Anda di halaman 1dari 493

Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

NOTA KEUANGAN

DAN

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 1998/1999

REPUBLIK INDONESIA

Departemen Keuangan Republik Indonesia 1


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BAB I
UMUM

1.1 Pendahuluan

Sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik


Indonesia Nomor XlMPRl1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, maka
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran 19991/2000
disusun dengan misi utama untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional, yang
sekarang ini berada dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sejak pertengahan tahun
1997 kinerja ekonomi nasional mulai mengalami kemunduran dan dalam tahun 1998
kemunduran masih terus berlanjut dalam skala yang lebih luas dan intensitas yang lebih
tinggi, walaupun kemudian pada penghujung tahun mulai menampakkan perkembangan
tanda-tanda pemulihan. Ekonomi nasional pada masa ini berada dalam keadaan yang tidak
stabil (disequilibrium) yang ditunjukkan oleh pergerakan harga-harga (inflasi) yang
meningkat sangat tajam, posisi neraca pembayaran yang cenderung melemah serta kontraksi
ekonomi yang sangat tajam. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi tersebut adalah krisis
nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, krisis perbankan nasional, krisis tiffing luar negeri
swasta, serta berbagai peristiwa politik dan sosial yang kurang menguntungkan. Beberapa
dampak yang dirasakan masyarakat luas oleh karena memburuknya kinerja ekonomi tersebut
adalah meningkatnya jumlah pengangguran karena banyaknya perusahaan yang mengurangi
bahkan sebagian telah menghentikan aktivitasnya, menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat karena penurunan daya beli yang cukup tajam, serta meningkatnya keresahan
sosial.

Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi tersebut, Pemerintah dengan bantuan teknis
dan dukungan keuangan Dari beberapa lembaga internasional dan negara-negara sahabat
yang dikoordinasikan oleh lnternational Monetary Fund (IMP) telah melaksanakan program
stabilisasi dan reformasi perekonomian. Dalam rangka pelaksanaan program ini, dalam tahun
anggaran 1998/1999 telah diambil berbagai langkah kebijakan di biuang fiskal, moneter,
perbankan, neraca pembayaran, serta sektor riil. Dalam tahun anggaran 1999/2000 langkah-
Iangkah tersebut akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan, sehingga dalam tahun anggaran
tersebut ekonomi nasional diharapkan telah memulai proses pemulihannya. Sasaran utama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 2


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

semua langkah-Iangkah yang ditempuh adalah untuk menggerakkan kembali roda


perekonomian tanpa menciptakan tekanan terhadap inflasi dan neraca pembayaran. Untuk
dapat mencapai hal tersebut koordinasi kebijakan fiskal, moneter, neraca pembayaran serta
sektor riil sangat diperlukan.
Dalam rangka reformasi pembangunan sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998, dalam tahun anggaran
199912000 Pemerintah akan melaksanakan berbagai agenda di biuang ekonomi, di antaranya
(i) mewujudkan nilai tukar rupiah yang wajar dan stabil, (ii) mengendalikan tingkat suku
bunga dan menekan laju inflasi, (iii) melanjutkan restrukturisasi dan penyehatan perbankan,
(iv) melanjutkan upaya penyelesaian utang luar negeri swasta, (v) mengupayakan
ketersediaan sembilan bahan pokok dan obat-obatan yang cukup dan terjangkau oleh rakyat,
dan (vi) menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama kegiatan-kegiatan yang berbasis
pada ekonomi rakyat dan berorientasi ekspor. Selain itu, juga akan dilaksanakan berbagai
agenda yang berkaitan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; Serta Perimbangan
Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Seuangkan di biuang politik,
agenda besar bangsa Indonesia adalah pemilihan umum yang direncanakan akan
diselenggarakan pada bulan Juni 1999 dan Siuang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
pada bulan Agustus 1999.
Berbagai langkah kebijakan yang dilaksanakan dalam era reformasi telah
memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai
indikator makro ekonomi dalam kuartal keempat tahun 1998. Dalam bulan Oktober,
November, dan Desember 1998 inflasi telah menurun secara berarti menjadi masing-masing
minus 0,27 persen, 0,08 persen, dan 1,42 persen. Selain itu, nilai kurs rupiah telah
mengalami penguatan dan relatif, stabil pada kisaran Rp7.000-an, posisi neraca pembayaran
cenderung menguat dan posisi cauangan devisa tetap dalam batas aman, suku bunga telah
mulai menurun, serta indeks harga saham gabungan telah menunjukkan tanda kebangkitan,
walaupun masih berfluktuasi. Dengan melihat perkembangan Dari beberapa indikator
tersebut, ekonomi nasional dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan akan mulai pulih
dengan tingkat pertumbuhan sekitar 0 (nol) persen, suatu kemajuan yang cukup berarti bila
dibandingkan dengan tingkat kontraksi dalam tahun anggaran 1998/1999 yang diperkirakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 3


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sekitar 12,0 persen, seuangkan inflasi diperkirakan akan dapat dikendalikan pada tingkat
sekitar 17,0 persen, menurun dibandingkan perkiraannya dalam APBN 1998/1999 sekitar
66,0 persen.

Sebagai salah satu bagian dari tatanan ekonomi global, keberhasilan pemulihan
ekonomi nasional mempunyai arti sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini semua
bangsa seuang berlomba untuk meningkatkan daya saingnya dalam rangka meraih manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya dari kebebasan ekonomi dan makin derasnya
arus investasi dunia. Kontraksi ekonomi dalam tahun 1998 yang diperkirakan sekitar 13
persen mempunyai dampak negatif yang sangat mendalam, tidak saja bagi tingkat
kesejahteraan rakyat Indonesia tapi juga bagi upaya peningkatan daya saing. Sebagai
anggota kerjasama ekonomi multilateral Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade
Organization/WTO), kerjasama ekonomi regional Asia Posifik (Asia Posific Economic
Cooperation! APEC), serta kerjasama ekonomi sub regional wilayah perdagangan bebas
ASEAN (ASEAN Free Trade Area / AFTA), yang direncanakan akan mulai memberlakukan
liberalisasi perdagangan mulai tahun 2003, bangsa Indonesia sudah harus mengantisiposi
dan mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat.

Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia memang berat. Tapi bila semua
komponen bangsa -masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha bersatu padu, tantangan
tersebut akan dapat diatasi. Walaupun di satu pihak bangsa Indonesia terhambat
kemajuannya oleh karena krisis ekonomi yang terjadi, di lain pihak bangsa Indonesia telah
mencapai kemajuan yang sangat besar di biuang kehidupan demokrasi. Demokrasi yang
sesuai dengan aspirasi rakyat di segala biuang baik politik, ekonomi dan sosial merupakan
kekuatan luar biasa yang akan mengantarkan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya,
yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

1.2 Krisis Nilai Tukar Rupiah dam Dampaknya Bagi Ekonomi Nasional
Kinerja ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir sampai dengan tahun 1996
cukup menggembirakan. Produk domestik bruto (PDB) riil tumbuh rata-rata sekitar 7 persen
pertahun dan inflasi dapat dikendalikan pada tingkat satu digit. Pendapatan per kapita
meningkat secara berarti, dari sekitar di bawah US$I00 dalam tahun 1970 menjadi sekitar
US$ 1. 155 dalam tahun 1996 dan penduduk miskin menurun Dari sekitar 60 persen Dari
jumlah penduduk dalam tahun 1970 menjadi sekitar 11 persen dalam tahun 1996.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 4


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam tahun 1996 PDB riil masih tumbuh dengan tingkat 7,98 persen. Namun sejak
pertengahan tahun 1997 pertumbuhan PDB riil mulai mengalarni perlambatan dan untuk
seluruh tahun PDB riil hanya tumbuh dengan tingkat 4,65 persen. Pertumbuhan PDB riil
diperkirakan akan menurun tajam dalam tahun 1998 menjadi sekitar minus 13,06 persen
(Tabel 1.1). Perlambatan pertumbuhan PDB riil dalam tahun 1997 terutama disebabkan oleh
musim kemarau yang berkepanjangan dan krisis nilai tukar rupiah yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997, sedangkan kinerja ekonomi yang memburuk dalam tahun 1998
terutama disebabkan oleh dampak krisis nilai tukar rupiah yang telah mengganggu hampir
semua sendi-sendi perekonomian nasional. Dalam tahun 1998 semua lapangan usaha
diperkirakan akan mengalarni pertumbuhan negatif, kecuali lapangan usaha pertanian yang
masih dapat tumbuh positif dengan tingkat cukup lemah. Dari semua lapangan usaha,
lapangan usaha yang paling terpukul adalah lapangan usaha bangunan, yang mengalarni
penurunan 35,44 Persen disusul lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran yang
menurun 21,42 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 5


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.1
LAJU PERTUMBUHAN PDB ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 MENURUT
LAPANGAN USAHA, 1996 - 1998

Lapangan Usaha 1996*) 1997**) 1998e)

Pertanian, Petemakan, Kehutanan dan


1. 3 ,()() 0,64 0,26
Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian 5,82 1,63 - 6,87
3. Industri Pengolahan 11,59 6,23 - 12,00
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 12,78 11,85 - 2,19
5. Bangunan 12,76 6,42 - 35,44
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 8, ()() 5,46 - 21,42
7. Pengangkutan dan Komunikasi 8,68 8,43 - 11,56
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9, ()() 4,77 - 18,58
9. Jasa-jasa 3,40 3,04 - 5,17
PDB 7,98 4,65 - 13,06
PDB Tanpa Migas 8,34 5,26 - 14,12

_:
*) AngkaSementara
**) Angka Sangat Sementara
e) AngkaPerkiraan

Krisis nilai tukar yang dialami Indonesia merupakan salah satu konsekuensi Dari
terintegrasinya secara finansial ekonomi Indonesia dengan ekonomi global, yang ditandai oleh
hampir tidak adanya hambatan atau batasan aliran uang modal antara Indonesia dengan dunia
luar. Kinerja ekonomi Indonesia yang cukup baik, stabilitas politik yang mantap, serta
kecenderungan penurunan suku bunga di negara-negara maju telah mengakibatkan Indonesia
mengalami aliran masuk modal swasta yang cukup besar sejak awal tahun 1990-an. Aliran
masuk modal swasta tersebut telah memberikan manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain
memberikan kesempatan meningkatkan investasi dengan tabungan luar negeri, perbaikan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 6


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

alokasi sumber daya dan memperkuat pasar keuangan domestik. Namun di samping manfaat
tersebut, aliran modal masuk swasta, terutama yang berjangka pendek, juga membawa bahaya
bagi ekonomi Indonesia, yaitu bila terjadi penarikan modal keluar (capital outflows) dalam
jumlah besar secara tiba-tiba, yang umumnya dapat terjadi bila para investor asing kehilangan
kepercayaan akan mata uang dan perekonomian Indonesia. Hilangnya kepercayaan para investor
asing dapat disebabkan atau dipicu oleh faktor domestik atau kejadian di negara lain (contagion
effect).
Krisis nilai tukar yang terjadi di beberapa negara Asia merupakan suatu garnbaran yang
nyata, bagaimana suatu kejadian (shock) di suatu negara dapat ditularkan ke negara-negara lain.
Krisis nilai tukar di Asia bermula dari krisis mata uang Thailand, kemudian merambat ke
Philipina, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan. Nilai mata uang kelima negara ini telah
mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap dolar Amerika Serikat dan diantara kelima
negara tersebut rupiah mengalami depresiasi yang paling berat (Grafik 1.1). Pada bulan Juni
1997 kurs rata-rata rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berada pada tingkat Rp2.44 7
tapi pada bulan Juli 1998 telah mencapai Rp14.622 atau rupiah mengalami depresiasi sekitar 83
persen (US$ apresiasi sekitar 498 persen) bahkan kurs rupiah terendah pernah terjadi pada
pertengahan Juli 1998, yaitu sebesar Rp I4.700.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 7


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Faktor utama penyebab krisis nilai tukar rupiah adalah jumlah tiffing luar negeri swasta
yang cukup besar yang dikelola atau dialokasikan secara kurang tepat. Sektor swasta terlalu
agresif melakukan investasi dengan dana pinjarnan luar negeri yang sebagian besar berjangka
pendek, narnun diinvestasikan untuk jangka panjang (maturity mismatching), dan berisiko
tinggi, seperti properti, serta tidak dilindungi Dari fisiko pergerakan kurs (currency
mismatching).

Dengan terjadinya krisis mata uang bath Thailand, telah menyebabkan para investor
(kreditor) asing berpendapat bahwa krisis yang sama dapat terjadi di Indonesia, mengingat
kedua negara mempunyai permasalahan yang sama di sektor ekstenal. Hal ini telah mendorong
para investor asing harnpir secara bersamaan menarik dana mereka ke luar Dari Indonesia, yang
pada gilirannya telah memberikan tekanan yang sangat berat terhadap nilai tukar rupiah di pasar
valuta asing.
Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi berat dan berfluktuasi telah menggoyahkan rasa
kepercayaan para investor asing akan hilang uang rupiah dan perekonomian Indonesia, sehingga
para investor keluar Dari investasi porto folio (pasar modal) dengan melepos saharn-saham yang
mereka pegang. Mengingat peranan investor asing yang cukup besar dalarn pasar modal, maka
dengan keluamya mereka Dari pasar modal telah memberi tekanan yang luar biasa terhadap
harga-harga saham di pasar modal, seperti yang ditunjukkan oleh pergerakan indeks harga
saham gabungan (IHSG). Sebelum terjadi krisis, kinerja pasar modal cukup mantap dengan
IHSG mencapai 721,27 pada bulan Juli 1997, tapi setelah krisis terjadi IHSG menurun menjadi
493,96 pada bulanAgustus 1997 dan mencapai titik terendah pada September 1998 pada tingkat
276,15 (Grafik 1.2) .
Depresiasi rupiah yang cukup besar selain telah menciptakan ketidakstabilan di pasar
uang, pasar valuta asing dan pasar modal, juga telah menciptakan ketidakstabilan di pasar
barang dan jasa yang ditunjukkan oleh pergerakan harga barang dan jasa (inflasi) yang cukup
tajarn. Sebelum krisis nilai tukar terjadi, harga barang dan jasa cukup stabil seperti ditunjukkan
oleh tingkat inflasi periode Januari-Juni 1997 yang sebesar 2,54 persen, tapi sejak Juli 1997
tekanan inflasi mulai terasa, di mana inflasi meningkat Dari minus 0,17 persen pada bulan Juni
1997 menjadi 0,66 persen pada bulan Juli 1997.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 8


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Bulan-bulan berikutnya tekanan inflasi semakin berat, karena selain tekanan dari
depresiasi rupiah juga diperberat oleh musim kemarau yang berkepanjangan, yang
mengakibatkan terganggunya posokan dan sistem distribusi. Tekanan inflasi mencapai
puncaknya pada bulan Februari 1998, yaitu 12,76 persen (Grafik l.3). Dengan demikian, apabila
inflasi pada semester pertama tahun 1997 hanya 2,54 persen, maka dalam semester kedua tahun
1997 telah mencapai 8,51 persen, sehingga untuk seluruh tahun 1997 mencapai 11,05 persen,
suatu kenaikan yang cukup besar hila dibandingkan dengan inflasi tahun 1996 yang hanya 6,47
persen. Dalam tahun 1998 inflasi mencapai 77,63 persen.
Gejolak nilai tukar rupiah juga telah mempengaruhi kinerja neraca pembayaran
Indonesia. Defisit transaksi berjalan yang merupakan selisih negatif antara ekspor barang dan
jasa dengan impor barang dan jasa mengalami penurunan Dari minus US$8.069,0 juta (3,4
persen PDB) dalam tahun anggaran 1996/1997 menjadi minus US$1.699,0 juta (1,2 persen rOB)
dalam tahun anggaran 1997/1998 (Tabel 1.2). Penurunan defisit terjadi terutama karena
penurunan nilai impor barang sebagai akibat depresiasi rupiah yang cukup besar, serta
peningkatan nilai ekspor barang yang cukup tinggi sebagai dampak positif depresiasi rupiah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 9


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 10


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.2 NERACA PEMBAYARAN,


1996/1997 - 1998/1999 (dalam juta US $)

1996/1997 1997/1998 1998/1999


Rincian (realisasi) (realisasi) (perkiraan
realisasi)
I.Barang-barang dan Jasa-jasa
1. Ekspor 52.038 56.162 50.688
a.Minyak bumi dan gas alam 12.771 10.238 7.123
b.Bukan minyak bumi dan gas alam 39.267 45.924 43.565
2. Impor - 45.819 - 42.704 - 30.888
a.Minyak bumi dan gas alam - 4.693 - 4.085 - 2.837
b.Bukan minyak bumi dan gas alam - 41.126 - 38.619 - 28.051
3. Jasa-jasa - 14.288 - 15.157 - 15.313
4. Transaksi berjalan - 8.069 - 1.699 4.487
SDR
II. - - -
s
III.Pemasukan modal pemerintah 5.298 8.293 18.273
Pembayaran pokok utang luar negeri
IV. - 6.118 - 4.095 - 3.067
pemerintah
V.Lalu lintas modallainnya, bersih 13.488 - 11.827 - 10.769
VI.Jumlah I s.d. V 4.599 - 9.328 8.924
VB.Selisih yang belum dapat diperhitungkan - 701 - 694 979
VIII.Lalu lintas moneter - 3.898 10.022 - 9.903
Memo:
Posisi Cauangan Devisa Kotor 26.612 16.509 26.412

Tidak seperti transaksi berjalan, transaksi modal justru mengalami tekanan berat, yang
terutama disebabkan oleh kuatnya arus modal keluar sektor swasta. Bila dalam tahun anggaran
1996/1997 aliran masuk modal bersih sektor swasta mencapai US$13.488, juta, maka dalam
tahun anggaran 1997/1998 keadaan berbalik menjadi aliran keluar modal bersih sebesar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 11


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

US$11.827, juta. Aliran modal keluar ini terjadi terutama karena merosotnya kepercayaan asing
terhadap prospek perekonomian nasional, meningkatnya pembayaran utang luar negeri swasta
yang jatuh tempo, serta akibat ditundanya realisasi penanaman modal asing (PMA) yang telah
disetujui.

Dengan adanya defisit lain lintas modal bersih swasta, surplus lain lintas modal bersih
pemerintah, dan defisit transaksi berjalan serta selisih yang belum dapat diperhitungkan yang
mencapai negatif US$694, juta, maka neraca pembayaran secara keseluruhan dalam tahun
anggaran 1997/1998 mengalami defisit sebesar US$10.022, juta. Dengan demikian cauangan
devisa kotor mengalami penurunan menjadi US$16.509, juta dalam tahun anggaran 1997/ 1998
atau setara dengan 4,6 bulan impor nonmigas.

Sementara itu, dalam tahun anggaran 1998/1999 transaksi berjalan diperkirakan akan
mengalami surplus US$4.487, juta (4,2 persen PDB). Hal ini dapat terjadi, karena nilai total
impor barang yang diperkirakan akan menurun lebih cepat Dari pada penurunan total ekspor
barang, dengan perkembangan jasa-jasa bersih yang diperkirakan stabil, dibandingkan dengan
keadaannya dalam tahun anggaran 1997/1998. Lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan
masih tetap minus, yaitu US$10.769, juta, seuangkan lalu lintas modal bersih pemerintah akan
surplus US$15.206, juta. Dengan demikian, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan
akan mengalami surplus US$9.903, juta, yang berarti cauangan devisa kotor akan naik dari
US$16.509, juta menjadi US$26.412, juta atau setara dengan 10,2 bulan impor nonmigas.

Sektor perbankan yang mempunyai fungsi sangat strategis dalam perekonomian


nasional, yaitu sebagai lembaga intermediasi dana dan sebagai elemen utama dari sistem
pembayaran, juga tidak terlepos Dari pengaruh negatif gejolak nilai tukar rupiah. Sampai
dengan pertengahan tahun 1997, kinerja perbankan nasional masih cukup meyakinkan, yang
ditunjukkan oleh mobilisasi dana masyarakat yang meningkat pesat, sementara ekspansi kredit
tetap kuat, terutama ke sektor properti. Namun, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan
kinerja perbankan memburuk.

Rentannya perbankan nasional terhadap gejolak nilai tukar rupiah disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut. Pertama, terbukanya perbank;an nasional terhadap resiko
pergerakan kurs yang dikarenakan besarnya kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing.
Dalam tiga tahun terakhir (1995-1997) kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing
meningkat tajam, yang tercermin Dari memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 12


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

rekening administratif dalarn valuta asing. Kedua, kredit bermasalah pada beberapa bank
nasional cenderung meningkat, sementara efisiensi usaha memburuk. Ketiga, kondisi internal
perbankan yang lemah, yang ditandai oleh lemahnya manajemen,. konsentrasi kredit yang
berlebihan, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, dan belum
efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Dengan kondisi perbankan nasional tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah
menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang sangat besar, yang pada
akhirnya telah memicu terjadinya krisis perbankan nasional. Dalam perkembangannya krisis
IX:rbankan semakin dalam dan berat, karena diperburuk oleh merosotnya kepercayaan
masyarakat, baik dalam maupun luar negeri terhadap perbankan nasional, yang ditandai dengan
penarikan tunai dana perbankan dan pemindahan dana secara besar-besaran Dari bank-bank
yang dianggap lemah ke bank -bank yang dinilai kuat.
Untuk membantu perbankan nasional, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
disalurkan kepada perbankan meningkat tajam sejak bulan Maret 1998, yakni dari Rp87,04
triliun menjadi Rp135,94 triliun pada akhir November 1998. Dalam kaitan ini, dalam rangka
mempercepat proses penyehatan perbankan nasional, Bank Indonesia pada bulan April 1998
telah mengalihkan pengawasan 54 bank (4 bank persero, 23 Bank Umum Swasta Nasional
(BUSN) devisa, 14 BUSN bukan devisa, 11 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 2 bank
carnpuran eks Lembaga Keuangan Bukan Bank) yang dinilai bermasalah kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Status ke 54 bank tersebut adalah 7 bank beku operasi
(BBO), 7 bank take over (BTO), dan 40 bank dalam perawatan, yang merupakan bank-bank
yang telah menggunakan fasilitas BLBI lebih Dari 200 persen Dari modalnya dan "capital
adequacy ratio" (CAR) kurang Dari 5 persen.

Seperti halnya dengan perbankan nasional, perusahaan-perusahaan swasta bukan bank


yang mempunyai kewajiban utang luar negeri juga mengalami pukulan berat akibat gejolak nilai
tukar rupiah. Sarnpai dengan akhir September 1998, jumlah utang luar negeri perusahaan-
perusahaan swasta bukan bank diperkirakan mencapai US$62,0 miliar, dimana sejumlah relatif
besar adalah utang jangka pendek. Depresiasi rupiah yang cukup besar telah menyebabkan
kewajiban utang dalarn rupiah meningkat tajarn, sehingga sejumlah besar perusahaan tersebut
tidak marnpu lagi membayar utangnya. Kesulitan likuiditas yang dihadapi perusahaan tersebut
telah mengakibatkan sebagian perusahaan mengurangi bahkan menghentikan aktivitasnya.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 13


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selain itu, krisis utang luar negeri swasta ini telah berpengaruh buruk terhadap kepercayaan luar
negeri, yang selanjutnya akan dapat menutup akses dunia usaha terhadap pasar uang dan modal
luar negeri.
Gejolak nilai tukar rupiah juga mempengaruhi besaran-besaran moneter. Dalarn
rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan
terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan
likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Hasil Dari pelaksanaan kebijakan tersebut
tercermin pada menurunnya pertumbuhan uang beredar (Ml) yaitu Dari 6,0 persen dalam
periode April-Oktober 1997 menjadi 1,4 persen dalarn periode yang sama tahun 1998.
Sementara itu, dalarn April-Oktober 1998 pertumbuhan likuiditas IW-rekonomian (M2)
mencapai 18,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama
tahun 1997 yang mencapai 15,7 persen. Pertumbuhan likuiditas perekonomian tersebut dipicu
oleh melonjaknya posisi uang kuasi (tabungan dan deposito berjangka) yang mencapai 23,0
persen. Melonjaknya uang kuasi tersebut, telah meningkalkan pertumbuhan dana perbankan,
hingga mencapai 16,5 persen selarna periode April-Oktober 1998, seuangkan alokasi kredit
perbankan mengalami penurunan sebesar 1,1 persen. Pertumbuhan dana perbankan tersebut
dipengaruhi oleh tingginya tingkat bunga simpanan, khususnya suku bunga deposito berjangka.
Seuangkan penurunan pertumbuhan kredit perbankan antara lain dipengaruhi oleh lemahnya
permintaaan kredit karena tingginya suku bunga kredit dan lesunya kegiatan sektor riil, serta
menurunnya nilai rupiah posisi kredit dalarn valuta asing sehubungan dengan menguatnya nilai
tukar rupiah dalam bulan Oktober 1998.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 14


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel I.3
INDIKATOR MONETER

(dalam triliun rupiah)

1997/1998 % 1998/1999 %
(realisasi) perubahan (perkiraan) perubahan

Base Money 61,8 70,7 72,7 17,6

Uang Beredar (Ml) 98,3 54,6 105,4 7,2

Likuiditas Perekonomian
449,8 52,7 491,3 9,2
(M2)

Kredit Perbankan 476,8 55,8 403,5 -15,4

Catatan: base money danetinisikan sebagai uang primer ditambah kekurangan giro wajib minimum (GWM)

Sampai dengan akhir tahun anggaran 1998/1999 pertumbuhan base money diperkirakan
sebesar 17,6 persen, uang beredar 7,2 persen, likuiditas perekonomian 9,2 persen, dan kredit
perbankan minus 15,4 persen (Tabel 1.3).
Pelaksanaan kebijakan moneter ketat tersebut telah mendorong naiknya suku bunga
secara tajam. Pada bulan Juni 1997 (sebelum krisis nilai tukar) tingkat suku bunga masih dalam
keadaan normal, dimana suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), 1 bulan sebesar 10,50
persen, deposito bank pemerintah 1 bulan sebesar 13,36 persen, suku bunga kredit modal kerja
sebesar 18,56 persen dan suku bunga kredit investasi sebesar 16,19 persen, namun pada bulan
Agustus 1998 masing-masing suku bunga telah meningkat tajam, menjadi 70,44 persen, 60,71
persen, 34,95 persen dan 24,23 persen (Tabel 1.4)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 15


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.4
SUKU BUNGA, 1997 - 1998
(persen per tahun)

SBI Deposito Bank


Periode 1 Bulan Pemerintah Kredit Modal Kerja Kredit Investasi
1 Bulan
...
1997Juni 10,50 13,36 18,56 16,19
September 21,00 23,86 26,41 20,34
Desember 20,00 19,00 25,40 18,94
1998Januari 20,00 19,00 25,57 18,96
Februari 22,00 25,00 25,63 19,18
Maret 45,00 47,50 27,80 20,16
April 50,00 52,86 29,47 21,64
Mei 58.00 60,50 33,21 22,84
Juni 5!S,00 51,00 33,79 22,70
Juli 65,16 52,86 34,12 23,38
Agustus 70,44 60,71 34,95 24,23
September 64,74 63,29 35,72 24,88
Oktober 56,18 59,86 35,68 25,80

Naiknya suku bunga secara tajam telah menambah pukulan terhadap sektor perbankan,
karena perbankan mengalami spread negatif, yaitu biaya dana (suku bunga simpanan) jauh lebih
besar Dari pendapatan (suku bunga pinjaman). Selain itu, kenaikan suku bunga ini juga telah
memukul berat sektor usaha, karena biaya dana yang meningkat tajam dan penyaluran kredit
yang tidak lancar Dari sektor perbankan. .

1.3 Langkah Kebijakan Yang Ditempuh Untuk Mengatasi Krisis

Tingginya keterbukaan dan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap dunia luar telah
mengakibatkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan-perubahan (shocks) yang
terjadi di dunia loaf. Krisis nilai tukar yang terjadi di Thailand secara perlahan merambat ke
Indonesia dan pada awal luti 1997 rupiah mulai mengalami tekanan. Dengan pertimbangan
bahwa tekanan terhadap rupiahhanya bersifat sementara, Pemerintah mencoba mengatasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 16


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tekanan dengan mengandalkan kebijakan moneter, yaitu melebarkan rentang kendali nilai tukar
dari 8 persen menjadi 12 persen dengan disertai intervensi Bank Indonesia baik di pasar spot
maupun forward. Namun, kebijakan ini tidak berhasil meredam tekanan bahkan tekanan justru
makin kuat. Dengan melihat pengalaman Thailand dan untuk menghindari terkurasnya cauangan
devisa, pada tanggal14 Agustus 1997 Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk merubah
sistem nilai tukar dari mengambang terkendali menjadi mengambang bebas. Selain itu, dalam
rangka mengurangi tekanan terhadap rupiah, Pemerintah melaksanakan pengetatan uang beredar
melalui pemberhentian lelang Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), peniadaan pembelian
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) , menaikkan tingkat suku bunga SBI serta pernindahan deposito
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dari bank-bank swasta ke bank-bank pemerintah.

Untuk sementara hasil kebijakan tersebut cukup menggembirakan, yang tercerrnin dari
stabilnya nilai tukar rupiah antar bank pada kisaran terendah Rp2.975 dan tertinggi Rp3.025.
Namun kebijakan ini membawa konsekuensi naiknya suku bunga pasar uang antar bank secara
tajam, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga
pinjaman. Meningkatnya suku bunga secara tajam telah mempengaruhi kinerja sektor perbankan
dan sektor riil. Ekspansi kredit perbankan terhambat dan kualitas aktiva produktif memburuk,
sementara di sektor riil terjadi penurunan perrnintaan domestik. Keadaan ini telah memperburuk
ekonomi nasionaldimana pertumbuhan sektor riil, menurun dari 6,8 persen pada triwulan kedua
menjadi 2,5 persen pada triwulan ketiga tahun 1997.

Dalam rangka mengatasi kinerja perekonornian yang semakin memburuk serta untuk
mengembalikan stabilitas makro ekonorni yang terganggu, pada tanggal 3 September 1997
Pemerintah mengambil langkah-langkah selan di bidang moneter, juga mencakup bidang fiskal,
perbankan, dan pasar modal. Langkah-Iangkah tersebut mencakup pelonggaran moneter secara
berhati-hati, penghematan anggaran, penyehatan sistem perbankan, dan penghapusan batasan 49
persen pembelian saham oleh investor asing di pasar modal. Namun, kebijakan tersebut belum
memberikan hasil seperti yang diharapkan, rnisalnya penurunan suku bunga yang dilakukan
justru telah memberikan tekanan berat terhadap rupiah, yang pada awal Oktober 1997
mengalami depresiasi menjadi sekitar Rp 3.600.

Depresiasi rupiah yang terus berlanjut ternyata semakin berpengaruh buruk terhadap
kinerja ekonomi nasional. Menyadari kenyataan tersebut dan kelemahan mendasar yang terdapat
di sektor riil dan keuangan, Pemerintah kemudian menempuh kebijakan yang lebih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 17


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

komprehensif melalui program stabilisasi makro ekonomi dan reformasi di biuang keuangan dan
sektor riil. Program stabilisasi dan reformasi tersebut dilaksanakan dengan dukungan keuangan
dan teknis Dari lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF),
the World Bank (WB), the Asian Development Bank (ADB) dan beberapa negara sahabat,
seperti Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Australia, Cina, Hongkong dan Brunei
Darussalam, yang dituangkan dalam nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tanggal l5
November 1997. Lebih lanjut untuk mengkoordinasikan pelaksanaan langkah-Iangkah reformasi
tersebut, pemerintah membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan
(DPKEK).

Program stabilisasi dan reformasi dalam jangka pendek dimaksudkan untuk


memulihkan stabilitas makro ekonorni, terutama melalui pengetatan di biuang moneter dan
fiskal, sedangkan dalam jangka panjang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
perekonomian nasional yang dicapai terutama melalui penyehatan fundamental dan struktur
perekonomian melalui penghapusan berbagai distorsi dalam perekonomian serta memperbaiki
pengelolaan pemerintahan. Dalam rangka memperkuat rupiah, pemerintah juga meIakukan
intervensi bersama dengan Bank of Japan dan Monetary Authority of SingaPDRB. Selain itu
untuk maksud meningkatkan efektivitas kebijakan moneter melalui Keppres Nomor 23/1998
Pemerintah telah memberikan Bank Indonesia kebebasan penuh dalam melaksanakan kebijakan
moneter. Berbagai kebijakan tersebut memberikan hasil positif, seperti diperlihatkan oleh
penguatan nilai rupiah menjadi Rp3.200 pada akhir November 1997.

Sementara itu, sebagai tahap awal reformasi di biuang perbankan, pada tanggal 1
November 1997 telah dilakukan pencabutan izin 16 bank yang insolven. Tindakan ini
dimaksudkan selain untuk menyehatkan sektor perbankan itu sendiri, juga sekaligus untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat akan perbankan nasional. Namun demikian, pencabutan
izin tersebut telah membawa dampak negatif yang tidak diharapkan, yaitu terjadinya penarikan
dana secara besar-besaran oleh masyarakat dari perbankan, yang danorong oleh kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya pencabutan izin bank lainnya, sementara tidak adaj aminan atau
perlindungan terhadap dana deposito masyarakat. I

Penarikan dana secara besar-besaran tersebut telah mengakibatkan sebagian besar


bank-bank umum mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas tersebut
dan sekaligus mencegah penarikan dana yang lebih besar oleh masyarakat Dari perbankan, Bank

Departemen Keuangan Republik Indonesia 18


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Indonesia sebagai lender of last resort telah menyalurkan bantuan likuiditas (BLBI) kepada
bank-bank umum. Penyaluran BLBI yang cukup besar jumlahnya tersebut telah mengakibatkan
meningkatnya jumlah uang beredar, yang pada gilirannya, telah mendorong naiknya harga-harga
dan tindakan spekulasi di pasar valuta asing. Kondisi perbankan yang lemah tersebut telah
diperburuk oleh penurunan rating perbankan nasional dengan akibat banyak bank-bank luar
negeri tidak bersedia menerima Letter of Credit (LC) yang diterbitkan oleh bank-bank nasional.

Memasuki tahun 1998 tekanan terhadap rupiah terus berlanjut. Tekanan terhadap
rupiah diperburuk oleh penurunan rating Indonesia oleh S&P 500 dan Moodys menjadi non
investment rating, serta tindakan spekulasi di pasar valuta asing yang danorong oleh informasi
spekulatif mengenai utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Berbagai kejadian tersebut telah
semakin menekan nilai rupiah yang pada akhir Januari 1998 terpuruk menjadi Rp9.500.

Kurs rupiah yang semakin melemah, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan


nasional yang semakin menurun serta tibanya hari raya telah mendorong masyarakat menarik
dana secara besar-besaran Dari perbankan. Meningkatnya dana yang dipegang masyarakat, di
satu pihak, dan meningkatnya ekspektasi masyarakat akan inflasi, yang disebabkan oleh isu-isu
tentang kelangkaan posokan barang-barang kebutuhan pokok, di lain pihak, telah mendorong
masyarakat membeli barang-barang secara berlebihan (panic buying), yang pada akhirnya telah
mendorong naiknya harga-harga. Selain itu, kegiatan spekulasi akan valuta asing juga
meningkat, yang berakibat semakin jatuhnya nilai rupiah.

Melihat kenyataan bahwa krisis ekonomi yang terjadi semakin dalam dan telah
menyentuh semua sendi-sendi perekonomian nasional, Pemerintah berusaha untuk mempercepat
proses stabilisasi dan memperluas reformasi ekonomi serta merevisi target-target makro
ekonomi. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah menandatangani nota kesepakatan (letter of intent)
dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998 yang berisi 50 butir kesepakatan yang meliputi sektor
fiskal, moneter, neraca pembayaran, perbankan, dan sektor riil.

Di bidang fiskal, ditentukan langkah-Iangkah yang perlu dilakukan antara lain merevisi
RAPBN 1998/1999, pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pencabutan keringanan
perpajakan untuk proyek mobil nasional, dann penghentian bantuan anggaran dan perlakuan
khusus bagi proyek- proyek Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Di biuang moneter,
antara lain mencakup pemberian otonomi kepada Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan
moneter, melakukan perubahan struktur dan kenaikan suku bunga SBI secara tajam,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 19


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

restrukturisasi perbankan, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan


program pemberian jaminan pemerintah atas simpanan masyarakat dan kewajiban lainnya pada
bank-bank berbadan hukum Indonesia. Di sektor riil, antara lain meliputi percepatan proses
privatisasi BUMN, pengurangan wewenang distribusi Badan Urusan Logistik (Bulog) menjadi
hanya untuk menangani beras, dan penghapusan hak monopoli dalam tara niaga berbagai
komoditi lainnya , seperti cengkeh, semen, kertas, dan kayu.

Dalam kaitan kesepakatan tersebut, dalam bulan Januari 1998 telah dilakukan revisi
RAPBN 1998/1999 Dari semula Rp133.491,9 miliar menjadi RpI47.220,8 mlliar. Sementara itu
telah terjadi ketidakpostian yang berkepanjangan dalam mencari sistem untuk mengatasi gejolak
nilai tukar telah menimbulkan semakin tingginya ketidakpostian dalam ekonomi nasional, dan
ketidakpostian ini semakin diperburuk oleh kondisi biuang politik yang makin memanas
menjelang Siuang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998.

Berbagai kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keraguan masyarakat baik asing
maupun Indonesia mengenai prospek ekonomi Indonesia. Hingga Maret 1998 kinerja ekonomi
nasi onal semakin memburuk, sektor riil mengalami kemunduran, sektor perbankan tetap rapuh,
inflasi r:neningkat tajam dan nilai tukar rupiah tetap melemah. PDB riil dalam triwulan pertama
tahun 1998 mengalami kontraksi 6;20 persen, suatu penurunan yang cukup tajam dibandingkan
dengan triwulan pertama tahun 1997 yang mencapai pertumbuhan 8,46 persen.

Sehubungan dengan berbagai perubahan yang terjadi dan dalam rangka mempercepat
proses pemulihan ekonomi.nasional, pada bulan April 1998 Pemerintah telah menandatangani
memorandum tambahan yang berisi kesepakatan-kesepakatan tambahan (baru) dengan IMF
mengenai kebijaksanaan ekonomi dan keuangan, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan,
pelengkap, dan modifikasi dari memorandum tanggal15 Januari 1998. Dalam garis besarnya,
kesepakatan ini bertujuan antara lain untuk (i) menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang
mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia, (ii) memperkuat dan mempercepat
restrukturisasi sistem perbankan, (iii) memperkuat pelaksanaan reformasi struktural yang akan
menciptakan landasan bagi ekonomi yang.efisien dan lebih berdaya saing, (iv) menyiapkan
strategi penyelesaian utang swasta secara kompfehensif, dan (v) menyiapkan bantuan bagi
pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi dan bagi kelompok masyarakat miskin
untuk meringankan beban karena dampak krisis moneter.
Berbagai peristiwa kerusuhan pada bulan Mei 1998 dan perubahan politik yang sangat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 20


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

cepat yang mencapai puncaknya pada pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei
1998 telah mengakibatkan kinerja ekonomi dan prospeknya semakin memburuk. Jaringan
distribusi barang mengalami rusak berat, kegiatan ekonomi termasuk ekspor terganggu,
kepercayaan dunia usaha menurun, nilai kurs rupiah mengalami depresiasi tajam dan inflasi
meningkat cepat, sementara keadaan politik tidak menentu. Sebagai akibatnya, ekonomi berada
dalam keadaan krisis yang sangat serius. Dengan pertimbangan tersebut, pada bulan Juni 1998
Pemerintah dengan IMF telah melakukan lagi penandatanganan memorandum tambahan yang
antara lain menekankan mengenai pentingnya penyediaan jaring pengaman sosial (social safety
net), perlunya dilakukan revisi APBN 1998/1999 mengingat asumsi yang digunakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan yang terbaru, serta penekanan kembali percepatan
restrukturisasi sistem perbankan.

Sementara itu, mengingat perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam


perekonomian nasional, yang berakibat asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan
APBN 1998/1999, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, harga minyak mentah, serta nilai
kurs tidak sesuai lagi, maka Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada
bulan Juli 1998 telah melakukan revisi kembali atas APBN 1998/1999, yang semula berimbang
pada tingkat Rp147.220,8 miliar menjadi Rp263.888,1 miliar atau meningkat 79,25 persen.
Peningkatan APBN ini terutama karena penambahan asumsi nilai kurs rupiah Dari Rp5.000
menjadi Rpl0.600, yang mempengarnhi secara berarti penerimaan migas dan pembangunan serta
pembayaran utang luar negeri. Selain itu, dalam revisi APBN dilakukan peninjauan kembali
program dan kegiatan.pembangunan, antara lain dengan: (i) menunda proyek-proyek dan
kegiatan pembangunan yang belum mendesak, seperti pengadaan kendaraan bermotor dan
pembangunan gedung kantor baru, pengadaan tanah bagi kegiatan yang tidak tersedia dana
untuk kegiatan konstruksinya, melakukan penghematan terhadap biaya perjalanan dinas, studi,
kajian, penelitian, seminar, rapat kerja, lokakarya, rapat dinas dan kegiatan sejenis, serta
kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak menjadi prioritas; dan (ii) melakukan realokasi dan
menyediakan tambahan anggaran untuk memperkuat jaring pengaman sosial di biuang
pendidikan dan kesehatan melalui penyediaan beasiswa dan bantuan biaya operasional bagi
sekolah, penyediaan biaya untuk program pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk yang
kurang mampu, memperluas penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi mereka
yang kehilangan pekerjaan karena terjadinya berbagai krisis, peningkatan produksi pangan, serta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 21


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koperasi.

Mengingat strategisnya peran fiskal dalam program stabilisasi dan reformasi ekonomi,
Pemerintah senantiasa melakukan kaji ulang kebijakan fiskal dengan fokus kepada upaya untuk
melakukan stimulasi fiskal, melalui jaring pengaman sosial, pemantapan kerangka kelembagaan
pengeluairan pembangunan, dan program privatisasi BUMN. Karena pengeluaran pembangunan
mengalami perlambatan pada semester pertama tahun anggaran 1998/1999, maka pada semester
kedua pengeluaran pembangunan akan dipercepat, sehingga dapat mendorong meningkatnya
permintaan agregat dan penguatan jaring pengaman sosial. Pengeluaran pembangunan yang
mengalami kelambatan tersebut dan penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi diperkirakan akan
menghasilkan defisit anggaran 1998/1999 sebesar 6 persen Dari PDB, lebih rendah dari yang
direncanakan sebesar 8,5 persen dari PDB.

Program privatisasi akan terus berjalan sebagaimana yang telah direncanakan.


Masterplan restrukturisasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam jangka
menengah telah pula diselesaikan dan diterbitkan. Efisiensi perusahaan BUMN akan dilakukan
antara lain melalui otonomi manajemen yang lebih besar, meningkatkan persaingan, pengetatan
anggaran, penghapusan secara bertahap kemudahan memperoleh kredit. Untuk menciptakan
transparansi,melalui bantuan teknik Dari IMF dan Bank Dunia serta auditor internasional,
pemerintah akan melakukan audit terhadap Bulog, Pertamina, PLN dan perusahaan-perusahaan
lain yang exposure-nya terhadap pasar dan orang cukup besar.

Pelaksanaan program pemulihan ekonomi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda


yang menggembirakan. Melalui koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang berhati-hati
dengan berbagai kebijakan di sektor riil, maka stabilitas makro ekonomi telah dapat dicapai.
Nilai rupiah telah menguat dan bergerak dalam kisaran yang cukup realistis. Hingga November
1998 nilai tukar rupiah telah mengalami penguatan lebih Dari 7.000 poin sejak titik terendah Rp
14.700 pada pertengahan bulan luli 1998 dan bergerak stabil pada level Rp7.000-an. Penguatan
nilai rupiah pada level Rp7.000-an diperkirakan tidak membahayakan daya saing ekonomi
Indonesia di pasar internasional. Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan
meningkatnya ketersediaan pangan, inflasi telah menurun tajam, yaitu pada bulan Oktober
sebesar minus 0,27 persen, bulan November sebesar 0,08 persen, dan bulan Desember 1998
sebesar 1,42 persen, sehingga inflasi dalam 1 tahun 1998 mencapai 77,63 persen. Penguatan
nilai tukar rupiah dan penurunan inflasi juga telah menghasilkan penurunan suku bunga SBI dari

Departemen Keuangan Republik Indonesia 22


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

level tertinggi 70,6 persen pada lelang tanggal2 September 1998 menjadi 42,4 persen pada
lelang terakhir bulan November 1998. Suku bunga bank-bank umum juga menunjukkan
kecenderungan menurun dan spread antara bunga deposito dan bunga pinjaman telah mulai
bergerak ke arah normal kembali.

Stabilitas makro ekonomi yang mulai mantap telah memungkinkan untuk mempercepat
proses pemulihan ekonomi nasional. Namun, untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang
memadai dan berkelanjutan, dua persoalan pokok yang mendesak untuk dituntaskan, yaitu
masalah restrukturisasi perbankan dan penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta. Kedua
persoalan ini apabila tidak segera diatasi akan sangat menghambat serta merugikan
perkembangan ekonomi nasional.

Dalam rangka restrukturisasi perbankan, Pemerintah menempuh strategi, yaitu (i)


mendorong dilakukannya rekapitalisasi terhadap bank-bank yang layak hidup, (ii)
menyelesaikan kelanjutan status bank Bank Take Over dan Bank Beku Operasi, (iii)
menyepakati dengan pemilik bank atas langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan
kewajibannya kepada pemerintah, (iv) memantapkan penggabungan 4 bank pemerintah (Bank
Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor
Indonesia) ke dalam Bank Mandiri, dan (v) meluncurkan berbagai peraturan yang menjamin
kehati-hatian.
Kekurangan modal yang dialami perbankan nasional telah mengakibatkan perbankan
nasional tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai sumber pembiayaan bagi perekonomian.
Kondisi perbankan yang tidak sehat ini akan menghambat pemulihan perekonomian nasional,
yang pada gilirannya, akan membuat kondisi perbankan akan semakin parah, karena kegiatan
perekonomian yang terhambat akan meningkatkan kredit macet. Oleh karena itu, agar
perekonomian dapat berputar kembali, fungsi perbankan nasional harus dinormalkan melalui
penyehatan permodalan bank, yang dapat dilakukan melalui dua pilihan, yaitu (i) tidak
dilakukan rekapitalisasi, sehingga bank-bank yang modalnya tidak cukup harus ditutup dan (ii)
dilakukan rekapitalisasi pada bank-bank yang memenuhi syarat.
Setelah melakukan evaluasi secara cermat dengan memperhitungkan yang terbaik bagi
perekonomian nasional, Pemerintah telah memutuskan untuk melaksanakan strategi kedua, yaitu
merekapitalisasi bank-bank yang memenuhi syarat. Pilihan ini mempunyai konsekuensi yaitu,
(i) Pemerintah perlu menyediakan pendanaan untuk rekapitalisasi, (ii) perbankan nasional akan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 23


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dapat disehatkan sehingga dapat segera mendorong kegiatan ekonomi, dan (iii) dana
rekapitalisasi dapat diperoleh kembali pada saat Pemerintah meleposkan kepemilikan bank-bank
bersangkutan.
Program rekapitalisasi dilaksanakan dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana
kerja yang jelas dan disetujui Bank Indonesia, serta menyetor sekurang-kurangnya 20 persen
Dari jumlah kebutuhan rekapitalisasi, seuangkan pemerintah menyediakan 80 persen. Sifat
pendanaan pemerintah tersebut adalah penyertaan modal, yang dapat dilepos kembali pada
harga yang memberikan peluang untuk memperoleh nilai tambah. Penyertaan dilakukan dengan
konversi BLBI menjadi penyertaan (equity) pemerintah serta dengan obligasi, sehingga yang
dibebankan adalah bunganya. Pada waktu bersamaan pemerintah akan memperoleh penerimaan
Dari penjualan asset (yang dikuasai BPPN) para pemilik lama bank-bank Bank Take Over
(BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO), yang dapat digunakan untuk mendukung pembayaran
beban bunga.
Dari 166 bank nasional sebanyak 150 telah selesai dilakukan proses "due diligence"
dengan hasil (i) 54 bank mempunyai "capital adequcy ratio" (CAR) 4 persen atau lebih
(kategori A), (ii) 56 bank mempunyai CAR antara minus 25 persen sampai plus 4 persen
(kategori B), dan (iii) 40 bank mempunyai CAR kurang Dari minus 25 persen (kategon C).
Bank yang dapat dipertimbangkan ikut seleksi dalam program rekapitalisasi adalah bank dalam
kelompok kategori B. Seuangkan bank-bank kategori C diberi kesempatan untuk segera (dalam
waktu 30 hari sejak panggilan Bank Indonesia) menambah modal sendiri, agar dapat masuk
kategori B.
Adapun ketentuan yan,g wajib dipenuhi oleh bank-bank kategori B untuk dapat turut
dalam program rekapitalisasi, antara lain (i) menyusun suatu rencana kerja yang berisi langkah-
langkah yang akan diambil sampai dengan akhir tahun 2001, yang menunjukkan bahwa akan
mampu beroperasi dengan baik. Langkah-Iangkah ini mencakup jadwal penyelesaian semua
kredit bermasalah dan pinjaman kepada grup untuk properti di luar kredit pemilikan rumah
sederhana KPRS) dan rumah sangat sederhana (KPRSS) danj adwal untuk mencapai CAR 8
persen dalam waktu selambat-Iambatnya 3 tahun, (ii) menyelesaikan kredit kepada kelompok
sendiri yang melebihi ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK), dan (iii)
menyerahkan 20 persen Dari kekurangan modal dalam waktu 4 (empat) minggu setelah rencana
kerjanya disetujui Bank Indonesia.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 24


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pemerintah telah memutuskan akan membantu rekapitalisasi 15 Bank Pembangunan


Daerah (BPD) yang CAR menjadi di bawah 4 persen, sehingga bank-bank tersebut akan dapat
lebih mendorong peningkatan kegiatan ekonomi di daerah khususnya usaha kecil, menengah
dan koperasi. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia (BRI) akan direkapitalisasi, sehingga bank
ini berperan maksimal dalam melayani usaha kecil, menengah dan koperasi. Empat bank
BUMN (Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank
Pembangunan Indonesia) yang akan digabung ke dalam Bank Mandiri, rencana
rekapitalisasinya disiapkan oleh Bank Mandiri, seuangkan rekapitalisasi Bank Negara Indonesia
(BNI) dilakukan dengan mekanisme "right issue" melalui pasar modal.

Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam rangka mempercepat penyelesaian utang


luar negeri swasta bukan bank berpedoman pada prinsip bahwa Pemerintah tidak akan
mengambil alih utang debitor, tapi hanya menyediakan jasa baik untuk mempercepat
penyelesaian utang tersebut dengan prinsip "win-win solutions" bagi debitor dan kreditor.
Penyelesaian utang swasta luar negeri ini mempunyai dampak ganda bagi perekonomian
nasional, yaitu di satu pihak akan dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan di
lain pihak akan membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk dapat bangkit kembali,
sehingga akan dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta
sumber penerimaan pajak. Dalam kaitan ini melalui Kepres No 95/1998 Pemerintah tanggal l2
Juli 1998 telah membentuk Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta
Indonesia atau Indonesian. Debt Restructuring Agency (INDRA), yang bertugas mengusahakan
restrukturisasi utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia sesuai dengan skim yang
disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan kreditor luar negeri. Pokok -pokok skim
INDRA, antara lain (i) mengkonversikan pinjaman debitor dalam valuta asing menjadi pinjaman
dalam rupiah, (ii) utang direstrukturisasi sehingga mempunyai jangka waktu minimal 8 tahun
dengan masa tenggang minimal 3 tahun, (iii) debitor membayar rupiah tiap bulan kepada
INDRA, baik pokok dan bunga, secara konstan dan riil selama 8 rabun, dan (iv) INDRA
membayar dalam dolar Amerika Serikat tiap 3 bulan kepada kreditor, yaitu 3 tahun pertama
membayar bunga dan tahun ke-4 sampai ke8 membayar pokok dan bunga. Mengingat salah satu
kunci keberhasilan skim INDRA adalah adanya kesepakatan atau negosiasi antara debitor
dengan kreditor luar negeri, maka Pemerintah melalui Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) telah
menyediakan diri sebagai fasilitator dalam proses negosiasi tersebut.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 25


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Di samping itu, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan terhadap beberapa


ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998. Perubahan ini dilakukan mengingat ketentuan lama
sudah tidak akomoDarif lagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini. Dengan
perubahan-perubahan tersebut diharapkan akan memberikan kesempatan kepada pihak kreditor
dan perusahaan sebagai debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, cepat, terbuka dan
efektif. Selain itu, perubahan tersebut akan dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di lihat
dunia internasional.

1.4 Prospek Perkembangan Ekonomi Global


Salah satu sektor penting yang dapat mempercepat proses pemulihan perekonomian
nasional adalah sektor ekspor, mengingat peranannya yang sangat penting sebagai sumber
penerimaan devisa dan penciptaan lapangan kerja. Peranan ekspor barang dan jasa dalam
kegiatan perekonomian nasional cukup penting, yaitu senilai Rp175.310,2 miliar atau 28,97
persen Dari PDB (data tahun 1997), seuangkan impor bemilai Rp182.428,7 miliar atau 30,14
persen Dari PDB.
Ni1ai ekspor Indonesia, terutama nonmigas sering ditentukan oleh tingkat harga, juga
sangat ditentukan oleh perkembangan perekonomian global, khususnya perkembangan
perekonomian negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Lingkungan ekonomi global yang akan dihadapi Indonesia dalam tahun 1999
diperkirakan akan sedikit lebih kondusif dibandingkan dengan kondisi da1am tahun 1998, yang
ditandai dengan terjadinya krisis keuangan di beberapa negara ASEAN, Jepang, Korea Se1atan,
Rusia dan beberapa negara Amerika Latin. Pertumbuhan ekonomi dunia da1am tahun 1999
diperkirakan akan sedikit menguat yaitu sebesar 2,5 persen meningkat Dari tahun 1998 yang
diperkirakan sebesar 2,0 persen. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut,
pertumbuhan volume ekspor dunia (barang dan jasa) akan meningkat Dari yang diperkirakan 3,6
persen dalam tahun 1998 menjadi 4,2 persen dalam tahun 1999 seuangkan impor (barang dan
jasa) diperkirakan akan tumbuh sedikit lebih kuat, Dari perkiraan sebesar 4,5 persen dalam
tahun 1998 menjadi 4,7 persen dalam tahun 1999.
Dalam skala mikro, perkembangan negara-negara mitra dagang utama Indonesia,
secara umum diperkirakan akan mengalami perbaikan walaupun masih relatif lemah. Jepang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 26


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sebagai mitra dagang utama Indonesia, perekonomiannya dalam tahun 1999 diperkirakan akan
lebih baik dibandingkan tahun 1998, yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar minus 2,5
persen. Kebijakan moneter yang diambil dengan menurunkan beberapa kali tingkat suku bunga
dan kebijakan fiskal yang 1ebih ekspansif melalui penurunan tingkat pajak dan peningkatan
belanja pemerintah dalam tahun 1998 diharapkan akan dapat mendorong perekonomian Jepang
dalam tahun 1999, yang diperkirakan akan dapat tumbuh dengan tingkat 0,5 persen. Kinerja
perekonomian Jepang ini akan mempunyai arti yang positif bagi perekonomian Indonesia
karena sekitar 18,0 persen ekspor nonmigas Indonesia ditujukan ke Jepang.
Ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang cukup mengesankan da1am beberapa tahun
lalu antara lain danorong oleh konsolidasi fiskal yang memungkinkan surplus anggaran belanja
pemerintah, kebijakan moneter yang berhasil mendorong ekspansi perekonomian namun dapat
mempertahankan inflasi yang rendah, serta pasar barang dan pasar tenaga kerja yang fleksibel,
te1ah dapat meningkatkan kesempatan kerja dengan cepat. Namun krisis keuangan yang terjadi
di Asia te1ah mempengaruhi kinerja ekonomi Amerika Serikat me1a1ui penurunan ekspor,
terutama ke negara-negara yang, dilanda krisis keuangan. O1eh karena itu, kinerja ekonomi
Amerika Serikat yang merupakan negara tujuan sekitar 16 persen ekspor nonmigas Indonesia,
da1am tahun 1998 diperkirakan akan me1emah menjadi 3,5 persen dibandingkan dengan tahun
1997 (sebesar 3,9 persen), dan 1ebih 1anjut diperkirakan menjadi 2,0 persen da1am tahun 1999,
yang dianggap mendekati tingkat pertumbuhan potensial. Penurunan ini terjadi terutama karena
me1emahnya perrmintaan domestik yang disebabkan menurunnya harga-harga saham (equity)
dan permintaan luar negeri. Kinerja ekonomi Amerika Serikat dalam tahun 1999 cenderung
akan memburuk bila kondisi perekonomian di Asia dan kekacauan keuangan dunia terus
berlanjut, serta penurunan 1ebih 1anjut harga-harga saham.

Perekonomian Singapura yang se1ama beberapa tahun dapat tumbuh dengan kuat
mu1ai menga1arni penurunan, terutama karena krisis ekonomi yang terjadi di kawasan ASEAN.
Da1am tahun 1997 ekonomi Singapura, yang merupakan negara tujuan sekitar 11,0 persen
ekspor nonmigas Indonesia masih tumbuh dengan tingkat 7,8 persen, namun da1am tahun 1998
hanya tumbuh dengan tingkat 0 (nol) persen. Kebijakan paket fiska1 sebesar 1,5 persen Dari
PDB yang diumumkan pada akhir Juni 1998 diperkirakan tidak akan mempengaruhi
perekonomian Singapura da1am tahun 1999 secara berarti, sehingga pertumbuhan diperkirakan
hanya akan mencapai 0,2 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 27


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi masyarakat Eropa dalam tahun 1999 tidak jauh
beda dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi da1am tahun 1998. Dampak kontraksi Dari krisis
ekonomi Asia terhadap ekspor dapat diimbangi dengan dampak ekspansif Dari perbaikan nilai
tukar perdagangan (terms of trade), suku bunga yang 1ebih rendah, dan pertumbuhan ekonomi
yang kuat dan berkelanjutan di negara-negara bukan Asia. Bi1a perturnbuhan ekonomi
masyarakat Eropa da1am tahun 1998 diperkirakan sebesar 2,9 persen, maka da1am tahun 1999
diperkirakan akan menurun sedikit menjadi 2,5 persen, sehingga hal ini diperkirakan tidak akan
banyak mempengaruhi ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara tersebut yang porsinya
sekitar 19,0 persen.

1.5 Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1998/1999

Anggaran Pendapatan Belanja Negara 1998/1999 sebagai instrumen utama kebijakan


fiska1 pemerintah mempunyai misi utama untuk mendukung program stabi1isasi dan pemulihan
ekonorni nasional. Berbagai peristiwa baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti ke1esuan
ekonomi, depresiasi niai tukar rupiah, harga minyak intenasiona1 yang cenderung menurun,
suku bunga dan inflasi yang meningkat tajam telah turut mewarnai pelaksanaan APBN tersebut.

Se1ama semester I tahun 1998/1999 realisasi penerimaan negara mencapai Rp 1


04.184,5 mi1iar atau 39,5 persen Dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN, seuangkan
pengeluaran negara mencapai Rp90.049,8 miliar atau 34,1 persen Dari sasaran yang ditetapkan
da1am APBN, sehingga dalam semester I APBN, mencapai surplus sebesar Rp14.134,7 mi1iar.
(Tabel 1.5).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 28


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.5
REALISASI SEMESTER 1 APBN 1998/1999
(dalam miliar rupiah)

Uraian APBN Semester I % thd APBN

I. Penerimaan Negara 263.888,1 104.184,5 39,5


A. Penerimaan Dalam Negeri 149.302,5 75.152,5 50,3
1. Migas 49.711,4 22.145,1 44,5
2. Bukan migas 99.591,1 53.007,4 53,2
B. Penerimaan Pembangnnan 114.585,6 29.032,1 25,3
II. Pengeluaran Negara 263.888,1 90.049,8 34,1
A. Pengeluaran Rutin 171.205,1 70.948,0 41,4
B. Pengeluaran Pembangnnan 92.683,0 19.101,8 20,6

Selama semester I, beberapa hal penting telah mewarnai pelaksanaan penerimaan


negara. Pertama, kecenderungan menurunnya harga rninyak di pasar internasional yang
disebabkan oleh lemahnya permintaan terutama karena krisis ekonorni Asia telah
mempengaruhi penerimaan dalam negeri yang berasal Dari rninyak. Dalam APBN harga
minyak diasumsikan US$13 per barel, namun selama Maret-Agustus 1998 rata-rata harga
rninyak mentah Indonesia hanya mencapai US$12,49 per barel, sehingga penerimaan minyak
bumi dan gas alam hanya mencapai 44,5 persen Dari sasaran APBN. Kedua, penerimaan pajak
penghasilan telah mencapai Rp25.186,3 miliar atau 97,4 persen Dari sasaran APBN.
Peningkatan ini terjadi terutama karena peningkatan PPh deposito yang disebabkan tingginya
suku bunga dan peningkatan PPh yang berasal Dari wajib pajak luar negeri dan wajib pajak
yang memperoleh penghasilan dalam valuta asing yang disebabkan depresiasi rupiah. Ketiga,
realisasi pungutan pajak ekspor mencapai Rp2.302,4 rniliar atau sekitar 244,2 persen Dari yang
direncanakan dalam APBN. Besarnya peningkatan penerimaan pajak ekspor tersebut disebabkan
oleh meningkatnya ekspor crude palm oil (CPO), tingginya harga CPO dan produk turunannya
di pasar internasional, depresiasi rupiah, serta peningkatan tarif pajak ekspor CPO Dari 40
persen menjadi 60 persen yang berlaku sejak Juli 1998. Keempat, realisasi penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) baru mencapai Rp5.446,9 miliar atau 20,4 persen Dari yang direncanakan
dalam APBN. Rendahnya realisasi PNBP tersebut terutama disebabkan belum terealisasinya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 29


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

penerimaan Dari privatisasi BUMN yang dalam APBN direncanakan Rp 15 triliun.

Perkembangan ekonorni nasional dalam semester II 1998/1999, diperkirakan belum


banyak mengalarni perubahan meskipun menunjukkan prospek yang menjanjikan.
Perkembangan tersebut akan membawa pengaruh pada prognosa penerimaan dalam negeri,
terutama penerimaan di luar migas. Penerimaan migas dalam semester II diperkirakan lebih
rendah dibandingkan dengan realisasi semester I, sehubungan dengan harga minyak mentah
yang diperkirakan masih relatif rendah. Dengan demikian, realisasi penerimaan migas dalam
tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari APBN-nya.

Sementara itu, penerimaan PPh dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih rendah
Dari semester I berkaitan dengan menurunnya penerimaan PPh atas bunga deposito, PPh atas
pesangon, dan kemungkinan adanya restitusi pajak. Seuangkan penerimaan PPN dan PPnBM,
cukai dan bea masuk diperkirakan akan lebih baik Dari semester I. Selanjutnya, dengan melihat
kepada berbagai upaya pemulihan perekonomian nasional serta pelaksanaan privatisasi BUMN,
penerimaan negara bukan pajak dalam semester II diperkirakan lebih tinggi dibandingkan
dengan realisasi semester I. Namun demikian, secara keseluruhan realisasi penerimaan di luar
migas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan masih lebih tinggi Dari APBN-nya.

Realisasi penerimaan pembangunan dalam semester II 1998/1999 diperkirakan akan


lebih tinggi dibandingkan dengan realisasinya dalam semester I mengingat rencana pencairan
berbagai bantuan luar negeri baru akan direalisasikan pada paruh kedua tahun anggaran 1998/
1999. Sekalipun demikian, dengan memperhitungkan kemungkinan lebih rendahnya nilai lawan
(rupiah), realisasi bantuan program dan proyek akibat menguatnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika, realisasi penerimaan pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999
diperkirakan lebih rendah Dari APBN-nya.

Berdasarkan berbagai perkembangan tersebut di atas, maka penerimaan negara secara


keseluruhan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Daripada yang
direncanakan dalam APBN-nya. .

Sementara itu, realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999 mencapai
Rp70.948,0 miliar atau 41,4 persen Dari anggaran yang ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan
perkembangan realisasi anggaran belanja rutin dalam semester I 1998/1999, serta
memperhitungkan berbagai faktor dan kebutuhan pembiayaan yang diperkirkan dalam enam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 30


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bulan berikutnya, maka alokasi anggaran be1anja rutin dalam semester II 1998/1999
diperkirakan lebih tinggi Dari realisasinya dalam semester 11998/1999. Lebih tingginya
perkiraan tersebut terutama berkaitan dengan tingginya perkiraan kebutuhan pembiayaan
operasional dan pemeliharaan, dan pembiayaan subsidi non-BBM, di samping direalisasikannya
pembayaran utang dalam negeri.

Atas dasar perkiraaan realisasi semester I dan prognosa semester II, realiasasi anggaran
belanja rutin dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Daripada anggaran
yang ditetapkan dalam APBN-nya.

Pelaksanaan anggaran belanja pembangunan dalam semester I 1998/1999 dipengaruhi


oleh berbagai langkah penyesuaian yang dilakukan dalam rangka meningkatkan efisiensi
penggunaan anggaran dan memperkuat jaring pengaman sosial untuk menanggulangi dampak
meningkatnya pengangguran, setengah pengangguran dan jumlah penduduk miskin akibat krisis
ekonomi. Penyesuaian dimaksud dilakukan melalui peninjauan kembali seluruh program dan
proyek pembangunan yang belum mendesak serta realokasi dan penyediaan tambahan anggaran
bagi program perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan sosial, pendidikan dan
pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk kurang mampu, penciptaan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha, peningkatan ketahanan pangan dan gizi, serta pemberdayaan usaha kecil,
menengah dan koperasi.
Sebagai dampak berlangsungnya proses penyesuaian tersebut, terutama penjadwalan
dan mekanisme revisi daftar isian proyek (DIP) yang memerlukan waktu, realisasi anggaran
belanja pembangunan dalam semester I 1998/1999 baru mencapai RpI9.101,8 miliar atau
menyerap sekitar 20,6 persen Dari alokasi anggaran yang direncanakan.
Berdasarkan perkembangan realisasi anggaran belanja pembangunan dalam semester
1998/1999, serta memperhatikan kecenderungan perkembangan penerimaan pembangunan,
terutama kemungkinan pencairan (disbursement) bantuan program dan bantuan proyek, serta
perkembangan daya serap proyek pembangunan, baik pembiayaan rupiah maupun bantuan
proyek dalam semester II 1998/1999 diperkirakan lebih tinggi Daripada realisasi semester I.
Sekalipun demikian, dengan pengendalian dan penghematan yang dilakukan terhadap
beberapa pos anggaran pembangunan rupiah, serta memperhitungkan kemungkinan lebih
rendahnya nilai lawan (rupiah) realisasi bantuan proyek akibat menguatnya nilai tukar rupiah,
realisasi anggaran belanja pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan sedikit

Departemen Keuangan Republik Indonesia 31


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lebih rendah Daripada alokasi yang ditetapkan dalam APBN-nya.

1.6 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
1999/2000
Sebagai kelanjutan kebijakan fiskal tahun anggaran 1998/1999, kebijakan fiskal dalam
tahun anggaran 1999/2000 dilaksanakan dengan misi utama untuk memberikan perlindungan
dan pemulihan kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat yang rentan akibat krisis ekonomi,
yang dilakukan melalui jaring pengaman sosial, serta untuk menstabilkan dan menggerakkan
perekonomian nasional, yang dilakukan melalui berbagai pengeluaran yang benar-benar efektif
dapat memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi, khususnya usaha kecil, menengah
dan koperasi.
Perencanaan besaran-besaran penerimaan dan pengeluaran negara dalam APBN
1999/2000 dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan serealistis mungkin.
Beberapa faktor penting yang menentukan besaran-besaran tersebut mencakup kondisi terakhir
perekonomian dalam negeri dan global, harga minyak di pasar intenasional, nilai tukar (kurs)
rupiah, sasaran-sasaran program stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta kemampuan sumber-
sumber pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik Dari dalam negeri maupun
Dari luar negeri.
Kondisi ekonomi dalam negeri yang secara umum telah mulai menunjukkan
perkembangan yang membaik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN
1999/2000. Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah yang makin stabil
kearah keseimbangan bam yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai terkendali dan tingkat
suku bunga yang mulai bergerak turun. Sementara itu perkembangan harga minyak di pasar
internasional cenderung menurun karena kelebihan posokan dan lemahnya permintaan.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut dengan seksama, maka asumsi


dasar yang digunakan dalam penyusunan APBN 1999/2000 adalah sebagai berikut (Tabel 1.6).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 32


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.6 ASUMSI DASAR

APBN APBN
1999/2000 1998/1999
1.Pertumbuhan ekonomi (%) 0,0 - 12,0
2.Laju inflasi (%) 17,0 66,0
3.Harga minyak mentah (US$/barel) 10,5 13,0
4.Produksi minyak (ribu barel/hari) 1.520,0 1.520,0
5.Kurs (Rp/US$) 7.500,0 10.600,0

Dengan asumsi dasar tersebut dan dengan memperhatikan faktor - faktor yang berkaitan
dengan sisi penerimaan dan pengeluaran, maka APBN 1999/2000 direncanakan pada tingkat
Rp219.603,8 miliar atau 83,2 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam tahun 1998/1999
(Tabel 1.7).
Di sisi penerimaan, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan berpengaruh
positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn-BM),
serta penerimaan cukai. Penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan berpengaruh negatif
terhadap penerimaan PPh khususnya yang berasal dari bunga deposito, namun diharapkan hal
ini dapat diimbangi dengan penerimaan PPh dari sektor lainnya akibat perbaikan kondisi
ekonomi. Sementara itu, penguatan nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap sasaran
penerimaan minyak bumi dan gas alam (migas), penerimaan bea masuk, pajak ekspor, serta
penerimaan luar negeri.
Di lain pihak, rencana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga akan sangat
dipengaruhi oleh keberhasilan pelaksanaan strategi kebijakan program privatisasi BUMN,
mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan berasal Dari hasil divestasi saham pemerintah
pada BUMN relatif cukup besar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 33


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1.7
IKHTISAR APBN SECARA GARIS BESAR
(dalam miliar rupiah)

APBN 1) APBN 1999/2000


Uraian 1997/1998 1998/1999 RAPBN APBN % %

1 2 3 4 5 (6=4:3) (7=5:3)

Total Penerimaan Negara 132.000,8 263.888,1 218.203,8 219.603,8 82,7 83,2


Penerimaan Dalam Negeri 108.183,8 149.302,5 140.803,8 142.203,8 94,3 95,2
Migas 35.357,0 49.711,4 20.965,0 20.965,0 42,2 42,2
Bukan migas 72.826,8 99.591,1 119.838,8 121.238,8 120,3 121,7
Penenmaan Luar Negeri 23.817,0 114.585,6 77 .400,0 77.400,0 67,5 67,5

Total Pengeluaran Negara 131.544,6 263.888,1 218.203,8 219.603,8 82,7. 83,2


Pengeluaran Rutin 84.606,2 171.205,1 134.555,5 137.155,5 78,6 80,1
Belanja Pegawai 19.175,1 24.781,4 32.037,1 33.569,1 129,3 135,5
Belanja Barang 9.031,9 11.425,1 11.039,0 11.039,0 96,6 96,6
Belanja Rutin Daerah 9.872,2 13.289,7 18.429,6 19.497,6 138,7 146,7
Bunga Dari Cicilan Hutang 29.697,1 66.236,4 44.810,9 44.810,9 67,7 67,7
Pengeluaran Rutin Lainnya 16.830,0 55.472,5 28.238,9 28.238,9 50,9 50,9
Pengeluaran Pembangunan 46.938,3 92.683,0 83.648,3 82.448,3 90,3 89,0
Surplus(Defisit) 456,2

1) Angka APBN-P

Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara
adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor atas Crude Palm Oil (CPO) dan
produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor
dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik perkembangannya dalam tahun anggaran
1998/1999, mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal Dari pungutan atas
ekspor komoditi CPO dan produk-produk turunannya.

Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin
akan diarahkan kepada upaya-upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRI agar tidak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 34


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis
melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis. Sehubungan dengan itu,
direncanakan untuk memberikan kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan
pensiunan, serta penyesuaian besarnya uang makan lauk-pauk bagi anggota ABRI. Demikian
pula, pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), yang jumlahnya diperkirakan akan lebih
kecil Dari tahun sebelumnya mengingat penguatan nilai rupiah. Sementara itu, rencana
penundaan (reschedulling) pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo
dalam tahun anggaran 1999/2000 sesuai dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam
pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan dapat menghemat anggaran rutin.

Di bidang pengeluaran pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan memperluas


cakupan program jaring pengaman sosial, prioritas pembiayaan akan diletakkan pada (i) proyek-
proyek prasarana dengan kandungan lokal tinggi dan menyerap tenaga kerja besar, (ii)
perlindungan sosial dasar di biuang pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan proyek sosial
lainnya baik di perdesaan maupun di perkotaan, (iii) pengembangan usaha kecil dan menengah,
(iv) restrukturisasi sektor perbankan, dan (v) upaya mendorong ekspor nonmigas. Di samping
itu, rencana alokasi anggaran pengeluaran pembangunan juga diarahkan untuk menjabarkan
secara bertahap kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih adil dan
proporsional, sebagai pelaksanaan awal Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XV /MPRl1998. Hal ini dilakukan melalui realokasi anggaran Dari proyek-
proyek sektoral menjadi dana pembangunan daerah, khususnya bantuan yang bersifat umum
(block grant) dalam jumlah yang lebih besar.

Volume anggaran belanja pembangunan direncanakan mencapai Rp82.448,3 miliar,


atau 89,0 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sebagian
beban anggaran belanja pembangunan dimaksud akan diusahakan pembiayaannya dari sumber-
sumber dana pinjaman luar negeri (external financing), baik bantuan program maupun bantuan
proyek pada pos penerimaan luar negeri dalam APBN. Pinjaman program yang diperlukan
untuk membiayai program dan proyek pembangunan, termasuk program jaring pengaman sosial
diharapkan berasal dari bank dunia (IBRD), bank pembangunan Asia (ADB), dan bantuan
bilateral Dari pemerintah Jepang.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 35


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1.7 Penutup
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan penderitaan yang
cukup berat bagi bangsa Indonesia. Tingkat kesejahteraan masyarakat telah menurun drastis,
karena harga barang-barang kebutuhan pokok yang meningkat tajam, banyaknya anggota
masyarakat yang kehilangan pekerjaan, serta keresahan sosial yang meningkat.
Langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut
mempunyai arah yang jelas. Pada akhir tahun 1998 stabilisasi ekonomi makro telah berangsur-
angsur dapat diciptakan, selanjutnya dalam tahun 1999 dan tahun 2000 perekonomian
diperkirakan memulai proses pemulihan. Struktur dan kinerja perekonomian nasional terus
diupayakan agar lebih efisien sehingga akan lebih mampu bersaing baik di pasar domestik
maupun pasar global.
Untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan seperti masa
sebelum krisis, banyak persoalan mendesak yang harus diselesaikan, diantaranya adalah
penyehatan perbankan nasional dan penyelesaian utang luar negeri swasta. Penanganan masalah
tersebut secara tuntas menuntut pengertian dan kerjasama antara Pemerintah, masyarakat luas
dan dunia usaha baik perbankan maupun bukan perbankan.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya, Bangsa Indonesia telah beberapa kali dihadapkan
pada persoalan yang sangat berat dan selalu berhasil mengatasinya Demikian juga dalam
menghadapi krisis ekonomi yang seuang terjadi, dengan penuh keyakinan akan dapat segera
diatasi. Dengan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, budaya
disiplin dan kerja keras, serta semangat persatuan, kesatuan dan keadilan, masa depan Indonesia
yang lebih baik akan dapat dibangun.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 36


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.1 Pendahuluan

Sebagai salah satu piranti utama pelaksanaan kebijakan fiskal, pengelolaan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam dua tahun anggaran terakhir menghadapi
tantangan berat. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia
dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan, diawali oleh adanya krisis moneter yang
dipicu oleh krisis mata uang bath Thailand pada bulan luli 1997 dan menjalar ke kawasan Asia
Tenggara, dan berkembang menjadi krisis ekonomi, bahkan berlanjut menjadi krisis
kepercayaan di dalam negeri. Keadaan tersebut telah menyebabkan nilai tukar (kurs) rupiah
terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika, sangat mudah goyah dan cenderung terus
melemah, sehingga berdampak negatif terhadap kinerja perekonornian nasional, termasuk
pelaksanaan APBN 1998/1999. Seiring dengan terjadinya krisis, gejolak dan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga mewarnai dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga menjadikan tahun 1998 penuh dengan rasa keprihatinan.
Dengan adanya krisis tersebut sendi-sendi kegiatan ekonomi menjadi terganggu,
sehingga berdampak pada makin menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Hal ini telah berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran dan
setengah pengangguran, serta terganggunya sistem distribusi dan penyediaan bahan kebutuhan
pokok masyarakat yang memuncak pada kerusuhan media Mei 1998. Keadaan tersebut
mendorong perlunya dilakukan penyesuaian kembali berbagai sasaran dan program di biuang
fiskal, dengan lebih mengutarnakan penyediaan anggaran bagi perluasan kesempatan kerja,
pemenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan, serta penyediaan subsidi
bahan kebutuhan pokok untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net).

Di lain pihak, terjadinya krisis juga menghambat upaya pengerahan sumber dana dari
dalam negeri. Menurunnya aktivitas dunia usaha, telah berdampak kepada sulitnya upaya
peningkatam pendapatan negara, terutama dari sektor pajak. Sementara itu, penerimaan dari
sektor rnigas dalam beberapa waktu terakhir sulit diharapkan untuk meningkat, mengingat
perkembangan harga minyak dunia yang cenderung melemah. Di biuang penerimaan negara
bukan pajak (PNBP), meskipun Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 telah diberlakukan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 37


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sehingga diharapkan pengelolaan jenis penerimaan ini dapat semakin tertib, namun merosotnya
perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap rendahnya kegiatan masyarakat yang
memerlukan jasa pemerintah serta menurunnya keuntungan yang diperoleh BUMN. Kondisi
tersebut semakin dipersulit, mengingat pelaksanaan privatisasi beberapa BUMN yang semula
diharapkan dapat memberikan sumbangan cukup besar terhadap penerimaan negara, sampai saat
ini belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Dalam upaya mencukupi kebutuhan meningkatnya anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan, penerimaan yang bersumber dari bantuan luar negeri, baik bantuan
program maupun bantuan proyek ditingkatkan. Bantuan tersebut diharapkan diperoleh dari
lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), dan Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank), serta Dari bantuan bilateral. Sasaran penerimaan
pembangunan dimaksudkan untuk dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan meningkatnya
anggaran belanja negara. Sebagai gambaran, perkembangan kebijakan fiskal dalam Repelita V
dan RepelitaVI dapat diikuti dalam Tabel 11.1.

2.2 Perkembangan Pelaksanaan APBN sampai dengan Tahun Anggaran 1998/1999


2.2.1 Kebijakan Pokok di Biuang APBN
Sejak awal pelaksanaan Repelita I sampai dengan akhir Repelita VI (1969/1970 -
1998/1999), kebijakan keuangan negara yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) senantiasa danasarkan kepada prinsip anggaran berimbang yang dinamis.
Prinsip anggaran berimbang mengisyaratkan bahwa jumlah seluruh belanja negara, senantiasa
disesuaikan dengan besarnya, pendapatan negara yang dapat dihimpun dalam tahun anggaran
bersangkutan. Seuangkan prinsip anggaran dinamis mengisyaratkan bahwa dalam hal
penerimaaan negara lebih rendah dari yang direncanakan semula, pemerintah baru
mengupayakan agar pengeluaran dapat disesuaikan, sehingga keseimbangan APBN tetap dapat
terjaga. Namun demikian, dalam hal penerimaan negara melampaui yang direncanakan, masih
memungkinkan dibentuknya dana cauangan yang pemanfaatannya dilaksanakan pada saat
penerimaan negara tidak cukup untuk mendukung pembiayaan program-program yang
direncanakan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 38


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 39


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 40


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sebagai pelaksanaan operasional tahun kelima Repelita VI, penyusunan APBN tahun
anggaran 1998/1999 juga tetap danasarkan kepada prinsip anggaran berimbang yang dinamis.
Namun dalam pelaksanaannya, APBN tahun anggaran 1998/1999 tidak terlepos dari berbagai
perkembangan yang terjadi di dalam dan di luar negeri, baik di biuang politik, ekonomi maupun
sosial. Dalam kaitan ini, terus memburuknya kondisi perekonomian nasional sejak pertengahan
tahun 1997 berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian nasional, sehingga memberikan
tekanan yang sangat berat terhadap pelaksanaan APBN tahun anggaran 1998/1999.

Berkaitan dengan hal tersebut pada bulan Juli 1998 telah dilakukan penyesuaian
kebijakan fiskal yang mendasar, yaitu dengan melakukan revisi atas APBN tahun anggaran
1998/1999, yang oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah disetujui dan selanjutnya disahkan
sebagai Unuang Unuang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor
3 Tahun 1998 tentang APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Kebijakan tersebut dimaksudkan
agar sasaran yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dapat dilaksanakan secara
wajar dan sejalan dengan perkembangan dan perubahan keadaan, serta dapat mendukung
program reformasi dan stabilisasi di biuang ekonomi. Selain itu, langkah kebijakan dimaksud
juga merupakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat di dalam dan di luar negeri
terhadap perekonomian nasional, sehingga upaya pemulihan kondisi perekonomian dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan .
Dengan adanya perubahan dimaksud, volume APBN tahun anggaran 1998/1999
berimbang pada tingkat Rp 263.888,1 miliar. Namun demikian apabila dikaji lebih mendalam,
dalam perubahan APBN tahun anggaran 1998/1999 tersebut tabungan pemerintah menjadi
negatif Rp 21.902,6 miliar.

Di sisi pendapatan negara, dengan adanya kecenderungan harga minyak mentah yang
melemah dalam tahun anggaran 1998/1999, sementara kondisi perekonomian nasional masih
mengalami krisis, maka optimalisasi penggalian terhadap berbagai pos penerimaan negara tetap
diupayakan. Di sektor migas, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam tahun
anggaran 1998/1999 diperkirakan lebih rendah Dari tahun sebelumnya. Hal ini terutama
disebabkan oleh adanya kecenderungan menurunnya harga minyak mentah di pasar
internasional sebagai akibat kelebihan produksi minyak dunia, dan turunnya permintaan sejalan
dengan krisis ekonomi dan keuangan yang dialami beberapa negara di kawasan Asia. Namun
demikian, dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang cukup tajam diharapkan penerimaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 41


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

migas dalam bentuk rupiah masih memberikan sumbangan yang cukup besar.

Di bidang perpajakan, faktor-faktor positif yang diperkirakan masih dapat mendukung


penerimaan pajak yang cukup berarti, antara lain adalah adanya pencabutan fasilitas perpajakan
dari beberapa sektor usaha, serta kenaikan nilai transaksi di biuang pertambangan, kenaikan
nilai rupiah dari transaksi impor, pemberlakuan Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta meningkatnya coverage ratio. Sementara itu,
kebijaksanaan tingkat suku bunga deposito dan SBI yang cukup tinggi, dengan maksud untuk
menarik minat masyarakat agar menyimpan dananya di sektor perbankan, sekaligus sebagai
upaya meredam spekulasi dalam perdagangan valuta asing, secara tidak langsung memberikan
dampak yang cukup menguntungkan bagi upaya mobilisasi penerimaan pajak penghasilan
(PPh). Namun demikian hat ini hanya bersifat semen tara, karena kebijaksanaan suku bunga
tinggi kurang menguntungkan bagi kegiatan dunia usaha, yang justru merupakan objek
pengenaan PPh.

Di bidang cukai, upaya peningkatan penerimaan tersebut dilakukan melalui penyesuaian


harga dasar cukai, pemberantasan peredaran pita cukai palsu, pencegahan terhadap pelanggaran
penjualan hasil tembakau di atas banderol, dan pengawasan penjualan hasil tembakau yang
mendapatkan pembebasan cukai. Di biuang pungutan (pajak) ekspor, upaya peningkatan sasaran
penerimaan antara lain dilaksanakan melalui perubahan tarif pajak ekspor atas minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Sementara itu, kecenderungan semakin
meningkatnya permintaan luar negeri dan membaiknya harga atas beberapa komoditi yang
terkena pajak ekspor, di antaranya CPO dan produk-produk turunannya, seperti Refined
Bleached Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Olein, dan Crude Olein, telah memberikan dampak
pada peningkatan penerimaan pajak ekspor.

Di bidang penerimaan negara bukan pajak, peningkatan sasaran penerimaan diupayakan


melalui peningkatan disiplin dalam pengelolaan PNBP sejalan dengan pemberlakuan Undang
undang Nornor 20 Tahun 1997 tentang Penerirnaan Negara Bukan Pajak. Sernentara itu,
rneskipun upaya peningkatan PNBP dari bagian pernerintah atas penjualan saharn (divestasi)
beberapa BUMN diperkirakan belurn dapat rnencapai sasaran, namun peningkatan penerirnaan
Dari keuntungan BUMN tetap diupayakan secara rnaksirnal.
Di bidang belanja negara, guna rneningkatkan efisiensi anggaran belanja negara, telah
dilakukan penjadwalan berbagai proyek dan kegiatan yang kurang rnendesak atau tidak rnenjadi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 42


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

prioritas, seraya rnelakukan realokasi dan tarnbahan anggaran untuk rnernperkuat jaring
pengarnan sosial (social safety net). Dalam upaya rnengurangi dampak sosial yang rnakin luas
dari krisis ekonorni dan rnoneter, anggaran bagi subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pangan
dan subsidi obat-obatan rnenjadi bertarnbah besar. Hal ini terutarna berkaitan dengan
rneningkatnya harga pangan sebagai akibat rnenurunnya produksi dan kekurangan posokan
karena kekeringan panjang pada rnusirn tanam tahun 1997, serta rneningkatnya harga obat
sebagai akibat dari rneningkatnya biaya irnpor obat jadi dan bahan baku obat karena depresiasi
rupiah.
Dalam upaya rneringankan beban anggaran negara, rnelalui perternuan Paris ( Paris
Club) telah diupayakan penangguhan (reschedulling) terhadap sebagian pernbayaran kewajiban
cicilan pokok pinjarnan luar negeri, terutarna pinjarnan bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Di
lain pihak, guna rnenutup defisit APBN yang cukup besar akibat tambahan beban pengeluaran
bagi berbagai jenis subsidi dan anggaran bagi prograrn jaring pengaman sosial, rnelalui
perternuan Consultative Group on Indonesia telah berhasil diupayakan untuk rnernperoleh
tarnbahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan (fast disbursing assistance/FDA).

Di sisi pengeluaran pernbangunan, anggaran belanja pernbangunan diharapkan dapat


berperan rnernpercepat upaya proses stabilisasi dan reforrnasi struktural, rnengingat dalarn rnasa
krisis rnoneter dan ekonorni dewasa ini sektor rnasyarakat dan dunia usaha (swasta) kurang
rnampu rnenjadi lokornotif kegiatan ekonorni. Berkaitan dengan itu, dilaksanakan penajarnan
prioritas alokasi dan peningkatkan efisiensi penggunaan anggaran belanja pernbangunan,
penundaan proyek-proyek dan kegiatan pernbangunan yang belurn rnendesak, serta penyediaan
tambahan anggaran untuk rneningkatkan peranan pengusaha kecil, rnenengah dan koperasi.
Dalam lingkup sektoral, prioritas alokasi anggaran belanja pernbangunan diberikan pada sektor-
sektor yang rnenunjang peningkatan penciptaan lapangan kerja dan kesernpatan berusaha,
pernenuhan kebutuhan pokok dan pengernbangan produksi pangan dalam rangka rneningkatkan
kegiatan ekonorni, pernenuhan kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan dalam
rangka rnernperkuat jaring pengaman sosial, serta operasi dan perneliharaan proyek prasarana
dan sarana dasar.

2.2.2 Penerimaan Dalam Negeri

Sejalan dengan perkernbangan ekonorni saat ini, peran penerirnaan dalam negeri bagi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 43


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

APBN rnenjadi rnakin penting baik dalarn rangka pernbiayaan kegiatan pernerintah rnaupun
dalam kaitannya dengan pelaksanaan kebijaksanaan fiskal. Oleh karena itu, penerirnaan dalarn
negeri yang terdiri dari penerirnaan rninyak bumi dan gas alarn (rnigas), penerirnaan
perpajakan, dan penerimaan bukan pajak senantiasa dikernbangkan dari waktu ke waktu.
Berkaitan dengan kurang menentunya perkembangan penerimaan migas yang sangat ditentukan
oleh berbagai faktor eksternal yang variatif dan sulit untuk diperkirakan, maka harapan
pengembangan penerimaan dalam negeri dititikberatkan pada penerimaan perpajakan.

Sehubungan dengan itu, ditempuh berbagai kebijaksanaan di biuang perpajakan yang


mulai diluncurkan sejak tahun 1984 melalui paket reformasi perpajakan 1984. Di tahun-tahun
selanjutnya, langkah reformasi tersebut senantiasa ditinjau dan disempumakan. Sasaran utama
Dari ditempuhnya kebijaksanaan perpajakan adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan
melalui penyempurnaan sistem pengelolaan perpajakan, baik yang menyangkut peraturan
perUndang-undangan, sistem administrasi, maupun sumber daya manusianya.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak yang meliputi laba BUMN dan berbagai
jenis penerimaan yang berasal dari departemen/lembaga pemerintah nondepartemen terus
diupayakan peningkatannya. Hal itu dilakukan melalui ditempuhnya berbagai kebijaksanaan
dengan harapan agar penerimaan ini dapat memberikan kontribusi yang makin besar bagi
penerimaan dalam negeri. Langkab-langkab yang ditempuh antara lain pemberlakuan Undang-
undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta upaya privatisasi BUMN.

2.2.2.1 Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam

Komoditas minyak bumidan gas alam, sampai dengan saat ini masih memegang peran
yang cukup penting, baik sebagai somber pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri maupun
sebagai somber penerimaan negara. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini sumbangannya
terhadap penerimaan negara tidak sebesar pada periode.sebelumnya, penerimaan dari minyak
bumi dan gas alam (migas) masih merupakan sumber penerimaan yang handal bagi penerimaan
negara.

Sejak awal Repelita VI sampai dengan tahun keempat Repelita VI (1994/1995-


1997/1998), kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara terus meningkat yaitu
dari 17,8 persen pada awal Repelita VI menjadi 26,8 persen pada tahun keempat Repelita VI.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 44


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Besarnya penerimaan minyak bumi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak mentah
Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) di pasar internasional, besarnya produksi minyak
yang disepakati dalam siuang OPEC, serta fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Memasuki awal PIP II, pada tahun anggaran 1994/1995, harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (ICP) mencapai US$ 14,75 per barel. Dalam perkembangan selanjutnya harga
tersebut cukup berfluktuasi. Harga rata-rata ICP tertinggi dalam tahun pertama Repelita VI
mencapai US$ 17,84 per barel pada bulan Februari 1995, seuang dalam tahun kedua, ketiga dan
keempat Repelita VI, masing-masing mencapai US$ 18,98 per barel pada bulan Januari 1996,
US$ 23,90 per barel pada bulan J anuari 1997, dan US$ 19,50 per barel pada bulan Oktober
1997. Berfluktuasinya harga rata-rata ICP ini disebabkan oleh pergerakan permintaan dan
penawaran minyak mentah di . pasar internasional. Perkembangan harga ekspor minyak mentah
Indonesia sejak awal Repelita I sampai dengan November 1998 dapat diikuti dalam Tabel 11.2.
Tingkat produksi minyak bumi dan kondensat di dalam Negeri selama empat tahun pelaksanaan
Repelita VI menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun anggaran
1994/1995, produksi minyak bumi dan kondensat mencapai 588,6 juta barel, dan terus
mengalarni penurunan hingga mencapai 571,2 juta barel dalam tahun keempat Repelita VI.
Turunnya produksi minyak mentah dan kondensat ini antara lain disebabkan oleh menurunnya
penandatanganan pembagian kontrak produksi CKPS) baru dan terbatasnya dana KPS, sehingga
target penyelidikan seismik (penyelidikan awal, sebelum dilakukan pengeboran eksplorasi) dan
pengeboran eksplorasi tidak tercapai. Di samping itu juga disebabkan oleh berkurangnya
penemuan lapangan baru yang ekonomis.
Sementara itu, seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, terutama
pada sektor-sektor industri, transportasi dan pembangkit tenaga listrik, kebutuhan bahan bakar
minyakpun terus meningkat. Untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan tersebut, maka harus
disediakan dari kilang dalam negeri, termasuk mengilang minyak bumi dalam negeri yang
seharusnya diekspor. Kondisi ini pada gilirannya akan mempengarnhi kemampuan ekspor
minyak bumi dan kondensat. Pada tahun anggaran 1996/1997, ekspor rninyak mentah dan
kondensat mencapai 288,2 juta barel, namun pada tahun anggaran 1997/1998 berkurang menjadi
272,9 juta barel.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 45


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel ll.2
BARGA EKSPOR MINY AK MENT AH INDONESIA, 1969 - 1998 1)
(dalam US$ per barel)
Taboo Barga Taboo Barga
(1) (2) (3) (4)
1969 April 1,67 1995 Januari 16,96
Februari 17,84
1970 April 1,67
Maret 17,79
1971 April 2,21 rjl 18,08
el18,23
1972 April 2,96
Juni 17,24
1973 April 3,73 Juli 16,02
1974 April 11,70 Agustus 16,22
September 16,31
1975 April 12,60
Oktober 16,05
1976 April 12,80 November 16,65
1977 April 13,55 Desember 18,02
1996 Januari 18,98
1978 April 13,55
Februari 18,56
1979 April 15,65 Maret 18,97
1980 April 29,50 rjl 19,21
el18,86
1981 April 35,00
Juni 19,05
1982 April 35,00 Juli 19,45
Agustus 19,33
1983 April 29,53
September 20,92
1984 April 29,53 Oktober 23,04
1985 April 28,53 November 22,47
Desember 22,78
1986 April 10,66
1997 Januari 23,90
1987 April 17,57 Februari 21,21
1988 April 17,56 Maret 19,37
1989 April 18,35
April 17,93
Mei 18,78
1990 April 17,23 Juni 17,86
1991 April 17,05 Juli 17,51
Agustus 18,00
1992 April 17,23
September 17,78
1993 April 18,80 Oktober 19,50
1994 Januari 14,70 November 19,19
Februari 14,91 Desember 17,24
Maret 14,18 1998 Januari 14,52
April 14,75 Februari 13,47
Mei 15,52 Maret 12,14
Juni 16,39 rjl 13,20
el12,91
Juli 17,48
Juni 12,09
Agustus 17,61 Juli 12,51
September 16,31 Agustus 12,06
Oktober 16,18 September 12,09
November 16,27 Oktober 12,94
Desember 16,11 November 11,82

1) SebelumApril1989 adalah hargaminyakjenis Minas (SLC),dan sejak April 1989


adalah haria raIa-raia minyak Indonesia (ICP).
2) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 46


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selain menghasilkan minyak bumi pengeboran eksplorasi juga menghasilkan gas alam
Pada tahun anggaran 1997/1998, produksi gas alam mencapai 3.130,5 miliar kaki kubik, atau
0,97 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya, yang mencapai 3.161,3 miliar kaki kubik.
Seuangkan pemanfaatan pada tahun anggaran 1997/1998, hanya mencapai 2.940,0 rniliar kaki
kubik atau 1,49 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Turunnya produksi dan
pemanfaatan gas alam ini sebagai akibat Dari berkurangnya perrnintaan pemakaian gas alam
untuk memenuhi kebutuhan LNG Bontang Train dan ekspansi train lainnya, serta
berkurangnya perrnintaan gas alam sebagai bahan baku industri dan pembangkit tenaga listrik.
Sementara itu, produksi liquid natural gas (LNG) dalam tahun anggaran 1997/1998
mengalarni peningkatan menjadi 1.401,2 juta MMBTU Dari 1.354,8 juta MMBTU pada tahun
sebelumnya. Peningkatan ini disebabkan oleh telah beroperasinya kilang Train F Bontang,
sementara train yang lainnya dapat beroperasi secara normal. Seuangkan ekspor LNG pada
tahun anggaran 1996/1997 mencapai 1.367,1 juta MMBTU dan pada tahun anggaran 1997/1998
meningkat menjadi 1.382,7 juta MMBTU. Peningkatan ekspor LNG ini antara lain disebabkan
oleh adanya tambahan kontrak jangka pendek ke Jepang, Korea dan Taiwan. Berbeda dengan
produksi LNG yang meningkat, produksi liquid petroleum gas (LPG) mengalami penurunan
Dari 3,1 juta ton pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi 2,7 juta ton pada tahun anggaran
1997/1998. Seuangkan ekspor LPG pada tahun anggaran 1996/1997 mencapai 2,6 juta ton, dan
pada tahun anggaran 1997/1998 menurun menjadi 2,1 juta ton. Menurunnya ekspor LPG ini
antara lain berkaitan dengan menurunnya permintaan LPG di luar negeri, sebagai akibat adanya
resesi ekonorni.
Melihat kepada perkembangan harga dan produksi rninyak mentah Indonesia di pasar
internasional serta produksi dan ekspor LNG dan LPG, maka dalam empat tahun pertama
pelaksanaan Repelita VI, penerimaan minyak bumi rata-rata tumbuh 36,64 persen per tahun,
seuangkan penerimaan gas alam mengalarni peningkatan rata-rata 40,67 persen per tahun.
Sementara itu, pada tahun anggaran 1998/1999, penerimaan minyak bumi dan gas alam
diperkirakan meningkat cukup tajam yaitu 40,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya.
Peningkatan ini lebih banyak disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi, yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.

2.2.2.2 Penerimaan Perpajakan


Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan pembiayaan pembangunan dan aktivitas

Departemen Keuangan Republik Indonesia 47


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pemerintahan, kebutuhan akan peningkatan penerimaan negara menjadi semakin mendesak.


Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi
dan intensifikasi pemungutan pajak. Dengan adanya program ekstensifikasi diharapkan
penerimaan pajak dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah wajib pajak dan
perluasan jenis objek pajaknya. Sementara itu, melalui program intensifikasi penerimaan pajak
yang dilakukan melalui peningkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, serta upaya
penegakan hukum, diharapkan penerimaan pajak akan meningkat lebih besar lagi. Dsamping itu,
juga telah dilakukan upaya penyempurnaan sistem administrasi perpajakan melalui
kebijaksanaan penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak tunggal yang berlaku sejak tanggal 1 Juni
1998. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan administrasi perpajakan semakin sempurna
terutama dalam rangka mendorong penerimaan pajak di masa yang akan datang.

Pada masa krisis yang telah berlansung dalam satu tahun terakhir ini, penerimaan
pajak tidak terlalu menggembirakan. Hal itu berkaitan dengan melemahnya pertumbuhan sektor
swasta dan dunia usaha, yang pada gilirannya berpengaruh pada menurunnya kontribusi sektor
tersebut pada penerimaan perpajakan. Dalam kondisi normal, penerimaan pajak berhubungan
erat dengan beberapa variabel makro, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, perkembangan
harga (inflasi), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sementara itu, khusus untuk
pajak penghasilan, peningkatan suku bunga deposito yang terjadi akhir-akhir ini, telah
berpengaruh positif kepada meningkatnya potensi penerimaan PPh. Namun di lain pihak
kemerosotan biuang ekonomi, telah memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi
hampir semua jenis pajak pada tahun anggaran 1998/1999.

2.2.2.2.1 Pajak Penghasilan (PPh)


Pemungutan pajak penghasilan danasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Dalam Undang-
undang tersebut, tarif pajak penghasilan ditetapkan 10 persen, 15 persen dan 30 persen masing-
masing untuk lapisan penghasilan kena pajak dari 0 sampai dengan Rp 25 juta, di atas Rp 25
juta sampai dengan Rp 50 juta dan lebih besar dari Rp 50 juta. Selain adanya perubahan tarif
pajak penghasilan, dalam Undang-undang Nomor 10 tersebut juga dilakukan penyesuaian
besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi sebesar Rp 1.728.000 untuk wajib pajak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 48


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

orang pribadi. Berbagai perubahan yang diikuti dengan penyempurnaan berbagai peraturan
lainnya tersebut dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk membayar pajak,
telah meningkatkan penerimaan pajak penghasilan dalam beberapa tahun terakhir.
Pencapaian sasaran penerimaan pajak penghasilan selain sangat ditentukan oleh kondisi
perekonomian juga ditentukan oleh intensitas upaya pemerintah untuk melakukan
pemungutannya. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi pemungutan pajak
penghasilan telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 110 Tahun 1997
tanggal 19 Juni 1997 yang mengatur tentang pelimpahan wewenang Direktur Jenderal Pajak
kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat persetujuan
pemusatan pajak penghasilan Pasal 21 sepanjang kantor pelayanan pajak terkait berada dalarn
satu wilayah kerja yang sama. Seuangkan untuk mendukung pelaksanaan peningkatan efisiensi
administrasi perpajakan yang berkenaan dengan transaksi impor, telah diterbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 450 Tahun 1997 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan
Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya.
Selanjutnya, sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan PPh telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996, tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, yang telah ditindak
lanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394 Tahun 1996
tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah
dan/atau Bangunan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah, rumah, apartemen, dan
sejenisnya, ditetapkan terutang pajak penghasilan yang bersifat final. Selain itu juga telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1996 tanggal 8 Juli 1996 tentang Pajak
Penghasilan Berupa Bunga atau Diskonto Obligasi yang dijual di Bursa Efek. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersebut, penghasilan berupa bunga diskonto yang berasal Dari obligasi
yang dijual di bursa efek dipotong pajak penghasilan yang bersifat final. Sementara itu, dalarn
rangka mendorong pemulihan kondisi perekonomian Indonesia, dipanuang perlu untuk
memberikan kemudahan perpajakan bagi sektor-sektor perbankan, perdagangan, industri, dan
jasa. Untuk itu, telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130 Tahun 1998
tanggal 27 Februari 1998 tentang Penghapusan Piutang tak Tertagih, di mana pengusaha kena
pajak dapat memberlakukan piutang yang tidak dapat ditagih sebagai biaya usaha sesuai biuang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 49


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

usaha Dari masing-masing wajib pajak yang bersangkutan.


Dalarn rangka memperlancar pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai
dengan dana pinjarnan luar negeri atau hibah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995
tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tarnbahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan Dalarn Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. Peraturan Pemerintah tersebut
mengatur tentang pemberian fasilitas PPh ditanggung pemerintah, yang diberikan kepada
karyawan asing yang bekerja pada kontraktor, konsultan, dan pemasok utama atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai
dengan hibah. Selain itu, fasilitas tersebut juga berlaku bagi penghasilan kontraktor, konsultan,
dan pemasok lapisan kedua yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah.
Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPh meningkat rata-
rata 14,9 persen per tahun. Seuangkan dalam tahun terakhir Repelita VI (1998/1999)
penerimaan PPh diperkirakan 9,2 persen lebih rendah dari perkiraan realisasi tahun anggaran
sebelumnya.

2.2.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM)
Penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPN dan PPnBM) berkaitan erat dengan kondisi ekonomi yang berlaku, seperti
produksi nasional (produk domestik bruto) dan pertumbuhannya, tingkat harga umum dan
perubahannya, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Faktor-faktor tersebut menentukan
penerimaan PPN dan PPnBM melalui pengaruhnya pada nilai transaksi penyerahan barang dan
jasa yang merupakan objek PPN dan PPnBM.
PPN dikenakan atas transaksi penyerahan barang dan jasa kena pajak dengan tarif 10
persen, seuangkan atas ekspor tarifnya 0 persen. Sementara itu, penyerahan barang yang
tergolong mewah merupakan objek PPnBM yang tarifnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1996 tanggal l9 Februari 1996. Peraturan Pemerintah tersebut
mengatur bahwa tarif PPnBM adalah 20 persen, 25 persen, dan 35 persen untuk objek kendaraan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 50


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bermotor sesuai dengan tingkat kemewahannya, sementara untuk objek bukan kendaraan
bermotor adalah 10 persen, 20 persen, dan 35 persen.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun
anggaran 1998/1999 telah dilaksanakan kebijaksanaan pengenaan PPN dan PPnBM atas mobil
nasional, pengenaan PPN dan PPnBM atas jasa sertifikasi, pencabutan pemberian fasilitas impor
atas barang modal dalam rangka usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta, pencabutan
fasilitas PPN atas impor kendaraan taksi, serta pengurangan jumlah barang kena pajak yang atas
penyerahannya diberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah.
Sementara itu, dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi dan penerimaan perpajakan
antara lain telah dilakukan kebijaksanaan tidak terutangnya PPN atas penyerahan buah kelapa
dan kemiri sampai dengan tahap pengeringan (dan kelapa sampai menjadi kopra). Selain itu juga
telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET),
yang mengatur tentang pemberian fasilitas kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di
dalam KAPET, berupa tidak dipungutnya PPN dan PPnBM atas transaksi penyerahan barang
kena pajak tertentu.
Untuk efektifnya upaya peningkatan PPN dan PPnBM, di samping kebijaksanaan
tersebut juga dilakukan upaya peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak,
konfirmasi faktur pajak, uji silang antara data PPN dengan data PPh, pemeriksaan sederhana
lapangan terhadap pengusaha yang tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak (PKP), serta PKP yang SPT masanya memenuhi kriteria
pemeriksaan sederhana lapangan. Kebijaksanaan tersebut danukung oleh pelaksanaan
pemeriksaan kantor, dengan meneliti SPT PPN dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk
mengetahui apakah wajib pajak yang bersangkutan masih memiliki kewajiban PPN.
Selanjutnya, kebijaksanaan lain yang mampu meningkatkan penerimaan adalah peningkatan
kerjasama dengan instansi-instansi terkait, dalam rangka melakukan pemeriksaan sederhana
lapangan/kantor, untuk menguji kepatuhan PKP.

Dalam perkembangannya, penerimaan PPN dan PPnBM senantiasa meningkat Dari


tahun ke tahun. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan PPN dan
PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata 14,0 persen per tahun. Dalam tahun anggaran
1998/1999, penerimaan PPN dan PPnBM direncanakan 18,1 persen lebih tinggi bila

Departemen Keuangan Republik Indonesia 51


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun anggaran 1997/1998. Dalam tahun tersebut peran
penerimaan PPN dan PPnBM terhadap penerimaan perpajakan adalah 39,7 persen.

2.2.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(PBB dan BPHTB)
Pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan pungutan yang dikenakan atas tanah dan
bangunan yang danirikan di atasnya. Hasil pungutan tersebut, 90 persen dikembalikan kepada
daerah setempat melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I 16,2 persen,
dan APBD tingkat II 64,8 persen. Seuangkan sisanya, 9 persen digunakan sebagai upah biaya
pungut. Sementara itu, bagian pemerintah pusat yang mencapai 10 persen, sejak tahun 1994
telah dialokasikan kembali kepada daerah dengan perincian 65 persen dibagikan secara merata
kepada Dati II, seuangkan 35 persen dialokasikan sebagai insentif kepada Dati II yang realisasi
penerimaan PBB tahun anggaran sebelumnya berhasil mencapai/melampaui rencana penerimaan
yang telah ditetapkan.

Peraturan yang mendasari pungutan PBB adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun


1994, tentang Perubahan alas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam mengembangkan jenis pajak langsung ini, tidak
semata-mata ditujukan untuk menghimpun penerimaan negara, namun juga diarahkan untuk
mencapai sasaran pemerataan, terutama untuk membantu kelompok masyarakat yang kurang
mampu. Untuk itu hingga tahun anggaran 1998/1999, ketentuan besarnya nilai jual obyek pajak
tidak kena pajak (NJOP- TKP) yaitu Rp 8.000.000 untuk setiap wajib pajak, masih tetap
dipertahankan. Dengan demikian, masyarakat yang memanfaatkan tanah dan bangunan yang
nilainya tidak lebih Dari Rp 8.000.000, dibebaskan dari kewajiban membayar PBB.

Sementara itu, berkaitan dengan upaya meningkatkan penerimaan jenis pajak ini, maka
program ekstensifikasi di biuang pemungutan PBB dilakukan dengan memperluas objek pajak,
yakni dengan dikenakannya pajak bumi dan bangunan atas tanah dan bangunan milik perguruan
tinggi swasta, serta rumah sakit swasta yang beroperasi secara komersial. Kebijaksanaan
tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796 Tahun 1993. Di samping
itu, bagi objek-objek pajak bumi dan bangunan yang mempunyai karakteristik khusus seperti
bandar udara, pelabuhan laut, lapangan golf, pabrik-pabrik, dan industri-industri dilakukan
penilaian secara kasus per kasus.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 52


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selanjutnya dalam rangka memperluas objek pajak yang berkaitan dengan perolehan
hak atas tanah dan bangunan, sejak 1 Juli 1998 diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea tersebut merupakan
jenis penerimaan pajak baru yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang
tersebut juga diatur bahwa tarifnya adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, yang
melebihi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) sebesar Rp 30 juta.
Dalam upaya melaksanakan program intensifikasi pemungutan pajak bumi dan
bangunan, telah dilakukan upaya penagihan tunggakan secara lebih aktif disertai peningkatan
pelayanan kepada wajib pajak, pemantapan sistem tempat pembayaran (Sistep), pengembangan
sistem manajemen informasi objek pajak (Sismiop), dan peningkatan jumlah serta kemampuan
aparat pajak. Selain itu upaya intensifikasi pemungutan pajak juga dilakukan dengan
meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak serta kerja sama dengan Pemerintah Daerah
tingkat II.
Realisasi penerimaan PBB dalam kurun waktu empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI menunjukkan pertumbuhan 17,2 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN
tahun anggaran 1998/1999 sasaran penerimaan PBB dan BPHTB dianggarkan 28,5 persen lebih
tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya.

2.2.2.2.4 Cukai
Kebijaksanaan pemungutan cukai tidak semata-mata dilaksanakan untuk mengisi kas
negara (fungsi budgeter) , tetapi juga bertujuan sebagai alat pengatur dalam rangka perlindungan
bagi masyarakat. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan
tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Berdasarkan
peraturan tersebut tarif maksimum cukai adalah 250 persen apabila harga dasarnya adalah harga
jual pabrik, atau 55 persen apabila harga dasarnya adalah harga jual eceran. Dengan demikian,
peranan tarif tersebut tidak saja berorientasi pada aspek penerimaan, melainkan
mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Seuangkan dasar
perhitungan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang kena cukai, tarif, dan
harga dasar, sehingga apabila di antara ketiga unsur tersebut ada yang berubah, maka jumlah
penerimaan cukai juga akan ikut terpengaruh..

Departemen Keuangan Republik Indonesia 53


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, dalam tahun anggaran
1998/1999 pemerintah telah melakukan perubahan harga jual eceran barang kena cukai. Di
samping itu, Pemerintah juga memberikan pembebasan cukai atas barang-barang untuk
keperluan tertentu, seperti untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pencegahan pencemaran
lingkungan, serta pengembalian cukai apabila barang tersebut diekspor.
Dalam rangka mengendalikan dan membatasi jumlah konsumsi produk hasil tembakau,
dalam tahun anggaran 1998/1999 telah diberlakukan ketentuan pemungutan cukai hasil
tembakau melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 1998 tentang Penetapan
Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang berlaku mulai 1 April 1998. Dalam
pelaksanaannya, keputusan tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai yang terakhir melalui Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55
Tahun 1998 tentang Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau yang berlaku mulai bulan
Oktober 1998. Seuangkan untuk hasil tembakau jenis sigaret putih mesin (SPM), diatur
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif
Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih Mesin. Dalam rangka penyesuaian terhadap
perkembangan industri hasil tembakau, telah dikeluarkan Keputusan Dirjen Bea dan Cukai
Nomor 55 Tahun 1998 tentang Perubahan Pasal 4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal 6
Ayat (1) dan Ayat (2) Keputusan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 tentang
Penetapan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, yang mulai berlaku sejak 1 Oktober 1998.
Berdasarkan surat keputusan tersebut, telah ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum untuk
jenis sigaret kretek yang dibuat dengan mesin (SKM), dibuat dengan tangan (SKT), rokok
kelobot (KLB), dan rokok kelembak menyan (KLM). Untukjenis rokok SKM yang dibuat di
dalam negeri digolongkan menjadi 4 golongan pabrik yaitu pabrik besar, menengah, menengah
kecil dan pabrik kecil. Untuk golongan pabrik besar dengan total produksi satu tahun takwim
lebih Dari 5 miliar batang ditetapkan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 225 per batang
dengan tacit 36 persen. Untuk pabrik menengah, dengan total produksi satu tahun takwim lebih
Dari 2,5 miliar sampai dengan 5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 175 per batang
tarifnya 28 persen. Kemudian pabrik menengah kecil, yaitu pabrik dengan total produksi satu
tahun takwim lebih Dari 1 miliar sampai dengan 2,5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp
150 per batang dengan tarif 24 persen, dan untuk pabrik kecil, yaitu pabrik dengan total
produksi satu tahun takwim sampai dengan 1 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp 110

Departemen Keuangan Republik Indonesia 54


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

per batang tarifnya 20 persen.


Selanjutnya untuk harga jual eceran (HJE) minimum jenis sigaret kretek yang dibuat
dengan tangan (SKT) dan jenis rokok kelobot (KLB) yang dibuat di dalam negeri digolongkan
menjadi 4 golongan pabrik yaitu pabrik besar, pabrik menengah, pabrik kecil, dan pabrik kecil
sekali. Untuk jenis SKT pada golongan pabrik besar, yaitu pabrik dengan produksi total satu
tahun takwim lebih Dari 5 miliar batang ditetapkan HJE miniml.m Rp 150 per batang tarifnya
16 persen. Untuk golongan pabrik menengah, yaitu pabrik dengan produksi total satu tahun
takwim lebih Dari 2,5 miliar sampai dengan 5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp l00
per batang dengan tarif 8 persen. Untuk golongan pabrik kecil, yaitu pabrik dengan produksi
total satu tahun takwim antara 0 sampai dengan 2,5 miliar batang ditetapkan HJE minimum Rp
75 per batang dengan tarif 2 persen, dan untuk pabrik kecil sekali, yaitu pabrik dengan produksi
total satu tahun takwim sampai dengan 15 juta batang, ditetapkan HJE minimum Rp 55 per
batang dengan tarif 2 persen. Seuangkan untuk jenis rokok kelobot (KLB) dan kelembak
menyan (KLM) dengan penggolongan sama denganj enis SKT demikian pula HJE-nya, tarifnya
masing-masing adalah 8 persen, 6 persen, 2 persen, dan 1 persen.
Selanjutnya, untuk cerutu tarif cukainya 10 persen, seuangkan untuk jenis tembakau
iris tarif cukainya bervariasi antara 1 sampai dengan 10 persen. Seuangkan untuk sigaret putih
yang dibuat dengan mesin (SPM) tarifnya antara 20 persen sampai dengan 38 persen yang
ditetapkan berdasarkan harga jual eceran. Sementara itu, hasil tembakau asal impor, untuk jenis
SPM dan SKM tarifnya 38 persen, untuk SKT tarifnya 16 persen, dan untuk cerutu, tembakau
iris, dan hasil tembakau lainnya masing-masing 10 persen.
Realisasi penerimaan cukai dalam kurun waktu empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, karena dalam setiap tahunnya,
mengalami peningkatan rata-rata 15,1 persen. Sementara itu, dalam APBN tahun anggaran
1998/1999 penerimaan cukai dianggarkan 61,3 persen lebih tinggi Dari perkiraan realisasi tahun
anggaran sebelumnya. Rincian perkembangan penerimaan cukai dapat diikuti pada Tabel 11.3.

2.2.2.2.5 Bea Masuk


Pungutan Bea Masuk dilakukan berdasar Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan yang berlaku penuh mulai 1 April 1997. Dengan adanya pungutan tersebut,
maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus

Departemen Keuangan Republik Indonesia 55


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang-barang yang diperlukan industri dalam
negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai
penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (fasilitator).
Besarnya penerimaan bea masuk dipengaruhi oleh tiga besaran, yaitu besarnya nilai
devisa bayar (dutiable import), tarif bea masuk, dan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
sehingga apabila salah satu komponen yang mempengaruhi penerimaan bea masuk tersebut
berubah, jumlah penerimaannya akan berubah juga.
Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan bea masuk
mengalami penurunan rata-rata 8,5 persen per taboo. Kecenderungan menurunnya penerimaan
bea masuk ini disebabkan oleh makin menurunnya tarif bea masuk sebagaimana tercantum
dalam Paket Deregulasi Mei 1995 dan Faket Deregulasi Januari 1996. Kebijaksanaan ini
kemudian disusul dengan adanya deregulasi yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 378 Tahun 1996 tentang Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk pada bulan Juni 1996 yang
antara lain berupa penurunan tarif bea masuk secara terjadwal sampai dengan tahun 2003. Di
samping itu, juga adanya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara
ASEAN dalam rangka Common Effective Preferential Tariff/or Asean Free Trade Area (CEPT
for AFTA), dilanjutkan dengan kebijaksanaan penurunan tarif bea masuk atas 1.600 pos tarif
pada bulan Juli 1997 dan 153 pos tarif pada bulan September 1997. Selanjutnya, untuk
mengoptimalkan penerimaan bea masuk, berbagai upaya terus dilakukan diantaranya penerapan
sistem self assessment, yaitu menghitung dan membayar sendiri bea masuk yang terutang
dengan tetap memperhatikan ketentuan larangan dan pembatasan impor. Dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tersebut dalam APBN 1998/1999 penerimaan bea masuk dianggarkan 83,8 persen
lebih tinggi dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 56


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel II.3
PENERIMAAN CUKAI, 1989/1990 - 1998/1999 I)
(dalam miliar rupiah)

Cukai Cukai
Tahun % % Cukai A%
tembakau lainnya
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
REPELIT A V
1989/1990 1.398,1 94,3 84,1 5,7 1.482,2
1990/1991 1.713,8 95,2 86,0 4,8 1.799,8 21,4
1991/1992 1.703,3 88,9 211,7 11,1 1.915,0 6,4
1992/1993 2.116,4 94,4 125,2 5,6 2.241,6 17,1
1993/1994 2.470,4 94,1 155,4 5,9 2.625,8 17,1
REPELITA VI
1994/1995 2.647,5 84,0 505,8 16,0 3.153,3 20,1
1995/1996 3.451,2 96,1 141,5 3,9 3.592,7 13,9
1996/1997 4.060,5 95,3 202,3 4,7 4.262,8 18,7
2)
1997/1998 4.610,7 95,9 196,4 4,1 4.807,2 12,8

1998/1999 3) 7.290,5 94,0 465,4 6,0 7.755,9 61,3

I) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 57


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.2.2.2.6 Pajak Lainnya

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 tanggal l Mei 1995 tentang
Perubahan Tarif Bea Meterai diatur bahwa bea meterai Rp 2.000 dikenakan atas surat
perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang bersifat perdata, akte
notaris dan salinannya, serta akte pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan rangkapnya. Selain itu
bea meterai Rp 2.000 juga dikenakan atas dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya
lebih Dari Rp 1.000.000. Seuangkan apabila nilai nominalnya antara Rp 250.000 sampai dengan
Rp 1.000.000, serta cek dan bilyet giro, bea meterai yang dikenakan adalah Rp 1.000. Sementara
itu, untuk dokumen dan surat lainnya yang nilai nominalnya kurang Dari Rp 250.000 tidak
terutang bea meterai.

Sampai dengan tahun anggaran 1996/1997, penerimaan pajak lainnya bersumber dari
bea lelang dan bea meterai, namun demikian sejak tahun anggaran 1997/1998 hanya bersumber
Dari bea meterai, karena bea lelang dimasukkan ke dalam penerimaan bukan pajak. Dalam
empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak lainnya mengalami
pertumbuhan rata-rata 20,6 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1998/1999 penerimaan
pajak lainnya diperkirakan men gal ami kenaikan 1,9 persen dari perkiraan realisasi tahun
anggaran sebelumnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah
pencegahan beredamya meterai palsu dengan cara meningkatkan kualitas meterai, dan
peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, serta pencetakan
tanda tunas bea meterai.
2.2.2.2.7 Pajak Ekspor

Pengaturan tarif pajak ekspor atas beberapa komoditi tertentu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan
Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor Atas Beberapa Komoditi Tertentu.
Besarnya tarif rata-rata ditetapkan sebesar 30 persen, seuangkan untuk produk kelapa sawit dan
turunannya, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334 Tahun 1998
tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Sawit, Minyak Kelapa,
dan Produk Turunannya ditetapkan antara 15 persen sampai dengan 60 persen yang dihitung
Dari besarnya harga patokan ekspor, dan nilai tukar valuta asing. Kebijaksanaan yang ditempuh
dalam pungutan atas ekspor produk kelapa sawit tersebut bertujuan untuk mengendalikan harga
jual minyak goreng di dalam negeri, agar tidak terjadi peningkatan harga yang terlalu besar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 58


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, penerimaan pajak ekspor
mengalami penurunan rata-rata 1,3 persen per tahun. Sementara itu dalam APBN tahun
anggaran 1998/1999 penerimaan pajak ekspor dianggarkan 651,8 persen lebih tinggi dari
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Perkembangan penerimaan perpajakan
selengkapnya dapat diikuti pada Tabel 11.4.

Tabel 11.4

PENERIMAAN PERPAJAKAN, 1989/1990 - 1998/19991)

(dalam miliar rupiah)

Pajak
Pajak Bea Pajak Pajak Bumi 2) Pajak
Tahun Pertambahan Cukai Jumlah
Penghasilan Nilai Masuk Ekspor dan Bangunan Lainnya 3)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

REPELITA V
1989/1990 5.754,8 5.986, I 1.892,2 1.482,2 173,3 604,4 191, I 16.084, I
1990/1991 8.250,0 8.119,2 2.799,8 1.799,8 39,8 785,8 216,5 22.010,9
1991/1992 9.727,0 9.145,9 2.871,1 1.915,0 17, I 944,4 298,8 24.919,3
1992/1993 12.516,3 10.742,3 3.223,3 2.241,6 8,8 1.l06,8 252,4 30.091,5
1993/1994 14.758,9 13.943,5 3.555,3 2.625,8 13,7 1.484,5 283,4 36.665, I

REPELITA VI
1994/1995 18.764,1 16.544,8 3.900,1 3.153,3 130,6 1.647,3 301,9 44.442, I
1995/1996 21.012,0 18.519,4 3.029,4 3.592,7 186,1 1.893,9 452,8 48.686,3
1996/1997 27.062, I 20.351,2 2.578,9 4.262,8 '81,0 2.413,2 590,7 57.339,9
1997/19984) 28.458,2 24.50 1,0 2.989,5 4.807,2 125,4 2.655,0 530,0 64.066,3

1998/19995) 25.846,2 28.940,0 5,494,9 7.755,9 942,8 3.411,0 540,0 72.930,8

l) Realisasi PAN
2) Sejak tahun 1998/1999 termasuk BPHTB
3) Terdiri Dari penerimaan rea meterai dan rea lelang, sejak tahun 1997/1998 hanxa bea meterai
4) APBN Perubahan (APBN-P)
5) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 59


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.2.2.3 Penerimaan Negara Bukan Pajak

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan


Negara Bukan Pajak, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah terus
melakukan inventarisasi, penertiban, dan penetapan jenis-jenis pungutan yang dikategorikan
sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di samping im, telah pula dilakukan
penyempurnaan berbagai peraturan yang berkaitan dengan penggunaan PNBP yang diselaraskan
dengan mekanisme APBN. Dengan upaya tersebut, PNBP diharapkan semakin mampu
memberikan sumbangan yang lebih besar dalam pembiayaan pembangunan. Upaya peningkatan
PNBP yang berasal dari penerimaan departemen lembaga pemerintah non departemen ditempuh
melalui penyempurnaan administrasi, intensifikasi pemungutan serta peningkatan pengawasan
di dalam pelaksanaannya. Seuangkan PNBP yang berasal dari bagian pemerintah atas laba
BUMN, terus dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas
BUMN.
Tinggi rendahnya penerimaan negara bukan pajak sangat dipengarnhi oleh
perkembangan kondisi perekonomian nasional, serta upaya-upaya untuk peningkatannya. Data
historis menunjukkan bahwa realisasi penerimaan negara bukan pajak senantiasa mengalami
peningkatan yang cukup besar. Dalam tiga tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi
penerimaan negara bukan pajak meningkat rata-rata 25,6 persen per tahun. Seuangkan dalam
tahun anggaran 1997/1998 realisasi penerimaannya mengalami penurunan 13,7 persen
dibandingkan dengan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Menurunnya realisasi PNBP
tersebut antara lain disebabkan menurunnya penerimaan jasa lembaga keuangan jasa giro),
pendapatan biaya pengurusan piutang negara, penerimaan jasa kantor catatan sipil, bea konsuler,
dan penerimaan luran lelang. Di samping itu penurunan tersebut juga tidak terlepas dari
pengaruh gejolak moneter yang dimulai sejak bulan Juli 1997. Namun demikian jika
dibandingkan dengan APBN-nya, realisasi PNBP tersebut mengalami peningkatan 6,5 persen.
Hal ini disebabkan oleh lebih tingginya penerimaan departemen lembaga negara non
departemen dari yang direncanakan, karena adanya penyesuaian tarif pungutan, dan peningkatan
pengawasan dalam hal penyetorannya ke kas negara. Seuangkan dalam APBN 1998/1999
penerimaan negara bukan pajak direncanakan meningkat 204,3 persen Dari perkiraan realisasi
tahun anggaran sebelumnya berkenaan dengan adanya rencana privatisasi beberapa BUMN.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 60


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997, peranan


penerimaan negara bukan pajak terhadap penerimaan dalam negeri dalam tahun pertama
Repelita VI (1994/1995) baru mencapai sebesar 9,7 persen. Dengan diberlakukannya Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1997 secara bertahap, maka peranan PNBP diharapkan akan lebih
mampu memberikan sumbangan yang lebih besar dalam mendukung pembiayaan pembangunan
di masa-masa yang akan datang. Selanjutnya penerimaan dalam negeri yang meliputi
penerimaan minyak bumi dan gas alam, penerimaan perpajakan, dan penerimaan bukan pajak
dapat dilihat pada Tabel 11.5 dan Grafik 11.1.

2.2.3 Penerimaan Pembangunan


Penerimaan pembangunan merupakan nilai lawan rupiah dari pinjaman luar negeri yang
diterima dan kemudian digunakan untuk melengkapi pembiayaan pengeluaran dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Penerimaan pembangunan terdiri dari bantuan program
dan bantuan proyek. Bantuan program dapat berupa nilai lawan bantuan luar negeri dalam
bentuk barang-barang dan devisa kredit untuk impor yang dapat menghasilkan dana rupiah
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, sebagaimana pemah diterima sebelum tahun
1988. Setelah tahun ini bantuan program juga dapat berupa bantuan program yang segera dapat
dirupiahkan (fast disbursing assistance) sebagaimana yang diterima dalam tahun anggaran
1998/1999 baik yang berasal dari lembaga multilateral maupun bilateral. Seuangkan bantuan
proyek merupakan bantuan atau pinjaman yang pada umumnya terikat dengan proyek-proyek
tertentu. Bantuan ini pada umumnya berupa mesin-mesin dan barang-barang modal yang berasal
dari bantuan kredit loaf negeri, termasuk pula bantuan teknis dalam rangka alih teknologi serta
bantuan tenaga ahli dari luar negeri. Bantuan teknis tersebut dapat dimanfaatkan pula untuk
pengiriman tenaga-tenaga Indonesia ke luar negeri guna danidik dalam biuang pengetahuan dan
keterampilan tertentu, seminar, studi perbandingan dan lain sebagainya. Sementara itu, apabila
dilihat dari sumbenya, maka penerimaan pembangunan ini dapat berupa bantuan bilateral
maupun bantuan multilateral yang berasal dari negara-negara dan badan-badan internasional
bark yang tergabung dalam CGI maupun non-CGI, serta bantuan lainnya seperti fasilitas kredit
ekspor (FKE), dan pinjaman komersil yang di antaranya berupa obligasi dan leasing.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 61


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel II.5

PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1989/1990 - 1998/19991)


(dalam miliar rupiah)
Penerimaan Penerimaan
Penerimaan Penerimaan
Tabon minyak bomi % % bokan % %
dan gas alam perpajakan pajak dalam Negeri
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

REPELITA V

.
1989/1990 13.381,3 42,5 16.084,1 51,0 2.038,8 6,5 31.504,2
1990/1991 17.740,0 42,0 22.010,9 52,2 2.442,1 5,8 42.193,0 33,9
1991/1992 15.069,6 35,4 24.919,3 58,5 2.593,1 6,1 42.582,0 0,9
1992/1993 15.330,8 31,4 30.091,5 61,6 3.440,3 7,0 48.862,6 14,7
1993/1994 12.503,4 22,3 36.665,1 65,3 6.944,62) 12,4 56.113,1 14,8

REPELITA VI
1994/1995 13.537,4 20,4 44.442,1 66,9 8.438,52) 12,7 66.418,0 18,4
1995/1996 16.054,7 22,0 48.686,3 66,7 8.272,92) 11,3 73.013,9 9,9
1996/1997 20.137,1 23,0 57.339,9 65,4 10.153,3 11,6 87.630,3 20,0
1997/19983) 35.357,0 32,7 64.066,3 59,2 8.760,52) 8,1 108.183,8 23,5

1998/1999 4) 49.711,4 33,3 72.930,8 48,8 26.660,32) 17,9 149.302,5 38,0

1) Realisasi PAN
2) Termasuk LBM
3) APBN Perubahan (APBN-P)
4) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 62


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 63


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Kebijaksanaan penerimaan pembangunan berpedoman kepada kebijaksanaan umum


yang digariskan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN), yaitu pinjaman luar negeri
diupayakan memiliki persyaratan selunak mungkin, tidak disertai dengan ikatan politik,
disesuaikan dengan batas kemampuan untuk membayar kembali, dan tidak memberatkan
perekonomian. Adapun di dalam pelaksanaannya pengelolaan dana. yang bersumber dari luar
negeri tersebut, mulai dari perencanaan hingga pemantauannya berpedoman pada Keputusan
Bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas Nomor 185/KMK.O3/1995 dan Nomor Kep.O31/Ket/5/1995 tentang
Tata Cara Perencanaan, PelaksanaanIPenatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar
Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN.
Realisasi penerimaan pembangunan dalam tahun terakhir Repelita V, yang sekaligus
merupakan tahap terakhir PIP I, mencapai Rp 10.752,5 miliar dan membiayai sekitar 38 persen
dari pembiayaan pembangunan. Selanjutnya sejalan dengan meningkatnya kemampuan
pengerahan dana dalam negeri, dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi
penerimaan pembangunan masing-masing membiayai sekitar 32 persen dan 31 persen dari
pembiayaan pembangunan. Seuangkan dalam tahun anggaran 1996/1997 realisasi penerimaan
pembangunan membiayai sekitar 33 persen pembiayaan pembangunan. Sementara itu, dalam
tahun anggaran 1997/1998 realisasi penerimaan pembangunan diperkirakan membiayai sekitar
51 persen pembiayaan pembangunan. Peningkatan yang cukup tajam tersebut terutama
dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Penerimaan pembangunan
dalam tahun terakhir Repelita V hingga tahun 1997/1998 ini seluruhnya berupa bantuan proyek.
Selanjutnya penerimaan pembangunan dalam tahun anggaran 1998/1999 yang merupakan tahun
terakhir Repelita VI dianggarkan Rp 114.585,6 miliar, terdiri dari bantuan program Rp 74.044,7
miliar dan bantuan proyek Rp 40.540,9 miliar. Bantuan program yang segera dapat dirupiahkan
ini di antaranya berasal Dari IBRD berupa bantuan untuk menunjang penyempumaan berbagai
kebijaksanaan (Policy Reform Support Loan l) dan dari ADB berupa bantuan program
pembangunan pengelolaan sektor keuangan pemerintah (Financial Governance Reform Sector
Development Program) dan bantuan untuk mendukung pembangunan sektor perlindungan sosial
(Social Protection Sector Development Program). Rincian perkembangan penerimaan
pembangunan sejak tahun anggaran 1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999 dapat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 64


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dilihat pada Tabel 11.6.

