, dan
jasa. Untuk itu, telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 1998
tanggal 27 Februari 1998 tentang Penghapusan Piutang tak Tertagih, di mana pengusaha kena
pajak dapat memberlakukan piutang yang tidak dapat ditagih sebagai biaya usaha sesuai biuang
2.2.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM)
Penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPN dan PPnBM) berkaitan erat dengan kondisi ekonomi yang berlaku, seperti
produksi nasional (produk domestik bruto) dan pertumbuhannya, tingkat harga umum dan
perubahannya, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Faktor-faktor tersebut menentukan
penerimaan PPN dan PPnBM melalui pengaruhnya pada nilai transaksi penyerahan barang dan
jasa yang merupakan objek PPN dan PPnBM.
PPN dikenakan atas transaksi penyerahan barang dan jasa kena pajak dengan tarif 10
persen, seuangkan atas ekspor tarifnya 0 persen. Sementara itu, penyerahan barang yang
tergolong mewah merupakan objek PPnBM yang tarifnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996 tanggal l9 Februari 1996. Peraturan Pemerintah tersebut
mengatur bahwa tarif PPnBM adalah 20 persen, 25 persen, dan 35 persen untuk objek kendaraan
bermotor sesuai dengan tingkat kemewahannya, sementara untuk objek bukan kendaraan
bermotor adalah 10 persen, 20 persen, dan 35 persen.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun
anggaran 1998/1999 telah dilaksanakan kebijaksanaan pengenaan PPN dan PPnBM atas mobil
nasional, pengenaan PPN dan PPnBM atas jasa sertifikasi, pencabutan pemberian fasilitas impor
atas barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta, pencabutan
fasilitas PPN atas impor kendaraan taksi, serta pengurangan jumlah barang kena pajak yang atas
penyerahannya diberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah.
Sementara itu, dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi dan penerimaan perpajakan
antara lain telah dilakukan kebijaksanaan tidak terutangnya PPN atas penyerahan buah kelapa
dan kemiri sampai dengan tahap pengeringan (dan kelapa sampai menjadi kopra). Selain itu juga
telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET),
yang mengatur tentang pemberian fasilitas kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di
dalam KAPET, berupa tidak dipungutnya PPN dan PPnBM atas transaksi penyerahan barang
kena pajak tertentu.
Untuk efektifnya upaya peningkatan PPN dan PPnBM, di samping kebijaksanaan
tersebut juga dilakukan upaya peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak,
konfirmasi faktur pajak, uji silang antara data PPN dengan data PPh, pemeriksaan sederhana
lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak (PKP), serta PKP yang SPT masanya memenuhi kriteria
pemeriksaan sederhana lapangan. Kebijaksanaan tersebut danukung oleh pelaksanaan
pemeriksaan kantor, dengan meneliti SPT PPN dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk
mengetahui apakah wajib pajak yang bersangkutan masih memiliki kewajiban PPN.
Selanjutnya, kebijaksanaan lain yang mampu meningkatkan penerimaan adalah peningkatan
kerjasama dengan instansi-instansi terkait, dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana
lapangan/kantor, untuk menguji kepatuhan PKP.
dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun anggaran 1997/1998. Dalam tahun tersebut peran
penerimaan PPN dan PPnBM terhadap penerimaan perpajakan adalah 39,7 persen.
2.2.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(PBB dan BPHTB)
Pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan
bangunan yang danirikan di atasnya. Hasil pungutan tersebut, 90 persen dikembalikan kepada
daerah setempat melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I 16,2 persen,
dan APBD tingkat II 64,8 persen. Seuangkan sisanya, 9 persen digunakan sebagai upah biaya
pungut. Sementara itu, bagian pemerintah pusat yang mencapai 10 persen, sejak tahun 1994
telah dialokasikan kembali kepada daerah dengan perincian 65 persen dibagikan secara merata
kepada Dati II, seuangkan 35 persen dialokasikan sebagai insentif kepada Dati II yang realisasi
penerimaan PBB tahun anggaran sebelumnya berhasil mencapai/melampaui rencana penerimaan
yang telah ditetapkan.
Sementara itu, berkaitan dengan upaya meningkatkan penerimaan jenis pajak ini, maka
program ekstensifikasi di biuang pemungutan PBB dilakukan dengan memperluas objek pajak,
yakni dengan dikenakannya pajak bumi dan bangunan atas tanah dan bangunan milik perguruan
tinggi swasta, serta rumah sakit swasta yang beroperasi secara komersial. Kebijaksanaan
tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796 Tahun 1993. Di samping
itu, bagi objek-objek pajak bumi dan bangunan yang mempunyai karakteristik khusus seperti
bandar udara, pelabuhan laut, lapangan golf, pabrik-pabrik, dan industri-industri dilakukan
penilaian secara kasus per kasus.
Selanjutnya dalam rangka memperluas objek pajak yang berkaitan dengan perolehan
hak atas tanah dan bangunan, sejak 1 Juli 1998 diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea tersebut merupakan
jenis penerimaan pajak baru yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang
tersebut juga diatur bahwa tarifnya adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, yang
melebihi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) sebesar Rp 30 juta.
Dalam upaya melaksanakan program intensifikasi pemungutan pajak bumi dan
bangunan, telah dilakukan upaya penagihan tunggakan secara lebih aktif disertai peningkatan
pelayanan kepada wajib pajak, pemantapan sistem tempat pembayaran (Sistep), pengembangan
sistem manajemen informasi objek pajak (Sismiop), dan peningkatan jumlah serta kemampuan
aparat pajak. Selain itu upaya intensifikasi pemungutan pajak juga dilakukan dengan
meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak serta kerja sama dengan Pemerintah Daerah
tingkat II.
Realisasi penerimaan PBB dalam kurun waktu empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI menunjukkan pertumbuhan 17,2 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN
tahun anggaran 1998/1999 sasaran penerimaan PBB dan BPHTB dianggarkan 28,5 persen lebih
tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya.
2.2.2.2.4 Cukai
Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas
negara (fungsi budgeter) , tetapi juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka perlindungan
bagi masyarakat. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan
tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Berdasarkan
peraturan tersebut tarif maksimum cukai adalah 250 persen apabila harga dasarnya adalah harga
jual pabrik, atau 55 persen apabila harga dasarnya adalah harga jual eceran. Dengan demikian,
peranan tarif tersebut tidak saja berorientasi pada aspek penerimaan, melainkan
mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Seuangkan dasar
perhitungan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan
harga dasar, sehingga apabila di antara ketiga unsur tersebut ada yang berubah, maka jumlah
penerimaan cukai juga akan ikut terpengaruh..
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, dalam tahun anggaran
1998/1999 pemerintah telah melakukan perubahan harga jual eceran barang kena cukai. Di
samping itu, Pemerintah juga memberikan pembebasan cukai atas barang-barang untuk
keperluan tertentu, seperti untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pencegahan pencemaran
lingkungan, serta pengembalian cukai apabila barang tersebut diekspor.
Dalam rangka mengendalikan dan membatasi jumlah konsumsi produk hasil tembakau,
dalam tahun anggaran 1998/1999 telah diberlakukan ketentuan pemungutan cukai hasil
tembakau melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 1998 tentang Penetapan
Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang berlaku mulai 1 April 1998. Dalam
pelaksanaannya, keputusan tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai yang terakhir melalui Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55
Tahun 1998 tentang Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau yang berlaku mulai bulan
Oktober 1998. Seuangkan untuk hasil tembakau jenis sigaret putih mesin (SPM), diatur
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif
Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih Mesin. Dalam rangka penyesuaian terhadap
perkembangan industri hasil tembakau, telah dikeluarkan Keputusan Dirjen Bea dan Cukai
Nomor 55 Tahun 1998 tentang Perubahan Pasal 4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal 6
Ayat (1) dan Ayat (2) Keputusan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 tentang
Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, yang mulai berlaku sejak 1 Oktober 1998.
Berdasarkan surat keputusan tersebut, telah ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum untuk
jenis sigaret kretek yang dibuat dengan mesin (SKM), dibuat dengan tangan (SKT), rokok
kelobot (KLB), dan rokok kelembak menyan (KLM). Untukjenis rokok SKM yang dibuat di
dalam negeri digolongkan menjadi 4 golongan pabrik yaitu pabrik besar, menengah, menengah
kecil dan pabrik kecil. Untuk golongan pabrik besar dengan total produksi satu tahun takwim
lebih Dari 5 miliar batang ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 225 per batang
dengan tacit 36 persen. Untuk pabrik menengah, dengan total produksi satu tahun takwim lebih
Dari 2,5 miliar sampai dengan 5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 175 per batang
tarifnya 28 persen. Kemudian pabrik menengah kecil, yaitu pabrik dengan total produksi satu
tahun takwim lebih Dari 1 miliar sampai dengan 2,5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp
150 per batang dengan tarif 24 persen, dan untuk pabrik kecil, yaitu pabrik dengan total
produksi satu tahun takwim sampai dengan 1 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 110
impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang-barang yang diperlukan industri dalam
negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai
penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (fasilitator).
Besarnya penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh tiga besaran, yaitu besarnya nilai
devisa bayar (dutiable import), tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
sehingga apabila salah satu komponen yang mempengaruhi penerimaan bea masuk tersebut
berubah, jumlah penerimaannya akan berubah juga.
Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan bea masuk
mengalami penurunan rata-rata 8,5 persen per taboo. Kecenderungan menurunnya penerimaan
bea masuk ini disebabkan oleh makin menurunnya tarif bea masuk sebagaimana tercantum
dalam Paket Deregulasi Mei 1995 dan Faket Deregulasi Januari 1996. Kebijaksanaan ini
kemudian disusul dengan adanya deregulasi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 378 Tahun 1996 tentang Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk pada bulan Juni 1996 yang
antara lain berupa penurunan tarif bea masuk secara terjadwal sampai dengan tahun 2003. Di
samping itu, juga adanya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara
ASEAN dalam rangka Common Effective Preferential Tariff/or Asean Free Trade Area (CEPT
for AFTA), dilanjutkan dengan kebijaksanaan penurunan tarif bea masuk atas 1.600 pos tarif
pada bulan Juli 1997 dan 153 pos tarif pada bulan September 1997. Selanjutnya, untuk
mengoptimalkan penerimaan bea masuk, berbagai upaya terus dilakukan diantaranya penerapan
sistem self assessment, yaitu menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang
dengan tetap memperhatikan ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tersebut dalam APBN 1998/1999 penerimaan bea masuk dianggarkan 83,8 persen
lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya.
Tabel II.3
PENERIMAAN CUKAI, 1989/1990 - 1998/1999 I)
(dalam miliar rupiah)
Cukai Cukai
Tahun % % Cukai A%
tembakau lainnya
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
REPELIT A V
1989/1990 1.398,1 94,3 84,1 5,7 1.482,2
1990/1991 1.713,8 95,2 86,0 4,8 1.799,8 21,4
1991/1992 1.703,3 88,9 211,7 11,1 1.915,0 6,4
1992/1993 2.116,4 94,4 125,2 5,6 2.241,6 17,1
1993/1994 2.470,4 94,1 155,4 5,9 2.625,8 17,1
REPELITA VI
1994/1995 2.647,5 84,0 505,8 16,0 3.153,3 20,1
1995/1996 3.451,2 96,1 141,5 3,9 3.592,7 13,9
1996/1997 4.060,5 95,3 202,3 4,7 4.262,8 18,7
2)
1997/1998 4.610,7 95,9 196,4 4,1 4.807,2 12,8
I) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal l Mei 1995 tentang
Perubahan Tarif Bea Meterai diatur bahwa bea meterai Rp 2.000 dikenakan atas surat
perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata, akte
notaris dan salinannya, serta akte pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan rangkapnya. Selain itu
bea meterai Rp 2.000 juga dikenakan atas dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya
lebih Dari Rp 1.000.000. Seuangkan apabila nilai nominalnya antara Rp 250.000 sampai dengan
Rp 1.000.000, serta cek dan bilyet giro, bea meterai yang dikenakan adalah Rp 1.000. Sementara
itu, untuk dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya kurang Dari Rp 250.000 tidak
terutang bea meterai.
Sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, penerimaan pajak lainnya bersumber dari
bea lelang dan bea meterai, namun demikian sejak tahun anggaran 1997/1998 hanya bersumber
Dari bea meterai, karena bea lelang dimasukkan ke dalam penerimaan bukan pajak. Dalam
empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami
pertumbuhan rata-rata 20,6 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1998/1999 penerimaan
pajak lainnya diperkirakan men gal ami kenaikan 1,9 persen dari perkiraan realisasi tahun
anggaran sebelumnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah
pencegahan beredamya meterai palsu dengan cara meningkatkan kualitas meterai, dan
peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, serta pencetakan
tanda tunas bea meterai.
2.2.2.2.7 Pajak Ekspor
Pengaturan tarif pajak ekspor atas beberapa komoditi tertentu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan
Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor Atas Beberapa Komoditi Tertentu.
Besarnya tarif rata-rata ditetapkan sebesar 30 persen, seuangkan untuk produk kelapa sawit dan
turunannya, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334 Tahun 1998
tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Sawit, Minyak Kelapa,
dan Produk Turunannya ditetapkan antara 15 persen sampai dengan 60 persen yang dihitung
Dari besarnya harga patokan ekspor, dan nilai tukar valuta asing. Kebijaksanaan yang ditempuh
dalam pungutan atas ekspor produk kelapa sawit tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga
jual minyak goreng di dalam negeri, agar tidak terjadi peningkatan harga yang terlalu besar.
Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak ekspor
mengalami penurunan rata-rata 1,3 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN tahun
anggaran 1998/1999 penerimaan pajak ekspor dianggarkan 651,8 persen lebih tinggi dari
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan penerimaan perpajakan
selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 11.4.
Tabel 11.4
Pajak
Pajak Bea Pajak Pajak Bumi 2) Pajak
Tahun Pertambahan Cukai Jumlah
Penghasilan Nilai Masuk Ekspor dan Bangunan Lainnya 3)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
REPELITA V
1989/1990 5.754,8 5.986, I 1.892,2 1.482,2 173,3 604,4 191, I 16.084, I
1990/1991 8.250,0 8.119,2 2.799,8 1.799,8 39,8 785,8 216,5 22.010,9
1991/1992 9.727,0 9.145,9 2.871,1 1.915,0 17, I 944,4 298,8 24.919,3
1992/1993 12.516,3 10.742,3 3.223,3 2.241,6 8,8 1.l06,8 252,4 30.091,5
1993/1994 14.758,9 13.943,5 3.555,3 2.625,8 13,7 1.484,5 283,4 36.665, I
REPELITA VI
1994/1995 18.764,1 16.544,8 3.900,1 3.153,3 130,6 1.647,3 301,9 44.442, I
1995/1996 21.012,0 18.519,4 3.029,4 3.592,7 186,1 1.893,9 452,8 48.686,3
1996/1997 27.062, I 20.351,2 2.578,9 4.262,8 '81,0 2.413,2 590,7 57.339,9
1997/19984) 28.458,2 24.50 1,0 2.989,5 4.807,2 125,4 2.655,0 530,0 64.066,3
l) Realisasi PAN
2) Sejak tahun 1998/1999 termasuk BPHTB
3) Terdiri Dari penerimaan rea meterai dan rea lelang, sejak tahun 1997/1998 hanxa bea meterai
4) APBN Perubahan (APBN-P)
5) APBN
Tabel II.5
REPELITA V
.
1989/1990 13.381,3 42,5 16.084,1 51,0 2.038,8 6,5 31.504,2
1990/1991 17.740,0 42,0 22.010,9 52,2 2.442,1 5,8 42.193,0 33,9
1991/1992 15.069,6 35,4 24.919,3 58,5 2.593,1 6,1 42.582,0 0,9
1992/1993 15.330,8 31,4 30.091,5 61,6 3.440,3 7,0 48.862,6 14,7
1993/1994 12.503,4 22,3 36.665,1 65,3 6.944,62) 12,4 56.113,1 14,8
REPELITA VI
1994/1995 13.537,4 20,4 44.442,1 66,9 8.438,52) 12,7 66.418,0 18,4
1995/1996 16.054,7 22,0 48.686,3 66,7 8.272,92) 11,3 73.013,9 9,9
1996/1997 20.137,1 23,0 57.339,9 65,4 10.153,3 11,6 87.630,3 20,0
1997/19983) 35.357,0 32,7 64.066,3 59,2 8.760,52) 8,1 108.183,8 23,5
1) Realisasi PAN
2) Termasuk LBM
3) APBN Perubahan (APBN-P)
4) APBN
(social safety net). Perkembangan anggaran belanja rutin secara rinci sejak tahun anggaran
1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.7 dan Grafik
11.2.
Tabel 11.6
PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1989/1990 - 1998/1999
(dalam miliar rupiah)
Tahun Bantuan % Bantuan % Penerimaan %
program proyek Pembangunan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
REPELITA V
I) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Tabel 11.7
JeDis Pemblayaan 1989/1990 1991111991 1991/1992 1991/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 199611997 1997/19982) 1998/19993)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.BeIanJa pegawai 6.205,5 7.088,0 8.169,7 9.554,2 11.144,8 12.595,5 13.001,4 14.455,2 19.175,1 24.781,4
I. Gajilpensiun 4.829,1 5.597,7 6.351,5 7.595,4 9.145,2 10.181,2 11.047,9 13.004,5 15.236,4 19.120,0
2. Tunjangan beras 588,8 642,9 930,0 890,9 833,9 973,2 733,5 767,7 916,0 1.872,4
3. Uang makanllauk pauk 373,3 383,6 396,5 479,2 492,8 755,6 560,1 100,7 1.199,2 1.484,4
4. Lain-lain belanja pegawai DN 242,8 264,9 280,9 315,0 417,7 368,3 369,8 479,5 792,4 1.154,6
5. Belanja pegawai LN 171,5 198,9 210,8 273,7 255,2 317,2 290,1 102,8 1.031,1 1.150,0
ll. BelanJa barang 1.703,5 1.842,t 2.328,1 2.928,5 3.032,1 4.318,9 5.175,1 8.108,5 9.031,9 11.425,1
I. Belanja barang DN 1.570,8 1.680,7 2.175,8 2.731,2 2.847,5 4.101,4 4.875,5 7.824,5 8.274,5 10.059,7
132,7 161,4 152,3 197,3 184,6 217,5 299,6 284,0 757,4 1.365,4
2. Belanja barang LN
,
Ill. Subsidi daerah otonom 3.577,3 3.887,5 4.376,4 5.383,5 6.9Os,7 .7.272,4 8.226,6 9.357,5 9.872,2 13.289,7
I. Belanja pegawai 3.348,3 3.635,0 4.091,8 4.996,4 6.574,8 6.918,9 7.807,2 8.873,8 9.346,6 12.606,5
2. Belanja nonpegawai 229,0 252,5 284,6 387,1 333,9 353,5 419,4 483,7 525,6 683,2
IV. Bunga dan ddlan hutang 11.924,2 12.815,8 12.838,2 14.523,5 17.163,0 18.402,5 22.108,6 27.491,2 29.697,0 66.236,4
I. Hutang dalam negeri 148,6 238,7 240,2 275,0 120,7 104,1 1.619,6 4.589,2 1.639,7 1.940,1
2. Hutang luar negeri 11.775,6 12.577,1 12.598,0 14.248,5 17.042,3 18.298,4 20.489,0 22.902,0 28.057,3 64.296,3
V. Pengeluaran rutin lainnya 924,7 3.487,7 1.340,6 1.215,7 2.041,3 1.479,7 1.923,3 3.148,7 16.830,0 55.472,5
1. Subsidi BBM 707,3 3.305,7 929,9 691,8 1.279,9 686,8 - 1.416,1 15.866,1 27.534,0
2. Subsidi nonBBM - - - - - - - - - 25.193,3
3. Lain-lain mumi 217,4 182,0 410,7 523,9 761,4 792,9 1.923,3 1.732,6 963,9 2.745,2
Jumlah 24.335,2 29.121,1 29.053,0 33.605,4 40.289,9 44.069,0 50.435,0 62.561,1 84.606,2 171.205,1
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian
tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan
fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Seuangkan peningkatan kesejahteraan secara
nonfinansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung
berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian
pensiun otomatis, kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan
kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui
bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan
perumahan.
Perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1997, yang berlaku sejak 1 April 1997. Kenaikan gaji
pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat
besarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase tertentu dari gaji pokok.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan penghasilan pegawai telah pula beberapa kali dilakukan
penyesuaian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), yang terakhir sejak 1 April 1998 diberikan
TPP 15 persen Dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga. Selain kebijakan perbaikan
struktur gaji pokok Dari TPP, telah pula dilakukan penyesuaian terhadap tunjangan isteri/suami,
yaitu Dari 5 persen Dari gaji pokok menjadi 10 persen terhitung sejak April 1992.
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Sebagian besar pembiayaan untuk belanja
pegawai pusat tersebut dipergunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi
anggaran untuk gaji dan pensiun, juga mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap
tahunnya. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembayaran gaji dan
pensiun mengalami peningkatan rata-rata 14,4 persen setiap tahunnya. Sementara itu, dalam
APBN tahun anggaran 1998/1999 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan meningkat 25,5
persen dart tahun anggaran sebelumnya.
Sebagian besar belanja barang dialokasikan untuk belanja barang dalam negeri, yang
diarahkan untuk mendukung tersedianya prasarana dan sarana kerja yang memadai, baik jumlah
maupun kondisinya. Selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi be1anja
barang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata 26,4 persen per tahun. Sementara itu,
dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 belanja barang dalam negeri dianggarkan meningkat
21 ,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan tersebut untuk menunjang kegiatan
administrasi di berbagai instansi, antara lain pembiayaan bagi pengadaan perangkat keras,
perangkat lunak, serta peralatan kantor lainnya, termasuk pemeliharaannya. Peningkatan belanja
barang juga dipengaruhi oleh belanja barang luar negeri, yang pembiayaannya diarahkan untuk
menunjang pembiayaan operasional dan pemeliharaan berbagai kantor perwakilan pemerintah di
luar negeri, serta pembiayaan yang berkaitan dengan kerja sama internasional. Dalam empat
tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembiayaan belanja barang luar negeri
mengalami peningkatan rata-rata 51,6 persen per tahun. Sementara itu, belanja barang luar
negeri dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dianggarkan meningkat 80,3 persen Dari
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut,
perubahan besarnya pembiayaan belanja barang luar negeri berkaitan erat dengan jumlah kantor
perwakilan pemerintah di luar negeri, serta perubahan nilai tukar mata uang Dari negara
bersangkutan terhadap rupiah.
Seirama dengan perkembangan belanja pegawai pusat, subsidi daerah otonom (SDO)
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang sebagian besar digunakan untuk belanja
pegawai daerah. Belanja pegawai daerah, yang merupakan bantuan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah diarahkan untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya
guna, berhasil guna, bersih, dan berwibawa, serta meningkatkan keserasian dalam pelaksanaan
kewajiban dan tugas umum pemerintahan dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja
pegawai daerah pada dasarnya merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk
membiayai belanja pegawai daerah otonom, juga bagi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di
daerah, seperti guru SD Inpres, dokter dan paramedis.
Selain untuk belanja pegawai daerah, subsidi daerah otonom juga dialokasikan untuk
belanja nonpegawai, yang penggunaannya diarahkan untuk mendukung kegiatan pemerintahan
daerah. Sejak tahun anggaran 1994/1995 - 1997/1998 realisasi belanja nonpegawai daerah
otonom mengalami peningkatan rata-rata 14,1 persen per tahun. Sementara itu, belanja
nonpegawai daerah otonom dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 direncanakan meningkat
sekitar 30 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan pembiayaan tersebut terutama
dipergunakan untuk subsidi bagi penyelenggaraan urusan desentralisasi, urusan dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Dalam mendukung urusan dekonsentrasi, belanja nonpegawai daerah
diperlukan untuk menampung ganjaran daerah tingkat I, daerah tingkat II/kotamadyalkota
administratif, kecamatan, dan desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain
belanja nonpegawai daerah. Sementara itu, untuk mendukung penyelenggaraan urusan
desentralisasi, belanja nonpegawai daerah digunakan untuk menampung subsidil bantuan
penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar negeri (SBPPSDN), bantuan biaya operasional
rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), serta pengembangan pariwisata dan usaha
pertambangan daerah. Dalam rangka mendukung pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun,
SBPP-SDN diberikan sebagai pengganti sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-
SD) yang telah dihapuskan. Seuangkan pemberian subsidil bantuan biaya operasional rumah
sakit umum daerah digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan
Dalam perkembangannya, hutang dalam negeri juga menampung jenis pembiayaan lain,
seperti pengembalian kelebihan setor kepada Pertamina dalam penyediaan BBM di dalam
negeri, serta pembayaran dana talangan Bank Indonesia sebagai konsekuensi dari kebijakan
restrukturisasi perbankan nasional. Pada awal Repelita VI (1994/1995), besarnya pembiayaan
hutang dalam negeri masih relatif rendah, yaitu Rp 104,1 miliar, atau 0,2 persen dari total
pengeluaran rutin. Selanjutnya dalam tiga tahun anggaran berikutnya, realisasi pembayaran
hutang dalam negeri masing-masing mencapai Rp 1.619,6 miliar, Rp 4.589,2 miliar, dan Rp
1.639,7 miliar. Penyediaan anggaran tersebut terutama diperlukan untuk pengembalian dana
kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan hasil operasi Pertamina dalam tahun-tahun
anggaran sebelumnya, sesuai dengan rekomendasi dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BEPEKA). Dalam tahun anggaran 1998/1999, anggaran yang disediakan untuk pos
pembiayaan hutang dalam negeri mencapai Rp 1.940,1 miliar. Sebagian besar anggaran
tersebut, yaitu Rp 1.720,1 miliar, disediakan untuk pengembalian dana talangan Bank Indonesia,
sebagai pengganti dana simpanan nasabah 16 bank dalam likuidasi (BDL) pada bulan November
1997.
Salah satu unsur pengeluaran yang cukup berpengaruh terhadap besarnya penyediaan
anggaran belanja rutin adalah cukup tingginya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Kewajiban tersebut timbul
sebagai akibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan di masa lampau, yang harus mulai dibayar dengan berakhirnya masa tenggang
waktu, dan telah jatuh tempo. Besarnya kewajiban tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya
cicilan pokok dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo, juga dipengaruhi oleh perkembangan
nilai tukar, baik antar valuta negara-negara pemberi pinjaman, maupun nilai rupiah terhadap
nilai valuta negara-negara dimaksud.
Menya dari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian sasaran-sasaran
pembangunan, pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga
keuangan internasional pemberi pinjaman, tetap memiliki kepercayaan yang besar terhadap
Indonesia. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara benar
dan baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang
berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Selain itu, dilakukan upaya untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri tepat pada
waktunya, dan sesuai dengan nilai yang dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri
(NPLN). Sementara itu, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, pemerintah telah
melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri, khususnya untuk hutang
yang memiliki tingkat suku bunga tinggi, antara lain dari Bank Dunia (International Bank for
Reconstruction and Development/IBRD) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank/ADB), y.ang pembiayaannya bersumber dari bagian pemerintah atas penjualan saham
BUMN yaitu PT Indosat, PT Telkom, PT Timah, serta sisa anggaran lebih (SAL). Percepatan
pembayaran hutang luar negeri yang dilaksanakan dalam Repelita VI, adalah Rp 1.716,9 miliar
dalam tahun anggaran 1994/1995, Rp 1.643,8 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, dan Rp
4.036,2 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997.
Krisis moneter yang terjadi di dalam negeri sejak bulan Juli 1997 telah menyebabkan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika cenderung terus melemah,
sehingga secara langsung berpengaruh terhadap besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tahun anggaran
1998/1999. Sehubungan itu, alas persetujuan sembilan belas negara-negara donor yang
tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998, pemerintah telah melakukan
rescheduling alas pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk mengurangi beban anggaran, sehingga dapat mempercepat stabilisasi dan pemulihan
perekonomian nasional.
Pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri selama Repelita VI terus
mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama, besarnya pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri masing masing mencapai Rp 18.298,4 miliar, Rp 20.489,0 miliar, Rp
22.902,0 miliar, dan Rp 28.057,3 miliar. Namun persentasenya terhadap total pengeluaran rutin
menunjukkan penurunan, yaitu masing-masing 41,5 persen, 40,6 persen, 36,6 persen, dan 33,2
persen. Selanjutnya pada tahun anggaran 1998/1999, anggaran pembayaran bunga dan cicilan
pokok hutang luar negeri mengalami peningkatan yang cukup tajam, yaitu mencapai Rp
64.296,3 miliar, atau meningkat 129,2 persen dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.
Dalam Repelita VI, Pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang
merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat strategis. Namun disadari juga bahwa pemberian
subsidi BBM yang dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan terhambatnya usaha
konservasi dan diversifikasi energi, serta beban yang semakin berat terhadap anggaran belanja.
Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya
pengadaan BBM yang harus dikeluarkan. Seperti diketahui biaya pembelian minyak mentah
merupakan komponen terbesar dalam pengaadaan BBM, sehingga besar kecilnya kebutuhan
subsidi BBM sangat tergantung kepada jumlah konsumsi, fluktuasi harga rninyak mentah
internasional, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, terutama dolar Amerika. Sejalan
dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, selama Repelita VI telah
diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual pada tingkat yang wajar.
Untuk itu pada bulan Mei 1998 telah dilakukan kenaikan harga BBM. Selain pemberian subsidi
BBM, dalam Repelita VI, khususnya tahun anggaran 1998/1999 pemerintah juga memberikan
subsidi nonBBM berupa subsidi pangan, listrik, dan obat-obatan. Subsidi-subsidi tersebut,
diberikan antara lain berkaitan dengan upaya memperkuat jaring pengaman sosial (JPS), sebagai
upaya meredam dampak sosial akibat krisis ekonomi, terutama bagi penduduk rniskin. Di
samping subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, gula pasir, dan
kedelai. Kebijakan tersebut selain dimaksudkan untuk menjaga agar harga komoditas pangan
terjangkau oleh daya beli masyarakat, juga untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan
makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras, dan sekaligus untuk menjaga
kelangsungan usaha industri makanan dalam negeri. Dalam perkembangannya, untuk
meringankan beban anggaran negara, sejak awal bulan September 1998 telah ditempuh
kebijakan penghapusan subsidi untuk gandum, gula posir, dan kedelai.
Selain untuk subsidi, pengeluaran rutin lainnya juga menampung lain-lain pengeluaran
rutin, seperti biaya jasa pos dan giro, pengeluaran bebas porto, serta subsidi kesehatan bagi para
veteran dan perintis kesehatan, bantuan rutin kepada komite olahraga nasional Indonesia
(KONI) Pusat, serta subsidi kepada Perum Kereta Api. Selain itu, lain-lain pengeluaran rutin
juga menampung pembiayaan yang bersifat khusus berupa pembiayaan untuk penyelenggaraan
pemilihan umum (Pemilu) dan bantuan penanggulangan bencana alam.
Berdasarkan pada perkembangan tersebut, pengeluaran rutin lainnya mengalami
peningkatan setiap tahunnya, terutama dalam tahun terakhir Repelita VI. Peningkatan tersebut
berkaitan dengan peningkatan anggaran untuk subsidi BBM dan subsidi non-BBM. Peningkatan
subsidi BBM terjadi sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika. Seuangkan, munculnya subsidi non-BBM berkaitan dengan upaya
memperkuat jaring pengaman sosial. Dalam tahun anggaran 1998/1999, pengeluaran rutin
lainnya diperkirakan mencapai Rp 55.472,5 miliar atau Rp 38.642,5 miliar lebih tinggi Dari
tahun anggaran sebelumnya.
Tabel 11.8
REPELITA V
REPELITA VI
1994/1995 66.418,0 18,4 44.069,0 9,4 22.349,0 + 6.525,8
1995/1996 73.013,9 12,6 50.435,0 14,4 22.578,9 + 229,9
1996/1997 87.630,3 20,8 62.561,1 24,0 25.069,2 + 2.490,3
1997/19982) 108.183,8 23,5 84.606,2 35,2 23.577,6 - 1.491,6
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Fungsi anggaran belanja pembangunan yang dalam empat tahun pelaksanaan Repelita
VI sebagai pendorong dan pendukung berkembangnya dunia usaha, dalam tahun terakhir
Repelita VI berubab menjadi unsur utama stabilisator kegiatan ekonomi, terutama dalam upaya
penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat agar tidak merosot lebih dalam
akibat krisis yang semakin bertambah berat. Dalam hubungan ini, pengeluaran pembangunan
diharapkanl mampu berperan menjadi faktor stimulus bagi peningkatan daya beli masyarakat,
melalui proyek-proyek produktif yang dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta perlindungan sosial di biuang
pendidikan dan kesehatan.
Tabel 11.9
1989/1990 - 1998/1999
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Jeu Pembityaan 1989/1CHO 199011991 J991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 199511996 199611997 1997/1998 1998/1999
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.'PEMBIAYAAN RU1'IAH 8.1;29,4 11.216,0 14.484,9 16.324,9 17.675,6 20.853,9 19.771,9 24.051,7 23.121,3 52.142,1
A. Pembiayaan Departemen:Lembaga 3.153,7 5.134,1 '1.483,7 10.032,8 10.915,7 11.239,2 10.930,3 12.159,2 11.576,9 14.397,0
I. Departemen/lembaga 2.934,3 4.856,4 7.083,0 9.560,2 10.367,5 10.567,8 10.221,3 11.l60,3 10.676,2 13.493,9
2. H a n k a m 219,4 277,7 400,7 472,6 548,2 671,4 759,0 998,9 900,7 903,1
B. Pemblayaan Bagi Daerah 1.763,3 2.999,7 4.113,4 5.035,0 5.515,8 7.353,0 7.211,6 8.868,6 10.024,8 13.806,3
I. Bantuan pembangunn desa tertinggal - - - - - 397,7 498,4 524,0 480,0 204,6
2. Bantuan pembangunan desa 132,1 180,7 248,9 326,3 391,6 432,5 425,9 457,6 468,8 477,0
!
3. Bantuan pembangunan Dari II 269,9 399,6 583,4 802,1 915,7 2.558,3 2.474,2 2.940,7 3.465,0 3.765,4
4. Bantuan pembangunan Dari I . 318,6 481,7 581,9 700,1 741,4 1.331,1 1.256,5 1.394,4 1.661,9 1.741,1
5. Bantuan pembangunan sekolah dasar 9'=>,6 369,2 515,2 645,4 595,4 538,1 494,4 591,5 663,2 594,9
6. Bantuan pembangunan sarana kesehatan 101,4 174,4 267,4 315,7 340,4 412,0 338,7 564,1 607,8 846,0
7. Bantuan pembangunan dan pemugaran pasar 7,8 12,8 4,7 1,7 3,0 - I) - I) - I) - I) - I)
8. Bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi 16,1 32,9 74,0 96,3 Ill,l - 2) - 2) - 2) - 2) - 2)
9. Bantuan peningkatan sarana jalan dan jembatan 274,4 660,9 978,7 1.165,3 1.083,7 - 3) - 3) - 3) - 3) - 3)
10. Baatuan PMT-AS - - - - - - - - 262,0 414,5
II. Banluan pembangunan derah dengan dana PBB 543,4 687,5 859,2 983,1 1.33!,51 1.68!,2 1.723,5 2.396,3 2.416,1 3.049,04)
12. Program perluasan jaring pengaman sosial - - - - - - - - - 2.713,8
C. Pemblayaan Lain-Lain 3.112,4 3.082,2 2.887,8 1.256,1 1.244,11 2.261,7 1.580,0 3.023,9 1.519,6 23.938,8
I. Subsidi pupuk 1.150,4 264,7. 3000 175,0 175,0 815,0 143,0 186,1 547,3 2.125,25)
2. Penyertaan modal pemerintah 887,5 644,4 987,9 137,9 380,6' 424,6 380,4 829,6 118,7 75,46)
3. Lain-lain pembangunan 1.074,5 2.173,1 1.599,9 943,2 688,5 1.022, I 1.056,6 2.008,2 853,6 21.738,2
II.HANTUAN PROYEK 7.364,5 7.034,11 8.589,6 10.581,4 10.752,5 9.837,8 9.008,8 11.900,1 23.817,0 ' 40.540,9
Jumlah 15.393,9 18.250,8 23.074,.5 26.906,3 28.428,1 3C.691,7 28.780,7 35.951,8 46.938,3 92.683,0
..
I) Dintegrasikan ke Inpres Dari 11.
2) Bantuan reboisasi diintegrasikan ke Inpres Dari 11; bantuan penghijauan diintegrasikan ke Inpres Dari I.
3) Bantuan peningkatan jalan propinsi diintegrasi\:an ke Inpres D3ti I, seuangkan bantuan peningkatan jaIan kabupaten
diintegrasikan ke Inples Dari 11.
4) Termasuk BPHTB Rp 400,0 rni};ar.
5) Termasuk susidi gas untuk pabrik/produsen pupuk Rp 1.059,9 miliar
6) Termasuk proyek padat karya Rp 1.505,8 juta, penanggulangan kekeringan Irian lara Rp 288,8 juta,
subsidi bunga kredit program Rp.957,8 miliar, serta program restrukrurisasi perbankan Rp 15.()()(),0 miliar.
Pada pembiayaan pembangunan departemen/lembaga tersebut, sebagian besar, yaitu lebih dari
64 persen dari alokasi anggaran yang disediakan untuk pembiayaan proyek-proyek sektoral,
lokasinya berada di daerah, di mana 37 persen di antaranya berada di kawasan barat Indonesia,
dan 27 persen di kawasan 1 timor Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya kurang dari 36
persen dari total pembiayaan proyek-proyek sektoral yang dialokasikan melalui DIP dikelola
langsung oleh instansi pusat pada masing-masing departemen/lembaga. Alokasi anggaran bagi
proyek -proyek sektoral yang lokasinya berada di daerah tersebut, apabila dapat dikoordinasikan
dengan baik dengan pengeluaran pembangunan daerah akan menjadi sinergi sumber dana yang
sangat potensial dalam mempercepat pembangunan daerah.
Dalam Repelita VI, transfer dana pembangunan melalui program Inpres telah
mengalami berbagai penyempurnaan dan peningkatan, baik dari segi jumlah dana yang
dialokasikan maupun dari segi jenis bantuan Inpres yang disalurkan. Penyempurnaan tersebut
merupakan langkah penyesuaian terhadap pencapaian sasaran umum, dan langkah operasional
dalam pencapaian sasaran khusus. Beberapa jenis bantuan (proyek Inpres) yang semula bersifat
khusus (specific grant), seperti Inpres peningkatan jalan, serta Inpres pembangunan dan
pemugaran pasar diintegrasikan ke dalam Inpres Dati I dan Inpres Dati II sebagai bantuan umum
(block grant) untuk alasan efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya. Sementara itu, beberapa
jenis bantuan Inpres baru diperkenalkan, di antaranya Inpres desa tertinggal (IDT) dalam rangka
mempercepat pengentasan kemiskinan, Inpres program makanan tambahan anak sekolah (PMT-
AS) untuk menunjang peningkatan kualitas gizi anak, serta program perluasan jaring pengaman
sosial (P1PS) sebagai program khusus penanggulangan dampak krisis ekonomi.
Dengan peningkatan alokasi dana pada masing-masing jenis Inpres, serta bertambahnya
program Inpres baru, selama Repelita VI pengeluaran pembangunan daerah rata-rata mengalami
peningkatan sekitar 17 persen per tahun. Demikian pula, proporsi pengeluaran pembangunan
daerah juga relatif meningkat dibandingkan dengan jenis pengeluaran pembangunan lainnya,
yaitu dari rata-rata sekitar 29 persen selama Repelita V menjadi rata-rata sekitar 38 persen dari
total pengeluaran pembangunan rupiah selama empat tahun pertama Repelita VI. Alokasi
bantuan ini, hampir seluruhnya danistribusikan ke daerah, di antaranya sekitar 54 persen ke
wilayah barat Indonesia, seuangkan 28 persen lainnya ke kawasan timur Indonesia.
Meskipun secara nominal dan proporsional terjadi peningkatan, namun tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai melalui program bantuan Inpres, yaitu pengurangan kemiskinan,
penyediaan sarana dan prasarana dasar, pelayanan kepada masyarakat di daerah, serta
ketimpangan pendapatan antar wilayah dan antar daerah masih belum teratasi sepenuhnya.
Pengalokasian dana Inpres memang telah menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlah dan
pola alokasi dana untuk masing-masing jenis Inpres akan terus disempumakan mengingat
pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat selama ini, telah
membawa konsekuensi pada peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada beberapa jenis program Inpres tertentu, peningkatan alokasi bantuan diperlukan untuk
menjaga kemampuan dana secara riil dalam membiayai kebutuhan pembangunan, karena
pertumbuhan Inpres tersebut masih di bawah ratarata tingkat inflasi. Di samping itu, penetapan
prioritas proyek atau kegiatan yang dilaksanakan juga masih perlu senantiasa disempurnakan
agar pemanfaatan dana yang sangat terbatas dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas alokasi dana Inpres, penetapan formula
besarnya alokasi per daerah, administrasi, serta mekanisme pelaksanaannya secara bertahap
telah dan akan terus disempumakan. Distribusi alokasi dana pembangunan antar daerah yang
adil dan merata hanya dapat tercapai apabila bantuan dana pembangunan kepada daerah
dialokasikan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi ekonomi, dan
kebutuhan investasi di masing-masing daerah. Demikian pula, distribusi anggaran melalui
program Inpres ini perlu dikoordinasikan dan dikaitkan dengan alokasi dana pembangunan yang
lain agar ketimpangan antar wilayah dan antar daerah dapat semakin diperkecil.
Pada Inpres desa tertinggal (IDT), mengingat kondisi alam, potensi ekonomi, dan latar
belakang sosial budaya masing-masing daerah dan desa berbeda satu sama lain, keberhasilan
dan efektivitas dari pelaksanaan program ini sangat tergantung pada kemampuan
mengidentifikasikan akar dari permasalahan yang sebenarnya, serta mernmuskan dan
menerapkan solusi yang paling efektif bagi masing-masing desa. Demikian pula, mengingat
jumlah dana yang dialokasikan untuk Inpres ini relatif terbatas, maka penetapan sasaran desa
yang berhak mendapatkan bantuan, dan cakupan kegiatan harus benar-benar akurat. Di. samping
itu, pelaksanaan program Inpres ini juga perlu dikoordinasikan dengan program pembangunan
sektoral dan program Inpres lainnya agar penanganan kemiskinan di desa-desa tertinggal
tersebut benar-benar terpadu dan efektif. Pada tahun terakhir Repelita VI, alokasi dana program
IDT ini, bersama-sama dengan berbagai jenis bantuan pembangunan lainnya menjadi salah satu
katup pengaman yang sangat penting dalam upaya memperkuat jaring pengaman sosial,
mengingat jumlah penduduk miskin diperkirakan kembali meningkat sebagai dampak Dari
krisis ekonomi yang seuang dihadapi.
pengelolaan sumber daya, dana, dan sarana ke Dati II. Dalam hubungan ini, peranan Inpres Dati
II perIu lebih ditingkatkan agar kemampuan finansial pemerintah Dati II dalam melaksanakan
tugas pembangunan menjadi semakin kuat. Itulah sebabnya, di antara seluruh jenis pembiayaan
pembangunan daerah dalam empat tahun pertama Repelita VI, Inpres Dari II memperoleh
alokasi anggaran terbesar, yaitu rata-rata sekitar 33 persen dari total dana pembiayaan Inpres.
Dengan peningkatan rata-rata 10 persen per tahun, perkembangan alokasi anggaran Inpres ini
relatif lebih baik dibandingkan dengan berbagai jenis Inpres yang lain. Namun demikian, di
masa mendatang pertumbuhannya masih perIu ditingkatkan untuk menampung pembiayaan bagi
peningkatan tugas dan tanggung jawab lebih besar yang dibebankan pada Dati II akibat
pelimpahan urusan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Di samping peningkatan alokasi
anggaran, kepada Dati II perIu diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pemanfaatan,
pendistribusian, dan pengelolaan dana tersebut sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kerangka
perencanaan pembangunan secara makro. Perkembangan Inpres pembangunan Dati II tahun
anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.11.
Sejalan dengan upaya peningkatan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Dati II,
peranan Dati I juga perIu disesuaikan agar lebih mendukung pelaksanaan otonomi dimaksud,
dengan mengarahkan program pembangunannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
menyelaraskan pembangunan sektoral dengan pembangunan regional, merangsang pertumbuhan
daerah, dan mengkoordinasikan pembangunan yang bersifat lintas Dati II. Sehubungan dengan
hal tersebut, alokasi dana Inpres Dati I perIu lebih diarahkan pada proyek sarana dart prasarana
yang bersifat mendukung pelaksanaan proyek Dati II, dan kegiatan atau proyek akan lebih layak
apabila dilaksanakan oleh Dari I, baik karena pertimbangan efisiensi (economies of scale)
maupun dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh, sekaligus :uga akan banyak dbikmati
oleh beberapa Dati II (externalities). Dengan demikian, efektivitas dari pemanfaatan dana dapat
dioptimalkan, karena terjadinya proyek yang tumpang tindih dan tidak terlaksananya proyek
vital karena tidak jelasnya tanggungjawab pelaksanaannya dapat dihindari. Perkembangan
Inpres pembangunan Dati I tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel
11.12.
.
Tab e I II. 10
INPRES PEMBANGUNAN DESA,
1989/1990 - 1998/1999 I)
Bantuan tiap Desa
Jumlah
Jumlah
Tahun Pem bangunan Bantuan
Desa PKK Jumlah
Desa
(ribu Rp) (ribu Rp) (ribu Rp) (miliar Rp)
(I) (2) (3) (4) (5) (6)
.
REPELIT A V
1989/1990 66.979 2.000 500 2.500 132,1
1990/1991 66.979 2.000 500 2.500 180,7
1991/1992 67.033 2.800 700 3.500 248,9
1992/1993 63.721 3.600 900 4.500 326,3
1993/1994 63.721 4.500 1. 000 5.500 391,6
REPELIT A VI
1994/1995 63.920 5.000 1.000 6.000 432,6
1995/1996 64.367 5.000 1.000 6.000 425,9
1996/1997 64.404 5.000 1.500 6.500 457,6
1997/19982) 64.424 5.000 1.500 6.500 468,8
I) Realissasi PAN.
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
Tabel 11.11
INPRES PEMBANGUNAN DARI II,
1989/1990 - 1998/1999 I)
Jumlah Bantuan Bantuan minimum Jumlah
Tahun penduduk tiap jiwa tiap Dari II bantuan
(iota) (rupiah) (iuta rupiah) (miliar rupiah)
(l) (2) (3) (4) (5)
REPELIT A V
l) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Termasuk bantuan kabupaten yang berkepulauan, bantuan pemugaran perumahan pedesaan, bantuan pemugaran pasar, bantuan rehabilitasi
SD dan Madrasah Ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan dan
pengawasan pembangunan Dati II, dan bantuan rehabilitasi Puskesmas.
TabeI II. 12
REPELIT A V
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Termasuk bantuan perencanaan dan pengawasan pembangunan Dari I. serta Inpres reboisasi dan Inpres peningkatanjalan Dari I. serta
tambahan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan.
Selain bantuan umum, kepada daerah juga disediakan alokasi bantuan khusus untuk
membantu daerah dalam mengatasi berbagai permasalahan tertentu yang dihadapinya. Salah
satu aspek penting yang sangat berperan dalam menunjang pembentukan watak dan
pembangunan bangsa (nation and character building), namun pada umumnya selalu menjadi
masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan daerah adalah peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Upaya dan pencapaian sasaran tersebut sangat ditentukan oleh kuantitas
dan kualitas dari sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai akan memberikan kesempatan kepada anak (generasi muda) untuk
memperoleh pendidikan yang lebih layak. Berkaitan dengan itu, dalam rangka membantu
mengatasi problematika peningkatan daya tampung di biuang pendidikan dasar, kepada Dati II
dialokasikan bantuan khusus pembangunan sarana pendidikan dasar berupa Inpres SD. Bantuan
Inpres SD tersebut selama ini telah berhasil menunjang pelaksanaan program wajib belajar enam
tahun di berbagai daerah. Sekalipun demikian, alokasi dana yang lebih besar masih dibutuhkan
untuk mendukung pencapaian sasaran program wajib belajar sembilan tahun, memelihara
berbagai sarana dan prasarana yang telah dibangun, serta peningkatan kualitas pendidikan dasar.
Hal ini danasarkan pada kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk Inpres SD selama empat
tahun pertama Repelita VI hanya mengalami peningkatan yang relatif rendah, yaitu sekitar 7,2
persen per tahun. Perkembangan Inpres sekolah dasar tahun anggaran 1989/1990-1998/1999
dapat diikuti dalam Tabel 11.13.
Di samping pendidikan, faktor lain yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia adalah pelayanan kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan dasar
masyarakat yang senantiasa diusahakan pemenuhannya oleh pemerintah. Salah satu langkah
terobosan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut dilakukan melalui alokasi
bantuan khusus Inpres kesehatan. Bantuan ini memiliki dampak yang sangat nyata dalam
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, karena dialokasikan langsung pada peningkatan
pelayanan kesehatan. Dengan demikian, perubahan dari jumlah alokasi dana akan langsung
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya di daerah perdesaan.
Perkembangan Inpres kesehatan selama empat tahun pertama Repelita VI yang rata-rata
mencapai 13,8 persen per tahun menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah terhadap
pentingnya penyediaan pelayanan kesehatan. Namun demikian, besarnya alokasi bantuan ini
masih perlu ditingkatkan, mengingat masih cukup besarnya kelompok masyarakat yang perlu
TabeI II. 13
REPELIT A V
REPELIT A VI
1994/1995 700 2.650 - 4) 350 1.050 36 - 538,15)
1995/1996 425 2.650 - 4) 425 725 60 - 494,45)
1996/1997 375 2.892 - 4) - 1.140 80,5 - 591,55)
1997/1998 2) 375 2.892 - 4) - 1.140 80,3 - 663,25)
1) Rea1isasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Sejak tahun 1994/1995 dialihkan kepada Inpres Dati II
5) Tidak termasuk biaya rehabilitasi SD dan Madrasah Ibdanaiyah (dialihkan ke Inpres Dati II)
Tab e I II. 14
Rumah
Obat Puskesmas Puskesmas Rehabilitasi Air bersih Jumlah
Dokter/
Tahun Puskesmas
puskesmas
per jiwa Pembantu Keliling paramedis pedesaan bantuan
4)
(Rp) (ruang) (unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (miliar Rp)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
REPELITA V
1989/1990 450 100 ' 1.000 500 500 1.800 80.000 101,4
1990/1991 475 200 1.800 600 1.000 3.000 6.238 174,4
1991/1992 530 175 1.500 600 1.000 8.493 8.772 267,4
1992/1993 600 165 1.532 600 1.100 9.856 10.200 315,7
1993/1994 625 125 1.350 720 1.200 10.549 16.750 340,4
REPELIT A VI
1994/1995 725 30 500 358 690 3.515 - 412,0
1995/1996 775 30 500 ,360 480 - 5) - 338.76)
1996/1997 800 - 500 360 480 - 5) - 564,16)
1997/1998 2) 800 - 700 325 600 - 5) - 607,86)
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A PB N
4) Termasuk Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling
5) Dialihkan ke Inpres Dati II
6) Tidak termasuk dana rehabilitasi dan pemeliharaan Puskesmas (dialihkan ke Inpres Dati II)
Berbeda dengan pola alokasi anggaran pembangunan bagi daerah yang cehderung
semakin diperbesar, alokasi anggaran pembangurian lainnya untuk berbagai program yang
bersifat lintas sektoral justru diupayakan dibatasi seminimal mungkin, hanya untuk hal-hat yang
benar-benar sangat mendesak dan tidak dapat dihindari. Selama Repelita VI, alokasi
pengeluaran pembangunan lainnya yang mencakup subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah
(PMP), dan pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP) mengalami posang surut mengikuti
strategi kebijakan fiskal dan perkembangan keuangan negara.
Pada subsidi pupuk, alokasi anggaran sangat dipengaruhi oleh besarnya subsidi harga,
yang mencakup perbedaan antara harga jual dasar pupuk pada saat penyerahan dengan harga
beli dari produsen (biaya produksi),pajak pertambahan nilai (PPN) alas pupuk, dan biaya
pengangkutanJ distribusi untuk setiap volume dan jenis pupuk yang mendapat subsidi. Faktor
lain yang berpengaruh dalam penyediaan subsidi pupuk di antaranya meliputi kebijaksanaan
penghapusan subsidi untuk beberapa jenis pupuk tertentu, dan perlu diakomodasikannya subsidi
gas yang digunakan dalam proses produksi pupuk, yang sebelumnya diperhitungkan secara
langsung dalam penerimaan migas oleh Pertamina.
Dengan berbagai faktor dimaksud, terntama kebijakan penghapusan subsidi untukj jenis-
jenis pupuk tertentu melalui penyesuaian harganya, dalam Repelita VI sampai dengan tahun
keempat realisasi subsidi pupuk dapat ditekan hingga menjadi sekitar I persen dari jumlah
pengeluaran pembangunan, kecuali pada tahun pertama Repelita VI yang meningkat cukup
tinggi sebagai akibat adanya kebijaksanaan pelunasan atas semua beban tagihan subsidi pupuk
dalam beberapa tahun anggaran sebelumnya. Hal ini sangat membantu upaya meningkatkan
daya guna dan hasil guna pengeluaran pembangunan untuk dialokasikan kepada berbagai
proyek lainnya yang berprioritas lebih tinggi.
Sekalipun demikian, sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang terus memburuk
akibat krisis ekonomi, dalam tahun terakhir Repelita VI alokasi anggaran bagi subsidi pupuk
.mengalami peningkatan yang cukup tajam, hingga menyerap 2,3 persen dari jumlah anggaran
pembangunan rupiah. Hal ini tidak dapat dihindari, karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika telah mengakibatkan munculnya subsidi atas selisih kurs dalam komponen harga
pupuk yang diimpor, dan membengkaknya beban subsidi gas bagi produsen pupuk mengingat
strbsidi harga gas per unit diperhitungkan dengan mata.uang dolar Amerika. Selain itu, dalam
rangka menopang program ketahanan pangan nasional (food security), dipanuang perlu
disediakan kembali subsidi bagi jenis pupuk SP-36, ZA dan KCI yang digunakan oleh sebagian
besar petani yang sebelumnya telah dihapuskan.
Seperti halnya pada subsidi pupuk, alokasi anggaran pembangunan qntuk PMP juga
sangat dibatasi, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana negara. Dengan
dernikian, selama Repelita VI, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk PMP menunjukkan
tendensi yang terus menurun, kecuali dalam tahun ketiga Repelita VI realisasi PMP mengalami
peningkatan yang cukup tinggi akibat adanya pengalihan pinjaman IPTN Dari dana reboisasi
menjadi penyertaan modal pemerintah, dan diperlukannya tambahan modal bagi beberapa
BUMN sektor perbankan dalam rangka pemenuhan rasio kecukupan modal (capital adequacy
ratio, CAR). Di luar kebutuhan tersebut, alokasi anggaran PMP bagi berbagai BUMN dilakukan
secara hati-hati dan sangat selektif, hanya untuk BUMN strategis yang benar-benar dalam
kondisi kekurangan modal, yaitu untuk perluasan skala usaha, maupun karena kondisinya yang
kritis, sehingga dipanuang perlu memperoleh suntikan dana. Di samping itu, alokasi dana PMP
juga digunakan untuk kontribusi pemerintah kepada berbagai lembaga internasional, seperti
OPEC Funds, Asian Development Bank (ADB), International Rubber Organisation (INRO),
International Finance Corporation (IFC) dan Global Environtment Facilities (GEF). Dalam
tahun terakhir Repelita VI, anggaran PMP digunakan untuk tambahan modal bagi beberapa
BUMN industri strategis, Perum Perumnas dalam rangka penyediaan perumahan rakyat, dan PT
Bank Mandiri untuk memenuhi rasio kecukupan modal dalam rangka restrukturisasi perbankan.
Sejalan dengan kebijakan pembatasan alokasi dana bagi subsidi pupuk dan PMP,
penggunaan anggaran bagi LLP juga diupayakan seefisien dan seminimal mungkin, yaitu hanya
untuk berbagai macam proyek strategis lintas sektoral dan atau interdepartemental yang karena
sifat atau misi strategisnya dipanuang perlu memperoleh tambahan dana dari pemerintah di
samping itu, anggaran bagi LLP juga digunakan untuk mengatasi berbagai peristiwa yang tidak
dapat diprediksi sebelumnya, Namun harus diambil tindakan oleh pemerintah untuk
mengatasinya, seperti adanya bencana alam gempa bumi, kekeringan, dan banjir. Dalam
Repelita VI hingga tahun keempat, alokasi anggaran untuk LLP hanya sekitar 5,6 persen dari
jumlah keseluruhan pembiayaan pembangunan rupiah, yang dimanfaatkan antara lain untuk
mengatasi bencana alam kekeringan di Irian Jaya, pengembangan ekspor, peningkatan sarana
kehidupan beragama, pembinaan dan pengembangan pemuda, serta pengembangan kawasan
khusus. Dalam tahun terakhir Repelita VI, sebagai akibat krisis moneter yang berkembang
menjadi krisis ekonomi yang terus memburuk hingga pertengahan tahun 1998, anggaran bagi
LLP mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini disebabkan oleh perlu ditampungnya
kebutuhan biaya untuk program restrukturisasi perbankan dan subsidi bunga atas berbagai jenis
kredit program, seperti kredit perumahan rakyat (KPR), kredit usaha tani (KUT) dan kredit
koperasi primer untuk anggota PIR- Trans (KKP A PIRTrans), yang mencapai sekitar 87 persen
dari total pengeluaran LLP. Selain itu, juga diperlukan tambahan anggaran untuk memperkuat
program jaring pengaman jaring sosial yang mencapai 8 persen dari jumlah anggaran LLP, di
antaranya untuk proyek padat karya sektor kehutanan, penanggulangan dampak kekeringan dan
masalah ketenagakerjaan, serta pembinaan usaha kecil. Di luar kedua unsur biaya yang timbul
sebagai akibat krisis dimaksud, alokasi dana LLP murni hanya sekitar 5 persen dari total
anggaran LLP.
Anggaran belanja pembangunan yang berasal dari nilai lawan (rupiah) bantuan proyek
dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar
34 persen per tahun, atau berperan sekitar 38 persen rata-rata per tahun dari total anggaran
belanja pembangunan. Dalam tahun terakhir Repelita VI, alokasi anggaran pembangunan yang
berasal dari nilai lawan bantuan proyek meningkat secara tajam mencapai sekitar 70 persen dari
perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan yang sangat besar dari
alokasi pengeluaran tersebut dipengarnhi oleh adanya depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika
yang menyebabkan lebih besarnya nilai lawan bantuan proyek. Demikian pula, alokasi
pemanfaatan anggaran bantuan proyek tersebut juga mengalami perubahan, dari yang semula
terkonsentrasi pada proyek-proyek fisik yang bersifat padat modal (capital intensive) untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi, ke arah proyek-proyek yang bersifat penyelamatan (rescue),
padat karya agar lebih banyak menyerap tenagakerja (labor intensive) dan pemulihan (recovery)
untuk memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat terutama pengusaha kecil dan menengah
di berbagai sektor.
dalam rangka menunjang peningkatan produksi pangan, yang dilaksanakan dengan pola padat
karya, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial.