2.2.4 Pengeluaran Rutin


Kebijakan pengeluaran rutin danasarkan pada prinsip efisiensi dalam pengelolaan dan
pengendalian, serta optimalisasi pengalokasian anggaran belanja negara dan selaras dengan
kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kegiatan operasional pemerintah. Hal itu dimaksudkan
agar pelaksanaan alokasi anggaran belanja rutin tetap mengacu pada sasaran pokoknya, yaitu
penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan
secara optimal. Pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa
diselaraskan dengan kemampuan penerimaan dalam negeri dengan tetap mengupayakan
peningkatan efisiensi dan efektivitas, serta peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Untuk itu, langkah-Iangkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang selama ini
dijalankan tetap dipertahankan, tanpa mengorbankan efektivitas pelaksanaan administrasi dan
roda pemerintahan. Selanjutnya terus dilakukan berbagai upaya penyempurnaan pengelolaan
pengeluaran rutin yang meliputi peningkatan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah,
pengendalian dan pemanfaatan biaya operasional dan pemeliharaan, serta pengurangan secara
bertahap berbagai macam subsidi yang dipanuang dari segi prioritas pembangunan tidak
diperlukan lagi. Namun demikian sejalan dengan perkembangan organisasi, tugas dan fungsi
pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan,
pengeluaran rutin dalam APBN senantiasa mengalami peningkatan.
Dalam Repelita VI, pengeluaran rutin yang terus meningkat, erat kaitannya dengan
semakin besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan bagi belanja pegawai pusat dan
daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar
negeri, serta kebutuhan dana subsidi dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian nasional.
Sejak tahun anggaran 1994/1995 - 1997/1998 pengeluaran rutin mengalami peningkatan rata-
rata 24,3 persen per tahun. Sementara itu, dalam tahun terakhir Repelita VI (1998/1999),
anggaran belanja rutin meningkat 102,4 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan
yang cukup tinggi dalam APBN 1998/1999 berkaitan dengan merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika dan perkiraan laju inflasi yang tinggi,
sehingga diperlukan penyediaan anggaran rutin yang cukup besar bagi berbagai pos
pembiayaan, seperti pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, subsidi BBM, subsidi
pangan, serta berbagai pos pembiayaan baru untuk memperkuat program jaring pengaman sosial

Departemen Keuangan Republik Indonesia 65


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(social safety net). Perkembangan anggaran belanja rutin secara rinci sejak tahun anggaran
1989/1990 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.7 dan Grafik
11.2.

Tabel 11.6
PENERIMAAN PEMBANGUNAN, 1989/1990 - 1998/1999
(dalam miliar rupiah)
Tahun Bantuan % Bantuan % Penerimaan %
program proyek Pembangunan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

REPELITA V

1989/1990 965,8 11,6 7.364,5 88,4 8.330,3


1990/1991 1.346,7 16,1 7.034,8 83,9 8.381,5 0,6
1991/1992 1.385,5 13,9 8.589,6 86,1 9.975,1 19,0
199211993 516,5 4,7 10.581,4 95,3 11.097,9 11,3
1993/1994 - - 10.752,5 100,0 10.752,5 - 3,1
REPELIT A VI
1994/1995 - - 9.837,8 100,0 9.837,8 -8,5
1995/1996 - - 9.008,8 100,0 9.008,8 -8,4
1996/1997 - - 11.900,1 100,0 11.900,1 32,1
1997/19982) - - 23.817,0 100,0 23.817,0 100,1

1998/1999 3) 74.044,7 64,6 40.540,9 35,4 114.585,6 381,1

I) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 66


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.7

PENGELUARAN RUTIN, 1989/1990 -1998/1999 I)

(dalam miliar rupiah)


Repelita V Repelita VI

JeDis Pemblayaan 1989/1990 1991111991 1991/1992 1991/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 199611997 1997/19982) 1998/19993)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

I.BeIanJa pegawai 6.205,5 7.088,0 8.169,7 9.554,2 11.144,8 12.595,5 13.001,4 14.455,2 19.175,1 24.781,4

I. Gajilpensiun 4.829,1 5.597,7 6.351,5 7.595,4 9.145,2 10.181,2 11.047,9 13.004,5 15.236,4 19.120,0
2. Tunjangan beras 588,8 642,9 930,0 890,9 833,9 973,2 733,5 767,7 916,0 1.872,4
3. Uang makanllauk pauk 373,3 383,6 396,5 479,2 492,8 755,6 560,1 100,7 1.199,2 1.484,4
4. Lain-lain belanja pegawai DN 242,8 264,9 280,9 315,0 417,7 368,3 369,8 479,5 792,4 1.154,6
5. Belanja pegawai LN 171,5 198,9 210,8 273,7 255,2 317,2 290,1 102,8 1.031,1 1.150,0
ll. BelanJa barang 1.703,5 1.842,t 2.328,1 2.928,5 3.032,1 4.318,9 5.175,1 8.108,5 9.031,9 11.425,1
I. Belanja barang DN 1.570,8 1.680,7 2.175,8 2.731,2 2.847,5 4.101,4 4.875,5 7.824,5 8.274,5 10.059,7
132,7 161,4 152,3 197,3 184,6 217,5 299,6 284,0 757,4 1.365,4
2. Belanja barang LN
,
Ill. Subsidi daerah otonom 3.577,3 3.887,5 4.376,4 5.383,5 6.9Os,7 .7.272,4 8.226,6 9.357,5 9.872,2 13.289,7
I. Belanja pegawai 3.348,3 3.635,0 4.091,8 4.996,4 6.574,8 6.918,9 7.807,2 8.873,8 9.346,6 12.606,5
2. Belanja nonpegawai 229,0 252,5 284,6 387,1 333,9 353,5 419,4 483,7 525,6 683,2
IV. Bunga dan ddlan hutang 11.924,2 12.815,8 12.838,2 14.523,5 17.163,0 18.402,5 22.108,6 27.491,2 29.697,0 66.236,4
I. Hutang dalam negeri 148,6 238,7 240,2 275,0 120,7 104,1 1.619,6 4.589,2 1.639,7 1.940,1
2. Hutang luar negeri 11.775,6 12.577,1 12.598,0 14.248,5 17.042,3 18.298,4 20.489,0 22.902,0 28.057,3 64.296,3
V. Pengeluaran rutin lainnya 924,7 3.487,7 1.340,6 1.215,7 2.041,3 1.479,7 1.923,3 3.148,7 16.830,0 55.472,5
1. Subsidi BBM 707,3 3.305,7 929,9 691,8 1.279,9 686,8 - 1.416,1 15.866,1 27.534,0
2. Subsidi nonBBM - - - - - - - - - 25.193,3
3. Lain-lain mumi 217,4 182,0 410,7 523,9 761,4 792,9 1.923,3 1.732,6 963,9 2.745,2
Jumlah 24.335,2 29.121,1 29.053,0 33.605,4 40.289,9 44.069,0 50.435,0 62.561,1 84.606,2 171.205,1
1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 67


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 68


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.2.4.1 Belanja Pegawai


Salah satu alokasi pengeluaran rutin yang cukup besar digunakan untuk belanja
pegawai, terutama berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil,
anggota ABRI dan para pensiunan. Namun demikian, sesuai dengan arah kebijakan pengeluaran
rutin, dukungan pembiayaan tersebut tetap danasarkan kepada kemampuan keuangan negara dan
ditekankan pada upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas secara lebih optimal. Upaya
peningkatan efisiensi dilaksanakan antara lain melalui perampingan organisasi dan penerapan
kebijakan tanpa pertumbuhan (zero growth). Upaya perampingan organisasi antara lain
dilakukan melalui penataan kembali struktur organisasi agar lebih proporsional, dan sesuai
dengan misi dan tugas pokok yang diemban masing-masing departemen/lembaga pemerintah
nondepartemen (LPND). Seuangkan kebijakan zero growth merupakan kebijakan pengendalian
jumlah pegawai negeri dengan mengupayakan agar secara keseluruhan jumlah pegawai tidak
bertambah.
Penerapan kebijakan zero growth yang diikuti dengan penetapan persyaratan kualifikasi
sesuai dengan kebutuhan, diharapkan dapat memperlancar proses realokasi, optimalisasi dan
upaya peningkatan kualitas pegawai, sehingga tercipta komposisi pegawai yang sehat bagi
pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Selain itu, penerapan kebijakan tersebut
juga selaras dengan upaya penciptaan organisasi/birokrasi pemerintahan yang bersih dan
transparan, serta mampu menjalankan roda pemerintahan secara efisien dan efektif, dan
memberi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan diterapkannya berbagai
kebijakan tersebut selain diharapkan dapat menghemat anggaran belanja negara, sekaligus juga
untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan aparatur pemerintah di masa yang akan
datang.
Upaya peningkatan kesejahteraan pegawai, tidak hanya dilakukan melalui kebijakan
kenaikan gaji, tetapi juga dilakukan melalui penyempumaan pada aspek ketatalaksanaan yang
dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Dengan demikian, kebijakan
peningkatan kesejahteraan pegawai tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga aspek
nonfinansial. Peningkatan kesejahtefaan secara finansial dilakukan secara bertahap dalam
bentuk peningkatan penghasilan, antara lain berupa perbaikan struktur gaji pokok, pemberian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 69


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

gaji bulan ketiga belas, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), penyesuaian
tunjangan jabatan struktural dan tunjangan isteri/suami, serta perluasan pemberian tunjangan
fungsional dan tunjangan daerah terpencil. Seuangkan peningkatan kesejahteraan secara
nonfinansial dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan dan fasilitas yang secara langsung
berkaitan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan, seperti peningkatan pelayanan pemberian
pensiun otomatis, kenaikan pangkat otomatis pada pegawai tertentu, bantuan pemeliharaan
kesehatan melalui asuransi kesehatan, peningkatan penyelenggaraan pembayaran gaji melalui
bank atau kantor pos terdekat, serta bantuan uang muka perumahan melalui tabungan
perumahan.
Perbaikan struktur gaji pokok pegawai telah dilakukan beberapa kali, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1997, yang berlaku sejak 1 April 1997. Kenaikan gaji
pokok memberi arti yang luas bagi penghasilan yang diterima pegawai negeri, mengingat
besarnya tunjangan dan uang pensiun dihitung berdasarkan persentase tertentu dari gaji pokok.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan penghasilan pegawai telah pula beberapa kali dilakukan
penyesuaian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP), yang terakhir sejak 1 April 1998 diberikan
TPP 15 persen Dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga. Selain kebijakan perbaikan
struktur gaji pokok Dari TPP, telah pula dilakukan penyesuaian terhadap tunjangan isteri/suami,
yaitu Dari 5 persen Dari gaji pokok menjadi 10 persen terhitung sejak April 1992.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, telah


dikembangkan jabatan fungsional, sehingga memungkinkan pegawai mengembangkan
potensinya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki, serta tidak terhambat oleh
terbatasnya jabatan struktural yang tersedia. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, diharapkan mutu profesionalisme
pegawai negeri sipil dapat dipacu melalui pembinaan karier ymg berorientasi pada prestasi
kerja. Di masa-masa mendatang, jabatan fungsional akan terus dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.

Sejalan dengan perkembangan kegiatan pemerintah, dalam Repelita VI anggaran


belanja pegawai pusat juga senantiasa mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama
pelaksanaan Rcpelita VI (1994/1995-1997/1993), realisasi belanja pegawai pusat per tahun
mengalami peningkatan rata-rata 15,0 persen. Sementara itu, dalam tahun terakhir Repelita VI
(1998/1999), anggaran belanja pegawai pusat direncanakan meningkat 29,2 persen dari

Departemen Keuangan Republik Indonesia 70


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Sebagian besar pembiayaan untuk belanja
pegawai pusat tersebut dipergunakan untuk pembayaran gaji dan pensiun, sehingga realisasi
anggaran untuk gaji dan pensiun, juga mengalami peningkatan yang cukup berarti setiap
tahunnya. Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembayaran gaji dan
pensiun mengalami peningkatan rata-rata 14,4 persen setiap tahunnya. Sementara itu, dalam
APBN tahun anggaran 1998/1999 pembayaran gaji dan pensiun dianggarkan meningkat 25,5
persen dart tahun anggaran sebelumnya.

Perkembangan belanja pegawai dalam Repelita VI juga dipengaruhi oleh peningkatan


pembiayaan untuk tunjangan beras, uang makan lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam
negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Peningkatan tunjangan beras terutama terjadi karena
meningkatnya harga pembelian beras oleh pemerintah melalui Bulog sesuai dengan tingkat
perkembangan harga pasar. Apabila dalam tahun pertama Repelita VI, harga pembelian beras
adalah Rp 708 per kilogram, maka dalam tahun anggaran 1997/1998 harga pembelian beras
telah meningkat menjadi Rp 988 per kilogram. Penyesuaian harga pembelian beras juga
dilakukan dalam APBN 1998/1999, yaitu Rp 1.924 per kilogram yang berarti mengalami
peningkatan rata-rata 28,4 persen per tabun. Sementara itu, pembiayaan uang makan lauk pauk
juga mengalami peningkatan, selain disebabkan oleh adanya penyesuaian satua.an biaya makan
lauk pauk bagi anggota ABRI, juga disebabkan oleh adanya tambahan biaya uang makan bagi
pelaut, petugas penjaga lampu soar, posein rumah sakit pemerintah, anak asuh dan orang jompo
pada panti-panti asuhan negara, serta para narapidana. Penyesuaian satuan biaya makan lauk
pauk telah diberikan melalui peningkatan satuan biaya makann lauk pauk untuk anggota ABRI,
yaitu dari Rp 3.000 per orang per hari dalam tahun anggaran 1994/1995 menjadi Rp 7.500 per
orang per hari sejak Juli 1998. Sementara itu, peningkatan biaya lain-lain belanja pegawai dalam
negeri antara lain disebabkan oleh peningkatan honorarium dan uang lembur bagi pegawai yang
karena beban tugasnya harus bekerja melebihi jam kerja yang telah ditetapkan. Seuangkan
peningkatan belanja pegawai luar negeri dipengaruhi oleh jumlah pegawai yang ditempatkan
pada kantor-kantor perwakilan di luar negeri, besarnya gaji pokok dan berbagai tunjangan yang
danasarkan pada angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN) dan angka pokok tunjangan luar
negeri (APTLN) , serta perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

2.2.4.2 Belanja Barang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 71


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Penga1okasian pengeluaran rutin untuk belanja barang di1aksanakan secara terkenda1i


agar pemenuhan pengadaan barang dan pemeliharaan aset negara dapat sejalan dengan
keterbatasan sumber-sumber pembiayaan da1am negeri dalam rangka menunjang mutu dan
perluasan pelayanan kepada masyarakat. Selama Repelita VI, belanja barang mengalami
peningkatan rata-rata 27,9 persen per tahun. Peningkatan belanja barang merupakan
konsekuensi dari semakin beragamnya jumlah dan jenis kegiatan yang harus danukung, yang
disebabkan antara lain oleh perkembangan struktur organisasi, dibukanya beberapa kantor
instansi pemerintah di daerah dan kantor perwakilan pemerintah di luar negeri, serta
meningkatnya pemeliharaan bagi prasarana dan sarana kerja, serta hasil pembangunan.

Sebagian besar belanja barang dialokasikan untuk belanja barang dalam negeri, yang
diarahkan untuk mendukung tersedianya prasarana dan sarana kerja yang memadai, baik jumlah
maupun kondisinya. Selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi be1anja
barang dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata 26,4 persen per tahun. Sementara itu,
dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 belanja barang dalam negeri dianggarkan meningkat
21 ,6 persen Dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan tersebut untuk menunjang kegiatan
administrasi di berbagai instansi, antara lain pembiayaan bagi pengadaan perangkat keras,
perangkat lunak, serta peralatan kantor lainnya, termasuk pemeliharaannya. Peningkatan belanja
barang juga dipengaruhi oleh belanja barang luar negeri, yang pembiayaannya diarahkan untuk
menunjang pembiayaan operasional dan pemeliharaan berbagai kantor perwakilan pemerintah di
luar negeri, serta pembiayaan yang berkaitan dengan kerja sama internasional. Dalam empat
tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi pembiayaan belanja barang luar negeri
mengalami peningkatan rata-rata 51,6 persen per tahun. Sementara itu, belanja barang luar
negeri dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 dianggarkan meningkat 80,3 persen Dari
perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut,
perubahan besarnya pembiayaan belanja barang luar negeri berkaitan erat dengan jumlah kantor
perwakilan pemerintah di luar negeri, serta perubahan nilai tukar mata uang Dari negara
bersangkutan terhadap rupiah.

2.2.4.3 Subsidi Daerah Otonom

Seirama dengan perkembangan belanja pegawai pusat, subsidi daerah otonom (SDO)
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, yang sebagian besar digunakan untuk belanja

Departemen Keuangan Republik Indonesia 72


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pegawai daerah. Belanja pegawai daerah, yang merupakan bantuan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah diarahkan untuk turut mewujudkan aparatur pemerintah daerah yang berdaya
guna, berhasil guna, bersih, dan berwibawa, serta meningkatkan keserasian dalam pelaksanaan
kewajiban dan tugas umum pemerintahan dan pembangunan daerah. Pembiayaan untuk belanja
pegawai daerah pada dasarnya merupakan subsidi dari pusat yang selain digunakan untuk
membiayai belanja pegawai daerah otonom, juga bagi pegawai negeri sipil yang ditempatkan di
daerah, seperti guru SD Inpres, dokter dan paramedis.

Sesuai dengan perkembangan kebijakan yang berkaitan dengan upaya perbaikan


kesejahteraan pegawai, realisasi belanja pegawai daerahjuga terus mengalami peningkatan.
Dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI, realisasi belanja pegawai daerah
mengalami peningkatan rata-rata 10,5 persen per tahun. Sementara itu, dalam APBN tahun
anggaran 1998/1999, belanja pegawai daerah dianggarkan meningkat 34,9 persen Dari perkiraan
realisasi tahun anggaran sebelumnya.

Selain untuk belanja pegawai daerah, subsidi daerah otonom juga dialokasikan untuk
belanja nonpegawai, yang penggunaannya diarahkan untuk mendukung kegiatan pemerintahan
daerah. Sejak tahun anggaran 1994/1995 - 1997/1998 realisasi belanja nonpegawai daerah
otonom mengalami peningkatan rata-rata 14,1 persen per tahun. Sementara itu, belanja
nonpegawai daerah otonom dalam APBN tahun anggaran 1998/1999 direncanakan meningkat
sekitar 30 persen dari tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan pembiayaan tersebut terutama
dipergunakan untuk subsidi bagi penyelenggaraan urusan desentralisasi, urusan dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Dalam mendukung urusan dekonsentrasi, belanja nonpegawai daerah
diperlukan untuk menampung ganjaran daerah tingkat I, daerah tingkat II/kotamadyalkota
administratif, kecamatan, dan desa, subsidi belanja pengembangan institusi, serta lain-lain
belanja nonpegawai daerah. Sementara itu, untuk mendukung penyelenggaraan urusan
desentralisasi, belanja nonpegawai daerah digunakan untuk menampung subsidil bantuan
penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar negeri (SBPPSDN), bantuan biaya operasional
rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), serta pengembangan pariwisata dan usaha
pertambangan daerah. Dalam rangka mendukung pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun,
SBPP-SDN diberikan sebagai pengganti sumbangan pembinaan pendidikan sekolah dasar (SPP-
SD) yang telah dihapuskan. Seuangkan pemberian subsidil bantuan biaya operasional rumah
sakit umum daerah digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 73


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pelayanan di biuang kesehatan kepada masyarakat.

2.2.4.4 Pembayaran Bunga dan Cicilan Hutang


Salah satu jenis pengeluaran rutin yang mendapat alokasi pembiayaan yang cukup
besar adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang negara, yang terdiri dari pembayaran hutang
dalam negeri dan pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Pembayaran hutang
dalam negeri pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah, sebagai akibat dari adanya
transaksi atau hubungan kerja antara pemerintah dengan berbagai pihak di dalam negeri, serta
tagihan pihak ketiga kepada pihak pemerintah berdasarkan keputusan pengadilan. Pembiayaan
yang ditampung dalam hutang dalam negeri antara lain meliputi pembayaran tunggakan atas
pemakaian daya dari jasa, seperti tenaga listrik, air minum, dan gas, untuk keperluan berbagai
instansi pemerintah, serta pembayaran ganti rugi kepada pihak ketiga di dalam negeri.

Dalam perkembangannya, hutang dalam negeri juga menampung jenis pembiayaan lain,
seperti pengembalian kelebihan setor kepada Pertamina dalam penyediaan BBM di dalam
negeri, serta pembayaran dana talangan Bank Indonesia sebagai konsekuensi dari kebijakan
restrukturisasi perbankan nasional. Pada awal Repelita VI (1994/1995), besarnya pembiayaan
hutang dalam negeri masih relatif rendah, yaitu Rp 104,1 miliar, atau 0,2 persen dari total
pengeluaran rutin. Selanjutnya dalam tiga tahun anggaran berikutnya, realisasi pembayaran
hutang dalam negeri masing-masing mencapai Rp 1.619,6 miliar, Rp 4.589,2 miliar, dan Rp
1.639,7 miliar. Penyediaan anggaran tersebut terutama diperlukan untuk pengembalian dana
kelebihan setoran laba bersih minyak (LBM) dan hasil operasi Pertamina dalam tahun-tahun
anggaran sebelumnya, sesuai dengan rekomendasi dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BEPEKA). Dalam tahun anggaran 1998/1999, anggaran yang disediakan untuk pos
pembiayaan hutang dalam negeri mencapai Rp 1.940,1 miliar. Sebagian besar anggaran
tersebut, yaitu Rp 1.720,1 miliar, disediakan untuk pengembalian dana talangan Bank Indonesia,
sebagai pengganti dana simpanan nasabah 16 bank dalam likuidasi (BDL) pada bulan November
1997.
Salah satu unsur pengeluaran yang cukup berpengaruh terhadap besarnya penyediaan
anggaran belanja rutin adalah cukup tingginya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri. Kewajiban tersebut timbul
sebagai akibat dari pemanfaatan hutang luar negeri untuk membiayai proyek-proyek

Departemen Keuangan Republik Indonesia 74


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pembangunan di masa lampau, yang harus mulai dibayar dengan berakhirnya masa tenggang
waktu, dan telah jatuh tempo. Besarnya kewajiban tersebut selain dipengaruhi oleh besarnya
cicilan pokok dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo, juga dipengaruhi oleh perkembangan
nilai tukar, baik antar valuta negara-negara pemberi pinjaman, maupun nilai rupiah terhadap
nilai valuta negara-negara dimaksud.
Menya dari besarnya manfaat hutang luar negeri bagi pencapaian sasaran-sasaran
pembangunan, pemerintah terus mengupayakan agar negara-negara dan lembaga-lembaga
keuangan internasional pemberi pinjaman, tetap memiliki kepercayaan yang besar terhadap
Indonesia. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pemanfaatan hutang luar negeri secara benar
dan baik, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi dan pembangunan proyek-proyek yang
berprioritas tinggi, produktif dan berorientasi ekspor. Selain itu, dilakukan upaya untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri tepat pada
waktunya, dan sesuai dengan nilai yang dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri
(NPLN). Sementara itu, dalam keadaan keuangan negara memungkinkan, pemerintah telah
melakukan percepatan pembayaran (prepayment) hutang luar negeri, khususnya untuk hutang
yang memiliki tingkat suku bunga tinggi, antara lain dari Bank Dunia (International Bank for
Reconstruction and Development/IBRD) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank/ADB), y.ang pembiayaannya bersumber dari bagian pemerintah atas penjualan saham
BUMN yaitu PT Indosat, PT Telkom, PT Timah, serta sisa anggaran lebih (SAL). Percepatan
pembayaran hutang luar negeri yang dilaksanakan dalam Repelita VI, adalah Rp 1.716,9 miliar
dalam tahun anggaran 1994/1995, Rp 1.643,8 miliar dalam tahun anggaran 1995/1996, dan Rp
4.036,2 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997.

Krisis moneter yang terjadi di dalam negeri sejak bulan Juli 1997 telah menyebabkan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dolar Amerika cenderung terus melemah,
sehingga secara langsung berpengaruh terhadap besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tahun anggaran
1998/1999. Sehubungan itu, alas persetujuan sembilan belas negara-negara donor yang
tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998, pemerintah telah melakukan
rescheduling alas pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk mengurangi beban anggaran, sehingga dapat mempercepat stabilisasi dan pemulihan
perekonomian nasional.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 75


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri selama Repelita VI terus
mengalami peningkatan. Dalam empat tahun pertama, besarnya pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri masing masing mencapai Rp 18.298,4 miliar, Rp 20.489,0 miliar, Rp
22.902,0 miliar, dan Rp 28.057,3 miliar. Namun persentasenya terhadap total pengeluaran rutin
menunjukkan penurunan, yaitu masing-masing 41,5 persen, 40,6 persen, 36,6 persen, dan 33,2
persen. Selanjutnya pada tahun anggaran 1998/1999, anggaran pembayaran bunga dan cicilan
pokok hutang luar negeri mengalami peningkatan yang cukup tajam, yaitu mencapai Rp
64.296,3 miliar, atau meningkat 129,2 persen dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya.

2.2.4.5 Pengeluaran Rutin Lainnya


Selain berbagai pembiayaan tersebut di atas, pengeluaran rutin juga menampung
pembiayaan pengeluaran rutin lainnya, antara lain subsidi BBM dan lain-lain pengeluaran rutin.
Kebijaksanaan pemberian subsidi pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional, khususnya stabilitas harga barang-barang kebutuhan masyarakat, yang
besar pengaruhnya dalam menekan laju inflasi. Selain itu kebijaksanaan tersebut dimaksudkan
pula agar dapat menjamin tersedianya bahan-bahan pokok dalam jumlah yang cukup dan harga
yang dapat dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Meskipun dalam kondisi tertentu
kebijaksanaan pemberian subsidi dapat menimbulkan distorsi pasar yang dapat menimbulkan
inefisiensi dalam perekonomian, namun pemberian subsidi diberikan secara selektif dan
ditujukan kepada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Dengan berbagai
pertimbangan tersebut, pemberian subsidi masih diperlukan dalam batas-batas kewajaran dan
hanya untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, serta disesuaikan dengan
kemampuan keuangan negara. Namun demikian, secara bertahap pemberian subsidi akan
dikurangi.

Dalam Repelita VI, Pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang
merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat strategis. Namun disadari juga bahwa pemberian
subsidi BBM yang dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan terhambatnya usaha
konservasi dan diversifikasi energi, serta beban yang semakin berat terhadap anggaran belanja.
Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM dalam negeri dengan seluruh biaya
pengadaan BBM yang harus dikeluarkan. Seperti diketahui biaya pembelian minyak mentah
merupakan komponen terbesar dalam pengaadaan BBM, sehingga besar kecilnya kebutuhan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 76


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

subsidi BBM sangat tergantung kepada jumlah konsumsi, fluktuasi harga rninyak mentah
internasional, serta nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, terutama dolar Amerika. Sejalan
dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, selama Repelita VI telah
diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual pada tingkat yang wajar.
Untuk itu pada bulan Mei 1998 telah dilakukan kenaikan harga BBM. Selain pemberian subsidi
BBM, dalam Repelita VI, khususnya tahun anggaran 1998/1999 pemerintah juga memberikan
subsidi nonBBM berupa subsidi pangan, listrik, dan obat-obatan. Subsidi-subsidi tersebut,
diberikan antara lain berkaitan dengan upaya memperkuat jaring pengaman sosial (JPS), sebagai
upaya meredam dampak sosial akibat krisis ekonomi, terutama bagi penduduk rniskin. Di
samping subsidi beras, subsidi pangan diberikan melalui subsidi impor gandum, gula pasir, dan
kedelai. Kebijakan tersebut selain dimaksudkan untuk menjaga agar harga komoditas pangan
terjangkau oleh daya beli masyarakat, juga untuk mendukung upaya penganekaragaman bahan
makanan serta mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras, dan sekaligus untuk menjaga
kelangsungan usaha industri makanan dalam negeri. Dalam perkembangannya, untuk
meringankan beban anggaran negara, sejak awal bulan September 1998 telah ditempuh
kebijakan penghapusan subsidi untuk gandum, gula posir, dan kedelai.
Selain untuk subsidi, pengeluaran rutin lainnya juga menampung lain-lain pengeluaran
rutin, seperti biaya jasa pos dan giro, pengeluaran bebas porto, serta subsidi kesehatan bagi para
veteran dan perintis kesehatan, bantuan rutin kepada komite olahraga nasional Indonesia
(KONI) Pusat, serta subsidi kepada Perum Kereta Api. Selain itu, lain-lain pengeluaran rutin
juga menampung pembiayaan yang bersifat khusus berupa pembiayaan untuk penyelenggaraan
pemilihan umum (Pemilu) dan bantuan penanggulangan bencana alam.
Berdasarkan pada perkembangan tersebut, pengeluaran rutin lainnya mengalami
peningkatan setiap tahunnya, terutama dalam tahun terakhir Repelita VI. Peningkatan tersebut
berkaitan dengan peningkatan anggaran untuk subsidi BBM dan subsidi non-BBM. Peningkatan
subsidi BBM terjadi sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
khususnya dolar Amerika. Seuangkan, munculnya subsidi non-BBM berkaitan dengan upaya
memperkuat jaring pengaman sosial. Dalam tahun anggaran 1998/1999, pengeluaran rutin
lainnya diperkirakan mencapai Rp 55.472,5 miliar atau Rp 38.642,5 miliar lebih tinggi Dari
tahun anggaran sebelumnya.

2.2.5 Tabungan Pemerintah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 77


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabungan pemerintah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan merupakan


selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Dalam penghimpunannya
sumber pembiayaan pembangunan ini dipengaruhi oleh kemampuan menghimpun sumber
penerimaan dalam negeri dan alokasi pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan rutin pemerintah.
Selain itu, tabungan pemerintah dalam menyediakan dana pembangunan juga dipengaruhi oleh
kondisi perekonornian internal dan eksternal. Pada saat perekonornian membaik tabungan
pemerintah cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dalam negeri.
Demikian pula sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang menurun umumnya akan
berpengaruh kepada penerimaan dalam negeri yang pada gilirannya akan berdampak terhadap
tabungan pemerintah.

Memasuki Repelita VI peranan tabungan pemerintah terus meningkat, keberhasilan


tersebut terlihat pada besarnya tabungan pemerintah dalam tahun anggaran 1994/1995 hingga
tahun anggaran 1996/1997 masing-masing Rp 22.349,0 miliar, Rp 22.578,9 miliar, dan
Rp25.069,2 miliar. Namun dalam tahun anggaran 1997/1998 tabungan pemerintah diperkirakan
menurun yaitu menjadi Rp 23.577,6 miliar, karena peningkatan pada pengeluaran rutin
diperkirakan akan lebih besar dibandingkan peningkatan pada penerimaan dalam negeri.
Keadaan ini diperkirakan berlanjut dalam tahun anggaran 1998/1999, dimana pengeluaran rutin
diperkirakan jauh meningkat melampaui penerimaan dalam negeri. Pengeluaran rutin mencapai
Rp 171.205,1 miliar, seuangkan penerimaan dalam negeri hanya mencapai Rp 149.302,5 miliar.
Dengan demikian dalam tahun anggaran 1998/ 1999 terdapat tabungan negatif (negatif saving)
minus Rp 21.902,6 miliar. Peningkatan yang tajam pada pengeluaran rutin dalam dua tahun
terakhir tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya beban pembayaran bunga dan cicilan
pokok hutang luar negeri serta meningkatnya berbagai subsidi seperti BBM, pangan, listrik,
sejalan dengan makin lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Perkembangan
tabungan pemerintah sejak Repelita V sampai dengan Repelita VI dapat diikuti pada Tabel
11.8.

2.2.6 Pengeluaran Pembangunan

Anggaran belanja pembangunan dalam APBN memberikan gambaran mengenai


peranan sektor pemerintah dalam pembiayaan investasi nasional, yang sekaligus mencerminkan
strategi kebijaksanaan fiskal dalam (a) mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 78


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha


dan berbagai program pembangunan lainnya, (b) memperbaiki pemerataan distribusi
pendapatan, serta (c) menunjang program stabilisasi, termasuk program penyelamatan (rescue)
dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat. Implementasi kebijakan tersebut
pada dasamya sangat tergantung pada situasi dan permasalahan yang dihadapi dalam
perekonomian, serta merupakan satu kesatuan dari arah dan strategi dasar pembangunan
nasional.
Dalam Repelita VI hingga tahun keempat, realisasi pengeluaran pembangunan (di luar
sektor hankam dan subsidi) secara nominal mengalami peningkatan rata-rata sekitar 16 persen
per tahun, namun peranannya terhadap total anggaran belanja negara (di luar pembayaran
dci/an pokok pinjaman luar negeri) justru menurun dari sekitar 46 persen menjadi hanya sekitar
39 persen. Dalam periode tersebut, rasio pengeluaran pembangunan terhadap produk domestik
bruto (PDB) juga menurun Dari 7,1 persen menjadi hanya 6,5 persen. Sementara itu, dalam
periode yang sama, rasio anggaran belanja pembangunan (di luar sektor hankam dan subsidi)
yang sebagian besar merupakan pengeluaran untuk investasi pemerintah terhadap pembentukan
modal domestik bruto (gross fixed capital formation) relatif kecil, rata-rata sekitar 23 persen per
tahun. Kecenderungan ini memberikan gambaran mengenai peranan yang sesungguhnya dari
sektor pemerintah dalam perekonomian nasional, yang berfungsi sebagai pendukung dan
penunjang berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat dan dunia usaha. Hal ini sejalan
dengan arah dan strategi kebijakan pembangunan nasional yang lebih mengutamakan
pengembangan sektor swasta sebagai penggerak roda kegiatan perekonomian nasional, dan telah
sesuai dengan sasaran investasi pemerintah yang ditetapkan dalam Repelita VI (setelah revisi).
Namun demikian, sebagai akibat adanya tekanan ekonomi, baik eksternal maupun
internal, berkenaan dengan bertambah beratnya krisis moneter dan ekonomi yang dihadapi
Indonesia hingga menyebabkan dunia usaha (sektor swasta) tidak berdaya dan tidak lagi bisa
diharapkan mampu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi nasional, dalam tahun terakhili
Repelita VI terjadi perubahan yang cukup mendasar terhadap peran dan orientasi anggaran
belanja pembangunan sebagai akar kebijakan fiskal dalam konstelasi perekonomian nasional.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 79


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.8

PERKEMBANGAN TABUNGAN PEMERINTAH, 1989/1990 -1998/19991)

(dalam miliar rupiah)

Penerimaan Pengeluaran Tabungan Kenaikan (+)/


A%
Tahuo dalam negeri A% rutin pemerintah penurunan(-)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

REPELITA V

1989/1990 . 31.504,2 24.335,2 7.169,0


1990/1991 42.193,0 33,9 29.121,1 19,7 13.071,9 + 5.902,9
1991/1992 42.582,0 0,9 29.053,0 -0,2 13.529,0 + 457,1
1992/1993 48.862,6 14,7 33.605,4 15,7 15.257,2 + 1.728,2

1993/1994 56.113,1 14,8 40.289,9 19,9 15.823,2 + 566,0

REPELITA VI
1994/1995 66.418,0 18,4 44.069,0 9,4 22.349,0 + 6.525,8
1995/1996 73.013,9 12,6 50.435,0 14,4 22.578,9 + 229,9
1996/1997 87.630,3 20,8 62.561,1 24,0 25.069,2 + 2.490,3
1997/19982) 108.183,8 23,5 84.606,2 35,2 23.577,6 - 1.491,6

1998/19993) 149.302,5 38,0 171.205,1 102,4 - 21.902,6 - 45.480,2

1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN

Fungsi anggaran belanja pembangunan yang dalam empat tahun pelaksanaan Repelita
VI sebagai pendorong dan pendukung berkembangnya dunia usaha, dalam tahun terakhir
Repelita VI berubab menjadi unsur utama stabilisator kegiatan ekonomi, terutama dalam upaya
penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat agar tidak merosot lebih dalam
akibat krisis yang semakin bertambah berat. Dalam hubungan ini, pengeluaran pembangunan
diharapkanl mampu berperan menjadi faktor stimulus bagi peningkatan daya beli masyarakat,
melalui proyek-proyek produktif yang dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta perlindungan sosial di biuang
pendidikan dan kesehatan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 80


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dengan adanya perubahan orientasi kebijakan dimaksud, anggaran pembangunan bagi


pembiayaan seluruh proyek-proyek dan kegiatan fisik maupun nonrisik ditinjau ulang, dan
prioritas alokasinya semakin dipertajam. Proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum
mendesak dan memerlukan investasi besar ditunda atau dijadwal ulang, sementara anggaran
untuk biaya perjalanan dinas, rapat kerja, studi, kajian, seminar, lokakarya dan kegiatan sejenis
lainnya yang tidak menjadi prioritas dikurangi.
Anggaran yang dapat disisihkan dari hasil kaji ulang proyek-proyek tersebut
direalokasi untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat krisis, atau digunakan untuk
kegiatan-kegiatan lebih produktif yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
memulihkan kondisi perekonomian nasional. Proyek-proyek tersebut tercakup dalam program
jaring pengaman sosial (social safety net), yang kegiatannya dapat dikelompokkan ke dalam
empat program atau biuang intervensi. Keempat program dimaksud meliputi (a) program
ketahanan pangan (food security), (b) program padat karya dan penciptaan lapangan kerja
produktif (employment creation), (c) program perlindungan sosial (social protection), dan (d)
program pemberdayaan ekonomi rakyat, melalui pengembangan industri kecil dan menengah
(support for small and medium enterprises).
Sebagai konsekuensi dari berbagai penyesuaian di atas, volume anggaran belanja
pembangunan dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sangat tajam, mencapai hampir dua
kali lipat Dari perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Dengan peningkatan
tersebut rasio pengeluaran investasi pemerintah terhadap pembiayaan investasi nasional juga
meningkat cukup tajam, mencapai lebih Dari 45 persen, atau hampir dua kali lipat dari rasio
rata-rata pengeluaran investasi pemerintah terhadap pembentukan modal domestik bruto selama
empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI. Dengan peningkatan volume, dan perubahan
orientasi pada strategi alokasi anggaran pembangunan untuk program-program yang sesuai
dengan skala prioritas penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat
sebagaimana diuraikan di atas, diharapkan akan diperoleh hasil yang optimal dalam membantu
memutar kembali kegiatan usaha masyarakat, hingga pada gilirannya akan dapat mempercepat
upaya pemulihan kondisi perekonomian nasional. Perubahan orientasi terhadap arah dan strategi
kebijakan pengeluaran pembangunan tersebut tercermin secara jelas pada pola alokasi anggaran
pembangunan menurut klasifikasi ekonomi (jenis pembiayaan), dan pengelompokan
berdasarkan sektor (fungsi pengeluaran).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 81


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.2.6.1 Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Menurut Klasiflkasi Ekonomi

Dilihat Dari klasifikasi ekonomi (jenis pengeluaran), alokasi pembiayaan pembangunan


rupiah yang selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI tumbuh rata-rata 3,5 persen
per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sangat tajam hingga mencapai lebih dari
125 persen terhadap perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan alokasi
pembiayaan pembangunan rupiah yang sangat besar tersebut disebabkan terutama oleh
timbulnya beban-beban anggaran baru akibat krisis, di antaranya untuk program jaring
pengaman sosial yang mencapai sekitar 35 persen, biaya restrukturisasi perbankan sekitar 29
persen, serta pembengkakan beban subsidi pupuk dan subsidi bunga kredit program menjadi
sekitar 12 persen Dari total anggaran pembangunan rupiah. Dari keseluruhan alokasi anggaran
dimaksud (termasuk subsidi dan biaya restrukturisasi perbankan) sekitar 43 persen ditujukan ke
daerah, seuangkan 57 persen di pusat. Di luar subsidi dan biaya restrukturisasi perbankan,
alokasi anggaran pembangunan rupiah yang diarahkan ke daerah sesungguhnya mencapai lebih
dari 72 persen. Khusus untuk jaring pengaman sosial, sekitar 72 persen diarahkan ke daerah,
seuangkan sisanya sekitar 28 persen di pusat.
Sekalipun volumenya mengalami peningkatan, akan tetapi porsi pembiayaan
pembangunan rupiah terhadap total anggaran belanja pembangunan justru sedikit mengalami
penurunan dari sekitar 62 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, menjadi sekitar 56 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Penurunan tersebut
selain disebabkan oleh membengkaknya nilai lawan bantuan proyek akibat depresiasi rupiah,
juga karena adanya kebijakan penundaan atau penjadwalan terhadap proyek-proyek dan
kegiatan yang belum mendesak, serta peningkatan efisiensi dan penghematan anggaran pada
kegiatan-kegiatan yang kurang menjadi prioritas pada pembiayaan departemen lembaga.
Perkembangan pengeluaran pembangunan berdasarkan jenis pembiayaan tahun anggaran
1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.9 dan Grafik 11.3.

Alokasi anggaran bagi departemen lembaga untuk pernbiayaan proyek-proyek sektoral


dalam tahun terakhir Repelita VI meningkat sehingga menjadi 24,4 persen. Dari jurnlah
tersebut, sekitar 65 persen di antaranya dialokasikan untuk memperkuat jaring pengaman sosial,
baik untuk menunjang program ketahanan pangan, memperluas lapangan kerja, pemberdayaan
pengusaha kecil dan menengah maupun perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan
sosial, pendidikan dan kesehatan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 82


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.9

PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN JENIS PEMBIA Y AAN,

1989/1990 - 1998/1999
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI

Jeu Pembityaan 1989/1CHO 199011991 J991/1992 1992/1993 1993/1994 199411995 199511996 199611997 1997/1998 1998/1999

(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

I.'PEMBIAYAAN RU1'IAH 8.1;29,4 11.216,0 14.484,9 16.324,9 17.675,6 20.853,9 19.771,9 24.051,7 23.121,3 52.142,1

A. Pembiayaan Departemen:Lembaga 3.153,7 5.134,1 '1.483,7 10.032,8 10.915,7 11.239,2 10.930,3 12.159,2 11.576,9 14.397,0
I. Departemen/lembaga 2.934,3 4.856,4 7.083,0 9.560,2 10.367,5 10.567,8 10.221,3 11.l60,3 10.676,2 13.493,9
2. H a n k a m 219,4 277,7 400,7 472,6 548,2 671,4 759,0 998,9 900,7 903,1
B. Pemblayaan Bagi Daerah 1.763,3 2.999,7 4.113,4 5.035,0 5.515,8 7.353,0 7.211,6 8.868,6 10.024,8 13.806,3
I. Bantuan pembangunn desa tertinggal - - - - - 397,7 498,4 524,0 480,0 204,6
2. Bantuan pembangunan desa 132,1 180,7 248,9 326,3 391,6 432,5 425,9 457,6 468,8 477,0
!
3. Bantuan pembangunan Dari II 269,9 399,6 583,4 802,1 915,7 2.558,3 2.474,2 2.940,7 3.465,0 3.765,4
4. Bantuan pembangunan Dari I . 318,6 481,7 581,9 700,1 741,4 1.331,1 1.256,5 1.394,4 1.661,9 1.741,1
5. Bantuan pembangunan sekolah dasar 9'=>,6 369,2 515,2 645,4 595,4 538,1 494,4 591,5 663,2 594,9
6. Bantuan pembangunan sarana kesehatan 101,4 174,4 267,4 315,7 340,4 412,0 338,7 564,1 607,8 846,0
7. Bantuan pembangunan dan pemugaran pasar 7,8 12,8 4,7 1,7 3,0 - I) - I) - I) - I) - I)
8. Bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi 16,1 32,9 74,0 96,3 Ill,l - 2) - 2) - 2) - 2) - 2)
9. Bantuan peningkatan sarana jalan dan jembatan 274,4 660,9 978,7 1.165,3 1.083,7 - 3) - 3) - 3) - 3) - 3)
10. Baatuan PMT-AS - - - - - - - - 262,0 414,5
II. Banluan pembangunan derah dengan dana PBB 543,4 687,5 859,2 983,1 1.33!,51 1.68!,2 1.723,5 2.396,3 2.416,1 3.049,04)
12. Program perluasan jaring pengaman sosial - - - - - - - - - 2.713,8
C. Pemblayaan Lain-Lain 3.112,4 3.082,2 2.887,8 1.256,1 1.244,11 2.261,7 1.580,0 3.023,9 1.519,6 23.938,8
I. Subsidi pupuk 1.150,4 264,7. 3000 175,0 175,0 815,0 143,0 186,1 547,3 2.125,25)
2. Penyertaan modal pemerintah 887,5 644,4 987,9 137,9 380,6' 424,6 380,4 829,6 118,7 75,46)
3. Lain-lain pembangunan 1.074,5 2.173,1 1.599,9 943,2 688,5 1.022, I 1.056,6 2.008,2 853,6 21.738,2
II.HANTUAN PROYEK 7.364,5 7.034,11 8.589,6 10.581,4 10.752,5 9.837,8 9.008,8 11.900,1 23.817,0 ' 40.540,9

Jumlah 15.393,9 18.250,8 23.074,.5 26.906,3 28.428,1 3C.691,7 28.780,7 35.951,8 46.938,3 92.683,0

..
I) Dintegrasikan ke Inpres Dari 11.
2) Bantuan reboisasi diintegrasikan ke Inpres Dari 11; bantuan penghijauan diintegrasikan ke Inpres Dari I.
3) Bantuan peningkatan jalan propinsi diintegrasi\:an ke Inpres D3ti I, seuangkan bantuan peningkatan jaIan kabupaten
diintegrasikan ke Inples Dari 11.
4) Termasuk BPHTB Rp 400,0 rni};ar.
5) Termasuk susidi gas untuk pabrik/produsen pupuk Rp 1.059,9 miliar
6) Termasuk proyek padat karya Rp 1.505,8 juta, penanggulangan kekeringan Irian lara Rp 288,8 juta,
subsidi bunga kredit program Rp.957,8 miliar, serta program restrukrurisasi perbankan Rp 15.()()(),0 miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 83


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 84


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pada pembiayaan pembangunan departemen/lembaga tersebut, sebagian besar, yaitu lebih dari
64 persen dari alokasi anggaran yang disediakan untuk pembiayaan proyek-proyek sektoral,
lokasinya berada di daerah, di mana 37 persen di antaranya berada di kawasan barat Indonesia,
dan 27 persen di kawasan 1 timor Indonesia. Dengan demikian, pada dasarnya kurang dari 36
persen dari total pembiayaan proyek-proyek sektoral yang dialokasikan melalui DIP dikelola
langsung oleh instansi pusat pada masing-masing departemen/lembaga. Alokasi anggaran bagi
proyek -proyek sektoral yang lokasinya berada di daerah tersebut, apabila dapat dikoordinasikan
dengan baik dengan pengeluaran pembangunan daerah akan menjadi sinergi sumber dana yang
sangat potensial dalam mempercepat pembangunan daerah.

Pengeluaran pembangunan daerah, yang dialokasikan dalam berbagai bentuk program


Inpres bagi penyediaan sarana dan prasarana dasar serta jasa pelayanan kepada masyarakat
(secara langsung dalam biuang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan), dirasakan semakin
strategis sebagai mekanisme alokasi dana yang efektif, dalam mempercepat pembangunan
daerah, maupun dalam mendorong peningkatan otonomi daerah, dan mempercepat
terlaksananya hubungan keuangan pusat dan daerah yang lebih mencerminkan keadilan dan
pemerataan.

Dalam Repelita VI, transfer dana pembangunan melalui program Inpres telah
mengalami berbagai penyempurnaan dan peningkatan, baik dari segi jumlah dana yang
dialokasikan maupun dari segi jenis bantuan Inpres yang disalurkan. Penyempurnaan tersebut
merupakan langkah penyesuaian terhadap pencapaian sasaran umum, dan langkah operasional
dalam pencapaian sasaran khusus. Beberapa jenis bantuan (proyek Inpres) yang semula bersifat
khusus (specific grant), seperti Inpres peningkatan jalan, serta Inpres pembangunan dan
pemugaran pasar diintegrasikan ke dalam Inpres Dati I dan Inpres Dati II sebagai bantuan umum
(block grant) untuk alasan efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya. Sementara itu, beberapa
jenis bantuan Inpres baru diperkenalkan, di antaranya Inpres desa tertinggal (IDT) dalam rangka
mempercepat pengentasan kemiskinan, Inpres program makanan tambahan anak sekolah (PMT-
AS) untuk menunjang peningkatan kualitas gizi anak, serta program perluasan jaring pengaman
sosial (P1PS) sebagai program khusus penanggulangan dampak krisis ekonomi.

Dengan peningkatan alokasi dana pada masing-masing jenis Inpres, serta bertambahnya
program Inpres baru, selama Repelita VI pengeluaran pembangunan daerah rata-rata mengalami
peningkatan sekitar 17 persen per tahun. Demikian pula, proporsi pengeluaran pembangunan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 85


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

daerah juga relatif meningkat dibandingkan dengan jenis pengeluaran pembangunan lainnya,
yaitu dari rata-rata sekitar 29 persen selama Repelita V menjadi rata-rata sekitar 38 persen dari
total pengeluaran pembangunan rupiah selama empat tahun pertama Repelita VI. Alokasi
bantuan ini, hampir seluruhnya danistribusikan ke daerah, di antaranya sekitar 54 persen ke
wilayah barat Indonesia, seuangkan 28 persen lainnya ke kawasan timur Indonesia.

Meskipun secara nominal dan proporsional terjadi peningkatan, namun tujuan dan
sasaran yang ingin dicapai melalui program bantuan Inpres, yaitu pengurangan kemiskinan,
penyediaan sarana dan prasarana dasar, pelayanan kepada masyarakat di daerah, serta
ketimpangan pendapatan antar wilayah dan antar daerah masih belum teratasi sepenuhnya.
Pengalokasian dana Inpres memang telah menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlah dan
pola alokasi dana untuk masing-masing jenis Inpres akan terus disempumakan mengingat
pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat selama ini, telah
membawa konsekuensi pada peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada beberapa jenis program Inpres tertentu, peningkatan alokasi bantuan diperlukan untuk
menjaga kemampuan dana secara riil dalam membiayai kebutuhan pembangunan, karena
pertumbuhan Inpres tersebut masih di bawah ratarata tingkat inflasi. Di samping itu, penetapan
prioritas proyek atau kegiatan yang dilaksanakan juga masih perlu senantiasa disempurnakan
agar pemanfaatan dana yang sangat terbatas dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas alokasi dana Inpres, penetapan formula
besarnya alokasi per daerah, administrasi, serta mekanisme pelaksanaannya secara bertahap
telah dan akan terus disempumakan. Distribusi alokasi dana pembangunan antar daerah yang
adil dan merata hanya dapat tercapai apabila bantuan dana pembangunan kepada daerah
dialokasikan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi ekonomi, dan
kebutuhan investasi di masing-masing daerah. Demikian pula, distribusi anggaran melalui
program Inpres ini perlu dikoordinasikan dan dikaitkan dengan alokasi dana pembangunan yang
lain agar ketimpangan antar wilayah dan antar daerah dapat semakin diperkecil.
Pada Inpres desa tertinggal (IDT), mengingat kondisi alam, potensi ekonomi, dan latar
belakang sosial budaya masing-masing daerah dan desa berbeda satu sama lain, keberhasilan
dan efektivitas dari pelaksanaan program ini sangat tergantung pada kemampuan
mengidentifikasikan akar dari permasalahan yang sebenarnya, serta mernmuskan dan
menerapkan solusi yang paling efektif bagi masing-masing desa. Demikian pula, mengingat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 86


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

jumlah dana yang dialokasikan untuk Inpres ini relatif terbatas, maka penetapan sasaran desa
yang berhak mendapatkan bantuan, dan cakupan kegiatan harus benar-benar akurat. Di. samping
itu, pelaksanaan program Inpres ini juga perlu dikoordinasikan dengan program pembangunan
sektoral dan program Inpres lainnya agar penanganan kemiskinan di desa-desa tertinggal
tersebut benar-benar terpadu dan efektif. Pada tahun terakhir Repelita VI, alokasi dana program
IDT ini, bersama-sama dengan berbagai jenis bantuan pembangunan lainnya menjadi salah satu
katup pengaman yang sangat penting dalam upaya memperkuat jaring pengaman sosial,
mengingat jumlah penduduk miskin diperkirakan kembali meningkat sebagai dampak Dari
krisis ekonomi yang seuang dihadapi.

Di luar desa-desa tertinggal, penanganan masalah kemiskinan, dan upaya peningkatan


pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan pada umumnya dapat dilakukan
dengan cara menggali potensi ekonomi di sekitamya menjadi kekuatan riil melalui penyediaan
prasarana dan sarana dasar. Namun, mengingat penyediaan sarana dan prasarana ekonomi dan
sosial dimaksud selama ini masih mernpakan kendala yang sangat mendasar dalam
mengembangkan potensi ekonomi masyarakat karena kebutuhan investasinya yang sangat besar,
Inpres desa diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengadaan sarana dan prasarana, baik fisik
maupun nonfisik di biuang produksi, perhubungan, pemasaran, dan lembaga sosial masyarakat
seperti LKMD. Sekalipun demikian, alokasi dana yang disalurkan melalui program Inpres desa
tersebut relatif masih terbatas, dan perkembangannya juga relatif lambat. Selama empat tahun
pertama Repelita VI, secara nominal total dana yang dialokasikan untuk Inpres ini hanya
meningkat rata-rata 2,7 persen per tahun. Di samping itu, pola distribusi dana yang sama untuk
setiap desa menyebabkan arti dan manfaat ekonomis dana Inpres ini bagi masing-masing desa
menjadi relatif beragam, karena desa yang memiliki wilayah lebih luas, dan jumlah penduduk
lebih banyak memperoleh bantuan yang sama dengan desa yang memiliki wilayah dan jumlah
penduduk yang lebih keci!. Perkembangm Inpres desa 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti
dalam Tabel 11.10.
Dalam skala yang lebih luas, upaya pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat akan lebih banyak dilakukan oleh Dati II, mengingat titik sentral Dari
pengembangan otonomi daerah berada pada Dati II. Pelimpahan sebagian besar tanggungjawab
penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan Dari pemerintah pusat
kepada Dari II dimaksud perlu diikuti dan diimbangi dengan pelimpahan kewenangan dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 87


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengelolaan sumber daya, dana, dan sarana ke Dati II. Dalam hubungan ini, peranan Inpres Dati
II perIu lebih ditingkatkan agar kemampuan finansial pemerintah Dati II dalam melaksanakan
tugas pembangunan menjadi semakin kuat. Itulah sebabnya, di antara seluruh jenis pembiayaan
pembangunan daerah dalam empat tahun pertama Repelita VI, Inpres Dari II memperoleh
alokasi anggaran terbesar, yaitu rata-rata sekitar 33 persen dari total dana pembiayaan Inpres.
Dengan peningkatan rata-rata 10 persen per tahun, perkembangan alokasi anggaran Inpres ini
relatif lebih baik dibandingkan dengan berbagai jenis Inpres yang lain. Namun demikian, di
masa mendatang pertumbuhannya masih perIu ditingkatkan untuk menampung pembiayaan bagi
peningkatan tugas dan tanggung jawab lebih besar yang dibebankan pada Dati II akibat
pelimpahan urusan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Di samping peningkatan alokasi
anggaran, kepada Dati II perIu diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pemanfaatan,
pendistribusian, dan pengelolaan dana tersebut sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kerangka
perencanaan pembangunan secara makro. Perkembangan Inpres pembangunan Dati II tahun
anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.11.
Sejalan dengan upaya peningkatan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Dati II,
peranan Dati I juga perIu disesuaikan agar lebih mendukung pelaksanaan otonomi dimaksud,
dengan mengarahkan program pembangunannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
menyelaraskan pembangunan sektoral dengan pembangunan regional, merangsang pertumbuhan
daerah, dan mengkoordinasikan pembangunan yang bersifat lintas Dati II. Sehubungan dengan
hal tersebut, alokasi dana Inpres Dati I perIu lebih diarahkan pada proyek sarana dart prasarana
yang bersifat mendukung pelaksanaan proyek Dati II, dan kegiatan atau proyek akan lebih layak
apabila dilaksanakan oleh Dari I, baik karena pertimbangan efisiensi (economies of scale)
maupun dengan pertimbangan manfaat yang diperoleh, sekaligus :uga akan banyak dbikmati
oleh beberapa Dati II (externalities). Dengan demikian, efektivitas dari pemanfaatan dana dapat
dioptimalkan, karena terjadinya proyek yang tumpang tindih dan tidak terlaksananya proyek
vital karena tidak jelasnya tanggungjawab pelaksanaannya dapat dihindari. Perkembangan
Inpres pembangunan Dati I tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel
11.12.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 88


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

.
Tab e I II. 10
INPRES PEMBANGUNAN DESA,
1989/1990 - 1998/1999 I)
Bantuan tiap Desa
Jumlah
Jumlah
Tahun Pem bangunan Bantuan
Desa PKK Jumlah
Desa
(ribu Rp) (ribu Rp) (ribu Rp) (miliar Rp)
(I) (2) (3) (4) (5) (6)
.
REPELIT A V
1989/1990 66.979 2.000 500 2.500 132,1
1990/1991 66.979 2.000 500 2.500 180,7
1991/1992 67.033 2.800 700 3.500 248,9
1992/1993 63.721 3.600 900 4.500 326,3
1993/1994 63.721 4.500 1. 000 5.500 391,6
REPELIT A VI
1994/1995 63.920 5.000 1.000 6.000 432,6
1995/1996 64.367 5.000 1.000 6.000 425,9
1996/1997 64.404 5.000 1.500 6.500 457,6
1997/19982) 64.424 5.000 1.500 6.500 468,8

1998/19993) 66.721 5.000 1.500 6.500 477,0

I) Realissasi PAN.
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 89


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.11
INPRES PEMBANGUNAN DARI II,
1989/1990 - 1998/1999 I)
Jumlah Bantuan Bantuan minimum Jumlah
Tahun penduduk tiap jiwa tiap Dari II bantuan
(iota) (rupiah) (iuta rupiah) (miliar rupiah)
(l) (2) (3) (4) (5)

REPELIT A V

1989/1990 . 175,6 1.450 200 269,9


1990/1991 179,1 2.000 500 399,6
1991/1992 182,6 3.000 630 583,4
1992/1993 183,0 4.000 750 802,1
1993/1994 189,1 5.000 1.000 915,7
REPELIT A VI
1994/1995 192,2 5.000 1.000 2.558,3 4)
1995/1996 195,3 5.000 1.000 2.474,24)
1996/1997 198,3 5.500 1.000 2.940,74)
1997/19982) 201,4 5.500 1.000 3.465,04)
1998/19993) 204,8 5.500 1.000 3.765,4 4)

l) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Termasuk bantuan kabupaten yang berkepulauan, bantuan pemugaran perumahan pedesaan, bantuan pemugaran pasar, bantuan rehabilitasi
SD dan Madrasah Ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan dan
pengawasan pembangunan Dati II, dan bantuan rehabilitasi Puskesmas.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 90


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TabeI II. 12

INPRES PEMBANGUNAN DATI I


1989/1990 - 1998/1999 I)
Bantuan minimum Bantuan maksimum Jumlah
Tahun tiap Dari I tiap Dari I bantuan
(juta rupiah) (juta rupiah) (miliar rupiah)
(I) (2) (3) (4)

REPELIT A V

1989/1990 12.000 12.000 318,6


1990/1991 14.000 14.000 481,7
1991/1992 . 18.000 18.000 581,9
1992/1993 22.500 22.500 700,1
1993/199.:1 25.000 25.000 741,4
REPELIT A VI
1994/1995 25.000 25.000 1.331,1 4)
1995/1996 25.000 25.000 1.256,5 4)
1996/1997 25.000 25.000 1.394,4 4)
1997/19982) 25.000 25.000 1.661,94)

1998/1999 3) 25.000 25.000 1.741,14)

1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Termasuk bantuan perencanaan dan pengawasan pembangunan Dari I. serta Inpres reboisasi dan Inpres peningkatanjalan Dari I. serta
tambahan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan pengairan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 91


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selain bantuan umum, kepada daerah juga disediakan alokasi bantuan khusus untuk
membantu daerah dalam mengatasi berbagai permasalahan tertentu yang dihadapinya. Salah
satu aspek penting yang sangat berperan dalam menunjang pembentukan watak dan
pembangunan bangsa (nation and character building), namun pada umumnya selalu menjadi
masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan daerah adalah peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Upaya dan pencapaian sasaran tersebut sangat ditentukan oleh kuantitas
dan kualitas dari sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai akan memberikan kesempatan kepada anak (generasi muda) untuk
memperoleh pendidikan yang lebih layak. Berkaitan dengan itu, dalam rangka membantu
mengatasi problematika peningkatan daya tampung di biuang pendidikan dasar, kepada Dati II
dialokasikan bantuan khusus pembangunan sarana pendidikan dasar berupa Inpres SD. Bantuan
Inpres SD tersebut selama ini telah berhasil menunjang pelaksanaan program wajib belajar enam
tahun di berbagai daerah. Sekalipun demikian, alokasi dana yang lebih besar masih dibutuhkan
untuk mendukung pencapaian sasaran program wajib belajar sembilan tahun, memelihara
berbagai sarana dan prasarana yang telah dibangun, serta peningkatan kualitas pendidikan dasar.
Hal ini danasarkan pada kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk Inpres SD selama empat
tahun pertama Repelita VI hanya mengalami peningkatan yang relatif rendah, yaitu sekitar 7,2
persen per tahun. Perkembangan Inpres sekolah dasar tahun anggaran 1989/1990-1998/1999
dapat diikuti dalam Tabel 11.13.
Di samping pendidikan, faktor lain yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia adalah pelayanan kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan dasar
masyarakat yang senantiasa diusahakan pemenuhannya oleh pemerintah. Salah satu langkah
terobosan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut dilakukan melalui alokasi
bantuan khusus Inpres kesehatan. Bantuan ini memiliki dampak yang sangat nyata dalam
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, karena dialokasikan langsung pada peningkatan
pelayanan kesehatan. Dengan demikian, perubahan dari jumlah alokasi dana akan langsung
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya di daerah perdesaan.
Perkembangan Inpres kesehatan selama empat tahun pertama Repelita VI yang rata-rata
mencapai 13,8 persen per tahun menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah terhadap
pentingnya penyediaan pelayanan kesehatan. Namun demikian, besarnya alokasi bantuan ini
masih perlu ditingkatkan, mengingat masih cukup besarnya kelompok masyarakat yang perlu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 92


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Perkembangan Inpres


kesehatan tahun anggaran 1989/1990 -1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.14.
Erat kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat adalah upaya pemenuhan kebutuhan gizi anak, yaitu jumlah kebutuhan kalori dan
protein minimum, yang sangat diperlukan bagi perkembangan kesehatan jasmani dan rohani
anak. Kerniskinan telah mengakibatkan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup anak yang
kekurangan gizi, yang pada umumnya berada di daerah tertinggal, menjadi terhambat. Dalam
rangka meningkatkan ketahanan fisik anak sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI)
telah dikembangkan Inpres program makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS). Program
tersebut adalah upaya pemerintah untuk membantu mengangkat dan mengentaskan masa depan
anak yang hidup di daerah tertinggal dari jerat keterbelakangan, dan sekaligus memutus
lingkaran setan kemiskinan (vicious circle). Besarnya komitmen dan perhatian pemerintah
terhadap pentingnya masalah pemenuhan gizi anak tersebut dinyatakan dalam jumlah dana yang
dialokasikan untuk Inpres PMT-AS dalam tahun terakhir Repelita VI yang meningkat lebih dari
50 persen. Alokasi dana Inpres ini sekaligus melengkapi bantuan Inpres lainnya dalam
mendorong pembangunan masyarakat yang relatif kurang beruntung di berbagai desa dan
daerah tertinggal, baik dari segi potensi ekonomi maupun sumber daya alam yang dimiliki.

Selanjutnya, dalam usaha memperkecil dampak krisis ekonomi pada penurunan


kesejahteraan rakyat secara umum, dan khususnya yang sangat terasa pada golongan masyarakat
yang selama ini merupakan kelompok sasaran (target group) dari berbagai program
pembangunan dan pengentasan kemiskinan, dalam tahun anggaran 1998/1999 dikembangkan
program baru berupa perluasan jaring pengaman sosial (JPS). Walaupun maksud dan tujuan dari
program khusus ini sangat baik, akan tetapi keberhasilan dan efektivitas pelaksanaanya sangat
tergantung atau ditentukan oleh mekanisme yang tepat dalam pengalokasian, dan pemanfaatan
dana dalam menjangkau sasaran yang diinginkan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 93


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TabeI II. 13

INPRES SEKOLAH DASAR, 1989/1990 - 1998/1999 I)

Pembangunan Penambahan Rehabilitasi Pembangunan Rumah kepala Buku Penempatan Jumlah

Tahun rumah penjaga sekolah dan Pelajaran


gedung ruang kelas gedung bantuan
sekolah guru dan bacaan guru
(unit) (ruang) (unit) (unit) (unit) (juta) (orang) (miliar Rp)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

REPELIT A V

1989/1990 185 250 6.000 110 150 4 1.000 99,6


1990/l991 400 1.000 20.000 350 1.000 6 10.000 369,2
1991/1992 692 1.200 32.535 356 2.905 14,1 14.000 515,2
1992/1993 725 1.400 37.050 350 4.000 20,6 21.000 645,4
1993/1994 699 1.600 23.875 382 1.602 22,2 10.150 595,4

REPELIT A VI
1994/1995 700 2.650 - 4) 350 1.050 36 - 538,15)
1995/1996 425 2.650 - 4) 425 725 60 - 494,45)
1996/1997 375 2.892 - 4) - 1.140 80,5 - 591,55)
1997/1998 2) 375 2.892 - 4) - 1.140 80,3 - 663,25)

1998/19993) 375 2.892 - 4) - 1.140 46,7 - 594,95)

1) Rea1isasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A P B N
4) Sejak tahun 1994/1995 dialihkan kepada Inpres Dati II
5) Tidak termasuk biaya rehabilitasi SD dan Madrasah Ibdanaiyah (dialihkan ke Inpres Dati II)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 94


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I II. 14

INPRES KESEHATAN, 1989/1990 -1998/19991)

Rumah
Obat Puskesmas Puskesmas Rehabilitasi Air bersih Jumlah
Dokter/
Tahun Puskesmas
puskesmas
per jiwa Pembantu Keliling paramedis pedesaan bantuan
4)
(Rp) (ruang) (unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (miliar Rp)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
REPELITA V
1989/1990 450 100 ' 1.000 500 500 1.800 80.000 101,4
1990/1991 475 200 1.800 600 1.000 3.000 6.238 174,4
1991/1992 530 175 1.500 600 1.000 8.493 8.772 267,4
1992/1993 600 165 1.532 600 1.100 9.856 10.200 315,7
1993/1994 625 125 1.350 720 1.200 10.549 16.750 340,4
REPELIT A VI
1994/1995 725 30 500 358 690 3.515 - 412,0
1995/1996 775 30 500 ,360 480 - 5) - 338.76)
1996/1997 800 - 500 360 480 - 5) - 564,16)
1997/1998 2) 800 - 700 325 600 - 5) - 607,86)

1998/19993) 800 - 300 205 800 - 5) - 846,0 6)

1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) A PB N
4) Termasuk Puskesmas pembantu, Puskesmas perawatan, dan Puskesmas keliling
5) Dialihkan ke Inpres Dati II
6) Tidak termasuk dana rehabilitasi dan pemeliharaan Puskesmas (dialihkan ke Inpres Dati II)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 95


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Di samping melalui subsidi atau bantuan pembangunan daerah (program Inpres),


peluang untuk mempercepat pembangunan di daerah pada dasamya dapat ditingkatkan dengan
menggali secara optimal sumber-sumber keuangan yang berasal dari daerah sendiri, yaitu
berupa dana bagi hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak alas tanah
dan bangunan (PBB dan BPHTB). Dana ini merupakan hasil pemungutan dari potensi
pendapatan daerah sendiri yang kemudian ditransfer kembali seluruhnya ke masing-masing
daerah bersangkutan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pola alokasi dana ini telah memberi
peluang, dan akan mendorong masing-masing daerah untuk memacu usaha penggalian potensi
penerimaan PBB dan BPHTB, mengingat adanya kewenangan yang besar bagi daerah dalam
mengalokasikan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah bersangkutan.

Berbeda dengan pola alokasi anggaran pembangunan bagi daerah yang cehderung
semakin diperbesar, alokasi anggaran pembangurian lainnya untuk berbagai program yang
bersifat lintas sektoral justru diupayakan dibatasi seminimal mungkin, hanya untuk hal-hat yang
benar-benar sangat mendesak dan tidak dapat dihindari. Selama Repelita VI, alokasi
pengeluaran pembangunan lainnya yang mencakup subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah
(PMP), dan pembiayaan lain-lain pembangunan (LLP) mengalami posang surut mengikuti
strategi kebijakan fiskal dan perkembangan keuangan negara.

Pada subsidi pupuk, alokasi anggaran sangat dipengaruhi oleh besarnya subsidi harga,
yang mencakup perbedaan antara harga jual dasar pupuk pada saat penyerahan dengan harga
beli dari produsen (biaya produksi),pajak pertambahan nilai (PPN) alas pupuk, dan biaya
pengangkutanJ distribusi untuk setiap volume dan jenis pupuk yang mendapat subsidi. Faktor
lain yang berpengaruh dalam penyediaan subsidi pupuk di antaranya meliputi kebijaksanaan
penghapusan subsidi untuk beberapa jenis pupuk tertentu, dan perlu diakomodasikannya subsidi
gas yang digunakan dalam proses produksi pupuk, yang sebelumnya diperhitungkan secara
langsung dalam penerimaan migas oleh Pertamina.
Dengan berbagai faktor dimaksud, terntama kebijakan penghapusan subsidi untukj jenis-
jenis pupuk tertentu melalui penyesuaian harganya, dalam Repelita VI sampai dengan tahun
keempat realisasi subsidi pupuk dapat ditekan hingga menjadi sekitar I persen dari jumlah
pengeluaran pembangunan, kecuali pada tahun pertama Repelita VI yang meningkat cukup
tinggi sebagai akibat adanya kebijaksanaan pelunasan atas semua beban tagihan subsidi pupuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 96


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam beberapa tahun anggaran sebelumnya. Hal ini sangat membantu upaya meningkatkan
daya guna dan hasil guna pengeluaran pembangunan untuk dialokasikan kepada berbagai
proyek lainnya yang berprioritas lebih tinggi.
Sekalipun demikian, sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang terus memburuk
akibat krisis ekonomi, dalam tahun terakhir Repelita VI alokasi anggaran bagi subsidi pupuk
.mengalami peningkatan yang cukup tajam, hingga menyerap 2,3 persen dari jumlah anggaran
pembangunan rupiah. Hal ini tidak dapat dihindari, karena depresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika telah mengakibatkan munculnya subsidi atas selisih kurs dalam komponen harga
pupuk yang diimpor, dan membengkaknya beban subsidi gas bagi produsen pupuk mengingat
strbsidi harga gas per unit diperhitungkan dengan mata.uang dolar Amerika. Selain itu, dalam
rangka menopang program ketahanan pangan nasional (food security), dipanuang perlu
disediakan kembali subsidi bagi jenis pupuk SP-36, ZA dan KCI yang digunakan oleh sebagian
besar petani yang sebelumnya telah dihapuskan.
Seperti halnya pada subsidi pupuk, alokasi anggaran pembangunan qntuk PMP juga
sangat dibatasi, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana negara. Dengan
dernikian, selama Repelita VI, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk PMP menunjukkan
tendensi yang terus menurun, kecuali dalam tahun ketiga Repelita VI realisasi PMP mengalami
peningkatan yang cukup tinggi akibat adanya pengalihan pinjaman IPTN Dari dana reboisasi
menjadi penyertaan modal pemerintah, dan diperlukannya tambahan modal bagi beberapa
BUMN sektor perbankan dalam rangka pemenuhan rasio kecukupan modal (capital adequacy
ratio, CAR). Di luar kebutuhan tersebut, alokasi anggaran PMP bagi berbagai BUMN dilakukan
secara hati-hati dan sangat selektif, hanya untuk BUMN strategis yang benar-benar dalam
kondisi kekurangan modal, yaitu untuk perluasan skala usaha, maupun karena kondisinya yang
kritis, sehingga dipanuang perlu memperoleh suntikan dana. Di samping itu, alokasi dana PMP
juga digunakan untuk kontribusi pemerintah kepada berbagai lembaga internasional, seperti
OPEC Funds, Asian Development Bank (ADB), International Rubber Organisation (INRO),
International Finance Corporation (IFC) dan Global Environtment Facilities (GEF). Dalam
tahun terakhir Repelita VI, anggaran PMP digunakan untuk tambahan modal bagi beberapa
BUMN industri strategis, Perum Perumnas dalam rangka penyediaan perumahan rakyat, dan PT
Bank Mandiri untuk memenuhi rasio kecukupan modal dalam rangka restrukturisasi perbankan.
Sejalan dengan kebijakan pembatasan alokasi dana bagi subsidi pupuk dan PMP,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 97


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

penggunaan anggaran bagi LLP juga diupayakan seefisien dan seminimal mungkin, yaitu hanya
untuk berbagai macam proyek strategis lintas sektoral dan atau interdepartemental yang karena
sifat atau misi strategisnya dipanuang perlu memperoleh tambahan dana dari pemerintah di
samping itu, anggaran bagi LLP juga digunakan untuk mengatasi berbagai peristiwa yang tidak
dapat diprediksi sebelumnya, Namun harus diambil tindakan oleh pemerintah untuk
mengatasinya, seperti adanya bencana alam gempa bumi, kekeringan, dan banjir. Dalam
Repelita VI hingga tahun keempat, alokasi anggaran untuk LLP hanya sekitar 5,6 persen dari
jumlah keseluruhan pembiayaan pembangunan rupiah, yang dimanfaatkan antara lain untuk
mengatasi bencana alam kekeringan di Irian Jaya, pengembangan ekspor, peningkatan sarana
kehidupan beragama, pembinaan dan pengembangan pemuda, serta pengembangan kawasan
khusus. Dalam tahun terakhir Repelita VI, sebagai akibat krisis moneter yang berkembang
menjadi krisis ekonomi yang terus memburuk hingga pertengahan tahun 1998, anggaran bagi
LLP mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini disebabkan oleh perlu ditampungnya
kebutuhan biaya untuk program restrukturisasi perbankan dan subsidi bunga atas berbagai jenis
kredit program, seperti kredit perumahan rakyat (KPR), kredit usaha tani (KUT) dan kredit
koperasi primer untuk anggota PIR- Trans (KKP A PIRTrans), yang mencapai sekitar 87 persen
dari total pengeluaran LLP. Selain itu, juga diperlukan tambahan anggaran untuk memperkuat
program jaring pengaman jaring sosial yang mencapai 8 persen dari jumlah anggaran LLP, di
antaranya untuk proyek padat karya sektor kehutanan, penanggulangan dampak kekeringan dan
masalah ketenagakerjaan, serta pembinaan usaha kecil. Di luar kedua unsur biaya yang timbul
sebagai akibat krisis dimaksud, alokasi dana LLP murni hanya sekitar 5 persen dari total
anggaran LLP.
Anggaran belanja pembangunan yang berasal dari nilai lawan (rupiah) bantuan proyek
dalam empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar
34 persen per tahun, atau berperan sekitar 38 persen rata-rata per tahun dari total anggaran
belanja pembangunan. Dalam tahun terakhir Repelita VI, alokasi anggaran pembangunan yang
berasal dari nilai lawan bantuan proyek meningkat secara tajam mencapai sekitar 70 persen dari
perkiraan realisasi dalam tahun anggaran sebelumnya. Peningkatan yang sangat besar dari
alokasi pengeluaran tersebut dipengarnhi oleh adanya depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika
yang menyebabkan lebih besarnya nilai lawan bantuan proyek. Demikian pula, alokasi
pemanfaatan anggaran bantuan proyek tersebut juga mengalami perubahan, dari yang semula

Departemen Keuangan Republik Indonesia 98


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

terkonsentrasi pada proyek-proyek fisik yang bersifat padat modal (capital intensive) untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi, ke arah proyek-proyek yang bersifat penyelamatan (rescue),
padat karya agar lebih banyak menyerap tenagakerja (labor intensive) dan pemulihan (recovery)
untuk memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat terutama pengusaha kecil dan menengah
di berbagai sektor.

2.2.6.2 Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Menurut Fungsi (Sektor)


Dari dimensi fungsi pengeluaran, alokasi anggaran belanja pembangunan selama
Repelita VI lebih banyak terkonsentrasi pada sektor-sektordi biuang ekonomi, di antaranya
sektor transportasi dan komunikasi, pertanian dan kehutanan, transmigrasi dan pemukiman
perambah hutan, pertambangan dan energi, dan jasa ekonomi lainnya seperti pengembangan
usaha nasional, perdagangan dalam dan luar negeri, koperasi dan pengusaha kecil, tenaga kerja,
dan pariwisata. Di luar biuang ekonomi, alokasi anggaran pembangunan lebih banyak diarahkan
untuk pembangunan daerah, penyediaan fasilitas pelayanan dasar di biuang pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan sosial, perumahan dan permukiman, serta jasa pelayanan masyarakat
umum.

Di biuang ekonomi, alokasi anggaran pembangunan untuk penyediaan infrastruktur


transportasi dan komunikasi yang semula dalam empat tahun pelaksanaan Repelita VI naik
sekitar 18 persen rata-rata per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI justru turun sekitar 2
persen dari perkiraan realisasi tahun anggaran sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut,
rasio anggaran pembangunan untuk penyediaan prasarana transportasi dan komunikasi dalam
periode yang sama turun dari rata-rata sekitar 21 persen per tahun menjadi sekitar 14 persen.
Penurunan ini disebabkan oleh adanya penghematan anggaran pembangunan pada subsektor
transportasi darat, laut dan udara untuk dialokasikan guna memperkuat jaring pengaman sosial
yang tersebar di berbagai sektor. Dari anggaran pembangunan rupiah yang dialokasikan untuk
subsektor transportasi darat, laut dan udara dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 31 persen
di antaranya untuk memperkuat jaring pengaman sosial, yang pelaksanaannya dilakukan melalui
pola padat karya. Di lain pihak, pengeluaran pembangunan untuk prasarana jalan tetap
meningkat dari sekitar 7 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pelaksanaan Repelita VI
menjadi sekitar 16 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari anggaran pembangunan rupiah
yang dialokasikan untuk penyediaan prasarana jalan dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 42
persen di antaranya untuk perbaikan dan pemeliharaan jalan dan jembatan di berbagai daerah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 99


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam rangka menunjang peningkatan produksi pangan, yang dilaksanakan dengan pola padat
karya, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial.

Semen tara itu, alokasi anggaran untuk sektor pertanian dan kehutanan mengalami
peningkatan sangat tajam, yaitu dari 32 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama
pelaksanaan Repelita VI menjadi lebih dari 193 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada
sektor ini, pengeluaran pembangunan untuk subsektor pertanian meningkat Dari sekitar 15
persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar
177 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk
subsektor pertanian dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 23 persen di antaranya diarahkan
untuk penyediaan bibit unggul, intensifikasi pertanian, dan bantuan sarana produksi lainnya
dalam rangka program jaring pengaman sosial di biuang peningkatan produksi dan ketahanan
pangan (food security). Demikian pula, pengeluaran pembangunan untuk subsektor kehutanan
meningkat dari sekitar 77 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan
Repelita VI, menjadi lebih dari 825 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Pada subsektor ini,
keseluruhan anggaran pembangunan rupiah dalam tahun terakhir Repelita VI digunakan untuk
proyek-proyek padat karya guna menciptakan dan memperluas kesempatan kerja yang
sebanyak-banyaknya di sektor kehutanan.

Selanjutnya, alokasi anggaran untuk subsektor pembangunan daerah meningkat dari


sekitar 9 persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI
menjadi 207 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan peningkatan tersebut, rasio
anggaran untuk subsektor pembangunan daerah terhadap total anggaran pembangunan dalam
periode yang sama meningkat dari sekitar 15 persen rata-rata per tahun menjadi sekitar 20
persen. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah pada subsektor ini dalam tahun terakhir
Repelita VI, sekitar 34 persen di antaranya untuk program pengentasan kemiskinan dan program
perluasan jaring pengaman sosial.

Sejalan dengan itu, anggaran pernbangunan yang dialokasikan bagi penyediaan


fasilitas pelayanan dasar di biuang perumahan dan perrnukirnan meningkat dari rata-rata 27
persen per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI rnenjadi sekitar 145
persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan peningkatan tersebut, rasio anggaran
l'embangunan untuk sektor perumahan dan permukiman dalam periode yang sama meningkat
dari rata-rata sekitar 3 persen per tahun menjadi sekitar 7 persen. Dari alokasi anggaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 100


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pembangunan rupiah yang diperuntukkan bagi subsektor perumahan dan permukiman dalam
tahun terakhir Repelita VI, sekitar 36 persen di antaranya untuk perbaikan lingkungan
permukiman di daerah kumuh perkotaan, termasuk perbaikan bangunan pasar-pasar tradisional
yang rusak terbakar akibat kerusuhan sosial guna memperlancar kegiatan perdagangan, sebagai
upaya memperkuat jaring pengaman sosial.
Pada biuang pendidikan, anggaran pembangunan meningkat dari sekitar 16 persen rata-
rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar 79 persen
dalam tahun terakhir Repelita VI. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah untuk biuang
pendidikan dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 99 persen di antaranya ditujukan untuk
penyediaan beasiswa dan bantuan operasional pendidikan guna menunjang kelancaran proses
belajar mengajar sebagai upaya memperkuat jaring pengaman soslal di biuang pendidikan,
terutama untuk mencegah putus sekolah bagi murid dan mahasiswa yang mengalami hambatan
pendanaan pendidikan.

Pada biuang kesehatan, alokasi anggaran pembangunan meningkat dari sekitar 20


persen rata-rata per tahun selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI menjadi sekitar
103 persen dalam tahun terakhir Repelita VI. Dengan perkembangan tersebut, rasio anggaran
pembangunan sektor kesehatan terhadap total anggaran belanja pembangunan dalam periode
yang sama sedikit mengalami peningkatan, yaitu dari rata-rata 3,2 persen per tahun menjadi 4,1
persen. Keseluruhan anggaran pembangunan rupiah bagi pembangunan di biuang kesehatan
dalam tahun terakhir Repelita VI digunakan untuk memperkuat jaring pengaman sosial, yang
pelaksanaannya dilakukan melalui penyediaan petayanan kesehatan masyarakat, pencegahan
dan pemberantasan penyakit.

Dalarn periode yang sama, alokasi anggaran pembangunan di biuang kesejahteraan


sosial yang selama empat tahun pertama pelaksanaan Repelita VI meningkat sekitar 60 persen
rata-rata per tahun, dalam tahun terakhir Repelita VI tetap dapat dipertahankan. Dengan
demikian, rasio anggaran,pembangunan yang disediakan di biuang kesejahteraan sosial terhadap
total anggaran belanja pembangunan dalam periode yang sama sedikit meningkat, yaitu dari
rata-rata 0,5 persen menjadi 0,8 persen per tahun. Dari alokasi anggaran pembangunan rupiah
untuk kesejahteraan sosial dalam tahun terakhir Repelita VI, sekitar 74 persen di antaranya
untuk memperkuatjaring pengaman sosial, yang pelaksanaannya dilakukan melalui kegiatan
pelayanan sosial bagi masyarakat kurang mampu, anak-anak terlantar, maupun orang.orang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 101


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

terlantar yang diperkirakan semakin meningkat akhir-akhir ini. Perkembaagan pengeluaran


pembangunan berdasarkan sektor tahun anggaran 1989/1990-1993/1994 dan 1994/1995-
1998/1999 dapat diikuti dalam Tabel 11.15 dan Tabel 11.16.

Tabel II.15

PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SEKTOR, REPELITA VI)


(dalam miliar rupiah)

Jenis Pembiayaan 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 Jumlah


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Pertanian dan Pengairan 2.572,7 1.510,0 1.939,9 1.929,9 2.167,8 10.120,3

2. Industri 433,7 2.322,0 975,8 1.180,2 939,0 5.850,7


3. Pertambangan dan Energi 1.969,0 1.546,2 2.537,0 4.703,0 4.012,9 14.768,1
4. Perhubungan dan Pariwisata 3.554,5 4.680,3 5.673,0 6.676,4 7.226,3 27.810,5
5. Perdagangan dan Koperasi 539,5 520,1 440,8 529,5 555,2 2.585,1
6 Tenaga Kerja dan Transmigrasi 214,9 497,9 688,4 883,8 896,2 3.181,2
7. Pembangunan Daerah, Desa, dan Kota 1.350,9 1.864,2 2.446,8 3.117,1 3.588,0 12.367,6
8. Agama 20,1 40,6 46,5 66,7 76,8 250,7
9. Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional
dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 961,3 1.516,6 2.190,6 2.644,8 2.761,6 10.074,9
10. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan W anita,
Kependudukan dan Keluarga Berencana 369,9 601,7 777,5 1.036,1 1.159,8 3.945,0
11. Perumahan Rakyat dan Pemukiman 509,5 370,9 841,9 868,7 953,6 3.544,6
12. Hukum 22,8 33,0 51,7 75,0 78,9 261,4
13. Pertahanan dan Keamanan Nasional 615,4 408,2 758,4 798,1 972,7 3.552,8
14. Penerangan, Pees, dan Komunikasi Sosial 102,1 484,6 93,2 430,3 335,7 1.445,9
15. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian 287,9 251,4 330,8 391,9 534,8 1.796,8
16. Aparatur Pemerintah 299,9 425,2 483,5 400,0 486,0 2.094,5
17. Pengembangan Dunia Usaha 1.173,5 619,1 2.327,1 547,1 821,1 5.487,9
18. Sumber Alam dan Lingkungan Hidup 396,3 558,8 471,6 627,7 861,7 2.916,1

Jumlah 15.393,9 18.250,8 23.074,5 26.906,3 28.428,1 112.053,6

I) Realisasi PAN

Departemen Keuangan Republik Indonesia 102


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.2.6.3 Perkembangan Pembiayaan Pengeluaran Pembangunan


Pembiayaan bagi seluruh pengeluran investasi pemerintah dalam anggaran belanja
pembangunan bersumber dari dalam negeri berupa tabungan pemerintah (selisih antara
penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin), dan pinjaman luar negeri. Dengan
demikian, besarnya pengeluaran investasi pemerintah dalam anggaran belanja pembangunan
sangat tergantung pada tiga faktor strategis, yaitu pertama, pengerahan sumber-sumber
penerimaan dalam negeri, baik dari sektorperpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak,
kedua, efisiensi dalam pengelolaan dan pengendalian pengeluaran rutin, dan ketiga, pengerahan
sumber dana luar negeri. Dalam kerangka pembiayaan operasi fiskal sektor pemerintah,
terutama pengeluaran pembangunan, sumber dana luar negeri dimaksud digunakan untuk
menutup defisit anggaran, mengingat kebutuhan investasi yang perlu disediakan oleh
pemerintah untuk mencapai berbagai sasaran strategis dalam pembangunan, masih lebih besar
dari dana yang dapat dihimpun pemerintah dari tabungan pemerintah.
Dalam Repelita VI hingga tahun keempat, peranan sumber dana dalam negeri dalam
pembiayaan anggaran pembangunan masih cukup dominan, mencapai lebih dari 64 persen,
sementara 36 persen sisanya berasal dari pinjaman luar negeri. Hal ini terjadi karena penerimaan
dalam negeri berhasil ditingkatkan dalam jumlah yang cukup memadai, sementara pengeluaran
rutin dapat dikelola secara efisien dan terkendali tanpa harus mengorbankan elemen pelayanan
kepada masyarakat. Kecenderungan tersebut selaras dengan arah pengelolaan ekonomi makro,
tennasuk pengelolaan kebijakan fiskal yang sehat, terutama dalam upaya mendukung prinsip
kemandirian pembiayaan pembangunan, dan mengurangi tekanan terhadap beban anggaran
negara di masa mendatang.
Namun demikian, dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan
tahun 1997 yang bahkan terus memburuk hingga pertengahan tahun 1998, dalam tahun terakhir
Repelita VI tidak dapat dihindari sumber pembiayaan bagi anggaran belanja pembangunan
seluruhnya berasal dari pinjaman luar negeri, baik berupa bantuan program yang segera dapat
dicairkan (fast disbursing assistance) maupun nilai lawan (rupiah) bantuan proyek. Bahkan,
mengingat tabungan pemerintah (current budget balance) menjadi negatif akibat
membengkaknya beban pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran hutang luar negeri karena
depresiasi rupiah, sebagian dari dana pinjaman luar negeri terpaksa juga digunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin, di antaranya subsidi pangan. Ketergantungan yang semakin besar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 103


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pada pembiayaan luar negeri (external financing) dalam pengeluaran pembangunan dimaksud
sifatnya sangat sementara untuk memperkuat program jaring pengaman sosial, sebagai upaya
penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi sosial ekonomi masyarakat, agar
dapat meminimalisir dampak sosial terutama terhadap sebagian besar kelompok masyarakat
yang sangat rentan terhadap krisis ekonomi. Perkembangan pengeluaran pembangunan
berdasarkan sumber pembiayaan tahun anggaran 1989/1990-1998/1999 dapat diikuti dalam
Tabel 11.17 dan Grafik 11.4.
2.3 Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1999/2000

2.3.1 Ringkasan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran
1999/2000 disusun dalam kerangka pelaksanaan agenda reformasi di biuang ekonomi,
sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-Rl Nomor X/MPRl1998 tentang Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara. Sasaran utama kebijakan reformasi pembangunan di biuang ekonomi
adalah menstabilkan dan memperbaiki tatanan ekonomi dan keuangan yang rusak akibat krisis
moneter dan ekonomi, dan sekaligus memutar kembali roda perekonomian nasional.
Krisis moneter, yang menyebar ke seluruh sektor ekonomi dan kemudian berlanjut
dengan krisis kepercayaan terhadap mata uang rupiah serta kinerja dan prospek masa depan
ekonomi nasional yang terjadi selama lebih dari satu tahun terakhir, telah membawa sebagian
besar masyarakat, kembali merasakan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang makin
memprihatinkan. Hal ini ditandai antara lain dengan meningkatnya pengangguran, kelangkaan
barang-barang kebutuhan pokok dan kenaikan harga yang tidak terjangkau daya beli masyarakat
akibat tingginya inflasi, serta menurunnya output nasional dan tingkat pendapatan masyarakat,
yang secara keseluruhan bermuara pada menurunnya taraf hidup dan tingkat kesejahteraan
masyarakat (economic and social welfare) dengan tajam.
Dalam kondisi yang demikian, peranan pemerintah melalui kebijakan anggaran negara,
sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan (social protection) dan memulihkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap
perubahan yang tidak menguntungkan tersebut, agar tidak makin terpuruk akibat krisis. Dalam
konteks kebijakan fiskal, upaya dimaksud dilakukan melalui alokasi dana bagi program jaring

Departemen Keuangan Republik Indonesia 104


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengaman sosial (social safety net program), serta langkah untuk menstabilkan dan
menggerakkan perekonomian (economic stabilization and recovery) melalui berbagai
pengeluaran yang benar benar efektif memberdayakan dan menstimulir kegiatan ekonomi
rakyat, khususnya usaha kecil, menengah dan koperasi.
Sekalipun demikian, kebijakan APBN dimaksud sejauh mungkin diusahakan berjalan seiring
dan bersinergi dengan berbagai kebijakan di biuang-biuang lain, seperti kebijakan di biuang
moneter, perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran, nilai tukar dan lalu lintas devisa,
serta kebijakan di sektor riil. Berkaitan dengan itu, perencanaan besaran-besaran penerimaan
dan pengeluaran negara dalam RAPBN 199912000, dilakukan dengan berpedoman pada prinsip
kehati-hatian dan serealistis mungkin. Perencanaan tersebut danasarkan pada penilaian yang
seksama mengenai kondisi terakhir perekonomian dalam negeri dan berbagai faktor ekstemal,
terutama harga minyak dan nilai tukar (kurs) mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dan
kurs rupiah terhadap mata uang regional, serta proyeksi perkembangannya ke depan. Selain itu,
juga mempertimbangkan terakomodasikannya berbagai kebijakan dan sasaran-sasaran program
stabilisasi dan pemulihan ekonomi, serta memperhitungkan kemampuan sumber-sumber
pembiayaan yang diperkirakan akan dapat dihimpun, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri dalam tahun anggaran mendatang.

Kondisi ekonorni dalam negeri yang secara umum, mulai menunjukkan perkembangan
yang semakin baik merupakan faktor yang cukup positif dalam penyusunan RAPBN 1999/2000.
Perkembangan tersebut antara lain meliputi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang
makin stabil ke arah keseimbangan baru yang lebih realistis, tingkat inflasi yang mulai
terkendali, dan tingkat bunga yang mulai bergerak turun.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 105


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel D.17
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN
1989/1990 - 1998/1999 \)
(dalam mlliar rupiah)
Somber Pembiayaan 4)
Pengeloaran
Tahun
pembangunan Tabongan Penerimaan
pemerintah % pembangunan %
(I) (2) (3) (4) (5) (6)

REPELITA V 112.053,6 64.850,3 57,2 48.537,3 42,8

1989/1990 15.393,9 7.169,0 46,3 8.330,3 53,7


1990/1991 18.250,8 13.071,9 60,9 8.381,5 39,1
1991/1992 23.074,5 13.529,0 57,6 9.975,1 42,4
1992/1993 26.906,3 15.257,2 57,9 11.097,9 2,1
1993/1994 28.428,1 15.823,2 59,5 10.752,5 40,5
REPELITA VI 235.045,5 71.672,1 29,8 169.149,3 70,2
1994/1995 30.691,7 22.349,069,4 9.837,8 30,6
1995/196 28.780,7 22.578,971,5 9.008,8 28,5
1996/1997 35.951,8 25.069,267,8 11.900,1 32,2
1997/19982) 46.938,3 23.577,649,7 23.817,0 50,3
1998/19993) 92.683,0 -21.902,6 -23,6 114.585,6 123,6

1) Realisasi PAN
2) APBN PerubahWi (APBN-P)
3) A P B N
4) Tennasl;lk sisa anggaran lebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 106


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel D.17
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIA Y AAN,
1989/1990 . 1998/1999 I)
(dalam miliar rupiah)
Somber Pembiayaan 4)
Pengeloaran
Tahon
pembangunan Tabongan Penerimaan
pemerintah % pembangunan %
(I) (2) (3) (4) (5) (6)

REPELITA V . 112.053,6 64.850,3 57;2 48.537,3 42,8

1989/1990 15.393,9 7.169,0 46,3 8.330,3 53,7


1990/1991 18.250,8 13.071,9 60,9 8.381,5 39,1
1991/1992 23.074,5 13.529,0 57,6 9.975,1 42,4
1992/1993 26.906,3 15.257,2 57,9 11.097,9 2,1
1993/1994 28.428,1 15.823,2 59,5 10.752,5 40,5
REPELIT A VI . 235.045,5 71.672,1 29,8 169.149,3 70,2
1994/1995 30.691,7 22.349,0 69,4 9.837,8 30,6
1995/1996 28.780,7 22.578,9 71,5 9.008,8 28,5
1996/1997 35.951,8 25.069,2 67,8 11.900,1 32,2
1997/19982) 46.938,3 23.577,6 49,7 23.817,0 50,3
1998/19993) 92.683,0 -21.902,6 -23,6 114.585,6 123,6

1) Realisasi PAN
2) APBN Perubahan (APBN-P)
3) APBN
4) Tennasl,ik sisa anggaran 1ebih (SAL)/sisa anggaran kurang (SAK)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 107


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Berdasarkan penilaian terhadap perkembangan kondisi ekonomi tersebut, dalam


penyusunan RAPBN tahun anggaran mendatang, nilai tukar rupiah yang dipanuang cukup
realistis sebagai asumsi dasar dalam perhitungan dan penetapan sasaran penerimaan dan beban
anggaran be1anja negara diperkirakan berada pada kisaran Rp 7.500,- untuk setiap dolar
Amerika, atau makin menguat dibandingkan dengan asumsi kurs rata-rata Rp 10.600, - per dolar
Amerika yang digunakan da1am perhitunganAPBN 1998/1999. Sementara itu, 1aju inflasi
dalam tahun anggaran mendatang diproyeksikan akan dapat dikendalikan menjadi rata-rata
sekitar 17,0 persen, jauh 1ebih rendah dari rata-rata sekitar 66 persen yang diperkirakan dalam
tahun anggaran 1998/1999. Demikian pula, 1aju pertumbuhan ekonomi pada tahun anggaran
mendatang diperkirakan sedikit mengalarni perbaikan, yaitu dari kontraksi (negatif) sekitar 12
persen dalam tahun anggaran 1998/1999, menjadi 0 persen dalam tahun anggaran 1999/2000. Di
sisi ekstenal, perkembangan harga rninyak yang cenderung mengalarni penurunan pada
beberapa bulan terakhir sebagai akibat adanya ke1ebihan produksi, diperkirakan masih belum
akan pulih kembali menyusul kegagalap OPEC dalam menurunkan kuota produksi. Dengan
kecenderungan tersebut, da1am tahun anggaran mendatang harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (ICP) diasumsikan hanya akan berada pada kisaran US$ 10,5 per barel, sedikit lebih
rendah Dari asumsi rata-rata US $ 13 per barel yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999.
Berbagai perkembangan tersebut akan berpengaruh terhadap penetapan sasaran penerimaan
negara dan rencana pengeluaran negara dalam tahun anggaran 199912000.

Di sisi penerimaan, kecenderungan penurunan harga minyak dan perubahan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika akan berpengaruh negatif terhadap sasaran penerimaan rninyak
bumi dan gas a1am (rnigas). Sementara itu, perbaikan kondisi ekonomi dan tingkat inflasi akan
berpengaruh positif terhadap sasaran penerimaan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilaibarang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPn- BM),
serta penerimaan cukai. Sekalipun denrikian, penurunan tingkat suku bunga diperkirakan akan
memperlambat laju peningkatan sasaran penerimaan PPh, khususnya pajak atas penghasilan
yang berasal dari penerimaan bunga deposito. Dernikian pula, apresiasi rupiah akan
berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak ekspor dan penerimaan luar negeri.
Di lain pihak, program privatisasi BUMN akan sangat mempengaruhi sasaran
penerimaan negara bukan pajak (PNBP), mengingat sasaran penerimaan yang diharapkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 108


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

berasal dan hasil divestasi saham pemerintah pada BUMN relatif cukup besar, yaitu
diperkirakan Rp 13.000,0 miliar (sekitar US$ 1,7 miliar), alan mencapai lebih dari 50 persen
dari total sasaran PNBP.
Parameter kebijakan lainnya yang juga akan mempengaruhi sasaran penerimaan negara
adalah kebijakan perubahan tarif pungutan (pajak) ekspor alas Crude Palm Oil (CPO) dan
produk-produk turunannya, yang diperkirakan akan mengakibatkan penerimaan pajak ekspor
dalam tahun anggaran mendatang tidak sebaik penerimaannya dalam tahun anggaran berjalan,
mengingat sebagian besar penerimaan pajak ekspor berasal dari pungutan alas ekspor komoditi
CPO Dari produk-produk turunannya.
Di sisi pengeluaran negara, alokasi anggaran yang disediakan bagi pengeluaran rutin
akan diarahkan kepada upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat, mempertahankan penghasilan riil pegawai negeri sipil dan anggota ABRl serta para
pensiunan agar tidak merosot jauh akibat inflasi, serta membantu meringankan beban
masyarakat akibat krisis melalui penyediaan subsidi bagi berbagai komoditi strategis.
Sehubungan dengan itu, dalam tahun anggaran mendatang direncanakan untuk memberikan
kenaikan kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan penerima pensiunan, serta
penyesuaian besarnya tunjangan lauk pauk bagi golongan anggaran tertentu. Demikian pula,
pemberian subsidi juga masih akan diberikan terutama untuk subsidi bahan bakar minyak
(BBM), subsidi listrik, dan subsidi pangan (beras), namun dengan perubahan kurs jumlahnya
akan lebih kecil dan tahun sebelumnya. Sementara itu, rencana penundaan (rescheduling)
pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo dalam tahun 1999/2000 sesuai
dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan Paris (Paris Club), diperkirakan akan
dapat menghemat anggaran rutin dalam jumlah yang sangat berarti dalam situasi krisis.
Di biuang pengeluaran pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan memperluas
cakupan program jaring pengaman sosial, prioritas pembiayaan akan diletakkan pada (i) proyek-
proyek prasarana dengan kandungan lokal tinggi dan menyerap tenaga kerja besar, (ii)
perlindungan sosial dasar di biuang pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan proyek sosial
lainnya baik di perdesaaan maupun di perkotaan, (iii) pengembangan usaha kecil dan
menengah, (iv) restrukturisasi sektor perbankan, dan (v) upaya untuk mendorong ekspor.
Program penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud sangat penting dalam rangka
menghidupkan kembali kegiatan perekonomian nasional, mengingat perbankan dan lembaga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 109


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

keuangan lainnya mempunyai peranan sentral dalam menjalankan fungsi perantara (financial
intermediary function), yaitu menghimpun dana dari sektor yang mengalami surplus (rumah
tangga) dan mengalirkannya kepada sektor yang mengalami defisit (dunia usaha). Di samping
itu, rencana alokasi anggaran pengeluaran pembangunan juga diarahkan untuk merefleksikan
pelaksanaan awal Ketetapan MPR-Rl Nomor XV/MPRlI998 tentan.g Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hal ini dilakukan melalui realokasi anggaran
(switch policy) Dari proyek -proyek sektoral menjadi dana pembangunan daerah, khususnya
bantuan yang bersifat umum (block grant) dalam jumlah yang lebih besar.

Dengan memperhatikan berbagai parameter, variabel, dan kebijakan sebagaimana


diuraikan di alas, volume APBN 199912000 direncanakan akan berada pada tingkat Rp
219.603,8 miliar, atau sekitar 16,8 persen lebih rendah dari jumlah yang dianggarkan dalam
tahun anggaran 1998/1999. Penerimaan dalam negeri direncanakan Rp 142.203,8 miliar, atau
4,8 persen lebih rendah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sementara itu,
pengeluaran rutin direncanakan Rp 137.155,5 miliar, atau 19,4 persen lebih rendah dari alokasi
anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam tahun anggaran
mendatang diperkirakan terdapat tabungan pemerintah (public saving) Rp 5.048,3 miliar, jauh
lebih baik dibandingkan dengan tabungan pemerintah negatif Rp 21.902,6 miliar yang
diperkirakan dalam tahun anggaran sebelumnya. Di lain pihak, nilai anggaran belanja
pembangunan diperkirakan mencapai Rp 82.448,3 miliar, atau 11,0 persen lebih rendah dari
alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Sebagian beban anggaran belanja
pembangunan dimaksud akan diusahakan pembiayaannya dari sumber-sumber dana pinjaman
luar negeri (external financing), baik pinjaman program maupun pinjaman proyek pada pos
penerimaan luar negeri. Pinjaman program yang diperlukan untuk membiayai program dan
prqyek pembangunan, termasuk program social safety net dalam tahun anggaran mendatang,
diharapkan berasal dari Bank Dunia (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan bantuan
bilateral dari pemerintah Jepang.

Rangkaian program kebijakan fiskal sebagaimana tercermin di dalam besaran dan


strategi pencapaian sasaran penerimaan dan alokasi pengeluaran negara dalam RAPBN
1999/2000 seperti diuraikan di alas, diharapkan akan membantu mempercepat proses stabilisasi
dan pemulihan ekonomi nasional agar secepatnya dapat keluar dari krisis yang tengah dihadapi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 110


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.3.2 Penerimaan dalam negeri

Memasuki tahun anggaran 1999/2000, perekonomian nasional masih dibayangi oleh


akibat buruk dari krisis yang menimpa sejak pertengahan tahun 1997. Dampak yang kurang
menguntungkan tersebut terasa dari menurunnya kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan
dengan kegiatan produksi dan perdagangan, meningkatnya harga-harga umum yang tercermin
dari tingginya angka inflasi, serta masih lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Meskipun dalam bulan-bulan terakhir beberapa variabel makro tersebut telah menunjukkan
kecenderungan yang semakin baik, namun beratnya pukulan krisis tersebut diperkirakan masih
tetap berpengaruh terhadap kemampuan peningkatan sumber penerimaan dalam negeri, terutama
dari sektor perpajakan.

Dalam struktur penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan masih menunjukkan


pecan yang dominan. Hal tersebut tidak terlepos dari upaya pemerintah untuk meningkatkan
penerimaan perpajakan melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dilaksanakan, seperti
perluasan basis pengenaan pajak, intensifikasi pemungutan, dan penyuluhan kepada masyarakat
dalam rangka meningkatkan kesadaran membayar pajak.
Sementara itu, prospek penerimaan minyak bumi dan gas alam untuk tahun anggaran
1999/2000 masih diwarnai oleh belum dicapainya kesepakatan kuota produksi baru bagi negara-
negara anggota OPEC pada pertemuan yang berlangsung akhir tahun 1998. Perkembangan
tersebut telah berpengaruh kepada melemahnya harga minyak mentah dunia, yang pada akhimya
akan mengakibatkan rendahnya penerimaan migas dalam tahun anggaran 1999/2000.
Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan dalam negeri direncanakan mencapai Rp
142.203,8 miliar, yang berarti Rp 7.098,7 miliar atau 4,8 persen lebih rendah Dari APBN tahun
anggaran 1998/1999. Dari jumlah tersebut penerimaan minyak bumi dan gas alam diperkirakan
mencapai Rp 20.965,0 miliar, seuangkan penerimaan bukan migas mencapai Rp 121.238,8
miliar. Sehubungan dengan rencana tersebut, telah ditempuh berbagai kebijaksanaan di biuang
penerimaan migas, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Kebijaksanaan
tersebut akan terus ditingkatkan pelaksanaannya sesuai dengan pernnuang-unuangan yang
berlaku seiring dengan kebijaksanaan pembangnnan nasional. Rindan peranan penerimaan
migas, penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak terhadap penerimaan dalam
negeri dapat diikuti dalam Tabel 11.18.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 111


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.18
PERANAN PENERIMAAN DARI MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
PERPAJAKAN,
DAN BUKAN PAJAK, TERHADAP PENERIMAAN DALAM NEGERI,
APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam persen)
APBN RAPBN
No. Jenis Penerimaan
1998/1999 1999/2000
(1) (2) (3) (4)
1. Minyak bumi dan gas alam
(migas) 33,3 14,7
2. Penerimaan bukan migas 66,7 85,3
a. Penerimaan perpajakan 48,8 66,7

b. Penerimaan bukan pajak 17,9 18,6

Jumlah 100,0 100,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 112


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.3.2.1 Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam


Kebijakan di biuang energi pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelangsungan
penyediaan energi di dalam negeri dan pemenuhan kebutuhan untuk ekspor. Adapun sasaran
yang akan dicapai pada akhir Repelita VI adalah mengurangi pangsa minyak burn sebagai
sumber energi untuk selanjutnya diganti dengan energi non-minyak bumi, dan mengembangkan
energi baru yang terbarukan.
Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini untuk mempertahankan jumlah cauangan
melalui kegiatan eksplorasi yang intensif untuk mencari dan menemukan cauangan baru,
enhanced oil recoverylEOR (untuk mempertahankan tingkat produksi), secondary recovery
(pengurasan tahap kedua), perawatan sumur, uji coba dan studi-studi lanjut terhadap marginal
field serta metoda full scale telah berjalan dengan efektif. Hal ini terlihat dari masih dapat
dipertahankannya jumlah cauangan minyak bumi sebesar 9,09 miliar barel, dan cauangan gas
alam sebesar 137,8 TSCF (trillion standard cubic feet).
Sementara itu, penemuan lapangan minyak burn dan gas alam di kawasan Indonesia
Timur sangat diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat segera dikembangkan dan
diproduksikan. Di samping itu juga meningkatnya investasi para KPS (Kontrak Produksi
Sharing), yang memungkinkan penemuan sumur baru dan penambahan cauangan.
Upaya-upaya tersebut juga dibarengi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan
hidup, sehingga sumber daya energi dapat dipelihara selama mungkin dan pemakaiannya dapat
mengurangi dampak yang membahayakan masyarakat luas. Hal ini dilakukan melalui
pengelolaan energi yang memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, sejak tingkat eksplorasi,
eksploitasi, pengangkutan, pengolahan, distribusi sampai penggunaannya. Di samping itu juga
mulai diupayakan pemakaian energi pengganti minyak bumi, seperti penggunaan batu bara.
Selanjutnya, dengan melihat kepada perkembangan yang terjadi sampai dengan tahun
anggaran 1998/1999, kebijakan dan langkah-langkah di biuang minyak bumi dan gas alam yang
ditempuh dalam tahun anggaran 1999/2000 antara lain meliputi pemberian kesempatan usaha
bagi swasta, diterapkannya SBU (strategic business unit) di kilang-kilang Pertamina,
pengurangan kandungan timbal pada bensin secara bertahap, peningkatan produksi BBM di
kilang yang ada, penyelesaian pembangunan pipa gas transmisi Sumatera - Jawa, peningkatan
produksi LNG dan LPG untuk ekspor dan peningkatan penggunaan LPG sebagai energi
altematif pengganti BBM, serta pemberian peluang kepada pihak swasta nasional maupun asing

Departemen Keuangan Republik Indonesia 113


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

untuk berperan serta dalam usaha penyediaan BBM. Adapun sasaran yang akan dicapai pada
tahun anggaran 199912000 adalah produksi BBM dan Non-BBM masing-masing 289,97 juta
barel dan 71,87 juta barel, produksi LNG dan LPG masing-masing 34,49 juta ton dan 2,46 juta
ton, serta ekspor LNG dan LPG masing-masing 1,61 juta ton dan 28,87 juta ton.
Berdasar kepada kebijakan dan sasaran di biuang minyak bumi dan gas alam tersebut,
dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan minyak bumi dan gas alam direncanakan
mencapai Rp 20.965,0 miliar atau 57,8 persen lebih rendah dari rencana dalam tahun anggaran
1998/1999. Lebih rendahnya rencana penerimaan minyak bumi dan gas alam tersebut
disebabkan oleh lebih rendahnya penetapan asumsi harga rata-rata minyak bumi serta telah
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Jumlah tersebut terdiri dari penerimaan
minyak bumi Rp 12.443,4 miliar dan penerimaan gas alam Rp 8.521,6 miliar.
2.3.2.2 Penerimaan Perpajakan

Menyadari akan beratnya kondisi ekonomi dalam negeri, di biuang perpajakan,


berbagai upaya telah dan akan dilakukan, terutama yang menyangkut langkah ekstensifikasi dan
intensifikasi pemungutan pajak. Langkah tersebut antara lain ditempuh melalui dihapuskannya
beberapa fasilitas pembebasan pajak pertambahan nilai, peningkatan efektivitas pengawasan dan
administrasi perpajakan, serta pemeriksaan dan pengawasan terhadap wajib pajak potensial.
Selain itu, di biuang pajak perdagangan internasional, prospek penerimaan pajak ekspor dan bea
masuk akan dipengaruhi oleh berbagai kesepakatan perdagangan antanegara di dunia.
Kesepakatan untuk secara bertahap menurunkan tarif bea masuk sebagaimana kesepakatan
Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), diperkirakan akan membawa pengaruh kepada
tidak terlalu tingginya jenis penerimaan ini.

2.3.2.2.1 Pajak Penghasilan

Dalam tahun anggaran 1999/2000 berbagai upaya akan tetap dilakukan untuk
mempertahankan penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan kegiatan pemerintah. Program
pokok yang masih terus dilaksanakan adalah ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak,
dan penyempumaan sistem administrasi perpajakan. Melalui program ekstensifikasi diharapkan
bahwa penerimaan pajak penghasilan dapat meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah
wajib pajak dan perluasan objek pajak, seuangkan melalui intensifikasi diharapkan adanya
peningkatan penerimaan pajak penghasilan sebagai akibat dari meningkatnya kesadaran wajib

Departemen Keuangan Republik Indonesia 114


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pajak. Dengan sistem administrasi yang semakin rapi diharapkan bahwa upaya penegakan
hukum dalam pemungutan pajak dapat dilaksanakan sehingga penerimaan pajak dapat
ditingkatkan.

Variabel-variabel ekonomi makro yang berpengaruh dalam pencapaian sasaran


penerimaan pajak penghasilan yaitu pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin dalam
produk domestik bruto, tingkat inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi makro pada tahun anggaran 1999/2000 dapat
diharapkan bahwa penerimaan pajak penghasilan akan tetap mampu berperan dalam
pengumpulan penerimaan pajak. Namun sejalan dengan perkembangan nilai tukar rupiah yang
belum sepenuhnya stabil, maka penerimaan pajak penghasilan khususnya yang berasal dari
impor juga diperkirakan masih berfluktuasi, mengingat bahwa besarnya pajak penghasilan yang
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang impor tersebut tergantung kepada nilai
impor.

Selanjutnya dalam rangka menyesuaikan berbagai perkembangan perekonomian dan


dampak krisis yang melanda masyarakat luas, dalam tahun anggaran 1999/2000 dilakukan
perubahan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni dari Rp 1.728.000,00 menjadi Rp
2.880.000,00 untuk diri wajib pajak. Kebijaksanaan tersebut dituangkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 361 Tahun 1998 tanggal 27 Jull 1998 tentang Faktor Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mulai berlaku untuk tahun pajak 1999.
Seuangkan dalam upaya mencapai sasaran penerimaan pajak, kebijaksanaan pemerintah
mengenai pelaksanaan pembayaran dan pemotongan pajak penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah N omor 29 Tahun
1996 tanggal 16 April 1996 masih terus dilanjutkan dalam tahun anggaran 1999/2000.

Sementara itu, untuk mengatur kembali ketentuan mengenai besarnya pajak penghasilan
bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1998 tentang Perubahan alas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Bertolak ke Luar Negeri
sebagaimana telah Diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1996. Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah ini dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun
1998 dan Sural Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ .41/1998 tanggal 2 Februari
1998, yaitu mengubah nilai fiskal luar negeri yang semula Rp 250.000,00 menjadi Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 115


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1.000.000,00 bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan
pesawat udara.

Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pajak penghasilan direncanakan akan


mencapai Rp 40.626,0 miliar, yang berarti 57,2 persen lebih tinggi Dari APBN 1998/1999.
Untuk mencapai rencana penerimaan pajak penghasilan tersebut dalam tahun anggaran
mendatang akan dilakukan peningkatan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak,
pengawasan administratif khusus kepada wajib pajak potensial, peningkatan efisiensi kerja
melalui sistem informasi perpajakan, rekonsiliasi data dari pihak ketiga dengan surat
pemberitahuan wajib pajak, penelitian dan pemerlksaan serta penyidikan pajak yang lebih
efektif.

2.3.2.2.2 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM)

Sebagai pajak tidak langsung, yang menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM), dikenakan atas konsumsi dalam negeri, penerimaan PPN dan PPnBM
tergantung pada perkembangan nilai konsumsi dalam negeri, khususnya untuk barang-barang
konsumsi yang atas transaksinya terutang PPN dan PPnBM. Konsekuensinya, penerimaan jenis
pajak ini berkaitan erat dengan kondisi berbagai variabel ekonomi yang menentukan tingkat
konsumsi dalam negeri, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi yang secara
bersama-sama menentukan besarnya nilai pendapatan masyarakat di dalam negeri. Di samping
itu, nilai tukar rupiah terhadap valuta asing juga menentukan besarnya konsumsi dalam negeri
alas berbagai barang yang diimpor Dari luar negeri. Masing-masing faktor tersebut dapat
mempengaruhi penerimaan PPN dan PPnBM dengan ukuran dan arah yang berbeda-beda, baik
antarwaktu, antarkegiatan ekonomi, maupun antarjenis usaha. Selanjutnya, dalam tahun
anggaran 1999/2000 kondisi ekonomi diperkirakan akan menjadi lebih baik dari kondisinya
dalam tahun anggaran 1998/1999 yang ditunjukkan oleh lebih rendahnya tingkat inflasi, lebih
kuatnya nilai tukar rupiah, dan lebih tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Perkembangan
tersebut diharapkan dapat mendorong naiknya tingkat konsumsi dalam negeri, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan penerimaan PPN dan PPnBM.
Selain itu, penerimaan PPN dan PPnBM berkembang sejalan dengan ditempuhnya
berbagai kebijaksanaan yang diambil seperti perluasan objek pajak dan jumlah pengusaha kena

Departemen Keuangan Republik Indonesia 116


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pajak (PKP). Sejalan dengan itu, di biuang pengawasan akan diupayakan peningkatan
efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap pengusaha kena pajak, dan
pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dan data PPh. Kebijaksanaan tersebut juga
danukung oleh upaya peningkatan kerjasama dengan instansi lain, dan pencabutan serta
penghapusan fasilitas di biuang perpajakan atas barang kena pajak dan jasa kena pajak tertentu,
seperti impor mobil untuk taksi dan impor barang modal untuk usaha listrik swasta. Di lain
pihak, kebijaksanaan di biuang PPN dan PPnBM diarahkan pula untuk merangsang
berkembangnya kegiatan ekonomi dalam bentuk pemberian berbagai fasilitas di biuang PPN
dan PPnBM seperti untuk impor pakan ternak, impor suku cauang mobil, serta penyerahan
barang/jasa yang berkaitan dengan kegiatan investasi di kawasan pengembangan ekonomi
terpadu (KAPET).
Berdasarkan perkembangan kondisi ekonomi serta berbagai kebijaksanaan yang akan
ditempuh tersebut, penerimaan PPN dan PPnBM dalam tahun anggaran 1999/2000
direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar yang berarti Rp 5.657,4 miliar lebih tinggi dari
APBN 1998/1999.

2.3.2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(PBB dan BPHTB)
Sebagai sumber penerimaan pemerintah pusat yang penggunaannya langsung
dialokasikan kepada daerah, pajak bumi dan bangunan telah selaras dengan salah satu agenda
reformasi di biuang ekonomi, khususnya yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan, pembagian, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 ten tang Perubahan atas Undang-undang Nomor
12 Tahun 1985, ditetapkan bahwa tarif PBB adalah 0,5 persen dengan ni1ai jual kena pajak 20
persen. Sementara itu, khusus untuk sektor perkebunan dan perhutanan serta perumahan mewah
yang dipakai pribadi yang bernilai lebih Dari Rp 1.000.000.000,00 diberlakukan nilai jual kena
pajak 40 persen.
Di samping terus dilakukan penyempurnaan berbagai kebijaksanaan di biuang pajak
bumi dan bangunan, sejak 1 Iuli 1998 telah diberlakukan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB adalah sejenis
pajak yang dikenakan atas nilai perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 117


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pemindahan hak dan pemberian hak baru. Dalam Undang-undang tersebut diatur bahwa tarifnya
adalah 5 persen dari nilai perolehan objek pajak, dan atas setiap objek pajak diberikan nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) Rp 30.000.000,00.
Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar, yang berarti
4,8 persen lebih rendah dari APBN 199811999;- Penurunan tersebut berkaitan dengan masih
lesunya kegiatan di sektor properti yang diperkirakan masih akan berlanjut dalam tahun
anggaran 1999/2000. Dengan rencana tersebut, peranan penerimaan PBB dan BPHTB terhadap
penerimaan perpajakan meneapai 3,4 persen. Sasaran penerimaan tersebut diharapkan dapat
tercapai melalui upaya-upaya pemutakhiran data subjek dan objek pajak, peningkatan jumlah
wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak, serta peningkatan penegakan hukum. Di
samping itu akan terus dilakukan peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui kegiatan
penagihan, pengembangan sistem administrasi pajak bumi dan bangunan melalui sistem
informasi objek pajak, serta peningkatan kerjasama dengan pemerintah daerah, Badan
Pertanahan Nasional dan notaris, serta pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

2.3.2.2.4 Pajak Lainnya


Penerimaan pajak lainnya bersumber dari bea meterai, yang pengenaannya danasarkan
pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai atau Undang-undang Bea
Meterai 1985. Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah N omor 7 Tahun
1995 tentang Tarif Bea Meterai yang berlaku sejak tanggal16 Mei 1995 diatur bahwa objek bea
meterai adalah sural perjanjian dan surat lainnya yang digunakan untuk alat pembuktian yang
bersifat perdata, akte notaris dan salinannya, akte PPAT dan rangkapnya, cek dan bilyet giro,
serta surat dan dokumen lainnya dengan nilai nominal paling sedikit Rp 250.000,00. Dalam
prakteknya, perkembangan penerimaan bea meterai tergantung pada perkembangan transaksi
yang menurut Undang-undang dokumennya harus diberi meterai. Oleh karena itu, kondisi
perekonomian yang dalam tahun 199912000 diharapkan lebih baik dari tahun sebelumnya,
diperkirakan akan mendorong penerimaan pajak lainnya.

Sehubungan dengan itu, penerimaan pajak lainnya dalam tahun anggaran 1999/2000
diperkirakan meneapai Rp 564,5 miliar, yang berarti 4,5 persen lebih tinggi dari rencananya
dalam APBN 1998/1999. Untuk lebih menjamin tercapainya sasaran tersebut, ditempuh upaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 118


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

peningkatan pengawasan alas pemakaian benda-benda meterai, mesin teraan meterai, dan
peneetakan tanda lunas bea meterai. Selain itu juga diupayakan peningkatan upaya pencegahan
beredarnya meterai tempel palsu.
2.3.2.2.5 Bea Masuk

Dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang


Kepabeanan secara penuh pada 1 April 1997 landasan hukum biuang kepabeanan telah semakin
kuat. Kuatnya landasan pelaksanaan kebijaksanaan di biuang pabean tersebut merupakan salah
satu upaya untuk mengantisiposi tantangan global perdagangan dunia yang ditandai oleh
semakin cepatnya arus barang dan jasa, serta hampir menghilangnya batas-batas wilayah suatu
negara. Sebagai konsekuensinya, hambatan perdagangan internasional, baik berupa hambatan
tarif maupun non tarif akan semakin berkurang, dan diharapkan dalam dua dasawarsa ke depan
seeara bertahap dapat dihilangkan. Kecenderungan akan semakin menurunnya tarif tersebut
merupakan konsekuensi dari era perdagangan bebas, yang pada gilirannya akan berpengarnh
langsung kepada berkurangnya potensi penerimaan bea masuk pada tahun 1999/2000.
Dalam hubungannya dengan perkembangan tersebut, maka kebijaksanaan penurunan
bea masuk alas impor barang tertentu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 294 Tahun 1997 akan terus di1aksanakan, kecuali untuk impor alkoho1
sulingan dari minuman mengandung alkoho1 yang tarif bea masuknya tidak diturunkan. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mencegah konsumsi barang tersebut secara berlebihan mengingat
akan adanya dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Sementara itu, semakin besarnya tuntutan pe1ayanan di biuang kepabeanan telah


me1ahirkan berbagai upaya untuk meningkatkan keterampilan dan profesionalisme aparat
pelaksana. Peningkatan pelayananj uga melibatkan penggunaan teknologi mutakhir sehingga
mampu mempercepat proses penyelesaian dokumen. Dalam rangka modemisasi sistem
kepabeanan telah diujicobakan sistem kepabeanan baru yang dikenal dengan electronic data
interchange (EDI) yaitu suatu sistem pertukaran data bisnis antaraplikasi antarinstansi secara
elektronik dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, dan pelaksanaannya secara
penuh telah diterapkan di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Jakarta Tanjung Priok I, II, dan III,
dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Soekarno Hatta II. Pemilihan tempat uji coba di kantor-
kantor tersebut danasarkan pada besarnya volume kegiatan impor pada kantor-kantor tersebut.
Dengan menggunakan sistem informasi tersebut, pelayanan kepabeanan akan semakin cepat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 119


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi, sehingga mampu mengatasi beban kerja yang besar
sekaligus dapat meningkatkan produktivitas. Pemakaian sistem ini diperlukan mengingat
perkembangan perdagangan internasional yang semakin pesat menuntut kecepatan arus lain
lintas informasi data kepabeanan yang pada gilirannya diharapkan memperlancar arus barang di
pelabuhan, baik untuk barang ekspor maupun impor.

Dalam tahun anggaran 1999/2000 penerimaan bea masuk direncanakan akan mencapai
Rp 2.950,3 miliar, berarti 46,3 persen lebih rendah dari APBN tahun anggaran sebelumnya.
Meskipun demikian, upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan bea masuk terus dilakukan,
antara lain dengan terus mengintensifkan pengawasan dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan penyelundupan.
2.3.2.2.6 Cukai

Dalam tahun anggaran 1999/2000, peran penerimaan cukai bagi penerimaan dalam
negeri masih sangat diperlukan. Sampai saat ini, lebih Dari 96 persen penerimaan cukai berasal
dari cukai hasil tembakau, seuangkan sisanya berasal dari cukai 1ainnya. Penerimaan cukai hasil
tembakau dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tarif cukai, harga jual eceran (HJE) produk
hasil tembakau dan volume produksi dari masing-masing produsen hasil tembakau.
Kebijaksanaan cukai hasil tembakau diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 118
Tahun 1998 tentang Penetapan Tarif Cukai dan Harga Dasar Hasil Tembakau yang kemudian
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan berupa Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 55 Tahun 1998
tentang Perubahan Pasal4 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) serta Pasal6 Ayat (1) dan Ayat (2)
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 16 Tahun 1998 ten tang Harga Jua1 Eceran
Tembakau yang berlaku mulai 1 Oktober 1998.
Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445 Tahun 1998
tentang Penetapan Tarif Cukai Khusus Hasil Tembakau Jenis Sigaret Putih.Mesin. Keputusan
tersebut dikeluarkan sehubungan dengan adanya sistem tarif yang berlaku dan juga akibat
adanya gejolak perekonomian dewasa ini, sehingga pengusaha hasil tembakau jenis sigaret putih
mesin (SPM) dengan harga jual tertentu mengalami kenaikan beban tarif yang cukup besar
secara mendadak. Sehubungan dengan itu, untuk menghindari terhambatnya produksi hasil
tembakau dan persaingan yang kurang sehat, maka tarif SPM dinaikkan sebesar dua persen
untuk setiap kenaikan satu tingkat golongan tarif cukai yang lebih tinggi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 120


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selanjutnya, untuk barang kena cukai yang dipergunakan sebagai bahan baku alan bahan
penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dinyatakan
tidak dipungut cukai. Pelaksanaan tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
242 Tahun 1996 tentang Tidak Dipungut Cukai. Dengan ketentuan tersebut maka untuk etil
alkohol, rninuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau, yang digunakan sebagai
bahan baku dan penolong tidak dipungut cukai. Pelaksanaan di lapangan dari ketentuan tersebut
lebih lanjut diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 32 Tahun 1998
tentang Penggunaan Etil Alkohol Sebagai Bahan Baku/Penolong Dalam Pembuatan Minuman
Mengandung Etil Alkohol dan Hasil Tembakau Dengan Posilitas Tidak Dipungut Cukai. Di
biuang pembebasan cukai etil alkohol telah diberlakukan surat edaran Direktur Jenderal Bea dan
Cukai Nomor 31 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Cukai Etil Alkohol.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan penerimaan cukai, kebijaksanaan yang ditempuh
adalah melakukan pemberantasan peredaran pita cukai palsu dan pemberantasan penjualan atas
barang kena cukai yang dibebaskan tidak dipungut cukai dan keringanan alas barang kena cukai,
dan peningkatan kegiatan pemeriksaan yang efektif dan efisien.

Berdasarkan kebijaksanaan dan berbagai upaya tersebut dalam tahun anggaran


1999/2000 penerimaan cukai direncanakan mencapai Rp 10.160,0 miliar alan 31,0 persen lebih
tinggi dari APBN 1998/1999. Membaiknya penerimaan cukai ini terutama berhubungan dengan

adanya perubahan harga jual eceran hasil tembakau yang diperkirakan akan mampu mendorong
Jenis penerimaan ini.

2.3.2.2.7 Pungutan (Pajak) Ekspor

Pungutan (pajak) ekspor merupakan pungutan yang dikenakan alas produk-produk


ekspor tertentu dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekspor barang jadi dan
terjaminnya posokan barang di dalam negeri. Namun demikian penerimaan pungutan (pajak)
ekspor juga telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam penerimaan dalam negeri.
Dasar pengenaan pungutan (pajak) ekspor mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor
241 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata Cara Pembayaran Serta Penyetoran
Pajak Ekspor atas Beberapa Komoditi Tertentu. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut besarnya
tarif pungutan (pajak) ekspor yang berlaku rata-rata sebesar 30 persen. Sementara itu, pungutan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 121


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(pajak) ekspor untuk kelapa sawit dan produk turunannya, diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 334 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Ke1apa
Sawit, Minyak Sawit, Minyak Ke1apa, dan Produk Turunannya. Da1am kebijaksanaan tersebut
besarnya tarif pajak ekspor untuk ke1apa sawit dan produk turunannya rata-rata mengalami
peningkatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam
negeri. Kebijaksanaan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong ekspor nonmigas khususnya
untuk meningkatkan ekspor barang jadi yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi.
Dalam tahun anggaran 199912000 penerimaan pungutan (pajak) ekspor direncanakan
dapat mencapai Rp 2.594,5 rniliar, yang berarti 175,2 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
APBN tahun sebelumnya.

2.3.2.3 Penerimaan Negara Bukan Pajak


Peluang meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam tahun anggaran
1999/2000 guna menghimpun dana yang diperlukan bagi pembiayaan kegiatan pemerintah
masih menghadapi tantangan berat, antara lain perkembangan terakhir keadaan perekonomian
nasional, seperti gejolak moneter yang belum reda, tekanan inflasi yang masih cukup berat, dan
rendahnya tingkat produksi nasional menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi
PNBP. Namun demikian, Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai penyesuaian dan
penyempurnaan terhadap berbagai program yang telah dilakukan dalam tahun sebelumnya, serta
terus melakukan pengawasan dan pengelolaan pungutan PNBP secara intensif. Guna
mendukung pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, telah dilakukan program sosialisasi PNBP,
yaitu berupa penyuluhan mengenai arti pentingnya pembayaran PNBP sesuai dengan prosedur
dan biaya yang telah ditentukan, baik melalui media massa, audio visual, maupun dengan
mengumumkan secara transparan besarnya biaya pada loket/tempat pembayaran.
Sementara itu dengan beralihnya fungsi pembinaan BUMN ke Kantor Menteri Negara
Pendayagunaan BUMN/Badan Pengelola BUMN, diharapkan BUMN di masa mendatang
menjadi perusahaan yang tangguh, mandiri dan mampu meningkatkan daya saing hasil
usahanya. Upaya tersebut antara lain ditempuh melalui berbagai program peningkatan efisiensi
dan efektivitas, serta restrukturisasi dan privatisasi. Dengan demikian, diharapkan PNBP yang
berasal dari penerimaan departemen/lembaga pemerintah nondepartemen maupun dari bagian
pemerintah atas laba BUMN dapat meningkat.
Melalui pemanfaatan peluang dengan berbagai upaya di tengah krisis perekonomian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 122


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

nasional seperti sekarang ini, maka penerimaan negara bukan pajak tahun anggaran 199912000
direncanakan Rp 26.499,1 rniliar atau 0,6 persen lebih rendah dari yang direncanakan dalam
APBN 1998/1999. Penerimaan tersebut direncanakan akan berasal dari penerimaan
departemen/lembaga pemerintah nondepartemenRp 9.499,1 miliar, dan
penerimaanyangmerupakan bagian pemerintah atas laba BUMN Rp 4.000 rniliar, serta
privatisasi Rp 13.000,0 miliar. Selanjutnya rincian penerimaan dalam negeri dalam APBN
1998/1999 dan RAPBN 1999/2000 dapat dilihat dalam Tabe! II.19.

2.3.3 Penerimaan Luar Negeri


Untuk mendukung perkembangan ekonomi yang masih dalam situasi krisis saat ini
masih tetap diperlukan pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek
yang pada masa sebelumnya diterima sebagai bantuan program dan bantuan proyek.
Sebagaimana dalam tahun anggaran sebelumnya, pinjaman program dalam tahun anggaran
1999/2000 juga merupakan pinjaman program yang dapat segera dirupiahkan untuk membiayai
berbagai program guna mengatasi dampak krisis ekonomi. Pinjaman tersebut antara lain berasal
Dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Bantuan Dari Bank Dunia berupa Policy
Reform Structural Adjustment Loan II guna melanjutkan dukungan terhadap program
pemerintah di biuang kebijakan ekonomi dan kebijakan kelembagaan secara menyeluruh,
Governance Structural Adjustment Loan guna mendukung reformasi di biuang pemerintahan,
dan Social Safety Net Adjustment Loan guna memberikan bantuan finansial bagi program jaring
pengaman sosial melalui pelaksanaan dan monitoring program tersebut yang lebih efisien dan
terbebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sementara itu, pinjaman dari Bank Pembangunan Asia berupaPower Sector
Restructuring Development Program_guna mendukung restrukturisasi sektor kelistrikan,
Perusahaan Listrik Negara, Trade and Industry Program Loan guna meningkatkan struktur
industri yang lebih bervariasi dan efisien melalui penerapan kebijakan yang lebih mampu
bersaing secara global serta memberikan kesempatan yang lebih luas pada pengusaha-pengusaha
kecil, dan Sector.Development Program Community and Local Government Support guna
penanggulangan kemiskinan.
Seuangkan pinjaman proyek merupakan perkiraan nilai lawan pinjaman proyek yang
telah disepakati oleh pemberi pinjaman dalam tahun-tahun sebelumnya serta pinjaman proyek

Departemen Keuangan Republik Indonesia 123


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

baru yang telah selesai negosiasinya dan dituangkan dalam naskah perjanjian luar negeri yang
telah ditandatangani.

Tabel 11.19

PENERIMAAN DALAM NEGERI,


APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)

APBN RAPBN A%thd.


Jenis penerimaan
1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4)

I.Penerimaan minyak bumi daD

gas slam (migas) 49.711,4 20.965,0 - 57,8

(1) Minyak bumi 32.908,6 12.443,4 - 62,2

(2) Gas alam 16.802,8 8.521,6 - 49,3

II. Penerimaan bukan migas 99.591,1 121.238,8 + 21,7

(1) Pajak penghasilan 25.846,2 40.626,0 + 57,2


(2) Pajak pertambahan nilai 28.940,0 34.597,4 + 19,5
(3) Bea masuk 5.494,9 2.950,3 - 46,3
(4) Cukai 7.755,9 10.160,0 + 31,0
..
(5) Pajak ekspor 942,8 2.594,5 + 175,2
(6) PBB clan BPHTB 3.411,0 3.247,0 - 4,8
(7) Pajak lainnya 540,0 564,5 + 4,5

(8) Penerimaan negara bukan pajak 26.660,3 26.499,1 - 0,6

Jumlah 149.302,5 142.203,8 - 4,8

Pinjaman program dan pinjaman proyek yang dicatat sebagai penerimaan luar negeri

Departemen Keuangan Republik Indonesia 124


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam tahun anggaran 199912000 direncanakan Rp 77 .400,0 miliar, yang berarti 32,5 persen
lebih rendah dari rencana dalam APBN tahun anggaran 1998/1999. Penerimaan tersebut terdiri
dari pinjaman program Rp 47.400,0 miliar dan pinjaman proyek Rp 30.000,0 miliar.

2.3.4 Pengeluaran Rutin

Seperti halnya dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya, penyusunan anggaran belanja


rutin tahun anggaran 199912000 dilandasi oleh sikap cermat, hati-hati dan realistis, serta tetap
mengacu kepada usaha pencapaian sasaran secara efektif. Hal ini danasarkan pertimbangan
bahwa rancangan anggaran belanja rutin merupakan perwujudan dari program kerja dan rencana
kegiatan pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pemberian pelayanan
kepada masyarakat yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Berdasarkan kerangka acuan tersebut, dalam menetapkan besarnya kebutuhan anggaran belanja
rutin tahun anggaran 199912000 diupayakan agar benar-benar mencerminkan prioritas nasional
yang kongkrit dan realistis, di samping danukung oleh sumber-sumber pembiayaan yang riil.
Sebagai bagian dari sistem penganggaran negara, penentuan besarnya anggaran belanja
rutin tahun anggaran 1999/2000 tidak terlepos dari pengaruh berbagai faktor internal dan
eksternal, baik yang terjadi dalam tahun anggaran sebelumnya, maupun yang diperkirakan
terjadi dalam tahun anggaran selanjutnya. Dalam kaitan ini, berbagai perkembangan yang
kurang menguntungkan, baik di biuang ekonomi maupun sosial politik yang terjadi dalam
beberapa waktu terakhir telah memberikan dampak langsung terhadap besarnya anggaran
belanja rutin yang perin disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000.

Sementara itu, terjadinya krisis ekonomi yang dipicu oleh depresiasi rupiah yang sangat
tajam terhadap dolar Amerika sejak pertengahan tahun 1997, telah memberikan dampak yang
kurang menguntungkan bagi perekonomian nasional, dan anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Hal ini tercermin Dari semakin beratnya upaya menghimpun pendapatan
negara untuk membiayai anggaran belanja negara. Terjadinya depresiasi rupiah telah
menyebabkan membengkaknya beban belanja rutin yang mengandung komponen valuta asing,
terutama pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri dan subsidi BBM yang merupakan
pos pengeluaran yang cukup besar. Selain itu, depresiasi rupiah telah memberikan tekanan
terhadap harga-harga, khususnya harga berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga
di samping mendorong meningkatnya laju inflasi juga perlu disediakan tambahan anggaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 125


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

untuk menampung berbagai jenis subsidi, di antaranya subsidi bahan pangan, obat-obatan, dan
listrik.

Dengan memperhatikan perkembangan penerimaan negara dan kondisi perekonomian


nasional secara luas, serta rencana kegiatan dan berbagai kebutuhan pembiayaan rutin yang
perlu disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000, besarnya anggaran belanja rutin dalam
RAPBN 1999/2000 direncanakan Rp 137.155,5 niiliar, alan 19;9 persen lebih rendah dari
anggaran belanja rutin yang dianggarkan dalam tahun anggaran 1998/1999. Lebih rendahnya
penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan lebih rendahnya anggaran yang
disediakan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang, belanja barang, serta beberapa pos
pembiayaan subsidi yang ditampung dalam pengeluaran rutin lainnya. Seuangkan untuk belanja
pegawai, dan be1anja rutin daerah, anggaran yang disediakan dalam tahun anggaran 1999/2000
mengalami peningkatan dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan dalam APBN
1998/1999.

2.3.4.1 Pengeluaran Rutin Menurut Klasifikasi Ekonomi


Keseluruhan anggaran belanja rutin yang disediakan dalam RAPBN 1999/2000
dialokasikan ke dalam belanja pegawai, belanja barang, belanja rutin daerah, pembayaran bunga
dan cicilan hutang, serta pengeluaran rutin lainnya.
Dalam RAPBN tahun anggaran 1999/2000, anggaran yang disediakan untuk belanja
pegawai direncanakan Rp 33.569,1 miliar, alan 24,5 persen Dari keseluruhan pagu pengeluaran
rutin yang disediakan dalam RAPBN 1999/2000. Dari rencana tersebut, Rp 26.824,9 miliar atau
79,9 persen disediakan untuk gaji dan pensiun, yang berarti meningkat Rp 7.704,9 miliar, atau
40,3 persen dibanding anggaran yang disediakan dalam APBN tahun anggaran sebelumnya.
Lebih tingginya anggaran tersebut selain untuk menampung adanya rencana kenaikan gaji
pegawai, kenaikan pangkat/golongan, kenaikan gaji berkala, dan tambahan tunjangan keluarga,
juga berkaitan dengan rencana pengangkatan pegawai baru di beberapa departemen/lembaga
pemerintah nondepartemen (LPND), termasuk di antaranya guru, tenaga medis, dan paramedis.
Namun demikian, rencana pengangkatan pegawai baru tersebut tetap berdasarkan pada
kebijakan zero growth, yang merupakan kebijakan pengendalianjumlah pegawai negeri, dengan
mengupayakan agar jumlah pegawai seeara keseluruhan tidak bertambah. Dalam kebijakan
tersebut digariskan bahwa seeara keseluruhan jumlah pegawai negeri tetap, namun alokasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 126


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengadaan pegawai baru bagi tiap departemen LPND ditetapkan berdasarkan skala prioritas
kebutuhan pegawai yang dikaitkan dengan prioritas pembangunan.

Selain menampung kenaikan gaji dan pensiun, meningkatnya penyediaan anggaran


belanja pegawai pusat dalam RAPBN 199912000 juga dipengaruhi oleh meningkatnya anggaran
untuk tunjangan beras dan uang makan/lauk pauk. Anggaran untuk tunjangan beras dan uang
makan lauk pauk direncanakan Rp 2.087,1 miliar dan Rp 2.106,9 miliar, atau masing-masing
meningkat 11,5 persen dan 41,9 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam
APBN 1998/1999. Dalam pos tunjangan beras, peningkatan tersebut antara lain berkaitan
dengan adanya rencana penyesuaian harga pembelian beras pemerintah kepada Bulog.
Seuangkan kenaikan anggaran untuk uang makan lauk pauk terutama berkaitan dengan rencana
kenaikan uang makan lauk pauk bagi anggota ABRI, penyesuaian indeks uang makan lauk pauk
peserta pendidikan pada lembaga pendidikan khusus yang diselenggarakan pemerintah, serta
uang makan lauk posien rumah sakit, narapidana dan penghuni berbagai panti milik negara.
Selain itu, dalam pos belanja pegawai pusat juga menampung lain-lain belanja pegawai dalam
negeri dan belanja pegawai luar negeri.

Untuk mendukung kegiatan operasional pemerintahan dan pemeliharaan aset-aset


negara, dalam RAPBN 199912000 disediakan anggaran belanja barang Rp 11.039,0 miliar, atau
3,4 persen lebih rendah dibanding ,dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999.
Lebih rendahnya penyediaan anggaran belanja tersebut terutama berkaitan dengan menurunnya
anggaran belanja barang luar negeri, yang direncanakan Rp 1.032,2 miliar, atau 24,4 persen
lebih rendah dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih
rendahnya penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan menguatnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika dibandingkan asumsi nilai tukar yang digunakan dalam APBN
1998/1999, yang berpengaruh terhadap penurunan satuan biaya dalam rupiah bagi kegiatan
operasional kantor perwakilan pemerintah di berbagai negara. Seuangkan untuk belanja barang
dalam negeri, dalam RAPBN 199912000 disediakan anggaran Rp 10.006,8 miliar. Anggaran
tersebut antara lain digunakan untuk pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan
administrasi pada segenap departemenILPND, serta untuk memenuhi biaya pemeliharaan
berbagai aset negara dan hasil-hasil pembangunan.

Sementara itu, untuk belanja rutin daerah dalam RAPBN 1999/2000 disediakan
anggaran belanja rutin Rp 19.497,6 miliar, atau 46,7 persen lebih tinggi dibanding anggaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 127


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Penyediaan anggaran yang sebelumnya dikenal
sebagai subsidi daerah otonom tersebut diarahkan untuk mendukung kegiatan operasional
pemerintahan dan pembangunan di daerah, terutama dalam memberikan pelayanan umum dan
pengembangan perekonomian daerah. Belanja rutin daerah dialokasikan untuk belanja pegawai
daerah dan belanja nonpegawai daerah.

Belanja pegawai daerah disediakan anggaran Rp 18.696,8 miliar, atau mengalami


peningkatan 48,3 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN tahun anggaran
sebelumnya. Peningkatan belanja pegawai daerah tersebut selaras dengan meningkatnya
penyediaan anggaran belanja pegawai pusat, yaitu selain dipengaruhi oleh adanya rencana
peningkatan gaji pegawai, juga digunakan untuk menampung kenaikan pangkat/ golongan,
kenaikan gaji berkala, dan tambahan tunjangan keluarga. Seuangkan belanja nonpegawai daerah
direncanakan Rp 800,8 miliar, atau mengalami peningkatan 17,2 persen apabila dibandingkan
dengan dana yang disediakan dalam tahun anggaran 1998/1999. Anggaran untuk belanja
nonpegawai daerah tersebut digunakan antara lain untuk menampung bantuan penyelenggaraan
sekolah dasar negeri, subsidilbantuan biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-
RSUD), serta pemberian ganjaran kepada propinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya anggaran belanja rutin dalam RAPBN
1999/2000 adalah penyediaan anggaran untuk pembayaran hutang negara, terutama untuk
memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri. Kewajiban tersebut
timbul sebagai akibat dari pemanfaatan bantuan/pinjaman luar negeri pada masa lampau, yang
jatuh tempo pembayarannya terjadi dalam tahun anggaran 199912000. Besarnya anggaran yang
direncanakan untuk pembayaran hutang luar negeri Rp 44.430,8 miliar, atau 30,9 persen lebih
rendah apabila dibandingkan dengan anggaran yang disediakan pada tahun anggaran
sebelumnya. Anggaran belanja tersebut terdiri dari pembayaran cicilan pokok Rp 23.904,8
miliar, dan pembayaran bunga Rp 20.526,0 miliar. Penurunan anggaran tersebut terutama
berkaitan dengan penundaan (rescheduling) atas sebagian pembayaran kewajiban cicilan pokok
pinjaman luar negeri, khususnya untuk pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Penundaan
pembayaran cicilan pokok pinjaman tersebut dilakukan atas persetujuan negara-negara donor
yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk meringankan beban anggaran, dan sekaligus untuk mendukung pemulihan perekonomian
nasional.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 128


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Seuangkan untuk pembayaran hutang dalam negeri, disediakan anggaran Rp 380,1


miliar, atau mengalami penurunan 80,4 persen dibandingkan dengan anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan anggaran tersebut, terutama karena
dalam RAPBN 1999/2000 tidak lagi disediakan anggaran untuk pembayaran dana talangan
pengganti dana simpanan nasabah bank-bank yang dicabut izin operasinya pada bulan
November 1997. Anggaran tersebut direncanakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
kepada berbagai pihak di dalam negeri, yang penyelesaiannya diperkirakan baru dapat
dilaksanakan dalam tahun anggaran 1999/2000.

Selanjutnya, untuk pos pembiayaan pengeluaran rutin lainnya dalam tahun anggaran
1999/2000 disediakan anggaran Rp 28.238,9 miliar, atau 49,1 persen lebih rendah dibanding
dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan
untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi non-BBM, dan lain-lain. Lebih rendahnya
penyediaan anggaran tersebut antara lain berkaitan dengan dihapuskannya subsidi BBM jenis
avtur dan avigas, serta subsidi beberapa jenis bahan pangan
Penyediaan anggaran subsidi BBM terutama danasarkan pertimbangan bahwa sebagai
kebutuhan pokok masyarakat yang strategis, pemerintah sangat berkepentingan terhadap
terpeliharanya kestabilan harga BBM di dalam negeri, mengingat berdasarkan pengalaman
setiap perubahan harga BBM senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan laju inflasi. Oleh
karena itu, dalam penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri harus senantiasa dilakukan
dengan hati-hati, melalui pertimbangan aspek ekonomis dan nonekonomis, agar dampak
negatifnya terhadap stabilitas ekonomi dapat diminimalkan. Dalam tahun anggaran 1999/2000,
anggaran subsidi BBM direncanakan Rp 9.985,8 miliar, atau 63,7 persen lebih rendah dibanding
dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih rendahnya penyediaan
anggaran tersebut berkaitan dengan lebih rendahnya asumsi harga rata-rata minyak mentah, dan
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dibandingkan dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN 1998/1999.
Sementara itu untuk subsidi non-BBM direncanakan Rp 14.334,0 miliar, atau 43,1
persen lebih rendah dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999.
Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk subsidi beras, listrik, dan obat-obatan.
Seuangkan untuk pos lain-lain disediakan anggaran Rp 3.919,1 millar, atau 42,8 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Lebih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 129


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tingginya penyediaan anggaran tersebut terutama berkaitan dengan rencana diselenggarakannya


Pemilu dan Siuang Umum MPR tahun 1999. Selain itu, pos pembiayaan tersebut juga
menampung pembiayaan untuk pemberian bantuan kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia
(KONI) Pusat, tunjangan bagi anggota veteran dan perintis kemerdekaan, subsidi kepada Perum
Kereta Api, serta berbagai jenis pembiayaan rutin lainnya. Rincian anggaran belanja rutin
dalam APBN 1998/1999 dan RAPBN 1999/2000, dapat diikuti dalam Tabel 11.20.

2.3.4.2 Pengeluaran Rutin Menurut Sektor dan Subsektor


Di samping dialokasikan menurut klasifikasi ekonomi, anggaran belanja rutin dalam
RAPBN 1999/2000 juga dialokasikan ke dalam sektor dan subsektor. Seperti halnya dalam
tahun-tahun anggaran sebelumnya, dalam RAPBN 1999/2000 terdapat lima sektor yang
menempati urutan teratas dalam penyediaan anggaran belanja rutin. Sektor-sektor tersebut
meliputi sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi; sektor
pembangunan daerah dan transmigrasi; sektor pertahanan dan keamanan; sektor aparatur negara
dan pengawasan; serta sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga. Sementara itu, sektor-sektor lainnya memperoleh
alokasi yang lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan luasnya kegiatan yang tercakup dalam
masing-masing sektor, sehingga anggaran belanja rutin yang harus dialokasikan berbeda.
Sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, keuangan dan koperasi dalam tahun
anggaran 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 85.226,8 miliar, atau 35,2 persen
lebih rendah dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999.
Anggaran tersebut digunakan untuk empat subsektor, yaitu subsektor perdagangan dalam negeri
Rp 99,3 miliar, subsektor perdagangan luar negeri Rp 80,3 miliar, subsektor keuangan Rp
84.899,7 miliar, serta subsektor koperasi dan pengusaha kecil Rp 147,5 miliar.
Dalam subsektor perdagangan dalam negeri, anggaran tersebut diarahkan untuk
membiayai pelaksanaan berbagai program dan kegiatan, antara lain meliputi pembinaan
perdagangan dalam negeri, pembinaan usaha dan lembaga perdagangan, serta penyebarluasan
informasi perdagangan. Selanjutnya, dalam upaya perlindungan konsumen, melalui pembiayaan
tersebut juga dilaksanakan kegiatan penyuluhan tentang tertib niaga, termasuk pelayanan jasa
kemetrologian seperti pengawasan tertib ukur dalam timbangan dan takaran, serta pengujian dan
sertifikasi mutu barang. Di samping itu, pembiayaan tersebut juga digunakan untuk mendukung
kegiatan pemantauan terhadap distribusi kebutuhan pokok masyarakat, serta upaya pengendalian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 130


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

laju inflasi.

Tabel 11.20

ANGGARAN BELANJA RUTIN,


APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)
APBN RAPBN A % thd.
Jenis pengeluaran 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4)

I. Belanja pegawai 24.781,4 33.569,1 + 35,5

1. Gaji dan pensiun 19.120,0 26.824,9 + 40,3


2. Tunjangan beras 1.872,4 2.087,1 + 11,5
3. Uang makan/lauk pauk 1.484,4 2.106,9 + 41,9
4. Lain-lain belanja pegawai DN 1.154,6 1.489,9 + 29,0

5. Belanja pegawai LN 1.150,0 1.060,3 - 7,8


II. Belanja barang 11.425,1 11.039,0 - 3,4
1. Belanja barang DN 10.059,7 10.006,8 - 0,5
2. Belanja barang LN 1.365,4 1.032,2 - 24,4

ill. Belanja rutin daerah 13.289,7 19.497,6 + 46,7


1. Belanja pegawai 12.606,5 18.696,8 + 48,3
2. Belanja nonpegawai 683,2 800,8 + 17,2

IV. Bunga dan cicilan hutang 66.236,4 44.810,9 - 32,3

1. Hutang dalam negeri 1.940,1 380,1 - 80,4


2. Hutang luar negeri 64.296,3 44.430,8 - 30,9

V. Pengeluaran rutin lainnya 55.472,5 28.238,9 - 49,1

1. Subsidi BBM 27.534,0 9.985,8 - 63,7


2. Lain-lain 27.938,5 18.253,1 - 34,7

Jumlah 171.205,1 137.155,5 - 19,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 131


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Untuk subsektor perdagangan luar negeri, anggaran tersebut diarahkan untuk


membiayai berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan hubungan dan
kerjasama perdagangan internasional, usaha peningkatan daya saing dan promosi produk-produk
ekspor, standardisasi dan peningkatan mutu komoditas ekspor, serta kegiatan pengendalian
impor. Selain itu, anggaran tersebut juga untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan upaya pengembangan, dan diversifikasi ekspor nonmigas, serta pembinaan dan
pengendalian impor.
Sebagian besar anggaran belanja rutin subsektor keuangan digunakan untuk membiayai
berbagai program yang bersifat khusus dan terpusat seperti pembiayaan pensiun dan uang
tunggu, pembiayaan hutang negara, dan pembiayaan lain-lain, sehingga tidak dapat dialokasikan
ke dalam daftar isian kegiatan (DIK) masing-masing departemen/LPND. Pembiayaan pensiun
dan uang tunggu diarahkan penggunaannya untuk menampung biaya tunjangan pensiun pejabat
negara, pegawai negeri pusat, pegawai daerah, tunjangan pensiun anggota ABRI, pembayaran
uang tunggu, serta pemberian tunjangan bagi veteran dan perintis kemerdekaan. Pembiayaan
hutang negara dan program pembiayaan lain-lain antara lain digunakan untuk pembayaran
hutang dalam negeri, pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, biaya kerjasama teknik
internasional, biaya bebas porto, biaya jasa pos dan giro sehubungan dengan tugas-tugas
perbendaharaan negara, serta berbagai jenis pembiayaan rutin lainnya.
Di samping itu, anggaran belanja rutin subsektor keuangan juga digunakan untuk
membiayai berbagai jenis program lain, seperti program penerimaan dan pengamanan keuangan
negara, program stabilisasi ekonomi dan keuangan, program pembinaan efisiensi pengeluaran
negara, program pembinaan akuntansi keuangan negara, serta program pembinaan dan
pengembangan badan usaha milik negara. Dalam program penerimaan dan pengamanan
keuangan negara selain digunakan untuk pembiayaan kegiatan administrasi umum, juga
digunakan untuk menunjang penyelenggaraan peradilan pajak, penyelenggaraan kegiatan yang
menyangkut urusan piutang dan le1ang negara, penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan,
penetapan, penagihan pajak, dan pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB), serta pelaksanaan
kegiatan penyuluhan tentang perpajakan. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk
mendukung penyelenggaraan kegiatan kepabeanan dan pengenaan cukai, pemberantasan
penyelundupan dan perdagangan gelap, pembinaan lembaga keuangan, serta berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan penerimaan migas dan penerimaan negara bukan pajak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 132


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(PNBP).
Selanjutnya, dalam program stabilisasi ekonomi dan keuangan, anggaran tersebut antara
lain diarahkan untuk mendukung pembiayaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
pembinaan dan pengawasan pasar modal, kegiatan penyusunan dan analisis anggaran
pendapatan dan belanja negara, analisis moneter, analisis keuangan daerah, pengkajian ekonomi
dan keuangan negara, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kemudahan
ekspor dan pengolahan data keuangan negara. Dalam program pembinaan efisiensi pengeluaran
negara antara lain digunakan untuk kegiatan administrasi umum, kegiatan tata laksana dan tata
usaha anggaran belanja negara, serta penyelenggaraan perbendaharaan dan kas negara. Dalam
program pembinaan akuntansi keuangan negara dan program pembinaan dan pengembangan
badan usaha milik negara, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk pembinaan
akuntansi keuangan negara dan inventarisasi kekayaan milik negara, serta pembinaan badan-
badan usaha milik negara.
Seuangkan anggaran belanja rutin subsektor koperasi dan pengusaha kecil, diarahkan
penggunaannya untuk pelaksanaan pembinaan berbagai jenis program dan kegiatan yang
berkaitan dengan usaha memperkuat struktur perkoperasian dan usaha kecil. Program tersebut
antara lain meliputi pembinaan organisasi dan kelembagaan, peningkatan kemampuan sumber
daya, kewirausahaan, dan kemampuan manajerial, dalam upaya meningkatkan profesionalisme
dan ketangguhan dalam menjalankan usahanya, serta untuk meningkatkan kemampuan koperasi
dan pengusaha kecil melakukan persaingan usaha dan perluasan pasar. Di samping itu,
anggaran tersebut juga digunakan bagi pengembangan dan penyebarluasan informasi
perkoperasian, serta pengembangan pola dan perangkat pembinaan koperasi.
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan operasional pemerintahan daerah, serta
menunjang pelaksanaan pembinaan berbagai program di biuang transmigrasi, dalam RAPBN
1999/2000 sektor pembangunan daerah dan transmigrasi disediakan anggaran belanja rutin Rp
19.749,0 miliar, atau 46,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam dua subsektor, yaitu
subsektor pembangunan daerah Rp 19.647,8 miliar, serta subsektor transmigrasi dan
pemukiman perambah hutan Rp 101,2 miliar.
Dalam subsektor pembangunan daerah, sebagian besar anggaran tersebut, yaitu Rp
18.696,8 miliar disediakan untuk mendukung pembiayaan aparatur pemerintah daerah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 133


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Seuangkan sisanya digunakan untuk menampung beberapa jenis pembiayaan, yang antara lain
meliputi bantuan pembiayaan penyelenggaraan sekolah dasar (SD) negeri, subsidi/bantuan biaya
operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD), dan subsidi/bantuan biaya operasional
dan pemeliharaan objet pariwisata daerah. Bantuan pembiayaan penyelenggaraan SD negeri
diarahkan untuk pengadaan berbagai kebutuhan sekolah dasar, seperti kebutuhan tata usaha
sekolah, kebutuhan peralatan belajar dan mengajar, serta biaya pemeliharaan gedung sekolah. Di
samping itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk biaya penyelenggaraan evaluasi belajar
tahap akhir (EBTA) dan biaya pengganti pungutan sumbangan penyelenggaraan pendidikan
(SPP) sekolah dasar (SD) negeri. Pembiayaan SBBO-RSUD dimanfaatkan bagi pemeliharaan
operasional dan pemeliharaan rumah sakit, termasuk langganan daya dan jasa, serta pengadaan
berbagai kebutuhan rumah sakit lainnya. Seuangkan biaya operasional dan pemeliharaan objek
pariwisata daerah antara lain ditujukan untuk biaya pemeliharaan, pengembangan, dan
penganekaragaman berbagai objek wisata daerah, sehingga diharapkan dapat mengembangkan
kegiatan perekonomian daerah, perluasan kesempatan kerja dan perkembangan dunia usaha di
biuang kepariwisataan. Selain itu, penyediaan anggaran subsektor pembangunan daerah juga
menampung jenis pembiayaan lain, yang bertujuan membantu penyelenggaraan urusan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan Dari pemerintah pusat kepada daerah tingkat I, daerah
tingkat II, kotamadya, kota administratif, serta kecamatan.
Sementara itu, anggaran belanja rutin subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah
hutan diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan berbagai program selaras dengan Unuang-
unuang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Anggaran tersebut antara lain
digunakan untuk pelaksanaan program pembinaan dan pelaksanaan koordinasi penyusunan dan
pelaksanaan persiapan pemukiman transmigrasi, serta penyelenggaraan pelatihan para
transmigran dan masyarakat perambah hutan. Pembiayaan tersebut juga digunakan untuk
membiayai pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyiapan lahan dan sarana
permukiman transmigran baru, biaya pendaftaran, seleksi, biaya pengangkutan, penempatan dan
pembinaan calon transmigran, serta kegiatan pengembangan dan pemantapan usaha di lokasi-
lokasi permukiman transmigran. Selain itu, pembiayaan tersebut juga diarahkan untuk
mendukung pelaksanaan penataan pemukiman dan pembinaan perambah hutan, dalam rangka
pelestarian alam dan lingkungan hidup.
Terpeliharanya keamanan dan ketertiban negara merupakan faktor yang hakiki di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 134


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini, tugas dan fungsi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki arti yang sangat strategis, yaitu di samping
peranannya dalam menjaga kedaulatan negara, juga memiliki peranan strategis dalam menjaga
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas tersebut,
sektor pertahanan dan keamanan dalam RAPBN 199972000 disediakan anggaran belanja rutin
Rp 9.909,7 miliar, alan 30,1 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam subsektor ABRI Rp 9.695,1
miliar, dan subsektor pendukung Rp 214,6 miliar. Pemanfaatan anggaran belanja tersebut
diprioritaskan untuk pemeliharaan peralatan tempur beserta sarana pendukungnya, pengadaan
sarana penunjang untuk mendukung modernisasi dan peningkatan profesionalisme prajurit
ABRI, pengadaan perbekalan dan suku cauang, termasuk biaya pemeliharaan gedung, asrama,
dan rumah dinas di lingkungan ABRI.
Dalam subsektor ABRI, program yang dibiayai melalui anggaran tersebut antara lain
meliputi program pembinaan teritorial, program bala pertahanan keamanan wilayah, program
bala pertahanan keamanan pusat, program intelijen dan strategis, program dukungan
administrasi, serta program survei dan pemetaan. Seuangkan anggaran subsektor pendukung
diarahkan bagi pembiayaan beberapa program yang bersifat nonfisik, yang meliputi pembinaan
sumber daya dan pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi di biuang pertahanan dan
keamanan, pembinaan hukum dan perUndang-undangan, serta pembinaan kerjasama
internasional.

Sesuai dengan tugas dan fungsinya pada setiap lembaga kenegaraan, aparatur negara
memiliki peranan yang strategis dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
mengingat bahwa aparatur negara tidak hanya berperan di dalam pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan kenegaraan, namun juga berperan sebagai pendorong dan pemberi arah
terhadap jalannya roda pemerintahan. Untuk mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan di
biuang pembinaan aparatur negara, sektor aparatur negara dan pengawasan dalam tahun
anggaran 1999/2000 mendapatkan alokasi anggaran belanja rutin Rp 6.423,8 miliar, atau
meningkat 22,6 persen dibandingkan dengan yang disediakan dalam APBN tahun anggaran
sebelumnya. Pembiayaan tersebut akan dialokasikan ke dalam subsektor aparatur negara Rp
6,035,9 miliar, serta subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan Rp 387,9
miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 135


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam subsektor aparatur negara, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai


pelaksanaan program pembinaan produk-produk legislatif, pembinaan prasarana dan sarana
aparatur negara, pembinaan efisiensi aparatur negara, pendidikan dan pelatihan aparatur negara,
penelitian dan pengkajian kebijakan, serta penyelenggaraan pimpinan negara dan pemerintahan.
Di samping itu, anggaran tersebut juga menampung kegiatan pengolahan data, evaluasi
kebijakan, kegiatan yang berkaitan dengan pemberian pertimbangan kepada pemerintah,
pembinaan persandian, operasional intelijen, pelaksanaan kebijakan penanaman modal,
penyelenggaraan perumusan kebij.aksanaan biuang pertahanan dan keamanan nasional, serta
pelaksanaan kegiatan administrasi kepegawaian.

Sementara itu, penyediaan anggaran subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan


pengawasan diarahkan untuk penyelenggaraan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab atas keuangan negara, pengawasan dan
pemeriksaan keuangan negara yang berasal Dari APBN dan APBD, pengawasan dan
pemeriksaan kekayaan negara yang dipisahkan, pengawasan dan pemeriksaan badan usaha
perminyakan negara, serta penyelenggaraan perencanaan dan analisis hasil pemeriksaan seluruh
aparat pengawasan pemerintah pusat/pemerintah daerah, dan tata kerja instansi pemerintah.
Selanjutnya, pembiayaan tersebut juga digunakan untuk menampung biaya kegiatan
pemeriksaan khusus atas kasus penyimpangan, pengawasan atas kelancaran pelaksanaan
pembangunan, serta pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan bagi segenap jajaran
instansi pemerintah.

Sebagai salah satu wahana utama dalam pengembangan sumber daya manusia,
pembinaan sektor pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan strategis, terutama di dalam
usaha meningkatkan keterampilan, kecerdasan, serta pembentukan kepribadian bangsa yang
tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Dalam RAPBN
1999/2000, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, pemuda dan olah raga disediakan anggaran belanja rutin Rp 6.045,2 miliar, atau 27,5persen
lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran
tersebut dialokasikan masing-masing untuk subsektor pendidikan Rp 5.448,4 miliar, subsektor
pendidikan luar sekolah dari kedinasan Rp 471,0 miliar, subsektor kebudayaan nasional dari
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Rp 114,1 miliar, serta subsektor pemuda dan olah
raga Rp 11,7 miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 136


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam subsektor pendidikan, anggaran tersebut diarahkan untuk pembinaan berbagai


program, yang meliputi program pembinaan pendidikan dasar, pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, serta program pendidikan luar biasa. Dalam program pembinaan pendidikan
dasar, anggaran tersebut diarahkan penggunaannya untuk mendukung pelaksanaan berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan dasar dan upaya perluasan dan
pemerataan kesempatan belajar, terutama dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan
program wajib belajar sembilan tahun. Selain itu, program tersebut juga diarahkan untuk
menunjang kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan prasekolah Dari
sekolah dasar, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) umum, dan SLTP
keterampilan, termasuk biaya pengganti sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) bagi
seluruh SLTP negeri.

Program pembinaan pendidikan menengah antara lain ditujukan untuk


penyelenggaraan kegiatan dari usaha pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), sekolah
kejuruan Dari teknologi, serta pembinaan teknis administrasi. Program pembinaan pendidikan
tinggi dan program pembinaan pendidikan luar biasa diarahkan penggunaannya untuk
penyelenggaraan kegiatan pendidikan tinggi, serta penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar
biasa. Selanjutnya, anggaran subsektor pendidikan juga diarahkan bagi pembiayaan berbagai
sarana dari prasarana pendidikan serta pembinaan berbagai jenjang pendidikan, baik yang
dilaksanakan pemerintah maupun swasta, melalui peningkatan kualitas tenaga pendanik.

Anggaran subsektor pendidikan luar sekolah dari kedinasan diarahkan penggunaannya


untuk mendukung pembiayaan rutin pelaksanaan program pendidikan luar sekolah dan program
pendidikan kedinasan. Dalam program pendidikan luar sekolah, antara lain menampung
pembiayaan guna meningkatkan kemampuan dari keterampilan masyarakat, melalui
penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan teknis. Sementara itu, program pendidikan
kedinasan diarahkan penggunaannya untuk penyelenggaraan berbagai jenis pendanikdn dari
latihan (diklat) kedinasan yang dilaksanakan oleh berbagai departemen dari lembaga pemerintah
nondepartemen (LPND).

Sementara itu, penyediaan anggaran rutin dalam subsektor kebudayaan nasional dari
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diarahkan penggunaannya untuk melaksanakan
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha memelihara nilai budaya bangsa, menumbuhkan
sikap tanggungjawab sosial dari disiplin nasional, yang sekaligus sebagai upaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 137


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

untukmemperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai program dan kegiatan yang
dibiayai dengan anggaran tersebut antara lain meliputi pembinaan teknis administrasi,
pembinaan kebudayaan, pembinaan museum, pembinaan bahasa nasional, upaya peningkatan
kualitas dan kuantitas bahan pustaka, serta pelaksanaan kegiatan penelitian di biuang arkeologi.
Seuangkan dalam subsektor pemuda dan olah raga, anggaran tersebut direncanakan untuk
membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program pembinaan
kepemudaan dan kepramukaan, serta berbagai kegiatan di biuang pembinaan keolahragaan.
Di samping kelima sektor tersebut, beberapa sektor lain juga direncanakan mendapatkan
alokasi anggaran belanja rutin yang cukup besar. Sektor-sektor dimaksud adalah sektor politik,
hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa; sektor agama; sektor hukum;
sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja; serta sektor pertanian
dan kehutanan.

Untuk mendukung pelaksanaan pembinaan kehidupan politik dan hubungan diplomatik,


pelaksanaan program penerangan masyarakat, serta pembinaan media massa nasional, sektor
politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media massa dalam RAPBN
1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin Rp 2.710,6 miliar, atau 7,1 persen lebih rendah
dibanding dengan anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut
dialokasikan ke dalam subsektor politik Rp 122,7 miliar, subsektor hubungan luar negeri Rp
1.978,4 miliar, dan subsektor penerangan, komunikasi dan media massa Rp 609,5 miliar.

Dalam subsektor politik, anggaran tersebut akan digunakan untuk menunjang


pelaksanaan program pembinaan politik dalam negeri serta program penyelenggaraan
pemerintahan umum dan otonomi daerah. Program pembinaan politik dalam negeri antara lain
ditujukan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan
kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik, yang dilandasi oleh moral, sikap
dan etika politik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selanjutnya, program
penyelenggaraan pemerintahan umum dan otonomi daerah diarahkan penggunaannya untuk
mendukung upaya perwujudan otonomi daerah secara nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggungjawab. Pembiayaan tersebut antara lain mencakup kegiatan perumusan kebijakan,
pemberian bimbingan dan pembinaan pembangunan daerah, pelaksanaan pemantauan, analisa
dan evaluasi kegiatan pembangunan daerah, pembinaan dan penataan kawasan dan pengelolaan
lingkungan, pembinaan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), serta penyelenggaraan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 138


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

catatan sipil di berbagai daerah.

Dalam subsektor hubungan luar negeri, penyediaan anggaran tersebut diarahkan


penggunaannya untuk menunjang pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan
dengan pembinaan hubungan diplomatik, seperti penyelenggaraan hubungan diplomatik di
biuang politik, kerjasama teknik luar negeri di biuang ekonomi, sosial budaya dan kegiatan
penerangan luar Negeri, serta untuk mendukung kegiatan komunikasi di berbagai kantor
perwakilan di luar Negeri. Selain itu, anggaran tersebut juga dialokasikan untuk membiayai
kegiatan penyelenggaraan hubungan konsuler, serta penyelenggaraan koordinasi dalam rangka
kerjasama bilateral dan multilateral.
Seuangkan dalam subsektor penerangan, komunikasi, dan media massa, anggaran
belanja tersebut antara lain digunakan untuk menunjang pembinaan penerangan, termasuk
pengadaan berbagai sarana untuk menunjang peningkatan kuantitas dan kualitas produk-produk
penerangan, serta pembinaan media massa nasional. Demikian pula dalam rangka meningkatkan
bobot operasional penerangan, melalui anggaran tersebut juga dibiayai berbagai kegiatan seperti
pembinaan personil juru penerang, serta peningkatan kualitas materi penerangan yang
disampaikan kepada masyarakat termasuk upaya peningkatan penyebarluasannya. Selain itu,
anggaran tersebut juga digunakan untuk membiayai program pengembangan operasi
penerangan, program pembinaan dan pengembangan radio, televisi dan film, serta program
pembinaan dan pengembangan pers dan grafika.
Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan dan kebijakan pembinaan masyarakat di
biuang kerohanian, dalam RAPBN 1999/2000 disediakan anggaran belanja rutin untuk sektor
agama Rp 1.741,6 miliar, atau 33,5 persen lebih tinggi dibanding anggaran yang disediakan
dalam APBN 1998/1999. Penyediaan anggaran tersebut terutama diarahkan untuk mendukung
pembiayaan berbagai program pembinaan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas
keimanan dan ketaqwaan bagi setiap umat beragama, pemantapan kerukunan hidup antarumat
beragama, serta peningkatan pengamalan nilai-nilai keagamaan bagi setiap pemeluknya, sebagai
prasyarat utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh dan lestari.
Anggaran belanja rutin sektor agama dialokasikan ke dalam subsektor pelayanan kehidupan
beragama Rp 273,4 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama Rp 1.468,2 miliar.

Dalam subsektor pelayanan kehidupan beragama, anggaran tersebut antara lain


diarahkan untuk menunjang kegiatan pelayanan, penerangan, bimbingan dan pembinaan agama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 139


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha, termasuk pembinaan perpustakaan pada
berbagai rumah ibadah. Selanjutnya, anggaran tersebut juga untuk menampung pelaksanaan
pelayanan dan bimbingan kegiatan kepenghuluan, kemasjidan, zakat, wakaf, pemberian
bimbingan kepada para mubaligh, khatib, dan bagi penyuluh agama lainnya, serta
penyelenggaraan kegiatan penerangan agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan
Budha.
Seuangkan dalam subsektor pembinaan pendidikan agama, anggaran tersebut
diarahkan penggunaannya bagi pelaksanaan berbagai program yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan agama, seperti penyelenggaraan perguruan tinggi agama Islam,
pendidikan guru agama Kristen, dan pendidikan guru agama Hindu. Selain itu, anggaran
tersebut juga digunakan untuk biaya pengganti sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)
perguruan madrasah dan tsanawiyah negeri, sehubungan dengan pelaksanaan program
pendidikan dasar sembilan tahun.

Pembinaan sektor hukum memiliki peranan yang strategis, terutama menciptakan


suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, mengingat dalam era reformasi,
sektor ini sangat perin danukung oleh perangkat, sarana dan prasarana hukum, serta pranata dan
kelembagaan hukum yang memadai. Selain itu, pembinaan sektor hukum juga berkaitan erat
dengan upaya mewujudkan kepostian hukum, guna memberikan rasa aman dan tenteram bagi
segenap lapisan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor hukum memperoleh alokasi
anggaran belanja rutin Rp 982,8 miliar, atau meningkat 29,4 persen dibandingkan dengan
anggaran yang disediakan dalam tahun anggaran sebelumnya. Anggaran tersebut dialokasikan
pada subsektor pembinaan hukum nasional dan subsektor pembinaan aparatur hukum, yang
masing-masing mendapat alokasi pembiayaan Rp 866,5 miliar dan Rp 116,3 miliar.

Dalam subsektor pembinaan hukum nasional, anggaran yang disediakan dimanfaatkan


penggunaannya untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan, yang antara lain mencakup
pembinaan hukum dan perUndang-undangan, pembinaan hukum dan peradilan, pembinaan
badan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, pembinaan hukum dalam biuang
keperdataan, penyelenggaraan peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat pertama, serta
pembinaan hak cipta, paten dan merek. Anggaran tersebut antara lain digunakan bagi
pelaksanaan kegiatan penanganan perkara pidana khusus dan kegiatan operasional intelijen,
yang antara lain meliputi penanganan berbagai jenis perkara pidana, perdata, lata usaha negara,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 140


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

serta perkara penyelundupan dan perkara pelanggaran wilayah. Selanjutnya, untuk memberikan
perlindungan hak milik intelektual, anggaran tersebut digunakan untuk pembinaan hak cipta,
merek dan paten, agar berbagai merek perusahaan dan pemegang hak paten yang telah
danaftarkan, mendapatkan jarninan perlindungan hukum terhadap kemungkinan
penyalahgunaan oleh pihak lain. Selain itu, pembiayaan subsektor tersebut juga digunakan
untuk pelaksanaan pembinaan masyarakat, penyelenggaraan bimbingan kemasyarakatan dan
pengentasan anak (Bispa), pembinaan kegiatan pemasyarakatan, serta penyelenggaraan berbagai
kegiatan di biuang keirnigrasian.

Dalam subsektor pembinaan aparatur hukum, anggaran tersebut diarahkan untuk


pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum dan
peradilan tertinggi, peradilan perkara kecelakaan dan pelanggaran peraturan transportasi laut,
serta penyelenggaraan peradilan agama Islam. Dalam kegiatan pelaksanaan hukum dan
peradilan tertinggi antara lain mencakup pembiayaan berbagai kegiatan pemeriksaan dan
pengambilan keputusan terhadap permohonan kasasi, serta peninjauan kembali terhadap
keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu, guna
menunjang pembinaan keselamatan pelayaran dan kesyahbandaran, serta untuk menunjang
terciptanya keamanan dan keselamatan pelayaran dan lalu-lintas angkutan laut, melalui
pembiayaan tersebut juga dialokasikan anggaran untuk menunjang pelaksanaan kegiatan
pengusutan dan peradilan perkara-perkara kecelakaan dan pelanggaran peraturan perhubungan
laut. Selanjutnya, dalam upaya penanganan berbagai bentuk sengketa yang menyangkut sendi-
sendi hukum agama Islam, anggaran tersebut digunakan untuk menunjang pembiayaan bagi
penyelenggaraan kegiatan peradilan agama Islam.

Untuk mendukung pembinaan di biuang kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, sektor


kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja disediakan anggaran belanja
rutin Rp 829,1 miliar, atau meningkat 17,6 persen dari anggaran yang disediakan dalam APBN
1998/1999. Anggaran tersebut dialokasikan untuk subsektor kesejahteraan sosial Rp 151,2
miliar dan subsektor kesehatan Rp 677,9 miliar.

Dalam subsektor kesejahteraan sosial, penyediaan anggaran tersebut diarahkan


penggunaannya untuk menunjang pembinaan dan bimbingan kesejahteraan sosial, pembinaan
nilai-nilai kepeloporan dan keperintisan biuang kemasyarakatan, pembinaan di biuang
rehabilitasi sosial, serta pembinaan masyarakat suku terasing dan repatriasi. Selanjutnya,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 141


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

melalui pembiayaan tersebut juga akan dilaksanakan kegiatan pembinaan dan pemberian
pelayanan terhadap para tuna sosial (gelanuangan dan pengemis), korban bencana alam,
penderita cacat, anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, fakir miskin, dan suku
terasing.

Sementara itu, penyediaan anggaran rutin dalam subsektor kesehatan diarahkan


penggunaannya untuk menunjang pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang meliputi
biaya pembinaan dan penyuluhan kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat, dan
pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit. Anggaran tersebut juga digunakan untuk kegiatan
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan wabah, serta penyelenggaraan kegiatan
pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi obat, makanan, minuman, kosmetika, dan
narkotika. Selanjutnya, anggaran tersebut juga digunakan untuk pengadaan bahan peraga
penyuluhan, serta kegiatan pemantauan terhadap usaha pemasyarakatan obat-obat generik.
Melalui penyediaan anggaran tersebut juga dilaksanakan kegiatan laboratorium klinik dan
laboratorium kesehatan masyarakat, serta pelayanan rujukan berbagai rumah sakit pemerintah
dan swasta. Demikian pula dalam rangka pemeliharaan, pemulihan dan peningkatan kesehatan
masyarakat, anggaran yang tersedia juga akan digunakan untuk biaya pengadaan obat-obatan
dan alat-alat kesehatan, serta biaya pemeliharaan alat -alat kesehatan.

Upaya menciptakan stabilisasi dan upaya pemulihan kondisi perekonomian nasional,


sangat membutuhkan pembinaan dan pengembangan terhadap sektor pertanian dan kehutanan
secara intensif dan berkesinambungan. Seperti diketahui, pembangunan sektor pertanian dan
kehutanan memiliki peranan yang strategis, baik sebagai sumber kebutuhan pokok masyarakat,
maupun sebagai penyedia lapangan kerja dan lapangan usaha, serta sebagai penunjang
pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa dalam suasana krisis yang
melanda perekonomian nasional, sektor pertanian dan kehutanan merupakan salah satu sektor
yang mampu berkembang dengan cukup baik.

Dalam RAPBN 1999/2000 sektor pertanian dan kehutanan mendapatkan alokasi


anggaran belanja rutin Rp 743,9 miliar, atau meningkat 18,5 persen dibandingkan dengan
anggaran yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut direncanakan akan
dialokasikan untuk subsektor pertanian Rp 265,9 miliar dan subsektor kehutanan Rp 478,0
miliar.

Dalam subsektor pertanian, penggunaan anggaran diprioritaskan kepada usaha

Departemen Keuangan Republik Indonesia 142


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mengembalikan tercapainya swasembada pangan, serta upaya meningkatkan dan memperluas


usaha penganekaragaman hasil pertanian. Berbagai upaya tersebut juga ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidup petani, nelayan dan peternak, serta mendorong perluasan dan
pemerataan kesempatan kerja dan berusaha. Anggaran belanja tersebut akan digunakan untuk
pembiayaan aparatur dan pembiayaan operasional dan pemeliharaan, dalam rangka menunjang
pembinaan dan pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, pembinaan dan
pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan perkebunan dan perikanan, serta
penyelenggaraan karantina pertanian. Selain itu anggaran tersebut juga direncanakan untuk
membiayai berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mendukung pembinaan usaha tani dan
nelayan, pembinaan pengolahan hasil perikanan, serta pembinaan dan pengembangan usaha-
usaha peternakan.

Dalam subsektor kehutanan, anggaran yang tersedia diarahkan penggunaannya untuk


membiayai program pembinaan produksi kehutanan, yang antara lain meliputi pembinaan
prakondisi pengelolaan hutan, pencegahan dan pemulihan kerusakan hutan, tanah dan air,
peningkatan usaha konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan, pembinaan pengusahaan
hutan, serta penyelenggaraan penyuluhan di biuang kehutanan. Selain itu, anggaran tersebut
juga digunakan untuk menunjang pembiayaan yaitu untuk berbagai kantor daerah, seperti balai
informasi dan sertifikasi hasil hutan:
balai konservasl sumber daya alam, taman-taman nasional, balai penelitian, balai teknologl
reboisasi dan perbenihan, serta berbagai kantor vertikall ainnya yang berada di daerah-daerah.
Di samping dialokasikan ke dalam sektor-sektor tersebut, anggaran belanja rutin yang
disediakan dalam RAPBN 1999/2000 juga dialokasikan ke dalam berbagai sektor lain, yaitu
meliputi sektor industri; sektor pengairan; sektor tenaga kerja; sektor transportasi, meteorologi
dan geofisika; sektor pertambangan dan energi; sektor pariwisata, pos dan telekomunikasi;
sektor lingkungan hidup dan tata ruang; sektor kependudukan dan keluarga sejahtera; sektor
perumahan dan permukiman, serta sektor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rincian anggaran belanja rutin berdasarkan sektor dan subsektor dalam RAPBN .
1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel ll.21.

2.3.5 Tabungan Pemerintah


Krisis ekonomi yang melanda Indonesia belum sepenuhnya mengalami pemulihan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 143


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Krisis tersebut telah mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat serta telah
mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Dalam kaitannya dengan upaya untuk
mengurangi berbagai dampak dimaksud, terutama yang memberatkan rakyat banyak,
Pemerintah mengalokasikan dana subsidi khususnya yang berkaitan dengan penyediaan
beberapa barang kebutuhan masyarakat, seperti bahan bakar minyak, penyediaan pangan, listrik
dan obat-obatan. Berbagai bentuk subsidi tersebut merupakan komponen yang cukup besar dari
pengeluaran rutin dalatn tahun anggaran 1999/2000. Di pihak lain, upaya penjadwalan atas
cicilan pokok hutang luar negeri, serta upaya efisiensi di biuang pengeluaran rutin, diharapkan
akan menurunkan pengeluaran rutin. Sementara itu berbagai upaya dalam peningkatan
penerimaan dalam negeri, terutama dari sektor perpajakan diharapkan akan mampu
meningkatkan penerimaan dalam negeri bukan migas. Berdasar berbagai perkembangan atas
kebijakan yang ditempuh di biuang penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin tersebut,
maka dalam tahun anggaranl999/2000 direncanakan tabungan pemerintah mencapai Rp 5.048,3
miliar.

2.3.6 Pengeluaran Pembangunan


Perkembangan kondisi ekonomi dan politik akhir-akhir ini mengisyaratkan perlunya
dilakukan reorientasi terhadap perencanaan pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, dengan tujuan utama mengatasi krisis dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
guna membangun landasan ekonomi rakyat yang kokoh, serta mengembangkan perimbangan
keuangan pusat-daerah yang lebih adil. Tiga hal utama yang mendasari perlunya reorientasi
tersebut adalah pertama, strategi jangka pendek upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi
sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPRl1998 tentang Pokok--
pokok Reformasi Pembangunan DaIam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara; kedua, komitmen untuk melaksanakan secara bertahap.
Ketetapan MPR-RI Nomor XV tMPRI 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan; Serta
Perimbangan Keuangan Pusat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 144


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.21
ANGGARAN BELANJA RUTIN MENURUT SEKTOR DAN
SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)

Nomor APBN RAPBN % thd.


SektorlSubsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)

01 SEKTOR INDUSTRI 83,4 108,1 29,6

01.1 Subsektor Industri 83,4 108,1 29,6


02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 627,7 743,9 18,5
02.1 Subsektor Pertanian 207,3 265,9 28,3
02.2 Subsektor Kehutanan 420,4 478,0 13,7
03 SEKTOR PENGAlRAN 38,4 50,1 30,5
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 20,1 21,7 8,0
03.2 Subsektor Irigasi 18,3 28,4 55,2
04 SEKTOR TENAGA KERjA 318,1 391,6 23,1
04.1 Subsektor Tenaga Kerja 318,1 391,6 23,1
05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEM-
BANGAN USAHA NASIONAL,
KEUANGAN, DAN KOPERASI 131.471,7 85.226,8 - 35,2
05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 79,5 99,3 24,9
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 77,2 80,3 4,0
05.4 Subsektor Keuangan 131.214,1 84.899,7 - 35,3
05.5 Subsektor Koperasi dill Pengusaha Kecil 100,9 147,5 46,2
06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI
DAN GEOFISIKA 329,7 382,7 16,1
06.1 Subsektor Prasarana Jalan 33,3 35,3 6,0
06.2 Subsektor Transportasi Darat 28,6 34,3 19,9
06.3 Subsektor Transportasi Laut 148,5 179,2 20,7
06.4 Subsektor Transportasi Udara 64,1 71,1 10,9
06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Penearian dill
Penyelamatan (SAR) 55,2 62,8 13,8
07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 318,9 341,3 7,0
07.1 Subsektor Pertambangan 313,5 335,2 6,9

07.2 Subsektor Energi 5,4 6,1 13,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 145


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.21 (lanjutan)


Nomor APBN RAPBN ,i % thd.
Sektor/Subsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)
08 SEKTOR PARIWISATA, PS, DAN
TELEKOMUNIKASI 117,2 127,6 8,9
08.1 Subsektor Pariwisata 21,5 32,1 49,3
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95,7 95,5 - 0,2
09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH
DAN TRANSMIGRASI 13.491,3 19.749,0 46,4
09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 13.408,9 19.647,8 46,5
09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Rutan 82,4 101,2 22,8
10 SEKTOR LlNGKUNGAN HIDUP
DAN TATA RUANG 357,9 424,8 18,7
10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 9,5 10,9 14,7
10.2 Subsektor Tata Ruang 348,4 413,9 18,8
11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN
NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA
DAN OLAH RAGA 4.740,0 6.045,2 27,5
ILl Subsektor Pendidikan 4.253,9 5.448,4 28,1
11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 370,1 471,0 27,3
11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Milia Esa 104,1 114,1 9,6
11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 11,9 11,7 - 1,7
12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGA SEJAHTERA 331,7 440,5 32,8
12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 331,7 440,5 32,8
13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL,
KESEHATAN, PERANANWANITA,
ANAK DAN REMAJA 705,3 829,1 17,6
13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 137,5 151,2 10,0
13.2 Subsektor Kesehatan 567,8 677,9 19,4
14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 22,8 27,8 21,9
14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 15,8 20,1 27,2

14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7,0 7,7 10,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 146


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.21 (lanjutan)

RAPBN
Nomor APBN % thd.
SektorlSubsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)

15 SEKTOR AGAMA 1.304,2 1.741,6 33,5

15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 200,9 273,4 36,1


15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 1.103,3 1.468,2 33,1
16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI 409,5 498,5 21,7
16.2 Subsektor I1mu Pengetahuan Terapan dan Dasar 263,9 312,2 18,3
16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana Dari Sarana
I1mu Pengetahuan Dari Teknologi 39,6 46,1 16,4
16.5 Subsektor Kedirgantaraan 2,6 2,5 - 3,8
16.6 Subsektor Sistem Informasi Dari Statistik 103,4 137,7 33,2
17 SEKTOR HUKUM 759,3 982,8 29,4
17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 667,3 866,5 29,9
17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 92,0 116,3 26,4
18 SEKTOR AP ARA TUR NEGARA DAN
PENGA W ASAN 5.241,3 6.423,8 22,6
18.1 Subsektor Aparatur Negara 4.919,7 6.035,9 22,7
18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem Dari Pelaksanaan
Pengawasan 321,6 387,9 20,6
19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR
NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI
DAN MEDIA MASSA 2.918,5 2.710,6 - 7,1
19.1 Subsektor Politik 105,0 122,7 16,9
19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 2.264,7 1.978,4 -12,6
19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi
Dari Media Massa 548,8 609,5 11,1
20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 7.618,2 9.909,7 30,1
20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 7.245,3 9.695,1 33,8

20.3 Subsektor Pendukung 372,9 214,6 -42,5

Jumlah 171.205,1 137.155,5 -19,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 147


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dari Daerah Dalam Rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan ketiga perlunya
keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dari dukungan bagi
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup usaha kecil, menengah, dari koperasi sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional seperti digariskan dalam Ketetapan MPR-RI
Nomor XVIIMPRl1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

Perubahan orientasi perencanaan pembangunan dimaksud danasarkan atas pertimbangan


bahwa ketiga agenda utama kebijakan reformasi pembangunan, yaitu upaya pemulihan dari
penyelamatan ekonomi, pelaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dan
pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berbasis di daerah. Oleh sebab itu,
pencapaian sasaran pembangunan akan lebih efektif apabila kebijakan dari implementasi
program-program pembangunan lebih berakar di daerah, melalui pemberian kewenangan dalam
perencanaan dan pengelolaan proyek yang lebih besar kepada daerah. Dengan demikian, dalam
melaksanakan pembangunannya, daerah akan lebih berperan baik sebagai subjek maupun objek
pembangunan, yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang penetapan
proyek-proyek yang perlu dibangun sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas daerah yang
bersangkutan.

Peran baru daerah dimaksud akan memungkinkan pemerintah daerah, selain menjadi
lebih akomodatif terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, juga semakin responsif
dalam memenuhi kebutuhan yang menjadi prioritas masyarakat tanpa perlu dihadapkan pada
jalur birokrasi yang panjang. Di samping itu, mengingat pemerintah daerah dipanuang lebih
memaharni kondisi ekonomi di daerahnya, maka identifikasi permasalahan dan penyusunan
rencana pembangunan akan menjadi lebih akurat, dan pelaksanaannya dapat diselaraskan
dengan pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Demikian
pula, mengingat pemerintah daerah juga dinilai lebih memahami karakteristik sosial dari budaya
masyarakat, maka cara yang digunakan dalam pendekatan pembangunan dapat lebih disesuaikan
dengan kondisi masyarakat setempat, sehingga pencapaian sasaran dapat lebih efektif.

Implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan tersebut menggarisbawahi


perlu adanya realokasi anggaran pembangunan (switching policy) secara bertahap ke arah
perirnbangan yang lebih proporsional bagi daerah, dengan tetap berpedoman pada prinsip-
prinsip keadilan dan pemerataan, baik antara pusat dari daerah maupun antarwilayah, disertai
pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan, dan alokasi dana pembangunan, tanpa harus

Departemen Keuangan Republik Indonesia 148


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

merubah pencapaian sasaran, dan strategi kebijakan yang telah digariskan.

Berdasarkan berbagai pertimbangan dimaksud, kebijakan anggaran belanja


pembangunan dalam RAPBN 1999/2000 yang merupakan kelanjutan dari pendalaman dari
kebijakan yang telah ditempuh pada tahun anggaran berjalan, diarahkan untuk mendukung
program stabilisasi dari pemulihan ekonomi (economic recovery), sebagai upaya penyelamatan
dari pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat (social protection). Hal ini mengingat
dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan membengkaknya angka
pengangguran yang diperkirakan mencapai 14 juta orang; meningkatnya jurnlah penduduk
miskin dengan sangat tajam, yang diperkirakan mencapai 80 juta orang atau 40 persen dari
seluruh penduduk Indonesia; serta meningkatnya angka putus sekolah. Untuk mencapai sasaran-
sasaran tersebut, strategi kebijakan alokasi anggaran belanja pembangunan akan diprioritaskan
kepada kegiatan-kegiatan yang mendukung (a) program padat karya, dengan maksud untuk
meneiptakan daya beli bagi mereka yang menganggur, sehingga dapat membantu memenuhi
kebutuhan pokoknya; (b) program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya usaha kecil,
menengah dan koperasi; (c) program peningkatan ketahanan pangan dan gizi; serta (d) program
perlindungan sosial dasar untuk menjamin agar pelayanan dasar di biuang kesehatan dan
pendidikan tetap dapat terjangkau oleh masyarakat luas, terutama kelompok masyarakat paling
bawah.
Di samping keempat program strategis dimaksud, kebijakan pengeluaran pembangunan
juga akan diarahkan untuk mendukung program pembenahan dan restrukturisasi perbankan,
dengan tujuan untuk secepatnya memulihkan kembali sistem perbankan nasional agar dapat
melaksanakan fungsinya sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Program dan proyek-proyek di
luar prioritas-prioritas dimaksud, akan dilakukan secara lebih selektif, sehingga pembiayaan
dalam RAPBN 1999/2000 masih berada dalam kerangka kebijakan ekonomi makro yang aman.
Dengan mempertimbangkan sasaran-sasaran program dan kebijakan yang telah
ditetapkan, serta memperhitungkan secara seksama kemampuan sumber-sumber pembiayaan
anggaran negara, dalam RAPBN 1999/2000, anggaran belanja pembangunan direncanakan Rp
82.448,3 miliar, atau 11,0 persen lebih rendah dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN
1998/1999. Strategi alokasi anggaran belanja pembangunan secara lebih rinei tercermin dalam
alokasi pengeluaran pembangunan menurut klasifikasi ekonomi dan menurut sektor dan
subsektor.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 149


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

2.3.6.1 Pengeluaran Pembangunan Menurut Klasifikasi Ekonomi

Dari volume anggaran belanja pembangunan dalam RAPBN 1999/2000 di atas, alokasi
pembiayaan pembangunan rupiah dianggarkan Rp 52.448,3 miliar, atau 0,6 persen lebih tinggi
dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam APBN 1998/1999. Peningkatan alokasi
pengeluaran pembangunan rupiah tersebut diperlukan untuk tetap mempertahankan upaya
memperkuat jaring pengaman sosial sebagai sarana dalam membantu meringankan beban
masyarakat akibat krisis, terutama memberikan perhatian yang lebih besar pada program
pemberdayaan (empowering) us aha kecil, menengah dan koperasi, sebagai andalan dalam
membantu memutar kembali kegiatan ekonomi masyarakat, serta menunjang program
penyehatan dan restrukturisasi perbankan agar dapat segera memulihkan fungsinya dalam
mempercepat proses pemulihan kondisi perekonomian nasional. Anggaran tersebut akan
dialokasikan untuk proyek-proyek sektoral yang tersebar di berbagai departemen/lembaga,
proyek-proyek pembangunan daerah, serta proyek-proyek strategis atau bersifat lintas sektoral
pada pembiayaan pembangunan lainnya.

Alokasi pengeluaran pembangunan bagi departemen/lembaga dalam RAPBN


1999/2000 dianggarkan Rp 14.022,5 miliar, atau 4,0 persen lebih rendah dari alokasi anggaran
yang disediakan dalam APBN 1998/1999. Anggaran tersebut sebagian besar akan dimanfaatkan
untuk memperkuat jaring pengaman sosial, terutama menunjang program ketahanan pangan,
memperluas lapangan kerja, pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah, maupun
perlindungan masyarakat di biuang kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Selanjutnya, dalam upaya menjabarkan kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
seiring dengan perubahan orientasi kebijakan pembangunan, dipanuang perIn melakukan
realokasi dan pengalihan kewenangan pengelolaan anggaran pembangunan Dari proyek - proyek
sektoral pada departemen/lembaga kepada daerah, disesuaikan dengan kapasitas dan
kemampuan dari masing-masing daerah bersangkutan.

Sejalan dengan kebijakan tersebut, proporsi alokasi anggaran pembangunan bagi daerah
dalam tahun anggaran mendatang lebih diperbesar, seuangkan untuk memberikan aksentuasi
kuatnya komitmen Pemerintah pusat terhadap pemberdayaan daerah dalam RAPBN 199912000
dilakukan perubahan penggunaan nomenklatur (istilah) dari "bantuan pembangunan daerah
(proyek Inpres)" menjadi "dana pembangunan daerah". Selain itu, sekaligus juga dilakukan
pengelompokan kembali (reklasifikasi) dana pembangunan daerah bagi proyek-proyek yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 150


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bersifat khusus (specific grant) menjadi dana pembangunan yang bersifat umum (block grant)
atau yang bersifat specific block grant. Dalam hubungan ini, dana pembangunan desa tertinggal
yang dirancang untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, baik di desa-desa miskin maupun
di luar desa miskin diintergrasikan ke dalam dana pembangunan desa. Sementara itu, sebagian
dari dana pembangunan sekolah dasar (SD), dan dana pembangunan sarana kesehatan
diintegrasikan ke dalam dana pembangunan propinsi dan dana pembangunan kabupaten/kota,
seuangkan dana pembangunan bagi program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS)
digabung ke dalam program peduasan jaring pengaman sosial, dengan nama baru dana jaring
pengaman sosial (JPS) dari pemberdayaan masyarakat.

Dengan berbagai perubahan tersebut, dalam RAPBN 1999/2000 alokasi dana


pembangunan daerah, termasuk dana bagi hasil penerimaan PBB dan BPHTB direncanakan Rp
16.129,3 miliar, atau meningkat 16,8 persen dari alokasi dana yang dianggarkan dalam tahun
1998/1999. Alokasi anggaran tersebut akan danistribusikan dalam berbagai bentuk program
pembangunan daerah, yang meliputi (a) dana pembangunan desa, (b) dana pembangunan
kabupatenlkota, (c) dana pembangunan propinsi, (d) dana jaring pengaman sosial dan
pemberdayaan masyarakat, serta (e) dana pembangunan dari bagi hasil penerimaan PBB dan
BPHTB. Jumlah dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah tersebut mencapai sekitar 31
persen dari total keseluruhan pembiayaan pembangunan rupiah, atau sekitar 56 persen dari total
anggaran rupiah murni pembangunan di luar bantam, subsidi dan restrukturisasi perbankan,
serta pembiayaan lain-lain. Hal ini merupakan realisasi dari tekad pemerintah untuk secara
sungguh-sungguh mengupayakan adanya perimbangan keuangan pusat dari daerah dalam
pengalokasian anggaran pembangunan pada RAPBN 1999/2000.

Dalam rangka mendorong pengembangan sosial ekonomi masyarakat perdesaan,


terutama mendukung pelayanan umum kepada masyarakat, dalam RAPBN 1999/2000
direncanakan alokasi dana pembangunan desa Rp 810,8 miliar, atau 70,0 persen lebih besar dari
alokasi dana bagi Inpres desa yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Peningkatan anggaran
yang cukup besar tersebut selain disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah desa dan
peningkatan alokasi dana langsung per desa, juga karena adanya tambahan dana untuk
pembinaan masyarakat di desa terpencil, serta disediakannya alokasi dana pembinaan untuk
kegiatan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi. Anggaran dimaksud akan dialokasikan
kepada 68.139 desa, termasuk 8.874 desa terpencil, dengan alokasi dana langsung per desa Rp

Departemen Keuangan Republik Indonesia 151


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

10,0 juta, terdiri dari dana pelayanan masyarakat Rp 8,0 juta, dan dana pembinaan kesejahteraan
keluarga (PKK), anak dan remaja Rp 2,0 juta. Dana pembangunan desa ditujukan untuk
meningkatkan sarana pelayanan umum dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat
perdesaan, terutama penyediaan sarana pelayanan bagi aparatur, pembinaan masyarakat,
dukungan kegiatan wanita melalui PKK, serta pembinaan anak dan remaja. Sementara itu, dana
pembinaan desa dialokasikan masing-masing untuk tingkat propinsi Rp 150 ribu per desa kali
jumlah desa di propihsi bersangkutan, tingkat kabupaten/kota Rp 300 ribu per desa kali jumlah
desa di kabupaten/kota bersangkutan, dan tingkat kecamatan Rp 1,3 juta per desa kali jumlah
desa di kecamatan bersangkutan. Selain itu, untuk kecamatan yang mempunyai desa terpencil
juga memperoleh alokasi tambah ulang dana pembinaan Rp 400 ribu untuk tiap desa terpencil.

Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/kota dalam


penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan sebagai pelayanan masyarakat dan penggerak
pembangunan, dibutuhkan pemerintah daerah yang kuat, baik secara administratif maupun
finansial. Pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut akan dapat tercapai dengan adanya dukungan
sumber-sumber penerimaan yang memadai, khususnya yang berasal dari penerimaan daerah
sendiri. Dalam kenyataannya, pendapatan asli pemerintah daerah masih sangat terbatas, dan
sangat bervariasi antardaerah, tergantung pada potensi ekonomi yang tersedia. Untuk
mengurangi kesenjangan kapositas membangun antarkabupaten/kota dalam melaksanakan tug as
dan fungsi pemerintahan, serta mengembangkan potensi ekonomi daerah, dalam tahun anggaran
1999/2000 direncanakan alokasi dana pembangunan kabupatenlkota Rp 5.775,0 miliar, yang
berarti Rp 2.009,6 miliar, atau 53,4 persen lebih tinggi dari alokasi dana yang dianggarkan bagi
Inpres Dati II dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 2.319,3 miliar (sekitar 40,2
persen) akan dialokasikan sebagai dana umum (block grant) yang wewenang pemanfaatannya
sepenuhnya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota bersangkutan, seuangkan Rp
3.455,7 miliar (sekitar 59,8 persen) diberikan sebagai dana khusus (specific block grant). Dari
dana umum dimaksud, masing-masing kabupaten/kota akan memperoleh alokasi dan atas dasar
jumlah penduduk dengan perhitungan Rp 8.850,0 per kapita (naik 60,9 persen dari alokasi
dalam tahun sebelumnya), serta dana atas dasar luas wilayah dengan perhitungan Rp 45,0 ribu
per kilometer persegi (naik 80,0 persen dari dasar perhitungan tahun sebelumnya). Selain itu,
bagi kabupatenlkota yang mempunyai jumlah penduduk kurang dari 333 ribu jiwa, akan
memperoleh alokasi dana minimum Rp 2,0 miliar (naik 100 persen dari alokasi bantuan tahun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 152


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sebelumnya), seuangkan bagi daerah-daerah yang berkepulauan juga disediakan alokasi dana
(menurut kondisi geografi) Rp 7,5 juta per pulau. Dalam rangka perimbangan keuangan yang
lebih proporsional antardaerah, dalam perhitungan alokasi dana per kabupaten/kota tersebut,
juga dimasukkan kriteria baru tingkat pendapatan daerah. Dalam tahun anggaran mendatang,
dana yang dialokasikan menurut kriteria tingkat pendapatan daerah mencapai Rp 310,3 miliar.
Dana tersebut akan diberikan kepada daerah sebagai penyeimbang untuk mencapai rata-rata
maksimum pendapatan asli daerah (PAD).

Sementara itu, dana khusus (specific block grant) yang dialokasikan bagi daerah
meliputi (a) dana pembangunan prasarana umum Rp 1.828,6 miliar, (b) dana pelayanan sosial
ekonomi Rp 997,2 miliar, (c) dana peningkatan produksi Rp 231,3 miliar, (d) dana penanganan
lingkungan hidup Rp 334,6 miliar, serta (e) dana pembinaan daerah bawahan Rp 64,0 miliar.
Dana yang dialokasikan bagi pembangunan prasarana umum akan dimanfaatkan untuk
pembangunan prasarana perhubungan dan penanganan jalan kabupaten Rp 1.179,6 miliar,
dengan sasaran pemeliharaan jalan kabupaten sepanjang 81.840 kilometer; penyediaan
prasarana dasar permukiman Rp 500,0 miliar; serta penyehatan lingkungan dan air bersih Rp
149,0 miliar. Sementara itu, dana pelayanan sosial ekonomi akan dipergunakan untuk
revitalisasi (pemugaran dan pembangunan) pasar kecamatan Rp 82,2 miliar, peningkatan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) Rp 15,7 miliar, pembangunan dan revitalisasi sekolah
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) Rp 761,3 miliar, serta pembangunan dan rehabilitasi
sarana paoli sosial Rp 137,9 miliar. Dana pembangunan dan revitalisasi SD dan MI (yang di
dalamnya termasuk pengalihan sebagian dari dana Inpres SD) akan dimanfaatkan untuk
revitalisasi SD/MI dengan konsep yang diperluas, meliputi rehabilitasi gedung, serta
refungsionalisasi dan pembangunan kembali gedung (fisik bangunan), prasarana dan sarana
lingkungan, .dan pendukung lainnya. Selanjutnya, dana yang tersedia bagi peningkatan produksi
akan dialokasikan untuk penyuluh pertanian lapangan (PPL) Rp97,8 miliar, paket pertanian
penangkarbenih Rp 59,6 miliar, serta pengembangan industri kecil Rp 74,0 miliar. Pelaksanaan
penyuluhan pertanian lapangan dimaksud diperkirakan akan melibatkan sekitar 37.625 orang
tenaga PPL dan PPS, 309 balai informasi dan penyuluh pertanian (BIPP), 3.571 unit BPP, serta
3.674 tenaga honorer. Dana penangkar benih akan digunakan untuk membantu pengembangan
bibitlbenih komoditas unggulan pertanian, seuangkan dana pengembangan industri kecil akan
digunakan untuk penyuluhan dan pembinaan industri kecil. Dana yang tersedia bagi penanganan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 153


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lingkungan hidup akan dialokasikan untuk dua kegiatan pokok, yaitu (a) penghijauan, termasuk
pemeliharaan, pemantauan dan pembinaannya Rp 283,1 miliar; serta (b) pengendalian dampak
lingkungan hidup Rp 51,5 miliar, yang akan digunakan untuk pemantauan dan evaluasi
pengendalian dampak lingkungan hidup, pengendalian pencemaran limbah dalam kawasan
tertentu, penyusunan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup, rehabilitasi kerusakan
lingkungan, penyuluhan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta dana sarana dan prasarana
pengendalian peneemaran. Dana pembinaan daerah bawahan akan dialokasikan untuk
pembinaan kecamatan Rp 40,3 miliar, program pengembangan wilayah (PPW) Rp 15,3 miliar,
serta perencanaan, pemantauan dan pengawasan pembangunan kabupaten/kota Rp 8,4 miliar.

. Dalam RAPBN 199912000, alokasi dana pembangunan propinsi direncanakanRp 3.182,7


miliar, yang berarti 82,8 persen lebih tinggi dari alokasi dana bagi Inpres Dati I yang
dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Dana tersebut akan dialokasikan dalam bentuk dana
umum (block grant) Rp 1.344,1 miliar (sekitar 42 persen), dan dana khusus (specific block
grant) Rp 1.838,6 miliar (sekitar 58 persen). Melalui dana umum, masing-masing propinsi akan
memperoleh alokasi dana dasar Rp 25,0 miliar per propinsi, dan dana yang diperhitungkan alas
dasar luas wilayah daratan dengan alokasi Rp 75 ribu per kilometer persegi. Di samping itu,
dalam sistem alokasi dana umum per propinsi tersebut, ditambahkan kriteria baru berupa selisih
pada terhadap total pengeluaran APBD I. Sementara itu, alokasi dana khusus dimaksud meliputi
: (a) Dana pengembangan prasarana dan sarana ekonomi Rp 878,9 mi1iar, terdiri dari dana
peningkatan ja1an Rp 702,5 miliar, dan dana operasi pemeliharaan pengairan Rp 176,4 miliar.
Dana yang tersedia ini akan dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan ja1an propinsi
sepanjang 2.766 kilometer dari penggantian jembatan sepanjang 10.660 meter untuk menjaga
kemantapan ja1an dari jembatan guna mendukung perekonomian daerah, serta operasi dan
pemeliharaan jaringan pengairan untuk menunjang produksi pertanian tanaman pangan sebagai
bagian dari program ketahanan pangan nasiona1 pada areal se1uas 6.300 ribu hektar;
(b) Dana pemeliharaan lingkungan hidup Rp 64,8 miliar, terdiri dari dana reboisasi Rp 29,1
miliar, dana pengelolaan kawasan lindung Rp 34,4 miliar, dari dana pengendalian dampak
lingkungan Rp 1,3 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan
konservasi alam, khususnya melalui kegiatan reboisasi pada areal seluas 27.665 hektar,
penge1olaan kawasan lindung pada areal seluas 34.437 ribu hektar, dan pengendalian dampak
lingkungan. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka mempertahankan kelestarian

Departemen Keuangan Republik Indonesia 154


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lingkungan dan menjaga daya dukung lingkungan agar pemanfaatan sumber daya alam tetap
seja1an dengan prinsip pembangunan berke1anjutan;
(c) Dana pengembangan sosial budaya dari pelayanan Rp 50,8 miliar, terdiri dari dana
pembinaan seni budaya daerah, pembinaan dan pembibitan olah raga prestasi, serta pembinaan
kerukunan hidup umat beragama Rp 26,0 miliar; dana pembangunan prasarana fisik pamong
praja Rp 20,0 miliar; serta dana perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan di
propinsi Rp 4,8 miliar.
(d) Dana peningkatan pendidikan dasar Rp 169,3 miliar. Dana ini menampung pengalihan
sebagian dari Inpres SD, yang akan dimanfaatkan untuk pengadaan sarana SD Rp 89,0 miliar;
penataran/penyetaraan guru Rp 60,0 miliar; pelatihan, prajabatan dari penempatan guru di
daerah terpencil Rp 4,0 miliar; serta kegiatan pengelolaan Rp 16,3 miliar;
(e) Dana pembangunan sarana kesehatan Rp 471,8 miliar, terdiri dari dana penyediaan obat Rp
295,7 miliar, operasi dari pemeliharaan rumah sakit Rp 85,8 miliar, pengembangan tenaga
kesehatan Rp 75,8 miliar, pelayanan kesehatan daerah terpencil Rp 7,5 miliar, dari kegiatan
pengelolaan Rp 7,0 miliar; serta
(f) Dana program pengembangan wilayah (PPW) Rp 203,0 miliar, yang akan digunakan untuk
menunjang program pengembangan kawasan andalan di Indonesia, sebagai implementasi dari
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dari Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Di samping
itu, dana tersebut juga akan dimanfaatkan untuk membiayai pengembangan kawasan
pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), melalui penyediaan prasarana dari sarana penunjang
pemasaran produksi di daerah produksi pangan atau daerah potensiall ainnya.
Untuk menjaga agar kualitas dari kuantitas kebutuhan dasar masyarakat tidak merosot
akibat dari dampak krisis ekonomi yang me1anda Indonesia, dalam tahun anggaran 199912000
program pemberdayaan daerah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi, yang semula disebut
sebagai program perluasan jaring pengaman sosial (IPS), diperluas cakupan dari jangkauannya
menjadi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat. Dengan perluasan program tersebut, alokasi
anggaran yang disediakan bagi dana IPS dan pemberdayaan masyarakat mencapai Rp 3.458,4
miliar, atau 27,4 persen lebih tinggi dari alokasi dana bagi program perluasan jaring pengaman
sosial yang dianggarkan da1am tahun sebelumnya. Dana tersebut akan diarahkan secara
langsung kepada kelompok masyarakat yang menghadapi kendala dalam memperoleh lapangan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 155


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kerja dan kesempatan berusaha, menemui hambatan dalam pembiayaan pendidikan dan
kesehatan, serta mengalarni kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangajuan dalam
pelaksanaannya, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai program prasarana
perdesaan melalui program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) Rp
239,1 miliar, program pengembangan kecamatan (PPK) di perdesaan Rp 150,3 miliar dan di
perkotaan Rp 75,0 miliar, program pengembangan sosial ekonomi masyarakat (PSEM) Rp 18,9
miliar, program pemberdayaan daerah dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-
DKE) Rp 1.025,0 miliar, program pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) Rp
550,0 miliar, dana operasi dan pemeliharaan SDIMI Rp 536,5 miliar, serta dana operasi dan
pemeliharaan puskesmas Rp 363,6 miliar.
Di luar dana pembangunan daerah, alokasi pembiayaan pembangunan daerah yang
bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan
akan sedikit mengalarni penurunan, berkaitan dengan dampak krisis ekonomi yang terjadi di
sejumlah daerah. Hal ini akan cukup berpengaruh terhadap rencana kegiatan pembangunan di
daerah, mengingat dana bagi hasil PBB dan BPHTB dimaksud jumlahnya cukup berarti
(signifikan) dalam komposisi penerimaan daerah. Dalam tahun anggaran 199912000, alokasi
pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil PBB dan BPHTB
dianggarkan Rp 2.902,4 miliar, yang berarti 4,8 persen lebih rendah dari alokasi dana yang
tersedia dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, propinsi akan menerima alokasi Rp
525,0 miliar, seuangkan kabupaten/kotamadya akan memperoleh alokasi Rp 2.377,4 miliar.
Dalam kondisi perekonomian dan kemampuan keuangan negara yang kurang
menguntungkan, alokasi pengeluaran pembangunan lainnya dilakukan secara lebih selektif,
dengan tetap memperhatikan fungsi strategisnya bagi kelangsungan pembangunan nasional.
Dengan kebijakan demikian, dalam tahun anggaran 1999/2000 alokasi pembiayaan
pembangunan lainnya direncanakan Rp 22.296,5 miliar, atau 6 persen lebih rendah dari alokasi
anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Penurunan alokasi anggaran tersebut
terutama disebabkan tidak lagi perlu disediakannya anggaran bagi subsidi pupuk mengingat
terhitung sejak bulan Desember 1998, Pemerintah telah menghapuskan pemberian subsidi
pupuk, baik subsidi harga maupun subsidi gas bagi produsen pupuk. Dari keseluruhan alokasi
anggaran tersebut, Rp 17.000,0 miliar akan dialokasikan untuk biaya restrukturisasi perbankan,
Rp 3.701 miliar untuk subsidi bunga kredit program, serta Rp 1.595,5 miliar untuk program

Departemen Keuangan Republik Indonesia 156


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lain-lain pembangunan (LLP).


Anggaran yang dialokasikan bagi program restrukturisasi perbankan akan dimanfaatkan
untuk pembayaran beban bunga atas penerbitan obligasi dan konversi bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) menjadi equity pemerintah dalam rangka program rekapitalisasi perbankan.
Sementara itu, penyediaan subsidi bunga bagi berbagai kredit program, yang kelompok
sasarannya adalah para petani, transmigran, serta usaha kecil, menengah dan koperasi, pada
dasarnya merupakan bagian program pemberdayaan ekonomi rakyat sebagaimana dimaksud
da1am Ketetapan MPR-RI Nomor XVI/MPRl1998 tentang Politik Ekonomi Da1am Rangka
Demokrasi Ekonomi. Di lain pihak, anggaran bagi lain-lain pembangunan akan dialokasikan
untuk berbagai program yang pembiayaannya tidak dapat dibebankan melalui bagian anggaran
departemen/lembaga alan bersifat lintas sektoral, di antaranya untuk kontribusi kepada berbagai
lembaga internasional, seperti ADB, OPEC Fund, dan IDB, serta mendukung jaring pengaman
sosial melalui programprogram yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat yang sangat
rentan terhadap akibat lanjutan dari krisls ekonomi.

Di samping anggaran pembangunan rupiah, dalam RAPBN 1999/2000 direncanakan


anggaran pembiayaan proyek yang dananya berasal dari nilai lawan pinjaman proyek Rp
30.000,0. miliar, atau turun sekitar 26 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun
sebelumnya. Penurunan alokasi anggaran yang sebelumnya dikenal sebagai bantuan proyek
tersebut disebabkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang dipakai
sebagai dasar perhitungan pinjaman proyek. Di dalam jumlah tersebut, proyek-proyek yang
memperoleh alokasi pembiayaan, sebagian berupa proyek-proyek perIindungan sosial (social
protection projects) di berbagai sektor dan subsektor yang bersumber dari komitmen pinjaman
baru dalam rangka penyelamatan dan pemulihan perekonomian akibat krisis yang
berkepanjangan. Alokasi pengeluaran pembangunan menurut klasifikasi ekonomi secara rinci
dapat diikuti dalam Tabel 11.22.

2.3.6.2 Pengeluaran Pembangunan Menurut Sektor dan Subsektor

Dalam tahun anggaran 1999/2000, alokasi anggaran belanja pembangunan lebih


diarahkan kepada upaya mempercepat terciptanya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah
tanah air melalui alokasi anggaran pembangunan kepada sektor-sektor yang paling efektif dalam
upaya peningkatan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi rakyat, peningkatan produksi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 157


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pangan, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pencapaian sasaran-sasaran tersebut


secara umum akan dilakukan melalui program-program jaring pengaman sosial, yang meliputi
program ketahanan pangan, padat karya, serta pemberdayaan usaha kecil dan menengah pada
sektor pembangunan daerah dan transmigrasi; sektor pertanian dan kehutanan; sektor
transportasi, meteorologi dan geofisika; sektor pengairan; sektor perdagangan, pengembangan
usaha nasional, keuangan dan koperasi; sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga; sektor kesejahteraan sosial, kesehatan,
peranan wanita, anak dan remaja; serta sektor perumahan dan permukiman.

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan otonomi daerah, seiring dengan


kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah yang lebih adil bagi tereiptanya pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan penduduk antardaerah, antara perkotaan dan perdesaan, dan
antargolongan masyarakat, serta meningkatkan penyebaran penduduk agar dapat mendukung
pembangunan daerah melalui pemanfaatan potensi daerah, direncanakan alokasi anggaran
pembangunan bagi sektor pembangunan daerah dan transmigrasi Rp 14.545,8 miliar. Anggaran
dimaksud akan diaIokasikan untuk subsektor pembangunan daerah Rp 13.656,8 miliar, dan
subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan Rp 889,0 miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 158


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 0.22
PENGELUARAN PEMBANGUNAN RUPIAH MENURUT KLASIFlKASI EKONOMI
APBN 1998/1999 - DAN RAPBN
1999/2000
(dalam miliar rupiah)
APBN 1998/1999 RAPBN 1999/2000
Klasifikasi % thd.
Proporsi Proporsi APBN
Jumiah Jumlah
(%) (%)
(1) . (2) (3) (4) (5) (6)

I.ANGGARAN YANG DANAERAHKAN 13.806,326,5 16.129,330,8 16,8

a. Dana Pembangunan Daerah . 10.757,320,6 13.226,925,2 23,0


1. Inpres desa tertingga1 204,6 -
2. Dana pembangunan desa 477,0 810,8
3. Dana pembangunan kabupaten/kota 3.765,4 5.775,0
4. Dana pembangunan propinsi 1.741,1 3.182,7
5. Inpres seko1ah dasar 594,9 -
6. Inpres kesehatan 846,0 -
7. Inpres PMT-AS 414,5 -
8. Program perluasan jaring pengaman sosia1
2.713,8 -
(JPS)
9. Dana JPS dan pemberdayaan masyarakat - 3.458,4
b. Dana pembangunan daerah Dari bagi hasil
PPB dan BPHTB 3.049,0 5,8 2.902,4 5,5 - 4,8
ANGGARAN YANG DIKELOLA OLEH
II.
INSTANSI
DI TINGKAT PUSAT 17.253,0 33,1 15.618,0 29,8 9,5
a. Pembiayaan Departemen/Lembaga 14.611,0 14.022,5
b. Lain-lain pembangunan 2.642,0 1.595,5
III. ANGGARAN UNTUK SUBSIDI DAN
RESTRUKTURlSASI PERBANKAN 21.082,8 40,4 20.701,0 39,5 1,8
a. Subsidi pupuk 2.125,2 -
b. Subsidi bunga kredit program 3.957,6 3.701,0
c. Restrukturisasi perbankan 15.000,0 17.000,0

Jumlah 52.142,1 100,0 52.448,3 100,0 0,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 159


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pada subsektor pembangunan daerah, anggaran yang tersedia akan dialokasikan untuk
program pembangunan desa, program pembangunan kabupaten/kota, program pembangunan
propinsi, program JPS dan pemberdayaan masyarakat, serta program pengembangan kawasan
khusus. Anggaran tersebut akan dialokasikan dalam bentuk dana umum dan dana khusus. Dalam
hal dana pembangunan yang bersifat umum, anggaran yang tersedia akan dialokasikan antara
lain untuk mendukung usaha-usaha pemantapan kemampuan aparat, kelembagaan, dan
keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pelayanan
masyarakat, dan pembangunan. Sementara itu, dana yang bersifat khusus akan digunakan untuk
pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar serta berbagai
fasilitas pelayanan sosial, pengendalian dampak lingkungan, serta penghijauan dan reboisasi.
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan dana pembangunan tersebut lebih ditekankan pada
kegiatan yang bersifat padat karya, dan penciptaan lapangan kerja, agar sekaligus berfungsi
memperkuat jaring pengaman sosial.

Dana bagi program pembangunan desa akan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan-
kegiatan yang langsung bersentuhan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat di perdesaan,
seperti pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana dasar yang secara langsung dapat
menunjang kegiatan produksi dan pemasaran di perdesaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia melalui latihan pembangunan desa terpadu, penguatan lembaga masyarakat desa
(LMD) dan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), serta pengembangan lembaga dana
dan perkreditan desa, seperti usaha ekonomi desa, simpan pinjam, dan kegiatan PKK.

Sementara itu, alokasi anggaran pada program pembangunan kabupaten/kota diarahkan


pemanfaatannya pada upaya peningkatan kapositas pemerintah daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat melalui peningkatan kemampuan aparat, kelembagaan dan
keuangan kabupatenJ kota, merangsang partisiposi masyarakat dalam pembangunan melalui
perluasan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan, serta meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar, dan pelayanan sosial dasar
masyarakat. Dana dimaksud akan dialokasikan sebagai dana yang bersifat umum (block grant),
dan pembiayaan berbagai proyek lainnya, seperti pembangunan prasarana umum pembangunan
(prasarana perhubungan dan penanganan jalan kabupaten, pemeliharaan jalan kabupaten,
program peningkatan jalan poros desa/kecamatan, penyediaan prasarana dasar permukiman,
serta penyehatan lingkungan dan air bersih); pelayanan sosial ekonomi (yang meliputi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 160


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

revitalisasi pasar kecamatan, sistem kewaspadaan pangan dan gizi, pembangunan dan
revitalisasi SD/MI, serta pembangunan dan rehabilitasi sarana panti sosial); peningkatan
produksi (mencakup penyuluh pertanian lapangan, penangkar benih, dan pengembangan industri
kecil), penanganan lingkungan hidup (penghijauan, pengendalian dampak lingkungan hidup,
dan reboisasi), serta pembinaan daerah bawahan (pembinaan kecamatan, program
pengembangan wilayah, serta perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan
kabupaten).

Program pembangunan propinsi diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan


kapositas dan kemampuan dalam mengkoordinasikan dan menyelaraskan pelaksanaan
pembangunan berbagai sektor, termasuk pembangunan sosial-budaya di wilayah propinsi ke
dalam kerangka makro pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, dana yang tersedia pada
program pembangunan propinsi akan dialokasikan bagi pembiayaan berbagai kegiatan di 20
sektor pembangunan daerah, di antaranya untuk peningkatan prasarana jalan dan jembatan, dan
berbagai kegiatan lainnya, seperti operasi dan pemeliharaan pengairan, pengelolaan kawasan
lindung, pengendalian dampak lingkungan, pembinaan kerukunan hidup umat beragama,
pembinaan dan pembibit olah raga prestasi, serta penyediaan prasarana fisik pamong praja.

Program JPS dan pemberdayaan masyarakat terdiri dari dua kategori, yaitu program-
program bersifat tahun jamak, dan bersifat darurat untuk mengatasi dampak krisis ekonorni
terhadap kehidupan masyarakat. Program tersebut langsung diarahkan kepada kelompok
masyarakat untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana ekonorni dan sosial
masyarakat, memperluas kesempatan berusaha, memberikan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, dan upaya jaring pengaman sosial lainnya. Dalam pelaksanaannya, dana tersebut
akan dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan prasarana pendukung desa
tertinggal (P3DT), program pengembangan kecamatanJ PPK di perdesaan dan di perkotaan,
program pengembangan ekonorni masyarakat di daerah, program pemberdayaan daerah dalam
rangka mengatasi dampak krisis ekonorni (PDM-DKE), program pemberian makanan tambahan
anak sekolah (PMT-AS), dana operasi dan pemeliharaan SD/MI, dana operasi dan pemeliharaan
puskesmas, serta dana peningkatan lapangan kerj a produktif.

Program pembangunan kawasan khusus meliputi kawasan kerjasama dengan negara


tetangga, daerah perbatasan, wilayah-wilayah kawasan berkembang pesat (KBP), serta kawasan
pengembangan ekonomi terpadu (KAPET). Program pembangunan kawasan khusus ini

Departemen Keuangan Republik Indonesia 161


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dimaksudkan untuk menciptakan kawasan pengembangan ekonorni yang dapat berperan sebagai
penggerak dalam memacu pertumbuhan ekonorni daerah sekitarnya, khususnya melalui
pemanfaatan potensi-potensi unggulan yang tersedia pada kawasan tersebut. Pengembangan
kawasan khusus juga mencakup pengembangan taman nasional di berbagai daerah, kawasan
lindung, dan kawasan kepulauan terpencil. Dana yang tersedia untuk program pengembangan
kawasan khusus ini akan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan
produk peraturan, pembinaan teknis, pemantauan dan evaluasi, serta bantuan teknis perencanaan
pengembangan kawasan khusus di 30 kawasan. .

Pada subsektor transmigrasi dan pemukiman perambah hutan, alokasi anggaran


pembangunan akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan program transrnigrasi dengan
sasaran penduduk sebanyak 5.808 kepala keluarga (KK) transmigran umum (TU)/transrnigran
swakarsa berbantuan (TSB), dan 12.000 KK transrnigran swakarsa mandiri (TSM). Sasaran
tersebut akan dicapai melalui peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pemukiman yang sudah ada, meliputi jalan sepanjang 1.230 kilometer, jembatan sepanjang
4.250 meter, dan gorong-gorong sepanjang 13.000 meter. Selain itu, dana yang tersedia juga
akan dimanfaatkan untuk menyiapkan pemukiman dan lingkungan baru bagi 4.250 KK,
membangun 20 unit pelaksana teknis (UPT) dengan pembukaan areal produksi baru sekitar
5.200 hektar yang diperkirakan dapat menampung 2.850 KK TV dan 1.400 KK TSB, serta
menyiapkan pemukiman TSM bagi 12.000 KK di daerah transrnigrasi. Selanjutnya, dana yang
tersedia juga akan digunakan untuk kegiatan pengerahan dan penempatan transrnigran, kegiatan
penyuluhan baik untuk mendorong dan merangsang perpindahan penduduk secara sukarela dan
swakarsa maupun menumbuhkan partisiposi masyarakat sebagai motivator dan fasilitator dalam
mewujudkan pembangunan transmigrasi sebagai gerakan masyarakat, serta kegiatan-kegiatan
yang bersifat pembinaan meliputi pembinaan mental dan pemenuhan kebutuhan sosial, serta
pembinaan ekonomi transmigran.

Dalam rangka membantu upaya mempercepat proses pemulihan perekonomian


nasional yang mengalami tekanan akibat krisis ekonomi dan moneter, dan sekaligus merangsang
minat dan gairah investasi yang diperlukan bagi berputarnya kembali roda ekonomi masyarakat,
perencanaan alokasi anggaran pembangunan juga diarahkan bagi penyediaan prasarana dan
sarana ekonomi, seperti transportasi dan komunikasi, pertambangan dan energi, pengairan, jasa
perdagangan dan lembaga keuangan, serta pengembangan berbagai sektor unggulan terutama

Departemen Keuangan Republik Indonesia 162


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pertanian dan industri.

Guna mendukung kelancaran arus distribusi angkutan bahan pokok, perluasan


kesempatan kerja, pengembangan berbagai kegiatan ekonomi sektor riil, serta pengembangan
usaha-usaha skala menengah, kecil dan koperasi, dalam tahun anggaran mendatang sektor
transportasi, meteorologl dan geofisika direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 8.426,6
miliar, atau 12,6 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun
sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor prasarana jalan
Rp 5.243,6 miliar, subsektor transportasi darat Rp 1.580,2 miliar, subsektor transportasi laut Rp
452,1 miliar, subsektor transportasi udara Rp 1.080,6 miliar, serta subsektor meteorologi,
geofisika, pencarian dan penyelamatan (SAR) Rp 70,1 miliar.

Pada subsektor prasarana jalan, sasaran alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan


untuk pemeliharaan rutin jalan arteri dan kolektor sepanjang19.999 kilometer dan pemeliharaan
berkala sepanjang 897 kilometer, pemeliharaan rutinjalan lokal sepanjang 14.413 kilometer,
serta pemeliharaan jembatan sepanjang 2.426 meter, yang pelaksanaannya sejauh mungkin
diusahakan melalui pola padat karya agar sebanyak mungkin dapat menyerap tenaga kerja di
lokasi proyek berada. Dalam rangka memperkuat struktur jalan yang mendukung sentra-sentra
produksi pangan dan kelancaran distribusinya, alokasi anggararl yang tersedia juga akan
digunakan untuk peningkatan jalan arteri kolektor sepanjang 1.757 kilometer, peningkatanjalan
lokal sepanjang 2.766 kilometer, dan penggantianjembatan sepanjang 2.935 meter. Selanjutnya,
dalam rangka memperluas jaringan jalan yang mendukung sistem transportasi nasional terutama
pada kawasan pertanian, industri dan pariwisata, alokasi anggaran pembangunan akan
digunakan untuk pembangunan jalan arteri kolektor sepanjang 440 kilometer, serta
pembangunan jembatan baru sepanjang 2.716 meter.

Anggaran subsektor transportasi darat akan digunakan untuk melaksanakan program


pengembangan fasilitas lalu lintas jalan, pengembangan perkeretaapian, serta peningkatan
angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Program pengembangan fasilitas lalu lintas jalan
diarahkan untuk mendukung kelancaran, ketertiban, keamanan, keselamatan dan keterjangkauan
transportasi jalan Tara bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, anggaran pembangunan dalam
program tersebut diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengadaan dan
pemasangan rambu-rambu lalu lintas, diantaranya rambu penunjuk jalan, delinator, pagar
pengaman jalan, serta rambu kelas jalan. Dalam rangka mendukung penegakan disiplin dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 163


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

ketertiban lalu lintas di jalan, alokasi anggaran juga akan digunakan untuk mendukung program
kebijaksanaan pemerintah di antaranya penataan sistemj aringan dan kelas jalan, program
bimbingan dan pelatihan kepada para pengemudi angkutan umum maupun aparat dinas lalu
lintas angkutan jalan di beberapa daerah, serta pembangunan pilot project dua unit pelaksanaan
penimbangan kendaraan bermotor (UPPKB) di pulau Jawa, yang akan menggunakan sistem
jaringan komputer terpadu dengan sistem yang acta di pusat. Selain itu, juga diprioritaskan
untuk mendukung pelayanan angkutan terutama di beberapa daerah di kawasan timur Indonesia
melalui program subsidi operasi angkutan bus perintis.
Untuk pemenuhan kebutuhan tingkat pelayanan angkutan penumpang dalam jumlah
banyak, baik di wilayah perkotaan yang padat penduduknya (Jabotabek) maupun angkutan antar
kota, dan kebutuhan pelayanan angkutan barang, alokasi anggaranpada program pengembangan
perkeretaapian diarahkan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan peningkatan prasarana
jalan dan jembatan kereta api, melanjutkan pembangunan jalur ganda jalan kereta api di lintas
yang padat, terutama yang dibiayai oleh dana pinjaman luar negeri, serta melanjutkan perakitan
kereta rellistrik untuk mendukung kebutuhan pelayanan angkutan umum masal di wilayah
Jabotabek.
Pada program peningkatan angkutan sungai, danau dan penyeberangan, alokasi
anggaran pembangunan diprioritaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan
peningkatan dermaga penyeberangan, dermaga sungai, maupun dermaga danau. Selain itu, dana
yang tersedia juga akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan beberapa dermaga yang
bersifat strategis, baik bagi dukungan pembangunan daerah maupun pembangunan secara
nasional, serta melanjutkan pembangunan beberapa kapal penyeberangan perintis di beberapa
propinsi. Dalam mendukung kebijakan pelayanan angkutan di daerah perintis maupun di daerah
yang relatif masih kurang berkembang, alokasi dana subsidi operasi angkutan penyeberangan
perintis tetap akan menjadi prioritas, terutama untukmendukung kelangsungan distribusi
kebutuhan sembako dan obat-obatan serta pengembangan perekonomian di beberapa pulau-
pulau yang terpencil.

Pada subsektor transportasi laut, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan


pemanfaatannya terutama untuk mempertahankan tingkat pelayanan transportasi laut, khususnya
untuk mendukung kelancaran distribusi sembilan bahan pokok dan obat-obatan. Dalam program
pengembangan fasilitas pelabuhan, alokasi anggaran akan diprioritaskan untuk kegiatan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 164


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

rehabilitasi dermaga seluas 2.270 meter persegi dan pembangunan dermaga pelabuhan rakyat
sepanjang 871 meter. Seuangkan dalam program pengembangan fasilitas pelabuhan laut, akan
diprioritaskan penggunaannya untuk mempertahankan kedalaman alur pelayaran, rehabilitasi
dan pembangunan sarana bantu navigasi. Pada program keselamatan pelayaran akan dilakukan
pengerukan 10,3 juta meter kubik. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan untuk
program pembinaan dan pengembangan armada pelayaran diprioritaskan pemanfaatannya bagi
penyediaan biaya subsidi operasi angkutan perintis laut sebanyak 37 kapal di 13 propinsi,
dimana 32 kapal di antaranya dioperasikan di kawasan timur Indonesia.
Di subsektor transportasi udara, alokasi anggaran pembangunan diarahkan terutama
untuk rehabilitasi prasarana bandar udara (bandara), peralatan keamanan dan keselamatan
penerbangan guna menunjang pengembangan sektor pariwisata, upaya pemulihan ekonorni,
membuka daerah terpencil dan terisolasi, serta memperluas lapangan kerja; meningkatkan serta
mempertahankan tingkat pelayanan, keselamatan dan keamanan penerbangan; dan upaya
pengembangan bandara. Melalui program pengembangan fasilitas bandara, dana yang tersedia
akan dimanfaatkan untuk perbaikan landasan, pelapisan landasan, pembuatan konstruksi
pengerasan pada 6 bandara perintis di Irian Jaya, membangun dan merehabilitasi terminal dan
bangunan penunjang operasi, serta mengembangkan bandara di Palembang, Surabaya, Bali,
Ujung Panuang, Gorontalo, Manado dan Ambon. Sementara itu, melalui program keselamatan
penerbangan, alokasi anggaran akan digunakan bagi pengadaan dan perbaikan 5 unit peralatan
navigasi penerbangan, 33 unit peralatan telekomunikasi dan peralatan kelistrikan pada 6 lokasi,
serta rehabilitasi peralatan kelistrikan pada 9 lokasi. Selanjutnya, melalui program pembinaan
dan pengembangan armada udara, alokasi imggaran pembangunan akan digunakan untuk
pengoperasian penerbangan perintis yang menghubungkan daerah terpencil dan membantu
distribusi bahan pokok dan obat-obatan di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Irian Jaya, Maluku, Timor Timur, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada subsektor meteorologi, geofisika, pencarian dan penyelamatan, alokasi anggaran
pembangunan di antaranya akan digunakan untuk rehabilitasi dan penggantian peralatan
operasional meteorologi dan geofisika yang telah rusak atau berumur lebih dari usia teknis (life-
time )-nya, serta pengadaan peralatan SAR (search and rescue) sebagai upaya pengembangan
sarana komunikasi.
Sementara itu, untuk menunjang kebutuhan energi dan bahan baku bagi industri dalam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 165


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

negeri dan keperluan masyarakat, peningkatan devisa, penerimaan negara dan pendapatan
daerah, serta perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sektor pertambangan dan
energi dalam tahun anggaran mendatang direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp
6.607,7 miliar, atau turun 6,4 persen dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya.
Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor pertambangan Rp 69,3
miliar, dan subsektor energi Rp 6.538,4 miliar.
Pada subsektor pertambangan, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan
antara lain untuk melakukan pemetaan geologi dan geofisika bersistem skala 1:100.000,
pemetaan geologi kelautan, pemetaan hidrogeologi skala 1: 100.000, mitigasi bencana alam di
beberapa lokasi, serta peningkatan penyelidikan dan pemantauan aktivitas gunung berapi. Di
samping itu, juga akan dilakukan pengembangan usaha pertambangan melalui kegiatan
percontohan penambangan dan pengolahan di beberapa lokasi pertambangan skala kecil yang
akan diperluas pada usaha perminyakan dan distribusinya, serta bimbingan teknis pertambangan
di beberapa lokasi.
Pada subsektor energi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk
melanjutkan pembangunan pembangkit tenaga listrik terutama di luar Jawa dengan kapasitas
1.410 mega watt (MW), jaringan transmisi sepanjang 5.031 kilometer sirkit (Kms), gardu induk
dengan kapositas daya 8.380 mega-volt-ampere (MV A), jaringan distribusi menengah (JTM)
sepanjang 11.367,5 Kms, jaringan distribusi tegangan rendah sepanjang 12.413,9 Kms, serta
gardu distribusi dengan kapositas 280,8 MV A. Dalam rangka mendorong kegiatan ekonomi,
serta meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat di perdesaan, akan dilanjutkan dan
dikembangkan program listrik masuk desa untuk 2.087 desa, yang pengadaannya diupayakan
untuk mendukung program jaring pengaman sosial (JPS) dengan memanfaatkan sumber energi
setempat, seperti tenaga air mikro dan energi surya, dengan melibatkan koperasi dalam
pengelolaan dan pelaksanaannya secara lebih efisien. Selain itu, dana yang tersedia juga akan
digunakan untuk pengembangan tenaga migas dan diversifikasi pemanfaatan gas bumi untuk
rumah tangga melalui perluasan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi di
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.

Guna menunjang usaha perluasan jaringan irigasi yang mendukung sektor-sektor


strategis, menyediakan air baku di Sentra-sentra produksi untuk menumbuhkan industri yang
berbahan baku loka!, serta meningkatkan keandalan fungsi jaringan irigasi di sentra-sentra

Departemen Keuangan Republik Indonesia 166


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

produksi untuk mendukung swasembada beras, dalam tahun anggaran mendatang sektor
pengairan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 3.466,2 miliar, atau sekitar 27
persen lebih rendah dari alokasi yang dianggarkan dalam tahun sebelumnya. Jurnlah tersebut
akan dialokasikan untuk subsektor pengembangan sumber daya air Rp 1.521,4 miliar, dan
subsektor irigasi Rp 1.944,8 miliar.

Di subsektor pengembangan sumber daya air, alokasi anggaran pembangunan akan


digunakan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi 5 unit waduk, pembangunan 50 unit
embung dan 10 unit chek dam, operasi dan pemeliharaan 35 unit waduk dan 15 unit danau,
perbaikan dan pengendalian sungai sepanjang 290 kilometer, operasi dan pemeliharaan sungai
sepanjang 2.700 kilometer, serta penanganan pengendalian banjir lahar gunung berapi pada
daerah-daerah yang rawan terhadap banjir lahar gunung berapi.

Untuk mendukung upaya peningkatan produksi pertanian serta meningkatkan peranserta


petani dalam pengelolaan jaringan irigasi, alokasi anggaran pembangunan subsektor irigasi akan
dimanfaatkan antara lain untuk operasi dan pemeliharaan 6,3 juta hektar jaringan irigasi,
pembangunan 130 ribu hektar prasarana irigasi baru, serta perbaikan 300 ribu hektar irigasi
desa. Selain itu, dana yang tersedia juga akan digunakan untuk penambahan areal cetak sawah
seluas 60.000 hektar.
Dalam upaya mendukung pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi
kepariwisataan nasional yang berbasis pada kekhasan sell budaya dan keadaan alam setempat,
peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat kecil, serta meningkatkan mutu dan
memperluas jangkauan pelayanan pos dan telekomunikasi, sektor pariwisata, pos dan
telekomunikasi dalam tahun anggaran mendatang direncanakan alokasi anggaran pembangunan
Rp 918,1 miliar, atau 22,3 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam
tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, subsektor pariwisata disediakan alokasi anggaran Rp
92,8 miliar, seuangkan subsektor pos dan telekomunikasi Rp 825,3 miliar.

Di subsektor pariwisata, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk


melakukan diversifikasi produk pariwisata di berbagai sektor melalui penyusunan rencana induk
di beberapa propinsi; penyelenggaraan promosi pariwisata di dalam dan luar negeri secara lebih
efisien dan efektif, khususnya di negara-negara asal para wisatawan, baik melalui bantuan
mahasiswa maupun masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri; serta peningkatan
hubungan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral di biuang pariwisata.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 167


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Di subsektor pos dan telekomunikasi, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan


untuk meningkatkan jangkauan, mutu, efisiensi dan pemerataan pelayanan jasa pos dan
telekomunikasi, pengendalian frekuensi radio nasional, pembangunan sentral telepon, transmisi
dan telekomunikasi perdesaan, serta antisiposi masalah komputer tahun 2000.
Dalam tahun anggaran mendatang, sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional,
keuangan dan koperasi direncanakan alokasi anggaran Rp 19.035,6 miliar, atau naik 14,1 persen
dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan
dialokasikan masing-masing untuk subsektor perdagangan dalam negeri Rp 110,1 miliar,
subsektor perdagangan luar negeri Rp 65,4 miliar, subsektor pengembangan usaha nasional Rp
6,2 miliar, subsektor keuangan Rp 17.223,2 miliar, serta subsektor koperasi dan pengusaha kecil
Rp 1.630,7 miliar.
Dalam upaya mendapatkan mekanisme perdagangan dalam negeri dan sistem distribusi
yang lebih efisien dan efektif untuk meredam gejolak inflasi, memperlancar arus barang sampai
ke konsumen, serta mendukung pengembangan kemampuan usaha skala kecil dan menengah
agar mampu bersaing dalam memasuki era perdagangan bebas, alokasi anggaran pembangunan
subsektor perdagangan dalam negeri akan lebih diarahkan untuk menunjang peningkatan
pemasaran komoditas hasil industri dan pertanian di seluruh propinsi, pengembangan
perdagangan perintis dan antarpulau, penyerapan informasi perdagangan antarwilayah dan
monitoring harga terhadap komoditi tertentu dalam rangka pengendalian inflasi dan kelancaran
arus barang di seluruh propinsi, serta pengembangan pemasaran produk di desa tertinggal di 27
propinsi. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan lembaga dan usaha perdagangan, meningkatkan mutu dan jaringan
informasi perusahaan dan perdagangan, serta mendorong terdapatnya tertib usaha dan
perlindungan konsumen agar terwujud persaingan yang wajar di kalangan pengusaha.
Selanjutnya, alokasi anggaran pembangunan pada subsektor tersebut juga akan dimanfaatkan
untuk me!akukan pembinaan usaha dan jasa penunjang perdagangan, memberikan bantuan
teknis manajemen k:epada pengusaha yang tersebar di 27 propinsi, serta pengembangan sistem
kemitraan antara pedagang kecil, menengah dan pedagang besar di 27 propinsi.
Pada subsektor perdagangan luar negeri, alokasi anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan untuk peningkatan pangsa dan perluasan pasar, peningkatan diversifikasi dan daya
saing mata dagangan ekspor, serta peningkatan pelaku ekspor yang handal. Di samping itu,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 168


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk penyempurnaan ketentuan perdagangan
internasional, pelayanan dan penyebaran informasi perdagangan internasional di seluruh
propinsi, serta pengembangan analisa dan pengamatan pasar melalui analisa profil dan potensi
ekspor ke berbagai negara.
Pada subsektor pengembangan usaha nasional, alokasi anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan terutama untuk menyiapkan produk pengaturan pengembangan dan pembinaan
jasa usaha nasional yang meliputi 10 paket pedoman pengembangan dan pembinaan, serta
pembinaan terhadap usaha kecil. Di samping itu, juga akan dilakukan promosi investasi,
khususnya dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, termasuk
upaya pendapatan kembali iklim investasi yang menarik. Sementara itu, alokasi anggaran bagi
subsektor keuangan akan diprioritaskan untuk melanjutkan reklasifikasi tanah objek pajak bumi
dan bangunan (PBB) di beberapa daerah sebagai rangkaian upaya untuk meningkatkan
penerimaan negara, penyempurnaan dan penyusunan perhitungan anggaran negara dan
penatausahaan inventaris kekayaan negara, serta menunjang program restrukturisasi perbankan
pada program pengembangan lembaga keuangan dan pembinaan kekayaan negara. Program
penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimaksud perlu segera diselesaikan sebagai salah satu
agenda pokok dalam upaya memulihkan kondisi perekonomian nasional, dengan tujuan utama
memulihkan kehidupan perbankan yang efisien, sehat dan tangguh, mengingat perbankan
merupakanjantung kehidupan perekonomian yang dapat menjadi motor penggerak bagi
berputarnya kembali kegiatan usaha sektor riil, dan menumbuhkan kegiatan usaha nasional yang
berdaya saing.

Di subsektor koperasi dan pengusaha kecil, sasaran alokasi anggaran pembangunan akan
lebih diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan fungsi koperasi sebagai wadah kolektif
usaha ekonomi rakyat yang efisien serta dapat meningkatkan perolehan nilai tambah bagi
pengusaha kecil-menengah (PKM), dan dapat memperkuat dan memperluas usaha,
kewirausahaan dan profesionalisme koperasi dan PKM agar memiliki kinerja yang makin sehat
dan kompetitif. Sasaran pembangunan koperasi dalam tahun anggaran 1999/2000 di antaranya
meliputi peningkatan kemampuan pengelolaan serta pelayanan anggota koperasi di biuang usaha
pangan pada sekitar 2.500 koperasi, peningkatan fungsi koperasi sebagai distributor dan
penyalur khususnya barangbarang pokok, peningkatan usaha bagi pedagang kecil dan
penyediaan barang bagi konsumen, dukungan fasilitas pembiayaan bagi pengusaha kecil dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 169


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengembangan 5.600 koperasi/usaha simpan pinjam, serta pembinaan kelembagaan koperasi


baru. Sementara itu, sasaran pemberdayaan usaha kecil dan menengah akan lebih difokuskan
pada pengembangan jaringan peningkatan pelayanan konsultasi dan informasi bisnis melalui
113 klinik konsultasi bisnis di tingkat kabupaten, khususnya untuk pengusaha kecil dan
menengah yang terkena dampak krisis ekonomi, penyelenggaraan pameran promosi dalam
rangka peningkatan akses pasar produk pengusaha kecil, serta peningkatan pelayanan inkubator
teknologi bisnis dalam rangka mengembangkan pengusaha kecil yang berdaya saing dan
memacu tumbuhnya wirausaha baru yang berbasis teknologi.

Dalam rangka menunjang upaya pengembangan industri yang efisien dan berwawasan
masa depan, pendapatan iklim persaingan yang sehat dan dapat menjamin dan memelihara
keseimbangan antara industri besar, menengah dan kecil, pemberdayaan industri kecil dan
menengah yang memiliki daya tahan lebih fleksibel terhadap gejolak ekonomi, serta membuka
peluang penyerapan tenaga kerja dan pemerataan pendapatan masyarakat, dalam tahun anggaran
1999/2000 sektor industri direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 629,2 miliar, atau
20,2 persen lebih rendah dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya.
Alokasi anggaran tersebut akan diarahkan antara lain untuk menumbuh-kembangkan kegiatan
usaha pada industri kecil-menengah, industri rumah tangga, dan industri kecil perdesaan di
seluruh propinsi, agar menjadi industri yang tangguh, modern dan mandiri. Untuk itu, sasaran
kegiatannya akan lebih difokuskan pada penumbuhan wirausaha baru industri kecil dan
pemberdayaan ekonomi rakyat terutama di perdesaan melalui lembaga mandiri dan mengakar
pada masyarakat yang berpotensi produktif kepada kurang lebih 100 lembaga, serta penyediaan
bantuan teknis magang dalam biuang teknologi dan manajemen bagi 10.000 perajin/pengusaha
industri kecil. Untuk mendukung pelaksanaan program jaring pengaman sosial, dalam tahun
anggaran mendatang akan diberikan bantuan dan bimbingan teknis bagi penumbuhan dan
pemulihan usaha industri melalui pembinaan intensif kepada sekitar 400 perusahaan industri
kecil menengah potensial yang berbasis unggulan daerah, termasuk industri yang siap ekspor,
industri kecil subkontrak, industri kerajinan, dan industri substitusi impor, sebagai upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan memperkuat struktur industri. Di samping itu, juga akan
dilakukan peningkatan kemampuan usaha industri kecil melalui pendidikan dan pelatihan, serta
bantuan promosi dan informasi ekspor kepada sekitar 500 perusahaan industri kecil.

Untuk mendukung peningkatan kemampuan teknologi industri, khususnya bagi industri

Departemen Keuangan Republik Indonesia 170


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kecil dan menengah, baik industri logam, mesin dan kimia, aneka industri maupun industri hasil
pertanian, akan dilakukan peningkatan kemampuan pelayanan teknis 25 balai litbang industri,
baik sektoral maupun regional di daerah, melalui pengembangan Sarana dan prasarana balai
dalarn mendukung dan menjadi bagian dunia usaha industri dalam menghadapi era perdagangan
bebas, yang mencakup peningkatan kemampuan pembuatan rupa-rupa dan ujicoba terapan
peralatan produksi. Selain itu, anggaran pembangunan subsektor industri juga akan
dimanfaatkan untuk pengembangan produk-produk unggulan bagi komoditi yang memiliki
prospek yang cerah di masa depan, penyusunan basis data komoditi industri potensial untuk
meningkatkan aksesibilitas terhadap pasar dan investor, pelatihan teknis dan manajemen usaha,
serta penyediaan tenaga kerja sektor industri dari 17 lembaga pendidikan industri.

Dalam upaya penanggulangan dampak krisis ekonomi dan musibah kekeringan yang
masih berlanjut, pembangunan pertanian dan kehutanan akan semakin dipacu agar dapat
berperan menjadi sektor andalan seiring dengan arah baru pembangunan nasional yang
menekankan pada pemberdayaan ekonomi rakyat, desentralisasi pembangunan melalui
penguatan kelembagaan pertanian dengan peningkatan reran partisipatif petani, serta perubahan
struktur pertanian menuju modernisasi. Pembangunan pertanian dan kehutanan diarahkan untuk
lebih eepat menghasilkan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, meningkatkan
pendapatan masyarakat, membuka kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja, serta
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah dalam rangka penyelamatan kondisi
sosial ekonomi masyarakat dan menggerakkan kembali kegiatan ekonomi nasional. Berkaitan
dengan itu, dalam rangka mendukung peningkatan produksi pangan, pengembangan agrobisnis
produk-produk pertanian, perkebunan dan kehutanan yang berdaya saing tinggi, dan sekaligus
mendukung program pereepatan penghapusan kemiskinan, dalam tahun anggaran mendatang
sektor pertanian dan kehutanan direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.613,3 miliar,
atau menurun 38,4 persen dari alokasi anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Dari
jumlah tersebut, Rp 4.389,2 miliar dialokasikan untuk subsektor pertanian, dan Rp 224,1 miliar
untuk subsektor kehutanan.
Pada subsektor pertanian, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk
mendukung jaring pengaman sosial di biuang ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat
dan peningkatan ekspor. Kegiatan utamanya akan dititikberatkan pada pemberdayaan petani,
peningkatan daya saing produk pertanian, serta pemecahan secara simultan permasalahan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 171


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengangguran dan percepatan upaya penghapusan kemiskinan. Untuk memberdayakan petani,


kelompok tani dan koperasi dalam mengembangkan usahanya secara mandiri, dilaksanakan
upaya khusus gerakan mandiri dalam peningkatan produksi padi, kedelai dan jagung (Gema
Palagung), peningkatan produksi hortikultura tropika (Gema Hortina), peningkatan produksi
protein hewani (GemaProteina), peningkatan produksi perikanan, pengembangan tanaman
pangan sebagai tanaman tumpang sari di areal perkebunan rakyat, serta program peningkatan
ekspor hasil perikanan (Protekan). Upaya khusus tersebut dilaksanakan melalui (1) peningkatan
mutu intensifikasi pertanian dengan menerapkan teknologi pertanian spesifik lokasi,
meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian, dan memberdayakan kelembagaan
pertanian pedesaan; (2) meningkatkan kapasitas produksi melalui perluasan areal, optimasi
pemanfaatan lahan terlantar, peningkatan indeks pertanaman, peningkatan populasi dan mutu
genetik, serta perbaikan teknologi budindaya dan penangkapan ikan; dan (3) pengamanan hasil
melalui permanfaatan teknologi panen dan pasca pallen. Sehubungan dengan itu, alokasi
anggaran pembangunan pada subsektor pertanian akan diprioritaskan untuk mencapai sasaran
produksi padi sebanyak 52 juta ton gabah kering giling (GKG), 11 juta ton jagung pipilan kering
dan kedelai 2 juta ton biji kering melalui luas areal tanam padi, jagung dan kedelai masing-
masing12,2 juta hektar, 4,1 juta hektar dan 1,7 juta hektar; produksi dasing, telur dan susu
masing-masing 1,3 juta ton, 0,5 juta ton dan 0,4 juta ton; produksi perikanan laut dan darat
masing-masing 3,7 juta ton dan 1,2 juta ton, serta produksi gula 2,6 juta ton.

Pada subsektor kehutanan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk


mendukung pelaksanaan jaring pengaman sosial (JPS), khususnya dalam memperkuat ketahanan
pangan, penciptaan lapangan kerja produktif, serta pengembangan usaha kecil menengah dan
koperasi. Kegiatan utamanya dititikberatkan pada pengembangan sistem pengelolaan hutan
secara lestari melalui penerapan model kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP) di 6
lokasi yang meliputi 77 unit KPHP, pengembangan pengelolaan kawasan hutan produksi besar,
menengah, kecil dan koperasi serta sistem pelelangan hat pengusahaan hutan (HPH) sebanyak 6
paket, pengembangan sumber benih di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, serta
pembinaan 12 unit Sentra produksi bibit yang tersebar di 8 propinsi. Di samping itu,
dilaksanakan pula upaya pemanfaatan lahan kosong kehutanan di bawah tegakan hutan melalui
pengembangan unit percontohan pengelolaan hutan rakyat sebanyak 8 unit dan pengembangan
areal dampak seluas 2.000 hektar; pengembangan model hutan kemasyarakatan di 11 propinsi;

Departemen Keuangan Republik Indonesia 172


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

serta pembinaan dan pengembangan 68 unit usaha kecil, menengah dan koperasi kehutanan.

Di biuang pendidikan, sejalan dengan bergesemya paradigma pembangunan pendidikan


yang menitikberatkan kepada upaya peningkatan mutu dan relevansinya terhadap pembangunan
nasional, akan diupayakan pemerataan dan efisiensi di biuang pendidikan, yang sekaligus
diintegrasikan dengan upaya menanggulangi kemiskinan. Untuk itu, dalam tahun anggaran
mendatang, sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, pemuda dan olah raga direncanakari alokasi anggaran pembangunan Rp 8.381,3 miliar atau
meningkat 0,2 persen dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam tahun sebelumnya. Jumlah
tersebut, akan dialokasikan bagi subsektor pendidikan Rp 7.Q36,7 miliar, subsektor pendidikan
luar sekolah dan kedinasan Rp 316,3 miliar, subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Rp 67,6 miliar, serta subsektor pemuda dan olah raga Rp 60,7
miliar.
Di subsektor pendidikan, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan terutarna
untuk melanjutkan usaha memperkuat program jaring pengaman sosial bagi pemenuhan
kebutuhan dasar di biuang pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan, yang
dilaksanakan melalui penyediaan beasiswa, dan bantuan operasional pendidikan. Penyediaan
beasiswa akan diperuntukkan bagi sekitar 1.800 ribu siswa SD/MI, 1.650 ribu siswa SLTP/MTs,
500 ribu siswa SLTA, serta 421 ribu bagi mahasiswa. Khusus bagi mahasiswa, bantuan biaya
studi dimaksud akan diberikan dalam bentuk beasiswa prestasi bagi 50 ribu mahasiswa,
beasiswa kerja bagi 150 ribu mahasiswa, bantuan penyelesaian tugas akhir bagi 25,5 ribu
mahasiswa, penerapan SPP secara proporsional bagi 41 ribu mahasiswa, dan beasiswa lainnya
bagi 30 ribu mahasiswa. Sementara itu, penyediaan bantuan operasional pendidikan akan
diperuntukkan bagi sekitar 104 ribu SD/MI, 18 ribu SLIP! MTs, 9,4 ribu SLTA negeri dan
swasta, serta 1.000 perguruan tinggi negeri dan swasta, termasuk perguruan tinggi agama
(PTA). Dalam rangka menjaga kelancaran proses belajar mengajar, alokasi anggaran yang
tersedia juga akan dimanfaatkan untuk menunjang program penyetaraan tenaga edukasi masing-
masing bagi 195 ribu guru SD setara D-2, dan 2.000 guru SLTP setara D-3, serta pengiriman
9.319 dosen untuk mengikuti pendidikan S2 dan S3 di dalam dan di luar negeri, sebagai upaya
meningkatkan kualitas tenaga pendidik, di samping pemenuhan sarana belajar berupa pengadaan
52.700 ribu buku pelajaran SLTP, dan 694 ribu eksemplar buku perpustakaan SMD. Selain itu,
akan diupayakan perintisan program baru, yaitu pendidikan anak usia dini sebagai salah satu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 173


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

upaya dini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.


Guna mendukung pelaksanaan program wajib belajar (wajar) pendidikan dasar (dikdas)
sembilan tahun di daerah-daerah terpencil yang tidak mungkin terjangkau dengan pelaksanaan
sekolah biasa, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk menunjang
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh melalui 3.642 SLTP terbuka yang telah ada, dan
membangun unit gedung baru (UGB) dan ruang kelas baru (RKB) yang setara dengan 3.264
ruang. Sementara itu, untuk menunjang program pembinaan sekolah luar biasa, akan diupayakan
pengadaan dan pendistribusian 47.485 eksemplar buku perpustakaan, pengadaan 975 perangkat
talking book, penyelenggaraan penataran bagi 232 ribu orang guru SD dan SLTP, serta
pengadaan 51 ribu perangkat alat peraga pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan nasional pada berbagai jenjang
pendidikan terhadap tuntutan kebutuhan pembangunan nasional, alokasi anggaran pembangunan
akan diarahkan untuk pengembangan dan penyempurnaan kurikulum, pemasyarakatan
pendidikan sistem ganda (PSG), pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK) model,
serta penataan dan pengembangan program studi dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk mendukung
pengembangan kerja sama antara perguruan tinggi dengan industri melalui kegiatan
permagangan bagi 500 orang untuk memberikan pengalaman kerja bagi mahasiswa dan dosen,
memanfaatkan tenaga profesional pada biuang industri untuk mengajar, serta penyelenggaraan
pelatihan profesional bagi mahasiswa politeknik.
Pada subsektor pendidikan luar sekolah dan kedinasan, alokasi anggaran pembangunan
akan diprioritaskan untuk mengoptimalkan reran pendidikan luar sekolah sebagai katup
pengaman pendidikan dalam menghadapi krisis, dengan sasaran kegiatan berupa
penyelenggaraan program Kejar Paket A tidak setara SD bagi 25 ribu orang, Kejar Paket A
setara SD bagi 108 ribu orang, Kejar Paket B setara SLTP bagi 215 ribu orang, pendidikan
berkelanjutan melalui magang dan kursus bagi 20 ribu orang, serta perluasan kejar usaha yang
berorientasi program pemberdayaan masyarakat miskin bagi 10 ribu orang.
Pada subsektor kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan untuk mendukung berbagai upaya pengkajian
dan pengembahgan pendidikan budaya dan budi pekerti sebagai bahan kurikulum muatan lokal;
pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah dan nasional; penelitian, pembinaan dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 174


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pengembangan bahasa Indonesia dan daerah; peningkatan pendidikan bahasa asing di sekolah;
penyusunan buku pengajaran bahasa daerah; serta pembinaan penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa agar dapat dicegah adanya usaha-usaha untuk membentuk agama baru,
dan mengefektifkan pengambilan langkah-langkah agar pelaksanaannya berlangsung menurut
dasardasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada subsektor pemuda dan olah raga, alokasi anggaran pembangunan akan
diprioritaskan antara lain untuk menunjang pelatihan kepemimpinan dan keterampilan pemuda,
pelatihan kelompok pemuda produktif, dan pelatihan manajemen bagi pimpinan organisasi
pemuda bagi 2.760 orang, serta pengerahan sarjana penggerak pembangunan di perdesaan (SP3)
sebanyak 1.000 orang. Guna mendukung pemassalan dan pembinaan olahragawan berbakat,
alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk melakukan pembinaan terhadap 1.300
klub olah raga pelajar, kompetisi olah raga pelajar 14.400 orang, pembinaan prestasi olah raga
melalui diktat olah raga berbakat SLTP/SMU negeri Ragunan sebanyak 200 orang;
penyelenggaraan olah raga perbatasan sebanyak 250 orang; serta penyelenggaraan kegiatan
pekan kesegaran jasmani.
Untuk menunjang upaya peningkatan dan perluasan pelayanan di biuang sosial dan
kesehatan secara lebih merata sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial, dalam tahun ,
anggaran mendatang sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja
direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 4.786,9 miliar, akan meningkat 13,8 persen
dari alokasi anggaran dalam tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp 654,0 miliar akan
dialokasikan untuk subsektor kesejahteraan sosial, Rp 3.545,7 miliar untuk subsektor kesehatan,
dan Rp 587,2 rniliar untuk subsektor peranan wanita, anak dan remaja.
Pada subsektor kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan
untukmemperkuat programjaring pengaman sosial, terutama untuk menunjang upaya
peningkatan kualitas dan efektivitas pelayanan sosial, perluasan jangkauan dan pelayanan so
sial, peningkatan profesionalisme pe1ayanan sosial, serta peningkatan peranserta masyarakat
dan ke1uarga dalam pembangunan kesejahteraan sosia1, dengan fokus perhatian pada fakir
miskin, anak dan penduduk 1anjut usia yang terlantar, penyanuang cacat, korban
penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, serta anggota masyarakat yang kurang beruntung
memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan martabat
manusia. Untuk mendukung berbagai sasaran tersebut, a10kasi anggaran pembangunan akan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 175


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

digunakan untuk pembinaan terhadap 3.324 kepala keluarga (KK) masyarakat terasing yang
baru ditemukan dan pembinaan lanjutan bagi 8.670 KK, pembinaan kesejahteraan sosial bagi
42.100 KK fakir miskin di 1.141 desa, penyantunan so sial bagi 15.700 orang lanjut usia dan
37.460 orang anak terlantar, serta pemberian modal usaha bagi 3.240 keluarga muda mandiri.
Guna meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dan dapat menempuh kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya, alokasi anggaran pembangunan subsektor tersebut juga akan dimanfaatkan
untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi so sial bagi 13.120 orang penyanuang cacat
berbasis masyarakat, membangun pemukiman sosial bagi bekas penderita kusta, serta
rehabi1itasi sosial bagi 3.290 orang anak nakal dan korban narkotika. Selanjutnya, dalam rangka
meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan
kesejahteraan sosial, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan penyuluhan dan bimbingan sosial di 2.622 desa, pembinaan organisasi so
sial (orsos) bagi 975 orsos, serta melaksanakan kegiatan kesiapsiagaan penanggulangan bencana
alam (PBA) di 27 propinsi.