Semen tara itu, alokasi anggaran untuk sektor pertanian dan kehutanan mengalami
peningkatan sangat tajam, yaitu dari 32 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama
pelaksanaan Repelita VI menjadi lebih dari 193 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada
sektor ini, pengeluaran pembangunan untuk subsektor pertanian meningkat Dari sekitar 15
persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar
177 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk
subsektor pertanian dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 23 persen di antaranya diarahkan
untuk penyediaan bibit unggul, intensifikasi pertanian, dan bantuan sarana produksi lainnya
dalam rangka program jaring pengaman sosial di biuang peningkatan produksi dan ketahanan
pangan (food security). Demikian pula, pengeluaran pembangunan untuk subsektor kehutanan
meningkat dari sekitar 77 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, menjadi lebih dari 825 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada subsektor ini,
keseluruhan anggaran pembangunan rupiah dalam tahun terakhir Repelita VI digunakan untuk
proyek-proyek padat karya guna menciptakan dan memperluas kesempatan kerja yang
sebanyak-banyaknya di sektor kehutanan.
pembangunan rupiah yang diperuntukkan bagi subsektor perumahan dan permukiman dalam
tahun terakhir Repelita VI, sekitar 36 persen di antaranya untuk perbaikan lingkungan
permukiman di daerah kumuh perkotaan, termasuk perbaikan bangunan pasar-pasar tradisional
yang rusak terbakar akibat kerusuhan sosial guna memperlancar kegiatan perdagangan, sebagai
upaya memperkuat jaring pengaman sosial.
Pada biuang pendidikan, anggaran pembangunan meningkat dari sekitar 16 persen rata-
rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 79 persen
dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk biuang
pendidikan dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 99 persen di antaranya ditujukan untuk
penyediaan beasiswa dan bantuan operasional pendidikan guna menunjang kelancaran proses
belajar mengajar sebagai upaya memperkuat jaring pengaman soslal di biuang pendidikan,
terutama untuk mencegah putus sekolah bagi murid dan mahasiswa yang mengalami hambatan
pendanaan pendidikan.
Tabel II.15
I) Realisasi PAN
pada pembiayaan luar negeri (external financing) dalam pengeluaran pembangunan dimaksud
sifatnya sangat sementara untuk memperkuat program jaring pengaman sosial, sebagai upaya
penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat, agar
dapat meminimalisir dampak sosial terutama terhadap sebagian besar kelompok masyarakat
yang sangat rentan terhadap krisis ekonomi. Perkembangan pengeluaran pembangunan
berdasarkan sumber pembiayaan tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam
Tabel 11.17 dan Grafik 11.4.
2.3 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1999/2000
2.3.1 Ringkasan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran
1999/2000 disusun dalam kerangka pelaksanaan agenda reformasi di biuang ekonomi,
sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-Rl Nomor X/MPRl1998 tentang Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara. Sasaran utama kebijakan reformasi pembangunan di biuang ekonomi
adalah menstabilkan dan memperbaiki tatanan ekonomi dan keuangan yang rusak akibat krisis
moneter dan ekonomi, dan sekaligus memutar kembali roda perekonomian nasional.
Krisis moneter, yang menyebar ke seluruh sektor ekonomi dan kemudian berlanjut
dengan krisis kepercayaan terhadap mata uang rupiah serta kinerja dan prospek masa depan
ekonomi nasional yang terjadi selama lebih dari satu tahun terakhir, telah membawa sebagian
besar masyarakat, kembali merasakan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang makin
memprihatinkan. Hal ini ditandai antara lain dengan meningkatnya pengangguran, kelangkaan
barang-barang kebutuhan pokok dan kenaikan harga yang tidak terjangkau daya beli masyarakat
akibat tingginya inflasi, serta menurunnya output nasional dan tingkat pendapatan masyarakat,
yang secara keseluruhan bermuara pada menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan
masyarakat (economic and social welfare) dengan tajam.
Dalam kondisi yang demikian, peranan pemerintah melalui kebijakan anggaran negara,
sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan (social protection) dan memulihkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap
perubahan yang tidak menguntungkan tersebut, agar tidak makin terpuruk akibat krisis. Dalam
konteks kebijakan fiskal, upaya dimaksud dilakukan melalui alokasi dana bagi program jaring
pengaman sosial (social safety net program), serta langkah untuk menstabilkan dan
menggerakkan perekonomian (economic stabilization and recovery) melalui berbagai
pengeluaran yang benar benar efektif memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi
rakyat, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi.
Sekalipun demikian, kebijakan APBN dimaksud sejauh mungkin diusahakan berjalan seiring
dan bersinergi dengan berbagai kebijakan di biuang-biuang lain, seperti kebijakan di biuang
moneter, perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran, nilai tukar dan lalu lintas devisa,
serta kebijakan di sektor riil. Berkaitan dengan itu, perencanaan besaran-besaran penerimaan
dan pengeluaran negara dalam RAPBN 199912000, dilakukan dengan berpedoman pada prinsip
kehati-hatian dan serealistis mungkin. Perencanaan tersebut danasarkan pada penilaian yang
seksama mengenai kondisi terakhir perekonomian dalam negeri dan berbagai faktor ekstemal,
terutama harga minyak dan nilai tukar (kurs) mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dan
kurs rupiah terhadap mata uang regional, serta proyeksi perkembangannya ke depan. Selain itu,
juga mempertimbangkan terakomodasikannya berbagai kebijakan dan sasaran-sasaran program
stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta memperhitungkan kemampuan sumber-sumber
pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri dalam tahun anggaran mendatang.
Kondisi ekonorni dalam negeri yang secara umum, mulai menunjukkan perkembangan
yang semakin baik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN 1999/2000.
Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang
makin stabil ke arah keseimbangan baru yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai
terkendali, dan tingkat bunga yang mulai bergerak turun.
Tabel D.17
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN
1989/1990 - 1998/1999 \)
(dalam mlliar rupiah)
Somber Pembiayaan 4)
Pengeloaran
Tahun
pembangunan Tabongan Penerimaan
pemerintah % pembangunan %
(I) (2) (3) (4) (5) (6)
1) Realisasi PAN
2) APBN PerubahWi (APBN-P)
3) A P B N
4) Tennasl;lk sisa anggaran lebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK)
Tabel D.17
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN,
1989/1990 . 1998/1999 I)
(dalam miliar rupiah)
Somber Pembiayaan 4)
Pengeloaran
Tahon
pembangunan Tabongan Penerimaan
pemerintah % pembangunan %
(I) (2) (3) (4) (5) (6)
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
4) Tennasl,ik sisa anggaran 1ebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK)
Di sisi penerimaan, kecenderungan penurunan harga minyak dan perubahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika akan berpengaruh negatif terhadap sasaran penerimaan rninyak
bumi dan gas a1am (rnigas). Sementara itu, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan
berpengaruh positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilaibarang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn- BM),
serta penerimaan cukai. Sekalipun denrikian, penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan
memperlambat laju peningkatan sasaran penerimaan PPh, khususnya pajak atas penghasilan
yang berasal dari penerimaan bunga deposito. Dernikian pula, apresiasi rupiah akan
berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak ekspor dan penerimaan luar negeri.
Di lain pihak, program privatisasi BUMN akan sangat mempengaruhi sasaran
penerimaan negara bukan pajak (PNBP), mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan
berasal dan hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN relatif cukup besar, yaitu
diperkirakan Rp 13.000,0 miliar (sekitar US$ 1,7 miliar), alan mencapai lebih dari 50 persen
dari total sasaran PNBP.
Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara
adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor alas Crude Palm Oil (CPO) dan
produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor
dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik penerimaannya dalam tahun anggaran berjalan,
mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal dari pungutan alas ekspor komoditi
CPO Dari produk-produk turunannya.
Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin
akan diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRl serta para
pensiunan agar tidak merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban
masyarakat akibat krisis melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis.
Sehubungan dengan itu, dalam tahun anggaran mendatang direncanakan untuk memberikan
kenaikan kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan penerima pensiunan, serta
penyesuaian besarnya tunjangan lauk pauk bagi golongan anggaran tertentu. Demikian pula,
pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), namun dengan perubahan kurs jumlahnya
akan lebih kecil dan tahun sebelumnya. Sementara itu, rencana penundaan (rescheduling)
pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo dalam tahun 1999/2000 sesuai
dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan
dapat menghemat anggaran rutin dalam jumlah yang sangat berarti dalam situasi krisis.
Di biuang pengeluaran pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan memperluas
cakupan program jaring pengaman sosial, prioritas pembiayaan akan diletakkan pada (i) proyek-
proyek prasarana dengan kandungan lokal tinggi dan menyerap tenaga kerja besar, (ii)
perlindungan sosial dasar di biuang pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan proyek sosial
lainnya baik di perdesaaan maupun di perkotaan, (iii) pengembangan usaha kecil dan
menengah, (iv) restrukturisasi sektor perbankan, dan (v) upaya untuk mendorong ekspor.
Program penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud sangat penting dalam rangka
menghidupkan kembali kegiatan perekonomian nasional, mengingat perbankan dan lembaga
keuangan lainnya mempunyai peranan sentral dalam menjalankan fungsi perantara (financial
intermediary function), yaitu menghimpun dana dari sektor yang mengalami surplus (rumah
tangga) dan mengalirkannya kepada sektor yang mengalami defisit (dunia usaha). Di samping
itu, rencana alokasi anggaran pengeluaran pembangunan juga diarahkan untuk merefleksikan
pelaksanaan awal Ketetapan MPR-Rl Nomor XV/MPRlI998 tentan.g Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini dilakukan melalui realokasi anggaran
(switch policy) Dari proyek -proyek sektoral menjadi dana pembangunan daerah, khususnya
bantuan yang bersifat umum (block grant) dalam jumlah yang lebih besar.
Tabel 11.18
PERANAN PENERIMAAN DARI MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
PERPAJAKAN,
DAN BUKAN PAJAK, TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI,
APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam persen)
APBN RAPBN
No. Jenis Penerimaan
1998/1999 1999/2000
(1) (2) (3) (4)
1. Minyak bumi dan gas alam
(migas) 33,3 14,7
2. Penerimaan bukan migas 66,7 85,3
a. Penerimaan perpajakan 48,8 66,7
untuk berperan serta dalam usaha penyediaan BBM. Adapun sasaran yang akan dicapai pada
tahun anggaran 199912000 adalah produksi BBM dan Non-BBM masing-masing 289,97 juta
barel dan 71,87 juta barel, produksi LNG dan LPG masing-masing 34,49 juta ton dan 2,46 juta
ton, serta ekspor LNG dan LPG masing-masing 1,61 juta ton dan 28,87 juta ton.
Berdasar kepada kebijakan dan sasaran di biuang minyak bumi dan gas alam tersebut,
dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan minyak bumi dan gas alam direncanakan
mencapai Rp 20.965,0 miliar atau 57,8 persen lebih rendah dari rencana dalam tahun anggaran
1998/1999. Lebih rendahnya rencana penerimaan minyak bumi dan gas alam tersebut
disebabkan oleh lebih rendahnya penetapan asumsi harga rata-rata minyak bumi serta telah
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Jumlah tersebut terdiri dari penerimaan
minyak bumi Rp 12.443,4 miliar dan penerimaan gas alam Rp 8.521,6 miliar.
2.3.2.2 Penerimaan Perpajakan
Dalam tahun anggaran 1999/2000 berbagai upaya akan tetap dilakukan untuk
mempertahankan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan kegiatan pemerintah. Program
pokok yang masih terus dilaksanakan adalah ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak,
dan penyempumaan sistem administrasi perpajakan. Melalui program ekstensifikasi diharapkan
bahwa penerimaan pajak penghasilan dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah
wajib pajak dan perluasan objek pajak, seuangkan melalui intensifikasi diharapkan adanya
peningkatan penerimaan pajak penghasilan sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran wajib
pajak. Dengan sistem administrasi yang semakin rapi diharapkan bahwa upaya penegakan
hukum dalam pemungutan pajak dapat dilaksanakan sehingga penerimaan pajak dapat
ditingkatkan.
Sementara itu, untuk mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pajak penghasilan
bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1998 tentang Perubahan alas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Bertolak ke Luar Negeri
sebagaimana telah Diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1996. Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah ini dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun
1998 dan Sural Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ .41/1998 tanggal 2 Februari
1998, yaitu mengubah nilai fiskal luar negeri yang semula Rp 250.000,00 menjadi Rp
1.000.000,00 bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan
pesawat udara.
2.3.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM)
Sebagai pajak tidak langsung, yang menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM), dikenakan atas konsumsi dalam negeri, penerimaan PPN dan PPnBM
tergantung pada perkembangan nilai konsumsi dalam negeri, khususnya untuk barang-barang
konsumsi yang atas transaksinya terutang PPN dan PPnBM. Konsekuensinya, penerimaan jenis
pajak ini berkaitan erat dengan kondisi berbagai variabel ekonomi yang menentukan tingkat
konsumsi dalam negeri, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang secara
bersama-sama menentukan besarnya nilai pendapatan masyarakat di dalam negeri. Di samping
itu, nilai tukar rupiah terhadap valuta asing juga menentukan besarnya konsumsi dalam negeri
alas berbagai barang yang diimpor Dari luar negeri. Masing-masing faktor tersebut dapat
mempengaruhi penerimaan PPN dan PPnBM dengan ukuran dan arah yang berbeda-beda, baik
antarwaktu, antarkegiatan ekonomi, maupun antarjenis usaha. Selanjutnya, dalam tahun
anggaran 1999/2000 kondisi ekonomi diperkirakan akan menjadi lebih baik dari kondisinya
dalam tahun anggaran 1998/1999 yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya tingkat inflasi, lebih
kuatnya nilai tukar rupiah, dan lebih tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Perkembangan
tersebut diharapkan dapat mendorong naiknya tingkat konsumsi dalam negeri, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM.
Selain itu, penerimaan PPN dan PPnBM berkembang sejalan dengan ditempuhnya
berbagai kebijaksanaan yang diambil seperti perluasan objek pajak dan jumlah pengusaha kena
pajak (PKP). Sejalan dengan itu, di biuang pengawasan akan diupayakan peningkatan
efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap pengusaha kena pajak, dan
pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dan data PPh. Kebijaksanaan tersebut juga
danukung oleh upaya peningkatan kerjasama dengan instansi lain, dan pencabutan serta
penghapusan fasilitas di biuang perpajakan atas barang kena pajak dan jasa kena pajak tertentu,
seperti impor mobil untuk taksi dan impor barang modal untuk usaha listrik swasta. Di lain
pihak, kebijaksanaan di biuang PPN dan PPnBM diarahkan pula untuk merangsang
berkembangnya kegiatan ekonomi dalam bentuk pemberian berbagai fasilitas di biuang PPN
dan PPnBM seperti untuk impor pakan ternak, impor suku cauang mobil, serta penyerahan
barang/jasa yang berkaitan dengan kegiatan investasi di kawasan pengembangan ekonomi
terpadu (KAPET).
Berdasarkan perkembangan kondisi ekonomi serta berbagai kebijaksanaan yang akan
ditempuh tersebut, penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1999/2000
direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar yang berarti Rp 5.657,4 miliar lebih tinggi dari
APBN 1998/1999.
2.3.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(PBB dan BPHTB)
Sebagai sumber penerimaan pemerintah pusat yang penggunaannya langsung
dialokasikan kepada daerah, pajak bumi dan bangunan telah selaras dengan salah satu agenda
reformasi di biuang ekonomi, khususnya yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan, pembagian, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 ten tang Perubahan atas Undang-undang Nomor
12 Tahun 1985, ditetapkan bahwa tarif PBB adalah 0,5 persen dengan ni1ai jual kena pajak 20
persen. Sementara itu, khusus untuk sektor perkebunan dan perhutanan serta perumahan mewah
yang dipakai pribadi yang bernilai lebih Dari Rp 1.000.000.000,00 diberlakukan nilai jual kena
pajak 40 persen.
Di samping terus dilakukan penyempurnaan berbagai kebijaksanaan di biuang pajak
bumi dan bangunan, sejak 1 Iuli 1998 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB adalah sejenis
pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi
pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang tersebut diatur bahwa tarifnya
adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, dan atas setiap objek pajak diberikan nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) Rp 30.000.000,00.
Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar, yang berarti
4,8 persen lebih rendah dari APBN 199811999;- Penurunan tersebut berkaitan dengan masih
lesunya kegiatan di sektor properti yang diperkirakan masih akan berlanjut dalam tahun
anggaran 1999/2000. Dengan rencana tersebut, peranan penerimaan PBB dan BPHTB terhadap
penerimaan perpajakan meneapai 3,4 persen. Sasaran penerimaan tersebut diharapkan dapat
tercapai melalui upaya-upaya pemutakhiran data subjek dan objek pajak, peningkatan jumlah
wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak, serta peningkatan penegakan hukum. Di
samping itu akan terus dilakukan peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui kegiatan
penagihan, pengembangan sistem administrasi pajak bumi dan bangunan melalui sistem
informasi objek pajak, serta peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah, Badan
Pertanahan Nasional dan notaris, serta pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Sehubungan dengan itu, penerimaan pajak lainnya dalam tahun anggaran 1999/2000
diperkirakan meneapai Rp 564,5 miliar, yang berarti 4,5 persen lebih tinggi dari rencananya
dalam APBN 1998/1999. Untuk lebih menjamin tercapainya sasaran tersebut, ditempuh upaya
peningkatan pengawasan alas pemakaian benda-benda meterai, mesin teraan meterai, dan
peneetakan tanda lunas bea meterai. Selain itu juga diupayakan peningkatan upaya pencegahan
beredarnya meterai tempel palsu.
2.3.2.2.5 Bea Masuk
tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga mampu mengatasi beban kerja yang besar
sekaligus dapat meningkatkan produktivitas. Pemakaian sistem ini diperlukan mengingat
perkembangan perdagangan internasional yang semakin pesat menuntut kecepatan arus lain
lintas informasi data kepabeanan yang pada gilirannya diharapkan memperlancar arus barang di
pelabuhan, baik untuk barang ekspor maupun impor.
Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan bea masuk direncanakan akan mencapai
Rp 2.950,3 miliar, berarti 46,3 persen lebih rendah dari APBN tahun anggaran sebelumnya.
Meskipun demikian, upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan bea masuk terus dilakukan,
antara lain dengan terus mengintensifkan pengawasan dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan penyelundupan.
2.3.2.2.6 Cukai
Dalam tahun anggaran 1999/2000, peran penerimaan cukai bagi penerimaan dalam
negeri masih sangat diperlukan. Sampai saat ini, lebih Dari 96 persen penerimaan cukai berasal
dari cukai hasil tembakau, seuangkan sisanya berasal dari cukai 1ainnya. Penerimaan cukai hasil
tembakau dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tarif cukai, harga jual eceran (HJE) produk
hasil tembakau dan volume produksi dari masing-masing produsen hasil tembakau.
Kebijaksanaan cukai hasil tembakau diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118
Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang kemudian
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan berupa Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55 Tahun 1998
tentang Perubahan Pasal4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal6 Ayat (1) dan Ayat (2)
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 ten tang Harga Jua1 Eceran
Tembakau yang berlaku mulai 1 Oktober 1998.
Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998
tentang Penetapan Tarif Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih.Mesin. Keputusan
tersebut dikeluarkan sehubungan dengan adanya sistem tarif yang berlaku dan juga akibat
adanya gejolak perekonomian dewasa ini, sehingga pengusaha hasil tembakau jenis sigaret putih
mesin (SPM) dengan harga jual tertentu mengalami kenaikan beban tarif yang cukup besar
secara mendadak. Sehubungan dengan itu, untuk menghindari terhambatnya produksi hasil
tembakau dan persaingan yang kurang sehat, maka tarif SPM dinaikkan sebesar dua persen
untuk setiap kenaikan satu tingkat golongan tarif cukai yang lebih tinggi.
Selanjutnya, untuk barang kena cukai yang dipergunakan sebagai bahan baku alan bahan
penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dinyatakan
tidak dipungut cukai. Pelaksanaan tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
242 Tahun 1996 tentang Tidak Dipungut Cukai. Dengan ketentuan tersebut maka untuk etil
alkohol, rninuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau, yang digunakan sebagai
bahan baku dan penolong tidak dipungut cukai. Pelaksanaan di lapangan dari ketentuan tersebut
lebih lanjut diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 32 Tahun 1998
tentang Penggunaan Etil Alkohol Sebagai Bahan Baku/Penolong Dalam Pembuatan Minuman
Mengandung Etil Alkohol dan Hasil Tembakau Dengan Posilitas Tidak Dipungut Cukai. Di
biuang pembebasan cukai etil alkohol telah diberlakukan surat edaran Direktur Jenderal Bea dan
Cukai Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Cukai Etil Alkohol.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, kebijaksanaan yang ditempuh
adalah melakukan pemberantasan peredaran pita cukai palsu dan pemberantasan penjualan atas
barang kena cukai yang dibebaskan tidak dipungut cukai dan keringanan alas barang kena cukai,
dan peningkatan kegiatan pemeriksaan yang efektif dan efisien.
adanya perubahan harga jual eceran hasil tembakau yang diperkirakan akan mampu mendorong
Jenis penerimaan ini.
(pajak) ekspor untuk kelapa sawit dan produk turunannya, diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 334 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Ke1apa
Sawit, Minyak Sawit, Minyak Ke1apa, dan Produk Turunannya. Da1am kebijaksanaan tersebut
besarnya tarif pajak ekspor untuk ke1apa sawit dan produk turunannya rata-rata mengalami
peningkatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam
negeri. Kebijaksanaan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong ekspor nonmigas khususnya
untuk meningkatkan ekspor barang jadi yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi.
Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pungutan (pajak) ekspor direncanakan
dapat mencapai Rp 2.594,5 rniliar, yang berarti 175,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
APBN tahun sebelumnya.
nasional seperti sekarang ini, maka penerimaan negara bukan pajak tahun anggaran 199912000
direncanakan Rp 26.499,1 rniliar atau 0,6 persen lebih rendah dari yang direncanakan dalam
APBN 1998/1999. Penerimaan tersebut direncanakan akan berasal dari penerimaan
departemen/lembaga pemerintah nondepartemenRp 9.499,1 miliar, dan
penerimaanyangmerupakan bagian pemerintah atas laba BUMN Rp 4.000 rniliar, serta
privatisasi Rp 13.000,0 miliar. Selanjutnya rincian penerimaan dalam negeri dalam APBN
1998/1999 dan RAPBN 1999/2000 dapat dilihat dalam Tabe! II.19.
baru yang telah selesai negosiasinya dan dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri yang
telah ditandatangani.
Tabel 11.19
Pinjaman program dan pinjaman proyek yang dicatat sebagai penerimaan luar negeri
dalam tahun anggaran 199912000 direncanakan Rp 77 .400,0 miliar, yang berarti 32,5 persen
lebih rendah dari rencana dalam APBN tahun anggaran 1998/1999. Penerimaan tersebut terdiri
dari pinjaman program Rp 47.400,0 miliar dan pinjaman proyek Rp 30.000,0 miliar.
Sementara itu, terjadinya krisis ekonomi yang dipicu oleh depresiasi rupiah yang sangat
tajam terhadap dolar Amerika sejak pertengahan tahun 1997, telah memberikan dampak yang
kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional, dan anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Hal ini tercermin Dari semakin beratnya upaya menghimpun pendapatan
negara untuk membiayai anggaran belanja negara. Terjadinya depresiasi rupiah telah
menyebabkan membengkaknya beban belanja rutin yang mengandung komponen valuta asing,
terutama pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dan subsidi BBM yang merupakan
pos pengeluaran yang cukup besar. Selain itu, depresiasi rupiah telah memberikan tekanan
terhadap harga-harga, khususnya harga berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga
di samping mendorong meningkatnya laju inflasi juga perlu disediakan tambahan anggaran
untuk menampung berbagai jenis subsidi, di antaranya subsidi bahan pangan, obat-obatan, dan
listrik.
pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen LPND ditetapkan berdasarkan skala prioritas
kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan.
Sementara itu, untuk belanja rutin daerah dalam RAPBN 1999/2000 disediakan
anggaran belanja rutin Rp 19.497,6 miliar, atau 46,7 persen lebih tinggi dibanding anggaran
yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Penyediaan anggaran yang sebelumnya dikenal
sebagai subsidi daerah otonom tersebut diarahkan untuk mendukung kegiatan operasional
pemerintahan dan pembangunan di daerah, terutama dalam memberikan pelayanan umum dan
pengembangan perekonomian daerah. Belanja rutin daerah dialokasikan untuk belanja pegawai
daerah dan belanja nonpegawai daerah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya anggaran belanja rutin dalam RAPBN
1999/2000 adalah penyediaan anggaran untuk pembayaran hutang negara, terutama untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Kewajiban tersebut
timbul sebagai akibat dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri pada masa lampau, yang
jatuh tempo pembayarannya terjadi dalam tahun anggaran 199912000. Besarnya anggaran yang
direncanakan untuk pembayaran hutang luar negeri Rp 44.430,8 miliar, atau 30,9 persen lebih
rendah apabila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan pada tahun anggaran
sebelumnya. Anggaran belanja tersebut terdiri dari pembayaran cicilan pokok Rp 23.904,8
miliar, dan pembayaran bunga Rp 20.526,0 miliar. Penurunan anggaran tersebut terutama
berkaitan dengan penundaan (rescheduling) atas sebagian pembayaran kewajiban cicilan pokok
pinjaman luar negeri, khususnya untuk pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Penundaan
pembayaran cicilan pokok pinjaman tersebut dilakukan atas persetujuan negara-negara donor
yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk meringankan beban anggaran, dan sekaligus untuk mendukung pemulihan perekonomian
nasional.
Selanjutnya, untuk pos pembiayaan pengeluaran rutin lainnya dalam tahun anggaran
1999/2000 disediakan anggaran Rp 28.238,9 miliar, atau 49,1 persen lebih rendah dibanding
dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan
untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi non-BBM, dan lain-lain. Lebih rendahnya
penyediaan anggaran tersebut antara lain berkaitan dengan dihapuskannya subsidi BBM jenis
avtur dan avigas, serta subsidi beberapa jenis bahan pangan
Penyediaan anggaran subsidi BBM terutama danasarkan pertimbangan bahwa sebagai
kebutuhan pokok masyarakat yang strategis, pemerintah sangat berkepentingan terhadap
terpeliharanya kestabilan harga BBM di dalam negeri, mengingat berdasarkan pengalaman
setiap perubahan harga BBM senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan laju inflasi. Oleh
karena itu, dalam penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri harus senantiasa dilakukan
dengan hati-hati, melalui pertimbangan aspek ekonomis dan nonekonomis, agar dampak
negatifnya terhadap stabilitas ekonomi dapat diminimalkan. Dalam tahun anggaran 1999/2000,
anggaran subsidi BBM direncanakan Rp 9.985,8 miliar, atau 63,7 persen lebih rendah dibanding
dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan
anggaran tersebut berkaitan dengan lebih rendahnya asumsi harga rata-rata minyak mentah, dan
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dibandingkan dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN 1998/1999.
Sementara itu untuk subsidi non-BBM direncanakan Rp 14.334,0 miliar, atau 43,1
persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999.
Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk subsidi beras, listrik, dan obat-obatan.
Seuangkan untuk pos lain-lain disediakan anggaran Rp 3.919,1 millar, atau 42,8 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih
laju inflasi.
Tabel 11.20
(PNBP).
Selanjutnya, dalam program stabilisasi ekonomi dan keuangan, anggaran tersebut antara
lain diarahkan untuk mendukung pembiayaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pembinaan dan pengawasan pasar modal, kegiatan penyusunan dan analisis anggaran
pendapatan dan belanja negara, analisis moneter, analisis keuangan daerah, pengkajian ekonomi
dan keuangan negara, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kemudahan
ekspor dan pengolahan data keuangan negara. Dalam program pembinaan efisiensi pengeluaran
negara antara lain digunakan untuk kegiatan administrasi umum, kegiatan tata laksana dan tata
usaha anggaran belanja negara, serta penyelenggaraan perbendaharaan dan kas negara. Dalam
program pembinaan akuntansi keuangan negara dan program pembinaan dan pengembangan
badan usaha milik negara, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk pembinaan
akuntansi keuangan negara dan inventarisasi kekayaan milik negara, serta pembinaan badan-
badan usaha milik negara.
Seuangkan anggaran belanja rutin subsektor koperasi dan pengusaha kecil, diarahkan
penggunaannya untuk pelaksanaan pembinaan berbagai jenis program dan kegiatan yang
berkaitan dengan usaha memperkuat struktur perkoperasian dan usaha kecil. Program tersebut
antara lain meliputi pembinaan organisasi dan kelembagaan, peningkatan kemampuan sumber
daya, kewirausahaan, dan kemampuan manajerial, dalam upaya meningkatkan profesionalisme
dan ketangguhan dalam menjalankan usahanya, serta untuk meningkatkan kemampuan koperasi
dan pengusaha kecil melakukan persaingan usaha dan perluasan pasar. Di samping itu,
anggaran tersebut juga digunakan bagi pengembangan dan penyebarluasan informasi
perkoperasian, serta pengembangan pola dan perangkat pembinaan koperasi.
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan operasional pemerintahan daerah, serta
menunjang pelaksanaan pembinaan berbagai program di biuang transmigrasi, dalam RAPBN
1999/2000 sektor pembangunan daerah dan transmigrasi disediakan anggaran belanja rutin Rp
19.749,0 miliar, atau 46,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam dua subsektor, yaitu
subsektor pembangunan daerah Rp 19.647,8 miliar, serta subsektor transmigrasi dan
pemukiman perambah hutan Rp 101,2 miliar.
Dalam subsektor pembangunan daerah, sebagian besar anggaran tersebut, yaitu Rp
18.696,8 miliar disediakan untuk mendukung pembiayaan aparatur pemerintah daerah.
Seuangkan sisanya digunakan untuk menampung beberapa jenis pembiayaan, yang antara lain
meliputi bantuan pembiayaan penyelenggaraan sekolah dasar (SD) negeri, subsidi/bantuan biaya
operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), dan subsidi/bantuan biaya operasional
dan pemeliharaan objet pariwisata daerah. Bantuan pembiayaan penyelenggaraan SD negeri
diarahkan untuk pengadaan berbagai kebutuhan sekolah dasar, seperti kebutuhan tata usaha
sekolah, kebutuhan peralatan belajar dan mengajar, serta biaya pemeliharaan gedung sekolah. Di
samping itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk biaya penyelenggaraan evaluasi belajar
tahap akhir (EBTA) dan biaya pengganti pungutan sumbangan penyelenggaraan pendidikan
(SPP) sekolah dasar (SD) negeri. Pembiayaan SBBO-RSUD dimanfaatkan bagi pemeliharaan
operasional dan pemeliharaan rumah sakit, termasuk langganan daya dan jasa, serta pengadaan
berbagai kebutuhan rumah sakit lainnya. Seuangkan biaya operasional dan pemeliharaan objek
pariwisata daerah antara lain ditujukan untuk biaya pemeliharaan, pengembangan, dan
penganekaragaman berbagai objek wisata daerah, sehingga diharapkan dapat mengembangkan
kegiatan perekonomian daerah, perluasan kesempatan kerja dan perkembangan dunia usaha di
biuang kepariwisataan. Selain itu, penyediaan anggaran subsektor pembangunan daerah juga
menampung jenis pembiayaan lain, yang bertujuan membantu penyelenggaraan urusan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan Dari pemerintah pusat kepada daerah tingkat I, daerah
tingkat II, kotamadya, kota administratif, serta kecamatan.
Sementara itu, anggaran belanja rutin subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah
hutan diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan berbagai program selaras dengan Unuang-
unuang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Anggaran tersebut antara lain
digunakan untuk pelaksanaan program pembinaan dan pelaksanaan koordinasi penyusunan dan
pelaksanaan persiapan pemukiman transmigrasi, serta penyelenggaraan pelatihan para
transmigran dan masyarakat perambah hutan. Pembiayaan tersebut juga digunakan untuk
membiayai pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyiapan lahan dan sarana
permukiman transmigran baru, biaya pendaftaran, seleksi, biaya pengangkutan, penempatan dan
pembinaan calon transmigran, serta kegiatan pengembangan dan pemantapan usaha di lokasi-
lokasi permukiman transmigran. Selain itu, pembiayaan tersebut juga diarahkan untuk
mendukung pelaksanaan penataan pemukiman dan pembinaan perambah hutan, dalam rangka
pelestarian alam dan lingkungan hidup.
Terpeliharanya keamanan dan ketertiban negara merupakan faktor yang hakiki di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini, tugas dan fungsi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki arti yang sangat strategis, yaitu di samping
peranannya dalam menjaga kedaulatan negara, juga memiliki peranan strategis dalam menjaga
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas tersebut,
sektor pertahanan dan keamanan dalam RAPBN 199972000 disediakan anggaran belanja rutin
Rp 9.909,7 miliar, alan 30,1 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam subsektor ABRI Rp 9.695,1
miliar, dan subsektor pendukung Rp 214,6 miliar. Pemanfaatan anggaran belanja tersebut
diprioritaskan untuk pemeliharaan peralatan tempur beserta sarana pendukungnya, pengadaan
sarana penunjang untuk mendukung modernisasi dan peningkatan profesionalisme prajurit
ABRI, pengadaan perbekalan dan suku cauang, termasuk biaya pemeliharaan gedung, asrama,
dan rumah dinas di lingkungan ABRI.
Dalam subsektor ABRI, program yang dibiayai melalui anggaran tersebut antara lain
meliputi program pembinaan teritorial, program bala pertahanan keamanan wilayah, program
bala pertahanan keamanan pusat, program intelijen dan strategis, program dukungan
administrasi, serta program survei dan pemetaan. Seuangkan anggaran subsektor pendukung
diarahkan bagi pembiayaan beberapa program yang bersifat nonfisik, yang meliputi pembinaan
sumber daya dan pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi di biuang pertahanan dan
keamanan, pembinaan hukum dan perUndang-undangan, serta pembinaan kerjasama
internasional.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya pada setiap lembaga kenegaraan, aparatur negara
memiliki peranan yang strategis dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
mengingat bahwa aparatur negara tidak hanya berperan di dalam pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan, namun juga berperan sebagai pendorong dan pemberi arah
terhadap jalannya roda pemerintahan. Untuk mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan di
biuang pembinaan aparatur negara, sektor aparatur negara dan pengawasan dalam tahun
anggaran 1999/2000 mendapatkan alokasi anggaran belanja rutin Rp 6.423,8 miliar, atau
meningkat 22,6 persen dibandingkan dengan yang disediakan dalam APBN tahun anggaran
sebelumnya. Pembiayaan tersebut akan dialokasikan ke dalam subsektor aparatur negara Rp
6,035,9 miliar, serta subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan Rp 387,9
miliar.
Sebagai salah satu wahana utama dalam pengembangan sumber daya manusia,
pembinaan sektor pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan strategis, terutama di dalam
usaha meningkatkan keterampilan, kecerdasan, serta pembentukan kepribadian bangsa yang
tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Dalam RAPBN
1999/2000, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, pemuda dan olah raga disediakan anggaran belanja rutin Rp 6.045,2 miliar, atau 27,5persen
lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran
tersebut dialokasikan masing-masing untuk subsektor pendidikan Rp 5.448,4 miliar, subsektor
pendidikan luar sekolah dari kedinasan Rp 471,0 miliar, subsektor kebudayaan nasional dari
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Rp 114,1 miliar, serta subsektor pemuda dan olah
raga Rp 11,7 miliar.
Sementara itu, penyediaan anggaran rutin dalam subsektor kebudayaan nasional dari
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha memelihara nilai budaya bangsa, menumbuhkan
sikap tanggungjawab sosial dari disiplin nasional, yang sekaligus sebagai upaya
untukmemperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai program dan kegiatan yang
dibiayai dengan anggaran tersebut antara lain meliputi pembinaan teknis administrasi,
pembinaan kebudayaan, pembinaan museum, pembinaan bahasa nasional, upaya peningkatan
kualitas dan kuantitas bahan pustaka, serta pelaksanaan kegiatan penelitian di biuang arkeologi.
Seuangkan dalam subsektor pemuda dan olah raga, anggaran tersebut direncanakan untuk
membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program pembinaan
kepemudaan dan kepramukaan, serta berbagai kegiatan di biuang pembinaan keolahragaan.
Di samping kelima sektor tersebut, beberapa sektor lain juga direncanakan mendapatkan
alokasi anggaran belanja rutin yang cukup besar. Sektor-sektor dimaksud adalah sektor politik,
hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa; sektor agama; sektor hukum;
sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja; serta sektor pertanian
dan kehutanan.
Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha, termasuk pembinaan perpustakaan pada
berbagai rumah ibadah. Selanjutnya, anggaran tersebut juga untuk menampung pelaksanaan
pelayanan dan bimbingan kegiatan kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, pemberian
bimbingan kepada para mubaligh, khatib, dan bagi penyuluh agama lainnya, serta
penyelenggaraan kegiatan penerangan agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan
Budha.
Seuangkan dalam subsektor pembinaan pendidikan agama, anggaran tersebut
diarahkan penggunaannya bagi pelaksanaan berbagai program yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan agama, seperti penyelenggaraan perguruan tinggi agama Islam,
pendidikan guru agama Kristen, dan pendidikan guru agama Hindu. Selain itu, anggaran
tersebut juga digunakan untuk biaya pengganti sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)
perguruan madrasah dan tsanawiyah negeri, sehubungan dengan pelaksanaan program
pendidikan dasar sembilan tahun.
serta perkara penyelundupan dan perkara pelanggaran wilayah. Selanjutnya, untuk memberikan
perlindungan hak milik intelektual, anggaran tersebut digunakan untuk pembinaan hak cipta,
merek dan paten, agar berbagai merek perusahaan dan pemegang hak paten yang telah
danaftarkan, mendapatkan jarninan perlindungan hukum terhadap kemungkinan
penyalahgunaan oleh pihak lain. Selain itu, pembiayaan subsektor tersebut juga digunakan
untuk pelaksanaan pembinaan masyarakat, penyelenggaraan bimbingan kemasyarakatan dan
pengentasan anak (Bispa), pembinaan kegiatan pemasyarakatan, serta penyelenggaraan berbagai
kegiatan di biuang keirnigrasian.
melalui pembiayaan tersebut juga akan dilaksanakan kegiatan pembinaan dan pemberian
pelayanan terhadap para tuna sosial (gelanuangan dan pengemis), korban bencana alam,
penderita cacat, anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, fakir miskin, dan suku
terasing.
Krisis tersebut telah mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat serta telah
mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Dalam kaitannya dengan upaya untuk
mengurangi berbagai dampak dimaksud, terutama yang memberatkan rakyat banyak,
Pemerintah mengalokasikan dana subsidi khususnya yang berkaitan dengan penyediaan
beberapa barang kebutuhan masyarakat, seperti bahan bakar minyak, penyediaan pangan, listrik
dan obat-obatan. Berbagai bentuk subsidi tersebut merupakan komponen yang cukup besar dari
pengeluaran rutin dalatn tahun anggaran 1999/2000. Di pihak lain, upaya penjadwalan atas
cicilan pokok hutang luar negeri, serta upaya efisiensi di biuang pengeluaran rutin, diharapkan
akan menurunkan pengeluaran rutin. Sementara itu berbagai upaya dalam peningkatan
penerimaan dalam negeri, terutama dari sektor perpajakan diharapkan akan mampu
meningkatkan penerimaan dalam negeri bukan migas. Berdasar berbagai perkembangan atas
kebijakan yang ditempuh di biuang penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin tersebut,
maka dalam tahun anggaranl999/2000 direncanakan tabungan pemerintah mencapai Rp 5.048,3
miliar.
Tabel 11.21
ANGGARAN BELANJA RUTIN MENURUT SEKTOR DAN
SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)
RAPBN
Nomor APBN % thd.
SektorlSubsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)
Dari Daerah Dalam Rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan ketiga perlunya
keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dari dukungan bagi
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup usaha kecil, menengah, dari koperasi sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional seperti digariskan dalam Ketetapan MPR-RI
Nomor XVIIMPRl1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Peran baru daerah dimaksud akan memungkinkan pemerintah daerah, selain menjadi
lebih akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, juga semakin responsif
dalam memenuhi kebutuhan yang menjadi prioritas masyarakat tanpa perlu dihadapkan pada
jalur birokrasi yang panjang. Di samping itu, mengingat pemerintah daerah dipanuang lebih
memaharni kondisi ekonomi di daerahnya, maka identifikasi permasalahan dan penyusunan
rencana pembangunan akan menjadi lebih akurat, dan pelaksanaannya dapat diselaraskan
dengan pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Demikian
pula, mengingat pemerintah daerah juga dinilai lebih memahami karakteristik sosial dari budaya
masyarakat, maka cara yang digunakan dalam pendekatan pembangunan dapat lebih disesuaikan
dengan kondisi masyarakat setempat, sehingga pencapaian sasaran dapat lebih efektif.
Dari volume anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1999/2000 di atas, alokasi
pembiayaan pembangunan rupiah dianggarkan Rp 52.448,3 miliar, atau 0,6 persen lebih tinggi
dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Peningkatan alokasi
pengeluaran pembangunan rupiah tersebut diperlukan untuk tetap mempertahankan upaya
memperkuat jaring pengaman sosial sebagai sarana dalam membantu meringankan beban
masyarakat akibat krisis, terutama memberikan perhatian yang lebih besar pada program
pemberdayaan (empowering) us aha kecil, menengah dan koperasi, sebagai andalan dalam
membantu memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat, serta menunjang program
penyehatan dan restrukturisasi perbankan agar dapat segera memulihkan fungsinya dalam
mempercepat proses pemulihan kondisi perekonomian nasional. Anggaran tersebut akan
dialokasikan untuk proyek-proyek sektoral yang tersebar di berbagai departemen/lembaga,
proyek-proyek pembangunan daerah, serta proyek-proyek strategis atau bersifat lintas sektoral
pada pembiayaan pembangunan lainnya.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, proporsi alokasi anggaran pembangunan bagi daerah
dalam tahun anggaran mendatang lebih diperbesar, seuangkan untuk memberikan aksentuasi
kuatnya komitmen Pemerintah pusat terhadap pemberdayaan daerah dalam RAPBN 199912000
dilakukan perubahan penggunaan nomenklatur (istilah) dari "bantuan pembangunan daerah
(proyek Inpres)" menjadi "dana pembangunan daerah". Selain itu, sekaligus juga dilakukan
pengelompokan kembali (reklasifikasi) dana pembangunan daerah bagi proyek-proyek yang
bersifat khusus (specific grant) menjadi dana pembangunan yang bersifat umum (block grant)
atau yang bersifat specific block grant. Dalam hubungan ini, dana pembangunan desa tertinggal
yang dirancang untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, baik di desa-desa miskin maupun
di luar desa miskin diintergrasikan ke dalam dana pembangunan desa. Sementara itu, sebagian
dari dana pembangunan sekolah dasar (SD), dan dana pembangunan sarana kesehatan
diintegrasikan ke dalam dana pembangunan propinsi dan dana pembangunan kabupaten/kota,
seuangkan dana pembangunan bagi program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS)
digabung ke dalam program peduasan jaring pengaman sosial, dengan nama baru dana jaring
pengaman sosial (JPS) dari pemberdayaan masyarakat.
10,0 juta, terdiri dari dana pelayanan masyarakat Rp 8,0 juta, dan dana pembinaan kesejahteraan
keluarga (PKK), anak dan remaja Rp 2,0 juta. Dana pembangunan desa ditujukan untuk
meningkatkan sarana pelayanan umum dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat
perdesaan, terutama penyediaan sarana pelayanan bagi aparatur, pembinaan masyarakat,
dukungan kegiatan wanita melalui PKK, serta pembinaan anak dan remaja. Sementara itu, dana
pembinaan desa dialokasikan masing-masing untuk tingkat propinsi Rp 150 ribu per desa kali
jumlah desa di propihsi bersangkutan, tingkat kabupaten/kota Rp 300 ribu per desa kali jumlah
desa di kabupaten/kota bersangkutan, dan tingkat kecamatan Rp 1,3 juta per desa kali jumlah
desa di kecamatan bersangkutan. Selain itu, untuk kecamatan yang mempunyai desa terpencil
juga memperoleh alokasi tambah ulang dana pembinaan Rp 400 ribu untuk tiap desa terpencil.
sebelumnya), seuangkan bagi daerah-daerah yang berkepulauan juga disediakan alokasi dana
(menurut kondisi geografi) Rp 7,5 juta per pulau. Dalam rangka perimbangan keuangan yang
lebih proporsional antardaerah, dalam perhitungan alokasi dana per kabupaten/kota tersebut,
juga dimasukkan kriteria baru tingkat pendapatan daerah. Dalam tahun anggaran mendatang,
dana yang dialokasikan menurut kriteria tingkat pendapatan daerah mencapai Rp 310,3 miliar.
Dana tersebut akan diberikan kepada daerah sebagai penyeimbang untuk mencapai rata-rata
maksimum pendapatan asli daerah (PAD).
Sementara itu, dana khusus (specific block grant) yang dialokasikan bagi daerah
meliputi (a) dana pembangunan prasarana umum Rp 1.828,6 miliar, (b) dana pelayanan sosial
ekonomi Rp 997,2 miliar, (c) dana peningkatan produksi Rp 231,3 miliar, (d) dana penanganan
lingkungan hidup Rp 334,6 miliar, serta (e) dana pembinaan daerah bawahan Rp 64,0 miliar.
Dana yang dialokasikan bagi pembangunan prasarana umum akan dimanfaatkan untuk
pembangunan prasarana perhubungan dan penanganan jalan kabupaten Rp 1.179,6 miliar,
dengan sasaran pemeliharaan jalan kabupaten sepanjang 81.840 kilometer; penyediaan
prasarana dasar permukiman Rp 500,0 miliar; serta penyehatan lingkungan dan air bersih Rp
149,0 miliar. Sementara itu, dana pelayanan sosial ekonomi akan dipergunakan untuk
revitalisasi (pemugaran dan pembangunan) pasar kecamatan Rp 82,2 miliar, peningkatan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) Rp 15,7 miliar, pembangunan dan revitalisasi sekolah
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) Rp 761,3 miliar, serta pembangunan dan rehabilitasi
sarana paoli sosial Rp 137,9 miliar. Dana pembangunan dan revitalisasi SD dan MI (yang di
dalamnya termasuk pengalihan sebagian dari dana Inpres SD) akan dimanfaatkan untuk
revitalisasi SD/MI dengan konsep yang diperluas, meliputi rehabilitasi gedung, serta
refungsionalisasi dan pembangunan kembali gedung (fisik bangunan), prasarana dan sarana
lingkungan, .dan pendukung lainnya. Selanjutnya, dana yang tersedia bagi peningkatan produksi
akan dialokasikan untuk penyuluh pertanian lapangan (PPL) Rp97,8 miliar, paket pertanian
penangkarbenih Rp 59,6 miliar, serta pengembangan industri kecil Rp 74,0 miliar. Pelaksanaan
penyuluhan pertanian lapangan dimaksud diperkirakan akan melibatkan sekitar 37.625 orang
tenaga PPL dan PPS, 309 balai informasi dan penyuluh pertanian (BIPP), 3.571 unit BPP, serta
3.674 tenaga honorer. Dana penangkar benih akan digunakan untuk membantu pengembangan
bibitlbenih komoditas unggulan pertanian, seuangkan dana pengembangan industri kecil akan
digunakan untuk penyuluhan dan pembinaan industri kecil. Dana yang tersedia bagi penanganan
lingkungan hidup akan dialokasikan untuk dua kegiatan pokok, yaitu (a) penghijauan, termasuk
pemeliharaan, pemantauan dan pembinaannya Rp 283,1 miliar; serta (b) pengendalian dampak
lingkungan hidup Rp 51,5 miliar, yang akan digunakan untuk pemantauan dan evaluasi
pengendalian dampak lingkungan hidup, pengendalian pencemaran limbah dalam kawasan
tertentu, penyusunan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, rehabilitasi kerusakan
lingkungan, penyuluhan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta dana sarana dan prasarana
pengendalian peneemaran. Dana pembinaan daerah bawahan akan dialokasikan untuk
pembinaan kecamatan Rp 40,3 miliar, program pengembangan wilayah (PPW) Rp 15,3 miliar,
serta perencanaan, pemantauan dan pengawasan pembangunan kabupaten/kota Rp 8,4 miliar.
lingkungan dan menjaga daya dukung lingkungan agar pemanfaatan sumber daya alam tetap
seja1an dengan prinsip pembangunan berke1anjutan;
(c) Dana pengembangan sosial budaya dari pelayanan Rp 50,8 miliar, terdiri dari dana
pembinaan seni budaya daerah, pembinaan dan pembibitan olah raga prestasi, serta pembinaan
kerukunan hidup umat beragama Rp 26,0 miliar; dana pembangunan prasarana fisik pamong
praja Rp 20,0 miliar; serta dana perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan di
propinsi Rp 4,8 miliar.
(d) Dana peningkatan pendidikan dasar Rp 169,3 miliar. Dana ini menampung pengalihan
sebagian dari Inpres SD, yang akan dimanfaatkan untuk pengadaan sarana SD Rp 89,0 miliar;
penataran/penyetaraan guru Rp 60,0 miliar; pelatihan, prajabatan dari penempatan guru di
daerah terpencil Rp 4,0 miliar; serta kegiatan pengelolaan Rp 16,3 miliar;
(e) Dana pembangunan sarana kesehatan Rp 471,8 miliar, terdiri dari dana penyediaan obat Rp
295,7 miliar, operasi dari pemeliharaan rumah sakit Rp 85,8 miliar, pengembangan tenaga
kesehatan Rp 75,8 miliar, pelayanan kesehatan daerah terpencil Rp 7,5 miliar, dari kegiatan
pengelolaan Rp 7,0 miliar; serta
(f) Dana program pengembangan wilayah (PPW) Rp 203,0 miliar, yang akan digunakan untuk
menunjang program pengembangan kawasan andalan di Indonesia, sebagai implementasi dari
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dari Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Di samping
itu, dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk membiayai pengembangan kawasan
pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), melalui penyediaan prasarana dari sarana penunjang
pemasaran produksi di daerah produksi pangan atau daerah potensiall ainnya.
Untuk menjaga agar kualitas dari kuantitas kebutuhan dasar masyarakat tidak merosot
akibat dari dampak krisis ekonomi yang me1anda Indonesia, dalam tahun anggaran 199912000
program pemberdayaan daerah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi, yang semula disebut
sebagai program perluasan jaring pengaman sosial (IPS), diperluas cakupan dari jangkauannya
menjadi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat. Dengan perluasan program tersebut, alokasi
anggaran yang disediakan bagi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat mencapai Rp 3.458,4
miliar, atau 27,4 persen lebih tinggi dari alokasi dana bagi program perluasan jaring pengaman
sosial yang dianggarkan da1am tahun sebelumnya. Dana tersebut akan diarahkan secara
langsung kepada kelompok masyarakat yang menghadapi kendala dalam memperoleh lapangan
kerja dan kesempatan berusaha, menemui hambatan dalam pembiayaan pendidikan dan
kesehatan, serta mengalarni kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangajuan dalam
pelaksanaannya, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai program prasarana
perdesaan melalui program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) Rp
239,1 miliar, program pengembangan kecamatan (PPK) di perdesaan Rp 150,3 miliar dan di
perkotaan Rp 75,0 miliar, program pengembangan sosial ekonomi masyarakat (PSEM) Rp 18,9
miliar, program pemberdayaan daerah dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-
DKE) Rp 1.025,0 miliar, program pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) Rp
550,0 miliar, dana operasi dan pemeliharaan SDIMI Rp 536,5 miliar, serta dana operasi dan
pemeliharaan puskesmas Rp 363,6 miliar.
Di luar dana pembangunan daerah, alokasi pembiayaan pembangunan daerah yang
bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan
akan sedikit mengalarni penurunan, berkaitan dengan dampak krisis ekonomi yang terjadi di
sejumlah daerah. Hal ini akan cukup berpengaruh terhadap rencana kegiatan pembangunan di
daerah, mengingat dana bagi hasil PBB dan BPHTB dimaksud jumlahnya cukup berarti
(signifikan) dalam komposisi penerimaan daerah. Dalam tahun anggaran 199912000, alokasi
pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB
dianggarkan Rp 2.902,4 miliar, yang berarti 4,8 persen lebih rendah dari alokasi dana yang
tersedia dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, propinsi akan menerima alokasi Rp
525,0 miliar, seuangkan kabupaten/kotamadya akan memperoleh alokasi Rp 2.377,4 miliar.
Dalam kondisi perekonomian dan kemampuan keuangan negara yang kurang
menguntungkan, alokasi pengeluaran pembangunan lainnya dilakukan secara lebih selektif,
dengan tetap memperhatikan fungsi strategisnya bagi kelangsungan pembangunan nasional.
Dengan kebijakan demikian, dalam tahun anggaran 1999/2000 alokasi pembiayaan
pembangunan lainnya direncanakan Rp 22.296,5 miliar, atau 6 persen lebih rendah dari alokasi
anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Penurunan alokasi anggaran tersebut
terutama disebabkan tidak lagi perlu disediakannya anggaran bagi subsidi pupuk mengingat
terhitung sejak bulan Desember 1998, Pemerintah telah menghapuskan pemberian subsidi
pupuk, baik subsidi harga maupun subsidi gas bagi produsen pupuk. Dari keseluruhan alokasi
anggaran tersebut, Rp 17.000,0 miliar akan dialokasikan untuk biaya restrukturisasi perbankan,
Rp 3.701 miliar untuk subsidi bunga kredit program, serta Rp 1.595,5 miliar untuk program
Tabel 0.22
PENGELUARAN PEMBANGUNAN RUPIAH MENURUT KLASIFlKASI EKONOMI
APBN 1998/1999 - DAN RAPBN
1999/2000
(dalam miliar rupiah)
APBN 1998/1999 RAPBN 1999/2000
Klasifikasi % thd.
Proporsi Proporsi APBN
Jumiah Jumlah
(%) (%)
(1) . (2) (3) (4) (5) (6)
Pada subsektor pembangunan daerah, anggaran yang tersedia akan dialokasikan untuk
program pembangunan desa, program pembangunan kabupaten/kota, program pembangunan
propinsi, program JPS dan pemberdayaan masyarakat, serta program pengembangan kawasan
khusus. Anggaran tersebut akan dialokasikan dalam bentuk dana umum dan dana khusus. Dalam
hal dana pembangunan yang bersifat umum, anggaran yang tersedia akan dialokasikan antara
lain untuk mendukung usaha-usaha pemantapan kemampuan aparat, kelembagaan, dan
keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pelayanan
masyarakat, dan pembangunan. Sementara itu, dana yang bersifat khusus akan digunakan untuk
pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar serta berbagai
fasilitas pelayanan sosial, pengendalian dampak lingkungan, serta penghijauan dan reboisasi.
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan dana pembangunan tersebut lebih ditekankan pada
kegiatan yang bersifat padat karya, dan penciptaan lapangan kerja, agar sekaligus berfungsi
memperkuat jaring pengaman sosial.
Dana bagi program pembangunan desa akan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan-
kegiatan yang langsung bersentuhan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat di perdesaan,
seperti pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar yang secara langsung dapat
menunjang kegiatan produksi dan pemasaran di perdesaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia melalui latihan pembangunan desa terpadu, penguatan lembaga masyarakat desa
(LMD) dan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), serta pengembangan lembaga dana
dan perkreditan desa, seperti usaha ekonomi desa, simpan pinjam, dan kegiatan PKK.
revitalisasi pasar kecamatan, sistem kewaspadaan pangan dan gizi, pembangunan dan
revitalisasi SD/MI, serta pembangunan dan rehabilitasi sarana panti sosial); peningkatan
produksi (mencakup penyuluh pertanian lapangan, penangkar benih, dan pengembangan industri
kecil), penanganan lingkungan hidup (penghijauan, pengendalian dampak lingkungan hidup,
dan reboisasi), serta pembinaan daerah bawahan (pembinaan kecamatan, program
pengembangan wilayah, serta perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan
kabupaten).
Program JPS dan pemberdayaan masyarakat terdiri dari dua kategori, yaitu program-
program bersifat tahun jamak, dan bersifat darurat untuk mengatasi dampak krisis ekonorni
terhadap kehidupan masyarakat. Program tersebut langsung diarahkan kepada kelompok
masyarakat untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana ekonorni dan sosial
masyarakat, memperluas kesempatan berusaha, memberikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, dan upaya jaring pengaman sosial lainnya. Dalam pelaksanaannya, dana tersebut
akan dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan prasarana pendukung desa
tertinggal (P3DT), program pengembangan kecamatanJ PPK di perdesaan dan di perkotaan,
program pengembangan ekonorni masyarakat di daerah, program pemberdayaan daerah dalam
rangka mengatasi dampak krisis ekonorni (PDM-DKE), program pemberian makanan tambahan
anak sekolah (PMT-AS), dana operasi dan pemeliharaan SD/MI, dana operasi dan pemeliharaan
puskesmas, serta dana peningkatan lapangan kerj a produktif.
dimaksudkan untuk menciptakan kawasan pengembangan ekonorni yang dapat berperan sebagai
penggerak dalam memacu pertumbuhan ekonorni daerah sekitarnya, khususnya melalui
pemanfaatan potensi-potensi unggulan yang tersedia pada kawasan tersebut. Pengembangan
kawasan khusus juga mencakup pengembangan taman nasional di berbagai daerah, kawasan
lindung, dan kawasan kepulauan terpencil. Dana yang tersedia untuk program pengembangan
kawasan khusus ini akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan
produk peraturan, pembinaan teknis, pemantauan dan evaluasi, serta bantuan teknis perencanaan
pengembangan kawasan khusus di 30 kawasan. .
ketertiban lalu lintas di jalan, alokasi anggaran juga akan digunakan untuk mendukung program
kebijaksanaan pemerintah di antaranya penataan sistemj aringan dan kelas jalan, program
bimbingan dan pelatihan kepada para pengemudi angkutan umum maupun aparat dinas lalu
lintas angkutan jalan di beberapa daerah, serta pembangunan pilot project dua unit pelaksanaan
penimbangan kendaraan bermotor (UPPKB) di pulau Jawa, yang akan menggunakan sistem
jaringan komputer terpadu dengan sistem yang acta di pusat. Selain itu, juga diprioritaskan
untuk mendukung pelayanan angkutan terutama di beberapa daerah di kawasan timur Indonesia
melalui program subsidi operasi angkutan bus perintis.
Untuk pemenuhan kebutuhan tingkat pelayanan angkutan penumpang dalam jumlah
banyak, baik di wilayah perkotaan yang padat penduduknya (Jabotabek) maupun angkutan antar
kota, dan kebutuhan pelayanan angkutan barang, alokasi anggaranpada program pengembangan
perkeretaapian diarahkan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan prasarana
jalan dan jembatan kereta api, melanjutkan pembangunan jalur ganda jalan kereta api di lintas
yang padat, terutama yang dibiayai oleh dana pinjaman luar negeri, serta melanjutkan perakitan
kereta rellistrik untuk mendukung kebutuhan pelayanan angkutan umum masal di wilayah
Jabotabek.