Pada subsektor kesehatan, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan terutama


untuk kegiatan yang benar-benar terkait dengan program perluasan jaring perlindungan sosial,
serta berbagai program unggulan di biuang kesehatan, khususnya bagi masyarakat yang rentan
terhadap penyakit, sebagai upaya memperkuat jaring pengaman sosial. Berkaitan dengan itu,
alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk penyebarluasan informasi kesehatan,
peningkatan pelayanan kesehatan, terutama bagi penduduk riskin, termasuk pelayanan
kebidanan berikut rujukannya secara cuma-cuma; peningkatan pelayanan ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, anak dan remaja; serta penyediaan biaya opeiasional bagi 7.271 Puskesmas.
Dalam rangka mempercepat pemberantasan penyakit, serta penurunan angka kesakitan dan
kematian bayi dan anak balita dari penyakit, anggaran yang tersedia akan dimanfaatkan untuk
penemuan dan pengobatan terhadap 3,7 juta penderita malaria, 5,3 juta penderita diare, 138 ribu
penderita TBC (tuberculose) dan 2,8 juta penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA);
pemberian bantuan obat-obatan dan vaksinasi BCG (baccillus calmette guerine), DPT (difteri
pertusis tetanus), polio, DT (difteri tetanus), campak terhadap bayi, TT (tetanus toxoid)
terhadap 4,8 juta ibu hamil, dan 25 juta anak sekolah, serta hepatitis B pada 4,4 juta bayi.

Untuk melindungi masyarakat, khususnya kelompok rentan terhadap kekurangan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 176


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pangan dan gizi, alokasi anggaran pembangunan akan dimanfaatkan untuk penanggulangan
gangguan akibat kurang yodium (GAKY) dengan mendistribusikan kapsul yodium bagi 8,3 juta
wanita subtle; penanggulangan kekurangan vitamin A dosis tinggi bagi 2,2 juta bayi usia 6-12
bulan, 16,5 juta anak usia 1-5 tahun, dan 4,3 juta ibu nifas; serta penyediaan makanan tambahan
khususnya bagi bayi, anak balita, ibu hamil, dan ibu nifas penderita kurang energi kronis (KEK)
Dari ke1ukga miskin. Di samping itu, sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) akan 1ebih
dimanfaatkan di tingkat kabupaten. Se1anjutnya, untuk mendukung upaya peningkatan
pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisiona1, a1okasi anggaran pembangunan akan
dimanfaatkan untuk pembinaan sentra-sentra pengembangan dan penerapan pengobatan
tradisional (P3T), pengembangan dan pembinaan metode pengobatan tradisional, serta
pembinaan terhadap tenaga pengobatan tradisional.

Pada subsektor peranan wanita, anak dan remaja, sasaran alokasi anggaran
pembangunan akan lebih diarahkan untuk meningkatkan peran aktif wanita dalam berbagai
kegiatan pembangunan, serta meningkatkan status gizi dan kesehatan bagi anak dan remaja
sebagai upaya mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang tangguh, patriotik, kreatif,
dan produktif sejak dini. Guna mendukung sasaran dimaksud, alokasi anggaran pembangunan
akan diprioritaskan untuk kegiatan penerangan, pendidikan, dan penyuluhan kemitrasejajaran
pria dan wanita yang harmonis dalam pembangunan, kajian dan penerapan pendekatan jender di
seluruh sektor pembangunan, serta program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang
mencakup 29.002 desa, 9.700 ribu round, dan 61.071 SD/MI baik negeri maupun swasta yang
berlokasi di desa-desa miskin dan tertinggal, di daerah kurnub perkotaan, dan lembaga
pendidikan berbasis masyarakat di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, guna mendukung upaya peningkatan kualitas penduduk, pengendalian
pertumbuhan dan kuantitas penduduk, pengarahan mobilitas dan penyebaran penduduk, serta
mewujudkan tatanan gerakan keluarga berencana, dalam tahun anggaran mendatang sektor
kependudukan dan keluarga sejahtera direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 594,3
miliar, atau naik 2,1 persen Dari anggaran yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran
dimaksud akan digunakan untuk penyuluhan keluarga berencana (KB); pelayanan KB, termasuk
pemenuhan kebutuhan kontrasepsi dan peralatan pelayanan kontrasepsi kepada 5,0 juta
posangan usia subur (PUS) peserta KB baru, dan 28,7 juta PUS peserta KB aktif; pembinaan
keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I melalui Takesra, Kukesra, dan pengembangan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 177


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pemasaran hasil produksi usaha ekonomi; serta melakukan berbagai kajian aspek fertilitas,
mortalitas, mobilitas dan persebaran penduduk.
Dalam rangka mewujudkan perikehidupan beragama yang harmonis, maju dan sejahtera
lahir balin, dalam RAPBN 1999/2000 sektor agama direncanakan alokasi anggaran
pembangunan Rp 627,4 miliar, atau naik sekitar 32 persen Dari alokasi anggaran yang tersedia
dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor pelayanan
kehidupan beragama Rp 25,5 miliar dan subsektor pembinaan pendidikan agama Rp 601,9
miliar.
Pada subsektor pelayanan kehidupan beragama, alokasi anggaran pembangunan
direncanakan antara lain untuk pemberian bantuan pembangunan dan rehabilitasi terhadap 2.000
temp at peribadatan berbagai agama, pengadaan 600 ribu kitab suci berbagai agama,
pembangunan 100 gedung balai nikah, penyertifikatan tanah wakaf, kegiatan penerangan dan
bimbingan agama, serta pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Selain itu, guna lebih
meningkatkan pelayanan dan kelancaran pen.unaian ibadah haji bagi umat Islam, alokasi
anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan dan
rehabilitasi asrama haji, peningkatan pembinaan para petugas pelayanan haji, serta
pembangunan pusat informasi haji, termasuk pengembangan sistem komputerisasi haji terpadu
(SISKOHAT).

Anggaran pembangunan yang dialokasikan bagi subsektor pembinaan pendidikan


agama sebagian besar akan digunakan untuk mendukung program jaring pengaman sosial, yang
meliputi (1) program pembinaan pendidikan agama tingkat dasar, menengah dan tinggi, dengan
tujuan untuk meningkatkan cakupan dan mutu pendidikan agama tingkat dasar dan menengah,
serta menyiapkan peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan
akademik, profesional dan kepemimpinan bagi program pendidikan tinggi; serta (2) program
bimbingan kelembagaan dan tenaga penyuluh keagamaan, yang bertujuan untuk meningkatkan
reran lembaga keagamaan dalam pembangunan dan meningkatkan mutu tenaga keagamaan,
antara lain meliputi pembinaan pondok pesantren dan lembaga-Iembaga kemasyarakatan
berlatar belakang keagamaan. Secara keseluruhan, alokasi anggaran pembangunan tersebut akan
digunakan untuk penataran guru MI dan MTs; penyetaraan D3 bagi 10.000 guru agama;
pengadaan buku pelajaran untuk MI, dan 1,2 juta buah untuk MTs; rehabilitasi 40 ruang kelas
MI termasuk ruang perpustakaan, ruang guru dan ruang tata usaha; pembangunan 400 ruang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 178


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kelas dan rehabilitasi 100 ruang kelas MTs; serta pembangunan 150 ruang kelas Madrasah
Aliyah. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk pengadaan 275
ribu eksemplar buku pelajaran dan buku pegangan dosen, peningkatan mutu tenaga akademis
melalui program pendidikan posca sarjana (S-2 dan S-3) bagi 380 orang dosen dan pembibitan
calon dosen, pembangunan sarana dan prasarana fisik lAIN dan STAIN, serta pemberian
beasiswa bagi 30.000 mahasiswa ekonomi lemah tetapi mempunyai bakat dan kemampuan
akademik yang tinggi.

Sementara itu, guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memperluas kesempatan


kerja, serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja, sektor tenaga kerja direncanakan alokasi
anggaran pembangunan Rp 1.202,1 miliar, atau menurun sekitar 8 persen Dari alokasi anggaran
yang disediakan dalam tahun sebelumnya. Upaya peningkatan kualitas tenaga kerja dilakukan
dengan memberi bekal pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pencari kerja melalui balai
latihan kerja dan pelatihan keliling, baik di perkotaan maupun perdesaan. Guna meningkatkan
produktivitas, anggaran dimanfaatkan untuk pengembangan produktivitas tenaga kerja pada
usaha kecil dan menengah melalui balai pengembangan produktivitas. Prioritas kegiatan ini
dilakukan dengan memberi pelayanan bimbingan dan konsultasi manajemen, serta mendorong
peningkatan kewirausahaan. Dalam rangka memperluas lapangan kerja produktif, akan
diberikan peluang kerja bagi kelompok penganggur yang berpendidikan tinggi maupun rendah.
Penganggur yang berpendidikan tinggi diberi bekal pengetahuan dan keterampilan kerja untuk
menjadi wirausaha. Sementara itu, bagi penganggur yang berpendidikan rendah, khususnya di
perdesaan dan perkotaan kurnub, akan diberikan peluang us aha melalui pengenalan teknologi
tepat guna, baik secara perorangan maupun kelompok usaha bersama. Bagi tenaga kerja yang
sudah bekerja, akan diberikan perlindungan serta upaya peningkatan kesejahteraan. Melalui
kegiatan ini, akan diupayakan untuk mewujudkan ketenangan bekerja dan berusaha agar tercipta
hubungan industrial yang serasi antara pekerja dan pengusaha. Guna menunjang upaya-upaya
tersebut dikembangkan sistem informasi pasar kerja yang cepat dan akurat, serta
memberdayakan bursa kerja yang diikuti dengan peningkatan fungsi pelayanan pengiriman
tenaga kerja antardaerah dan ke luar negeri.

Untuk mendukung program-program pembangunan yang berprioritas tinggi dalam


upaya mengatasi dampak krisis ekonomi, dalam tahun anggaran mendatang sektor ilmu
pengetahuan dan teknologi direncanakan alokasi anggaran pembangunan Rp 900,4 miliar, atau

Departemen Keuangan Republik Indonesia 179


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

menurun 21,3 persen dari alokasi anggaran yang disediakan pada tahun sebelumnya. Jumlah
tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor teknik produksi dan teknologi Rp
342,9 miliar, subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar Rp 61,2 miliar, subsektor
kelembagaan prasarana dan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi Rp 218,3 miliar, subsektor
kelautan Rp 64,0 miliar, subsektor kedirgantaraan Rp 33,0 miliar, serta subsektor sistem
informasi dan statistik Rp 181,0 miliar.

Alokasi anggaran pembangunan subsektor teknik produksi dan teknologi akan diarahkan
terutama untuk diseminasi dan pemanfaatan iptek dalam rangka mendorong pengembangan
usaha kecil dan menengah, pengembangan bibit unggul tanaman pangan, tanaman hortikultura,
tanaman perkebunan dan tanaman industri, pengembangan bibit ikan dan ternak unggul,
penelitian dan pengembangan sumber daya lahan dan agroklimat, pengembangan potensi
produk agrobisnis, penelitian sistem usaha tani, serta penelitian bioteknologi pertanian. Selain
itu, alokasi anggaran pembangunan juga akan dimanfaatkan untuk mengembangkan teknik
produksi dalam biuang mikroelektronika, komponen elektronika, dan otomotif; pengembangan
indikator iptek; pengembangan instrumentasi dan otomasi; pengembangan bahan dan proses
industri kimia, dan teknologi energi alternatif; penelitian biuang farmasi, biologi molekular dan
bahan mineral; serta pengembangan jaringan ipteknet.

Di subsektor ilmu pengetahuan terapan dan dasar, alokasi anggaran yang tersedia akan
dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan biota darat, penelitian dan pengembangan
potensi sumber daya alam, serta penelitian potensi sumber daya energi. Alokasi tersebut juga
dimanfaatkan untuk penelitian penanggulangan penyakit menular demam berdarah, serta
penelitian dan pengembangan teknologi di biuang pertanian, industri, pengairan, prasarana jalan,
kesehatan, perumahan dan pemukiman. Di samping itu, anggaran yang tersedia juga akan
dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi bioteknologi dalam upaya pemuliaan tanaman
produksi, inventarisasi dan penelitian potensi keanekaragaman hayati, serta program hibah
bersaing dalam upaya mendorong pengembangan penelitian di perguruan tinggi.

Di subsektor kelembagaan prasarana dan sarana iptek, alokasi anggaran pembangunan


akan dimanfaatkan antara lain untuk peningkatan fasilitas laboratorium penelitian, seperti
laboratorium bioteknologi, dan laboratorium limnologi; serta laboratorium di pusat
pengembangan iptek (Puspiptek) seperti laboratorium fisika terapan, laboratorium kimia
terapan, laboratorium termodinamika, laboratorium polimer, dan laboratorium sumberdaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 180


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

energi. Selain itu, anggaran yang tersedia juga akan dimanfaatkan untuk riset unggulan terpadu
dalam upaya peningkatan keterpaduan dan kualitas penelitian terapan di berbagai lembaga riset
dan perguruan tinggi.
Di subsektor kelautan, alokasi anggaran pembangunan di antaranya akan digunakan
untuk mengembangkan dari memanfaatkan potensi kelautan, terutama di wilayah KTI melalui
pendugasediaan sumberdaya perikanan laut (fisheries stock assessment), inventarisasi dan
evaluasi potensi laut dan pesisir, serta pengembangan sistem informasi geografi kelautan. Di
samping itu, anggaran yang tersedia juga akan dipergunakan untuk pembuatan peta wilayah
Indonesia, termasuk peta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dari landas kontinen Republik
Indonesia (LKRl), serta batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan memanfaatkan kapal riset
Baruna Jaya.

Di subsektor kedirgantaraan, alokasi anggaran pembangunan akan diprioritaskan untuk


memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit, baik untuk
prediksi iklim dan cuaca, prediksi kekeringan, maupun prakiraan produksi pertanian, khususnya
padi. Selain itu, alokasi anggaran tersebut akan dipergunakan untuk menunjang kegiatan
prakiraan perubahan iklim, pemantauan perilaku atmosfir dan ionosfir, pengembangan teknologi
hujan buatan dari jasa informasi kedirgantaraan, serta pengembangan pranata hukum dan
strategi pembangunan kedirgantaraan.
Di subsektor sistem informasi dari statistik, alokasi anggaran pembangunan akan
diarahkan terutama untuk mengupayakan kesinambungan kegiatan pengumpulan data dan
statistik, baik yang diperoleh melalui survei maupun melalui sensus, serta meningkatkan sarana
penunjang untuk mempertinggi mutu, kelengkapan, dan kecepatan penyajian informasi dan
statistik. Dalam suasana krisis ekonomi seperti ini sangat dibutuhkan informasi dan statistik
yang tepat, cepat, dan akurat. Sasaran alokasi anggaran yang dimaksud antara lain meliputi
pengumpulan, pengolahan dan penyajian data pendapatan nasional/regional, statistik pertanian,
statistik industri dan perdagangan, serta statistik sosial dan kependudukan. Kegiatan yang relatif
besar pada tahun 1999 adalah survei sosial ekonomi nasional (Susenas) dan persiapan sensus
penduduk tahun 2000. Susenas pada tahun 1999 akan menggunakan modul konsumsi yang
hasilnya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dalam melihat gambaran dampak krisis ekonomi,
serta perumusan kebijakan penanggulangannya. Sementara itu, sensus penduduk tahun 2000
merupakan kegiatan yang sangat penting, dimana atas rekomendasi PBB hampir semua negara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 181


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

akan melakukannya pada tahun 2000.


Dalam rangka mendukung upaya memperkuat jaring pengaman sosial dalam
pemenuhan kebutuhan dasar di biuang perumahan dan permukiman yang terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah, serta meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungan,
dalam tahun anggaran mendatang sektor perumahan dan permukiman direncanakan alokasi
anggaran pembangunan Rp 3.218,4 miliar, atau turun sekitar 43 persen dari alokasi anggaran
yang disediakan pada tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan masing-masing
untuk subsektor perumahan dan permukiman Rp 3.059,6 miliar, serta subsektor penataan kota
dan bangunan Rp 158,8 miliar.
Di subsektor perumahan dan permukiman, alokasi anggaran pembangunan ditujukan
untuk penyediaan prasarana dari sarana dasar kawasan dari lingkungan siap bangun di kawasan;
pembangunan kawasan terpilih pusat pengembangan desa (KTP2D); penyediaan prasarana dan
sarana dasar untuk pembangunan rumah sangat sederhana (RSS) dan rumah sederhana (RS)
sebanyak 100.000 unit; peremajaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman nelayan dan
pennukiman kumuh di perkotaan yang meneakup kola seuang dan kecil; pemugaran perumahan
dan permukiman desa tertinggal di 13.000 desa; pengelolaan air limbah perkotaan di kola
metropolitan, besar, seuang, dan kecil yang melayani kurang lebih 4,5 juta penduduk;
pengelolaan air limbah perdesaan dengan pelayanan kurang lebih 2 juta jiwa; pengelolaan
persampahan sistem kota di kota metropolitan dan besar; pembinaan pengelolaan persampahan
sistem kota modul di kota seuang dan kecil; pelayanan drainase makro dan mikro di kota
metropolitan, besar, seuang, dan kecil yang melayani areal seluas kurang lebih 13.500 ha;
pengurangan tingkat kebocoran air menjadi 25 persen bagi kota metropolitan dan besar serta 30
persen bagi kota seuang dan kecil; peningkatan kapositas produksi air sebesar 6.000 liter per
detik; dan peningkatan pengadaan air bersih perdesaan di 5.000 desa.

Di subsektor penataan kota dan bangunan, alokasi anggaran pembangunan akan


diarahkan untuk penyediaan standar teknis penataan kota, penyediaan standar teknis
keselamatan bangunanbangunan negara, pembinaan teknis sistem informasi penataan kota,
bantuan teknis manajemen perkotaan, bantuan teknis penyiapan rencana pengembangan
perkotaan, pembinaan teknis keselamatan bangunan, serta pengawasan teknis keselamatan
bangunan-bangunan negara.

Dalam upaya menjaga kelestarian dan meningkatkan multi dan fungsi lingkungan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 182


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

hidup, serta mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan ruang dan pertanahan, dalam tahun
anggaran mendatang sektor lingkungan hidup dan tata ruang dialokasikan anggaran
pembangunan Rp 932,7 miliar, alan 19,6 persen lebih besar dari alokasi anggaran yang tersedia
dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor
lingkungan hidup Rp 798,9 miliar, dan subsektor tata ruang Rp 133,8 miliar.

Pada subsektor lingkungan hidup, anggaran yang tersedia akan dialokasikan pada
proyek-proyek inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam, pengembangan dan peningkatan
kapositas kelembagaan, peningkatan pengelolaan lingkungan hidup wilayah, pengelolaan sistem
amdal, peningkatan prasarana fisik, 'pengembangan dan penataan lingkungan, pengelolaan dan
pengendalian pencemaran lingkungan hidup, pemantapan pengelolaan dan pengendalian
peneemaran lingkungan hidup, pemantapan dan pengelolaan kawasan konservasi alam di
36lokasi, pembuatan rencana teknis rehabilitasi dan pengelolaan di 39 daerah aliran sungai
(DAS) prioritas, serta pengelolaan lingkungan kawasan pesisir dan laut. Sementara itu, pada
subsektor tata ruang, dana yang tersedia akan dialokasikan bagi kegiatan-kegiatan dalam rangka
memantapkan pengelolaan dan pendayagunaan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana
tala ruang wilayah propinsi, rencana tata ruang wilayah kotamadya dan kabupaten, dan rencana
tata ruang wilayah kawasan tertentu, serta penyelesaian produk-produk hukum yang terkait
dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 dalam rangka menegakkan tertib hukum di
biuang tata ruang. Di samping itu, dana yang tersedia juga akan dipergunakan untuk
memperluas dan mempereepat kegiatan administrasi pertanahan khususnya bagi masyarakat
berpendapatan rendah, penyiapan sistem informasi geografis dan sumber daya lahan di kawasan
prioritas, penertiban dan peningkatan pengurusan hak-hak alas tanah, serta penatagunaan tanah.
Selanjutnya, guna menjaga dan memantapkan stabilitas nasional dan politik dalam
negeri, serta meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat secara lebih
kondusif agar berbagai tekanan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini dapat diatasi, dalam tahun
anggaran mendatang sektor politik, hubungan luar negeri, penerangan, komunikasi dan media
massa diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp 154,0 miliar, atau turun 63,5 persen dari
alokasi anggaranyang disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan
masing-masing untuk subsektor politik Rp 7,1 miliar, subsektor hubungan luar negeri Rp 17,1
miliar, serta subsektor penerangan, komunikasi dari media massa Rp 129,8 miliar.

Pada subsektor politik, alokasi anggaran pembangunan akan lebih diarahkan untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 183


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mendukung peningkatan kualitas dari kemandirian organisasi sosial politik, peningkatan


pembinaan organisasi kemasyarakatan, peningkatan peranserta lembaga kemasyarakatan
termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), penyelenggaraan Pemilu Dari Siuang Umum
MPR 1999, serta melanjutkan kegiatan-kegiatan dalam rangka memantapkan penyelenggaraan
otonomi daerah dengan titik berat pada daerah tingkat II.

Di subsektor hubungan luar negeri, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan


terutama untuk mendukung langkah-langkah kerjasama bilateral, regional dari multilateral
dalam upaya meningkatkan saling pengertian antara Indonesia dengan negara sahabat, serta
memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat internasional kepada Indonesia. Langkah-
langkah ini diharapkan akan mendorong masuknya kembali investasi asing, wisatawan asing,
serta kelancaran arusperdagangan.

Pada subsektor penerangan, komunikasi dari media massa, alokasi anggaran


pembangunan akan digunakan untuk mendukung upaya peningkatan profesionalisme, idealisme
dari integritas moral segenap aparatur dan pelaku penerangan, baik sebagai pelayan masyarakat
yang memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar
dari aktual maupun sebagai penampung, pengolah dari penyalur aspirasi masyarakat dalam
kaitannya sebagai kontrol sosial. Alokasi anggaran juga akan dipergunakan untuk meningkatkan
isi dan mutu, serta memperluas jangkauan kegiatan penerangan ke seluruh pelosok tanah air
melalui media cetak, elektronik dari media tradisional melalui pelaksanaan kegiatan operasional
penerangan, temasuk sebagai paket khlfsus dalam rangka program perbaikan ekonomi dari
penyuksesan penyelenggaraan Pernilu 1999, Siuang Umum (SU) MPR 1999, dari penerangan
program jaring pengaman sosial. Di samping itu, anggaran yang tersedia akan dimanfaatkan
pula untuk menambah penyediaan sarana operasional juru penerang, seperti kendaraan roda dua
(muviani darat), copy film penerangan, rehabilitasi Pusat Penerangan Masyarakat (Puspenmas),
meningkatkan luas jangkauan dan kualitas siaran radio dan televisi, memantapkan isi siaran
radio Dari televisi, melaksanakan pembinaan di biuang perfilman, serta meningkatkan
jangkauan peredaran penerbitan. Alokasi anggaran tersebut juga akan dimanfaatkan untuk
mempersiapkan penyusunan RUU tentang Media Massa yang mencakup ketentuan-ketentuan
tentang pers, penyiaran dan perfilman, serta peraturan pelaksanaannya yang mendukung
terwujudnya kehidupan pers nasional yang bebas dari bertanggung jawab.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 184


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam rangka mewujudkan aparatur negara yang bersih dan berwibawa bagi
terlaksananya pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good governance) yang dapat
memberikan pelayanan optimal kepada seluruh masyarakat secara adil, efektif dan efisien,
dalam tahun anggaran mendatang sektor aparatur negara dan pengawasan diberikan alokasi
anggaran pembangunan Rp 900,8 miliar, alan naik 14,5 persen daii. alokasi anggaran yang
disediakan dalam tahun sebelumnya. Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk
subsektor aparatur negara Rp 890,4 miliar, dan subsektor pendayagunaan sistem dan
pelaksanaan pengawasan Rp 10,4 miliar.

Pada subsektor aparatur negara, alokasi anggaran pembangunan akan diarahkan


terutama untuk menyelenggarakan berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai, seperti
diklat penjenjangan, diktat fungsional, dan diktat teknis dan keterampilan sebagai upaya
meningkatkan kualitas profesionalisme aparatur negara; pengkajian dan analisis kebijakan
pembangunan; serta rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan seperti
gedung, kantor, serta sarana dari prasarana lainnya.

Pada subsektor pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan, alokasi anggaran


pembangunan akan diarahkan terutama untuk mendukung penyelenggaraan berbagai program
pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka peningkatan akuntabilitas alas pengelolaan
keuangan negara yang berada pada seluruh unit organisasi pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Sasaran kegiatannya meliputi peningkatan sinergi pengawasan antar-
APFP (aparat pengawasan fungsional pemerintah), peningkatan pengawasan dan pengamanan
terhadap pengadaan barang dari jasa pemerintah dari praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN), pelaksanaan program-program pemulihan ekonomi dan jaring pengaman sosial,
peningkatan pengawasan terhadap penerimaan negara, serta pemantauan pelaksanaan tindak
lanjut hasil pengawasan.

Untuk mendukung pelaksanaan reformasi di biuang hukum, penegakan hukum dan


pelayanan hukum yang berdasarkan pada keadilan dan kebenaran, serta pemberian kepostian
dan perlindungan hukum, baik dalam tingkat penyelenggaraan negara maupun masyarakat,
dalam tahun anggaran mendatang sektor hukum diberikan alokasi anggaran pembangunan Rp
230,1 miliar, alan naik sekitar 38 persen dari alokasi yang disediakan dalam tahun sebelurnnya.
Anggaran tersebut akan dialokasikan masing-masing untuk subsektor pembinaan hukum
nasional Rp 23,7 miliar, subsektor pembinaan aparatur hukum Rp 54,6 miliar, serta subsektor

Departemen Keuangan Republik Indonesia 185


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sarana dan prasarana hukum Rp 151,8 miliar.

Di subsektor pembinaan hukum nasional, alokasi anggaran pembangunan akan


dipergunakan untuk menunjang kegiatan penyusunan dan pembahasan RUU sebagai upaya
pembaharuan dan pembentukan hukum baru yang sesuai dengan agenda reformasi di biuang
hukum, melakukan analisis dan evaluasi hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
serta penyusunan naskah akademis peraturan perUndang-undangan dan pemberian anotasi
yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam rangka pembinaan sistem hukum nasional.

Di subsektor aparatur hukum, anggaran yang disediakan akan dimanfaatkan antara lain
untuk penataan dan penyempurnaan sistem peradilan dalam rangka terciptanya proses
penyelesaian perkara yang cepat, tepat dan dengan biaya ringan; operasi yustisi khususnya
dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penyuluhan hukum,
pelayanan hukum, serta pemberian bantuan hukum, terutama bagi golongan masyarakat pencari
keadilan yang kurang mampu.
Di subsektor sarana dan prasarana hukum, alokasi anggaran pembangunan akan
dipergunakan untuk mendukung penyempurnaan, rehabilitasi dan perluasan prasarana pelayanan
hukum, seperti pengadilan, kejaksaan, lembaga permasyarakatan, rumah tahanan negara dari
kantor pelayanan imigrasi, termasuk karantina imigrasi dan pos imigrasi terutama di daerah
perbatasan, pengadaan kendaraan tahanan, peralatan fungsional pengadilan, peralatan
keamanan, sarana komunikasi, serta penggantian komputerisasi imigrasi khususnya di bandara
internasional.

Dalam tahun anggaran mendatang, sektor pertahanan dan keamanan diberikan alokasi
anggaran pembangunan Rp 2.277,4 miliar, atau naik 7,3 persen Dari alokasi anggaran yang
disediakan dalam tahun sebelumnya. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk subsektor rakyat
terlatih dan perlindungan masyarakat Rp 10,6 miliar, subsektor ABRI Rp 1.969,3 miliar, serta
subsektor pendukung Rp 297,5 miliar. Alokasi anggaran dimaksud diarahkan untuk mendukung
terwujudnya penataan kemampuan segenap komponen hankarnneg dalam rangka sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta, serta pembangunan ABRI yang lebih menitikberatkan
pada upaya peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan profesionalisme ABRI, serta partisipasi
masyarakat dalam rangka hankamneg.

Pada subsektor ABRI, alokasi anggaran pembangunan akan digunakan untuk


meningkatkan kemampuan intelijen strategik, kemampuan pertahanan dan keamanan,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 186


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pembinaan teritorial, serta kemampuan dukungan umum ABRI. Selain itu, anggaran yang
tersedia juga akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
peningkatan kualitas pendidikan dan latihan, meningkatkan kemampuan manajemen, serta
menyempurnakan sistem pemeliharaan termasuk sistem pendukungnya guna mempertahankan
kemampuan operasional alat utama sistem senjata (Alutsista) yang ada. .

Alokasi anggaran pembangunan pada subsektor rakyat terlatih (ratih) dan perlindungan
masyarakat (linmas) akan digunakan terutama untuk memantapkan konsepsi dalam rangka ratih
dan linmas, dengan memperhatikan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dan Unuang-
unuang Nomor 20 tahun 1982. Sementara itu, alokasi anggaran pembangunan di subsektor
pendukung akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan pembinaan sumber daya alam;
sarana dan prasarana nasional; iptek dan tata ruang wilayah negara; serta meningkatkan
pembinaan industri nasional, khususnya industri strategis yang mendukung penyelenggaraan
hankarnneg.

Rincian pengeluaran pembangunan berdasarkan sektor dan subsektor dalam APBN


1998/1999 dan RAPBN 1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel D.23, seuangkan gambaran
keseluruhan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran
1999/2000 dapat diikuti dalam Tabel D.24.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 187


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.23
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT
SEKTOR DAN SUBSEKTOR, APBN 1998/1999 DAN RAPBN 1999/2000
(dalam miliar rupiah)
Nomor APBN RAPBN Ll % thd.
Sektor/Subsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)
01 SEKTOR INDUSTRI 788,2 629,2 -20,2
01.1 SubsektorlndusUi 788,2 629,2 -20,2
02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 7.484,6 4.613,3 -38,4
02.1 Subsektor Pertanian 6.915,6 4.389,2 - 36,5
02.2 Subsektor Kehutanan 569,0 224,1 -60,6
03 SEKTOR PENGAIRAN 4.774,7 3.466,2 -27,4
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 1.857,6 1.521,4 - 18,1
03.2 Subsektor lrigasi 2.917,1 1.944,8 - 33,3
04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.304,9 1.202,1 - 7,9
04.1 Subsektor Tenaga Kerja 1.304,9 1.202,1 - 7,9
05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEM-
BANGAN USAHA NASIONAL,
KEUANGAN DAN KOPERASI 16.687,6 19.035,6 14,1
05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 47,5 110,1 131,8
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 253,3 65,4 -74,2
05.3 Subsektor Pengembanga Usaha Nasional 69,9 6,2 -91,1
05.4 Subsektor Keuangan 15.435,5 17.223,2 11,6
05.5 Subsektor Koperasi Dari Pengusaha Kecil 881,4 1.630,7 85,0
06 SEKTOR TRANSPORTASI, METEOROLOGI
DAN GEOFISIKA 9.642,6 8.426,6 - 12,6
06.1Subsektor Prasarana Ja1an 6.235,2 5.243,6 -15,9
06.2Subsektor Transportasi Darat 1.446,4 1.580,2 9,3
06.3Subsektor Transportasi Laut 955,3 452,1 -52,7
. 06.4Subsektor Transportasi Udara 949,4 1.080,6 13,8
06.5Subsektor Meteorologi, Geofisika, Penearian Dari
Penye1amatan (SAR) 56,3 70,1 24,5
07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 7.059,5 6.607,7 - 6,4
07.1 Subsektor Pertambangan 51,0 69,3 36,0
07.2 Subsektor Energi 7.008,5 6.538,4 - 6,7

Departemen Keuangan Republik Indonesia 188


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.23 (lanjutan)


Nomor APBN RAPBN % thd.
Sektor/Subsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)
08 SEKTOR PARIWISATA, POS, DAN
TELEKOMUNIKASI 1.181,0 918,1 -22,3
08.1 Subsektor Pariwisata 93,6 92,8 - 0,9
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 1.087,4 825,3 - 24,1
09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH
DAN TRANSMIGRASI 19.091,6 14.545,8 -23,8
09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 18.186,1 13.656,8 -24,9
09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Rutan 905,5 889,0 - 1,8
10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP
DAN TAT A RUANG 780,0 932,7 19,6
10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 579,7 798,9 37,8
10.2 Subsektor Tata Ruang 200,3 133,8 - 33,2
11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN
NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA
DAN OLAH RAGA 8.367,6 8.381,3 0,2
11.1 Subsektor Pendidikan 7.775,1 7.936,7 2,1
11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 405,4 316,3 -22,0
11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 100,4 67,6 -32,7
11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 86,7 60,7 - 30,0
12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGA SEJAHTERA 582,3 594,3 2,1
12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 582,3 594,3 2,1
13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL,
KESEHATAN, PERANAN WANITA,
ANAK DAN REMAJA 4.204,7 4.786,9 13,8
13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 593,8 654,0 10,1
13.2 Subsektor Kesehatan 3.168,2 3.545,7 11,9
13.3 Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Remaja 442,7 587,2 32,6
14 SEKTORPERUMAHANDANPERMUKIMAN 5.615,2 3.218,4 -42,7
14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 5.403,6 3.059,6 -43,4
14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 211,6 158,8 -24,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 189


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.23 (lanjutan)

Nomor APBN RAPBN L'. % thd.


Sektor/Subsektor
Kode 1998/1999 1999/2000 APBN
(1) (2) (3) (4) (5)

15 SEKTOR AGAMA 475,9 627,4 31,8

15.1 Subsektor Pe1ayanan Kehidupan Beragama 26,4 25,5 - 3,6


15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 449,5 601,9 33,9
16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI 1.144,1 900,4 - 21,3
16.1 Subsektor Teknik Produksi Dari Tekno1ogi 279,7 342,9 22,6
16.2 Subsektor lImu Pengetahuan Terapan dan Dasar 53,8 61,2 13,7
16.3 Subsektor Ke1embagaan Prasarana Dari Sarana
lImu Pengetahuan Dari Tekno1ogi 364;9 218,3 -40,2
16.4 Subsektor Ke1autan 253,7 64,0 -74,8
16.5 Subsektor Kedirgantaraan 70,5 33,0 - 53,2
16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 121,5 181,0 49,0
17 SEKTOR HUKUM 167,0 230,1 37,8
17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 34,8 23,7 - 31,9
17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 34,3 54,6 59,4
17.3 Subsektor Sarana dan Prasarana Hukum 97,9 151,8 55,0
18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN
PENGA W ASAN 786,8 900,8 14,5
18.1 Subsektor Aparatur Negara 765,5 890,4 16,3
18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem Dari Pe1aksanaan
Pengawasan 21,3 10,4 - 51,2
19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR
NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI
DAN MEDIA MAf.SA 421,8 154,0 - 63,5
19.1 Subsektor Po1itik 26,8 7,1 - 73,6
19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 13,5 17,1 26,5
19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi
Dari Media Massa 381,5 129,8 -66,0
20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 2.122,9 2.277,4 7,3
20.1 Subsektor Rakyat Terlatih Dari Perlindungan
Masyarakat 10,6 10,6 0,0
20.2 Subsektor ABRI 1.854,2 1.969,3 6,2
20.3 Subsektor Pendukung 258,1 297,5 15,3

JUMLAH 92.683,0 82.448,3 -11,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 190


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 11.24
RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1999/2000
(dalam miliar rupiah)

Penerimaan Jumlah Pengeluaran Jumlah

A. Penerimaan Dalam Negeri 142.203,8 A. Pengeluaran Rutin 137.155,5

I. Penenmaan minyak bumi I. Belanja pegawai 33.569,1


dan gas alam (migas) 20.965,0 1. Gaji/pensiun 26.824,9
2. Tunjangan beras 2.087,1
1. Minyak bumi 12.443,4
3. Uang makan/Lauk pauk 2.106,9
.
2. Gas alam 8.521,6 4. Lain-lain belanja peg. DN 1.489,9
5. Belanja pegawai LN 1.060,3 .
II. Penenmaan bukan migas 121.238,8II. Belanja barang 11.039,0
1. Belanja barang DN 10.006,8
1. Pajak penghasilan 40.626,0
1.032,2
2. Belanja barang LN
2. Pajak pertambahan nilai 34.597,4
3. Bea masuk 2.950,3III. Belanja rutin daerah 19.497,6
4. Cukai 1. Belanja pegawai 18.696,8
10.160,0
800,8
2. Belanja nonpegawal
5. Pungutan (pajak) ekspor 2.594,5
6. Pajak bumi dan bangunan IV. Bunga dan cicilan hutang 44.810,9
Dari bea perolehan hak 1. Hutang dalam negeri 380,1
atas tanah dan bangunan 3.247,0 2. Hutang luar negeri 44.430,8
7. Pajak lainnya 564,5. V. Pengeluaran rutin lainnya 28.238,9
8. Penerimaan bukan pajak 26.499,1 1. Subsidi BBM 9.985,8

9. Laba bersih minyak - 2. Lain-lain 18.253,1

B. Penerimaan Luar Negeri 77.400,0B. Pengeluaran Pembangunan 82.448,3

I. Pinjaman program 47.400,0I. Pembiayaan rupiah 52.448,3

II. Pinjaman proyek 30.000,0II. Pembiayaan proyek 30.000,0

Jumlah 219.603,8 Jumlah 219.603,8

Departemen Keuangan Republik Indonesia 191


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BAB III
MONETER DAN PERKREDITAN

3.1 Pendahuluan

Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah berdampak
luas pada hampir seluruh sendi perekonomian nasional. Sektor moneter dan perkreditan sebagai
salah satu sendi utama perekonomian mengalami perkembangan yang kurang menggembirakan.
Hal ini antara lain ditandai dengan melonjaknya laju inflasi, peningkatan likuiditas
perekonomian, dan tingginya tingkat suku bunga, di samping menurunnya kinerja sistem
keuangan nasional, termasuk perbankan dan pasar modal. Fenomena tingginya laju inflasi, yang
mencapai 39,74 persen dalam periode April - Desember 1998, dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang berasal dari sisi penawaran maupun permintaan pasar. Kapasitas penawaran barang,
khususnya barang-barang industri yang mengandung komponen impor dan kelompok bahan
makanan yang sangat rentan akan pengaruh musim kemarau panjang, secara agregat relatif
menurun. Di samping itu, kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah dan adanya perilaku
spekulasi barang oleh sebagian masyarakat, telah menyebabkan terganggunya sistem distribusi
sehingga semakin mendorong naiknya harga-harga barang dari sisi penawaran. Pada saat yang
bersamaan, kegiatan spekulasi barang karena pengaruh isu-isu ekonorni dan politik serta
ekspektasi yang berlebihan terhadap laju inflasi, telah pula menyebabkan meningkatnya
perrnintaan agregat. Perkembangan sisi penawaran dan perrnintaan yang saling bertolak
belakang tersebut pada akhirnya telah menimbulkan implikasi sinergis yang sulit dikendalikan,
yakni naiknya laju inflasi pada bulan-bulan Januari hingga Agustus 1998. Namun demikian,
seiring dengan menguatnya rupiah dan mulai pulihnya sistem distribusi berbagai barang
kebutuhan pokok, dalam bulan September, Oktober, November dan Desember 1998 laju inflasi
mulai menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Dalam rangka memberikan iklim yang mendukung untuk menurunkan laju inflasi, dan
memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, sejak awal tahun 1998 telah
dilakukan langkah-Iangkah pengetatan likuiditas perekonomian dengan lebih mengefektifkan
instrumen operasi pasar terbuka. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter kontraktif tersebut antara
lain dilakukan melalui penyempurnaan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan SertifIkat
Bank Indonesia (SBI), perubahan suku bunga SBI secara fleksibel sesuai dengan perkembangan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 192


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perekonomian, dan program sterilisasi likuiditas guna menyerap dampak moneter dari ekspansi
fiskaI. Namun demikian kebijaksanaan likuiditas ketat itu tetap danasarkan pada prinsip kehati-
hatian dan dilakukan dalam kerangka reformasi ekonorni, sehingga perkembangan variabel-
variabel moneter dapat diarahkan untuk mendukung pemulihan perekonornian nasional.

Menjelang akhir tahun anggaran 1997/1998, jumlah uang beredar (Ml) menunjukkan
pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini terutarna danorong oleh meningkatnya perrnintaan uang
kartaI yang digunakan untuk membiayai kegiatan konsumsi sehubungan dengan naiknya harga-
harga barang, serta terjadinya penarikan dana simpanan oleh nasabah bank sehubungan dengan
adanya likuidasi sejumlah bank dan pengaruh isu-isu yang menyudutkan industri perbankan.
Namun demikian mulai pertengahan tahun 1998, jumlah M1 cenderung menurun sehingga
selarna 7 bulan pertama tahun 1998/1999 pertumbuhannya hanya 1,4 persen. Dalam peri ode
yang sama, likuiditas perekonomian tumbuh 18,3 persen, yang antara lain dipicu oleh
pertumbuhan uang kuasi sebesar 23 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi antara lain
disebabkan oleh meningkatnya deposito berjangka.
Perkembangan ekonomi dan moneter yang labil merupakan iklim yang tidak
menguntungkan bagi kegiatan usaha perbankan. Akibat tingginya tingkat suku bunga dan
depresiasi rupiah, telah menyebabkan meningkatnya nilai rupiah dana valuta asing (valas),
sehingga selama April-Oktober 1998 dana masyarakat yang dihimpun industri perbankan naik
16,5 persen, seuangkan alokasi kreditnya justru turun sebesar 1,1 persen. Perubahan kurs rupiah
ternyata cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan posisi kredit perbankan
dibandingkan dengan posisi dana, karena komponen kredit valas relatif lebih besar
dibandingkan dengan komponen dana valas. Narnun demikian kapasitas pengelolaan finansial
perbankan secara umum relatif tidak mengalami perubahan yang berarti karena sebagian besar
bank dihadapkan pada tantangan-tantangan berat yang mempengaruhi kinerja keuangannya. Di
sisi pasiva, gejolak nilai tukar telah mengakibatkan harnpir semua bank mengalami kesulitan
likuiditas karena kebutuhan dana untuk memenuhi kewajiban luar negeri dan penarikan dana
dari masyarakat semakin meningkat, sehingga diperlukan adanya dukungan likuiditas dari bank
sentral. Di samping itu, gejolak nilai tukar rupiah, tingginya suku bunga, dan lesunya kegiatan
dunia usaha, juga telah memperburuk kinerja sisi aktiva perbankan, karena resiko kegagalan
kredit makin meningkat dan kualitas aktiva produktif cenderung menurun. Berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan sisi aktiva dan pasiva tersebut pada akhirnya akan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 193


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

menurunkan tingkat solvabilitas dan kinerja keuangan perbankan secara keseluruhan. Untuk itu
telah dilakukan upaya reformasi perbankan yang difokuskan pada empat program, yakni
restrukturisasi dan penyehatan perbankan melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, menyempurnakan lebih lanjut pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian dalam
upaya memperbaiki kondisi internal perbankan, memperkuat fungsi pengawasan khususnya
dalam penegakan ketentuan dan Undang-undang yang berlaku, dan menyempurnakan perangkat
hukum yang meliputi perubahan Undang-undang perbankan dan pendirian lembaga asuransi
simpanan.
Gejolak nilai tukar dan krisis ekonomi juga telah menimbulkan implikasi yang tidak
menguntungkan bagi sistem keuangan nasional lainnya, yakni kegiatan pasar modal dan
lembaga-lembaga keuangan bukan bank lainnya. Kegiatan pasar modal selain ditentukan oleh
faktor internal yang mempengaruhi ekspektasi para pelaku pasar dalam melakukan investasi di
pasar modal, seperti perkembangan harga saham dan keamanan berinvestasi, juga ditentukan
oleh faktor ekonomi eksternal, baik perkembangan ekonomi domestik maupun internasional.
Selama delapan bulan terakhir kondisi Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya
(BES) telah mengalami kemerosotan yang berarti, antara lain ditandai oleh penurunan kegiatan
transaksi perdagangan, nilai kapitalisasi pasar, dan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Perkembangan IHSG bahkan pernah mencapai titik terendah dan bertahan pada level yang
rendah selama beberapa bulan seiring dengan memburuknya kinerja sejumlah perusahaan
emiten dan pengaruh gejolak bursa internasional. Untuk memulihkan kegiatan pasar modal,
telah dilakukan berbagai pembenahan, baik yang mencakup pengembangan kerangka hukum,
kelembagaan dan infrastruktur bursa, maupun produk-produk pasar modal. Narnun demikian
disadari bahwa pemulihan kegiatan pasar modal juga sangat tergantung pada perkembangan
perekonomian secara keseluruhan, baik perekonomian domestik maupun global.

3.2 Perkembangan Harga dan Upah


Perkembangan indeks harga konsumen dalarn peri ode April-Desember 1998 meningkat
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, sungguhpun dalarn bulan
September, Oktober, November dan Desember 1998 menunjukkan kecenderungan menurun.
Laju inflasi sebagai salah satu indikator perkembangan harga umum dalarn periode tersebut
mengalami kenaikan sebesar 39,74 persen, jauh lebih tinggi dari laju inflasi dalarn periode yang
sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,62 persen. Kenaikan harga yang cukup tinggi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 194


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tersebut tidak terlepas ari pengaruh berbagai faktor, baik yang bersumber dari sisi penawaran
maupun dari sisi pennintaan. Dari sisi penawaran, melemahnya nilai tukar rupiah serta
terganggunya sistem produksi maupun distribusi beberapa barang kebutuhan pokok merupakan
pemicu utama kenaikan harga-harga. Bersamaan dengan itu timbulnya ekspektasi masyarakat
akan kemungkinan terjadinya kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok telah mendorong
permintaan masyarakat meningkat, sehingga terjadi kenaikan harga. Kenaikan harga
beberapabarang kebutuhan pokok seperti beras, gula posir, tepung terigu, dan minyak goreng
merupakan penyumbang andil yang cukup berarti dalam pembentukan inflasi nasional.
Indeks harga perdagangan besar (IHPB) juga mengalami peningkatan yang cukup
mencolok. Dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan bulan September 1998) IHPB mengalami
kenaikan 98,58 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 3,86 persen. Kenaikan indeks harga sektor ekspor dan
impor merupakan penyebab utarna naiknya IHPB dalarn periode tersebut.
Sementara itu, perkembangan harga beberapa barang ekspor utama di pasar
internasional, khususnya yang berasal dari sektof perkebunan, seperti kopi robusta, karet, dan
sebagainya menunjukkan kecenderungan menurun dalarn 6 bulan pertama tahun 1998/1999.
Ditengah-tengah lesunya perekonomian nasional sebagai darnpak dari krisis moneter,
perkembangan tingkat upah di beberapa sektor ekonomi dalarn tahun 1998 (sarnpai dengan
bulan Juni 1998) pada umumnya tidak mengalami kenaikan dibandingkan dengan tingkat upah
tahun sebelumnya. Kenaikan yang relatif kecil hanya terjadi pada sektor perkebunan dan sektor
jasa-jasa dengan persentase kenaikan antara 3,35 persen sarnpai dengan 6,38 persen.

3.2.1 Indeks Harga Konsumen (IHK)

Sampai dengan bulan kelima tahun 1998/1999 indeks harga konsumen menunjukkan
peningkatan dimana kenaikan yang cukup tinggi terjadi dalarn bulan Juli dan Agustus 1998
yang masing-masing mencapai 8,56 persen dan 6,30 persen. Dalarn bulan September 1998 laju
inflasi mulai menurun menjadi 3,75 perren, yang selanjutnya diikuti oleh terjadinya deflasi
dalarn bulan Oktober 1998 sebesar 0,27 persen. Dalarn bulan November dan Desember 1998
kembali terjadi kenaikan indeks harga konsumen, narnun kenaikannya relatif kecil masing-
masing sebesar 0,08 persen dan 1,42 persen. Berdasarkan perhitungan point to point, laju
inflasi dalarn sembilan bulan pertama tahun 1998/1999 meneapai 39,74 persen, jauh lebih tinggi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 195


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dibandingkan dengan inflasi periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai 7,62
persen.

Dilihat dari kelompok pengeluaran yang tereaIrup dalarn penghitungan inflasi nasional,
kelompok bahan makanan merupakan kelompok pengeluaran yang mengalarni kenaikan indeks
tertinggi dalarn periode April-Desember 1998 dengan persentase kenaikan 57,89 persen.
Kenaikan indeks harga terbesar kedua terjadi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok,
dan tembakau, yang meningkat 48,76 persen. Kelompok pengeluaran lainnya seperti kelompok
sanuang, kelompok transpor dan komunikasi, dan kelompok kesehatan meningkat antara 36,14
persen sarnpai dengan 36,71 persen, sementara indeks harga kelompok perumahan dan
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga, masing-masing meningkat 23,65 persen dan
20,11 persen.

Kenaikan indeks harga kelompok bahan makanan dalam periode April-Desember 1998
terutarna dipengaruhi oleh kenaikan indeks harga subkelompok padi-padian, umbi-umbian, dan
hasil-hasilnya, subkelompok bumbu-bumbuan, subkelompok ikan diawetkan, subkelompok ikan
segar, subkelompok kacang-kacangan, dan subkelompok sayur-sayuran, dengan persentase
kenaikan berkisar antara 50,95 persen sarnpai dengan 93,27 persen. Sementara itu dalarn
kelompok makanan jadi, kenaikan indeks harga tertinggi terjadi pada subkelompok tembakau
dan rninuman beralkohol 55,01 persen, yang kemudian seeara berturut-turut diikuti oleh
subkelompok rninuman tidak beralkohol dan subkelompok makanan jadi, masing-masing 52,30
persen dan 45,30 persen.

Tersedianya pasokan yang cukup serta membaiknya sistem distribusi beberapa barang
kebutuhan pokok telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan harga. Hal ini
tereermin dari menurunnya laju inflasi yaitu dari 6,30 persen dalarn bulan Agustus 1998
menjadi 3,75 persen dalarn bulan September 1998, bahkan dalarn bulan Oktober 1998 terjadi
deflasi sebesar 0,27 persen. Deflasi yang terjadi dalarn bulan Oktober 1998 terutama
dipengaruhi oleh menurunnya harga-harga sebagian komoditas penting yang terjadi di 44 kota.
Dua kelompok pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan dan kelompok sanuang merupakan
penyumbang andil deflasi dalarn bulan Oktober 1998, masing-masing 0,60 persen dan 0,16
persen. Beberapa jenis barang yang mengalami penurunan harga eukup berarti adalah beras,
minyak goreng, daging ayarn ras, lombok merah, dan emas perhiasan, dengan andil deflasi
berkisar dari 0,11 persen sarnpai dengan 0,58 persen. Selanjutnya dalam bulan November dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 196


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Desember 1998 indeks harga konsumen kembali meningkat narnun kenaikannya relatif kecil,
masing-masing 0,08 persen dan 1,42 perren. Inflasi bulan Desember 1998 dipengaruhi oleh
kenaikan indeks harga subkelompok daging dan hasil-hasilnya, subkelompok padi-padian,
umbi-umbian, dan hasil-hasilnya. subkelompok sayuran, subkelonpok sanuang anak-anak,
dengan persentase kenaikan antara 4,02 persen sampai dengan 8,79 persen.
Dalam periode April-Desember 1998 inflasi yang terjadi di 44 kota pada umumnya
cukup tinggi dengan persentase antara 21,26 persen sampai dengan 64,73 persen. Kota yang
mengalami laju inflasi tertinggi adalah Kendari, seuangkan inflasi terendah terjadi di kota
Batam. Perkembangan laju inflasi nasional dan terinci menurut kota, dapat dilihat dalam Tabel
111.1, Tabel 111.2, dan Grafik 111.1.

3.2.2 Harga Beberapa Barang Konsumsi Utama


Harga beberapa barang konsumsi utama seperti beras, gula pasir, dan tepung terigu
dalam 6 bulan pertama tahun 1998/1999 pada umumnya mengalami kenaikan. Beras sebagai
salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat sejak awal tahun 1998/1999 sampai dengan bulan
September 1998 harganya cenderung meningkat. Kenaikan..yang cukup menonjol terjadi pada
bulan Juni, Agustus, dan September 1998 yang memberikan andil inflasi masing-masing 1,16
persen, 1,09 persen, dan 1,49 persen. Berfluktuasinya harga beras ini di samping karena
gangguan produksi, juga disebabkan adanya gangguan pada sistem distribusinya setelah
terjadinya huru-hara pada pertengahan Mei 1998. Dengan semakin lancarnya distribusi, harga
komoditi ini dalam bulan Oktober dan November 1998 mulai menurun dengah andil deflasi,
masing-masing 0,58 persen dan 0,23 persen. Dalam bulan Desember 1998 harganya sedikit
meningkat berkaitan dengan datangnya bulan Puasa, Natal, dan Tahun Baru.
Seperti halnya beras, harga komoditi tepung terigu dan gula pasir dalam peri ode yang
sama juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga tepung terigu yang terjadi dalam bulan April
1998 sarnpai bulan Agustus 1998 relatif rendah dengan andil inflasi berkisar antara 0,01 persen
sampai dengan 0,04 persen. Berbeda dengan tepung terigu, harga gula pasir dalam kurun waktu
yang sama mengalarni kenaikan lebih tinggi dengan andil inflasi antara 0,03 persen sampai
dengan 0,38 persen, sungguhpun dalam bulan Oktober dan November 1998 harganya menurun
sehingga memberikan andil deflasi, masing-masing 0,06 persen. Sementara itu harga tepung
terigu dalam bulan November dan Desember 1998 tercatat stabil.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 197


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Minyak goreng yang juga merupakan salah satu barang kebutuhan pokok masyarakat
harganya juga sempat bergejolak sebagai akibat terganggunya pasokan di pasar. Kenaikan harga
tertinggi terjadi dalam bulan Juli 1998 dengan andil inflasi 0,57 persen. Sejalan dengan
meningkatnya pasokan serta membaiknya distribusi, dalam lima bulan berikutnya harga
komoditi ini mulai menurun sehingga dalam bulan Agustus, September, Oktober, November dan
Desember 1998 minyak goreng memberikan andil deflasi, masing-masing 0,12 persen, 0,05
persen, 0,20 persen, 0,12 persen, dan 0,03 persen.

3.2.3 Harga Emas dan Mata Uang Asing


Emas saat ini masih tetap dipanuang sebagai komoditi alternatif untuk investasi bagi
sebagian masyarakat di samping bentuk-bentuk investasi lainnya seperti saham,
tabungan/deposito, dan sebagainya. Melemahnya nilai tukar rupiah belakangan ini
menyebabkan permintaan masyarakat untuk membeli emas meningkat cukup besar. Hal tersebut
dapat dilihat dari perkembangan harga emas di pasar Jakarta selama periode April-November
1998. Dalam kurun waktu 4 bulan pertama tahun 1998/1999 harga emas 24 karat cenderung
terus meningkat dengan persentase kenaikan ratarata 22,62 persen per bulan. Walaupun dalam
bulan Agustus, September, Oktober, dan November

Departemen Keuangan Republik Indonesia 198


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.1

PERUBAHAN INDEKS HARGA KONSUMEN, 1989/199CV - 1998/1999


( dalarn persentase )
Mllkanan
Bahanl) Pendldlkan, Transportasl
jadl,
Akhir perlode makanan mlnuman, Perumahan Sanuang Kesehatan3J rekreasl, daft UMUM4)
rokok, daft daft olahraga komunlkasl
tembakau Tahun Tahun
anggaran takwln
(I) (2) (3) (4) (') (6) (1) (8) (9) (10)
1989/1990 Desember -0.28 - 0.05 0,30 0,03 - - - 5.97
Maret -1.03 - 0,08 0,19 0,02 - - 5,48 -
199011991 Desember 0,28 - -0,21 0,18 0,Q4 - - - 9,53
Maret -0.22 - 0.14 0,22 0,11 - - 9,11 -
1991/1992 Desember 0,25 - 0.04 0,40 0,15 - - - 9,52
Maret 1,41 - 0,22 0,82 0,13 - - 9,78 -
1992/1993 Desember 1.24 - 0.23 1,70 0,07 - - - 4,94
Maret 2.58 - 1.15 2,37 0,18 - - 10,03 -

1993/1994 Desember 0.91' - 0,49 0,28 0,23 - - - 9,77


Maret 1.60 - 0,07 1.41 0,04 - - 7,04 -
1994/1995 Desember -0,06 - 1,36 0,34 0,36 - - - 9,24
Maret 1,70 - -0.02 0,34 0,04 - - 8,57
1995/1996 Desember 1.74 - 0,33 0,56 0,05 - - - 8,64
Maret -2,22 0,40 0.04 0,03 - - 8,86 -
199611997 Desember 1,28 - 0,05 0.46 0.08 - - - 6.47
Maret -0.35 - 0,22 0.16 0.40 - - 5,17 -
1997/1998 Desember 3,55 - 0,88 2,10 1,48 - - - 11,05
Maret 5,42 - 3,50 12.50 4,27 - - 34.22 -
1998/1999 April 5,91 7,68 2.29 4,34 5,29 1,50 4.94 - -
Mel 3,90 4,00 4.14 4,53 2,40 1,41 17,25 - -
JuDi 7.07 5,42 1.59 10,95 2,33 1,55 2,07 - -
Jull 12.16 9.58 5.58 12,26 8,40 6,82 3.45 - -
Agustus 9.10 8,70 0.48 2,96 6,21 6,47 2,74 - -
September 8.61 2,96 1.57 -0.23 3,28 1,24 2,10 - -
Oktober -1,85 0,61 0,92 -1.89 2,00 0,41 0,26 - -
November -0,18 0,69 0.48 -2.25 1,02 -0,30 -0.08 - -
Desember 2.94 1,41 0.58 1,72 0,87 -0,31 0,14 - -
(Apr. . Des.) 57,89 48,76 23,65 36,14 36,35 20,11 36,71 39,745) 77,63

1) Sejak April 1998 IRK digolongkan menjadi 7 kelompok.mencakup 44 kOla dan 249-353 jenis barang dan jasa (1996=100)
2) Sampai dcngan Maret 1998 merupakan kelompok makanan
3) Sampai dengan Maret 1998 merupakan kclompok aneka barang & jasa
4) Sampai Dengan Maret 1998 berdasarkan kumulatif inflasi ( April 1988-Maret1989=100)
5) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998
6) Berdasarkan perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Desember1997

Departemen Keuangan Republik Indonesia 199


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.2

PERUBAHAN INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 44 KOTA DI INDONESIA I), 1989/1990 - 1998/1999

( dalam persentase )

Akhlr perlodel Banda Lhokseu- Pematang Pauang


Medan Pekanbaru Batam
kumulatlf Aceh Siantar Sidempuan Siboiga Pauang
mawe
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (1) (8) (9) (10)

1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --

199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- --
10,50 --
-
199111992 Kumulatif -- -- -- -- - -- -- --
6,70
-
1992/1993 Kumulatif 7,05 -- 11,27 -- -- -- 9,24 7,72 --
1993/1994 Kumulatif 7,72 ' -- 4,43 -- -- -- 6,52 9,12 --
.
1994/1995 Kumulatif 8,26 8,83 8,73 7,23
-- -- -- -- --
1995/1996 Kumulatif .8,38 -- 9,51-- -- -- 8,08 7,38 --
1996/1997Juni 0,10 -- 0,13-- -- -- 0,18 0,34 --
September -0,30 -- -0,07-- -- -- -0,49 - 0,83 --
Desember 0,29 -- 0,61-- -- -- 1,07 1,00 --
Maret 2,42 -- 1,20-- -- -- 0,77 -1,06 --
Kumulatlf 7,65 - 7,10- -- -- 4,99 3,86 --
1997/1998Juni -0,31 -- -1,02-- -- -- -1,20 -1,19 --
September 0,55 -- 0,21-- -- -- 0,92 0,78 --
Desember 1,64 -- 3,23-- -- -- 0,56 - 0,15 --
Maret 6,09 -- 4,36-- -- -- 2,33 4,19 --
Kumulatlf 29,03 - 33,51-- -- -- 36,35 32,43 --
1998/1999April 3,05 6,34 7,339,95 5,65 I 7,09 8,12 5,56 1,51
Mei 8,03 6,73 8,766,43 6,91 5,52 6,69 5,76 2,63
Juni 7,35 7,78 3,55 7,84 6,62 5,87 6,38 5,85 5,42
Juli 7,12 9,35 7,88 7,41 10,27 11,55 8,05 8,28 6.88
Agustus 4,78 3,48 4,46 2,71 5,38 3,65 3,77 7.13 1,54
September 4,90 5,30 5,79 6,62 4,73 5,50 6,03 5,05 2,86
Oktober 0,11 -0,70 -0,42 - 1,42 -3,02 -0,67 -1,84 - 1,31 -0,50
November 1,14 0,40 2,11 0,38 3,20 -0,44 1,80 0,32 0,70
Desember 3,00 0,18 2,67 4,61 1,21 1,42 1,16 1,23 -1,29
(Apr. - Des.)" 46,75 45,59 50,45 53,66 48,21 46,36 47,48 44,32 21,26
I) Sejak April 1998 mencaltup 44 kOla
2) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 200


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.2 ( lanjutan )

Dandar
Serangl
Jambl Jakarta Dandung Taslkmalaya Clrebon
Akhir perlodPlkumulatif Palembang Dengkulu
Lampung Cllegon
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (6) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
1990/1991 Kumulatif .- -- -- .. -- -- -- .- --
1991/1992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
1992/1993 Kumulatif 9,30 9,08 8,63 8,80 11,50 8,41 -- .- --
1993/1994 Kumulatif 6,85 7,00 5,80 5,14 7,29 8,05 -- -- --
1994/1995 Kumulatif 6,12 6,63 9,46 8,98 9,47 7,26 -- -- --
1995/1996 Kumulatif 7,56 9,87 6,87 9,17 10,30 7,58 -- -- --
1996/1997 Juni -0,18 -0,15 1.07 0,18 0,04 -0,01 -- -- --
September 0,82 0,25 -0,70 0,20 -0,09 0,04 -- -- --
Desember 1,05 1,40 0,62 0,72 0,38 0.17 -- -- --
Maret -0,23 -0,03 0,36 -0,96 -0,59 -0,38 -- -- --
Kumulatif 5,05 5,04 5,81 4,85 5,16 4,89 -- -- --
1997/1998 Juni -1,49 0,1\ -0,98 -0,02 -0,03 -0,14 -- -- --
September 1,19 1,18 0,86 0,97 1,79 1,01 .- -- --
Desember 0,63 3,15 -1,15 2,66 2,48 1,22 -- -- --
Maret 3,90 7,85 4,27 8,2'7 5,31 9,05 -- .- --
Kumulatlf 33,23 36,11 31,98 31,31 36,69 33,77 6,97 6,93 7,05
1998/1999 April 6,96 5,47 5,87 3,23 3,51 3,44 1,62 4,79 2.72
Mei 6,88 6,69 4,41 4,24 5,16 3,76 2,46 7,70 4,63
Juni 4,19 5,18 4,52 7,74 4,83 4,48 5,24 5.91 4,28
Juli 7,67 11,92 1\,84 6,33 8,13 8,18 6,02 6.46 5,93
Agustus 5,19 6,40 7,70 10,69 6,15 4,69 6,16 4.81 6,35
September 4,49 6,16 6,65 4,04 3,25 3,13 3,57 4,71 3,23
Oktober - 1,41 -0,37 -2,02 -0,35 -0,68 -0,37 -0,89 -0.78 -0,09
November 1,12 0,40 -0,88 -0,02 -0,71 0,31 -0,67 0,70 0,70
Desember 1,34 1,51 0,31 -0,53 1,60 1,14 1,32 0..81 0,23
(Apr. -Des.)
42,28 51,83 44,57 40,70 35,49 32,39 27,41 40,66 31,44
I)

I) Pcrubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 201


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.2 (Ianjutan)

Purwok
Akhlr perlodelkumulatif Semarang Tegal Surakarta Yogyakarla Surabaya Malang Kediri Jember
erlo
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
\99\11992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
\992/\993 Kumulatif 9,14 -- -- -- 8,40 9,54 -- -- --
\993/\994 Kumulatif 4,61 -- -- -- 7,24 8,39 -- -- --
\994/\995 Kumulatif 7,55, -- -- -- 9,50 7,85 -- -- --
\995/\996 Kumulatif 6,69 . -- -- -- 7,73 8,24 -- -- --
\996/\997 JuRi 0,01 -- -- -- 0,10 -0,38 -- -- --
September 0,26 -- -- -- 0,\5 0,08 -- -- --
Desember 0,12 -- -- -- 0,33 0,32 -- -- --
Maret -0,37 -- -- -- 0,53 0,12 -- -- --
Kumulatif 4,67 -- -- -- 2,67 5,53 -- .. --
\997/\998 JuRi 0,39 -- -- -- - 0,11 -0,22 -- -- --
September \,24 -- -- -- 1,76 0,24 -- -- --
Desember 2,63 -- -- -- 3,2\ \,99 -- -- --
Maret 4,02 -- -- -- 7,54 4,45 -- -- --
Kumulatif 30,59 -- -- -. 40,95 33,16 -- -- --
\998/\999 April 5,91 4,35 \,75 2,42 4,11 5,64 4,81 2,93 2,8\
Mei 4,27 3,53 3,98 6,73 3,57 4,79 6,50 3,57 4,85
JuRi 2,96 5,76 5,53 4,80 4,75 4,40 5,78 5,68 6,74
Juli 7,35 6,86 7,77 7,45 8,60 10,97 7,43 8,07 10,10
Agustus 5,83 8,95 9,09 7,25 7,53 8,83 7,09 11,24 9,37
September 3,49 4,55 3,00 4,06 4,43 0,88 4,25 2,56 2,57
Oktober -0,02 0,28 -0,23 -0,55 -0,14 0,18 \,31 -0,55 -0,20
November 0,30 \,6\ -0,06 -0,07 -0,24 0,85 \,34 0,87 -0,30
Desember \,55 1,02 \,94 1,30 0,83 \,78 \,\8 \,24 1,62
(Apr - Des)
36,15 43,14 37,43 38,31 38,35 44,26 47,10 41,08 43,69
1)

1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 202


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1II.2 (Ianjutan)

Akhir periodeJ Denpasar Mataram Kupang Dm Pontianak Palangka- Sampit Banjarmasin Samarinda
kumulatif rays
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199011991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199111992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- -- --
199211993 Kumulatif 11,04 9,60 10,11 10,70 8,25 7,21 -- 9,46 6,46
1993/1994 Kumulatif 7,20 7,89 7,34 3,06 7,41 8,09 -- 4,42 6,45
1994/1995 Kumulatif 5,80 8,89 6,41 9,42 6,54 10,33 -- 8,22 10,31
1995/19% Kumulatif 6,47 6,59 6,45 5,45 8,59 3,22 -- 7,61 6,45
19%11997 Juni -0,73 0,72 - 0,45 3,80 0,24 -0,29 -- -1,53 -0,28
September 0,28 0,89 0,41 -0,06 0,94 0,14 -- 0,10 0,89
Desember 0,36 0,37 2,48 _I,ll 0,57 1,09 -- 1,25 0,32
Maret 1,95 0,83 -0,25 0,25 -0,33 -0,79 -- 0,31 -0,62
Kumulatlf 4,01 7,20 5,94 6,96 6,30 3,47 -- 4,38 6,96
199711998 Juni 0,02 -1,36 -0,11 0,48 1,06 -1,32 -- 0,95 -0,10
September 2,40 1,88 2,03 0,08 1,75 3,24 -- 2,55 1,90
Desember 1,50 0,49 1,49 2,00 1,55 -1,22 -- 1,74 -0,08
Maret 5,80 7,38 6,03 3,09 3,72 3,33 -- 0,62 5.70
Kumulatif 29,70 29,43 20,82 21,10 35,18 33,53 -- 37,20 31,59
199811999 April 4,03 4,60 2,29 9,43 7,35 5,00 5,42 5,58 3,73
Mei 5,77 10,37 5,74 7,86 4,31 5,59 4,01 7,75 5,04
Juni 3,00 4,02 2,55 1,77 3,19 4,98 5,15 2,44 2,13
Juli 8,84 8,92 6,90 5,58 7,83 7,70 8,70 8,63 7,65
Agustus 7,61 6,26 3,31 6,91 5,90 4,76 4,38 6,66 5,35
September 4,82 5,43 10,60 6,21 4,55 4,68 5,84 6,65 1,90
Oktobe 0,47 1,18 0,94 1,00 0,05 -0,53 0,95 0,05 3,97
November 1,46 2,12 -0,84 0,09 -1,00 -0,26 -2,18 -0,81 -1,16
Desember 0,75 0,80 2,44 1,21 -0,13 0,05 2,07 1,00 -1,21
(Apr, -
42,90 52,62 38,93 47,32 36,46 36,46 39,31 38,98 30,56
Des.)')

I) Perubahan IHK bulan Desember 1998 terhad." IHK bulan Marel 1998 (1996 = 100)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 203


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.2 (Ianjutan)

Akhlr perlodel Balik- Ujung


Manado Palo Kendarl Ambon Ternate Jayapura
kumulatlf papan Panuang
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1989/1990 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- --
1990/1991 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- --
1991/1992 Kumulatif -- -- -- -- -- -- -- --
1992/1993 Kumulatif -- 6,54 8_66 8,79 9,83 8.53 --7,99
1993/1994 Kumulatif -- 10,55 5,84 5,94 8,09 6.11 --9,34
1994/1995 Kumu1atif -- 9,12 8.02 10,10 9,10 8,09 --8,92
1995/1996 Kumu1atif -- 10,22 9,80 8,12 4,94 5,18 --4,67
1996/1997 Juni -- -I,ll 1,58 -0,44 0,09 0,50 --0.17
September -- 0,10 -2,88 -0,56 -0,42 -0.06 --0,77
I
Desember -- 0,32 1,14 2,21 0,261.88 --1.79
Maret -- 0,80 -1,03 -0,80 1,89 0,99 -- 1,19
Kumulatlf -- 6,17 4,06 2,29 6,36 6,36 -- 8,16
1997/1998 Juni -- 0,13 0,69 -0,74 0,08 0,26 -- 0,78
September -- 0,83 1,81 0,76 0,91 0,72 -- 0,14
Desember -- 12,36 1,14 0,97 0,04 0,62 -- 0,75
Maret -- 12,36 7,20 4,16 5,87 3,60 -- 4,97
Kumulatlf -- 33,73 28,83 25,08 26,03 23,30 -- 24,22
1998/1999 April 7,15 9,58 5,99 8,07 11,42 7,41 11,84 10,16
Mei 2,50 4,49 9,91 4,40 6,00 3,18 5,91 2,85
Juni 2,46 2,83 4,83 4,41 4,78 5,10 3,55 6,09
Juli 7,39 6,02 8,78 14,78 14,80 10,98 6,40 6,04
Agustus 8,87 8,15 1,95 4,93 4,61 10,09 5,72 4,02
September 4,63 4,19 5,05 4,17 7,03 2,54 6,63 1,73
Oktober -0,61 0,95 5,48 -0,05 2,54 2,86 -0,68 2,29
November -0,67 1,06 0,50 0,74 -0,51 -2,65 -2,02 -0,74
Desember 0,58 1,47 4,00 1,44 1,50 1,83 2,96 3,89
(Apr. - Des.)') 36,69 45,61 56,86 50,95 64,73 48,80 47,41 42,26

1) Perubahan IHK bulan Desember 1998 lerhadap IHK bulan Maret 1998 (1996 = 100)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 204


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 205


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1998 harga emas mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya, narnun harga
pada bulan-bulan tersebut rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga emas yang
terjadi pada akhir tahun 1997/1998. Sementara itu perkembangan harga emas di pasar London
dalarn periode April-November 1998/1999 juga berfluktuasi dengan kecenderungan melemah.
Bahkan harga rata-rata emas dalam kurun waktu 8 bulan pertama tahun 1998/1999 tersebut
masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata harga yang dicapai dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya.

Semenjak terjadinya gejolak nitai tukar rupiah yang diawali krisis mata uang baht
Thailand, perkembangan harga beberapa mata uang asing di Jakarta cenderung menguat
terhadap rupiah. Dalam kurun waktu 1 tahun sejak krisis melanda pasar uang dalam negeri (Juli
1997-Juli 1998) harga berbagai mata uang asing di pasar Jakarta mengalami peningkatan rata-
rata 462,5 persen terhadap rupiah. Namun demikian, melalui berbagai kebijaksanaan yang telah
diambil pemerintah seperti pelepasan band intervensi, peningkatan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), pelaksanaan berbagai program reformasi dalarn rangka pemulihan
perekonomian, baik di biuang fiskal, keuangan, maupun sektor riil, serta dengan didukung oleh
semakin menurunnya laju inflasi, perkembangan harga mata uang asing mulai memperlihatkan
penurunan terhadap rupiah. Sejak bulan Agustus 1998 sampai dengan November 1998 harga
berbagai mata uang tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan harga yang terjadi
dalam bulan-bulan sebetumnya. Dalam periode April-November 1998 mata uang dolar
Singapura, dolar Hongkong, dolar Amerika Serikat, dan pound sterling Inggris mengalami
depresiasi cukup besar terhadap rupiah dengan persentase penurunan antara 10,51 persen sampai
dengan 15,02 persen. Perkembangan harga emas di pasar Jakarta maupun di pasar London serta
harga beberapa mata uang asing di pasar Jakarta dapat dilihat dalam Tabel 111.3, Tabel 111.4,
dan Graflk 111.2.

3.2.4 Harga Barang-barang Ekspor Nonmigas

Melemahnya permintaan negara-negara mitra dagang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan harga-harga beberapa jenis komoditi ekspor di pasar
internasional. Dalam periode April-September 1998 harga beberapa komoditi ekspor cenderung
melemah. Bahkan beberapa komoditi seperti kopi robusta dan lada putih di pasar New York,
plywood di pasar Tokyo, dan karet RSS III di pasar New York, dalam perdagangan bulan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 206


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

September 1998 ditutup pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang
dicapai dalarn bulan Maret 1998. Sementara itu, komoditi ekspor lainnya seperti lada hitam di
pasar New York dan minyak sawit di pasar London, walaupun harganya juga cenderung
menurun, namun tingkat harga yang terjadi dalam bulan September 1998 masih lebih tinggi
dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 1997/1998. Dalam periode April-September
1998/1999 harga kedua komoditi ekspor tersebut terakhir mengalarni kenaikan masing-masing
9,10 persen dan 3,98 persen.

Di pasar Jakarta perkembangan harga kopra dan kopi robusta dalam periode April-
September 1998 terus meningkat setiap bulannya. Seuangkan untuk komoditi karet jenis RSS I
dan lada putih harganya sedikit fluktuatif. Dalam bulan September 1998 harga karet RSS I
mencapai Rp 6.610.000 per ton, atau mengalami kenaikan 1,61 persen dibanding dengan harga

Bulan Maret 1998.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 207


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.3
BARGA RATA-RATA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN
DI PASAR LONDON, 1989/1990 - 1998/1999

Jakarta London
Periode (24' daIam Rp/gram) (US$/troyounce)
(1) (2) (3)

1989/1990 22.408 381,95


1990/1991 22.912 373,45
1991/1992 22.582 356,70
1992/1993 22.399 339,00
1993/1994 24.609 374,82
1994/1995 25.910 383,57
1995/1996 27.190 369,56
1996/1997 Juni 27.769 382,10
September 27.775 378,55
Desember 27.795 368,90
Maret 27.000 350,05
1997/1998 Juni 26.694 334,10
September 27.075 332,35
Desember 35.250 290,65
Maret '71.023 302,35
1998/1999 April 70.100 293,60
Mei 81.125 293,90
Juni 100.417 296,30
Juli 128.889 288,85
Agustus 111.250 279,00
September 97.325 296,45
Oktober 87.750 293,85
November 73.125 294,05

Departemen Keuangan Republik Indonesia 208


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.4
HARGA RATA-RATA BEBERAPA JENIS MAT A UANG ASING DI JAKARTA, 1989/1990 - 19981999
( harga juRI dalam rupiah per satuan )

Periode US$ HK$ Sin$ DM CHF NLG

(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) ,

1989/1990 1.792,93 12,56 2.899,01 232,03 928,72 976,62 Ll12,75 865,37

1990/1991 1.875,57 13,39 3.469,37 243,641.059,17 Ll92,44 1.405,18 1.058,08


1991/1992 1.978,87 14,87 3.443,08 256,85Ll63,95 Ll81,45 1.352,33 1.054,82
1992/1993 2.053,05 16,46 3.505,97 267,081.259,59 1.311,17 1.455,26 Ll67,53
1993/1994 2.112,24 19,57 3.186,52 274,861.319,17 1.261,ll 1.443,34 Ll23,07
1994/1995 2.192,58 22,05 3.419,42 286,101.472,58 1.408,31 1.671,38 1.253,92
1995/1996 2.278,83 23,85 3.592,08 297,171.615,-- 1.597,08 1.957,67 1.426,71
1996/1997Juni 2.346,-- 21,64 3.659,-- 307,--1.664,-- 1.537,-- 1.871,-- 1.374,--
September 2.351,-- 21,50 3.691,-- 306,--1.665,-- 1.566,-- 1.927,-- 1.398,--
Desember 2.371,-- 20,86 3.987,-- 309,--1.691,-- 1.531,-- 1.802,-- 1.364,--
Maret 2.413,-- 19,77 3.913,-- 314,--1.681,-- 1.426,-- 1.653,-- 1.273,--
19971/l998Juni 2.447,-- 21,52 4.056,-- 320,--1.727,-- 1.426,-- 1.713,-- 1.276,--
September 3.116,-- 25,68 4.991,-- 399,--2.044,-- 1.734,-- 2.109,-- 1.542,--
Desember 5.219,-- 39,39 8.655,-- 670,--3.124,-- 2.913,-- 3.582,-- 2.582,--
Maret 9.628,-- 74,77 16.456,-- 1.246,--5.953,-- 5.285,-- 6.469,-- 4.659,--
1998/1999April 8.296,- 63,29 14.249,-- 1.094,--5.155,--' 4.548,-- 5.464,-- 4.040,--
Mei 10.906,-- 80,26 17.552,-- 1.462,--6.571,-- 6.059,-- 7.289,-- 5.342,--
Juni 14.192,-- 100,81 23.439,-- 1.8<'.2,--8.362,-- 7.901,-- 9.454,-- 6.937,--
Juti 14.622,-- 104,67 24.180,-- 1.971,--8.631,-- 8.150,-- 9.638,-- 7.278,--
Agustus 12.631,-- 87,69 20.634,-- 1.689,--7.304,-- 7.088,-- 8.456,-- 6.253,--
September 11.314,-- 84,68 19.540,-- 1.513,--6.580,-- 6.650,-- 8.114,-- 5.926,--
Oktober 9.142,-- 74,56 15.894,-- 1.237,--5.614,-- 5.651,-- 6.969,-- 4.991,--
November 8.320,-- 69.79 13.984,-- LlI5,--5.100,-- 4.975,-- 5.992,-- 4.446,--

Departemen Keuangan Republik Indonesia 209


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 210


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sementara untuk lada putih, setelah mencapai harga tertinggi dalam bulan Juni 1998, dalam
bulan Juli, Agustus, dan September 1998 harganya kembali melemah rata-rata 3,68 persen per
bulan. Perkembangan harga beberapa barang ekspor primer di pasar Jakarta dan di pasar
internasional, dapat dilihat dalam Tabel III.S, Tabel 111.6, dan Grafik 111.3.

3.2.5 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)


Indeks harga perdagangan besar yang merupakan indikator perkembangan harga-harga
ditingkat pedagang besar/grosir, dalam tahun 1998 (Januari - September 1998) meningkat 98,58
persen, jauh lebih tinggi dari kenaikan IHPB tahun sebelurnnya sebesar 9,30 persen. Dari lima
sektor yang tercakup dalam penghitungan IHPB, sektor impor dan sektor ekspor mengalarni
kenaikan indeks eukup tinggi, masing-masing 126,54 persen dan 165,97 persen. lndeks harga
sektor pertanian dan sektor industri masing-masing meningkat 55,73 persen dan 54,18 persen,
sementara sektor pertambangan dan penggalian meningkat relatif kecil, yaitu 18,24 persen.
Perkembangan indeks harga perdagangan besar dapat dilihat dalam Tabel 111.7.

3.2.6 Indeks Harga Perdagangan Besar Bahan Bangunan/Konstruksi


lndeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dalam tahun 1998 (Januari-
September 1998) meningkat 61,54 persen. Kenaikan indeks tersebut dipengaruhi oleh kenaikan
indeks seluruh jenis bangunan yang tereakup dalam penghitungan indeks dengan persentase
kenaikan antara 45,30 persen sampai dengan 83,05 persen. Jenis bangunan yang mengalarni
kenaikan indeks tertinggi adalah bangunan dan instalasi listrik, gas, air minum, dan komunikasi,
seuangkan kenaikan indeks terendah terjadi padajenis bangunan pekerjaan umum untuk
pertanian. Perkembangan indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat
dilihat dalam Tabel 111.8.

3.3 Gaji dan Upah di berbagai Sektor


Perkembangan tingkat upah.maksimum dan minimum di beberapa sektor ekonomi dalam
tahun 1998 (sampai dengan bulan Juni 1998) hampir tidak mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tingkat upah dalam tahun 1997. Kenaikan yang relatif kecil hanya terjadi
pada beberapa sektor ekonomi. Pada tingkat upah minimum, kenaikan upah yang menonjol
terjadi pada sektor perkebunan, dengan persentase kenaikan 3,35 persen. Sementara itu untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 211


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tingkat upah maksimum, kenaikan upah tertinggi terjadi pada sektor jasa-jasa yaitu 6,38 persen.
Perkembangan upah maksimum dan minimum di berbagai sektor ekonomi dapat dilihat dalam
Tabel 111.9.

3.4 Perkembangan Uang Primer (MO) dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya
Sejak diluncurkannya program stabilisasi dan reformasi ekonomi, upaya untuk mencapai
kestabilan moneter dilaksanakan antara lain melalui pengendalian pertumbuhan aktiva domestik
bersih (Net Domestik Assets/NDA) dan cauangan devisa bersih (Net International Reserves/NIR)
sebagai indikator pencapaian sasaran (peiformance criteria). Sementara itu reserve money atau
uang primer (MO) dan bantuan likuiditas kepada bank digunakan sebagai sasaran indikatif
(indicative target).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 212


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.5

HARGA RATA. RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR D1 PASAR JAKARTA


1989/1990 . 1998/1999
( dalam ribu rupiah per ton)
Karet Lada
Kopra Kopi
Periode
RSSI (Sulawesi) putih robusta
(1) (2) (3) (4) (5)
1989/1990 1.419,0 486,4 3.567,2 1.379,2
1990/1991 1.445,0 339,0 2.580,0 1.386,0
1991/1992 1.436,6 547,8 2.129,5 1.500,5
1992/1993 1.669,5 562,0 3.250,0 1.738,0
1993/1994 1.822,0 560,0 5.400,0 2.741,0
1994/1995 4.065,0 808,0 6.894,0 4.914,0
1995/1996 3.225,0 962,5 7.850,0 4.300,0
1996/1997 Juni 3.252,5 940,0 6.562,0 4.050,0
September 2.875,0 858,0 7.259,0 4.352,0
Desember 2.888,0 875,0 7.888,0 4.528,0
Maret 2.752,0 788,0 9.947,0 4.325,0
1997/1998 April 2.702,0 775,0 10.795,0 3.658,0
Mei 2.702,0 748,0 11.401,0 3.966,0
Juni 2.632,0 715,0 12.072,0 4.550,0
Juli 2.330,0 700,0 13.200,0 4.734,0
Agustus 2.325,0 715,0 16.673,0 4.900,0
September 2.527,5 785,0 18.167,5 5.183,5
Oktober 2.715,0 900,0 21.606,5 5.816,5
November 2930,0 1.005,0 24.080,0 5.604,0
Desember 3.105,0 1.025,0 24.270,0 5.604,0
Januari 6.125,0 1.500,0 48.794,0 8.750,0
Februari 6.155,0 1.900,0 58.412,0 10.250,0
Maret 6.505,0 2.050,0 62.602,0 8.894,0
1998/1999 April 5.775,0 2,050,0 61.513,0 8.894,0
Mei 6.758,0 2.300,0 64.221,0 8.934,0
Juni 5.500,0 2.450,0 66.488,0 9.000,0
Juli 7.620,0 3.050,0 65.443,0 14.875,0
Agustus 6.420,0 3.100,0 62.250,0 16.084,0
September 6.610,0 3.050,0 59.387,0 16.084,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 213


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.6

HARGA RATA-RATA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1989/1990 - 1998/1999

RSSIII Kopra Kopl robusta Lada putih Lada hitam Tlmah putlh Minyak sawlt Plywood
Periode US $ ctJIb Br flkg Sin $ ctlkg US $lit US $lit US $ ctJIb Sin $/kg Sin $/kg Br Imt Br lit /Sheet
(Slngapura
(New York) (London) (Slngapura) (Manila) (London) eks Palem- (Slngapura) (London) Eks Malaysia (Tokyo)
)
bang (London)
(New York)
(I) (2) (3) (4) IS) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12)
1989/1990 46,82 58.17 165,62 321,96 168,--1) 61.66 524,27 2) 455,842) 7.658,56 320,38 1.037,50
199011991 46,-- 49.90 144,50. 222,30 158,33 45.94 2,56 2,73 5.880,63 303.32 1.224.38
1991/1992 43,06 52,02 134,99 - 142,24 41,48 2,22 2,02 5.618,44 404 , 90 1.065,--
1992/1993 43,48 62,44 134,42 - 140,10 37.79 2,65 1,71 5.653,63 414,69 1.160,--
1993/1994 45,28 67.71 145,86 354,-- - 61,46 4,44 2,44 5.423,75 396,76 1.210,--
1994/1995 88,63 118.85 263,79 437.67 124,90 140.53 5,22 3,23 5.543,20 716,10 1.200,--
1995/1996 76,10 105.11 219,85 464.67 176,50 100.62 5,24 2,71 6.167,69 519,03 1.200.--
199611997Juni 72,50 99,63 210,75 525.25 - 88,99 4,97 2.65 6.333,75 556,25 1.220,
September 63,50 86,36 182,76 475,-- 147,85 70,95 5,05 3,30 6.102,40 548,-- 1,275,
Desember 62,26 78,24 174,71 493.75 164.06 61,11 6,05 3.31 6.045,-- 581.62 1.290,
Maret 61,53 78,85 174,57 490,-- 149,05 68,52 7,37 3.84 5.899,47 560,00 1.300,
1997/1998Juni - - 159,88 422,13 - 63,97 5,25 3.68 5.658,75 553,13 1.280,
September 45,53 57.63 133.78 407,48 70,92 67,36 10,10 7.11 5.496.50 524,-- 1.080,
Desember 35,68 41,14 107,15 398.75 64,00 78,48 14,71 7,97 5.631,25 548,13 985,
Maret 36,74 44.31 115,54 377,50 71,61 80,33 11,94 7.25 5.465,-- 676,45 950,

1998/1999April 36,72 46.50 122,50 - 74,10 87,05 12,45 9.-- 5.702,94 695,17 825,
Mei 39,75 49,22 126,73 - - 89,89 12,63 9,44 5.877,87 705,17 825,
Juni 37,59 46,35 121,25 - - 81,98 12,46 9,10 6.057,28 622,86 875.
Juti 37,50 44,35 125,35 - - 73,89 11,71 8.68 5.634,74 652,50 875,
Agustus 36,25 46.38 114,38 407,50 80,00 76,33 11,02' 8,12 5.560,-- 960,-- 825,
September 34,64 45.88 118.35 410.07 81.13 76,65 11,81 7.91 5.493,-- 703.39-

1)Sejak bulan Desember 1989 dengan jenis "copra expeller pellets" .


2)Dalam US$ ct/lb

Departemen Keuangan Republik Indonesia 214


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 215


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel ill.7
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR, 1987 - 1998

( 1983 = 100 )

Pertambanga
Indeks Perubahan
n
Pertania dan indeks
Tahun Industri Impor Ekspor umum
n Penggalian umom
(%)
(1)(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1987 145 132 143 158 118 142 + 22,41

1988 163 143 156 164 118 149 + 4,93

1989 177 156 166 178 131 162 + 8,72

1990 191 169 176 191 159 178 + 9,88

1991 206 188 194 201 153 187 + 5,06

1992 225 201 206 208 159 197 + 5,35

1993 251 218 218 211 157 204 + 3,55

1994 298 237 231 215 157 215 + 5,39

1995 355 266 . 256 230 178 240 + 11,63

1996 399 296 265 243 198 259 + 7,50

1997 445 318 275 260 238 282 + 9,30

1998 OJ 693 376 424 589 633 560 + 98,58

*) Sampai dengan bulan September

Departemen Keuangan Republik Indonesia 216


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.8
INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN
BANGUNANIKONSTRUKSI

MENURUT JENIS BANGUNAN, 1987 . 1998

( 1983 = 100 )

Pekerjaan Bangunan dan


Bangunan tern- Pekerjaan Perubahan
Tahun urnurn instalasi listrik,
pat tinggal dan urnum Bangunan Indeks indeks
untuk jalan, gas, air rninurn,
bangunan bukan untuk lainnya urnum urnum
jernbatan dan dan
ternpat tinggal pertanian (%)
pelabuhan kornunikasi

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1987 131 130 132 134 133 132 + 10,92

1988 144 142 147 148 147 145 + 9,85

1989 160 159 163 161 162 160 + 10,34

1990 174 178 177 171 116 174 + 8,75

1991 188 195 194 183 194 190 + 9,20

1992 198 206 205 191 204 200 + 5,26

1993 213 223 219 200 214 213 + 6,50

1994 226 235 230 206 222 224 + 5,16


1995 248 264 256 219 244 246 + 9,82
,
1996 263 284 274 225 256 261 + 6,10
1997 277 298 288 236 270 273 + 2,68
.

1998*) 436 433 459 432 453 441 + 61,54

*) Sampai dengan bulan September

Departemen Keuangan Republik Indonesia 217


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

_ Tabel 111.9

UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1990 - 1998


( rupiah per bulan)

Sektor 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
( Rata-rata upah minimum )
1. Perkebunan 100.590 14.740 149.699 169.812 240.439 272.440 272.440 275.755 285.000
2. Pertambangan 218.241 321.750 368.870 413.807 487.299 505.768 573.229 650.293 650.293
3. In d u s tr i 171.957 186.069 187.800 195.527 206.907 238.474 240.730 289.605 295.000
4. Bangunan 221.240 176.338 254.366 289.882 295.514 326.662 409.404 438.952 438.952
5. Lis t r i k 105.751 130.990 150.782 155.240 172.865 267.220 311.995 311.995 311.995
6. Perdagangan 227.611 250.343 3()5.080 315.535 326.146 368.371 399.482 427.586 428.500
7. Perhubungan 133.671 168.800 223.145 230.460 466.757 493.727 493.272 596.915 598.000
8. JaSa-jasa 157.585 223.252 234.683 234.683 234.683 280.518 332.525 385.678 391.200
( Rata-rata upah makslmum )
I. Perkebunan 1.050.965 1.563.064 1.814.862 1.835.324 1.835.324 1.927.092 1.941.428 2.848.475 2.850.500
2. Pertambangan 2.269.215 3.869.560 3.950.119 4.495.389 4.668.740 4.905.578 5.297.412 5.587.209 5.589.209
3. In d u s tr i 1.997.947 2.244.380 2.704.974 2.920.324 3.111.889 3.453.347 3.453.347 4.088.210 4.088.210
4. Bangunan 1.879.124 2.147.802 2.263.366 2.656.364 2.777.218 3.047.198 3.620.798 4.570.066 4.570.066
5. Listrik 821.069 1.054.296 1.308.292 2.643.471 2.744.415 3.551.952 3.907.970 3.907.970 3.907.970
6. Perdagangan 1.967.498 2.509.900 3.313.904 3.732.806 4.506.183 4.904.394 5.807.734 6.205.000 6.208.000
7. Perhubungan U72.333 2.179.183 2.804.609 2.930.816 4.310.603 4.398.689 4.398.689 4.398.689 4.400.689
8. Jasa-jasa 1.775.659 2.188.040 2.270.505 2.509.258 2.509.258 2.779.769 2.779.769 3.029.571 3.222.8&7

Departemen Keuangan Republik Indonesia 218


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sehubungan dengan hal tersebut, agar pengendalian uang beredar sesuai dengan
kebutuhan dan dalam rangka penerapan kebijaksanaan moneter yang ketat, pemerintah telah
menyempumakan perhitungan uang primer menjadi base money. Dalam perhitungan ini, base
money didefinisikan sebagai uang primer ditambah dengan kekurangan giro wajib minimum
(GWM). Penyempumaan ini dilatarbelakangi oleh kondisi perbankan yang mengalami kesulitan
likuiditas dan terjadinya penarikan dana masyarakat yang cukup besar sehingga tidak mampu
memenuhi ketentuan giro wajib minimum.

Berbagai langkah kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan


perkembangan moneter agar perkembangannya sesuai dengan performance criteria yang telah
ditetapkan. Tercapainya pelaksanaan dari upaya-upaya tersebut tercermin pada terkendalinya
pertumbuhan aktiva domestik bersih dan meningkatnya cauangan devisa bersih yang melebihi
sasaran indikatif yang ditetapkan. Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan uang primer
dalam tahun anggaran 1998/1999 sampai bulan November mencapai Rp 73.076 miliar, terdiri
dari uang kertas dan uang logam yang diedarkan Rp 46.749 miliar, saldo giro bank pada Bank
Indonesia Rp 25.686 miliar, dan giro sektor swasta Rp 641 miliar. Bila dibandingkan dengan
akhir tahun anggaran 1997/1998 dimana uang primer berjumlah Rp 59.412 miliar, maka pada
tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan bulan November 1998, jumlah uang primer telah
mengalami kenaikan sebesar Rp 13.664 miliar atau meningkat 23 persen. Sementara itu, dalam
periode yang sama tahun lalu uang primer menunjukkan penurunan Rp 1.526 miliar (4,32
persen). Peningkatan uang primer dalam peri ode April-November 1998 disebabkan oleh
meningkatnya saldo giro bank pada Bank Indonesia Rp 12.416 miliar atau 93,56 persen, yang
dikarenakan oleh meningkatnya dana simpanan masyarakat pada perbankan, dan meningkatnya
uang kertas dan uang logam yang diedarkan Rp 1.654 miliar atau 3,67 persen. Seuangkan giro
sektor swasta mengalami penurunan Rp 406 miliar atau 38,78 persen.

Ekspansi uang primer dalam tahun anggaran 1998/1999 dipengaruhi pula oleh
meningkatnya posisi cauangan devisa bersih dan kontraksi aktiva domestik bersih. Posisi
cauangan devisa bersih sampai dengan bulan November tahun anggaran 1998/1999 mencapai
Rp 142.104 miliar atau setara dengan US$ 14,21 miliar. Posisi ini berada di atas jurnlah
minimum target indikatif yakni US$ 11,26 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun anggaran
1997/1998 dimana cauangan devisa bersih berjumlah Rp 92.258 miliar, maka posisi cauangan
devisa bersih ini telah mengalami kenaikan sebesar Rp 49.846 miliar atau 54,03 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 219


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Meningkatnya posisi cauangan devisa bersih ini antara lain berkaitan dengan adanya pencairan
dana pinjaman luar negeri pemerintah seperti CGI, OECF, dan IBRD, serta penerimaan ekspor
non migas. Sementara itu, aktiva domestik bersih mengalami kontraksi Rp 38.557 miliar atau
126,54 persen yakni dari negatif Rp 30.471 miliar pada bulan Maret tahun 1998 menjadi negatif
Rp 69.028 miliar pada bulan November tahun anggaran 1998/1999, sehingga masih berada di
bawah jumlah maksimum target indikatif sebesar negatif Rp 39,56 triliun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kontraksi aktiva domestik bersih ini


antara lain ialah kontraksi pada kredit likuiditas Bank Indonesia dan operasi pasar terbuka
masing-rnasing sebesar 34,65 persen dan 93,92 persen. Berkurangnya kredit likuiditas Bank
Indonesia tersebut antara lain berkaitan dengan adanya pelunasan sebagian kredit BULOG.
Seuangkan kontraksi pada operasi pasar terbuka terutama disebabkan oleh meningkatnya
penjualan SBI. Sernentara itu, tagihan bersih pada Pemerintah dan tagihan bersih pada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengalami ekspansi masing-masing sebesar 6,99
persen dan 56,17 persen. Tingginya ekspansi tagihan bersih pada BPPN tersebut terutama
berkaitan dengan peningkatan bantuan likuiditas pada beberapa bank yang berada dalarn
pengawasan BPPN. Perkembangan uang primer dapat dilihat pada Tabel 111.10.

3.5 Perkembangan Uang Beredar (Ml) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak bulan Juli 1997, telah
rnenyebabkan perkembangan moneter di Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini
ditandai oleh melonjaknya pertumbuhan besaran-besaran moneter sebagai akibat melemahnya
nilai tukar rupiah dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Untuk itu
kebijaksanaan pemerintah diarahkan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
sektor perbankan dan menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang sesuai dengan
tercapainya pemulihan kinerja perekonomian yang sehat. Kebijaksanaan tersebut ditempuh
antara lain melalui kebijaksanaan likuiditas perekonomian yang ketat.

Upaya pengetatan likuiditas perekonomian merupakan langkah dari kebijaksanaan


moneter yang berhati-hati yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program
reformasi ekonomi Indonesia. Kebijaksanaan moneter ketat ini dilakukan antara lain dengan
menerapkan kebijaksanaan intervensi rupiah secara langsung di pasar uang antar bank dan
meningkatkan suku bunga SBI dengan tetap memperhatikan kondisi perkembangan
perekonomian Indonesia.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 220


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Hasil dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang ditempuh terlihat dari menurunnya
pertumbuhan jumlah uang beredar (M 1) yaitu dari rata-rata 0,89 persen per bulan dalarn
periode April-0ktober 1997, menjadi rata-rata 0,29 persen per bulan dalam periode yang sama
tahun 1998/ 1999. Jumlah uang beredar sampai akhir Oktober 1998 mencapai Rp 99.603 miliar,
yang terdiri dari uang kartal Rp 41.481 miliar dan uang giral Rp 58.122 miliar. Dibanding
dengan posisi uang beredar pada akhir Maret 1998 yang berjumlah Rp 98.270 miliar, maka
dalarn periode April Oktober 1998 peningkatan jumlah uang beredarmencapaiRp 1.333 miliar
(1,36 persen). Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan uang
kartal 8,60 persen, seuangkan uang giral mengalami penurunan 3,25 persen. Meningkatnya uang
kartal tersebut antara lain rnerupakan pencerminan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap
rupiah dalam melakukan transaksi guna mengkompensir laju inflasi, disarnping belum pulihnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sementara itu, hila dibandingkan dengan
pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,96 persen, maka
pertumbuhan uang beredar dalarn tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan bulan Oktober
1998 jauh lebih rendah.

Posisi likuiditas perekonomian (M2) sarnpai dengan akhir Oktober 1998 mencapai Rp
531.977 rniliar, yang meliputi uang beredar (Ml) Rp 99.603 miliar dan uang kuasi Rp 432.374
rniliar, atau masing-masing mempunyai pangsa 18,7 persen dan 81,3 persen terhadap likuiditas

Departemen Keuangan Republik Indonesia 221


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel m.l0
Uang Primer, 1997/1998 . 1998/1999
( dalam miliar rupiah)
Sektor 1997/1998 1998/1999

Maret April Mei Juni JuH Agustus September Oktober November


(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Uang Primer 59.412 61.489 67.965 67.689 72.605 68.636 70.214 70.541 73.076
- Uang kertas dan Uang logam
diedarkan 45.095 44.820 49.227 50.454 52.117 51.571 49.728 47.956 46.749
- Saldo giro Bank pads Bank
Indonesia 13.270 15.749 17.760 16.392 19.483 16.531 19.790 21.913 25.686
.
641
- Giro Sektor Swasta 1.047 920 978 843 1.005 534 696 672
Posisi Cauangan Devisa Bersib
- Dalam rupiah pada nilai kurs
tetap 92.258 100.167 102.409 146.095 141.977 135.177 140.378 142.125 142.104
13.517, 14.210,
- Dalamjuta US Dolar 13.179,7 14.309,5 14.629,8 14.609,5 14.197,7 14.037,8 14.212,5
7 4
Aktiva Domestik Bersih - 30.471 - 37.702 - 34.444 - 76.862 - 69.372 - 64.139 - 70.164 - 71.584 - 69.028
antara lain:
- Tagihan Bersih Kepada
Pemerintah - 27.065 - 27.624 - 36.410 - 46.285 - 55.206 - 49.309 - 35.701 - 25.424 - 25.174
- Tagihan Bersih pada BPPN 87.044 101.826 124.633 132.339 140.356 141.523 141.555 135.828 135.936
- Kredit Likuiditas 26.228 26.992 19.139 19.511 19.383 18.088 17.680 16.603 17.140
antara lain: BULOG 15.155 15.598 7.404 7.613 7.669 8.131 7.589 6.305 6.301
- Operasi Pasar Terbuka - 30.151 - 45.302 - 64.210 - 72.568 - 72.232 - 68.403 - 67.370 - 57.488 - 58.469

Departemen Keuangan Republik Indonesia 222


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perekonomian. Dalarn tahun anggaran 1998/1999 sarnpai dengan bulan Oktober 1998, likuiditas
perekonomian mengalami peningkatan Rp 82.153 miliar ( 18,3 persen). Peningkatan tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan dalarn periode yang sama tahun sebelumnya yang
meningkat Rp 46.163 miliar (15,7 persen). Tingginya pertumbuhan likuiditas perekonomian
tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan uang kuasi.
Uang kuasi selarna tujuh bulan pertama tahun anggaran 1998/1999 mengalami
peningkatan yang tajarn, yaitu Dari Rp 351.554 miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp
432.374 miliar pada bulan Oktober 1998 atau meningkat Rp 80.820 miliar (23,0 persen).
Pertumbuhan uang kuasi ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya yang meningkat 18,3 persen. Tingginya pertumbuhan uang kuasi dalarn tahun
anggaran 1998/1999 (sarnpai dengan bulan Oktober 1998) terutarna disebabkan oleh
meningkatnya dana simpanan dalarn bentuk rupiah 26,1 persen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan jumlah uang beredar (Ml) dalarn tahun
anggaran 1998/1999 sarnpai dengan Oktober 1998 terutama bersumber dari pengaruh
menarnbah pada aktiva luar negeri bersih Rp 20.731 miliar dan lainnya bersih Rp 69.368 miliar.
Seuangkan pengaruh mengurang berasal dari uang kuasi Rp 80.786 miliar, sektor pemerintah Rp
4.356 miliar, dan tagihan pada lembagal perusahaan dan perorangan Rp 3.624 miliar. Tingginya
pengaruh mengurang atas jumlah uang beredar yang berasal dari uang kuasi, disebabkan oleh
meningkatnya dana simpanan dalarn rupiah karena meningkatnya suku bunga perbankan.
Sementara itu, pengaruh mengurang yang bersumber dari sektorpemerintah antara lain
disebabkan meningkatnya penerimaan dalam negeri terutarna yang bersumber dari pajak ekspor
dan pajak pengahasilan. Seuangkan pengaruh mengurang yang berasal tagihan pada lembaga
perusahaan dan perorangan disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan kredit perbankan sebagai
akibat masih tingginya suku bunga perbankan. Perkembangan jumlah uang beredar, likuiditas
perekonomian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar dapat dilihat dalam
Tabel 111.11, Tabel 111.12, Tabel 111.13, dan Grafik 111.4.

3.6 Perkiraan Jumlah Uang Beredar (M1), Likuiditas Perekonomian (M2), dan Kredit
Perbankan dalam Tahun 1999/2000
Arah kebijaksanaan moneter dalam tahun anggaran 1999/2000 tetap ditujukan pada
upaya untuk mengendalikan laju inflasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung upaya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 223


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

menstabilkan nilai tukar rupiah serta menciptakan iklim yang kondusif bagi proses pemulihan
ekonomi dan upaya pengurangan tingkat kemiskinan. Dalarn pada itu, Pemerintah akan tetap
memelihara suku bunga pada tingkat yang marnpu menjaga posokan likuiditas agar tidak
memberikan tekanan-tekanan pada harga-harga dan memulihkan kepercayaan kepada
perekonomian Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan berat yang dihadapi
perekonomian nasional serta mempertimbangkan perkiraan laju inflasi, pertumbuhan ekonomi,
dan besaran-besaran moneter, prospek neraca pembayaran dan RAPBN dalam tahun anggaran
199912000, maka jumlah uang beredar (Ml), likuiditas perekonomian (M2), dan kredit
perbankan dalam tahun anggaran 1999/ 2000 diperkirakan akan meningkat masing- masing
sebesar 29,5 persen, 14,3 persen, dan 7,8 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 224


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.11
JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 - 1998/1999
(dalam mlliar rupiah)

Pada akhir Uang kartal Uanggiral Jumlah Uang beredar


tahunlbuIan Posisi % Posisi % Posisi Perubahan
% tahunan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1989/1990 Maret 7.780 35,1 14.375 64,9 22.155 47,6
1990/1991 Maret 9.026 38,3 14.544 61,7 23.570 6,4
1991/1992 Maret 11.025 40,4 16.293 59,6 27.318 15,9
1992/1993 Maret 12.324 40,3 18.268 59,7 30.592 12,0
1993/1994 Maret 15.340 40,5 22.568 59,5 37.908 23,9
J o/1995 Maret 18.902 42,1 26.006 57,9 44.908 18,5
1995/1996 Maret 21.121 39,7 32.041 60,3 53.162 18,4
1996/1997 Juni 21.271 37,7 35.177 62,3 56.448-
September 21.055 35,3 38.629 64,7 59.684-
Desember 22.487 35,1 41.602 64,9 64.089-
Maret 23.312 36,7 40.253 63,3 63.565 19,6
1997/1998 Juni 23.754 34,0 46.196 66,0 69.950 -
September 23.916 36,1 42.342 63,9 66.258 -
I
Desember 28.424 36,3 49.919 63,7 78.343 -
Maret 38.196 38,9 60.074 61,1 98.270 54,6
1998/1999 April 37.129 38,9 58.239 61,1 95.368-
Mei 42.543 40,9 61.398 50,1 103.941-
Juni 44.924 41,0 64.556 59,0 109.480-
Juli 45.436 42,9 60.386 57,1 105.822-
Agustus 43.799 41,9 60.784 58,1 104.583-
September 42.725 41,7 59.838 58,3 102.563-
Oktober 41.481 41,6 58.122 58,4 99.603
(Apr.-Okt.'98) - - - - - 1,4

(Apr.-Okt.'97) - - - -- 6,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 225


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel Ill.12
LIKUIDITAS PEREKONOMIAN, 1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah )

Pada akhir Uang beredar 1) Uang kuasi 2) Likuditas perekonomian 3)

tahunlbulan Posisi I % Posisi I % Posisi I Perubahan


% tahunan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1989/1990 Maret 22.155 34,4 42.212 65,6 64.367 45,7


1990/1991 Maret 23.570 29,1 57.554 70,9 81.124 26,0
1991/1992 Maret 27.318 27,1 73.478 .72,9100.796 24,3
1992/1993 Maret 30.592 24,8 92.569 75,2123.161 22,2
1993/1994 Maret 37.908 25,5 110.921 74,5148.829 20,8
1994/1995 Maret 44.908 24,7 136.793 75,3181.701 22,1
1995/1996 Maret 53.162 22,9 179.331 77,1232.493 28,0

1996/1997 Juni 56.448 22,6 192.995 77,4249.443


September 59.684 23,0 200.242 77,0259.926
Desember 64.089 22,2 224.543 77,8288.632

Maret 63.565 21,6 231.016 78,4294.581 I 26,7

1997/1998 Juni 69.950 22,4 242.889 77,6312.839


September 66.258 20,1 262.816 79,9329.074
Desember 78.343 22,0 277.300 78,0355.643

Maret 98.270 21,8 351.554 78,2449.824 I 52,7

1998/1999 April 95.368 21,0 358.028 79,0453.396


Mei 103.941 21,0 389.968 79,0493.909
Juni 109.480 19,4 456.305 80,6565.785
Juli 105.822 19,0 450.730 81,0556.552
Agustus 104.583 19,3 436.278 80,7540.861
September 102.563 18,6 447.841 81,4550.404
Oktober 99.603 18,7 432.374 81,3531.977
(Apr..Okt.'98) - -- - 18,3
=1
(Apr.-Okt.'97) - -- - 15,7

I) Uang beredar dalam ani sempit terdiri atas uang kana! dan uang giraI, biasa dinyatakan dengan simbol
MI.
2) Terdiri atas deposito beIjangka dan tabungan serta rekening valuta asing milik swasta domestik.
3) Merupakan uang beredar dalamani luas, yang biasadinyatakan dengan simbol M2. terdiri atas uang
beredar
dalam ani sempit dan uang kuasi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 226


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 1lI.13
F AKTOR-F AKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH UANG BEREDAR, 1989/1990 . 1998/1999

(dalam miliar rupiah)

1989/19 1990119 1991/199 1991/19 1993119 1994/199 1995/199 1997/199 19981199


Sektor, 1996/1997
90 91 2 93 94 5 6 8 9 ')
(I) . (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (l0) (II)

I.Aktiva luar negeri bersih - 736 2.278 3.462 9.715 - 3.196 - 3.976 9.102 - 15.227 62.427 20.731

II.Pemerintah - 62 - 4.884 - 2.407 - 62 - 1.937 - 2.710 - 5.200 - 4.107 - 11.607 - 4.356


III. Tagihan kepada
lembagalperusahaan
39.48
dan perorangan 29.665 29.749 21.158 1).260 35.344 48.328 61.073 207.442 - 3.624
5
1. Tagihan kepada
lembagalperusaha-
an pemerintah 1.108 - 1.501 1.512 53 1.331 - 574 3.252 2.705 17.065 - 6.920
2. Tagihan kepada perusahaan
swasta
40.05
dan perorangan 28.557 31.250 19.646 13.207 34.013 45.076 58.368 190.377 3.t96
9
IV. Uang kuasi I) -13.053 - 15.342 - 15.924-19.091 - 18.353 - 25.872 - 42.538 - 51.685 - 120.538 - 80.786
V. Lainny - 8.668 - 10.386 - 2.541- 548 - 4.542 73- 1.438 - 10.105 - 103.019 69.368
Jumlah Uang beredar . 7.146 1.415 3.748 3.274 7.316 7.000 8.254 10.403 34.705 1.333
3.562
- (Uang kartaI) ( 1.221) ( 1.246) ( 1.999) (1.299 ) (3.016 ) ( ( 2.219) ( 2.191) ( 14.884) ( 3.285)
)
3.438 6.035
- (Uang giral) ( 5.925) ( 169) ( 1.749) (1.975) (4.300 ) ( ( ( 8.212) ( 19.821) (- 1.952)
) )

1) Terdiri Dari deposito betjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk 2} Sampai dengan
bulan Oktober 1998.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 227


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 228


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

3.7 Pasar Uang dan Suku Bunga


Gejolak nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu telah berdampak luas
terhadap kegiatan perekonomian nasional. Menjelang akhir tahun anggaran 1997/1998, jumlah
uang beredar dan laju inflasi meningkat tajam, sebaliknya nilai tukar rupiah melemah
dibandingkan periode sebelurnnya. Dalam upaya mengendalikan laju inflasi dan memperkuat
nilai tukar rupiah, pemerintah telah menerapkan kebijakan moneter ketat. Upaya memperketat
likuiditas ini antara lain dilakukan dengan meningkatkan suku bunga SBI secara bertahap sejak
bulan Maret 1998. Kebijakan peningkatan suku bunga ini akan selalu dievaluasi sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan perekonomian yang terjadi, kebijakan ini juga dimaksudkan agar
suku bunga riil tetap positif sehingga dapat menarik kembali modal luar negeri, dan mendorong
masyarakat memasukkan kembali dananya ke dalam sistem perbankan nasional. Selanjutnya,
untuk lebih memantapkan efektivitas pengendalian moneter, Pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia telah melakukan penyempumaan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan
Sertiflkat Bank Indonesia (SBI), yaitu mulai akhir bulan Juli 1998 penjualan SBI dilakukan
melalui le1ang dengan sistem Stop Out Rate (SOR). Melalui langkah tersebut diharapkan
kuantitas uang yang dikontraksi akan mendekati seperti yang direncanakan dalam program
moneter.
Untuk menyerap konsentrasi likuiditas rupiah, Bank Indonesiajugamelakukan intervensi
rupiah secara langsung di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang merupakan bagian dari operasi
pasar terbuka. Sementara itu, dalam rangka mengurangi fluktuasi dan menopang nilai tukar
rupiah, Giro Wajib Minimum (GWM) dalam valuta asing diturunkan dari 5 persen menjadi 3
persen dari dana pihak ketiga. Di samping itu, juga disediakan bantuan likuiditas valuta asing
berupa fasilitas rediskonto devisa hasil ekspor kepada eksportir tertentu (post-shipment) serta
fasilitas rediskonto alas perkiraan penerimaan devisa hasil ekspor kepada eksportir tertentu (pre-
shipment).
Memasuki paruh kedua tahun anggaran 1998/1999, nilai tukar rupiah cenderung
menguat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelurnnya, begitu pula laju inflasi cenderung
menurun. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat suku bunga SBI jangka waktu 1 bulan berangsur
mulai turun.

3.7.1 Pinjaman Antar Bank


Seiring dengan ketatnya likuiditas perekonomian, ketergantungan perbankan terhadap

Departemen Keuangan Republik Indonesia 229


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dana pasar Uang antar bank juga meningkat, hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai transaksi di
pasar uang antar bank selama tahun anggaran 1998/1999. Nilai transaksi di pasar uang antar
bank dalam periode April-Oktober 1998 mencapai Rp 1.289.544 miliar, atau 169,20 persen
lebih besar dibandingkan nilai transaksi yang terjadi dalam periode yang sama tahun
sebelurnnya yang mencapai Rp 479.026 miliar. Sementara itu, suku bunga rata-rata tertimbang
pasar uang antarbank dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998) mengalami
kenaikan 8,18 pain, yaitu dari 51,42 persen pada bulan Maret 1998 menjadi 59,60 persen pada
bulan Oktober 1998. Perkembangan nilai transaksi dan suku bunga di pasar Uang antar bank
dapat dilihat dalam Tabel 111.14.

3.7.2 Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Pengendalian moneter pada pelaksanaannya dititikberatkan pada operasi pasar terbuka.
Operasi pasar terbuka antara lain dilakukan melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Berkaitan dengan kebijaksanaan moneter ketat, penjualan SBI ini antara lain bertujuan untuk
mengendalikan tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar.
Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober
1998) mencapai Rp 40.031 miliar, meningkat 136,51 persen dibandingkan posisi SBI pada akhir
tahun anggaran 1997/1998 sebesar Rp 16.926 miliar. Apabila diamati lebih lanjut, nampak
bahwa pertumbuhan posisi SBI yang terjadi dalam tahun anggaran 1998/1999 jauh lebih besar
dibandingkan posisi SBI dalam periode yang sama tahun anggaran 1997/1998 yang menurun
sebesar 33,68 persen. Keadaan ini dikarenakan pengaruh tingginya suku bunga SBI dalam tahun
1998/1999 yang mencapai 59,0 persen (Oktober 1998), sementara pada akhir tahun anggaran
1997/1998 (Maret 1998) suku bunga SBI tercatat sebesar 26,62 persen. Tingginya suku bunga
SBI dalam tahun anggaran 1998/1999 berkaitan dengan upaya pemerintah untuk memperketat
likuiditas perekonomian sehubungan dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Meningkatnya penjualan SBI dalam periode April-Oktober 1998 tersebut sejalan dengan
pencapaian sasaran kebijaksanaan moneter yang ketat dalam rangka pengendalian inflasi dan
memperkuat nilai tukar rupiah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 230


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.14

NILAI TRANSAKSI DAN TINGKAT BUNGA PASAR UANG


ANTARBANK DI JAKARTA, 1989 -1998
Nilai transaksi Suku bunga
Mas a rata-rata tertimbang
( miliar rupiah)
(persen per tahun )
(1) (2) (3)
1989 22.906 12,40
1990 38.905 14,93
1991 48.420 15,32
1992 57.806 12,32
1993 90.105 8,72
1994 110.990 9,79
1995 189.259 13,67
1996 477.564 13,96
1997 784.368 26,97
Januan Maret 138.121 12,06
April Juni 157.529 13,45
Juli September 210.670 42,70
Oktober Desember 278.048 39,68
1998
Januari 112.071 56,73
Februari 168.224 63,93
Maret 246.052 51,42
Januari Maret 526.347 57,36
April 174.209 70,68
Mei 142.035 63,84
Juni 184.469 64,63
April Juni 500.713 66,38
Juli 175.450 75,40
Agustus 207.500 80,64
September 242.381 66,34
Juli September 625.331 74,13
Oktober 163.500 59,60
(Apr - Okt'98) 1.289.544 -
(Apr - Okt'97) 479.026 -

Departemen Keuangan Republik Indonesia 231


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

3.7.3 Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)


Berkaitan dengan langkah-langkah pengetatan moneter gunamengurangi tekanan
terhadap nilai tukar rupiah, beberapa piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang memberikan
dampak ekspansi moneter untuk sementara waktu dihentikan, termasuk le1ang SBPU yang
dihentikan sejak bulan Agustus 1998. Sebagai gantinya, SBPU hanya diberikan secara selektif
kepada beberapa bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Langkah ini ditempuh melalui
pembelian SBPU secara langsung kepada beberapa bank yang dikaitkan dengan program
pemberian kredit kepada usaha kecil. Dalam hal ini pencatatan SBPU dimaksud dikelompokkan
ke dalam bantuan likuiditas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan. Berkaitan
dengan hat tersebut, posisi SBPU dalam tahun anggaran 1998/1999 (April-Oktober 1998)
tercatat sebesar Rp 1.164 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan posisi SBPU pada akhir tahun
anggaran 1997/1998 yang mencapai Rp 4.090 miliar, atau menurun 71,54 persen.

3.7.4 Sertifikat Deposito


Perkembangan dana sertifikat deposito yang dapat dihimpun oleh perbankan, yaitu bank
pemerintah, bank asing, dan bank swasta nasional selama tahun anggaran 1998/1999 (April-
Oktober 1998) menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
anggaran sebelumnya, yaitu Dari Rp 80.111 miliar menjadi Rp 24.940 miliar atau turun 68,87
persen. Turunnya jumlah sertifikat deposito tersebut diduga disebabkan oleh adanya pengalihan
dana sertifikat deposito ke deposito perbankan yang jangka waktunya lebih pendek dan tingkat
bunganya lebih tinggi terutama pada deposito berjangka waktu 1 bulan. Perkembangan sertifikat
deposito dapat dilihat dalam Tabel 111.15.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 232


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.15

SERTIFlKA T DEPOSITO, 1989 - 1998


( dalam miliar rupiah)
Bank Bank-bank
Akhir periode pemerlntah 1) Bank asing swasta nasional Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5)
1989Desember 77 19 77 173
1990Desember 103 11 320 434
1991Desember 198 6 3.733 3.937
1992Desember 468 1 1.703 2.172
1993Desember 474 136 1.558 2.168
1994Desember 697 275 1.839 2.811
1995Desember 2.990 433 4.342 7.765
1996Maret 3.853 686 6.015 10.554
Juni 5.377 832 7.956 14.165
September 4.099 876 7.287 12.262
Desember 4.350 1.339 9.692 15.381
1997Maret 3.262 1.348 9.708 14.318
Juni 2.060 1.195 9.459 12.714
September 1.915 1.214 7.260 10.389
Desember 834 916 4.921 6.671
1998Januari 55Z 895 2.578 4.025
Februari 564 861 2.406 3.831
Maret 558 722 2.622 3.902
April 396 723 2.302 3.421
Mei 423 677 2.186 3.286
Juni 499 584 2.327 3.410
Juli 471 541 2.182 3.194
Agustus 482 369 2.206 3.057
September 522 408 2.403 3.333
Oktober - 662 464 4.113 5.239
(Apr-Okt '98) 3.455 3.766 17.719 24.940
(Apr-Okt '97) 13.912 8.443 57.756 80.111

1) Meliputi Bank Persero dan Bank Pemerintah Daerah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 233


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

3.7.5 Suku Bunga


Belum pulihnya perekonomian Indonesia dari krisis yang terjadi sejak pertengahan 1997
menyebabkan .Pemerintah masih mempertahankan kebijakan moneter ketat. Kebijakan moneter
ketal yang ditempuh pemerintah dengan menaikkan suku bunga SBI secara bertahap pada
kenyataannnya telah berpengaruh pada perkembangan suku bunga bank-bank umum. Selama
periode April-Oktober 1998 rata-rata suku bunga SBI telah meningkat sebesar 32,38 poin, yaitu
Dari 26,62 persen pada Maret 1998 menjadi 59,00 persen pada Oktober 1998. Sementara itu,
suku bunga SBPU meningkat dari 28,63 persen pada Maret 1998 menjadi 69,17 persen pada
September 1998 atau naik 40,54 poin, seuangkan suku bunga SBPU bulan Oktober 1998 tidak
tercatat dikarenakan tidak adanya transaksi SBPU pada bulan tersebut.
Ketatnya likuiditas di pasar Uang juga berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga
deposito. Secara keseluruhan suku bunga deposito selama tahun anggaran 1998/1999
mengalami kenaikan. Bila suku bunga deposito berjangka waktu 3 bulan, 6 bulan, 12.bulan, dan
24 bulan pada Maret 1998 masing-masing masih sebesar 27,26 persen, 19,05 persen, 19,50
persen, dan 16,02 persen, maka pada Oktober 1998 telah meningkat masing-masing menjadi
54,67 persen, 36,28 persen, 25,55 persen, dan 16,31 persen. Demikian halnya dengan suku
bunga kredit, seiring dengan kenaikan suku bunga deposito, rata-rata suku bunga kredit baik
kredit modal kerja (KMK) maupun kredit investasi (KI) juga mengalami kenaikan, yaitu dari
27,80 persen dan 20, 16 persen pada Maret 1998 menjadi 35,68 persen dan 25,80 persen pada
Oktober 1998. Dengan memperhatikan perkembangan suku bunga deposito yang lebih tinggi
dibandingkan suku bunga kredit baik KMK maupun KI, narnpak bahwa telah terjadi negatif
spread di sektor perbankan. Perkembangan suku bunga di dalam negeri dapat dilihat dalam
Tabel 111.16.

3.8 Lembaga Perbankan

3.8.1 Struktur Kelembagaan


Perlu disadari bahwa sebagai lembaga intermediasi yang berfungsi mempromosikan
pengumpulan dan penyaluran dana masyarakat, serta mengembangkan sistim pembayaran,
industri perbankan mempunyai peranan yang sentral dalam suatu perekonomian. Dengan
demikian, terganggunya proses intermediasi tersebut, sedikit atau banyak akan sangat
berpengaruh terhadap aktivitas suatu perekonomian. Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis

Departemen Keuangan Republik Indonesia 234


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu telah memberikan pengaruh cukup besar
terhadap perkembangan industri perbankan. Perubahan drastis di pasar uang yang ditandai
adanya depresiasi kurs rupiah menyebabkan nilai rupiah kewajiban valuta asing bank-bank
meningkat. Sementara itu gejala kelesuan yang melanda sektor dunia usaha dan kebijaksanaan
likuiditas ketat yang diarahkan untuk meredam laju inflasi dan gejolak kurs, telah menyebabkan
meningkatnya fisiko kegagalan kredit dan menurunnya kualitas aktiva produktif, sehingga
kinerja sisi aktiva perbankan cenderung memburuk. Disisi lain, tindakan pencabutan izin usaha
sejumlah bank yang dilakukan dalarn rangka penyehatan sistem perbankan dan adanya isu-isu
yang kurang menguntungkan industri perbankan, telah menimbulkan reaksi negatif berupa
penarikan dana simpanan oleh masyarakat sehingga bank-bank mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk meminimalisasi dampak krisis ekonomi terhadap industri perbankan dan mengantisiposi
perkembangan perbankan yang cenderung memburuk, Pemerintah telah melakukan berbagai
kebijaksanaan atau langkah persuasif, baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang.
Kebijaksanaan jangka pendek antara lain dilakukan dengan memberikan bantuan likuiditas Bank
Indonesia kepada bank-bank yang masuk dalam program penjaminan, untuk menalangi
pembayaran kewajiban bank. Hal ini dimaksudkan agar kesulitan likuiditas yang dialami oleh
sejumlah bank tidak sampai menimbulkan efek berantai (systemic effect) kepada sistem
perbankan dan perekonomian secara keseluruhan, dan sekaligus untuk memperbaiki
kepercayaan masyarakat kepada dunia perbankan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 235


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.16
SUKU BUNGA, 1989 - 1998
(dalam persen per tahun)
Kredit
Deposito 2)
SBI I) SBPUI) KMK
3 bin 6 bin 12 bin 24 bin Investasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1989 Desember 11,64- 17,06 17,70 18,58 18,82 21,82 19,50


1990 Desember 17,87- 21,00 19,63 18,53 18,52 20,67 18,95
1991 Desember 18,03 20,19 21,88 22,65 22,76 20,58 25,21 20,87 i
1992 Desember 13,79 13,98 16,72 17,78 18,93 19,91 24,05 19,21
1993 Desember 9,08 12,00 11,79 13,08 14,20 16,08 20,52 17,06
1994 Desember 11,59 15,36 14,27 13,33 12,99 14,80 17,70 14,90
1995 Desember 13,34 15,87 17,15 16,95 16,28 15,45 19,27 16,12
1996 Desember 12,26 15,62 17,03 16,78 16,70 15,14 19,04 16,36
1997 Maret 8,46 14,29 16,47 16,37 16,39 15,95 18,88 16,37
Juni 8,19 14,85 15,93 15,83 16,16 15,75 18,56 16,19
September 14,58 - 26,22 16,37 16,42 16,02 26,41 20,34
Desember 17,38 - 23,92 16,96 15,92 15,46 25,40 18,94
1998 Januari 15,70 21,00 22,86 17,30 17,19 15,29 25,57 18,96
Februari 24,29 23,31 24,00 17,91 18,70 15,37 25,63 19,18
Maret 26,62 28,63 27,26 19,05 ,19,50 16,02 27,80 20,16
April 45,16 52,00 29,40 19,23 19,83 15,53 29,47 21,64
Mei 51,35 58,67 32,95 21,74 20,51 16,44 33,21 22,84
Juni 56,28 60.00 40,63 23,71 21,69 16,02 33,79 22,70
Ju1i 55,87 60,00 43,01 27,44 22,18 16,45 34,12 23,38
Agustus 69,51 53,75 44,35 30,76 21,99 16,03 34,95 24,23
September 60,89 69,17 47,38 34,58 22,97 15,75 35,72 24,88
Oktober 59,00 - 54,67 36,28 25,55 16,31 35,68 25,80
1) Suku bunga SB! dan SBPU atas dasar rata-rata hilling

2) Deposito Dari bank umum

Departemen Keuangan Republik Indonesia 236


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam jangka panjang, langkah kebijaksanaan pembinaan sektor perbankan, dirumuskan


dalam kerangka reformasi ekonomi yang dilakukan melalui empat program, yakni
restrukturisasi dan penyehatan perbankan, menyempurnakan pelaksanaan penerapan prinsip
kehati-hatian dalam upaya memperbaiki kondisi internal perbankan, memperkuat fungsi
pengawasan dan pembinaan, dan menyempurnakan perangkat hukum perUndang-undangan.
Dalam kaitannya dengan program restrukturisasi dan penyehatan, melalui Keputusan Presiden
Nomor 27 tanggal26 Januari 1998, Pemerintah telah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Sebagai lembaga independen, BPPN bertugas melaksanakan penyehatan
perbankan melalui kebijaksanaan restrukturisasi perbankan. Secara bertahap, Bank Indonesia
telah melakukandue dilligence terhadap seluruh bank umum dengan melibatkan jasa auditor
internasional dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi keuangan dan
permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing bank guna menentukan formulasi solusinya
secara cepat dan tepat. Bank-bank yang masuk kategori tidak sehat, menjalani program
penyehatan melalui tigalangkah alternatif, yakni rekapitalisasi, revitalisasi, dan sistem
pembenahan lain yang dilakukan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi setiap bank.
Program rekapitalisasi yang diarahkan untuk memperkuat permodalan bank dilakukan melalui
penyetoran modal langsung oleh pelpilik bank, menjual saham kepada investor lokal maupun
investor asing, dan mengkonversi hutang bank menjadi equity dalam bentuk subordinated loan
(SOL). Untuk mendukung progtam rekapitalisasi itu, maka bantuan likuiditas yang diberikan
kepada bank-bank diperhitungkan sebagai penyertaan modal dengan mengkonversikan bantuan
tersebut menjadi equity pemerintah. Dalam kaitannya dengan rekapitalisasi tersebut, juga akan
diterbitkan obligasi yang direncanakan dapat diperjuabelikan ke masyarakat agar diperoleh dana
segar yang diperlukan untuk mendukung perbaikan modal bank-bank. Disamping itu, untuk
mendorong adanya penambahan modal bank, pemerintah telah memberikan keleluasaan dan
kemudahan kepada investor asing dalam pemilikan bank di Indonesia. Secara kuantitatif sasaran
permodalan yang hendak dicapai adalah terpenuhinya rasio kecukupan modal minimum bank-
bank umum sebesar 4 persen pada akhir tahun 1998, 8 persen akhir tahun 1999, dan 10 persen
akhir tahun 2000.
Upaya penyempurnaan pelaksanaan prinsip kehati-hatian masing-masing
bankdifokuskan pada peningkatan kemampuan manajerial, peningkatan transparansi informasi
mengenai kondisi perbankan,dan pembenahan sistem pengawasan, sistem informasi internal

Departemen Keuangan Republik Indonesia 237


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi fisiko kredit
yang berlebihan. Untuk mendorong perubahan ke arah itu, Bank Indonesia akan terus
meningkatkan kualitas sistem pengawasan bank dan penegakan ketentuan (law enforcement),
termasuk ketentuan capital adequacy ratio (CAR) dan batas maksimum pemberian kredit
(BMPK) melalui penerapan sanksi secara tegas dan keras kepada bank-bank pelanggar. Dengan
demikian setiap bank diharapkan bisa menghindarkan terjadinya konsentrasi pemberian kredit
dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu atau kelompok usaha
yang terkait dengan bank (connected lending), karena fenomena itu selain menimbulkan distorsi
dalam alokasi kredit, juga terbukti telah mendorong tingginya fisiko kemacetan kredit yang
dihadapi oleh bank-bank.
Pembenahan terhadap aspek hukum perundang-undangan perbankan telah dilakukan
dengan disahkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang yang baru tersebut
terdapat beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan ketentuan tentang usaha perbankan
di Indonesia. Beberapa perubahan penting itu antara lain mencakup peningkatan fungsi
pembinaan dan pengawasan, kerahasian, kepemilikan, orientasi pembiayaan, perluasan bentuk
usaha bank, dan pembentukan lembaga-Iembaga yang dapat memperkuat kelembagaan
perbankan. Pengawasan, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, baik dalam
menilai kelayakan pendirian bank baru maupun pembukaan kantor cabang, yang semula berada
pada Menteri Keuangan dialihkan kepada Pimpinan Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar
Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan
perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak
memenuhi peraturan perbankan yang berlaku.
Sementara itu untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan,
ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini mencakup sisi aktiva dan posiva perbankan,
ruang lingkup kerahasiaannya telah dibatasi hanya mencakup nasabah penyimpan dan
simpanannya (sisi pasiva), namun pemeriksaan terhadap nasabah penyimpan dan simpanan tetap
dapat dilakukan bila diperlukan untuk kepentingan perpajakan atau penegakan hukum.
Berkaitan dengan aspek kepemilikan, peraturan tentang kepemilikan bank telah disesuaikan
dengan arah perubahan liberalisasi sistem keuangan global, dengan membuka akses pasar dan
perlakuan non diskrirninatif terhadap pihak asing. Kepada pihak asing diberi kesempatan yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 238


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lebih besar untuk berperan serta dalam kepemilikan bank-bank domestik, baik melalui
pembelian saham di bursa efek maupun melalui penyetoran modal baru. Pola kepemilikan ini
diharapkan dapat mengakselerasi peningkatan kinerja perbankan nasional sehingga mampu
beroperasi dengan standar perbankan internasional dalam memfasilitasi kegiatan perekonomian
nasional.
Dalam undang-undang perbankan yang baru, juga telah dilakukan perluasan kegiatan
usaha perbankan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan itu,
pemerintah telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk
pernberian kesempatan kepada bank umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus
melakukan kegiatan pelayanan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang dapat
diterapkan dalam pembiayaan atau penempatan dana perbankan antara lain prinsip bagi hasil
(mudharahah), prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan sewa mumi
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank ke pihak lain (jjarah wa iqtina). Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitur untuk
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Disamping itu
penempatan dana secara syariah juga wajib memenuhi ketentuan batas maksimum pemberian
kredit/pembiayaan yang ditentukan.

Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak, dalam
pengelolaan dana masyarakat perbankan diharapkan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan
sektor perekonomian nasional dengan memberi prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan
menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan mampu
meningkatkan kinerja perekonomian di wilayah operasi tiap-tiap kantor bank dan memperkuat
strukturperekonomian nasional.
Sebagai lembaga keuangan yang segmen usahanya berkaitan dengan aspek kepereayaan,
kegiatan operasional perbankan pada hakekatnya perlu ditopang dengan institusi penunjang,
baik yang berperan untuk sementara waktu dalam rangka mengatasi persoalan tentatif
perbankan maupun institusi yang bersifat permanen. Berkaitan dengan itu, untuk mengatasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 239


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bank-bank bermasalah yang berpotensi membahayakan kelangsungan usahanya, membahayakan


sistem perbankan dan perekonomian nasional, Pemerintah dapat berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat untuk membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka
menyehatkan perbankan. Dalam melaksanakan tugasnya, badan khusus itu dapat mengambilalih
dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham/pemilik, direksi dan komi saris
bank, serta melakukan langkah-Iangkah untuk menyehatkan bank yang bersangkutan,
mengamankan hak dan kewajiban nasabah serta menghindarkan dampak negatifnya bagi sistem
perbankan dan perekonomian seeara umum. Sementara itu untuk melindungi kepentingan
nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, perlu dibentuk
lembaga penjamin simpanan. Dalam menyelenggarakan penjaminan simpanan dana
masyarakatpada bank, lembaga penjamin simpanan dapat menggunakan skim dana bersama,
skim asuransi, atau skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.
Dalam rangka program revitalisasi, kepada bank-bank diarahkan untuk membenahi
aspek manajemen, jaringan operasional, sistem pelayanan, dan portfolio keuangan dengan
menempuh berbagai langkah, diantaranya melalui merger, akuisisi dan konsolidasi usaha. Untuk
mempelopori program ini, Pemerintah telah mendirikan PT Bank Mandiri yang mengakuisisi
empat bank Persero, yakni Bank Ekspor Impor, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang
Negara, dan Bank Bumi Daya. Proses akuisisi itu akan dilakukan secara bertahap, dimana pada
tahap transisi akan dilakukan pengalihan aset, kewajiban, kegiatan dan fungsi operasional, dan
personalia dari keempat bank Persero dimaksud ke PT Bank Mandiri, Namun selama tahap ini
keempat bank Persero akan tetap beroperasi untuk melayani nasabah. Diharapkan langkah
akuisisi bank-bank Persero tersebut akan merangsang bank-bank swasta untuk segera
melakukan progam revitalisasi. Kepada bank-bank bermasalah, dapat membenahi portfolio
keuangannya melalui pengalihan pengelolaan kredit bermasalah (non-performance loans)
kepada lembagaAsset Management Unit (AMU), memberikan kesempatan dan kelonggaran
kepada debitur dengan rescheduling, reconditioning, dan restructuring pinjaman yang
diberikan, dan melakukan merger dengan bank lain.

Pelaksanaan program restrukturisasi dan penyehatan yang dilakukan terhadap industri


perbankan telah inempengaruhi perkembangan kelembagaan perbankan secara nasional. Sampai
dengan akhir Oktober 1998, jumlah bank umum yang beroperasi di Indonesia sebanyak 208
buah, yang terdiri Dari 7 bank Persero, 130 bank swasta nasional, 27 bank pembangunan daerah,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 240


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dan 44 bank asinglcampuran. Dengan demikian selama taboo 1998/1999 jumlah bank,
khususnya bank swasta nasional telah berkurang 13 bank diantaranya karena adanya tindakan
pembekuan operasi bank-bank bermasalah yang tidak mempunyai prospek untuk beroperasi.
Namun demikian, selama tahun 1998/1999 jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) tetap
menunjukkan perkembangan yang berarti. Sampai akhir Oktober 1998, bank perkreditan rakyat
di luar lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) berjumlah 7.531 buah atau bertambah 129
buah dibandingkan dengan kondisi pada akhir Maret 1998. Perkembangan bank umum dan BPR
dapat dilihat dalam Tabel III.17.

3.8.2 Perkembangan Dana Perbankan

Selama tahun 1998/1999 kegiatan industri perbankan dalam menjalankan perannya


sebagai lembaga intermediasi dan fasilitator pembiayaan bagi perekonomian nasional relatif
mengalami penurunan. Menurunnya aktivitas perbankan tersebut berkaitan dengan banyak
faktor yang mempengaruhinya, baik faktor yang bersifat ekonomi eksternal yang berupa krisis
ekonomi dan berbagai implikasinya, maupun faktor internal, berupa kelemahan portfolio
keuangan dan permodalan, serta terjadinya mismanajemen operasional pada sejumlah bank.
Namun, dalam situasi yang tidak menguntungkan tersebut kegiatan perbankan dalam
memobilisasi dana masih mengalami pertumbuhan, sebagai akibat Dari tingginya tingkat bunga
dan pengaruh perubahan nHai tukar rupiah. Jumlah dana masyarakat yang dihimpun oleh
industri perbankan sampai dengan Oktober 1998 mencapai Rp 527.550,8 miliar, yang terdiri
Dari giro Rp 90.531,4 miliar, deposito berjangka Rp 373.864,6 miliar, dan tabungan Rp
63.154,8 miliar. Posisi dana perbankan ini telah mengalami kenaikan sebesar Rp 74.613,9 miliar
(16,5 persen) dibandingkan dengan posisi akhir Maret 1998 yang mencapai Rp 452.936,9 miliar.
Dana perbankan yang dihimpun oleh kelompok bank Persero mencapai Rp 249.370,7 miliar
atau 47,3 persen dari total dana perbankan, sedangkan yang dihimpun kelompok bank swasta
nasional Rp 214.492,8 miliar (40,7 persen), kelompok bank asing campuran Rp 53.457,0 miliar
(l0,1 persen), dan kelompok bank pembangunan daerah Rp 10.230,3 miliar (1,9 persen).
Perkembangan dana perbankan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 111.18, Tabel
111.20, dan Grafik 111.5.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 241


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.17

JUMLAH BANK DAN KANTOR BANK DI INDONESIAf', 199211993 - 1998/1999

199211993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/19991)


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
BANK-BANK UMUM
Bank umum pemerintah
- lumlah bank 7 7 7 7 7 7 7
- lumlah kantor 1.099 1.121 1.285 1.337 1.496 1.540 1.602
Bank umum swasta nasional .
- lumlah bank 147 163 166 165 162 143 130
- lumlah kantor 2.910 3.125 3.296 3.565 4.113 4.167 3.903
Bank pembangunan daerah
- lumlah bank 27 27 27 27 27 27 27
- lumlah kantor 426 429 432 451 517 546 556
Bank asing/campuran
- lumlah bank 39 39 40 41 41 44 44
- lumlah kantor 75 78 84 83 87 92 98
Jumlah bank umum
- lumlah bank 220 236 240 240 237 221 208
- lumlah kantor 4.510 4.753 5.097 5.436 6.213 6.345 6.159
BANK PERKREDIT AN
6.889 7.095 7.231 7.301 7.321 7.402 7.531
RAKY A 'P)
Jumlah bank seluruhnya 7.109 7.331 7.471 7.541 7.558 7.623 7.739
Jumlah kantor seluruhnya 11.399 11.848 12.328 12.737 13.534 13.747 13.690

1) Tennasuk jumlah kantor cabang bank di luar Negeri.


2) Sampai dengan bulan Oktober 1998. tidak tennaslik bank beku operasi (10 bank). 3) Tidak tennasuk LDKP yang statusnya belum berubah
menjadi BPR.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 242


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.18
DANA PERBANKAN MENURUT KELOMPOK BANI{l), 1989/1990 -1998/1999
( dalam miliar rupiah)
Bank Bank Bank Bank
Akhir periode swasta pembangunan asing & Jumlah
pemerintah
nasional 2) daerah campuran
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1989/1990 Maret 30.372,7 23.143,1 1.740,8 3.935,5 59.192,1
1990/1991 Maret 34.058,8 34.835,2 2.522,4 6.094,4 77.510,8
1991/1992 Maret 42.448,4 43.203,3 2.899,1 7.160,6 95.711,4
1992/1993 Maret 54.259,5 52.104,5 3.544,2 7.727,8 117.636,0
1993/1994 Maret 59.355,7 71.775,6 4.613,6 8.853,9 144.598,8
1994/1995 Maret 63.563,0 93.095,6 5.837,4 11.327,0 173.823,0
1995/1996 Maret 76.800,8 125.360,1 7.086,9 14.480,0 223.727,8
1996/1997 Juni 82.128,8 136.740,3 7.384,8 15.444,8 241.698,7
September 84.774,8 143.539,5 7.997,9 15.888,6 252.200,8
Desember 90.434,2 164.979,0 8.521,9 17.782,8 281.717,9
Maret 89.607,1 171.176,0 7.877,1 18.320,9 286.981,1
1997/1998 Juni 91.810,4 183.005,5 8.257,6 19.965,2 303.038,7
September 102.891,3 190.591,4 8.226,7 26.022,7 327.732,1
Desember 133.042,5 177.192,3 8.796,2 38.582,1 357.613,1
Maret 183.124,1 199.595,2 7.992,0 62.225,6 452.936,9
1998/1999 April 190,316,7 194.218,9 7.628,2 58.824,8 451.008,6
Mei 223.653,2 189.133,5 8.304,5 72.779,4 493.870,6
Juni 265.924,1 201.956,6 8.727,4 97.193,3 573.801,4
Juli 260.539,7 202.767,6 9.157,1 90.438,0 562.902,4
Agustus 255.246,7 200.683,6 9.320,6 78.478,3 543.729,2
September 262.461,4 212.745,2 9.633,6 69.516,1 554.356,3
Oktober 249.370,7 214.492,8 10.230,3 53.457,0 527.550,8
I) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.
2) Terdiri Dari bank swasta nasional devisa, bank swasta nasional bukan devisa, bank pembangunan swasta, dan bank tabungan swasta.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 243


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 244


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

3.8.2.1 Giro
Jumlah dana giro yang ada dalam industri perbankan sarnpai akhir Oktober 1998
mencapai Rp 90.531,4 millar, atau menurun Rp 18.172,0 miliar (16,7 persen) dibandingkan
dengan posisinya pada akhir Maret 1998. Dalarn periode yang sama tahun sebelumnya dana giro
mengalami kenaikan Rp 10.640,1 miliar (18,7 persen). Penurunan dana giro tersebut antara lain
disebabkan oleh ketatnya kqndisi likuiditas perekonomian dan berkurangnya kegiatan transaksi
bisnis yang menggunakan jasa pembayaran giro karena kelesuan sektor dunia usaha.

3.8.2.2 Deposito Berjangka


Kebijaksanaan likuiditas ketat yang dilakukan melalui mekanisme suku bunga cukup
memberikan pengaruh terhadap perkembangan simpanan berjangka pada industri perbankan
selama tahun anggaran 1998/1998. Hal ini dapat terjadi karena dalarn situasi likuiditas ketat,
bankbank cenderung bersaing untuk menarik dana masyarakat dengan menaikkan suku bunga
deposito berjangka pendek mengikuti perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia.
Penawaran ini selain menarik bagi masyarakat pemilik dana, juga telah merangsang para
pemodal/pemilik aset, baik pemilik aset finansial maupun non finansial, untuk menginvestasikan
modal asetnya pada produk deposito perbankan.
Posisi dana deposito berjangka yang dihimpun oleh industri perbankan sarnpai akhir
Oktober 1998 mencapai Rp 373.864,6 miliar, yang terdiri dari deposito dalarn rupiah Rp
276.873,0 miliar (74,1 persen) dan deposito dalarn valuta asing Rp 96.991,6 miliar (25,9
persen). Dengan demikian selarna tujuh bulan berjalan tahun 1998/1999 deposito berjangka
menunjukkan kenaikan sebesar Rp 101. 804,1 miliar (37,4 persen). Komposisi dana deposito
tersebut sebagian besar, yakni Rp 260.325,5 miliar atau 69,6 persen dari total deposito,
merupakan deposito berjangka 1 bulan dan Rp 18.356,9 miliar (4,9 persen) adalah deposito
berjangka 3 bulan. Untuk deposito berjangka 6 bulan jumlahnya mencapai Rp 16.845,2 miliar
(4,5 persen), deposito 12 bulan Rp22.355,5 miliar (6,0 persen), dan deposito berjangk,a 24
bulan dan deposito berjangka lainnya, termasuk yang berjangka 9 bulan dan 18 bulan,
jurnlahnya masing-masing mencapai Rp 514,0 miliar (0,2 persen) dan Rp 55.467,5 miliar (14,8
persen). Perkembangan deposito berjangka menurut komposisinya seperti tercermin pada Tabel
ll.19 dan Grafik 111.6.

3.8.2.3 Tabungan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 245


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dana tabungan masyarakat yang dihimpun oleh industri perbankan sarnpai akhir Oktober
1998 mencapai Rp 63.154,8 miliar, atau mengalami penurunan Rp 9.018,2 miliar (12,5 persen)
dibandingkan dengan posisinya akhir Maret 1998 Rp 72.173,0 miliar. Dalarn periode yang sama
tahun sebelumnya dana tabungan turun Rp 6.231 miliar (9,4 persen). Penurunan dana tabungan
dalam periode April-Oktober 1998, selain dipengaruhi oleh menurunnya kinerja industri
perbankan dan melemahnya kemarnpuan menabung masyarakat golongan ekonomi menengah
ke bawah, juga dipengaruhi oleh kecenderungan sebagian masyarakat pemilik dana untuk
menyimpan dananya dalam bentuk deposito berjangka karena menawarkan suku bunga yang
relatif tinggi dibandingkan dengan suku bunga tabungan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 246


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.19

DEPOSITO BERjANGKA SELURUH BAN), 1989/1990 -1998/1999

( dalam miliar rupiah )

Akhir periode 1 bulan Z) 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan Lamnya 3 Jumlah

(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1989/1990Maret 9.587,2 6.846,1 6.080,6 11.149,1 2.177,4 510,0 36.350,4

1990/1991Maret 20.278,1 10.393,1 7.041,2 8.985,3 816,4 2.325,5 49.839,6

1991/1992Maret 17.412,9 12.896,9 10.865,7 10.320,3 911,8 4.404,7 56.812,3

1992/1993Maret 18.104,0 14.679,8 14.560,1 13.045,9 500,6 3.325,6 64.216,0

1993/1994Maret 18.520,1 17.320,6 19.198,2 15.669,6 617,1 3.857,8 75.183,4

1994/1995Maret 31.132,3 21.714,0 23.234,1 14.043,9 590,5 6.752,3 97.467,1

1995/1996Maret 40.559,8 27.812,7 29.777,4 20.393,2 1.317,6 8.552,9 128.413,6

1996/1997Juni 42.037,2 28.532,9 32.884,4 23.270,0 1.121,3 11.341,5 139.187,3

September 45.632,0 29.448,3 35.821,0 23.179,1 1.204,9 9.004,3 144.289,6

Desember 50.511,0 32.931,4 40.597,5 25.255,4 1.214,0 12.151,4 162.660,7

Maret 47.441,1 33.250,9 42.189,6 27.710,9 1.334,5 11.730,0 163.657,0

1997/1998Juni 52.478,5 33.366,7 41.942,9 28.383,5 1.370,9 12.512,8 170.055,3

September 87.465,1 40.057,7 34.455,5 23.996,4 1.200,5 18.410,5 205.585,7


Desember 88.986,7 34.637,2 28.664,6 25.376,6 359,5 28.370,7 206.395,3

Maret 138.596,3 30.101,2 27.841,1 28.937,3 2.139,6 44.445,0 272.060,5

1998/1999April 164.498,4 23.951,0 24.144,6 26.957,5 2.364,7 46.010,7 287.926,9

Mei 189.301,5 21.921,2 28.360,3 27.990,3 2.371,9 54.749,8 324.695,0


Juni 231.130,1 19.182,0 34.116,6 39.920,6 2.482,2 59.308,5 376.140,0
Juli 229.632,3 15.930,7- 29.296,1 27.217,7 2.451,1 70.936,3 375.464,2
AgustuS 231.519,0 14.035,7 23.821,0 25.709,2 2.394,9 70.768,3 368.248,1
\
September 262.865,0 13.040,9 19.882,9 24.131,2 779,3 62.969,1 383.668,4
!

/ Oktober 260.325,5 18.356,9 16.845,2 22.355,5 514,0 55.467,5 373.864,6

I) Sejak April 1993 tennasuk bank eks-LKBB.


2) Tennasuk deposito yang sudahjatuh waktu dan deposito on call. 3) Tennasuk deposito beIjangka waktu 9 bulan dan 18 bulan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 247


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 248


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Berbeda dengan perkembangan dana tabungan, dana masyarakat pedesaan yang


dihimpun oleh Bank Rakyat Indonesia dalam bentuk Simpanan Pedesaan (Simpedes) masih
menunjukkan adanya peningkatan. Sampai akhir September1998 posisi Simpedes mencapai Rp
7.575,3 miliar, naik Rp 896,7 miliar (13,4 persen) dibandingkan dengan posisinya pada akhir
Maret 1998 Rp 6.678,6 miliar. Dalam periode yang sama, jumlah penabung berkembang dari
12.302.857 orang menjadi 13.675.721 orang. Kenaikan dana Simpedes ini relatif lebih besar
dibandingkan dengan kenaikan dalam peri ode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp
382,4 miliar (8,5 persen). Perubahan dana tabungan dan Simpedes masing - masing dapat dilihat
dalam Tabel 111.20 dan Tabel 21.

3.8.3 Pemanfaatan Dana


3.8.3.1 Kebijaksanaan dan Perkembangan Kredit Perbankan
Seiring dengan perkembangan perekonomian nasional yang mengalami krisis sejak
pertengahan tahun 1997 lalu, yang ditandai oleh gejolak nilai tukar yang berkepanjangan, telah
menimbulkan masalah likuiditas dan meningkatnya biaya dana sebagai akibat Dari naiknya
tingkat bunga pada seluruh industri perbankan. Hal ini terjadi selain disebabkan oleh
kebijaksanaan uang ketat yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka menahan gejolak
nilai tukar dan laju inflasi, juga dikarenakan belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan. Dampak berantai dari gejolak nilai tukar terhadap industri perbankan, pada
akhimya telah mempengaruhi perkembangan dan kebijaksanaan perkreditan secara keseluruhan.
Hal ini antara lain tercerrnin pada munculnya berbagai hambatan dalam kegiatan penyaluran
kredit, sehingga mengakibatkan terganggunya kelangsungan kegiatan investasi dan produksi
sektor ekonomi lainnya, terutama sektor riil.
Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah telah melakukan berbagai penyempumaan dalarn
biuang perkreditan, sesuai dengan langkah-Iangkah reformasi ekonomi yang dilakukan untuk
memulihkan perekonomian dari krisis dan membenahi struktur perekonomian nasional yang
berbasis pada ekonomi kerakyatan. Dalam kaitan itu, kebijaksanaan dan orientasi penyaluran
kredit perbankan perlu diarahkan secara lebih produktif, merata, dan mampu memberikan efek
ganda bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan kapasitas produksi nasional. Salah satu
sektor yang perlu mendapat perhatian utama dalam sistem perkreditan adalah usaha kecil dan
menengah (UKM) yang relatif lebih mampu bertahan dalam krisis moneter, terutama yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 249


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

berbasis pada sektor pertanian yang sekarang menjadi altematif utama untuk meningkatkan
kinerja perekonomian nasional. Dengan lebih banyaknya kredit yang disalurkan kepada usaha
kecil dan menengah diharapkan akan dapat menggerakkan sektor perekonomian baik di desa
maupun di kota, sehingga meningkatkan produksi barang dan jasa dan dapat menekan laju
inflasi. Untuk itu pemerintah pada bulan Oktober 1998 telah mengeluarkan 13 skim kredit
murah yang disalurkan kepada para pengusaha kecil dan menengah, dengan dukungan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan tingkat bunga antara 6 persen sampai dengan 16
persen per tahun. Dari tiga belas skim kredit ini, empat diantaranya adalah skim kredit baru
yaitu Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM), Kredit Penerapan Teknologi Tepat Guna
Pengentasan Kemiskinan (KPTIG- Taskin), Kredit Modal Kerja Usaha Kecil Menengah (KMK-
UKM), dan Kredit Penerapan Teknologi Produk Unggulan Daerah (KPTPOD). Sedangkan 9
kredit lainnya merupakan skim kredit lama, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan
Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana (KPRS/RSS), Kredit Kepada Koperasi (KKop),
Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKP A), Kredit Koperasi Primer untuk
Anggotanya pada sektor Tebu Rakyat (KKPA-TR), KKPA-PIR Trans Kawasan Indonesia
Bagian Timur, KKPA Tenaga Kerja Indonesia, KKPA Bagi Hasil, dan Kredit Modal Kerja
Bank Perkreditan Rakyat (KMK-BPR). Dengan diluncurkannya paket-paket kredit murah ini
diharapkan dapat menggerakkan usaha kecil dan menengah.
Penambahan empat skim kredit baru tersebut seeara umum bertujuan untuk lebih
memberdayakan kelompok usaha kecil dan menengah. KPKM diberikan kepada para pengusaha
kecil dan mikro termasuk danalarnnya adalah pedagang kecil yang bertujuan untuk
meningkatkan kegiatan usaha kecil dan mikro di semua sektor. KMK-UKM merupakan kredit
modal kerja yang diberikan dalam rangka pengembangan modal kerja pengusaha kecil,
menengah dan koperasi. Seuangkan kredit KPTIG- Taskin diluncurkan dalam rangka
mendukung program pengentasan kemiskinan, yang bertujuan meningkatkan kegiatan usaha
perekonomian produktif keluargakeluarga yang tergabung dalam kelompok Pengentasan
Kemiskinan (Taskin), melalui pemanfaatan teknologi tepat guna untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Adapun dalam rangka mendorong pengembangan modal pengusaha
kecil, menengah dan koperasi guna meningkatkan produk unggulan di daerah dengan
pemanfaatan teknologi tertentu, dalam hal ini telah diberikan Kredit Penerapan Teknologi
Produk Unggulan Daerah.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 250


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.20
DANA PERBANKAN MENURUT JENISNY AI), 1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah)

Akhir periode Gi ro Deposito 2) Tabungan Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

1989/1990 Maret 15.978,1 36.350,4 6.863,6 59.192,1

1990/1991 Maret 17.949,0 49.839,6 9.722,2 77.510,8


1991/1992 Maret 21.428,1 56.812,3 17.471,0 95.711,4
1992/1993 Maret 25.076,8 64.216,0 28.343,2 117.636,0
1993/1994 Maret 31.802,0 75.183,4 37.613,4 144.598,8
1994/1995 Maret 35.434,1 97.467,1 40.921,8 173.823,0
1995/1996 Maret 44.143,9 128.413,6 51.170,3 223.727,8
1996/1997 Juni 49.012,4 139.187,3 53.499,0 241.698,7
September 52.073,6 144.289,6 55.837,6 252.200,8
'Desember 57.491,7 162.660,7 61.565,5 281.717,9
Maret 57.003,6 163.657,0 66.320,5 286.981,1
1997/1998 Juni 62.369,5 170.055,3 70.613,9 303.038,7
September 65.395,1 205.585,7 56.751,3 327.732,1
Desember 83.228,4 206.395,3 67.989,4 357.613,1
Maret 108.703,4 272.060,5 72.173,0 452.936,9
1998/1999 April 97.055,4 287.926,9 66.026,3 451.008,6
Mei 106.316,7 324.695,0 62.858,9 493.870,6
Juni 129.725,2 376.140,0 67.936,2 573.801,4
Juli 118.214,9 375.464,2 69.223,3 562.902,4
Agustus 109.887,6 368.248,1 65.593,5 543.729,2
September 107.894,9 383.668,4 62.793,0 554.356,3
Oktober 90.531,4 373.864,6 63.154,8 527.550,8

1) Sejak Apri11993 tennasuk bank eks-LKBB.


2) Tennasuk sertifikat deposito.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 251


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.21

SIMPANAN PEDESAAN, 1989/1990 -1998/1999

Posisi simpanan
Akhir periode Penyimpan
( dalam miliar rupiah )
(1) (2) . (3)

1989/1990Maret 2.866.050 747,4

1990/1991Maret 3.708.325 908,4


1991/1992Maret 4.506.478 1.270,2
1992/1993Maret 5.616.866 1.935,9
1993/1994Maret 6.665.021 2.695,7
1994/1995Maret 8.094.576 3.288,6
1995/1996Maret 9.195.588 3.823,6
1996/1997Juni 9.514.359 3.997,1
September 9.822.016 4.073,6
Desember 10.099.600 4.406,9
Maret 10.401.634 4.511,9
1997/1998Juni 10.822.001 4.887,7
September 11.314.392 4.894,3
Desember 11.669.502 5.338,1
Maret 12.302.857 6.678,6
1998/1999April 12.498.962 6.809,7
Mei 12.687.625 6.816,3
Juni 12.913.535 7.201,1
Juli 13.224.782 7.556,1
Agustus 13.447.283 7.621,5
September 13.675.721 7.575,3

Departemen Keuangan Republik Indonesia 252


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam perkembangannya, posisi kredit perbankan selama tahun anggaran 1998/1999


(sampai dengan Oktober 1998) menunjukkan pertumbuhan yang cenderung menurun. Hal ini
selain disebabkan karena tingginya suku bunga simpanan (cost of fund) sehingga mendorong
naiknya tingkat bunga kredit, juga karena lesunya kegiatan perekonomian akibat dampak krisis
moneter sehingga seeara keseluruhan menghambat kegifltan penyaluran dana perbankan dalam
bentuk kredit. Sampai akhir Oktober 1998, posisi kredit perbankan dalam rupiah dan valas
meneapai Rp 471.368 miliar, atau menurun Rp 5.473 miliar (1,1 persen) apabila dibandingkan
dengan posisi bulan Maret 1998 Rp476.841 miliar. Penurunan ini berkaitan dengan menguatnya
kurs rupiah yang telah memberi pengarnh pada menurunnya nilai rupiah kredit valuta asing.
Dari jumlah kredit sebesar Rp 471.368 miliar tersebut, bank-bank Persero menyalurkan Rp
208.434 miliar (44,2 persen) bank-bank swasta nasional sebesar Rp 196.134 miliar (41,6
persen), dan bank-bank asing dan campuran menyalurkan Rp 66.800 miliar (14,2 persen).

3.8.3.2 Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi


Dilihat dari sektor ekonomi, pertumbuhan kredit pada umumnya mengalami
perlambatan yang cukup tajam, keeuali untuk sektor pertanian dan perindustrian. Hingga akhir
Oktober 1998, kredit yang disalurkan untuk sektor perindustrian meneapai Rp 167.801 miliar
atau 35,6 persen Dari total kredit perbankan. Alokasi kredit untuk sektor sektor jasa-jasa Rp
130.838 miliar (27,8 persen), sektor perdagangan Rp 95.451 miliar (20,2 persen), dan sektor
pertanian, sektor pertambangan, dan sektor lain-lain masing-masing mencapai Rp 36.110 miliar
(7,7 persen), Rp 5.759 miliar (1,2 persen), dan Rp 35.409 miliar (7,5 persen). Selarna periode
April-Oktober 1998, kredit untuk sektor perindustrian dan pertanian masing-masing meningkat
Rp 9.819 miliar (6,2 persen) dan Rp 4.245 miliar (13,3 persen), atau lebih kecil dibandingkan
dengan kenaikan pada periode yang sama tahun sebelumnya, masing-masing sebesar 24,8
persen dan 15,2 persen. Sedangkan, sektor pertambangan menurunRp 1.205 miliar (I,7 persen)
seuangkan tahun sebelumnya naik 41,4 persen. Sementara itu kredit untuk sektor jasa-jasa
menurun Rp 2.544 miliar (1,9 persen), sektor perdagangan menurun Rp 12.156 miliar (11,3
persen), sedangkan sektor lain -lain menurun Rp 3.632 miliar (9,3 persen). Perkembangan
kredit perbankan menurut sektor ekonomi dapat dilihat dalarn Tabel 111.22 dan Grafik 111.7.

3.8.3.3 Kredit Investasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 253


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Sampai akhir Oktober 1998, kredit investasi yang disalurkan mencapai Rp 131.914
miliar, yang berarti menurun Rp 857 miliar (0,7 persen) hila dibandingkan dengan posisi kredit
bulan Maret 1998 Rp 132.771 miliar. Sektor perindustrian adalah sektor yang paling besar
menyerap kredit investasi, yaitu Rp 49.260 miliar (37,3 persen), sedangkan sektor jasa-jasa dan
sektor perdagangan masing-masing menyerap Rp41.124 miliar (31,2 persen) dan Rp 23.154
miliar (17,6 persen). Sementara itu, sektor pertanian dan pertarnbangan masing - masing
menyerap Rp 16.611 miliar (12,6 persen) dan Rp 1.765 miliar (1,3 persen). Apabila
dibandingkan dengan posisi Maret 1998, kenaikan kredit investasi terjadi pada sektor
perindustrian sebesar Rp 693 miliar (1,4 persen), sektor jasa-jasa Rp 667 miliar (1,6 persen),
dan sektor pertanian Rp 169 miliar (1,0 persen). Sedangkan alokasi kredit investasi untuk sektor
perdagangan dan sektor pertarnbangan menurun masing-masing Rp 2.225 miliar (8,8 persen)
dan Rp 161 miliar (8,4 persen). Perkembangan kredit investasi dapat dilihat dalam Tabel
111.23.
3.8.3.4 Kredit Untuk Golongan Ekonomi Lemah

Kebijaksanaan pokok yang ditempuh dalam pembiayaan usaha kecil tetap bertumpu
pada kebijaksanaan yang dilaksanakan tahun sebelumnya, yaitu tetap mewajibkan semua bank
umum termasuk bank asing dan carnpuran untuk memberikan sebagian kreditnya dalam bentuk
kredit usaha kecil (KUK) dan pemberian bantuan kredit program yang danukung kredit
likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Selanjutnya dalarn rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan
untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penyaluran kredit kepada usaha kecil, kebijaksanaan
yang terkait dengan usaha kecil senantiasa terus disempurnakan, antara lain dengan
mengembangkan jenis/skim kredit kecil baru yang tepat dan mudah diakses oleh para pengusaha
kecil, memperbesar plafon KUK yang digunakan untuk investasi dan modal kerja, dan
meredifinisi kriteria usaha kecil sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995.

Hingga akhir September 1998, kredit dalarn bentuk KUK telah mencapai Rp 45.467
miliar. Dilihat menurut besaran plafon kredit, nasabah dengan plafon kredit sampai dengan Rp
25 juta merupakan penyerap terbesar dari keseluruhan KUK yaitu 62,2 persen dengan nilai Rp
28.285

Departemen Keuangan Republik Indonesia 254


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.22
KREDIT PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI 1), 1989/1990 - 1998/1999

( dalam miliar rupiah)

1989/1990 1990/1991 1991/1992 19921993 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
Sektor
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Bank-bank pemerintah 2) 42.589 54.699 61.751 69.066 73.443 81.333 95.619 110.900 202.569 208.434

Pertanian 4017 6.450 7.744 8.559 9.989 11.026 11.657 15.445 14.965
Pertambangan 451 580 568 498 214 534 612 1.257 3.062 2.070
Perindustrian 16.198 21.544 22.420 27.615 28.452 30.059 32.846 34.807 68.699 80.999
Perdagangan 11.759 14.086 15.319 15.759 15.798 16.385 19.900 22.934 49.571 41.951
Jasa-jasa 5.287 7.110 8.402 11.249 10.987 14.489 19.181 25.251 46.952 50.614
Lain-lain 3.576 4.929 7.298 5.386 8.003 8.840 11.423 14.270 18.840 17.835
Bank-bank swasta nasional3) 24.498 38.153 44.928 45.406 68.350 94.891 121.602 166.442 199.257 196.134
Pertanian 639 1.074 1.022 1.389 2.106 2.890 3.793 6.050 14.213 19.577
Pertambangan 31 52 67 101 194 234 362 1.028 2.481 2.378
Perindustrian 4.385 6.706 8.473 10.325 15.696 20.954 24.930 30.212 42.349 44.876
Perdagangan 10.388 14.098 14.795 14.871 20.281 25.754 32.715 45.553 46.585 42.591
Jasa-jasa 5.254 8.673 12.336 13.874 24.087 34.612 45.916 66.150 75.403 70.921
Lain-lain 3.801 7.550 8.235 4.846 5.986 10.447 13.886 17.449 18.226 15.791
Cabang-cabang bank asing
dan campuran 3.786 6.837 9.060 9.695 15.377 19.925 25.202 28.783 75.015 66.800
Pertania 25 105 133 179 341 375 379 414 2.207 1.568
Pertambangan 37 13 95 125 247 186 250 453 1.421 1.311
Perindustrian 1.866 3.063 4.518 5.533 9.335 11.954 15.247 16.215 46.934 41.926
Perdagangan 667 1.406 1.793 1.904 2.484 3.225 3.617 4.975 11.451 10.909
Jasa-jasa 661 1.331 1.009 751 2.117 3.227 4.357 5.102 11.027 9.303
Lain-lain 530 919 1.512 1.203 853 908 1.352 1.624 1.975 1.783
Jumlah kredit perbankan 4) 70.873 99.689 115.739 124.167 157.170 196.149 242.423 306.125 476.841 471.368
Pertanian 5.982 7.629 8.899 10.127 12.436 14.291 15.829 18.845 31.865 36.110
Pertambangan 519 645 730 724 655 954 1.224 2.738 6.964 5.759
Perindustrian 22.449 31.313 35.411 43.473 53.483 62.967 73.023 81.234 157.982 167.801
Perdagangan 22.814 29.590 31.907 32.534 38.563 45.364 56.232 73.462 107.607 95.451
Jasa-jasa 11.202 17.114 21.747 25.874 37.191 52.378 69.454 96.503 133.382 130.838
Lain-lain 7.907 13.398 17.045 11.435 14.842 20.195 26.661 33.343 39.041 35.409

I) Sejak April 1993 termasuk Bank umum eks-LKBB


2) Tidak termasuk Bank Indonesia
3) Termasuk Bank Pembangunan Daerah
4) Kredit dalam rupiah dan valuta asing, termasuk kredit investasi, KIK, dan KMKP

Departemen Keuangan Republik Indonesia 255


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 256


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.23
KREDIT INVESTASI PERBANKAN MENURUT SEKTOR EKONOMI
1),1989/1990 - 1998/1999
( dalam miliar rupiah)
1989/19 199011 1991/1 1992/1 1993/1 1994/1 1995/1 1996/19 1997/1 1998/1
90 991 992 993 994 995 996 97 998 999
Sektor --
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Okt.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
187.03 183.78
Yang disetujui perbankan 19.454 27.899 36.243 44.174 61.714 73.155 85.725 100.933
2 3
Pertanian 5.398 7.057 11.206 11.508 13.595 14.193 14.768 16.171 21.027 21.264
.
Perindustrian 8.372 10.987 13.260 17.695 23.231 27.472 29.033 29.544 60.412 60.434
Pertambangan 443 484 515 507 524 597 666 988 3.615 3.154
Perdagangan 1.301 2.151 3.234 4.990 9.397 7.375 9.697 13.949 27.543 24.650
Jasa-jasa 3.734 6.017 6.795 8.117 14.967 23.518 31.561 40.281 74.543 74.281
Lain-lain 206 1.203 1.233 1.357 0 0 0 0 0 0
132.77 131.91
Posisl pinjaman 15.673 22.288 27.390 36.683 42.952 50.761 62.012 74.543
1 4
Pertanian 3.629 4.726 5.864 ll69 8.893 10.21p 1O.8W1.04 '6.442'16.611.'
.Perindustr/an 6.639 9.208 11.784 16.489 18.097 20.447 3.949 25.485 48.567 49,260
fertambangan 321 391 443' 436 189 215 271 540 1.926 1.765
Perdagangan 1.1l7 2.193 2.911 4.185 6.951 6.535 8.798 12.787 25.379 23.154
Jasa-jasa 3.767 5.267 5.412 7.216 8.822 13.379 18.125 23.691 40.457 41.124
Lain-lain 200 503 1.188 0 0 0 0 0 0
.976
,

1) Sejak Apri11993 termasuk Bank Urn urn eks _KBB. daft tidak termasuk Bank Indonesia

Departemen Keuangan Republik Indonesia 257


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

miliar. Nasabah dengan plafon di atas Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta menyerap Rp 4.804
miliar (10,6 persen), plafon di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta menyerap Rp 3.540
miliar (7,8 persen). Sedangkan nasabah dengan plafon di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp
350 juta menyerap Rp 7.884 miliar (17,3 persen), di atas Rp 350 juta sampai dengan Rp 700 juta
menyerap Rp 931 miliar (2,0 persen), di atas Rp 700 juta sampai dengan Rp 1 rniliar menyerap
Rp 3 miliar dengan 4 rekening, dan di atas Rp 1 miliar sampai dengan Rp 2 rniliar menyerap Rp
20 miliar dengan 12 rekening. Berdasarkan alokasi menurut sektor ekonomi, sekitar 45,2 persen
dari jumlah KUK telah dimanfaatkan oleh sektor lain-lain dengan nilai Rp 20.530rniliar,
sedangkan sektor perdagangan, restoran dan hotel mencapai Rp 10.928 miliar (24,0 persen),
sektor jasa-jasa termasuk listrik, gas dan air, konstruksi, pengangkutan dan jasa mencapai Rp 5.
728 miliar (12,6 persen), sektor pertanian Rp 6.386 rniliar (14,0 persen), dan sektor
perindustrian Rp 1.848 rniliar (4,1 persen), serta sektor pertambangan Rp 47 miliar (0,1
persen). Penyaluran KUK menurut kelompok bank, terdiri dari 58,5 persen KUK disalurkan
oleh bank-bank Persero, 29,4 persen disalurkan oleh bank swasta nasional devisa, 7,8 persen
disalurkan oleh bank pembangunan daerah, dan 4,0 persen disalurkan oleh bank swasta nasional
non devisa, serta 0,3 persen disalurkan oleh bank asing campuran. Sementara itu bila dilihat
menurut daerah penyebarannya, KUK yang diberikan pada nasabah di daerah perkotaan, yang
meliputi kodya dan kotif, termasuk ibukota negara, mencapai Rp 20.804 miliar (45,8 persen)
dengan jumlah rekening sebanyak 3.060.486 buah (37,1 persen). Sedangkan KUK yang
diberikan kepada nasabah yang tinggal di daerah pedesaan yang meliputi kabupaten-kabupaten,
mencapai Rp 24.663 miliar (54,2 persen) dengan jumlah rekening 5.179.737 (62,9 persen).
Secara umum, KUK yang disalurkan oleh bank umum terdiri Dari KUK program dan
non program. KUK program yang mendapat dukungan Kredit hikuiditas Bank Indonesia (KLBI)
dengan share pembiayaan 100 persen, antara lain Kredit Usaha Tani (KUT) , Kredit kepada
Koperasi Unit Desa (KKUD )/Kredit Kepada Koperasi (KKop), dan Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya (KKPA). KUT yang disalurkan dengan suku bunga 10,5 persen per
tahun dan dengan jangka waktu 1 tahun, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja
petani yang belum mampu membiayai usaha taninya, agar dapat meningkatkan produksi dan
pendapatannya. Sampai akhir bulan September 1998 realisasi KUT telah mencapai Rp 429,2
miliar atau naik Rp 29,0 miliar (7,2 persen) apabila dibandingkan dengan realisasi bulan Maret

Departemen Keuangan Republik Indonesia 258


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1998 yang mencapai Rp 400,2 miliar.


KKop bertujuan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan investasi bagi koperasi
primer dalam rangka pembiayaan usaha agrobisnis, terutama untuk pengadaan dan distribusi
pangan, serta pembiayaan pasca panen, dengan maksimum ktedit Rp 350 juta per komoditas
koperasi dengan suku bunga 16 persen per tahun. Posisi KKUD/KKop pada akhir September
1998 telah mencapai Rp 109,1 rniliar, akan mengalarni penurunan Ep 19,7 rniliar (15,3 persen)
apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret 1998 sebesar Rp 128,8 miliar. Sedangkan
untuk memenuhi modal kerja dan investasi bagi usaha anggota koperasi primer yang produktif
(termasuk tebu rakyat intensifikasi), telah disalurkan KKPA dengan suku bunga 14 persen per
tahun dan plafon kredit maksimum Rp 50 juta. Sampai akhir September 1998 posisi KKPA
meneapai Rp 1.717,6 miliar, sehingga bila dibandingkan dengan posisi Maret 1998 Rp 1.725,2
miliar, kredit ini mengalami penurunan Rp 7,6 miliar (0,4 persen). Sedangkan untuk kredit
kepada koperasi lainnya turun dari Rp 23,4 miliar per Maret 1998 menjadi Rp 20,9 miliar pada
akhir September 1998. Secara keseluruhan kredit kepada koperasi sampai akhir September 1998
posisinya telah meneapai Rp 2.276,8 miliar. Apabila dibandingkan dengan posisi bulan Maret
1998 Rp 2.277,6 miliar, maka telah terjadi penurunan Rp 0,8 miliar. Sementara itu Kredit
Investasi Kecil Pasca Konversi PIRTrans, mengalami kenaikan Rp 145,9 miliar (19,2 persen),
yakni Dari Rp 761,8 miliar pada Maret 1998 menjadi Rp 907,7 miliar pada September 1998.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengadaan rumah dan pemukiman yang
layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah, Bank Indonesia tetap memberikan kredit
likuiditas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Bank Tabungan Negara dengan fasilitas kredit
pemilikan rumah BTN (KPR-BTN). Sebagai KUK program, jumlah plafon KPR disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat di masing - masing wilayah, dengan tingkat
bunga dan penetapan maksimum kredit untuk masing-masing jenis dan tipe rumah relatif
berbeda. Untuk KPR Paket A-I, yaitu terdiri dari kredit perumahan kapling siap bangun (KP-
KSB/Lahan Griya) dan kredit perumahan rumah sangat sederhana (KP-RSS) suku bunganya 8,5
persen per tahun, dan paket A-2/Griya Inti yang terdiri rumah sederhana tipe 18 (RS-T.18)
sampai dengan RS-T.21 dengan suku bunga 11 persen per tahun dan RS- T.27 sampai dengan
RS- T.36, suku bunganya 14 persen per tahun. Sedangkan suku bunga KPR Paket B/Griya
Madya (T.27 sampai dengan T.70) dan Paket C, suku bunganya pertahun 25 persen. Sampai
dengan bulan September 1998 nilai KPR yang disalurkan oleh BTN secara kumulatif telah

Departemen Keuangan Republik Indonesia 259


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mencapai Rp 10.805,4 miliar dengan rumah yang dibangun mencapai 1.570.146 unit. Dari nilai
kredit Rp 10.805,4 miliar tersebut, sebesar Rp 1.357,5 miliar digunakan untuk membiayai
pemilikan 324.499 unit rumah yang dibangun oleh Perum Perumnas, yang terdiri dari 320.705
unit rumah paket A dan paket B dengan nilai kredit Rp 1.267,6 miliar, dan 3.794 unit rumah
paket C dan rumah toko (Ruko) sederhana dengan nilai lqedit sebesar Rp 89,9 miliar.
Sedangkan KPR sebesar Rp 9.447,9 miliar lainnya digunakan untuk membiayai pemilikan
1.245.647 unit rumah yang dibangun oleh pembangun swasta (non perumnas) termasuk
kerjasama dengan bank lain, yang terdiri dari 1.170.121 unit rumah paket A dan B dengan nilai
kredit Rp 7.696,3 miliar, dan 68.473 unit rumah paket C dengan nilai kredit Rp 1.718,0 miliar,
dan 4.683 unit rumah toko (ruko) sederhana dengan nilai kredit Rp 23,2 miliar. Sementara itu,
jumlah rumah yang dibiayai melalui kerjasama BTN dengan bank lain mencapai 2.370 unit
dengan nilai kredit Rp 10,4 miliar. Sampai akhir September 1998, posisi KPR yang disalurkan
oleh BTN mencapai Rp 6.516,9 miliar, atau naik Rp 235,8 (3,8 persen) dibandingkan dengan
posisinya pada Maret 1998 sebesar Rp 6.281,1 miliar. Sedangkan posisi KPR yang mencakup
pembiayaan pemilikan rumah sampai dengan tipe 70, yang disalurkan oleh bank-bank umum
lainnya pada akhir September 1998 mencapai Rp 3.838,7 miliar, atau turun Rp 1.316,2 miliar
(25,5 persen) dibandingkan dengan posisi Maret 1998. Dengan demikian posisi KPR secara
keseluruhan mengalarni penurunan Rp 1.080,4 miliar (9,4 persen), yakni Dari Rp 11.436,0
miliar pada bulan Maret 1998 menjadi Rp 10.355,6 miliar pada bulan September 1998.
Untuk mengembangkan usaha-usaha kecil di pedesaan, baik untuk membiayai
keperluan investasi maupun modal kerja, program kredit umum pedesaan (Kupedes) yang
dikelola oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih terus berjalan. Sebagai KUK non program,
suku bunga Kupedes yang digunakan baik untuk investasi maupun modal kerja masing-masing
2,2 persen per bulan, dengan jangka waktu kredit maksimum untuk investasi 36 bulan dan untuk
eksploitasil modal kerja maksimum 24 bulan. Sampai akhir September 1998 posisi Kupedes
telah mencapai Rp 4.607,5 miliar dengan jumlah nasabah 2.552.350 orang, masing-masing
dipergunakan untuk kegiatan investasi Rp 1.457,2 miliar (31,6 persen) dan kegiatan eksploitasi
Rp 3.150,3 miliar (68,4 persen). Dilihat menurut sektor ekonomi, dari Kupedes sebesar Rp
4.607,5 miliar, sebagian besar telah dimanfaatkan untuk sektor perdagangan, yaitu Rp 2.067,0
miliar (44,9 persen), sektor yang mempunyai penghasilan tetap sebesar Rp 1.345,3 miliar (29,2
persen), sektor pertanian sebesar Rp 889,0 miliar (19,3 persen), sektor industri Rp 94,7 miliar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 260


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(2,0 persen dan sektor lain-lain sebesar Rp 211,5 miliar (4,5 persen). Apabila dibandingkan
dengan posisi Kupedes bulan Maret 1998 sebesar Rp 4.624,2 miliar, maka selama April-
September 1998 telah terjadi penurunan kredit Rp 16,7 miliar (0,4 persen). Secara kumulatif
sampai dengan akhir bulan September 1998 nilai Kupedes telah mencapai Rp 29.435,3 miliar
dengan nasabah 20.385,0 ribu orang. Selain Kupedes, juga terdapat KUK non program yang
disalurkan oleh bank-bank umum, yang posisinya per September 1998 mencapai Rp 27.319,4
miliar, atau turun Rp 19.471 miliar (41,6 persen) dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun
1997/1998 sebesar Rp 46.790,4 miliar. Perkembangan kredit usaha kecil secara keseluruhan
dapat dilihat pada Tabel 111.24.

Sementara itu, untuk meningkatkan usaha koperasi, Perum Pengembangan Keuangan


Koperasi (Perum PKK) mempunyai peranan memberikan jaminan kepada koperasi untuk kredit
yang diberikan oleh bank dan atau jaminan atas kredit barang oleh badan lain. Selain itu, dalam
upaya memenuhi sebagian pembiayaan pengembangan usaha koperasi, perum PKK juga
memberikan pinjaman kepada koperasi, serta memberikan bantuan manajemen dan konsultasi.
Kegiatan usaha koperasi yang telah dilayani oleh perum PKK meliputi antara lain sektor
pertanian (KUT padi palawija, pupuk, alat-alatpertanian), perikanan (tambak, darat,cold storage,
perkapalan), peternakan (sapi perah, sapi potong, unggas), perkebunan (kemenyan, panili, tebu,
coklat, KUT - TRI), kerajinan/ industri (bahan bangunan, tas/kulit, air bersih), serta jasa,
konsumsi distribusi (angkutan daratl laut, simpan pinjam, dan lain-lain). Sampai dengan bulan
November 1998, realisasi kredit yang diberikan kepada koperasi berjumlah Rp 330 miliar dan
jumlah jaminan kredit yang diberikan oleh rerum PKK mencapai Rp 258 miliar.

3.9 Lembaga Keuangan di Luar Perbankan


3.9.1 Asuransi
Upaya pemerintah untuk menumbuhkembangkan industri jasa asuransi senantiasa
diupayakan untuk dapat menghadapi globalisasi ekonomi dunia dan sebagai antisiposi terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk maksud tersebut, Pemerintah telah
memberlakukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian disertai
berbagai peraturan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 261


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.24
PERKEMBANGAN KREDIT USAHA KECIL (KUK) , 1989/1990 - 1998/1999

( dalam miliar rupiah )

K U K Program K U K Non-Program
Periode Kredit Kepada Koperasi Jumlah
KUT Kkopl) KKPA Lainnya KPR2) KIK Posa Sub. Non. KUPEDES Sub.
II{UPEDE
Konversl Jumlah Jumlah
S
PIR.Traru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
1989/1990
292,4 66,4 105,1 26,3 2.296,0 - 2.786,2 9.894,0 1.381,8 11.275,8 14.062,0
Desember
1990/1991
164,8 78,1 262,8 31,9 2.349,0 . 2.886,6 16.880,2 1.430,2 18.310,4 21.197,0
Desember
1991/1992
161,0 lll,2 290,9 44,3 2.521,0 - 3.128,4 18.197,1 1.536,5 19.733,6 22.862,0
Desember
1992/1993 Maret 166,8 112,5 310,9 156,9 2.564,0 - 3.311,1 17.525,6 1.726,3 19.251,9 22.563,0
1993/1994 Maret 158,5 97,5 351,9 156,7 4.175,2 - 3.557,6 21.348,3 2.075,9 23.424,2 28.364,0
1994/1995 Maret 161,5 98,8 457,7 126,9 6.029,1 155,4 7.029,4 25.727,8 2.582,8 28.3.0,6 35.340,0
1995/1996 Maret 279,9 130,7 567,3 82,9 7.848,3 316,3 9.225,4 29.543,5 3.374,1 32.917,6 42.143,0
1996/1997 Juni 280,1 144,0 637,9 82,9 8.237,1 351,8 9.733,8 30.887,0 3.619,2 34.506,2 44.240,0
September 245,8 110.0 873,5 133,7 8.371,2 381,7 10.115,9 32.443,8 4.346,3 36.790,1 46.906,0
Desember 312,4 98,7 1.052,1 133,1 9.431,1 450,0 11.477,4 33.836,4 3.977,2 37.813,6 49.291,0
Maret 346,3 142,9 1.184,3 45,9 9.846,3 501,0 12.066,7 33.505,9 4.140,4 37.646,3 49.713,0
1997/1998 Juni 348,7 156,3 1.399,2 44,4 10.693,0 580,6 13.222,2 46.634,8 4.312,0 61.639,8 64.169,0
September 327,6 120,7 1.763,7 44,0 11.237,0 655,9 14.149,3 48.603,2 4.447,5 64.287,7 67.200,0
Desember 322,2 123,5 1.753,9 44,4 11.464,0 698,5 14.406,5 48.161,4 4.695,1 52.856,5 67.263,0
Maret 400,2 128,8 1.725,2 23,4 11.436,0 761.8 14.475,4 46.790,4 4.624,2 51.414,6 65.890,0
1998/1999 April 395,2 115,9 1.778,1 23,4 10.582,7 775,9 13.671,2 31.039,8 4.558,0 35.597,8 49.269,0
Mei 391,4 143,3 1.766,8 23,4 10.851,6 804,8 13.981,3 31.587,1 4.556,6 36.143,7 50.125,0
Juni 398,9 139,0 1.666,0 23,4 10.539,2 833,2 13.599,7 28.025,1 4.606,2 32.631,3 46.231.0
Juli 290,3 116,8 1.658,7 20,9 10.357,3 835,1 13.279,1 27.910,9 4.550,0 32.460,9 45.740,0
Agustus 332,0 110,8 1.728,4 20,9 10.365,3 908.4 13.465,8 27.758,2 4.601,0 32.359,2 45.825,5
September 429,2 109,1 1.717,6 20,9 10.355,6 907,7 13.540,1 27.319,4 4.607,5 31.926,9 45.467,0

1) Sejak Juni 1998 Skim Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD) berubah menjadi Kredit Kepada Koperasi (KKop) 2) Sejak Maret 1994 termasuk
KPR yang disalurkan bank-bank umum (pembiayaan KPR sampai dengan type 70)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 262


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pelaksanaannya sebagai landasan hukum bagi perusahaan yang melakukan aktivitas di bidang
usaha jasa asuransi. Reformasi kebijaksanaan khususnya di bidang usaha asuransi tersebut
diharapkan dapat menjawab berbagai kemajuan pesat yang terjadi baik di dalam maupun di luar
negeri dan diharapkan pula dapat mendorong industri asuransi nasional untuk berkembang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir telah memacu tumbuhnya
berbagai sektor riil yang selanjutnya berdampak terhadap perkembangan industri jasa asuransi
yang tumbuh rata-rata sekitar 20 persen per tahun. Namun, kondisi ini telah berubah sejak
perekonomian nasional mengalami penurunan pada semester kedua tahun 1997. Kondisi
tersebut beprngaruh besar terhadap pelaksanaan proyek-proyek pemerintah maupun swasta yang
terpaksa dibatalkan ataupun yang dijadwal ulang sehingga permintaan terhadap penutupan jasa
asuransi khususnya asuransi kerugian yang terkait dengan proyek-proyek tersebut mengalami
penurunan, dengan akibat sasaran produksi premi perusahaan asuransi yang ditargetkan untuk
tahun 1997 tidak tercapai.
Dalam situasi perekonomian yang sulit dewasa ini, diperlukan inovasi dan kreativitas
manajemen dalam menjawab kondisi aktual dengan menawarkan berbagai jenis produk asuransi
untuk menarik minat masyarakat terhadap jasa asuransi. Dalam hal ini, perusahaan asuransi,
dalam setiap pembayaran santunan (claims)tentunya akan berpegang pada polis yang dipegang
nasabah. Kasus kerusuhan bulan Mei 1998 memberikan pelajaran bagi manajemen asuransi,
khususnya perusahaan asuransi kerugian untuk mempertimbangkan sikap pro-konsumen dalam
melayani pembayaran santunan.
Di samping itu, sebagai syarat utama agar industri asuransi nasional dapat bersaing
dengan masuknya perusahaan asuransi asing, faktor sumberdaya manusia (SDM) sangat
menentukan sehingga langkah-langkah seperti antara lain peningkatan kualitas SDM terutama
tenaga-tenaga pialang asuransi dan reasuransi, jasa penilai kerugian, konsultan aktuaria,
penggunaan teknologi jaringan informasi yang handal untuk meningkatkan pelayanan kepada
pemegang polis, peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional, serta peningkatan kegiatan
pemasaran inaustri asuransi, perlu segera diantisipasi oleh industri asuransi nasional.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kinerja industri asuransi dalam tahun
1997 adalah krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Sampai dengan bulan
Juli 1998, jumlah perusahaan asuransi yang beroperasi telah berkembang menjadi 179

Departemen Keuangan Republik Indonesia 263


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perusahaan, yang terdiri dari 107 perusahaan asuransi kerugian, 62 perusahaan asuransi ji wa, 5
perusahaan reasuransi, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsostek, serta 3
penyelen::ara program asuransi untuk pegawai negeri sipil (PNS) dan ABRI. Dalam tahun 1998
jumlah perusahaan asuransi hanya bertambah 1 perusahaan, yaitu perusahaan asuransi kerugian
swasta nasional. Bertambahnya perusahaan ini merupakan suatu indikasi bahwa peluang
perkembangan pasar asuransi nasional masih terbuka.
Dalam tahun 1997, pendapatan premi bruto industri asuransi mengalami peningkatan
22,5 persen, Dari Rp 8.591,9 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 10.526,7 miliar. Kontribusi
premi bruto asuransi terhadap lapangan usaha bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam
produk domestik bruto (PDB) juga mengalami peningkatan Dari 37,77 persen dalam tahun 1996
menjadi 42,09 persen dalam tahun 1997. Sedangkan kontribusi premi bruto asuransi terhadap
PDB nasional juga mengalami peningkatan Dari 1,61 persen dalam tahun 1996, menjadi 1,69
persen dalam tahun 1997. Rincian besarnya premi bruto yang berhasil dihimpun oleh
perusahaan asuransi adalah asuransi jiwa Rp 3.626,3 miliar (34,45 persen), asuransi kerugian
dan reasuransi Rp 4.190,5 miliar (39,81 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp
1.751,1 miliar (16,63 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 958,8 miliar (9,
11 persen). Dengan demikian kontribusi terbesar dalam pengumpulan premi bruto berasal dari
usaha asuransi kerugian dan reasuransi, yaitu mencapai 39,81 persen dari total premi bruto.
Berdasarkan data rasio pendapatan premi bruto terhadap PDB di atas dapatlah
disimpulkan bahwa potensi industri asuransi nasional masih mempunyai prospek yang cukup
besar untuk ditumbuhkembangkan. Potensi ini sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan dan
pendidikan masyarakat, sehingga kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi jiwa
dapat lebih ditingkatkan. Potensi inijuga tercermin dalam meningkatnya jumlah pemegang polis
asuransi jiwa yang dalam tahun 1996 sebanyak 20,8 juta jiwa naik menjadi 22,2 juta jiwa dalam
tahun 1997 atau naik 6,24 persen. Namun, jumlah ini masih relatif kecil apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 199,8 juta jiwa atau jumlah
pemegang polis baru mencapai 11,10 persen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, jumlah kekayaan (total asset) perusahaan asuransi dalam tahun 1997 telah
meningkat menjadi Rp 32.009,2 miliar, atau naik 43,77 persen dari jumlah kekayaan dalam
tahun 1996 yang Rp 22.263,6 miliar. Komposisi kekayaan dalam tahun 1997 tersebut adalah
asuransi jiwa Rp 12.345,1 miliar (38,57 persen), asuransi kerugian dan reasuransi Rp 8.186,7

Departemen Keuangan Republik Indonesia 264


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

miliar (25,58 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp 6.454,4 miliar (20,16 persen),
dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 5.023,0 miliar (15,69 persen).
Selanjutnya, perkembangan jumlah pembayaran santunan (claims) yang diberikan oleh
perusahaan asuransi kepada nasabahnya menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 1996, jumlah
santunan yang dibayarkan Rp 3.170,9 miliar, dan jumlah ini meningkat menjadi Rp 4.918,0
miliar dalam tahun 1997, atau meningkat 55,09 persen. Dari jumlah tersebut, pembayaran
santunan yang diberikan oleh asuransi jiwa Rp 1.856,3 miliar (37,74 persen), asuransi kerugian
dan reasuransi Rp 1.789,9 miliar (36,39 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp
487,0 miliar (9,90 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 784,8 miliar (15,96
persen).

Sebagaimana dengan jumlah kekayaan, jumlah investasi industri asuransi Indonesia


dalam tahun 1997 juga meningkat 30,37 persen dari tahun sebelumnya, menjadi Rp 23.517,2
miliar (atau 73,47 persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki). Dari jumlah nilai investasi
tersebut, asuransij iwa menginvestasikan Rp 7.939,1 miliar (33,76 persen), asuransi kerugian
dan reasuransi Rp 5.119,5 miliar (21,77 persen), program asuransi sosial dan jamsostek Rp
6.059,2 miliar (25,76 persen), dan program asuransi untuk PNS dan ABRI Rp 4.389,4 miliar
(18,66 persen).
Dari jurnlah nilai investasi tersebut, sebagian besar ditempatkan dalam bentuk deposito
berjangka dan sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai alternatif investasi utama yang masing-
masing Rp 14.626,7 miliar (62,19 persen) dan Rp 1.663,7 miliar (7,07 persen). Selanjutnya, Rp
3.838,8 miliar (16,32 persen) diinvestasikan dalam bentuk promes, obligasi, saham, tanah dan
bangunan, hipotik, dan pinjaman polis, seuangkan Rp 3.388,1 miliar(14,14 persen)
diinvestasikan ke dalam penyertaan modal dan sektor lain-lain.
Sampai dengan tahun 1997, perkembangan neraca pembayaran jasa asuransi Indonesia
menunjukkan posisi defisit yang semakin menurun yaitu Rp 407,2 miliar atau naik 12,20 persen
hila dibandingkan denganjumlah defisit tahun 1996 yang Rp 463,8 miliar. Peningkatan defisit
ini terjadi terutama pada bidang asuransi kerugian karena kecilnya kapasitas daya tampung
dalam menutup fisiko atas obyek pertanggungan di dalam negeri. Sedang untuk menutup
pertanggungan obyek asuransi yang besar ataupun yang padat teknologi sangat ditentukan oleh
faktor struktur permodalan perusahaan asuransi. Selain itu, faktor dukungan kepercayaan yang
diberikan masyarakat kepada perusahaan reasuransi di Indonesia masih kurang dan dominasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 265


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

jasa asuransi angkutan barang melalui laut masih dikuasai perusahaan asuransi asing.
Perkembangan kegiatan industri asuransi dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 111.25 dan Grafik
111.8.

3.9.2 Lembaga Pembiayaan


Krisis moneter yang melanda Asia sejak pertengahan tahun 1997 telah berpengaruh
luas terhadap perekonomian Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, perusahaan pembiayaan
seharusnya dapat berperan lebih besar bagi usaha menengah dan kecil, mengingat sektor
tersebut merupakan sektor yang paling fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan keadaan,
karena tingkat ketergantungan mereka baik pada bahan baku impor maupun utang luar negeri
tidak terlalu besar. Namun demikian, menurunnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika dan
tingginya tingkat bunga telah menyebabkan semakin tingginya cost of fund dari perusahaan-
perusahaan pembiayaan. Hal ini sangat terkait dengan sumber dana perusahaan pembiayaan
yang terutama berasal dari perbankan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga
melonjaknya nilai illata uang dolar Amerika dan tingginya suku bunga perbankan akan
menyebabkan semakin tingginya biaya dana yang harus ditanggung perusahaan pembiayaan.
Selain dari perbankan, sumber dana perusahaan pembiayaan juga berasal dari pasar
modal. Namun demikian, dana yang bersumber dari pasar modal ini belum banyak
dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan karena disamping kondisi perusahaan pembiayaan
itu sendiri yang pada umumnya belum memungkinkan untuk dapat menggaIi sumber dana
tersebut, kondisi pasar modal Indonesia pada saat ini juga seuang mengalami goncangan
sebagai akibat krisis moneter. Disamping masalah sumber dana, perusahaan pembiayaan juga
menghadapi masalah internal yaitu semakin tingginya potensi kredit bermasalah, karena
apresiasi dolar Amerika Serikat yang sangat tajam juga berpengarnh terhadap menurunnya
kinerja sektor riil.

Sebagai akibat adanya beberapa perusahaan yang melakukan merger dan juga adanya
pengembalian ijin usaha oleh beberapa perusahaan pembiayaan maka dalam dua tahun terakhir
jumlah perusahaan pembiayaan mengalami penurunan yaitu dari 252 perusahaan dalam tahun
1996 menjadi 248 perusahaan dalam tahun 1997.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 266


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel 111.25
PERKEMBANGAN KEKA Y AAN, PREMI BRUTO, SANTUNAN, DAN DANA INVESTASI
INDUSTRI ASURANSI INDONESIA, 1990 - 1997

( dalam miliar rupiah)

1990 1991 1992 1993 1) 1994 1995 1996 1997

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


Kekayaan
Asuransi jiwa 1.212,9 1.628,8 1.911,5 2.349,2 4.018,0 4.893,5 7.315,8 12.345,1
Asuransi sosial 2.891,5 3.639,8 4.297,0 5.600,9 6.505,7 7.633,1 9.291,3 11.477,4
Asuransi kerugian dan reasuransi 2.137,6 2.603,3 2.808,8 3.317,1 3.891,7 4.743,2 5.656,5 8.186,7
Jumlah 6.242,0 7.871,9 9.017,3 11.267,2 14.415,4 17.269,8 22.263,6 32.009,2
Premi Bruto
Asuransi jiwa 455,4 562,1 770,1 1.062,0 1.625,1 2.078,7 2.855,2 3.626,3
Asuransi sosial 458,1 588,8 756,4 1.324,9 1.539,0 1.905,2 2.119,3 2.709,9
Asuransi kerugian dan reasuransi 1.341,2 1.666,3 1.954,8 2.032,5 2.687,1 3.332,0 3.617,4 4.190,5
Jumlah 2.254,7 2.817,2 3.481,3 4.419,4 5.851,2 7.315,9 8.591,9 10.526,7
Santunan
Asuransi jiwa 277,7 523,0 564,0 892,8 369,5 546,4 642,0 1.856,3
Asuransi sosial 214,4 285,8 360,1 616,4 708,6 893,7 1.109,0 1.271,8
Asuransi kerugian dan reasuransl 524,1 721,0 706,6 978,1 972,7 1.014,9 1.419,9 1.789,9
Jumlah 1.016,2 1.529,8 1.630,7 2.487,3 2.018,7 2.455,0 3.170,9 4.918,0
Dana Investasi
Asuransi jiwa 914,1 1.291,2 1.529,2 1.819,5 2.614,9 3.368,7 5.743,1 7.939,1
Asuransi sosial 2.680,8 3.274,1 3.869,8 5.007,6 5.669,4 7.048,9 8.560,0 10.448,6
Asuransi kerugian dan reasuransi 1.402,0 1.705,0 1.746,2 1.989,7 2.412,3 3.023,9 3.735,7 5.119,5
Jumlah 4.996,9 6.270,3 7.145,2 8.816,9 10.696,6 13.441,5 18.038,8 23.517,2

1) Sesuai UU Nomor 2 Th. 1992, perusahaan asuransi yang melaksanakan program Asuransi Sosial terdiri
Dari PT (Persero) ASKES, TASPEN, ASABRI, JAMSOSTEK, dan AKJasa Raharja

Departemen Keuangan Republik Indonesia 267


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 268


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Namun demikian nilai kegiatan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Dibandingkan tahun 1996 nilai kegiatan perusahaan
pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan 56,3 persen dari Rp 38.028 miliar
dalam tahun 1996 menjadi Rp 59.434 miliar dalam tahun 1997. Dari jumlah tersebut, nilai
pembiayaan anjak piutang memberikan pangsa yang terbesar yaitu 44.42 persen (Rp 26.400
miliar), sementara nilai kontrak pembiayaan konsumen memberikan pangsa 30,77 persen (Rp
18.287 miliar). Nilai kontrak sewa guna usaha yang sebelum tahun 1995 memberikan pangsa
terbesar, sejak tahun 1995 mengalami pergeseran dan dalam tahun 1997 jenis usaha ini
memberikan pangsa 23,9 persen (Rp 14.210 miliar). Semen tara itu nilai pembiayaan kartu
kredit, walaupun dilihat dari pangsanya masih relatif kecil (0,9 persen) namun dilihat dari
nilainya menunjukkan lonjakan yang sangat tajam hingga 656,3 persen dari Rp 71 miliar dalam
tahun 1996 menjadi Rp 537 miliar dalam tahun 1997.
Keadaan keuangan perusahaan pembiayaan dari tahun ke tahun juga menunjukkan
adanya peningkatan, baik dalam hat asset maupun dalam pengalokasian dana perusahaan. Asset
perusahaan pembiayaan dalam tahun 1997 menunjukkan peningkatan yang cukup tajam dari Rp
33.591 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 50.520 miliar dalam tahun 1997 atau mengalami
peningkatan 50,4 persen. Sementara itu dari segi alokasi penanaman dana juga menunjukkan
adanya peningkatan 43,06 persen dari Rp 26.586 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 38.034
miliar dalam tahun 1997. Namun demikian dari segi equity perusahaan pembiayaan dalam tahun
1997 menunjukkan penuronan 7,7 persen dari Rp 8.436 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp
7.788 miliar dalam tahun 1997.
Sementara itu perusahaan modal ventura, yang sejak tahun 1993 menjadi bagian terpisah
dari perusahaan pembiayaan, yang berarti bahwa segala sesuatu yang menyangkut perizinan,
pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan teknis usaha modal ventura harus dilakukan oleh
badan usaha tersendiri dan tidak melakukan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, dalam
tahun 1997 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, baik dilihat dari jumlah
perusahaan, jumlah peresahaan pasangan usaha (PPU) maupun nilai penyertaannya. Pemisahan
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain karena karakteristik usaha modal ventura
sangat berbeda dengan jenis usaha lembaga pembiayaan lainnya, kegiatan usaha modal ventura
yang melakukan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dinilai sebagai salah satu
altematif pembiayaan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan permodalan dunia usaha termasuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 269


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Hal tersebut karena: (1) penyertaan modal dapat
memperbaiki struktur keuangan perusahaan yang dibiayai; (2) penyertaan modal dapat disertai
dengan bantuan manajemen; (3) orientasi pembiayaan penyertaan modal lebih tertuju pada
keberhasilan pihak yang dibiayai dan kelayakan usahanya; (4) kelanjutan dan keterbukaan para
pihak, baik pihak perusahaan pembiayaan maupun perusahaan yang dibiayai, sangat
dipentingkan dalam kegiatan usaha modal ventura sehingga diharapkan dapat mendorong
tereiptanya etika bisnis yang sehat di kalangan dunia usaha.
Dalam tahun 1997, jumlah perusahaan modal ventura bertambah 17 perusahaan Dari 42
perusahaan dalam tahun 1996 menjadi 59 perusahaan atau mengalami peningkatan 40 persen.
Jumlah tersebut terdiri dari 6 (enam) perusahaan swasta nasional, 6 (enam) perusahaan
patungan, dan 5 (lima) perusahaan modal ventura daerah (PMVD). Secara kumulatif, sampai
dengan Juli 1998 jumlah perusahaan modal ventura telah bertambah menjadi 61 perusahaan
dengan jumlah PPU 1.324 perusahaan dan nilai penyertaan Rp 543.339 juta.
Upaya yang dilakukan Pemerintah sejak tahun 1994 untuk mengembangkan kegiatan
usaha kecil dan menengah termasuk koperasi yang tersebar di daerah-daerah melalui kegiatan
modal ventura telah menunjukkan hasil yang cukup berarti. Hal ini tercermin Dari peningkatan
jumlah PMVD yang tersebar di daerah. Sampai dengan akhir tahun 1997 jumlah PMVD telah
bertambah menjadi 25 perusahaan dengan jumlah perusahaan pasangan usaha 496 perusahaan
dengan nilai penyertaan Rp 51.352 juta. Jumlah PPU tersebut mengalami peningkatan 13,76
persen dibanding tahun 1996 yang mencapai 436 perusahaan. Peningkatan ini jauh lebih rendah
dibanding dengan peningkatan dalam tahun sebelumnya yakni 319 persen. Namun demikian
dilihat dari nilai penyertaan menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan, yaitu
mencapai 180 persen. Hal tersebut disebabkan oleh adanya upaya Pemerintah tintuk mendorong
pengembangan usaha PMVD melalui pemberian pinjaman dari luar negeri yang disalurkan
melalui PT Bahana dan penyediaan pelatihan untuk venture capital account officer. Selain itu
Pemerintah memberikan kelonggaran bagi PMVD untuk melakukan bagi hasil dengan PPU-nya.
Sampai dengan bulan Juli 1998 telah berdiri 27 PMVD yang terdiri Dari 26 PMVD di daerah
tingkat I dan 1 PMVD di daerah tingkat II dengan demikian, selain di DKI Jakarta, di semua
daerah tingkat I lainnya telah didirikan PMVD. Data mengenai perkembangan kegiatan lembaga
pembiayaan, selanjutnya dapat dilihat
pada Tabel 111.26 dan Tabel 111.27 .

Departemen Keuangan Republik Indonesia 270


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

3.9.3 Dana Pensiun


Undang-undang Nomor 11 tentang Dana Pensiun memberikan jaminan perlindungan
bagi karyawan berupa perlindungan akan adanya kesinambungan penerimaan penghasilan bagi
diri dan keluarganya pada saat tidak aktif bekerja karena cacat, lanjut usia, reorganisasi dan
meninggal dunia. Dengan demikian program pensiun dapat menciptakan ketenangan kerja bagi
karyawan yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan loyalitas kepada
perusahaan.
Bila dilihat dari mobilisasi dana, dana yang terkumpul dari peserta dana pensiun yang
berlangsung kurang lebih selama 30 tahun selanjutnya dipergunakan dalam bentuk pembayaran
manfaat pensiun kepada para peserta. Dana pensiun merupakan dana yang bersifat jangka
panjang, sehingga dana tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan investasi jangka panjang
(pembangunan). Mengingat kebutuhan perekonomian akan dana pembangunan yang cukup
besar maka untuk percepatan pemupukan dana pensiun, Pemerintah telah melakukan berbagai
upaya pengembangan dana pensiun.
Undang-undang Dana Pensiun menganut prinsip pemisahan kekayaan Dana pensiun
dengan kekayaan pendirinya. Pemisahan kekayaan ini dimaksudkan untuk menjamin dana
karyawan peserta dana pensiun. Dengan demikian bilamana terjadi kepailitan atau tuntutan dari
pihak ketiga terhadap kekayaan pendiri dana pensiun, tidak akan mempengaruhi kekayaan dana
pensiun.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 271


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

I Tabel Ill. 26
PERKEMBANGAN KEGIA TAN PERUSAHAAN PEMBIA Y AAN, 1990 - 1997
( dalam miliar rupiah)
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
25
Jumiah Pervghllan OJ 121 132 144 164 206 252 248
4
.
Kegiatan Usaha 5.810 5.827 6.276 9.397 16.674 26.884 38.028 59.434
- Nilai kontrak sewa guna usaha 4.746 3.945 3.748 4.563 5.953 8.498 11.530 14.210
- Nilai pembiayaan anjak piutang 55 307 785 2.239 5.297 11.977 18.187 26.400
- Nilai kontrak pembiayaan
1.009 1.571 1.530 2.210 4.475 5.555 8.240 18.287
konsumen
85
- Nilai pembiayaan kartu kredit - 4 213 385 949 71 537
4
Keadaan Keuangan
- Total aset 6.590 8.192 9.998 11.758 19.067 30.171 33.591 50.520
- Total equity 937 1.196 1.560 1.883 3.347 5.170 8.191 7.788
- Investasi bersih 5.315 6.742 7.757 9.173 14.787 21.987 26.586 38.034
Posisi PinJaman 2.770 S.340 6.100 7.848 12.612 19.617 23.510 38.108
- Dalam negeri 1.293 1.937 2.799 4.204 7.172 11.003 12.870 16.993

- Luar negeri 1.477 3.403 3.301 3.644 5.440 8.614 10 . 640 21.115

Keterangan : *) satuan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 272


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

.
Tabel III.27
PERKEMBANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA, 1994 - 1998

( dalam juta rupiah)

1994 1995 1996 1997 19981)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)


.
Jumlah Perusahaan 19 32 42 59 61
- Swasta Nasional 7 10 12 18 18
- Patungan 6 6 10 16 16

- Perusahaan Daerah 6 16 20 25 27

Jumlah Perusahaan Posangan Usaha 47 151 516 537 60

- Swasta Nasional 25 40 78 33 -
- Patungan 12 7 2 8 -

- Pemsahaan Daerah 10 104 436 496 60

Jumlah Nilai Penyertaan 64.770 148.756 42.275 232.587 12.679

,.... Swasta Nasional 42.750 129.941 22.208 129.304 2.110


- Patungan 21.366 14.239 1.743 51.931 -

- Perusahaan Daerah 654 45,.6 18.324 51.352 10.569

1) Posisi sampai dengan Juli 1998

Departemen Keuangan Republik Indonesia 273


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam rangka mendorong investasi dana pensiun agar mencapai hasil yang optimal,
Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 78/KMK.017/1995
tentang Investasi Dana Pensiun yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
93/ KMK.017/1997 tanggal28 Pebruari 1997. Dengan perubahan tersebut, selain melakukan
investasi yang sudah berlaku selama ini, dana pensiun juga diperkenankan melakukan investasi
dalam bentuk Reksa Dana.
Dalam tahun 1991 terdapat 187 yayasan dana pensiun (DP). Dengan adanya UU tentang
Dana Pensiun, yang mewajibkan DP untuk menyesuaikan bentuk hukumnya menjadi Dana
Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), maka sampai
dengan bulan Agustus 1998 jumlah Yayasan DP tinggal 19 buah, sedangkan jumlah DPPK
meningkat menjadi 303 buah dan DPLK berjumlah 24 buah.
Dari 137 dana pensiun yang menyampaikan laporan teknis tahun 1997 diketahui babwa
jumlab peserta dana pensiun pemberi kerja (127 dana pensiun) pada akhir tahun 1997 adalah
706.602 orang yang berasal dari 30 dana pensiun BUMN dengan peserta 488.188 orang dan 97
dana pensiun non-BUMN dengan jumlah peserta 218.414 orang. Sedangkan jumlah peserta
Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah 74.713 orang yang semuanya berasal dari 10 dana
pensiun lembaga keuangan non-BUMN.
Meningkatnya jumlah Dana Pensiun yang mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan
menyebabkan terjadinya peningkatan iuran dana pensiun dan peningkatan jumlah aktiva bersih.
Penerimaan iuran dana pensiun secara keseluruhan mengalami peningkatan dari Rp 1,47 triliun
dalam tahun 1996 menjadi Rp 1,63 triliun dalam tahun 1997 yang berarti mengalami
peningkatan 10,88 persen.
Aktiva bersih dana pensiun yang merupakan kekayaan dana pensiun pada akhir tahun
1996 bemilai Rp 14,23 triliun, meningkat 13,84 persen menjadi Rp 16,20 triliun pada akhir
1997. Aktiva bersih Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam tahun 1997 mencapai Rp 15,81 triliun.
Dari jumlab aktiva bersih, Dana Pensiun.yang danirikan oleh BUMN memberikan sumbangan
paling besar yaitu Rp 2,99 triliun. Sementara itu aktiva bersih Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada akhir tahun 1997 mencapai Rp 388,39 miliar. Dari jumlab tersebut, terdapat dua Dana
Pensiun Lembaga Keuangan yang didirikan oleh BUMN dengan aktiva bersih Rp 61,65 miliar.
Peningkatan aktiva bersih dana pensiun juga diikuti dengan adanya kenaikan investasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 274


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dana 26,09 persen yaitu dari Rp. 12,26 triliun pada akhir tahun 1996 menjadi Rp 15,45 triliun
pada akhir tahun 1997. Kenaikan tersebut menunjukkan bahwa sumbangan dana pensiun
sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional semakin meningkat.
Sesuai dengan ketentuan tentang investasi, jenis investasi dana pensiun yang
diperkenankan adalah dalam bentuk deposito, sertifikat deposito, saham, obligasi, surat berharga
lain, surat berharga pasar Uang (SBPU), surat pengakuan hutang, penempatan langsung, Reksa
Dana, serta tanah dan bangunan. Dalam tahun 1997 porsi pertama terbesar investasi dana
pensiun adalah pada deposito yaitu 54,92 persen dari total investasi dana pensiun yang ada.
Pembayaran manfaat pensiun pada tahun 1997 mengalami peningkatan 9,7 persen dari
Rp 805,93 miliar dalam tahun 1996 menjadi Rp 884,38 dalam tahun 1997. Peningkatan tersebut
dikarenakan jumlah pensiunan dalam tahun 1996 mengalami peningkatan. Sementara itu PT
Tabungan Asuransi Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pembayar pensiun bagi PNS
mempunyai 2 program pokok yaitu Tabungan Hari Tua (THT) dan program pensiun. luran
peserta setiap bulan berasal dari potongan gaji pokok dan tunjangan yang bersifat tetap, diluar
tunjangan pangan. Besarnya iuran program THT 3,25 persen dan program pensiun 4,75 persen.
Sampai dengan akhir tahun 1997 aktiva bersih program THT mencapai Rp 4.045 miliar dan
investasinya Rp 3.759 miliar. Adapun untuk program pensiun, aktiva bersihnya Rp 7.560 miliar,
diinvestasikan Rp 7.417 miliar dan iuran yang terkumpul Rp 4.336 miliar.

3.9.4 Pegadaian

Peranan pegadaian dalam menjembatani kebutuhan dana masyarakat luas, khususnya


masyarakat menengah kebawah melalui pemberian kredit jangka pendek berdasarkan hukum
gadai terus dikembangkan. Pecan Pegadaian terasa semakin penting disaat kondisi ekonomi
sulit seperti sekarang ini, mengingat banyaknya masyarakat golongan bawah yang memerlukan
dana jangka pendek baik untuk kelangsungan usahanya maupun untuk kelangsungan hidupnya.

Krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997 telahturut mewarnai
kegiatan pegadaian. Penyaluran uang pinjaman yang diberikan dalam tahun 1996 mencapai Rp
1,72 triliun dengan jumlah nasabah 5.030.276 orang dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi
Rp 2,09 triliun atau naik 21,5 persen dengan jumlah nasabah 5.305.095 orang. Selanjutnya, dari
target penyaluran uang pinjaman dalam tahun 1998 yang sebesar Rp 2,6 triliun telah terealisir
sebesar Rp 3,1 triliun (116,5 persen) dari target. Sementara itu, laba bersih juga menunjukkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 275


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perkembangan yang terus membaik. Tahun 1997 Pegadaian berhasil menyisihkan laba bersih Rp
34.816 juta atau naik 2,5 persen dari tahun 1996 yang berjumlah Rp 33.964 juta.

Mengingat sulitnya mendapatkan dana dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan
tingginya bunga bank pinjaman dari pihak .lain, maka altematif dana untuk pengembangan
pegadaian adalah melalui penerbitan obligasi. Dalam tahun 1997 Pegadaian telah mencatatkan
Emisi Obligasi IV senilai Rp 100 miliar, dan menerbitkan Obligasi V Perum Pegadaian tahun
1998 senilai Rp 150 miliar ditawarkan dalam bentuk obligasi seri A dan seri B. Dari tahun 1993
sampai dengan tahun 1998 ini Pegadaian telah menerbitkan obligasi sebesar Rp 339,6 miliar.

Perkembangan usaha jasa lainnya berupa jasa taksiran dan jasa titipan yang
diperkenalkan sejak tahun 1994 telah menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat,
terutama atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun 1997 yaitu masing-masing Rp 14,3 juta
untukjasa taksiran dan Rp 34,0 juta untuk jasa titipan. Namun demikian dibandingkan dengan
pendapatan utama, pendapatan jasa-jasa tersebut masih relatif kecil, disebabkan karena
masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan barang dan kurangnya kepedulian terhadap
kualitas atau keaslian barang (emas dan baru mulia) yang dirniliki.
Pengembangan usaha penyaluran perak yang telah dilaksanakan untuk pengrajin perak
di daerah Gianyar dan Denpasar, akan diperluas di beberapa kota lainnya seperti Kotagede di
Yogyakarta dan di Surakarta. Begitu pula terhadap pengembangan usaha atas pengelolaan tanah
perusahaan yang telah dirintis melalui kerjasama dengan pihak ketiga dengan sistem bangun,
kelola dan alih bagi pembangunan dan persewaan gedung kantor dan pertokoan.
Dalam rangka perluasan usaha, Perum Pegadaian berupaya meningkatkan mutu
pelayanan melalui penambahan sejumlah kantor cabang hingga mencapai 622 unit dalam tahun
1997 yang dilengkapi dengan sistem pelayanan komputerisasi. Jumlah kantor cabang tersebut
direncanakan akan diperluas sampai kawasan timur Indonesia dan kota-kota propinsi lainnya di
Indonesia yang dianggap sebagai daerah potensial bagi pengembangan usahanya.
Pengembangan usaha lainnya yang dianggap cukup potensial dan memiliki 'basic' bisnis
sehubungan dengan jumlah kantor cabang tersebut adalah memperbanyak pembukaan toko emas
Galeri 24 dari 28 outlet dalam tahun 1997 menjadi 48 outlet pada akhir tahun 1998.

3.10 Pasar Modal


Krisis yang menimpa perekonomian nasional dewasa ini juga berdampak negatif pada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 276


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kinerja pasar modal. Hal tersebut terlihat pada menurunnya beberapa indikator pokok kegiatan
pasar modal, seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kegiatan transaksi
perdagangan. Di Bursa Efek Jakarta (BEJ), IHSG pernah mencapai 256,8 pada tanggal 21
September 1998 atau menurun 65,33 persen dibandingkan posisi 740,8 pada tanggal8 Juli 1997.
IHSG pada tanggal 21 September tersebut merupakan titik terendah selama tujuh tahun terakhir
ini. Sementara itu, nilai rata-rata transaksi perdagangan juga mengalarni penurunan dari Rp
489,4 miliar dalam tahun 1997 menjadi Rp 406,9 miliar. Indikator tersebut menggambarkan
pengaruh krisis moneter dan ekonomi terhadap pasar modal yang masih dirasakan hingga tahun
ini.
Kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil menyebabkan investor enggan
berinvestasi di pasar modal. Investor asing yang menanamkan dananya di pasar modal merasa
kurang aman dengan situasi sosial politik yang kurang kondusif, sementara investor lokal lebih
tertarik pada instrumen deposito, karena menawarkan tingkat suku bunga yang cukup menarik
dan fisiko yang relatif rendah. Banyak perusahaan emiten yang menghadapi masalah finansial
yang menyebabkan terganggunya kelancaran kegiatan usahanya. Namun hat tersebut tidak
menyurutkan langkah para pelaku pasar modal untuk tetap maju dan konsisten dalam upaya
pengembangan kegiatan pasar modal.
Berbagai peraturan pasar modal telah dikeluarkan oleh Bapepam selama tahun 1998.
Sebanyak 21 peraturan pasar modal telah dikeluarkan yang bertujuan menunjang kegiatan pasar
modal. Salah satu peraturan yang cukup penting adalah diberikannya kesempatan bagi
perusahaan emiten untuk menambahkan modalnya tanpa hams right issue. Dengan demikian
dalam masa krisis ini perusahaan emiten dapat memperbesar modalnya tanpa harus menerbitkan
right issue kepada para pemodal lama terlebih dahulu. Selain itu, bagi perusahaan yang ingin
menambahkan modalnya melalui right issue, proses right issue dimaksud lebih disederhanakan
dan dipercepat jangka waktunya dari 107 hari menjadi hanya 42 hari.
Dalam rangka memperkuat struktur permodalan perusahaan sekuritas, Bapepam
mewajibkan usaha tersebut agar memiliki modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) minimal Rp
5 miliar. Pemenuhan modal tersebut dapat dilakukan baik dengan suntikan penambahan modal
baru, merger, maupun akuisisi dengan perusahaan sekuritas lainnya. Namun mengingat kondisi
perekonomian yang tidak memungkinkan dewasa ini, Bapepam telah menunda pelaksanaan
peraturan tersebut hingga akhir tahun 1999.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 277


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Kegiatan pasar modal dalam tahun 1998 secara keseluruhan kurang menggembirakan
seiring dengan perkembangan situasi sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang kurang
menguntungkan. Salah satu peristiwa dalam tahun 1998 yang sangat mempengarnhi kegiatan
pasar modal adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal13-l4 Mei 1998. Peristiwa
tersebut menyebabkan penurunan kegiatan perdagangan saham baik volume, nitro, frekuensi
maupun IHSG yang cukup tajam. Volume perdagangan saham yang dipindahtangankan di BEJ
selama bulan Mei 1998 hanya mencapai 4,82 miliar saham atau turun 44,79 persen dibanding
volume perdagangan bulan April 1998. Nilai perdagangan saham menurun 50,39 persen
menjadi Rp 5,1 triliun dibandingkan nilai perdagangan pada bulan sebelumnya yang mencapai
Rp 10,28 triliun. IHSG di BEJ yang sempat menguat dan mencapai 554,10 pada tanggal 2
Februari 1998, pada akhir bulan Mei 1998 menurun cukup tajam menjadi 413,82, atau turun
25,32 persen.
Namun demikian, di tengah-tengah situasi perekonomian yang sedang dilanda krisis
yang berkepanjangan, dalam tahun 1998 pasar modal juga mencatat perkembangan yang cukup
menggembirakan. Dalam bulan Februari 1998 terjadi transaksi yang cukup besar, yakni
mencapai 13,78 miliar saham senilai Rp 14.682,3 miliar atau nilai rata-rata transaksi
perdagangan harian selama bulan tersebut mencapai Rp 734,1 miliar, yang merupakan nilai rata-
rata transaksi perdagangan harian tertinggi yang pernah dicapai selama ini.
Secara keseluruhan, selama tahun 1998 hanya terdapat tambahan satu perusahaan yang
menawarkan sahamnya di pasar modal, yaitu PT Astra Outopart, salah satu anak perusahaan PT
Astra Internasional, yang telah menawarkan 75 juta saham dari 750 juta saham yang dimilikinya
di pasar modal dengan harga perdana Rp 575 per lembar pada awal Juni 1998. Dana hasil
peleposan saham di pasar modal sebanyak Rp 43,12 miliar dipergunakan untuk memperkuat
struktur permodalannya dan membayar hutang jangka pendek perusahaan. Perusahaan tersebut
juga telah mencatatkan seluruh sahamnya (company listing) di Bursa Efek Jakarta.
Sementara itu, sejak bulan Juli 1997 tidak terdapat tambahan perusahaan yang
menawarkan obligasinya di pasar modal, namun terdapat satu perusahaan yang melakukan
penerbitan obligasi tambahan sehingga secara kumulatif menambah nilai emisi obligasi di pasar
modal. Perum Pegadaian, salah satu BUMN di biuang lembaga keuangan, telah menerbitkan 2
(dua) seri obligasi berjangka waktu 5 tahun dengan tingkat bunga tetap dan mengambang senilai
Rp 150 rniliar pada akhir bulan Juni 1998. Tingkat suku bunga tetap yang ditawarkan adalah 49

Departemen Keuangan Republik Indonesia 278


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

persen per tahun, sedangkan tingkat suku bunga mengambang dihitung berdasarkan JIBOR
(Jakarta Inter-Bank Offered Rate) berjangka waktu tiga bulan yang dihitung secara rata-rata
selama lima hari kerja ditambah premi tetap 3 persen.
Dalam tahun 1998, telah terdapat 377 perusahaan yang go publik yang terdiri atas 307
perusahaan yang menawarkan sahamnya dan 70 perusahaan yang menawarkan obligasi,
seuangkan perusahaan yang melakukan right issue 130 perusahaan, dimana 16 perusahaan
diantaranya merupakan perusahaan yang mela!rukan right issue dalam tahun 1998. Nilai
kumulatif emisi saham mencapai Rp 79,3 triliun sementara nilai kumulatif emisi obligasi
mencapai Rp 18,89 triliun atau meningkat masing-masing 11,85 persen dan 0,80 persen
dibanding posisi akhir tahun lalu. Bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun anggaran
1997/1998, maka nilai kumulatif emisi saham dan obligasi sampai dengan periode tersebut telah
meningkat masing-masing 10,75 persen dan 0,80 persen.
Nilai transaksi perdagangan di BEJ selama tahun 1998 mencapai Rp 99,7 triliun dari
sejumlah 90,6 miliar saham yang dipindahtangankan, dengan rata-rata nilai transaksi
perdagangan barian mencapai Rp 406,9 miliar. Dibandingkan dengan nilai transaksi
perdagangan dalam tahun 1997 yang mencapai Rp120,4 triliun, maka terjadi penurunan 17,19
persen. Nilai rata-rata transaksi perdagangan harian mengalami penurunan 16,86 persen
dibanding tahun 1997 yang mencapai Rp489,4 miliar. Dilihat dari nilai transaksi perdagangan
tahun anggaran 1997/1998, maka nilai saham yang ditransaksikan dalam tahun anggaran
1998/1999 (sampai dengan 30 Desember) yang mencapai Rp59,3 triliun berarti mengalami
penurunan 35,68 persen.
Selanjutnya, IHSG di BEJ pada akhir tahun 1998 mengalami penurunan 0,91 persen
menjadi 398,04, dibanding akhir tahun 1997 yang berada pada level 401,71. Dilihat dari tahun
anggaran 1997/1998, maka IHSG pada akhir tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 26,48
persen. Di sisi lain, walaupun nilai kapitalisasi pasar pada akhir tahun 1998 meningkat 9,88
persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Dari Rp 159,9 triliun menjadi Rp 175,7 triliun,
namun dibandingkan dengan akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai kapitalisasi pasar akhir
tahun 1998 tersebut mengalami penurunan 21,32 persen. Terjadinya krisis moneter yang
berkepanjangan dan menjadi krisis ekonomi dewasa ini juga menyebabkan pangsa investor
asing dari seluruh nilai total perdagangan di pasar modal mengalami penurunan secara berarti.
Jib pada akhir tahun 1997 pangsa investor asing di lantai bursa Jakarta masih mencapai 52,18

Departemen Keuangan Republik Indonesia 279


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

persen, maka dalam tahun 1998 (sampai dengan 17 Desember) pangsa tersebut menurun
menjadi 41,67 persen.

Kegiatan pasar modal yang mengalami penurunan juga terjadi pada usaha reksa dana.
Usaha reksa dana yang mulai digalakkan pada tahun 1996 cenderung mengalami penurunan,
meskipun jumlah usaha reksa dana mengalami peningkatan menjadi 81 perusahaan (November
1998) dibandingkan 77 perusahaan pada akhir tahun 1997. Jumlah unit penyertaan pada akhir
November 1998 mencapai 3.707,8 juta unit, menurun dibandingkan akhir tahun lalu yang
mencapai 6.007,4 juta unit. Nilai aktiva bersih yang pada akhir tahun 1997 mencapai Rp
4.916,6 miliar, pada akhir November 1998 menurun menjadi Rp 2.902,8 miliar atau menurun
40,96 persen. Dibandingkan dengan nilai reksa dana pada akhir tahun anggaran 1997/1998, nilai
usaha reksa dana pada bulan November tersebut mengalami penurunan 28,07 persen. Nilai
aktiva bersih terbesar usaha reksa dana yang pernah dicapai selama ini adalah Rp 8.338,9 miliar
yang terjadi pada bulan Juli 1997.
Krisis _konomi juga mempengaruhi kinerja Bursa Efek Surabaya (BES). Bila
dibandingkan IHSG akhir tahun anggaran 1997/1998 yang mencapai 483,09, maka pada akhir
tahun 1998 IHSG menurun 27,24 persen menjadi 351,51. Sementara itu, jika pada akhir tahun
1997 IHSG berada pada tingkat 351,95, maka pada tahun 1998 IHSG tersebut berarti
mengalami penurunan 0,12 persen. Nilai transaksi perdagangan saham tahun 1998 mencapai Rp
3,1 triliun atau terjadi penurunan 71,16 persen dibandingkan dengan nilai transaksi perdagangan
dalam tahun 1997 yang mencapai Rp 10,75 triliun.
Kegiatan pasar modal yang wajar, teratur, dan efisien melalui mekanisme pasar dan
integritas pasar dapat tercapai jika faktor eksternal maupun internal yang mempengarnhi
kegiatan pasar modal mendukungnya. Aktivitas pasar modal yang keberadaannya sangat
diperlukan dalam sistem perekonomian yang modern dalam upaya lebih meningkatkan kinerja
perekonomian yang tercermian dari meningkatnya kegiatan investasi baik domestik maupun
asing, akan dapat dipulihkan sepanjang kondisi perusahaan-perusahaan emiten juga membaik,
dan hal tersebut sangat tergantung pada seberapa cepat pulihnya stabilitas politik dan ekonomi
dalam negeri.
Keberadaan pasar modal dalam membantu perusahaan memenuhi kebutuhan dana bagi
pengembangan usahanya serta dalam upaya melakukan restrukturisasi, terutama perusahaan
yang akan melakukan debt equity swap, akan dapat berperan dengan baik jika kepercayaan pasar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 280


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

terhadap kondisi internal baik politik maupun ekonomi pulih kembali. Suku bunga perbankan
yang wajar maupun inflasi yang terkendali dapat mendorong investor untuk aktif kembali di
pasar modal. Pulihnya kesehatan perusahaan emiten juga dapat memicu maraknya kembali
kegiatan pasar modal. Oleh sebab itu konsolidasi internal perusahaan emiten yang antara lain
melalui restrukturisasi hutang-hutangnya perlu dilakukan secepat mungkin. Selain itu
pemantapan institusi, pengembangan instrumen baru yang menunjang kegiatan pasar modal, dan
penegakkan hukum yang dilaksanakan dengan tegas akan turut menentukan arah kegiatan pasar
modal di masa depan. Perkembangan pasar modal selanjutnya dapat dilihat pada Tabel m.28,
Tabel m.29, dan Tllbel llI.30.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 281


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III.28
BEBERAPA INDIKATOR KEGIATAN DI PASAR MODAL DAN
PERDAGANGAN SAHAM DI BURSA EFEK JAKARTA
1989/1990 - 1998/1999
J umIah Nllai Nllai
Akhir Jumlah kumulatif kumulatif rata-rata
emisi emisi perda'i:dan IHSGI)

peri ode perusahaan (juta saham) (miliar Rp) (.EMar Rp)

(1) (2) (3) - (4) (5) (6)

1989/1990 61 343,2 3.101,5 10,55 609,02

1990/1991 132 970,6 8.056,7 29,10 408,11


1991/1992 145 1.178,5 8.976,1 25,39 278,69
1992/1993 164 1.825,3 11.333,3 40,32 310,75
1993/1994 192 4.023,5 18.909,0 94,03 492,37
1994/1995 233 6.715,9 27.262,1 97,72 428,64
1995/1996 248 12.394,6 36.803,1 167,48 585,70
199611997_Juni -257 17.082,4 42.284,5 261,45 594,25
September 260 19.U3,7 44.703,8 300,42 573,93
Desember 267 25.343,4 49.981,4 547,79 637,43
Maret 271 27,268,7 52.140,4 477,05 662,23
1997/1998 Juni 286 38.591,8 61.825,8 575,62 724,55
September 293 40.418,5 63.917,9 463,65 546,68
Desember 306' 51.459,4 70.879,6 465,58 401,71
Maret 306 52.893,6 71.596,7 661,76 541,42

1998/1999 April 307 54.120,8 72.345,3 540,90 460, 13


Mei 307 57.145,8 72.313,4 268,26 413,82
Juni 307 57.077,4 74.048,3 257,59 445,92
Juli 307 57.077,4 74.048,3 395,88 481,71
Agustus 307 57.077,4 74.048,3 286,65 342,43
September 307 57.077,4 74.048,3 230,62 276,15
Oktober 307 57.312,6 74.328,9 269,75 300,77
November 307 57.460,1 74.450,6 419,40 386,27
Desember2) . 307 74.899,7 79.313,9 209,18 398,04
1) Akhir periode
2) Sampai dengan 30 Desember 1998

Departemen Keuangan Republik Indonesia 282


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel Ill. 29

PERKEMBANGAN JUMLAH EMISI OBLIGASI DAN SEKURITAS KREDIT


PERUSAHAANIBADAN USAHA DI PASAR MODAL,

1989/1990 - 1998/1999

Akhir Jumlah Jumlah Nilai kumulatif


kumulatif emisi perdana
periode perusahaan
(obligasi ) ( miliar Rp)
(1) (2) (3) (4)

1989/1990 22 358.584 1.555,2

1990/1991 23 380.244 2.090,2


1991/1992 25 392.513 2.515,2
1992/1993 36 658.808 4.076,7

1993/1994 43 741.534 6.011,8


1994/1995 46 771.372 7.291,2
1995/1996 50 788.264 8.694,4

1996/1997 Joni 53 797.414 10.594,4


September 53 801.914 10.685,5
Desember 55 805.474 11.535,5
Maret 57 824.831 13.460,5
1997/1998 Joni 68 837.622 18.460,5
September 70 848.077 18.740,5
Desember 70 848.077 18.740,5
Maret 70 848.077 18.740,5
1998/1999 April 70 848.077 18.740,5
Mei 70 848.077 18.740,5
Joni 70 848.507 18.890,5
Joli 70 848.507 18.890,5
Agustos 70 848.507 18.890,5
September 70 848.507 18.890,5
Oktober 70 848.507 18.890,5
November 70 848.507 18.890,5
Desember1) 70 848.507 18.890,5
1) Sampai dengan 30 Desember 1998

Departemen Keuangan Republik Indonesia 283


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel III..30

PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA REKSA DANA


1996/1997 - 1998/1999
Total Jumlah penyertaanl
Akhir Jumlah aktiva bersih saham yang beredar
periode reksadana (mlliar Rp ) (juta unit)
(1) (2) (3) (4)

1996/1997 September 8 801,5 1.068,2

Desember 25 2.782,3 2.942,2


Maret 39 5.016,0 5.002,9
1997/1998 April 41 5.358,2 5.307,5
Mei 46 5.920,7 5.740,6
JuDi 60 7.260,6 6.919,2
Juti 67 8.338,9 7.987,9
Agustus 67 6.196,8 6.921,2
September 67 6.598,8 7.015,9
Oktober 76 6.041,6 6.865,1
November 77 5.394,9 6.381,9
Desember 77 4.916,6 6.007,4
Januari 77 4.432,7 5.872,0
I1eb1!\lari 77 4.138,6 5.499,1
Maret 77 4.035,8) 5;265,9
1998/1999 April 77 3.680,8 5.033,2
Mei 77 3.491,5 4.899,9
JuDi 77 3.162,4 4.491,6
Juti 77 3.041,1 4.024.3
Agustus 81 2.928,5 3.998,3
September 81 2.782,6 3.854,8
Oktober 81 2.856,7 3.844,3
November 81 2.902,8 3.707,8

Departemen Keuangan Republik Indonesia 284


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BAB IV
PERDAGANGAN LUAR NEGERI DAN NERACA PEMBAYARAN

4.1 Pendahuluan : Latar Belakang Perkembangan Ekonomi Global

Laju pertumbuhan ekonomi Asia, terutama negara-negara di kawasan Asia Timur dan
Tenggara seperti Korea, Cina dan beberapa negara ASEAN, sejak beberapa tahun yang lalu
sampai dengan pertengahan tahun 1997 menunjukkan pertumbuhan yang sangat mengesankan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia memberikan andil yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ekonomi dunia. Namun memasuki semester kedua tahun 1997, dimulai dari Korea,
menyusul Thailand, kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya di Asia Tenggara termasuk
Indonesia, menghadapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang
berkepanjangan sampai dengan tahun 1998, meskipun dalam bulan-bulan belakangan ini mulai
dapat dikendalikan.

Krisis ekonomi yang terjadi dibeberapa negara di Asia telah mengakibatkan menurunnya
daya beli masyarakat dan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun
modal asing, jatuh pailitnya berbagai perusahaan dan perbankan, menurunnya impor dengan
tajam, meningkatnya inflasi serta bertambahnya jumlah pengangguran, sehingga menyebabkan
laju pertumbuhan ekonomi Asia mengalami penurunan yang cukup besar. Krisis ekonomi Asia
telah membawa pengaruh memburuknya keuangan Rusia dan perekonomian negara-negara
berkembang lainnya. Sementara itu bagi negara-negara industri di Amerika Utara dan Eropa,
meskipun akibat dari krisis Asia tidak begitu berpengaruh besar namun mulai terasa, khususnya
di sektor industri. Oleh karena itu secara keseluruhan perekonomian dunia dalam tahun 1998
mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 2
persen.

Melemahnya perekonomian global, telah memungkinkan negara -negara industri selama


tahun 1998 dapat menekan laju inflasinya menjadi lebih rendah dari pada tahun-tahun
sebelumnya. Sedangkan negara-negara di luar negara industri, baik negara-negara berkembang
secara keseluruhan maupun negara-negara dalam perekonomian transisi telah dapat menahan
laju inflasinya untuk tidak meningkat jauh dari tahun sebelumnya. Namun tidak demikian
halnya dengan Indonesia, di mana laju inflasi yang dalam beberapa tahun sebelumnya sampai
dengan tahun 1996 dapat ditekan di bawah l0 persen, dan 11,05 persen pada tahun 1997, pada

Departemen Keuangan Republik Indonesia 285


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tahun 1998 mengalami lonjakan yang cukup besar.

Gambaran perekonomian dunia tahun 1998 juga ditandai dengan relatif stabilnya tingkat
suku bunga internasional, baik LIBOR maupun SIBOR, yang tidak jauh berbeda dengan tahun
sebelumnya. Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, dalam upaya untuk menenangkan
pasar uang dan melindungi perekonomian Amerika Serikat terhadap dampak krisis yang mulai
mendunia, dalam bulan-bulan terakhir ini telah menurunkan tingkat suku bunganya beberapa
kali. Sementara itu, di samping volume perdagangan dunia mengalami penurunan dibanding
tahun sebelumnya, perdagangan luar negeri juga diwarnai dengan melemahnya harga-harga
komoditi baik harga minyak maupun komoditi-komoditi bukan minyak.
Surplus transaksi berjalan dunia dalam tahun 1998 secara umum mengalami
penurunan. Hal ini tercermin dari menurunnya surplus transaksi berjalan di kelompok negara-
negara maju dan meningkatnya defisit transaksi berjalan di kelompok negara-negara
berkembang. Sementara itu transaksi berjalan Indonesia mengalami pekembangan yang
berlawanan dari perkembangan transaksi berjalan dunia. Selama ini, sampai dengan tahun 1997
Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan tetapi pada tahun 1998 untuk pertama kalinya
diperkirakan mengalami surplus. Terjadinya surplus transaksi berjalan ini, di satu sisi
disebabkan masih relatif tingginya penerimaan ekspor bukan minyak bumi dan gas, terutama
dari ekspor hasil pertanian sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar Rupiah Indonesia
terhadap US$. Sedang di sisi lainnya, pengeluaran impor bukan minyak bumi dan gas
mengalami penurunan yang cukup berarti sejalan dengan lesunya kegiatan sektor industri di
dalam negeri sebagai akibat dari krisis ekonomi.

Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan keuangan, Indonesia mendapat bantuan
dari beberapa negara maju dan lembaga-Iembaga keuangan internasional, terutama
Darilnternational Monetary Fund (IMF). Dengan adanya bantuan tersebut, tekanan terhadap
transaksi modal pada neraca pembayaran telah dapat dikurangi dan surplus transaksi berjalan
telah dapat dibarengi pula dengan surplus transaksi modal, sehingga dalam tahun 1998
Indonesia diperkirakan masih mengalami surplus neraca pembayaran.

Krisis ekonomi Asia pada dirinya melanda dan melibatkan sejumlah negara-negara
yang juga merupakan anggota forum kerjasama ekonomi Asia Posifik (APEC). Dalam
pertemuan para pemimpin APEC tahun 1998, yang dilangsungkan di Kuala Lumpur, telah
dicapai kesepakatan terhadap upaya mengatasi masalah krisis yang dihadapi anggotanya, serta

Departemen Keuangan Republik Indonesia 286


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

usaha pencegahan penularannya kepada negara-negara lain. Dalam upaya untuk mengatasi krisis
keuangan dari pemulihan ekonomi itu, para pemimpin negara APEC dalam pertemuan tersebut,
secara garis besar telah menyepakati langkah-langkah untuk melaksanakan kebijakan ekonomi
makro yang berorientasi pada pertumbuhan, memberikan dukungan internasional bagi
penciptaan lapangan kerja dan jaring pengaman sosial (social safety net), melakukan perbaikan
sektor usaha dan keuangan serta memperkuat arsitektur keuangan internasional.

Sementara itu, sebelum pertemuan kepala-kepala negara APEC dilangsungkan, dalam


rangka memulihkan pertumbuhan di negara-negara Asia yang mengalami krisis, Amerika
Serikat dan Jepang dengan dibantu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), sepakat
untuk menggalang dana yang akan digunakan untuk melaksanakan program pemulihan dan
pertumbuhan Asia (Asian Growth and Recovery Program). Dana tersebut ditujukan untuk
memacu percepatan restrukturisasi perusahaan dan rekapitalisasi perbankan, meningkatkan
pembiayaan perdagangan (trade financing) agar memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk
menggerakkan produksi dan menciptakan lapangan kerja, mendukung investasi swasta baru
melalui jaminan asuransi serta mengembangkan bantuan teknis dalam usaha melakukan
restrukturisasi perusahaan dan keuangan.

4.2 Perkembangan Ekonomi dan Moneter Internasional dalam Tahun 1998


Kondisi ekonomi dan finansial dunia dalam satu tahun ini, khususnya dalam beberapa
bulan belakangan ini memburuk sebagai dampak dari resesi yang semakin dalam di sejumlah
negara Asia, Jepang, dan Rusia. Imbas negatifnya telah dirasakan di berbagai bursa saham
dunia, munculnya perbedaan tingkat bunga yang menyolok di antara negara Asia yang terkena
krisis, tekanan akut yang dialami oleh sejumlah mata uang, dan makin merosotnya harga-harga
komoditi. Sungguhpun dampak krisis tersebut terhadap negara-negara industri Eropa dan
Amerika Utara sejauh ini relatif kecil, namun mulai dirasakan pengaruhnya terutama terhadap
kegiatan sektor industri.
Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 1998 diperkirakan hanya sebesar 2 persen,
lebih rendah dari angka pertumbuhan yang dicapai tahun sebelumnya sebesar 4,1 persen.
Sejalan dengan hal tersebut, peluang bagi membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia dalam
tahun 1999 juga mengecil, sementara fisiko kemerosotan yang lebih lama, luas dan dalam
semakin meningkat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 287


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Di negara-negara maju secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi dalam tahun 1998


diperkirakan merosot menjadi 2,1 persen dari 3,1 persen yang dicapai dalam tahun sebelumnya.
Sementara itu untuk kelompok negara-negara industri utama (G- 7), kinerja pertumbuhan juga
terlihat menurun dari 2,9 persen dalam tahun 1997 menjadi 2,1 persen dalam tahun 1998 yang
lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Jepang yang diperkirakan mengalami kontraksi
sebesar 2,5 persen dalam tahun 1998. Sekalipun demikian, pertumbuhan ekonomi terus berlanjut
di beberapa negara industri maju dan di sejumlah negara-negara industri yang lebih kecil di
Eropa.
Ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang mengesankan sejak beberapa tahun lalu antara
lain didorong oleh konsolidasi fiskal yang memungkinkan munculnya surplus anggaran belanja,
kebijaksanaan moneter yang berhasil menopang ekspansi namun dapat mempertahankan inflasi
yang rendah, didukung oleh pasar barang serta pasar tenaga kerja yang fleksibel, telah
menghasilkan pertumbuhan kesempatan kerja yang cepat. Namun demikian, dampak dari krisis
finansial Asia sekarang ini juga dirasakan oleh negara tersebut, dan akan mempengaruhi
perilaku kebijaksanaan moneter negara tersebut selama periode mendatang. Krisis finansial Asia
telah menyumbang terhadap penurunan permintaan luar negeri terhadap produk-produk
Amerika Serikat. Untuk tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diproyeksikan
sedikit menurun, yang sebagian disebabkan oleh menurunnya permintaan internasional atas
produk-produk ekspor negara tersebut.
Kanada yang dalam dua tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan yang cukup kuat,
tahun ini diperkirakan mengalami pertumbuhan yang melambat terutama sebagai dampak dari
krisis Asia pula. Otoritas moneter Kanada menaikkan tingkat bunga resmi pada akhir Agustus
yang la1u dalam upaya meredakan tekanan terhadap nilai tukar matauangnya menyusul
depresiasi yang cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Untuk saat ini, belum begitu
jelas apakah tindakan tersebut akan menimbulkan akibat yang merugikan atau tidak terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Di Inggris, peningkatan suku bunga yang dilakukan oleh Bank of England di bulan Juni
tahun lalu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang diperkirakan lebih
rendah dalam tahun ini. Sementara itu, konsolidasi fiskal yang dilakukan bersamaan dengan
kondisi moneter ketat sejak awal tahun 1997 yang lalu telah memperlambat momentum
peningkatan dalam permintaan domestik dari membantu dalam menahan fisiko inflasi.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 288


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Di antara negara-negara industri utama G-7, Jepang merupakan satu-satunya negara


anggota yang pertumbuhan ekonominya dalam tahun 1998 diperkirakan mengalami kontraksi,
yaitu minus 2,5 persen dibanding pertumbuhan 0,8 persen dalam tahun sebelumnya. Aktivitas
ekonomi yang mulai meningkat dalam kwartal ketiga tahun 1997, berbalik diikuti oleh
kemerosotan produksi nasional dalam tiga kwartal berikutnya, dari kemunduran situasi ekonomi
paling signifikan terjadi pada paruh pertama tahun 1998. Faktor-faktor yang menyebabkan
kinerja ekonomi Jepang yang mengecewakan ini, antara lain ialah memburuknya kinerja sektor
finansial khususnya di sektor perbankan, penarikan dalam jumlah besar stimulus fiskal sejak
April 1997, imbas dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara tetangganya serta
melemahnya kepercayaan. Untuk merespon keadaan yang memburuk ini, pemerintah Jepang
dalam bulan April 1998 mengumumkan suatu paket stimulus fiskal yang meliputi pajak dari
pengeluaran pemerintah sebesar 2,5 persen dari PDB, yang terutama dikonsentrasikan untuk
parnh kedua tahun 1998. Paket stimulus fiskallanjutan, termasuk penurunan pajak, diumumkan
kembali pada bulan Agustus 1998. Sementara itu, untuk menenangkan kondisi pasar uang, Bank
of Japan menyediakan likuiditas yang besar, termasuk menurunkan suku bunga pinjaman antar
bank.

Perkembangan di tiga negara maju lainnya yaitu Jerman, Perancis, dan Italia,
meskipun dihadapkan dengan situasi yang kurang menguntungkan dari krisis Asia, Namun
terdapat tanda-tanda yang memberi harapan bahwa pemulihan ekonomi makin meluas dan kuat.
Sementara itu, untuk kasus Jerman dari Perancis terlihat pula tanda-tanda bahwa permintaan
domestik telah menggantikan peran ekspor sebagai mesin pertumbuhan yang utama. Sekalipun
demikian, pemulihan ekonomi di ketiga negara industri maju tetsebut dapat dikatakan relatif
masih dalam tahap awal. Momentum pertumbuhan diperkirakan baru dapat dipertahankan
secara baik dalam tahun 1999.
Di antara negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang di kawasan Timur Tengah dari Eropa diperkirakan melemah, turun rari 4,7 persen
dalam tahun 1997 menjadi 2,3 persen dalam tahun 1998 ini. Penurunan yang tajam dalam harga
minyak telah menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kegiatan ekonomi tidak saja bagi
negara-negara berkembang penghasil minyak di kawasan itu tetapi juga di negara-negara
lainnya karena berkurangnya transfer uang para pekerja di Timur Tengah. Berkurangnya
pengeluaran-pengeluaran fiskal di Iran, Saudi Arahia, dan negara-negara penghasil minyak

Departemen Keuangan Republik Indonesia 289


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

lainnya dalam upaya mengekang lebih jauh kemerosotan anggaran dari neraca pembayaran,
telah menyebabkan menurunnya pertumbuhan di negara-negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi
Turki dalam tahun 1998 ini diproyeksikan melambat, sebagian disebabkan oleh dampak jangka
pendek dari pelaksanaan kebijaksanaan memerangi inflasi yang seuang dilaksanakan.
Di negara-negara berkembang kawasan Amerika Latin, melemahnya harga minyak
berperan terhadap kinerja pertumbuhan yang lebih rendah di Kolombia, Meksiko, dan
khususnya Venezuela yang disebabkan oleh pengurangan produksi minyak dan pengetatan
fiskal. Naiknya tingkat bunga berkenaan dengan adanya tekanan dalam pasar finansial telah
mempengaruhi prospek pertumbuhan di negara tersebut. Di Meksiko, menyusul langkah
penyesuaian fiskal yang dilakukan di bulan Januari dan Maret 1998 yang lalu, pemerintah
Meksiko pada bulan Juli 1998 kembali mengambil kebijaksanaan tambahan yang ditujukan
untuk mengimbangi dampak menurunnya harga minyak terhadap anggaran negara. Sementara
itu, pertumbuhan ekonomi Chili juga diperkirakan menurun, terutama disebabkan oleh
kebijaksanaan uang ketat yang diberlakukan di negara tersebut dan lemahnya permintaan dari
pasar Asia yang merupakan sepertiga dari pangsa ekspor Chili. Demikian pula halnya dengan
Brasil, tekanan-tekanan di pasar finansial yang dialami oleh negara tersebut berkaitan dengan
krisis Asia dan Rusia, dirasakan lebih berat. Pertumbuhan ekonomi Brasil dalam tahun 1998 ini
diperkirakan jauh melambat menjadi 1,5 persen dibanding dengan yang dicapai dalam tahun
1997 sebesar 3,2 persen.
Perkembangan dalam perekonomian negara-negara berkembang kawasan Afrika masih
tetap tidak seimbang. Sebagian negara-negara di Afrika Utara telah memperoleh manfaat dari
meningkatnya produksi pertanian, penurunan dalam harga minyak dan harga-harga komoditi
bukan minyak, dan menguatnya pertumbuhan ekonomi di Eropa. Namun, negara-negara Afrika
lainnya mengalami dampak yang tidak menguntungkan dari melemahnya harga-harga komoditi
bukan minyak tersebut, dan di beberapa negara lainnya gangguan terhadap pertumbuhan
ekonomi berasal dari kerusuhan sosial dan pergolakan militer. Afrika Selatan adalah satu-
satunya negara di kawasan Afrika yang mengalarni pengaruh cukup besar dari krisis Asia.

Kinerja ekonomi di kelompok negara-negara transisi dalam tahun 1998 ini diperkirakan
mengalami perkembangan yang beragam. Ketiga negara Baltik, yaitu Lithuania, Latvia dan
Estonia, bersama dengan Polandia dalam tahun 1998 diperkirakan mencatat pertumbuhan yang
lebih cepat, yang didorong oleh cepatnya pertumbuhan permintaan domestik khususnya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 290


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

investasi sektor swasta. Di Hongaria, kebijaksanaan penyesuaian (adjustment policy) yang


dilakukan sejak 1995 telah berhasil meletakkan dasar bagi pembangunan yang berkelanjutan,
dan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara tersebut sebesar 5,2 persen dalam tahun 1998.
Bulgaria yang sampai tahun 1997 yang lalu masih mengalami kontraksi pertumbuhan dan
ketidakstabilan ekonomi makronya, aktivitas ekonomi telah mulai giat kembali dalam tahun
1998 ini menyusul langkah-langkah baru ke arah stabilisasi dan restrukturisasi. Namun
sebaliknya, Republik Kroasia dan Siowakia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan agak
melambat dan defisit transaksi berjalan di kedua negara tersebut mendekati 10 persen dari PDB.
Begitu pula halnya, sebagai dampak ketertinggalan dalam program-program stabilisasi dan
restrukturisasinya, Rumania dalam tahun 1998 diperkirakan masih mengalarni kontraksi
ekonomi sebagaimana dalam tahun sebelumnya.

Di Rusia, prospek dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut menjadi rusak sebagai
akibat hebatnya tekanan di pasar Uang semenjak hulan Mei 1998 dan mencapai puncaknya
dalam bulan Agustus 1998. Pertumbuhan ekonomi Rusia sangat dipengaruhi oleh anjloknya
permintaan domestik, dan kekacauan di dalam sistem keuangan dan sistem pembayaran.
Produksi nasionalnya mengalami kontraksi sebesar 6 persen dalam tahun 1998. Sementara itu di
Ukraina, adanya dampak penularan (contagion effects) Dari krisis Rusia dan diberlakukannya
kebijaksanaan moneter yang ketat untuk menopang pemberlakuan band nilai tukar yang baru,
membuat pertumbuhan ekonomi Ukraina diperkirakan minus 0,1 persen dalam tahun ini (lihat
Tabel IV.! dan Tabel IV.2).

Menyangkut harga-harga komoditi, kondisi ekonomi di Asia yang memburuk


merupakan faktor utama di belakang penurunan harga-harga komoditi dunia selama paruh
pertama tahun 1998. Persetujuan-persetujuan yang dicapai di antara negara-negara produsen
minyak di bulan April 1998 yang lalu dalam rangka mengurangi produksi, hanya menghasilkan
kenaikan harga minyak yang sementara saja, sementara pasar tetap skeptis terhadap efektivitas
pengurangan produksi tersebut. Setelah harga turun kembaIi di pertengahan Juni, harga minyak
kemba1i agak membaik setelah adanya komitmen baru untuk pengurangan produksi oleh
negara-negara produsen minyak di akhir Juni 1998, namun kembali menurun di bu1an Agustus.
Sementara itu, harga-harga komoditi bukan minyak terus me1emah antara bulan Mei hingga
Agustus dengan rata-rata sekitar 9 persen karena situasi di Asia dan negara-negara berkembang
maju (emerging markets) lainnya yang memburuk. Untuk seluruh tahun 1998, harga- harga

Departemen Keuangan Republik Indonesia 291


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

komoditi bukan minyak diproyeksikan 1ebih rendah sekitar 12 persen dari pada tahun 1997.

Krisis yang cukup mendalam di pasar uang negara-negara emerging markets dan
memburuknya situasi di Jepang pada gilirannya telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar
pula terhadap pasar uang di negara-negara maju. Pasar-pasar uang di Amerika Serlkat dan Eropa
pada awalnya memperoleh keuntungan pada saat hasil obligasi menurun, dan menguatnya dolar
Amerika Serikat serta beberapa matauang utama Eropa. Tekanan kemerosotan alas pasar uang
terutama terbatas di Jepang dan negara-negara pengekspor komoditi utama seperti Kanada dan
Australia, yang dirasakan paling rentan terhadap dampak negatip dari penurunan aktivitas
ekonomi berkepanjangan di Asia. Namun sifat dari pengaruh penularan (contagion effect)
tersebut berubah dalam bulan Agustus dan awal September 1998 ketika dimensi krisis berubah
menjadi lebih mengglobal. Hasil-hasil obligasi pemerintah makin menurun, terutama di
Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, yang tercermin dari semakin
membesarnya perbedaan pengembaIian hasil secara intemasional atas obligasi pemerintah
maupun obligasi perusahaan. Selain dari pada itu, bursa saham di negara-negara industri maju
mengalarni koreksi yang tesar, dan dolar Amerika Serikat melemah terhadap yen dan matauang-
matauang Eropa yang tergabung kedalam mekanisme nilai tukar (Exchange Rate Mechanism,
ERM )

Di pasar devisa, nilai dolar Amerika Serikat mencapai level tertingginya di pertengahan
Juli 1998 yang antara lain didorong oleh pertumbuhan permintaan domestik yang kuat di
Amerika Serikat, perbedaan tingkat bunga dari aset-aset dalam denominasi dolar, dan sebagai
tempat penyimpanan yang aman di tengah-tengah memburuknya sentimen terhadap negara-
negara emerging markets. Namun dolar Amerika Serikat kembali menurun tajam di akhir
Agustus dan awal September 1998 ketika krisis pasar uang menjalar ke Rusia dan Amerika
Latin, yang mendorong terjadinya koreksi terhadap harga-harga saham Amerika Serikat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 292


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV.1

LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA,


1996 - 1998
(dalam persentase)
Kelompok negara 1996 1997 19981)
(1) (2) (3) (4)
A. Donia 4,2 4,1 2,0
B. Negara-negara maju 3,0 3,1 2,0
Tujuh negara industri utama 2,8 2,9 2,1
1. Jepang 3,9 0,8 -2,5
2. Amerika Serikat 3,4 3,9 3,5
3. Jerman 1,3 2,2 2,6
4. Inggris 2,2 3,4 2,3
5. Perancis 1,6 2,3 3,1
6. Italia 0,7 1,5 2,1
7. Kanada 1,2 3,7 3,0
Negara-negara maju lainnya 3,8 4,2 1,4

C. Negara-negara berkembang 6,6 5,8 2,3


1. Afrika 5,8 3,2 3,7
2. As i a 8,2 6,6 1,8
3. Amerika Latin 3,5 5,1 2,8
4. Eropa dan Timur Tengah 4,7 4,7 2,3

D. Negara-negara dalam transisi -1,0 2,0 -0,2


1. Eropa Timur dan Tengah 1,6 2,8 3,4
2. R us i a -5,0 0,9 -6,0
3. Asia Tengah dan Transkaukasus 1,6 2,1 4,1
E. Negara-negara ASEAN
1. Malaysia 8,6 7,8 -6,4
2. Philipina 5,7 5,1 -0,6
3. Singapura 6,9 7,8 0,0
4. Thailand 5,5 --{) , 4 -8,0
5. Brunei Darussalam 2,8 3,5 4,5
6. Indonesia 7,982) 4,653) - 13,06
7. Vietnam 9,3 8,8 4,0
8. Laos 6,8 6,5 _4)
9. Myanmar 7,0 7,0 _4)

I ) Perkiraan 2) Angka sementara


3) Angka sangat sementara 4) Data belum tersedia

Departemen Keuangan Republik Indonesia 293


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV. 2
LAJU INFLASI DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA, 1996- 1998
(dalam persentase)
Kelompok negara 1996 1997 19981)

(I) (2) (3) (4)


A. Negara-negara maju 2,4 2,1 1,7
Tujuh negara industri utama 2,2 2,0 1,4
1. Jepang 0,1 1,7 0,4
2. Amerika Serikat 2,9 2,3 1,6
3. Jennan 1,5 1,8 1,0
4. Inggris 2,9 2,8 2,8
5. Perancis 2,0 1,2 1,1
6. ltalia 3,9 1,7 1,8
7. Kanada 1,6 1,4 1,3
Negara-negara majillainnya 3,3 2,6 3,0
B. Negara-negara berkembang 14,1 9,1 10,3
1. Afrika 26,7 11,0 7,7
2. As i a 7,9 4,7 8,3
3. Amerika Latin 20,8 13,9 10,8
4. Eropa dan Timur Tengah 24,6 22,6 22,6
C. Negara-negara dalam transisi 41,4 27,9 29,5
1. Eropa Timur dan Tengah 32,4 38,2 18,3
2. R us i a 47,8 14,7 48,4
3. Asia Tengah dan Transkaukasus 68,7 31,0 20,6
D. Negara-negara ASEAN 2)
I. Malaysia 3,5 2,7 6,0
2. Philipina 8,4 6,0 10,0
3. SingaPDRB 1,4 2,0 1,8
4. Thailand 5,9 5,6 9,0
5. Brunei Darussalam 2,0 1,7 2,5
6. Indonesia 6,47 11,05 77 ,63 2)
7. Vietnam 5,8 3,2 9,0
8. Laos 13,0 19,3 _3)
9 Myanmar 20,0 10,0 _3)
I) Perkiraan, kecuali untuk Indonesia angka realisasi
2) Januari - Desember 1998 (dihinmg berdasarkan perubahan IHK bulan
Desember 1998 (198,64) terhadap IHK bulan Desember 1997 (llI,83)
3) Data belum tersedia

Departemen Keuangan Republik Indonesia 294


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Depresiasi yen Jepang semakin cepat pada bulan Mei dan awal Juni 1998 ketika
kontraksi ekonomi di negara tersebut dalam kuartal pertama menjadi makin jelas di samping
meningkatnya kerawatiran mengenai prospek penyelesaian awal dalam masalah-masalah
perbankan. Nilai tukar yang lebih rendah dari 145 yen per 1 US$ terjadi pada pertengahan Juni
sebelum menguat lagi sebagai dampak intervensi terkoordinir oleh otoritas moneter Jepang dan
Amerika Serikat serta dan didukung pula oleh pengumuman pemberlakuan inisiatif baru di
sektor perbankan oleh otoritas moneter dalam bulan Juli 1998. Yen kemudian turun lagi ke titik
terendah barunya sebelum kembali menguat pada akhir Agustus dan awal September 1998.
Di Eropa, pergerakan pound sterling terutama dipengaruhi oleh perubahan ekspektasi
menyangkut kebijaksanaan moneter di Inggris sendiri setelah pound menguat untuk sementara
dalam bulan Juni menyusul dinaikkannya suku bunga resmi oleh Bank of England, kemudian
melemah ketika terdapat tanda-tanda bahwa perekonomian Inggris agak melambat, di samping
tingkat upah dan tekanan inflasi yang mulai melemah. Prospektif mata uang negara-negara
Eropa yang akan bergabung kedalam wilayah "Euro", pada umumnya menguat, khususnya
semenjak akhir Agustus yang lalu pada saat dolar Amerika Serikat melemah. Sebagian besar
mata uang di wilayah tersebut tetap mendekati nilai paritas tengah dari mekanisme nilai tukar
(ERM) terkecuali pound Irlandia dan drachma Yunani.
Sejak pertengahan April 1998, otoritas moneter di sebagian besar negara-negara industri
mempertahankan tingkat bunga jangka pendek yang tetap rendah mengingat dampak deflasioner
dari krisis Asia cukup membantu dalam mengekang tekanan inflasioner. Di antara negara-
negara pengekspor komoditi utama, tekanan yang kuat terhadap kurs mata uang negara-negara
tersebut telah mendorong naiknya tingkat bunga seperti yang dialami oleh Norwegia dan
Kanada. Tekanan yang serupa juga mendorong kenaikan tingkat bunga pasar jangka pendek di
Selandia Baru dan Australia, sementara timbulnya kekhawatiran mengenai inflasi telah
mendorong kenaikan tingkat bunga di Inggris. Sebaliknya di Swedia, tingkat bunga resmi
mengalami penurunan. Sementara itu, bank sentral Jepang menurunkan target suku bunga
pinjaman antar bank di awal September di tengah-tengah berkembangnya kekhawatiran
mengenai tekanan deflasi dan masalah-masalah di sektor perbankan.
Adanya krisis Asia telah menimbulkan pergeseran dalam aliran modal internasional,
dengan implikasi penyesuaian terhadap posisi neraca pembayaran di banyak negara, baik di
negara-negara yang tertimpa krisis maupun mitra dagangnya. Dalam tahun 1997, aliran modal

Departemen Keuangan Republik Indonesia 295


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

swasta neto ke negara-negara "emerging markets" diperkirakan menurun menjadi US$ 124
miliar dari level tertinggi yang pernah dicapai sebesar US$ 215 miliar pada tahun 1996, di mana
Asia terhitung mengalami penurunan yang paling besar. Aliran modal swasta neto dalam tahun
1998 secara keseluruhan diproyeksikan mengalami penurunan lebih jauh dibanding dengan
tahun 1997 yaitu menjadi sebesar US$ 57 miliar. Pemulihan bertahap dalam aliran modal swasta
tersebut baru diperkirakan terjadi di penghujung tahun 1998 pada saat kepercayaan mulai pulih,
dan ini diperkirakan akan tercermin dalam pemulihan aliran modal swasta untuk tahun 1999.
Mengenai perkembangan neraca transaksi berjalan, bagi kelima negara Asia yang
mengalarni krisis paling berat yaitu Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina dan Thailand,
gabungan transaksi berjalan dari kelima negara ini diproyeksikan surplus sebesar US$ 57 miliar
dalam tahun 1998 dibandingkan dengan defisit gabungan sebesar US$ 24 miliar dalam tahun
1997 dan defisit US$ 54 miliar pada tahun 1996.