Pada program peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan, alokasi
anggaran pembangunan diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan
peningkatan dermaga penyeberangan, dermaga sungai, maupun dermaga danau. Selain itu, dana
yang tersedia juga akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan beberapa dermaga yang
bersifat strategis, baik bagi dukungan pembangunan daerah maupun pembangunan secara
nasional, serta melanjutkan pembangunan beberapa kapal penyeberangan perintis di beberapa
propinsi. Dalam mendukung kebijakan pelayanan angkutan di daerah perintis maupun di daerah
yang relatif masih kurang berkembang, alokasi dana subsidi operasi angkutan penyeberangan
perintis tetap akan menjadi prioritas, terutama untukmendukung kelangsungan distribusi
kebutuhan sembako dan obat-obatan serta pengembangan perekonomian di beberapa pulau-
pulau yang terpencil.
rehabilitasi dermaga seluas 2.270 meter persegi dan pembangunan dermaga pelabuhan rakyat
sepanjang 871 meter. Seuangkan dalam program pengembangan fasilitas pelabuhan laut, akan
diprioritaskan penggunaannya untuk mempertahankan kedalaman alur pelayaran, rehabilitasi
dan pembangunan sarana bantu navigasi. Pada program keselamatan pelayaran akan dilakukan
pengerukan 10,3 juta meter kubik. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan untuk
program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran diprioritaskan pemanfaatannya bagi
penyediaan biaya subsidi operasi angkutan perintis laut sebanyak 37 kapal di 13 propinsi,
dimana 32 kapal di antaranya dioperasikan di kawasan timur Indonesia.
Di subsektor transportasi udara, alokasi anggaran pembangunan diarahkan terutama
untuk rehabilitasi prasarana bandar udara (bandara), peralatan keamanan dan keselamatan
penerbangan guna menunjang pengembangan sektor pariwisata, upaya pemulihan ekonorni,
membuka daerah terpencil dan terisolasi, serta memperluas lapangan kerja; meningkatkan serta
mempertahankan tingkat pelayanan, keselamatan dan keamanan penerbangan; dan upaya
pengembangan bandara. Melalui program pengembangan fasilitas bandara, dana yang tersedia
akan dimanfaatkan untuk perbaikan landasan, pelapisan landasan, pembuatan konstruksi
pengerasan pada 6 bandara perintis di Irian Jaya, membangun dan merehabilitasi terminal dan
bangunan penunjang operasi, serta mengembangkan bandara di Palembang, Surabaya, Bali,
Ujung Panuang, Gorontalo, Manado dan Ambon. Sementara itu, melalui program keselamatan
penerbangan, alokasi anggaran akan digunakan bagi pengadaan dan perbaikan 5 unit peralatan
navigasi penerbangan, 33 unit peralatan telekomunikasi dan peralatan kelistrikan pada 6 lokasi,
serta rehabilitasi peralatan kelistrikan pada 9 lokasi. Selanjutnya, melalui program pembinaan
dan pengembangan armada udara, alokasi imggaran pembangunan akan digunakan untuk
pengoperasian penerbangan perintis yang menghubungkan daerah terpencil dan membantu
distribusi bahan pokok dan obat-obatan di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Irian Jaya, Maluku, Timor Timur, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada subsektor meteorologi, geofisika, pencarian dan penyelamatan, alokasi anggaran
pembangunan di antaranya akan digunakan untuk rehabilitasi dan penggantian peralatan
operasional meteorologi dan geofisika yang telah rusak atau berumur lebih dari usia teknis (life-
time )-nya, serta pengadaan peralatan SAR (search and rescue) sebagai upaya pengembangan
sarana komunikasi.
Sementara itu, untuk menunjang kebutuhan energi dan bahan baku bagi industri dalam
negeri dan keperluan masyarakat, peningkatan devisa, penerimaan negara dan pendapatan
daerah, serta perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sektor pertambangan dan
energi dalam tahun anggaran mendatang direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp
6.607,7 miliar, atau turun 6,4 persen dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya.
Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor pertambangan Rp 69,3
miliar, dan subsektor energi Rp 6.538,4 miliar.
Pada subsektor pertambangan, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan
antara lain untuk melakukan pemetaan geologi dan geofisika bersistem skala 1:100.000,
pemetaan geologi kelautan, pemetaan hidrogeologi skala 1: 100.000, mitigasi bencana alam di
beberapa lokasi, serta peningkatan penyelidikan dan pemantauan aktivitas gunung berapi. Di
samping itu, juga akan dilakukan pengembangan usaha pertambangan melalui kegiatan
percontohan penambangan dan pengolahan di beberapa lokasi pertambangan skala kecil yang
akan diperluas pada usaha perminyakan dan distribusinya, serta bimbingan teknis pertambangan
di beberapa lokasi.
Pada subsektor energi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk
melanjutkan pembangunan pembangkit tenaga listrik terutama di luar Jawa dengan kapasitas
1.410 mega watt (MW), jaringan transmisi sepanjang 5.031 kilometer sirkit (Kms), gardu induk
dengan kapositas daya 8.380 mega-volt-ampere (MV A), jaringan distribusi menengah (JTM)
sepanjang 11.367,5 Kms, jaringan distribusi tegangan rendah sepanjang 12.413,9 Kms, serta
gardu distribusi dengan kapositas 280,8 MV A. Dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi,
serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di perdesaan, akan dilanjutkan dan
dikembangkan program listrik masuk desa untuk 2.087 desa, yang pengadaannya diupayakan
untuk mendukung program jaring pengaman sosial (JPS) dengan memanfaatkan sumber energi
setempat, seperti tenaga air mikro dan energi surya, dengan melibatkan koperasi dalam
pengelolaan dan pelaksanaannya secara lebih efisien. Selain itu, dana yang tersedia juga akan
digunakan untuk pengembangan tenaga migas dan diversifikasi pemanfaatan gas bumi untuk
rumah tangga melalui perluasan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi di
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.
produksi untuk mendukung swasembada beras, dalam tahun anggaran mendatang sektor
pengairan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 3.466,2 miliar, atau sekitar 27
persen lebih rendah dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Jurnlah tersebut
akan dialokasikan untuk subsektor pengembangan sumber daya air Rp 1.521,4 miliar, dan
subsektor irigasi Rp 1.944,8 miliar.
anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk penyempurnaan ketentuan perdagangan
internasional, pelayanan dan penyebaran informasi perdagangan internasional di seluruh
propinsi, serta pengembangan analisa dan pengamatan pasar melalui analisa profil dan potensi
ekspor ke berbagai negara.
Pada subsektor pengembangan usaha nasional, alokasi anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan terutama untuk menyiapkan produk pengaturan pengembangan dan pembinaan
jasa usaha nasional yang meliputi 10 paket pedoman pengembangan dan pembinaan, serta
pembinaan terhadap usaha kecil. Di samping itu, juga akan dilakukan promosi investasi,
khususnya dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, termasuk
upaya pendapatan kembali iklim investasi yang menarik. Sementara itu, alokasi anggaran bagi
subsektor keuangan akan diprioritaskan untuk melanjutkan reklasifikasi tanah objek pajak bumi
dan bangunan (PBB) di beberapa daerah sebagai rangkaian upaya untuk meningkatkan
penerimaan negara, penyempurnaan dan penyusunan perhitungan anggaran negara dan
penatausahaan inventaris kekayaan negara, serta menunjang program restrukturisasi perbankan
pada program pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara. Program
penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud perlu segera diselesaikan sebagai salah satu
agenda pokok dalam upaya memulihkan kondisi perekonomian nasional, dengan tujuan utama
memulihkan kehidupan perbankan yang efisien, sehat dan tangguh, mengingat perbankan
merupakanjantung kehidupan perekonomian yang dapat menjadi motor penggerak bagi
berputarnya kembali kegiatan usaha sektor riil, dan menumbuhkan kegiatan usaha nasional yang
berdaya saing.
Di subsektor koperasi dan pengusaha kecil, sasaran alokasi anggaran pembangunan akan
lebih diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan fungsi koperasi sebagai wadah kolektif
usaha ekonomi rakyat yang efisien serta dapat meningkatkan perolehan nilai tambah bagi
pengusaha kecil-menengah (PKM), dan dapat memperkuat dan memperluas usaha,
kewirausahaan dan profesionalisme koperasi dan PKM agar memiliki kinerja yang makin sehat
dan kompetitif. Sasaran pembangunan koperasi dalam tahun anggaran 1999/2000 di antaranya
meliputi peningkatan kemampuan pengelolaan serta pelayanan anggota koperasi di biuang usaha
pangan pada sekitar 2.500 koperasi, peningkatan fungsi koperasi sebagai distributor dan
penyalur khususnya barangbarang pokok, peningkatan usaha bagi pedagang kecil dan
penyediaan barang bagi konsumen, dukungan fasilitas pembiayaan bagi pengusaha kecil dan
Dalam rangka menunjang upaya pengembangan industri yang efisien dan berwawasan
masa depan, pendapatan iklim persaingan yang sehat dan dapat menjamin dan memelihara
keseimbangan antara industri besar, menengah dan kecil, pemberdayaan industri kecil dan
menengah yang memiliki daya tahan lebih fleksibel terhadap gejolak ekonomi, serta membuka
peluang penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan masyarakat, dalam tahun anggaran
1999/2000 sektor industri direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 629,2 miliar, atau
20,2 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya.
Alokasi anggaran tersebut akan diarahkan antara lain untuk menumbuh-kembangkan kegiatan
usaha pada industri kecil-menengah, industri rumah tangga, dan industri kecil perdesaan di
seluruh propinsi, agar menjadi industri yang tangguh, modern dan mandiri. Untuk itu, sasaran
kegiatannya akan lebih difokuskan pada penumbuhan wirausaha baru industri kecil dan
pemberdayaan ekonomi rakyat terutama di perdesaan melalui lembaga mandiri dan mengakar
pada masyarakat yang berpotensi produktif kepada kurang lebih 100 lembaga, serta penyediaan
bantuan teknis magang dalam biuang teknologi dan manajemen bagi 10.000 perajin/pengusaha
industri kecil. Untuk mendukung pelaksanaan program jaring pengaman sosial, dalam tahun
anggaran mendatang akan diberikan bantuan dan bimbingan teknis bagi penumbuhan dan
pemulihan usaha industri melalui pembinaan intensif kepada sekitar 400 perusahaan industri
kecil menengah potensial yang berbasis unggulan daerah, termasuk industri yang siap ekspor,
industri kecil subkontrak, industri kerajinan, dan industri substitusi impor, sebagai upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan memperkuat struktur industri. Di samping itu, juga akan
dilakukan peningkatan kemampuan usaha industri kecil melalui pendidikan dan pelatihan, serta
bantuan promosi dan informasi ekspor kepada sekitar 500 perusahaan industri kecil.
kecil dan menengah, baik industri logam, mesin dan kimia, aneka industri maupun industri hasil
pertanian, akan dilakukan peningkatan kemampuan pelayanan teknis 25 balai litbang industri,
baik sektoral maupun regional di daerah, melalui pengembangan Sarana dan prasarana balai
dalarn mendukung dan menjadi bagian dunia usaha industri dalam menghadapi era perdagangan
bebas, yang mencakup peningkatan kemampuan pembuatan rupa-rupa dan ujicoba terapan
peralatan produksi. Selain itu, anggaran pembangunan subsektor industri juga akan
dimanfaatkan untuk pengembangan produk-produk unggulan bagi komoditi yang memiliki
prospek yang cerah di masa depan, penyusunan basis data komoditi industri potensial untuk
meningkatkan aksesibilitas terhadap pasar dan investor, pelatihan teknis dan manajemen usaha,
serta penyediaan tenaga kerja sektor industri dari 17 lembaga pendidikan industri.
Dalam upaya penanggulangan dampak krisis ekonomi dan musibah kekeringan yang
masih berlanjut, pembangunan pertanian dan kehutanan akan semakin dipacu agar dapat
berperan menjadi sektor andalan seiring dengan arah baru pembangunan nasional yang
menekankan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, desentralisasi pembangunan melalui
penguatan kelembagaan pertanian dengan peningkatan reran partisipatif petani, serta perubahan
struktur pertanian menuju modernisasi. Pembangunan pertanian dan kehutanan diarahkan untuk
lebih eepat menghasilkan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, meningkatkan
pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja, serta
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah dalam rangka penyelamatan kondisi
sosial ekonomi masyarakat dan menggerakkan kembali kegiatan ekonomi nasional. Berkaitan
dengan itu, dalam rangka mendukung peningkatan produksi pangan, pengembangan agrobisnis
produk-produk pertanian, perkebunan dan kehutanan yang berdaya saing tinggi, dan sekaligus
mendukung program pereepatan penghapusan kemiskinan, dalam tahun anggaran mendatang
sektor pertanian dan kehutanan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.613,3 miliar,
atau menurun 38,4 persen dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Dari
jumlah tersebut, Rp 4.389,2 miliar dialokasikan untuk subsektor pertanian, dan Rp 224,1 miliar
untuk subsektor kehutanan.
Pada subsektor pertanian, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk
mendukung jaring pengaman sosial di biuang ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat
dan peningkatan ekspor. Kegiatan utamanya akan dititikberatkan pada pemberdayaan petani,
peningkatan daya saing produk pertanian, serta pemecahan secara simultan permasalahan
serta pembinaan dan pengembangan 68 unit usaha kecil, menengah dan koperasi kehutanan.
pengembangan bahasa Indonesia dan daerah; peningkatan pendidikan bahasa asing di sekolah;
penyusunan buku pengajaran bahasa daerah; serta pembinaan penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa agar dapat dicegah adanya usaha-usaha untuk membentuk agama baru,
dan mengefektifkan pengambilan langkah-langkah agar pelaksanaannya berlangsung menurut
dasardasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada subsektor pemuda dan olah raga, alokasi anggaran pembangunan akan
diprioritaskan antara lain untuk menunjang pelatihan kepemimpinan dan keterampilan pemuda,
pelatihan kelompok pemuda produktif, dan pelatihan manajemen bagi pimpinan organisasi
pemuda bagi 2.760 orang, serta pengerahan sarjana penggerak pembangunan di perdesaan (SP3)
sebanyak 1.000 orang. Guna mendukung pemassalan dan pembinaan olahragawan berbakat,
alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk melakukan pembinaan terhadap 1.300
klub olah raga pelajar, kompetisi olah raga pelajar 14.400 orang, pembinaan prestasi olah raga
melalui diktat olah raga berbakat SLTP/SMU negeri Ragunan sebanyak 200 orang;
penyelenggaraan olah raga perbatasan sebanyak 250 orang; serta penyelenggaraan kegiatan
pekan kesegaran jasmani.
Untuk menunjang upaya peningkatan dan perluasan pelayanan di biuang sosial dan
kesehatan secara lebih merata sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial, dalam tahun ,
anggaran mendatang sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja
direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.786,9 miliar, akan meningkat 13,8 persen
dari alokasi anggaran dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 654,0 miliar akan
dialokasikan untuk subsektor kesejahteraan sosial, Rp 3.545,7 miliar untuk subsektor kesehatan,
dan Rp 587,2 rniliar untuk subsektor peranan wanita, anak dan remaja.
Pada subsektor kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan
untukmemperkuat programjaring pengaman sosial, terutama untuk menunjang upaya
peningkatan kualitas dan efektivitas pelayanan sosial, perluasan jangkauan dan pelayanan so
sial, peningkatan profesionalisme pe1ayanan sosial, serta peningkatan peranserta masyarakat
dan ke1uarga dalam pembangunan kesejahteraan sosia1, dengan fokus perhatian pada fakir
miskin, anak dan penduduk 1anjut usia yang terlantar, penyanuang cacat, korban
penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, serta anggota masyarakat yang kurang beruntung
memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan martabat
manusia. Untuk mendukung berbagai sasaran tersebut, a10kasi anggaran pembangunan akan
digunakan untuk pembinaan terhadap 3.324 kepala keluarga (KK) masyarakat terasing yang
baru ditemukan dan pembinaan lanjutan bagi 8.670 KK, pembinaan kesejahteraan sosial bagi
42.100 KK fakir miskin di 1.141 desa, penyantunan so sial bagi 15.700 orang lanjut usia dan
37.460 orang anak terlantar, serta pemberian modal usaha bagi 3.240 keluarga muda mandiri.
Guna meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dan dapat menempuh kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya, alokasi anggaran pembangunan subsektor tersebut juga akan dimanfaatkan
untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi so sial bagi 13.120 orang penyanuang cacat
berbasis masyarakat, membangun pemukiman sosial bagi bekas penderita kusta, serta
rehabi1itasi sosial bagi 3.290 orang anak nakal dan korban narkotika. Selanjutnya, dalam rangka
meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan
kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan penyuluhan dan bimbingan sosial di 2.622 desa, pembinaan organisasi so
sial (orsos) bagi 975 orsos, serta melaksanakan kegiatan kesiapsiagaan penanggulangan bencana
alam (PBA) di 27 propinsi.
pangan dan gizi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk penanggulangan
gangguan akibat kurang yodium (GAKY) dengan mendistribusikan kapsul yodium bagi 8,3 juta
wanita subtle; penanggulangan kekurangan vitamin A dosis tinggi bagi 2,2 juta bayi usia 6-12
bulan, 16,5 juta anak usia 1-5 tahun, dan 4,3 juta ibu nifas; serta penyediaan makanan tambahan
khususnya bagi bayi, anak balita, ibu hamil, dan ibu nifas penderita kurang energi kronis (KEK)
Dari ke1ukga miskin. Di samping itu, sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) akan 1ebih
dimanfaatkan di tingkat kabupaten. Se1anjutnya, untuk mendukung upaya peningkatan
pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisiona1, a1okasi anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan untuk pembinaan sentra-sentra pengembangan dan penerapan pengobatan
tradisional (P3T), pengembangan dan pembinaan metode pengobatan tradisional, serta
pembinaan terhadap tenaga pengobatan tradisional.
Pada subsektor peranan wanita, anak dan remaja, sasaran alokasi anggaran
pembangunan akan lebih diarahkan untuk meningkatkan peran aktif wanita dalam berbagai
kegiatan pembangunan, serta meningkatkan status gizi dan kesehatan bagi anak dan remaja
sebagai upaya mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang tangguh, patriotik, kreatif,
dan produktif sejak dini. Guna mendukung sasaran dimaksud, alokasi anggaran pembangunan
akan diprioritaskan untuk kegiatan penerangan, pendidikan, dan penyuluhan kemitrasejajaran
pria dan wanita yang harmonis dalam pembangunan, kajian dan penerapan pendekatan jender di
seluruh sektor pembangunan, serta program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang
mencakup 29.002 desa, 9.700 ribu round, dan 61.071 SD/MI baik negeri maupun swasta yang
berlokasi di desa-desa miskin dan tertinggal, di daerah kurnub perkotaan, dan lembaga
pendidikan berbasis masyarakat di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, guna mendukung upaya peningkatan kualitas penduduk, pengendalian
pertumbuhan dan kuantitas penduduk, pengarahan mobilitas dan penyebaran penduduk, serta
mewujudkan tatanan gerakan keluarga berencana, dalam tahun anggaran mendatang sektor
kependudukan dan keluarga sejahtera direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 594,3
miliar, atau naik 2,1 persen Dari anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran
dimaksud akan digunakan untuk penyuluhan keluarga berencana (KB); pelayanan KB, termasuk
pemenuhan kebutuhan kontrasepsi dan peralatan pelayanan kontrasepsi kepada 5,0 juta
posangan usia subur (PUS) peserta KB baru, dan 28,7 juta PUS peserta KB aktif; pembinaan
keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I melalui Takesra, Kukesra, dan pengembangan
pemasaran hasil produksi usaha ekonomi; serta melakukan berbagai kajian aspek fertilitas,
mortalitas, mobilitas dan persebaran penduduk.
Dalam rangka mewujudkan perikehidupan beragama yang harmonis, maju dan sejahtera
lahir balin, dalam RAPBN 1999/2000 sektor agama direncanakan alokasi anggaran
pembangunan Rp 627,4 miliar, atau naik sekitar 32 persen Dari alokasi anggaran yang tersedia
dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pelayanan
kehidupan beragama Rp 25,5 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama Rp 601,9
miliar.
Pada subsektor pelayanan kehidupan beragama, alokasi anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk pemberian bantuan pembangunan dan rehabilitasi terhadap 2.000
temp at peribadatan berbagai agama, pengadaan 600 ribu kitab suci berbagai agama,
pembangunan 100 gedung balai nikah, penyertifikatan tanah wakaf, kegiatan penerangan dan
bimbingan agama, serta pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Selain itu, guna lebih
meningkatkan pelayanan dan kelancaran pen.unaian ibadah haji bagi umat Islam, alokasi
anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan dan
rehabilitasi asrama haji, peningkatan pembinaan para petugas pelayanan haji, serta
pembangunan pusat informasi haji, termasuk pengembangan sistem komputerisasi haji terpadu
(SISKOHAT).
kelas dan rehabilitasi 100 ruang kelas MTs; serta pembangunan 150 ruang kelas Madrasah
Aliyah. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk pengadaan 275
ribu eksemplar buku pelajaran dan buku pegangan dosen, peningkatan mutu tenaga akademis
melalui program pendidikan posca sarjana (S-2 dan S-3) bagi 380 orang dosen dan pembibitan
calon dosen, pembangunan sarana dan prasarana fisik lAIN dan STAIN, serta pemberian
beasiswa bagi 30.000 mahasiswa ekonomi lemah tetapi mempunyai bakat dan kemampuan
akademik yang tinggi.
menurun 21,3 persen dari alokasi anggaran yang disediakan pada tahun sebelumnya. Jumlah
tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor teknik produksi dan teknologi Rp
342,9 miliar, subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar Rp 61,2 miliar, subsektor
kelembagaan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi Rp 218,3 miliar, subsektor
kelautan Rp 64,0 miliar, subsektor kedirgantaraan Rp 33,0 miliar, serta subsektor sistem
informasi dan statistik Rp 181,0 miliar.
Alokasi anggaran pembangunan subsektor teknik produksi dan teknologi akan diarahkan
terutama untuk diseminasi dan pemanfaatan iptek dalam rangka mendorong pengembangan
usaha kecil dan menengah, pengembangan bibit unggul tanaman pangan, tanaman hortikultura,
tanaman perkebunan dan tanaman industri, pengembangan bibit ikan dan ternak unggul,
penelitian dan pengembangan sumber daya lahan dan agroklimat, pengembangan potensi
produk agrobisnis, penelitian sistem usaha tani, serta penelitian bioteknologi pertanian. Selain
itu, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mengembangkan teknik
produksi dalam biuang mikroelektronika, komponen elektronika, dan otomotif; pengembangan
indikator iptek; pengembangan instrumentasi dan otomasi; pengembangan bahan dan proses
industri kimia, dan teknologi energi alternatif; penelitian biuang farmasi, biologi molekular dan
bahan mineral; serta pengembangan jaringan ipteknet.
Di subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar, alokasi anggaran yang tersedia akan
dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan biota darat, penelitian dan pengembangan
potensi sumber daya alam, serta penelitian potensi sumber daya energi. Alokasi tersebut juga
dimanfaatkan untuk penelitian penanggulangan penyakit menular demam berdarah, serta
penelitian dan pengembangan teknologi di biuang pertanian, industri, pengairan, prasarana jalan,
kesehatan, perumahan dan pemukiman. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan
dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi bioteknologi dalam upaya pemuliaan tanaman
produksi, inventarisasi dan penelitian potensi keanekaragaman hayati, serta program hibah
bersaing dalam upaya mendorong pengembangan penelitian di perguruan tinggi.
energi. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk riset unggulan terpadu
dalam upaya peningkatan keterpaduan dan kualitas penelitian terapan di berbagai lembaga riset
dan perguruan tinggi.
Di subsektor kelautan, alokasi anggaran pembangunan di antaranya akan digunakan
untuk mengembangkan dari memanfaatkan potensi kelautan, terutama di wilayah KTI melalui
pendugasediaan sumberdaya perikanan laut (fisheries stock assessment), inventarisasi dan
evaluasi potensi laut dan pesisir, serta pengembangan sistem informasi geografi kelautan. Di
samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dipergunakan untuk pembuatan peta wilayah
Indonesia, termasuk peta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dari landas kontinen Republik
Indonesia (LKRl), serta batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan memanfaatkan kapal riset
Baruna Jaya.
Dalam upaya menjaga kelestarian dan meningkatkan multi dan fungsi lingkungan
hidup, serta mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan ruang dan pertanahan, dalam tahun
anggaran mendatang sektor lingkungan hidup dan tata ruang dialokasikan anggaran
pembangunan Rp 932,7 miliar, alan 19,6 persen lebih besar dari alokasi anggaran yang tersedia
dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor
lingkungan hidup Rp 798,9 miliar, dan subsektor tata ruang Rp 133,8 miliar.
Pada subsektor lingkungan hidup, anggaran yang tersedia akan dialokasikan pada
proyek-proyek inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam, pengembangan dan peningkatan
kapositas kelembagaan, peningkatan pengelolaan lingkungan hidup wilayah, pengelolaan sistem
amdal, peningkatan prasarana fisik, 'pengembangan dan penataan lingkungan, pengelolaan dan
pengendalian pencemaran lingkungan hidup, pemantapan pengelolaan dan pengendalian
peneemaran lingkungan hidup, pemantapan dan pengelolaan kawasan konservasi alam di
36lokasi, pembuatan rencana teknis rehabilitasi dan pengelolaan di 39 daerah aliran sungai
(DAS) prioritas, serta pengelolaan lingkungan kawasan pesisir dan laut. Sementara itu, pada
subsektor tata ruang, dana yang tersedia akan dialokasikan bagi kegiatan-kegiatan dalam rangka
memantapkan pengelolaan dan pendayagunaan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tala ruang wilayah propinsi, rencana tata ruang wilayah kotamadya dan kabupaten, dan rencana
tata ruang wilayah kawasan tertentu, serta penyelesaian produk-produk hukum yang terkait
dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dalam rangka menegakkan tertib hukum di
biuang tata ruang. Di samping itu, dana yang tersedia juga akan dipergunakan untuk
memperluas dan mempereepat kegiatan administrasi pertanahan khususnya bagi masyarakat
berpendapatan rendah, penyiapan sistem informasi geografis dan sumber daya lahan di kawasan
prioritas, penertiban dan peningkatan pengurusan hak-hak alas tanah, serta penatagunaan tanah.
Selanjutnya, guna menjaga dan memantapkan stabilitas nasional dan politik dalam
negeri, serta meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat secara lebih
kondusif agar berbagai tekanan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini dapat diatasi, dalam tahun
anggaran mendatang sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media
massa diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 154,0 miliar, atau turun 63,5 persen dari
alokasi anggaranyang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan
masing-masing untuk subsektor politik Rp 7,1 miliar, subsektor hubungan luar negeri Rp 17,1
miliar, serta subsektor penerangan, komunikasi dari media massa Rp 129,8 miliar.
Pada subsektor politik, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk
Dalam rangka mewujudkan aparatur negara yang bersih dan berwibawa bagi
terlaksananya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance) yang dapat
memberikan pelayanan optimal kepada seluruh masyarakat secara adil, efektif dan efisien,
dalam tahun anggaran mendatang sektor aparatur negara dan pengawasan diberikan alokasi
anggaran pembangunan Rp 900,8 miliar, alan naik 14,5 persen daii. alokasi anggaran yang
disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk
subsektor aparatur negara Rp 890,4 miliar, dan subsektor pendayagunaan sistem dan
pelaksanaan pengawasan Rp 10,4 miliar.
Di subsektor aparatur hukum, anggaran yang disediakan akan dimanfaatkan antara lain
untuk penataan dan penyempurnaan sistem peradilan dalam rangka terciptanya proses
penyelesaian perkara yang cepat, tepat dan dengan biaya ringan; operasi yustisi khususnya
dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penyuluhan hukum,
pelayanan hukum, serta pemberian bantuan hukum, terutama bagi golongan masyarakat pencari
keadilan yang kurang mampu.
Di subsektor sarana dan prasarana hukum, alokasi anggaran pembangunan akan
dipergunakan untuk mendukung penyempurnaan, rehabilitasi dan perluasan prasarana pelayanan
hukum, seperti pengadilan, kejaksaan, lembaga permasyarakatan, rumah tahanan negara dari
kantor pelayanan imigrasi, termasuk karantina imigrasi dan pos imigrasi terutama di daerah
perbatasan, pengadaan kendaraan tahanan, peralatan fungsional pengadilan, peralatan
keamanan, sarana komunikasi, serta penggantian komputerisasi imigrasi khususnya di bandara
internasional.
Dalam tahun anggaran mendatang, sektor pertahanan dan keamanan diberikan alokasi
anggaran pembangunan Rp 2.277,4 miliar, atau naik 7,3 persen Dari alokasi anggaran yang
disediakan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor rakyat
terlatih dan perlindungan masyarakat Rp 10,6 miliar, subsektor ABRI Rp 1.969,3 miliar, serta
subsektor pendukung Rp 297,5 miliar. Alokasi anggaran dimaksud diarahkan untuk mendukung
terwujudnya penataan kemampuan segenap komponen hankarnneg dalam rangka sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta, serta pembangunan ABRI yang lebih menitikberatkan
pada upaya peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan profesionalisme ABRI, serta partisipasi
masyarakat dalam rangka hankamneg.
pembinaan teritorial, serta kemampuan dukungan umum ABRI. Selain itu, anggaran yang
tersedia juga akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
peningkatan kualitas pendidikan dan latihan, meningkatkan kemampuan manajemen, serta
menyempurnakan sistem pemeliharaan termasuk sistem pendukungnya guna mempertahankan
kemampuan operasional alat utama sistem senjata (Alutsista) yang ada. .
Alokasi anggaran pembangunan pada subsektor rakyat terlatih (ratih) dan perlindungan
masyarakat (linmas) akan digunakan terutama untuk memantapkan konsepsi dalam rangka ratih
dan linmas, dengan memperhatikan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dan Unuang-
unuang Nomor 20 tahun 1982. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan di subsektor
pendukung akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan pembinaan sumber daya alam;
sarana dan prasarana nasional; iptek dan tata ruang wilayah negara; serta meningkatkan
pembinaan industri nasional, khususnya industri strategis yang mendukung penyelenggaraan
hankarnneg.
Tabel 11.23
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT
SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)
Nomor APBN RAPBN Ll % thd.
Sektor/Subsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)
01 SEKTOR INDUSTRI 788,2 629,2 -20,2
01.1 SubsektorlndusUi 788,2 629,2 -20,2
02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 7.484,6 4.613,3 -38,4
02.1 Subsektor Pertanian 6.915,6 4.389,2 - 36,5
02.2 Subsektor Kehutanan 569,0 224,1 -60,6
03 SEKTOR PENGAIRAN 4.774,7 3.466,2 -27,4
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 1.857,6 1.521,4 - 18,1
03.2 Subsektor lrigasi 2.917,1 1.944,8 - 33,3
04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.304,9 1.202,1 - 7,9
04.1 Subsektor Tenaga Kerja 1.304,9 1.202,1 - 7,9
05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEM-
BANGAN USAHA NASIONAL,
KEUANGAN DAN KOPERASI 16.687,6 19.035,6 14,1
05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 47,5 110,1 131,8
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 253,3 65,4 -74,2
05.3 Subsektor Pengembanga Usaha Nasional 69,9 6,2 -91,1
05.4 Subsektor Keuangan 15.435,5 17.223,2 11,6
05.5 Subsektor Koperasi Dari Pengusaha Kecil 881,4 1.630,7 85,0
06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI
DAN GEOFISIKA 9.642,6 8.426,6 - 12,6
06.1Subsektor Prasarana Ja1an 6.235,2 5.243,6 -15,9
06.2Subsektor Transportasi Darat 1.446,4 1.580,2 9,3
06.3Subsektor Transportasi Laut 955,3 452,1 -52,7
. 06.4Subsektor Transportasi Udara 949,4 1.080,6 13,8
06.5Subsektor Meteorologi, Geofisika, Penearian Dari
Penye1amatan (SAR) 56,3 70,1 24,5
07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 7.059,5 6.607,7 - 6,4
07.1 Subsektor Pertambangan 51,0 69,3 36,0
07.2 Subsektor Energi 7.008,5 6.538,4 - 6,7
Tabel 11.24
RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1999/2000
(dalam miliar rupiah)
BAB III
MONETER DAN PERKREDITAN
3.1 Pendahuluan
Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah berdampak
luas pada hampir seluruh sendi perekonomian nasional. Sektor moneter dan perkreditan sebagai
salah satu sendi utama perekonomian mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan.
Hal ini antara lain ditandai dengan melonjaknya laju inflasi, peningkatan likuiditas
perekonomian, dan tingginya tingkat suku bunga, di samping menurunnya kinerja sistem
keuangan nasional, termasuk perbankan dan pasar modal. Fenomena tingginya laju inflasi, yang
mencapai 39,74 persen dalam periode April - Desember 1998, dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang berasal dari sisi penawaran maupun permintaan pasar. Kapasitas penawaran barang,
khususnya barang-barang industri yang mengandung komponen impor dan kelompok bahan
makanan yang sangat rentan akan pengaruh musim kemarau panjang, secara agregat relatif
menurun. Di samping itu, kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah dan adanya perilaku
spekulasi barang oleh sebagian masyarakat, telah menyebabkan terganggunya sistem distribusi
sehingga semakin mendorong naiknya harga-harga barang dari sisi penawaran. Pada saat yang
bersamaan, kegiatan spekulasi barang karena pengaruh isu-isu ekonorni dan politik serta
ekspektasi yang berlebihan terhadap laju inflasi, telah pula menyebabkan meningkatnya
perrnintaan agregat. Perkembangan sisi penawaran dan perrnintaan yang saling bertolak
belakang tersebut pada akhirnya telah menimbulkan implikasi sinergis yang sulit dikendalikan,
yakni naiknya laju inflasi pada bulan-bulan Januari hingga Agustus 1998. Namun demikian,
seiring dengan menguatnya rupiah dan mulai pulihnya sistem distribusi berbagai barang
kebutuhan pokok, dalam bulan September, Oktober, November dan Desember 1998 laju inflasi
mulai menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Dalam rangka memberikan iklim yang mendukung untuk menurunkan laju inflasi, dan
memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, sejak awal tahun 1998 telah
dilakukan langkah-Iangkah pengetatan likuiditas perekonomian dengan lebih mengefektifkan
instrumen operasi pasar terbuka. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter kontraktif tersebut antara
lain dilakukan melalui penyempurnaan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan SertifIkat
Bank Indonesia (SBI), perubahan suku bunga SBI secara fleksibel sesuai dengan perkembangan
perekonomian, dan program sterilisasi likuiditas guna menyerap dampak moneter dari ekspansi
fiskaI. Namun demikian kebijaksanaan likuiditas ketat itu tetap danasarkan pada prinsip kehati-
hatian dan dilakukan dalam kerangka reformasi ekonorni, sehingga perkembangan variabel-
variabel moneter dapat diarahkan untuk mendukung pemulihan perekonornian nasional.
Menjelang akhir tahun anggaran 1997/1998, jumlah uang beredar (Ml) menunjukkan
pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini terutarna danorong oleh meningkatnya perrnintaan uang
kartaI yang digunakan untuk membiayai kegiatan konsumsi sehubungan dengan naiknya harga-
harga barang, serta terjadinya penarikan dana simpanan oleh nasabah bank sehubungan dengan
adanya likuidasi sejumlah bank dan pengaruh isu-isu yang menyudutkan industri perbankan.
Namun demikian mulai pertengahan tahun 1998, jumlah M1 cenderung menurun sehingga
selarna 7 bulan pertama tahun 1998/1999 pertumbuhannya hanya 1,4 persen. Dalam peri ode
yang sama, likuiditas perekonomian tumbuh 18,3 persen, yang antara lain dipicu oleh
pertumbuhan uang kuasi sebesar 23 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi antara lain
disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka.
Perkembangan ekonomi dan moneter yang labil merupakan iklim yang tidak
menguntungkan bagi kegiatan usaha perbankan. Akibat tingginya tingkat suku bunga dan
depresiasi rupiah, telah menyebabkan meningkatnya nilai rupiah dana valuta asing (valas),
sehingga selama April-Oktober 1998 dana masyarakat yang dihimpun industri perbankan naik
16,5 persen, seuangkan alokasi kreditnya justru turun sebesar 1,1 persen. Perubahan kurs rupiah
ternyata cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan posisi kredit perbankan
dibandingkan dengan posisi dana, karena komponen kredit valas relatif lebih besar
dibandingkan dengan komponen dana valas. Narnun demikian kapasitas pengelolaan finansial
perbankan secara umum relatif tidak mengalami perubahan yang berarti karena sebagian besar
bank dihadapkan pada tantangan-tantangan berat yang mempengaruhi kinerja keuangannya. Di
sisi pasiva, gejolak nilai tukar telah mengakibatkan harnpir semua bank mengalami kesulitan
likuiditas karena kebutuhan dana untuk memenuhi kewajiban luar negeri dan penarikan dana
dari masyarakat semakin meningkat, sehingga diperlukan adanya dukungan likuiditas dari bank
sentral. Di samping itu, gejolak nilai tukar rupiah, tingginya suku bunga, dan lesunya kegiatan
dunia usaha, juga telah memperburuk kinerja sisi aktiva perbankan, karena resiko kegagalan
kredit makin meningkat dan kualitas aktiva produktif cenderung menurun. Berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan sisi aktiva dan pasiva tersebut pada akhirnya akan
menurunkan tingkat solvabilitas dan kinerja keuangan perbankan secara keseluruhan. Untuk itu
telah dilakukan upaya reformasi perbankan yang difokuskan pada empat program, yakni
restrukturisasi dan penyehatan perbankan melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, menyempurnakan lebih lanjut pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian dalam
upaya memperbaiki kondisi internal perbankan, memperkuat fungsi pengawasan khususnya
dalam penegakan ketentuan dan Undang-undang yang berlaku, dan menyempurnakan perangkat
hukum yang meliputi perubahan Undang-undang perbankan dan pendirian lembaga asuransi
simpanan.
Gejolak nilai tukar dan krisis ekonomi juga telah menimbulkan implikasi yang tidak
menguntungkan bagi sistem keuangan nasional lainnya, yakni kegiatan pasar modal dan
lembaga-lembaga keuangan bukan bank lainnya. Kegiatan pasar modal selain ditentukan oleh
faktor internal yang mempengaruhi ekspektasi para pelaku pasar dalam melakukan investasi di
pasar modal, seperti perkembangan harga saham dan keamanan berinvestasi, juga ditentukan
oleh faktor ekonomi eksternal, baik perkembangan ekonomi domestik maupun internasional.
Selama delapan bulan terakhir kondisi Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya
(BES) telah mengalami kemerosotan yang berarti, antara lain ditandai oleh penurunan kegiatan
transaksi perdagangan, nilai kapitalisasi pasar, dan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Perkembangan IHSG bahkan pernah mencapai titik terendah dan bertahan pada level yang
rendah selama beberapa bulan seiring dengan memburuknya kinerja sejumlah perusahaan
emiten dan pengaruh gejolak bursa internasional. Untuk memulihkan kegiatan pasar modal,
telah dilakukan berbagai pembenahan, baik yang mencakup pengembangan kerangka hukum,
kelembagaan dan infrastruktur bursa, maupun produk-produk pasar modal. Narnun demikian
disadari bahwa pemulihan kegiatan pasar modal juga sangat tergantung pada perkembangan
perekonomian secara keseluruhan, baik perekonomian domestik maupun global.
tersebut tidak terlepas ari pengaruh berbagai faktor, baik yang bersumber dari sisi penawaran
maupun dari sisi pennintaan. Dari sisi penawaran, melemahnya nilai tukar rupiah serta
terganggunya sistem produksi maupun distribusi beberapa barang kebutuhan pokok merupakan
pemicu utama kenaikan harga-harga. Bersamaan dengan itu timbulnya ekspektasi masyarakat
akan kemungkinan terjadinya kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok telah mendorong
permintaan masyarakat meningkat, sehingga terjadi kenaikan harga. Kenaikan harga
beberapabarang kebutuhan pokok seperti beras, gula posir, tepung terigu, dan minyak goreng
merupakan penyumbang andil yang cukup berarti dalam pembentukan inflasi nasional.
Indeks harga perdagangan besar (IHPB) juga mengalami peningkatan yang cukup
mencolok. Dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan bulan September 1998) IHPB mengalami
kenaikan 98,58 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 3,86 persen. Kenaikan indeks harga sektor ekspor dan
impor merupakan penyebab utarna naiknya IHPB dalarn periode tersebut.
Sementara itu, perkembangan harga beberapa barang ekspor utama di pasar
internasional, khususnya yang berasal dari sektof perkebunan, seperti kopi robusta, karet, dan
sebagainya menunjukkan kecenderungan menurun dalarn 6 bulan pertama tahun 1998/1999.
Ditengah-tengah lesunya perekonomian nasional sebagai darnpak dari krisis moneter,
perkembangan tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan
bulan Juni 1998) pada umumnya tidak mengalami kenaikan dibandingkan dengan tingkat upah
tahun sebelumnya. Kenaikan yang relatif kecil hanya terjadi pada sektor perkebunan dan sektor
jasa-jasa dengan persentase kenaikan antara 3,35 persen sarnpai dengan 6,38 persen.
Sampai dengan bulan kelima tahun 1998/1999 indeks harga konsumen menunjukkan
peningkatan dimana kenaikan yang cukup tinggi terjadi dalarn bulan Juli dan Agustus 1998
yang masing-masing mencapai 8,56 persen dan 6,30 persen. Dalarn bulan September 1998 laju
inflasi mulai menurun menjadi 3,75 perren, yang selanjutnya diikuti oleh terjadinya deflasi
dalarn bulan Oktober 1998 sebesar 0,27 persen. Dalarn bulan November dan Desember 1998
kembali terjadi kenaikan indeks harga konsumen, narnun kenaikannya relatif kecil masing-
masing sebesar 0,08 persen dan 1,42 persen. Berdasarkan perhitungan point to point, laju
inflasi dalarn sembilan bulan pertama tahun 1998/1999 meneapai 39,74 persen, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan inflasi periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,62
persen.
Dilihat dari kelompok pengeluaran yang tereaIrup dalarn penghitungan inflasi nasional,
kelompok bahan makanan merupakan kelompok pengeluaran yang mengalarni kenaikan indeks
tertinggi dalarn periode April-Desember 1998 dengan persentase kenaikan 57,89 persen.
Kenaikan indeks harga terbesar kedua terjadi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok,
dan tembakau, yang meningkat 48,76 persen. Kelompok pengeluaran lainnya seperti kelompok
sanuang, kelompok transpor dan komunikasi, dan kelompok kesehatan meningkat antara 36,14
persen sarnpai dengan 36,71 persen, sementara indeks harga kelompok perumahan dan
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga, masing-masing meningkat 23,65 persen dan
20,11 persen.
Kenaikan indeks harga kelompok bahan makanan dalam periode April-Desember 1998
terutarna dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan
hasil-hasilnya, subkelompok bumbu-bumbuan, subkelompok ikan diawetkan, subkelompok ikan
segar, subkelompok kacang-kacangan, dan subkelompok sayur-sayuran, dengan persentase
kenaikan berkisar antara 50,95 persen sarnpai dengan 93,27 persen. Sementara itu dalarn
kelompok makanan jadi, kenaikan indeks harga tertinggi terjadi pada subkelompok tembakau
dan rninuman beralkohol 55,01 persen, yang kemudian seeara berturut-turut diikuti oleh
subkelompok rninuman tidak beralkohol dan subkelompok makanan jadi, masing-masing 52,30
persen dan 45,30 persen.
Tersedianya pasokan yang cukup serta membaiknya sistem distribusi beberapa barang
kebutuhan pokok telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan harga. Hal ini
tereermin dari menurunnya laju inflasi yaitu dari 6,30 persen dalarn bulan Agustus 1998
menjadi 3,75 persen dalarn bulan September 1998, bahkan dalarn bulan Oktober 1998 terjadi
deflasi sebesar 0,27 persen. Deflasi yang terjadi dalarn bulan Oktober 1998 terutama
dipengaruhi oleh menurunnya harga-harga sebagian komoditas penting yang terjadi di 44 kota.
Dua kelompok pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan dan kelompok sanuang merupakan
penyumbang andil deflasi dalarn bulan Oktober 1998, masing-masing 0,60 persen dan 0,16
persen. Beberapa jenis barang yang mengalami penurunan harga eukup berarti adalah beras,
minyak goreng, daging ayarn ras, lombok merah, dan emas perhiasan, dengan andil deflasi
berkisar dari 0,11 persen sarnpai dengan 0,58 persen. Selanjutnya dalam bulan November dan
Desember 1998 indeks harga konsumen kembali meningkat narnun kenaikannya relatif kecil,
masing-masing 0,08 persen dan 1,42 perren. Inflasi bulan Desember 1998 dipengaruhi oleh
kenaikan indeks harga subkelompok daging dan hasil-hasilnya, subkelompok padi-padian,
umbi-umbian, dan hasil-hasilnya. subkelompok sayuran, subkelonpok sanuang anak-anak,
dengan persentase kenaikan antara 4,02 persen sampai dengan 8,79 persen.
Dalam periode April-Desember 1998 inflasi yang terjadi di 44 kota pada umumnya
cukup tinggi dengan persentase antara 21,26 persen sampai dengan 64,73 persen. Kota yang
mengalami laju inflasi tertinggi adalah Kendari, seuangkan inflasi terendah terjadi di kota
Batam. Perkembangan laju inflasi nasional dan terinci menurut kota, dapat dilihat dalam Tabel
111.1, Tabel 111.2, dan Grafik 111.1.
Minyak goreng yang juga merupakan salah satu barang kebutuhan pokok masyarakat
harganya juga sempat bergejolak sebagai akibat terganggunya pasokan di pasar. Kenaikan harga
tertinggi terjadi dalam bulan Juli 1998 dengan andil inflasi 0,57 persen. Sejalan dengan
meningkatnya pasokan serta membaiknya distribusi, dalam lima bulan berikutnya harga
komoditi ini mulai menurun sehingga dalam bulan Agustus, September, Oktober, November dan
Desember 1998 minyak goreng memberikan andil deflasi, masing-masing 0,12 persen, 0,05
persen, 0,20 persen, 0,12 persen, dan 0,03 persen.
Tabel III.1
1) Sejak April 1998 IRK digolongkan menjadi 7 kelompok.mencakup 44 kOla dan 249-353 jenis barang dan jasa (1996=100)
2) Sampai dcngan Maret 1998 merupakan kelompok makanan
3) Sampai dengan Maret 1998 merupakan kclompok aneka barang & jasa
4) Sampai Dengan Maret 1998 berdasarkan kumulatif inflasi ( April 1988-Maret1989=100)
5) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998
6) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Desember1997
Tabel 111.2
PERUBAHAN INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 44 KOTA DI INDONESIA I), 1989/1990 - 1998/1999
( dalam persentase )
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- --
10,50 --
-
199111992 Kumulatif -- -- -- -- - -- -- --
6,70
-
1992/1993 Kumulatif 7,05 -- 11,27 -- -- -- 9,24 7,72 --
1993/1994 Kumulatif 7,72 ' -- 4,43 -- -- -- 6,52 9,12 --
.
1994/1995 Kumulatif 8,26 8,83 8,73 7,23
-- -- -- -- --
1995/1996 Kumulatif .8,38 -- 9,51-- -- -- 8,08 7,38 --
1996/1997Juni 0,10 -- 0,13-- -- -- 0,18 0,34 --
September -0,30 -- -0,07-- -- -- -0,49 - 0,83 --
Desember 0,29 -- 0,61-- -- -- 1,07 1,00 --
Maret 2,42 -- 1,20-- -- -- 0,77 -1,06 --
Kumulatlf 7,65 - 7,10- -- -- 4,99 3,86 --
1997/1998Juni -0,31 -- -1,02-- -- -- -1,20 -1,19 --
September 0,55 -- 0,21-- -- -- 0,92 0,78 --
Desember 1,64 -- 3,23-- -- -- 0,56 - 0,15 --
Maret 6,09 -- 4,36-- -- -- 2,33 4,19 --
Kumulatlf 29,03 - 33,51-- -- -- 36,35 32,43 --
1998/1999April 3,05 6,34 7,339,95 5,65 I 7,09 8,12 5,56 1,51
Mei 8,03 6,73 8,766,43 6,91 5,52 6,69 5,76 2,63
Juni 7,35 7,78 3,55 7,84 6,62 5,87 6,38 5,85 5,42
Juli 7,12 9,35 7,88 7,41 10,27 11,55 8,05 8,28 6.88
Agustus 4,78 3,48 4,46 2,71 5,38 3,65 3,77 7.13 1,54
September 4,90 5,30 5,79 6,62 4,73 5,50 6,03 5,05 2,86
Oktober 0,11 -0,70 -0,42 - 1,42 -3,02 -0,67 -1,84 - 1,31 -0,50
November 1,14 0,40 2,11 0,38 3,20 -0,44 1,80 0,32 0,70
Desember 3,00 0,18 2,67 4,61 1,21 1,42 1,16 1,23 -1,29
(Apr. - Des.)" 46,75 45,59 50,45 53,66 48,21 46,36 47,48 44,32 21,26
I) Sejak April 1998 mencaltup 44 kOla
2) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)
Dandar
Serangl
Jambl Jakarta Dandung Taslkmalaya Clrebon
Akhir perlodPlkumulatif Palembang Dengkulu
Lampung Cllegon
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (6) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
1990/1991 Kumulatif .- -- -- .. -- -- -- .- --
1991/1992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
1992/1993 Kumulatif 9,30 9,08 8,63 8,80 11,50 8,41 -- .- --
1993/1994 Kumulatif 6,85 7,00 5,80 5,14 7,29 8,05 -- -- --
1994/1995 Kumulatif 6,12 6,63 9,46 8,98 9,47 7,26 -- -- --
1995/1996 Kumulatif 7,56 9,87 6,87 9,17 10,30 7,58 -- -- --
1996/1997 Juni -0,18 -0,15 1.07 0,18 0,04 -0,01 -- -- --
September 0,82 0,25 -0,70 0,20 -0,09 0,04 -- -- --
Desember 1,05 1,40 0,62 0,72 0,38 0.17 -- -- --
Maret -0,23 -0,03 0,36 -0,96 -0,59 -0,38 -- -- --
Kumulatif 5,05 5,04 5,81 4,85 5,16 4,89 -- -- --
1997/1998 Juni -1,49 0,1\ -0,98 -0,02 -0,03 -0,14 -- -- --
September 1,19 1,18 0,86 0,97 1,79 1,01 .- -- --
Desember 0,63 3,15 -1,15 2,66 2,48 1,22 -- -- --
Maret 3,90 7,85 4,27 8,2'7 5,31 9,05 -- .- --
Kumulatlf 33,23 36,11 31,98 31,31 36,69 33,77 6,97 6,93 7,05
1998/1999 April 6,96 5,47 5,87 3,23 3,51 3,44 1,62 4,79 2.72
Mei 6,88 6,69 4,41 4,24 5,16 3,76 2,46 7,70 4,63
Juni 4,19 5,18 4,52 7,74 4,83 4,48 5,24 5.91 4,28
Juli 7,67 11,92 1\,84 6,33 8,13 8,18 6,02 6.46 5,93
Agustus 5,19 6,40 7,70 10,69 6,15 4,69 6,16 4.81 6,35
September 4,49 6,16 6,65 4,04 3,25 3,13 3,57 4,71 3,23
Oktober - 1,41 -0,37 -2,02 -0,35 -0,68 -0,37 -0,89 -0.78 -0,09
November 1,12 0,40 -0,88 -0,02 -0,71 0,31 -0,67 0,70 0,70
Desember 1,34 1,51 0,31 -0,53 1,60 1,14 1,32 0..81 0,23
(Apr. -Des.)
42,28 51,83 44,57 40,70 35,49 32,39 27,41 40,66 31,44
I)
I) Pcrubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)
Purwok
Akhlr perlodelkumulatif Semarang Tegal Surakarta Yogyakarla Surabaya Malang Kediri Jember
erlo
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
\99\11992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
\992/\993 Kumulatif 9,14 -- -- -- 8,40 9,54 -- -- --
\993/\994 Kumulatif 4,61 -- -- -- 7,24 8,39 -- -- --
\994/\995 Kumulatif 7,55, -- -- -- 9,50 7,85 -- -- --
\995/\996 Kumulatif 6,69 . -- -- -- 7,73 8,24 -- -- --
\996/\997 JuRi 0,01 -- -- -- 0,10 -0,38 -- -- --
September 0,26 -- -- -- 0,\5 0,08 -- -- --
Desember 0,12 -- -- -- 0,33 0,32 -- -- --
Maret -0,37 -- -- -- 0,53 0,12 -- -- --
Kumulatif 4,67 -- -- -- 2,67 5,53 -- .. --
\997/\998 JuRi 0,39 -- -- -- - 0,11 -0,22 -- -- --
September \,24 -- -- -- 1,76 0,24 -- -- --
Desember 2,63 -- -- -- 3,2\ \,99 -- -- --
Maret 4,02 -- -- -- 7,54 4,45 -- -- --
Kumulatif 30,59 -- -- -. 40,95 33,16 -- -- --
\998/\999 April 5,91 4,35 \,75 2,42 4,11 5,64 4,81 2,93 2,8\
Mei 4,27 3,53 3,98 6,73 3,57 4,79 6,50 3,57 4,85
JuRi 2,96 5,76 5,53 4,80 4,75 4,40 5,78 5,68 6,74
Juli 7,35 6,86 7,77 7,45 8,60 10,97 7,43 8,07 10,10
Agustus 5,83 8,95 9,09 7,25 7,53 8,83 7,09 11,24 9,37
September 3,49 4,55 3,00 4,06 4,43 0,88 4,25 2,56 2,57
Oktober -0,02 0,28 -0,23 -0,55 -0,14 0,18 \,31 -0,55 -0,20
November 0,30 \,6\ -0,06 -0,07 -0,24 0,85 \,34 0,87 -0,30
Desember \,55 1,02 \,94 1,30 0,83 \,78 \,\8 \,24 1,62
(Apr - Des)
36,15 43,14 37,43 38,31 38,35 44,26 47,10 41,08 43,69
1)
1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)
Akhir periodeJ Denpasar Mataram Kupang Dm Pontianak Palangka- Sampit Banjarmasin Samarinda
kumulatif rays
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199111992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199211993 Kumulatif 11,04 9,60 10,11 10,70 8,25 7,21 -- 9,46 6,46
1993/1994 Kumulatif 7,20 7,89 7,34 3,06 7,41 8,09 -- 4,42 6,45
1994/1995 Kumulatif 5,80 8,89 6,41 9,42 6,54 10,33 -- 8,22 10,31
1995/19% Kumulatif 6,47 6,59 6,45 5,45 8,59 3,22 -- 7,61 6,45
19%11997 Juni -0,73 0,72 - 0,45 3,80 0,24 -0,29 -- -1,53 -0,28
September 0,28 0,89 0,41 -0,06 0,94 0,14 -- 0,10 0,89
Desember 0,36 0,37 2,48 _I,ll 0,57 1,09 -- 1,25 0,32
Maret 1,95 0,83 -0,25 0,25 -0,33 -0,79 -- 0,31 -0,62
Kumulatlf 4,01 7,20 5,94 6,96 6,30 3,47 -- 4,38 6,96
199711998 Juni 0,02 -1,36 -0,11 0,48 1,06 -1,32 -- 0,95 -0,10
September 2,40 1,88 2,03 0,08 1,75 3,24 -- 2,55 1,90
Desember 1,50 0,49 1,49 2,00 1,55 -1,22 -- 1,74 -0,08
Maret 5,80 7,38 6,03 3,09 3,72 3,33 -- 0,62 5.70
Kumulatif 29,70 29,43 20,82 21,10 35,18 33,53 -- 37,20 31,59
199811999 April 4,03 4,60 2,29 9,43 7,35 5,00 5,42 5,58 3,73
Mei 5,77 10,37 5,74 7,86 4,31 5,59 4,01 7,75 5,04
Juni 3,00 4,02 2,55 1,77 3,19 4,98 5,15 2,44 2,13
Juli 8,84 8,92 6,90 5,58 7,83 7,70 8,70 8,63 7,65
Agustus 7,61 6,26 3,31 6,91 5,90 4,76 4,38 6,66 5,35
September 4,82 5,43 10,60 6,21 4,55 4,68 5,84 6,65 1,90
Oktobe 0,47 1,18 0,94 1,00 0,05 -0,53 0,95 0,05 3,97
November 1,46 2,12 -0,84 0,09 -1,00 -0,26 -2,18 -0,81 -1,16
Desember 0,75 0,80 2,44 1,21 -0,13 0,05 2,07 1,00 -1,21
(Apr, -
42,90 52,62 38,93 47,32 36,46 36,46 39,31 38,98 30,56
Des.)')
I) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhad." IHK bulan Marel 1998 (1996 = 100)
1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)
1998 harga emas mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya, narnun harga
pada bulan-bulan tersebut rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga emas yang
terjadi pada akhir tahun 1997/1998. Sementara itu perkembangan harga emas di pasar London
dalarn periode April-November 1998/1999 juga berfluktuasi dengan kecenderungan melemah.
Bahkan harga rata-rata emas dalam kurun waktu 8 bulan pertama tahun 1998/1999 tersebut
masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata harga yang dicapai dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya.
Semenjak terjadinya gejolak nitai tukar rupiah yang diawali krisis mata uang baht
Thailand, perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta cenderung menguat
terhadap rupiah. Dalam kurun waktu 1 tahun sejak krisis melanda pasar uang dalam negeri (Juli
1997-Juli 1998) harga berbagai mata uang asing di pasar Jakarta mengalami peningkatan rata-
rata 462,5 persen terhadap rupiah. Namun demikian, melalui berbagai kebijaksanaan yang telah
diambil pemerintah seperti pelepasan band intervensi, peningkatan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), pelaksanaan berbagai program reformasi dalarn rangka pemulihan
perekonomian, baik di biuang fiskal, keuangan, maupun sektor riil, serta dengan didukung oleh
semakin menurunnya laju inflasi, perkembangan harga mata uang asing mulai memperlihatkan
penurunan terhadap rupiah. Sejak bulan Agustus 1998 sampai dengan November 1998 harga
berbagai mata uang tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan harga yang terjadi
dalam bulan-bulan sebetumnya. Dalam periode April-November 1998 mata uang dolar
Singapura, dolar Hongkong, dolar Amerika Serikat, dan pound sterling Inggris mengalami
depresiasi cukup besar terhadap rupiah dengan persentase penurunan antara 10,51 persen sampai
dengan 15,02 persen. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta maupun di pasar London serta
harga beberapa mata uang asing di pasar Jakarta dapat dilihat dalam Tabel 111.3, Tabel 111.4,
dan Graflk 111.2.
Melemahnya permintaan negara-negara mitra dagang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan harga-harga beberapa jenis komoditi ekspor di pasar
internasional. Dalam periode April-September 1998 harga beberapa komoditi ekspor cenderung
melemah. Bahkan beberapa komoditi seperti kopi robusta dan lada putih di pasar New York,
plywood di pasar Tokyo, dan karet RSS III di pasar New York, dalam perdagangan bulan
September 1998 ditutup pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang
dicapai dalarn bulan Maret 1998. Sementara itu, komoditi ekspor lainnya seperti lada hitam di
pasar New York dan minyak sawit di pasar London, walaupun harganya juga cenderung
menurun, namun tingkat harga yang terjadi dalam bulan September 1998 masih lebih tinggi
dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 1997/1998. Dalam periode April-September
1998/1999 harga kedua komoditi ekspor tersebut terakhir mengalarni kenaikan masing-masing
9,10 persen dan 3,98 persen.
Di pasar Jakarta perkembangan harga kopra dan kopi robusta dalam periode April-
September 1998 terus meningkat setiap bulannya. Seuangkan untuk komoditi karet jenis RSS I
dan lada putih harganya sedikit fluktuatif. Dalam bulan September 1998 harga karet RSS I
mencapai Rp 6.610.000 per ton, atau mengalami kenaikan 1,61 persen dibanding dengan harga
Tabel III.3
BARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN
DI PASAR LONDON, 1989/1990 - 1998/1999
Jakarta London
Periode (24' daIam Rp/gram) (US$/troyounce)
(1) (2) (3)
Tabel 111.4
HARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 1989/1990 - 19981999
( harga juRI dalam rupiah per satuan )
Sementara untuk lada putih, setelah mencapai harga tertinggi dalam bulan Juni 1998, dalam
bulan Juli, Agustus, dan September 1998 harganya kembali melemah rata-rata 3,68 persen per
bulan. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer di pasar Jakarta dan di pasar
internasional, dapat dilihat dalam Tabel III.S, Tabel 111.6, dan Grafik 111.3.
tingkat upah maksimum, kenaikan upah tertinggi terjadi pada sektor jasa-jasa yaitu 6,38 persen.
Perkembangan upah maksimum dan minimum di berbagai sektor ekonomi dapat dilihat dalam
Tabel 111.9.
3.4 Perkembangan Uang Primer (MO) dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya
Sejak diluncurkannya program stabilisasi dan reformasi ekonomi, upaya untuk mencapai
kestabilan moneter dilaksanakan antara lain melalui pengendalian pertumbuhan aktiva domestik
bersih (Net Domestik Assets/NDA) dan cauangan devisa bersih (Net International Reserves/NIR)
sebagai indikator pencapaian sasaran (peiformance criteria). Sementara itu reserve money atau
uang primer (MO) dan bantuan likuiditas kepada bank digunakan sebagai sasaran indikatif
(indicative target).
Tabel 111.5
Tabel 111.6
HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1989/1990 - 1998/1999
RSSIII Kopra Kopl robusta Lada putih Lada hitam Tlmah putlh Minyak sawlt Plywood
Periode US $ ctJIb Br flkg Sin $ ctlkg US $lit US $lit US $ ctJIb Sin $/kg Sin $/kg Br Imt Br lit /Sheet
(Slngapura
(New York) (London) (Slngapura) (Manila) (London) eks Palem- (Slngapura) (London) Eks Malaysia (Tokyo)
)
bang (London)
(New York)
(I) (2) (3) (4) IS) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12)
1989/1990 46,82 58.17 165,62 321,96 168,--1) 61.66 524,27 2) 455,842) 7.658,56 320,38 1.037,50
199011991 46,-- 49.90 144,50. 222,30 158,33 45.94 2,56 2,73 5.880,63 303.32 1.224.38
1991/1992 43,06 52,02 134,99 - 142,24 41,48 2,22 2,02 5.618,44 404 , 90 1.065,--
1992/1993 43,48 62,44 134,42 - 140,10 37.79 2,65 1,71 5.653,63 414,69 1.160,--
1993/1994 45,28 67.71 145,86 354,-- - 61,46 4,44 2,44 5.423,75 396,76 1.210,--
1994/1995 88,63 118.85 263,79 437.67 124,90 140.53 5,22 3,23 5.543,20 716,10 1.200,--
1995/1996 76,10 105.11 219,85 464.67 176,50 100.62 5,24 2,71 6.167,69 519,03 1.200.--
199611997Juni 72,50 99,63 210,75 525.25 - 88,99 4,97 2.65 6.333,75 556,25 1.220,
September 63,50 86,36 182,76 475,-- 147,85 70,95 5,05 3,30 6.102,40 548,-- 1,275,
Desember 62,26 78,24 174,71 493.75 164.06 61,11 6,05 3.31 6.045,-- 581.62 1.290,
Maret 61,53 78,85 174,57 490,-- 149,05 68,52 7,37 3.84 5.899,47 560,00 1.300,
1997/1998Juni - - 159,88 422,13 - 63,97 5,25 3.68 5.658,75 553,13 1.280,
September 45,53 57.63 133.78 407,48 70,92 67,36 10,10 7.11 5.496.50 524,-- 1.080,
Desember 35,68 41,14 107,15 398.75 64,00 78,48 14,71 7,97 5.631,25 548,13 985,
Maret 36,74 44.31 115,54 377,50 71,61 80,33 11,94 7.25 5.465,-- 676,45 950,
1998/1999April 36,72 46.50 122,50 - 74,10 87,05 12,45 9.-- 5.702,94 695,17 825,
Mei 39,75 49,22 126,73 - - 89,89 12,63 9,44 5.877,87 705,17 825,
Juni 37,59 46,35 121,25 - - 81,98 12,46 9,10 6.057,28 622,86 875.
Juti 37,50 44,35 125,35 - - 73,89 11,71 8.68 5.634,74 652,50 875,
Agustus 36,25 46.38 114,38 407,50 80,00 76,33 11,02' 8,12 5.560,-- 960,-- 825,
September 34,64 45.88 118.35 410.07 81.13 76,65 11,81 7.91 5.493,-- 703.39-
Tabel ill.7
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR, 1987 - 1998
( 1983 = 100 )
Pertambanga
Indeks Perubahan
n
Pertania dan indeks
Tahun Industri Impor Ekspor umum
n Penggalian umom
(%)
(1)(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Tabel III.8
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN
BANGUNANIKONSTRUKSI
( 1983 = 100 )
_ Tabel 111.9
Sektor 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
( Rata-rata upah minimum )
1. Perkebunan 100.590 14.740 149.699 169.812 240.439 272.440 272.440 275.755 285.000
2. Pertambangan 218.241 321.750 368.870 413.807 487.299 505.768 573.229 650.293 650.293
3. In d u s tr i 171.957 186.069 187.800 195.527 206.907 238.474 240.730 289.605 295.000
4. Bangunan 221.240 176.338 254.366 289.882 295.514 326.662 409.404 438.952 438.952
5. Lis t r i k 105.751 130.990 150.782 155.240 172.865 267.220 311.995 311.995 311.995
6. Perdagangan 227.611 250.343 3()5.080 315.535 326.146 368.371 399.482 427.586 428.500
7. Perhubungan 133.671 168.800 223.145 230.460 466.757 493.727 493.272 596.915 598.000
8. JaSa-jasa 157.585 223.252 234.683 234.683 234.683 280.518 332.525 385.678 391.200
( Rata-rata upah makslmum )
I. Perkebunan 1.050.965 1.563.064 1.814.862 1.835.324 1.835.324 1.927.092 1.941.428 2.848.475 2.850.500
2. Pertambangan 2.269.215 3.869.560 3.950.119 4.495.389 4.668.740 4.905.578 5.297.412 5.587.209 5.589.209
3. In d u s tr i 1.997.947 2.244.380 2.704.974 2.920.324 3.111.889 3.453.347 3.453.347 4.088.210 4.088.210
4. Bangunan 1.879.124 2.147.802 2.263.366 2.656.364 2.777.218 3.047.198 3.620.798 4.570.066 4.570.066
5. Listrik 821.069 1.054.296 1.308.292 2.643.471 2.744.415 3.551.952 3.907.970 3.907.970 3.907.970
6. Perdagangan 1.967.498 2.509.900 3.313.904 3.732.806 4.506.183 4.904.394 5.807.734 6.205.000 6.208.000
7. Perhubungan U72.333 2.179.183 2.804.609 2.930.816 4.310.603 4.398.689 4.398.689 4.398.689 4.400.689
8. Jasa-jasa 1.775.659 2.188.040 2.270.505 2.509.258 2.509.258 2.779.769 2.779.769 3.029.571 3.222.8&7
Sehubungan dengan hal tersebut, agar pengendalian uang beredar sesuai dengan
kebutuhan dan dalam rangka penerapan kebijaksanaan moneter yang ketat, pemerintah telah
menyempumakan perhitungan uang primer menjadi base money. Dalam perhitungan ini, base
money didefinisikan sebagai uang primer ditambah dengan kekurangan giro wajib minimum
(GWM). Penyempumaan ini dilatarbelakangi oleh kondisi perbankan yang mengalami kesulitan
likuiditas dan terjadinya penarikan dana masyarakat yang cukup besar sehingga tidak mampu
memenuhi ketentuan giro wajib minimum.
Ekspansi uang primer dalam tahun anggaran 1998/1999 dipengaruhi pula oleh
meningkatnya posisi cauangan devisa bersih dan kontraksi aktiva domestik bersih. Posisi
cauangan devisa bersih sampai dengan bulan November tahun anggaran 1998/1999 mencapai
Rp 142.104 miliar atau setara dengan US$ 14,21 miliar. Posisi ini berada di atas jurnlah
minimum target indikatif yakni US$ 11,26 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun anggaran
1997/1998 dimana cauangan devisa bersih berjumlah Rp 92.258 miliar, maka posisi cauangan
devisa bersih ini telah mengalami kenaikan sebesar Rp 49.846 miliar atau 54,03 persen.
Meningkatnya posisi cauangan devisa bersih ini antara lain berkaitan dengan adanya pencairan
dana pinjaman luar negeri pemerintah seperti CGI, OECF, dan IBRD, serta penerimaan ekspor
non migas. Sementara itu, aktiva domestik bersih mengalami kontraksi Rp 38.557 miliar atau
126,54 persen yakni dari negatif Rp 30.471 miliar pada bulan Maret tahun 1998 menjadi negatif
Rp 69.028 miliar pada bulan November tahun anggaran 1998/1999, sehingga masih berada di
bawah jumlah maksimum target indikatif sebesar negatif Rp 39,56 triliun.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak bulan Juli 1997, telah
rnenyebabkan perkembangan moneter di Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini
ditandai oleh melonjaknya pertumbuhan besaran-besaran moneter sebagai akibat melemahnya
nilai tukar rupiah dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Untuk itu
kebijaksanaan pemerintah diarahkan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
sektor perbankan dan menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang sesuai dengan
tercapainya pemulihan kinerja perekonomian yang sehat. Kebijaksanaan tersebut ditempuh
antara lain melalui kebijaksanaan likuiditas perekonomian yang ketat.
Hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang ditempuh terlihat dari menurunnya
pertumbuhan jumlah uang beredar (M 1) yaitu dari rata-rata 0,89 persen per bulan dalarn
periode April-0ktober 1997, menjadi rata-rata 0,29 persen per bulan dalam periode yang sama
tahun 1998/ 1999. Jumlah uang beredar sampai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 99.603 miliar,
yang terdiri dari uang kartal Rp 41.481 miliar dan uang giral Rp 58.122 miliar. Dibanding
dengan posisi uang beredar pada akhir Maret 1998 yang berjumlah Rp 98.270 miliar, maka
dalarn periode April Oktober 1998 peningkatan jumlah uang beredarmencapaiRp 1.333 miliar
(1,36 persen). Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan uang
kartal 8,60 persen, seuangkan uang giral mengalami penurunan 3,25 persen. Meningkatnya uang
kartal tersebut antara lain rnerupakan pencerminan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap
rupiah dalam melakukan transaksi guna mengkompensir laju inflasi, disarnping belum pulihnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sementara itu, hila dibandingkan dengan
pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,96 persen, maka
pertumbuhan uang beredar dalarn tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan bulan Oktober
1998 jauh lebih rendah.
Posisi likuiditas perekonomian (M2) sarnpai dengan akhir Oktober 1998 mencapai Rp
531.977 rniliar, yang meliputi uang beredar (Ml) Rp 99.603 miliar dan uang kuasi Rp 432.374
rniliar, atau masing-masing mempunyai pangsa 18,7 persen dan 81,3 persen terhadap likuiditas
Tabel m.l0
Uang Primer, 1997/1998 . 1998/1999
( dalam miliar rupiah)
Sektor 1997/1998 1998/1999
perekonomian. Dalarn tahun anggaran 1998/1999 sarnpai dengan bulan Oktober 1998, likuiditas
perekonomian mengalami peningkatan Rp 82.153 miliar ( 18,3 persen). Peningkatan tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama tahun sebelumnya yang
meningkat Rp 46.163 miliar (15,7 persen). Tingginya pertumbuhan likuiditas perekonomian
tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan uang kuasi.
Uang kuasi selarna tujuh bulan pertama tahun anggaran 1998/1999 mengalami
peningkatan yang tajarn, yaitu Dari Rp 351.554 miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp
432.374 miliar pada bulan Oktober 1998 atau meningkat Rp 80.820 miliar (23,0 persen).
Pertumbuhan uang kuasi ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya yang meningkat 18,3 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi dalarn tahun
anggaran 1998/1999 (sarnpai dengan bulan Oktober 1998) terutarna disebabkan oleh
meningkatnya dana simpanan dalarn bentuk rupiah 26,1 persen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan jumlah uang beredar (Ml) dalarn tahun
anggaran 1998/1999 sarnpai dengan Oktober 1998 terutama bersumber dari pengaruh
menarnbah pada aktiva luar negeri bersih Rp 20.731 miliar dan lainnya bersih Rp 69.368 miliar.
Seuangkan pengaruh mengurang berasal dari uang kuasi Rp 80.786 miliar, sektor pemerintah Rp
4.356 miliar, dan tagihan pada lembagal perusahaan dan perorangan Rp 3.624 miliar. Tingginya
pengaruh mengurang atas jumlah uang beredar yang berasal dari uang kuasi, disebabkan oleh
meningkatnya dana simpanan dalarn rupiah karena meningkatnya suku bunga perbankan.
Sementara itu, pengaruh mengurang yang bersumber dari sektorpemerintah antara lain
disebabkan meningkatnya penerimaan dalam negeri terutarna yang bersumber dari pajak ekspor
dan pajak pengahasilan. Seuangkan pengaruh mengurang yang berasal tagihan pada lembaga
perusahaan dan perorangan disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan kredit perbankan sebagai
akibat masih tingginya suku bunga perbankan. Perkembangan jumlah uang beredar, likuiditas
perekonomian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar dapat dilihat dalam
Tabel 111.11, Tabel 111.12, Tabel 111.13, dan Grafik 111.4.
3.6 Perkiraan Jumlah Uang Beredar (M1), Likuiditas Perekonomian (M2), dan Kredit
Perbankan dalam Tahun 1999/2000
Arah kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1999/2000 tetap ditujukan pada
upaya untuk mengendalikan laju inflasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung upaya
menstabilkan nilai tukar rupiah serta menciptakan iklim yang kondusif bagi proses pemulihan
ekonomi dan upaya pengurangan tingkat kemiskinan. Dalarn pada itu, Pemerintah akan tetap
memelihara suku bunga pada tingkat yang marnpu menjaga posokan likuiditas agar tidak
memberikan tekanan-tekanan pada harga-harga dan memulihkan kepercayaan kepada
perekonomian Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan berat yang dihadapi
perekonomian nasional serta mempertimbangkan perkiraan laju inflasi, pertumbuhan ekonomi,
dan besaran-besaran moneter, prospek neraca pembayaran dan RAPBN dalam tahun anggaran
199912000, maka jumlah uang beredar (Ml), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit
perbankan dalam tahun anggaran 1999/ 2000 diperkirakan akan meningkat masing- masing
sebesar 29,5 persen, 14,3 persen, dan 7,8 persen.
Tabel 111.11
JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 - 1998/1999
(dalam mlliar rupiah)
(Apr.-Okt.'97) - - - -- 6,0
Tabel Ill.12
LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah )
I) Uang beredar dalam ani sempit terdiri atas uang kana! dan uang giraI, biasa dinyatakan dengan simbol
MI.
2) Terdiri atas deposito beIjangka dan tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik.
3) Merupakan uang beredar dalamani luas, yang biasadinyatakan dengan simbol M2. terdiri atas uang
beredar
dalam ani sempit dan uang kuasi.
Tabel 1lI.13
F AKTOR-F AKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 . 1998/1999
I.Aktiva luar negeri bersih - 736 2.278 3.462 9.715 - 3.196 - 3.976 9.102 - 15.227 62.427 20.731
1) Terdiri Dari deposito betjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk 2} Sampai dengan
bulan Oktober 1998.
dana pasar Uang antar bank juga meningkat, hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai transaksi di
pasar uang antar bank selama tahun anggaran 1998/1999. Nilai transaksi di pasar uang antar
bank dalam periode April-Oktober 1998 mencapai Rp 1.289.544 miliar, atau 169,20 persen
lebih besar dibandingkan nilai transaksi yang terjadi dalam periode yang sama tahun
sebelurnnya yang mencapai Rp 479.026 miliar. Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang
pasar uang antarbank dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998) mengalami
kenaikan 8,18 pain, yaitu dari 51,42 persen pada bulan Maret 1998 menjadi 59,60 persen pada
bulan Oktober 1998. Perkembangan nilai transaksi dan suku bunga di pasar Uang antar bank
dapat dilihat dalam Tabel 111.14.
Tabel 111.14
Tabel 111.15
ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu telah memberikan pengaruh cukup besar
terhadap perkembangan industri perbankan. Perubahan drastis di pasar uang yang ditandai
adanya depresiasi kurs rupiah menyebabkan nilai rupiah kewajiban valuta asing bank-bank
meningkat. Sementara itu gejala kelesuan yang melanda sektor dunia usaha dan kebijaksanaan
likuiditas ketat yang diarahkan untuk meredam laju inflasi dan gejolak kurs, telah menyebabkan
meningkatnya fisiko kegagalan kredit dan menurunnya kualitas aktiva produktif, sehingga
kinerja sisi aktiva perbankan cenderung memburuk. Disisi lain, tindakan pencabutan izin usaha
sejumlah bank yang dilakukan dalarn rangka penyehatan sistem perbankan dan adanya isu-isu
yang kurang menguntungkan industri perbankan, telah menimbulkan reaksi negatif berupa
penarikan dana simpanan oleh masyarakat sehingga bank-bank mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk meminimalisasi dampak krisis ekonomi terhadap industri perbankan dan mengantisiposi
perkembangan perbankan yang cenderung memburuk, Pemerintah telah melakukan berbagai
kebijaksanaan atau langkah persuasif, baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang.
Kebijaksanaan jangka pendek antara lain dilakukan dengan memberikan bantuan likuiditas Bank
Indonesia kepada bank-bank yang masuk dalam program penjaminan, untuk menalangi
pembayaran kewajiban bank. Hal ini dimaksudkan agar kesulitan likuiditas yang dialami oleh
sejumlah bank tidak sampai menimbulkan efek berantai (systemic effect) kepada sistem
perbankan dan perekonomian secara keseluruhan, dan sekaligus untuk memperbaiki
kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan.
Tabel 111.16
SUKU BUNGA, 1989 - 1998
(dalam persen per tahun)
Kredit
Deposito 2)
SBI I) SBPUI) KMK
3 bin 6 bin 12 bin 24 bin Investasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi fisiko kredit
yang berlebihan. Untuk mendorong perubahan ke arah itu, Bank Indonesia akan terus
meningkatkan kualitas sistem pengawasan bank dan penegakan ketentuan (law enforcement),
termasuk ketentuan capital adequacy ratio (CAR) dan batas maksimum pemberian kredit
(BMPK) melalui penerapan sanksi secara tegas dan keras kepada bank-bank pelanggar. Dengan
demikian setiap bank diharapkan bisa menghindarkan terjadinya konsentrasi pemberian kredit
dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu atau kelompok usaha
yang terkait dengan bank (connected lending), karena fenomena itu selain menimbulkan distorsi
dalam alokasi kredit, juga terbukti telah mendorong tingginya fisiko kemacetan kredit yang
dihadapi oleh bank-bank.
Pembenahan terhadap aspek hukum perundang-undangan perbankan telah dilakukan
dengan disahkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang yang baru tersebut
terdapat beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan ketentuan tentang usaha perbankan
di Indonesia. Beberapa perubahan penting itu antara lain mencakup peningkatan fungsi
pembinaan dan pengawasan, kerahasian, kepemilikan, orientasi pembiayaan, perluasan bentuk
usaha bank, dan pembentukan lembaga-Iembaga yang dapat memperkuat kelembagaan
perbankan. Pengawasan, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, baik dalam
menilai kelayakan pendirian bank baru maupun pembukaan kantor cabang, yang semula berada
pada Menteri Keuangan dialihkan kepada Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar
Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan
perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak
memenuhi peraturan perbankan yang berlaku.
Sementara itu untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan,
ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini mencakup sisi aktiva dan posiva perbankan,
ruang lingkup kerahasiaannya telah dibatasi hanya mencakup nasabah penyimpan dan
simpanannya (sisi pasiva), namun pemeriksaan terhadap nasabah penyimpan dan simpanan tetap
dapat dilakukan bila diperlukan untuk kepentingan perpajakan atau penegakan hukum.
Berkaitan dengan aspek kepemilikan, peraturan tentang kepemilikan bank telah disesuaikan
dengan arah perubahan liberalisasi sistem keuangan global, dengan membuka akses pasar dan
perlakuan non diskrirninatif terhadap pihak asing. Kepada pihak asing diberi kesempatan yang
lebih besar untuk berperan serta dalam kepemilikan bank-bank domestik, baik melalui
pembelian saham di bursa efek maupun melalui penyetoran modal baru. Pola kepemilikan ini
diharapkan dapat mengakselerasi peningkatan kinerja perbankan nasional sehingga mampu
beroperasi dengan standar perbankan internasional dalam memfasilitasi kegiatan perekonomian
nasional.
Dalam undang-undang perbankan yang baru, juga telah dilakukan perluasan kegiatan
usaha perbankan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan itu,
pemerintah telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk
pernberian kesempatan kepada bank umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus
melakukan kegiatan pelayanan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang dapat
diterapkan dalam pembiayaan atau penempatan dana perbankan antara lain prinsip bagi hasil
(mudharahah), prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan sewa mumi
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank ke pihak lain (jjarah wa iqtina). Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitur untuk
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Disamping itu
penempatan dana secara syariah juga wajib memenuhi ketentuan batas maksimum pemberian
kredit/pembiayaan yang ditentukan.
Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak, dalam
pengelolaan dana masyarakat perbankan diharapkan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan
sektor perekonomian nasional dengan memberi prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan
menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan mampu
meningkatkan kinerja perekonomian di wilayah operasi tiap-tiap kantor bank dan memperkuat
strukturperekonomian nasional.
Sebagai lembaga keuangan yang segmen usahanya berkaitan dengan aspek kepereayaan,
kegiatan operasional perbankan pada hakekatnya perlu ditopang dengan institusi penunjang,
baik yang berperan untuk sementara waktu dalam rangka mengatasi persoalan tentatif
perbankan maupun institusi yang bersifat permanen. Berkaitan dengan itu, untuk mengatasi
dan 44 bank asinglcampuran. Dengan demikian selama taboo 1998/1999 jumlah bank,
khususnya bank swasta nasional telah berkurang 13 bank diantaranya karena adanya tindakan
pembekuan operasi bank-bank bermasalah yang tidak mempunyai prospek untuk beroperasi.
Namun demikian, selama tahun 1998/1999 jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) tetap
menunjukkan perkembangan yang berarti. Sampai akhir Oktober 1998, bank perkreditan rakyat
di luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) berjumlah 7.531 buah atau bertambah 129
buah dibandingkan dengan kondisi pada akhir Maret 1998. Perkembangan bank umum dan BPR
dapat dilihat dalam Tabel III.17.
Tabel III.17
Tabel 111.18
DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANI{l), 1989/1990 -1998/1999
( dalam miliar rupiah)
Bank Bank Bank Bank
Akhir periode swasta pembangunan asing & Jumlah
pemerintah
nasional 2) daerah campuran
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1989/1990 Maret 30.372,7 23.143,1 1.740,8 3.935,5 59.192,1
1990/1991 Maret 34.058,8 34.835,2 2.522,4 6.094,4 77.510,8
1991/1992 Maret 42.448,4 43.203,3 2.899,1 7.160,6 95.711,4
1992/1993 Maret 54.259,5 52.104,5 3.544,2 7.727,8 117.636,0
1993/1994 Maret 59.355,7 71.775,6 4.613,6 8.853,9 144.598,8
1994/1995 Maret 63.563,0 93.095,6 5.837,4 11.327,0 173.823,0
1995/1996 Maret 76.800,8 125.360,1 7.086,9 14.480,0 223.727,8
1996/1997 Juni 82.128,8 136.740,3 7.384,8 15.444,8 241.698,7
September 84.774,8 143.539,5 7.997,9 15.888,6 252.200,8
Desember 90.434,2 164.979,0 8.521,9 17.782,8 281.717,9
Maret 89.607,1 171.176,0 7.877,1 18.320,9 286.981,1
1997/1998 Juni 91.810,4 183.005,5 8.257,6 19.965,2 303.038,7
September 102.891,3 190.591,4 8.226,7 26.022,7 327.732,1
Desember 133.042,5 177.192,3 8.796,2 38.582,1 357.613,1
Maret 183.124,1 199.595,2 7.992,0 62.225,6 452.936,9
1998/1999 April 190,316,7 194.218,9 7.628,2 58.824,8 451.008,6
Mei 223.653,2 189.133,5 8.304,5 72.779,4 493.870,6
Juni 265.924,1 201.956,6 8.727,4 97.193,3 573.801,4
Juli 260.539,7 202.767,6 9.157,1 90.438,0 562.902,4
Agustus 255.246,7 200.683,6 9.320,6 78.478,3 543.729,2
September 262.461,4 212.745,2 9.633,6 69.516,1 554.356,3
Oktober 249.370,7 214.492,8 10.230,3 53.457,0 527.550,8
I) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.
2) Terdiri Dari bank swasta nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan bank tabungan swasta.
3.8.2.1 Giro
Jumlah dana giro yang ada dalam industri perbankan sarnpai akhir Oktober 1998
mencapai Rp 90.531,4 millar, atau menurun Rp 18.172,0 miliar (16,7 persen) dibandingkan
dengan posisinya pada akhir Maret 1998. Dalarn periode yang sama tahun sebelumnya dana giro
mengalami kenaikan Rp 10.640,1 miliar (18,7 persen). Penurunan dana giro tersebut antara lain
disebabkan oleh ketatnya kqndisi likuiditas perekonomian dan berkurangnya kegiatan transaksi
bisnis yang menggunakan jasa pembayaran giro karena kelesuan sektor dunia usaha.
3.8.2.3 Tabungan
Dana tabungan masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan sarnpai akhir Oktober
1998 mencapai Rp 63.154,8 miliar, atau mengalami penurunan Rp 9.018,2 miliar (12,5 persen)
dibandingkan dengan posisinya akhir Maret 1998 Rp 72.173,0 miliar. Dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya dana tabungan turun Rp 6.231 miliar (9,4 persen). Penurunan dana tabungan
dalam periode April-Oktober 1998, selain dipengaruhi oleh menurunnya kinerja industri
perbankan dan melemahnya kemarnpuan menabung masyarakat golongan ekonomi menengah
ke bawah, juga dipengaruhi oleh kecenderungan sebagian masyarakat pemilik dana untuk
menyimpan dananya dalam bentuk deposito berjangka karena menawarkan suku bunga yang
relatif tinggi dibandingkan dengan suku bunga tabungan.
Tabel 111.19
berbasis pada sektor pertanian yang sekarang menjadi altematif utama untuk meningkatkan
kinerja perekonomian nasional. Dengan lebih banyaknya kredit yang disalurkan kepada usaha
kecil dan menengah diharapkan akan dapat menggerakkan sektor perekonomian baik di desa
maupun di kota, sehingga meningkatkan produksi barang dan jasa dan dapat menekan laju
inflasi. Untuk itu pemerintah pada bulan Oktober 1998 telah mengeluarkan 13 skim kredit
murah yang disalurkan kepada para pengusaha kecil dan menengah, dengan dukungan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan tingkat bunga antara 6 persen sampai dengan 16
persen per tahun. Dari tiga belas skim kredit ini, empat diantaranya adalah skim kredit baru
yaitu Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna
Pengentasan Kemiskinan (KPTIG- Taskin), Kredit Modal Kerja Usaha Kecil Menengah (KMK-
UKM), dan Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah (KPTPOD). Sedangkan 9
kredit lainnya merupakan skim kredit lama, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan
Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana (KPRS/RSS), Kredit Kepada Koperasi (KKop),
Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKP A), Kredit Koperasi Primer untuk
Anggotanya pada sektor Tebu Rakyat (KKPA-TR), KKPA-PIR Trans Kawasan Indonesia
Bagian Timur, KKPA Tenaga Kerja Indonesia, KKPA Bagi Hasil, dan Kredit Modal Kerja
Bank Perkreditan Rakyat (KMK-BPR). Dengan diluncurkannya paket-paket kredit murah ini
diharapkan dapat menggerakkan usaha kecil dan menengah.
Penambahan empat skim kredit baru tersebut seeara umum bertujuan untuk lebih
memberdayakan kelompok usaha kecil dan menengah. KPKM diberikan kepada para pengusaha
kecil dan mikro termasuk danalarnnya adalah pedagang kecil yang bertujuan untuk
meningkatkan kegiatan usaha kecil dan mikro di semua sektor. KMK-UKM merupakan kredit
modal kerja yang diberikan dalam rangka pengembangan modal kerja pengusaha kecil,
menengah dan koperasi. Seuangkan kredit KPTIG- Taskin diluncurkan dalam rangka
mendukung program pengentasan kemiskinan, yang bertujuan meningkatkan kegiatan usaha
perekonomian produktif keluargakeluarga yang tergabung dalam kelompok Pengentasan
Kemiskinan (Taskin), melalui pemanfaatan teknologi tepat guna untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Adapun dalam rangka mendorong pengembangan modal pengusaha
kecil, menengah dan koperasi guna meningkatkan produk unggulan di daerah dengan
pemanfaatan teknologi tertentu, dalam hal ini telah diberikan Kredit Penerapan Teknologi
Produk Unggulan Daerah.
Tabel 111.20
DANA PERBANKAN MENURUT JENISNY AI), 1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah)
Tabel 111.21
Posisi simpanan
Akhir periode Penyimpan
( dalam miliar rupiah )
(1) (2) . (3)
Sampai akhir Oktober 1998, kredit investasi yang disalurkan mencapai Rp 131.914
miliar, yang berarti menurun Rp 857 miliar (0,7 persen) hila dibandingkan dengan posisi kredit
bulan Maret 1998 Rp 132.771 miliar. Sektor perindustrian adalah sektor yang paling besar
menyerap kredit investasi, yaitu Rp 49.260 miliar (37,3 persen), sedangkan sektor jasa-jasa dan
sektor perdagangan masing-masing menyerap Rp41.124 miliar (31,2 persen) dan Rp 23.154
miliar (17,6 persen). Sementara itu, sektor pertanian dan pertarnbangan masing - masing
menyerap Rp 16.611 miliar (12,6 persen) dan Rp 1.765 miliar (1,3 persen). Apabila
dibandingkan dengan posisi Maret 1998, kenaikan kredit investasi terjadi pada sektor
perindustrian sebesar Rp 693 miliar (1,4 persen), sektor jasa-jasa Rp 667 miliar (1,6 persen),
dan sektor pertanian Rp 169 miliar (1,0 persen). Sedangkan alokasi kredit investasi untuk sektor
perdagangan dan sektor pertarnbangan menurun masing-masing Rp 2.225 miliar (8,8 persen)
dan Rp 161 miliar (8,4 persen). Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel
111.23.
3.8.3.4 Kredit Untuk Golongan Ekonomi Lemah
Kebijaksanaan pokok yang ditempuh dalam pembiayaan usaha kecil tetap bertumpu
pada kebijaksanaan yang dilaksanakan tahun sebelumnya, yaitu tetap mewajibkan semua bank
umum termasuk bank asing dan carnpuran untuk memberikan sebagian kreditnya dalam bentuk
kredit usaha kecil (KUK) dan pemberian bantuan kredit program yang danukung kredit
likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Selanjutnya dalarn rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penyaluran kredit kepada usaha kecil, kebijaksanaan
yang terkait dengan usaha kecil senantiasa terus disempurnakan, antara lain dengan
mengembangkan jenis/skim kredit kecil baru yang tepat dan mudah diakses oleh para pengusaha
kecil, memperbesar plafon KUK yang digunakan untuk investasi dan modal kerja, dan
meredifinisi kriteria usaha kecil sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995.
Hingga akhir September 1998, kredit dalarn bentuk KUK telah mencapai Rp 45.467
miliar. Dilihat menurut besaran plafon kredit, nasabah dengan plafon kredit sampai dengan Rp
25 juta merupakan penyerap terbesar dari keseluruhan KUK yaitu 62,2 persen dengan nilai Rp
28.285
Tabel 111.22
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1989/1990 - 1998/1999
1989/1990 1990/1991 1991/1992 19921993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
Sektor
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Bank-bank pemerintah 2) 42.589 54.699 61.751 69.066 73.443 81.333 95.619 110.900 202.569 208.434
Pertanian 4017 6.450 7.744 8.559 9.989 11.026 11.657 15.445 14.965
Pertambangan 451 580 568 498 214 534 612 1.257 3.062 2.070
Perindustrian 16.198 21.544 22.420 27.615 28.452 30.059 32.846 34.807 68.699 80.999
Perdagangan 11.759 14.086 15.319 15.759 15.798 16.385 19.900 22.934 49.571 41.951
Jasa-jasa 5.287 7.110 8.402 11.249 10.987 14.489 19.181 25.251 46.952 50.614
Lain-lain 3.576 4.929 7.298 5.386 8.003 8.840 11.423 14.270 18.840 17.835
Bank-bank swasta nasional3) 24.498 38.153 44.928 45.406 68.350 94.891 121.602 166.442 199.257 196.134
Pertanian 639 1.074 1.022 1.389 2.106 2.890 3.793 6.050 14.213 19.577
Pertambangan 31 52 67 101 194 234 362 1.028 2.481 2.378
Perindustrian 4.385 6.706 8.473 10.325 15.696 20.954 24.930 30.212 42.349 44.876
Perdagangan 10.388 14.098 14.795 14.871 20.281 25.754 32.715 45.553 46.585 42.591
Jasa-jasa 5.254 8.673 12.336 13.874 24.087 34.612 45.916 66.150 75.403 70.921
Lain-lain 3.801 7.550 8.235 4.846 5.986 10.447 13.886 17.449 18.226 15.791
Cabang-cabang bank asing
dan campuran 3.786 6.837 9.060 9.695 15.377 19.925 25.202 28.783 75.015 66.800
Pertania 25 105 133 179 341 375 379 414 2.207 1.568
Pertambangan 37 13 95 125 247 186 250 453 1.421 1.311
Perindustrian 1.866 3.063 4.518 5.533 9.335 11.954 15.247 16.215 46.934 41.926
Perdagangan 667 1.406 1.793 1.904 2.484 3.225 3.617 4.975 11.451 10.909
Jasa-jasa 661 1.331 1.009 751 2.117 3.227 4.357 5.102 11.027 9.303
Lain-lain 530 919 1.512 1.203 853 908 1.352 1.624 1.975 1.783
Jumlah kredit perbankan 4) 70.873 99.689 115.739 124.167 157.170 196.149 242.423 306.125 476.841 471.368
Pertanian 5.982 7.629 8.899 10.127 12.436 14.291 15.829 18.845 31.865 36.110
Pertambangan 519 645 730 724 655 954 1.224 2.738 6.964 5.759
Perindustrian 22.449 31.313 35.411 43.473 53.483 62.967 73.023 81.234 157.982 167.801
Perdagangan 22.814 29.590 31.907 32.534 38.563 45.364 56.232 73.462 107.607 95.451
Jasa-jasa 11.202 17.114 21.747 25.874 37.191 52.378 69.454 96.503 133.382 130.838
Lain-lain 7.907 13.398 17.045 11.435 14.842 20.195 26.661 33.343 39.041 35.409
Tabel 111.23
KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI
1),1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah)
1989/19 199011 1991/1 1992/1 1993/1 1994/1 1995/1 1996/19 1997/1 1998/1
90 991 992 993 994 995 996 97 998 999
Sektor --
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
187.03 183.78
Yang disetujui perbankan 19.454 27.899 36.243 44.174 61.714 73.155 85.725 100.933
2 3
Pertanian 5.398 7.057 11.206 11.508 13.595 14.193 14.768 16.171 21.027 21.264
.
Perindustrian 8.372 10.987 13.260 17.695 23.231 27.472 29.033 29.544 60.412 60.434
Pertambangan 443 484 515 507 524 597 666 988 3.615 3.154
Perdagangan 1.301 2.151 3.234 4.990 9.397 7.375 9.697 13.949 27.543 24.650
Jasa-jasa 3.734 6.017 6.795 8.117 14.967 23.518 31.561 40.281 74.543 74.281
Lain-lain 206 1.203 1.233 1.357 0 0 0 0 0 0
132.77 131.91
Posisl pinjaman 15.673 22.288 27.390 36.683 42.952 50.761 62.012 74.543
1 4
Pertanian 3.629 4.726 5.864 ll69 8.893 10.21p 1O.8W1.04 '6.442'16.611.'
.Perindustr/an 6.639 9.208 11.784 16.489 18.097 20.447 3.949 25.485 48.567 49,260
fertambangan 321 391 443' 436 189 215 271 540 1.926 1.765
Perdagangan 1.1l7 2.193 2.911 4.185 6.951 6.535 8.798 12.787 25.379 23.154
Jasa-jasa 3.767 5.267 5.412 7.216 8.822 13.379 18.125 23.691 40.457 41.124
Lain-lain 200 503 1.188 0 0 0 0 0 0
.976
,
1) Sejak Apri11993 termasuk Bank Urn urn eks _KBB. daft tidak termasuk Bank Indonesia
miliar. Nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta menyerap Rp 4.804
miliar (10,6 persen), plafon di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta menyerap Rp 3.540
miliar (7,8 persen). Sedangkan nasabah dengan plafon di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp
350 juta menyerap Rp 7.884 miliar (17,3 persen), di atas Rp 350 juta sampai dengan Rp 700 juta
menyerap Rp 931 miliar (2,0 persen), di atas Rp 700 juta sampai dengan Rp 1 rniliar menyerap
Rp 3 miliar dengan 4 rekening, dan di atas Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2 rniliar menyerap Rp
20 miliar dengan 12 rekening. Berdasarkan alokasi menurut sektor ekonomi, sekitar 45,2 persen
dari jumlah KUK telah dimanfaatkan oleh sektor lain-lain dengan nilai Rp 20.530rniliar,
sedangkan sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 10.928 miliar (24,0 persen),
sektor jasa-jasa termasuk listrik, gas dan air, konstruksi, pengangkutan dan jasa mencapai Rp 5.
728 miliar (12,6 persen), sektor pertanian Rp 6.386 rniliar (14,0 persen), dan sektor
perindustrian Rp 1.848 rniliar (4,1 persen), serta sektor pertambangan Rp 47 miliar (0,1
persen). Penyaluran KUK menurut kelompok bank, terdiri dari 58,5 persen KUK disalurkan
oleh bank-bank Persero, 29,4 persen disalurkan oleh bank swasta nasional devisa, 7,8 persen
disalurkan oleh bank pembangunan daerah, dan 4,0 persen disalurkan oleh bank swasta nasional
non devisa, serta 0,3 persen disalurkan oleh bank asing campuran. Sementara itu bila dilihat
menurut daerah penyebarannya, KUK yang diberikan pada nasabah di daerah perkotaan, yang
meliputi kodya dan kotif, termasuk ibukota negara, mencapai Rp 20.804 miliar (45,8 persen)
dengan jumlah rekening sebanyak 3.060.486 buah (37,1 persen). Sedangkan KUK yang
diberikan kepada nasabah yang tinggal di daerah pedesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten,
mencapai Rp 24.663 miliar (54,2 persen) dengan jumlah rekening 5.179.737 (62,9 persen).
Secara umum, KUK yang disalurkan oleh bank umum terdiri Dari KUK program dan
non program. KUK program yang mendapat dukungan Kredit hikuiditas Bank Indonesia (KLBI)
dengan share pembiayaan 100 persen, antara lain Kredit Usaha Tani (KUT) , Kredit kepada
Koperasi Unit Desa (KKUD )/Kredit Kepada Koperasi (KKop), dan Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya (KKPA). KUT yang disalurkan dengan suku bunga 10,5 persen per
tahun dan dengan jangka waktu 1 tahun, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja
petani yang belum mampu membiayai usaha taninya, agar dapat meningkatkan produksi dan
pendapatannya. Sampai akhir bulan September 1998 realisasi KUT telah mencapai Rp 429,2
miliar atau naik Rp 29,0 miliar (7,2 persen) apabila dibandingkan dengan realisasi bulan Maret
mencapai Rp 10.805,4 miliar dengan rumah yang dibangun mencapai 1.570.146 unit. Dari nilai
kredit Rp 10.805,4 miliar tersebut, sebesar Rp 1.357,5 miliar digunakan untuk membiayai
pemilikan 324.499 unit rumah yang dibangun oleh Perum Perumnas, yang terdiri dari 320.705
unit rumah paket A dan paket B dengan nilai kredit Rp 1.267,6 miliar, dan 3.794 unit rumah
paket C dan rumah toko (Ruko) sederhana dengan nilai lqedit sebesar Rp 89,9 miliar.
Sedangkan KPR sebesar Rp 9.447,9 miliar lainnya digunakan untuk membiayai pemilikan
1.245.647 unit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta (non perumnas) termasuk
kerjasama dengan bank lain, yang terdiri dari 1.170.121 unit rumah paket A dan B dengan nilai
kredit Rp 7.696,3 miliar, dan 68.473 unit rumah paket C dengan nilai kredit Rp 1.718,0 miliar,
dan 4.683 unit rumah toko (ruko) sederhana dengan nilai kredit Rp 23,2 miliar. Sementara itu,
jumlah rumah yang dibiayai melalui kerjasama BTN dengan bank lain mencapai 2.370 unit
dengan nilai kredit Rp 10,4 miliar. Sampai akhir September 1998, posisi KPR yang disalurkan
oleh BTN mencapai Rp 6.516,9 miliar, atau naik Rp 235,8 (3,8 persen) dibandingkan dengan
posisinya pada Maret 1998 sebesar Rp 6.281,1 miliar. Sedangkan posisi KPR yang mencakup
pembiayaan pemilikan rumah sampai dengan tipe 70, yang disalurkan oleh bank-bank umum
lainnya pada akhir September 1998 mencapai Rp 3.838,7 miliar, atau turun Rp 1.316,2 miliar
(25,5 persen) dibandingkan dengan posisi Maret 1998. Dengan demikian posisi KPR secara
keseluruhan mengalarni penurunan Rp 1.080,4 miliar (9,4 persen), yakni Dari Rp 11.436,0
miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp 10.355,6 miliar pada bulan September 1998.
Untuk mengembangkan usaha-usaha kecil di pedesaan, baik untuk membiayai
keperluan investasi maupun modal kerja, program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang
dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih terus berjalan. Sebagai KUK non program,
suku bunga Kupedes yang digunakan baik untuk investasi maupun modal kerja masing-masing
2,2 persen per bulan, dengan jangka waktu kredit maksimum untuk investasi 36 bulan dan untuk
eksploitasil modal kerja maksimum 24 bulan. Sampai akhir September 1998 posisi Kupedes
telah mencapai Rp 4.607,5 miliar dengan jumlah nasabah 2.552.350 orang, masing-masing
dipergunakan untuk kegiatan investasi Rp 1.457,2 miliar (31,6 persen) dan kegiatan eksploitasi
Rp 3.150,3 miliar (68,4 persen). Dilihat menurut sektor ekonomi, dari Kupedes sebesar Rp
4.607,5 miliar, sebagian besar telah dimanfaatkan untuk sektor perdagangan, yaitu Rp 2.067,0
miliar (44,9 persen), sektor yang mempunyai penghasilan tetap sebesar Rp 1.345,3 miliar (29,2
persen), sektor pertanian sebesar Rp 889,0 miliar (19,3 persen), sektor industri Rp 94,7 miliar
(2,0 persen dan sektor lain-lain sebesar Rp 211,5 miliar (4,5 persen). Apabila dibandingkan
dengan posisi Kupedes bulan Maret 1998 sebesar Rp 4.624,2 miliar, maka selama April-
September 1998 telah terjadi penurunan kredit Rp 16,7 miliar (0,4 persen). Secara kumulatif
sampai dengan akhir bulan September 1998 nilai Kupedes telah mencapai Rp 29.435,3 miliar
dengan nasabah 20.385,0 ribu orang. Selain Kupedes, juga terdapat KUK non program yang
disalurkan oleh bank-bank umum, yang posisinya per September 1998 mencapai Rp 27.319,4
miliar, atau turun Rp 19.471 miliar (41,6 persen) dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun
1997/1998 sebesar Rp 46.790,4 miliar. Perkembangan kredit usaha kecil secara keseluruhan
dapat dilihat pada Tabel 111.24.
Tabel 111.24
PERKEMBANGAN KREDIT USAHA KECIL (KUK) , 1989/1990 - 1998/1999
K U K Program K U K Non-Program
Periode Kredit Kepada Koperasi Jumlah
KUT Kkopl) KKPA Lainnya KPR2) KIK Posa Sub. Non. KUPEDES Sub.
II{UPEDE
Konversl Jumlah Jumlah
S
PIR.Traru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
1989/1990
292,4 66,4 105,1 26,3 2.296,0 - 2.786,2 9.894,0 1.381,8 11.275,8 14.062,0
Desember
1990/1991
164,8 78,1 262,8 31,9 2.349,0 . 2.886,6 16.880,2 1.430,2 18.310,4 21.197,0
Desember
1991/1992
161,0 lll,2 290,9 44,3 2.521,0 - 3.128,4 18.197,1 1.536,5 19.733,6 22.862,0
Desember
1992/1993 Maret 166,8 112,5 310,9 156,9 2.564,0 - 3.311,1 17.525,6 1.726,3 19.251,9 22.563,0
1993/1994 Maret 158,5 97,5 351,9 156,7 4.175,2 - 3.557,6 21.348,3 2.075,9 23.424,2 28.364,0
1994/1995 Maret 161,5 98,8 457,7 126,9 6.029,1 155,4 7.029,4 25.727,8 2.582,8 28.3.0,6 35.340,0
1995/1996 Maret 279,9 130,7 567,3 82,9 7.848,3 316,3 9.225,4 29.543,5 3.374,1 32.917,6 42.143,0
1996/1997 Juni 280,1 144,0 637,9 82,9 8.237,1 351,8 9.733,8 30.887,0 3.619,2 34.506,2 44.240,0
September 245,8 110.0 873,5 133,7 8.371,2 381,7 10.115,9 32.443,8 4.346,3 36.790,1 46.906,0
Desember 312,4 98,7 1.052,1 133,1 9.431,1 450,0 11.477,4 33.836,4 3.977,2 37.813,6 49.291,0
Maret 346,3 142,9 1.184,3 45,9 9.846,3 501,0 12.066,7 33.505,9 4.140,4 37.646,3 49.713,0
1997/1998 Juni 348,7 156,3 1.399,2 44,4 10.693,0 580,6 13.222,2 46.634,8 4.312,0 61.639,8 64.169,0
September 327,6 120,7 1.763,7 44,0 11.237,0 655,9 14.149,3 48.603,2 4.447,5 64.287,7 67.200,0
Desember 322,2 123,5 1.753,9 44,4 11.464,0 698,5 14.406,5 48.161,4 4.695,1 52.856,5 67.263,0
Maret 400,2 128,8 1.725,2 23,4 11.436,0 761.8 14.475,4 46.790,4 4.624,2 51.414,6 65.890,0
1998/1999 April 395,2 115,9 1.778,1 23,4 10.582,7 775,9 13.671,2 31.039,8 4.558,0 35.597,8 49.269,0
Mei 391,4 143,3 1.766,8 23,4 10.851,6 804,8 13.981,3 31.587,1 4.556,6 36.143,7 50.125,0
Juni 398,9 139,0 1.666,0 23,4 10.539,2 833,2 13.599,7 28.025,1 4.606,2 32.631,3 46.231.0
Juli 290,3 116,8 1.658,7 20,9 10.357,3 835,1 13.279,1 27.910,9 4.550,0 32.460,9 45.740,0
Agustus 332,0 110,8 1.728,4 20,9 10.365,3 908.4 13.465,8 27.758,2 4.601,0 32.359,2 45.825,5
September 429,2 109,1 1.717,6 20,9 10.355,6 907,7 13.540,1 27.319,4 4.607,5 31.926,9 45.467,0
1) Sejak Juni 1998 Skim Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD) berubah menjadi Kredit Kepada Koperasi (KKop) 2) Sejak Maret 1994 termasuk
KPR yang disalurkan bank-bank umum (pembiayaan KPR sampai dengan type 70)
pelaksanaannya sebagai landasan hukum bagi perusahaan yang melakukan aktivitas di bidang
usaha jasa asuransi. Reformasi kebijaksanaan khususnya di bidang usaha asuransi tersebut
diharapkan dapat menjawab berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar
negeri dan diharapkan pula dapat mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir telah memacu tumbuhnya
berbagai sektor riil yang selanjutnya berdampak terhadap perkembangan industri jasa asuransi
yang tumbuh rata-rata sekitar 20 persen per tahun. Namun, kondisi ini telah berubah sejak
perekonomian nasional mengalami penurunan pada semester kedua tahun 1997. Kondisi
tersebut beprngaruh besar terhadap pelaksanaan proyek-proyek pemerintah maupun swasta yang
terpaksa dibatalkan ataupun yang dijadwal ulang sehingga permintaan terhadap penutupan jasa
asuransi khususnya asuransi kerugian yang terkait dengan proyek-proyek tersebut mengalami
penurunan, dengan akibat sasaran produksi premi perusahaan asuransi yang ditargetkan untuk
tahun 1997 tidak tercapai.
Dalam situasi perekonomian yang sulit dewasa ini, diperlukan inovasi dan kreativitas
manajemen dalam menjawab kondisi aktual dengan menawarkan berbagai jenis produk asuransi
untuk menarik minat masyarakat terhadap jasa asuransi. Dalam hal ini, perusahaan asuransi,
dalam setiap pembayaran santunan (claims)tentunya akan berpegang pada polis yang dipegang
nasabah. Kasus kerusuhan bulan Mei 1998 memberikan pelajaran bagi manajemen asuransi,
khususnya perusahaan asuransi kerugian untuk mempertimbangkan sikap pro-konsumen dalam
melayani pembayaran santunan.
Di samping itu, sebagai syarat utama agar industri asuransi nasional dapat bersaing
dengan masuknya perusahaan asuransi asing, faktor sumberdaya manusia (SDM) sangat
menentukan sehingga langkah-langkah seperti antara lain peningkatan kualitas SDM terutama
tenaga-tenaga pialang asuransi dan reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria,
penggunaan teknologi jaringan informasi yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada
pemegang polis, peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan
pemasaran inaustri asuransi, perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi nasional.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kinerja industri asuransi dalam tahun
1997 adalah krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Sampai dengan bulan
Juli 1998, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi telah berkembang menjadi 179
perusahaan, yang terdiri dari 107 perusahaan asuransi kerugian, 62 perusahaan asuransi ji wa, 5
perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsostek, serta 3
penyelen::ara program asuransi untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan ABRI. Dalam tahun 1998
jumlah perusahaan asuransi hanya bertambah 1 perusahaan, yaitu perusahaan asuransi kerugian
swasta nasional. Bertambahnya perusahaan ini merupakan suatu indikasi bahwa peluang
perkembangan pasar asuransi nasional masih terbuka.
Dalam tahun 1997, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan
22,5 persen, Dari Rp 8.591,9 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 10.526,7 miliar. Kontribusi
premi bruto asuransi terhadap lapangan usaha bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam
produk domestik bruto (PDB) juga mengalami peningkatan Dari 37,77 persen dalam tahun 1996
menjadi 42,09 persen dalam tahun 1997. Sedangkan kontribusi premi bruto asuransi terhadap
PDB nasional juga mengalami peningkatan Dari 1,61 persen dalam tahun 1996, menjadi 1,69
persen dalam tahun 1997. Rincian besarnya premi bruto yang berhasil dihimpun oleh
perusahaan asuransi adalah asuransi jiwa Rp 3.626,3 miliar (34,45 persen), asuransi kerugian
dan reasuransi Rp 4.190,5 miliar (39,81 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp
1.751,1 miliar (16,63 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 958,8 miliar (9,
11 persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari
usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai 39,81 persen dari total premi bruto.
Berdasarkan data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah
disimpulkan bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup
besar untuk ditumbuhkembangkan. Potensi ini sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan dan
pendidikan masyarakat, sehingga kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi jiwa
dapat lebih ditingkatkan. Potensi inijuga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis
asuransi jiwa yang dalam tahun 1996 sebanyak 20,8 juta jiwa naik menjadi 22,2 juta jiwa dalam
tahun 1997 atau naik 6,24 persen. Namun, jumlah ini masih relatif kecil apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 199,8 juta jiwa atau jumlah
pemegang polis baru mencapai 11,10 persen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, jumlah kekayaan (total asset) perusahaan asuransi dalam tahun 1997 telah
meningkat menjadi Rp 32.009,2 miliar, atau naik 43,77 persen dari jumlah kekayaan dalam
tahun 1996 yang Rp 22.263,6 miliar. Komposisi kekayaan dalam tahun 1997 tersebut adalah
asuransi jiwa Rp 12.345,1 miliar (38,57 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 8.186,7
miliar (25,58 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 6.454,4 miliar (20,16 persen),
dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 5.023,0 miliar (15,69 persen).
Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran santunan (claims) yang diberikan oleh
perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 1996, jumlah
santunan yang dibayarkan Rp 3.170,9 miliar, dan jumlah ini meningkat menjadi Rp 4.918,0
miliar dalam tahun 1997, atau meningkat 55,09 persen. Dari jumlah tersebut, pembayaran
santunan yang diberikan oleh asuransi jiwa Rp 1.856,3 miliar (37,74 persen), asuransi kerugian
dan reasuransi Rp 1.789,9 miliar (36,39 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp
487,0 miliar (9,90 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 784,8 miliar (15,96
persen).
jasa asuransi angkutan barang melalui laut masih dikuasai perusahaan asuransi asing.
Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 111.25 dan Grafik
111.8.
Sebagai akibat adanya beberapa perusahaan yang melakukan merger dan juga adanya
pengembalian ijin usaha oleh beberapa perusahaan pembiayaan maka dalam dua tahun terakhir
jumlah perusahaan pembiayaan mengalami penurunan yaitu dari 252 perusahaan dalam tahun
1996 menjadi 248 perusahaan dalam tahun 1997.
Tabel 111.25
PERKEMBANGAN KEKA Y AAN, PREMI BRUTO, SANTUNAN, DAN DANA INVESTASI
INDUSTRI ASURANSI INDONESIA, 1990 - 1997
1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial terdiri
Dari PT (Persero) ASKES, TASPEN, ASABRI, JAMSOSTEK, dan AKJasa Raharja
Namun demikian nilai kegiatan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Dibandingkan tahun 1996 nilai kegiatan perusahaan
pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan 56,3 persen dari Rp 38.028 miliar
dalam tahun 1996 menjadi Rp 59.434 miliar dalam tahun 1997. Dari jumlah tersebut, nilai
pembiayaan anjak piutang memberikan pangsa yang terbesar yaitu 44.42 persen (Rp 26.400
miliar), sementara nilai kontrak pembiayaan konsumen memberikan pangsa 30,77 persen (Rp
18.287 miliar). Nilai kontrak sewa guna usaha yang sebelum tahun 1995 memberikan pangsa
terbesar, sejak tahun 1995 mengalami pergeseran dan dalam tahun 1997 jenis usaha ini
memberikan pangsa 23,9 persen (Rp 14.210 miliar). Semen tara itu nilai pembiayaan kartu
kredit, walaupun dilihat dari pangsanya masih relatif kecil (0,9 persen) namun dilihat dari
nilainya menunjukkan lonjakan yang sangat tajam hingga 656,3 persen dari Rp 71 miliar dalam
tahun 1996 menjadi Rp 537 miliar dalam tahun 1997.
Keadaan keuangan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun juga menunjukkan
adanya peningkatan, baik dalam hat asset maupun dalam pengalokasian dana perusahaan. Asset
perusahaan pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan yang cukup tajam dari Rp
33.591 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 50.520 miliar dalam tahun 1997 atau mengalami
peningkatan 50,4 persen. Sementara itu dari segi alokasi penanaman dana juga menunjukkan
adanya peningkatan 43,06 persen dari Rp 26.586 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 38.034
miliar dalam tahun 1997. Namun demikian dari segi equity perusahaan pembiayaan dalam tahun
1997 menunjukkan penuronan 7,7 persen dari Rp 8.436 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp
7.788 miliar dalam tahun 1997.
Sementara itu perusahaan modal ventura, yang sejak tahun 1993 menjadi bagian terpisah
dari perusahaan pembiayaan, yang berarti bahwa segala sesuatu yang menyangkut perizinan,
pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan teknis usaha modal ventura harus dilakukan oleh
badan usaha tersendiri dan tidak melakukan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, dalam
tahun 1997 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, baik dilihat dari jumlah
perusahaan, jumlah peresahaan pasangan usaha (PPU) maupun nilai penyertaannya. Pemisahan
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain karena karakteristik usaha modal ventura
sangat berbeda dengan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, kegiatan usaha modal ventura
yang melakukan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dinilai sebagai salah satu
altematif pembiayaan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan permodalan dunia usaha termasuk
kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Hal tersebut karena: (1) penyertaan modal dapat
memperbaiki struktur keuangan perusahaan yang dibiayai; (2) penyertaan modal dapat disertai
dengan bantuan manajemen; (3) orientasi pembiayaan penyertaan modal lebih tertuju pada
keberhasilan pihak yang dibiayai dan kelayakan usahanya; (4) kelanjutan dan keterbukaan para
pihak, baik pihak perusahaan pembiayaan maupun perusahaan yang dibiayai, sangat
dipentingkan dalam kegiatan usaha modal ventura sehingga diharapkan dapat mendorong
tereiptanya etika bisnis yang sehat di kalangan dunia usaha.
Dalam tahun 1997, jumlah perusahaan modal ventura bertambah 17 perusahaan Dari 42
perusahaan dalam tahun 1996 menjadi 59 perusahaan atau mengalami peningkatan 40 persen.
Jumlah tersebut terdiri dari 6 (enam) perusahaan swasta nasional, 6 (enam) perusahaan
patungan, dan 5 (lima) perusahaan modal ventura daerah (PMVD). Secara kumulatif, sampai
dengan Juli 1998 jumlah perusahaan modal ventura telah bertambah menjadi 61 perusahaan
dengan jumlah PPU 1.324 perusahaan dan nilai penyertaan Rp 543.339 juta.
Upaya yang dilakukan Pemerintah sejak tahun 1994 untuk mengembangkan kegiatan
usaha kecil dan menengah termasuk koperasi yang tersebar di daerah-daerah melalui kegiatan
modal ventura telah menunjukkan hasil yang cukup berarti. Hal ini tercermin Dari peningkatan
jumlah PMVD yang tersebar di daerah. Sampai dengan akhir tahun 1997 jumlah PMVD telah
bertambah menjadi 25 perusahaan dengan jumlah perusahaan pasangan usaha 496 perusahaan
dengan nilai penyertaan Rp 51.352 juta. Jumlah PPU tersebut mengalami peningkatan 13,76
persen dibanding tahun 1996 yang mencapai 436 perusahaan. Peningkatan ini jauh lebih rendah
dibanding dengan peningkatan dalam tahun sebelumnya yakni 319 persen. Namun demikian
dilihat dari nilai penyertaan menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan, yaitu
mencapai 180 persen. Hal tersebut disebabkan oleh adanya upaya Pemerintah tintuk mendorong
pengembangan usaha PMVD melalui pemberian pinjaman dari luar negeri yang disalurkan
melalui PT Bahana dan penyediaan pelatihan untuk venture capital account officer. Selain itu
Pemerintah memberikan kelonggaran bagi PMVD untuk melakukan bagi hasil dengan PPU-nya.