Pergeseran yang besar dari defisit ke surplus ini sebagian ditimbulkan oleh terjadinya
depresiasi yang besar dalam mata uang negara-negara tersebut, dan sebagian lagi disebabkan
oleh tertekannya permintaan domestik sebagai akibat kondisi finansial yang ketat. Proses
penyesuaian di negara-negara Asia yang mengalami krisis hingga kini terutama terjadi melalui
penurunan yang tajam dalam impor, namun peningkatan yang besar dalam daya saing
diperkirakan dapat mendorong ekspor, terutama bilakondisi finansial melonggar. Sementarai tu
menyangkut pergerakan mata uang, dapat dicatat bahwa dalam jangka waktu 1.4 bulan sejak
Juli 1997 hingga September 1998, nilai tukar efektif riil (the real effective exchange rate) Korea,
Malaysia, Filipina dan Thailand merosot antara 18 hingga 28 persen, sementara Indonesia
merosot sebesar 60 persen.

Negara-negara emerging markets lainnya yang mengalami penurunan aliran modal,


posisi neraca transaksi berjalannya diproyeksikan semakin membaik, yang sebagian disebabkan
oleh pelaksanaan langkah-Iangkah penyesuaian. Perbaikan dalam posisi transaksi berjalan yang
terjadi di negara-negara di mana pembiayaan terhadap defisit transaksi berjalan merupakan
kendala bagi negara-negara tersebut, akan menyumbang terhadap kemerosotan neraca transaksi
betjalan negara-negara lain, baik negara-negara emerging markets maupun negara-negata maju
yang mengalami permintaan ekspor yang rendah, kemerosotan daya saing, dan turunnya harga-
harga komoditi ekspor.

Di antara kawasan negara-negara berkembang, pergeseran terbesar posisi transaksi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 296


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

berjalan dari surplus ke defisit terjadi di kawasan Timur Tengah dan Eropa, yaitu dari surplus
US$ 3,7 miliar dalam tahun 1997 menjadi defisit US$ 20,3 rniliar dalam tahun 1998, atau
pergeseran sebesar US$ 24 miliar, yang mencerminkan memburuknya transaksi berjalan negara-
negara penghasil minyak. .

Di negara-negara maju sebagai suatu kelompok, transaksi berjalan diproyeksikan


mengalami kemerosotan dari surplus sebesar US$ 69,4 miliar dalam tahun 1997 menjadi surplus
US$ 39,6 miliar dalam tahun 1998. Komponen utama dari penurunan surplus tersebut adalah
melebamya defisit transaksi berjalan Amerika Serikat sebesar US$ 81 miliar dari US$ 155,2
miliar dalam tahun 1997 menjadi US$ 236,3 miliar dalam tahun 1998. Sementara itu surplus
transaksi berjalan negara-negara yang tergabung ke dalam Uni Eropa diproyeksikan mengecil
dari US$ 123,3 miliar dalam tahun 1997 menjadi US$ 96,6 miliar dalam tahun 1998. Dalam
pada itu, surplus transaksi berjalan Jepang diproyeksikan meningkat sebesar US$ 37,3 miliar,
dari sebesar US$ 94,1 miliar menjadi US$ 131,4 miliar dalam tahun 1998 (lihat Tabel IV.3).
Krisis ekonomi yang terjadi di sejumlah negara Asia dan Rusia, yang menimbulkan dampak
merugikan bagi negara-negara di kawasan lain dan bahkan dunia, telah memberikan penekanan
baru dalarn kerjasama ekonorrii regional dan internasional. Dalam pertemuan puncak (KTT)
Asia-Eropa (ASEM) tanggal 3-4 April 1998 di London, dicapai beberapa kesepakatan antara
lain negara-negara Eropa berjanji untuk membantu mengatasi krisis ekonomi dan memulihkan
kembali kepercayaan dLkawasanAsia. Selain dari pada itu" telah dipandang perlu meningkatkan
pelaksanaan reformasi ekpnomi, transparansi dan dialog untuk menciptakan kestabilan ekonomi,
moneter, serta liberalisasi perdagangan yang lebih luas dalam bentuk pasar yang makin terbuka,
baik di Asia maupun Eropa. Menyadari bahwa menyatunya ekonomi global adalah kenyataan
yang tak bisa dipungkiri, maka kedua belah pihak perlu terus meningkatkan kerjasama dan
saling membantu dengan prinsip saling menghormati dan memahami satu sama lain.
Dalam pertemuan di Washington DC tanggal 30 Oktober 1998 yang lalu, para
pemimpin negara-negara kelompok G- 7 dalam statementnya mendukung dan menyambut baik
langkah-langkah yang telah dideklarasikan oleh para menteri keuangan dan gubernur bank
sentral kelompok negara tersebut dalam mengatasi masalah-masalah mendesak dan segera, serta
kelemahan-kelemahan dalam jangka panjang di dalam sistem keuangan internasional. Beberapa
hal penting yang dikemukakan dalam kesepakatan G-7 tersebut, antara lain perlunya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui dorongan permintaan domestik; mengembangkan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 297


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel IV.3

TRANSAKSI BERJALAN NEGARA.NEGARA INDUSTRI


DAN NEGARA.NEGARA BERKEMBANG, 1996.
1998

(dalam miliar US $)

Kelompok negara 1996 1997 19981)


(1) (2) (3) (4)

A. Negara-negara maju 34,3 69,4 39,6

Tujuh negara industri utama - 21,4 6,0 - 67,4


1. Jepang 65,8 94,1 131,4
2. Amerika Serikat 134,9 - 155,2 -236,3
3. Jerman -13,8 -4,0 6,4
4. Inggris -2,9 7,3 -18,7
5. Perancis 20,5 39,4 31,4
6. Italia 40,5 33,6 30,4
7. Kanada 3,3 -9,3 -11,9
Uni Eropa 90,8 123,3 96,6
Negara-negara maju lainnya 55,7 63,4 107,0
B. Negara-negara berkembang 2) - 71,4 ....61,9 - 78,3
I. Pengekspor Minyak 31,0 21,2 -15,3
2. Bukan Pengekspor Minyak -102,4 -83,1 -63,0

3. Indonesia 3) - 8,1 -1,7 4,54)

1) Perkiraan
2) Termasuk transfer resmi (official transfer) 3) Tahun anggaran
4) Perkiraan realisasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 298


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dan melaksanakan aturan-aturan internasional mengenai peningkatan transparansi di bidang


fiskal, kebijaksanaan moneter dan keuangan serta cara penyelenggaraan pengelolaan perusahaan
yang baikk menciptakan suatu metode untuk memperkuat pengawasan terhadap sektor keuangan
internasional dengan menyertakan para ahli nasional dan internasional serta lembaga-lembaga
kunci; memperbaiki prosedur penanganan krisis termasuk keuangan IMF untuk mengatasi efek
penularan; memperhatikan usulan-usulan untuk memperkuat The Interim and Development
Committee dari IMF dan Bank Dunia.
Para pemimpin ekonomi APEC dalam pertemuan yang ke 6 di Kuala Lumpur tanggal
17-18 Nopember 1998 sependapat bahwa krisis keuangan yang melanda sebagian anggota
APEC telah menimbulkan dampak yang sangat dalam, seperti meningkatnya pengangguran dan
turunnya pendapatan. Bahkan krisis juga telah meluas ke kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu,
para pemimpin sepakat untuk meningkatkan kerjasama guna mendukung upaya pemulihan krisis
secara dini dan berkelanjutan serta mencegah meluasnya pengaruh kawasan dan kemungkinan
resesi dunia. Pertemuan yang menghasilkan deklarasi Cyberjaya yang berjudul "Strengthening
The FounDarion for Growth" (Mtemperkuat Landasan bagi Pertumbuhan) antara lain
menegaskan bahwa krisis keuangan sebagai tantangari" utama yang harus dihadapi dan
perluriya bantuan negara maju untuk mengatasinya. Ditekankan, APEC harus menggalang
kerjasama untuk mendorong pertumbuhan, restrukturisasi sektor perusahaan dan keuangan,
rrienggalang arus modal swasta, memperkokoh arsitektur keuangan internasional serta
peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi. Disamping itu anggota APEC perlu
memperkokoh landasan bagi pertumbuhan berkelanjutan untuk memasuki era perdagangan
bebas abad ke 21, antara lain dengan memperkuat jaring pengaman sosial, sistem keuangan
individual dan global, arus investasi dan perdagangan, dan memperkuat infrastruktur ekonomi
serta jaringan komersial dan bisnis.

4.3. Kebijaksanaan di Biuang Perdagangan Luar Negeri


Krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di kawasan Asia sejak pertengahan tahun
1997 selain memberikan pengaruh yang berarti terhadap aktivitas dan kinerja perekonomian
negara-negara dalam kawasan itu, juga berimbas pada negara-negara di kawasan-kawasan
lainnya. Hal ini antara lain terlihat pada perkembangan arus dan volume perdagangan di antara
sesama negara yang terkena krisis atau antara negara-negara tersebut dengan negara-negara lain

Departemen Keuangan Republik Indonesia 299


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

di kawasan Asia dan kawasan-kawasan lainnya, yang selanjutnya berpengaruh pula pada
aktivitas dan kinerja perdagangan dunia, karena negara-negara di kawasan Asia selama ini
mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi konfigurasi perdagangan
internasional. Kenyataan ini merupakan konsekuensi logis yang muncul dari krisis yang terjadi
ditengah berkembangnya paradigma interdependensi dan negara tanpa batas (borderless) dalam
kerangka liberalisasi dan perdagangan bebas antar negara atau antar kawasan.
Bagi Indonesia, krisis ekonomi yang antara lain ditandai dengan depresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sangat tajam sejak pertengahan tahun 1997 lalu,
selain menyebabkan menurunnya aktivitas produksi, investasi dan perdagangan serta
melonjaknya inflasi juga telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan sosial dan
politik di dalam negeri. Permasalahan tersebut antara lain adalah meningkatnya angka
pengangguran dan merebaknya kerusuhan sosial.
Menyadari bahwa persoalan-persoalan yang sudah demikian kompleks tersebut tidak
serta mernadapat ditanggulangi secara cepat, maka pemerintah secara bertahap berupaya
melakukan langkah-Iangkah penyesuaian dalam rangka mendorong pemulihan dan penyehatan
perekonomian nasional secara menyeluruh. Langkah-Iangkah penyesuaian dimaksud merupakan
bagian integral dari kebijaksanaan rehabilitasi, stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi melalui
reformasi di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil.
Kebijaksanaan perdagangan luar negeri, yang merupakan bagian dari agenda reformasi
dan stabilisasi ekonomi di sektor riil,.di satu sisi tetap diarahkan pada upaya untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi, daya tahan dan daya saing ekonomi secara global
(competitiveness) serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau permintaan di dalam negeri,
sementara di sisi lain diupayakan untuk meningkatkan kepercayaan pihak luar negeri guna
memperlancar transaksi perdagangan luar negeri, baik di bidang ekspor maupun di bidang impor
barang dan jasa.

4.3.1 Kebijaksanaan di Biuang Ekspor


Kebijaksanaan di bidang ekspor yang telah dan akan ditempuh Pemerintah tetap
diarahkan pada peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Untuk mengatasi kesulitan bahan
baku bagi industri-industri yang berorientasi ekspor karena ditolaknya L/C impor oleh
perbankan di luar negeri, Pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas yang merupakan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 300


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bagian dari skim pembiayaan perdagangan (trade financing scheme), diantaranya fasilitas post-
shipment yang dibenkan kepada Perusahaan Eksporti Tertentu (PET) maupun non-PET, fasilitas
rediskonto preshipment, fasilitas Swap dan forward, skim penjaminan L/C yaitu penempatan
dana jaminan sebesar US$ 1 miliar pada 10 bank asing yang diberikan hanya kepada perusahaan
berstatus PET, fasilitas rediskonto alas dasar Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
yang diberikan kepada pemasok yang terkait dengan PET. Selain itu, untuk tujuan yang sama
Pemerintah mengadakan kerjasama bilateral dengan beberapa negara sahabat, diantaranya
berupa skim EPIC-Australia yang diberikan kepada perusahaan PET maupun non-PET, skim
JEXIM dengan plafon US$ I miliar atau ekuivalen yen diberikan kepada perusahaan berstatus
PET dan perusahaa njoint venture dengan Jepang, skim GSM 102 USA dengan plafon US$ 400
juta dengan jangka waktu 1 tahun diberikan kepada perusahaan PET maupun non PET, skim
Kanada dengan plafon CAD 250 juta dengan jangka waktu 2 tahun dibenkan untuk impor
gandum yang dilaksanakan oleh BULOG.

Seiring dengan itu, sejak bulan Juli 1998 Pemerintah mengadakan program jaminan
ekspor pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh LlC dart luar negeri. Jaminan ini
diberikan dengan membayar biaya (fee) untuk setiap pinjaman dengan fisiko ditanggung
bersama antara Pemerintah dan bank pelaksana.
Dengan tidak mengubah tujuan dan ketentuan yang te1ah ditetapkan mengenai
kelompok komoditi ekspor bagi PET, Pemerintah sejak Februari 1998 telah menambah cakupan
kelompok komoditi ekspor bagi PET sebanyak 10 kelompok komoditi, sehingga jumlah
keseluruhannya menjadi 29 kelompok komoditi. Tambahan 10 kelompok komoditi tersebut
meliputi produk baja dan logam dasar, produk alat komponen, produk kimia, produk bahan
galian non logam, barang dari plastik, barang pakaian dan perlengkapan dari karet, peralatan
optik dan bagiannya, lonceng dan arloji, alat tulis, dan rambut palsu.
Selanjutnya, untuk menjamin mutu produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya
saing, perlindungan konsumen, dan perlindungan tenaga kerja, baik dalam segi keselamatan,
kesehatan, maupun lingkungan, maka Pemerintah telah melakukan penyempurnaan ketentuan
mengenai pengawasan multi produk, yaitu dengan menetapkan bahwa pengawasan multi produk
slap ekspor sebelum dikapalkan, dilaksanakan melalui sertifikasi dalam bentuk sertifikat
kesesuaian multi (SM) yang dikeluarkan oleh laboratorium penguji. Laboratorium penguji yang
diperkenankan melakukan pengujian adalah laboratorium yang telah mendapatkan akreditasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 301


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dari komite akreditasi nasional dan hanya menguji sesuai dengan ruang lingkup akreditasi yang
diperoleh.
Dalam rangka meningkatkan daya saing dan efisiensi pemanfaatan hasil bulan, dengan
tetap memperhatikan kelestarian sumber daya hutan sebagai penyangga kualitas lingkungan
global, Pemerintah telah mengeluarkan ketentuan tentang pelaksanaan ekspor kayu bulat, bahan
baku serpih, kayu gergajian, kayu olahan, dan rotan. Kayu bulat dan bahan baku serpihan yang
dapat diekspor adalah yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Pemilik Kayu Rakyat dan Pemilik Kayu Hasil Perkebunan.
Sebelum komoditi tersebut diekspor, para eksportir wajib melunasi Dana Reboisasi (DR) dan
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Kayu gergajian dan kayu olahan yang dapat diekspor
adalah sebesar kemampuan dalam memproduksi kayu gergajian dan kayu olahan oleh industri
pengolahan kayu yang sah dengan dilengkapi dokumen sural angkut kayu olahan (SAKO).
Selanjutnya, rotan yang dapat diekspor adalah rotan yang diperoleh berdasarkan izin
pengumpul/pemungut yang sah atas sejumlah target yang tercantum dalam izin
pengumpulan/pemungutan dan atau sebesar kemampuan pengolahan industri rotan.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ekspor tekstil dan produk
tekstil (TPT), khususnya ke negara-negara kuota, Pemerintah telah melakukan penyempumaan
sistem manajemen kuota yang lebih transparans, yaitu dengan mengeluarkan ketentuan
mengenai kuota ekspor TPT, sehingga pemanfaatan kuota lebih optimal dan lebih menjamin
kepastian berusaha bagi dunia usaha. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan antara lain mengenai
definisi hal-hal yang terkait dengan proses ekspor TPT, prosedur untuk menjadi eksportir
terdaftar tekstil dan produk tekstil (ETTPT), jenis-jenis kuota, pemantauan, dan sanksi hukum.
Selanjutnya, dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus untuk
menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok di dalam Negeri, Pemerintah telah
menempuh berbagai langkah kebijaksanaan, diantaranya dengan menetapkan besarnya tarif
pajak ekspor kelapa sawit, minyak sawit, minyak kelapa dan produk turunannya. Besarnya pajak
ekspor ditentukan dengan mengalikan tarif pajak ekspor, harga patokan ekspor, jumlah satuan
barang, dan kurs. Besarnya tarif pajak ekspor sejak tanggal 7 luli 1998 adalah 60 persen masing-
masing untuk kelapa sawit dan biji kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan crude palm olein
(CPOlein), 55 persen masing-masing untuk refined bleached deodorized palm oil(RBD) dan
refined bleached deodorized palm olein (RBD olein), 50 persen untuk crude palm kernel oil, 45

Departemen Keuangan Republik Indonesia 302


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

persen untuk RBD palm kernel oil, 40 persen untuk RBD olein dalam kemasan maksimum 5 kg
dan bermerk, 25 persen untuk crude stearin, 20 persen masing-masing untuk RBD stearin dan
crude coconuts oil (CCO) dan 15 persen untuk RBD coconut oil.
Seiring.dengan itu, Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan ekspor alas barang-
barang kebutuhan pokok, khususnya barang-barang yang memperoleh subsidi dari Pemerintah.
Dalam bulan luli 1998, Pemerintah,menetapkan barang-barang yang dibatasi ekspomya, yaitu
tepung ikan, beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling seluruhnya,
disosoh, dikilapkan maupun tidak, beras pecah, gandum durum benih, gandum durum lainnya,
benih gandum selain gandum durum, lain-lain gandum selain gandum durum, meslin, gandum
hitam, tepung gandum hitam, tepung beras, kacang kedelai pecah atau utuh kuning, kacang
kedelai lain-lain, gula tebu, gula bit, gula tebu atau bit yang mengandung tambahan bahan
flavour atau pewama, dan minyak tanah (kerosene, selain tire bahan bakar jet). Namun
demikian, dengan dihapuskannya subsidi pemerintah terhadap beberapa barang-barang tertentu,
maka dalam bulan September 1998 ketentuan tersebut telah diubah dengan hanya menetapkan
pembatasan ekspor atas beras berkulit, beras digiling, beras setengah giling atau digiling
seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak, dan beras pecah. Dengan diberlakukannya
ketentuan tersebut, maka barang-barang yang sebelumnya dibatasi ekspomya menjadi bebas
untuk diekspor. Selain itu, Pemerintah juga menetapkan penghapusan pajak ekspor atas produk
kulit, gabus (cork), bijih tambang (ores) dan aluminium, serta melakukan penjadwalan
penurunan pajak ekspor alas beberapa komoditi yang mempunyai potensi cukup besar,
diantaranya kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan barang-barang mineral.
Dalam rangka meningkatkan ekspor, Pemerintah juga terus berupaya memperluas pasar
tujuan ekspor, antara lain dengan melakukan penetrasi pasar alternatif yang tidak menerapkan
kuota ataupun memiliki kesamaan kultur, agama, dan etnis seperti negara-negara OKl, Afrika,
bekas Uni Soviet dan Amerika Latin, disamping tetap memperkuat basis pasar tradisonal seperti
ASEAN, MEE, Jepang dan Amerika Serikat. Perluasan pasar ekspor juga diupayakan dengan
meningkatkan peranan perwakilan Indonesia di luar negeri, mengirim misi dagang secara
selektif untuk menembus pasar alternatif maupun pasar tradisional, mengundang dan
memberikan informasi kepada para dubes/ perwakilan dagang negara sahabat, menyebarluaskan
inforrnasi ke luar negeri melalui media cetak/elektronik mengenai keadaan perekonomian dan
politik Indonesia.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 303


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Seiring dengan itu, Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan kerjasama


internasional dan mendorong peningkatan kinerja para eksportir. Peningkatan kerjasama
internasional diupayakan antara lain dengan menganakan pertemuan bilateral untuk membahas
pengurangan/penghapusan hambatan perdagangan dan penyelesaian sengketa dagang, menjajaki
pengakuan bilateral untuk sertifikasi multi yang dilakukan Indonesia atau oleh mitra dagang
(mutual recognition arrangement), meningkatkan diplomasi dagang yang pro-aktif dan ofensif,
mengoptimalkan peranan organisasi komoditi internasional, mengkaji dan menyelesaikan
perrnasalahan anti dumping, subsidi ekspor dan diskriminasi tarif. Sedangkan peningkatan
kinerja eksportir Indonesia antara lain diupayakan melalui penyebarluasan inforrnasi usaha yaitu
inforrnasi mengenai peraturan pemerintah yang baru tentang ekspor, pasar tujuan ekspor,
fasilitas-fasilitas ekspor, lembaga-Iembaga penunjang ekspor, dan profil negara tujuan ekspor.
Selain itu, Pemerintah juga bernpaya mengoptimalkan peranan asosiasi-asosiasi untuk
meningkatkan daya tawar eksportir dalam menangani masalah ekspor, baik di dalam maupun di
luar negeri.

4.3.2 Kebijaksanaan di Bidang Impor


Sebagai bagian dari program restrukturisasi perdagangan luar negeri, kebijaksanaan di
bidang impor yang telah ditempuh oleh Pemerintah, selain dimaksudkan untuk mendorong
peningkatan kemampuan produksi industri-industri dan pemenuhan kebutuhan pokok di dalam
negeri, juga diarahkan pada upaya perlindungan industri-industri dan kelestarian lingkungan.
Kebijaksanaan impor yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok di dalam negeri dan
peningkatan kemampuan produksi industri-industri dalam negeri diantaranya diupayakan
melalui penyediaan berbagai fasilitas yang tercakup dalarn skim pembiayaan perdagangan (
trade financing scheme). Fasilitas pembiayaan perdagangan ini antara lain meliputi fasilitas
rediskonto Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang diberikan kepada pemasok
yang terkait dengan perusahaan eksportir tertentu (PET), fasilitas penjaminan L/C dan skim
kerjasama bilateral yang disediakan bagi industri-industri yang berorientasi ekspor dan
mengalami kesulitan impor atas bahan baku karena penolakan L/C impor oleh perbankan di luar
negeri, menyusul turunnya kepercayaan pihak luar negeri terhadap Indonesia akibat krisis
ekonorni dan moneter. Penjaminan L/C juga diberikan untuk impor pangan dalam rangka
pengadaan bahan pangan di dalam negeri.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 304


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selanjutnya, kebijaksanaan impor yang dimaksudkan untuk melindungi industri-industri


dalam negeri dan lingkungan antara lain mencakup kebijaksanaan pengenaan bea masuk anti
dumping atas impor produk-produk tertentu yang danuga sebagai barang dumping, seperti
produk ferro mangan, silicon mangan, ampicilin trihydrate, dan amoxycillin trihydrate.
Pemerintah juga telah menetapkan tata niaga (larangan) impor atas sejumlah komoditi, seperti
impor pesawat pemadam api dan mesin penjual barang otomatis lainnya yang dilengkapi alat
pemanas atau pendingin. Larangan impor atas barang-barang dimaksud didasarkan pada
pertimbangan pelestarian lingkungan, karena barang-barang tersebut menggunakan bahan-bahan
yang bisa merusak lapisan ozon.
Selain itu, Pemerintah juga te1ah melakukan perubahan tata niaga atas impor beras
(beras berkulitl gabah, beras digi1ing, setengah digiling atau digi1ing se1uruhnya, disosoh,
diki1apkan atau tidak, dan beras pecah). Bi1a sebelumnya impornya hanya di1akukan oleh
Bu1og, maka berdasarkan ketentuan tata niaga impor tersebut, terhitung sejak tangga1 22
September 1998 impor beras bo1eh dilakukan oleh importir umum (IU).
Sementara itu, dalam rangka memenuhi ketersediaan bahan kebutuhan pokok di dalam
negeri, Pemerintah telah me1akukan perubahan tarif bea masuk atas impor beberapa produk,
diantaranya tepung gandum atau meslin, kacang kede1ai pecah atau utuh, kacang kede1ai
kuning, dari penyempumaan k1asifikasi pos tarif atas impor produk Refined Bleached
Deodorized Palm Oil (RBD PO). Produk-produk tersebut yang sebe1umnya dikenakan bea
masuk sebesar 5%, maka terhitung sejak tanggal 29 September 1998 bea masuknya ditetapkan
menjadi 0% (bebas bea). Ketentuan pembebasan bea masuk juga diberlakukan atas impor bahan
aktif anti foaming dan anti caking pada industri pupuk dan polyethylene granule pada industri
farmasi, yang dimaksudkan untuk menjamin tersedianya bahan baku industri pupuk dan farmasi
dan sekaligus menunjang perkembangan industri-industri dimaksud di dalam negeri.
Selanjutnya, dalam rangka menjaga kelangsungan produksi industri-industri makanan
dan minuman serta industri-industri kemasan makanan dan minuman dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat di dalam negeri, Pemerintah mela1ui Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 467 /KMK.01/998, tanggal 26 Oktober 1998 telah menetapkan
pembebasan bea masuk atas impor 60 komoditi (60 pos tarif) yang merupakan bahan
baku/penolong bagi industri-industri tersebut. Kebijaksanaan yang sama, sebagaimana diatur
me1alui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 468/KMK.01/1998, tanggal

Departemen Keuangan Republik Indonesia 305


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

27 Oktober 1998, juga diberlakukan atas impor 233 komoditi (233 pos tarif) bahan baku, mesin-
mesin, alat-alat perlengkapan serta suku cadang untuk pembuatan, perbaikan, pemeliharaan
kapal laut dan alat apung selain karat pesiar dan kapal olah raga.
Dalam pada itu, untuk mendorong peningkatan kemampuan industri pemeliharaan
pesawat terbang di dalam negeri, Pemerintah telah memberikan pembebasan bea masuk atas
impor baban baku, suku cadang, komponen dan peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan
pesawat terbang (mencakup 79 komoditi). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi impor suku
cadang kapal, alat keselarnatan pelayaran dan keselamatan manusia, yaitu dengan cakupan 153
pos tarif.

4.4 Perkembangan Neraca Pembayaran dalam Tabun Anggaran 1998/1999

Perkiraan realisasi neraca pembayaran dalarn tahun anggaran 1998/1999 secara


keseluruhan (overall balance) menunjukkan posisi surplus. Berbeda dari surplus dalarn tahun-
tahun sebelumnya yang selalu bersumber dari lebih besarnya surplus neraca modal (capital
account) dibandingkan defisit transaksi berjalan (current account), dalam tahun ini surplus
tersebut bersumber dari surplus neraca modal dan surplus transaksi berjalan. Surplus transaksi
berjalan dengan jumlah yang cukup berarti dalarn tahun anggaran 1998/1999 merupakan salah
satu perkembangan baru dalam sejarah neraca pembayaran Indonesia.

Penurunan impor yang lebih tajarn dibandingkan dengan penurunan ekspor, dan relatif
stabilnya defisit jasa-jasa neto, telah memungkinkan transaksi berjalan mengalarni surplus.
Keadaan tersebut terkait erat dengan darnpak Dari krisis moneter yang masih dihadapi oleh
perekonomian nasional. Perkembangan lain yang terjadi adalah masih defisitnya lalu lintas
modal swasta, meskipun dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan defisit dalarn
tahun anggaran 1997/1998. Hal ini mengindikasikan masih terjadinya aliran modal keluar
(capital outflows) yang berkaitan dengan belum berakhirnya krisis ekonomi. Narnun demikian,
defisit lalu lintas modal swasta tersebut masih dapat diimbangi dengan surplus lalu lintas modal
pemerintah, sehingga neraca modal mengalarni surplus.

Nilai ekspor dalarn tahun anggaran 1998/1999 yang mencakup ekspor migas dan
ekspor nonrnigas diperkirakan mencapai US$ 50.688 juta, atau menurun 9,7 persen
dibandingkan dengan nilai ekspor dalarn tahun sebelurnnya sebesar US$ 56.162 juta. Nilai
ekspor rnigas mencapai US$7 .123 juta atau 30,4 persen lebih rendah dibandingkan dengan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 306


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

nilainya dalam tahun anggaran sebelumnya sebesar US$ 10.238 juta. Dalarn periode yang sama
ekspor nonrnigas mencapai US$ 43.565 juta, yang berarti menurun 5,1 persen dari periode
sebelurnnya sebesar US$ 45.924 Juta.
Dalam periode yang sama, nilai impor yang terdiri dari impor migas dan impor
nonmigas diperkirakan mencapai US$ 30.888 juta, atau menurun 27,7 persen dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 1997/1998 sebesar US$ 42.704 juta. Nilai impor migas
diperkirakan mengalarni penurunan sebesar 30,6 persen dari US$ 4.085 juta dalarn tahun
anggaran 1997/1998 menjadi US$ 2.837 juta dalarn tahun 1998/1999. Hal yang sama terjadi
pula dalarn impor nonmigas yang nilai impornya diperkirakan mcnurun 27,4 persen dari US$
38.619 jota menjadi US$ 28.051 juta.

Dengan perkembangan ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan barang dalam
tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalarni surplus US$ 19.800 juta, atau lebih
tinggi47,1 persen dibandingkan surplus dalarn periode yang sama tahun sebelurnnya sebesar
US$ 13.458 juta. Surplus dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut bersumber dari surplus
neraca perdagangan nonrnigas US$ 15.514 juta dan surplus neraca perdagangan migas US$
4.286 juta.
Transaksi jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami defisit
US$ 15.313 juta, yang terdiri dari defisit jasa-jasa migas US$ 2.810 juta dan defisit jasa-jasa
nonmigas US$ 12.503 juta. Defisit jasa-jasa dalam tahun anggaran 1998/1999 tersebut 1,0
persen lebih tinggi dibandingkan defisit dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar
US$ 15.157 juta.
Berdasarkan perkembangan neraca perdagangan dan neraca jasa-jasa tersebut, transaksi
berjalan dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mengalami surplus US$ 4.487 juta.
Sebagai perbandingan, transaksi berjalan dalam tahun anggaran 1997/1998 mengalami defisit
US$1.699 juta. Dengan surplus tersebut, diperkirakan rasio current account terhadap produk
domestik bruto dalam tahun 1998/1999 adalah sekitar 4,2 persen.

Neraca modal dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 4.437
juta, sehubungan dengan surplus modal pemerintah bersih yang lebih besar dari defisit modal
swasta bersih. Dalam tahun sebelumnya, neraca modal diperkirakan mengalami defisit sebesar
US$ 7.629 juta.

Pemasukan modal pemerintah dalam tahun 1998/1999 diperkirakan mencapai US$

Departemen Keuangan Republik Indonesia 307


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

18.273 juta, yang berarti 120,3 persen lebih tinggi dibandingkan pemasukan modal dalam tahun
sebelumnya sebesar US$8.293 juta. Tingginya pemasukan modal pemerintah tersebut
disebabkan oleh naiknya bantuan program dan lainnya menjadi sebesar US$ 12.186 juta dari
tahun sebelumnya sebesar US$3.036 juta, sebagai akibat adanya pinjaman Dari IMF dan dari
lembaga keuangan internasional lainnya dan negara donor, utamanya untuk memperkuat neraca
pembayaran (cadangan devisa). Sedangkan bantuan proyek dan lainnya dalam tahun 1998/1999
mencapai US$ 6.087 juta, atau 15,8 persen lebih tinggi dibandingkan dalam tahun sebelumnya
sebesar US$ 5.257 juta. Dalam pada itu, pembayaran pokok utang luar negeri pemerintah dalam
tahun yang sama mencapai US$ 3.067 juta, atau 25,1 persen lebih rendah dibandingkan
pembayaran dalam tahun sebelumnya sebesar US$ 4.095 juta.

Sementara itu, lalu lintas modal lainnya (swasta) dalam tahun 1998/1999 diperkirakan
masih mengalami defisit sebesar US$IO.769 juta. Dalam tahun sebelumnya, lalu lintas modal
swasta mengalami defisit US$II.827 juta. Masih defisitnya lain lintas modal swasta dalam
jumlah tersebut menunjukkan masih terjadinya capital outflows sebagai dampak belum
kondusifnya iklim usaha dalam perekonomian nasional.

Dengan perkiraan realisasi transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, neraca
pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan surplus sebesar US$ 9.903 juta,
sehingga posisi cadangan devisa kotor pada akhir periode tersebut diperkirakan mencapai US$
26.412 juta, yang berarti 60,0 persen lebih besar dibandingkan cauangan devisa kotor dalam
tahun sebelumnya sebesar US$16.509 juta. Cadangan devisa kotor dalam tahun 1998/1999
tersebut cukup untuk membiayai 10,2 bulan impor nonmigas. Perkiraan realisasi neraca
pembayaran dalam tahun anggaran 1998/1999 disajikan dalam Tabel IV.4.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 308


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabe1IV.4

NERA CA PEMBA Y ARAN; 1989/1990 . 1998/1999

( dalam jti6i US $ )

1989/1990 199011991 199VI992 1992/1993 199311994 1994/1995

(1) (2)'- (3) (4) (5) (6) (7)

I.Barang-barang dan jasa-jasa

1. Ekspor, fob + 23.830+ 28.143 + 29.714 + 35.303 + 36.504 + 42.161


minyak bumi dan gas alam + 9.337+ 12.763 + 10.706 + 10.480 + 9.334+ 10.445
bukan minyak bumi dan gas
+ 14.493+ 15.380 + 19.008 + 24.823 + 27.170 + 31.716
alam
2. Impor, fob - 17.374- 23.028 - 24.803 - 27.317 - 29.127 - 34.122
minyak bumi dan gas alam - 2.529- 3.580- 3.143 - 3.566- 3.816- 3.&.6
bukan minyak bumi dan gas
- 14.845- 19.448 - 21.660 - 23.751 - 25.311 - 30.476
alam
3. Jasa-jasa - 8.055- 8.856- 9.263 - 10.547 - 10.317 - 11.527
minyak bumi dan gas alam - 2.897-- 3.173- 3.001 - 3.399- 2.984- 3.012
bukan minyak bumi dan gas
- 5.158- 5.683- 6.262 - 7.148- 7.333- 8.515
alam
4. Transaksi berjalan - 1.599- 3.741- 4.352 - 2.561- 2.940- 3.488
minyak bumi dan gas alam + 3.911+ 6.010+ 4.562 + 3.515+ 2.534+ 3.787
bukan minyak bumi dan gas
- 5.510- 9.751 - 8.914 - 6.076- 5.474- 7.275
alam
,
II. S D Rs - - - - - -

III. Pemasukan modal Pemerintah +5.516 + 5.006 + 5.600 + 5.755 + 6.195 + 'i.651
1. Bantuan program dan lainnya +In"I" 718 + 127 + 125 0 0
2. Bantuan proyek dan lainnya +4.479 + 4.288 + 5.473 + 5.630 + 6.195 + 5.651

IV. Lalu lintas modallainnya + 575 + 5.856 + 4.133 + 4.284 + 4.648 + 4.645

V. Pembayaran hutang pokok - 3.686 - 4.082 - 4.182 - 4.840 - 5.132 - 5.546

VI. Jumlah I s.d. V + 806 + 3.039 + 1.199 + 2.638 + 2.771 + 1.262

VII. Selisih yang belum dapat - 558 + 263 - 218 - 1.199 - 2.044 - 646

diperhitungkan

VIII. Lalu lintas moneter - 248 - 3.302 - 981 - 1.439 - 727 - 616

Departemen Keuangan Republik Indonesia 309


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel IV. 4 (lanjutan)

persentase 1998/1999 persentase


(perk.
1995/1996 1996/1997 1997/1998 perubahan perubahan
real.)
(5) = (4) : (7) = (6) :
(1) (2) (3) (4) (6)
(3 (4
I. Barang-barang dan jasa-jasa
I. Ekspor, fob + 47.754+ 52.038 + 56.162 + 7,9+ 50.688 - 9,7
minyak bumi dan gas aJam + 10.616+ 12.771 + 10.238 - 19,8+ 7.123 - 30,4
bukan minyak bumi dan gas
+ 37.138+ 39.267 + 45.924 + 17,0+ 43.565 - 5,1
alam
2. Impor, fob - 41.502- 45.819 - 42.704 - 6,8- 30.888 - 27,7
minyak bumi dan gas alam - 3.905- 4.693 - 4.085 - 13,0- 2.837 - 30,6
bukan minyak bumi dan gas
- 37.597- 41.126 - 38.619 - 6,1- 28.051 - 27,4
alam
3. Jasa-jasa - 13.239- 14.288 - 15.157 + 6,1- 15.313 + 1,0
minyak bumi dan gas alam - 3.238- 3.541 - 4.635 + 30,9- 2.810 - 39,4
bukan minyak bumi dan gas
- 10.001- 10.747 - 10.522 - 2,1- 12.503 + 18,8
alam
4.Transaksi berjaJan - 6.987- 8.069 - 1.699- 78,9+ 4.487 + 364,1
minyak bumi dan gas aJam + 3.473+ 4.537 + 1.518- 66,5+ 1.476 - 2,8
bukan minyak bumi dan gas
- 10.460- 12.606 - 3.217- 74,5+ 3.011 + 193,6
alam

II. S D Rs - - - - - -

III. Pemasukan modal Pemerintah + 5.730 + 5.298+ 8.293 + 56,5+ 18.273 + 120,3
Bantuan program dan
I. 0 0+ 3.036 -+ 12.186 + 301,4
lainnya
2.Bantuan proyek dan lainnya + 5.730+ 5.298+ 5.257 - 0,8+ 6.087 + 15,8

IV. Lalu lintas modallainnya + 11.672+ 13.488 - 11.827 - 187,7- 10.769 - 8,9

V. Pembayaran hutang pokok - 5.939- 6.118- 4.095 - 33,1- 3.067 - 25,1

VI. Jumlah I s.d. V + 4.476+ 4.599- 9.328 + 8.924

VII. Selisih yang belum dapat - 1.825- 701- 694 + 979


diperhitungkan
VIII. Lalu lintas moneter - 2.651 - 3.898 + 10.022 - 9.903

Departemen Keuangan Republik Indonesia 310


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

4.4.1 Ekspor

Dalam tahun anggaran 1998/1999 nilai ekspor secara keseluruhan diperkirakan


mencapai US$ 50.688 juta, yang terdiri dari ekspor migas US$ 7.123 juta dan ekspor nonmigas
US$ 43.565 juta. Dengan demikian kontribusi ekspor nonmigas dalam tahun anggaran
1998/1999 diperkirakan mencapai 85,9 persen dari keseluruhan ekspor. Kontribusi tersebut
lebih besar dibandingkan kontribusi dalam tahun anggaran 1997/1998 sebesar 81,8 persen dari
total ekspor Indonesia. Perkembangan nilai ekspor secara rinci dapat dilihat dalam Tabel IV.5
dan Grafik IV.I.

Selanjutnya, realisasi nilai ekspor nonmigas dalam periode April-Agustus 1998


mencapai US$ 17.690,5 juta yaitu meliputi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil pertanian US$
1.559,1 juta, ekspor kelompok komoditi hasil-hasil industri US$ 15.057,4 juta, ekspor
kelompok komoditi hasil-hasil tambang di luar migas US$ 1.073,5 juta, dan ekspor kelompok
komoditi hasil-hasil lainnya US$ 0,5 juta. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya nilai ekspor nonmigas dalam periode April-Agustus 1998 menurun 1,1 persen.
Dalam periode yang sama nilai ekspor hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil industri masing-
masing meningkat 15,5 persen dan 3,0 persen, sedangkan nilai ekspor hasil-hasil tambang di
luar migas menurun 25,2 persen.

Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil pertanian yang mengalami peningkatan


nilai ekspor dalam periode April-Agustus 1998 adalah udang (segar/beku) (16,1 persen), teh
(8,8 persen), tembakau (37,0 persen), dan biji coklat (60,9 persen). Peningkatan nilai ekspor
udang (segar/beku), tembakau dan biji coklat terutama disebabkan oleh meningkatnya volume
ekspor komoditi bersangkutan. Sedangkan peningkatan nilai ekspor teh disebabkan oleh
meningkatnya harga komoditi tersebut di pasar internasional, mengingat dalam periode tersebut
volume ekspor teh mengalami penurunan.

Sementara itu kelompok komoditi hasil-hasil pertanian yang nilai ekspomya menurun
adalah getah karet (32,2 persen), kepi (16,1 persen), lada hitam (68,6 persen), lada putih (54,1
persen), ikan tuna dan lainnya (10,8 persen) serta ubur-ubur/kerang lainnya (17,9persen).
Penurunan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya
volume ekspor komoditi bersangkutan.

Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil industri meningkat dari US$ 14.613,1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 311


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 15.057,4 juta dalam periode April-Agustus
1998. Komoditi hasil-hasil industri yang nilai ekspomya mengalami peningkatan adalah kayu
olahan lainnya (59,8 persen), timah (unwrought) (9,0 persen), tekstil lainnya (40,2 persen),
minyak atsiri (11,2 persen), semen (59,9 persen), stearin (1.180,4 persen), bahan kimia (38,9
persen), kulit dan barang dari kulit (34,4 persen), serta kertas dan barang dari kertas (33,3
persen). Peningkatan nilai ekspor komoditi-komoditi tersebut terutama disebabkan oleh
peningkatan volume ekspor komoditi bersangkutan.

Sementara itu, kelompok komoditi hasil-hasil industri yang mengalami penurunan nilai
ekspor dalam periode April-Agustus l998 adalah kayu lapis (42,2 persen), kayu gergajian (62,2
persen), aluminium {unwrought) (18,4 persen), pakaian jadi (11,8 persen), kain tenun (9,2
persen), karet olahan (13,3 persen), bungkil kopra (59,6 persen), minyak kelapa sawit (52,7
persen), barang anyaman (67,6 persen), meubel (rotan, kayu,-bambu) (65,3 persen), alat-alat
listrik (5,5 persen), pupuk urea (46,7persen), kaca dan barang dari kaca (31,1 persen), alas kaki
(kulit, karet, kanvas) (24,3 persen). Penurunan nilai ekspor tersebut terutama disebabkan oleh
penurunan volume ekspor komoditi bersangkutan, kecuali kayu lapis, kain tenun, karet olahan,
serta kaca dan barang dari kaca yang dalam periode April-Agustus 1998 volume ekspornya
mengalami peningkatan.
Realisasi ekspor kelompok komoditi hasil-hasil tambang bukan migas menurun dari
US$I.435,0 juta dalam periode April-Agustus 1997 menjadi US$ 1.073,5 juta dalam periode
April-Agustus 1998. Dalam periode April-Agustus 1998 seluruh hasil tambang bukan migas
mengalami penurunan nilai ekspor, yaitu bijih tembaga (21,8 persen), bijih nikel (40,6 persen),
bauksit (15,9), baru baru (22,3 persen) dan lainnya (80,7 persen). Penurunan nilai ekspor
komoditi-komoditi tersebut disebabkan oleh menurunnya volume ekspor komoditi
bersangkutan, kecuali bijih tembaga yang dalam periode tersebut volume ekspornya
menunjukkan peningkatan.
Dalam periode April-Agustus 1998 realisasi ekspor nonmigas memberikan kontribusi
85,4 persen terhadap nilai ekspor secara keseluruhan. Kontribusi tersebut lebih besar
dibandingkan kontribusi dalam periode April-Agustus 1997 sebesar 79,9 persen dari total ekspor
Indonesia. Realisasi nilai ekspor nonmigas secara keseluruhan dapat dilihat dalam Tabel IV .6,
Grafik IV .2, dan Grafik IV .3.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 312


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel IV. 5

NILAI EKSPOR, 1989/1990 - 1998/1999

( dalam juta US $)

Tahun Migas Bukao migas Jumlah

aoggaran
Nilai % Nilai % Nilai %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)=(2)+(4) (7)=(3)+(5)

1989/1990 9.337 39,2 14.493 60,823,830 100

1990/1991 12.763 45,4 15.380 54,628.143 100

1991/1992 10.706 36,0 19.008 64,029.714 100

1992/1993 10.480 29,7 24.823 70,335.303 100

1993/1994 9.334 25,6 27.170 74,436.504 100

1994/1995 10.445 24,8, 31.716 75,242.161 100

1995/1996 10.616 22,2 37.138 77,847.754 100

1996/1997 12.771 24,5 39.267 75,552.038 100

1997/1998 10.238 18,2 45.924 81,856.162 100

1998/19991) 7.123 14,1 43.565 85,950.688 100

1) Perkiraan realisasi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 313


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 314


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Berdasarkan kawasan tujuan, ekspor dalam periode April-Agustus 1998 sebagian besar
ditujukan ke kawasan Asia yaitu 59,2 persen dari total ekspor. Pangsa kawasan Eropa, Amerika,
Australia dan Afrika masing-masing 17,8 persen, 17,7 persen, 3,4 persen, dan 1,9 persen.
Sementara itu, kawasan ASEAN menyerap 19,0 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia.
Sedangkan negara-negara yang banyak menyerap ekspor komoditi Indonesia antara lain adalah
Jepang (17,2 persen), Amerika Serikat (14,8 persen), Singapura (13,0 persen), Hongkong (3,8
persen), Belanda (3,2 persen), Australia (3,1 persen), Jerman (3,1 persen), dan Malaysia (2,6
persen). Realisasi nilai ekspor berdasarkan negara tujuan dapat dilihat dalam Tabel IV.7.

4.4.2 Impor
Dampak krisis ekonomi dan moneter yang cukup signifikan terhadap kinerja impor
Indonesia dalam tahun anggaran 1998/1999 dapat dilihat dari perkiraan realisasi nilai impor,
baik impor non migas maupun impor migas, yang menunjukkan tendensi penurunan yang cukup
berarti. Nilai impor nonmigas dalam tahun anggaran 1998/1999 diperkirakan mencapai US$
28.051,0 juta, atau 27,4 persen lebih rendah dibandingkan realisasi nilai impor nonmigas dalam
tahun anggaran 1997/1998. Merosotnya nilai impor non migas ini antara lain disebabkan karena
dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dolar mengakibatkan harga barang-barang
impor menjadi relatif lebih mahal. Selain itu, menurunnya nilai impor nonmigas juga
disebabkan oleh menurunnya berbagai kegiatan investasi dan konsumsi serta adanya kesulitan
dalam melakukan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 315


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV. 6

NILAI EKSPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM, 1989/1990 - 1998/1999

( dalam juta US $ )

Jenis barang 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

I. HasiI-hasii pertanian 1.906,9 2.180,5 2.182,4 2.274,3 2.272,9 2.855,8


1. Getab karet 38.8 54,0 52,0 39,8 46,2 40,9
2. Kopi 448,0 370,7 317,1 245,4 303,2 704,1
3. Uuang ( segarlbeku) 543,9 729,1 726,2 791,9 883,5 801,6
4. Teh 176,2 168,8 129,7 155,7 123,4 75,8
5. Lada hitam 33,8 21,7 25,9 26,1 12,1 38,1
6. Lada putih 59,4 53,6 37,3 32,2 39,8 42,4
7. Tembakau 39,2 71,2 60,1 80,0 42,1 78,0
8. Biji coklat 71,6 99,0 123,3 126,4 178,1 219,4
9. Gap1ek (manioc) I) 61,2 64,3 38,8 33,9 0,0 0,0
10. Jkan tuna dan 1ainnya 139,8 227,5 294,3 353,7 336,9 261,9
11. Ubur-ubur/kerang lainnya 40,2 42,7 37,8 37,3 43,5 82,1
12. Lainnya 254,8 277,9 339,9 351,9 264,1 511,5

II. HasiI-hasii industri 11.429,7 12.359,8 15.944,5 20.979,6 23.162,1 26.751,0


1. Kayo lapis 2.462,0 2.788,9 2.957,8 3.299,1 4.463,1 3.427,2
2. Kayo gergajian 575,6 118,5 236,2 302,7 448,4 505,7
3. Kayo olahan lain 430,0 540,7 616,5 666,8 881,5 1.014,6
4. TImah (unwroughl) 240,4 173,0 142,0 163,7 81,0 139,8
5. Aluminium (unwroughl) 339,9 257,3 223,4 277,1 265,7 363,9
6. Pakaian jadi 1.304,9 1.711,4 2.510,7 3.445,0 3.230,1 3.306,8
7. Kain tenon 683,2 981,1 1.424,0 2.181,8 1.633,4 1.576,9
8. Tekstillainnya 291,8 368,1 524,4 889,9 824,4 1.088,6
9. Karel olahan 986,0 909,6 982,1 1.146,6 1.046,5 1.659,4
10. Boogki1 kopra 40,3 44,7 43,6 37,5 34,2 35,2
11. Minyak atsiri 104,3 126,3 127,9 90,8 64,6 79,2
12. Rolan 0,9 3,0 0,4 0,1 0,1 0,0
13. Minyak kelapa sawil 229,7 .,8 303,3 399,1 473,9 776,9
14. Semen 130,5 68,6 65,6 104,5 47,4 30,2
15. Stearin 51,0 55,4 50,3 75,5 87,1 138,2
16. Barang anyaman 44,5 44,5 59,6 51,7 50,9 55,6
17. Meube1 (rotan, kayo, bambu) 205,3313,0 . 397,9 526,5 679,0 803,3
18. Bahan kimia 119,2 113,5 170,5 219,7 258,5 388,2
19. Alal-alat Hstrik 214,0 317,5 607,0 1.255,5 1.821,9 2.462,8
20. KuHI dan barang Dari kuHI 81,4 70,3 67,5 70,2 68,5 70,3
21. Pupuk urea 164,5 214,5 307,5 158,4 163.8 175,6
22. Kertas dan barang Dari kertas 167,0 165,8 307,6 353,8 518,7 808,0
23. Kaca dan barang Dari kaca 97,0 97,1 131,9 147,0 152,3 167,6
24. Alas kaki (kuHI, karet, kanvas) 291,3 687,5 1.061,4 1.441,1 1.627,4 1.962,9
25. Lainnya 2.175,0 1.940,7 2.625,4 3.675,5 4.239,7 5.714,1

II. HasiI-hasii tambaDg di lor migas 531,0 686,8 1.036,3 1.471,7 1.538,3 2.056,9
1. Bijih tembaga 321,4 408,9 508,0 771,3 746,1 1.010,8
2. Bijih Dike1 52,6 42,4 40,3 32,7 30,5 27,3
3. Baukail 10,8 12,1 14,9 9,1 17,6 11,5
4. Bijih timah (tin) 1,7 1,4 1,1 0,8 0,0 0,0
5. Batubara 99,7 172,7 406,0 565,0 639,8 883,1
6. Lainnya 44,8 49,3 66,0 92,8 104,3 124,2

V. HasiJ..hasii Jalnnya 1,6 1,8 2,4 2,4 1,8 1,9

Jumlah 13.869,2 15.228,9 19.165,6 24.728,0 26.975,1 31.665,6

1) Sejak Januari 1988 hanya ubi kayo kering, dan mu1ai taboo 1993 masuk ke hasil- hasil indusai

Departemen Keuangan Republik Indonesia 316


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV. 6 (lanjutan)

Jenls barang 1995/1996 199611997 1997/1998 1997/1998 1998/1999 *) Persentase

Apr-Agust Apr-Agust perubahan


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) = (6) : (5)

I. HasII-hasii pertaDian 2.970,9 2.896,5 3.478,5 1.349,5 1.559,1 + 15,5

1. Getah karet 50,5 35,8 29,4 14,3 9,7 - 32,2


2. Kopi 623,6 590,0 511,8 286,0 239,9 - 16,1
3. Uuang ( segarlbeku ) 1.028,9 1.020,3 1.005,5 423,4 491,7 + 16,1
4. Teh 96,9 117,2 83,6 43,1 46,9 + 8,8
5. Lada hitam 87,6 31,1 42,9 28,7 9,0 - 68,6
6. Lada putih 67,0 59,5 119,7 41,4 19,0 - 54,1
7. Tembakau 67,477.5 111,4 38,7 53,0 + 37,0
8. Biji coklat 237,7 258,2 294,9 121,2 195,0 + 60,9
9. Gap1ek (manioc) I) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 -
10. Ikan lUna dan 1ainnya 366,8 362,3 418,5 170,2 151,9 - 10,8
11. Ubur-uburlkernng 1ainnya 62,3 46,1 38,1 19,5 16,0 - 17,9
12. Lainnya 282,2 298,5 822,7 163,0 327,0 + 100,6

II. HaslI-hasii Industrl 30.038,0 32,740,1 35.880,7 14.613,1 15.057,4 + 3,0


1. Kayu lapis 3.442,3 3.700,5 2.999,2 1.545,7 893,0 - 42,2
2. Kayu gergajian 443,9 482,6 312,6 176,3 66,6 - 62,2
3. Kayu olahan lain 1.064,0 1.061,9 2.124,7 534,7 854,2 + 59,8
4. Timah (unwrought) 255,9 277,7 267,6 113,8 124,0 + 9,0
5. Aluminium (unwrought) 474,5 409,9 426,5 177,5 144,8 - 18,4
6. Pakaian jadi 3.444,3 3.669,6 2.564,5 1.434,0 1.265,2 - 11,8
7. Kain tenun 1.573,7 1.617,8 1.152,6 651,0 590,9 - 9,2
8. Tekstil lainnya 1.311,2 1.431,0 3.907,7 997,1 1.398,3 + 40,2
9. Karet olahan 2.237,0 2.180,3 1.781,4 795,2 689,2 - 13,3
10. Bungkil kopra 28,5 46,9 35,5 16,1 6,5 - 59,6
11. Minyak atsiri 83,8 76,9 105,8 46,6 51,8 + 11,2
12. Rotan 0,0 0,0 0,1 0,0 0,2 -
13. Minyak kelapa sawit 795,1 806,8 1.324,2 619,8 293,3- 52,7
14. Semen 14,8 11,5 51,7 21,2 33,9+ 59,9
15. Stearin 162,0 57,8 20,5 5,1 65,3+ 1.180,4
16. Barang anyarnan 68,0 61,6 33,3 21,0 6,8- 67,6
17. Meubel (rotan, kayu, bambu) 889,9 952,5 620,7 411,6 142,8- 65,3
18. Bahan kimia 574,8 585,3 799,7 333,9 463,9+ 38,9
19. Alat-alat listrik 2.839,3, 3.774,4 3.615,4 1.529,3 1.445,8- 5,5
20. Kulit dan barang Dari kulit 70,0 61,1 179,5 45,9 61,7+ 34,4
21. Pupuk urea 299,0 268,4 306,7 152,6 81,4- 46,7
22. Kenas dan barang Dari kertas 932,4 987,7 1.036,4 483,6 644,7+ 33,3
23: Kaca dan barang Dari kaca 205,0 228,7 117,2 79,0 54,4- 31,1
24. Alas kaki (kulit, karet, kanvas) 2.086,5 2.234,8 1.276,3 723,2 547,6- 24,3
25. Lainnya 6.742,1 7.754,4 1.0820,9 3.698,9 5.131,1+ 38,7

III. HaslI-hasii tambang ell 1uar migas 2.823,0 3.098,1 3.065,2 IA35,O 1.073,5- 25,2
1. Bijih temhaga 1.635,8 1.613,4 1.438,9 715,5 559,8- 21,8
2. Bijih Dikel 43,4 44,0 37,0 16,5 9,8- 40,6
3. Bawit 10,6 8,6 11,0 4,4 3,7- 15,9
4. Bijih timah (tin) 0,0 0,0 0,00,0. 0,0 -
5. BalU bara 1.016,7 1.298,3 1.457,0 625,7 486,1 - 22,3
6. Lainnya 116.5 133,8 121,3 72,9 14,1 - 80,7

IV. HaslI-hasiI 1ainnya 1,4 47,2 487,4 484,8 0,5 - 99,9

Jum1ah 35.833,3 38.781,9 42.911,8 17.882,4 17.690,5 - 1,1

*) Angka Sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 317


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 318


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 319


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV. 7

NILAI EKSPOR MENURUT NEGARA TUJUAN, 1989/1990 - 1998/1999

(dalamjuta US $)

198911990 199011991 199111992 199211993 199311994

Persenlas
Negara Persenlase Persenlase Persenlase Persenlase
e
Nilal Dari Nilal Dari NOai Dari Nilai Dari NUai Dari
jumJah jumJah jumJah jumJah jumJah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.ASIA 15.870 69,3 19.068 70,9 20.272 68,S 23.34966,0 23.559 64,7
ASEAN 2.492 2.631 3.293 4.727 4.686
- Malaysia 230 270 362 527 575
- Muangthai 217 206 277 434 393
- Pbilipina 155 168 165 205 290
-Singapura 1.880 1.977 2.476 3.530 3.397
- Brunei Darussalam 10 10 13 31 31
HongkoDg 542 619 756 885 939
Jepang 9.632 11.140 10.307 11.009 10.940
Asia lainnya 3.204 4.678 5.916 6.728 6.994
U.AFRIKA 228 1,0 201 0,7 3T1 1,3 483 1,4 433 1,2
III. AMERIKA 3.696 16,1 3.529 13,1 4.065 13,7 5.351 15,1 6.007 16,5
-USA 3.436 3.191 3.651 4.671 5.254
-KaDana 117 132 212 284 301
- Amerika lainnya 143 206 202 396 452
IV. AUSTRALASIA 415 1,8547 z,o700 2,4 844 2,4131 2,3
- Austta1ia 361 474 658 780 761
- Oceania iainnya 54 73 42 64 70
V. EROPA 2HJ7 11,8 3.551 13,3 4.170 14,1 5.371 15,1 5.589 15,3
ME 2.467 3.286 3.853 5.0S6 5.159
- IDggriS 417 569 618 905 978
- Belanda 691 751 907 1.102 1.094
- Jerman 517 830 875 1.051 1.141
- Belgia & Luxemburg 183 228 260 421 364
- Perancis 226 311 421 490 46S
- Denmark 39 61 86 93 99
- lrIandia 24 41 42 47 36
-Italia 249 296 439 610 573
-Yunani 7 11 19 34 45
- Portugai 27 16 11 21 28
- Spanyol 87 172 175 282 336
Rusia 113 53 42 71 134

Eropa lainnya 117 212 275 244 296

Jumlab 22.906 100,0 26.896 100,0 29.584 100,0 35.398 100,0 36.419 100,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 320


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TabelIV. 7 (Ianjutan)

1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 *)


(Apr-Agust)
Persentas Persentas
Negara Persentase Persentase Persentase
e e
Nuai Dari NiJaJ Dari NUai Dari NUai Dari NUai Dari
jumlah jumJah jumJah jumJah jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.A S I A 26.74164,0 29.763 64,0 32.471 63,7 33.954 63,4 12.269 59,2
ASEAN 5.936 6.440 7.300 9.066 3.938
- Malaysia 815 1.044 1.106 1.485 559
- Muangthai 429 728 839 839 376
- Philipina 418 663 652 834 299
- Singapura 4.225 3.979 4.677 5.864 2.696
- Brunei Darussalam 49 26 26 44 8
Hongkong 1.472 1.613 1.651 1.944 788
Jepang 11.289 12.545 13.078 11.663 3.584
Asia lainnya 8.044 9.165 10.442 11.231 3.959
II. AFRIKA 594 1,4 673 1,4 619 1,2 847 1,6 392 1,9
III. AMERIKA 7.029 16,8 7.418 16,0 8.193 16,1 8.501 15,9 3.670 17,7
-USA 6.069 6.295 6.997 7.146 3086
-Kanada 331 359 395 392 180
- Amerika lainnya 629 764 801 963 404
IV. AUSTRALASIA 813 2,0 1.176 2,S 1.332 2,6 1.672 3,1 711 3,4
- Australia 695 1.028 1.214 1.550 659
- Oceania lainnya 118 148 118 122 52
V. EROPA 6.586 15,8 7.455 16,1 8.364 16,4 8.581 16,0 3.681 17,8
ME 5.071 6.839 7.607 7.902 3.365
- Inggris 1.057 1.147 1.233 1.216 527
- Belanda 1.347 1.515 1.725 1.786 677
- Jerman 444 1.432 1.459 1.477 645
- Belgia & Luxemburg 433 547 732 837 371
- Perancis 444 528 572 509 227
- Denmark 108 114 131 151 61
- lrIandia 38 37 45 52 23
- ltalia 581 804 729 862 397
- Yunani 70 84 87 85 51
- Ponugal 45 50 47 40 15
- Spanyol 504 581 847 887 371
Ru sia 91 137 128 78 22

Eropa lainnya 1.424 479 629 601 294

Jumlab 41.763 100,0 46.485 100,0 . ho.m100,0 53.s5S100,0 20.723 100,0


, I--

*) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 321


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

pembiayaan impor karena perbankan di luar negeri menolak L/C impor dari Indonesia.
Sementara realisasi nilai impor migas dalarn periode yang sama mencapai US$ 2.837 juta atau
turun sebesar 30,6 persen dibandingkan dengan realisasi nilai impor migas dalarn tahun
sebelumnya sebesar US$ 4.085,0 juta. Penurunan nilai impor migas yang cukup drastis ini selain
karena pengaruh depresiasi rupiah juga disebabkan oleh turunnya harga minyak di pasar
internasional.
Berdasarkan jenis dan kelompok komoditi, penurunan nilai impor nonmigas berasal dari
hampir semua komoditi dengan penurunan terbesar terjadi pada kelompok barang-barang
modal, yaitu dari US$ 6.551,3 juta dalarn periode April- Agustus 1997 menjadi US$ 3.712,0
juta dalarn periode yang sama tahun berjalan, atau turun sebesar 43,3 persen. Kemudian disusul
dengan impor bahan baku/penolong yang mengalami penurunan sebesar 40,3 persen, yaitu dari
US$ 8.314,8 juta menjadi US$ 4.963,8 juta dan impor barang-barang konsumsi yang mengalami
penurunan sebesar 15,1 persen, yaitu dari US$ 1.382,8 juta menjadi US$ 1.174,3 juta.
Realisasi nilai impor kelompok barang modal yang mengalami penurunan paling besar
dalamperiodeApril-Agustus 1998 adalah alat telekomunikasi, yaitu dari US$ 699,3juta menjadi
US$ 133,4 juta, atau merosot sebesar 80,9 persen dibanding realisasinya dalarn periode yang
sama tahun 1997, kemudian diikuti dengan alat pengangkutan (48,5 persen), peralatan listrik
(43,9 persen), generator listrik (39,3 persen), dan mesin-mesin (36,9 persen). Sedangkan
realisasi impor barang-barang modal lainnya dalarn periode yang sama menunjukkan penurunan
sebesar 37,8 persen, yaitu dari US$ 1.891,3 juta menjadi US$ 1.176,2 juta.
Sementara itu, penurunan realisasi nitai impor kelompok bahan baku penolong yang
cukup drastis dalarn periode April-Agustus 1998 adalah disebabkan karena impor semua
komoditi dalam kelompok ini mengalami penurunan dibandingkan realisasi impor dalarn
penode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada impor semen, kapur, dan
bahan bangunan buatan pabrik sebesar 79,6 persen, yaitu dari US$ 36,8 juta dalarn periode
April-Agustus 1997 menjadi US$ 7,5 juta dalarn periode yang sama tahun 1998, kemudian
diikuti dengan impor pupuk (73,6 persen), alat-alat listrik (55,6 persen), bahan bangunan (49,9
persen), besi baja dan logarn (41,0 persen), bahan karet dan plastik (38,2 persen), bahan-bahan
kertas (34,7 persen), bahan kimia (29,3 persen), bahan obat-obatan (28,7 persen), dan benang
tenon (8,6 persen). Sedangkan realisasi impor bahan baku penolong lainnya menunjukkan
penurunan sebesar 50,1 persen, yaitu dari US$ 3.011,7 j uta menjadi US$ 1.490,8 juta.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 322


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Selanjutnya realisasi nilai impor barang-barang konsumsi dalarn periode April-Agustus


1998 yang mengalami penurunan sebesar 15,1 persen terutama berasal dari penurunan impor
sejumlah komoditi. Empat komoditi yang mengalami penurunan nilai impor terbesar di
antaranya adalah tembakau dan olahannya yaitu dari US$ 96,8 juta menjadi US$ 27,3 juta, atau
turun sebesar 71,8 persen; susu, makanan, minuman dan buah-buahan yaitu dari US$ 440,2 juta
menjadi US$ 181,3 juta atau turun sebesar 58,8 persen; gabon dan kosmetik yaitu dari US$
62,6 juta menjadi US$ 31,0 juta atau turun sebesar 50,5 persen; dan alat -alat rumah tangga dari
US$ 94,3 juta menjadi US$ 47,0 juta atau turun sebesar 50,2 persen. Komoditi-komoditi lain
yang juga mengalami penurunan dalam periode April-Agustus 1998 adalah tekstil sebesar 26,4
persen dan barang-barang konsumsi lainnya sebesar 30,6 persen dibandingkan dengan realisasi
dalam periode yang sama tahun 1997. Sementara komoditi yang menunjukkan peningkatan
impor dalam kelompok barang konsumsi adalah beras, yaitu dari US$ 67,4 juta menjadi US$
449,2 juta atau meningkat sebesar 566,5 persen dibandingkan realisasi impor dalam periode
yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan impor beras yang sangat besar ini erat kaitannya dengan
langkah-Iangkah yang diambil Pernerintah dalam upaya menjaga ketersediaan pangan yang
cukup, sehingga mampu memenuhi tuntutan permintaan di dalam negeri yang memperlihatkan
tendensi yang meningkat menyusul terjadinya krisis dan menurunnya kemampuan posok pangan
di dalarn negeri. Perkembangan nilai irnpor nonmigas secara rinci dapat dilihat dalam Tabel
IV.S, Grafik IV.4, dan Grafik IV.5.
Sementara itu, bila dilihat dari negara asal impor Indonesia dalam periode April-
Agustus 1998 sebagian besar berasal dari negara-negara kawasan Asia, yaitu sekitar 52,2 persen
dari total impor, atau sedikit lebih rendah dibanding pangsanya dalam periode yang sama tahun
sebelurnnya sekitar 52,3 persen dari total impor. Kemudian diikuti impor dari negara-negara
kawasan Eropa sekitar 23,7 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan pangsa impor dalam peri
ode yang sama tahun 1997 sekitar 22,4 persen. Sementara impor Dari negara-negara kawasan
Amerika, Australia dari Afrika dalam periode April-Agustus 1998 masing-masing mencapai
16,1 persen, 6,6 persen dari 1,4 persen dari total impor dalam tahun tersebut, juga sedikit lebih
rendah dibandingkan impor dari ketiga kawasan dalam peri ode yang sama tahun sebelumnya.
Impor yang berasal dari negara-negara kawasan Asia dalam periode April-Agustus
1998 masih tetap daidominasi oleh Jepang, yaitu dengan pangsa sekitar 33,5 persen. Kemudian
disusul oleh Singapura dengan pangsa sekitar 14,8 persen. Sementara itu, impor dari negara-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 323


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

negara di kawasan Amerika dalam periode yang sama, juga masih didoominasi oleh Amerika
Serikat, yaitu dengan pangsa sekitar 76,8 persen dari total impor kawasan itu. Sedangkan impor
dari kawasan Eropa, sebagian besar berasal dari negara-negara yang tergabung dalarn
Masyarakat Eropa, dengan pangsa mencapai 84,3 persen dari nilai impor kawasan itu secara
keseluruhan. Negara-negara dalam kawasan ini yang mernberikan kontribusi cukup besar
terhadap impor Indonesia adalah Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia. Perkembangan nilai
impor berdasarkan negara asalnya dalarn periode April-Agustus 1998 dapat dilihat dalam Tabel
IV.9.

4.4.3 Pengeluaran Jasa-jasa (neto)


Dalam tahun 1998/1999, neraca jasa-jasa (services account), yang terdiri dari jasa-jasa
migas dan jasa-jasa nonmigas diperkirakan mengalami defisit US$15.310 juta, atau meningkat
1,0 persen dibandingkan defisit neraca jasa dalam tahun sebelumnya sebesar US$15.157 juta.
Peningkatan defisit neraca jasa-jasa dalam tahun 1998/1999 tersebut berkaitan terutama dengan
meningkatnya defisit neraca jasa-jasa nonmigas sebesar 18,8 persen dari US$10.522 juta dalam
tahun 1997/1998 menjadi US$ 12.503 juta.
Meningkatnya defisit neraca jasa-jasa nonmigas tersebut berhubungan terutama dengan
meningkatnya pembayaran bunga utang luar negeri swasta, sedangkan di pihak lain penerirnaan
devisa dari jasa-jasa pariwisata mengalami penurunan. Penerimaan devisa dari jasa pariwisata
dalamtahun 1998/1999 diperkirakan mencapai US$ 3.720 juta, sementara dalam tahun
sebelumnya mencapai US$6.140 juta. Turunnya penerimaan devisa jasa pariwisata tersebut
terutama disebabkan berkurangnya jumlah wisatawan mancanegara (wisman) sebagai akibat
tidak mendukungnya situasi sosial politik di Indonesia, selain disebabkan pula oleh
berkurangnya rata-rata pengeluaran wisman perkunjungan (dalam US$), yaitu dari US$I.250
juta per orang per kunjungan dalam tahun 19997/1998 menjadi US$1.002 per orang per
kunjungan, sebagai dampak dari depresiasi rupiah terhadap US$ yang menyebabkan wisman
membelanjakan lebih sedikit US$ untuk mendapatkan jasa/barang yang sama (dalam rupiah).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 324


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TabelIV.8

NILAI IMPOR BUKAN MINY AK BUMI DAN GAS ALAM


MENURUT GOLONGAN BARANG, 1989/1990 - 1998/1999
( df, dalam juta US $ )
19901.199
Golongan Barang 1989/1990 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995
1
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

I.Barang Konsumsi 960,6 1.125,4 1.679,1 1.777,7 1.805,4 2.460,0


1. Beras 7,0 12,7 146,2 80,2 9,4 341,4
2. Tekstil 125,0 189,7 224,3 283,1 321,7 354,9
3. Susu, makanan, minuman
Dari buah-buahan 336,7 225,7 337,3 384,5 376,8 496,5
4. Tembakau Dari olahannya 29,9 51,6 66,0 84,6 104,0 133,3
5. Sabun Dari kosmetik 32,1 40,1 44,3 56,3 73,2 91,3
6. Alat-alat rumah tangga 74,6 104,0 102,9 90,8 88,4 146,2
7. Lainnya 355,3 501,6 758,1 798,2 831,9 896,4

II. Bahan baku/penolong 8.850,8 10.641,4 11.194,6 12.141,2 13.775,8 17.304,5

1. Bahan kimia 1.641,2 1.962,5 1.926,1 2.060,2 2.398,2 3.095,0


2. Bahan obat-obatan 109,9 124,7 122,6 161,1 148,4 161,8
3. Pupuk 117,0 99,1 68,1 139,3 93,4 104,5
4. Bahan-bahan kertas 175,4 203,3 218,9 208,0 222,0 250,5
5. Benang tenun 931,3 1.177,3 1.422,9 1.513,9 1.439,7 1. 704,5
6. Semen, kapur, Dari bahan
bangunan buatan pabrik 3,7 10,0 9,8 9,0 20,0 80,8
7. Besi baja Dari logam 1.926,1 2.526,2 2.442,7 2.639,3 2.908,7 3.168,5
8. Bahan-bahan karet & plastik 977,7 1.079,3 1.087,7 1.196,5 1.190,7 1.489,8
9. Bahan bangunan 188,9 289,8 351,3 423,9 391,0 348,5
10. Alat-alat listrik 131,7 103,9 182,0 238,8 193,3 260,2
11. Lainnya 2.647,9 3.065,3 3.362,5 3.551.2 4.770,4 6.640,4

III. Barang modal 6.145,8 9.590,1 11.066,4 11.441,4 11.128,3 11.578,9

1. Mesin-mesin 2.734,0 4.625,6 5.088,0 4.635,4 4.866,0 5.369,6


2. Generator listrik 145,0 172,8 509,4 574,4 355,8 338,2
3. Alat telekomunikasi 339,5 489,9 660,0 908,4 897,3 711,3
4. Peralatan listrik 366,4 506,9 599,8 1.023,2 930,1 1.002,4
5. Alat pengangkutan 816,8 1.422,4 1.499,1 1.014,3 1.211,3 1.221,1

6. Lainnya 1.744,1 2.372,5 2.710,1 3.285,7 2.867,8 2.936,3

Jumlah 15.957,2 21.356,9 23.940,1 25.360,3 26.709,5 31.343,4

Departemen Keuangan Republik Indonesia 325


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TabelIV.8 (lanjutan)

1997/1998 199811999*)
(Apr-Agust) (Apr-Agust)
Golongan Barang 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Persentase Persentase
Nilai Dari Nilai Dari
Jumlah Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
,
I. Barang Konsumsi 3.584,5 3.511,3 2.828,7 1.382,8 8,5 1.1'74,3 11,9
I. Beras 687,5 429,4 143,9 67,4 449,2
2. Tekstil 396,1 446,8 337,7 166,4 122,5
3. Susu, makanan, minuman
dan buah-buahan 954,8 1.070,5 883,4 440,2 181,3
4. Tembakau dan olahannya 170,0 181,5 190,2 96,8 27,3
5.SMUll dan kosmetik 94,6 101,4 118,0 62,6 31,0
6. Alat-alat rumah tangga 222,4 198,5 218,2 94,3 47,0
7.Lainnya 1.059,1 1.083,2 937,3 455,1 316,0

II. Bahan bakulpenolong 20.592,3 20.249,4 17.654,5 8.314,8 51,2 4.963,8 50,4
I.Bahan kimia 3.743,2 3.734,7 3.285,9 1.555,2 1.099,4
2.Bahan obat-obatan 200,2 219,0 162,7 88,1 62,8
3.Pupuk 146,5 222,5 188,2 115,6 30,5
4.Bahan-bahan kertas 330,9 308,9 322,7 151,0 98,6
5.Benang tenun 1.913,8 1.803,8 1.524,0 712,8 651,6
6.Semen, kapur, dan bahan
bangunan buatan pabrik 115,7 140,7 89,1 36,8 7,5
7. Besi baja dan logam 4.254,7 3.970,4 3.601,5 1.549,2 913,6
Bahan-bahan karet &
8. 1.705,5 1.503,5 . 1.260,4 614,9 379,8
plastik
9. Bahan bangunan 388,8 572,5 590,1 287,2 143,8
10. Alat-alat listrik 279,3 360,0 398,5 192,3 85,4
11. Lainnya 7.513,7 7.413,4 6.231,4 3.011,7 1.490,8

III. Barang modal 14.081,3 16.328,8 14.029,9 6.551,3 40,3 3.712,0 37,7
I.Mesin-mesin 6.730,9 7.035,5 6.040,7 2.752,2 1.736,5
2.Generator listrik 487,1 498,5 420,5 220,1 133,5
3.Alat telekomunikasi 1.141,6 1.979,5 1.415,1 699,3 133,4
4.Peralatan listrik 971,5 962,0 1.074,3 513,4 287,9
5.Alat pengangkutan 1.042,8 1.334,1 1.093,2 475,0 244,5
6.Lainnya 3.707,4 4.519,2 3.986,1 1.891,3 1.176,2
Jumlah 38.258,1 40.089,5 34.513,1 16.248,9 100,0 9.850,1 100,0
*) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 326


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 327


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 328


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel IV.9

NILAI IMPOR MENURUT NEGARA ASAL, 1989/1990 . 1998/1999


( dC, dalam juta US $ )

1989/1990 199011991 199111992 199211993 1993/1994

Penenta Penenta Persenta Persenta Persentas


Negara
se se se se e
Nilai darl Nllai darl Nilai Dari Nllai darl Nllai dart
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

L ASIA 9.478,2 55,2 13.064,655,4 14.348,254,8 13.876,1SO,8 15.764,3 54,5


ASEAN 1.670,3 2.112,4 2.501,4 2.521,5 2.650,1
- Malaysia 366.5 294.4 497.5 524.7 531.9
- Muangthai 162.9 195,7 336,8 283.4 227,4
- Philipina 60,1 50,6 83,7 60,0 56,0
- Singapura 1.079,6 1.571,3 1.583,2 1.652,5 1.834,2
- Brunei Darussalam 1.2 0,4 0,2 0,9 0,6
Hongkong 199,2 276,3 245,4 209,1 259,0
Jepang 3.975,8 5.875,0 6.421,9 5.649,6 6.562,4
Asia lainnya 3.632,9 4.800,9 5.179,5 5.495,9 6.292,8

D, AFRIKA 162,6 1,0 163,8 0,7 198,0 0,8 200,7 0,7 148,0 0,5
DL AMERIKA 2.993,5 17,4 3.724,7 15,8 4.409,2 16,8 4.864,8 17,8 4.284,7 14,8
-USA 2.161,6 2.614,8 3.500.4 3.920,8 3.111,4
-Kanada 393,1 327,7 386,7 453,6 427,3
- Amerika 1ainnya 438,8 782,2 522,1 490.4 746,0
IV. AUSTRALASIA 1.055,3 6,1 1.385,3 5,9 1.480,4 5,7 1.568,2 5,8 1.566,9 5,4
. Australia 952.5 1.273,4 1.355,1 1.431,3 1.380,3
- Oceania 1ainnya 102,8 111,9 125,3 136,9 186,6
V, EROPA 3.489,1 20,3 5.242,4 22,2 5.738,1 21,9 6.804,7 24,9 7.184,9 24,8
ME 2.797,6 4.512,5 4.630,5 5.691,5 5.542,3
- Inggris 350,0 464,9 651,3 749,7 795,3
- Belanda 274,0 578,0 461,5 585,6 . 585,1
- Jenoan 980,3 . 1.731,0 2.077,8 2.190,6 2.063,8
- Belgia & Luxemburg 174,3 255,1 299,0 264,5 340,3
- Perancis 501,3 730,1 437,2 901,1 805,1
- Denmark 32,7 64,3 60,7 133,6 158,3
- Irlandia 10,0 73,8 13,8 27,5 20,9
. IbIlia 358,1 493,0 491,2 574,5 550,0
. Yunani 5,3 4.4 4,6 7,9 15,3
- Ponugal 2,3 7,8 2,0 2,0 2,2
- Spanyol 109,3 110,1 131.4 254,5 206,0
Rusia 51,0 50,1 51,1 49,0 113,5

Eropa lainnya 640,5 679,8 1.056,5 1.064,2 1,529,1

Jumlab 17.178,7 100,0 23.580,8 100,0 26.173,9 100,0 27.314,5 100,0 28.948,8 100,0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 329


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel IV. 9 (lanjutan)

1998/1999 .)
1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998
(Apr.Agust)
Person" Person" Person.. Persent
Negara Pene.....
" " .. Me
Nllai Dari Nllai Dari Nllai Dari Nllai Dari Mlai dart
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
(1) (1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

L ASIA 18.670,855,0 22.494,4 54,5 22.635,951,5 19.991,852,3 5.597,3 S2,2


ASEAN 3.151,8 4.114,4 5.178,Z 5.010,5 1.411,7
- Malaysia 580.2 819,1 879,5 761,7 255,8
- Muangthai 561.8 800,4 1.050,5 805,7 314,0
. Philipina 67,2 80,1 91.6 122,3 25,5
- Singapura 1.942,3 2.514,0 3.152,3 3.327,9 826,3
- Brunei Darussalam 0,3 0,8 4,3 2,9 0,1
Honglrong 241,8 266,9 256,3 320,8 106,2
Jepang 7.821,3 9.549,1 ' 8.581,2 7.398,6 1.874,6
Asia lainnya 7.455,9 8.464,0 8.620,2 7.251,9 2.194,8
n. AFRIKA 478,3 1,4 599,8 1,4 693,6 1,6 591,4 1,5 15z,z 1,4
m AMERIKA 5.157,0 15,1 6.806,8 16,5 7.090,5 16,1 6.411,5 16,8 1.715,4 16,1
-USA 3.882,4 4.896,8 5.270,6 4.882,5 1.325,1
.-,\Canada 564,8 789,2 747,3 648,4 200,3
Amerika lainnya 709,8 1.120,8 1.072,6 890,6 200,0
IV. AUSTRALASIA 1.853,6 5,4 1.241,1 5,4 1.817,4 6,4 1.663,8 7,0 704,5 6,6
- Australia 1.677,2 2.037,1 2.565,6 2.442,1 632,7
- OCeania lainnya 176,4 204,1 261,8 221,7 71,7
V. EROPA 7.807,1 13,0 9.161,3 n,z 10.724,7 24,4 8.554,9 11,4 1.544,8 23,7
ME 6.174,7 7.110,5 8.193,3 6.688,6 1.145,4
- Inggris 692,8 978,1 1.149,4 1.011,7 346,3
- Belanda . 721,7 673,7 492,2 540,4 145,2
- Jennan 2.512,2 2.889,6 3.028,9 2.613,3 997,6
- Belgia & Luxemburg 316.0 392,2 401,4 320,7 146,9
- Perancis 852,1 994,0 1.131,5 885,1 213,1
- Denmark 100,5 126,7 195,2 128,4 19,5.
- lrlandia 27,0 39,9 40,2 32,5 10,1
- ltalia 725,5 824,9 1.235,3 820,2 200,9
- Y unani 43,6 54,8 91,1 25,6 8,1
- Ponugal 3,9 8,6 4,4 22,5 0,4
- Spanyol 179,4 228,0 423,7 288,2 57,3
Rusia 309,0 337,9 418,6 237,6 28.9

Eropa lainnya 1.323,5 1.612,9 2.112,8 1.628,7 370,5

Jumlah 33.966,9 100,0 41.303,5 100,0 43;971;1 100,0 38.124,4 100,0 10.724,1 100,0

*) Angka sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 330


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam periode yang sama, defisit neracajasa-jasa migas menurun sebesar 39.4 persen
dari US$ 4.635 juta menjadi US$ 2.807 juta sebagai akibat dari menurunnya impor migas dalam
tatun 1998/1999. Penurunan impor migas menyebabkan berkurangnya pengunaan jasa
pengangkutan (freight) maupun jasa nonfreight di sektor migas, masing-masing dari US$ 409
juta dan US$ 4.226 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 280 juta dan US$ 2.527 juta
dalam tahun 1998/1999.

4.4.4 Lalu Lintas Modal dan Transfer


Krisis yang melanda perekonomian Indonesia sejak bulan luli 1997 berdampak negatif
terhadap lalu lintas modal di Indonesia, khususnya aliran modal swasta. Sebelum terjadinya
krisis, arus masuk modal (capital inflows) ke Indonesia baik melalui penanaman modal asing
langsung (PMA) maupun utang luar negeri khususnya oleh sektor swasta, senantiasa mengalami
peningkatan. Namun setelah krisis ekonomi menerpa Indonesia, terjadi kecenderungan
mengecilnya aliran pemasukan modal tersebut, yang an tara lain disebabkan oleh menurunnya
aliran modal dalam rangka investasi asing dan merosotnya aliran masuk utang kepada sektor
swasta. Kesemuanya itu berkaitan erat dengan krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik,
sehingga menyebabkan fisiko berinvestasi di Indonesia (country risk) menjadi tinggi. Bila dalam
tahun 1997/1998 arus masuk modal asing, baik dalam rangka PMA maupun utang luar negeri
sektor swasta tercatat masingmasing sebesar US$ 9.323 juta dan. US$ 5.035 juta, dalam tahun
1998/1999 jumlahnya telah mengalarni penurunan yang signifikan, yaitu masing-masing
menjadi US$ 5.966 juta dan US$ 1.897 juta.

Modal asing telah memberikan peranan yang amat besar dalam menunjang keberhasilan
pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dimulainya pembangunan nasional. Namun penggunaan
modal asing tersebut juga telah memberikan andil yang besar, khususnya modal-modal swasta
komersial dan berjangka pendek terhadap krisis finansial yang kemudian berkembang menjadi
krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini. Keberhasilan sektor swasta sebagai lokomotif
pertumbuhan ekonorni dalam beberapa tahun terakhir merupakan suatu kenyataan yang tak
dapat disangkal. Keberhasilan tersebut ternyata mengandung benih-benih pernicu krisis
ekonomi, di mana dalam tahun-tahun terakhir kegiatan investasi sektor swasta ditunjang oleh
pinjaman luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Utang luar negeri sektor swasta tersebut
bersifat komersial yakni jangka waktu pengembaliannya pendek dan berbunga tinggi. Struktur
utang sektor swasta yang sebagian besar berjangka pendek dan dalam jumlah yang sangat besar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 331


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

serta adanya kecenderungan terjadinya mismatch dalam penggunaannya telah menimbulkan


kerawanan bagi cadangan devisa disaat utang-utang tersebut jatuh tempo.
Sementara itu peranan Pemerintah untuk mengatasi kekurangan dana dalam Negeri
dengan menghimpun dana melalui pinjaman luar negeri diperkirakan masih tetap besar,
mengingat potensi sumber daya modal dari dalam negeri semakin terbatas akibat krisis ekonomi
yang berdampak pada penurunan secara drastis pada tingkat pendapatan dan tabungan
masyarakat. Sektor swasta domestik pun, dalam waktu dekat belum dapat diharapkan
kebangkitannya untuk kembali menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis
ekonomi. Walaupun beberapa negara lembaga keuangan internasional telah menyatakan
komitmennya untuk membantu krisis keuangan di Indonesia, namun upaya Pemerintah untuk
memperoleh injeksi dana dari luar tampaknya tidak senantiasa berjalan dengan mulus. Hal
tersebut disebabkan kendala dari dalam negeri berupa situasi politik dalam negeri yang belum
terkendali tentunya akan menjadi pertimbangan bagi kreditor dalam memberikan pinjaman.
Sedangkan kendala dari luar negeri berupa persaingan yang semakin ketat dalam
memperebutkan modal asing yang terbatas, karena selain Indonesia banyak pula negara lain
yang terkena imbas krisis ekonomi yang juga membutuhkan bantuan keuangan, disamping
adanya negara-negara donor yang juga mengalami krisis ekonomi dalam negerinya seperti
Jepang yang merupakan donatur terbesar bagi Indonesia selama ini.

Sebagai salah satu langkah kebijaksanaan dari Pemerintah di dalam menangani masalah
utang perusahaan-perusahaan swasta Indonesia, ialah dikeluarkannya Keputusan Presiden No.
56 tahun 1998 tentang kewajiban melaporkan utang luar negeri swasta. Dalam keputusan ini
antara lain memuat peraturan bahwa perusahaan swasta yang mempunyai utang luar negeri
wajib melaporkan posisi utangnya secara berkala kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, langkah-
langkah lain imtuk mengantisipasi permasalahan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat
ini, Pemerintah telah mengambil beberapa kebijaksanaan yang berhubungan dengan laIu lintas
modal, di antaranya: (i) melalui pertemuan Consultative Group' on Indonesia dimana telah
berhasil diupayakan memperoleh tambahan bantuan luar negeri yang segera dapat dicairkan
(Fast Disbursing Assistance); (ii) mengupayakan penerimaan bantuan IMF dalam rangka
reformasi ekonomi guna memulihkan dan menyehatkan perekonomian Indonesia; (iii) melalui
pertemuan Paris (paris Club) telah diupayakan penangguhan sebagian pembayaran kewajiban
cicilan pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor; (iv)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 332


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

membantu penyelesaian utang luar,negeri sektor swasta melalui program INORA (Indonesian
Debt Restructuring Agency) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative); (v) program privatisasi
BUMN yang kepemilikan sahamnya juga terbuka bagi investor asing; (vi) tetap
mempertahankan sistem devisa bebas dengan kemungkinan mengkaji beberapa penyesuaian
untuk mendorong masuknya kembali modal asing; (vii) melanjutkan kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi guna menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi baik investasi
domestik (PMON) maupun investasi asing (PMA).
Pinjaman luar negeri pemerintah dalam tahun 1998/1999 diperkirakan akan meningkat
pesat, namun demikian pada tahun-tahun yang akan datang, pinjaman ini harus dapat dikurangi
agar pendanaan pembangunan tidak terus menerus bertumpu pada pinjaman luar negeri.
Pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pemerintah tetap berpegang pada beberapa pedoman
antara lain babwa pinjaman luar negeri tersebut hrus tanpa adanya ikatan politik, memiliki
persyaratan lunak yakni tingkat bunga yang rendah dan jangka waktu pengembalian dan
tenggang waktunya relatif panjang. Dalam hal ini yang perlu diupayakan adalah mengurangi
tingkat ketergantungan beserta beban-beban yang ditimbulkannya dan menjaga agar utang
tersebut tidak melampaui kemampuan negara untuk mengembalikannya.
Dalam tahun 1998/1999 tercatat peningkatan lalu lintas modal neto, dari defisit US$
7.629 juta pada tahun 1997/1998 menjadi surplus US$ 4.437 juta. Jumlah tersebut merupakan
hasil dari pemasukan modal pemerintah sebesar US$ 18.273 juta, dikurangi dengan lalu lintas
modal swasta bersih sebesar US$ 10.769 juta, dan dikurangi dengan pembayaran utang pokok
pemerintah sebesar US$ 3.067 juta. Kenaikan lalu lintas modal neto tersebut disebabkan oleh
kenaikan komponen pemasukan modal pemerintah yaitu dari US$ 8.293 juta dalam tahun
1997/1998 menjadi US$ 18.273 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 120,3 persen.
Kenaikan pemasukan modal pemerintah tersebut disebabkan adanya peningkatan dalam
komponen bantuan program dan lainnya dari US$ 3.036 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi
US$ 12.186 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sebesar 301,4 persen. Demikian pula
komponen bantuan proyek dan lainnya yang mengalami kenaikan Dari US$ 5.257 juta dalam
tahun 1997/1998 menjadi US$ 6.087 juta dalam tahun 1998/1999 atau naik sekitar 15,8 persen.
Pembayaran utang pokok pemerintah diperkirakan mengalami penurunan dari US$ 4.095 juta
dalam tahun 1997/1998 menjadi US$ 3.067 juta dalam tahun 1998/1999 atau turun sekitar 25,1
persen. Sementara itu, defisit lalu lintas modal swasta bersih diperkirakan mengalami

Departemen Keuangan Republik Indonesia 333


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

penurunan, yaitu dari US$ 11.827 juta dalam tahun 1997/1998 menjadi defisit US$ 10.769
juta dalam tahun 1998/1999.

4.5 Perkiraan Neraca Pembayaran dalam Tahun Anggaran 1999/2000


Kinerja neraca pembayaran dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan akan berbeda
dari kinerja dalam tahun anggaran sebelumnya. Pertumbuhan nilai ekspor nonmigas dan impor
nonmigas dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan akan lebih tilggi dibandingkan dalam
tahun sebelumnya. Sementara itu, ekspor migas diperkirakan mengalami penurunan sehubungan
dengan turunnya harga minyak mentah. Dalam pada itu, defisit nernea jasa-jasa diperkirakan
akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya impor, sehingga surplus transaksi berjalan
diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada sisi neraca modal, pemasukan modal pemerintah diperkirakan tetap mengalami
surplus. Sementara itu, dalam periode yang sama defisit neraea modal swasta diperkirakan
mengalami penurunan berkaitan dengan upaya-upaya perbaikan iklim investasi di Indonesia.
SurpIus modal pemerintah diperkirakan Iebih besar dibandingkan defisit laIu lintas modal
swasla, sehingga neraca modal secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1999/2000
diperkirakan mengalami surplus. Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan neraca
modal tersebut, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengalami surplus, yang
berarti memberi pengaruh menambah pada cadangan devisa.

4.5.1 Perkiraan Nilai Ekspor Minyak Bumi dan Gas Alam (neto)

Dalam tahun 1999/2000, harga rata-rata minyak mentah dunia diperkirakan lebih
rendah dibandingkan harga dalam tahun sebelumnya. Penurunan harga minyak mentah tersebut
akan diikuti pula oleh penurunan harga gas alam. Sebagai akibatnya, nilai ekspor migas
diperkirakan mengalami penurunan sebesar 7,0 persen menjadi US$ 6,6 miliar. Dalam periode
yang sama, nilai impor migas diperkirakan tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan
dengan impor dalam tahun sebelumnya, yaitu mencapai US$ 2,8 miliar. Dengan demikian,
ekspor migas neto dalam tahun 1999/2000 diperkirakan akan mencapai US$ 3,8 miliar.

4.5.2 Perkiraan Nilai Ekspor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam

Departemen Keuangan Republik Indonesia 334


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nilai ekspor nonmigas dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mengalami peningkatan


4,8 persen menjadi US$ 45,7 miliar. Hal itu sejalan dengan perkembangan perekonomian
nasional maupun perekonomian negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia yang belum
sepenuhnya mengalami pemulihan. Perkiraan tersebut danasarkan pada asumsi-asumsi :
(1) Kondisi sosial-politik dalam tahun 1999/2000 secara bertahap semakin dapat dipulihkan,
sehingga berdampak positif terhadap kesempatan usaha di sektor riil;
(2) Kapasitas produksi dan distribusi belum mengalami perubahan berarti;
(3) Nilai tukar rupiah terhadap US$ relatif stabil, tetapi secara riil masih memberikan
keunggulan komparatif bagi komoditi ekspor Indonesia dibandingkan komoditi ekspor dari
negara-negara Asia Tenggara lain (Thailand, Malaysia, Phillipina, dan Vietnam) yang juga
mengalami depresiasi, mengingat selama masa krisis, depresiasi rupiah lebih besar
dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara-negara tersebut.
(4) Suku bunga diperkirakan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
sehingga diharapkan akan dapat mendorong kegiatan investasi dan perdagangan;
(5) Pertumbuhan ekonomi dunia, terutama pertumbuhan di negara-negara tujuan utama ekspor
Indonesia diperkirakan belum mengalami perubahan berarti.

4.5.3 Perkiraan Nilai Impor Bukan Minyak Bumi dan Gas Alam
Nilai impor nonmigas dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mencapai US$ 31,1 rniliar
atau mengalami peningkatan 10,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkiraan
tersebut danasarkan pada asumsi-asumsi :
(1) Situasi sosial-politik dalam tahun 1999/2000 secara bertahap semakin dapat dipulihkan,
sehingga berdampak positif terhadap kesempatan usaha di sektor riil;
(2) Nilai tukar rupiah terhadap US$ relatif stabil, sehingga diperkirakan tidak akan menghambat
Impor;
(3) Suku bunga relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sehingga
diharapkan dapat memberikan peluang yang baik bagi kegiatan investasi, produksi, dan
perdagangan, termasuk kegiatan yang memerlukan produk impor;
(4) Pendapatan masyarakat belum banyak berubah dibandingkan pendapatan dalam tahun
sebelumnya, sehingga permintaan terhadap produk impor atau produk yang mengandung
muatan impor belum banyak mengalami perubahan;

Departemen Keuangan Republik Indonesia 335


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(5) Kepercayaan mitra dagang luar Negeri terhadap L/C dari importir Indonesia berangsur
meningkat.

4.5.4 Perkiraan Pos Lainnya


Neraca jasa-jasa dalam tahun 1999/2000 diperkirakan mengalami defisit US$17,1
miliar. Dengan demikian, transaksi berjalan diperkirakan mengalami surplus US$ 1,3 miliar atau
setara dengan 0,9 persen dari produk produk domestik bruto (PDB).
Pemasukan modal pemerintah diperkirakan mencapai US$ 11,2 millar, yang terdiri dari
bantuan program dan lainnya US$ 7,2 miliar serta bantuan proyek dan lainnya US$ 4,0 miliar.
Sementara itu, pembayaran pokok pinjaman pemerintah diperkirakan mencapai US$ 4,3 miliar,
sehingga pemasukan modal pemerintah (bersih) mencapai US$ 6,9 millar.
Dalam pada itu, lalu lintas modal lainnya (bersih) diperkirakan masih mengalami defisit
US$ 4,9 miliar, atau 54,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan
surplus lalu lintas modal pemerintah (bersih) yang masih lebih besar dibandingkan dengan
defisit lalu lintas modal lainnya, maka neraca modal secara keseluruhan diperkirakan mengalami
surplus US$ 2,0 miliar. Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan neraca modal
tersebut, neraca pembayaran secara keseluruhan diperkirakan mengaIami surplus US$ 3,3
miliar. Perkiraan neraca pembayaran secara keseluruhan dalam tahun anggaran 1999/2000
disajikan dalamTabel IV.10.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 336


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tab e I IV. 10
PERKIRAAN NERACA PEMBA Y ARAN, 1999/2000

(dalam Millar US $)

(1) (2)
I. Barang-barang dan jasa-jasa
1.Ekspor, fob + 52,3
minyak bumi dan gas alam + 6,6
bukan minyak bumi dan gas alam + 45,7
2.Impor, fob - 33,9
minyak bumi dan gas alam - 2,8
bukan minyak bumi dan gas alam .- 31,1
3.Jasa-jasa - 17,1
minyak bumi dan gas alam - 2,9
bukan minyak bumi dan gas alam - 14,2
Transaksi
4. + 1,3
berjalan
minyak bumi dan gas alam + 0,9
bukan minyak bumi dan gas alam + 0,4
II. S D Rs -
m. Pemasukan modal pemerintah + 11,2
1.Bantuan program dan lainnya + 7,2
2.Bantuan proyek dan lainya + 4,0
IV. Lalu lintas modallainnya - 4,9

V. Pembayaran hutang pokok - 4,3

VI. Jumlah (I s.d. V) + 3,3

vll. Selisih yang belum dapat diperhitungkan 0

vm. LaIu lintas moneter - 3,3

Departemen Keuangan Republik Indonesia 337


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BAB V
KEUANGAN DAERAH

5.1 Pendahuluan

Pemerintah menyadari bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu upaya untuk
mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan tersebut, berbagai
kegiatan pembangunan telah diarahkan pada pembangunan daerah khususnya daerah-daerah
yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah sejalan dengan arah dan sasaran
pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui program-program pembangunan jangka
pendek dan jangka panjang.

Untuk meningkatkan kemampuan daerah di bidang keuangan, berbagai kebijaksanaan


dan program pengembangan keuangan daerah telah dilaksanakan, baik oleh masing-masing
daerah maupun melalui kerjasama dengan pemerintah pusat atau swasta. Hasil nyata dari
program-program tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik daerah tingkat I
maupun daerah tingkat II. Penerimaan daerah tingkat I seluruh Indonesia yang dalam tahun
anggaran 1993/1994 masih berjumlah Rp 8.382,3 miliar meningkat menjadi Rp 12.876,1 miliar
dalam tahun anggaran 1997/1998, atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 11,3 persen.
Sementara itu, penerimaan daerah tingkat II meningkat dari Rp 8.404,0 miliar dalam tahun
anggaran 1993/1994 menjadi Rp 13.050.0 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, yang berarti
mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 15,8 persen.

Salah satu indikator yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan


ekonomi suatu daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB), yang merupakan
keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi di suatu
daerah dalam periode tertentu. Proporsi penerimaan maupun pengeluaran daerah tingkat I di
seluruh Indonesia terhadap PDRB tanpa migas menunjukkan kecenderungan menurun dari
tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1993/1994 proporsi penerimaan dan pengeluaran daerah
tingkat I terhadap PDRB tanpa migas masing-masing adalah 2,9 persen dan 2,7 persen menurun
menjadi 2,4 persen dan 2,3 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Demikian pula dengan
proporsi penerimaan dan pengeluaran daerah tingkat II seluruh Indonesia terhadap PDRB tanpa
migas menurun dari 3,5 persen dan 3.3 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 3,4

Departemen Keuangan Republik Indonesia 338


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

persen dan 3,2 persen pada tahun anggaran 1996/1997. Menurunnya proporsi penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB tanpa migas menunjukkan semakin
meningkatnya peranan sektor-sektor ekonomi di luar sektor pemerintah daerah dalam
menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan peranan sektor swasta dalam
pembangunan ekonomi.
Anggaran pendapatan daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri atas pendapatan asli
daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan dari pemerintah
pusat, dan pinjaman daerah. Penerimaan daerah tingkat I dan tingkat II dialokasikan untuk
pengeluaran rutin dan pembangunan. Perkembangan penerimaan dan pengeluaran daerah
tersebut dapat dilihat pada Tabel V.l sampai dengan Tabel V.8 dan Grafik V.l sampai dengan
Grafik V.4.
Proponsi terbesar dari keseluruhan penerimaan daerah baik daerah tingkat I maupun
daerab tingkat II berasal dari sumbangan dan bantuan. Sumbangan dan bantuan pemerintah
pusat untuk daerah tingkat I dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp 6.279,0 miliar
yang berarti meningkat dari tahun anggaran 1993/1994 yang hanya Rp 5.096,7 miliar.
Meskipun propinsi sumbangan dan bantuan masih mendominasi sebagian besar penerimaan
daerah, namun persentasenya dari tahun ke tahun menurun terhadap keseluruhan penerimaan,
yaitu dari 60,8 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 48,8 persen dalam tahun
anggaran 1997/1998. Demikian pula daerah tingkat II, meskipun penerimaan daerah dari
sumbangan dan bantuan secara absolut mengalami peningkatan dari Rp5.956, 1 miliar dalam
tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp8.528,5 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, Namun
dilihat dari proporsinya terhadap keseluruhan penerimaan daerah mengalami penurunan, yaitu
70,9 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 65,4 persen dalam tahun anggaran
1996/1997. Sumbangan dan bantuan dari Pusat tersebut mempunyai tujuan untuk membiayai
berbagai kegiatan pembangunan daerah terutama untuk pemerataan, penyebarluasan dan
penyelarasan pembangunan antardaerah.
Seiring dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri
maupun oleh pemerintah pusat dalam peningkatan kemampuan keuangan daerah, PAD
mengalami peningkatan yang cukup berarti dari tahun ke tahun, baik untuk daerah tingkat I
maupun daerah tingkat II. Dalam tahun anggaran 1993/1994 PAD daerah tingkat I seluruh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 339


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Indonesia berjumlah Rp2.199,8 miliar meningkat menjadi Rp4.657,0 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998. PAD daerah tingkat II secara keseluruhan juga mengalami peningkatan
yaitu dari Rp 944,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp1.827,4 miliar dalam
tahun anggaran 1996/1997. Proporsi PAD terhadap keseluruhan sumber penerimaan daerah di
daerah tingkat I mengalami peningkatan dari 26,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994
menjadi 36,2 persen dalam tahun anggaran 1997/1998, dan di daerah tingkat II mengalami
peningkatan dari 11,2 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 14,0 persen dalam tahun
anggaran 1996/1997. Di samping itu bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) baik di daerah
tingkat I maupun di daerah tingkat II juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bagi
hasil PBB di daerah tingkat I seluruh Indonesia meningkat dan Rp 412,3 miliar dalam tahun
anggaran 1993/1994 menjadi Rp773,3 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, sedangkan di
daerah tingkat II meningkat dari Rp 874,6 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp
1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Keberhasilan pemerintah daerah dalam
memobilisasi penerimaan daerah sendiri menunjukkan peningkatan kemandirian pemerintah
daerah dalam penggunaan dana-dana, karena dana yang berasal dari PAD dan bagi hasil PBB
sepenuhnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, baik untuk
penyelenggaraan pemerintahan maupun untuk pembangunan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 340


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 1
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
Repelita V Repelita VI
No. Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

l. Penerimaan daerah sendiri (PDS) : "1..211,01 27,84 2.612,11 31,16 3.480,39 35,85 5.430.29 42,17

a< Pendapatan ash daerah (PAD) 1.041,40 23,94 2.199,79 26,24 3<010,32 31,01 4<657,02 36,17
b< Bagi hasil pajak (PBB) 169,61 3,90 412.32 4.92 470,07 4,84 773,27 6,00
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
2. 133,63 3,07 232,11 2,77 283,27 2,92 504,20 3,92
diluar PBB
Sumbangan dan bantuan pemerintah
3. 2.720,55 62,54 5.096,65 60,80 5.310,26 54,69 6.278,97 48,77
pusat
4. Pinjaman daerah 15,08 0,35 38,44 0,46 51,86 0,53 53,14 0,41
5, Slsa lebih tahun sebelumnya 269,85 6,20 403,02 4,81 583,21 6,01 609,52 4,73
6. Jumlah penerimaan APBD Tk.1 4.350,12 100,00 8.382,33 100,00 9.708,99 100,00 12.876,12 100,00
7. PDRB '. 137.970,59 291.541,54 ..) 343,063,98 "1 536.447,11 "')
8. Persentase penerimaan APBD Tk.1
terhadap PDRB (6 : 7) 3,15 2,88 2,83 2,40
Keterangan
.. Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang bcrlaku
... Angka diperbaiki
... ..Angka sangat sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 341


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 2
PENERIMAAN DAERAH TINGKA l' I PER KAPIl' A DAN PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO l'ANPA MIGAS PER KAPIl' A SELURUH INDONESIA
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995,
DAN 1997/1998
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No. Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Penerimaan daerah sendiri (PDS): 6.760 13.811 18.107 26.422

a. Pendapatan asli daerah


. 5.813 11.631 15.661 22.660
(PAD)
b. Bagi hasil pajak (PBB) 947 2.180 2.446 3.762
Bagi hasil pajak dan bukan pajak diluar
2. 747 1.227 1.474 2.453
PBB
Sumbangan dan bantuan pemerintah
3. 15.187 26.947 27.626 30.551
pusat
4. Pinjaman daerab 84 203 270 259

5. Sisa lebib tahun sebelumnya 1.507 2.131 3.034 2.966

6. Jumlah penerimaan APBD l'k.I 24.285 44.319 50.511 62.651

7. PDRB ') 789.963 1.587.604 **) 1.799.199**) 2.684.429 ***)

Keterangan, *) Dalam tahun lakwim. dan alas dasar harga yang berlaku.
**) Angka diperbaiki
***) Angka sangat sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 342


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 343


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 3
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1996/1997
No Repelita V Repelita VI
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Uraian Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

I. Penerimaan daerah sendiri (PDS) 839,6827,86 1.819,1821,65 2.362,9124,55 3.406,0226,10

a. Pendapatan ash daerah (PAD) 477.9215,86 944.5511,24 1237,6912.86 1.827,3514,00


b. Bagi hasil pajak (PBB) 361,7612,00 874,6310,41 1125,2211,69 1578,6712,10
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
2. 64,982,16 240,48 2,86 327,26 3,40 583,76 4,47
diluar PBB
3. Sumbangan dan bantuan pemerintah
pusat dan daerah tingkat I 2.011,57 66,74 5.956,08 70,87 6.570,23 68,28 8.528,47 65,35
4. Pinjaman daerah 26,51 0,88 52,03 0,62 85,78 0,89 149,50 1,15
5. Sisa lebih tahun sebelumnya 71,18 2,36 336,21 4,00 277,02 2,88 382,28 2,93
6. Jumlah penerimaan APBD Tk.1I 3.013,92 100,00 8.403,98 100,00 9.623,20 100,00 13.050,03 100,00
7. PDRB 0, 118.186,65 240.435,08 ") 284.278,65 ") 387.093,82 "O)
8. Persentase penerimaan APBD Tk. II
terhadap PDRB (6 : 7) - 2,55 3,50 3,39 3,37

Keterangan
., Oalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang berlaku, tidak tcrmasuk DKI Jakarta
.., Angka diperbaiki.
..., Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 344


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 4
PENERIMAAN DAERAH TINGKAT II PER KAPITA DAN PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS PER KAPITA. SELURUH INDONESIA
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995,
DAN 1996/1997
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No, Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Penerimaan daerah sendiri (PDS): 4.938 10.088 12.896 17.394

a. Pendapatan asli daerah (PAD) 2.811 5.238 6.755 9.332


.
b. Bagi hasil pajak (PBB) 2.127 4.850 6.141 8.062
Bagi hasil pajak dan bukan pajak. diluar
2. 382 1.333 1.786 2.981
PBB
3. Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah
11.831 33.027 35.856 43.553
tingkat I
4. Pinjaman daerah 156 289 468 763

5. Sisa lebih tahun sebelumnya 419 1.864 1.512 1.952

6. Jumlah penerimaan APBD Tk.II 17.726 46.601 52.518 66.643

7. PDRB OJ 695.085 1.374.491 ") 1.564.808 ") 2.063.334 "')

Keterangan:
*') Dalam tahun takwim, dan alas dasar harga yang berlaku, tidak term as uk DKI Jakarta.
**) Angka diperbaiki.
***) Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 345


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 346


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

I Tabel V. 5
PENGELUARAN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN
1997/1998
Repelita V Repelita VI
1997/1998
1989/1990 1993/1994 1994/1995
No. Uraian
Propors Propors Propor Propor
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
i i si si
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Pengeluaran
I. 2.936,9174,06 5.400,97 69,12 5.988,98 67,77 8.131,8465,00
rutin

2.Pengeluaran pembangunan 1.028,5725,94 2.413,01 30,88 2.848,40 32,23 4.379,4235,00

Jumlah pengeluaran AP}!D Tk.


3. 3.965,48 100,00 7.813,98 100,00 8.837,38 100,00 12,511,26 100,00
I

291.541,54 343.063,98 536.447,11


4.PDRB 'J 137.970,59 .. - -
00) 00) "')

Persentase pengeluaran APBD


5.
Tk.I

terhadap PDRB (3 : 4) .. 2,87 - 2,68 .. 2,58 - 2,33

Kelcrangan:
') Dalam lahun lakwim. don atas dasar harga yang berlaku
") Angka diperbaiki.
"') Angka sangat sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 347


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 6

PENGELUARAN DAERAH TINGKA T I PER KAPIT A SELURUH INDONESIA


1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam rupiah)

Repelita V Repelita VI
No. Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Pengeluaran rutin 16.395 28.556 31.157 39.567

2. Pengeluaran pembangunan 5.742 12.758 14.819 21.309

J umlah pengeluaran APBD


3. 22.137 41.314 45.976 60.876
Tk.I

Departemen Keuangan Republik Indonesia 348


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 349


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 7
PENG'ELUARAN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
Repelita V Repelita VI
No. Uraian 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Propor
Jumlah Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
si
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1. Pengeluaran rutin 1.690,58 58,47 3.923,35 49,40 4.662,95 51,28 6.845,37 53,78

2. Pengeluaran pembangunan 1.200,60 41,53 4.018,67 50,60 4.429,38 48,72 5.694,25 46,22

3. Jumlah pengeluaran APBD Tk. II 2.891,18 100,00 7.942,02 100,00 9.092,33 100,00 12.539,62 100,00

4. PDRB ') 118.186,65 - 240.435,08 ") - 284.278,65") . 387.093,82 "')

5. Persentase pengeluaran APBD Tk. II


terhadap PDRB (3 : 4) 2,45 3,30 - 3,20 - 3,24

Keterangan
., Dalam tahun takwim, dan atas dasar harga yang herlaku, tidak termasuk DKI Jakarta.
.., Angka diperbaiki.
..., Angka sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 350


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 8

PENGELUARAN DAERAH TINGKA T II PER KAPIT A SELURUH INDONESIA


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995,
DAN 1996/1997
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No. Uraian
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Pengeluaran rutin 9.943 21.756 25.448 34.958

Pengeluaran
2. 7.061 22.284 24.173 29.079
pembangunan

Jumlah pengeluaran APBD


3. 17.004 44.040 49.621 64.037
Tk."

Departemen Keuangan Republik Indonesia 351


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 352


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pengeluaran daerah tingkat I dan daerah tingkat II terdiri dan pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Seperti pada sisi penerimaan, sisi pengeluaran juga selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun anggaran 1993/1994 jumlah
pengeluaran daerah tingkat I berjumlah Rp 7.814,0 miliar meningkat menjadi Rp 12.511,3
miliar dalam tahun anggaran 1997/1998 yang berarti mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 12,5 persen, seuangkan daerah tingkat II mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 15,8
persen, yaitu dari Rp7.942,0 miliar dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi Rp 12.539,6
miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Kebijaksanaan pada sisi pengeluaran ini diarahkan
untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, mendorong pembangunan dan
meningkatkan perekonomian daerah.
Proporsi pengeluaran rutin daerah tingkat I secara nasional terhadap keseluruhan
pengeluaran daerah mengalami penurunan dari tahun ke tahun yaitu 69,1 persen dalam tahun
anggaran 1993/1994 menjadi 65,0 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Sementara itu,
proporsi pengeluaran rutin terhadap keseluruhan pengeluaran daerab tingkat II mengalami
peningkatan dari 49,4 persen dalam tahun anggaran 1993/1994 menjadi 53,8 persen dalam tahun
anggaran 1996/1997. Pengeluaran rutin baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II meliputi
belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, angsuran
pinjaman dan bunga, belanja pensiun dan uang tunggu, ganjaran/subsidi/sumbangan kepada
daerah bawahan, serta belanja rutin lainnya.

Pengeluaran pembangunan di daerah tingkat I secara absolut maupun proporsinya


terhadap pengeluaran daerah selalu mengalami peningkatan. Dalam tahun anggaran 1993/1994
pengeluaran pembangunan daerah tingkat I seluruh Indonesia berjumlah Rp 2.413,0 miliar atau
30,9 persen dari keseluruhan pengeluaran daerah tingkat I meningkat menjadi Rp 4.379,4 miliar
atau 35,0 persen dari total pengeluaran daerah tingkat I. Sementara itu, proporsi pengeluaran
pembangunan daerah tingkat II mengalami penurunan meskipun secara absolut dari tahun ke
tahun selalu mengalami peningkatan. Dalam tahun anggaran 1993/1994 pengeluaran
pembangunan daerah tingkat II seluruh Indonesia berjumlah Rp4.018,7 miliar meningkat
menjadi Rp5.694,3 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, sementara proporsinya terhadap
pengeluaran daerah tingkat II turun dari 50,6 persen menjadi 46,2 persen.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan
kinerja kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, telah dibentuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 353


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

beberapa daerah tingkat II baru. Bila dalam tahun anggaran 1989/1990 terdapat 290 daerah
tingkat II otonom, dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi 304 daerah tingkat II
otonom, yang berarti bertambah 14 daerah tingkat II otonom dalam kurun waktu delapan tahun.
Jumlah daerah tingkat II otonom dalam tahun anggaran 1997/1998 tersebut terdiri alas 245
kabupaten dan 59 kotamadya. Namun demikian belum semua daerah tingkat II tersebut
memiliki APBD, sebagaimana terlihat dalam Tabel V.9, dalam tahun anggaran 1996/1997
hanya terdapat 300 daerah tingkat II yang telah memiliki APBD. Daerah yang belum masuk ke
dalam label adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang di Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus di
Propinsi Lampung, termasuk Kotamadya Daerah Tingkat II Tarakan di Propinsi Kalimantan
Timur yang dibentuk dalam tahun anggaran 1997/1998. Selain daerah tingkat II otonom terdapat
pula beberapa wilayah administratif yang sampai dalam tahun anggaran 1997/1998 terdapat 4
kabupaten administratif, 6 kotamadya administratif dan 32 kota administratif.

5.2 Kebijaksanaan Keuangan Daerah

Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan
sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan nasional. Sistem pemerintahan di daerah
dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.
Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, pelayanan
kepada masyarakat yang lebih baik, mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat, menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah, serta terwujudnya keserasian hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka otonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat
II dengan prinsip nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa
pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan dan tindakan-
tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara
nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian
otonomi benar-benar sejalari dengan tujuan untuk melancarkan pembangunan yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 354


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 9

JUMLAH DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI


1989/1990 DAN 1996/1997

Repelita V Repelita VI

No. Proplnsi
1989/1990 1996/1997
(1) (2) (3) (4)
1.DI Aceh 10 10
2.Sumatera Utara 17 17
3.Sumatera Barat 14 14
4.Ri au 6 6
5.Jambi 6 6
6.Sumatera Selatan 10 10
7.Bengkulu 4 4
8.Lampung 4 5
9.Jawa Barat 24 25
10.Jawa Tengah 35 35
11.DI Yogyakarta 5 5
12.Jawa Timur 37 37
13.Kalimantan Barat 7 7
14.Kalimantan Tengah 6 6
15.Kalimantan Selatan 10 10
16.Kalimantan Timur . 6 6
17.Sulawesi Utara 6 7
18.Sulawesi Tengah 4 5
19.Sulawesi Selatan 23 23
20.Sulawesi Tenggara 4 5
21.B a Ii 8 9
22.Nusa Tenggara Barat 6 7
23.Nusa Tenggara Timur 12 13'J
24.Maluku 4 5
25.Irian Jaya 9 10
26.Timor Timur 13 13
Jumlah. 290 300
Keterangan :
Belum termasuk Kodya Kupang, karena belum memiliki APBD.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 355


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dengan bertambahnya kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, anggaran


daerah yang dibutuhkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
juga semakin besar. Sehubungan dengan itu, pengelolaan keuangan daerah yang baik, transparan
dan bertanggung jawab sangat dibutuhkan dan diupayakan agar pengguna, dana dapat dilakukan
secara efektif dan efisien.

Dalam era globalisasi dunia dewasa ini bangsa Indonesia mendapat ujian yang sangat
berat. Krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjimgan serta krisis kepercayaan yang terjadi
saat ini menunjukkan bahwa sumber daa manusia menjadi semakin penting peranannya. Hal-ha1
yang.mendasari pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengelolaan
keuangan antara lain dipicu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) N omor 45 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II.
Dengan adanya PP tersebut tugas daerah tingkat II menjadi semakin bertainbah sehingga perlu
upaya pingkatan wawasan dan kualitas pengelola keuangan di daerah tingkat II. Di samping itu,
semakin kompleksnya proses pelayanan kepada masyarakat menyebabkan pengelolaan
keuangan di tingkat pemerintah daerah memerlukan dukungan pengetabuan khusus untuk
berhubungan dengan sektor swasta, serta pengetahuan untuk menganalisa kaitan antara
kegiatari-kegiatan di tingkat daerah dan di tingkat pusat untuk mengantisipasi dampak
perubahan-perubahan yang terjadi di bidang fiskal dan moneter. Oleh karena itu, berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah
daerah sendiri tetapi juga oleh pemerintah pusat.
Sejalan dengan kebutuhan aparat pemerintah daerah yang handal dan berkualitas, maka
pemerintah bekerja sama dengan beberapa universitas yakni, Universitas Indonesia, Universitas
Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Andalas menyelenggarakan kursus
keuangan daerah (KKD) bagi staf Pemda yang berpotensi, dan latihan keuangan daerah (LKD)
bagi pejabat pimpinan instansi-instansi pengelola keuangan daerah, yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kinerja aparat keuangan daerah.

Selanjutnya, untuk mengantisipasi perkembangan perkotaan yang sangat pesat dalam


dasawarsa ini, melalui Program Pelatihan Manajemen Perkotaan, pemerintah telah
menyelenggarakan pula berbagai pelatihan bagi para pejabat, pimpinan dan aparat teknis daerah.
Pelatihan tersebut meliputi manajemen perkotaan, manajemen keuangan perkotaan, manajemen
kualitas lingkungan perkotaan, perencanaan dan pemrograman investasi prasarana dan sarana

Departemen Keuangan Republik Indonesia 356


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

perkotaan serta penataan ruang dan manajemen lahan perkotaan, dengan maksud untuk
meningkatkan pengetahuan, keahlian serta keterampilan aparat khususnya para pengelola
perkotaan dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan perkotaan.

Di bidang perencanaan pembangunan, pemerintah telah pula menyelenggarakan


pelatihan teknik manajemen perencanaan pembangunan bekerjasama dengan beberapa
perguruan tinggi. Keseluruhan upaya pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas
aparat pemerintah daerah tingkat I dan daerah tingkat II guna mendukung kebijaksanaan
pemerintah dalam pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah.

Dalam upaya untuk memacu pertumbuhan ekonomi di daerah dan untuk memeratakan
pembangunan antardaerah, pemerintah mengalokasikan sejumlah dana berupa subsidi/bantuan,
dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Pemberian bantuan pembangunan
(Inpres) secara bertahap diarahkan kepada bentuk bantuan umum (block grant) dengan
memberikan bantuan specific-block grant sehingga secara proposional bantuan khusus (specific
grant) akan semakin kecil. Bantuan specific-block grant adalah bantuan yang walaupun
sektornya telah ditetapkan, Namun penggunaan dana per mata anggaran bebas dilakukan oleh
pemerintah daerah seperti mekanisme block grant. .

Bantuan umum dapat digunakan sesuai dengan prioritas daerah dalam batas-batas
ketentuan pemerintah pusat. Subsidi/bantuan dari Pusat kepada daerah sampai tahun 1997/1998
adalah berupa Subsidi Daerah Otonom, Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I (Inpres Dari I),
Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II (Inpres Dari II), Bantuan Pembangunan Sekolah
Dasar (Inpres SD), Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes), Bantuan
Pembangunan Desa (Inpres Desa), Inpres Desa Tertinggal (lDT), dan Program Makanan
Tambahan Anak Sekolah (Inpres PMT-AS). Selain dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak, serta subsidi/bantuan, pemerintah daerah juga dapat menggunakan sumber dana pinjaman
yang berasal dari dalam Negeri maupun luar negeri. Pinjaman dari luar negeri dilakukan melalui
Pusat kepada daerah (Subsidiary Loan AgreementlSLA), dan pinjaman dari dalam negeri dapat
berasal dari bank BUMN maupun bank swasta, serta dari Pusat. Pinjaman pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah adalah pinjaman dari rekening pembangunan daerah (RPD).
Untuk mendukung perkembangan dunia usaha, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
perIn menciptakan iklim yang kondusif agar para investor tertarik untuk menanamkan modalnya
di daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dilakukan rasionalisasi pungutan-pungutan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 357


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

daerah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Mei 1998. Undang-undang
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, PP Nomor 20 Tahun 1997
tentang Retribusi Daerah, PP Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (PBBKB), dan Keputusan Presiden Nomor 179 Tahun 1998 tentang pemberlakuan PP
Nomor 21 Tahun 1997 tentang PBBKB. Pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi daerah
ini ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak dan retribusi
daerah. Penyederhanaan jenis pajak dan retribusi daerah tersebut diharapkan dapat mengurangi
atau menghilangkan berbagai pungutan yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
memperlemah daya saing. Kebijaksanaan ini dilakukan dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas yang menghendaki terciptanya iklim investasi yang sehat di daerah. Dengan
demikian, dampak positif yang diharapkan dari pembaharuan sistem perpajakan dan retribusi
daerah tersebut antara lain untuk meningkatkan penerimaan daerah dan mengurangi ekonomi
biaya tinggi, melalui perbaikan sistem administrasi perpajakan dan retribusi daerah yang
mengacu kepada ketentuan umum perpajakan nasional.

5.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat I

5.3.1 Pendapatan Asli Daerah


Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat
penting bagi daerah karena pendapatan ini seluruhnya digali dan berasal dari daerah sendiri dan
oleh karena itu daerah mempunyai kewenangan penuh untuk memanfaatkan PAD ini sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Daerah yang berhasil meningkatkan PAD-nya secara
nyata, diartikan bahwa daerah tersebut telah dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di
daerah secara optimal. Komponen PAD meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba
BUMD, penerimaan dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain.
Penerimaan PAD tingkat I umumnya meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah PAD
tingkat I dalam tahun 1989/1990 adalah Rp 1.041,4 miliar, kemudian dalam tahun 1997/1998
meningkat menjadi Rp4.657,0 miliar atau selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 20,6 persen. Dari semua propinsi di Indonesia, empat propinsi
di Jawa yaitu Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi

Departemen Keuangan Republik Indonesia 358


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Jawa Tengah, dalam tahun anggaran 1997/1998 memiliki penerimaan PAD dengan jumlah
terbesar yaitu masing-masing Rp1.830,7 miliar, Rp592,6 miliar, Rp568,3 miliar dan Rp363,1
miliar. Proporsi penerimaan PAD Dari keempat propinsi tersebut terhadap penerimaan PAD
seluruh propinsi di Indonesia adalah 72,0 persen. Sementara propinsi di luar Jawa yang
memperoleh penerimaan PAD terbesar dalam tahun anggaran yang sama adalah Propinsi
Sumatera Utara, Propinsi Riau, Propinsi Bali, dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing
Rp212,8 miliar, Rp129,9 miliar, Rp103,9 miliar, dan Rpl02,8 miliar. Secara rinci PAD tingkat I
per propinsi dapat dilihat pada Tabel V.I0.
Ditinjau menurut komposisi PAD, pajak merupakan sumber penerimaan PAD tingkat I
terbesar yang dalam tahun anggaran 1997/1998 berjumlah Rp3.723,3 miliar atau 80,0 persen
dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia. Sebaliknya penerimaan dari dinas-dinas
dalam tahun anggaran yang sama merupakan sumber penerimaan terendah, yaitu Rp42,4 miliar
atau 0,9 persen dari penerimaan PAD tingkat I seluruh Indonesia sebagaimana terlihat pada
Tabel V.11
5.3.1.1 Pajak Daerah

Pajak daerah merupakan salah satu komponen pendapatan asli daerah yang sangat
penting bagi terselenggaranya pelayanan publik dan pembangunan di daerah. Pajak daerah
selama ini dipungut berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan yang luas kepada daerah untuk
melakukan pungutan pajak sehingga berdarnpak antara lain dengan munculnya banyak jenis
pajak yang tidak efisien karena biaya pemungutannya lebih tinggi daripada hasilnya, bersifat
tumpang tindih dengan pajak pusat, menghambat efisiensi alokasi somber ekonomi, tidak
bersifat sebagai pajak melainkan sebagai retribusi, serta kurang mendukung iklim investasi yang
sehat di daerah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
daerah lahir sebagai pengganti undang-undang yang lama yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi saat ini. Undang-undang baru tersebut hanya menentukan tiga jenis pajak daerah
tingkat I; yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-
KB), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) karena ketiga jenis pajak tersebut
dianggap mempunyai potensi penerimaan paling tinggi. Pelaksanaan Undang-undang ini
diharapkan dapat meningkatkan PAD tingkat I dari sektor pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 359


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 10

PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Pertumbuhan
No. Propinsi
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1.DI Aceh 12,33 27,11 32,64 44,73 17,5
2.Sumatera Utara 57,78 84,77 124,14 212,84 17,7
3.Sumatera Barat 14,21 29,24 44,93 64,32 20,8
4.Riau 14,36 55,38 75,97 129,86 31,7
5.Jambi 6,78 13,77 21,28 34,13 22,4
6.Sumatera Selatan 21,30 38,51 54,44 90,82 19,9
7.Bengkulu 4,22 7,25 10,95 18,70 20,5
8.Latnpung 17,49 24,08 36,30 60,54 16,8
9.OK! Jakarta 429,66 993,66 1.316,88 1.830,74 19,9
10.Jawa Barut 104,94 240,88 349,52 592,62 24,2
11.Jawa Tengah 78,93 148,35 211,58 363,05 21,0
12.DI Yogyakarta 12,90 27,99 39,08 60,12 21,2
13.Jawa Timor 133,86 235,38 339,83 568,30 19,8
14.Kalimantan Barat 8,63 17,59 25,66 39,66 21,0
15.Kalimantan Tengah 2,39 8,00 11,27 19,43 29,9
16.Kalimantan Selatan 9,33 21,81 28,75 56,99 25,4
17.Kalimantan Timor 16,66 54,50 59,21 83,18 22,3
18.Sulawesi Utara 11,29 21,18 19,72 28,38 12,2
19.Sulawesi Tengah 4,40 10,84 13,35 22,50 22,6
20.Sulawesi Selatan 23,09 41,56 59,39 102,80 20,5
21.Sulawesi Tenggara 2,77 7,38 9,19 13,62 22,0
22.B al I 27,50 41,62 63,08 103,93 18,1
23.Nasa Tcnggara Barut 5,71 10,80 14,95 30,27 23,2
24.Nasa Tenggara Timor 8,03 14,83 17,52 29,05 17,4
25.MaIuku 7,31 8,44 11,32 16,56 10,8
26.Irian Jaya 4,15 10,36 13,77 31,15 28,7
27.Timor Timor 1,38 4,51 5,60 8,73 25,9
Jumlah 1.041,40 2.199,79 3.010,32 4.657,02 20,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 360


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pada tahun anggaran 1989/1990 penerimaan pajak daerah tingkat I seluruh Indonesia
adalah Rp814,0 miliar dan meningkat menjadi Rp3.723,3 miliar dalam tahun 1997/1998.
Dengan demikian selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 penerimaan pajak daerah tingkat I
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Dalarn tahun anggaran
1997/1998, Propinsi DKI Jakarta merupakan Daerah Tingkat I penerima pajak daerah terbesar,
yaitu Rp 1.495,6 miliar atau 40,2 persen dari keseluruhan penerimaan pajak daerah tingkat I,
kemudian diikuti Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp500,8 miliar
dan Rp486,3 miliar atau masing-masing mempunyai proporsi 13,5 persen dan 13,1 persen.
Sebaliknya Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Maluku
memperoleh hasil penerimaan pajak dengan jumlah terendah masing- masing Rp5,0 miliar, Rp
7,1 miliar, dan Rp9, 1 miliar dalarn tahun anggaran yang sama. Perkembangan penerimaan
pajak untuk daerah tingkat I secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.12.