Sampai dengan bulan Juli 1998 telah berdiri 27 PMVD yang terdiri Dari 26 PMVD di daerah
tingkat I dan 1 PMVD di daerah tingkat II dengan demikian, selain di DKI Jakarta, di semua
daerah tingkat I lainnya telah didirikan PMVD. Data mengenai perkembangan kegiatan lembaga
pembiayaan, selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 111.26 dan Tabel 111.27 .
I Tabel Ill. 26
PERKEMBANGAN KEGIA TAN PERUSAHAAN PEMBIA Y AAN, 1990 - 1997
( dalam miliar rupiah)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
25
Jumiah Pervghllan OJ 121 132 144 164 206 252 248
4
.
Kegiatan Usaha 5.810 5.827 6.276 9.397 16.674 26.884 38.028 59.434
- Nilai kontrak sewa guna usaha 4.746 3.945 3.748 4.563 5.953 8.498 11.530 14.210
- Nilai pembiayaan anjak piutang 55 307 785 2.239 5.297 11.977 18.187 26.400
- Nilai kontrak pembiayaan
1.009 1.571 1.530 2.210 4.475 5.555 8.240 18.287
konsumen
85
- Nilai pembiayaan kartu kredit - 4 213 385 949 71 537
4
Keadaan Keuangan
- Total aset 6.590 8.192 9.998 11.758 19.067 30.171 33.591 50.520
- Total equity 937 1.196 1.560 1.883 3.347 5.170 8.191 7.788
- Investasi bersih 5.315 6.742 7.757 9.173 14.787 21.987 26.586 38.034
Posisi PinJaman 2.770 S.340 6.100 7.848 12.612 19.617 23.510 38.108
- Dalam negeri 1.293 1.937 2.799 4.204 7.172 11.003 12.870 16.993
- Luar negeri 1.477 3.403 3.301 3.644 5.440 8.614 10 . 640 21.115
Keterangan : *) satuan
.
Tabel III.27
PERKEMBANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA, 1994 - 1998
- Perusahaan Daerah 6 16 20 25 27
- Swasta Nasional 25 40 78 33 -
- Patungan 12 7 2 8 -
Dalam rangka mendorong investasi dana pensiun agar mencapai hasil yang optimal,
Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 78/KMK.017/1995
tentang Investasi Dana Pensiun yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
93/ KMK.017/1997 tanggal28 Pebruari 1997. Dengan perubahan tersebut, selain melakukan
investasi yang sudah berlaku selama ini, dana pensiun juga diperkenankan melakukan investasi
dalam bentuk Reksa Dana.
Dalam tahun 1991 terdapat 187 yayasan dana pensiun (DP). Dengan adanya UU tentang
Dana Pensiun, yang mewajibkan DP untuk menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Dana
Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), maka sampai
dengan bulan Agustus 1998 jumlah Yayasan DP tinggal 19 buah, sedangkan jumlah DPPK
meningkat menjadi 303 buah dan DPLK berjumlah 24 buah.
Dari 137 dana pensiun yang menyampaikan laporan teknis tahun 1997 diketahui babwa
jumlab peserta dana pensiun pemberi kerja (127 dana pensiun) pada akhir tahun 1997 adalah
706.602 orang yang berasal dari 30 dana pensiun BUMN dengan peserta 488.188 orang dan 97
dana pensiun non-BUMN dengan jumlah peserta 218.414 orang. Sedangkan jumlah peserta
Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah 74.713 orang yang semuanya berasal dari 10 dana
pensiun lembaga keuangan non-BUMN.
Meningkatnya jumlah Dana Pensiun yang mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan
menyebabkan terjadinya peningkatan iuran dana pensiun dan peningkatan jumlah aktiva bersih.
Penerimaan iuran dana pensiun secara keseluruhan mengalami peningkatan dari Rp 1,47 triliun
dalam tahun 1996 menjadi Rp 1,63 triliun dalam tahun 1997 yang berarti mengalami
peningkatan 10,88 persen.
Aktiva bersih dana pensiun yang merupakan kekayaan dana pensiun pada akhir tahun
1996 bemilai Rp 14,23 triliun, meningkat 13,84 persen menjadi Rp 16,20 triliun pada akhir
1997. Aktiva bersih Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam tahun 1997 mencapai Rp 15,81 triliun.
Dari jumlab aktiva bersih, Dana Pensiun.yang danirikan oleh BUMN memberikan sumbangan
paling besar yaitu Rp 2,99 triliun. Sementara itu aktiva bersih Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada akhir tahun 1997 mencapai Rp 388,39 miliar. Dari jumlab tersebut, terdapat dua Dana
Pensiun Lembaga Keuangan yang didirikan oleh BUMN dengan aktiva bersih Rp 61,65 miliar.
Peningkatan aktiva bersih dana pensiun juga diikuti dengan adanya kenaikan investasi
dana 26,09 persen yaitu dari Rp. 12,26 triliun pada akhir tahun 1996 menjadi Rp 15,45 triliun
pada akhir tahun 1997. Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa sumbangan dana pensiun
sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional semakin meningkat.
Sesuai dengan ketentuan tentang investasi, jenis investasi dana pensiun yang
diperkenankan adalah dalam bentuk deposito, sertifikat deposito, saham, obligasi, surat berharga
lain, surat berharga pasar Uang (SBPU), surat pengakuan hutang, penempatan langsung, Reksa
Dana, serta tanah dan bangunan. Dalam tahun 1997 porsi pertama terbesar investasi dana
pensiun adalah pada deposito yaitu 54,92 persen dari total investasi dana pensiun yang ada.
Pembayaran manfaat pensiun pada tahun 1997 mengalami peningkatan 9,7 persen dari
Rp 805,93 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 884,38 dalam tahun 1997. Peningkatan tersebut
dikarenakan jumlah pensiunan dalam tahun 1996 mengalami peningkatan. Sementara itu PT
Tabungan Asuransi Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pembayar pensiun bagi PNS
mempunyai 2 program pokok yaitu Tabungan Hari Tua (THT) dan program pensiun. luran
peserta setiap bulan berasal dari potongan gaji pokok dan tunjangan yang bersifat tetap, diluar
tunjangan pangan. Besarnya iuran program THT 3,25 persen dan program pensiun 4,75 persen.
Sampai dengan akhir tahun 1997 aktiva bersih program THT mencapai Rp 4.045 miliar dan
investasinya Rp 3.759 miliar. Adapun untuk program pensiun, aktiva bersihnya Rp 7.560 miliar,
diinvestasikan Rp 7.417 miliar dan iuran yang terkumpul Rp 4.336 miliar.
3.9.4 Pegadaian
Krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997 telahturut mewarnai
kegiatan pegadaian. Penyaluran uang pinjaman yang diberikan dalam tahun 1996 mencapai Rp
1,72 triliun dengan jumlah nasabah 5.030.276 orang dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi
Rp 2,09 triliun atau naik 21,5 persen dengan jumlah nasabah 5.305.095 orang. Selanjutnya, dari
target penyaluran uang pinjaman dalam tahun 1998 yang sebesar Rp 2,6 triliun telah terealisir
sebesar Rp 3,1 triliun (116,5 persen) dari target. Sementara itu, laba bersih juga menunjukkan
perkembangan yang terus membaik. Tahun 1997 Pegadaian berhasil menyisihkan laba bersih Rp
34.816 juta atau naik 2,5 persen dari tahun 1996 yang berjumlah Rp 33.964 juta.
Mengingat sulitnya mendapatkan dana dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan
tingginya bunga bank pinjaman dari pihak .lain, maka altematif dana untuk pengembangan
pegadaian adalah melalui penerbitan obligasi. Dalam tahun 1997 Pegadaian telah mencatatkan
Emisi Obligasi IV senilai Rp 100 miliar, dan menerbitkan Obligasi V Perum Pegadaian tahun
1998 senilai Rp 150 miliar ditawarkan dalam bentuk obligasi seri A dan seri B. Dari tahun 1993
sampai dengan tahun 1998 ini Pegadaian telah menerbitkan obligasi sebesar Rp 339,6 miliar.
Perkembangan usaha jasa lainnya berupa jasa taksiran dan jasa titipan yang
diperkenalkan sejak tahun 1994 telah menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat,
terutama atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun 1997 yaitu masing-masing Rp 14,3 juta
untukjasa taksiran dan Rp 34,0 juta untuk jasa titipan. Namun demikian dibandingkan dengan
pendapatan utama, pendapatan jasa-jasa tersebut masih relatif kecil, disebabkan karena
masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan barang dan kurangnya kepedulian terhadap
kualitas atau keaslian barang (emas dan baru mulia) yang dirniliki.
Pengembangan usaha penyaluran perak yang telah dilaksanakan untuk pengrajin perak
di daerah Gianyar dan Denpasar, akan diperluas di beberapa kota lainnya seperti Kotagede di
Yogyakarta dan di Surakarta. Begitu pula terhadap pengembangan usaha atas pengelolaan tanah
perusahaan yang telah dirintis melalui kerjasama dengan pihak ketiga dengan sistem bangun,
kelola dan alih bagi pembangunan dan persewaan gedung kantor dan pertokoan.
Dalam rangka perluasan usaha, Perum Pegadaian berupaya meningkatkan mutu
pelayanan melalui penambahan sejumlah kantor cabang hingga mencapai 622 unit dalam tahun
1997 yang dilengkapi dengan sistem pelayanan komputerisasi. Jumlah kantor cabang tersebut
direncanakan akan diperluas sampai kawasan timur Indonesia dan kota-kota propinsi lainnya di
Indonesia yang dianggap sebagai daerah potensial bagi pengembangan usahanya.
Pengembangan usaha lainnya yang dianggap cukup potensial dan memiliki 'basic' bisnis
sehubungan dengan jumlah kantor cabang tersebut adalah memperbanyak pembukaan toko emas
Galeri 24 dari 28 outlet dalam tahun 1997 menjadi 48 outlet pada akhir tahun 1998.
kinerja pasar modal. Hal tersebut terlihat pada menurunnya beberapa indikator pokok kegiatan
pasar modal, seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kegiatan transaksi
perdagangan. Di Bursa Efek Jakarta (BEJ), IHSG pernah mencapai 256,8 pada tanggal 21
September 1998 atau menurun 65,33 persen dibandingkan posisi 740,8 pada tanggal8 Juli 1997.
IHSG pada tanggal 21 September tersebut merupakan titik terendah selama tujuh tahun terakhir
ini. Sementara itu, nilai rata-rata transaksi perdagangan juga mengalarni penurunan dari Rp
489,4 miliar dalam tahun 1997 menjadi Rp 406,9 miliar. Indikator tersebut menggambarkan
pengaruh krisis moneter dan ekonomi terhadap pasar modal yang masih dirasakan hingga tahun
ini.
Kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil menyebabkan investor enggan
berinvestasi di pasar modal. Investor asing yang menanamkan dananya di pasar modal merasa
kurang aman dengan situasi sosial politik yang kurang kondusif, sementara investor lokal lebih
tertarik pada instrumen deposito, karena menawarkan tingkat suku bunga yang cukup menarik
dan fisiko yang relatif rendah. Banyak perusahaan emiten yang menghadapi masalah finansial
yang menyebabkan terganggunya kelancaran kegiatan usahanya. Namun hat tersebut tidak
menyurutkan langkah para pelaku pasar modal untuk tetap maju dan konsisten dalam upaya
pengembangan kegiatan pasar modal.
Berbagai peraturan pasar modal telah dikeluarkan oleh Bapepam selama tahun 1998.
Sebanyak 21 peraturan pasar modal telah dikeluarkan yang bertujuan menunjang kegiatan pasar
modal. Salah satu peraturan yang cukup penting adalah diberikannya kesempatan bagi
perusahaan emiten untuk menambahkan modalnya tanpa hams right issue. Dengan demikian
dalam masa krisis ini perusahaan emiten dapat memperbesar modalnya tanpa harus menerbitkan
right issue kepada para pemodal lama terlebih dahulu. Selain itu, bagi perusahaan yang ingin
menambahkan modalnya melalui right issue, proses right issue dimaksud lebih disederhanakan
dan dipercepat jangka waktunya dari 107 hari menjadi hanya 42 hari.
Dalam rangka memperkuat struktur permodalan perusahaan sekuritas, Bapepam
mewajibkan usaha tersebut agar memiliki modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) minimal Rp
5 miliar. Pemenuhan modal tersebut dapat dilakukan baik dengan suntikan penambahan modal
baru, merger, maupun akuisisi dengan perusahaan sekuritas lainnya. Namun mengingat kondisi
perekonomian yang tidak memungkinkan dewasa ini, Bapepam telah menunda pelaksanaan
peraturan tersebut hingga akhir tahun 1999.
Kegiatan pasar modal dalam tahun 1998 secara keseluruhan kurang menggembirakan
seiring dengan perkembangan situasi sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang kurang
menguntungkan. Salah satu peristiwa dalam tahun 1998 yang sangat mempengarnhi kegiatan
pasar modal adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal13-l4 Mei 1998. Peristiwa
tersebut menyebabkan penurunan kegiatan perdagangan saham baik volume, nitro, frekuensi
maupun IHSG yang cukup tajam. Volume perdagangan saham yang dipindahtangankan di BEJ
selama bulan Mei 1998 hanya mencapai 4,82 miliar saham atau turun 44,79 persen dibanding
volume perdagangan bulan April 1998. Nilai perdagangan saham menurun 50,39 persen
menjadi Rp 5,1 triliun dibandingkan nilai perdagangan pada bulan sebelumnya yang mencapai
Rp 10,28 triliun. IHSG di BEJ yang sempat menguat dan mencapai 554,10 pada tanggal 2
Februari 1998, pada akhir bulan Mei 1998 menurun cukup tajam menjadi 413,82, atau turun
25,32 persen.
Namun demikian, di tengah-tengah situasi perekonomian yang sedang dilanda krisis
yang berkepanjangan, dalam tahun 1998 pasar modal juga mencatat perkembangan yang cukup
menggembirakan. Dalam bulan Februari 1998 terjadi transaksi yang cukup besar, yakni
mencapai 13,78 miliar saham senilai Rp 14.682,3 miliar atau nilai rata-rata transaksi
perdagangan harian selama bulan tersebut mencapai Rp 734,1 miliar, yang merupakan nilai rata-
rata transaksi perdagangan harian tertinggi yang pernah dicapai selama ini.
Secara keseluruhan, selama tahun 1998 hanya terdapat tambahan satu perusahaan yang
menawarkan sahamnya di pasar modal, yaitu PT Astra Outopart, salah satu anak perusahaan PT
Astra Internasional, yang telah menawarkan 75 juta saham dari 750 juta saham yang dimilikinya
di pasar modal dengan harga perdana Rp 575 per lembar pada awal Juni 1998. Dana hasil
peleposan saham di pasar modal sebanyak Rp 43,12 miliar dipergunakan untuk memperkuat
struktur permodalannya dan membayar hutang jangka pendek perusahaan. Perusahaan tersebut
juga telah mencatatkan seluruh sahamnya (company listing) di Bursa Efek Jakarta.
Sementara itu, sejak bulan Juli 1997 tidak terdapat tambahan perusahaan yang
menawarkan obligasinya di pasar modal, namun terdapat satu perusahaan yang melakukan
penerbitan obligasi tambahan sehingga secara kumulatif menambah nilai emisi obligasi di pasar
modal. Perum Pegadaian, salah satu BUMN di biuang lembaga keuangan, telah menerbitkan 2
(dua) seri obligasi berjangka waktu 5 tahun dengan tingkat bunga tetap dan mengambang senilai
Rp 150 rniliar pada akhir bulan Juni 1998. Tingkat suku bunga tetap yang ditawarkan adalah 49
persen per tahun, sedangkan tingkat suku bunga mengambang dihitung berdasarkan JIBOR
(Jakarta Inter-Bank Offered Rate) berjangka waktu tiga bulan yang dihitung secara rata-rata
selama lima hari kerja ditambah premi tetap 3 persen.
Dalam tahun 1998, telah terdapat 377 perusahaan yang go publik yang terdiri atas 307
perusahaan yang menawarkan sahamnya dan 70 perusahaan yang menawarkan obligasi,
seuangkan perusahaan yang melakukan right issue 130 perusahaan, dimana 16 perusahaan
diantaranya merupakan perusahaan yang mela!rukan right issue dalam tahun 1998. Nilai
kumulatif emisi saham mencapai Rp 79,3 triliun sementara nilai kumulatif emisi obligasi
mencapai Rp 18,89 triliun atau meningkat masing-masing 11,85 persen dan 0,80 persen
dibanding posisi akhir tahun lalu. Bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun anggaran
1997/1998, maka nilai kumulatif emisi saham dan obligasi sampai dengan periode tersebut telah
meningkat masing-masing 10,75 persen dan 0,80 persen.
Nilai transaksi perdagangan di BEJ selama tahun 1998 mencapai Rp 99,7 triliun dari
sejumlah 90,6 miliar saham yang dipindahtangankan, dengan rata-rata nilai transaksi
perdagangan barian mencapai Rp 406,9 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi
perdagangan dalam tahun 1997 yang mencapai Rp120,4 triliun, maka terjadi penurunan 17,19
persen. Nilai rata-rata transaksi perdagangan harian mengalami penurunan 16,86 persen
dibanding tahun 1997 yang mencapai Rp489,4 miliar. Dilihat dari nilai transaksi perdagangan
tahun anggaran 1997/1998, maka nilai saham yang ditransaksikan dalam tahun anggaran
1998/1999 (sampai dengan 30 Desember) yang mencapai Rp59,3 triliun berarti mengalami
penurunan 35,68 persen.
Selanjutnya, IHSG di BEJ pada akhir tahun 1998 mengalami penurunan 0,91 persen
menjadi 398,04, dibanding akhir tahun 1997 yang berada pada level 401,71. Dilihat dari tahun
anggaran 1997/1998, maka IHSG pada akhir tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 26,48
persen. Di sisi lain, walaupun nilai kapitalisasi pasar pada akhir tahun 1998 meningkat 9,88
persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Dari Rp 159,9 triliun menjadi Rp 175,7 triliun,
namun dibandingkan dengan akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai kapitalisasi pasar akhir
tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 21,32 persen. Terjadinya krisis moneter yang
berkepanjangan dan menjadi krisis ekonomi dewasa ini juga menyebabkan pangsa investor
asing dari seluruh nilai total perdagangan di pasar modal mengalami penurunan secara berarti.
Jib pada akhir tahun 1997 pangsa investor asing di lantai bursa Jakarta masih mencapai 52,18
persen, maka dalam tahun 1998 (sampai dengan 17 Desember) pangsa tersebut menurun
menjadi 41,67 persen.
Kegiatan pasar modal yang mengalami penurunan juga terjadi pada usaha reksa dana.
Usaha reksa dana yang mulai digalakkan pada tahun 1996 cenderung mengalami penurunan,
meskipun jumlah usaha reksa dana mengalami peningkatan menjadi 81 perusahaan (November
1998) dibandingkan 77 perusahaan pada akhir tahun 1997. Jumlah unit penyertaan pada akhir
November 1998 mencapai 3.707,8 juta unit, menurun dibandingkan akhir tahun lalu yang
mencapai 6.007,4 juta unit. Nilai aktiva bersih yang pada akhir tahun 1997 mencapai Rp
4.916,6 miliar, pada akhir November 1998 menurun menjadi Rp 2.902,8 miliar atau menurun
40,96 persen. Dibandingkan dengan nilai reksa dana pada akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai
usaha reksa dana pada bulan November tersebut mengalami penurunan 28,07 persen. Nilai
aktiva bersih terbesar usaha reksa dana yang pernah dicapai selama ini adalah Rp 8.338,9 miliar
yang terjadi pada bulan Juli 1997.
Krisis _konomi juga mempengaruhi kinerja Bursa Efek Surabaya (BES). Bila
dibandingkan IHSG akhir tahun anggaran 1997/1998 yang mencapai 483,09, maka pada akhir
tahun 1998 IHSG menurun 27,24 persen menjadi 351,51. Sementara itu, jika pada akhir tahun
1997 IHSG berada pada tingkat 351,95, maka pada tahun 1998 IHSG tersebut berarti
mengalami penurunan 0,12 persen. Nilai transaksi perdagangan saham tahun 1998 mencapai Rp
3,1 triliun atau terjadi penurunan 71,16 persen dibandingkan dengan nilai transaksi perdagangan
dalam tahun 1997 yang mencapai Rp 10,75 triliun.
Kegiatan pasar modal yang wajar, teratur, dan efisien melalui mekanisme pasar dan
integritas pasar dapat tercapai jika faktor eksternal maupun internal yang mempengarnhi
kegiatan pasar modal mendukungnya. Aktivitas pasar modal yang keberadaannya sangat
diperlukan dalam sistem perekonomian yang modern dalam upaya lebih meningkatkan kinerja
perekonomian yang tercermian dari meningkatnya kegiatan investasi baik domestik maupun
asing, akan dapat dipulihkan sepanjang kondisi perusahaan-perusahaan emiten juga membaik,
dan hal tersebut sangat tergantung pada seberapa cepat pulihnya stabilitas politik dan ekonomi
dalam negeri.
Keberadaan pasar modal dalam membantu perusahaan memenuhi kebutuhan dana bagi
pengembangan usahanya serta dalam upaya melakukan restrukturisasi, terutama perusahaan
yang akan melakukan debt equity swap, akan dapat berperan dengan baik jika kepercayaan pasar
terhadap kondisi internal baik politik maupun ekonomi pulih kembali. Suku bunga perbankan
yang wajar maupun inflasi yang terkendali dapat mendorong investor untuk aktif kembali di
pasar modal. Pulihnya kesehatan perusahaan emiten juga dapat memicu maraknya kembali
kegiatan pasar modal. Oleh sebab itu konsolidasi internal perusahaan emiten yang antara lain
melalui restrukturisasi hutang-hutangnya perlu dilakukan secepat mungkin. Selain itu
pemantapan institusi, pengembangan instrumen baru yang menunjang kegiatan pasar modal, dan
penegakkan hukum yang dilaksanakan dengan tegas akan turut menentukan arah kegiatan pasar
modal di masa depan. Perkembangan pasar modal selanjutnya dapat dilihat pada Tabel m.28,
Tabel m.29, dan Tllbel llI.30.
Tabel III.28
BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN
PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA
1989/1990 - 1998/1999
J umIah Nllai Nllai
Akhir Jumlah kumulatif kumulatif rata-rata
emisi emisi perda'i:dan IHSGI)
Tabel Ill. 29
1989/1990 - 1998/1999
Tabel III..30
BAB IV
PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN
Laju pertumbuhan ekonomi Asia, terutama negara-negara di kawasan Asia Timur dan
Tenggara seperti Korea, Cina dan beberapa negara ASEAN, sejak beberapa tahun yang lalu
sampai dengan pertengahan tahun 1997 menunjukkan pertumbuhan yang sangat mengesankan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia memberikan andil yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ekonomi dunia. Namun memasuki semester kedua tahun 1997, dimulai dari Korea,
menyusul Thailand, kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya di Asia Tenggara termasuk
Indonesia, menghadapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang
berkepanjangan sampai dengan tahun 1998, meskipun dalam bulan-bulan belakangan ini mulai
dapat dikendalikan.
Krisis ekonomi yang terjadi dibeberapa negara di Asia telah mengakibatkan menurunnya
daya beli masyarakat dan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun
modal asing, jatuh pailitnya berbagai perusahaan dan perbankan, menurunnya impor dengan
tajam, meningkatnya inflasi serta bertambahnya jumlah pengangguran, sehingga menyebabkan
laju pertumbuhan ekonomi Asia mengalami penurunan yang cukup besar. Krisis ekonomi Asia
telah membawa pengaruh memburuknya keuangan Rusia dan perekonomian negara-negara
berkembang lainnya. Sementara itu bagi negara-negara industri di Amerika Utara dan Eropa,
meskipun akibat dari krisis Asia tidak begitu berpengaruh besar namun mulai terasa, khususnya
di sektor industri. Oleh karena itu secara keseluruhan perekonomian dunia dalam tahun 1998
mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 2
persen.
Gambaran perekonomian dunia tahun 1998 juga ditandai dengan relatif stabilnya tingkat
suku bunga internasional, baik LIBOR maupun SIBOR, yang tidak jauh berbeda dengan tahun
sebelumnya. Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, dalam upaya untuk menenangkan
pasar uang dan melindungi perekonomian Amerika Serikat terhadap dampak krisis yang mulai
mendunia, dalam bulan-bulan terakhir ini telah menurunkan tingkat suku bunganya beberapa
kali. Sementara itu, di samping volume perdagangan dunia mengalami penurunan dibanding
tahun sebelumnya, perdagangan luar negeri juga diwarnai dengan melemahnya harga-harga
komoditi baik harga minyak maupun komoditi-komoditi bukan minyak.
Surplus transaksi berjalan dunia dalam tahun 1998 secara umum mengalami
penurunan. Hal ini tercermin dari menurunnya surplus transaksi berjalan di kelompok negara-
negara maju dan meningkatnya defisit transaksi berjalan di kelompok negara-negara
berkembang. Sementara itu transaksi berjalan Indonesia mengalami pekembangan yang
berlawanan dari perkembangan transaksi berjalan dunia. Selama ini, sampai dengan tahun 1997
Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan tetapi pada tahun 1998 untuk pertama kalinya
diperkirakan mengalami surplus. Terjadinya surplus transaksi berjalan ini, di satu sisi
disebabkan masih relatif tingginya penerimaan ekspor bukan minyak bumi dan gas, terutama
dari ekspor hasil pertanian sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar Rupiah Indonesia
terhadap US$. Sedang di sisi lainnya, pengeluaran impor bukan minyak bumi dan gas
mengalami penurunan yang cukup berarti sejalan dengan lesunya kegiatan sektor industri di
dalam negeri sebagai akibat dari krisis ekonomi.
Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan keuangan, Indonesia mendapat bantuan
dari beberapa negara maju dan lembaga-Iembaga keuangan internasional, terutama
Darilnternational Monetary Fund (IMF). Dengan adanya bantuan tersebut, tekanan terhadap
transaksi modal pada neraca pembayaran telah dapat dikurangi dan surplus transaksi berjalan
telah dapat dibarengi pula dengan surplus transaksi modal, sehingga dalam tahun 1998
Indonesia diperkirakan masih mengalami surplus neraca pembayaran.
Krisis ekonomi Asia pada dirinya melanda dan melibatkan sejumlah negara-negara
yang juga merupakan anggota forum kerjasama ekonomi Asia Posifik (APEC). Dalam
pertemuan para pemimpin APEC tahun 1998, yang dilangsungkan di Kuala Lumpur, telah
dicapai kesepakatan terhadap upaya mengatasi masalah krisis yang dihadapi anggotanya, serta
usaha pencegahan penularannya kepada negara-negara lain. Dalam upaya untuk mengatasi krisis
keuangan dari pemulihan ekonomi itu, para pemimpin negara APEC dalam pertemuan tersebut,
secara garis besar telah menyepakati langkah-langkah untuk melaksanakan kebijakan ekonomi
makro yang berorientasi pada pertumbuhan, memberikan dukungan internasional bagi
penciptaan lapangan kerja dan jaring pengaman sosial (social safety net), melakukan perbaikan
sektor usaha dan keuangan serta memperkuat arsitektur keuangan internasional.
Perkembangan di tiga negara maju lainnya yaitu Jerman, Perancis, dan Italia,
meskipun dihadapkan dengan situasi yang kurang menguntungkan dari krisis Asia, Namun
terdapat tanda-tanda yang memberi harapan bahwa pemulihan ekonomi makin meluas dan kuat.
Sementara itu, untuk kasus Jerman dari Perancis terlihat pula tanda-tanda bahwa permintaan
domestik telah menggantikan peran ekspor sebagai mesin pertumbuhan yang utama. Sekalipun
demikian, pemulihan ekonomi di ketiga negara industri maju tetsebut dapat dikatakan relatif
masih dalam tahap awal. Momentum pertumbuhan diperkirakan baru dapat dipertahankan
secara baik dalam tahun 1999.
Di antara negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang di kawasan Timur Tengah dari Eropa diperkirakan melemah, turun rari 4,7 persen
dalam tahun 1997 menjadi 2,3 persen dalam tahun 1998 ini. Penurunan yang tajam dalam harga
minyak telah menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kegiatan ekonomi tidak saja bagi
negara-negara berkembang penghasil minyak di kawasan itu tetapi juga di negara-negara
lainnya karena berkurangnya transfer uang para pekerja di Timur Tengah. Berkurangnya
pengeluaran-pengeluaran fiskal di Iran, Saudi Arahia, dan negara-negara penghasil minyak
lainnya dalam upaya mengekang lebih jauh kemerosotan anggaran dari neraca pembayaran,
telah menyebabkan menurunnya pertumbuhan di negara-negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi
Turki dalam tahun 1998 ini diproyeksikan melambat, sebagian disebabkan oleh dampak jangka
pendek dari pelaksanaan kebijaksanaan memerangi inflasi yang seuang dilaksanakan.
Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, melemahnya harga minyak
berperan terhadap kinerja pertumbuhan yang lebih rendah di Kolombia, Meksiko, dan
khususnya Venezuela yang disebabkan oleh pengurangan produksi minyak dan pengetatan
fiskal. Naiknya tingkat bunga berkenaan dengan adanya tekanan dalam pasar finansial telah
mempengaruhi prospek pertumbuhan di negara tersebut. Di Meksiko, menyusul langkah
penyesuaian fiskal yang dilakukan di bulan Januari dan Maret 1998 yang lalu, pemerintah
Meksiko pada bulan Juli 1998 kembali mengambil kebijaksanaan tambahan yang ditujukan
untuk mengimbangi dampak menurunnya harga minyak terhadap anggaran negara. Sementara
itu, pertumbuhan ekonomi Chili juga diperkirakan menurun, terutama disebabkan oleh
kebijaksanaan uang ketat yang diberlakukan di negara tersebut dan lemahnya permintaan dari
pasar Asia yang merupakan sepertiga dari pangsa ekspor Chili. Demikian pula halnya dengan
Brasil, tekanan-tekanan di pasar finansial yang dialami oleh negara tersebut berkaitan dengan
krisis Asia dan Rusia, dirasakan lebih berat. Pertumbuhan ekonomi Brasil dalam tahun 1998 ini
diperkirakan jauh melambat menjadi 1,5 persen dibanding dengan yang dicapai dalam tahun
1997 sebesar 3,2 persen.
Perkembangan dalam perekonomian negara-negara berkembang kawasan Afrika masih
tetap tidak seimbang. Sebagian negara-negara di Afrika Utara telah memperoleh manfaat dari
meningkatnya produksi pertanian, penurunan dalam harga minyak dan harga-harga komoditi
bukan minyak, dan menguatnya pertumbuhan ekonomi di Eropa. Namun, negara-negara Afrika
lainnya mengalami dampak yang tidak menguntungkan dari melemahnya harga-harga komoditi
bukan minyak tersebut, dan di beberapa negara lainnya gangguan terhadap pertumbuhan
ekonomi berasal dari kerusuhan sosial dan pergolakan militer. Afrika Selatan adalah satu-
satunya negara di kawasan Afrika yang mengalarni pengaruh cukup besar dari krisis Asia.
Kinerja ekonomi di kelompok negara-negara transisi dalam tahun 1998 ini diperkirakan
mengalami perkembangan yang beragam. Ketiga negara Baltik, yaitu Lithuania, Latvia dan
Estonia, bersama dengan Polandia dalam tahun 1998 diperkirakan mencatat pertumbuhan yang
lebih cepat, yang didorong oleh cepatnya pertumbuhan permintaan domestik khususnya
Di Rusia, prospek dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut menjadi rusak sebagai
akibat hebatnya tekanan di pasar Uang semenjak hulan Mei 1998 dan mencapai puncaknya
dalam bulan Agustus 1998. Pertumbuhan ekonomi Rusia sangat dipengaruhi oleh anjloknya
permintaan domestik, dan kekacauan di dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran.
Produksi nasionalnya mengalami kontraksi sebesar 6 persen dalam tahun 1998. Sementara itu di
Ukraina, adanya dampak penularan (contagion effects) Dari krisis Rusia dan diberlakukannya
kebijaksanaan moneter yang ketat untuk menopang pemberlakuan band nilai tukar yang baru,
membuat pertumbuhan ekonomi Ukraina diperkirakan minus 0,1 persen dalam tahun ini (lihat
Tabel IV.! dan Tabel IV.2).
komoditi bukan minyak diproyeksikan 1ebih rendah sekitar 12 persen dari pada tahun 1997.
Krisis yang cukup mendalam di pasar uang negara-negara emerging markets dan
memburuknya situasi di Jepang pada gilirannya telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar
pula terhadap pasar uang di negara-negara maju. Pasar-pasar uang di Amerika Serlkat dan Eropa
pada awalnya memperoleh keuntungan pada saat hasil obligasi menurun, dan menguatnya dolar
Amerika Serikat serta beberapa matauang utama Eropa. Tekanan kemerosotan alas pasar uang
terutama terbatas di Jepang dan negara-negara pengekspor komoditi utama seperti Kanada dan
Australia, yang dirasakan paling rentan terhadap dampak negatip dari penurunan aktivitas
ekonomi berkepanjangan di Asia. Namun sifat dari pengaruh penularan (contagion effect)
tersebut berubah dalam bulan Agustus dan awal September 1998 ketika dimensi krisis berubah
menjadi lebih mengglobal. Hasil-hasil obligasi pemerintah makin menurun, terutama di
Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, yang tercermin dari semakin
membesarnya perbedaan pengembaIian hasil secara intemasional atas obligasi pemerintah
maupun obligasi perusahaan. Selain dari pada itu, bursa saham di negara-negara industri maju
mengalarni koreksi yang tesar, dan dolar Amerika Serikat melemah terhadap yen dan matauang-
matauang Eropa yang tergabung kedalam mekanisme nilai tukar (Exchange Rate Mechanism,
ERM )
Di pasar devisa, nilai dolar Amerika Serikat mencapai level tertingginya di pertengahan
Juli 1998 yang antara lain didorong oleh pertumbuhan permintaan domestik yang kuat di
Amerika Serikat, perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar, dan sebagai
tempat penyimpanan yang aman di tengah-tengah memburuknya sentimen terhadap negara-
negara emerging markets. Namun dolar Amerika Serikat kembali menurun tajam di akhir
Agustus dan awal September 1998 ketika krisis pasar uang menjalar ke Rusia dan Amerika
Latin, yang mendorong terjadinya koreksi terhadap harga-harga saham Amerika Serikat.
Tab e I IV.1
Tab e I IV. 2
LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1996- 1998
(dalam persentase)
Kelompok negara 1996 1997 19981)
Depresiasi yen Jepang semakin cepat pada bulan Mei dan awal Juni 1998 ketika
kontraksi ekonomi di negara tersebut dalam kuartal pertama menjadi makin jelas di samping
meningkatnya kerawatiran mengenai prospek penyelesaian awal dalam masalah-masalah
perbankan. Nilai tukar yang lebih rendah dari 145 yen per 1 US$ terjadi pada pertengahan Juni
sebelum menguat lagi sebagai dampak intervensi terkoordinir oleh otoritas moneter Jepang dan
Amerika Serikat serta dan didukung pula oleh pengumuman pemberlakuan inisiatif baru di
sektor perbankan oleh otoritas moneter dalam bulan Juli 1998. Yen kemudian turun lagi ke titik
terendah barunya sebelum kembali menguat pada akhir Agustus dan awal September 1998.
Di Eropa, pergerakan pound sterling terutama dipengaruhi oleh perubahan ekspektasi
menyangkut kebijaksanaan moneter di Inggris sendiri setelah pound menguat untuk sementara
dalam bulan Juni menyusul dinaikkannya suku bunga resmi oleh Bank of England, kemudian
melemah ketika terdapat tanda-tanda bahwa perekonomian Inggris agak melambat, di samping
tingkat upah dan tekanan inflasi yang mulai melemah. Prospektif mata uang negara-negara
Eropa yang akan bergabung kedalam wilayah "Euro", pada umumnya menguat, khususnya
semenjak akhir Agustus yang lalu pada saat dolar Amerika Serikat melemah. Sebagian besar
mata uang di wilayah tersebut tetap mendekati nilai paritas tengah dari mekanisme nilai tukar
(ERM) terkecuali pound Irlandia dan drachma Yunani.
Sejak pertengahan April 1998, otoritas moneter di sebagian besar negara-negara industri
mempertahankan tingkat bunga jangka pendek yang tetap rendah mengingat dampak deflasioner
dari krisis Asia cukup membantu dalam mengekang tekanan inflasioner. Di antara negara-
negara pengekspor komoditi utama, tekanan yang kuat terhadap kurs mata uang negara-negara
tersebut telah mendorong naiknya tingkat bunga seperti yang dialami oleh Norwegia dan
Kanada. Tekanan yang serupa juga mendorong kenaikan tingkat bunga pasar jangka pendek di
Selandia Baru dan Australia, sementara timbulnya kekhawatiran mengenai inflasi telah
mendorong kenaikan tingkat bunga di Inggris. Sebaliknya di Swedia, tingkat bunga resmi
mengalami penurunan. Sementara itu, bank sentral Jepang menurunkan target suku bunga
pinjaman antar bank di awal September di tengah-tengah berkembangnya kekhawatiran
mengenai tekanan deflasi dan masalah-masalah di sektor perbankan.
Adanya krisis Asia telah menimbulkan pergeseran dalam aliran modal internasional,
dengan implikasi penyesuaian terhadap posisi neraca pembayaran di banyak negara, baik di
negara-negara yang tertimpa krisis maupun mitra dagangnya. Dalam tahun 1997, aliran modal
swasta neto ke negara-negara "emerging markets" diperkirakan menurun menjadi US$ 124
miliar dari level tertinggi yang pernah dicapai sebesar US$ 215 miliar pada tahun 1996, di mana
Asia terhitung mengalami penurunan yang paling besar. Aliran modal swasta neto dalam tahun
1998 secara keseluruhan diproyeksikan mengalami penurunan lebih jauh dibanding dengan
tahun 1997 yaitu menjadi sebesar US$ 57 miliar. Pemulihan bertahap dalam aliran modal swasta
tersebut baru diperkirakan terjadi di penghujung tahun 1998 pada saat kepercayaan mulai pulih,
dan ini diperkirakan akan tercermin dalam pemulihan aliran modal swasta untuk tahun 1999.
Mengenai perkembangan neraca transaksi berjalan, bagi kelima negara Asia yang
mengalarni krisis paling berat yaitu Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand,
gabungan transaksi berjalan dari kelima negara ini diproyeksikan surplus sebesar US$ 57 miliar
dalam tahun 1998 dibandingkan dengan defisit gabungan sebesar US$ 24 miliar dalam tahun
1997 dan defisit US$ 54 miliar pada tahun 1996.
Pergeseran yang besar dari defisit ke surplus ini sebagian ditimbulkan oleh terjadinya
depresiasi yang besar dalam mata uang negara-negara tersebut, dan sebagian lagi disebabkan
oleh tertekannya permintaan domestik sebagai akibat kondisi finansial yang ketat. Proses
penyesuaian di negara-negara Asia yang mengalami krisis hingga kini terutama terjadi melalui
penurunan yang tajam dalam impor, namun peningkatan yang besar dalam daya saing
diperkirakan dapat mendorong ekspor, terutama bilakondisi finansial melonggar. Sementarai tu
menyangkut pergerakan mata uang, dapat dicatat bahwa dalam jangka waktu 1.4 bulan sejak
Juli 1997 hingga September 1998, nilai tukar efektif riil (the real effective exchange rate) Korea,
Malaysia, Filipina dan Thailand merosot antara 18 hingga 28 persen, sementara Indonesia
merosot sebesar 60 persen.
berjalan dari surplus ke defisit terjadi di kawasan Timur Tengah dan Eropa, yaitu dari surplus
US$ 3,7 miliar dalam tahun 1997 menjadi defisit US$ 20,3 rniliar dalam tahun 1998, atau
pergeseran sebesar US$ 24 miliar, yang mencerminkan memburuknya transaksi berjalan negara-
negara penghasil minyak. .
Tabel IV.3
(dalam miliar US $)
1) Perkiraan
2) Termasuk transfer resmi (official transfer) 3) Tahun anggaran
4) Perkiraan realisasi
di kawasan Asia dan kawasan-kawasan lainnya, yang selanjutnya berpengaruh pula pada
aktivitas dan kinerja perdagangan dunia, karena negara-negara di kawasan Asia selama ini
mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi konfigurasi perdagangan
internasional. Kenyataan ini merupakan konsekuensi logis yang muncul dari krisis yang terjadi
ditengah berkembangnya paradigma interdependensi dan negara tanpa batas (borderless) dalam
kerangka liberalisasi dan perdagangan bebas antar negara atau antar kawasan.
Bagi Indonesia, krisis ekonomi yang antara lain ditandai dengan depresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sangat tajam sejak pertengahan tahun 1997 lalu,
selain menyebabkan menurunnya aktivitas produksi, investasi dan perdagangan serta
melonjaknya inflasi juga telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial dan
politik di dalam negeri. Permasalahan tersebut antara lain adalah meningkatnya angka
pengangguran dan merebaknya kerusuhan sosial.
Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang sudah demikian kompleks tersebut tidak
serta mernadapat ditanggulangi secara cepat, maka pemerintah secara bertahap berupaya
melakukan langkah-Iangkah penyesuaian dalam rangka mendorong pemulihan dan penyehatan
perekonomian nasional secara menyeluruh. Langkah-Iangkah penyesuaian dimaksud merupakan
bagian integral dari kebijaksanaan rehabilitasi, stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi melalui
reformasi di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil.
Kebijaksanaan perdagangan luar negeri, yang merupakan bagian dari agenda reformasi
dan stabilisasi ekonomi di sektor riil,.di satu sisi tetap diarahkan pada upaya untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi, daya tahan dan daya saing ekonomi secara global
(competitiveness) serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau permintaan di dalam negeri,
sementara di sisi lain diupayakan untuk meningkatkan kepercayaan pihak luar negeri guna
memperlancar transaksi perdagangan luar negeri, baik di bidang ekspor maupun di bidang impor
barang dan jasa.
bagian dari skim pembiayaan perdagangan (trade financing scheme), diantaranya fasilitas post-
shipment yang dibenkan kepada Perusahaan Eksporti Tertentu (PET) maupun non-PET, fasilitas
rediskonto preshipment, fasilitas Swap dan forward, skim penjaminan L/C yaitu penempatan
dana jaminan sebesar US$ 1 miliar pada 10 bank asing yang diberikan hanya kepada perusahaan
berstatus PET, fasilitas rediskonto alas dasar Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
yang diberikan kepada pemasok yang terkait dengan PET. Selain itu, untuk tujuan yang sama
Pemerintah mengadakan kerjasama bilateral dengan beberapa negara sahabat, diantaranya
berupa skim EPIC-Australia yang diberikan kepada perusahaan PET maupun non-PET, skim
JEXIM dengan plafon US$ I miliar atau ekuivalen yen diberikan kepada perusahaan berstatus
PET dan perusahaa njoint venture dengan Jepang, skim GSM 102 USA dengan plafon US$ 400
juta dengan jangka waktu 1 tahun diberikan kepada perusahaan PET maupun non PET, skim
Kanada dengan plafon CAD 250 juta dengan jangka waktu 2 tahun dibenkan untuk impor
gandum yang dilaksanakan oleh BULOG.
Seiring dengan itu, sejak bulan Juli 1998 Pemerintah mengadakan program jaminan
ekspor pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh LlC dart luar negeri. Jaminan ini
diberikan dengan membayar biaya (fee) untuk setiap pinjaman dengan fisiko ditanggung
bersama antara Pemerintah dan bank pelaksana.
Dengan tidak mengubah tujuan dan ketentuan yang te1ah ditetapkan mengenai
kelompok komoditi ekspor bagi PET, Pemerintah sejak Februari 1998 telah menambah cakupan
kelompok komoditi ekspor bagi PET sebanyak 10 kelompok komoditi, sehingga jumlah
keseluruhannya menjadi 29 kelompok komoditi. Tambahan 10 kelompok komoditi tersebut
meliputi produk baja dan logam dasar, produk alat komponen, produk kimia, produk bahan
galian non logam, barang dari plastik, barang pakaian dan perlengkapan dari karet, peralatan
optik dan bagiannya, lonceng dan arloji, alat tulis, dan rambut palsu.
Selanjutnya, untuk menjamin mutu produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya
saing, perlindungan konsumen, dan perlindungan tenaga kerja, baik dalam segi keselamatan,
kesehatan, maupun lingkungan, maka Pemerintah telah melakukan penyempurnaan ketentuan
mengenai pengawasan multi produk, yaitu dengan menetapkan bahwa pengawasan multi produk
slap ekspor sebelum dikapalkan, dilaksanakan melalui sertifikasi dalam bentuk sertifikat
kesesuaian multi (SM) yang dikeluarkan oleh laboratorium penguji. Laboratorium penguji yang
diperkenankan melakukan pengujian adalah laboratorium yang telah mendapatkan akreditasi
dari komite akreditasi nasional dan hanya menguji sesuai dengan ruang lingkup akreditasi yang
diperoleh.
Dalam rangka meningkatkan daya saing dan efisiensi pemanfaatan hasil bulan, dengan
tetap memperhatikan kelestarian sumber daya hutan sebagai penyangga kualitas lingkungan
global, Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pelaksanaan ekspor kayu bulat, bahan
baku serpih, kayu gergajian, kayu olahan, dan rotan. Kayu bulat dan bahan baku serpihan yang
dapat diekspor adalah yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Pemilik Kayu Rakyat dan Pemilik Kayu Hasil Perkebunan.
Sebelum komoditi tersebut diekspor, para eksportir wajib melunasi Dana Reboisasi (DR) dan
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Kayu gergajian dan kayu olahan yang dapat diekspor
adalah sebesar kemampuan dalam memproduksi kayu gergajian dan kayu olahan oleh industri
pengolahan kayu yang sah dengan dilengkapi dokumen sural angkut kayu olahan (SAKO).
Selanjutnya, rotan yang dapat diekspor adalah rotan yang diperoleh berdasarkan izin
pengumpul/pemungut yang sah atas sejumlah target yang tercantum dalam izin
pengumpulan/pemungutan dan atau sebesar kemampuan pengolahan industri rotan.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ekspor tekstil dan produk
tekstil (TPT), khususnya ke negara-negara kuota, Pemerintah telah melakukan penyempumaan
sistem manajemen kuota yang lebih transparans, yaitu dengan mengeluarkan ketentuan
mengenai kuota ekspor TPT, sehingga pemanfaatan kuota lebih optimal dan lebih menjamin
kepastian berusaha bagi dunia usaha. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan antara lain mengenai
definisi hal-hal yang terkait dengan proses ekspor TPT, prosedur untuk menjadi eksportir
terdaftar tekstil dan produk tekstil (ETTPT), jenis-jenis kuota, pemantauan, dan sanksi hukum.
Selanjutnya, dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus untuk
menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok di dalam Negeri, Pemerintah telah
menempuh berbagai langkah kebijaksanaan, diantaranya dengan menetapkan besarnya tarif
pajak ekspor kelapa sawit, minyak sawit, minyak kelapa dan produk turunannya. Besarnya pajak
ekspor ditentukan dengan mengalikan tarif pajak ekspor, harga patokan ekspor, jumlah satuan
barang, dan kurs. Besarnya tarif pajak ekspor sejak tanggal 7 luli 1998 adalah 60 persen masing-
masing untuk kelapa sawit dan biji kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan crude palm olein
(CPOlein), 55 persen masing-masing untuk refined bleached deodorized palm oil(RBD) dan
refined bleached deodorized palm olein (RBD olein), 50 persen untuk crude palm kernel oil, 45
persen untuk RBD palm kernel oil, 40 persen untuk RBD olein dalam kemasan maksimum 5 kg
dan bermerk, 25 persen untuk crude stearin, 20 persen masing-masing untuk RBD stearin dan
crude coconuts oil (CCO) dan 15 persen untuk RBD coconut oil.
Seiring.dengan itu, Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan ekspor alas barang-
barang kebutuhan pokok, khususnya barang-barang yang memperoleh subsidi dari Pemerintah.
Dalam bulan luli 1998, Pemerintah,menetapkan barang-barang yang dibatasi ekspomya, yaitu
tepung ikan, beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling seluruhnya,
disosoh, dikilapkan maupun tidak, beras pecah, gandum durum benih, gandum durum lainnya,
benih gandum selain gandum durum, lain-lain gandum selain gandum durum, meslin, gandum
hitam, tepung gandum hitam, tepung beras, kacang kedelai pecah atau utuh kuning, kacang
kedelai lain-lain, gula tebu, gula bit, gula tebu atau bit yang mengandung tambahan bahan
flavour atau pewama, dan minyak tanah (kerosene, selain tire bahan bakar jet). Namun
demikian, dengan dihapuskannya subsidi pemerintah terhadap beberapa barang-barang tertentu,
maka dalam bulan September 1998 ketentuan tersebut telah diubah dengan hanya menetapkan
pembatasan ekspor atas beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling
seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak, dan beras pecah. Dengan diberlakukannya
ketentuan tersebut, maka barang-barang yang sebelumnya dibatasi ekspomya menjadi bebas
untuk diekspor. Selain itu, Pemerintah juga menetapkan penghapusan pajak ekspor atas produk
kulit, gabus (cork), bijih tambang (ores) dan aluminium, serta melakukan penjadwalan
penurunan pajak ekspor alas beberapa komoditi yang mempunyai potensi cukup besar,
diantaranya kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan barang-barang mineral.
Dalam rangka meningkatkan ekspor, Pemerintah juga terus berupaya memperluas pasar
tujuan ekspor, antara lain dengan melakukan penetrasi pasar alternatif yang tidak menerapkan
kuota ataupun memiliki kesamaan kultur, agama, dan etnis seperti negara-negara OKl, Afrika,
bekas Uni Soviet dan Amerika Latin, disamping tetap memperkuat basis pasar tradisonal seperti
ASEAN, MEE, Jepang dan Amerika Serikat. Perluasan pasar ekspor juga diupayakan dengan
meningkatkan peranan perwakilan Indonesia di luar negeri, mengirim misi dagang secara
selektif untuk menembus pasar alternatif maupun pasar tradisional, mengundang dan
memberikan informasi kepada para dubes/ perwakilan dagang negara sahabat, menyebarluaskan
inforrnasi ke luar negeri melalui media cetak/elektronik mengenai keadaan perekonomian dan
politik Indonesia.
27 Oktober 1998, juga diberlakukan atas impor 233 komoditi (233 pos tarif) bahan baku, mesin-
mesin, alat-alat perlengkapan serta suku cadang untuk pembuatan, perbaikan, pemeliharaan
kapal laut dan alat apung selain karat pesiar dan kapal olah raga.
Dalam pada itu, untuk mendorong peningkatan kemampuan industri pemeliharaan
pesawat terbang di dalam negeri, Pemerintah telah memberikan pembebasan bea masuk atas
impor baban baku, suku cadang, komponen dan peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
pesawat terbang (mencakup 79 komoditi). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi impor suku
cadang kapal, alat keselarnatan pelayaran dan keselamatan manusia, yaitu dengan cakupan 153
pos tarif.
Penurunan impor yang lebih tajarn dibandingkan dengan penurunan ekspor, dan relatif
stabilnya defisit jasa-jasa neto, telah memungkinkan transaksi berjalan mengalarni surplus.
Keadaan tersebut terkait erat dengan darnpak Dari krisis moneter yang masih dihadapi oleh
perekonomian nasional. Perkembangan lain yang terjadi adalah masih defisitnya lalu lintas
modal swasta, meskipun dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan defisit dalarn
tahun anggaran 1997/1998. Hal ini mengindikasikan masih terjadinya aliran modal keluar
(capital outflows) yang berkaitan dengan belum berakhirnya krisis ekonomi. Narnun demikian,
defisit lalu lintas modal swasta tersebut masih dapat diimbangi dengan surplus lalu lintas modal
pemerintah, sehingga neraca modal mengalarni surplus.
Nilai ekspor dalarn tahun anggaran 1998/1999 yang mencakup ekspor migas dan
ekspor nonrnigas diperkirakan mencapai US$ 50.688 juta, atau menurun 9,7 persen
dibandingkan dengan nilai ekspor dalarn tahun sebelurnnya sebesar US$ 56.162 juta. Nilai
ekspor rnigas mencapai US$7 .123 juta atau 30,4 persen lebih rendah dibandingkan dengan
nilainya dalam tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.238 juta. Dalarn periode yang sama
ekspor nonrnigas mencapai US$ 43.565 juta, yang berarti menurun 5,1 persen dari periode
sebelurnnya sebesar US$ 45.924 Juta.
Dalam periode yang sama, nilai impor yang terdiri dari impor migas dan impor
nonmigas diperkirakan mencapai US$ 30.888 juta, atau menurun 27,7 persen dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 1997/1998 sebesar US$ 42.704 juta. Nilai impor migas
diperkirakan mengalarni penurunan sebesar 30,6 persen dari US$ 4.085 juta dalarn tahun
anggaran 1997/1998 menjadi US$ 2.837 juta dalarn tahun 1998/1999. Hal yang sama terjadi
pula dalarn impor nonmigas yang nilai impornya diperkirakan mcnurun 27,4 persen dari US$
38.619 jota menjadi US$ 28.051 juta.
Dengan perkembangan ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan barang dalam
tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalarni surplus US$ 19.800 juta, atau lebih
tinggi47,1 persen dibandingkan surplus dalarn periode yang sama tahun sebelurnnya sebesar
US$ 13.458 juta. Surplus dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut bersumber dari surplus
neraca perdagangan nonrnigas US$ 15.514 juta dan surplus neraca perdagangan migas US$
4.286 juta.
Transaksi jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami defisit
US$ 15.313 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas US$ 2.810 juta dan defisit jasa-jasa
nonmigas US$ 12.503 juta. Defisit jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut 1,0
persen lebih tinggi dibandingkan defisit dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar
US$ 15.157 juta.
Berdasarkan perkembangan neraca perdagangan dan neraca jasa-jasa tersebut, transaksi
berjalan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami surplus US$ 4.487 juta.
Sebagai perbandingan, transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1997/1998 mengalami defisit
US$1.699 juta. Dengan surplus tersebut, diperkirakan rasio current account terhadap produk
domestik bruto dalam tahun 1998/1999 adalah sekitar 4,2 persen.
Neraca modal dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 4.437
juta, sehubungan dengan surplus modal pemerintah bersih yang lebih besar dari defisit modal
swasta bersih. Dalam tahun sebelumnya, neraca modal diperkirakan mengalami defisit sebesar
US$ 7.629 juta.
18.273 juta, yang berarti 120,3 persen lebih tinggi dibandingkan pemasukan modal dalam tahun
sebelumnya sebesar US$8.293 juta. Tingginya pemasukan modal pemerintah tersebut
disebabkan oleh naiknya bantuan program dan lainnya menjadi sebesar US$ 12.186 juta dari
tahun sebelumnya sebesar US$3.036 juta, sebagai akibat adanya pinjaman Dari IMF dan dari
lembaga keuangan internasional lainnya dan negara donor, utamanya untuk memperkuat neraca
pembayaran (cadangan devisa). Sedangkan bantuan proyek dan lainnya dalam tahun 1998/1999
mencapai US$ 6.087 juta, atau 15,8 persen lebih tinggi dibandingkan dalam tahun sebelumnya
sebesar US$ 5.257 juta. Dalam pada itu, pembayaran pokok utang luar negeri pemerintah dalam
tahun yang sama mencapai US$ 3.067 juta, atau 25,1 persen lebih rendah dibandingkan
pembayaran dalam tahun sebelumnya sebesar US$ 4.095 juta.
Sementara itu, lalu lintas modal lainnya (swasta) dalam tahun 1998/1999 diperkirakan
masih mengalami defisit sebesar US$IO.769 juta. Dalam tahun sebelumnya, lalu lintas modal
swasta mengalami defisit US$II.827 juta. Masih defisitnya lain lintas modal swasta dalam
jumlah tersebut menunjukkan masih terjadinya capital outflows sebagai dampak belum
kondusifnya iklim usaha dalam perekonomian nasional.
Dengan perkiraan realisasi transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, neraca
pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 9.903 juta,
sehingga posisi cadangan devisa kotor pada akhir periode tersebut diperkirakan mencapai US$
26.412 juta, yang berarti 60,0 persen lebih besar dibandingkan cauangan devisa kotor dalam
tahun sebelumnya sebesar US$16.509 juta. Cadangan devisa kotor dalam tahun 1998/1999
tersebut cukup untuk membiayai 10,2 bulan impor nonmigas. Perkiraan realisasi neraca
pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 disajikan dalam Tabel IV.4.
Tabe1IV.4
( dalam jti6i US $ )
III. Pemasukan modal Pemerintah +5.516 + 5.006 + 5.600 + 5.755 + 6.195 + 'i.651
1. Bantuan program dan lainnya +In"I" 718 + 127 + 125 0 0
2. Bantuan proyek dan lainnya +4.479 + 4.288 + 5.473 + 5.630 + 6.195 + 5.651
IV. Lalu lintas modallainnya + 575 + 5.856 + 4.133 + 4.284 + 4.648 + 4.645
VII. Selisih yang belum dapat - 558 + 263 - 218 - 1.199 - 2.044 - 646
diperhitungkan
VIII. Lalu lintas moneter - 248 - 3.302 - 981 - 1.439 - 727 - 616
II. S D Rs - - - - - -
III. Pemasukan modal Pemerintah + 5.730 + 5.298+ 8.293 + 56,5+ 18.273 + 120,3
Bantuan program dan
I. 0 0+ 3.036 -+ 12.186 + 301,4
lainnya
2.Bantuan proyek dan lainnya + 5.730+ 5.298+ 5.257 - 0,8+ 6.087 + 15,8
IV. Lalu lintas modallainnya + 11.672+ 13.488 - 11.827 - 187,7- 10.769 - 8,9
4.4.1 Ekspor
Sementara itu kelompok komoditi hasil-hasil pertanian yang nilai ekspomya menurun
adalah getah karet (32,2 persen), kepi (16,1 persen), lada hitam (68,6 persen), lada putih (54,1
persen), ikan tuna dan lainnya (10,8 persen) serta ubur-ubur/kerang lainnya (17,9persen).
Penurunan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya
volume ekspor komoditi bersangkutan.
Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil industri meningkat dari US$ 14.613,1
juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 15.057,4 juta dalam periode April-Agustus
1998. Komoditi hasil-hasil industri yang nilai ekspomya mengalami peningkatan adalah kayu
olahan lainnya (59,8 persen), timah (unwrought) (9,0 persen), tekstil lainnya (40,2 persen),
minyak atsiri (11,2 persen), semen (59,9 persen), stearin (1.180,4 persen), bahan kimia (38,9
persen), kulit dan barang dari kulit (34,4 persen), serta kertas dan barang dari kertas (33,3
persen). Peningkatan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh
peningkatan volume ekspor komoditi bersangkutan.
Sementara itu, kelompok komoditi hasil-hasil industri yang mengalami penurunan nilai
ekspor dalam periode April-Agustus l998 adalah kayu lapis (42,2 persen), kayu gergajian (62,2
persen), aluminium {unwrought) (18,4 persen), pakaian jadi (11,8 persen), kain tenun (9,2
persen), karet olahan (13,3 persen), bungkil kopra (59,6 persen), minyak kelapa sawit (52,7
persen), barang anyaman (67,6 persen), meubel (rotan, kayu,-bambu) (65,3 persen), alat-alat
listrik (5,5 persen), pupuk urea (46,7persen), kaca dan barang dari kaca (31,1 persen), alas kaki
(kulit, karet, kanvas) (24,3 persen). Penurunan nilai ekspor tersebut terutama disebabkan oleh
penurunan volume ekspor komoditi bersangkutan, kecuali kayu lapis, kain tenun, karet olahan,
serta kaca dan barang dari kaca yang dalam periode April-Agustus 1998 volume ekspornya
mengalami peningkatan.
Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil tambang bukan migas menurun dari
US$I.435,0 juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 1.073,5 juta dalam periode
April-Agustus 1998. Dalam periode April-Agustus 1998 seluruh hasil tambang bukan migas
mengalami penurunan nilai ekspor, yaitu bijih tembaga (21,8 persen), bijih nikel (40,6 persen),
bauksit (15,9), baru baru (22,3 persen) dan lainnya (80,7 persen). Penurunan nilai ekspor
komoditi-komoditi tersebut disebabkan oleh menurunnya volume ekspor komoditi
bersangkutan, kecuali bijih tembaga yang dalam periode tersebut volume ekspornya
menunjukkan peningkatan.
Dalam periode April-Agustus 1998 realisasi ekspor nonmigas memberikan kontribusi
85,4 persen terhadap nilai ekspor secara keseluruhan. Kontribusi tersebut lebih besar
dibandingkan kontribusi dalam periode April-Agustus 1997 sebesar 79,9 persen dari total ekspor
Indonesia. Realisasi nilai ekspor nonmigas secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel IV .6,
Grafik IV .2, dan Grafik IV .3.
Tabel IV. 5
( dalam juta US $)
aoggaran
Nilai % Nilai % Nilai %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5)
1) Perkiraan realisasi
Berdasarkan kawasan tujuan, ekspor dalam periode April-Agustus 1998 sebagian besar
ditujukan ke kawasan Asia yaitu 59,2 persen dari total ekspor. Pangsa kawasan Eropa, Amerika,
Australia dan Afrika masing-masing 17,8 persen, 17,7 persen, 3,4 persen, dan 1,9 persen.
Sementara itu, kawasan ASEAN menyerap 19,0 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia.
Sedangkan negara-negara yang banyak menyerap ekspor komoditi Indonesia antara lain adalah
Jepang (17,2 persen), Amerika Serikat (14,8 persen), Singapura (13,0 persen), Hongkong (3,8
persen), Belanda (3,2 persen), Australia (3,1 persen), Jerman (3,1 persen), dan Malaysia (2,6
persen). Realisasi nilai ekspor berdasarkan negara tujuan dapat dilihat dalam Tabel IV.7.
4.4.2 Impor
Dampak krisis ekonomi dan moneter yang cukup signifikan terhadap kinerja impor
Indonesia dalam tahun anggaran 1998/1999 dapat dilihat dari perkiraan realisasi nilai impor,
baik impor non migas maupun impor migas, yang menunjukkan tendensi penurunan yang cukup
berarti. Nilai impor nonmigas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mencapai US$
28.051,0 juta, atau 27,4 persen lebih rendah dibandingkan realisasi nilai impor nonmigas dalam
tahun anggaran 1997/1998. Merosotnya nilai impor non migas ini antara lain disebabkan karena
dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dolar mengakibatkan harga barang-barang
impor menjadi relatif lebih mahal. Selain itu, menurunnya nilai impor nonmigas juga
disebabkan oleh menurunnya berbagai kegiatan investasi dan konsumsi serta adanya kesulitan
dalam melakukan
Tab e I IV. 6
NILAI EKSPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM, 1989/1990 - 1998/1999
( dalam juta US $ )
II. HasiI-hasii tambaDg di lor migas 531,0 686,8 1.036,3 1.471,7 1.538,3 2.056,9
1. Bijih tembaga 321,4 408,9 508,0 771,3 746,1 1.010,8
2. Bijih Dike1 52,6 42,4 40,3 32,7 30,5 27,3
3. Baukail 10,8 12,1 14,9 9,1 17,6 11,5
4. Bijih timah (tin) 1,7 1,4 1,1 0,8 0,0 0,0
5. Batubara 99,7 172,7 406,0 565,0 639,8 883,1
6. Lainnya 44,8 49,3 66,0 92,8 104,3 124,2
1) Sejak Januari 1988 hanya ubi kayo kering, dan mu1ai taboo 1993 masuk ke hasil- hasil indusai
III. HaslI-hasii tambang ell 1uar migas 2.823,0 3.098,1 3.065,2 IA35,O 1.073,5- 25,2
1. Bijih temhaga 1.635,8 1.613,4 1.438,9 715,5 559,8- 21,8
2. Bijih Dikel 43,4 44,0 37,0 16,5 9,8- 40,6
3. Bawit 10,6 8,6 11,0 4,4 3,7- 15,9
4. Bijih timah (tin) 0,0 0,0 0,00,0. 0,0 -
5. BalU bara 1.016,7 1.298,3 1.457,0 625,7 486,1 - 22,3
6. Lainnya 116.5 133,8 121,3 72,9 14,1 - 80,7
*) Angka Sementara
Tab e I IV. 7
(dalamjuta US $)
Persenlas
Negara Persenlase Persenlase Persenlase Persenlase
e
Nilal Dari Nilal Dari NOai Dari Nilai Dari NUai Dari
jumJah jumJah jumJah jumJah jumJah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.ASIA 15.870 69,3 19.068 70,9 20.272 68,S 23.34966,0 23.559 64,7
ASEAN 2.492 2.631 3.293 4.727 4.686
- Malaysia 230 270 362 527 575
- Muangthai 217 206 277 434 393
- Pbilipina 155 168 165 205 290
-Singapura 1.880 1.977 2.476 3.530 3.397
- Brunei Darussalam 10 10 13 31 31
HongkoDg 542 619 756 885 939
Jepang 9.632 11.140 10.307 11.009 10.940
Asia lainnya 3.204 4.678 5.916 6.728 6.994
U.AFRIKA 228 1,0 201 0,7 3T1 1,3 483 1,4 433 1,2
III. AMERIKA 3.696 16,1 3.529 13,1 4.065 13,7 5.351 15,1 6.007 16,5
-USA 3.436 3.191 3.651 4.671 5.254
-KaDana 117 132 212 284 301
- Amerika lainnya 143 206 202 396 452
IV. AUSTRALASIA 415 1,8547 z,o700 2,4 844 2,4131 2,3
- Austta1ia 361 474 658 780 761
- Oceania iainnya 54 73 42 64 70
V. EROPA 2HJ7 11,8 3.551 13,3 4.170 14,1 5.371 15,1 5.589 15,3
ME 2.467 3.286 3.853 5.0S6 5.159
- IDggriS 417 569 618 905 978
- Belanda 691 751 907 1.102 1.094
- Jerman 517 830 875 1.051 1.141
- Belgia & Luxemburg 183 228 260 421 364
- Perancis 226 311 421 490 46S
- Denmark 39 61 86 93 99
- lrIandia 24 41 42 47 36
-Italia 249 296 439 610 573
-Yunani 7 11 19 34 45
- Portugai 27 16 11 21 28
- Spanyol 87 172 175 282 336
Rusia 113 53 42 71 134
Jumlab 22.906 100,0 26.896 100,0 29.584 100,0 35.398 100,0 36.419 100,0
TabelIV. 7 (Ianjutan)
*) Angka sementara
pembiayaan impor karena perbankan di luar negeri menolak L/C impor dari Indonesia.
Sementara realisasi nilai impor migas dalarn periode yang sama mencapai US$ 2.837 juta atau
turun sebesar 30,6 persen dibandingkan dengan realisasi nilai impor migas dalarn tahun
sebelumnya sebesar US$ 4.085,0 juta. Penurunan nilai impor migas yang cukup drastis ini selain
karena pengaruh depresiasi rupiah juga disebabkan oleh turunnya harga minyak di pasar
internasional.
Berdasarkan jenis dan kelompok komoditi, penurunan nilai impor nonmigas berasal dari
hampir semua komoditi dengan penurunan terbesar terjadi pada kelompok barang-barang
modal, yaitu dari US$ 6.551,3 juta dalarn periode April- Agustus 1997 menjadi US$ 3.712,0
juta dalarn periode yang sama tahun berjalan, atau turun sebesar 43,3 persen. Kemudian disusul
dengan impor bahan baku/penolong yang mengalami penurunan sebesar 40,3 persen, yaitu dari
US$ 8.314,8 juta menjadi US$ 4.963,8 juta dan impor barang-barang konsumsi yang mengalami
penurunan sebesar 15,1 persen, yaitu dari US$ 1.382,8 juta menjadi US$ 1.174,3 juta.
Realisasi nilai impor kelompok barang modal yang mengalami penurunan paling besar
dalamperiodeApril-Agustus 1998 adalah alat telekomunikasi, yaitu dari US$ 699,3juta menjadi
US$ 133,4 juta, atau merosot sebesar 80,9 persen dibanding realisasinya dalarn periode yang
sama tahun 1997, kemudian diikuti dengan alat pengangkutan (48,5 persen), peralatan listrik
(43,9 persen), generator listrik (39,3 persen), dan mesin-mesin (36,9 persen). Sedangkan
realisasi impor barang-barang modal lainnya dalarn periode yang sama menunjukkan penurunan
sebesar 37,8 persen, yaitu dari US$ 1.891,3 juta menjadi US$ 1.176,2 juta.
Sementara itu, penurunan realisasi nitai impor kelompok bahan baku penolong yang
cukup drastis dalarn periode April-Agustus 1998 adalah disebabkan karena impor semua
komoditi dalam kelompok ini mengalami penurunan dibandingkan realisasi impor dalarn
penode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada impor semen, kapur, dan
bahan bangunan buatan pabrik sebesar 79,6 persen, yaitu dari US$ 36,8 juta dalarn periode
April-Agustus 1997 menjadi US$ 7,5 juta dalarn periode yang sama tahun 1998, kemudian
diikuti dengan impor pupuk (73,6 persen), alat-alat listrik (55,6 persen), bahan bangunan (49,9
persen), besi baja dan logarn (41,0 persen), bahan karet dan plastik (38,2 persen), bahan-bahan
kertas (34,7 persen), bahan kimia (29,3 persen), bahan obat-obatan (28,7 persen), dan benang
tenon (8,6 persen). Sedangkan realisasi impor bahan baku penolong lainnya menunjukkan
penurunan sebesar 50,1 persen, yaitu dari US$ 3.011,7 j uta menjadi US$ 1.490,8 juta.
negara di kawasan Amerika dalam periode yang sama, juga masih didoominasi oleh Amerika
Serikat, yaitu dengan pangsa sekitar 76,8 persen dari total impor kawasan itu. Sedangkan impor
dari kawasan Eropa, sebagian besar berasal dari negara-negara yang tergabung dalarn
Masyarakat Eropa, dengan pangsa mencapai 84,3 persen dari nilai impor kawasan itu secara
keseluruhan. Negara-negara dalam kawasan ini yang mernberikan kontribusi cukup besar
terhadap impor Indonesia adalah Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia. Perkembangan nilai
impor berdasarkan negara asalnya dalarn periode April-Agustus 1998 dapat dilihat dalam Tabel
IV.9.
TabelIV.8
TabelIV.8 (lanjutan)
1997/1998 199811999*)
(Apr-Agust) (Apr-Agust)
Golongan Barang 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Persentase Persentase
Nilai Dari Nilai Dari
Jumlah Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
,
I. Barang Konsumsi 3.584,5 3.511,3 2.828,7 1.382,8 8,5 1.1'74,3 11,9
I. Beras 687,5 429,4 143,9 67,4 449,2
2. Tekstil 396,1 446,8 337,7 166,4 122,5
3. Susu, makanan, minuman
dan buah-buahan 954,8 1.070,5 883,4 440,2 181,3
4. Tembakau dan olahannya 170,0 181,5 190,2 96,8 27,3
5.SMUll dan kosmetik 94,6 101,4 118,0 62,6 31,0
6. Alat-alat rumah tangga 222,4 198,5 218,2 94,3 47,0
7.Lainnya 1.059,1 1.083,2 937,3 455,1 316,0
II. Bahan bakulpenolong 20.592,3 20.249,4 17.654,5 8.314,8 51,2 4.963,8 50,4
I.Bahan kimia 3.743,2 3.734,7 3.285,9 1.555,2 1.099,4
2.Bahan obat-obatan 200,2 219,0 162,7 88,1 62,8
3.Pupuk 146,5 222,5 188,2 115,6 30,5
4.Bahan-bahan kertas 330,9 308,9 322,7 151,0 98,6
5.Benang tenun 1.913,8 1.803,8 1.524,0 712,8 651,6
6.Semen, kapur, dan bahan
bangunan buatan pabrik 115,7 140,7 89,1 36,8 7,5
7. Besi baja dan logam 4.254,7 3.970,4 3.601,5 1.549,2 913,6
Bahan-bahan karet &
8. 1.705,5 1.503,5 . 1.260,4 614,9 379,8
plastik
9. Bahan bangunan 388,8 572,5 590,1 287,2 143,8
10. Alat-alat listrik 279,3 360,0 398,5 192,3 85,4
11. Lainnya 7.513,7 7.413,4 6.231,4 3.011,7 1.490,8
III. Barang modal 14.081,3 16.328,8 14.029,9 6.551,3 40,3 3.712,0 37,7
I.Mesin-mesin 6.730,9 7.035,5 6.040,7 2.752,2 1.736,5
2.Generator listrik 487,1 498,5 420,5 220,1 133,5
3.Alat telekomunikasi 1.141,6 1.979,5 1.415,1 699,3 133,4
4.Peralatan listrik 971,5 962,0 1.074,3 513,4 287,9
5.Alat pengangkutan 1.042,8 1.334,1 1.093,2 475,0 244,5
6.Lainnya 3.707,4 4.519,2 3.986,1 1.891,3 1.176,2
Jumlah 38.258,1 40.089,5 34.513,1 16.248,9 100,0 9.850,1 100,0
*) Angka sementara
Tabel IV.9
D, AFRIKA 162,6 1,0 163,8 0,7 198,0 0,8 200,7 0,7 148,0 0,5
DL AMERIKA 2.993,5 17,4 3.724,7 15,8 4.409,2 16,8 4.864,8 17,8 4.284,7 14,8
-USA 2.161,6 2.614,8 3.500.4 3.920,8 3.111,4
-Kanada 393,1 327,7 386,7 453,6 427,3
- Amerika 1ainnya 438,8 782,2 522,1 490.4 746,0
IV. AUSTRALASIA 1.055,3 6,1 1.385,3 5,9 1.480,4 5,7 1.568,2 5,8 1.566,9 5,4
. Australia 952.5 1.273,4 1.355,1 1.431,3 1.380,3
- Oceania 1ainnya 102,8 111,9 125,3 136,9 186,6
V, EROPA 3.489,1 20,3 5.242,4 22,2 5.738,1 21,9 6.804,7 24,9 7.184,9 24,8
ME 2.797,6 4.512,5 4.630,5 5.691,5 5.542,3
- Inggris 350,0 464,9 651,3 749,7 795,3
- Belanda 274,0 578,0 461,5 585,6 . 585,1
- Jenoan 980,3 . 1.731,0 2.077,8 2.190,6 2.063,8
- Belgia & Luxemburg 174,3 255,1 299,0 264,5 340,3
- Perancis 501,3 730,1 437,2 901,1 805,1
- Denmark 32,7 64,3 60,7 133,6 158,3
- Irlandia 10,0 73,8 13,8 27,5 20,9
. IbIlia 358,1 493,0 491,2 574,5 550,0
. Yunani 5,3 4.4 4,6 7,9 15,3
- Ponugal 2,3 7,8 2,0 2,0 2,2
- Spanyol 109,3 110,1 131.4 254,5 206,0
Rusia 51,0 50,1 51,1 49,0 113,5
Jumlab 17.178,7 100,0 23.580,8 100,0 26.173,9 100,0 27.314,5 100,0 28.948,8 100,0
1998/1999 .)
1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998
(Apr.Agust)
Person" Person" Person.. Persent
Negara Pene.....
" " .. Me
Nllai Dari Nllai Dari Nllai Dari Nllai Dari Mlai dart
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
(1) (1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Jumlah 33.966,9 100,0 41.303,5 100,0 43;971;1 100,0 38.124,4 100,0 10.724,1 100,0
*) Angka sementara
Dalam periode yang sama, defisit neracajasa-jasa migas menurun sebesar 39.4 persen
dari US$ 4.635 juta menjadi US$ 2.807 juta sebagai akibat dari menurunnya impor migas dalam
tatun 1998/1999. Penurunan impor migas menyebabkan berkurangnya pengunaan jasa
pengangkutan (freight) maupun jasa nonfreight di sektor migas, masing-masing dari US$ 409
juta dan US$ 4.226 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 280 juta dan US$ 2.527 juta
dalam tahun 1998/1999.
Modal asing telah memberikan peranan yang amat besar dalam menunjang keberhasilan
pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dimulainya pembangunan nasional. Namun penggunaan
modal asing tersebut juga telah memberikan andil yang besar, khususnya modal-modal swasta
komersial dan berjangka pendek terhadap krisis finansial yang kemudian berkembang menjadi
krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini. Keberhasilan sektor swasta sebagai lokomotif
pertumbuhan ekonorni dalam beberapa tahun terakhir merupakan suatu kenyataan yang tak
dapat disangkal. Keberhasilan tersebut ternyata mengandung benih-benih pernicu krisis
ekonomi, di mana dalam tahun-tahun terakhir kegiatan investasi sektor swasta ditunjang oleh
pinjaman luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Utang luar negeri sektor swasta tersebut
bersifat komersial yakni jangka waktu pengembaliannya pendek dan berbunga tinggi. Struktur
utang sektor swasta yang sebagian besar berjangka pendek dan dalam jumlah yang sangat besar
Sebagai salah satu langkah kebijaksanaan dari Pemerintah di dalam menangani masalah
utang perusahaan-perusahaan swasta Indonesia, ialah dikeluarkannya Keputusan Presiden No.
56 tahun 1998 tentang kewajiban melaporkan utang luar negeri swasta. Dalam keputusan ini
antara lain memuat peraturan bahwa perusahaan swasta yang mempunyai utang luar negeri
wajib melaporkan posisi utangnya secara berkala kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, langkah-
langkah lain imtuk mengantisipasi permasalahan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat
ini, Pemerintah telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang berhubungan dengan laIu lintas
modal, di antaranya: (i) melalui pertemuan Consultative Group' on Indonesia dimana telah
berhasil diupayakan memperoleh tambahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan
(Fast Disbursing Assistance); (ii) mengupayakan penerimaan bantuan IMF dalam rangka
reformasi ekonomi guna memulihkan dan menyehatkan perekonomian Indonesia; (iii) melalui
pertemuan Paris (paris Club) telah diupayakan penangguhan sebagian pembayaran kewajiban
cicilan pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor; (iv)
membantu penyelesaian utang luar,negeri sektor swasta melalui program INORA (Indonesian
Debt Restructuring Agency) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative); (v) program privatisasi
BUMN yang kepemilikan sahamnya juga terbuka bagi investor asing; (vi) tetap
mempertahankan sistem devisa bebas dengan kemungkinan mengkaji beberapa penyesuaian
untuk mendorong masuknya kembali modal asing; (vii) melanjutkan kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi guna menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi baik investasi
domestik (PMON) maupun investasi asing (PMA).
Pinjaman luar negeri pemerintah dalam tahun 1998/1999 diperkirakan akan meningkat
pesat, namun demikian pada tahun-tahun yang akan datang, pinjaman ini harus dapat dikurangi
agar pendanaan pembangunan tidak terus menerus bertumpu pada pinjaman luar negeri.
Pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman
antara lain babwa pinjaman luar negeri tersebut hrus tanpa adanya ikatan politik, memiliki
persyaratan lunak yakni tingkat bunga yang rendah dan jangka waktu pengembalian dan
tenggang waktunya relatif panjang. Dalam hal ini yang perlu diupayakan adalah mengurangi
tingkat ketergantungan beserta beban-beban yang ditimbulkannya dan menjaga agar utang
tersebut tidak melampaui kemampuan negara untuk mengembalikannya.
Dalam tahun 1998/1999 tercatat peningkatan lalu lintas modal neto, dari defisit US$
7.629 juta pada tahun 1997/1998 menjadi surplus US$ 4.437 juta. Jumlah tersebut merupakan
hasil dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 18.273 juta, dikurangi dengan lalu lintas
modal swasta bersih sebesar US$ 10.769 juta, dan dikurangi dengan pembayaran utang pokok
pemerintah sebesar US$ 3.067 juta. Kenaikan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh
kenaikan komponen pemasukan modal pemerintah yaitu dari US$ 8.293 juta dalam tahun
1997/1998 menjadi US$ 18.273 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 120,3 persen.
Kenaikan pemasukan modal pemerintah tersebut disebabkan adanya peningkatan dalam
komponen bantuan program dan lainnya dari US$ 3.036 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi
US$ 12.186 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 301,4 persen. Demikian pula
komponen bantuan proyek dan lainnya yang mengalami kenaikan Dari US$ 5.257 juta dalam
tahun 1997/1998 menjadi US$ 6.087 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sekitar 15,8 persen.
Pembayaran utang pokok pemerintah diperkirakan mengalami penurunan dari US$ 4.095 juta
dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 3.067 juta dalam tahun 1998/1999 atau turun sekitar 25,1
persen. Sementara itu, defisit lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan mengalami
penurunan, yaitu dari US$ 11.827 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi defisit US$ 10.769
juta dalam tahun 1998/1999.
4.5.1 Perkiraan Nilai Ekspor Minyak Bumi dan Gas Alam (neto)
Dalam tahun 1999/2000, harga rata-rata minyak mentah dunia diperkirakan lebih
rendah dibandingkan harga dalam tahun sebelumnya. Penurunan harga minyak mentah tersebut
akan diikuti pula oleh penurunan harga gas alam. Sebagai akibatnya, nilai ekspor migas
diperkirakan mengalami penurunan sebesar 7,0 persen menjadi US$ 6,6 miliar. Dalam periode
yang sama, nilai impor migas diperkirakan tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan
dengan impor dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai US$ 2,8 miliar. Dengan demikian,
ekspor migas neto dalam tahun 1999/2000 diperkirakan akan mencapai US$ 3,8 miliar.
4.5.2 Perkiraan Nilai Ekspor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam
4.5.3 Perkiraan Nilai Impor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam
Nilai impor nonmigas dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mencapai US$ 31,1 rniliar
atau mengalami peningkatan 10,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkiraan
tersebut danasarkan pada asumsi-asumsi :
(1) Situasi sosial-politik dalam tahun 1999/2000 secara bertahap semakin dapat dipulihkan,
sehingga berdampak positif terhadap kesempatan usaha di sektor riil;
(2) Nilai tukar rupiah terhadap US$ relatif stabil, sehingga diperkirakan tidak akan menghambat
Impor;
(3) Suku bunga relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga
diharapkan dapat memberikan peluang yang baik bagi kegiatan investasi, produksi, dan
perdagangan, termasuk kegiatan yang memerlukan produk impor;
(4) Pendapatan masyarakat belum banyak berubah dibandingkan pendapatan dalam tahun
sebelumnya, sehingga permintaan terhadap produk impor atau produk yang mengandung
muatan impor belum banyak mengalami perubahan;
(5) Kepercayaan mitra dagang luar Negeri terhadap L/C dari importir Indonesia berangsur
meningkat.
Tab e I IV. 10
PERKIRAAN NERACA PEMBA Y ARAN, 1999/2000
(dalam Millar US $)
(1) (2)
I. Barang-barang dan jasa-jasa
1.Ekspor, fob + 52,3
minyak bumi dan gas alam + 6,6
bukan minyak bumi dan gas alam + 45,7
2.Impor, fob - 33,9
minyak bumi dan gas alam - 2,8
bukan minyak bumi dan gas alam .- 31,1
3.Jasa-jasa - 17,1
minyak bumi dan gas alam - 2,9
bukan minyak bumi dan gas alam - 14,2
Transaksi
4. + 1,3
berjalan
minyak bumi dan gas alam + 0,9
bukan minyak bumi dan gas alam + 0,4
II. S D Rs -
m. Pemasukan modal pemerintah + 11,2
1.Bantuan program dan lainnya + 7,2
2.Bantuan proyek dan lainya + 4,0
IV. Lalu lintas modallainnya - 4,9
BAB V
KEUANGAN DAERAH
5.1 Pendahuluan
Pemerintah menyadari bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu upaya untuk
mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan tersebut, berbagai
kegiatan pembangunan telah diarahkan pada pembangunan daerah khususnya daerah-daerah
yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah sejalan dengan arah dan sasaran
pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui program-program pembangunan jangka
pendek dan jangka panjang.
persen dan 3,2 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Menurunnya proporsi penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB tanpa migas menunjukkan semakin
meningkatnya peranan sektor-sektor ekonomi di luar sektor pemerintah daerah dalam
menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan peranan sektor swasta dalam
pembangunan ekonomi.
Anggaran pendapatan daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri atas pendapatan asli
daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan dari pemerintah
pusat, dan pinjaman daerah. Penerimaan daerah tingkat I dan tingkat II dialokasikan untuk
pengeluaran rutin dan pembangunan. Perkembangan penerimaan dan pengeluaran daerah
tersebut dapat dilihat pada Tabel V.l sampai dengan Tabel V.8 dan Grafik V.l sampai dengan
Grafik V.4.
Proponsi terbesar dari keseluruhan penerimaan daerah baik daerah tingkat I maupun
daerab tingkat II berasal dari sumbangan dan bantuan. Sumbangan dan bantuan pemerintah
pusat untuk daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp 6.279,0 miliar
yang berarti meningkat dari tahun anggaran 1993/1994 yang hanya Rp 5.096,7 miliar.
Meskipun propinsi sumbangan dan bantuan masih mendominasi sebagian besar penerimaan
daerah, namun persentasenya dari tahun ke tahun menurun terhadap keseluruhan penerimaan,
yaitu dari 60,8 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 48,8 persen dalam tahun
anggaran 1997/1998. Demikian pula daerah tingkat II, meskipun penerimaan daerah dari
sumbangan dan bantuan secara absolut mengalami peningkatan dari Rp5.956, 1 miliar dalam
tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp8.528,5 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, Namun
dilihat dari proporsinya terhadap keseluruhan penerimaan daerah mengalami penurunan, yaitu
70,9 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 65,4 persen dalam tahun anggaran
1996/1997. Sumbangan dan bantuan dari Pusat tersebut mempunyai tujuan untuk membiayai
berbagai kegiatan pembangunan daerah terutama untuk pemerataan, penyebarluasan dan
penyelarasan pembangunan antardaerah.
Seiring dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri
maupun oleh pemerintah pusat dalam peningkatan kemampuan keuangan daerah, PAD
mengalami peningkatan yang cukup berarti dari tahun ke tahun, baik untuk daerah tingkat I
maupun daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1993/1994 PAD daerah tingkat I seluruh
Indonesia berjumlah Rp2.199,8 miliar meningkat menjadi Rp4.657,0 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998. PAD daerah tingkat II secara keseluruhan juga mengalami peningkatan
yaitu dari Rp 944,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp1.827,4 miliar dalam
tahun anggaran 1996/1997. Proporsi PAD terhadap keseluruhan sumber penerimaan daerah di
daerah tingkat I mengalami peningkatan dari 26,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994
menjadi 36,2 persen dalam tahun anggaran 1997/1998, dan di daerah tingkat II mengalami
peningkatan dari 11,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 14,0 persen dalam tahun
anggaran 1996/1997. Di samping itu bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) baik di daerah
tingkat I maupun di daerah tingkat II juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bagi
hasil PBB di daerah tingkat I seluruh Indonesia meningkat dan Rp 412,3 miliar dalam tahun
anggaran 1993/1994 menjadi Rp773,3 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, sedangkan di
daerah tingkat II meningkat dari Rp 874,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp
1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Keberhasilan pemerintah daerah dalam
memobilisasi penerimaan daerah sendiri menunjukkan peningkatan kemandirian pemerintah
daerah dalam penggunaan dana-dana, karena dana yang berasal dari PAD dan bagi hasil PBB
sepenuhnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, baik untuk
penyelenggaraan pemerintahan maupun untuk pembangunan.
Tabel V. 1
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
Repelita V Repelita VI
No. Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
l. Penerimaan daerah sendiri (PDS) : "1..211,01 27,84 2.612,11 31,16 3.480,39 35,85 5.430.29 42,17
a< Pendapatan ash daerah (PAD) 1.041,40 23,94 2.199,79 26,24 3<010,32 31,01 4<657,02 36,17
b< Bagi hasil pajak (PBB) 169,61 3,90 412.32 4.92 470,07 4,84 773,27 6,00
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
2. 133,63 3,07 232,11 2,77 283,27 2,92 504,20 3,92
diluar PBB
Sumbangan dan bantuan pemerintah
3. 2.720,55 62,54 5.096,65 60,80 5.310,26 54,69 6.278,97 48,77
pusat
4. Pinjaman daerah 15,08 0,35 38,44 0,46 51,86 0,53 53,14 0,41
5, Slsa lebih tahun sebelumnya 269,85 6,20 403,02 4,81 583,21 6,01 609,52 4,73
6. Jumlah penerimaan APBD Tk.1 4.350,12 100,00 8.382,33 100,00 9.708,99 100,00 12.876,12 100,00
7. PDRB '. 137.970,59 291.541,54 ..) 343,063,98 "1 536.447,11 "')
8. Persentase penerimaan APBD Tk.1
terhadap PDRB (6 : 7) 3,15 2,88 2,83 2,40
Keterangan
.. Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang bcrlaku
... Angka diperbaiki
... ..Angka sangat sementara
Tabel V. 2
PENERIMAAN DAERAH TINGKA l' I PER KAPIl' A DAN PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO l'ANPA MIGAS PER KAPIl' A SELURUH INDONESIA
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995,
DAN 1997/1998
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No. Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Keterangan, *) Dalam tahun lakwim. dan alas dasar harga yang berlaku.
**) Angka diperbaiki
***) Angka sangat sementara
Tabel V. 3
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1996/1997
No Repelita V Repelita VI
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Uraian Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Keterangan
., Oalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku, tidak tcrmasuk DKI Jakarta
.., Angka diperbaiki.
..., Angka sementara.
Tabel V. 4
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER KAPITA DAN PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS PER KAPITA. SELURUH INDONESIA
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995,
DAN 1996/1997
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No, Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Keterangan:
*') Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang berlaku, tidak term as uk DKI Jakarta.
**) Angka diperbaiki.
***) Angka sementara.
I Tabel V. 5
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN
1997/1998
Repelita V Repelita VI
1997/1998
1989/1990 1993/1994 1994/1995
No. Uraian
Propors Propors Propor Propor
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
i i si si
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Pengeluaran
I. 2.936,9174,06 5.400,97 69,12 5.988,98 67,77 8.131,8465,00
rutin
Kelcrangan:
') Dalam lahun lakwim. don atas dasar harga yang berlaku
") Angka diperbaiki.
"') Angka sangat sementara.
Tabel V. 6
Repelita V Repelita VI
No. Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tabel V. 7
PENG'ELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
Repelita V Repelita VI
No. Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Propor
Jumlah Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
si
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1. Pengeluaran rutin 1.690,58 58,47 3.923,35 49,40 4.662,95 51,28 6.845,37 53,78
2. Pengeluaran pembangunan 1.200,60 41,53 4.018,67 50,60 4.429,38 48,72 5.694,25 46,22
3. Jumlah pengeluaran APBD Tk. II 2.891,18 100,00 7.942,02 100,00 9.092,33 100,00 12.539,62 100,00
Keterangan
., Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang herlaku, tidak termasuk DKI Jakarta.
.., Angka diperbaiki.
..., Angka sementara.
Tabel V. 8
Pengeluaran
2. 7.061 22.284 24.173 29.079
pembangunan
Pengeluaran daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri dan pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Seperti pada sisi penerimaan, sisi pengeluaran juga selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1993/1994 jumlah
pengeluaran daerah tingkat I berjumlah Rp 7.814,0 miliar meningkat menjadi Rp 12.511,3
miliar dalam tahun anggaran 1997/1998 yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 12,5 persen, seuangkan daerah tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 15,8
persen, yaitu dari Rp7.942,0 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp 12.539,6
miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Kebijaksanaan pada sisi pengeluaran ini diarahkan
untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, mendorong pembangunan dan
meningkatkan perekonomian daerah.
Proporsi pengeluaran rutin daerah tingkat I secara nasional terhadap keseluruhan
pengeluaran daerah mengalami penurunan dari tahun ke tahun yaitu 69,1 persen dalam tahun
anggaran 1993/1994 menjadi 65,0 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Sementara itu,
proporsi pengeluaran rutin terhadap keseluruhan pengeluaran daerab tingkat II mengalami
peningkatan dari 49,4 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 53,8 persen dalam tahun
anggaran 1996/1997. Pengeluaran rutin baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II meliputi
belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, angsuran
pinjaman dan bunga, belanja pensiun dan uang tunggu, ganjaran/subsidi/sumbangan kepada
daerah bawahan, serta belanja rutin lainnya.
beberapa daerah tingkat II baru. Bila dalam tahun anggaran 1989/1990 terdapat 290 daerah
tingkat II otonom, dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi 304 daerah tingkat II
otonom, yang berarti bertambah 14 daerah tingkat II otonom dalam kurun waktu delapan tahun.
Jumlah daerah tingkat II otonom dalam tahun anggaran 1997/1998 tersebut terdiri alas 245
kabupaten dan 59 kotamadya. Namun demikian belum semua daerah tingkat II tersebut
memiliki APBD, sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9, dalam tahun anggaran 1996/1997
hanya terdapat 300 daerah tingkat II yang telah memiliki APBD. Daerah yang belum masuk ke
dalam label adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus di
Propinsi Lampung, termasuk Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan di Propinsi Kalimantan
Timur yang dibentuk dalam tahun anggaran 1997/1998. Selain daerah tingkat II otonom terdapat
pula beberapa wilayah administratif yang sampai dalam tahun anggaran 1997/1998 terdapat 4
kabupaten administratif, 6 kotamadya administratif dan 32 kota administratif.
Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan
sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan nasional. Sistem pemerintahan di daerah
dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.
Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, pelayanan
kepada masyarakat yang lebih baik, mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat, menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah, serta terwujudnya keserasian hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka otonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat
II dengan prinsip nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa
pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan dan tindakan-
tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara
nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian
otonomi benar-benar sejalari dengan tujuan untuk melancarkan pembangunan yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.
Tabel V. 9
Repelita V Repelita VI
No. Proplnsi
1989/1990 1996/1997
(1) (2) (3) (4)
1.DI Aceh 10 10
2.Sumatera Utara 17 17
3.Sumatera Barat 14 14
4.Ri au 6 6
5.Jambi 6 6
6.Sumatera Selatan 10 10
7.Bengkulu 4 4
8.Lampung 4 5
9.Jawa Barat 24 25
10.Jawa Tengah 35 35
11.DI Yogyakarta 5 5
12.Jawa Timur 37 37
13.Kalimantan Barat 7 7
14.Kalimantan Tengah 6 6
15.Kalimantan Selatan 10 10
16.Kalimantan Timur . 6 6
17.Sulawesi Utara 6 7
18.Sulawesi Tengah 4 5
19.Sulawesi Selatan 23 23
20.Sulawesi Tenggara 4 5
21.B a Ii 8 9
22.Nusa Tenggara Barat 6 7
23.Nusa Tenggara Timur 12 13'J
24.Maluku 4 5
25.Irian Jaya 9 10
26.Timor Timur 13 13
Jumlah. 290 300
Keterangan :
Belum termasuk Kodya Kupang, karena belum memiliki APBD.
Dalam era globalisasi dunia dewasa ini bangsa Indonesia mendapat ujian yang sangat
berat. Krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjimgan serta krisis kepercayaan yang terjadi
saat ini menunjukkan bahwa sumber daa manusia menjadi semakin penting peranannya. Hal-ha1
yang.mendasari pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengelolaan
keuangan antara lain dipicu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) N omor 45 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II.
Dengan adanya PP tersebut tugas daerah tingkat II menjadi semakin bertainbah sehingga perlu
upaya pingkatan wawasan dan kualitas pengelola keuangan di daerah tingkat II. Di samping itu,
semakin kompleksnya proses pelayanan kepada masyarakat menyebabkan pengelolaan
keuangan di tingkat pemerintah daerah memerlukan dukungan pengetabuan khusus untuk
berhubungan dengan sektor swasta, serta pengetahuan untuk menganalisa kaitan antara
kegiatari-kegiatan di tingkat daerah dan di tingkat pusat untuk mengantisipasi dampak
perubahan-perubahan yang terjadi di bidang fiskal dan moneter. Oleh karena itu, berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah
daerah sendiri tetapi juga oleh pemerintah pusat.
Sejalan dengan kebutuhan aparat pemerintah daerah yang handal dan berkualitas, maka
pemerintah bekerja sama dengan beberapa universitas yakni, Universitas Indonesia, Universitas
Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas menyelenggarakan kursus
keuangan daerah (KKD) bagi staf Pemda yang berpotensi, dan latihan keuangan daerah (LKD)
bagi pejabat pimpinan instansi-instansi pengelola keuangan daerah, yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja aparat keuangan daerah.
perkotaan serta penataan ruang dan manajemen lahan perkotaan, dengan maksud untuk
meningkatkan pengetahuan, keahlian serta keterampilan aparat khususnya para pengelola
perkotaan dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan perkotaan.
Dalam upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi di daerah dan untuk memeratakan
pembangunan antardaerah, pemerintah mengalokasikan sejumlah dana berupa subsidi/bantuan,
dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Pemberian bantuan pembangunan
(Inpres) secara bertahap diarahkan kepada bentuk bantuan umum (block grant) dengan
memberikan bantuan specific-block grant sehingga secara proposional bantuan khusus (specific
grant) akan semakin kecil. Bantuan specific-block grant adalah bantuan yang walaupun
sektornya telah ditetapkan, Namun penggunaan dana per mata anggaran bebas dilakukan oleh
pemerintah daerah seperti mekanisme block grant. .
Bantuan umum dapat digunakan sesuai dengan prioritas daerah dalam batas-batas
ketentuan pemerintah pusat. Subsidi/bantuan dari Pusat kepada daerah sampai tahun 1997/1998
adalah berupa Subsidi Daerah Otonom, Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I (Inpres Dari I),
Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II (Inpres Dari II), Bantuan Pembangunan Sekolah
Dasar (Inpres SD), Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes), Bantuan
Pembangunan Desa (Inpres Desa), Inpres Desa Tertinggal (lDT), dan Program Makanan
Tambahan Anak Sekolah (Inpres PMT-AS). Selain dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak, serta subsidi/bantuan, pemerintah daerah juga dapat menggunakan sumber dana pinjaman
yang berasal dari dalam Negeri maupun luar negeri. Pinjaman dari luar negeri dilakukan melalui
Pusat kepada daerah (Subsidiary Loan AgreementlSLA), dan pinjaman dari dalam negeri dapat
berasal dari bank BUMN maupun bank swasta, serta dari Pusat. Pinjaman pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah adalah pinjaman dari rekening pembangunan daerah (RPD).
Untuk mendukung perkembangan dunia usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
perIn menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan modalnya
di daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan rasionalisasi pungutan-pungutan
daerah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Mei 1998. Undang-undang
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, PP Nomor 20 Tahun 1997
tentang Retribusi Daerah, PP Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (PBBKB), dan Keputusan Presiden Nomor 179 Tahun 1998 tentang pemberlakuan PP
Nomor 21 Tahun 1997 tentang PBBKB. Pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi daerah
ini ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak dan retribusi
daerah. Penyederhanaan jenis pajak dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat mengurangi
atau menghilangkan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
memperlemah daya saing. Kebijaksanaan ini dilakukan dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas yang menghendaki terciptanya iklim investasi yang sehat di daerah. Dengan
demikian, dampak positif yang diharapkan dari pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi
daerah tersebut antara lain untuk meningkatkan penerimaan daerah dan mengurangi ekonomi
biaya tinggi, melalui perbaikan sistem administrasi perpajakan dan retribusi daerah yang
mengacu kepada ketentuan umum perpajakan nasional.
Jawa Tengah, dalam tahun anggaran 1997/1998 memiliki penerimaan PAD dengan jumlah
terbesar yaitu masing-masing Rp1.830,7 miliar, Rp592,6 miliar, Rp568,3 miliar dan Rp363,1
miliar. Proporsi penerimaan PAD Dari keempat propinsi tersebut terhadap penerimaan PAD
seluruh propinsi di Indonesia adalah 72,0 persen. Sementara propinsi di luar Jawa yang
memperoleh penerimaan PAD terbesar dalam tahun anggaran yang sama adalah Propinsi
Sumatera Utara, Propinsi Riau, Propinsi Bali, dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing
Rp212,8 miliar, Rp129,9 miliar, Rp103,9 miliar, dan Rpl02,8 miliar. Secara rinci PAD tingkat I
per propinsi dapat dilihat pada Tabel V.I0.
Ditinjau menurut komposisi PAD, pajak merupakan sumber penerimaan PAD tingkat I
terbesar yang dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp3.723,3 miliar atau 80,0 persen
dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia. Sebaliknya penerimaan dari dinas-dinas
dalam tahun anggaran yang sama merupakan sumber penerimaan terendah, yaitu Rp42,4 miliar
atau 0,9 persen dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia sebagaimana terlihat pada
Tabel V.11
5.3.1.1 Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan salah satu komponen pendapatan asli daerah yang sangat
penting bagi terselenggaranya pelayanan publik dan pembangunan di daerah. Pajak daerah
selama ini dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan yang luas kepada daerah untuk
melakukan pungutan pajak sehingga berdarnpak antara lain dengan munculnya banyak jenis
pajak yang tidak efisien karena biaya pemungutannya lebih tinggi daripada hasilnya, bersifat
tumpang tindih dengan pajak pusat, menghambat efisiensi alokasi somber ekonomi, tidak
bersifat sebagai pajak melainkan sebagai retribusi, serta kurang mendukung iklim investasi yang
sehat di daerah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
daerah lahir sebagai pengganti undang-undang yang lama yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi saat ini. Undang-undang baru tersebut hanya menentukan tiga jenis pajak daerah
tingkat I; yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-
KB), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) karena ketiga jenis pajak tersebut
dianggap mempunyai potensi penerimaan paling tinggi. Pelaksanaan Undang-undang ini
diharapkan dapat meningkatkan PAD tingkat I dari sektor pajak.
Tabel V. 10
Pada tahun anggaran 1989/1990 penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia
adalah Rp814,0 miliar dan meningkat menjadi Rp3.723,3 miliar dalam tahun 1997/1998.
Dengan demikian selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 penerimaan pajak daerah tingkat I
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Dalarn tahun anggaran
1997/1998, Propinsi DKI Jakarta merupakan Daerah Tingkat I penerima pajak daerah terbesar,
yaitu Rp 1.495,6 miliar atau 40,2 persen dari keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I,
kemudian diikuti Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp500,8 miliar
dan Rp486,3 miliar atau masing-masing mempunyai proporsi 13,5 persen dan 13,1 persen.
Sebaliknya Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Maluku
memperoleh hasil penerimaan pajak dengan jumlah terendah masing- masing Rp5,0 miliar, Rp
7,1 miliar, dan Rp9, 1 miliar dalarn tahun anggaran yang sama. Perkembangan penerimaan
pajak untuk daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.12.
Tabel V. 11
Repelita V Repelita VI
No. Komponen PAD 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
Jumlah Proporsi JumJah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp mUiar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
.
perusahaan daerah 19,93 1,91 31,84 1,45 35,39 1,18 91,09 1,96
4. Penerimaan dinas-dinas 20,58 1,98 27,06 1,23 28,39 0,94 42,38 0,91
5. Penerimaan lain-lain 50,73 4,87 138,03 6,28 135,00 4,48 153,48 3,30
....
Tabel V. 12
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Pertumbuhan
No.
Propinsi
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I. DI Aceh 8,61 13,61 20,00 29,65 16,7
2. Sumatera Utara 51,15 71,33 106,52 163,33 15,6
3. Sumatera Barat 9,74 19,53 31,59 46,21 21,5
4. R iau . 12,48 37,93 52,46 95,43 29,0
5. J ambi 4,77 8,63 16,77 27,36 24,4
6. Sumatera Selatan 16,81 26,14 39,56 68,01 19,1
7. Bengkulu 2,61 3,74 6,13 10,68 19,3
8. Larnpung 13,45 16,61 26,70 46,88 16,9
9. DKI Jakarta 331,57 768,46 1.049,33 1.495,85 20,7
10. Jawa Barat 87,64 200,61 303,93 500,82 24,3
II. Jawa Tengah 63,57 118,20 170,70 299,90 21,4
12. DI Yogyakarta 10,46 23,62 33,87 52,54 22,4
13. Jawa Timur 110,89 194,32 292,09 486,27 20,3
14. Kalimantan Barat 7,26 12,92 18,26 29,55 19,2
15. Kalimantan Tengah 1,53 5,34 7,87 13,90 31,8
16. Kalimantan Selatan 7,28 15,19 19,93 38,17 23,0
17. Kalimantan Timur 12,85 23,21 32,67 55,53 20,1
18. Sulawesi Utara 5,92 8,78 11,18 20,04 16,5
19. Sulawesi Tengah 2,99 5,87 8,22 15,23 22,6
20. Sulawesi Selatan 16,66 28,12 41,20 73,32 20,4
21. S.ulawesi Tenggara 1,13 3,33 4,27 7,05 25,7
22. B al i 22,78 33,45 51,36 83,41 17,6
23. Nusa Tenggara Bara! 3,86 5,80 9,15 19,00 22,1
24. Nusa Tenggara Timur 2,27 5,34 6,40 9,86 20,2
25. Maluku 2,64 4,34 6,31 9,10 16,7
26. Irian Jaya 2,43 7,25 9,51 21,26 31,1
27. Timor Timur 0,63 2,10 2,66 4,98 29,5
Jumlah 813,98 1.663,77 2.378,64 3.723,34 20,9
tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah. Dalam rangka memberikan
landasan yang kuat bagi pelaksanaan prinsip dasar retribusi secara efektif dan efisien,
pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah merupakan penyempumaan atas UU
Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah.
Tabel V. 13
PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TlNGKA T I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI Pertumbuhan
No.
Propinsi Rata-rata (%)
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I.DI Aceh 1,65 7,97 7,76 11,38 27,3
2.Sumatera Utara 2,69 9,45 11,72 19,56 28,2
3.Sumatera Barat 2,11 7,70 10,42 12,40 24,8
4.R iau I,ll 12,14 20,33 25,94 48,3
5.Jambi . 0,50 4,15 3,73 5,33 34,4
6.Sumatera Selatan 2,71 8,52 9,81 16,84 25,7
7.Bengkulu 0,67 1,95 3,25 5,12 28,9
8.Lampung 1,76 6,44 8,66 10,87 25,6
9.OKI Jakarta 70,58 141,53 189,06 232,55 16,1
10.Jawa Barat 12,66 29,74 33,67 79,13 25,7
II.Jawa Tengah 10,60 22,89 31,34 48,75 21,0
12.DI Yogyakarta 0,61 1,76 2,38 3,19 23,0
13.Jawa Timur 13,35 22,58 29,03 55,71 19,6
14.Kalimantan Barat 0,87 3,83 4,84 7,91 31,8
15.Kalimantan Teng 0,35 1,34 1,91 3,30 32,4
16.Kalimantan Selatan 1,29 6,03 6,72 11,88 32,0
17.Kalimantan Timur 2,00 16,40 12,65 20,09 33,4
18.Sulawesi Utara 1,00 4,60 5,26 5,36 23,4
19.Sulawesi Tengah 0,91 4,10 4,17 5,82 26,1
20.Sulawesi Selatan 2,47 11,18 15,77 22,57 31,9
21.Sulawesi Tenggara 0,32 1,56 1,95 2,85 31,4
22.Bali 2,83 3,91 5,09 11,07 18,6
23.Nusa Tenggara Barat 1,15 3,23 4,23 7,28 25,9
24.NIIenggara Timur 0,74 2,74 5,06 10,85 39,9
25.Mal u 0,88 1,20 1,84 4,84 23,8
26.Irian Jaya 0,33 1,81 1,73 5,08 40,7
27.Timor Timur 0,04 0,34 0,52 1,06 50,6
Selanjutnya tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun tiap propinsi dalam kurun waktu
1989/1990 -- 1997/1998 bervariasi antara 4,9 persen sampai 70,6 persen. Bagian laba BUMD
Propinsi Riau mengalami laju pertumbuhan tertinggi yaitu 70,6 persen, kemudian diikuti
Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Nusa Tenggara Timur masing-masing 55,9 persen dan
51,9 persen, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi DI Aceh, dan
Propinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar 4,9 persen, 6,2 persen dan 6,4 persen.
Sementara itu, bagian laba BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif adalah Propinsi
Kalimantan Barat, dan Propinsi Jawa Timur, masing-masing negatif 16,7 persen dan negatif 8,5
persen. Adanya variasi jumlah penerimaan bagian laba BUMD adalah merupakan indikasi
babwa masing-masing BUMD mempunyai kinerja yang berbeda, sebagian BUMD telah berhasil
meningkatkan laba sekaligus semakin meningkatkan peranannya dalam pembangunan daerah,
akan tetapi masih ada sebagian kecil BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif.
Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
V.14.
Tabel V. 14
PENERlMAAN RAGlAN LARA PERUSAHAAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam juta rupiah)
Repelita V Repelita VI Pertumbuhan
No. Propinsi
Rata-rata (%)
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (1) (3) (4) (5) (6) (7)
I.DI Aceh 214,93 282,76 329,50 346,87 6,2
2.Sumatera Utara 855,61 1.219,06 1.617,41 4.384,11 22,7
3.Sumatera Barat 856,21 1.048,93 1.282,19 2.228,20 12,7
4.Riau 45,57 913,02 261,25 3.267,36 70,6
5.J ambi 170,00 231,59 250,06 410,00 11,6
6.Sumatera Selatan 1I2,17 471,42 835,86 1.457,83 37,8
7.Bengkulu 162,50 215,47 189,90 1.045,09 26,2
8.Lampung 560,47 228,20 336,79 1.219,55 10,2
9.OKI Jakarta 8.190,09 13.585,98 12.020,29 45.069,27 23,8
10.Jawa Barat 957,49 2.459,16 4.412,39 6.480,84 27,0
II.Jawa Tengah 2.426,50 2.681,01 2.965,45 4.882,47 9,1
12.DI Yogyakarta 793,96 728,39 953,34 2.636,41 16,2
13.Jawa Timur 993,34 495,17 383,91 488,12 -8,5
14.Kalimantan Bara! 215,98 348,00 362,53 50,13 -16,7
15.Kalimantan Tengah 79,19 604,45 452,32 686,70 31,0
i6.Kalimantan Selatan 334,09 231,83 150,60 5.045,86 40,4
17.Kalimantan Timur 932,16 1.452,39 1.652,08 1.527,32 6,4
18.Sulawesi Utara 604,48 1.350,00 2.380,00 889,00 4,9
19.Sulawesi Tengah 50,00 65,00 74,98 205,00 19,3
20.Sulawesi Selatan 200,00 317,79 423,34 1.750,01 31,1
21.Sulawesi Tenggara 55,00 287,00 1.084,02 1.919,36 55,9
22.Bali 208,75 365,77 466,18 1.116,87 23,3
23.Nusa Tenggara Barat 175,00 824,56 838,35 1.075,00 25,5
24.Nusa Tenggara Timur 15,00 35,00 60,00 424,96 51,9
25.Maluku 400,00 905,00 319,50 676,33 6,8
26.Irian Jaya 94,50 191,50 751,82 990,55 34,1
27.Timor Timur 224,14 302,09 538,35 817,12 17,6
Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I adalah salah satu komponen pendapatan asli
daerah (PAD) yang berasal dari dinas-dinas daerah yang acta di daerah tingkat I. Meskipun
fungsi pokok dinas daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah
dilimpahkan kepada daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau
bimbingan kepada masyarakat, anakalanya dinas-dinas daerah menghasilkan pendapatan,
meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh karena itu, penerimaan dinas-dinas daerah tidak
terlalu diharapkan untuk terus meningkat relatif cepat, seperti halnya pajak daerah dan retribusi
daerah yang selama ini memang merupakan sumber utama dari pendapatan asli daerah.
Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I secara nasional terus meningkat dari tahun ke
tahun, namun peningkatannya masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penerimaan
dari pajak, retribusi, dan bagian laba BUMD. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan
dinas-dinas daerah tingkat I berjumlah Rp20,6 miliar meningkat menjadi Rp42,4 miliar pada
tahun anggaran 1997/1998 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,5 persen. Namun
peranannya terhadap keseluruhan jumlah PAD tingkat I cenderung menurun dari 2,0 persen
dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi 0,9 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Hal ini
disebabkan di beberapa daerah tingkat I sebagian penerimaan dinas-dinas dikelompokkan
menjadi penerimaan retribusi, seuangkan di beberapa daerah lainnya pungutan atas pelayanan
yang diberikan oleh dinasdinas digolongkan sebagai penerimaan dinas-dinas yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah diperkirakan penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I di waktu yang akan
datang tidak ada lagi karena penerimaan dinas-dinas akan dikelompokkan menjadi penerimaan
retribusi, sedang yang tidak termasuk ke dalam penerimaan retribusi akan dikelompokkan ke
dalam penerimaan lain-lain.
Walaupun penerimaan PBB diperoleh dari pusat, akan tetapi pemerintah daerah dapat
menggunakan dana ini untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi pelayanan publik atau
pembangunan, di samping dana yang bersumber dari daerah sendiri. Bagi pemerintah daerah
tingkat I, penerimaan dari PBB ini relatif cukup penting karena dapat membantu menunjang
ketersediaan dana bagi kelancaran pelaksanaan berbagai program di daerah tingkat I.
Penerimaan PBB yang diperoleh daerah tingkat I relatif besar dan mengalami
perkembangan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Hal itu ditunjukkan dari perkembangan
penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1997/1998. Dalam tahun anggaran 1989/1990
penerimaan PBB daerah tingkat I berjumlah Rp 169,6 miliar, dan dalam tahun anggaran
1997/1998 meningkat menjadi Rp773,3 miliar, yang berarti selama periode tersebut mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Sementara itu ditinjau dari penerimaan PBB dalam
tahun anggaran 1997/1998, penerimaan PBB daerah tingkat I Propinsi DKI Jakarta adalah yang
terbesar yaitu Rp341,7 miliar atau 44,2 persen dari seluruh penerimaan PBB daerah tingkat I,
yang diikuti Propinsi Riau dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp61, 1 miliar dan Rp54,4
miliar atau masing-masing dengan proporsi 7,9 persen dan 7,0 persen. Penerimaan PBB di
Propinsi DKI Jakarta yang cukup besar ini selain karena potensinya yang relatif besar
khususnya dari PBB sektor perkotaan, juga karena penerimaan tersebut merupakan gabungan
penerimaan PBB daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Sementara itu Propinsi Bengkulu,
Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Timor Timur menerima PBB dengan jumlah terendah
masing-masing Rp2,2 miliar, Rp2,6 miliar dan Rp2,7 miliar dalam tahun anggaran yang sama.
ditinjau menurut laju pertumbuhan selama peri ode 1989/1990-1997/1998, penerimaan PBB
Propinsi Timor Timur memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata tertinggi pertahun yaitu 55, 1
persen, diikuti Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi DKI Jakarta masing-masing 36,8
persen dan 30,9 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan terendah adalah di Propinsi Riau,
Propinsi Lampung, dan Propinsi Maluku masing-masing 4, 1 persen, 9,7 persen, dan 14,1
persen. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I seluruhnya dapat dilihat pada Tabel
V.I5.
5.3.2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak
Pembagian penerimaan pungutan atas hasil hutan yang meliputi iuran hak pengusahaan
hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH) merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada pemerintah daerah dari sektor kehutanan.
IHPH merupakan pungutan yang dikenakan kepada pemegang hak pengusahaan hutan (HPH)
tertentu. yang dipungut hanya sekali pada saat izin pengusahaan diberikan, sedangkan IHH
merupakan pungutan yang dikenakan atas dasar jumlah dan jenis hasil hutan yang
diperdagangkan. Ketentuan mengenai pembagian IHH Dari IHPH yang telah diubah beberapa
kali dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1993 ditetapkan 45,0 persen
penerimaan IHH untuk pembiayaan pembangunan daerah, yang meliputi 30,0 persen untuk
pembiayaan pembangunan daerah tingkat I, dan 15,0 persen untuk pembiayaan pembangunan
daerah tingkat II. Sementaraitu 55,0 persen lainnya dialokasikan untuk membiayai rehabilitasi
hutan, dengan rincian 20,0 persen digunakan untuk rehabilitasi hutan secara nasional, dan 15,0
persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, serta 20,0 persen untuk pembayaran Pajak Bumi
dan Bangunan bagi area blok tebangan. Dalam pada itu penerimaan IHPH dialokasikan sebesar
70,0 persen untuk daerah tingkat I dan
Tabel V. 15
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita VI
Repelita V
No. Propmsi Pertumhuhan
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I. DI Aceh 6,79 11,71 10,99 22,12 15,9
2. Sumatera Utara 8,64 15,77 18,29 25,54 14,5
3 Sumatera Barat 1,04 3,68 3,97 6,94 26,8
4. Riau 44,21 56,41 40,73 61,14 4,1
5 Jamb I 2,03 6,19 5,59 9,44 21,2
6. Sumatera Selatan 5,86 18,26 18,39 23,26 18,8
7. Bengkulu 0,45 0,85 0,87 2,18 21,8
8. Lampung 2,69 3,66 4,25 5,66 9,7
9 OKI Jakarta 39,65 143,77 196,88 341,69 30,9
10. Jawa Barat 11,96 25,42 30,01 54,40 20,9
II. Jawa Tengah 6,20 13,47 15,27 24,50 18,7
12. DI Yogyakana 0,74 1,75 2,49 3,92 23,2
13. Jawa Timur 10,05 20,70 24,96 44,77 20,5
14. Kalimantan Barat 1,05 3,52 4,78 7,32 27,5
15. Kalimantan Tengah 2,58 12,39 12,88 15,51 25,1
16. Kalimantan Selatan 3,61 9,93 10,79 15,38 19,9
17. Kalimantan Timur 9,88 27,88 26,99 34,66 17,0
18. Sulawesi Utara 0,75 2,01 2,19 4,17 23,9
19. Sulawesi Tengah 0,98 1,87 2,30 3,41 16,9
20. Sulawesi Selatan 2,55 7,60 9,08 16,71 26,5
21 Sulawesi Tenggara 0,42 1,20 1,45 2,62 25,7
22. B al I 0,89 2,64 3,00 5,98 26,9
23. Nusa Tenggara Barat 0,74 1,69 1,91 3,44 21,2
24 Nusa Tenggara Timur 0,46 2,25 2,84 5,65 36,8
25. Maluku 2,54 4,68 5,29 7,27 14,1
26. Irian Jaya 2,77 12,00 12,34 22,91 30,2
27 Timor Timur 0,08 1,02 1,34 2,68 55,1
Jumlah 169,61 412,32 470,07 773,27 20,9
daerah tingkat II, dan 30,0 persen sisanya merupakan penerimaan pemerintah pusat. Pembagian
IHH untuk pemerintah daerah selain berdasarkan lokasi penghasil IHH juga berdasarkan rasio
pemerataan, sehingga bagi daerah-daerah yang tidak memiliki hasil hutan akan memperoleh
pembagian IHH tersebut. .