5.3.1.2 Retribusi Daerah


Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan. Untuk itu retribusi perlu diklasifikasikan dengan kriteria
tertentu agar memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan
yang jelas antara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 361


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 11

KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998

Repelita V Repelita VI
No. Komponen PAD 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
Jumlah Proporsi JumJah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp mUiar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
.

1. Pajak 813,98 78,16 1.663,77 75,63 2.378,64 79,02 3.723,34 79,95

2. Retribusi 136,18 13,08 339,09 15,41 432,90 14,38 646,73 13,89

3. Penerimaan bagian laba

perusahaan daerah 19,93 1,91 31,84 1,45 35,39 1,18 91,09 1,96

4. Penerimaan dinas-dinas 20,58 1,98 27,06 1,23 28,39 0,94 42,38 0,91

5. Penerimaan lain-lain 50,73 4,87 138,03 6,28 135,00 4,48 153,48 3,30

Jumlah 1.041,40 100,00 2.199,79 100,00 3.010,32 100,00 4.657,02 100,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 362


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

....
Tabel V. 12
PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI
Pertumbuhan
No.
Propinsi
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I. DI Aceh 8,61 13,61 20,00 29,65 16,7
2. Sumatera Utara 51,15 71,33 106,52 163,33 15,6
3. Sumatera Barat 9,74 19,53 31,59 46,21 21,5
4. R iau . 12,48 37,93 52,46 95,43 29,0
5. J ambi 4,77 8,63 16,77 27,36 24,4
6. Sumatera Selatan 16,81 26,14 39,56 68,01 19,1
7. Bengkulu 2,61 3,74 6,13 10,68 19,3
8. Larnpung 13,45 16,61 26,70 46,88 16,9
9. DKI Jakarta 331,57 768,46 1.049,33 1.495,85 20,7
10. Jawa Barat 87,64 200,61 303,93 500,82 24,3
II. Jawa Tengah 63,57 118,20 170,70 299,90 21,4
12. DI Yogyakarta 10,46 23,62 33,87 52,54 22,4
13. Jawa Timur 110,89 194,32 292,09 486,27 20,3
14. Kalimantan Barat 7,26 12,92 18,26 29,55 19,2
15. Kalimantan Tengah 1,53 5,34 7,87 13,90 31,8
16. Kalimantan Selatan 7,28 15,19 19,93 38,17 23,0
17. Kalimantan Timur 12,85 23,21 32,67 55,53 20,1
18. Sulawesi Utara 5,92 8,78 11,18 20,04 16,5
19. Sulawesi Tengah 2,99 5,87 8,22 15,23 22,6
20. Sulawesi Selatan 16,66 28,12 41,20 73,32 20,4
21. S.ulawesi Tenggara 1,13 3,33 4,27 7,05 25,7
22. B al i 22,78 33,45 51,36 83,41 17,6
23. Nusa Tenggara Bara! 3,86 5,80 9,15 19,00 22,1
24. Nusa Tenggara Timur 2,27 5,34 6,40 9,86 20,2
25. Maluku 2,64 4,34 6,31 9,10 16,7
26. Irian Jaya 2,43 7,25 9,51 21,26 31,1
27. Timor Timur 0,63 2,10 2,66 4,98 29,5
Jumlah 813,98 1.663,77 2.378,64 3.723,34 20,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 363


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah. Dalam rangka memberikan
landasan yang kuat bagi pelaksanaan prinsip dasar retribusi secara efektif dan efisien,
pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah merupakan penyempumaan atas UU
Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah.

UU Nomor 18 Tahun 1997 bertujuan, diantaranya untuk meningkatkan pendapatan


daerah, memperbaiki sistem administrasi retribusi, mengklasifikasikan retribusi dan
menyederhanakan tarif retribusi sehingga dapat mengantisiposi perkembangan sosial dan
ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang, serta dimaksudkan untuk mempermudah
masyarakat memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga pada akhimya
tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban membayar retribusi. Dengan pelaksanaan
Undang-undang ini, daerah sekaligus diharapkan akan mampu menutup hilangnya penerimaan
yang berasal dari retribusi yang kurang potensial, karena penetapan retribusi yang dapat
dipungut daerah melalui Undang-undang ini didasarkan antara lain pada retribusi yang
potensinya relatif cukup besar.

Secara keseluruhan penerimaan retribusi daerah tingkat I dalam tahun anggaran


1989/1990 adalah Rp 136,18 miliar, dan meningkat menjadi Rp646,73 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998, yang berarti selama periode 1989/1990---1997/1998 mengalami
pertumbuhan rata-rata 21,5 persen per tahun. Dalam tahun anggaran 1997/1998, penerimaan
retribusi terbesar diantara semua propinsi adalah Propinsi DKI Jakarta, yaitu Rp232,55 miliar.
Urutan berikutnya adalah Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur, yaitu sebesar Rp79,13
miliar dan Rp55,71 miliar. Sementara itu, Propinsi Timor Timur walaupun memperoleh
penerimaan retribusi terkecil yaitu Rp1,06 miliar, namun laju pertumbuhan rata-rata
pertahunnya menduduki urutan pertama yaitu 50,6 persen, sebaliknya Propinsi DKI Jakarta
meskipun mempunyai penerimaan retribusi dengan jumlah terbesar, namun mempunyai laju
pertumbuhan terkecil yaitu 16,1 persen. Perbedaan yang begitu tinggi an tara penerimaan
retribusi propinsi-propinsi lain dengan Propinsi DKI Jakarta, an tara lain karena pungutan
retribusi di Propinsi DKI Jakarta merupakan gabungan penerimaan retribusi daerah tingkat I dan
daerah tingkat II. Perkembangan penerimaan retribusi per daerah tingkat I dapat dilihat pada
Tabel V.13.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 364


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.3.1.3 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah

Perusahaan daerah, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang


Perusahaan Daerah, adalah perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan
kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan/atau berdasarkan
Undang-undang. Sebagian laba perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang
disebut bagian laba BUMD.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, BUMD dibentuk oleh pemerintah


daerah, terdiri dari perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dan perbankan (bank
pembangunan daerah dan bank pasar) dan di bidang lain, seperti jasa air bersih (PDAM), jasa
di sektor industri, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Selanjutnya perusahaan daerah
berdasarkan kategori sasarannya dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu perusahaan daerah
yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum dan perusahaan daerah yang didirikan untuk
tujuan peningkatan PAD. Jumlah BUMD yang bergerak di bidang kemanfaatan umum selalu
meningkat dari tahun ke tahun, meskipun dalam pelaksanaan operasionalnya menghadapi
berbagai hambatan, antara lain dalam efisiensi pengelolaan, profesionalisme manajemen, dan
permodalan. Dalam kondisi demikian telah dikeluarkan berbagai kebijaksanaan untuk
mendorong peranannya sebagai alat perekonomian daerah yang ampuh dan sebagai salah satu
sumber pendapatan asli daerah yang semakin potensial.
Khusus BUMD yang bergerak disektor keuangan dan perbankan, yaitu Bank
Pembangunan Daerah dan Bank Perkreditan Rakyat, yang mempunyai keharusan untuk
memperoleh laba sebagaimana halnya perusahaan komersiallainnya selain diatur dengan
Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, juga harus
tunduk pada hukum positif lainnya yaitu Undang-undang Nomor7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini
diharapkan agar BUMD dalam beroperasi dapat lebih efisien, efektif, dan dapat meningkatkan
modal sendiri serta meningkatkan perolehan laba.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 365


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 13
PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TlNGKA T I PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita V Repelita VI Pertumbuhan
No.
Propinsi Rata-rata (%)
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I.DI Aceh 1,65 7,97 7,76 11,38 27,3
2.Sumatera Utara 2,69 9,45 11,72 19,56 28,2
3.Sumatera Barat 2,11 7,70 10,42 12,40 24,8
4.R iau I,ll 12,14 20,33 25,94 48,3
5.Jambi . 0,50 4,15 3,73 5,33 34,4
6.Sumatera Selatan 2,71 8,52 9,81 16,84 25,7
7.Bengkulu 0,67 1,95 3,25 5,12 28,9
8.Lampung 1,76 6,44 8,66 10,87 25,6
9.OKI Jakarta 70,58 141,53 189,06 232,55 16,1
10.Jawa Barat 12,66 29,74 33,67 79,13 25,7
II.Jawa Tengah 10,60 22,89 31,34 48,75 21,0
12.DI Yogyakarta 0,61 1,76 2,38 3,19 23,0
13.Jawa Timur 13,35 22,58 29,03 55,71 19,6
14.Kalimantan Barat 0,87 3,83 4,84 7,91 31,8
15.Kalimantan Teng 0,35 1,34 1,91 3,30 32,4
16.Kalimantan Selatan 1,29 6,03 6,72 11,88 32,0
17.Kalimantan Timur 2,00 16,40 12,65 20,09 33,4
18.Sulawesi Utara 1,00 4,60 5,26 5,36 23,4
19.Sulawesi Tengah 0,91 4,10 4,17 5,82 26,1
20.Sulawesi Selatan 2,47 11,18 15,77 22,57 31,9
21.Sulawesi Tenggara 0,32 1,56 1,95 2,85 31,4
22.Bali 2,83 3,91 5,09 11,07 18,6
23.Nusa Tenggara Barat 1,15 3,23 4,23 7,28 25,9
24.NIIenggara Timur 0,74 2,74 5,06 10,85 39,9
25.Mal u 0,88 1,20 1,84 4,84 23,8
26.Irian Jaya 0,33 1,81 1,73 5,08 40,7
27.Timor Timur 0,04 0,34 0,52 1,06 50,6

Jumlah 136,18 339,09 432,90 646,73 21,5

Departemen Keuangan Republik Indonesia 366


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Penerimaan laba BUMD tingkat I seluruh Indonesia selama periode 1989/1990--


1997/1998 menunjukkan peningkatan yang berarti. Dalam tahun anggaran 1989/1990
penerimaan bagian laba BUMD seluruh daerah tingkat I berjumlah Rp19,9 miliar, kemudian
dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp91,1 miliar atau mengalarni
pertumbuhan rata-rata pertahun 20,9 persen. Penerimaan bagian laba BUMD antara satu
propinsi dengan propinsi lainnya selama kurun waktu 1989/1990 -- 1997/1998 sangat bervariasi.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 penerimaan bagian laba BUMD Tingkat I Propinsi DKI
Jakarta adalah yang terbesar di antara propinsi lain, yaitu Rp45,1 miliar atau mencakup 49,5
persen dari keseluruhan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I, diikuti Propinsi Jawa Barat
dan Propinsi Kalimantan Selatan masing-masing Rp6,5 miliar dan Rp5,0 miliar, atau masing-
masing mempunyai porsi 0,07 persen, dan 0,06 persen. Sementara itu, sebagian besar propinsi
lainnya memperoleh penerimaan bagian laba BUMD kurang Dari Rp5,0 miliar.

Selanjutnya tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun tiap propinsi dalam kurun waktu
1989/1990 -- 1997/1998 bervariasi antara 4,9 persen sampai 70,6 persen. Bagian laba BUMD
Propinsi Riau mengalami laju pertumbuhan tertinggi yaitu 70,6 persen, kemudian diikuti
Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Nusa Tenggara Timur masing-masing 55,9 persen dan
51,9 persen, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi DI Aceh, dan
Propinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar 4,9 persen, 6,2 persen dan 6,4 persen.
Sementara itu, bagian laba BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif adalah Propinsi
Kalimantan Barat, dan Propinsi Jawa Timur, masing-masing negatif 16,7 persen dan negatif 8,5
persen. Adanya variasi jumlah penerimaan bagian laba BUMD adalah merupakan indikasi
babwa masing-masing BUMD mempunyai kinerja yang berbeda, sebagian BUMD telah berhasil
meningkatkan laba sekaligus semakin meningkatkan peranannya dalam pembangunan daerah,
akan tetapi masih ada sebagian kecil BUMD yang mengalami pertumbuhan negatif.
Perkembangan penerimaan bagian laba BUMD tingkat I selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
V.14.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 367


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 14
PENERlMAAN RAGlAN LARA PERUSAHAAN DAERAH TINGKA T I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam juta rupiah)
Repelita V Repelita VI Pertumbuhan
No. Propinsi
Rata-rata (%)
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (1) (3) (4) (5) (6) (7)
I.DI Aceh 214,93 282,76 329,50 346,87 6,2
2.Sumatera Utara 855,61 1.219,06 1.617,41 4.384,11 22,7
3.Sumatera Barat 856,21 1.048,93 1.282,19 2.228,20 12,7
4.Riau 45,57 913,02 261,25 3.267,36 70,6
5.J ambi 170,00 231,59 250,06 410,00 11,6
6.Sumatera Selatan 1I2,17 471,42 835,86 1.457,83 37,8
7.Bengkulu 162,50 215,47 189,90 1.045,09 26,2
8.Lampung 560,47 228,20 336,79 1.219,55 10,2
9.OKI Jakarta 8.190,09 13.585,98 12.020,29 45.069,27 23,8
10.Jawa Barat 957,49 2.459,16 4.412,39 6.480,84 27,0
II.Jawa Tengah 2.426,50 2.681,01 2.965,45 4.882,47 9,1
12.DI Yogyakarta 793,96 728,39 953,34 2.636,41 16,2
13.Jawa Timur 993,34 495,17 383,91 488,12 -8,5
14.Kalimantan Bara! 215,98 348,00 362,53 50,13 -16,7
15.Kalimantan Tengah 79,19 604,45 452,32 686,70 31,0
i6.Kalimantan Selatan 334,09 231,83 150,60 5.045,86 40,4
17.Kalimantan Timur 932,16 1.452,39 1.652,08 1.527,32 6,4
18.Sulawesi Utara 604,48 1.350,00 2.380,00 889,00 4,9
19.Sulawesi Tengah 50,00 65,00 74,98 205,00 19,3
20.Sulawesi Selatan 200,00 317,79 423,34 1.750,01 31,1
21.Sulawesi Tenggara 55,00 287,00 1.084,02 1.919,36 55,9
22.Bali 208,75 365,77 466,18 1.116,87 23,3
23.Nusa Tenggara Barat 175,00 824,56 838,35 1.075,00 25,5
24.Nusa Tenggara Timur 15,00 35,00 60,00 424,96 51,9
25.Maluku 400,00 905,00 319,50 676,33 6,8
26.Irian Jaya 94,50 191,50 751,82 990,55 34,1
27.Timor Timur 224,14 302,09 538,35 817,12 17,6

Jumlah 19.927,13 31.840,54 35.392,41 91.090,33 20,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 368


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.3.1.4 Penerimaan Dinas-dinas Daerah

Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I adalah salah satu komponen pendapatan asli
daerah (PAD) yang berasal dari dinas-dinas daerah yang acta di daerah tingkat I. Meskipun
fungsi pokok dinas daerah adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang telah
dilimpahkan kepada daerah, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas pembinaan atau
bimbingan kepada masyarakat, anakalanya dinas-dinas daerah menghasilkan pendapatan,
meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh karena itu, penerimaan dinas-dinas daerah tidak
terlalu diharapkan untuk terus meningkat relatif cepat, seperti halnya pajak daerah dan retribusi
daerah yang selama ini memang merupakan sumber utama dari pendapatan asli daerah.

Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I secara nasional terus meningkat dari tahun ke
tahun, namun peningkatannya masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penerimaan
dari pajak, retribusi, dan bagian laba BUMD. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan
dinas-dinas daerah tingkat I berjumlah Rp20,6 miliar meningkat menjadi Rp42,4 miliar pada
tahun anggaran 1997/1998 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,5 persen. Namun
peranannya terhadap keseluruhan jumlah PAD tingkat I cenderung menurun dari 2,0 persen
dalam tahun anggaran 1989/1990 menjadi 0,9 persen dalam tahun anggaran 1997/1998. Hal ini
disebabkan di beberapa daerah tingkat I sebagian penerimaan dinas-dinas dikelompokkan
menjadi penerimaan retribusi, seuangkan di beberapa daerah lainnya pungutan atas pelayanan
yang diberikan oleh dinasdinas digolongkan sebagai penerimaan dinas-dinas yang bersangkutan.

Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I antar propinsi, di beberapa daerah tingkat I


jumlah penerimaan tersebut cenderung menurun dan bahkan beberapa daerah lainnya
mengalami pertumbuhan yang negatif seperti Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Bengkulu, dan
Propinsi Sulawesi Tenggara masing-masing negatif 10,0 persen, negatif 8,8 persen, dan negatif
7,7 persen selama periode 1989/1990 -- 1997/1998. Sementara itu daerah tingkat I yang
mempunyai penerimaan dinas-dinas dengan pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi adalah
Propinsi Riau yaitu 51,0 persen, kemudian disusul Propinsi Bali dan Propinsi Kalimantan
Tengah masing-masing 31,0 persen dan 30,6 persen, sebaliknya yang terendah adalah Propinsi
Nusa Tenggara Timur, Propinsi Jambi, dan Propinsi Jawa Tengah masing-masing 3,4 persen,
7,1 persen, dan 8,5 persen.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah diperkirakan penerimaan dinas-dinas daerah tingkat I di waktu yang akan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 369


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

datang tidak ada lagi karena penerimaan dinas-dinas akan dikelompokkan menjadi penerimaan
retribusi, sedang yang tidak termasuk ke dalam penerimaan retribusi akan dikelompokkan ke
dalam penerimaan lain-lain.

5.3.1.5 Penerimaan Lain-lain

Dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah dinyatakan bahwa penerimaan lain-lain adalah salah satu komponen
PAD di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD dan penerimaan dinas-dinas. Termasuk
kategori penerimaan lain-lain adalah penerimaan dari sewa rumah dinas milik pemerintah
daerah, hasil penjualan barang bekas milik pemerintah daerah, usaha yang dilakukan oleh aparat
pemerintah daerah yang bukan perusahaan daerah untuk menghasilkan jasa yang dipergunakan
masyarakat, serta usaha lainnya dari daerah yang sifatnya tidak rutin. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997, beberapa jenis penerimaan lain-lain seperti sewa rumah
dinas akan dikelompokkan ke dalam penerimaan retribusi, sehingga penerimaan dari sumber ini
di masa yang akan datang diperkirakan akan semakin berkurang.
Selama periode 1989/1990 -- 1997/1998 penerimaan lain-lain daerah tingkat I
cenderung meningkat. Dalam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan lain-lain berjumlah Rp50,7
miliar, sementara dalam tahun anggaran 1997/1998 telah meningkat menjadi Rp 153,5
miliaratau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 14,8 persen. Dalam tahun anggaran
1997/1998, daerah tingkat I yang memperoleh penerimaan lain-lain dalam jumlah terbesar
adalah Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Sumatera Utara, Dari Propinsi Jawa Timur, masing-
masing Rp50,5 miliar, Rp25,0 miliar, dari Rp 10,8 miliar, sebaliknya yang terendah adalah
Propinsi Jambi, Propinsi Maluku, Dari Propinsi Sulawesi Tengah, masing-masing Rp820,9 juta,
Rp859,7 juta, dari Rp887,2 juta. Sementara itu, penerimaan lain-lain daerah tingkat I yang
mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi dalam peri ode 1989/1990 -- 1997/1998
adalah Propinsi Sumatera Utara sebesar 31,5 persen, kemudian Propinsi Kalimantan Barat dari
Propinsi Kalimantan Timur masing-masing 29,0 persen Dari 28,3 persen, sedang yang terendah
adalah Propinsi DI Yogyakarta, Propinsi Jawa Barat, dari Propinsi Sulawesi Selatan, masing-
masing 5,0 persen, 6,0 persen, dari 6,9 persen. Selain itu, penerimaan lain-lain pada beberapa
daerah tingkat I mengalami pertumbuhan negatif yaitu Propinsi Maluku, Propinsi Sulawesi
Utara, Propinsi Jambi, dari Propinsi Lampung masing-masing negatif 15.1 persen, negatif 10,2

Departemen Keuangan Republik Indonesia 370


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

persen, negatif 4,8 persen, Dari negatif 2,8 persen.

5.3.2 Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak


5.3.2.1 Bagi Hasil Pajak
Dana yang dibutuhkan guna pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber
dalam negeri yang memiliki basis dari struktur lebih kuat. Salah satu sumber dana dalam negeri
tersebut adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Sebagai salah satu sumber dana yang
diantaranya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah, makaPBB
mempunyai arti yang sangat penting, Dari oleh karena itu optimalisasi pemungutan PBB perlu
terus menerus dilakukan sehingga penerimaan PBB dapat direalisasikan sesuai potensi yang ada.
PBB merupakan pajak pusat, namun penerimaan dari sumber ini hampir seluruhnya dibagi
hasilkan kepada pemerintah daerah, baik pemerintah daerah tingkat I maupun tingkat II.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1985 dari Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1 009/KMK.04/1985, pemerintah daerah tingkat I memperoleh bagian sebesar 16,2
persen dari keseluruhan penerimaan PBB.

Walaupun penerimaan PBB diperoleh dari pusat, akan tetapi pemerintah daerah dapat
menggunakan dana ini untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi pelayanan publik atau
pembangunan, di samping dana yang bersumber dari daerah sendiri. Bagi pemerintah daerah
tingkat I, penerimaan dari PBB ini relatif cukup penting karena dapat membantu menunjang
ketersediaan dana bagi kelancaran pelaksanaan berbagai program di daerah tingkat I.

Penerimaan PBB yang diperoleh daerah tingkat I relatif besar dan mengalami
perkembangan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Hal itu ditunjukkan dari perkembangan
penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1997/1998. Dalam tahun anggaran 1989/1990
penerimaan PBB daerah tingkat I berjumlah Rp 169,6 miliar, dan dalam tahun anggaran
1997/1998 meningkat menjadi Rp773,3 miliar, yang berarti selama periode tersebut mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 20,9 persen. Sementara itu ditinjau dari penerimaan PBB dalam
tahun anggaran 1997/1998, penerimaan PBB daerah tingkat I Propinsi DKI Jakarta adalah yang
terbesar yaitu Rp341,7 miliar atau 44,2 persen dari seluruh penerimaan PBB daerah tingkat I,
yang diikuti Propinsi Riau dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp61, 1 miliar dan Rp54,4
miliar atau masing-masing dengan proporsi 7,9 persen dan 7,0 persen. Penerimaan PBB di
Propinsi DKI Jakarta yang cukup besar ini selain karena potensinya yang relatif besar

Departemen Keuangan Republik Indonesia 371


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

khususnya dari PBB sektor perkotaan, juga karena penerimaan tersebut merupakan gabungan
penerimaan PBB daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Sementara itu Propinsi Bengkulu,
Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Timor Timur menerima PBB dengan jumlah terendah
masing-masing Rp2,2 miliar, Rp2,6 miliar dan Rp2,7 miliar dalam tahun anggaran yang sama.
ditinjau menurut laju pertumbuhan selama peri ode 1989/1990-1997/1998, penerimaan PBB
Propinsi Timor Timur memperlihatkan laju pertumbuhan rata-rata tertinggi pertahun yaitu 55, 1
persen, diikuti Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi DKI Jakarta masing-masing 36,8
persen dan 30,9 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan terendah adalah di Propinsi Riau,
Propinsi Lampung, dan Propinsi Maluku masing-masing 4, 1 persen, 9,7 persen, dan 14,1
persen. Perkembangan penerimaan PBB daerah tingkat I seluruhnya dapat dilihat pada Tabel
V.I5.
5.3.2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak

Pembagian penerimaan pungutan atas hasil hutan yang meliputi iuran hak pengusahaan
hutan (IHPH) dan iuran hasil hutan (IHH) merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada pemerintah daerah dari sektor kehutanan.
IHPH merupakan pungutan yang dikenakan kepada pemegang hak pengusahaan hutan (HPH)
tertentu. yang dipungut hanya sekali pada saat izin pengusahaan diberikan, sedangkan IHH
merupakan pungutan yang dikenakan atas dasar jumlah dan jenis hasil hutan yang
diperdagangkan. Ketentuan mengenai pembagian IHH Dari IHPH yang telah diubah beberapa
kali dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1993 ditetapkan 45,0 persen
penerimaan IHH untuk pembiayaan pembangunan daerah, yang meliputi 30,0 persen untuk
pembiayaan pembangunan daerah tingkat I, dan 15,0 persen untuk pembiayaan pembangunan
daerah tingkat II. Sementaraitu 55,0 persen lainnya dialokasikan untuk membiayai rehabilitasi
hutan, dengan rincian 20,0 persen digunakan untuk rehabilitasi hutan secara nasional, dan 15,0
persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, serta 20,0 persen untuk pembayaran Pajak Bumi
dan Bangunan bagi area blok tebangan. Dalam pada itu penerimaan IHPH dialokasikan sebesar
70,0 persen untuk daerah tingkat I dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 372


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 15
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI
1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)
Repelita VI
Repelita V
No. Propmsi Pertumhuhan
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
I. DI Aceh 6,79 11,71 10,99 22,12 15,9
2. Sumatera Utara 8,64 15,77 18,29 25,54 14,5
3 Sumatera Barat 1,04 3,68 3,97 6,94 26,8
4. Riau 44,21 56,41 40,73 61,14 4,1
5 Jamb I 2,03 6,19 5,59 9,44 21,2
6. Sumatera Selatan 5,86 18,26 18,39 23,26 18,8
7. Bengkulu 0,45 0,85 0,87 2,18 21,8
8. Lampung 2,69 3,66 4,25 5,66 9,7
9 OKI Jakarta 39,65 143,77 196,88 341,69 30,9
10. Jawa Barat 11,96 25,42 30,01 54,40 20,9
II. Jawa Tengah 6,20 13,47 15,27 24,50 18,7
12. DI Yogyakana 0,74 1,75 2,49 3,92 23,2
13. Jawa Timur 10,05 20,70 24,96 44,77 20,5
14. Kalimantan Barat 1,05 3,52 4,78 7,32 27,5
15. Kalimantan Tengah 2,58 12,39 12,88 15,51 25,1
16. Kalimantan Selatan 3,61 9,93 10,79 15,38 19,9
17. Kalimantan Timur 9,88 27,88 26,99 34,66 17,0
18. Sulawesi Utara 0,75 2,01 2,19 4,17 23,9
19. Sulawesi Tengah 0,98 1,87 2,30 3,41 16,9
20. Sulawesi Selatan 2,55 7,60 9,08 16,71 26,5
21 Sulawesi Tenggara 0,42 1,20 1,45 2,62 25,7
22. B al I 0,89 2,64 3,00 5,98 26,9
23. Nusa Tenggara Barat 0,74 1,69 1,91 3,44 21,2
24 Nusa Tenggara Timur 0,46 2,25 2,84 5,65 36,8
25. Maluku 2,54 4,68 5,29 7,27 14,1
26. Irian Jaya 2,77 12,00 12,34 22,91 30,2
27 Timor Timur 0,08 1,02 1,34 2,68 55,1
Jumlah 169,61 412,32 470,07 773,27 20,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 373


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

daerah tingkat II, dan 30,0 persen sisanya merupakan penerimaan pemerintah pusat. Pembagian
IHH untuk pemerintah daerah selain berdasarkan lokasi penghasil IHH juga berdasarkan rasio
pemerataan, sehingga bagi daerah-daerah yang tidak memiliki hasil hutan akan memperoleh
pembagian IHH tersebut. .

Secara keseluruhan penerimaan IHH dan IHPH untuk daerah tingkat I adalah Rp69,9
miliar dalam tahun anggaran 1989/1990, dan meningkat menjadi Rp211,4 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998 yang berarti selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 14,8 persen. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah terbesar dalam penerimaan IHH
dan IHPH diperoleh Propinsi Kalimantan Tengah, Propinsi Kalimantan Timur, dan Propinsi
Irian Jaya masing-masing Rp39,6 miliar, Rp36,1 miliar, dan Rp13,6 miliar.

5.3.3 Sumbangan dan Bantuan


5.3.3.1 Sumbangan Pusat
Sumbangan pusat atau subsidi merupakan salah satu sumber penerimaan daerah tingkat
I yang diberikan dalam rangka membantu membiayai pengeluaran rutin daerah. Dengan
demikian diharapkan dapat ditingkatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 sumbangan yang diterima seluruh pemerintah daerah
tingkat I berjumlah Rp4.613,8 miliar dan sebagian besar dari sumbangan tersebut diberikan
dalam bentuk subsisdi daerah otonom (SDO). SDO tersebut sebagian besar dipergunakan untuk
membiayai belanja pegawai daerah otonom dan pegawai perbantuan, dan sebagian lagi
dipergunakan untuk membiayai belanja non pegawai seperti pelaksanaan urusan dekonsentrasi,
urusan desentralisasi, pengembangan sumber daya manusia, dan sebagainya. Belanja pegawai
merupakan kelompok belanja terbesar yang terutama digunakan untuk pembayaran gaji,
tunjangan, dan pensiun.
Dalam tahun anggaran 1989/1990, SDO yang disalurkan kepada daerah tingkat I
berjumlah Rp2.323,2 miliar, meningkat menjadi Rp4.605,9 miliar dalam tahun anggaran
1997/1998, atau mengalami pertumbuhan rata-rata 8,9 persen per tahun. Walaupun SDO tingkat
I secara keseluruhan meningkat setiap tahunnya, tetapi terdapat beberapa propinsi yang
mengalami pertumbuhan negatif, antara lain adalah Bali, negatif 13,5 persen, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Selatan masing-masing negatif 12,2 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 374


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Propinsi penerima SDO tertinggi dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Propinsi
Jawa Timur, yaitu Rpl.089,5 miliar, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Jambi, yaitu
Rp18,1 miliar. Tabel V.16 menggambarkan perkembangan penerimaan SDO tingkat I tiap
propinsi dalam peri ode 1989/1990 -- 1997/1998.
SDO tingkat I per kapita seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp
12.969,0 dan dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat hampir dua kali menjadi Rp22.411 ,0.
Propinsi dengan SDO per kapita terbesar dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Sulawesi
Tengah yaitu Rp48.474,0 sedangkan yang terkecil adalah Lampung yaitu Rp4.569,0. Gambaran
mengenai SDO per kapita daerah tingkat I tiap propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.16.
5.3.3.2 Bantuan Pusat

Bantuan pusat adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah, dan diarahkan untuk pemerataan
pembangunan antar daerah, antar kawasan, dan antar kota - desa.

Bantuan pusat, atau disebut sebagai Program Bantuan Inpres diberikan setiap tahun
kepada daerah, baik daerah tingkat I, daerah tingkat II, maupun desa yang jumlahnya didasarkan
atas kriteria tertentu. Jumlah bantuan ini cendernng meningkat dari tahun ke tahun sejalan
dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan masyarakat

Program Bantuan Inpres Dati I mernpakan bantuan pusat terbesar yang diberikan sejak
tahun anggaran 1974/1975 kepada pemerintah daerah tingkat I. Bantuan tersebut pada dasarnya
mernpakan bantuan yang bersifat umum sehingga baik perencanaan maupun penggunaannya
diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, namun tetap dalam batas-batas arahan yang
diberikan oleh pemerintah pusat.
Sistem alokasi pemberian. Program Bantuan Inpres Dati I didasarkan pada jumlah
penduduk, namun bagi daerah tingkat I yang penduduknya kurang dari jumlah tertentu diberikan
bantuan minimum, seuangkan yang penduduknya melebihi jumlah tertentu diberikan bantuan
maksimum. Pemberian bantuan yang danasarkan atas jumlah penduduk ini tidak bernbah sampai
dengan tahun anggaran 1987 /198_. Kriteria alokasi pemberian dana bantuan ini terus
disempurnakan dan sejak tahun anggaran 1988/1989 dasar pemberian bantuan diubah sehingga
setiap daerah tingkat I diberikan bantuan dalam jumlah yang sama. Kemudian dalam tahun
anggaran 1990/1991, kriteria pemberian bantuan kembali disempumakan, yaitu di samping
diberikan bantuan dasar yang jumlahnya sama untuk setiap daerah tingkat I, juga diberikan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 375


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 16

PENERIMAAN SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI

1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998

Repelita V Repelita VI
Pertumbuh
No. Propinsi 1989/1990 1993/1994 199411995 1997/1998
an
Rata-rata
Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita
(%)
(Rp mUiar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
(I) (1) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. DI Aceh 56,91 17.122 105,25 28.532 108,72 28.800 117,10 28.462 9,4
2. Sumatera Utara 175,24 16.964 317,93 29.403 345,17 31.433 438,55 37.751 12,2
3. Sumatera Barat 19,49 4.990 27,11 6.450 28,04 6.573 31,94 7.080 6,4
4. Riau 12,48 4.330 20,92 5.703 21,94 5.781 27,43 6.335 10,3
5. Jambi 8,71 4.304 14,06 6.284 14,37 6.221 18,09 6.920 9,6
6. Sumatera Selatan 22,83 3.760 33,51 4.874 33,64 4.769 37,61 4.837 6,4
7. Bengku1u 9,68 8.689 14,74 11.166 15,70 11.485 19,66 12.552 9,3
8. Lampung 79,07 10.935 32,21 5.012 32,99 5.034 32,24 4.569 -10,6
9. DKIJakarta 129,59 14.232 235,36 26.755 242,29 26.981 358,00 36.890 13,5
10. Jawa Baral 415,18 12.295 777,20 20.566 815,19 21.140 848,77 20.356 9,4
II. Jawa Tengah 420,34 14.675 788,27 26.928 833,41 28.266 980,46 32.427 11.2
12. DI Yogyakarta 61,66 19.719 116,97 40.087 119,45 40.936 106,53 36.634 7,1
13. Jawa Timor 443,03 13.479 826,01 24.746 866,74 25.767 1.089,45 31.515 11,9
14. Kalimantan Baral 58,24 18.500 113,34 32.467 16,96 4.749 20,55 5.280 -12,2.
15 KalimantaD Tengah 33,87 26.588 67,54 43.802 71,12 44.730 86.18 48.279 12,4
16. Kalimantan Se1atan 61,29 24.872 120,94 43.472 128,63 45.276 21,70 7.043 -12,2
17. Kalimantan Timor 37,04 20.669 22,61 10.547 22,93 10.255 28,70 10.888 -3,1
18. Sulawesi Utara 70,90 28.671 21,71 8.402 22,47 8.583 25,36 8.860 -12,1
19. Sulawesi Tengah 42,43 24.471 85,97 46.445 91,16 48.004 101,70 48.474 11,6
20. Sulawesi Selatan 24,47 3.495 35,10 4.778 36,28 4.862 39,20 4.948 6,1I
21. Sulawesi Tenggara 6,34 4.882 14,87 9.925 16,22 10.498 20,94 12.007 16,1
22. Bali 61,10 21.963 18,94 6.632 15,43 5.358 19,15 5.585 -13,5
23. Nusa Tenggara Barat 11,12 3.364 16,78 4.729 17,04 4.732 20,65 4.993 8,1
24. Nusa Tenggara Timur 11,48 3.394 16,69 4.819 17,75 5.037 21,32 5.679 8,0
25. Maluku 9,79 5.398 15,14 7.567 16,53 8.074 20,54 9.186 9,7
26. Irian Jaya 30,54 19.626 46,72 25.545 49,68 26.261 47,79 20.294 5,8
27. Timor Timor 10,33 14.444 15,53 19.215 17,40 21.065 26,29 29.503 12,4
Jumlah 2.323,15 12.969 3.921,42 20.733 4.017,25 20.899 4.605,89 22.411 8,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 376


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

bantuan tambahan secara proporsional yang dihitung berdasarkan luas wilayah daratan setiap
daerah tingkat I. Untuk menunjang perluasan otonomi daerah, serta meningkatkan
tanggungjawab daerah tingkat I dalam penanganan beberapa jenis kegiatan pembangunan tentu
yang dilaksanakan di daerah, maka dalam tahun pertama Repelita VI atau tahun anggaran
1994/1995 sistem alokasi program Inpres Dati I telah disempurnakan lagi, antara lain dengan
mengintegrasikan program bantuan reboisasi dan program bantuan peningkatan jalan propinsi
ke dalam program Inpres Dati I. Dalam pada itu, untuk lebih meningkatkan tanggungjawab
pemerintah daerah tingkat I dalam pengoperasian dan pemeliharaan jaringan irigasi yang telah
dibanguo dan menjadi tanggung jawab daerah, sejak tahun anggaran 1995/1996 kepada daerah
tingkat I diberikan bantuan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan kemampuan perencanaan Bappeda Tingkat I dan memperkuat fungsi pengawasan
inspektorat wilayah propinsi (Itwilprop), dalam tahun anggaran yang sama diberikan bantuan
baru yaitu bantuan peningkatan kelembagaan perencanaan dan pengawasan daerah tingkat I,
sebagai pelengkap terhadap bantuan yang selama ini telah diberikan.

Dalam tahun anggaran 1974/1975 yang merupakan tahun awal dilaksanakannya


program Inpres Dati I, jumlah bantuan minimum yang diberikan ada1ah Rp500,0 juta, dan
maksimum Rp5,6 millar. Alokasi dalam bentuk bantuan minimum dan maksimum jumlahnya
terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, hingga dalam tahun anggaran 1987/1988 jumlah bantuan
minimum Rp 10,0 miliar dan maksimum Rp12,0 miliar. Sejak tahun anggaran 1988/1989
masing-masing daerah tingkat I memperoleh jumlah bantuan sama besarnya, tanpa batasan
minimum dan maksimum, yaitu Rp 12,0 miliar. Selanjutnya mulai tahun anggaran 1990/1991,
kriteria alokasi bantuan lebih disempumakan yaitu selain diberikan bantuan dasar yang
jumlahnya sama besar untuk setiap daerah tingkat I, diberikan pula tambahan bantuan yang
danasarkan atas luas wilayah daratan. Besarnya jumlah bantuan dasar yang diberikan setiap
tahun anggaran selama periode 1990/1991 -- 1993/1994 selalu meningkat, yaitu jika dalam
tahun anggaran 1990/1991 adalah Rp14,0 miliar, maka dalam tahun anggaran
1993/1994menjadi Rp25,0 miliar. Sementara itu dalam tahun anggaran 1994/1995, selain
diberikan bantuan dasar untuk tiap-tiap daerah tingkat I sebesar Rp25,0 miliar, juga diberikan
bantuan tambahan yang didasarkan atas jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Kemudian
dalam tahun anggaran yang sama alokasi dana program bantuan reboisasi dan program bantuan
peningkatan jalan propinsi telah digabungkan ke dalam program Inpres Dati I sehingga Inpres

Departemen Keuangan Republik Indonesia 377


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dati I seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 1994/1995 meningkat secara drastis menjadi Rp
1.331,1 miliar yang berarti meningkat 79,5 persen dari alokasi dalam tahun anggaran 1993/1994
yang berjumlah Rp741,1 miliar. Pengintegrasian kedua Inpres tersebut yang sebelumnya
merupakan bantuan khusus ke dalam Inpres Dati I yang merupakan bantuan umum dilakukan
dalam rangka meningkatkan otonomi daerah secara lebih nyata dan bertanggungjawab.
Perkembangan dana Inpres Dati I pada dasarnya sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk yang senantiasa meningkat, namun pertumbuhan bantuan Inpres Dati I masih lebih
besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Dalam Tabel V.17 terlihat bahwa Inpres
Dati I per kapita dalam tahun anggaran 1997/1998 menunjukkan peningkatan bila dibandingkan
tahun anggaran 1989/1990. Dalam tahun anggaran 1989/1990 Inpres Dati I per kapita berjumlah
Rp2.218,0 seuang dalam tahun anggaran 1997/1998 meningkat menjadi Rp8.102,0. Apabila
dilihat per daerah tingkat I, dalam tahun anggaran 1997/1998 propinsi-propinsi yang
memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah
tingkat I lainnya adalah Propinsi Timor Timur, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan
Tengah masing-masing Rp55,9 ribu, Rp40,2 ribu, dan Rp37,5 ribu. Besarnya dana Inpres Dati
I per kapita di Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Kalimantan Tengah terutama karena kedua
daerah tingkat I tersebut mempunyai wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan daerah
ltingkat I lainnya, tetapi penduduknya jarang., Sementara itu, tingginya Inpres Dati I per kapita
di Propinsi Timor Tunur adalah karena jumlah penduduknya yang relatif sedikit dan
memperoleh kekhususan dalam alokasi dana lepas ini. Sebaliknya Propinsi Jawa Barat, Propinsi
Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah memperoleh dana Inpres Dati I per kapita yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan daerah tingkat I lain, yaitu masing-masing sebesar Rpl.7 ribu
Rpl.8 ribu, dan Rp2,2 ribu. Rendahnya dana Inpres Dati I per kapita di ketiga daerah tingkat I
tersebut karena mempunyai wilayah yang relatif Iebih kecil dibandingkan dengan luas wilayah
daerah tingkat I lain, sedangkan jumlah penduduknya relatif besar .

Departemen Keuangan Republik Indonesia 378


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 17
BANTUAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I PER KAPITA PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam rupiah)
Repelita V Repelita VI
No. Propinsi
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. DI Aceh 4.132 9.374 9.871 13.789
2. Sumatera Utara 1.414 3.570 3.565 5.670
3. Sumatera Barat 3.575 7.278 8.490 10.919
4. Ri au 5.919 11.076 10.897 12.943
5. Jambi 7.039 18.257 18.132 20.178
6. Sumatera Selatan 2.289 7.540 7.316 8.243
7. Bengkulu 11.729 26.355 27.034 32.372
8. Lampung 2.115 5.788 6.773 8.802
9. DKI Jakarta 3.471 10.149 10.255 9.777
10. Jawa Barat 356 667 1.196 1. 729
11. Jawa Tengah 419 1.523 1.496 2.182
12. DI Yogyakarta 3.838 8.797 9.229 10.699
13. Jawa Timur 452 1.239 1.232 1.825
14. Kalimantan Barat 4.349 15.008 15.733 17.788
15. Kalimantan Tengah 10.609 37.765 39.138 37.520
16. Kalimantan Selatan 5.398 12.277 13.044 16.126
17. Kalimantan Timur 7.751 20}81 22.030 24.160
18. Sulawesi Utara 5.875 15.973 17.367 21.054
19. Sulawesi Tengah 8.946 27.562 29.369 31.823
20. Sulawesi Selatan 2.110 5.433 6.249 7.721
21. Sulawesi Tenggara 10.500 26.823 27.549 32.162
22. B al i 4.732 10.489 11.213 10.713
23. Nusa Tenggara Barat 4.091 11.088 11.546 15.720
24. Nusa Tenggara Timur 4.616 14.338 19.147 19.588
25. Maluku 7.953 25.491 27.186 29.888
26. Irian Jaya 9.758 33.320 39.523 40.185
27. Timor Timur 19.984 49.154 52.656 55.866
Indonesia 2.218 6.173 6.711 8.102

Departemen Keuangan Republik Indonesia 379


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.3.4 Pinjaman Daerah

Seiring dengan laju pembangunan dan peningkatan kebutuhan daerah akan dana untuk
pembiayaan pembangunan, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman untuk menutupi
kekurangari dana bagi pembangunan di daerahnya. Pada hakekatnya pinjaman daerah
merupakan alternatif sumber pembiayaan pembangunan disamping bantuan Inpres, pendapatan
asli daerah. (PAD), dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana pinjaman dapat bersumber dari
luar negeri yang diteruskan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Subsidiary Loan
AgreementlSLA), maupun dari dalam negeri melalui rekening pembangunan daerah (RPD), dan
pinjaman komersial dari bank pemerintah maupun bank swasta.
Dewasa ini pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengumpulkan dana
pembangunan dari masyarakat, melalui penerbitan obligasi pemerintah dan atau badan usaha
milik daerah (BUMD). Pinjaman tersebut dimaksudkan juga untuk pelengkap dalam
pembiayaan proyek-proyek pembangunan di daerah. Dalam pemberian pinjaman yang menjadi
dasar penilaian kelayakan adalah kemampuan daerah untuk mengembalikan pinjaman tersebut
berikut bunganya. Kemampuan daerah untuk meminjam dalam kenyataanya Berbeda-beda
sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Daerah yang memiliki PAD
yang cukup, cenderung mempunyai kemampuan meminjam yang lebih besar.

Untuk itu proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman sebaiknya proyek yang
menghasilkan pendapatan, agar kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dapat dipenuhi tepat
waktu. Adapun kriteria proyek yang dapat dibiayai dengan dana pinjaman adalah proyek yang
merupakan kegiatan pembangunan yang menjadi tugas pokok dan tanggung jawab pemerintah
daerah BUMD yang pembiayaannya tidak dapat disediakan oleh sektor swasta. Di samping itu,
proyek hams menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna untuk kepentingan umum, serta
dapat meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dan atau BUMD dalam
memenuhi kebutuhan jasa pelayanan umum masyarakat.

Dalam perkembangannya, ruang lingkup pemberian pinjaman daerah diperluas kepada


bidang pembangunan prasarana dan sarana umum daerah yaitu pembangunan pasar,
persampahan, dan terminal. Realisasi pinjaman pemerintah daerah tingkat I seluruh Indonesia
dalam tahun 1989/1990 adalah Rp15,1 miliar, meningkat menjadi Rp53,1 miliar dalam tahun
1997/1998, yang berarti dalam kurun waktu tersebut meningkat dengan laju pertumbuhan rata-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 380


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

rata per tahun 17,1 persen.


Proporsi pinjaman pemerintah daerah menunjukkan penurunan pada awal Pelita VI
tahun 1994/1995 sebesar 0,5 persen menjadi 0,4 persen. Hal ini karena adanya peningkatan
penerimaan yang cukup besar pada sisi yang lain, khususnya penerimaan daerah sendiri (PDS)
yaitu yang semula 35,9 persen dari total penerimaan daerah menjadi 42,2 persen dari total
penerimaan tahun anggaran 1997/1998. Sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 pemerintah
daerah tingkat I yang telah melakukan pinjaman adalah Daerah Istimewa Aceh, DKI Jakarta,
Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, sedangkan propinsi lain tidak melakukan pinjaman.

5.3.5 Pengeluaran Rutin Daerah


Pengeluaran rutin daerah tingkat I mempunyai peranan yang cukup penting untuk
membiayai penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan. Hal itu seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk, serta semakin beragamnya kebutuhan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Dalam Tabel V.18 terlihat bahwa dalam tahun anggaran
1989/1990 pengeluaran rutin daerah tingkat I yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang,
belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran pinjaman/utang dan
ganjaran/subsidi/sumbangan, berjumlah Rp2.936,9 miliar, dan dalam tahun anggaran 1997/1998
meningkat menjadi Rp8.131,8 miliar, atau mengalami pertumbuhan rata-rata setiap tahunnya
13,6 persen.
Sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 pemanfaatan pengeluaran rutin masih
diprioritaskan untuk membiayai sumber daya manusia/belanja pegawai, yaitu Rp4.746,4 miliar
atau 50,0 persen lebih dari total pengeluaran rutin, sedangkan proporsi pengeluaran rutin terkecil
untuk membayar angsuran pinjaman/utang yaitu 0,8 persen dari total pengeluaran rutin atau
Rp66,6 miliar.
Sementara itu, daerah tingkat I yang mempunyai jumlah pengeluaran rutin terbesar
dalam tahun anggaran 1997/1998 adalah Propinsi DKI Jakarta yaitu Rpl.729,6 miliar, diikuti
oleh Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Tengah, dan Propinsi Jawa Barat masing-masing
Rp1.363,5 miliar, Rp1.227,7 miliar, dan Rp1.129,7 miliar. Keempat propinsi tersebut pada
umumnya telah memiliki perangkat pegawai dan struktur kelembagaan yang lebih lengkap
apabila dibandingkan dengan propinsi lain. Sebaliknya jumlah pengeluaran rutin terendah
adalah Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Bengkulu, masing-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 381


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

masing Rp37,0 miliar, Rp38,7 miliar, dan Rp42,7 miliar.


Bila ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun diantara 27 daerah tingkat I
selama kurun waktu 1989/1990 -- 1997/1998, Propinsi DKI Jakarta mengalami pertumbuhan
tertinggi yaitu 22,9 persen, diikuti oleh Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Irian Jaya
masingmasing 18,2 persen dan 17,2 persen, sedangkan yang terendah adalah Propinsi Sulawesi
Utara, Propinsi Kalimantan Barat, dan Propinsi Lampung, masing-masing negatif 3,1 persen,
negatif 0,6 persen dan negatif 0,4 persen. Hal ini terjadi karena pengeluaran untuk gaji guru-
guru SD telah dialihkan pembukuannya dari daerah tingkat I ke daerah tingkat II yang
bersangkutan. Gambaran selengkapnya pengeluaran rutin daerah tingkat I dapat dilihat dalam
Tabel V.19.
Pengeluaran rutin daerah tingkat I menurut penyelenggaraan urusan dalam tahun
anggaran 1997/1998 didominasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Urusan Umum
Pemerintahan, masing-masing Rp3.110,2 miliar, dan Rp2.448,8 miliar. Besarnya belanja rutin
pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terutama untuk membiayai gaji guru SD yang tersebar
di seluruh wilayah propinsi, sedangkan besarnya pengeluaran rutin pada Urusan Umum
Pemerintahan untuk membiayai kegiatan pelayanan masyarakat dan belanja sekretarisd aerah
dan DPRD. Perkembangan pengeluaran rutin menurut penyelenggaraan urusan dapat dilihat
dalam Tabel V.20.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 382


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 18

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA


1989/1990, 93/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998

Repelita V Repelita VI
Pertumbu
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998
han
No.
Rata-rata
Jenis pengeluaran Propors Propors Propors Propors
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah (%)
i i i i
(Rp (Rp (Rp (Rp
(%) (%) (%) (%)
miliar) miliar) miliar) miliar)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
3.877, 4.746,3
I. Belanja pegawai 2.207,09 75,15 71,79 3.990,70 66,63 58,37 10,0
54 5
2. Belanja barang 304,61 10,37 538,05 9,96 654,56 10,93 946,9411,64 15,2
3.
Belanja pemeliharaan 114,04 3,88 261,24 4,84 348,61 5,82 501,70 6,17 20,3
..
Belanja perjalanan
4. 32,02 1,09 64,40 1,19 73,58 1,23 113,74 1,40 17,2
dinas
1.098,6
5. Belanja lain-lain 199,91 6,81 435,89 8,07 566,08 9,45 13,51 23,7
4
Angsuran
6. 9,71 0,33 14,\3 0,26 39,94 0,67 66,55 0,82 27,2
pinjamanlutang
Ganj aranlsu
7. 69,52 2,37 209,72 3,89 315,51 5,27 657,92 8,09 32,4
bsidilsumbangan
5.400, 8.131,8
Jumlah 2.936,91 100,00 100,00 5.988,98 100,00 100,00 13,6
97 4

Departemen Keuangan Republik Indonesia 383


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 19

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998

Repelita V ' Repelita VI

No. Propinsi 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Pertumbuhan


Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Rata-rata (%)
(Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I. DI Aceh 69,44 20.892 13'8,25 37.476 146,20 38.728 181,65 44.150 12,8
2. Sumatera Utara 208,67 20.201 365,07 33.762 I 422,11 38.440 575,98 49.581 13,5
3. Sumatera Barat 32,25 8.259 56,57 13.459 63,25 14.827 94,03 20.841 14,3
4. Riau 38,42 13.326 77,04 21.003 78,91 20.793 134,38 31.034 16,9
5. J ambi 13,61 6.731 26,95 12.048 29,01 12.558 47,73 18.262 17,0
6. Sumatera Selatan 41,46 6.827 79,76 11.602 86,04 12.197 123,77 15.918 14,7
7. Bengkulu 13,78 12.365 22,81 17.280 25,53 18.676 42,72 27.278 15,2
8. Lampung 93,61 12.945 56,74 8.82861,76' 9.423 90,83 12.872 -0,4
9. DKI Jakarta 331,63 36.423 818,23 93.013 1.059,83 118.021 1.729.64 178.229 22,9
10. Jawa Barut 460,05 13.623 882,08 23.341 984,45 25.529 1.129,70 27.094 11,9
II. Jawa Tengah 455,85 15.914 885,57 30.252 960,97 32.592 1.227,69 40.603 13,2
12. DI Yogyakarta 71,62 22.903' 139,25 47.722 148,88 51.021 158,03 54.343 10,4
13. Jawa Timur 512,40 15.590 927,12 27.775 1.010,05 30.027 1.363,53 39.443 13,0
14. Kalimantan Barat 67,64 21.488 132,94 38.081 41,26 11.554 64,62 16.600 -0,6
15. Kalimantan'Tengah 41,45 32.538 87,33 56.635 94,88 59.673 128,69 72.089 15,2
16. Kalimantan Selatan 71,78 29.134 149,98 53.912 165,30 58.184 93,64 30.389 3,4
17. Kalimantan Timur 56,37 31.457 79,64 37.143 103,09 46.105 157,82 59.872 13,7
18. Sulawesi Utara 81,69 33.035 42,42 16.415 45,73 17.468 63,28 22.110 -3,1
19. Sulawesi Tengah 47,13 27.179 98,05 52.969 107,20 56.451 127,57 60.803 13,3
20. Sulawesi Selatan 36,61 5.229 66,94 9.112 70,05 9.388 121,01 15.275 16,1
21. Sulawesi Tenggara 10,16 7.821 22,27 14.866 25,45 16.472 38,68 22.174 18,2
22. B al i 75,85 27.265 51,17 17.918 51,53 17.892 88.59 25.836 2,0
23. Nusa Tenggara Barat 15,24 4.610 27,95 7.8.78 30,15 8.373 46,79 11.313 15,1
24. Nusa Tenggara Timur 18,69 5.526 29,82 8.610 33,15 9.407 53,52 14.257 14,1
25. Maluku 14,40 7.942 28,46 14.220 33,33 16.274 50,97 22.800 17,1
26. Irian Jaya 45,05 28.954 87,58 47.886 89.10 47.096 159,99 67.931 17,2
27. Timor Timur 12,03 16.827 20,96 25.941 21,77 26.350 36.99 41505 I 15,1
Jumlah 2.936,91 16.395 5.400,97 28.556 5.988,98 31.157 8.131,84 39.567 13,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 384


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 20

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT I SELURUH INDONESIA PER DINASIURUSAN


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1997/1998
(dalam miliar rupiah)

No. Dinas/urusan Repelita V Repelita VI Pertumbuhao


1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1.Urusan umum pemerintahan 696,99 1.328,25 1.583,59 2.448,83 17,0

2.Dinas pekerjaan umum . 513,15 260,15 281,45 400,28 -3,1


3.Dinas LLAJR dan sungai 18,59 50,61 60,22 81,04 20,2
I
4.Dinas keshatan 164,09 377,74 408,56 583,60 17,2
5.Dinas pendidikan dan kebudayaan 1.290,43 2.719,66 2.804,23 3.110,25 11,6
Dioas osial, perumahan,
6.
perburuhan,
transmigrasi dan koperasi 19,04 42,64 51,28 78,89 19,5
I
Dinas pertanian, kehutanan,
7.
periebunan
dan petemakan 87,79 208,09 211,05 272,40 15,2
Dinas perindustrian dan
8. 9,19 23,21 32,92 51,56 24,1
pertambangan
9.Usaha-usaha daerah 0,00 13,89 44,90 31,13 -1,2
10.Pensiun dan bautuan 4,99 0,89 0,46 0,76 -21,0
Pengeluaran yang tidak masuk
II. I 47,99 122,64 137,29 298,97 25,7
bagian lain
12.Penaeluaran tidak tersangka 5,43 9,35 17,58 49,66 31,9
13.ADpuran pinjaman dan bunga 9,71 14,13 39,94 66,55 27,2

14.Ganjaran, subsidi, sumbangan 69,52 209,72 315,51 657,92 32,4

Jumlah 2.936,91 5.400,97 5.988,98 8.131,84 13,6

Departemen Keuangan Republik Indonesia 385


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.3.6 Pengeluaran Pembangunan Daerah

Program pembangunan nasional diarahkan untuk tercapainya suatu masyarakat yang


adil dan makmur merata di seluruh nusantara. Untuk meneapai sasaran tersebut dilakukan
melalui tahap-tahap pembangunan, baik yang melakukan oleh pemerintah pusat maupun oleh
pemerintah daerah. Program pembangunan daerah dijabarkan dalam bentuk proyek-proyek
pembangunan daerah yang dilaksanakan setiap tahun anggaran dan dituangkan dalam-anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sejalan dengan semakin luasnya jangkauan dan lingkup
pembangunan di daerah, maka dana yang dibutuhkan juga semakin meningkat. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah pengeluaran pembangunan daerah yang semakin meningkat.

Pengeluaran pembangunan daerah diklasifikasikan menurut sektor dan subsektor.


Sesuai dengan dinamika dan tuntutan pembangun di daerah, pengeluaran pembangunan daerah
per sektor juga semakin meningkat. Dalam tahun anggaran 1994/1995 jumlah keseluruhan
pengeluaran pembangunan persektor adalah Rp2.848,4 miliar meningkat menjadi Rp4.399,4
miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, atau selama periode 1994/1995 -- 1997/1998
mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun 15,4 persen. Selanjutnya, apabila dilihat pengeluaran
pembangunan daerah persektor, sektor transportasi dan sektor aparatur pemerintahan dan
pengawasan mempunyai proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Jumlah pengeluaran pembangunan daerah yang diserap oleh sektor transportasi adalah Rp758,1
miliar dalam tahun anggaran 1994/1995, meningkat menjadi Rp1.031,9 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998, namun secara proporsi dana pembangunan untuk sektor transportasi ini
mengalami penurunan yaitu dari 26,6persen menjadi 23,6 persen dalam kurun waktu yang sama.
Sementara itu, pengeluaran pembangunan daerah untuk sektor aparatur pemerintahan dan
pengawasan pada tahun anggaran 1994/1995 berjumlah Rp394,2 miliar, meningkat menjadi
Rp683,l miliar dalam tahun anggaran 1997/199.8, dan secara proporsi dana pembangunan untuk
sektor ini juga meningkat yaitu dari 13,8 persen menjadi 15,6 persen dalam kurun waktu yang
sama. Gambaran secara rinci mengenai pengeluaran pembangunan daerah per sektor dapat
dilihat dalam Tabel V.22

Apabila dilihat dari besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per propinsi,
maka pengeluaran pembangunan di Propinsi D KI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat relatif lebih
besar bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Dalam Tahun anggaran 1994/1995

Departemen Keuangan Republik Indonesia 386


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

penge1uaran pembangunan di kedua propinsi tersebut masing-masing adalah Rp788,1 miliar


dan Rp239,3 miliar, meningkat menjadi Rpl.116,6 miliar dari Rp475,2 miliar dalam tahun
anggaran 1997/1998, atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun
masing-masing 19,3 persen dan 27,2 persen. Sementara itu, dalam tahun-anggarari 1994/1995
pengeluaran pembangunan relatif kecil terjadi di Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi
Bengkulu, masing-masing Rp36.,9 rniliar dan Rp37,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1997/1
998 meningkat menjadi masing-masing Rp50,3 miliar dan Rp55,9 miliar atau selama periode
tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 10,9 persen dan 14,6 persen. Gambaran
secara rinci mengenai pengeluaran pembangunan daerah tingkat I per propinsi dapat dilihat
dalam Tabel V.22.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 387


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V.21
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKA T I PER SEKTOR

1994/1995 DAN 1997/1998

Repelita VI
1994/1995 1997/1998
Sektor
No.
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
.
1. Sektor industri 14,21 0,50 22,37 0,51
2. Sektor pertanian dan kehutanllD 111,86 3,93 153,30 3,50
Sektor surnber daya air Dari
3. 150,52 5,28 242,07 " 5,53
irigasi
4. Sektor tenaga kelja 13,85 0,49 24,02 0,55
Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan
5. 137,26 4,82 241,61 5,52
koperasi
6. Sektor transportasi 758,05 26,61 1.031,93 23,56
7. Sektor pertambangan dan energi 21,61 0,76 20,82 0,48
8.
Sektor pariwisata dan te1ekomunikasi daerah 43.95 1,54 53,66 1,22
9. Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 268,87 9,44 342,76 7,83
Sektor lingkungan hidup dan tata
10. 47,97 1,68 102,94 2,35
mang
11.Sektor pendidikan, kebudayaan nasiona1, kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga 168;35 5,91 273,46 6,24
12. Sektor kependudukan dan ke1uarga sejahtera 3,54 0,12 5,81 0,13
13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 111,56 3,92 154,34 3,52
Sektor pemmahan dan
14. 137.00 4,81 215,83 4,93
pemukiman
15. Sektor agama 52,88 1,85 79,81 1,82
Sektor ilmu pengetahuan dan
16. 62,62 2,20 99,06 2,26
tehno1ogi
17. Sektor hokum 7,69 0,27 11.85 0,27
18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 394,17 13,84 683,07 15,60
19. Sektor politik. penerangan, komunikasi dan media massa 40,73 1,43 60,37 1,38
Sektor keamanan dan ketertiban
20. 25,25 0,89 40,64 0,93
urnum
. Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 276,46 9,71 519.70 11,87
. Pembayaran kembali pinjaman 0,00 0,00 0,00 0,00
Jurnlah 2.848,40 100,00 4.379,42 100,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 388


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 22

PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT IPER PROPINSI


1989/1990,1993/1994,1994/1995, DAN 1997/1998
Repelita V Repelita VI
No. Propinsi' 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1997/1998 Pertumbuhan
Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Jumlah Per kapita Rata-rata (%)
(Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
(1) , (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I. DI Aceh 26,89 8.090 51,91 14.071 54,99 14.567 85,60 20.805 15,6
2. Sumatera Utara 58,48 5.661 93,51 8.648 93,52 8.517 195,05 16.790 16,3
3. Sumatera Barat 17,48 4.477' 38,65 9.195 45,24 10.605 77,79 17.242 20,5
4. Riau 35,24 12.222 123,38, 33.638 104,96 27.657 151,02 34.877 20,0
5.' Jambi 20,42 10.092 51,89 23.195 52,63 22.784 74,67 28.567 17,6
6.Sumatera Selatan 31,06 5.114 84,77 12.331 81,29 11.524 112,91 14.520 17,5
7.Bengkulu 13,23 11.812 36,88 27.937 37,16 27.184 55,89 35.687 19,7
8.Lampung 24,66 3.411 41,24 6.417 51,08 7.794 73,26 10.382 14,6
9.OKI Jakarta 272, II 29.886 584,96 66.496 788,1l 87.763 . II 6,65 115.064 '19,3
10.Jawa Barat 69,40 2.055 152,80 4.043 239,28 6.205 475,19 11.396 27,2
II.Jawa Tengah 60,43 2.ll0 II 3,23 3.868 l3l , 64 4.465 253,83 8.395 19,7
12.DI Yogyakarta 15,49 4.953 33,52 11.486 36,91 12.649 50,30 17.297 15,9
13.Jawa TirllUr 86,09 2.619 182,29 5.461 231,99 6.897 426,48 12.337 22,1
14.Kalimantan Barat 20,93 6.619 58,7 16.720 66,37 18.586 91,18 23.424 20,2
15.Kalimantan Tengah 24,61 19.322 81,56 52.889 83,44 52.478 104,82 58.719 19,9
. 16.Kalimantan latan 16,90 6.859 50,45 18.136 53,99 19.004 73,04 23.705 20,1
17.Kalimantan Timur 27,90 15.569 83,29 38.847 97,30 43.515 137,05 51.991 22,0
18.Sulawesi Utara 24,94 10.084 48,46 18.755 48,74 18.61-7 64,12 22.403 12,5
19.Sulawesi Tengah 19,15 11.040 57,18 30.893 58,89 31.011 77,80 37.082 19,2
20.Sulawesi Selatan , 29,26 4.180 67,22 9.151 84,67 11.3 46 129,06 16.290 20,4
21.Sulawesi Tenggara 14,66 11.283 48,52 32.391 44,20 28.608 64,66 37.073 20,4
22.Bali 25,74 9.252 41,25 14.443 50,52 17.540 95,24 27.774 17,8
23.Nusa Tenggara Barat 15,16 4.587 42,87 12.083 42,93 11.920 71,47 17.279 21,4
24.Nusa Tenggara Timur 18,18 5.375 54,55 15.746 70,84 20.104 77,12 20.544 19,8
25.Maluku 22,09 12.177 62,70 31.335 64,67 31.580 75,30 33.683 16,6
26.Irian Jaya 22,14 14.230 83,72 45.775 89,24 47.170 ll7,53 49.905 23,2
27.Timor Timur 15,95 22.306 43,84 54.264 43,80 53.027 52,39 58.788 16,0
Jumlah 1.028.57 5.742 2.413,01 12.758 2.848,40 14.819 4.379,42 21.309 19,9

Departemen Keuangan Republik Indonesia 389


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tingkat II 5.4.1 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang murni digali oleh
daerah sendiri, dan oleh karena itu daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam memanfaatkan
dana tersebut untuk kepentingan daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah.
Komponen pendapatan asli daerah adalah pajak, retribusi,penerimaan laba BUMD, penerimaan
dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain. Dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik dan
pembangunan di daerah tingkat II, pendapatan asli daerah memegang peranan yang cukup
penting, meskipun bukan merupakan sumber penerimaan yang terbesar. Bagi pemerintah pusat
peranan PAD tingkat II secara bertahap diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga semakin
mampu membiayai kebutuhannya sendiri, terlebih dalam situasi semakin terbatasnya
kemampuan pemerintah dalam menyediakan dana subsidi dan bantuan kepada daerah. Namun
demikian, dalam menggali dana PAD pemerintah daerah tetap berpegang pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya
memberatkan rakyat kecil.

Peningkatan PAD di masa yang akan datang semakin diperlukan sehubungan dengan
semakin meningkatnya kegiatan pelayanan publik dan intensitas pembangunan yang
memerlukan biaya relatif lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam kaitan ini usaha
pemerintah daerah tingkat II untuk meningkatkan PAD yang dijalankan selama ini relatif cukup
berhasil. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan PAD tingkat II selama periode 1989/1990 --
1996/1997. Dalam tahun anggaran 1989/1990 jumlah seluruh PAD tingkat II adalah Rp477,9
miliar, sedang dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp1.827,4 miliar. Hal ini
berarti selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 PAD tingkat II seeara nasional mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 21,1 persen. Sementara itu, ditinjau dari PAD rata-rata per
daerah tingkat II juga memperlihatkan peningkatan yaitu dari Rp 1,6 miliar dalam tahun
anggaran 1989/1990 menjadi Rp6,1 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Dalam pada itu,
jika dilihat menurut jumlah PAD yang diterima daerah tingkat II tiap propinsi selama tahun
anggaran 1996/1997, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi JawaTimur, dan Propinsi
Jawa Tengah menerima PAD dengan jumlah terbesar masingmasing Rp480,6 miliar, Rp332,3
miliar, dan Rp261, 1 miliar, sebaliknya yang terkecil adalah pada daerah tingkat II di Propinsi
Timor Timur, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Sulawesi Tenggara masing-masingRp3,8 miliar,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 390


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Rp8,0 miliar, dan Rp9,1 miliar. Perkembangan PAD tingkat II per propinsi secara rinci dapat
dilihat pada Tabel V.23.

Dari kelima komponen PAD tersebut, penerimaan dart retribusi dan pajak merupakan
dua komponen yang memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp858,6 miliar dan Rp635,8 miliar
dalam tahun anggaran 1996/1997 atau masing-masing mempunyai proporsi 47,0 persen dan
34,8 persen terhadap total PAD tingkat II seluruh Indonesia untuk tahun anggaran yang sama
sebagaimana terlihat pada Tabel V.24.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 391


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 23

PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN
1996/1997
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 ' 199311994 1994/1995 199611997 Pertumbuhan


Propinsi
Rata-rata (%)
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dari II Oatill Dari II Dari II
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I.DI Aceh 6,120,61 12,021,20 14,98 1,50 20,36 2,04 18,7
2.Somatera Utara 32,791,93 62,213,66 73,96 4,35 107,95 6,35 18,6
3.Sumarera Barat 14,251,02 24,461,75 28,86 2,06 39,26 2,80 15,6
4.Riau 6,621,10, 12,542,09 14,60 2,43 24,52 4,09 20,6
5.Jambi 3,670,61 8,051,34 10,74 1,79 15,14 2,52 22,4
6.Sumarera Selatan 11,261,13 22,012,20 32,10 3,21 41,61 4,16 20,5
7.Bengkulu 2,880,72 4,731,18 6,27 1,57 8,00 2,00 15,7
8.Lampung 9,33 2,33 16,21 3,24 16,39 3,28 34,49 6,90 20,5
9.Jawa Barat 99,68 4,15 223,18 9,30 307,76 12,31 480,60 19,22 25,2
10.Jawa Tengah 89,39 2,55 156,13 4,46 194,69 5,56 261,10 7,46 16,5
II.DI Yogyakarta 9,34 1,87 19,59 3,92 -- -'14,97 4,99 39,50 7,90 22,9
12.Jawa Timur 86,01 2,32 168,29 4,55 220;32 5,95 332,31 8,98 21,3
13.Kalimantan Barat 8,09 1,16 12,39 1,7 14,26 2,04 18,09 2,58 12,2
14.Kalimantan Tengah 2,43 0,41 4,73 0,79 6,50 1,08 10,99 1,83 24,1
15.Kalimantan Selatan 6,82 0,68 14,00 1,40 17,48 1,75 25,69 2,57 20,9
16.Kalimantan Timur 12,22 2,04 30,28 5,05 35,85 5,98 42,10 7,02 19,3
17.Sulawesi Utara 8,73 1,25 14,71 2,10 19,67 2,81 24,69 3,53 16,0
18.Sulawesi Tengah 3,29 0,82 5,73 1,43 6,13 1,53 9,24 1,85 15,9
19.Sulawesi Selatan 21,57 0,94 37,61 1,64 46,73 2,03 70,64 3,07 18,5
20.Sulawesi Tenggara 2,01 0,50 4,67 1,17 5,82 1,46 9,09 1,82 24,1
21.Bali 19,30 2,41 49,28 5,48 88,49 9,83 137,29 15,25 32,4
22.Nusa Tenggara Barat 6,34 1,06 12,93 2,16 15,27 2,18 22,61 3,23 19,9
23.Nusa Tenggara Timur 7,89 0,66 12,77 1,06 13,88 1,16 18,79 1,57 13,2
24.MalUku 3,86 0,77 6,68 1,34 9,09 1,82 11,04 2,21 16,2
25.Irian Jaya 3,24 0,36 7,65 0,85 10,21 1,02 18,41 1,84 28,2
26.Timor Timur 0,79 0,06 1,70 0,13 2,67 0,21 ',84 0,30 25,3
Jurnlah 477,92 - 944,55 - 1.237,69 - 1.827,35 - 21.1
Rata-rata per Dat; II - 1.64 - 3,21 - 4,17 - 6,11

Departemen Keuangan Republik Indonesia 392


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 24

KOMPOSISI PENDAPATAN ASLI DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
Repelita V Repelita VI
No. Komponen PAD 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

1.Pajak 130,39 27,28 279,32 29,57 401,54 32,44 635,8234,80

2. Retribusi 267,00 55,87 515,02 54,53 643,61 52,00 858,5946,98


3. Penerimaan bagian laba
perusahaan daerah 14,04 2,94 26,36 2,79 32,96 2,66 59,55 3,26
4. Penerimaan dinas-dinas 26,17 5,48 41,38 4,38 53,18 4,30 117,81 6,45

5. Penerimaan lain-lain 40,32 8,43 82,47 8,73 106,40 8,60 155,58 8,51

Jumlah 477,92 100,00 944,55 100,00 1.237,69 100,00 1.827,35 100,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 393


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.4.1.1 Pajak Daerah

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ditujukan untuk memperbaiki sistem perpajakan daerah yang mengarah pada sistem yang
sederhana, adil, efektif dan efisien, dan berorientasi pada usaha peningkatan penerimaan daerah
melalui sumber pajak yang potensial. Untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang
nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II, maka dalam Undang-
undang ini daerah tingkat II mendapat sumber penerimaan pajak yang lebih banyak daripada
daerah tingkat I, yaitu 6 jenis pajak yang meliputi Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian
Golongan C, dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi penerimaan pajak daerah tingkat II adalah
Rp130,4 millar, dan meningkat menjadi Rp635,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997
dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997,
daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat merupakan penerima pajak daerah terbesar yaitu
Rp136,7 miliar, yang diikuti daerah tingkat II di Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Bali masing-
masing Rp115,6 miliar dan Rp105,3 miliar atau masing-masing memberikan kontribusi sebesar
21,5 persen, 18,2 persen, dan 16,6 persen terhadap total penerimaan daerah tingkat II di seluruh
Indonesia. Secara rata-rata per daerah tingkat II, penerimaan pajak daerah tingkat II di Propinsi
Bali, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI Yogyakarta merupakan daerah dengan tingkat
penerimaan pajak rata-rata per daerah tingkat II terbesar yaitu Rp 11,7 millar, Rp5,5 millar, dan
Rp3,4 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997. Sebaliknya penerimaan pajak rata-rata per
daerah tingkat II terendah adalah pada daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi
Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Bengkulu masingmasing Rp0,7 millar, Rp 1,6 miliar, dan 1,7
miliar. Perkembangan pajak daerah tingkat II tiap-tiap propinsi selama periode 1989/1990 --
1996/1997 dapat dilihat pada Tabel V.25.

5.4.1.2 Retribusi Daerah

Sebagai salah satu komponen dalam PAD, retribusi diharapkan dapat menjadi salah
satu sumber penerimaan yang dapat menunjang terselenggaranya kegiatan pelayanan publik di
daerah tingkat II. Untuk itu peningkatan kualitas pelayanan yang didukung cara kerja yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 394


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

profesional ditambah dengan konsistensi dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan


yang berlaku khususnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 perlu terus menerus
dilaksanakan oleh para aparat pemerintah daerah karena hal itu secara langsung dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi.

Bagi pemerintah daerah tingkat II, penerimaan dari retribusi merupakan sumber
penerimaan yang relatif cukup diandalkan terutama dalam menunjang kelancaraan pelaksanaan
kegiatan pelayanan publik di daerah. Dalam kenyataannya penerimaan dari retribusi cukup besar
dan senantiasa meningkat setiap tahunnya. Hal itu dapat dilihat dart perkembangan penerimaan
retribusi selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 seperti terlihat pada Tabel V.26. Dalam
periode tersebut penerimaan retribusi daerah tingkat II meningkat dari Rp267,0 miliar dalam
tahun anggaran

Departemen Keuangan Republik Indonesia 395


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 25

PENERIMAAN PAJAK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(datam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 ! 1993/1994 199411995 199611997 Pertumbuhan


Propinsi
Rata-rata (%)
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dari II Dari II Dari II Dari II
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1.DI Aceh 1,83 0,18 3,630,36 4,71 0,47 6,48 0,65 19,8
2.Sumatera Vtara
12,34 0,73 25,39 1,49 29,79 1,75 48,36 2,84 21,5
.
3. Sumatera Barat 3,45 0,25 5,95 0,43 7,53 0,54 11,67 0,83 19,0
4. Ri au 2,07 0,35 4,01 0,67 4,79 0,80 9,39 1,57 24,1
5. Jambi 0,98 0,16 2,08 0,35 2,20 0,37 3,41 0,57 19,5
6. Sumatera Selatan 3,13 0,31 7,13 0,71 7,99 0,80 13,21 1,32 22,8
7. Bengkulu 0,67 0,17 0,97 0,24 1,08 0,27 1,67 0,42 13,9
8. Lampung 2,77 0,69 4,17 0,83 5,24 1,05 8,80 1,76 18,0
9. Jawa Barat 23,46 0,98 53,04 2,21 83,33 3,33 136,70 5,47 28,6
10. Jawa Tengah 21,70 0,62 38,37 1,10 51,17 1,46 70,73 2,02 18,4
11. DI Yogyakarta 3,20 0,64 6,60 1,32 9,23 1,85 16,94 3,39 26,9
12. Jawa Timur 17,16 0,46 47,53 1,28 65,92 1,78 115,60 3,12 31,3
13. Kalimantan Barat 3,25 0,46 4,43 0,63 6,33 0,90 7,69 1,10 13,1
14. Kalimantan Tengah 0,83 0,14 1,56 0,26 1,85 0,31 2,64 0,44 18,0
15. Kalimantan Selatan 2,68 0,27 5,39 0,54 6,88 0,69 9,07 0,91 19,0
16. Kalimantan Timor 6,17 1,03 10,39 1,73 13,28 2,21 18,49 3,08 17,0
17. Sulawesi Vtara 2,38 0,34 3,92 0,56 6,55 0,94 9,10 1,30 21,1
18. Sulawesi Tengah 0,99 0,25 1,33 0,33 1,48 0,37 2,48 0,50 14,0
19. Sulawesi Selatan 4,50 0,20 9,19 0,40 10,90 0,47 19,32 0,84 23,1
20. Sulawesi Tenggara 0,31 0,08 0,88 0,22 0,94 0,24 1,61 0,32 26,5
21. Ball 13,25 1,66 35,23 3,91 69,65 7,74 105,34 11,70 34,5
22. Nusa Tenggara Barat 0,64 0,11 2,58 0,43 4,01 0,57 6,52 0,93 39,3
23. Nusa Tenggara Timur 0,61 0,05 1,09 0,09 1,18 0,10 2,16 0,18 19,8
24. Maluku 1,00 0,20 1,74 0,35 1,94 0,39 3,19 0,64 18,0
25. Irian Jaya 0,79 0,09 2,21 0,25 2,98 0,30 4,56 0,46 28,5
26. Timor Timor 0,23 0,02 0,51 0,04 0,59 0,05 0,69 0,05 17,0
Jumlah 130,39 - 279,32 - 401,54- 635,82 - 25,4
Rata-rata per Dari II - 0,45 - 0,95 - 1,35 - 2,13

Departemen Keuangan Republik Indonesia 396


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 26

PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI
'---- - ------------_.__._------ --.- .-.--
Propinsi 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan
f-----_. --- ..--.------------ . -- Rata-rata (%)
Rala-rala Rala-rala Rala-rala Rala-rala
KeseIuruhan Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dalin Dalin Dalin Dalin
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

I.DI Aceh 3,23 0,32 6,07 0,61 7,34 0,73 10,73 1,07 18,7
2.Sumalera Utara 14,76 0,87 27.39 1.61 33,86 1,99 44,55 2,62 17.1
3.Sumatera Barat 9,40 0,67 15,86 1,13 18.15 1,30 23,66 1,69 14,1
4-Ri au 3,80 0,63 6,15 1,03 8,27 1,38 12,18 2,03 18,1
5.Jambi 2,34 0,39 4,92 0,82 7,10 1,18 9,79 1.63 22,7
6.Sumatera Selatan 6,03 0,60 10,26 1,03 15,92 1,59 19,26 1.93 18,0
7.Bengkulu 1,59 0,40 2,50 0,63 2,68 0,67 4,59 1,15 16,4
8.Lampung 5,82 1,46 9,10 1,82 9,45 1,89 13,71 2,74 13,0
9.Jawa Barat 61,68 2,57 131,17 5,47 177,42 7,10 237,11 9,48 21,2
10.Jawa Tengah 49,97 1,43 91,88 2,63 109,55 3,13 135,69 3,88 15,3
II.DI Yogyakarta 4,26 0,85 9,74 1,95 11,44 2,29 14,81 2,96 19,5
12.Jawa Timur 53,06 1,43 98,42 2,66 121,38 3,28 165,93 4,48 17,7
13.Kalimantan Barat 3,95 0,56 6,64 0,95 6,41 0,92 7,95 1,14 10,5
14.Kalimantan Tengah 1,03 0,17 1.93 0,32 2,49 0,42 4,92 0,82 25,0
15,Kalimantan Selatan 3,32 0,33 6,73 0,67 7,09 0,71 10.34 1.03 17,6
16,Kalimantan Timur 3,76 0,63 12.43 2,07 13,28 2,21 15.36 2,56 22,3
17.Sulawesi Utara 5,64 0,81 8,49 1,21 10,24 1,46 11,67 1.67 10,9
18.Sulawesi Tengah 1,74 0,44 3,27 0,82 3.39 0,85 4,59 0,92 14,9
19,Sulawesi Selatan 13,70 0,60 23,78 1.03 30,76 1,34 43,79 1,90 18,1
20.Sulawesi Tenggara 1,40 0,35 3,31 0,83 4,18 1,05 5,02 1.00 20,0
21.B a I I 4,24 0,53 11.62 1,29 15,21 1.69 26.36 2,93 29,8
22.Nusa Tenggara Barat 4,50 0,75 9,14 1,52 9,98 1,43 14,23 2,03 17,9
23,Nusa Tenggara Timur 3,56 0,30 6,46 0,54 7,64 0,64 9,01 0,75 14,2
24,Maluku 2,33 0,47 3,73 0,75 5,61 1,12 6.31 1,26 15,3
25,Irian Jaya 1.46 0,16 3,19 0,35 3,74 0,37 5,62 0.56 21,2
26.Timor Timur 0,43 0,03 0,84 0,06 1,03 0,08 1,41 0,11 18,5
Jumlah 267,00 - 515,02 - 643,61 - 858,59 - 18,2
Rata-rata per Dari 11 - 0,91 - 1,75 - 2,17 - 2,87

Departemen Keuangan Republik Indonesia 397


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1989/1990 menjadi Rp858,6 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 dengan laju pertumbuhan
rata-rata 18,1 persen per tahun. Dari semua daerah tingkat II di tiap propinsi, penerimaan
retribusi daerah tingkat II di Propinsi Bali mengalami laju pertumbuhan rata-rata tertinggi, yaitu
29,8persen per tahun, yang diikuti Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Jambi masing-
masing 25,0 persen dan 22,7 persen, sedangkan yang terendah terjadi pada daerah tingkat II di
Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Lampung masing-masing 10,5
persen, 10,9 persen, dan 13,0 persen per tahun selama periode tersebut. Sementara itu, jika
ditinjau dari jumlah penerimaan retribusi daerah tingkat II tiap propinsi, dalam tahun anggaran
1996/1997 yang tertinggi diperoleh daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat yaitu Rp237, I
millar, kemudian diikuti Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah masing-masing
Rp165,9 miliar dan Rp135,7 millar, sedangkan Propinsi Timor Timur adalah yang terendah,
yaitu Rp 1,4 miliar, diikuti Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sulawesi Tengah yang masing-
masing memperoleh penerimaan dart retribusi daerah tingkat II sebesar Rp4,6 miliar.

5.4.1.3 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah

Dari tahun ke tahun, penerimaan bagian laba BUMD tingkat II meningkat. Penerimaan
bagian laba BUMD tingkat II dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rp14,0 millar,
selanjutnya dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat tajam mencapai Rp59,5 miliar. Ini
berarti selama periode Repelita V dan tiga tahun pertama Repelita VI penerimaan bagian laba
BUMD tingkat II meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 22,9 persen.
Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II yang mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun
tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Bengkulu, dan Propinsi
Kalimantan Tengah masing-masing 124,6 persen, 123,0 persen dan 65,4 persen, sedangkan laju
pertumbuhan negatif dialami daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku
dengan pertumbuhan masing-masing negatif 2,7 persen dan negatif 0,3 persen.

Penerimaan bagian laba BUMD tingkat II tiap propinsi yang terbesar dalam tahun
anggaran 1996/1997 adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan
Propinsi Lampung masing-masing Rp 12,4 millar, Rp 11,5 millar, dan Rp 10,1 millar, sedang
jumlah penerimaan yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi
Maluku, dan Propinsi Bengkulu, masing-masing Rp20,0 juta, Rp70,8 juta, dan Rp93,2 juta.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 398


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Namun jika dilihat rata-rata bagian laba BUMD per daerah tingkat II, maka jumlah tertinggi
dicapai oleh daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Jawa Barat, dan Propinsi DI
Yogyakarta, masing-masing Rp2,0 miliar. Rp495,1 juta, dan Rp 337,9 juta, sedang terendah
dialami oleh daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Maluku, dan Propinsi Kalimantan
Barat, masing-masing Rp2,0 juta, RpI4,2juta, dan RpI9,8juta. Perkembangan penerimaan
bagian laba BUMD daerah tingkat II tiap propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.l7.

5.4.1.4 Penerimaan Dinas-dinas Daerah

Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II merupakan penerimaan dari dinas-dinas yang


ada pada daerah ingkat II di luar penerimaan dari dinas pendapatan daerah. Pada umumnya

Departemen Keuangan Republik Indonesia 399


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

//] TaM V. 27

PENERIMAAN BAGIAN LABA PERUSAHAAN DAERAH TINGKA T II PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalamjuta rupiah)

Repelita V Repelita VI

No, Propinsi 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan


.. Rata-rata (%)
Rata.rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dalill Dari II Dari II Dari II
(1) (2)(3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

I. DI Aceh 158,35 15,84 142,57 14,26 350,01 35,00 621,67 62,17 21,6
2. Sumatem Utara 534,82 31,46 709,06 41,71 1.511,69 88,92 2.996,02 176,24 27,9
3. Sumatem Barat 105,46 7,53 359,83 25,70 388,69 27,76 426,68 30,48 22,1
4. Riau 132,00 22,00 121,50 20,25 131,90 21,98 497,19 82,87 20,9
5. Jam b i 24,42 4,07 521,80 86,97 309,72 51,62 577,11 96,19 57,1
6, Sumatera Selatan 176,39 17,64- 541,54 54,15 1.303,75 130,38 1.713,85 171,39 38,4
7. Bengkulu 0,34 0,09 50,29 12,57 54.73 13,68 93,18 23,30 123,0
8. Lampung 34,95 8,74 39,00 7,80 105,24 21,05 10.086,34 2.017,27 124,6
9. Jawa Barat 2.199,12 91,63 5.461,87 227,58 6.611,58 264,46 12,377,58 495,10 28,0
10, Jawa Tengah 2.815,07 80,43 4.537,55 129,64 5.471,26 156,32 6.987,85 199,65 13,9
II DI Yogyakarta 232,91 46,58 435,33 87,07 469,32 93,86 1.689,71 337,94 32,7
12. Jawa Timur 5.501,06 148,68 8.816,29 238,28 9.647,70 260,75 11.538,68 311,86 11,2
13, Kalimantan Barat 42,25 6,04 , 102,53 14,65 165,56 23,65 138,43 19,78 18,5
14. Kalimantan Tengah 40,74 6,79 363,91 60,65 890,12 148,35 1.377,42 229,57 65,4
15. Kalimantan Selatan 258,62 25,86 305,63 30,56 852,04 85,20 1.566,98 156,70 29,4
16. Kalimantan Timur 563,18 93,86 1.860,09 310,01 1.919,98 320,00 1.456,72 242,79 14,5
17. Sulawesi Utara 104,74 14,96 239,50 34,21 353,67 50,52 734,17 104,88 32,1
18. Sulawesi Tengah 28,15 7,04 60,61 15,15 82,50 20,63 227,39 45,48 34,8
19. Sulawesi Selatan 119,23 5,18 567,17 24,66 572.37 24,89 1.764,01 76,70 46,9
20. Sulawesi Tenggara 50,00 12,50 17,78 4,45 74,35 18,59 129,03 25,81 14,5
21. B a1 i 622,52 77,81 4'83,33 53,70 565,71 62,86 1.265,47 140,61 10,7
22 Nusa Tenggara Barat 87,42 14,57 214,56 35,76 200,34 28,62 407,94 58,28 24,6
23. Nusa Tenggara Timur 85,16 7,10 213,66 17,80 267,57 22,30 500,82 41,74 28,8
1
24. Maluku 72,10 14,42 55,87 11,17 169,02 33,80 70,79 14,16 -0,3
25. Irian Jaya 24,17 2,69 73,30 8,14 306,44 30,64 20,00 2,00 -2,7
26 Timor Timor 22,94 1,76 68,10 5,24 188,67 14,51 284,38 21,88 43,3
Jumlah 14,036,11 - 26.362,67 - 32.963,93 - 59.549,41 - 22,9
Rata - rata per Dari II - 48,07 - 89,67 - 110,99 - 199,16

Departemen Keuangan Republik Indonesia 400


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II hanya memberikan sumbangan yang relatif kecil jika
dibandingkan dengan penerimaan pajak atau retribusi. Bahkan di masa yang akan datang
penerimaan dari dinas-dinas ini diperkirakan akan menurun karena beberapa jenis penerimaan
dinas-dinas akan dikelompokkan ke dalam penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997. Penerimaan dari masing-masing dinas cenderung
berfluktuasi setiap tahunnya dan hal itu ditentukan oleh tingkat permintaan masyarakat akan jasa
pelayanan dan kemampuan dari dinas terkait untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan
tersebut.

Waiaupun penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II relatif kecil, namun penerimaan ini
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dalam tahun anggaran 1989/1990, penerimaan
dinas-dinas daerah tingkat II adalah Rp26,2 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997
meningkat menjadi Rp 117,8 miliar yang berarti selama periode tersebut mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 24,0 persen.

Sementara itu, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah tingkat II yang memperoleh
penerimaan dinas-dinas terbesar adalah daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa
Tengah dan Propinsi Jawa Timur masing-masing Rp45,2 miliar, Rp3t,5 miliard an Rp16,6
miliar, sedang yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Bengkulu, Propinsi
Kalimantan Selatan dan Propinsi Sumatera Barat masing-masing Rp87,5 juta, Rp 110, 1 juta dan
Rp145, 1 juta. Penerimaan dinas-dinas daerah tingkat II di Propinsi Riau, Propinsi Timor Timur,
dan Propinsi Jawa Barat mencapai laju pertumbuhan tertinggi masing-masing 100,2 persen, 41,4
persen, dan 39,9 persen, dan yang terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sumatera Barat,
Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing 0,1 persen, 2,2
persen dan 3,5 persen selama periode 1989/1990 -- 1996/1997. Selain itu penerimaan dinas-
dinas pada daerah tingkat II lainnya justru mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu Propinsi
Sulawesi Selatan dan Propinsi Nusa Tenggara Barat masing-masing negatif 10,5 persen dan
negatif 6,5 persen.

5.4.1.5 Penerimaan Lain-lain


Pengertian penerimaan lain-lain daerah tingkat II adalah penerimaan yang diperoleh
daerah tingkat II di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD, dan penerimaan dinas-dinas.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 401


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Beberapa contoh penerimaan yang termasuk kategori penerimaan lain-lain misalnya penerimaan
dari hasil penjualan asset milik pemerintah daerah, dan jasa giro rekening pemerintah daerah
tingkat II. Penerimaan lain-lain di masa yang akan datang diperkirakan akan menurun bahkan
kemungkinan tak ada lagi, karena adanya pengelompokan dari beberapa jenis penerimaan lain-
lain yang dimasukan ke dalam kategori penerimaan retribusi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Undang -undang Nomor 18 Tahun 1997.
Perkembangan penerimaan lain-lain daerah tingkat II di tiap propinsi selama periode
1989/1990 - 1996/1997, bervariasi antara propinsi yang satu dengan propinsi lainnya. Sementara
penerimaan lain-lain daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan
Propinsi Jawa Tengah adalah tertinggi, masing-masing Rp49,2 miliar, Rp22,7 miliar, dan
Rp16,2 miliair dalam tahun anggaran 1996/1997. Secara nasional penerimaan lain-lain daerah
tingkat II di ketiga tersebut mempunyai proporsi 56,6 persen, sedangkan daerah tingkat II yang
memperoleh penerimaan lain-lain dengan jumlah terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi
Nusa Tenggara Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Timor Timur masing-masing Rp988,5 juta,
Rp 1.059,9 juta, dan Rp 1.139,6 juta. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun penerimaan lain-lain
daerah tingkat II selama periode 1989/ 1990 -- 1996/1997, dengan laju pertumbuhan tertinggi
adalah daerah tingkat II di Propinsi Timor Timur, Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi
Kalimantan Selatan masing-masing 46,5 persen, 39,7 persen, dan 36,4 persen, sedangkan yang
terendah adalah di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Sumatera Utara
masing-masing 7,8 persen, 11,8 persen dan 13,1 persen.

5.4.2 Bagi Hasl Pajak dan Bukan Pajak


5.4.2.1 Bagi HasH Pajak
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor l009/KMK.04/1985, dari keseluruhan penerimaan pajak bumi dan bangunan
(PBB) yang dibagihasilkan kepada daerah, pemerintah daerah tingkat II memperoleh bagian
terbesar yaitu 64,8 persen diikuti pemerintah daerah tingkat I 16,2 persen, sisanya 10,0 persen
untuk pemerintah pusat dan 9,0 persen selebihnya merupakan upah pungut. Selanjutnya
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 dan Perubahan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 2 Tahun 1995, bagian pusat sebesar 10,0 persen diserahkan secara
merata kepada daerah tingkat II sehingga jumlah bagian daerah tingkat II menjadi 74,8 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 402


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pembagian PBB yang sebagian besar dialokasikan kepada pemerintah daerah tingkat II
menunjuk komitmen pemerintah untuk memberi porsi pendanaan yang lebih besar kepada
pemerintah daerah tingkat II dibanding pemerintah daerah tingkat I, selain karena semakin
pentingnya peran pemerintah daerah tingkat II sebagai sentra pembangunan di daerah, juga
berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggungjawab yang titik beratnya ada di daerah tingkat II. Hal ini juga untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan urusan-urusan sehubungan dengan semakin banyaknya urusan-urusan
yang diserahkan pengelolaannya kepada daerah tingkat II. Dengan demikian, penerimaan PBB
ini menjadi salah satu sumber penerimaan yang sangat penting bagi daerah tingkat II. Untuk
tercapainya hasil penerimaan PBB yang optimal maka peran pemerintah daerah tingkat II dalam
proses pemungutan PBB perlu ditingkatkan.
Secara umum, penerimaan daerah tingkat II yang berasal dari PBB meningkat setiap
tahunnya. Perkembangan penerimaan PBB selama periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat
pada Tabel V. 8. alam tahun anggaran 1989/1990 penerimaan PBB berjumlah Rp361,8 miliar,
kemudian meningkat menjadi Rp 1.578,7 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, atau
mengalami pertumbuhan rata-rata tahun 23,4 persen. Dalam tahun anggaran 1996/1997,
jumlah terbesar dicapai oleh prppinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi
Kalimantan Timur masing-masing Rp22 ,2 miliar, Rp216,3 miliar, dan Rp143,6 miliar, sedang
jumlah terkecil dicapai oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia 403


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 28
PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 199311994 199411995 1996/1997 Pertumbuhan


Propinsl
Rata-rata (% )
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Keseluruhan Keseluruhan
Dalill Dalill Keseluruhan Dali II Keseluruhan Dali II
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (ll)
I.DI Aceh 25,91 2,59 44,95 4,50 50,87 5,09 58,64 5,86 12,4
2.Sumatera Utara 30,94 1,82 60,37 3,55 75,42 4,44 108,45 6,38 19,6
3.Sumatera Barat 4,19 0,30 14,08 1,01 22,73 1,62 34,23 2,45 35,0
4.Riau
6,22 1,04 18,52 3,09 24,28 4,05 36,88 6,15 29,0
.
5.Jambi 8,82 1,47 24,95 4,16 24,81 4,14 34,26 5,71 21,4
6. Sumatera Selatan 26,05 2,61 70,48 7,05 79,90 7,99 88,56 8,86 19,1
7. Bengkulu 1,78 0,45 3,15 0,79 5,55 1,39 10,22 2,56 28,4
8. Lampung 10,74 2,69 14,35 2,87 18,78 3,76 24,79 4,96 12,7
9. Jawa Bara! 46,67 1,94 106,26 4,43 138,71 5,55 223,19 8,93 25,1
10.Jawa Tengah 24,26 0,69 51,75 1,48 77,39 2,21 114,04 3,26 24,7
11. DI Yogyakarta 2,83 0,57 6,86 1,37 12,06 2,41 17,50 3,50 29,7
12. Jawa Timur 45,94 1,24 93,08 2,52 129,79 3,51 216,29 5,85 24,8
13.Kalimantan Bara! 5,60 0,80 17,27 2,47 27,88 3,98 40,55 5,79 32,7
14. Kalimantan Tengah 10,35 1,73 50,25 8,38 54,30 9,05 63,49 10,58 29,6
15. Kalimantan Se1atan 14,00 1,40 40,52 4,05 46;67 4,67 62,85 6,29 23,9
16. Kalimantan Timur 44,74 7,46 111,73 18,62 117,20 19,53 143,61 23,94 18,1
17. Sulawesi Utara 2,94 0,42 7,80 I,ll 11,34 1,62 17,72 2,53 29,3
18. Sulawesi Tengah 3,66 0,92 7,01 1,75 11,l2 2,78 13,83 2,77 20,9
19. Sulawesi Selatan 12,38 0,54 33,18 1,44 55,64 2,42 72,23 3,14 28,7
20. Sulawesi Tenggara 1,92 0,48 4,83 1,21 8,46 2,12 13,15 2,63 31,6
21. Bali 4,22 0,53 11,43 1,27 17,77 1,97 25,99 2,89 29,7
22. Nusa Tenggara Bara! 3,07 0,51 6,71 1,12 7,37 1,05 15,22 2,17 25,7
Nusa Tenggara
23. 2,14 0,18 12,94 1,08 18,99 1,58 23,71 1,98 41,0
Timur
24. Maluku 10,05 2,01 17,86 3,57 22,93 4,59 24,40 4,88 13,5
25, Irian Jaya 12,12 1,35 41,35 4,59 53,23 5,32 80,66 8,07 31,1
26. Timor Timur 0,22 0,02 2,95 0,23 12,03 0,93 14,21 1,09 81,3
Jumlah 361,76 - 874,63 - 1.125,22 - 1.578,67 - 23,4
Rata-rata - 1,24 - 2,97 - 3,79 - 5,28

Departemen Keuangan Republik Indonesia 404


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan Propinsi Sulawesi Tengah masing-masing
Rpl0,2 miliar, Rp13,2 miliar, dan Rp13,8 miliar.
Sementara itu, selama kurun waktu.1989/f990 -- 1996/1997 perkembangan penerimaan
PBlf di Propinsi Timor Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Sumatera Barat
mencapai laju pertumbuhan rata-rata per tahun terbesar masing-masing 81,3 persen, 41,0 persen,
dan 35,0 persen, sedang laju pertumbuhan terendah terjadi di Propinsi DI Aceh, Propinsi
Lampung dan Propinsi Maluku masing-masing 12,4 persen, 12,7 persen dan 13,5 persen per
tahun.

5.4.2.2 Bagi Hasil Bukan Pajak


Bagi hasil bukan pajak yang selama ini diterima daerah tingkat II seluruh Indonesia
dari pemerintah pusat adalah dalam bentuk iuran hale pengusahaan hutan (IHPH) dan iuran hasil
hutan (IHH). Ketentuan yang mengatur masalah pemungutan ini adalah Keputusan Presiden
Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian luran Hasil Hutan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991 dan Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1993. Berdasarkan Keppres tersebut ditetapkan bahwa 45,0 persen
dari penerimaan IHH ditujukan untuk pembiayaan pembangunan daerah, dengan pembagian
30,0 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah tingkat I dan 15,0 persen untuk
pembiayaan pembangunan daerah tingkat II. Sementara itu, 55,0 persen lainnya untuk
membiayai kehutanan daerah dengan rindan 20,0 persen ntuk pembiayaan rehabilitasi hutan
secara nasional, dan 15,0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, serta 20,0 persen untuk
pembayaran PBB bagi area blok tebangan. Penerimaan IHPH dialokasikan untuk daerah
tingkat I dan daerah tingkat II sebesar 70,0 persen, seuang 30,0 persen sisanya untuk pemerintah
pusat.
Dibandingkan dengan penerimaan dari bagi hasil pajak yaitu PBB, penerimaan IHH
dan IHPH rsebut relatif kecil. Tetapi walaupun demikian, kontribusi IHH dan IHPH masih tetap
diperlukan karena ikut membantu ketersediaan dana guna menunjang kelancaran pelaksanaan
pembangunan di daerah tingkat II. Penerimaan IHH seluruh daerah tingkat II di Indonesia
adalah Rp90,9 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997, sedangkan jumlah penerimaan IHPH
adalah Rp147,7 juta, yang terdiri dari penerimaan IHPH Propinsi Nusa Tenggara Timur Rp78,2

Departemen Keuangan Republik Indonesia 405


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

juta dan Propinsi Jawa Tengah Rp69,5 juta. Daerah tingkat II penerimaan IHH terbesar adalah
daerah tingkat II di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Timur masing-masing
Rp 17,5 miliar dan Rp 16,6 miliar dalam tahun anggaran yang sama.

5.4.3. Sumbangan dan Bantuan Pusat serta Daerah Tingkat I

5.4.3.1.Sumbangan Pusat dan Daerah Tingkat I


Kebijaksanaan pemberian sumbangan oleh pemerintah pusat dan daerah tingkat I kepada
pemerintah daerah tingkat II diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
umum pemerintahan dan pembangunan. Sebagaimana diketahui, dengan semakin meningkatnya
upaya memperluas otonomi di daerah tingkat II, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tingkat I secara bertahap telah menyerahkan sebagian besar urusan-urusan pemerintahan kepada
daerah tingkat II. Sebagai konsekuensinya pemerintah pusat dan daerah tingkat I juga
meningkatkan sumbangannya untuk memperkuat anggaran rutin daerah tingkat II. Jumlah
sumbangan yang diperoleh daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1993/1994 adalah Rp
1.186,3 miliar, meningkat menjadi Rp4.554,6 miliar dalam tahun 1996/1997, yang berarti
selama kurun waktu tersebut telah mengalami laju pertumbuhan rata-rata per tahun 21,2 persen.

Dalam tahun anggaran 1996/1997, penerima sumbangan dari pusat dan daerah tingkat I
kepada daerah tingkat II tertinggi terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Jawa Barat,
dan Propinsi Jawa Tengah masing-inasing Rp393,3 miliar, Rp354,2 miliar, dan Rp282,8 miliar.
Sementara itu, daerah-daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Kalimantan
Tengah, dan Propinsi DI Yogyakarta relatif kecil dibandingkan dengan-propinsi lain sehingga
menerima sumbangan yang relatif sedikit, masing-masing Rp25,2 miliar, Rp40,7 miliar dan
Rp72,0 miliar. Perkembangan sumbangan pusat dan daerah tingkat I kepada -daerah tingkat II
per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.29. .

Pemberian sumbangan kepada daerah tingkat II pada umumnya diwujudkan dalam bentuk
subsidi daerah otonom (SDO), yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja
nonpegawai. Belanja pegawai digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai, baik
pegawai daerah maupun pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah tingkat II, sedangkan
belanja non pegawai dialokasikan untuk subsidi belanja urusan-desentralisasi, subsidi belanja
urusan dekonsentrasi dan pembantuan, subsidi belanja pengembangan sumber daya manusia dan
pembinaan pemerintahan, serta lain-lain belanja nonpegawai.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 406


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Subsidi belanja urusan desentralisasi dimaksudkan untuk membantu biaya operasional


urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah, antara lain untuk membiayai Sekolah
Dasar Negeri, Rumah Sakit Daerah, dan Penyelenggaraaan Otonomi Daerah. Sementara itu,
subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan pembantuan yang disebut juga sebagai ganjaran
digunakan untuk membiayai usaha-usaha pemerintah pusat dan daerah tingkat I yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah tingkat II yang meliputi ganjaran
kabupaten/kotamadya/kota administratif (Kotif), ganjaran kecamatan, dan ganjaran desa.

Berkenaan dengan semakin banyaknya urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan


kepada pemerintah daerah tingkat II, maka tugas-tugas pemerintahan-yang harus diemban oleh
pemerintahdaerah tingkat II semakin meningkat. Dana SDO yang telah direalisasikan kepada
daerah tingkat II secara nasional dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah Rpl.165,9 miliar dan
dalam tahun anggaran 1996/1997 menigkat menjadi Rp4.439,5 miliar, atau mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 21,0 persen. Apabila ditinjau dari realisasi sumbangan pusat
dan daerah tingkat I kepada daerah tingkat II per propinsi dalam tahun anggaran 1996/1997,
terlihat bahwa daerah-daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Jawa Barat, dan
Propinsi Sumatera Selatan menerima sumbangan terbesar yaitu Rp391,8 miliar, Rp338,3 miliar,
dan Rp282,2 miliar, sedangkan yang terendah adalah Propinsi .Sulawesi Tengah, Propinsi
Kalimantan Tengah, dari Propinsi DI Yogyakarta yaitu Rp25,2 miliar, Rp40,1 miliar, dan
Rp70,3 miliar:

Departemen Keuangan Republik Indonesia 407


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 29
SUMBANGAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 199611997
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 1993/1994 199411995 19%{1997 Pertumbohan


Propinsi
Rata.rata (%)
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata.rata
Keseluruhan KeseIuruhan Keseluruhan Keseluruhan
Dalill Dalill Dalill Dalill
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
I. D1 Aceh 20,14 2.01 46.89 4.69 51.77 5.18 103.81 10.38 26.4
2. Sumatera Utara 67.66 3.98 95.70 5.63 96.09 5,65 211.71 12.45 17,7
3. Sumatera Barat 82,22 5,87 162,95 11.64 173,78 12,41 224,61 16,04 15,4
4. Riau 46,22 7,70 104,67 17,45 111,16 18,53 148,79 24,80 18,2
5. Jambi 38,72 6,45 86,24 14,37 91,58 15,26 123,88 20,65 18,1
6. Sumatera Selatan 85,65 8,57 188,78 18,88 204,05 20,41 282,55 28,26 18,6
7. Benglmlu 21,16 5,29 50,70 12,68 55,43 13,86 77,38 19,35 20,3
8. Lampung 14,43 3,61 159,47 31,89 170,66 34,13 228,01 45,60 48,3
9. Jawa Barat 87,46 3,64 170,89 7,12 182,39 7,30 354,20 14,17 22,1
10. Jawa Tengab 99,54 2,84 196,46 5,61 210,18 6,01 282,83 8,08 16,1
II. D1 Yogyakarta 13,91 2,78 25,35 5,07 26,73 5,35 72,05 14,41 26,5
12. Jawa Timur 87,00 2,35 171,28 4,63 197,02 5,32 . 279,37 7,55 18,1
13. Kalimantan Barat 12,76 1,82 25,84 3,69 131,03 18,72 178.06 25,44 45,7
14. Kalimantan Tengab 11,80 1,97 24,08 4,01 27,88 4,65 40,72 6,79 19,4
IS. Kalimantan Selatan 6,69 0,67 10,17 1,02 12.D3 '1,20 125.21 12,52 52,0
16. Kalimantan Timur 12,55 2.09 73,82 12,30 88,66 14,78 112,78 18,80 36,8
17. Sulawesi Utara 17,94 2,56 135,54 19,36 143,02 20,43 185,14 26,45 39,6
18. Sulawesi Tengab 9,26 2,32 12,79 3,20 15,23 3,81 25,23 5,05 15,4
19. Sulawesi Selatan 146,36 6,36 283,89 12,34 301,37 13,10 393,26 17,10 15,2
20. Sulawesi Tenggara 33,86 8,47 72,09 18,02 77,19 19,30 103,74 20,75 17,3
21. Bali 15,04 1,88 127,65 14,18 146,32 16,26 206,89 22,99 45,4
22. Nusa Tenggara Barat 53,58 8,93 111,31 18,55 119,90 17,13 159,08 22,73 16,8
23. Nusa Tenggara Timur 77,98 6,50 157,87 13,16 165,22 13,77 213,90 17,83 IS,S
24. Maluku 39,67 7,93 82,35 16,47 86,84 17,37 114,59 22,92 16.4
25. Irian Jaya 66,56 7,40 130,49 14,50 181,94 18,19 228,18 22,82 19,2
26. Timor Timur 18,18 1,40 44,42 3,42 59,15 4,55 78,67 6,05 23,3
Jumlah 1.186,34 - 2.751,69 - 3.126,62 - 4.554,64 - 21,2
Rata-rata per Dari II - 4,06 - 9,36 - 10,53 - 15,23

Departemen Keuangan Republik Indonesia 408


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam periode 1989/1990 -- 1996/1997 pemberian SDO untuk daerah tingkat II per
kapita per propinsi secara nasional mengalami peningkatan yang cukup besar. Dalam tahun
anggaran 1989/1990 jumlah SDO untuk daerah tingkat II adalah Rp6.857,0, maka dalam tahun
anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp22.671,0, yang berarti berkembang dengan laju
pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Apabila dilihat SDO daerah tingkat II per kapita
per propinsi dalam tahun anggaran 1996/1997, yang paling menonjol adalah Propinsi Irian Jaya
yaitu Rp92.193,0, diikuti Propinsi Timor Timur dan Propinsi Sulawesi Utara masing-masing
Rp87.679,0 dan Rp64.683,0. Gambaran SDO daerah tingkat II per propinsi periode 1989/1990 -
- 1996/1997 secara rinei dapat dilihat dalam Tabel V.30.
Secara keseluruhan proporsi SDO terhadap keseluruhan penerimaan daerah tingkat II
rata-rata per propinsi dalam tahun anggaran 1989/1990 adalah 38,7 persen dan dalam tahun
anggaran 1996/1997 naik menjadi 39,6 persen.

5.4.3.2 Bantuan Pusat dan Daerah Tingkat I


Dalam rangka pemerataan pembangunan di daerah-daerah dan memperkecil
kesenjangan antardaerah, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada pemerintah daerah
tingkat II dalam bentuk program bantuan Inpres yang meliputi Inpres pembangunan desa, Inpres
Dati II, Inpres sekolah dasar, Inpres kesehatan, dan Inpres desa tertinggal (IDT).
Program Inpres pembangunan desa dimaksudkan untuk mempercepat kemandirian desa dengan
berfungsinya pemerintahan desa, lembaga-lembaga perdesaan dan tumbuhnya swadaya
masyarakat, mendorong terselenggaranya koordinasi dan sinkronisasi pembangunan, dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan usaha ekonomi desa. Program Inpres pembangunan desa dilaksanakan sejak
tahun anggaran 1969/1970 yang pada awalnya hanya berupa bantuan untuk pembangunan desa,
kemudian sejak tahun anggaran 1985/1986 cakupan program Inpres pembangunan desa
diperluas dengan proyek pelatihan kader pembangunan desa proyek pelatihan usaha ekonomi
desa, program pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), serta proyek peningkatan peranan dan
fungsi lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD). Selanjutnya semenjak tahun anggaran
1995/1996 di dalam paket bantuan dikembangkan kegiatan baru yaitu pembinaan anak -anak
dan remaja yang pengelolaannya dipadukan dengan kegiatan PKK. Dalam tahun anggaran
1969/1970 jumlah bantuan adalah Rpl00,0 ribu per desa meningkat menjadi Rp6,5 juta per desa

Departemen Keuangan Republik Indonesia 409


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan untuk kegiatan PKK juga
ditingkatkan dari Rp250,0 rlbu dalam tahun anggaran 1985/1986 menjadi Rpl,5 juta dalam
tahun anggaran 1997/1998. Di samping bantuan langsung kepada desa juga diberikan bantuan
pengendalian dan pengelolaan yang besarnya Rp600,0 ribu untuk tingkat desa, Rp300,0 ribu per
desa untuk tingkat kecamatan, Rp 1 00,0 ribu per desa untuk tingkat Dati II ditambah Rp4,5 juta
untuk hadiah lomba desa, dan Rp20,0 ribu per desa untuk tingkat Dati I ditambah dengan hadiah
lomba desa sebesar Rp 12,0 juta. Seiring dengan adanya pemekaran desa dan penambahan
jumlah desa transmigrasi, serta peningkatan jumlah bantuan per desa, jumlah bantuan yang
diberikan secara keseluruhan juga meningkat. yaitu dari Rp2,6 miliar dalam, tahun anggaran
1969/1970 menjadi Rp468,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 atau selama periode
tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 21,2 persen.
Program bantuan Inpres Dati II dimaksudkan untuk mendukung pencapaian sasaran
pembangunan daerah melalui sektor-sektor yang tertampung dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) tingkat II dan menjadi prioritas masing-masing daerah tingkat II.
Besarnya bantuan Inpres Dati II didasarkan pada jumlah penduduk, dengan ketentuan bahwa
bagi daerah yang penduduknya kurang dari suatu jumlah tertentu diberikan bantuan minimum.
Selain bantuan per jiwa yang telah diberikan dalam tahun anggaran 1970/1971, semenjak tahun
anggaran 1974/1975 diberikan pula bantuan minimum untuk masing-masing daerah tingkat II.
Dalam tahun anggaran 1994/1995 beberapa bantuan khusus diintegrasikan ke dalam Inpres Dati
II, yaitu bantuan kabupaten/kotamadya yang wilayahnya terdiri dari kepulauan, bantuan
pemugaran perumahan perdesaan, bantuan pemugaran pasar kecamatan, bantuan rehabilitasi
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, Inpres penghijauan, dan Inpres peningkatan jalan Dati
II, tambahan bantuan perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, serta
bantuan rehabilitasi Puskesmas. Dalam tahun anggaran 1997/1998 jenis bantuan khusus yang
diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II bertambah menjadi 14 komponen yang terbagi dalam tiga
bentuk bantuan , yaitu : pertama, block gran t terdiri atas bantuan pembangunan Dati II, bantuan
perencanaan, pemantauan, dan pengawasan pembangunan Dati II, bantuan kecamatan, bantuan
pembinaan desa tertinggal Dati II, dan bantuan pemugarap dan pembangunan pasar kecamatan;

Departemen Keuangan Republik Indonesia 410


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 30

SUBSIDI DAERAH OTONOM DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
1
RepeUta V RepeUta VI
I. 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997
Pertumbuhan
No. PropiDsi
Jlala.rata Rata-rata rata Rata-rata Rata.rata (%)
Kesehmob KeseIaruIw Keselurull KeseIuruh
Dan n Ptr kapIta Dan n Ptr kapIta Dan II r koplta Dari II Per kopita
M I an an
(Rp (Rp (Rp (Rp (Rp (Rp
(RpmUlor) (Rupiah) (RupIah) (Rupiah) (Rp mill..) (Rupiah)
mOlar) mOlor) mUlar) mDiar) mUlar) mitior)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) (13) (14) (15)
1. DI Aceh 20,13 2,01 6.054 46,89 4,69 12.71051,77 5,18 13.713 103,51 10,35 25.158 26,4
2. Sumatera Utara 66,30 3,90 6.418 90,89 5,35 8.40694,80 5,58 8.633 206,14 12,13 17.745 17,6
3. Sumatera Bora! 81,21 5,80 20.798 161,59 11,54 38.446173,02 12,3 40.558 223,15 15,94 49.459 15,5
4. Riau 46,20 7,70 16.024 103,16 17,19 28.123109,99 18,33 28.982 146,07 24,35 33.734 17,9
5. Jambi 38,7\ 6,45 19.137 75,16 12,53 33.60190,30 15,05 39.089 121,44 20,24 46.462 17,7
6. Sumatera Selatan 85,65 8,57 14.104 '188,35 18,84 27.396203,12 20,31 28.795 282,16 28,22 36.287 18,6
7. Bengku\u 21,15 5,29 18.982 50,44 12,61 38.21255,42 13,86 40.538 77,30 19,33 49.357 20,3
8: Lampung 14,42, 3,61 1.994 159,47 31,89 24.812170,12 34,02 25.957 228,01 45,60 32.315 48,3
9. Jawa Bora! 82,883,45 2.454 161,45 6,73 4.272 171,68 6,87 4.452 338,25 13,53 8.112 22,3
10. Jawa Tengab 99,542,84 3.475 191,7\ 5,48 6.549205,23 5,86 6.960 267,32 7,64 8.841 15,2
11. DI Yogyakarta 12,982,60 4.152 25,21 5,04 8.64026,29' 5,26 9.008 70,33 14,07 24.186 27,3
12. Jawa Timor 85,412,31 2.598 166,99 4,51 5.003193,53 5,23 5.753 267,96 7,24 7.751 17,7
13. Kalimantan Bant 11,971,71 3.802 23,30 3,33 .674128,24 18,32 35.912 174,70 24,96 44.881 46,7
14. Kalimantan Tengab 11,781,96 9.244 24,01 4,00 15.57027,88 4,65 17.533 40,14 6,69 22.486 19,1
15. Kalimantan Se1atim 6,610,66 2.682 9,55 , 0,96 3.43210,59 1,06 3.727 122,83 12,28 39.864 51,8
16. Kalimantan Timor 12,392,07 6.916 69,90 11,65 32.60283,48 13,91 37.333 107,22 17,87 40.674 36,1
17. Sulawesi Utara 17,942,56 7.253 135,54 19,36 52.455142,28 20,33 54.348 185,14 26,45 64.683 39,6
18. Sulawesi Tengab 9,242,31 5.331 12,79 3,20 6.90815,24 3,81 8.023 25,23 5,05 12.027 15,4
19 Sulaw Selatan 146,016,35 20.852 283,78 12,34 38.630300, 10 13,05 40.218 391,80 17,03 49.454 15,1
20. Sulawesi Tenggora' 33,868,47 26.064 71,91 17,98 48.00577,01 19,25 49.846 103,51 20,70 59.344 17,3
21. Bali ' 8,211,03 2.952 117,82 13,09 41.254130,26 14,47 45.229 177,33 19,70 51.714 55,1
Nusa Tenggora
22. 53,468,91 16.176 111,15 18,53 31.32 119,57 17,08 33.206 158,69 22,67 38.369 16,8
Bora!
Nusa Tenggora
23. 77,926,49 23.033 157,39 13,12 45.43 164,42 13,70 46.658 211,59 17,63 56.362 15,3
Timor
24. Maluku 39,677,93 21.869 80,49 16,10 40.228 86,84 17,37 42.404 114,38 22,88 51.159 16,3
25. 1rian Jaya 64,047,12 41.157 129,60 14,40 70.857 174,60 17,46 92.285 217,12 21,71 92.193 19,1
26. '!1mor [i1mor 18,171,40 25.411 44,38 3,41 54.933 59,02 4,54 71.456 78,14 6,01 87.679 23,2
Jumlah 1.165,85 - 6.857 2.692,92 - 14.933 3.064,80 - 4.439,46 - 22.671 21,0
tI6.26
Rata-rata per Dari It - 3,99 - - 9,16 - - '10,32 - 14,85 -

Departemen Keuangan Republik Indonesia 411


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kedua, specific block grant yang terdiri atas bantuan peningkatan dan prasarana jalan Dati II,
bantuan rehabilitasi sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD/MI), bantuan rehabilitasi dan
pemeliharaan sarana kesehatan, bantuan perbaikan perumahan dan pemukiman, bantuan
penyehatan lingkungan permukiman, bantuan peningkatan prasarana poros desa, bantuan
penghijauan, dan bantuan pengendalian dampak lingkungan Dati II; ketiga, specific grant yang
terdiri atas bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan sarana kesehatan,
bantuan penyediaan air bersih, bantuan pertanian rakyat terpadu, bantuan penyuluh pertanian
lapangan, bantuan pembangunan prasarana pendidikan desa tertinggal, bantuan penyediaan dan
pengelolaan air bersih, bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan desa tertinggal,
program penyehatan lingkungan permukiman, dan program makanan tambahan anak sekolah.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di tiap daerah tingkat II dan banyaknya bantuan
khusus yang diintegrasikan ke dalam Inpres Dati II ini, jumlah bantuan yang diberikan juga
meningkat. Dalam tahun anggaran 1970/1971 bantuan per jiwa baru sebesar Rp50,0 meningkat
menjadi Rp5.500,0 dalam tahun anggaran 1997/1998, begitu juga dengan bantuan minimum
yang meningkat dari Rp16,0 juta per daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1974/1975 menjadi
Rpl,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998. Selanjutnya, apabila dilihat dari jumlah
keseluruhan bantuan yang diberikan per daerah tingkat II meningkat dari Rp5,6 miliar dalam
tahun anggaran 1970/1971 menjadi Rp3.484,0 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998, yang
berarti selama periode tersebut bantuan Inpres Dati II mengalami pertumbuhan rata-rata per
tahun 26,9 persen.

Program Inpres sekolah dasar (SD) dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar
dan menamatkan pendidikan pada tingkat SD dalam upaya mendukung pelaksanaan wajib
belajar pendidikan 9 tahun dengan memenuhi kebutuhan gedung SD di daerah transmigrasi,
daerah pemukiman baru dan daerah terpencil, dan meningkatkan mutu proses belajar-mengajar
dengan mendorong sekolah untuk melakukan kegiatan aktif produktif melalui kegiatan ekstra
kurikuler. Dalam tahun anggaran 1997/1998 komponen kegiatan Inpres SD ditingkatkan dan
ditetapkan dalam dua bentuk kegiatan yaitu pertama kegiatan pokok meliputi pembangunan
gedung baru, pembangunan tambahan ruang SD/MI negeri, pembangunan rumah dinas kepala
sekolah, rumah dinas penjaga sekolah, dan perumahan guru, pembangunan mess murid, biaya
operasional dan perawatan sekolah, dan pembinaan olahraga dan pramuka; kedua kegiatan
penunjang meliputi penyediaan buku pelajaran dan bacaan, pengadaan alat peraga, penyediaan

Departemen Keuangan Republik Indonesia 412


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

alat administrasi sekolah, dan pengadaan sarana transportasi penilik pendidikan agama. Sejalan
dengan peningkatan komponen Inpres SD, bantuan Inpres SD juga meningkat dari Rp17,2
miliar dalam tahun anggaran 1973/1974 menjadi Rp663,2 miliar dalam tahun anggaran
1997/1998 atau selama periode tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 16,4
persen.

Program Inpres kesehatan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang


merata di seluruh wilayah Indonesia dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama
masyarakat yang berpenghasilan rendah di daerah kumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah
terpencil atau terisolir, daerah transmigrasi, serta daerah pemukiman baru. Sejak tahun anggaran
1997/1998 komponen Inpres kesehatan ditingkatkan lagi meliputi pembangunan Puskesmas,
Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling, rumah dokter/dokter gig/paramedis, pengadaan obat,
pengadaan alat medis/SSB, penempatan tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan di daerah
terpencil, serta pendayagunaan bidan di desa. Seiring dengan bertambahnya komponen dalam
Inpres kesehatan pengalokasian dana juga meningkat, apabila dalam tahun anggaran 1975/1976
adalah Rp 11 ,2 miliar meningkat menjadi Rp607,8 miliar dalam tahun anggaran 1997/1998,
berarti selama periode tersebut bantuan Inpres kesehatan mengalami pertumbuhan rata-rata
pertahun 19,9 persen.
Program Inpres desa tertinggal (IDT) merupakan dana bergulir, yang dimaksudkan
untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan taraf pendapatan
dan kesejahteraan anggota kelompok masyarakat miskin. Program IDT tersebut merupakan
program perluasan dan peningkatan bagi program penanggulangan kemiskinan yang sudah
dilaksanakan selama ini. Program bantuan ini diberikan dalam rangka mendorong, membantu,
dan meningkatkan usaha-usaha ekonomi masyarakat desa sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat di desa-desa miskin, dan secara bertahap diharapkan
dapat membebaskan masyarakat desa dari kemiskinan. Bantuan IDT diberikan langsung kepada
kelompok masyarakat (Pokmas) yang jumlahnya Rp20,0 juta, melalui bank atau lembaga
keuangan lainnya yang ditunjuk. Selain bantuan langsung diberikan juga bantuan operasional
pemantauan untuk tingkat desa sebesar Rp600,0 ribu, untuk kecamatan Rp300,0 ribu per desa
tertinggal, untuk daerah tingkat II Rpl00,0 ribu per desa tertinggal, serta untuk daerah tingkat I
Rp20,0 ribu per desa tertinggal. Selain dalam bentuk dana, program IDT diberikan juga dalam
bentuk bimbingan dan pendamping khusus dari kader penggerak desa atau sarjana pendamping

Departemen Keuangan Republik Indonesia 413


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

puma waktu, yang antara lain untuk mengembangkan usaha ekonomis produktif guna
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa tertinggal. Dana bantuan langsung
digunakan untuk membiayai biuang pertanian, industri kerajinan rakyat, pengelolaan bahan
baku menjadi bahan jadi, biuang perdagangan dan industri, dan bidang pengepakan dan
pemasaran, sedangkan dana bantuan operasional pemantauan digunakan untuk biaya pengolahan
data, biaya pendamping sebesar 50,0 persen, dan biaya bimbingan dan penyuluhan. Program
IDT ini diberikan sejak tahun anggaran 1994/1995 dan telah dialokasikan kepada 20.633 desa
tertinggal dengan jumlah bantuan Rp397, 7 miliar, dan dalam tahun anggaran 1996/1997
dialokasikan dana Rp479,8 miliar untuk 22.054 desa/kelurahan tertinggal, berarti selama peri
ode tersebut bantuan IDT mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 9,8 persen.

Jumlah keseluruhan bantuan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tingkat I kepada daerah tingkat II dan pemerintah desa meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam tahun anggaran 1989/1990, jumlah bantuan Rp825,2 miliar meningkat menjadi
Rp3.973,8 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 yang berarti selama kurun waktu tersebut
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 25,2 persen. Selanjutnya apabila dilihat
dari rata-rata bantuan per daerah tingkat II, dalam tahun anggaran 1989/1990 rata-rata bantuan
yang diterima setiap daerah tingkat II adalah Rp2,8 miliar meningkat menjadi Rp 13,3 miliar
dalam tahun anggaran 1996/1997. Jika ditinjau dari realisasi bantuan yang diterima oleh daerah
tingkat II di tiap propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Timur
menerima bantuan terbesar masing-masing Rp624,6 miliar dan Rp459,1 miliar dalam tahun
anggaran 1996/1997, sedangkan yang menerima bantuan terkecil adalah daerah tingkat II di
Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Bali masing-masing Rp43,7 miliar dan Rp45,4 miliar.
Selanjutnya jika dilihat dari realisasi bantuan rata-rata yang diterima oleh daerah tingkat II di
masing-masing propinsi, daerah tingkat II di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Riau menerima
jumlah bantuan rata-rata terbesar masing-masing Rp25,0 miliar dan Rp24,8 miliar, sedangkan
yang terkecil adalah daerah tingkat II di Propinsi Bali dan Propinsi Timor Timur masing-masing
Rp5, I miliar dan Rp5,8 miliar. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama peri ode 1989/1990
-- 1996/1997 yang tertinggi adalah daerah tingkat II di Propinsi Irian Jaya dan Propinsi Maluku
masing-masing 48,3 persen dan 39,4, sedangkan yang terkecil .adalah daerah tingkat II di
Propinsi Bali yaitu 9,5 persen. Gambaran secara rinei mengenai bantuan pusat dan daerah
tingkat I untuk daerah tingkat II per propinsi dapat dilihat dalam Tabel V.31

Departemen Keuangan Republik Indonesia 414


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.4.4 Pinjaman Daerah

Sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah tingkat I, pemerintah daerah tingkat II


dapat memperoleh sumber pembiayaan alternatif yang berupa pinjarnan. Pinjarnan daerah
diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah, memperbaiki mutu pelayanan dan juga
dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Pinjaman ini oleh pemerintah daerah tingkat II dimanfaatkan untuk membiayai proyekproyek
pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Pinjaman yang dilakukan oleh
BUMD adalah pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), PD pasar
dan perusahaan daerah lainnya. Sejalan dengan makin luasnya jangkauan dan gerak laju
pembangunan di daerah tingkat II, realisasi pinjaman daerah dari tahun ke tahun juga
menunjukkan peningkatan.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 realisasi pinjaman pemerintah daerah sebesar Rp26,5
minar, meningkat menjadi Rp149,5 miliar dalam tahun anggaran 1996/1997 yang berarti selama
periode tersebut meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 28,1 persen setiap tahun.

Berdasarkan data APBD, tahun 1989/1990 sampai dengan 1996/1997 daerah yang
belum melakukan pinjaman adalah daerah tingkat II di Propinsi Lampung, Propinsi Sulawesi
Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Maluku, Propinsi Irian Jaya, dan Propinsi Timor
Timur. Sementara itu, daerah yang memiliki pinjaman yang terbesar adalah daerah tingkat II di
Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, dan Propinsi Jawa Barat masing-masing Rp32,2
miliar, Rp29,6 miliar dan Rp21,6 miliar, sedangkan pinjaman daerah tingkat II di
propinsi_propinsi lain relatif kecil.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 415


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 31

BANTUAN PUSAT DAN DAERAH TINGKAT I UNTUK DAERAH TINGKAT n PER PROPINSI
1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997
(dalam miliar rupiah)

Repelita V Repellta VI

No. 1989/1990 199311994 199411995 199fj,11997 Pertumbahaa


Propmsi
Rata-rata (%)
Rata.rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata
Keseluruhan Keseluruhan KeseIuruhan KeseIuruhan
Dan II Dan II Dan II Dan II
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1.DI Aceh 32,36 3,24 106,79 10,68 98,409,84 116,37 11,64 20,1
2.Sumatem Utara 57,37 3,37 193,55 11,39 170,1310,01 207,75 12,22 20,2
3.Sumatem Barat 28,41 2,03 95,54 6,82 96,606,90 108,57 7,76 21,1
4.Riau 25,18. 4,20 lll,50 18,58 110,5318,42 148,69 24,78 28,9
5.Jambi 15,75 2,63 72,50 12,08 69,8311,64 84,49 14,08 27,1
6.Sumatem Selatan 36,69 3,67 149,32 14,93 239,8923,99 171,07 17,11 24,6
7.Bengkulu 8,38 2,10 42,11 10,53 39,439,86 50,31 12,58 29,2
8.Lampung 24,45 6,11 91,25 18,25 116,0523,21 112,62 22,52 24,4
9.Jawa Barat 117,02 4,88 448,61 18,69 512,6320,51 624,62 24,98 27,0
10.Jawa Tengab 107,17 3,06 312,g6 8,94 347,249,92 393,75 11,25 20,4
11.DI Yogyakarta 11,25 2,25 39,29 7,86 40,558,11 43,71 8,74 21,4
12.Jawa Timur 120,14 3,25 416,60 11,26 429,5611,61 459,1\ 12,41 21,1
13.Kalimantan Bara! 28,05 4,01 90,55 12,94 101,0214,43 137,45 19,64 25,5
14.Kalimantan Tengab 13,53 2,26 82,42 13,74 77,1312,86 92,96 15,49 31,7
15.Kalimantan Selatan 19,90 1,99 74,54 7,45 74,757,48 89,40 8,94 23,9
16.Kalimantan Timur 15,69 2,62 82,74 13,79 84,6014,10 105,37 17,56 31,3
17.Sollawesi Utara 13,20 1,89 60,35 8,62 62,428,92 76,f1J 10,87 28,4
18.Sulawesi Tengab 14,00 3,50 62,48 15.62 70,3517,59 97,'1 19,52 32.0
19.Sulawesi Selatan 36,80 1,60 170,58 7,42 179,277,79 196,07 8,52 27,0
20.Sulawesi Tenggara 8,95 2,24 49,55 12,39 42,7010,68 59,81 11,96 31,2
21.Bali 24,00 3,00 52,84 5,87 42,394,71 45,42 5,05 9,5
22.Nu.. Tenggara Barat 19,03 3,17 56,17 9,36 59,528,50 71,11 10,16 20,7
Nusa Tenggara
23. 20.52 1,71 112,29 9,36 134,6811,22 149,23 12,44 32,8
Timur
24.Maluku 8,74 1,75 57,73 11,55 58,3311,67 89,22 17,84 39,4
25.Irian Jaya 10,64 1,18 113,19 12,58 129,1312,91 168,01 16,80 48,3
26.Timor Timur 8,01 0,62 59,04 4,54 56,484,34 75,02 5,77 37,7
Jumlah S:ZS,D - 3.204,39 - 3.443,61 - 3.973,83 - 25,2
Rata-rata per Dari II - 2,83 - 10,90 - 11,59 - 13,29

...