Secara keseluruhan penerimaan IHH dan IHPH untuk daerah tingkat I adalah Rp69,9
miliar dalam tahun anggaran 1989/1990, dan meningkat menjadi Rp211,4 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998 yang berarti selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 14,8 persen. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah terbesar dalam penerimaan IHH
dan IHPH diperoleh Propinsi Kalimantan Tengah, Propinsi Kalimantan Timur, dan Propinsi
Irian Jaya masing-masing Rp39,6 miliar, Rp36,1 miliar, dan Rp13,6 miliar.
Propinsi penerima SDO tertinggi dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Propinsi
Jawa Timur, yaitu Rpl.089,5 miliar, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Jambi, yaitu
Rp18,1 miliar. Tabel V.16 menggambarkan perkembangan penerimaan SDO tingkat I tiap
propinsi dalam peri ode 1989/1990 -- 1997/1998.
SDO tingkat I per kapita seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp
12.969,0 dan dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat hampir dua kali menjadi Rp22.411 ,0.
Propinsi dengan SDO per kapita terbesar dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Sulawesi
Tengah yaitu Rp48.474,0 sedangkan yang terkecil adalah Lampung yaitu Rp4.569,0. Gambaran
mengenai SDO per kapita daerah tingkat I tiap propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.16.
5.3.3.2 Bantuan Pusat
Bantuan pusat adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah, dan diarahkan untuk pemerataan
pembangunan antar daerah, antar kawasan, dan antar kota - desa.
Bantuan pusat, atau disebut sebagai Program Bantuan Inpres diberikan setiap tahun
kepada daerah, baik daerah tingkat I, daerah tingkat II, maupun desa yang jumlahnya didasarkan
atas kriteria tertentu. Jumlah bantuan ini cendernng meningkat dari tahun ke tahun sejalan
dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan masyarakat
Program Bantuan Inpres Dati I mernpakan bantuan pusat terbesar yang diberikan sejak
tahun anggaran 1974/1975 kepada pemerintah daerah tingkat I. Bantuan tersebut pada dasarnya
mernpakan bantuan yang bersifat umum sehingga baik perencanaan maupun penggunaannya
diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, namun tetap dalam batas-batas arahan yang
diberikan oleh pemerintah pusat.
Sistem alokasi pemberian. Program Bantuan Inpres Dati I didasarkan pada jumlah
penduduk, namun bagi daerah tingkat I yang penduduknya kurang dari jumlah tertentu diberikan
bantuan minimum, seuangkan yang penduduknya melebihi jumlah tertentu diberikan bantuan
maksimum. Pemberian bantuan yang danasarkan atas jumlah penduduk ini tidak bernbah sampai
dengan tahun anggaran 1987 /198_. Kriteria alokasi pemberian dana bantuan ini terus
disempurnakan dan sejak tahun anggaran 1988/1989 dasar pemberian bantuan diubah sehingga
setiap daerah tingkat I diberikan bantuan dalam jumlah yang sama. Kemudian dalam tahun
anggaran 1990/1991, kriteria pemberian bantuan kembali disempumakan, yaitu di samping
diberikan bantuan dasar yang jumlahnya sama untuk setiap daerah tingkat I, juga diberikan
Tabel V. 16
Repelita V Repelita VI
Pertumbuh
No. Propinsi 1989/1990 1993/1994 199411995 1997/1998
an
Rata-rata
Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita
(%)
(Rp mUiar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
(I) (1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. DI Aceh 56,91 17.122 105,25 28.532 108,72 28.800 117,10 28.462 9,4
2. Sumatera Utara 175,24 16.964 317,93 29.403 345,17 31.433 438,55 37.751 12,2
3. Sumatera Barat 19,49 4.990 27,11 6.450 28,04 6.573 31,94 7.080 6,4
4. Riau 12,48 4.330 20,92 5.703 21,94 5.781 27,43 6.335 10,3
5. Jambi 8,71 4.304 14,06 6.284 14,37 6.221 18,09 6.920 9,6
6. Sumatera Selatan 22,83 3.760 33,51 4.874 33,64 4.769 37,61 4.837 6,4
7. Bengku1u 9,68 8.689 14,74 11.166 15,70 11.485 19,66 12.552 9,3
8. Lampung 79,07 10.935 32,21 5.012 32,99 5.034 32,24 4.569 -10,6
9. DKIJakarta 129,59 14.232 235,36 26.755 242,29 26.981 358,00 36.890 13,5
10. Jawa Baral 415,18 12.295 777,20 20.566 815,19 21.140 848,77 20.356 9,4
II. Jawa Tengah 420,34 14.675 788,27 26.928 833,41 28.266 980,46 32.427 11.2
12. DI Yogyakarta 61,66 19.719 116,97 40.087 119,45 40.936 106,53 36.634 7,1
13. Jawa Timor 443,03 13.479 826,01 24.746 866,74 25.767 1.089,45 31.515 11,9
14. Kalimantan Baral 58,24 18.500 113,34 32.467 16,96 4.749 20,55 5.280 -12,2.
15 KalimantaD Tengah 33,87 26.588 67,54 43.802 71,12 44.730 86.18 48.279 12,4
16. Kalimantan Se1atan 61,29 24.872 120,94 43.472 128,63 45.276 21,70 7.043 -12,2
17. Kalimantan Timor 37,04 20.669 22,61 10.547 22,93 10.255 28,70 10.888 -3,1
18. Sulawesi Utara 70,90 28.671 21,71 8.402 22,47 8.583 25,36 8.860 -12,1
19. Sulawesi Tengah 42,43 24.471 85,97 46.445 91,16 48.004 101,70 48.474 11,6
20. Sulawesi Selatan 24,47 3.495 35,10 4.778 36,28 4.862 39,20 4.948 6,1I
21. Sulawesi Tenggara 6,34 4.882 14,87 9.925 16,22 10.498 20,94 12.007 16,1
22. Bali 61,10 21.963 18,94 6.632 15,43 5.358 19,15 5.585 -13,5
23. Nusa Tenggara Barat 11,12 3.364 16,78 4.729 17,04 4.732 20,65 4.993 8,1
24. Nusa Tenggara Timur 11,48 3.394 16,69 4.819 17,75 5.037 21,32 5.679 8,0
25. Maluku 9,79 5.398 15,14 7.567 16,53 8.074 20,54 9.186 9,7
26. Irian Jaya 30,54 19.626 46,72 25.545 49,68 26.261 47,79 20.294 5,8
27. Timor Timor 10,33 14.444 15,53 19.215 17,40 21.065 26,29 29.503 12,4
Jumlah 2.323,15 12.969 3.921,42 20.733 4.017,25 20.899 4.605,89 22.411 8,9
bantuan tambahan secara proporsional yang dihitung berdasarkan luas wilayah daratan setiap
daerah tingkat I. Untuk menunjang perluasan otonomi daerah, serta meningkatkan
tanggungjawab daerah tingkat I dalam penanganan beberapa jenis kegiatan pembangunan tentu
yang dilaksanakan di daerah, maka dalam tahun pertama Repelita VI atau tahun anggaran
1994/1995 sistem alokasi program Inpres Dati I telah disempurnakan lagi, antara lain dengan
mengintegrasikan program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan propinsi
ke dalam program Inpres Dati I. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan tanggungjawab
pemerintah daerah tingkat I dalam pengoperasian dan pemeliharaan jaringan irigasi yang telah
dibanguo dan menjadi tanggung jawab daerah, sejak tahun anggaran 1995/1996 kepada daerah
tingkat I diberikan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan kemampuan perencanaan Bappeda Tingkat I dan memperkuat fungsi pengawasan
inspektorat wilayah propinsi (Itwilprop), dalam tahun anggaran yang sama diberikan bantuan
baru yaitu bantuan peningkatan kelembagaan perencanaan dan pengawasan daerah tingkat I,
sebagai pelengkap terhadap bantuan yang selama ini telah diberikan.
Dati I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat secara drastis menjadi Rp
1.331,1 miliar yang berarti meningkat 79,5 persen dari alokasi dalam tahun anggaran 1993/1994
yang berjumlah Rp741,1 miliar. Pengintegrasian kedua Inpres tersebut yang sebelumnya
merupakan bantuan khusus ke dalam Inpres Dati I yang merupakan bantuan umum dilakukan
dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata dan bertanggungjawab.
Perkembangan dana Inpres Dati I pada dasarnya sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk yang senantiasa meningkat, namun pertumbuhan bantuan Inpres Dati I masih lebih
besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Dalam Tabel V.17 terlihat bahwa Inpres
Dati I per kapita dalam tahun anggaran 1997/1998 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan
tahun anggaran 1989/1990. Dalam tahun anggaran 1989/1990 Inpres Dati I per kapita berjumlah
Rp2.218,0 seuang dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp8.102,0. Apabila
dilihat per daerah tingkat I, dalam tahun anggaran 1997/1998 propinsi-propinsi yang
memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah
tingkat I lainnya adalah Propinsi Timor Timur, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan
Tengah masing-masing Rp55,9 ribu, Rp40,2 ribu, dan Rp37,5 ribu. Besarnya dana Inpres Dati
I per kapita di Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan Tengah terutama karena kedua
daerah tingkat I tersebut mempunyai wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan daerah
ltingkat I lainnya, tetapi penduduknya jarang., Sementara itu, tingginya Inpres Dati I per kapita
di Propinsi Timor Tunur adalah karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit dan
memperoleh kekhususan dalam alokasi dana lepas ini. Sebaliknya Propinsi Jawa Barat, Propinsi
Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan daerah tingkat I lain, yaitu masing-masing sebesar Rpl.7 ribu
Rpl.8 ribu, dan Rp2,2 ribu. Rendahnya dana Inpres Dati I per kapita di ketiga daerah tingkat I
tersebut karena mempunyai wilayah yang relatif Iebih kecil dibandingkan dengan luas wilayah
daerah tingkat I lain, sedangkan jumlah penduduknya relatif besar .
Tabel V. 17
BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER KAPITA PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No. Propinsi
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. DI Aceh 4.132 9.374 9.871 13.789
2. Sumatera Utara 1.414 3.570 3.565 5.670
3. Sumatera Barat 3.575 7.278 8.490 10.919
4. Ri au 5.919 11.076 10.897 12.943
5. Jambi 7.039 18.257 18.132 20.178
6. Sumatera Selatan 2.289 7.540 7.316 8.243
7. Bengkulu 11.729 26.355 27.034 32.372
8. Lampung 2.115 5.788 6.773 8.802
9. DKI Jakarta 3.471 10.149 10.255 9.777
10. Jawa Barat 356 667 1.196 1. 729
11. Jawa Tengah 419 1.523 1.496 2.182
12. DI Yogyakarta 3.838 8.797 9.229 10.699
13. Jawa Timur 452 1.239 1.232 1.825
14. Kalimantan Barat 4.349 15.008 15.733 17.788
15. Kalimantan Tengah 10.609 37.765 39.138 37.520
16. Kalimantan Selatan 5.398 12.277 13.044 16.126
17. Kalimantan Timur 7.751 20}81 22.030 24.160
18. Sulawesi Utara 5.875 15.973 17.367 21.054
19. Sulawesi Tengah 8.946 27.562 29.369 31.823
20. Sulawesi Selatan 2.110 5.433 6.249 7.721
21. Sulawesi Tenggara 10.500 26.823 27.549 32.162
22. B al i 4.732 10.489 11.213 10.713
23. Nusa Tenggara Barat 4.091 11.088 11.546 15.720
24. Nusa Tenggara Timur 4.616 14.338 19.147 19.588
25. Maluku 7.953 25.491 27.186 29.888
26. Irian Jaya 9.758 33.320 39.523 40.185
27. Timor Timur 19.984 49.154 52.656 55.866
Indonesia 2.218 6.173 6.711 8.102
Seiring dengan laju pembangunan dan peningkatan kebutuhan daerah akan dana untuk
pembiayaan pembangunan, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman untuk menutupi
kekurangari dana bagi pembangunan di daerahnya. Pada hakekatnya pinjaman daerah
merupakan alternatif sumber pembiayaan pembangunan disamping bantuan Inpres, pendapatan
asli daerah. (PAD), dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana pinjaman dapat bersumber dari
luar negeri yang diteruskan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Subsidiary Loan
AgreementlSLA), maupun dari dalam negeri melalui rekening pembangunan daerah (RPD), dan
pinjaman komersial dari bank pemerintah maupun bank swasta.
Dewasa ini pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengumpulkan dana
pembangunan dari masyarakat, melalui penerbitan obligasi pemerintah dan atau badan usaha
milik daerah (BUMD). Pinjaman tersebut dimaksudkan juga untuk pelengkap dalam
pembiayaan proyek-proyek pembangunan di daerah. Dalam pemberian pinjaman yang menjadi
dasar penilaian kelayakan adalah kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman tersebut
berikut bunganya. Kemampuan daerah untuk meminjam dalam kenyataanya Berbeda-beda
sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Daerah yang memiliki PAD
yang cukup, cenderung mempunyai kemampuan meminjam yang lebih besar.
Untuk itu proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman sebaiknya proyek yang
menghasilkan pendapatan, agar kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dapat dipenuhi tepat
waktu. Adapun kriteria proyek yang dapat dibiayai dengan dana pinjaman adalah proyek yang
merupakan kegiatan pembangunan yang menjadi tugas pokok dan tanggung jawab pemerintah
daerah BUMD yang pembiayaannya tidak dapat disediakan oleh sektor swasta. Di samping itu,
proyek hams menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna untuk kepentingan umum, serta
dapat meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan atau BUMD dalam
memenuhi kebutuhan jasa pelayanan umum masyarakat.
Tabel V. 18
Repelita V Repelita VI
Pertumbu
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
han
No.
Rata-rata
Jenis pengeluaran Propors Propors Propors Propors
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah (%)
i i i i
(Rp (Rp (Rp (Rp
(%) (%) (%) (%)
miliar) miliar) miliar) miliar)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
3.877, 4.746,3
I. Belanja pegawai 2.207,09 75,15 71,79 3.990,70 66,63 58,37 10,0
54 5
2. Belanja barang 304,61 10,37 538,05 9,96 654,56 10,93 946,9411,64 15,2
3.
Belanja pemeliharaan 114,04 3,88 261,24 4,84 348,61 5,82 501,70 6,17 20,3
..
Belanja perjalanan
4. 32,02 1,09 64,40 1,19 73,58 1,23 113,74 1,40 17,2
dinas
1.098,6
5. Belanja lain-lain 199,91 6,81 435,89 8,07 566,08 9,45 13,51 23,7
4
Angsuran
6. 9,71 0,33 14,\3 0,26 39,94 0,67 66,55 0,82 27,2
pinjamanlutang
Ganj aranlsu
7. 69,52 2,37 209,72 3,89 315,51 5,27 657,92 8,09 32,4
bsidilsumbangan
5.400, 8.131,8
Jumlah 2.936,91 100,00 100,00 5.988,98 100,00 100,00 13,6
97 4
Tabel V. 19
Tabel V. 20
Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per propinsi,
maka pengeluaran pembangunan di Propinsi D KI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat relatif lebih
besar bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Dalam Tahun anggaran 1994/1995
Tabel V.21
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER SEKTOR
Repelita VI
1994/1995 1997/1998
Sektor
No.
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
.
1. Sektor industri 14,21 0,50 22,37 0,51
2. Sektor pertanian dan kehutanllD 111,86 3,93 153,30 3,50
Sektor surnber daya air Dari
3. 150,52 5,28 242,07 " 5,53
irigasi
4. Sektor tenaga kelja 13,85 0,49 24,02 0,55
Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan
5. 137,26 4,82 241,61 5,52
koperasi
6. Sektor transportasi 758,05 26,61 1.031,93 23,56
7. Sektor pertambangan dan energi 21,61 0,76 20,82 0,48
8.
Sektor pariwisata dan te1ekomunikasi daerah 43.95 1,54 53,66 1,22
9. Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 268,87 9,44 342,76 7,83
Sektor lingkungan hidup dan tata
10. 47,97 1,68 102,94 2,35
mang
11.Sektor pendidikan, kebudayaan nasiona1, kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga 168;35 5,91 273,46 6,24
12. Sektor kependudukan dan ke1uarga sejahtera 3,54 0,12 5,81 0,13
13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 111,56 3,92 154,34 3,52
Sektor pemmahan dan
14. 137.00 4,81 215,83 4,93
pemukiman
15. Sektor agama 52,88 1,85 79,81 1,82
Sektor ilmu pengetahuan dan
16. 62,62 2,20 99,06 2,26
tehno1ogi
17. Sektor hokum 7,69 0,27 11.85 0,27
18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 394,17 13,84 683,07 15,60
19. Sektor politik. penerangan, komunikasi dan media massa 40,73 1,43 60,37 1,38
Sektor keamanan dan ketertiban
20. 25,25 0,89 40,64 0,93
urnum
. Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 276,46 9,71 519.70 11,87
. Pembayaran kembali pinjaman 0,00 0,00 0,00 0,00
Jurnlah 2.848,40 100,00 4.379,42 100,00
Tabel V. 22
5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat II 5.4.1 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang murni digali oleh
daerah sendiri, dan oleh karena itu daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam memanfaatkan
dana tersebut untuk kepentingan daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah.
Komponen pendapatan asli daerah adalah pajak, retribusi,penerimaan laba BUMD, penerimaan
dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik dan
pembangunan di daerah tingkat II, pendapatan asli daerah memegang peranan yang cukup
penting, meskipun bukan merupakan sumber penerimaan yang terbesar. Bagi pemerintah pusat
peranan PAD tingkat II secara bertahap diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga semakin
mampu membiayai kebutuhannya sendiri, terlebih dalam situasi semakin terbatasnya
kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana subsidi dan bantuan kepada daerah. Namun
demikian, dalam menggali dana PAD pemerintah daerah tetap berpegang pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya
memberatkan rakyat kecil.
Peningkatan PAD di masa yang akan datang semakin diperlukan sehubungan dengan
semakin meningkatnya kegiatan pelayanan publik dan intensitas pembangunan yang
memerlukan biaya relatif lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam kaitan ini usaha
pemerintah daerah tingkat II untuk meningkatkan PAD yang dijalankan selama ini relatif cukup
berhasil. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan PAD tingkat II selama periode 1989/1990 --
1996/1997. Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah seluruh PAD tingkat II adalah Rp477,9
miliar, sedang dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp1.827,4 miliar. Hal ini
berarti selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 PAD tingkat II seeara nasional mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 21,1 persen. Sementara itu, ditinjau dari PAD rata-rata per
daerah tingkat II juga memperlihatkan peningkatan yaitu dari Rp 1,6 miliar dalam tahun
anggaran 1989/1990 menjadi Rp6,1 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Dalam pada itu,
jika dilihat menurut jumlah PAD yang diterima daerah tingkat II tiap propinsi selama tahun
anggaran 1996/1997, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi JawaTimur, dan Propinsi
Jawa Tengah menerima PAD dengan jumlah terbesar masingmasing Rp480,6 miliar, Rp332,3
miliar, dan Rp261, 1 miliar, sebaliknya yang terkecil adalah pada daerah tingkat II di Propinsi
Timor Timur, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sulawesi Tenggara masing-masingRp3,8 miliar,
Rp8,0 miliar, dan Rp9,1 miliar. Perkembangan PAD tingkat II per propinsi secara rinci dapat
dilihat pada Tabel V.23.
Dari kelima komponen PAD tersebut, penerimaan dart retribusi dan pajak merupakan
dua komponen yang memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp858,6 miliar dan Rp635,8 miliar
dalam tahun anggaran 1996/1997 atau masing-masing mempunyai proporsi 47,0 persen dan
34,8 persen terhadap total PAD tingkat II seluruh Indonesia untuk tahun anggaran yang sama
sebagaimana terlihat pada Tabel V.24.
Tabel V. 23
Repelita V Repelita VI
Tabel V. 24
5. Penerimaan lain-lain 40,32 8,43 82,47 8,73 106,40 8,60 155,58 8,51
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ditujukan untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah yang mengarah pada sistem yang
sederhana, adil, efektif dan efisien, dan berorientasi pada usaha peningkatan penerimaan daerah
melalui sumber pajak yang potensial. Untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang
nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II, maka dalam Undang-
undang ini daerah tingkat II mendapat sumber penerimaan pajak yang lebih banyak daripada
daerah tingkat I, yaitu 6 jenis pajak yang meliputi Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian
Golongan C, dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II adalah
Rp130,4 millar, dan meningkat menjadi Rp635,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997
dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997,
daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat merupakan penerima pajak daerah terbesar yaitu
Rp136,7 miliar, yang diikuti daerah tingkat II di Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Bali masing-
masing Rp115,6 miliar dan Rp105,3 miliar atau masing-masing memberikan kontribusi sebesar
21,5 persen, 18,2 persen, dan 16,6 persen terhadap total penerimaan daerah tingkat II di seluruh
Indonesia. Secara rata-rata per daerah tingkat II, penerimaan pajak daerah tingkat II di Propinsi
Bali, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI Yogyakarta merupakan daerah dengan tingkat
penerimaan pajak rata-rata per daerah tingkat II terbesar yaitu Rp 11,7 millar, Rp5,5 millar, dan
Rp3,4 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Sebaliknya penerimaan pajak rata-rata per
daerah tingkat II terendah adalah pada daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi
Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Bengkulu masingmasing Rp0,7 millar, Rp 1,6 miliar, dan 1,7
miliar. Perkembangan pajak daerah tingkat II tiap-tiap propinsi selama periode 1989/1990 --
1996/1997 dapat dilihat pada Tabel V.25.
Sebagai salah satu komponen dalam PAD, retribusi diharapkan dapat menjadi salah
satu sumber penerimaan yang dapat menunjang terselenggaranya kegiatan pelayanan publik di
daerah tingkat II. Untuk itu peningkatan kualitas pelayanan yang didukung cara kerja yang
Bagi pemerintah daerah tingkat II, penerimaan dari retribusi merupakan sumber
penerimaan yang relatif cukup diandalkan terutama dalam menunjang kelancaraan pelaksanaan
kegiatan pelayanan publik di daerah. Dalam kenyataannya penerimaan dari retribusi cukup besar
dan senantiasa meningkat setiap tahunnya. Hal itu dapat dilihat dart perkembangan penerimaan
retribusi selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 seperti terlihat pada Tabel V.26. Dalam
periode tersebut penerimaan retribusi daerah tingkat II meningkat dari Rp267,0 miliar dalam
tahun anggaran
Tabel V. 25
Repelita V Repelita VI
1.DI Aceh 1,83 0,18 3,630,36 4,71 0,47 6,48 0,65 19,8
2.Sumatera Vtara
12,34 0,73 25,39 1,49 29,79 1,75 48,36 2,84 21,5
.
3. Sumatera Barat 3,45 0,25 5,95 0,43 7,53 0,54 11,67 0,83 19,0
4. Ri au 2,07 0,35 4,01 0,67 4,79 0,80 9,39 1,57 24,1
5. Jambi 0,98 0,16 2,08 0,35 2,20 0,37 3,41 0,57 19,5
6. Sumatera Selatan 3,13 0,31 7,13 0,71 7,99 0,80 13,21 1,32 22,8
7. Bengkulu 0,67 0,17 0,97 0,24 1,08 0,27 1,67 0,42 13,9
8. Lampung 2,77 0,69 4,17 0,83 5,24 1,05 8,80 1,76 18,0
9. Jawa Barat 23,46 0,98 53,04 2,21 83,33 3,33 136,70 5,47 28,6
10. Jawa Tengah 21,70 0,62 38,37 1,10 51,17 1,46 70,73 2,02 18,4
11. DI Yogyakarta 3,20 0,64 6,60 1,32 9,23 1,85 16,94 3,39 26,9
12. Jawa Timur 17,16 0,46 47,53 1,28 65,92 1,78 115,60 3,12 31,3
13. Kalimantan Barat 3,25 0,46 4,43 0,63 6,33 0,90 7,69 1,10 13,1
14. Kalimantan Tengah 0,83 0,14 1,56 0,26 1,85 0,31 2,64 0,44 18,0
15. Kalimantan Selatan 2,68 0,27 5,39 0,54 6,88 0,69 9,07 0,91 19,0
16. Kalimantan Timor 6,17 1,03 10,39 1,73 13,28 2,21 18,49 3,08 17,0
17. Sulawesi Vtara 2,38 0,34 3,92 0,56 6,55 0,94 9,10 1,30 21,1
18. Sulawesi Tengah 0,99 0,25 1,33 0,33 1,48 0,37 2,48 0,50 14,0
19. Sulawesi Selatan 4,50 0,20 9,19 0,40 10,90 0,47 19,32 0,84 23,1
20. Sulawesi Tenggara 0,31 0,08 0,88 0,22 0,94 0,24 1,61 0,32 26,5
21. Ball 13,25 1,66 35,23 3,91 69,65 7,74 105,34 11,70 34,5
22. Nusa Tenggara Barat 0,64 0,11 2,58 0,43 4,01 0,57 6,52 0,93 39,3
23. Nusa Tenggara Timur 0,61 0,05 1,09 0,09 1,18 0,10 2,16 0,18 19,8
24. Maluku 1,00 0,20 1,74 0,35 1,94 0,39 3,19 0,64 18,0
25. Irian Jaya 0,79 0,09 2,21 0,25 2,98 0,30 4,56 0,46 28,5
26. Timor Timor 0,23 0,02 0,51 0,04 0,59 0,05 0,69 0,05 17,0
Jumlah 130,39 - 279,32 - 401,54- 635,82 - 25,4
Rata-rata per Dari II - 0,45 - 0,95 - 1,35 - 2,13
Tabel V. 26
Repelita V Repelita VI
'---- - ------------_.__._------ --.- .-.--
Propinsi 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan
f-----_. --- ..--.------------ . -- Rata-rata (%)
Rala-rala Rala-rala Rala-rala Rala-rala
KeseIuruhan Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dalin Dalin Dalin Dalin
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.DI Aceh 3,23 0,32 6,07 0,61 7,34 0,73 10,73 1,07 18,7
2.Sumalera Utara 14,76 0,87 27.39 1.61 33,86 1,99 44,55 2,62 17.1
3.Sumatera Barat 9,40 0,67 15,86 1,13 18.15 1,30 23,66 1,69 14,1
4-Ri au 3,80 0,63 6,15 1,03 8,27 1,38 12,18 2,03 18,1
5.Jambi 2,34 0,39 4,92 0,82 7,10 1,18 9,79 1.63 22,7
6.Sumatera Selatan 6,03 0,60 10,26 1,03 15,92 1,59 19,26 1.93 18,0
7.Bengkulu 1,59 0,40 2,50 0,63 2,68 0,67 4,59 1,15 16,4
8.Lampung 5,82 1,46 9,10 1,82 9,45 1,89 13,71 2,74 13,0
9.Jawa Barat 61,68 2,57 131,17 5,47 177,42 7,10 237,11 9,48 21,2
10.Jawa Tengah 49,97 1,43 91,88 2,63 109,55 3,13 135,69 3,88 15,3
II.DI Yogyakarta 4,26 0,85 9,74 1,95 11,44 2,29 14,81 2,96 19,5
12.Jawa Timur 53,06 1,43 98,42 2,66 121,38 3,28 165,93 4,48 17,7
13.Kalimantan Barat 3,95 0,56 6,64 0,95 6,41 0,92 7,95 1,14 10,5
14.Kalimantan Tengah 1,03 0,17 1.93 0,32 2,49 0,42 4,92 0,82 25,0
15,Kalimantan Selatan 3,32 0,33 6,73 0,67 7,09 0,71 10.34 1.03 17,6
16,Kalimantan Timur 3,76 0,63 12.43 2,07 13,28 2,21 15.36 2,56 22,3
17.Sulawesi Utara 5,64 0,81 8,49 1,21 10,24 1,46 11,67 1.67 10,9
18.Sulawesi Tengah 1,74 0,44 3,27 0,82 3.39 0,85 4,59 0,92 14,9
19,Sulawesi Selatan 13,70 0,60 23,78 1.03 30,76 1,34 43,79 1,90 18,1
20.Sulawesi Tenggara 1,40 0,35 3,31 0,83 4,18 1,05 5,02 1.00 20,0
21.B a I I 4,24 0,53 11.62 1,29 15,21 1.69 26.36 2,93 29,8
22.Nusa Tenggara Barat 4,50 0,75 9,14 1,52 9,98 1,43 14,23 2,03 17,9
23,Nusa Tenggara Timur 3,56 0,30 6,46 0,54 7,64 0,64 9,01 0,75 14,2
24,Maluku 2,33 0,47 3,73 0,75 5,61 1,12 6.31 1,26 15,3
25,Irian Jaya 1.46 0,16 3,19 0,35 3,74 0,37 5,62 0.56 21,2
26.Timor Timur 0,43 0,03 0,84 0,06 1,03 0,08 1,41 0,11 18,5
Jumlah 267,00 - 515,02 - 643,61 - 858,59 - 18,2
Rata-rata per Dari 11 - 0,91 - 1,75 - 2,17 - 2,87
1989/1990 menjadi Rp858,6 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 dengan laju pertumbuhan
rata-rata 18,1 persen per tahun. Dari semua daerah tingkat II di tiap propinsi, penerimaan
retribusi daerah tingkat II di Propinsi Bali mengalami laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu
29,8persen per tahun, yang diikuti Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Jambi masing-
masing 25,0 persen dan 22,7 persen, sedangkan yang terendah terjadi pada daerah tingkat II di
Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Lampung masing-masing 10,5
persen, 10,9 persen, dan 13,0 persen per tahun selama periode tersebut. Sementara itu, jika
ditinjau dari jumlah penerimaan retribusi daerah tingkat II tiap propinsi, dalam tahun anggaran
1996/1997 yang tertinggi diperoleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat yaitu Rp237, I
millar, kemudian diikuti Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah masing-masing
Rp165,9 miliar dan Rp135,7 millar, sedangkan Propinsi Timor Timur adalah yang terendah,
yaitu Rp 1,4 miliar, diikuti Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sulawesi Tengah yang masing-
masing memperoleh penerimaan dart retribusi daerah tingkat II sebesar Rp4,6 miliar.
Dari tahun ke tahun, penerimaan bagian laba BUMD tingkat II meningkat. Penerimaan
bagian laba BUMD tingkat II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp14,0 millar,
selanjutnya dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat tajam mencapai Rp59,5 miliar. Ini
berarti selama periode Repelita V dan tiga tahun pertama Repelita VI penerimaan bagian laba
BUMD tingkat II meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 22,9 persen.
Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II yang mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun
tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi
Kalimantan Tengah masing-masing 124,6 persen, 123,0 persen dan 65,4 persen, sedangkan laju
pertumbuhan negatif dialami daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku
dengan pertumbuhan masing-masing negatif 2,7 persen dan negatif 0,3 persen.
Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II tiap propinsi yang terbesar dalam tahun
anggaran 1996/1997 adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan
Propinsi Lampung masing-masing Rp 12,4 millar, Rp 11,5 millar, dan Rp 10,1 millar, sedang
jumlah penerimaan yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi
Maluku, dan Propinsi Bengkulu, masing-masing Rp20,0 juta, Rp70,8 juta, dan Rp93,2 juta.
Namun jika dilihat rata-rata bagian laba BUMD per daerah tingkat II, maka jumlah tertinggi
dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI
Yogyakarta, masing-masing Rp2,0 miliar. Rp495,1 juta, dan Rp 337,9 juta, sedang terendah
dialami oleh daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Maluku, dan Propinsi Kalimantan
Barat, masing-masing Rp2,0 juta, RpI4,2juta, dan RpI9,8juta. Perkembangan penerimaan
bagian laba BUMD daerah tingkat II tiap propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.l7.
//] TaM V. 27
Repelita V Repelita VI
I. DI Aceh 158,35 15,84 142,57 14,26 350,01 35,00 621,67 62,17 21,6
2. Sumatem Utara 534,82 31,46 709,06 41,71 1.511,69 88,92 2.996,02 176,24 27,9
3. Sumatem Barat 105,46 7,53 359,83 25,70 388,69 27,76 426,68 30,48 22,1
4. Riau 132,00 22,00 121,50 20,25 131,90 21,98 497,19 82,87 20,9
5. Jam b i 24,42 4,07 521,80 86,97 309,72 51,62 577,11 96,19 57,1
6, Sumatera Selatan 176,39 17,64- 541,54 54,15 1.303,75 130,38 1.713,85 171,39 38,4
7. Bengkulu 0,34 0,09 50,29 12,57 54.73 13,68 93,18 23,30 123,0
8. Lampung 34,95 8,74 39,00 7,80 105,24 21,05 10.086,34 2.017,27 124,6
9. Jawa Barat 2.199,12 91,63 5.461,87 227,58 6.611,58 264,46 12,377,58 495,10 28,0
10, Jawa Tengah 2.815,07 80,43 4.537,55 129,64 5.471,26 156,32 6.987,85 199,65 13,9
II DI Yogyakarta 232,91 46,58 435,33 87,07 469,32 93,86 1.689,71 337,94 32,7
12. Jawa Timur 5.501,06 148,68 8.816,29 238,28 9.647,70 260,75 11.538,68 311,86 11,2
13, Kalimantan Barat 42,25 6,04 , 102,53 14,65 165,56 23,65 138,43 19,78 18,5
14. Kalimantan Tengah 40,74 6,79 363,91 60,65 890,12 148,35 1.377,42 229,57 65,4
15. Kalimantan Selatan 258,62 25,86 305,63 30,56 852,04 85,20 1.566,98 156,70 29,4
16. Kalimantan Timur 563,18 93,86 1.860,09 310,01 1.919,98 320,00 1.456,72 242,79 14,5
17. Sulawesi Utara 104,74 14,96 239,50 34,21 353,67 50,52 734,17 104,88 32,1
18. Sulawesi Tengah 28,15 7,04 60,61 15,15 82,50 20,63 227,39 45,48 34,8
19. Sulawesi Selatan 119,23 5,18 567,17 24,66 572.37 24,89 1.764,01 76,70 46,9
20. Sulawesi Tenggara 50,00 12,50 17,78 4,45 74,35 18,59 129,03 25,81 14,5
21. B a1 i 622,52 77,81 4'83,33 53,70 565,71 62,86 1.265,47 140,61 10,7
22 Nusa Tenggara Barat 87,42 14,57 214,56 35,76 200,34 28,62 407,94 58,28 24,6
23. Nusa Tenggara Timur 85,16 7,10 213,66 17,80 267,57 22,30 500,82 41,74 28,8
1
24. Maluku 72,10 14,42 55,87 11,17 169,02 33,80 70,79 14,16 -0,3
25. Irian Jaya 24,17 2,69 73,30 8,14 306,44 30,64 20,00 2,00 -2,7
26 Timor Timor 22,94 1,76 68,10 5,24 188,67 14,51 284,38 21,88 43,3
Jumlah 14,036,11 - 26.362,67 - 32.963,93 - 59.549,41 - 22,9
Rata - rata per Dari II - 48,07 - 89,67 - 110,99 - 199,16
penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II hanya memberikan sumbangan yang relatif kecil jika
dibandingkan dengan penerimaan pajak atau retribusi. Bahkan di masa yang akan datang
penerimaan dari dinas-dinas ini diperkirakan akan menurun karena beberapa jenis penerimaan
dinas-dinas akan dikelompokkan ke dalam penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997. Penerimaan dari masing-masing dinas cenderung
berfluktuasi setiap tahunnya dan hal itu ditentukan oleh tingkat permintaan masyarakat akan jasa
pelayanan dan kemampuan dari dinas terkait untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan
tersebut.
Waiaupun penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II relatif kecil, namun penerimaan ini
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dalam tahun anggaran 1989/1990, penerimaan
dinas-dinas daerah tingkat II adalah Rp26,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997
meningkat menjadi Rp 117,8 miliar yang berarti selama periode tersebut mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 24,0 persen.
Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah tingkat II yang memperoleh
penerimaan dinas-dinas terbesar adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa
Tengah dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp45,2 miliar, Rp3t,5 miliard an Rp16,6
miliar, sedang yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Bengkulu, Propinsi
Kalimantan Selatan dan Propinsi Sumatera Barat masing-masing Rp87,5 juta, Rp 110, 1 juta dan
Rp145, 1 juta. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II di Propinsi Riau, Propinsi Timor Timur,
dan Propinsi Jawa Barat mencapai laju pertumbuhan tertinggi masing-masing 100,2 persen, 41,4
persen, dan 39,9 persen, dan yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sumatera Barat,
Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing 0,1 persen, 2,2
persen dan 3,5 persen selama periode 1989/1990 -- 1996/1997. Selain itu penerimaan dinas-
dinas pada daerah tingkat II lainnya justru mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu Propinsi
Sulawesi Selatan dan Propinsi Nusa Tenggara Barat masing-masing negatif 10,5 persen dan
negatif 6,5 persen.
Beberapa contoh penerimaan yang termasuk kategori penerimaan lain-lain misalnya penerimaan
dari hasil penjualan asset milik pemerintah daerah, dan jasa giro rekening pemerintah daerah
tingkat II. Penerimaan lain-lain di masa yang akan datang diperkirakan akan menurun bahkan
kemungkinan tak ada lagi, karena adanya pengelompokan dari beberapa jenis penerimaan lain-
lain yang dimasukan ke dalam kategori penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Undang -undang Nomor 18 Tahun 1997.
Perkembangan penerimaan lain-lain daerah tingkat II di tiap propinsi selama periode
1989/1990 - 1996/1997, bervariasi antara propinsi yang satu dengan propinsi lainnya. Sementara
penerimaan lain-lain daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan
Propinsi Jawa Tengah adalah tertinggi, masing-masing Rp49,2 miliar, Rp22,7 miliar, dan
Rp16,2 miliair dalam tahun anggaran 1996/1997. Secara nasional penerimaan lain-lain daerah
tingkat II di ketiga tersebut mempunyai proporsi 56,6 persen, sedangkan daerah tingkat II yang
memperoleh penerimaan lain-lain dengan jumlah terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi
Nusa Tenggara Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Timor Timur masing-masing Rp988,5 juta,
Rp 1.059,9 juta, dan Rp 1.139,6 juta. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan lain-lain
daerah tingkat II selama periode 1989/ 1990 -- 1996/1997, dengan laju pertumbuhan tertinggi
adalah daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi
Kalimantan Selatan masing-masing 46,5 persen, 39,7 persen, dan 36,4 persen, sedangkan yang
terendah adalah di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Sumatera Utara
masing-masing 7,8 persen, 11,8 persen dan 13,1 persen.
Pembagian PBB yang sebagian besar dialokasikan kepada pemerintah daerah tingkat II
menunjuk komitmen pemerintah untuk memberi porsi pendanaan yang lebih besar kepada
pemerintah daerah tingkat II dibanding pemerintah daerah tingkat I, selain karena semakin
pentingnya peran pemerintah daerah tingkat II sebagai sentra pembangunan di daerah, juga
berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggungjawab yang titik beratnya ada di daerah tingkat II. Hal ini juga untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan urusan-urusan sehubungan dengan semakin banyaknya urusan-urusan
yang diserahkan pengelolaannya kepada daerah tingkat II. Dengan demikian, penerimaan PBB
ini menjadi salah satu sumber penerimaan yang sangat penting bagi daerah tingkat II. Untuk
tercapainya hasil penerimaan PBB yang optimal maka peran pemerintah daerah tingkat II dalam
proses pemungutan PBB perlu ditingkatkan.
Secara umum, penerimaan daerah tingkat II yang berasal dari PBB meningkat setiap
tahunnya. Perkembangan penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat
pada Tabel V. 8. alam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB berjumlah Rp361,8 miliar,
kemudian meningkat menjadi Rp 1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, atau
mengalami pertumbuhan rata-rata tahun 23,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997,
jumlah terbesar dicapai oleh prppinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi
Kalimantan Timur masing-masing Rp22 ,2 miliar, Rp216,3 miliar, dan Rp143,6 miliar, sedang
jumlah terkecil dicapai oleh
Tabel V. 28
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Sulawesi Tengah masing-masing
Rpl0,2 miliar, Rp13,2 miliar, dan Rp13,8 miliar.
Sementara itu, selama kurun waktu.1989/f990 -- 1996/1997 perkembangan penerimaan
PBlf di Propinsi Timor Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Sumatera Barat
mencapai laju pertumbuhan rata-rata per tahun terbesar masing-masing 81,3 persen, 41,0 persen,
dan 35,0 persen, sedang laju pertumbuhan terendah terjadi di Propinsi DI Aceh, Propinsi
Lampung dan Propinsi Maluku masing-masing 12,4 persen, 12,7 persen dan 13,5 persen per
tahun.
juta dan Propinsi Jawa Tengah Rp69,5 juta. Daerah tingkat II penerimaan IHH terbesar adalah
daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing
Rp 17,5 miliar dan Rp 16,6 miliar dalam tahun anggaran yang sama.
Dalam tahun anggaran 1996/1997, penerima sumbangan dari pusat dan daerah tingkat I
kepada daerah tingkat II tertinggi terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Jawa Barat,
dan Propinsi Jawa Tengah masing-inasing Rp393,3 miliar, Rp354,2 miliar, dan Rp282,8 miliar.
Sementara itu, daerah-daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Kalimantan
Tengah, dan Propinsi DI Yogyakarta relatif kecil dibandingkan dengan-propinsi lain sehingga
menerima sumbangan yang relatif sedikit, masing-masing Rp25,2 miliar, Rp40,7 miliar dan
Rp72,0 miliar. Perkembangan sumbangan pusat dan daerah tingkat I kepada -daerah tingkat II
per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.29. .
Pemberian sumbangan kepada daerah tingkat II pada umumnya diwujudkan dalam bentuk
subsidi daerah otonom (SDO), yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja
nonpegawai. Belanja pegawai digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai, baik
pegawai daerah maupun pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah tingkat II, sedangkan
belanja non pegawai dialokasikan untuk subsidi belanja urusan-desentralisasi, subsidi belanja
urusan dekonsentrasi dan pembantuan, subsidi belanja pengembangan sumber daya manusia dan
pembinaan pemerintahan, serta lain-lain belanja nonpegawai.
Tabel V. 29
SUMBANGAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 199611997
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Dalam periode 1989/1990 -- 1996/1997 pemberian SDO untuk daerah tingkat II per
kapita per propinsi secara nasional mengalami peningkatan yang cukup besar. Dalam tahun
anggaran 1989/1990 jumlah SDO untuk daerah tingkat II adalah Rp6.857,0, maka dalam tahun
anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp22.671,0, yang berarti berkembang dengan laju
pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Apabila dilihat SDO daerah tingkat II per kapita
per propinsi dalam tahun anggaran 1996/1997, yang paling menonjol adalah Propinsi Irian Jaya
yaitu Rp92.193,0, diikuti Propinsi Timor Timur dan Propinsi Sulawesi Utara masing-masing
Rp87.679,0 dan Rp64.683,0. Gambaran SDO daerah tingkat II per propinsi periode 1989/1990 -
- 1996/1997 secara rinei dapat dilihat dalam Tabel V.30.
Secara keseluruhan proporsi SDO terhadap keseluruhan penerimaan daerah tingkat II
rata-rata per propinsi dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah 38,7 persen dan dalam tahun
anggaran 1996/1997 naik menjadi 39,6 persen.
dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan untuk kegiatan PKK juga
ditingkatkan dari Rp250,0 rlbu dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi Rpl,5 juta dalam
tahun anggaran 1997/1998. Di samping bantuan langsung kepada desa juga diberikan bantuan
pengendalian dan pengelolaan yang besarnya Rp600,0 ribu untuk tingkat desa, Rp300,0 ribu per
desa untuk tingkat kecamatan, Rp 1 00,0 ribu per desa untuk tingkat Dati II ditambah Rp4,5 juta
untuk hadiah lomba desa, dan Rp20,0 ribu per desa untuk tingkat Dati I ditambah dengan hadiah
lomba desa sebesar Rp 12,0 juta. Seiring dengan adanya pemekaran desa dan penambahan
jumlah desa transmigrasi, serta peningkatan jumlah bantuan per desa, jumlah bantuan yang
diberikan secara keseluruhan juga meningkat. yaitu dari Rp2,6 miliar dalam, tahun anggaran
1969/1970 menjadi Rp468,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 atau selama periode
tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 21,2 persen.
Program bantuan Inpres Dati II dimaksudkan untuk mendukung pencapaian sasaran
pembangunan daerah melalui sektor-sektor yang tertampung dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) tingkat II dan menjadi prioritas masing-masing daerah tingkat II.
Besarnya bantuan Inpres Dati II didasarkan pada jumlah penduduk, dengan ketentuan bahwa
bagi daerah yang penduduknya kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan minimum.
Selain bantuan per jiwa yang telah diberikan dalam tahun anggaran 1970/1971, semenjak tahun
anggaran 1974/1975 diberikan pula bantuan minimum untuk masing-masing daerah tingkat II.
Dalam tahun anggaran 1994/1995 beberapa bantuan khusus diintegrasikan ke dalam Inpres Dati
II, yaitu bantuan kabupaten/kotamadya yang wilayahnya terdiri dari kepulauan, bantuan
pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, bantuan rehabilitasi
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati
II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, serta
bantuan rehabilitasi Puskesmas. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jenis bantuan khusus yang
diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II bertambah menjadi 14 komponen yang terbagi dalam tiga
bentuk bantuan , yaitu : pertama, block gran t terdiri atas bantuan pembangunan Dati II, bantuan
perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, bantuan kecamatan, bantuan
pembinaan desa tertinggal Dati II, dan bantuan pemugarap dan pembangunan pasar kecamatan;
Tabel V. 30
kedua, specific block grant yang terdiri atas bantuan peningkatan dan prasarana jalan Dati II,
bantuan rehabilitasi sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), bantuan rehabilitasi dan
pemeliharaan sarana kesehatan, bantuan perbaikan perumahan dan pemukiman, bantuan
penyehatan lingkungan permukiman, bantuan peningkatan prasarana poros desa, bantuan
penghijauan, dan bantuan pengendalian dampak lingkungan Dati II; ketiga, specific grant yang
terdiri atas bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan sarana kesehatan,
bantuan penyediaan air bersih, bantuan pertanian rakyat terpadu, bantuan penyuluh pertanian
lapangan, bantuan pembangunan prasarana pendidikan desa tertinggal, bantuan penyediaan dan
pengelolaan air bersih, bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan desa tertinggal,
program penyehatan lingkungan permukiman, dan program makanan tambahan anak sekolah.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di tiap daerah tingkat II dan banyaknya bantuan
khusus yang diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II ini, jumlah bantuan yang diberikan juga
meningkat. Dalam tahun anggaran 1970/1971 bantuan per jiwa baru sebesar Rp50,0 meningkat
menjadi Rp5.500,0 dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan minimum
yang meningkat dari Rp16,0 juta per daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1974/1975 menjadi
Rpl,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998. Selanjutnya, apabila dilihat dari jumlah
keseluruhan bantuan yang diberikan per daerah tingkat II meningkat dari Rp5,6 miliar dalam
tahun anggaran 1970/1971 menjadi Rp3.484,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, yang
berarti selama periode tersebut bantuan Inpres Dati II mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 26,9 persen.
Program Inpres sekolah dasar (SD) dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar
dan menamatkan pendidikan pada tingkat SD dalam upaya mendukung pelaksanaan wajib
belajar pendidikan 9 tahun dengan memenuhi kebutuhan gedung SD di daerah transmigrasi,
daerah pemukiman baru dan daerah terpencil, dan meningkatkan mutu proses belajar-mengajar
dengan mendorong sekolah untuk melakukan kegiatan aktif produktif melalui kegiatan ekstra
kurikuler. Dalam tahun anggaran 1997/1998 komponen kegiatan Inpres SD ditingkatkan dan
ditetapkan dalam dua bentuk kegiatan yaitu pertama kegiatan pokok meliputi pembangunan
gedung baru, pembangunan tambahan ruang SD/MI negeri, pembangunan rumah dinas kepala
sekolah, rumah dinas penjaga sekolah, dan perumahan guru, pembangunan mess murid, biaya
operasional dan perawatan sekolah, dan pembinaan olahraga dan pramuka; kedua kegiatan
penunjang meliputi penyediaan buku pelajaran dan bacaan, pengadaan alat peraga, penyediaan
alat administrasi sekolah, dan pengadaan sarana transportasi penilik pendidikan agama. Sejalan
dengan peningkatan komponen Inpres SD, bantuan Inpres SD juga meningkat dari Rp17,2
miliar dalam tahun anggaran 1973/1974 menjadi Rp663,2 miliar dalam tahun anggaran
1997/1998 atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 16,4
persen.
puma waktu, yang antara lain untuk mengembangkan usaha ekonomis produktif guna
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa tertinggal. Dana bantuan langsung
digunakan untuk membiayai biuang pertanian, industri kerajinan rakyat, pengelolaan bahan
baku menjadi bahan jadi, biuang perdagangan dan industri, dan bidang pengepakan dan
pemasaran, sedangkan dana bantuan operasional pemantauan digunakan untuk biaya pengolahan
data, biaya pendamping sebesar 50,0 persen, dan biaya bimbingan dan penyuluhan. Program
IDT ini diberikan sejak tahun anggaran 1994/1995 dan telah dialokasikan kepada 20.633 desa
tertinggal dengan jumlah bantuan Rp397, 7 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997
dialokasikan dana Rp479,8 miliar untuk 22.054 desa/kelurahan tertinggal, berarti selama peri
ode tersebut bantuan IDT mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,8 persen.
Jumlah keseluruhan bantuan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tingkat I kepada daerah tingkat II dan pemerintah desa meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam tahun anggaran 1989/1990, jumlah bantuan Rp825,2 miliar meningkat menjadi
Rp3.973,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 yang berarti selama kurun waktu tersebut
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,2 persen. Selanjutnya apabila dilihat
dari rata-rata bantuan per daerah tingkat II, dalam tahun anggaran 1989/1990 rata-rata bantuan
yang diterima setiap daerah tingkat II adalah Rp2,8 miliar meningkat menjadi Rp 13,3 miliar
dalam tahun anggaran 1996/1997. Jika ditinjau dari realisasi bantuan yang diterima oleh daerah
tingkat II di tiap propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur
menerima bantuan terbesar masing-masing Rp624,6 miliar dan Rp459,1 miliar dalam tahun
anggaran 1996/1997, sedangkan yang menerima bantuan terkecil adalah daerah tingkat II di
Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Bali masing-masing Rp43,7 miliar dan Rp45,4 miliar.
Selanjutnya jika dilihat dari realisasi bantuan rata-rata yang diterima oleh daerah tingkat II di
masing-masing propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Riau menerima
jumlah bantuan rata-rata terbesar masing-masing Rp25,0 miliar dan Rp24,8 miliar, sedangkan
yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Bali dan Propinsi Timor Timur masing-masing
Rp5, I miliar dan Rp5,8 miliar. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama peri ode 1989/1990
-- 1996/1997 yang tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku
masing-masing 48,3 persen dan 39,4, sedangkan yang terkecil .adalah daerah tingkat II di
Propinsi Bali yaitu 9,5 persen. Gambaran secara rinei mengenai bantuan pusat dan daerah
tingkat I untuk daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.31
Berdasarkan data APBD, tahun 1989/1990 sampai dengan 1996/1997 daerah yang
belum melakukan pinjaman adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Sulawesi
Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Maluku, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Timor
Timur. Sementara itu, daerah yang memiliki pinjaman yang terbesar adalah daerah tingkat II di
Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp32,2
miliar, Rp29,6 miliar dan Rp21,6 miliar, sedangkan pinjaman daerah tingkat II di
propinsi_propinsi lain relatif kecil.
Tabel V. 31
BANTUAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT n PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repellta VI
...
Pengeluaran rutin daerah tingkat II adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tingkat II seperti belanja pegawai, belanja barang,
perjalanan dinas, angsuran pinjaman, dan sebagainya. Pengeluaran ini terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab di daerah
tingkat II serta kaitannya dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dari seluruh komponen belanja rutin daerah tingkat II, belanja pegawai merupakan
komponen belanja terbesar, dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1996/1997 masing-masing
berjumlah Rp1.171,6 miliar dan Rp4.276,6 miliar, atau 69,3 persen dan 62,5 persen dari total
pengeluaran rutin. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan
dayaguna aparatur pemerintah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Data terinci
mengenai perkembangan jenis-jenis belanja dalam pengeluaran rutin daerah tingkat II dapat
dilihat dalam Tabel V.32.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 belanja rutin daerah tingkat II per kapita adalah
Rp9.943,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp34.958,0 atau
mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Sementara itu, dalam tahun anggaran
1996/1997 belanja rutin daerah tingkat I perkapita perpropinsi tertinggi adalah Irian Jaya yaitu
Rp133.412,0 sedangkan yang terendah adalah Jawa Timur, yaitu RpI8.157,0.
Jumlah belanja rutin daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya dengan banyaknya
daerah tingkat II serta banyaknya kegiatan pemerintahan di daerah bersangkutan. Dalam tahun
anggaran 1996/1997 pengeluaran rutin daerah tingkat II rata-rata yang terbesar adalah Propinsi
Lampung dan diikuti Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp53,0 miliar dan Rp43,1
miliar, sedangkan yang terkecil adalah Propinsi Timor Timur, yaitu Rp7,1 miliar. Sementara itu,
dilihat dari laju pertumbuhan belanja rutin rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 --
199611997, terlihat bahwa yang tertinggi adalah di Propinsi Bali yaitu 44,9 persen, sedangkan
yang terendah di
Tabel V. 32
Repelita V Repelita VI
.
2. Belanja barang 199,86 11,82 444,18 11,32 562,50 12,06 I. 009 ,44 14,75 26,0
3. Belanja pemeliharaan 56,03 3,32 123,22 3,14 146,97 3,15 212,78 3,11 21,0
4. Belanja perjalanan dinas 27,20 1,61 70,31 1,79 88,42 1,90 123,12 1,80 24,1
5. Belanja lain-lain 196,82 11,64 495,85 12,64 657,36 14,10 1.003,43 14,66 26,2
6. Angsuran pinjamanlutang 15,74 0,93 35,02 0,89 56,22 1,21 75,04 1,09 25,0
Jumlah 1.690,58 100,00 3.923,35 100,00 4.662,95 100,00 6.845,37 100,00 26,2
Propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yaitu masing-masing 16,3 persen. Jika ditinjau
dari jumlah pengeluaran daerah tingkat II per propinsi, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah
tingkat II di Propinsi Jawa Barat menempati rangking tertinggi, yaitu Rp784,2 miliar dan yang
terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Rp.45,9 millar.
Pengeluaran rutin daerah tingkat II per propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.33.
Jenis pengeluaran rutin dilihat dari penyelenggaraan urusan pemerintahan antara lain
terdiri atas penyelenggaraan urusan umum pemerintahan, dinas pekerjaan umum, dinas
kesehatan, dinas pendidikan dan kebudayaan. Dalam tahun anggaran 1996/1997, urusan umum
pemerintahan menyerap pengeluaran rutin terbesar, yaitu Rp2.939,4 miliar kemudian diikuti
dinas pendidikan dan kebudayaan yaitu Rp2.077,7 miliar. Gambaran rinci pengeluaran rutin
daerah tingkat II per jenis pengeluaran periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat dalam
Tabel V.34.
Sejalan dengan titik berat otonomi pada daerah tingkat II, dan da1am rangka
melaksanakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, pemerintah daerah tingkat II
terus berupaya meningkatkan pembangunan, baik yang bersifat rehabilitasi maupun
pembangunan prasarana dan sarana baru di berbagai sektor. Pengeluaran pembangunan daerah
tingkat II sampai dengan tahun anggaran 1993/1994 terdiri atas 18 sektor, dan mulai tahun
anggaran 1994/1995 diperluas menjadi 20 sektor. Dengan semakin meluasnya sektor yang
menjadi jangkauan dan ruang lingkup serta beragamnya kegiatan pembangunan di daerah,
pengeluaran pembangunan daerah tingkat II juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Peningkatan upaya pembangunan tersebut tercermin dari penyerapan dana pembangunan yang
terus meningkat. Secara nasional jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II dalam
tahun anggaran 1994/1995 adalah Rp4.429,4 miliar, meningkat menjadi Rp5.694,3 miliar dalam
tahun anggaran 1996/1997 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 13,4 persen.
Apabila ditinjau dari pengeluaran pembangunan per sektor, dalam tahun anggaran
1996/1997 sektor-sektor yang banyak menyerap dana pembangunan daerah tingkat II adalah
sektor transportasi, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan serta sektor pembangunan
daerah dan pemukiman yang masing-masing Rp2.082,7 miliar, Rp707,2 miliar, dan Rp661,7
miliar. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan masing-masing 36,6 persen, 12,4 persen, dan
11,6 petsen yang secara bersama-sama menyerap sebesar 60,6 persen dari seluruh pengeluaran
daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1996/1997. Gambaran mengenai perkembangan
pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per sektor selama periode 1994/1995 -- 1996/1997
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.35.
Jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya
dengan jurnlah daerah tingkat II dan tingkat kepadatan penduduk, serta aktifitas ekonomi dan
gerak pembangunan di daerah bersangkutan. Pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per
propinsi tertinggi dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah di Propinsi JawaBarat, PropinsiJawa
Timur, dan Propinsi Jawa Tengah, yaitu masing-masing Rp935,8 miliar, Rp736,1 miliar, dan
Rp592,5 miliar,
" Tabel V. 33
Repelita V Repelita VI
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuha
No. PropiDsi n
Rala-nIa
Rala-nIa Rata-nla Rata-nla Rala-nla
('Ai)
KeseIlU1Ih KeseIuruha KeseIuruh KeseIuruh Per
Bali II Per bpila Dari II Per kapita Dari II Per kop;1a Doli II
an n an an kap!1a
(Rp miDu) (Rp miDu) (Rupiah) (Rp millu) (Rp millu) (Rupiah) (Rp minor) (Rp millu) (Rupiah) (Rpmiliu) (Rp minor) (Rupiah)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) (13) (14) (15)
1.DI Aceh 38,023,80 11.438 88,32 8,83 23.941 102,23 10,22 27.080 159,28 15,93 38.712 22,7
2.Sumatera Utara 102,576,03 9.930 171,32 10,08 15.844 193,23 11,37 17.597 348,82 20,52 30.027 19,1
3.Suma!era Bara! 96,296,88 24.658 195,41 13,96 46.494 213,01 15,22 49.931 276,46 19,75 61.275 16,3
4.Riau 58,139,69 20.162. 138,21 23,03 37.679 153,61 25,60 40.478 212,55 35,43 49.086 20,3
5.Jambi 44,737,45 22.109 105,07 17,51 46.971 112,91 18,82 48.878 157,13 26,19 60.119 19,7
6.Sumatera Se1atan 101,5710,16 16.725 241,51 24,15 35.129 267,30 26,73 37.893 363,18 36,32 46.707 20,0
7.Bengkulu 24,166,04 21.686 56,56 14,14 42.851 62,61 15,65 45.802 90,48 22,62 57.773 20,8
8.Lampung 24,986,24 3.454 181,16 36,23 28.187 196,81 39,36 30.030 264,92 52,98 37.545 40,1
9.Jawa Bara! 178,177,42 5.276 388,75 16,20 10.287 455,07 18,20 11.801 784,21 31,37 18.808 23,6
10.Jawa Tengah 173,334,95 6.051 352,33 10,07 12.036 397,98 11,37 13.498 552,87 15,80 18.285 18,0
11.DI Yogyakarta 21,014,20 6.720 43,66 8,73 14.962 50,17 10,03 17.193 107,50 21,50 36.967 26,3
12.Jawa Tunor 159,504,31 4.853 315,05 8,51 9.438 412,44 11,15 12.261 627,68 16,96 18.157 21,6
13.Kalimantan Barat 24,893,56 7.907 52,20 7,46 14.953 169,44 24,21 47.450 229,82 32,83 59.041 37,4
14.Kalimantan Tengah 19,513,25 15.317 48,97 8,16 31.755 59,60 9,93 37.484 87,67 14,61 49.115 23,9
IS.. Kalimantan Selatan 17,511,75 7.107 40,71 4,07 14.634 49,75 4,98 17.513 182,90 18,29 59.359 39,8
16.Kalimantan Timor 44,627,44 24.901 159,30 26,55 74.301 196,55 32,76 87.904 258,34 43,06 98.004 28,5
17.Sulawesi Utara 26,513,79 10.719 152,56 21,79 59.040 165,71 23,67 63.296 214,11 30,59 74.804 34,8
18.Sulawesi Tengah 14,913,73 8.601 24,07 6,02 13.006 29,47 7,37 15.519 45,88 9,18 21.866 17,4
19.Sulawesi Selatan 169,857,38 24.257 335,92 14,61 45.728 368,31 16,01 49.358 490,25 21,32 61.881 16,3
20.Sulawesi Tenggara 37,529,38 28.882 82,21 20,55 54.881 90,31 22,58 58.451 124,02 24,80 71.104 18,6
21.Bali 20,702,59 7.439 155,41 17,27 54.417 174,38 19,38 60.549 278,05 30,89 81.087 44,9
22.Nusa Tenggara Bara! 60,5710,10 18.328 126,16 21,03 35.559 138,74 19,82 38.528 186,98 26,71 45.209 17,5
Nusa Tenggara
23. 86,267,19 25.497 176,01 14,67 50.810 189,46 15,79 53.763 249,57 20,80 66.480 16,4
Timor
24.Maluku 49,129,82 27.080 101,71 20,34 50.829 111,81 22,36 54.597 146,60 29,32 65.574 16,9
25.Irian Jaya 76,868,54 49.396 143,40 15,93 78.403 233,74 23,37 123.544 314,20 31,42 133.412 22,3
26.Timor TImor 19,291,48 26.978 47,37 3,64 58.624 68,31 5,25 82.698 91,90 7,07 103.119 25,0
Jum1ah 1.690,58 - 9.943 3.923,35 - 21.756 4.662,95 - 25.448 6.845,37 - 34.958 22,1
Rata-rata per Dan II - 5,79 - - 13,34 - - 15,70 - - 22,89 -
Tabel V. 34
15. Sisa kurang tahun laiu 0,22 0,00 0,50 0,00 -100,0
Tabel V. 35
'
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER SEKTOR
Repelita VI
1994/1995 199611997
Sektor
No.
Jumlab Proporsi Jab Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Sektor industri 12,12 0,28 15,14 0,27
2. Sektor pertanian dan kehutanan 104,81 2,37 164,81 2,89
3. Sektor somber daya air dan irigasi 47,75 1,08 72,83 1,28
4. Sektor tenaga kerja 7,05 0,16 7,57 0,13
5. Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuanganaerah dan koperasi 182,51 4,12 206,27 3,62
6. Sektor transportasi 1.699,98 38,38 2.082,74 36,58
7. Sektor pertambangan'dan energi 21,29 0,48 23,95 0,42
8. Sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah 45,19 1,02 52.68 0,93
9. Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 516,55 11,66 661,74 11,62
10. Sektor lingkungan hidup dan tata ruang 168,37 3,80 222,15 3,90
Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang
11.
Maha Esa,
pemuda dan olah raga 600,56 13,56 661,04 11,61
12. Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera 10,80 0,24 21,39 0,38
13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 230,32 5,20 299,64 5,26
14. Sektor perumahan dan pemukiman 122,84 2,77 172,51 3,03
15. Sektor agama 36,72 0,83 61,35 1,08
16. Sektor ilmu pengetahuan dan tehnologi 54,65 1,23 77,78 1,37
17. Sektor hokum 7,02 0,16 10,95 0,19
18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 484,70 10,94 707,15 12,42
19. Sektor politik, penerangan, komunikasi dan media massa 19,03 0,43 42,71 0,75
20. Sektor keamanan dan ketertiban umum 12,80 0,29 41,69 0,73
- Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 43,77 0,99 67,97 1,19
- Pembayaran kembali pinjaman 0.55 0,01 20,19 0,35
Jumlah 4.429,38 100,00 5.694,25 100,00
sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan
Propinsi Timor Timur, masing-masing Rp61,1 miliar, Rp65,4 miliar, dan Rp78,9 miliar.
Dengan semakin meningkatnya jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II
secara nasional, maka pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per kapita juga meningkat.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per
kapita secara nasional Rp7.061,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi
Rp29.079,0. Sementara itu, daerah tingkat II di tiap propinsi dengan pengeluaran pembangunan
daerah tingkat II per kapita tertinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan
Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp92.652,0, Rp88.569,0, dan Rp79.216,0,
sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Lampung, yaitu RpI9.232,0.
Jika ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 --
1996/1997, pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi yang mengalami laju
pertumbuhan relatif tinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan Propinsi
Riau, masing-masing 44,9 persen, 40,6 persen, dan 32,8 persen. Gambaran mengenai
perkembangan pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi secara rinei dapat
dilihat dalam Tabel V.36.
Tabel V. 36
Repelita V Repelita VI
1989/1990 19'3/1994 1994/1995 1996/1997
Pertumbuhan
No. Propinsi
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata.rata(%)
KeseIuruha Per KeseIuruha Keseluruha Keseluruh
Dari II atl II Per kapita Dari II Per kapita Dari II Per kapita
n kapita n n an
(Rp (Rp (Rp
(Rp millar) (Rupiah) (Rp mmar) (Rp mmar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
mOlar) miliar) mmar)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (IS)
1. OJ Aceh 56,99 5,70 17.146 134,54 13,45 36.470 129,38 12,94 34.272 157,09 15,71 38.179 15,6
2. Sumalera Utara 89,30 5,25 8.645 258,54 15,21 23.910 238,62 14,04 21.730 306,04 18,00 26.344 19,2
3. Sumalera Barat 34,36 2,45 8.799 113,25 8,09 26.945 119,22 8,52 27.946 139,93 10,00 31.015 22,2
4. Riau 25,68 4,28 8.908 132,50 22,08 36.123 139,48 23,25 36.754 187,05 31,18 43.198 32,8
5. Jambi 21,77 3,63 10.759 86,70 14,45 38.756 91,21 15,20 39.485 113,64 18,94 43.480 26,6
6. Sumatera Selatan 51,24 5,12 8.437' 198,94 19,89 28.938 209,23 20,92 29.662 240,08 24,01 30.875 24,7
7. BengJrulu 9,41 2,35 8.446 45,69 11,42 34.617 44,58 11,15 32.612 61,09 15,27 39.010 30,6
8. Lampung 32,85 8,21 4.543 105,24 21,05 16.374 125,55 25,11 19.156 135,70 27,14 19.232 22,5
9. Jawa Baral 174,68 7,28 5.173 571,79 23,82 15.130 659,81 26,39 17.110 935,77 37,43 22.443 27,1
10. Jawa Tengah 155,91 4,45 5.443 389,19 11,12 13.295 470,45 13,44 15.956 592,54 16,93 19.597 21,0
II. OJ Yogyakarta 17,48 3,50 5.589 52,38 10,48 17.952 59,73 11,95 20.468 83,36 16,67 28.664 25,0
12. Jawa Timor 184,19 4,98 5.604 543,36 14,69 16.278 592,25 16,01 17.606 736,14 19,90 21.295 21,9
13. Kalimantan Baral 32,37 4,62 10.284 97,35 13,91 27.887 111,17 15,88 31.133 152,62 21,80 39.210 24,8
14. Kalimantan Tengah 20,96 3,49 16.451 118,50 19,75 76.848 116,83 19,47 73.477 141,30 23,55 79.155 31,3
15. Kalimantan Selatan 29,89 2,99 12.131 105,21 10,52 37.817 120,44 12,04 42.392 149,46 14,95 48.504 25,9
16. Kalimantan Timor 42,70 7,12 23.830 149,47 24,91 69.716 160,50 26,75 71.779 208,81 34,80 79.216 25,4
17. Sulawesi Utara 17,73 2,53 7.171 68,60 9,80 26.548 72,06 10,29 27.527 92,77 13,25 32.413 26,7
18. Sulawesi Tengah 16,47 4,12 9.501 67,14 16,79 36.271 77,28 19,32 40.697 109,00 21,80 51.949 31,0
19. Sulawesi Selatan 51,31 2,23 7.329 200,48 8,72 27.291 226,00 9,83 30.286 279,20 12,14 35.241 27,4
20. Sulawesi Tenggara 9,64 2,41 7.418 51,44 12,86 34.340 45,86 11,47 29.683 65,41 13,08 37.502 31,5
21. Bali 43,21 5,40 15.533 89,24 9,92 31.248 110,97 12,33 38.532 160,09 17,79 46.687 20,6
22. Nusa Tenggara Baral 22,03 3,67 6.667 63,02 10,50 17.763 67,21 9,60 18.664 86,63 12,38 20.944 21,6
Nusa Tenggara
23. 22,60 1,88 6.679 119,84 9,99 34.597 144,37 12,03 40.969 162,83 13,57 43.373 32,6
Timur
24. Maluku 14,28 2,86 7.871 68,58 13,72 34.271 72,21 14,44 35.259 100,57 20,11 44.985 32,2
25. Irian Jaya 16,30 1,81 10.476 128,03 14,23 69.999 163,32 16,33 86.319 218,20 21,82 92.652 44,9
26. Timor Timor 7,25 0,56 10.142 59,65 4,59 73.820 61,65 4,74 74.634 78,93 6,07 88.569 40,6
Jumlah 1.200,60 - 7.061 4.0111," - 22.284 4.429,38 - 24.173 5.694,25 - 29.079 24,9
Rata-rata - 4,11 - - 13,67 - - 14,91 - - 19,04 -
Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah dana yang dikeluarkan untuk membiayai
pembangunan prasaranadan sarana perkotaan mencapai Rp 1.814,4 miliar, atau mengalami
kenaikan sebesar 10,5 persen dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 yang berjumlah
Rp1.641,8 miliar. Sumber pembiayaan dalam tahun anggaran 1997/1998 yang terbesar berasal
dari bantuan Inpres, SPABP, dan DIP - BLN, masing-masing Rp464,4 miliar, Rp373,8 miliar,
dan Rp337,0 miliar, seuangkan yang terkecil berasal dari pinjaman DN, yaitu Rp0,1 miliar.
Dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 sumber dana Inpres mengalami peningkatan
403,7 persen, yaitu meningkat dari Rp92,2 miliar menjadi Rp464,4 miliar dalam tahun anggaran
1997/1998. Sementara itu, dalam tahun anggaran yang sama pinjaman DN mengalami
penurunan terbesar, yaitu dari Rp18,7 miliar menjadi Rp0,1 miliar atau turun 99,5 persen, yang
kemudian diikuti DIP-rupiah mumi menurun 72,4 persen dari Rp320,5 miliar menjadi Rp88,4
miliar. Perkembangan pembiayaan pembangunan perkotaan menurut sumber dana selama
Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.37.
Dalam hubungannya dengan pembangunan perkotaan, kota-kota dikelompokkan
berdasarkanjumlah penduduk yaitu kota megapolitan (lebih dari 5 juta jiwa), kota metropolitan
atau kola raya (lebih dari 1 juta jiwa sampai dengan 5 juta jiwa), kota besar (lebih dari 500 ribu
jiwa sampai dengan 1 juta jiwa), kota sedang (lebih dari 100 ribu jiwa sampai dengan 500 ribu
jiwa), dan kota kecil (lebih dari 20 ribu jiwa sampai dengan 100 ribu jiwa).
Selama peri ode 1994/1995 -- 1997/1998, pembiayaan pembangunan perkotaan untuk
kelompok kota metropolitan (termasuk kota megapolitan) dan kota besar meneapai Rp3.100,0
miliar dan kelompok kota seuang dan kecil Rp3.3.49,0 miliar. Untuk kelompok kota
metropolitan dan kota besar selama periode tersebut, sumber pembiayaan terbesar berasal Dari
SLA, DIP- BLN, dan DIP rupiah murni dengan persentase masing-masing 17,32 persen, 8,16
persen, dan 4,41 persen. Sementara itu, dana dari pinjaman DN memberikan kontribusi yang
paling kecil, yaitu 1,61 persen.
Tabel V. 37
1.DIP (Rupiah Murni) 1.287,3 30,95 114,1 8,39 291,3 17,85 320,5 19,52 88,4 4,87 -72,4 814,3 12,63
2.DIP - BLN 749,0 .18,01 291,6 21,43 321,7 19,71 294,0 17,91 337,0 18,58 14,6 1.244,3 19,29
3.SLA 807,0 19,40 444,4 32,66 376,5 23,07 415,8 25,33 222,8 12,28 -46,4 1.459,5 22,63
4.SPABP 175,4 4,22 108,7 7,99 91,9 5,63 193,8 11,80 373,8 20,60 92,9 768,2 11,91
5.Pinjaman DN 193,2 4,65 98,2 7,22 55,7 3.41 18,7 1,14 0,1 om -99,5 172,7 2,68
6.Inpres 396,9 9,54 62,3 4,58 322,2 19,74 92,2 5,62 464,4 25,60 403,7 941,1 14,59
7.APBD I 327,4 7,87 73,65,41 18,4 1,13 66,3 4,04 80,04,41 20,7 238,3 3,70
8.APBD II 148,2 3,56 73,85,42 86,6 5,31 100,0 6,09 136,37,51 36,3 396,7 6,15
9.BUMD') 74,9 1,80 93,86,09 68,0 4,17 140,5 8,56 111,66,14 -20,6 413,9 6,42
TotaIlnvestasi 4.159,3 100,00 1.360,5 100,00 1.632,3 100,00 1.641,8 100,00 1.814,4 100,00 10,5 6.449,0 100,00
Keterangan :
') Termasuk sektor swastadan\IIaSYarakat.
Dalam tahun anggaran 1997/1998, jumlah dana yang dikeluarkan untuk kelompok kota
metropolitan dan kota besar meneapai Rp637,9 miliar dan untuk kelompok kota sedang dan kota
kecil meneapai Rp1.176,5 miliar atau masing-masing 35,16 persen dan 64,84 persen dari total
investasi Rp1.814,4 miliar. Jika dibandingkan dengan dana pembiayaan pembangunan
perkotaan tahun anggaran 1996/1997, kelompok kota metropolitan dan kota besar mengalami
penurunan 20,3 persen, yaitu dari Rp800,1 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp637,9
miliar, seuangkan untuk kelompok kota seuang dan kota kecil terjadi peningkatan 39,8 persen,
yaitu dari Rp841,7 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp1.176,5 miliar. Sumber
pembiayaan terbesar untuk kelompok kota metropolitan dan kota besar dalam tahun anggaran
1997/1998 berasal Dari SLA, yaitu Rp 133,7 miliar dan yang terkecil berasal dari pinjaman DN,
yaitu Rp0,1 miliar. Jika dilihat Dari persentase kenaikan dana dalam tahun anggaran 1997/1998
dibandingkan tahun anggaran 1996/1997, kenaikan yang terbesar terjadi pada kelompok kota
metropolitan dan kota besar berasal Dari Inpres dan DIPBLN masing-masing 105,1 persen dan
51,3 persen, seuangkan dana Dari SLA dart DIP - rupiah mumi mengalarni penurunan terbesar
masing-masing 53,7 persen dan 37,0 persen dari tahun anggaran 1996/1997.
Untuk kelompok kota seuang dan kecil dalam tahun anggaran 1997/1998, kontribusi
terbesarpembiayaan pembangunan perkotaan berasal dari Inpres, SPABP, dan DIP - BLN,
masing-masing Rp371,5 miliar, Rp299,0 miliar, dan Rp235,9 miliar. Di antara berbagai sumber
dana, persentase kenaikan terbesar yang terjadi dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan
tahun anggaran 1996/1997 berasal dari Inpres dan SPABPmasing-masing 692,1 persen dan
266,0 persen, sementara dana dari pinjaman DN dan DIP-rupiah murni mengalami penurunan
terbesar masing-masing 100,0 persen dan 91,5 persen. Perkembangan pembiayaan perkotaan per
kelompok/kategori kota menurut sumber dana selama Repelita V dan periode 1994/1995 --
1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.38 dan Grafik V.S. yang menggambarkan proporsi
pembiayaan pembangunan perkotaan per kelompok kola menurut sumber dana selama periode
1994/1995 -- 1997/1998. Dalam grafik tersebut terlihat bahwa untuk semua kelompok kota,
persentase sumber dana yang terbesar dalam pembiayaan pembangunan perkotaan adalah SLA
22,63 persen, sedangkan yang terkecil
Tabel V. 38
PEMBIA YAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KELOMPOKIKATEGORI KOTA DAN SUMBER DANA
SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 --1997/1998
Repelita V Repelita VI
Keterangan.
" Termasuk sektor swasta dan masyarakat
adalah pinjaman DN 2,68 persen. Untuk kelompok kota metropolitan dan besar, SLA
memberikan kontribusi terbesar 36,03 persen dan yang terkecil adalah pinjaman DN 3,35
persen. Sementara itu, untuk kelompok kota seuang dan kecil, kontribusi terbesar pembiayaan
perkotaan berasal Dari Inpres 22,54 persen, dan yang terkecil adalah pinjaman DN 2,05 persen
dari keseluruhan dana,
Tabel V. 39
I. Air Bersih 1.806,2 43,43 717,0 52.70 822,7 50,40 757,1 46,11 546,2 30,10 -27,9 2.843,0 44
2. Pengendalian Banjir 289,3 6,96 1,5 0.11 1,2 0,07 0,3 0,02 6,6 0,36 2.100,0 9,6 0
3. Jalan KOla 975,7 23,46 258,2 18,98 209,6 12,84 333,1 20,29 494,7 27,27 48,S 1.295,6 20
4. Air Umbah 154,2 3,71 86,5 6,36 47,9 2,93 43,1 2,63 151,3 8,34 251,0 328,8 5
5. Drainase 250,7 6,03 120,0 8,82 186,4 11,42 189,2 11,52 285,1 15,71 50,7 780,7 12
6. Persampahan 159,3 J,83 101,6 7,47 114,1 6,99 179,7 10,95 98,6 5,43 -45,1 494,0 7
7.Perbaikan Kampung 268,26,45 40,3 2.96 118,8 7,28 58,8 3,58 111,2 6,13 89,1 329,1 5
8.Perbaikan Lingkungan Pasar 41,30,99 2,8 0,21 5,9 0,36 8,5 0,52 51,4 2,83 504,7 68,6 1
9.Penunjang 214,45,15 32,6 2,40 125,7 7,70 72,0 4,39 69,3 3,82 -3,8 299,6 4
Rp6,6 miliar. Alokasi pembiayaan untuk kelompok kota metropolitan dan besar dalam tahun
anggaran 1997/1998 yang mengalami peningkatan besar dibandingkan tahun anggaran
1996/1997 adalah komponen air limbah, pengendalian banjir, dan perbaikan lingkungan pasar,
yakni masingmasing sebesar 2.112,2 persen, 2.100,0 persen, dan 1.183,3 persen. Komponen
prasaranayang mengalami penurunan dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan tahun
anggaran 1996/1997 adalah persampahan, air bersih, dan komponen penunjang, masing-masing
sebesar 69,4 persen, 55,8 persen, dan 51,9 persen.
kota seuang dan kecil, komponen perbaikan lingkungan pasar memperoleh alokasi dana terkecil,
yaitu 1,45 persen.
Tabel V. 40
Repelil<! V Repelita VI
Kelompokl Total Keoaikanl
No. Komponen Prasarana 1994/1995 1995/1996 199611997 199711998 Total
Penumoan
kategori kota 1996197-
1997198
Rp miliar (%) Rp miliar (%) Rp nriliar (%) Rp miliar (%) Rp miliar (%) (%) Rp miliar (%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (ll) (12) (13) (14) (15) (16)
Melropolitan 1. Air Bersih 992.9 23,87 470,4 34.58 316,2 19,37 370,5 22,57 163,8 9,03 -55,8 1.320,9 20,48
<Ian besar 2. Pengendalian Banjir 289,3 6,96 1,5 0,11 1,2 0,07 0,3 0,02 6,6 0,36 2.100,0 9,6 0,15
3. Jatan Kola 478,0 11,49 116,8 8,59 167,2 10,24 153,0 9.32 185,3 10,21 21,t 622,3 9,65
4. Air Limbah 126,0 3,03 48,7 3,58 21,7 1.33 4,1 0,25 90,7 5,00 2.112,2 165,2 2,56
5. Drainase 112,2 2,70 54,2 3,98 160.4 9,83 82,2 5,01 71,3 3,93 -13,3 368,1 5,71
6. Persampahan 60,7 1,46 61,6 4,53 85,8 5,26 128,9 7,85 39,S 2,18 -69,4 315,8 4.90
7. Petbaikan Kampung 136,1 3,27 17,1 1,26 72,0 4,41 16.7 1,02 44.5 2,45 166,5 150,3 2,33
Perbaikan Lingkungan
8. 10,0 0,24 0,3 0,02 3,0 0.18 1,2 0,07 15,4 0,85 1.183,3 19,9 0,31
Pasar
9. Pennnjang 112,7 2,71 19,4 1,43 44,S 2,73 43,2 2,63 20,8 1,15 -51,9 127,9 1,98
Sub Total 2.317,9 55,73 790,0 58,07 872,0 53,42 800,1 48,73 637,9 35,16 -20,3 3.100,0 48,07
SeelIng 1. AirBersih 813,3 19,55 246,6 18,13 506.5 31,03 386,6 23,55 382.3 21,07 -1,1 1.522,0 23.60
dan kecH 2. Jatan Kola 497,7 11,97 141,4 10,39 42,4 2,60 180,1 10,97 309,4 17,os 71,8 673,3 10,44
3. Air Limbah 28,2 0,68 37,8 2,78 26,2 1,61 39,0 2,38 60,S 3,33 55,1 163,5 2,54
4. Drainase 138,5 3,33 65,8 4,84 26,0 1,59 107,0 6,52 213,8 11,78 99,8 412,6 6,40
5. Persampahan 98.6 2,37 40,0 2,94 28,3 1,73 50,8 3,09 59,3 3,27 16,7 178,4 2,77
6. Petbaikan Kampung 132,1 3,18 23,2 1,71 46,8 2,87 42,1 2,56 66,7 3.68 58,4 178,8 2,77
Perbaikan Lingkungan
7. 31,3 0,75 2,5 0,18 2,9 0,18 7,3 0,44 36,0 1,98 393,2 48,7 0,76
Pasar
8. Penunjang 101,7 2,45 13,2 0,97 81,2 4,97 28,8 1,75 48,5 2,67 68,4 171,7 2,66
Sub Total 1.841,4 44,27 570,5 41'3 760,3 46,58 841,7 51,27 1.176,5 64,84 39,8 3.349,0 51,93
Total tnwstasi 4.159,3 100,00 1.360,5 100,00 1.632,3 100,00 1,641,8 100,00 1.814,4 100,00 10,5 6.449,0 100,00
BPD adalah perusahaan daerah yang cukup renting artinya untuk menggerakkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah. Dengan semakin pesatnyakegiatan
pembangunan daerah maka kebutuhan dana yang diperlukan semakin meningkat pula. Untuk
itu, BPD telah berupaya agar dapat menghimpun dana yang sebanyak-banyaknya baik dari
masyarakat maupun pinjaman yang diterima dari pihak lain. Perkembangan dana BPD seluruh
Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun 1993 jumlah dana BPD
sebanyak Rp6.095,2 miliar dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi RpI4.074,7 miliar atau
mengalarni kenaikan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 23,3 persen.
Dana BPD terdiri dari modal/cadangan dan laba, simpanan berjangka, tabungan, giro!
retelling koran dan pinjaman yang diterima. dari berbagai dana masyarakat yang berhasil
dihimpun BPD yang menunjukkan perkembaikgan yang cukup penting adalah dana yang
bersumber dari simpanan berjangka yang mengalarni laju pertumbuhan rata-rata per tahun
tertinggi, yaitu 19,7 persen, kemudian diikuti oleh tabungan masyarakat 17,1 persen serta
giro!rekening koran 13,1 persen. Disamping menerima dana Dari pihak ketiga, BPD juga
memperoleh pinjaman dari pihak lain yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pada akhir tahun
1997 dana pihak ketiga berjumlah Rp4.050,1 miliar, yang berarti mengalami kenaikan
Rp3.421,3 miliar hila dibandingkan dengan tahun 1993 yang berjumlah Rp628,8 miliar atau
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 59,3 persen. Sejalan dengan itu,
modalIcauangan dan laba BPD juga meningkat, apabila dalam tahun 1993 modal cadangan dan
laba yang diperoleh mencapai Rp565,9 juta. dalam tahun 1997 menjadi Rp1.201,9 miliar yang
berarti selama periode tersebut meningkat denganlaju pertmnbuban rata-rata per tahun 11.7
persen. Perkembangan dana BPD secara 1engkap dapat dilihat pada Tabel V A2.
Tabel V. 41
1.DI Aceh 10
2.Sumatera Utara 17
3.Sumatera Barat 14
4.Riau 8
5.Jambi 6
6.Sumatera Selatan 10
7.Bengkulu 4
8.Lampung 5
9.OKI Jakarta 1
10.Jawa Barat 25
11.Jawa Tengah 34
12.DI Yogyakarta 6
13.Jawa Timur 37
14.Kalimantan Barat 8
15.Kalimantan Tengah 6
16.Kalimantan Selatan 10
17.Kalimantan Timur 7
18.Sulawesi Utara 7
19.Sulawesi Tengah 5
20.Sulawesi Selatan 23
21.Sulawesi Tenggara 5
22.Bali 10
23.Nusa Tenggara Barat 6
24.Nusa Tenggara Timur 12
25.Maluku 5
26.Irian Jaya 9
27.Timor Timur 13
Jurnlah 303
Tabel V. 42
Simpanan
2. 1.170.007 1.158.770 1.679.964 2.053.975 2.404.617 19,7
berjangka
Tabungan (Tabanasrraska dan
3.
Tabungan
Giro/Reken
4. 2.428.797 3.483.061 4.526.489 4.447.033 3.969.612 13,1
ing koran
11.071.28
lumlah 6.095.226 7.503.289 9.565.634 14.074.724 23,3
7
sektor yang dominan daIamPDRB tahun 1993 adalah sektor industri pengolahan,
sektorpertanian, dan sektorperdagangan, restoran dan hotel, masing-masing adalah 22,2 persen,
19,4 persen, dan 19,4 persen. Sektor-sektor ini tetap mendominasi PDRB tahun 1997 dengan
urutan yang sedikit berbeda, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, restoran dan
hotel, dan sektor pertanian, masing-masing kontribusinya adalah 25,2 perse_, 19,6 persen, dan
17,5 persen. Persentase ini tidak jauh berbeda jikaPDRB dilihat berdasarkan hargakonstan.
Untuk sektor-sektoryang lain walaupun kontribusinya tidak sebaik ketiga sektor tersebut, namun
secara nominal nilainya tetap meningkat cukup berarti.
PDRB perkapita adaIah rata-rata pendapatan yang diterima setiap penduduk selama
satu tahun tertentu di suatu daerah. Nilai ini dapat dipanuang sebagai indikator tingkat
kesejahteraan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Semakin tinggi PDRB perkapita suatu
daerah, maka semakin
Tabel V. 43
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS ATAS DASAR HARGA BERLAKU DAN HARGA KONSTAN
PER PROPINSI 1993 - 1997
(dalam miliar rupiah)
PDRB 291.541,5 343,064,0 404,747,0 469,681,1 536.447,1 16,47 291.541,5 315.300,6 343.574,3 373.452,0 391.497,5 7,65
Tabel V. 44
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DENGAN MIGAS ATAS DASAR DARGA BERLAKU DAN DARGA KONSTAN
PER PROPINSI 1993 . 1997
1DI Aceh 10.885,4 11.245,0 13.091,2 14.637,0 17.229,1 . 12,16 10.885,4 11.026,2 11.186,7 11.463,3 11.447,3 1,27
2Sumatera Utara 18.215,5 21.701,0 24.630,5 28.173,1 32.597,6 15,66 18.215,5 19.942,0 21.753,8 23.714,7 24.842,9 8,07
3Sumatera Barat 6.027,1 7.217,9 8.267,1 9.514,8 10.760,1 15,59 6.027,1 6.475,9 7.054,2 7.609,5 7.998,7 7,33
4Riau 17.228,5 18.194,6 21.234,7 23.854,8 26.435,0 11,30 17 .228,5 17.024,3 18.783,3 19.808,1 20.264,3 4,14
5Jambi 2.463,4 2.910,8 3.457,6 4.023,8 4.591,7 16,85 2.463,4 2.664,6 2.890,6 3.145,3 3.268,5 7,33
6Sumatera Selatan 10.736,2 12.062,1 14.51,2 16.986,1 19.945,0 16,75 10.736,2 11.515,3 12.515,8 13.521,2 14.072,7 7,00
7Bengkulu 1.391,8 1.706,0 1.987,6 2.279,3 2.459,3 15,29 1.391,8 1.487,1 1.597,2 1.693,6 1.754,4 5,96
8Lampung 5.410,5 6.533,2 8.119,2 9.239,2 10.553,0 18,18 5.410,5 5.800,7 6.404,8 6.914,2 7.199,3 7,40
9OK1 Jakarta 51.106,5 58.785,3 70.045,3 82.587,3 91.375,1 15,63 51.1 06,5 55.505,3 60.648,7 66.164,8 69.479,4 7,98
10Jawa Barat 53.939,7 64.812,5 76.198,2 89.405,2 103.972,4 17,83 53.939,7 57.823,1 62.491,2 68.243,5 71.164,1 7,17
11Jawa Tengah 33.978,9 39.303,6 46.586,0 52.505,4 60.296,4 15,42 33.978,9 36.345,2 39.014,0 41.862,2 43.129,8 6,14
12DI Yogyakarta 4.058,0 4.882,3 5.618,6 6.399,7 7.060,1 14,85 4.058,0 4.387,1 4.741,9 5.111,6 5.291,5 6,86
13Jawa Timor 49.172,2 57.146,5 65.883,2 76.566,6 88.274,6 15,75 49.172,2 52.727,5 57.040,5 61.752,5 64.857,7 7,17
14Kalimantan Barut 5.148,0 6.050,4 7.138,9 8.454,5 10.258,4 18,81 5.148,0 5.536,1 6.062,2 6.714,1 7.233,6 8,88
15Kalimantan Tengah 3.066,9 3.657,5 4.351,7 5.205,7 6.008,1 18,31 3.066,9 3.309,9 3.608,7 4.036,2 4.313,5 8,90
16Kalimantan Selatan 4.567,5 5.295,0 6.210,5 7.262,9 8.033,2 15,16 4.567,5. 4.963,8 5.417,3 5.956,6 6.293,9 8,35
17Kalimantan Timur 15.708,4 18.897,3 21.619,6 24.118,3 27.243,4 14,76 15.708,4 17.503,0 18.276,6 19.792,2 20.637,5 7,06
18Sulawesi Utara 2.806,9 3.190,7 3.793,2 4.790,7 5.614,1 18,92 2.806,9 3.018,2 3.272,9 3.574,7 3.767,0 7,63
19Sulawesi Tengah 1.755,5 2.131,4 2.512,2 3.023,9 3.355,0 17,58 1.755,5 1.888,9 2.042,5 2.212,6 2.316,9 7,18
20Sulawesi Selatan 7.511,8 8.737,9 10.377,3 11.833,1 13.538,0 15,87 7.511,8 8.088,1 8.757,9 9.485,9 9.893,4 7,13
21Sulawesi Tenggara 1289,2 1.510,3 1.819,2 2.101,9 2.387,2 16,65 1.289,2 1.371,4 1.472,5 1.561,0 1.644,0 6,27
22Bali 5.690,2 6.490,9 7.409,9 8.621,5 9.897,4 14,84 5.690,2 6.117,5 6602,7 7.141,8 7.556,5 7,35
23Nusa Tenggarn Barut 2.550,6 2.960,6 3.466,0 3.986,5 4.534,1 15,47 2.550,6 2.796,0 2.955,6 3.195,3 3.363,2 7,16
24Nusa Tenggara Timur 2.096,8 2.456,4 2.871,3 3.335,1 4.081,1 18,11 2.096,8 2.276,2 2.471,6 2.685,4 2.811,0 7,60
25Maluku 2.453,2 2.787,0 3.171,1 3.634,4 3.998,1 12,99 2.453,2 2.613,1 2.782,7 2.981,2 3.083,7 5,89
26Irian Jaya 4.745,7 5.369,4 7.014,0 8.189,1 8.925,7 17,] I 4.745,7 5.103,3 6.133,0 6.944,9 7.244,5 11,15
27Timor-Timor 515,4 603,5 708,4 861,7 996,1 17,91 515,4 566,7 620,2 687,2 715,7 8,55
PORB 324.519,7 376.638,9 442.095,9 511.591,5 584.419,4 15,84 324.519,7 347.876,3 376.599,0 407.973,6 425.645, I 7,02
Ketecangan,
*) Angka sementara
**) Angka Sangat Sementara
Tabel V. 45
makmur masyarakat di daerah tersebut. PDRB perkapita diperoleh dengan membagi PDRB
tanpa rnigas berdasarkan harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB
tanpa rnigas digunakan karena angka ini dipanuang lebih mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya dalam masyarakat, karena sebagian besar penghasilan Dari migas diserahkan
kepada pemerintah pusat. Hal ini juga memungkinkan dilakukan perbandingan antardaerah,
karena hanya propinsi-propinsi Daerah Istimewa Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur yang
memiliki penghasilan migas yang relatif besar.
Selama periode 1993 - 1997 PDRB perkapita propinsi secara total mengalami
peningkatan yang cukup berarti, Dari Rp1.587,6 ribu dalam tahun 1993 menjadi Rp2.684,4 ribu
dalam tahun 1997. Propinsi yang memiliki PDRB perkapita tertinggi dalam tahun 1997 adalah
DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya, masing-masing Rp9 .808,1, Rp5. 722,4, dan
Rp4.224, 7. Sementara itu, propinsi yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi adalah propinsi
Sulawesi Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur, masing-masing adalah 17,3 persen, 16,1
persen, dan 16,0 persen. PDRB perkapita selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.46. .
Tabel V. 46
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS PERKAPIT A
ATAS DASAR BARGA BERLAKU PER PROPINSI 1993 -1997
(dalam ribu rupiah)
Pertumbuhan
No. Propmsi 1993 1994 1995 1996') 1997')
Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 DI Aceh 1.339,5 1.582,5 1.876,0 2.111,9 2.339,7 14,96
2 Sumatera Utara 1.653,0 1.953,5 2.178,7 2.464,1 2.823,1 14,32
3 Sumatera Barat 1.444,9 1.704,6 1.922,5 2.178,5 2.427,0 13,84
4 Riau 1.667,3 1.890,0 2.178,8 2.444,6 2.667,9 12.47
5 Jambi 1.089,0 1.247,8 1.442,9 1.623,1 1.806,0 13.48
6 Sumatera Selatan 1.304,9 1.482,0 1.740,8 1.993,3 2.306,9 15,31
7 Bengkulu 1.072,6 1.269,6 1.427,5 1.589,1 1.674,7 11,78
8 Lampung 850,3 1. 006,6 1.227,0 1.372,7 1.544,7 16,09
9 OKI Jakarta 5.867,8 6.617,3 7.730,0 8.975,8 9.808,1 13,70
10 Jawa Barat 1.357,3 1.624,3 1.877,5 2.145,2 2.451,8 15,93
11 Jawa Tengah 1.096,4 1.271,0 1.506,3 1.689,3 1.915,9 14,98
12 DI Yogyakarta 1.390,6 1.673,1 1.925,9 2.181,5 2.379,2 14,37
13 Jawa Timur 1.478,1 1.705,0 1.950,7 2.247,3 2.564,2 14,77
14 Kalimantan Barat 1.492,0 1.713,5 1.976,7 2.289,9 2.701,3 16,00
15 Kalimantan Tengah 2.018,9 2.335,7 2.698,5 3.150,2 3.563,4 15,26
16 Kalimantan Selatan 1.648,8 1.873,l 2.150,6 2.466,2 2.676,7 12,88
17 Kalimantan Timur 3.781,3 4.258,1 4.875,9 5.271,2 5.722,4 10,91
18 Sulawesi Utara 1.093,3 1.226,6 1.438,6 1.791,8 2.070,8 17,31
19 Sulawesi Tengah 960,5 1.138,1 1.306,7 1.536,0 1.666,0 14,76
20 Sulawesi Selatan 1.030,7 1.180,1 1.379,9 1.548.4 1.742.4 14,03
21 Sulawesi Tenggara 874,6 992,6 1.158,4 1.301,9 1.444,9 13,37
22 Bali 2.006,9 2.263,4 2.564,4 2.953,9 3.347,3 13,64
23 Nusa Tenggara Barat 724,5 828,3 955,3 1.080,4 1.205,8 13,58
24 Nusa Tenggara Timur 610,7 703,1 807,5 921,1 1.107,1 16,04
25 Maluku 1.234,2 1.370,9 1.524,0 1.712,5 1.854,5 10,72
26 Irian Jaya 2.508,3 2.725,9 3.504,8 3.994,6 4.224,7 13,92
27 Timor-Timur 645,0 738,6 848,9 1.012,1 1.148,0 15.50
INDONESIA 1.587,6 1.799,2 2.089,0 2.386,5 2.684,4 14,03
Tabel V. 47
I DI Aceh 0,63
12 DI Yogyakarta 1,4]
I
1,49
13 Jawa Timur
14 Kalimantan Barat 0,98
15 Kalimantan Tengah 0.55
]6 Kalimantan Selatan ],29
17 Kalimantan Timur 0,68
18 Sulawesi Utara 0,71
19 Sulawesi Tengah 0,91
20 Sulawesi Selatan 1,33
22 Bali 1,59
27 Timor-Timur 0,66
INDONESIA 1,19
Lampiran 1
1. Pinjamanprogram 47.400,0
Jumlah 219.603,8
1. Pajak Penghasilan
Faktor-faktoryang diperhitungkan akan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan :
- penurunan daya beli masyarakat dari dunia usaha,
- perluasan pemungutan pajak dengan sistem witho1ding yang bersifat final,
- kenaikan pertumbuhan ekonomi,
- penurunan tingkat suku bunga deposito,
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap va1uta asing,
- perkembangan wajib pajak dan objet pajak,
- peningkatan kegiatan penyuluhan pajak,
- peningkatan mutu pelayanan kepada wajib pajak,
-peningkatan efektivitas pengawasan Dari penegakan hukum terhadap wajib pajak,
- peningkatan kepatuhan wajib pajak,
- pemeriksaan Dari pengawasan terhadap wajib pajak potensial baik oleh Direktorat
Jenderal
- Pajak sendiri maupun bersama BPKP serta Ditjen Bea Dari Cukai,
- penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi krisis ekonomi, misalnya
selisih kurs, ffiRA, INDRA, Jakarta Initiative Scheme,
- kenaikan PTKP.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak penghasilan direncanakan
mencapai Rp 40.626,0 miliar.
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang daB Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM)
Rencana penerimaan PPN dan PPnBM tahun 1999/2000 diperkirakan 19,9 persen lebih tinggi
Dari APBN tahun 1998/1999. Hal ini setelah memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut :
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
- perluasan objek pajak,
- peningkatan jumlah pengusaha kena pajak,
- peningkatan efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap
pengusaha kena pajak,
- pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dengan data PPh,
- peningkatan kerjasama dengan instansi lain,
- pencabutan dan penghapusan fasilitas perpajakan atas barang kena pajak dan jasa
kena pajak tertentu,
- penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi perekonomian misalnya
pembebasan PPN atas impor barang modal. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka
penerimaan PPN dan PPnBM direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar.
3. Bea Masuk
Rencana penerimaan bea masuk danasarkan atas hal-hal sebagai berikut :
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
- perkembangan impor sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi dalam negeri,
- perkembangan devisa bebas bea masuk karena perubahan komposisi impor yang
4. Cukai
Perkiraan penerimaan cukai direncanakan Rp 10.160,0 miliar yang terdiri Dari cukai tembakau
dan cukai lainnya.
Cukai lainnya terdiri Dari cukai etil alkohol, cukai minuman yang mengandung etil alkohol,
dan cukai konsentrat yang mengandung etil alkohol. Hal-hal yang mempengaruhi
penerimaannya adalah :
- peningkatan produksi,
- intensif1kasi pemungutan cukai,
- penyesuaian hargadasarpengenaan cukai sejalan dengan perkembangan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, .penerimaan cukai lainnya direncanakan mencapai Rp 360,0
miliar.
6. Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Notaris/PP AT.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar.
7. Pajak Lainnya
Rencana penerimaan pajak lainnya (bea meterai) tahun 1999/2000 sebesar Rp 564,5 miliar.
Perkiraan penerimaan tersebut didasarkan atas hal-hal-berikut :
- perkembangan kegiatan dan transaksi, serta jumlah dokumen yang dapat dikenakan bea
meterai,
- peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, dan pencetakan
tanda lunas bea meterai,
- peningkatan upaya pencegahan beredarnya meterai tempel palsu.
Perkiraan penerimaan pinjaman program dan pinjaman proyek adalah sebagai berikut :
- pinjaman program dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan Rp 47.400,0 miliar,
yang seluruhnya merupakan pinjaman luar negeri yang segera dapat dicairkan,
- pinjaman proyek dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan Rp 30.000,0 miliar, yang
sebagian besar berasal Dari realisasi komitmen pinjaman proyek tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan perkiraan tersebut, penerimaan luar negeri direncanakan mencapai Rp 77.400,0
miliar.
Lampiran 2
Nomor
Sektor I Subsektor J umlah
Kode
(1) (2) (3)
Nomor
Sektor I Subsektor
Kode Jumlah
Nomor
Sektor I Subsektor Jumlah
Kode
(1) (2) (3)
SEJAHTERA 440.524.075
Nomor
Sektor I Subsektor Jumlah
Kode
(1) (2) (3)
Jumlah 137.155.500.000
Lampiran 3
Lampiran 4
1. Pasal 5, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945;
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.9 Tahun 1968
tentang Perubahan Pasal 7 lndische Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun
1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor2860).
Dengan persetujuan
Pasal l
8. Sisa anggaran lebih adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan negara dan belanja
negara. .
9. Sektor adalah kumpulan subsektor
10. Subsektor adalah kumpulan program.
11. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri dalam bentuk
pangan dan bukan pangan yang dapat dirupiahkan.
12. Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri yang digunakan
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Pasal 2
(1) Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1999/2000 diperoleh Dari:
Pasal 3
(1) Penerimaan Oalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri Dari
sumber-sumber penerimaan :
a. Penerimaan perpajakan sebesar Rp 94.739.700.000.000,00;
b. Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00;
c. Penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 26.499.100.000.000,00.
(2) Penerimaan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri Dari sumber-
sumber penerimaan :
a. Pinjaman program sebesar Rp 47.400.000.000_000,00;
b. Pinjaman proyek sebesar Rp 30.000.000.000.000,00.
Pasal4
(1) Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 terdiri Dari :
a. Pengeluaran Rutin
b. Pengeluaran Pembangunan.
(2) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan sebesar Rp 137.155.500.000.000,00.
(3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
Pasal 5
(1) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (2) dirinci
menurut sektor :
(2) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam subsektor
dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.
(3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (3)
dirinci menurut sektor :
05 Sektorperdagangan,pengembangan usaha
usaha nasional, keuangan dan koperasi sebesar Rp 19.035.581.600.000,00
(4) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke dalam subsektor dicanturnkan
dalam penjelasan ayat ini.
Pasal 6
Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (1)
dan ayat (2) ke dalam program dan kegiatan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 7
Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (3)
dan ayat (4) ke dalam program dan proyek ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
(1) Pada pertengahan Tahun Anggaran 199912000 Pemerintah membuat laporan
semester I mengenai :
a. Realisasi Penerimaan Dalam Negeri;
b. Realisasi Penerimaan Luar Negeri;
c. Realisasi Pengeluaran Rutin;
d. Realisasi Pengeluaran Pembangunan;
e. Perkembangan Moneter dan Perkreditan;
Pasal 9
(1) Sisa kredit anggaran proyek -proyek pada Pengeluaran Pembangunan Tahun Anggaran
1999/2000 yang masih diperlukan untuk penyelesaian proyek, dengan Peraturan Pemerintah
dipindahkan ke Tahun Anggaran 200012001 menjadi kredit anggaran Tahun
Anggaran 200012001. ,
(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya pada akhir triwulan I
Tahun Anggaran 2000/2001.
Pasal lO
Pasal ll
Pasal 12
(1) Setelah Tahun Anggaran 199912000 berakhir, Pemerintah membuat Perhitungan Anggaran
Negara mengenai pelaksanaan anggaran yang bersangkutan. .
(2) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran Negara
setelah Perhitungan Anggaran Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangari, selambatlambatnya 16 (enam belas) bulan setelah Tahun
Anggaran 199912000 berakhir, untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2860) yang bertentangan dengan bentuk, susunan, dan . isi Undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggaji April 1999.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 1999
ttd
Diunuangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 1999
MENTER! NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
PENJELASAN ATAS
TENTANG
UMUM
Kondisi perekonomian nasional dalam dua tahun terakhir menghadapi permasalahan yang
kurang menguntungkan berupa krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis
ekonomi. Dengan adanya krisis tersebut, perekonomian nasional makin terpuruk yang ditandai
antara lain dengan gejolak kurs dan meningkatnya laju inflasi, sehingga mengakibatkan semakin
tingginya pengangguran, semakin meningkatnya angka kemiskinan, yang selanjutnya
mengakibatkan semakin beratnya kehidupan masyarakat secara luas. Apabila kondisi tersebut
tidak ditangani secara terpadu lintas sektoral, dalam jangka pendek akan dapat menyulitkan
upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000, yang merupakan APBN
tahun awal era reformasi pembangunan, merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan,
dan pembaharuan pembangunan, yang mencerminkan tekad untuk mewujudkan bangsa yang
maju dan mandiri dengan menitikberatkan pada upaya mengatasi krisis dalam waktu sesingkat-
singkatnya dengan sasaran dapat dikendalikannya nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar,
serta dapat disediakannya kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga yang
terjangkau. Penyusunan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 tetap menganut prinsip anggaran
berimbang yang dinamis dan merupakan penjabaran Dari TAP MPR No. X/MPRl1998 tentang
Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan N egara. Prinsip tersebut pada dasarnyamengandung arti
bahwa jumlah pengeluaran tidakmelebihijumlah penerimaan dan diupayakan dibentuknya
tabungan pemerintah yang semakin meningkat. Dengan demikian diharapkan pembangunan
nasional dapat berlangsung atas dasar ! kemampuan sendiri untuk membiayainya. N amun
demikian, semenj ak krisis melanda perekonomian nasional tahun lalu, upaya memupuk
tabungan pemerintah menghadapi tantangan berat, mengingat diperlukannya pengeluaran yang
cukup besar untuk beberapa jenis subsidi guna menstabilkan harga beberapa barang kebutuhan
pokok, sementara karena pengaruh krisis penerimaan dalam negeri sulit untuk ditingkatkan.
Dalam hubungan ini, maka untuk melaksanakan penyelamatan dan pemulihan ekonomi sangat
diperlukan tambahan dana yang bersumber Dari pinjaman luar negeri, sehingga sebagian
kebutuhan mendesak tersebut dapat diatasi.
Dalam rangka pemenuhan pembiayaan negara baik untuk belanja rutin maupun
pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri di luar migas semakin ditingkatkan
pencapaiannya melalui peningkatan penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan
pajak, sekaligus menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara. Untuk itu, pelaksanaan
Undang-undang di biuang pajak tahun 1994, yang merupakan penyempurnaan atas Undang-
undang di biuang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan, yang telah diberlakukan sejak 1
Januari 1995 akan semakin diintensifkan. Dalam kaitan ini, telah disahkan Undang-undang
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1998.
Selain itu, dalam rangka menghadapi era globalisasi dalam perdagangan internasional di masa-
masa mendatang, di biuang kepabeanan dan cukai juga telah disahkan Undang-undang tentang
Kepabeanan dan Undang-undang tentang Cukai yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 April
1996. Dengan berlakunya kedua Undang-undang ini, maka Indonesia telah melangkah lebih
maju di biuang peraturan perUndang-undangan, yaitu dengan meninggalkan aturan warisan
kolonial yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian nasional.
Sejalan dengan itu, dalam rangka penertiban pengelolaan penerimaan negara bukan pajak telah
disahkan Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang dilaksanakan secara
bertahap sejak tangga123 Mei 1997. Seuangkan penerimaan luar negeri yang berasal Dari
pinjaman luar negeri direncanakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang
mendapat prioritas tinggi, serta untuk mendukung upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi
nasional.
Di biuang belanja negara, terus diupayakan peningkatan efisiensi dan efektivitas
berbagai jenis pengeluaranrutin melalui penghematan beberapa pos pengeluaran, namun dengan
tetap memperhatikan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, untuk
Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangun_, sisa kredit anggaran proyek-proyek yang
masih diperlukan untuk penyelesaian proyek pada anggaran pembangunan Tahun Anggaran
199912000 dipindahkan kepada Tahun Anggaran 200012001, dan menjadi kredit anggaran
Tahun Anggaran 200012001.
Dengan memperhatikan hal-hill tersebut di atas, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 1999/2000 disusun berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
a. babwa keadaan ekonomi global diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih baik;
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00
yang terdiri Dari :
0310 Penerimaan minyak bumi 12.443.400.000.000,00
0320 Penerimaan gas alam 8.521.600.000.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
478.043.060.000,00
03 SEKTOR PENGAIRAN
50.074.119.000,00
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
03.2 Subsektor Irigasi 21.699.856.000,00
28.374.263.000,00
04 SEKTOR TENAGA KERJA 391.589.383.000,00
04.1 Subsektor Tenaga KeIja 391.589.383.000,00
05 SEKTORPERDAGANGAN,PENGEMBANGAN
USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI .226.792.362.000,00
05.1 Subsekto[ Perdagangan Dalam Negeri 99.319.154.000,00
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 80.318.089.000,00
05.4 Subsektor Keuangan 84.899.661.770.000,00
05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 147.493.349.000,00
06 SEKTOR TRANSPORTASI,METEOROLOGI
DAN GEOFISIKA . 382.746.804.000,00
06.1 Subsektor Prasarana Jalan 35.264.654.000,00
06.2 Subsektor Transportasi Darat 34.323.135.000,00
06.3 Subsektor Transportasi Laut 179.245.976.000,00
06.4 Subsektor Transportasi Udara 71.088.612.000,00
06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan
Penyelamatan (SAR) 62.824.427.000,00
08 SEKTORPARIWISATA,POS,
DAN TELEKOMUNIKASI 127.589.677.000,00
08.1 Subsektor Pariwisata 32.125.982.0_,00
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95.463.695.000,00
17 SEKTOR HUKUM
982.783.903.000,00
17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
866.469.326.000,00
17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
116.314.577 .000,00
18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGA
6.423.755.838.000,00
WASAN
6.035.892.093.000,00
18.1 Subsektor Aparatur Negara
18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan
Pengawasan 387.863.745.000,00
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran pembangunan sebesar yang terdiri Dari : Rp 82.448.300.000.000,00
(dalam rupiah)
Nilai Rupiah
Rupiah Pil\jamau Proyek dan
Kredit Ekspor JumIah
SEKTOR TRANSPORTASI,
06
METEO-
ROLOGI DAN GEOFISIKA 2.630.829.000.000,005.795.791.000.000,00 8.426.620.000.000,00
06.1 Subsektor Prasarana JaMn 2.003.129.000.000,003.240.438.000.000,00 5.243.567.000.000,00
06.2 Subsektor Transportasi Darat 251.700.000.000,00 1.328.531.000.000,00 1.580.231.000.000,00
06.3 Subsektor Transportasi Laut 166.000.000.000,00 286.110.000.000,00 452.110.000.000,00
06.4 Subsektor Transportasi Udara 190.000.000.000,00 890.612.000.000,00 1.080.612.000.000,00
06.5 Subsektor Meteoro1ogi, Geofisika,
Pencarian dan Penye1amatan
20.000.000.000,00 50.100.000.000,00 70.100.000.000,00
(SAR)
07 SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERGI 774.025.000.000,00 5.833.638.000.000,00 6.607.663.000.000,00
07.1 Subsektor Pertambangan 52.825.000.000,00 16.500.000.000,00 69.325.000.000,00
07.2 Subsektor Energi 721.200.000.000,00 5.817.138.000.000,00 6.538.338.000.000,00
08 SEKTOR PARIWISATA, POS
DAN TELEKOMUNIKASI 82.900.000.000,00 835.200.000.000,00 918.100.000.000,00
08.1 Subsektor Pariwisata 57.700.000.000,00 35.100.000.000,00 92.800.000.000,00
08.2 Subsektor Pos dan Te1ekomunikasi 25.200.000.000,00 800.100.000.000,00 825.300.000.000,00
09 SEKTOR PEMBANGUNAN
DAERAH DAN 3.540.106.000.000,00
11.005.675.600.000,00
TRANSMIGRASI 14.545.781.600.000,00
Subsektor Pembangunan 3.540.106.000.000,00
09.1 10.116.725.600.000,00
DaerOO 13.656.831.600.000,00
09.2 Subsektor Transmigrasi dan
Pemukiman PerambOO Hutan 888.950.000.000,00 0,00 888.950.000.000,00
SEKTOR LINGKUNGAN
10
IllDUP
DAN TATA RUANG 579.157.600.000,00353.579.000.000,00 932.736.600.000,00
10.1Subsektor Lingkungan Hidup 502.380.600.000,00296.579.000.000,00 798.959.600.000,00
10.2Subsektor Tata Ruang 76.777.000.000,00 57.000.000.000,00 133.777.000.000,00
SEKTOR PENDIDIKAN,
11
KEBUDA-
Y AAN NASIONAL,
KEPERCA Y AAN
TERHADAP TUHAN YANG
MAHA
ESA, PEMUDA DAN OLAH 3.562.559.000.000,00
4.818.705.800.000,00
RAGA 8.381.264.800.000,00
3.471.858.000.000,00
11.1 Subsektor Pendidikan 4.464.872.800.000,00
7.936.730.800.000,00
Subsektor Pendidikan Luar
11.2
SekolOO
dan Kedinasan . 225.555.000.000,00 90.701;000.000,00 316.256.000.000,00
Subsektor Kebudayaan
11.3
Nasional dan Ke-
percayaan Terbadap Tuban
67.550.000.000,00 0,00 67.550.000.000,00
Yang Maba Esa
Subsektor Pemuda dan 0100
11.4 60.728.000.000,00 0,00 60.728.000.000,00
Raga
SEKTOR KEPENDUDUKAN
12
DAN
KELUARGA SEJAHTERA 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00
12.1 Subsektor Kependudukan dan
Keluarga Berencana 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00
SEKTOR
13
KESEJAHTERAAN
SOSIAL, KESEHATAN,
PERANAN
WANITA, ANAK DAN 1.878.826.000.000,00
2.908.073.400.000,00
REMAJA 4.786.899.400.000,00
Subsektor KesejOOteraan .
13.1 317.853.400.000,00 653.948.400.000,00
Sosial 336.095.000.000,00
1.515.981.000.000,00
13.2Subsektor Kesehatan 2.029.740.000.000,00
3.545.721.000.000,00
Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Rernaja
13.3 26.750.000.000,00 587.230.000.000,00
560.480.000.000,00
SEKTOR PERUMAHAN
14
DAN
1.505.122.000.000,00
PERMUKIMAN 1.713.320.500.000,00
3.218.442.500.000;00
Subsektor PerumOOan dan 1.354.877.000.000,00
14.1 1.704.720.500.000,00
Permukiman 3.059.597.500.000,00
Subsektor Penataan Kota dan
14.2 8.600.000.000,00150.245.000.000,00 158.845.000.000,00
Bangunan
-
15 SEKTOR AGAMA 312.710.000.000,00314.696.000.000,00 627.406.000.000,00
Subsektor Pelayanan
15.1 23.300.000.000,00 2.156.000.000,00 25.456.000.000,00
Kehidupan Beragarna
Subsektor Pembinaan
15.2 289.410.000.000,00312.540.000.000,00 601.950.000:000,00
Pendidikan Agama
SEKTOR ILMU
16
PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI 568.054.000.000,00332.400.000.000,00 900.454.000.000,00
Subsektor Teknik Produksi
16.1 174.133.000.000,00168.782.000.000,00 342.915.000.000,00
dan Teknologi
Subsektor llmu Pengetahuan
16.2
Terapan
dan Dasar 58.691.000.000,00 2.509.000.000,00 61.200.000.000,00
Subsektor Kelembagaan
16.3
Prasarana dan
Sarana llmu Pengetahuan dan 64.900.000.000,00153.435.000.000,00 218.335.000.000,00
Teknologi
16.4 Subsektor Kelautan 58.700.000.000,00 5.336.000.000,00 64.036.000.000,00
16.5 Subsektor Kedirgantaraan 33.000.000.000,00 0,00 33.000.000.000,00
Subsektor Sistem Informasi
16.6 178.630.000.000,00 2.338.000.000,00 180.968.000.000,00
dan Statistik
17 SEKTOR HUKUM 220.801.000.000,00 9.336.000.000,00 230.137.000.000,00
Subsektor Pembinaan Hukum
17.1 23.715.000.000,00 0,00 23.715.000.000,00
Nasional
Subsektor Pembinaan Aparatur
17.2 54.636.000.000,00 0,00 54.636.000.000,00
Huknm
Subsektor Sarana dan
17.3 142.450.000.000,00 9.336.000.000,00 151.786.000.000,00
Prasarana Huknm
Dari
Perlindungan Masyarakat 10.612.000.000,00 0,00 10.612.000.000,00
1. 024
20.2 Subsektor ABRI 944.873.000.000,00 1.969.273.000.000,00
.400.000.000,00
20.3 Subsektor Pendukung 297.500.000.000,00 0,00 297.500.000.000,00
Pasal 6
Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan
April 1999 dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal7
Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan April
1999dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e dan f
Masalah perkembangan moneter dan perkreditan serta neraca pembayaran dan perdagangan luar
negeri sebagian besar berada di sektor bukan pemerintah. Oleh sebab itu, penyusunan
kebijaksanaan kredit dan devisa dalam bentuk dan arti seperti Pengeluaran Rutin dan
Pengeluaran Pembangunan sukar untuk dilaksanakan, sehingga untuk itu dibuat dalam bentuk
prognosa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal9
Cukup jelas
Pasall0
Cukup jelas
Pasalll
Cukup jelas
Pasal12
Cukup jelas
Pasal 13
Pasal-Pasal Indische Comptabiliteitswet yang dinyatakan tidak berlaku adalah :
1. Pasal 2 Ayat (1) tentang susunan anggaran yang terdiri Dari belanja pegawai, belanja barang,
dan belanja modal;
2. Pasal 2 Ayat (3) tentang kewenangan Gubernur Jenderal menetapkan perincian lebih lanjut
pos; dan
3. Pasal 72 yang mengatur bahwa pengajuan Perhitungan Anggaran N egara (PAN) kepada
Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat tiga tahun setelah tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
Pasal14
Cukup jelas