Departemen Keuangan Republik Indonesia 416


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.4.5 Pengeluaran Rutin Daerah

Pengeluaran rutin daerah tingkat II adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tingkat II seperti belanja pegawai, belanja barang,
perjalanan dinas, angsuran pinjaman, dan sebagainya. Pengeluaran ini terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab di daerah
tingkat II serta kaitannya dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Dari seluruh komponen belanja rutin daerah tingkat II, belanja pegawai merupakan
komponen belanja terbesar, dalam tahun anggaran 1989/1990 dan 1996/1997 masing-masing
berjumlah Rp1.171,6 miliar dan Rp4.276,6 miliar, atau 69,3 persen dan 62,5 persen dari total
pengeluaran rutin. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan
dayaguna aparatur pemerintah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Data terinci
mengenai perkembangan jenis-jenis belanja dalam pengeluaran rutin daerah tingkat II dapat
dilihat dalam Tabel V.32.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 belanja rutin daerah tingkat II per kapita adalah
Rp9.943,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi Rp34.958,0 atau
mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 22,1 persen. Sementara itu, dalam tahun anggaran
1996/1997 belanja rutin daerah tingkat I perkapita perpropinsi tertinggi adalah Irian Jaya yaitu
Rp133.412,0 sedangkan yang terendah adalah Jawa Timur, yaitu RpI8.157,0.
Jumlah belanja rutin daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya dengan banyaknya
daerah tingkat II serta banyaknya kegiatan pemerintahan di daerah bersangkutan. Dalam tahun
anggaran 1996/1997 pengeluaran rutin daerah tingkat II rata-rata yang terbesar adalah Propinsi
Lampung dan diikuti Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp53,0 miliar dan Rp43,1
miliar, sedangkan yang terkecil adalah Propinsi Timor Timur, yaitu Rp7,1 miliar. Sementara itu,
dilihat dari laju pertumbuhan belanja rutin rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 --
199611997, terlihat bahwa yang tertinggi adalah di Propinsi Bali yaitu 44,9 persen, sedangkan
yang terendah di

Departemen Keuangan Republik Indonesia 417


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 32

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997

Repelita V Repelita VI

No. 1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuhan


Jenis pengeluaran Rata-rata (%
)
JumJah Proporsi Jumlah Proporsi JumIah Proporsi JumIah Proporsi
(Rp mUiar) (%) (Rp Millar) (%) (Rp miiiar) (%) (Rp Millar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1. Belanja pegawai 1.171,6369,30 2.680,0868,31 3.064,9865,73 4.276,58 62,47 20,3

.
2. Belanja barang 199,86 11,82 444,18 11,32 562,50 12,06 I. 009 ,44 14,75 26,0

3. Belanja pemeliharaan 56,03 3,32 123,22 3,14 146,97 3,15 212,78 3,11 21,0

4. Belanja perjalanan dinas 27,20 1,61 70,31 1,79 88,42 1,90 123,12 1,80 24,1

5. Belanja lain-lain 196,82 11,64 495,85 12,64 657,36 14,10 1.003,43 14,66 26,2

6. Angsuran pinjamanlutang 15,74 0,93 35,02 0,89 56,22 1,21 75,04 1,09 25,0

G an jaranl su bsi dil s umban


7. 23,08 1,37 74,69 1,91 86,00 1,84 144,98 2,12 30,0
g an
Sisa lrurang tahun
8. 0,22O,ol 0,00 0,00 0,50 0,01 0,00 0,00 -100,0
sebelumnya

Jumlah 1.690,58 100,00 3.923,35 100,00 4.662,95 100,00 6.845,37 100,00 26,2

Departemen Keuangan Republik Indonesia 418


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yaitu masing-masing 16,3 persen. Jika ditinjau
dari jumlah pengeluaran daerah tingkat II per propinsi, dalam tahun anggaran 1996/1997 daerah
tingkat II di Propinsi Jawa Barat menempati rangking tertinggi, yaitu Rp784,2 miliar dan yang
terendah adalah daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Rp.45,9 millar.
Pengeluaran rutin daerah tingkat II per propinsi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel V.33.

Jenis pengeluaran rutin dilihat dari penyelenggaraan urusan pemerintahan antara lain
terdiri atas penyelenggaraan urusan umum pemerintahan, dinas pekerjaan umum, dinas
kesehatan, dinas pendidikan dan kebudayaan. Dalam tahun anggaran 1996/1997, urusan umum
pemerintahan menyerap pengeluaran rutin terbesar, yaitu Rp2.939,4 miliar kemudian diikuti
dinas pendidikan dan kebudayaan yaitu Rp2.077,7 miliar. Gambaran rinci pengeluaran rutin
daerah tingkat II per jenis pengeluaran periode 1989/1990 -- 1996/1997 dapat dilihat dalam
Tabel V.34.

5.4.6 Pengeluaran Pembangunan Daerah

Sejalan dengan titik berat otonomi pada daerah tingkat II, dan da1am rangka
melaksanakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, pemerintah daerah tingkat II
terus berupaya meningkatkan pembangunan, baik yang bersifat rehabilitasi maupun
pembangunan prasarana dan sarana baru di berbagai sektor. Pengeluaran pembangunan daerah
tingkat II sampai dengan tahun anggaran 1993/1994 terdiri atas 18 sektor, dan mulai tahun
anggaran 1994/1995 diperluas menjadi 20 sektor. Dengan semakin meluasnya sektor yang
menjadi jangkauan dan ruang lingkup serta beragamnya kegiatan pembangunan di daerah,
pengeluaran pembangunan daerah tingkat II juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Peningkatan upaya pembangunan tersebut tercermin dari penyerapan dana pembangunan yang
terus meningkat. Secara nasional jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II dalam
tahun anggaran 1994/1995 adalah Rp4.429,4 miliar, meningkat menjadi Rp5.694,3 miliar dalam
tahun anggaran 1996/1997 atau mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 13,4 persen.

Apabila ditinjau dari pengeluaran pembangunan per sektor, dalam tahun anggaran
1996/1997 sektor-sektor yang banyak menyerap dana pembangunan daerah tingkat II adalah
sektor transportasi, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan serta sektor pembangunan
daerah dan pemukiman yang masing-masing Rp2.082,7 miliar, Rp707,2 miliar, dan Rp661,7

Departemen Keuangan Republik Indonesia 419


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

miliar. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan masing-masing 36,6 persen, 12,4 persen, dan
11,6 petsen yang secara bersama-sama menyerap sebesar 60,6 persen dari seluruh pengeluaran
daerah tingkat II dalam tahun anggaran 1996/1997. Gambaran mengenai perkembangan
pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per sektor selama periode 1994/1995 -- 1996/1997
secara rinci dapat dilihat dalam Tabel V.35.
Jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II di tiap propinsi erat kaitannya
dengan jurnlah daerah tingkat II dan tingkat kepadatan penduduk, serta aktifitas ekonomi dan
gerak pembangunan di daerah bersangkutan. Pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per
propinsi tertinggi dalam tahun anggaran 1996/1997 adalah di Propinsi JawaBarat, PropinsiJawa
Timur, dan Propinsi Jawa Tengah, yaitu masing-masing Rp935,8 miliar, Rp736,1 miliar, dan
Rp592,5 miliar,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 420


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

" Tabel V. 33

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997

Repelita V Repelita VI
1989/1990 1993/1994 1994/1995 1996/1997 Pertumbuha
No. PropiDsi n
Rala-nIa
Rala-nIa Rata-nla Rata-nla Rala-nla
('Ai)
KeseIlU1Ih KeseIuruha KeseIuruh KeseIuruh Per
Bali II Per bpila Dari II Per kapita Dari II Per kop;1a Doli II
an n an an kap!1a
(Rp miDu) (Rp miDu) (Rupiah) (Rp millu) (Rp millu) (Rupiah) (Rp minor) (Rp millu) (Rupiah) (Rpmiliu) (Rp minor) (Rupiah)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) (13) (14) (15)
1.DI Aceh 38,023,80 11.438 88,32 8,83 23.941 102,23 10,22 27.080 159,28 15,93 38.712 22,7
2.Sumatera Utara 102,576,03 9.930 171,32 10,08 15.844 193,23 11,37 17.597 348,82 20,52 30.027 19,1
3.Suma!era Bara! 96,296,88 24.658 195,41 13,96 46.494 213,01 15,22 49.931 276,46 19,75 61.275 16,3
4.Riau 58,139,69 20.162. 138,21 23,03 37.679 153,61 25,60 40.478 212,55 35,43 49.086 20,3
5.Jambi 44,737,45 22.109 105,07 17,51 46.971 112,91 18,82 48.878 157,13 26,19 60.119 19,7
6.Sumatera Se1atan 101,5710,16 16.725 241,51 24,15 35.129 267,30 26,73 37.893 363,18 36,32 46.707 20,0
7.Bengkulu 24,166,04 21.686 56,56 14,14 42.851 62,61 15,65 45.802 90,48 22,62 57.773 20,8
8.Lampung 24,986,24 3.454 181,16 36,23 28.187 196,81 39,36 30.030 264,92 52,98 37.545 40,1
9.Jawa Bara! 178,177,42 5.276 388,75 16,20 10.287 455,07 18,20 11.801 784,21 31,37 18.808 23,6
10.Jawa Tengah 173,334,95 6.051 352,33 10,07 12.036 397,98 11,37 13.498 552,87 15,80 18.285 18,0
11.DI Yogyakarta 21,014,20 6.720 43,66 8,73 14.962 50,17 10,03 17.193 107,50 21,50 36.967 26,3
12.Jawa Tunor 159,504,31 4.853 315,05 8,51 9.438 412,44 11,15 12.261 627,68 16,96 18.157 21,6
13.Kalimantan Barat 24,893,56 7.907 52,20 7,46 14.953 169,44 24,21 47.450 229,82 32,83 59.041 37,4
14.Kalimantan Tengah 19,513,25 15.317 48,97 8,16 31.755 59,60 9,93 37.484 87,67 14,61 49.115 23,9
IS.. Kalimantan Selatan 17,511,75 7.107 40,71 4,07 14.634 49,75 4,98 17.513 182,90 18,29 59.359 39,8
16.Kalimantan Timor 44,627,44 24.901 159,30 26,55 74.301 196,55 32,76 87.904 258,34 43,06 98.004 28,5
17.Sulawesi Utara 26,513,79 10.719 152,56 21,79 59.040 165,71 23,67 63.296 214,11 30,59 74.804 34,8
18.Sulawesi Tengah 14,913,73 8.601 24,07 6,02 13.006 29,47 7,37 15.519 45,88 9,18 21.866 17,4
19.Sulawesi Selatan 169,857,38 24.257 335,92 14,61 45.728 368,31 16,01 49.358 490,25 21,32 61.881 16,3
20.Sulawesi Tenggara 37,529,38 28.882 82,21 20,55 54.881 90,31 22,58 58.451 124,02 24,80 71.104 18,6
21.Bali 20,702,59 7.439 155,41 17,27 54.417 174,38 19,38 60.549 278,05 30,89 81.087 44,9
22.Nusa Tenggara Bara! 60,5710,10 18.328 126,16 21,03 35.559 138,74 19,82 38.528 186,98 26,71 45.209 17,5
Nusa Tenggara
23. 86,267,19 25.497 176,01 14,67 50.810 189,46 15,79 53.763 249,57 20,80 66.480 16,4
Timor
24.Maluku 49,129,82 27.080 101,71 20,34 50.829 111,81 22,36 54.597 146,60 29,32 65.574 16,9
25.Irian Jaya 76,868,54 49.396 143,40 15,93 78.403 233,74 23,37 123.544 314,20 31,42 133.412 22,3
26.Timor TImor 19,291,48 26.978 47,37 3,64 58.624 68,31 5,25 82.698 91,90 7,07 103.119 25,0
Jum1ah 1.690,58 - 9.943 3.923,35 - 21.756 4.662,95 - 25.448 6.845,37 - 34.958 22,1
Rata-rata per Dan II - 5,79 - - 13,34 - - 15,70 - - 22,89 -

Departemen Keuangan Republik Indonesia 421


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 34

PENGELUARAN RUTIN DAERAH TINGKAT II SELURUH INDONESIA PER DINASIURUSAN


1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 199611997

(dalam miliar rupiah)

No. Dinaslurusan Repelita V Repelita VI Pertumbuhan

1989/1990 1993/1994 1994/1995 199611997 Rata-rata (%)


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Drugan umum pemerintahan 748,67 1.659,19 2.057,52 2.939,38 21,6

2. Dinas pekerjaan umum 98,17 212,54 238,29 322,27 18,5


3. Dinas LLAJR dan sungai 1,22 9,73 16,15 41,04 65,2
4. Dinas kesehatan 193,95 429,27 491,02 652,06 18,9
5. Dinas pendidikan dan kebudayaan 474,18 1.213,49 1.322,84 2.077,67 23,5
6. Dinas sosial, perumahan dan perburuhan 3,13 8,36 9,20 38,47 43,1
7. Dinas pertanian, kehutanan, perkebunan
dan petemakan 43,37 131,56 171,98 216,02 25,8
8. Dinas perindustrian dan pertambangan 1,51 2,73 3,00 15,18 39,1
9. Usaha-usaha daerah 18,92 36,76 39,20 56,00 16,8
10. Pensiun dan bantuan 26,03 0,48 2,92 3,84 -23,9
11. Pengeluaran yang tidak masuk bagian lain 36,86 93,66 142,75 230,53 29,9
12. Pengelual'an tidak tersangka 5,53 15,87 25,36 32,89 29,0
13. Angsuran pinjaman dan bunga 15,74 35,02 56,22 75,04 25,0
14. Ganjaran, subsidi, sumbangan 23,08 74,69 86,00 144,98 30,0

15. Sisa kurang tahun laiu 0,22 0,00 0,50 0,00 -100,0

Jumlah 1.690,58 3.923,35 4.662,95 6.845,37 22,1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 422


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 35

'
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER SEKTOR

1994/1995 DAN 199611997

Repelita VI
1994/1995 199611997
Sektor
No.
Jumlab Proporsi Jab Proporsi
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Sektor industri 12,12 0,28 15,14 0,27
2. Sektor pertanian dan kehutanan 104,81 2,37 164,81 2,89
3. Sektor somber daya air dan irigasi 47,75 1,08 72,83 1,28
4. Sektor tenaga kerja 7,05 0,16 7,57 0,13
5. Sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuanganaerah dan koperasi 182,51 4,12 206,27 3,62
6. Sektor transportasi 1.699,98 38,38 2.082,74 36,58
7. Sektor pertambangan'dan energi 21,29 0,48 23,95 0,42
8. Sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah 45,19 1,02 52.68 0,93
9. Sektor pembangunan daerah dan pemukiman 516,55 11,66 661,74 11,62
10. Sektor lingkungan hidup dan tata ruang 168,37 3,80 222,15 3,90
Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang
11.
Maha Esa,
pemuda dan olah raga 600,56 13,56 661,04 11,61
12. Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera 10,80 0,24 21,39 0,38
13. Sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja 230,32 5,20 299,64 5,26
14. Sektor perumahan dan pemukiman 122,84 2,77 172,51 3,03
15. Sektor agama 36,72 0,83 61,35 1,08
16. Sektor ilmu pengetahuan dan tehnologi 54,65 1,23 77,78 1,37
17. Sektor hokum 7,02 0,16 10,95 0,19
18. Sektor aparatur pemerintah dan pengawasan 484,70 10,94 707,15 12,42
19. Sektor politik, penerangan, komunikasi dan media massa 19,03 0,43 42,71 0,75
20. Sektor keamanan dan ketertiban umum 12,80 0,29 41,69 0,73
- Subsidi pembangunan kepada daerah bawahan 43,77 0,99 67,97 1,19
- Pembayaran kembali pinjaman 0.55 0,01 20,19 0,35
Jumlah 4.429,38 100,00 5.694,25 100,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 423


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Bengkulu, Propinsi Sulawesi Tenggara, dan
Propinsi Timor Timur, masing-masing Rp61,1 miliar, Rp65,4 miliar, dan Rp78,9 miliar.
Dengan semakin meningkatnya jumlah pengeluaran pembangunan daerah tingkat II
secara nasional, maka pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per kapita juga meningkat.
Dalam tahun anggaran 1989/1990 besarnya pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per
kapita secara nasional Rp7.061,0 dan dalam tahun anggaran 1996/1997 meningkat menjadi
Rp29.079,0. Sementara itu, daerah tingkat II di tiap propinsi dengan pengeluaran pembangunan
daerah tingkat II per kapita tertinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan
Propinsi Kalimantan Timur, masing-masing Rp92.652,0, Rp88.569,0, dan Rp79.216,0,
sedangkan yang terendah adalah di Propinsi Lampung, yaitu RpI9.232,0.
Jika ditinjau dari laju pertumbuhan rata-rata per tahun selama periode 1989/1990 --
1996/1997, pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi yang mengalami laju
pertumbuhan relatif tinggi adalah di Propinsi Irian Jaya, Propinsi Timor Timur, dan Propinsi
Riau, masing-masing 44,9 persen, 40,6 persen, dan 32,8 persen. Gambaran mengenai
perkembangan pengeluaran pembangunan daerah tingkat II per propinsi secara rinei dapat
dilihat dalam Tabel V.36.

5.5 Pembiayaan Perkotaan

5.5.1 Kebijaksanaan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan


Pembangunan perkotaan mernpakan bagian dari pembangunan nasional yang masih
perlu mendapat perhatian, walaupun kegiatan perekonomian di Indonesia akhir-akhir ini
mengalami krisis ekonomi dan moneter. Pembangunan prasarana, sarana, dan pelayanan
perkotaan memerlukan dana yang semakin besar, sedangkan penerimaan negara walaupun
jumlahnya meningkat tetapi nilai riilnya semakin berkurang. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan yang mengarah pada upaya peningkatan
desentralisasi dan otonomi daerah, serta peningkatan peran serta swasta dan masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan perkotaan. Sejalan dengan kebijaksanaan desentralisasi dan
peningkatan otonomi daerah, tanggung jawab pembiayaan pembangunan perkotaan lebih
ditekankan pada daerah tingkat II. Oleh karena itu, sumber pembiayaan pembangunan perkotaan
yang berasal dari PDS menjadi sangat penting, selain dari sumber dana lainnya.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 424


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam rangka kebijaksanaan pembiayaan pembangunan perkotaan, selain dilakukan


upaya peningkatan pendapatan juga dilakukan pengembangan kelembagaan pemerintah daerah.
Upaya peningkatan pendapatan dilakukan melalui pengembangan rencana tindakan peningkatan
pendapatan daerah, seuangkan upaya pengembangan kelembagaan dilakukan melalui
penyusunan rencana tindakan pengembangan kelembagaan daerah. Peningkatan kemampuan
somber daya manusia (SDM) telah dilaksanakan dan terus dikembangkan, antara lain melalui
Program Pelatihan Manajemen Perkotaan. Sementara itu, pelatihan yang berkaitan dengan
kemitraan pemerintahswasta dilakukan melalui pelatihan peranserta swasta di bidang
penyediaan jasa pelayanan perkotaan.
Dalam rangka pemanfaatan tenaga kerja, khususnya bagi tenaga kerja yang terkena
pemutusan hubungan kerja sebagai dampak krisis ekonomi, telah dirintis dan dikembangkan
program padat karya. Program ini dilakukan antara lain di daerah perkotaan melalui
penyelesaian berbagai proyek, seperti perbaikan jalan lingkungan, pengelolaan persampahan,
dan penanggulangan banjir. Di samping itu, peranan swasta dan masyarakat dalam menunjang
pembiayaan pembangunan perkotaan juga semakin digiatkan, antara lain melalui pembangunan
prasarana jalan kota, air bersih, perbaikan jalan lingkungan, dan upaya perintisan penerbitan
obligasi BUMD.

5.5.2 Perkembangan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Menurut Sumber Dana


Dana yang digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana perkotaan hingga saat
ini berasal dari beberapa sumber, yaitu DIP - rupiah murni, DIP - bantuan luar negeri (BLN),
perjanjian penerusan pinjaman l subsidiary loan agreement (SLA), surat pengesahan anggaran
bantuan pembangunan daerah (SPABP), pinjaman dalam negeri (pinjaman DN), bantuan Inpres,
.APBD tingkat I, APBD tingkat II, dan laba badan usaha milik daerah (BUMD). Selama periode
1994/1995 -- 1997/1998, kese1uruhan dana pembiayaan pembangunan perkotaan, khususnya
untuk prasarana dan sarana perkotaan mencapai Rp6.449,0 miliar. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan sebesar 55,05 persen Dari total dana yang digunakan selama Repelita V Rp4.l59,3
miliar. Sumber pembiayaan pembangunan terbesar selama periode 1994/1995 -- 1997/1998
berasal Dari SLA, DIP - BLN, dan Inpres masing-masing Rp1.459,5 miliar (22,63 persen),
Rp1.244,3 miliar (19,29 persen), dan Rp941,1 miliar (14,59 persen).

Departemen Keuangan Republik Indonesia 425


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 36

PENGELUARAN PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT II PER PROPINSI

1989/1990, 1993/1994, 1994/1995, DAN 1996/1997

Repelita V Repelita VI
1989/1990 19'3/1994 1994/1995 1996/1997
Pertumbuhan
No. Propinsi
Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata.rata(%)
KeseIuruha Per KeseIuruha Keseluruha Keseluruh
Dari II atl II Per kapita Dari II Per kapita Dari II Per kapita
n kapita n n an
(Rp (Rp (Rp
(Rp millar) (Rupiah) (Rp mmar) (Rp mmar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah) (Rp miliar) (Rupiah)
mOlar) miliar) mmar)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (IS)
1. OJ Aceh 56,99 5,70 17.146 134,54 13,45 36.470 129,38 12,94 34.272 157,09 15,71 38.179 15,6
2. Sumalera Utara 89,30 5,25 8.645 258,54 15,21 23.910 238,62 14,04 21.730 306,04 18,00 26.344 19,2
3. Sumalera Barat 34,36 2,45 8.799 113,25 8,09 26.945 119,22 8,52 27.946 139,93 10,00 31.015 22,2
4. Riau 25,68 4,28 8.908 132,50 22,08 36.123 139,48 23,25 36.754 187,05 31,18 43.198 32,8
5. Jambi 21,77 3,63 10.759 86,70 14,45 38.756 91,21 15,20 39.485 113,64 18,94 43.480 26,6
6. Sumatera Selatan 51,24 5,12 8.437' 198,94 19,89 28.938 209,23 20,92 29.662 240,08 24,01 30.875 24,7
7. BengJrulu 9,41 2,35 8.446 45,69 11,42 34.617 44,58 11,15 32.612 61,09 15,27 39.010 30,6
8. Lampung 32,85 8,21 4.543 105,24 21,05 16.374 125,55 25,11 19.156 135,70 27,14 19.232 22,5
9. Jawa Baral 174,68 7,28 5.173 571,79 23,82 15.130 659,81 26,39 17.110 935,77 37,43 22.443 27,1
10. Jawa Tengah 155,91 4,45 5.443 389,19 11,12 13.295 470,45 13,44 15.956 592,54 16,93 19.597 21,0
II. OJ Yogyakarta 17,48 3,50 5.589 52,38 10,48 17.952 59,73 11,95 20.468 83,36 16,67 28.664 25,0
12. Jawa Timor 184,19 4,98 5.604 543,36 14,69 16.278 592,25 16,01 17.606 736,14 19,90 21.295 21,9
13. Kalimantan Baral 32,37 4,62 10.284 97,35 13,91 27.887 111,17 15,88 31.133 152,62 21,80 39.210 24,8
14. Kalimantan Tengah 20,96 3,49 16.451 118,50 19,75 76.848 116,83 19,47 73.477 141,30 23,55 79.155 31,3
15. Kalimantan Selatan 29,89 2,99 12.131 105,21 10,52 37.817 120,44 12,04 42.392 149,46 14,95 48.504 25,9
16. Kalimantan Timor 42,70 7,12 23.830 149,47 24,91 69.716 160,50 26,75 71.779 208,81 34,80 79.216 25,4
17. Sulawesi Utara 17,73 2,53 7.171 68,60 9,80 26.548 72,06 10,29 27.527 92,77 13,25 32.413 26,7
18. Sulawesi Tengah 16,47 4,12 9.501 67,14 16,79 36.271 77,28 19,32 40.697 109,00 21,80 51.949 31,0
19. Sulawesi Selatan 51,31 2,23 7.329 200,48 8,72 27.291 226,00 9,83 30.286 279,20 12,14 35.241 27,4
20. Sulawesi Tenggara 9,64 2,41 7.418 51,44 12,86 34.340 45,86 11,47 29.683 65,41 13,08 37.502 31,5
21. Bali 43,21 5,40 15.533 89,24 9,92 31.248 110,97 12,33 38.532 160,09 17,79 46.687 20,6
22. Nusa Tenggara Baral 22,03 3,67 6.667 63,02 10,50 17.763 67,21 9,60 18.664 86,63 12,38 20.944 21,6
Nusa Tenggara
23. 22,60 1,88 6.679 119,84 9,99 34.597 144,37 12,03 40.969 162,83 13,57 43.373 32,6
Timur
24. Maluku 14,28 2,86 7.871 68,58 13,72 34.271 72,21 14,44 35.259 100,57 20,11 44.985 32,2
25. Irian Jaya 16,30 1,81 10.476 128,03 14,23 69.999 163,32 16,33 86.319 218,20 21,82 92.652 44,9
26. Timor Timor 7,25 0,56 10.142 59,65 4,59 73.820 61,65 4,74 74.634 78,93 6,07 88.569 40,6
Jumlah 1.200,60 - 7.061 4.0111," - 22.284 4.429,38 - 24.173 5.694,25 - 29.079 24,9
Rata-rata - 4,11 - - 13,67 - - 14,91 - - 19,04 -

Departemen Keuangan Republik Indonesia 426


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam tahun anggaran 1997/1998 jumlah dana yang dikeluarkan untuk membiayai
pembangunan prasaranadan sarana perkotaan mencapai Rp 1.814,4 miliar, atau mengalami
kenaikan sebesar 10,5 persen dibandingkan tahun anggaran 1996/1997 yang berjumlah
Rp1.641,8 miliar. Sumber pembiayaan dalam tahun anggaran 1997/1998 yang terbesar berasal
dari bantuan Inpres, SPABP, dan DIP - BLN, masing-masing Rp464,4 miliar, Rp373,8 miliar,
dan Rp337,0 miliar, seuangkan yang terkecil berasal dari pinjaman DN, yaitu Rp0,1 miliar.
Dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 sumber dana Inpres mengalami peningkatan
403,7 persen, yaitu meningkat dari Rp92,2 miliar menjadi Rp464,4 miliar dalam tahun anggaran
1997/1998. Sementara itu, dalam tahun anggaran yang sama pinjaman DN mengalami
penurunan terbesar, yaitu dari Rp18,7 miliar menjadi Rp0,1 miliar atau turun 99,5 persen, yang
kemudian diikuti DIP-rupiah mumi menurun 72,4 persen dari Rp320,5 miliar menjadi Rp88,4
miliar. Perkembangan pembiayaan pembangunan perkotaan menurut sumber dana selama
Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.37.
Dalam hubungannya dengan pembangunan perkotaan, kota-kota dikelompokkan
berdasarkanjumlah penduduk yaitu kota megapolitan (lebih dari 5 juta jiwa), kota metropolitan
atau kola raya (lebih dari 1 juta jiwa sampai dengan 5 juta jiwa), kota besar (lebih dari 500 ribu
jiwa sampai dengan 1 juta jiwa), kota sedang (lebih dari 100 ribu jiwa sampai dengan 500 ribu
jiwa), dan kota kecil (lebih dari 20 ribu jiwa sampai dengan 100 ribu jiwa).
Selama peri ode 1994/1995 -- 1997/1998, pembiayaan pembangunan perkotaan untuk
kelompok kota metropolitan (termasuk kota megapolitan) dan kota besar meneapai Rp3.100,0
miliar dan kelompok kota seuang dan kecil Rp3.3.49,0 miliar. Untuk kelompok kota
metropolitan dan kota besar selama periode tersebut, sumber pembiayaan terbesar berasal Dari
SLA, DIP- BLN, dan DIP rupiah murni dengan persentase masing-masing 17,32 persen, 8,16
persen, dan 4,41 persen. Sementara itu, dana dari pinjaman DN memberikan kontribusi yang
paling kecil, yaitu 1,61 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 427


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 37

PEMBIA YAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN MENURUT SUMBER DANA


SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 -- 1997/1998
r
Repelita V Repelita VI
Total Kenaikanl
No. Sumber Dana 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Total
Penuronan
1996197-
Rp miliar (%) Rp miliar Rp miliar Rp miliar Rp miliar 1997198 Rp miliar
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (1 I) (12) (13) (14) (15)

1.DIP (Rupiah Murni) 1.287,3 30,95 114,1 8,39 291,3 17,85 320,5 19,52 88,4 4,87 -72,4 814,3 12,63

2.DIP - BLN 749,0 .18,01 291,6 21,43 321,7 19,71 294,0 17,91 337,0 18,58 14,6 1.244,3 19,29

3.SLA 807,0 19,40 444,4 32,66 376,5 23,07 415,8 25,33 222,8 12,28 -46,4 1.459,5 22,63

4.SPABP 175,4 4,22 108,7 7,99 91,9 5,63 193,8 11,80 373,8 20,60 92,9 768,2 11,91

5.Pinjaman DN 193,2 4,65 98,2 7,22 55,7 3.41 18,7 1,14 0,1 om -99,5 172,7 2,68

6.Inpres 396,9 9,54 62,3 4,58 322,2 19,74 92,2 5,62 464,4 25,60 403,7 941,1 14,59

7.APBD I 327,4 7,87 73,65,41 18,4 1,13 66,3 4,04 80,04,41 20,7 238,3 3,70

8.APBD II 148,2 3,56 73,85,42 86,6 5,31 100,0 6,09 136,37,51 36,3 396,7 6,15

9.BUMD') 74,9 1,80 93,86,09 68,0 4,17 140,5 8,56 111,66,14 -20,6 413,9 6,42

TotaIlnvestasi 4.159,3 100,00 1.360,5 100,00 1.632,3 100,00 1.641,8 100,00 1.814,4 100,00 10,5 6.449,0 100,00

Keterangan :
') Termasuk sektor swastadan\IIaSYarakat.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 428


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dalam tahun anggaran 1997/1998, jumlah dana yang dikeluarkan untuk kelompok kota
metropolitan dan kota besar meneapai Rp637,9 miliar dan untuk kelompok kota sedang dan kota
kecil meneapai Rp1.176,5 miliar atau masing-masing 35,16 persen dan 64,84 persen dari total
investasi Rp1.814,4 miliar. Jika dibandingkan dengan dana pembiayaan pembangunan
perkotaan tahun anggaran 1996/1997, kelompok kota metropolitan dan kota besar mengalami
penurunan 20,3 persen, yaitu dari Rp800,1 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp637,9
miliar, seuangkan untuk kelompok kota seuang dan kota kecil terjadi peningkatan 39,8 persen,
yaitu dari Rp841,7 miliar dalam tahun 1996/1997 menjadi Rp1.176,5 miliar. Sumber
pembiayaan terbesar untuk kelompok kota metropolitan dan kota besar dalam tahun anggaran
1997/1998 berasal Dari SLA, yaitu Rp 133,7 miliar dan yang terkecil berasal dari pinjaman DN,
yaitu Rp0,1 miliar. Jika dilihat Dari persentase kenaikan dana dalam tahun anggaran 1997/1998
dibandingkan tahun anggaran 1996/1997, kenaikan yang terbesar terjadi pada kelompok kota
metropolitan dan kota besar berasal Dari Inpres dan DIPBLN masing-masing 105,1 persen dan
51,3 persen, seuangkan dana Dari SLA dart DIP - rupiah mumi mengalarni penurunan terbesar
masing-masing 53,7 persen dan 37,0 persen dari tahun anggaran 1996/1997.

Selama periode 1994/1995 -- 1997/1998, total dana pembiayaan pembangunan


perkotaan untuk kelompok kota seuang dan kota kecil berjumlah Rp3.349,0 miliar. Sumber dana
terbesar berasal dari Inpres dan DIP- BLN yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar
11,70 persen dan 11,13 persen, seuangkan kontribusi yang terkecil berasal dari pinjaman DN
dan APBD tingkat I masing-masing 1,07 persen dan 1,76 persen.

Untuk kelompok kota seuang dan kecil dalam tahun anggaran 1997/1998, kontribusi
terbesarpembiayaan pembangunan perkotaan berasal dari Inpres, SPABP, dan DIP - BLN,
masing-masing Rp371,5 miliar, Rp299,0 miliar, dan Rp235,9 miliar. Di antara berbagai sumber
dana, persentase kenaikan terbesar yang terjadi dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan
tahun anggaran 1996/1997 berasal dari Inpres dan SPABPmasing-masing 692,1 persen dan
266,0 persen, sementara dana dari pinjaman DN dan DIP-rupiah murni mengalami penurunan
terbesar masing-masing 100,0 persen dan 91,5 persen. Perkembangan pembiayaan perkotaan per
kelompok/kategori kota menurut sumber dana selama Repelita V dan periode 1994/1995 --
1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.38 dan Grafik V.S. yang menggambarkan proporsi
pembiayaan pembangunan perkotaan per kelompok kola menurut sumber dana selama periode

Departemen Keuangan Republik Indonesia 429


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

1994/1995 -- 1997/1998. Dalam grafik tersebut terlihat bahwa untuk semua kelompok kota,
persentase sumber dana yang terbesar dalam pembiayaan pembangunan perkotaan adalah SLA
22,63 persen, sedangkan yang terkecil

Departemen Keuangan Republik Indonesia 430


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 38
PEMBIA YAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KELOMPOKIKATEGORI KOTA DAN SUMBER DANA
SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 --1997/1998

Repelita V Repelita VI

Kelompok! Total Kenaikanl


No. Somber Dana 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Total
Pennrunan
kategori kola 1996/97-
1997/98
Rp miliar (%) Rpmiliar (%) Rp miliar (%) Rp miliar (%) Rp miliar (%) (%) Rp miliar (%)
(1) (2) (3)(4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)
Metropolitan L DIP (Rupiah Murni) 729,717,54 40,8 ),00 60,4 3,70 112,2 6,83 70,7 3,90 -37,0 284,1 4,41
dan besar 2. DIP - BLN 478,311,50 122,6 9,01 235,8 14,45 66,8 4,07 101,1 5,57 51,3 526,3 8,16
17,3
3. SLA 461,111,09 174,5 27,53 320,0 19,60 288,8 17,59 133,7 7,37 -53,7 U17,O
2
4. SPABP 17,30,42 34,9 2,57 60,3 3,69 112,1 6,83 74,8 4,12 -33,3 '82,1 4,37
5. Pinjaman DN 102,92.47 65,2 4,79 38,6 2,36 0,0 0,00 0,1 0,01 _J3,9 1,61
6. Inpres 205,44,94 22,4 1,65 25,7 1,57 45,3 2,76 92,9 5,12 105,1 .186,3 2,89
7 APBDI 213,55,13 54,1 3,98 12,7 0,78 25,9 1,58 32,0 1,76 23,6 124,7 1,93
8 APBDll 72,91,75 30,3 2,23 63,6 3,90 48,7 2,97 54,5 3,00 11,9 197,1 3,06
9. BUMD" 36,80,88 45,2 3,32 54,9 3,36 100,3 6,11 78,1 4,30 -22,1 278,5 4,32
--.
48,0
Sub Total 2.317,9 55,73 790,0 58,07 872,0 53,42 800,1 48,73 637,9 35,16 -20,3 3.100,0
7
--.-------.-.--.
. DIP (Rupiah
Seuang I 557,6 13,41 71.3 5,39 230,9 14,15 208,3 12,69 17.7 0,98 -91.5 530.2 8,22
Murm)
11,1
dan ked I 2. DIP - BLN 270.7 6,51 169.0 12,42 85.9 5.26 227,2 13,84 235,9 13,00 3,8 718.0
3
3. SLA 345,9 8.32 69,9 5,14 56,5 3,46 27,0 7,74 89,1 4,91 -29,8 342,5 5,31
4. SPABP 158,1 3.80 73,8 5,42 31,6 1,94 81,7 4,98 299,0 16,48 266,0 486,1 7,54
5. PinJaman DN 90,3 2,17 33,0 2,43 17,1 1.05 18,7 1,14 0,0 0,00 -100,0 68,8 1,07
11,7
6 Inpres 191.5 4,60 39,9 2,93 296,5 18,16 46,9 2,86 371,5 20,48 692,1 754,8
0
7. APBDI 113,9 2,74 19,5 1,43 5,7 0,35 40,4 2,46 48,0 2,65 18,8 113,6 1,76
8. APBDll 75,3 1,81 43,5 3,20 23,0 IAI 51,3 3,12 81,8 4,51 59,5 199,6 3,10
9. BUMD', 38,1 0,92 48,6 3,57 13,1 0,80 40,2 2,45 33,5 1,85 -16,7 135,4 2,10
--.- ,.---
51,9
Sub Total 1.841,4 44,27 570,5 41,93 760,3 46,58 841,7 51,27 1.176,5 64,84 39,8 3.349,0
3
100,0 100,
Totallnvestasi 4.159,3 100,00 1.360,5 1.632,3 100,00 1.641,8 100,0 1.814,4 100,0 10,5 6,449,0
0 00

Keterangan.
" Termasuk sektor swasta dan masyarakat

Departemen Keuangan Republik Indonesia 431


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 432


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

adalah pinjaman DN 2,68 persen. Untuk kelompok kota metropolitan dan besar, SLA
memberikan kontribusi terbesar 36,03 persen dan yang terkecil adalah pinjaman DN 3,35
persen. Sementara itu, untuk kelompok kota seuang dan kecil, kontribusi terbesar pembiayaan
perkotaan berasal Dari Inpres 22,54 persen, dan yang terkecil adalah pinjaman DN 2,05 persen
dari keseluruhan dana,

5.5.3 Perkembangan Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Menurut Komponen


Prasarana
Komponen prasarana perkotaan yang pembangunannya dibiayai Dari berbagai sumber
dana, adalah prasarana air bersih, pengendalian banjir, jalan kota, air limbah, drainase,
persampahan, perbaikan kampung, perbaikan lingkungan pasar, dan komponen penunjang yang
meliputi bantuan teknis, pembinaan, dan supervisi teknis, Selama Repelita V, keseluruhan dana
pembiayaan pembangunan perkotaan menurut komponen prasarana adalah Rp4.159,3 miliar.
Dari jurnlah tersebut, yang terbesar adalah untuk membiayai air bersih dan jalan kota, masing-
masing Rp 1,806,2 miliar dan Rp975,7 miliar, seuangkan yang terkecil adalah untuk komponen
perbaikan lingkungan pasar yaitu Rp41,3 miliar.
Pembiayaan pembangunan perkotaan kumulatif selama periode 1994/1995 --
1997/1998 mencapai Rp6.449,0 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh alokasi terbesar
adalah air bersih, jalan kota, dan drainase , yaitu masing-masing Rp2.843,0 miliar, Rp1.295,6
miliar, dan Rp780,7 miliar atau masing-masing 44,08 persen, 20,09 persen, dan 12,11 persen
Dari keseluruhan dana, seuangkan pembiayaan pengendalian banjir memperoleh alokasi
terkecil, yaitu Rp9,6 miliar atau 0,15 persen Dari keseluruhan dana,
Dalam tahun anggaran 1997/1998 keseluruhan dana pembiayaan pembangunan
perkotaan menurut komponen prasarana berjumlah Rp1.814,4 miliar. Dari jumlah tersebut
sebagian besar dialokasikan untuk air bersih, jalan kota, dan drainase, yakni masing-masing
Rp546,2 miliar Rp494,7 miliar, dan Rp285, 1 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh
alokasi terkecil adalah pengendalian banjir, yaitu Rp6,6 m.iliar. Komponen prasarana
yangjumlah alokasinya mengalami peningkatan cukup besar dalam tahun anggaran 1997/1998
dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 adalah pengendalian banjir, perbaikan
lingkungan pasar, dan air limbah, masing-masing sebesar 2.100,0 persen, 504,7 persen dan
251,0 persen, seuangkan yang mengalami penurunan adalah persampahan, air bersih, dan
komponen penunjang, masing-masing sebesar 45,1 persen, 27,9 persen, dan 3,8 persen.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 433


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Perkembangan pembiayaan pembangunan perkotaan menu rut komponen prasarana selama


Repelita V dan periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V.39.
Selama periode 1994/1995 --1997/1998, dana yang digunakan kelompok kota
metropolitan dan besar mencapai Rp3.100,0 miliar. Komponen prasarana yang memperoleh
alokasi terbesar adalah air bersih danjalan kota, masing-masing Rpl.320,9 miliar dan Rp622,3
miliar atau 20,48 persen dan 9,65 persen, seuangkan alokasi pembiayaan terkecil adalah untuk
komponen pengendalian banjir Rp9,6 miliar atau 0,15 persen dari keseluruhan dana pembiayaan
pembangunan perkotaan.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 untukkelompokkotametropolitan dan besar,
komponen jalan kota dan air bersih memperoleh alokasi dana terbesar, masing-masing Rp185,3
miliar dan Rp 163,8 miliar, seuangkan alokasi dana terkecil adalah untuk komponen
pengendalian banjir yaitu

Departemen Keuangan Republik Indonesia 434


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 39

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KOMPONEN PRASARANA


SELAMA REPELITA V DAN PERIODE 1994/1995 -
1997/1998
Repelita V Repelita VI
Total Kenaikanl
No. Komponen Prasarana 199411995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 Total
Pmunm8D
1996197-
Rp Rp Rp 1997198
Rp miliar (%) (%) (%) ! Rp miliar (%)
miliar miliar miliar Rp
(%) (lk) (%)
miliar
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (R) (9) (10) (II) (12) (13) (14) (15)

I. Air Bersih 1.806,2 43,43 717,0 52.70 822,7 50,40 757,1 46,11 546,2 30,10 -27,9 2.843,0 44

2. Pengendalian Banjir 289,3 6,96 1,5 0.11 1,2 0,07 0,3 0,02 6,6 0,36 2.100,0 9,6 0
3. Jalan KOla 975,7 23,46 258,2 18,98 209,6 12,84 333,1 20,29 494,7 27,27 48,S 1.295,6 20
4. Air Umbah 154,2 3,71 86,5 6,36 47,9 2,93 43,1 2,63 151,3 8,34 251,0 328,8 5
5. Drainase 250,7 6,03 120,0 8,82 186,4 11,42 189,2 11,52 285,1 15,71 50,7 780,7 12
6. Persampahan 159,3 J,83 101,6 7,47 114,1 6,99 179,7 10,95 98,6 5,43 -45,1 494,0 7
7.Perbaikan Kampung 268,26,45 40,3 2.96 118,8 7,28 58,8 3,58 111,2 6,13 89,1 329,1 5
8.Perbaikan Lingkungan Pasar 41,30,99 2,8 0,21 5,9 0,36 8,5 0,52 51,4 2,83 504,7 68,6 1

9.Penunjang 214,45,15 32,6 2,40 125,7 7,70 72,0 4,39 69,3 3,82 -3,8 299,6 4

100,0 100,0 100,0


Tota1lnvatasl 4.159,3 1.360,5100,00 1.632,3 100,00 1.641,8 1.814,4 10,5 6.449,0 100
0 0 0

Departemen Keuangan Republik Indonesia 435


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Rp6,6 miliar. Alokasi pembiayaan untuk kelompok kota metropolitan dan besar dalam tahun
anggaran 1997/1998 yang mengalami peningkatan besar dibandingkan tahun anggaran
1996/1997 adalah komponen air limbah, pengendalian banjir, dan perbaikan lingkungan pasar,
yakni masingmasing sebesar 2.112,2 persen, 2.100,0 persen, dan 1.183,3 persen. Komponen
prasaranayang mengalami penurunan dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan tahun
anggaran 1996/1997 adalah persampahan, air bersih, dan komponen penunjang, masing-masing
sebesar 69,4 persen, 55,8 persen, dan 51,9 persen.

Selama periode 1994/1995 -- 1997/1998 jumlah dana pembiayaan prasarana perkotaan


yang telah dikeluarkan untuk kelompok kota seuang dan kecil adalah Rp3.349,0 miliar.
Komponen air bersih dan jalan kota memperoleh bagian terbesar yaitu Rp 1.522,0 miliar dan
Rp673,3 miliar, seuangkan komponen perbaikan lingkungan pasar memperoleh bagian terkecil,
yaitu Rp 8, 7 miliar dari keseluruhan dana.
Dalam tahun anggaran 1997/1998 untuk kelompok kota seuang dan kecil, komponen
air bersih dan jalan kota memperoleh alokasi dana terbesar masing-masing Rp382,3 miliar dan
Rp309,4 miliar, seuangkan alokasi dana terkecil adalah untuk perbaikan lingkungan pasar
Rp36,0 miliar. Komponen-komponen prasarana yang mengalami peningkatan cukup besar
dalam tahun anggaran 1997/1998 dibandingkan dengan tahun anggaran 1996/1997 untuk
kelompok kota sedang dan kecil adalah perbaikan lingkungan pasar, drainase, danjalan kota,
masing-masing sebesar 393,2 persen, 99,8 persen, dan 71,8 persen, sedangkan yang mengalami
penurunan adalah pembiayaan air bersih sebesar 1,1 persen. Pembiayaan pembangunan
perkotaan menurut komponen prasarana per kelompok/kategori kota selama Repelita V dan
periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Tabel V .40. Proporsi penggunaan dana
untuk komponen prasarana dalam pembiayaan pembangunan perkotaan untuk semua kelompok
kota, kelompok kota metropolitan dan besar, dan kelompok kota sedang dan kecil selama
periode 1994/1995 -- 1997/1998 dapat dilihat dalam Grafik V.6. Dalam grafik tersebut terlihat
bahwa untuk total semua kelompok kota, kelompok kota metropolitan dan besar, serta kelompok
kota seuang dan kecil, komponen air bersih memperoleh alokasi terbesar masing-masing 44,08
persen, 42,61 persen, dan 45,45 persen. Sementara itu,komponen pengendalian banjir
memperoleh alokasi dana terkecil untuk total semua kelompok kota dan kelompok kota
metropolitan dan besar masing-masing 0,15 persen dan 0,31 persen, seuangkan untuk kelompok

Departemen Keuangan Republik Indonesia 436


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

kota seuang dan kecil, komponen perbaikan lingkungan pasar memperoleh alokasi dana terkecil,
yaitu 1,45 persen.

5.6 Badan Usaha Milik Daerah


Tujuan pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) adalah untuk mengembangkan
perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Biuang usaha BUMD
mencakup berbagai aspek pelayanan dengan mengutamakan pemberian jasa kepada masyarakat,
menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memberikan sumbangan bagi ekonomi daerah yang
keseluruhannya harus dilaksanakan berdasarkan azas-azas ekonomi perusahaan yang baik.
Dilihat Dari biuang usahanya, BUMD meliputi berbagai sektor antara lain sektor penyediaan air
bersih, sektor keuangan dan perbankan, dan sektor lainnya. B UMD yang bergerak di sektor
penyediaan air bersih adalah perusahaan daerah air minum (PDAM), di sektor keuangan dan
perbankan adalah bank pembangunan daerah (BPD) dan bank perkreditan rakyat (BPR),
seuangkan di sektor lainnya antara lain adalah perusahaan daerah (PD) perparkiran, PD
angkutan, PD pasar, dan PD pemotongan hewan. Dengan meningkatnya perkembangan
ekonomi di daerah,jumlah BUMD yang bergerak di berbagai biuang usaha juga bertambah.
Jumlah BUMD sampai dengan akhir tahun anggaran 1997/1998 adalah 1.184 unit yang terdiri
Dari 303 unit PDAM, 27 unit BPD, dan 854 unit perusahaan daerah lainnya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan dan daerah


perdesaan, malca kebutuhan air bersih juga meningkat sehingga diperlukan jangkauan
pelayanan yang lebih luas bagi masyarakat. Untuk inemperluas jangkauan pelayanan tersebut
pemerintah telah mengupayakan penambahan kapositas air bersih sehingga pemerataan
pelayanan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan lebih cepat terwujud. Jumlah
PDAM sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 adalah sebanyak 303 unit yang tersebar di 27
propinsi sebagaimana terlihat pada Tabel V.4I.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 437


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 40

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN PER KELOMPOKlKATEGORIKOTA DAN KOMPONEN PRASARANA

SELAMA REPELIT A V DAN PERIODE 199411995 .. 1997/1998

Repelil<! V Repelita VI
Kelompokl Total Keoaikanl
No. Komponen Prasarana 1994/1995 1995/1996 199611997 199711998 Total
Penumoan
kategori kota 1996197-
1997198
Rp miliar (%) Rp miliar (%) Rp nriliar (%) Rp miliar (%) Rp miliar (%) (%) Rp miliar (%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (ll) (12) (13) (14) (15) (16)
Melropolitan 1. Air Bersih 992.9 23,87 470,4 34.58 316,2 19,37 370,5 22,57 163,8 9,03 -55,8 1.320,9 20,48
<Ian besar 2. Pengendalian Banjir 289,3 6,96 1,5 0,11 1,2 0,07 0,3 0,02 6,6 0,36 2.100,0 9,6 0,15
3. Jatan Kola 478,0 11,49 116,8 8,59 167,2 10,24 153,0 9.32 185,3 10,21 21,t 622,3 9,65
4. Air Limbah 126,0 3,03 48,7 3,58 21,7 1.33 4,1 0,25 90,7 5,00 2.112,2 165,2 2,56
5. Drainase 112,2 2,70 54,2 3,98 160.4 9,83 82,2 5,01 71,3 3,93 -13,3 368,1 5,71
6. Persampahan 60,7 1,46 61,6 4,53 85,8 5,26 128,9 7,85 39,S 2,18 -69,4 315,8 4.90
7. Petbaikan Kampung 136,1 3,27 17,1 1,26 72,0 4,41 16.7 1,02 44.5 2,45 166,5 150,3 2,33
Perbaikan Lingkungan
8. 10,0 0,24 0,3 0,02 3,0 0.18 1,2 0,07 15,4 0,85 1.183,3 19,9 0,31
Pasar
9. Pennnjang 112,7 2,71 19,4 1,43 44,S 2,73 43,2 2,63 20,8 1,15 -51,9 127,9 1,98
Sub Total 2.317,9 55,73 790,0 58,07 872,0 53,42 800,1 48,73 637,9 35,16 -20,3 3.100,0 48,07
SeelIng 1. AirBersih 813,3 19,55 246,6 18,13 506.5 31,03 386,6 23,55 382.3 21,07 -1,1 1.522,0 23.60
dan kecH 2. Jatan Kola 497,7 11,97 141,4 10,39 42,4 2,60 180,1 10,97 309,4 17,os 71,8 673,3 10,44
3. Air Limbah 28,2 0,68 37,8 2,78 26,2 1,61 39,0 2,38 60,S 3,33 55,1 163,5 2,54
4. Drainase 138,5 3,33 65,8 4,84 26,0 1,59 107,0 6,52 213,8 11,78 99,8 412,6 6,40
5. Persampahan 98.6 2,37 40,0 2,94 28,3 1,73 50,8 3,09 59,3 3,27 16,7 178,4 2,77
6. Petbaikan Kampung 132,1 3,18 23,2 1,71 46,8 2,87 42,1 2,56 66,7 3.68 58,4 178,8 2,77
Perbaikan Lingkungan
7. 31,3 0,75 2,5 0,18 2,9 0,18 7,3 0,44 36,0 1,98 393,2 48,7 0,76
Pasar
8. Penunjang 101,7 2,45 13,2 0,97 81,2 4,97 28,8 1,75 48,5 2,67 68,4 171,7 2,66
Sub Total 1.841,4 44,27 570,5 41'3 760,3 46,58 841,7 51,27 1.176,5 64,84 39,8 3.349,0 51,93
Total tnwstasi 4.159,3 100,00 1.360,5 100,00 1.632,3 100,00 1,641,8 100,00 1.814,4 100,00 10,5 6.449,0 100,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 438


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 439


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

BPD adalah perusahaan daerah yang cukup renting artinya untuk menggerakkan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah. Dengan semakin pesatnyakegiatan
pembangunan daerah maka kebutuhan dana yang diperlukan semakin meningkat pula. Untuk
itu, BPD telah berupaya agar dapat menghimpun dana yang sebanyak-banyaknya baik dari
masyarakat maupun pinjaman yang diterima dari pihak lain. Perkembangan dana BPD seluruh
Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam tahun 1993 jumlah dana BPD
sebanyak Rp6.095,2 miliar dan dalam tahun 1997 meningkat menjadi RpI4.074,7 miliar atau
mengalarni kenaikan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 23,3 persen.

Dana BPD terdiri dari modal/cadangan dan laba, simpanan berjangka, tabungan, giro!
retelling koran dan pinjaman yang diterima. dari berbagai dana masyarakat yang berhasil
dihimpun BPD yang menunjukkan perkembaikgan yang cukup penting adalah dana yang
bersumber dari simpanan berjangka yang mengalarni laju pertumbuhan rata-rata per tahun
tertinggi, yaitu 19,7 persen, kemudian diikuti oleh tabungan masyarakat 17,1 persen serta
giro!rekening koran 13,1 persen. Disamping menerima dana Dari pihak ketiga, BPD juga
memperoleh pinjaman dari pihak lain yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pada akhir tahun
1997 dana pihak ketiga berjumlah Rp4.050,1 miliar, yang berarti mengalami kenaikan
Rp3.421,3 miliar hila dibandingkan dengan tahun 1993 yang berjumlah Rp628,8 miliar atau
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun 59,3 persen. Sejalan dengan itu,
modalIcauangan dan laba BPD juga meningkat, apabila dalam tahun 1993 modal cadangan dan
laba yang diperoleh mencapai Rp565,9 juta. dalam tahun 1997 menjadi Rp1.201,9 miliar yang
berarti selama periode tersebut meningkat denganlaju pertmnbuban rata-rata per tahun 11.7
persen. Perkembangan dana BPD secara 1engkap dapat dilihat pada Tabel V A2.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 440


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 41

UNIT PELAKSANA PELA Y ANAN AIR BERSIH PER PROPINSI


SELURUH INDONESIA 1997/1998
No. Propinsi 1997/1998
(1) (2) (3)

1.DI Aceh 10

2.Sumatera Utara 17
3.Sumatera Barat 14
4.Riau 8
5.Jambi 6
6.Sumatera Selatan 10
7.Bengkulu 4
8.Lampung 5
9.OKI Jakarta 1
10.Jawa Barat 25
11.Jawa Tengah 34
12.DI Yogyakarta 6
13.Jawa Timur 37
14.Kalimantan Barat 8
15.Kalimantan Tengah 6
16.Kalimantan Selatan 10
17.Kalimantan Timur 7
18.Sulawesi Utara 7
19.Sulawesi Tengah 5
20.Sulawesi Selatan 23
21.Sulawesi Tenggara 5
22.Bali 10
23.Nusa Tenggara Barat 6
24.Nusa Tenggara Timur 12
25.Maluku 5
26.Irian Jaya 9

27.Timor Timur 13

Jurnlah 303

Departemen Keuangan Republik Indonesia 441


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 42

PERKEMBANGAN DANA BANK PEMBANGUNAN


DAERAH DI INDONESIA
PER 31 DESEMBER 1993 -1997
(dalam juta rupiah)
Pertumbu
han
No. Dana 1993 1994 1995 1996 1997
Rata-rata
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
.

1. Modal/cauangan dan laba 565.959 620.880 766.543 1.016.925 1.201.924 20,7

Simpanan
2. 1.170.007 1.158.770 1.679.964 2.053.975 2.404.617 19,7
berjangka
Tabungan (Tabanasrraska dan
3.
Tabungan

Serbaguna) 1.301.607 1.689.213 1.851.501 2.311.817 2.448.426 17,1

Giro/Reken
4. 2.428.797 3.483.061 4.526.489 4.447.033 3.969.612 13,1
ing koran

5. . Pinjaman yang diterima 628.856 551.365 741.137 1.241.537 4.050.145 59,3

11.071.28
lumlah 6.095.226 7.503.289 9.565.634 14.074.724 23,3
7

Departemen Keuangan Republik Indonesia 442


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5.7 Produk Domestik Regional Bruto


Produk domestik regional bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah barang danjasa
yang dihasilkan oleh sektor-sektor atau lapangan usaha dalam perekonomian di suatu daerah
tertentu dan pada periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. PDRB suatu daerah menunjukkan
tingkat aktivitas yang dilakukan oleh penduduk yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
pendapatan daerah sendiri(PDS). PDRB jugadapat digunakan sebagai alatuntuk mengukur
tingkatkesejahteraan, struktur dan potensi perekonomian masyarakat, serta dapat digunakan
sebagai pedoman dalam memobilisasi sumber daya.
Perhitungan PDRB dapat dilakukan berdasarkan harga berlaku dan harga konstan.
PDRB berdasarkan harga berlaku adalah seluruh nilai tambah barang dan jasa akhir yang
dihasilkan unitunit produksi di suatu daerah dalam peri ode tertentu yang dinilai dengan harga
pada tahun yang bersangkutan, seuangkan PDRB menurut harga konstan menggambarkan
perubahan volume produksi. Pengaruh perubahan harga di sini telah dihilangkan dengan
mendasarkan harga pada suatu tahun dasar tertentu. Perhitungan PDRB juga dibedakan antara
PDRB dengan migas dan tanpa migas. Pembedaan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
pada beberapa propinsi, kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB cukup besar sementara
pada propinsi yang lain kontribusinya relatif kecil, bahkan acta yang tidak memberi kontribusi
sama sekali.
Perkembangan PDRB Dari 27 propinsi tahun 1993 - 1997 berdasarkan harga berlaku
dan harga konstan 1993 dengan dan tanpa migas dapat dilihat dalam Tabel V.43 dan Tabel
V.44. Dari tampilan tersebut dapat dikemukakan bahwa pada periode 1993 - 1997 (sampai
sebelum krisis ekonomi) pembangunan di daerah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam tahun 1993 berdasarkan harga berlaku nilai PDRB tanpa migas adalah Rp291.541,5
miliar, meningkat menjadi Rp536.447,1 miliar dalam tahun 1997 atau mengalami pertumbuhan
rata-rata 16,5 persen pertahun. Berdasarkan harga konstan PDRB tanpa migas tahun 1997
meningkat menjadi Rp391.497,5 miliar Dari Rp291.541,5 miliardalam tahun 1993, atau
mengalami laju pertumbuhan rata-rata 7,7 persen.
PDRB jugadapatdigunakan untuk melihat strukturperekonomian suatu daerah. Tabel
V.45 dan Grafik V. 7 menyajikan PDRB tanpa migas atas dasar harga berlaku dan harga
konstan menurut lapangan usaha tahun 1993 dan 1997. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sektor-

Departemen Keuangan Republik Indonesia 443


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

sektor yang dominan daIamPDRB tahun 1993 adalah sektor industri pengolahan,
sektorpertanian, dan sektorperdagangan, restoran dan hotel, masing-masing adalah 22,2 persen,
19,4 persen, dan 19,4 persen. Sektor-sektor ini tetap mendominasi PDRB tahun 1997 dengan
urutan yang sedikit berbeda, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, restoran dan
hotel, dan sektor pertanian, masing-masing kontribusinya adalah 25,2 perse_, 19,6 persen, dan
17,5 persen. Persentase ini tidak jauh berbeda jikaPDRB dilihat berdasarkan hargakonstan.
Untuk sektor-sektoryang lain walaupun kontribusinya tidak sebaik ketiga sektor tersebut, namun
secara nominal nilainya tetap meningkat cukup berarti.
PDRB perkapita adaIah rata-rata pendapatan yang diterima setiap penduduk selama
satu tahun tertentu di suatu daerah. Nilai ini dapat dipanuang sebagai indikator tingkat
kesejahteraan yang dicapai oleh suatu masyarakat. Semakin tinggi PDRB perkapita suatu
daerah, maka semakin

Departemen Keuangan Republik Indonesia 444


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 43

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS ATAS DASAR HARGA BERLAKU DAN HARGA KONSTAN
PER PROPINSI 1993 - 1997
(dalam miliar rupiah)

Harga berlaku Harga konstau 1993


No. Prop.ns! Pertumbuhan Pertumbuhan
1993 1994 1995 1996" 1997'" rata-rata (%) 1993 1994 1995 1996" 1997'" rata-rata(%)
(I) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (II) (12) (13) (14)
1DI Aceh 4.828,5 5.787,4 7.164,0 8.233,0 9.287,0 17,77 4.828,5 5.294,9 5.756,9 6.199,6 6.529,67,84
2Sumatera Utara 17.733,0 21.287,2 24.102,7 27.711,7 32.324,5 16,19 17.733,0 19.525,0 21.305,2 23.273,8 24.662,38,60
3Sumatera Barat 6.027,1 7.217,9 8.267,1 9.514,8 10.760,1 15,59 6.027,1 6.475,9 7.054,2 7.609,5 7.998,77,33
4Riau 6.029,7 7.051,9 8.407,8 9.701,5 10.831,9 15,77 6.029,7 6.589,0 7.211,6 7.852,5 8.389,58,61
5Jambi 2.397,9 2.836,9 3.37'.l,7 3.908,9 4.442,3 16,67 2.397,9 2.590,9 2.816,5 3.048,5 3.152,87,08
6Sumatera Se1atan 8.855,2 10.320,8 12.440,2 14.553,0 17.127,6 17,93 8.855,2 9.687,9 10.631,8 11.566,3 12.157,18,24
7Bengkulu 1.391,8 1.706,0 1.987,6 2.279,3 2.459,3 15,29 1.391,8 1.487,1 1.597,2 1.693,6 1.754,45,96
8Lampung 5.410,5 6.533,2 8.119,2 9.239,2 10.553,0 18,18 5.410,5 5.800,7 6.404,8 6.914,2 7.199,37,40
9OK! Jakarta 51.106,5 58.785,3 70.045,3 82.587,3 91.375,1 15,63 51.106,5 55.505,3 60.648,7 66.164,8 69.479,47,98
10Jawa Barat 50.784,5 62.008,2 73.131,3 85.186,8 99.189,0 18,22 50.784,5 54.937,1 59.754,1 64.736,9 67.606,07,41
11Jawa Tengah 31.927,3 37.289,3 44.569,0 50.441,8 57.851,8 16,02 31.927,3 34.335,4 37.022,9 39.961,2 41.217,46,59
12DI Yogyakarta 4.058,0 4.882,3 5.618,6 6.399,7 7.060,1 14,85 4.058,0 4.387,1 4.741,9 5.111,6 5.291,56,86
13Jawa Timur 49.141,8 57.132,6 65.861,8 76.517,2 88.119,9 15,72 49.141,8 52.713,2 57.021,1 61.711,1 64.760,57,14
14Kalimantan Barat 5.148,0 6.050,4 7.138,9 8.454,5 10.258,4 18,81 5.148,0 5.536,1 6.062,2 6.714,1 7.233,68,88
15Kalimantan Tengah 3.066,9 3.657,5 4.351,7 5.205,7 6.008,1 18,31 3.066,9 3.309,9 3.608,7 4.036,2 4.313,58,90
16Kalimantan Selatan 4.530,0 5.265,6 6.177,2 7.222,1 7.970,9 15,17 4.530,0 4.935,8 5.386,9 5.921,3 6.240,78,34
17Kalimantan Timur 7.939,7 9.323,0 11.132,7 12.445,2 13.862,8 14,95 7.939,7 8.669,3 9.705,4 10.720,2 11.372,49,40
18Sulawesi Utara 2.806,9 3.190,7 3.793,2 4.790,7 5.614,1 18,92 2.806,9 3.018,2 3.271,9 3.574,7 3.767,07,63
19Sulawesi Tengah 1.755,5 2.131,4 2.512,2 3.023,9 3.355,0 17,58 1.755,5 1.888,9 2.042,5 2.212,6 2.316,97,18
20Sulawesi Se1atan 7.511,8 8.737,9 10.377,3 11.833,1 13.538,0 15,87 7.511,8 8.088,1 8.757,9 9.485,9 9.893,47,13
21Sulawesi Tenggara 1.289,2 1.510,3 1.819,2 2.101,9 2.387,2 16,65 1.289,2 1.371,4 1.472,5 1.561,0 1.594,75,46
22Bali 5.690,2 6.490,9 7.409,9 8.621,5 9.897,4 14,84 5.690,2 6.117,5 6.602,7 7.141,8 7.556,57,35
23Nusa Tenggara Barat 2.550,6 2.960,6 3.466,0 3.986,5 4.534,1 15,47 2.550,6 2.796,0 2.955,6 3.195,3 3.363,27,16
24Nusa Tenggara Timur 2.096,8 2.456,4 2.871,3 3.335,1 4.081,1 18,11 2.096,8 2.276,2 2.471,6 2.685,4 2.811,07,60
25Maluku 2.441,2 2.775,4 3.156,5 3.615,8 3.976,9 12,98 2.441,2 2.600,4 2.768,5 2.966,3 3.070,25,90
26Irian Jaya 4.507,6 5.071,4 6.740,1 7.909,1 8.585,3 17,48 4.507,6 4.796,6 5.880,6 6.706,7 7.000,8 11,63
27Timor-Timur 515,4 603,5 708,4 861,7 996,1 17,91 515,4 566,7 620,2 687,2 715,7 8,55

PDRB 291.541,5 343,064,0 404,747,0 469,681,1 536.447,1 16,47 291.541,5 315.300,6 343.574,3 373.452,0 391.497,5 7,65

Keterangan: ') Angka sementara.


") Angka sangat sementara.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 445


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 44

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DENGAN MIGAS ATAS DASAR DARGA BERLAKU DAN DARGA KONSTAN
PER PROPINSI 1993 . 1997

(dalam miliar rupiah)

Harga berlaku Harga konstan


No. Propinsi Pertumbuhan Pertumbuhan
1993 1994 1995 1996" 1997'" rata-rata (%) 1993 1994 1995 1996" 1997'" rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)

1DI Aceh 10.885,4 11.245,0 13.091,2 14.637,0 17.229,1 . 12,16 10.885,4 11.026,2 11.186,7 11.463,3 11.447,3 1,27
2Sumatera Utara 18.215,5 21.701,0 24.630,5 28.173,1 32.597,6 15,66 18.215,5 19.942,0 21.753,8 23.714,7 24.842,9 8,07
3Sumatera Barat 6.027,1 7.217,9 8.267,1 9.514,8 10.760,1 15,59 6.027,1 6.475,9 7.054,2 7.609,5 7.998,7 7,33
4Riau 17.228,5 18.194,6 21.234,7 23.854,8 26.435,0 11,30 17 .228,5 17.024,3 18.783,3 19.808,1 20.264,3 4,14
5Jambi 2.463,4 2.910,8 3.457,6 4.023,8 4.591,7 16,85 2.463,4 2.664,6 2.890,6 3.145,3 3.268,5 7,33
6Sumatera Selatan 10.736,2 12.062,1 14.51,2 16.986,1 19.945,0 16,75 10.736,2 11.515,3 12.515,8 13.521,2 14.072,7 7,00
7Bengkulu 1.391,8 1.706,0 1.987,6 2.279,3 2.459,3 15,29 1.391,8 1.487,1 1.597,2 1.693,6 1.754,4 5,96
8Lampung 5.410,5 6.533,2 8.119,2 9.239,2 10.553,0 18,18 5.410,5 5.800,7 6.404,8 6.914,2 7.199,3 7,40
9OK1 Jakarta 51.106,5 58.785,3 70.045,3 82.587,3 91.375,1 15,63 51.1 06,5 55.505,3 60.648,7 66.164,8 69.479,4 7,98
10Jawa Barat 53.939,7 64.812,5 76.198,2 89.405,2 103.972,4 17,83 53.939,7 57.823,1 62.491,2 68.243,5 71.164,1 7,17
11Jawa Tengah 33.978,9 39.303,6 46.586,0 52.505,4 60.296,4 15,42 33.978,9 36.345,2 39.014,0 41.862,2 43.129,8 6,14
12DI Yogyakarta 4.058,0 4.882,3 5.618,6 6.399,7 7.060,1 14,85 4.058,0 4.387,1 4.741,9 5.111,6 5.291,5 6,86
13Jawa Timor 49.172,2 57.146,5 65.883,2 76.566,6 88.274,6 15,75 49.172,2 52.727,5 57.040,5 61.752,5 64.857,7 7,17
14Kalimantan Barut 5.148,0 6.050,4 7.138,9 8.454,5 10.258,4 18,81 5.148,0 5.536,1 6.062,2 6.714,1 7.233,6 8,88
15Kalimantan Tengah 3.066,9 3.657,5 4.351,7 5.205,7 6.008,1 18,31 3.066,9 3.309,9 3.608,7 4.036,2 4.313,5 8,90
16Kalimantan Selatan 4.567,5 5.295,0 6.210,5 7.262,9 8.033,2 15,16 4.567,5. 4.963,8 5.417,3 5.956,6 6.293,9 8,35
17Kalimantan Timur 15.708,4 18.897,3 21.619,6 24.118,3 27.243,4 14,76 15.708,4 17.503,0 18.276,6 19.792,2 20.637,5 7,06
18Sulawesi Utara 2.806,9 3.190,7 3.793,2 4.790,7 5.614,1 18,92 2.806,9 3.018,2 3.272,9 3.574,7 3.767,0 7,63
19Sulawesi Tengah 1.755,5 2.131,4 2.512,2 3.023,9 3.355,0 17,58 1.755,5 1.888,9 2.042,5 2.212,6 2.316,9 7,18
20Sulawesi Selatan 7.511,8 8.737,9 10.377,3 11.833,1 13.538,0 15,87 7.511,8 8.088,1 8.757,9 9.485,9 9.893,4 7,13
21Sulawesi Tenggara 1289,2 1.510,3 1.819,2 2.101,9 2.387,2 16,65 1.289,2 1.371,4 1.472,5 1.561,0 1.644,0 6,27
22Bali 5.690,2 6.490,9 7.409,9 8.621,5 9.897,4 14,84 5.690,2 6.117,5 6602,7 7.141,8 7.556,5 7,35
23Nusa Tenggarn Barut 2.550,6 2.960,6 3.466,0 3.986,5 4.534,1 15,47 2.550,6 2.796,0 2.955,6 3.195,3 3.363,2 7,16
24Nusa Tenggara Timur 2.096,8 2.456,4 2.871,3 3.335,1 4.081,1 18,11 2.096,8 2.276,2 2.471,6 2.685,4 2.811,0 7,60
25Maluku 2.453,2 2.787,0 3.171,1 3.634,4 3.998,1 12,99 2.453,2 2.613,1 2.782,7 2.981,2 3.083,7 5,89
26Irian Jaya 4.745,7 5.369,4 7.014,0 8.189,1 8.925,7 17,] I 4.745,7 5.103,3 6.133,0 6.944,9 7.244,5 11,15
27Timor-Timor 515,4 603,5 708,4 861,7 996,1 17,91 515,4 566,7 620,2 687,2 715,7 8,55
PORB 324.519,7 376.638,9 442.095,9 511.591,5 584.419,4 15,84 324.519,7 347.876,3 376.599,0 407.973,6 425.645, I 7,02

Ketecangan,
*) Angka sementara
**) Angka Sangat Sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 446


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 45

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO TANPA MIGAS


ATAS DASAR HARGA BERLAKU DAN HARGA KONSTAN
MENU RUT LAPANGAN USAHA 1993 DAN 1997
(dalam miliar rupiah)
Persentase Persentase
No. terhadap terhadap
Lapangan usaha/sektor 1993 1997.)
total PDRB total PDRB
(%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Atas dasar harga berlaku
1 Pertanian 56.546,9 19,40 94.007,2 17,52
2 Pertambangan dan Penggalian 7.254,8 2,49 15.234,1 2,84
3 Industri pengolahan 64.586,1 22,15 134.937,8 25,15
4 Listrik, gas, dan air bersih 3.803,7 1,31 7.352,8 1,37
5 Bangunan 21.914,3 7,52 42.179,8 7,86
6 Perdagangan, restoran dan hotel 56.533,8 19,39 105.353,2 19,64
7 Pengangkutan ddan komunikasi 22.365,6 7,67 39.587,8 7,38
8 Keuangan, persewaan bangunan, 25.899,9 8,88 45.732,3 8,53
dan jasa perusahaan
9 Jasa-jasa 32.636,3 11,19 52.062,2 9,71

Jumlah 291.541,5 100,00 536.447,1 100,00

Atas dasar harga konstan


1 Pertanian 56.546,9 19,40 64.682,0 16,52
2 Pertambangan dan Penggalian 7.254,8 2,49 11.510,7 2,94
3 Industri pengolahan 64.586,1 22,15 95.985,7 24,52
4 Listrik, gas, dan air bersih 3.803,7 1,31 5.855,7 1,50
5 Bangunan 21.914,3 7,52 32.158,0 8,21
6 Perdagangan, restoran dan hotel 56.533,8 19,39 78.332,3 20,01
7 Pengangkutan ddan komunikasi 22.365,6 7,67 30.777,6 7,86
8 Keuangan, persewaan bangunan, 25.899,9 8,88 34.138,1 8,72
dan jasa perusahaan

9 Jasa-jasa 32.636,3 11,19 38.057 9,72

Jumlah 291.541,5 100,00 391.497,5 100,00

Keterangan:.j Angka sangat sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 447


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 448


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

makmur masyarakat di daerah tersebut. PDRB perkapita diperoleh dengan membagi PDRB
tanpa rnigas berdasarkan harga berlaku dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB
tanpa rnigas digunakan karena angka ini dipanuang lebih mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya dalam masyarakat, karena sebagian besar penghasilan Dari migas diserahkan
kepada pemerintah pusat. Hal ini juga memungkinkan dilakukan perbandingan antardaerah,
karena hanya propinsi-propinsi Daerah Istimewa Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur yang
memiliki penghasilan migas yang relatif besar.
Selama periode 1993 - 1997 PDRB perkapita propinsi secara total mengalami
peningkatan yang cukup berarti, Dari Rp1.587,6 ribu dalam tahun 1993 menjadi Rp2.684,4 ribu
dalam tahun 1997. Propinsi yang memiliki PDRB perkapita tertinggi dalam tahun 1997 adalah
DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya, masing-masing Rp9 .808,1, Rp5. 722,4, dan
Rp4.224, 7. Sementara itu, propinsi yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi adalah propinsi
Sulawesi Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur, masing-masing adalah 17,3 persen, 16,1
persen, dan 16,0 persen. PDRB perkapita selengkapnya dapat diikuti dalam Tabel V.46. .

Peningkatan PDRB diharapkan dapat meningkatkan PDS, antara lain melalui


peningkatan pajak dan retribusi, baik untuk daerah tingkat I maupun daerah tingkat II. Untuk
mengukurpengaruh peningkatan PDRB terhadap PDS digunakan perhitungan elastisitas, yaitu
dengan membandingkan persentase pertumbuhan PDS dengan persentase pertumbuhan PDRB.
Jika elastisitas lebih besar Dari satu, berarti perubahan PDS adalah elastis terhadap perubahan
PDRB atau peningkatan PDRB akan memacu peningkatan PDS. Selama periode 1993 - 1997
elastisitas PDS tingkat I dan tingkat II terhadap PDRB tanpa migas alas dasar harga berlaku
adalah 1,2 yang berarti peningkatan PDRB sebesar satu persen menyebabkan kenaikan PDS 1,2
persen. Secara rinei elastisitas PDS tingkat I dan tingkat II terhadap PDRB tiap propinsi dapat
dilihat dalam Tabel V.47.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 449


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 46
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS PERKAPIT A
ATAS DASAR BARGA BERLAKU PER PROPINSI 1993 -1997
(dalam ribu rupiah)
Pertumbuhan
No. Propmsi 1993 1994 1995 1996') 1997')
Rata-rata (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 DI Aceh 1.339,5 1.582,5 1.876,0 2.111,9 2.339,7 14,96
2 Sumatera Utara 1.653,0 1.953,5 2.178,7 2.464,1 2.823,1 14,32
3 Sumatera Barat 1.444,9 1.704,6 1.922,5 2.178,5 2.427,0 13,84
4 Riau 1.667,3 1.890,0 2.178,8 2.444,6 2.667,9 12.47
5 Jambi 1.089,0 1.247,8 1.442,9 1.623,1 1.806,0 13.48
6 Sumatera Selatan 1.304,9 1.482,0 1.740,8 1.993,3 2.306,9 15,31
7 Bengkulu 1.072,6 1.269,6 1.427,5 1.589,1 1.674,7 11,78
8 Lampung 850,3 1. 006,6 1.227,0 1.372,7 1.544,7 16,09
9 OKI Jakarta 5.867,8 6.617,3 7.730,0 8.975,8 9.808,1 13,70
10 Jawa Barat 1.357,3 1.624,3 1.877,5 2.145,2 2.451,8 15,93
11 Jawa Tengah 1.096,4 1.271,0 1.506,3 1.689,3 1.915,9 14,98
12 DI Yogyakarta 1.390,6 1.673,1 1.925,9 2.181,5 2.379,2 14,37
13 Jawa Timur 1.478,1 1.705,0 1.950,7 2.247,3 2.564,2 14,77
14 Kalimantan Barat 1.492,0 1.713,5 1.976,7 2.289,9 2.701,3 16,00
15 Kalimantan Tengah 2.018,9 2.335,7 2.698,5 3.150,2 3.563,4 15,26
16 Kalimantan Selatan 1.648,8 1.873,l 2.150,6 2.466,2 2.676,7 12,88
17 Kalimantan Timur 3.781,3 4.258,1 4.875,9 5.271,2 5.722,4 10,91
18 Sulawesi Utara 1.093,3 1.226,6 1.438,6 1.791,8 2.070,8 17,31
19 Sulawesi Tengah 960,5 1.138,1 1.306,7 1.536,0 1.666,0 14,76
20 Sulawesi Selatan 1.030,7 1.180,1 1.379,9 1.548.4 1.742.4 14,03
21 Sulawesi Tenggara 874,6 992,6 1.158,4 1.301,9 1.444,9 13,37
22 Bali 2.006,9 2.263,4 2.564,4 2.953,9 3.347,3 13,64
23 Nusa Tenggara Barat 724,5 828,3 955,3 1.080,4 1.205,8 13,58
24 Nusa Tenggara Timur 610,7 703,1 807,5 921,1 1.107,1 16,04
25 Maluku 1.234,2 1.370,9 1.524,0 1.712,5 1.854,5 10,72
26 Irian Jaya 2.508,3 2.725,9 3.504,8 3.994,6 4.224,7 13,92
27 Timor-Timur 645,0 738,6 848,9 1.012,1 1.148,0 15.50
INDONESIA 1.587,6 1.799,2 2.089,0 2.386,5 2.684,4 14,03

Keterangan : ') Angka sementara


") Angka sangat sementara

Departemen Keuangan Republik Indonesia 450


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Tabel V. 47

ELASTISITAS PENERIMAAN DAERAH SENDIRI TINGKAT I DAN TINGKAT II


TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO T ANP A MIGAS

ATAS DASAR HARGA BERLAKU PER PROPINSI 1994 -1996

No. Propinsi 1994 - 1996

(1) (2) (3)

I DI Aceh 0,63

2 Sumatera Utara 1,34

3 I Sumatera Barat 1,23


4 Riau 1,13
5 Jambi 1,17
6 Sumatera Selatan 0,68
7 Bengkulu 1.93
8 Lampung 1,55
9 DKI Jakarta 1,00
]0 Jawa Barat 1,46
II Jawa Tengah \,28

12 DI Yogyakarta 1,4]

I
1,49
13 Jawa Timur
14 Kalimantan Barat 0,98
15 Kalimantan Tengah 0.55
]6 Kalimantan Selatan ],29
17 Kalimantan Timur 0,68
18 Sulawesi Utara 0,71
19 Sulawesi Tengah 0,91
20 Sulawesi Selatan 1,33

21 Sulawesi Tenggara 1,25

22 Bali 1,59

23 Nusa Tenggara Barat 1,87

24 Nusa Tenggara Timur 1,26


25 Maluku 0,56
26 Irian Jaya ],02

27 Timor-Timur 0,66

INDONESIA 1,19

Departemen Keuangan Republik Indonesia 451


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Lampiran 1

PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA

TAHUN ANGGARAN 1999/2000

(dalam miliar rupiah)

JENIS PENERIMAAN JUMLAH

A. PENERIMAAN DALAM NEGERI 142.203,8

I. Penerimaan Minyak Bumi 20.965,0


dan Gas Alam
1. Penerimaan Minyak Bumi 12.443,4
2. Penerimaan Gas A1am 8.521,6
II. Penerimaan Bukan Minyak Bumi 121.238,8
dan Gas Alam
1. Pajak Penghasilan . 40.626,0
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa, dan Pajak Penjualan
alas Barang Mewah 34.597,4
3. Bea Masuk 2.950,3
4. Cukai - 10.160,0
4.1 Cukai Tembakau 9.800,0
4.2 Cukai Lainnya 360,0
5. I;Ingutan (Pajak) Ekspor 2.594,5
6. Pajak Bumi dan Bangunan dan-
Bea Perolehan Hak alas Tanah
dan Bangunan 3.247,0
6.1 Pajak Bumi dan Bangunan 2.771,2
- 6.2Bea Perolehan Hak alas
Taillih dan Bangumin 475,8
7. Pajak Lainnya 564,5
7.1Bea Meterai 564,5

8. Penerimaan Negara Bukan Pajak 26.499,1

B. PENERIMAAN LUAR NEGERI 77 .400,0

1. Pinjamanprogram 47.400,0

2. Pinjaman proyek 30.000,0

Jumlah 219.603,8

Departemen Keuangan Republik Indonesia 452


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

DASAR PERHITUNGAN UNTUK PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA RAPBN


1999/2000

A. PENERIMAAN DALAM NEGERI

I. PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM

Faktor-faktor yang diperhitungkan :


- produksiminyakmentah (termasuk kondensat) diperkirakanrata-rata sebesar 1.520 ribu
bare1 per hari,
- ekspor LNG diperkirakan 1.498 juta mmbtu per tahun,
- harga rata-rata ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US$ 10,5 per
barel,
-harga ekspor LNG diperkirakan rata-rata sebesar US$ 1,6327 per mmbtu. Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka penerimaan minyak bumi dari gas aam diperkirakan mencapai
Rp 20.965,0 miliar.

II. PENERIMAAN BUKAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM

1. Pajak Penghasilan
Faktor-faktoryang diperhitungkan akan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan :
- penurunan daya beli masyarakat dari dunia usaha,
- perluasan pemungutan pajak dengan sistem witho1ding yang bersifat final,
- kenaikan pertumbuhan ekonomi,
- penurunan tingkat suku bunga deposito,
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap va1uta asing,
- perkembangan wajib pajak dan objet pajak,
- peningkatan kegiatan penyuluhan pajak,
- peningkatan mutu pelayanan kepada wajib pajak,
-peningkatan efektivitas pengawasan Dari penegakan hukum terhadap wajib pajak,
- peningkatan kepatuhan wajib pajak,

Departemen Keuangan Republik Indonesia 453


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

- pemeriksaan Dari pengawasan terhadap wajib pajak potensial baik oleh Direktorat
Jenderal
- Pajak sendiri maupun bersama BPKP serta Ditjen Bea Dari Cukai,
- penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi krisis ekonomi, misalnya
selisih kurs, ffiRA, INDRA, Jakarta Initiative Scheme,
- kenaikan PTKP.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak penghasilan direncanakan
mencapai Rp 40.626,0 miliar.

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang daB Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM)
Rencana penerimaan PPN dan PPnBM tahun 1999/2000 diperkirakan 19,9 persen lebih tinggi
Dari APBN tahun 1998/1999. Hal ini setelah memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut :
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing,
- perluasan objek pajak,
- peningkatan jumlah pengusaha kena pajak,
- peningkatan efektivitas pengawasan administrasi dan penegakan hukum terhadap
pengusaha kena pajak,
- pelaksanaan pengecekan silang antara data PPN dengan data PPh,
- peningkatan kerjasama dengan instansi lain,
- pencabutan dan penghapusan fasilitas perpajakan atas barang kena pajak dan jasa
kena pajak tertentu,
- penyesuaian kebijaksanaan perpajakan dengan kondisi perekonomian misalnya
pembebasan PPN atas impor barang modal. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka
penerimaan PPN dan PPnBM direncanakan mencapai Rp 34.597,4 miliar.

3. Bea Masuk
Rencana penerimaan bea masuk danasarkan atas hal-hal sebagai berikut :
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
- perkembangan impor sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi dalam negeri,

- perkembangan devisa bebas bea masuk karena perubahan komposisi impor yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 454


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

semakin mengarah kepada impor bahan baku dan barang modal,


- penurunan tarif bea masuk,

Berdasarkan hal-hal tersebut, penerimaan bea masuk direncanakan mencapai


Rp 2.950,3 miliar.

4. Cukai
Perkiraan penerimaan cukai direncanakan Rp 10.160,0 miliar yang terdiri Dari cukai tembakau
dan cukai lainnya.

4.1 Cukai Tembakau


- Hal-hal yang mempengaruhi penerimaan cukai tembakau adalah :
- perkembangan produksi rokok dan hasil tembakau lainnya,

- penyesuaian harga dasar pengenaan cukai sejalan dengan perkembangan


ekonomi,
- kenaikan tarif cukai,
-pencegahan dan pemberantasan peredaran rokok berpita cukai palsu dan rokok yang tidak
berpita cukai,
- penyelesaian tunggakan-tunggakan cukai.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penerimaan cukai tembakau direncanakan mencapai Rp
9.800,0 miliar.
4.2 Cukai Lainnya

Cukai lainnya terdiri Dari cukai etil alkohol, cukai minuman yang mengandung etil alkohol,

dan cukai konsentrat yang mengandung etil alkohol. Hal-hal yang mempengaruhi

penerimaannya adalah :
- peningkatan produksi,
- intensif1kasi pemungutan cukai,
- penyesuaian hargadasarpengenaan cukai sejalan dengan perkembangan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, .penerimaan cukai lainnya direncanakan mencapai Rp 360,0
miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 455


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

5. Pungutan (pajak) Ekspor


Perhitungan penerimaan pungutan (pajak) ekspor danasarkan pada hal-hal berikut :
- peningkatan ekspor atas produk yang terkena pajak ekspor,
- adanya perubahan tarif pajak ekspor terhadap CPO dan turunannya,
- perkembangan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.
Berdasarkanhal-hal tersebut, penerimaan pungutan (pajak) ekspor direncanakan mencapai Rp
2.594,5 miliar.

6. Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Rencana penerimaan PBB dan BPHTB tahun 1999/2000 memperhitungkan hal-hal


berikut :
- pemutakhiran data subjek dan objek pajak,
- peningkatan penegakan hukum,
- peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui kegiatan penagihan,

- pengembangan sistem administrasi PBB melalui Sistem Manajemen Informasi


Obyek Pajak (SISMIOP),

- peningkatan kerjasama dengan Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional dan

Notaris/PP AT.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut, maka penerimaan pajak bumi dan bangunan dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan direncanakan mencapai Rp 3.247,0 miliar.

7. Pajak Lainnya

Rencana penerimaan pajak lainnya (bea meterai) tahun 1999/2000 sebesar Rp 564,5 miliar.
Perkiraan penerimaan tersebut didasarkan atas hal-hal-berikut :

- perkembangan kegiatan dan transaksi, serta jumlah dokumen yang dapat dikenakan bea

meterai,
- peningkatan pengawasan atas pemakaian benda meterai, mesin teraan meterai, dan pencetakan
tanda lunas bea meterai,
- peningkatan upaya pencegahan beredarnya meterai tempel palsu.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 456


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

8. Penerimaan Negara Bukan Pajak


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan negara bukan pajak adalah :
- peningkatan efisiensi badan usaha milik negara dalam rangka meningkatkan laba,

- intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan oleh departemen/lembaga pemerintah


nondepartemen,

- peningkatan pengawasan atas pungutan dan penyetoran berbagai penerimaan

departemen/lembaga pemerintah nondepartemen,

- penyempumaan tarif pungutan yang berlaku,


- penerimaan kembali pinjaman (RDI),

- pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara


Bukan Pajak,
-pelaksanaan privatisasi beberapa badan usaha milik negara.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, penerimaan negara bukan pajak direncanakan mencapai Rp
26.499,1 miliar.

B. PENERIMAAN LUAR NEGERI

Perkiraan penerimaan pinjaman program dan pinjaman proyek adalah sebagai berikut :
- pinjaman program dalam tahun anggaran 1999/2000 diperkirakan Rp 47.400,0 miliar,
yang seluruhnya merupakan pinjaman luar negeri yang segera dapat dicairkan,
- pinjaman proyek dalam tahun anggaran 199912000 diperkirakan Rp 30.000,0 miliar, yang
sebagian besar berasal Dari realisasi komitmen pinjaman proyek tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan perkiraan tersebut, penerimaan luar negeri direncanakan mencapai Rp 77.400,0
miliar.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 457


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Lampiran 2

ANGGARAN BELANJA RUTIN TAHUN ANGGARAN 1999/2000 MENURUT SEKTOR


DAN SUBSEKTOR (dalam ribu rupiah)

Nomor
Sektor I Subsektor J umlah
Kode
(1) (2) (3)

01 SEKTOR INDUSTRI 108.134.869

Oll Subsektor Industri 108.134.869


02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN 743.926.692
02.1 Subsektor Pertanian 265.883.632
02.2 Subsektor Kehutanan 478.043.060
03 SEKTOR PENGAIRAN 50.074.119
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air 21.699.856
03.2 Subsektor Irigasi 28.374.263
04 SEKTOR TENAGA KERJA 391.589.383
04.1 Subsektor Tenaga Kerja 391.589.383
05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN
USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI 85.226.792.362
05.1 Subsektor Perdagangan 'Dalam Negeri 99.319.154
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 80.318.089
05.4 Subsektor Keuangan 84.899.661.770
05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 147.493.349
06 SEKTOR TRANSPORT ASI, METEOROLOGI DAN
GEOFISIKA 382.746.804
06.1Subsektor Prasarana Jalan 35.264.654

06.2Subsektor Transportasi Darat 34.323.135

Departemen Keuangan Republik Indonesia 458


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nomor
Sektor I Subsektor
Kode Jumlah

(1) (2) (3)


06.3 Subsektor Transportasi Laut 179.245.976
06.4 Subsektor Transportasi Udara 71.088.612
06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan
Penyelamatan (SAR) 62.824.427

07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 341.303.110


07.1 Subsektor Pertambangan 335.154.644
07.2 Subsektor Energi 6.148.466
-
. 08 SEKTO R P ARIWISA T A, POS,
DAN TELEKOMUNlKASI 127.589.677
08.1 Subsektor Pariwisata 32.125.982
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95.463.695

09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN


.
TRANSMIGRASI 19.749.041.453
. .
09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 19.647.793.705
09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Rutan 101.247.748

10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDU.P DAN TATA RUANG 424.764.039

10.1 Subsektor Lingkungan Ridup 10.901.822


10.2 413.862.217
Subsektor Tata Ruang
'
11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN NASIONAL,
KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA
ESA, PEMUDA DAN aLAR RAGA 6.045.226.198
11.1 Subsektor Pendidikan 5.448.386.637
11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 471.023.698
11.3 Subsektor Kebud_ayaan NasiQnal dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan YangMaha Esa 114.116.236
11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 11.699.627

Departemen Keuangan Republik Indonesia 459


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nomor
Sektor I Subsektor Jumlah
Kode
(1) (2) (3)

12SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA

SEJAHTERA 440.524.075

12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 440.524.075

13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL, KESEHATAN,

PERANAN W ANITA, ANAK DAN REMAJA 829.066.848


13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial 151.188.095

13.2 Subsektor Kesehatan 677.878.753

14 SEKTOR PERUMAHAN DAl'( PERMUKIMAN 27.804.202

14.1 Subsektor Perumahan dan PeflIDl'kiman 20.113.788

14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7.690.414

15 SEKTOR AGAMA 1.741.627.031

15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama 273.392.621

15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama 1.468.234.410

16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI 498.472.557

16.2 Subsektor Ilmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 312.183.984


16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 46.046.551
16.5 S u bsektor . Kedirg an taraan 2.528.400

16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 137.713.622

17 SEKTOR HUKUM 982.783.903

17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 866.469.326

17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum 116.314.577

Departemen Keuangan Republik Indonesia 460


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nomor
Sektor I Subsektor Jumlah
Kode
(1) (2) (3)

18SEKTOR AP ARA TUR NEGARA DAN PENGA W ASAN 6.423.755.838

18.1Subsektor Aparatur Negara 6.035.892.093


18.2Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan 387.863.745

19SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR NEGERI,


PENERANGAN, KOMUNIKASI DAN MEDIA MASSA 2.710.591.890
19.1 Subsektor Politik 122.747.763
19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 1.978.397.732
19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media Massa 609.446.395

20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN 9.909.684.950

20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 9.695.086.646

20.3 Subsektor Pendukung 214.598.304

Jumlah 137.155.500.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 461


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Lampiran 3

ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN TAHUN ANGGARAN 1999/2000


MENURUT SEKTOR DAN SUBSEKTOR
(dalam ribu rupiah)
Nomor Nilai upiah
Sektor / Subsektor Rupiah Bautuan Proyek Jumlah
Kode
dan Kredit Ekspor
(I)(2) (3) (4) (5)

01SEKTOR INDUSTRl 239.089.900 390.128.000 629.217.900

01.1Subsektor Industri 239.089.900 390.128.000 629.217.900


02SEKTOR PERTANIAN DAN
KEHUTANAN 3.290.131.600 1.323.130.000 4.613.261.600
02.1 Subsektot Pertanian 3.267.129.600 1.122.100.000 4.389.229.600
02.2 Subsektor Kehutanan 23.002.000 201.030.000 224.032.000
03 SEKTOR PENGAIRAN 1.404.650.000 2.061.555.000 3.466.205.000
03.1 Subsektor Pengembangan Somber
Daya Air 358.000.000 1.163.427.000 1.521.427.000
03.2 Subsektor Irigasi 1.046.650.000 898.128.000 1.944.778.000
04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.123.535.000 78.547.000 1.202.082.000
04.1 Subsektor Tenaga Kerja 1.123.535.000 78.547.000 1.202.082.000
-.
05 SEKTOR PERDAGANGAN,
PENGEMBANGAN USAHA
NASIONAL, KEUANGAN
DAN KOPERASI 18.741.867.600 293.714.000 19.035.581.600
05.1 Subsektor Perdagangan Dalam Negeri 97.138.600 12.954.000 110.092.600
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 51.600.000 13.760.000 65.360.000
05.3 Subsektor Pengembangan Usaha Nasional 6.220.000 0 6.220.000
05.4 Subsektor Keuangan 17.010.929.000 212.255.000 17.223.184.000
05.5 Subsektor Koperasi Dari Pengusa Kecil 1.575.980.000 54.745.000 1.630.725.000
06 SEKTOR TRANSPORTASI, ME-
TEOROLOGI DAN GEOFISIKA 2.630.829.000 5.795.791.000 8.426.620.000
06.1 Subsektor Prasarana Jalan 2.003.129.000 3.240.438.000 5.243.567.000
06.2 Subsektor Transportasi Darat 251.700.000 1.328.531.000 1.580.231.000
06.3 Subsektor Transportasi Laut 166.000.000 286.110.000 452.110.000
06.4 Subsektor Transportasi Udara 190.000.000 890.612.000 1.080.612.000
06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika,
Penearian dan Penyelamatan (SAR) 20.000.000 50.100.000 70.100.000
07 SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERGI 774.025.000 5.833.638.000 6.607.663.000
07.1 Subsektor Pertambangan 52.825.000 16.500.000 69.325.000

07.2 Subsektor Energi 721.200.000 5.817.138.000 6.538.338.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 462


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nomor Nilai Rupiah


Sektor I Subsektor Rupiah Bantuan Proyek Jumlah
Kode
dan Kredit Ekspor
(I) (2) (3) (4) (5)

08 SEKTOR PARIWISATA, POS

DAN TELEKOMUNIKASI 82.900.000 835.200.000 918.100.000


08.1 Subsektor Pariwisata 57.700.000 35.100.000 92.800.000
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 25.200.000 800.100.000 825.300.000
09 SEKTOR PEMBANGUNAN
DAERAH DAN TRANSMIGRASI 11.005.675.600 3.540.106.000 14.545.781.600
09.1 Subsektor Pembangunan Daerah 10.116.725.600 3.540.106.000 13.656.831.600
09.2 Subsektor Transmigrasi dan
Pemukiman Perambah Hutan 888.950.000 0 888.950.000
10SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP
DAN TATA RUANG 579.157.600 353.579.000 932.736.600
10.1Subsektor Lingkungan Hidup 502.380.600 296.579.000 798.959.600
10.2Subsektor Tata Ruang 76.777.000 57.000.000 133.777.000
11SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA-
YAAN NASIONAL, KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA
ESA, PEMUDA DAN OLAH RAGA 4.818.705.800 3.562.559.000 8.381.264.800
11.1 Subsektor Pendidikan 4.464.872.800 3.471.858.000 7.936.730.800
11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah
dan Kedinasan 225.555.000 90.701.000 316.256.000
11.3Subsektor Kebudayaan Nasional
dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa 67.550.000 0 67.550.000
11.4Subsektor Pemuda dan Olah Raga 60.728.000 0 60.728.000
12SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGASEJAHTERA 244.050.000 Jt!0.254.000 594.304.000
12.1Subsektor Kependudukan dan -
Keluarga Berencana 244.050.000 350.254.000 594.304.000
13SEKTOR KESEJAHTERAAN
SOSlAL, KESEHATAN, PERANAN
WANITA, ANAK DAN REMAJA 2.908.073.400 1.878.826.000 4.786.899.400
13.1Subsektor Kesejahteraan Sosial 317.853.400 336.095.000 653.948.400
13.2Subsektor Kesehatan 2.029.740.000 1.515.981.000 3.545.721.000
13.3Subsektor Peranan Wanita, Anak
dan Remaja 560.480.000 26.750.000 587.230.000
14SEKTOR \PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN 1.713.320.500 1.505.122.000 3.218.442.500
14.1Subsektor Perumahan dan Perrnukiman 1.704.720.500 1.354.877.000 3.059.597.500

14.2Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 8.600.000 150.245.000 158.845.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 463


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Nomor Nilai Rupiah


Sektor I Subsektor Rupiah Bantuan Proyek Jumlah
Kode
daB Kredit Ekspor
(I) (2) (3) (4) (5)
15SEKTOR AGAMA 312.710.000 314.696.000 627.406.000
15.1Subsektor Pelayanan Kehidupan
Beragama 23.300.000 2.156.000 25.456.000
15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan
Agama / 289.410.000 312.540.000 601.950.000
16SEKTOR ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI 568.054.000 332.400.000 900.454.000
16.1 Subsektor Teknik Produksi
daB Teknologi 174.133.000 168.782.000 342.915.000
16.2 Subsektor l1mu Pengetahuan
Terapan daB Dasar 58.691.000 2.509.000 61.200.000
16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana daB
Sarana l1mu Pengetahuan daB Teknologi 64.900.000 153.435.000 218.335.000
16.4Subsektor Kelautan 58.700.000 5.336.000 64.036.000
16.5Subsektor Kedirgantaraan 33.000.000 0 33.000.000
16.6Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 178.630.000 2.338.000 180.968.000
17SEKTOR HUKUM 220.801.000 9.336.000 230.137.000
17.1Subsektor Pembinaan Hukum Nasional 23.715.000 0 23.715.000
17.2Subsektor Pembinaan Aparatur Huknm 54.636.000 0 54.636.000
17.3Subsektor SalaDa daB Prasarana Huknm 142.450.000 9.336.000 151.786.000
18SEKTORAPARATURNEGARA
DAN PENGA W ASAN 428.291.700 472.510.000 900.801.700
18.1 Subsektor Aparatur Negara 417.852.700 472.510.000 890.362.700
18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem daB
Pelaksanaan Pengawasan 10.439.000 0 10.439.000
19 'SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN
LUAR NEGERI, PENERANGAN,
KOMUNIKASI DAN
MEDIA MASSA 109.447.300 44.509.000 153.956.300
19.1 Subsektor Politik 7.070.000 0 7.070.000
19.2 Subsektor Hubungan Luar Negeri 17.077.300 0 17.077.300
19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi
daB Media Massa 85.300.000 44.509.000 129.809.000
20 SEKTOR PERTAHANAN DAN
KEAMANAN 1.252.985.000 1.024.400.000 2.277.385.000 '
20.1 Subsektor Rakyat Terlatih dan
Perlindungan Masyarakat 10.612.000 0 10.612.000
20.2 Subsektor ABRI 944.873.000 1.024.400.000 1.969.273.000

20.3 Subsektor Penduknng 297.500.000 0 297.500.000

JUMLAH 52.448.300.000 30.000.000.000 82.448.300.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 464


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Lampiran 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999


TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN
1999/2000
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran


199912000 disusun berdasarkan prinsip anggaran. berimbang yang dinamis;
b. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran.
199912000 adalah merupakan pelaksanaan rencana pembangunan sesuai
dengan amanat Ketetapan MPR RI Nomor X/MPRl1998 tentang Pokokpokok
Reformasi Pembangunan Dalam RangkaPenyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
c. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 199912000
pada dasarnya merupakan rencana kerja tahunan pemerintahan negara dalam
rangka memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan
tahun-tahun sebelumnya dengan sasaran pada upaya mengatasi krisis ekonomi
dalam waktu yang singkat;
d. bahwa untuk menjaga kesinambungan jalannya pembangunan, dipandang
perlu diatur sisa anggaranJebih dan sisakredit anggaran proyek -proyek dalam
anggaran pembangunan Tahun Anggaran 1999/2000;
e. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
199912000 perlu ditetapkan dengan Undang-undang.
Mengingat :

1. Pasal 5, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945;

2. Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor448) sebagaimana

Departemen Keuangan Republik Indonesia 465


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.9 Tahun 1968
tentang Perubahan Pasal 7 lndische Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun
1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor2860).

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN


BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000.

Pasal l

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1. Pendapatan negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri
yang digunakan untuk membiayai belanja negara.
2. Penerimaan dalam negeri adalah semua penerimaan yang diterima negara dalam bentuk
penerimaan perpajakan, penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam, dan penerimaan
negara bukan pajak.
3. Penerimaan luar negeri adalah penerimaan yang berasal Dari nilai lawan rupiah pinjaman
luar negeri.
4. Belanja negara adalah semua -pengeluaran negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan.
5.Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum
pemerintahan dan pembangunan, baik pusat maupun daerah, serta untuk memenuhi kewajiban
atas hutang dalam negeri dan luar negeri.
6. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-
proyek pembangunan.
7. Sisa kredit anggaran adalah sisa kewajiban pembiayaan proyek pembangunan pada akhir
tahun anggaran.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 466


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

8. Sisa anggaran lebih adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan negara dan belanja
negara. .
9. Sektor adalah kumpulan subsektor
10. Subsektor adalah kumpulan program.
11. Pinjaman program adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri dalam bentuk
pangan dan bukan pangan yang dapat dirupiahkan.
12. Pinjaman proyek adalah nilai lawan rupiah Dari pinjaman luar negeri yang digunakan
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 467


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pasal 2
(1) Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1999/2000 diperoleh Dari:

a. Sumber-sumber Penerimaan Dalam Negeri;


b. Sumber-sumber Penerimaan Luar Negeri.
(2) Penerimaan Oalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan sebesar Rp 142.203.800.000.000,00.
(3) Penerimaan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b direncanakan sebesar Rp 77 .400.000.000.000,00.
(4) Jumlah Anggaran Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1999/2000
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar
Rp 219.603.800.000.000,00.

Pasal 3
(1) Penerimaan Oalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri Dari
sumber-sumber penerimaan :
a. Penerimaan perpajakan sebesar Rp 94.739.700.000.000,00;
b. Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00;
c. Penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 26.499.100.000.000,00.
(2) Penerimaan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) terdiri Dari sumber-
sumber penerimaan :
a. Pinjaman program sebesar Rp 47.400.000.000_000,00;
b. Pinjaman proyek sebesar Rp 30.000.000.000.000,00.

Pasal4
(1) Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 terdiri Dari :

a. Pengeluaran Rutin
b. Pengeluaran Pembangunan.
(2) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan sebesar Rp 137.155.500.000.000,00.
(3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

Departemen Keuangan Republik Indonesia 468


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

direncanakan sebesar Rp 82.448.300.000.000,00.


(4) Jurnlah Anggaran BelanjaNegara TahunAnggaran 1999/2000sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) direncanakan sebesar Rp 219.603.800.000.000,00.

Pasal 5
(1) Pengeluaran Rutin sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (2) dirinci
menurut sektor :

1 Sektor industri sebesar Rp 08.134.869.000,00


2 Sektor pertanian dan kehutanan sebesar Rp 743.926.692.000,00
3 Sektor pengairan sebesar Rp 50.074.119.000,00
4 Sektor tenaga kerja sebesar Rp 391.589.383.000,00
5 Sektor perdagangan,pengembangan usaha
Nasional, keuangan dan koperasi sebesar Rp 85.226.792.362.000,00
6 Sektor transportasi, meterologi dan geofisika
sebesar Rp 382.746.804.000,00
8 Sektor pariwisata pos dan telekomunikasi Rp
127.589.677.000,00
sebesar
9 Sektor pembangunan daerah dan transmigrasi Rp
sebesar Rp 19.749.041.453.000,00
10 Sektor lingkungan hidup dan tata ruang Rp 382.746.804.000
11 Sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan Rp 6.045.226.198.000
terhadap TYME, pemuda dan olah raga sebesar
12 Sektor kependudukan dan keluarga sejahtera sebesar Rp 440.524.075.000
13 Sektor kesejahteraan social, kesehatan, peranan wanita, Rp 829.066.848.000
anak dan remaja
14 Sektor perumahan dan pemukiman Rp 27.804.202.000
15 Sektor agama Rp 1.741.627.031.000
16 Sektor ilmu pengetahuan dan teknologi Rp 498.472.557.000
17 Sektor hukum Rp 982.783.903.000
18 Sektor aparatur negara dan pengawasan Rp 6.423.755.838.000
19 Sektor politik, hubungan luar negri, penerangan, Rp 2.710.591.890.000
komunikasi, dan media massa
20 Sektor pertahanan dan keamanan Rp 9.909.684.950.000

Departemen Keuangan Republik Indonesia 469


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

(2) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam subsektor
dicantumkan dalam penjelasan ayat ini.
(3) Pengeluaran Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Posa14 ayat (3)
dirinci menurut sektor :

01 Sektor industri sebesar Rp 629.217.900.000,00


02 Sektor pertanian dan kehutanan sebesar Rp 4.613.261.600.000,00
03 Sektor pengairan sebesar Rp 3.466.205.000.000,00
04 Sektor tenaga kerja sebesar Rp 1.202.082.000.000,00

05 Sektorperdagangan,pengembangan usaha
usaha nasional, keuangan dan koperasi sebesar Rp 19.035.581.600.000,00

06 Sektor transportasi, meteorologi dan

geofisika sebesar Rp 8.426.620.000.000,00


07 Sektor pertambangan dan energi sebesar Rp 6.607.663.000.000,00

08 Sektor pariwisata, pos dan


telekomunikasi sebesar Rp 918.100.000.000,00

09 Sektor pembangunan daerah dan


transmigrasi sebesar Rp 14.545.781.600.000,00

10 Sektor lingkungan hidup dan

tata ruang sebesar Rp 932.736.600.000,00

11 Sektor pendidikan, kebudayaan nasional,


kepercayaan terhadap Tuhan Yang .Maha
Esa, pemuda dan olah raga sebesar Rp 8.381.264.800.000,00

12 Sektor kependudukan dan keluarga

sejahtera sebesar Rp 549.304.000.000

13 Sektor kesejahteraan sosial, kesehatan,


peranan wanita, anak dan remaja sebesar Rp 4.786.899.400.000,00
14 Sektor perumahan dan permukiman sebesar Rp 3.218.442.500.000,00
15 Sektor agama sebesar Rp 627.406.000.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 470


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

16 Sektor ilmu pengetahuan dan


teknologi sebesar Rp 900.454.000.000
17 Sektor hukum sebesar Rp 230.137.000.000

18 Sektor aparatur negara dan


pengawasan sebesar Rp 900.801.700.000

19 Sektor politik, hubungan luar negeri,


penerangan, komunikasi dan
media massa sebesar Rp 153.956.300.000,00
20 Sektor pertahanan dan keamanan sebesar Rp 2.277.385.000.000,00

(4) Rincian sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke dalam subsektor dicanturnkan
dalam penjelasan ayat ini.

Pasal 6
Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (1)
dan ayat (2) ke dalam program dan kegiatan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.

Pasal 7
Rincian lebih lanjut Dari sektor dan subsektor sebagaimana dimaksud dalam Posa15 ayat (3)
dan ayat (4) ke dalam program dan proyek ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8
(1) Pada pertengahan Tahun Anggaran 199912000 Pemerintah membuat laporan
semester I mengenai :
a. Realisasi Penerimaan Dalam Negeri;
b. Realisasi Penerimaan Luar Negeri;
c. Realisasi Pengeluaran Rutin;
d. Realisasi Pengeluaran Pembangunan;
e. Perkembangan Moneter dan Perkreditan;

Departemen Keuangan Republik Indonesia 471


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

f. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri.


(2) Dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah menyusun
prognosa untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya akhir bulan Oktober
untuk dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah.
(4) Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan perkembangan dan atau
perubahan keadaan dibahas bersama-sama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah
dalam rangka penyusunan perkiraan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 199912000.

Pasal 9

(1) Sisa kredit anggaran proyek -proyek pada Pengeluaran Pembangunan Tahun Anggaran
1999/2000 yang masih diperlukan untuk penyelesaian proyek, dengan Peraturan Pemerintah
dipindahkan ke Tahun Anggaran 200012001 menjadi kredit anggaran Tahun
Anggaran 200012001. ,
(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya pada akhir triwulan I
Tahun Anggaran 2000/2001.

Pasal lO

Sisa Anggaran Lebih Tahun Anggaran 199912000 dapatdigunakan untuk


membiayai anggaran belanja negara tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pasal ll

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 berdasarkan Perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) untuk mendapatkan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 199912000 berakhir.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 472


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Pasal 12

(1) Setelah Tahun Anggaran 199912000 berakhir, Pemerintah membuat Perhitungan Anggaran
Negara mengenai pelaksanaan anggaran yang bersangkutan. .
(2) Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perhitungan Anggaran Negara
setelah Perhitungan Anggaran Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangari, selambatlambatnya 16 (enam belas) bulan setelah Tahun
Anggaran 199912000 berakhir, untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 13

Ketentuan-ketentuan dalam lndische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)


sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Unuangunuang Nomor 9 Tahun 1968
tentang Perubahan Pasal 7 lndische

Comptabiliteitswet (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2860) yang bertentangan dengan bentuk, susunan, dan . isi Undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggaji April 1999.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintah\can pengunuangan Unuangunuang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republiklndonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Departemen Keuangan Republik Indonesia 473


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Diunuangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 1999
MENTER! NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 39

Departemen Keuangan Republik Indonesia 474


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 1999

TENTANG

ANGGARAN PENDAP AT AN DAN BELANJA NEGARA


TAHUN ANGGARAN 1999/2000

UMUM

Kondisi perekonomian nasional dalam dua tahun terakhir menghadapi permasalahan yang
kurang menguntungkan berupa krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis
ekonomi. Dengan adanya krisis tersebut, perekonomian nasional makin terpuruk yang ditandai
antara lain dengan gejolak kurs dan meningkatnya laju inflasi, sehingga mengakibatkan semakin
tingginya pengangguran, semakin meningkatnya angka kemiskinan, yang selanjutnya
mengakibatkan semakin beratnya kehidupan masyarakat secara luas. Apabila kondisi tersebut
tidak ditangani secara terpadu lintas sektoral, dalam jangka pendek akan dapat menyulitkan
upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000, yang merupakan APBN
tahun awal era reformasi pembangunan, merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan,
dan pembaharuan pembangunan, yang mencerminkan tekad untuk mewujudkan bangsa yang
maju dan mandiri dengan menitikberatkan pada upaya mengatasi krisis dalam waktu sesingkat-
singkatnya dengan sasaran dapat dikendalikannya nilai tukar rupiah pada tingkat yang wajar,
serta dapat disediakannya kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga yang
terjangkau. Penyusunan APBN Tahun Anggaran 1999/2000 tetap menganut prinsip anggaran
berimbang yang dinamis dan merupakan penjabaran Dari TAP MPR No. X/MPRl1998 tentang
Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan N egara. Prinsip tersebut pada dasarnyamengandung arti
bahwa jumlah pengeluaran tidakmelebihijumlah penerimaan dan diupayakan dibentuknya
tabungan pemerintah yang semakin meningkat. Dengan demikian diharapkan pembangunan
nasional dapat berlangsung atas dasar ! kemampuan sendiri untuk membiayainya. N amun

Departemen Keuangan Republik Indonesia 475


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

demikian, semenj ak krisis melanda perekonomian nasional tahun lalu, upaya memupuk
tabungan pemerintah menghadapi tantangan berat, mengingat diperlukannya pengeluaran yang
cukup besar untuk beberapa jenis subsidi guna menstabilkan harga beberapa barang kebutuhan
pokok, sementara karena pengaruh krisis penerimaan dalam negeri sulit untuk ditingkatkan.
Dalam hubungan ini, maka untuk melaksanakan penyelamatan dan pemulihan ekonomi sangat
diperlukan tambahan dana yang bersumber Dari pinjaman luar negeri, sehingga sebagian
kebutuhan mendesak tersebut dapat diatasi.
Dalam rangka pemenuhan pembiayaan negara baik untuk belanja rutin maupun
pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri di luar migas semakin ditingkatkan
pencapaiannya melalui peningkatan penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan
pajak, sekaligus menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara. Untuk itu, pelaksanaan
Undang-undang di biuang pajak tahun 1994, yang merupakan penyempurnaan atas Undang-
undang di biuang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan, yang telah diberlakukan sejak 1
Januari 1995 akan semakin diintensifkan. Dalam kaitan ini, telah disahkan Undang-undang
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1998.
Selain itu, dalam rangka menghadapi era globalisasi dalam perdagangan internasional di masa-
masa mendatang, di biuang kepabeanan dan cukai juga telah disahkan Undang-undang tentang
Kepabeanan dan Undang-undang tentang Cukai yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 April
1996. Dengan berlakunya kedua Undang-undang ini, maka Indonesia telah melangkah lebih
maju di biuang peraturan perUndang-undangan, yaitu dengan meninggalkan aturan warisan
kolonial yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian nasional.
Sejalan dengan itu, dalam rangka penertiban pengelolaan penerimaan negara bukan pajak telah
disahkan Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang dilaksanakan secara
bertahap sejak tangga123 Mei 1997. Seuangkan penerimaan luar negeri yang berasal Dari
pinjaman luar negeri direncanakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang
mendapat prioritas tinggi, serta untuk mendukung upaya penyelamatan dan pemulihan ekonomi
nasional.
Di biuang belanja negara, terus diupayakan peningkatan efisiensi dan efektivitas
berbagai jenis pengeluaranrutin melalui penghematan beberapa pos pengeluaran, namun dengan
tetap memperhatikan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, untuk

Departemen Keuangan Republik Indonesia 476


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

mengurangi tekanan terhadap pengeluaran rutin telah dilakukan penangguhan pembayaran


sebagian cicilan pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit
ekspor. Namun demikian, dalam upaya mengurangi dampak sosial Dari krisis ekonomi dan
moneter, anggaran bagi subsidi BBM, listrik, pangan dan obat-obatan tetap diperlukan.
Di gist pengeluaran pembangunan, anggaran belanja pembangunan diharapkan dapat
berperan mempercepat upaya proses stabilisasi dan reformasi struktural, mengingat dalam masa
krisis moneter dan ekonomi dewasa ini sektor masyarakat dan dunia usaha (swasta) kurang
mampu menjadi lokomotif kegiatan ekonomi. Dalam upaya mempercepat pemulihan
perekonomian nasional, maka sangat perin adanya program rekapitalisasi perbankan untuk
memelihara kesinambungan dan keandalan sistem pembayaran nasional, memungkinkan upaya
restrukturisasi dunia usaha, serta mengembalikan kepercayaan internasional terhadap perbankan
dan perekonomian nasional. Berkaitan dengan itu, dilaksanakan penajaman prioritas alokasi dan
peningkatan efisiensi penggunaan anggaran belanja pembangunan, penundaan proyek -proyek
dan kegiatan pembangunan yang belum. mendesak, serta penyediaan tambaban anggaran untuk
meningkatkan peranan pengusaha . kecil dan menengab, serta koperasi. Dalam lingkup sektoral,
prioritas alokasi anggaran belanja pembangunan diberikan pada sektor-sektor yang menunjang
peningkatan penciptaan lapangan kerja dan kesempatan bernsaba, pemenuhan kebutuhan pokok
dan pengembangan produksi pangan dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi, pemenuhan
kebutuhan dasar di biuang pendidikan dan kesehatan dalam rangka memperkuat jaring
pengaman sosial, serta operasi dan pemeliharaan proyek prasarana dan sarana dasar.

Demi terciptanya iklim investasi yang kondusifbagi perkembangan berbagaijenis usaha


swasta diberbagai daerab serta untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar
internasional, kebij_sanaan ekonomi makro yang berhati-hati, peningkatan pelayanan ekspor,
yang dilakukan baik melalui pereepatan pelayanan kepelabuhanan dan kepabeanan maupun
melalui penanggulangan hambatan birokrasi, seperti perizinan, pemeriksaan dan pungutan,
pembenaban kelembagaan baik di sektor riil maupun sektor nonriil, serta pemantapan stabilitas
polit(ik dan keamanan terus dilanjutkan. I

Sejalan dengan upaya-upaya tersebut, maka penertiban keuangan negara, baik


pendapatan maupun belanja, perlu terus ditingkatkan termasuk pengaw$;annya melalui upaya
meningkatkan keterbukaan.

Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangun_, sisa kredit anggaran proyek-proyek yang

Departemen Keuangan Republik Indonesia 477


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

masih diperlukan untuk penyelesaian proyek pada anggaran pembangunan Tahun Anggaran
199912000 dipindahkan kepada Tahun Anggaran 200012001, dan menjadi kredit anggaran
Tahun Anggaran 200012001.

Dengan memperhatikan hal-hill tersebut di atas, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 1999/2000 disusun berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
a. babwa keadaan ekonomi global diperkirakan mengalami pertumbuhan yang lebih baik;

b. babwa perekonomian Indonesia diperkirakan mulai mengalami pemulihan Dari goneangan

moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara sejak Juli 1997;


e. babwa kesinambungan pembangunan perlu dipertahankan dengaq terus meningkatkan
pengeraban somber-somber dana di luar minyak bumi dan gas alam, sehingga peranan
penerimaan dalam negeri di dalam pembiayaan pembangunan dapat terus ditingkatkan;
d. babwa kestabilan moneter dan tersedianya barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang
eukup tersebar merata dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak, perlu
terus
ditingkatkan;
e. bahwa program pemerataan kesejabteraan terntama dalam menikmatihasil pembangunan bagi
masyarakat _arus mendapat perhatian yang lebih besar.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)

Departemen Keuangan Republik Indonesia 478


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Penerimaan perpajakan sebesar yang terdiri Dari : Rp 94.739.700.000.000,00


(dalam rupiah)
0110 Pajak penghasilan (PPh) 40.626.000.000.000,00
0120 Pajak pertambahari nilai barang dan jasa, dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) 34.597.400.000.000,00
0140 Pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan (PBB dan BPHTB) 3.247.000.000.000,00
0210 Bea masuk 2.950.300.000.000,00
0220 Cukai 10.160.000.000.000,00
0230 Pungutan (pajak) ekspor 2.594.500.000.000,00
0240 Bea meterai 564.500.000.000,00

Penerimaan Dari sektor minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 20.965.000.000.000,00
yang terdiri Dari :
0310 Penerimaan minyak bumi 12.443.400.000.000,00
0320 Penerimaan gas alam 8.521.600.000.000,00

Penerimaan negara bukan pajak sebesar yang terdiri Dari : Rp 26.499.100.000.000,00


0410 Pendapatan pendidikan 6.302.200.000,00
0411 Uang pendidikan 5.603.400.000,00
0412 Uang ujian masuk, kenaikan tingkat,
dan akhir pendidikan 698.600.000,00
0419 Pendapatan pendidikan lainnya 200.000,00
0480 Pendapatan pendidikan swadana 573.064.500.000,00
0481 Pendapatan pendidikan swadana 573.064.500.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 479


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

0 Penjua1an hasil produksi, sitaan 20.864.800.000,00


0511 Penjualan hasil pertanian, perkebunan 1.295.000.000,00
0512 Penjualan hasil petemakan 9.060.100.000,00
0513 Penjualan hasil perikanan 832.300.000,00
0514 Penjualan hasil sitaan 3.000.000.000,00
0515 Penjualan obat-obatan dan hasil farmasi 129.000.000,00
0516 Penjualan penerbitan, film, dan hasil cetakan lainnya 776.100.000,00
0517 Penjualan dokumen-dokumen pelelangan 5.353.500.000,00
0519 Penjualan lainnya 418.800.000,00
0 Penjualan aset tetap 17.052.600.000,00
0521 Penjualan rumah, gedung, bangunan, dan tanah 339.700.000,00
0522 Penjualan kendaraan bermotor 341.400.000,00
0523 Penjualan sew a beli 15.073.000.000,00
0529 Penjualan aset lainnya yang berlebih, rusak, dihapuskan 1.298.500.000,00
0 Pendapatan sewa 8.027.600.000,00
0531 Sewa rumah dinas, rumah negeri 4.350.700.000,00
0532 Sewa gedung, bangunan, guuang 1.996.400.000,00
0533 Sewa benda-benda bergerak 818.000.000,00
0539 Sewa benda-benda tak bergerak lainnya 862.500.000,00
0 Pendapatan jasa I 405.136.300.000,00
0542 Pendapatan tempat hiburan, taman, museum 397.800.000,00
0543 Pendapatan sural keterangan, visa, pospor
dan SIM, STNK, BPKB 119.450.000.000,00
0544 Pendapatan jasa pertanahan 40.000.000.000,00
0545 Pendapatan hak dan perijinan 192.407.500.000,00
0546 Pendapatan sensor, karantina, pengawasan,
pemeriksaan 5.719.700.000,00
0547 Pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan 3.936.700.000,00'
0548 Pendapatan jasa kantor urusan agama 7.500.000.000,001
0549 Pendapatan jasa bandar udara dan pelabuhan 35.724.600.000,00
0 Pendapatan jasa II 372.949.600.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 480


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

0551 Pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro) 26.151.100.000,00


0552 Pendapatan iuran hasil bulan, hasillaut,
royalti dan denda 248.796.800.000,00
0553 Pendapatan iuran lelang untuk fakir miskin 3.000.000.000,00
0555 Pendapatan biaya penagihan pajak-pajak
negara dengan sural paksa 2.500.000.000,oq

0556 Pendapatan uang pewarganegaraan 130.000.000,00


0557 Pendapatan bea lelang 35.000.000.000,00
0558 Pendapatan biaya pengurusan piutang negara
dan lelang negara 55.000.000.000,00
0559 Pendapatan jasa lainnya 2.371.700.000,00
0560 Pendapatan rutin Dari luar negeri 33.825.000.000,00
0561 Bea visa dan pospor 14.794.400.000,00
0562 Bea konsuler 9.197.700.000,00
0569 Pendapatan rutin lainnya Dari luar negeri 9.832.900.000,00
0580 Pendapatan penjualan, sewa dan jasa swadana 3.508.315.900.000,00
0581 Pendapatan penjualan swadana 23.994.700.000,00
058:4 Pendapatan sew a swadana 1.587.700.000,00
0583' Pendapatan jasa swadana 3.482.733.500.000,00
0610 Pendapatan kejaksaan dan peradilan 17.065.000.000,00
0611 Legalisasi tanda tang an 80.000.000,00
0612 Pengesahan sural di bawah tangan 50.000.000,00
0613 Uang meja (leges) dan upah pada panitera
badan pengadilan 1.075.000.000,00
0614 Hasil denda, denda tilang dan sebagainya 11.700.000.000,00
0615 Ongkos perkara 960.000.000,00
0619 Penerimaan kejaksaan dan peradilan lainnya 3.200.000.000,00
0710 Pendapatan Dari investasi 7.110.900.000.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 481


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

0711 Bagian laba Dari BUMN 4.000.000.000.000,00


0713 Pelunasan piutang (penerimaan kembali pinjaman) 3.110.900.000.000,00
0810 Pendapatan kembali belanja tahun anggaran betjalan 37.098.400.000,00
0811 Penerimaan kembali belanja pegawai pusat 1.374.900.000,00
0812 Penerimaan kembali belanja pegawai
daerah otonom 3.000.000.000,00
0813 Penerimaan kembali belanja pensiun 2.000.000.000,00
0814 Penerimaan kembali belanja rutin lainnya 30.174.800.000,00
0815 Penerimaan kembali belanja pembangunan rupiah
lainnya 550.700.000,00
0820 Pendapatan kembali belanja tahun anggaran yang
lain 8.156.000.000,00
0821 Penerimaan kembali belanja pegawai pusat 1.352.100.000,00
0824 Penerimaan kembali belanja rutin lainnya 4.401.700.000,00
0825 Penerimaan kembali belanja pembangunan rupiah
lainnya 2.402.200.000,00
0880 Pendapatan lain-lain swadana 5.000.000.000,00
0881 Pendapatan lain-lain swadana .5.000.000.000,00
0890 Pendapatan lain-lain 14.375.342.100.000,00
0891 Penerimaan kembali persekot, uang muka gaji 935.300.000,00
0892 Penerimaan denda keterlambatan penye1esaian
pekerjaan 2.634.700.000,00
0893 Penerimaan kembali ganti rugi alas kerugian
yang danerita o1eh negara 1.652.600.000,00
0894 Penerimaan kembali perhitungan sisa lebih
subsidi gaji PNS daerah otonom berdasarkan
SPM nihil KPKN 200.000.000.000,00
0895 Penerimaan hasil penjualan saham pemerintah
pada BUMN 13.000.000.000.000,00
0899 Pendapatan anggaran lainnya 1.170.119.500.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 482


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal4
Cukup jelas
Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

Pengeluaran rutin sebesar yang terdiri Dari : Rp 137.155.500.000.000,00 (dalam rupiah)


01 SEKTOR INDUSTRI 108.134.869.000,00
01.1 SubsektorIndustri 108.134.869.000,00

02 SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN


02.1 Subsektor Pertanian 743.926.692.000,00
02.2 Subsektor Kehutanan 265.883.632.000,00

478.043.060.000,00
03 SEKTOR PENGAIRAN
50.074.119.000,00
03.1 Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
03.2 Subsektor Irigasi 21.699.856.000,00

28.374.263.000,00
04 SEKTOR TENAGA KERJA 391.589.383.000,00
04.1 Subsektor Tenaga KeIja 391.589.383.000,00
05 SEKTORPERDAGANGAN,PENGEMBANGAN
USAHA NASIONAL, KEUANGAN, DAN KOPERASI .226.792.362.000,00
05.1 Subsekto[ Perdagangan Dalam Negeri 99.319.154.000,00
05.2 Subsektor Perdagangan Luar Negeri 80.318.089.000,00
05.4 Subsektor Keuangan 84.899.661.770.000,00
05.5 Subsektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 147.493.349.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 483


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

06 SEKTOR TRANSPORTASI,METEOROLOGI
DAN GEOFISIKA . 382.746.804.000,00
06.1 Subsektor Prasarana Jalan 35.264.654.000,00
06.2 Subsektor Transportasi Darat 34.323.135.000,00
06.3 Subsektor Transportasi Laut 179.245.976.000,00
06.4 Subsektor Transportasi Udara 71.088.612.000,00
06.5 Subsektor Meteorologi, Geofisika, Pencarian dan
Penyelamatan (SAR) 62.824.427.000,00

07 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 341.303.110.000,00

07.1 Subsektor Pertambangan 335.154.644.000,00

07.2 Subsektor Energi 6.148.466.000,00

08 SEKTORPARIWISATA,POS,
DAN TELEKOMUNIKASI 127.589.677.000,00
08.1 Subsektor Pariwisata 32.125.982.0_,00
08.2 Subsektor Pos dan Telekomunikasi 95.463.695.000,00

09 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH DAN


TRANSMIGRASI 19.749.041.453.000,00
09.1 Subsektor Pemban_nan Daerah 19.647.793.705.000,00
09.2 Subsektor Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Rutan 101.247.748.000,00

10 SEKTOR LINGKUNGAN HIDUP DAN TATA


424.764.039.000,00
RUANG
10.901.822.000,00
10.1 Subsektor Lingkungan Hidup
413.862.217.000,00
10.2 Subsektor Tata Ruang

11 SEKTOR PENDIDIKAN, KEBUDA Y AAN


NASIONAL, KEPERCA Y AAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH

Departemen Keuangan Republik Indonesia 484


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

TUHAN YANG MAHA ESA, PEMUDA DAN OLAH


RAGA 6.045.226.198.000,00
11.1 Subsektor Pendidikan 5.448.386.637.000,00
11.2 Subsektor Pendidikan Luar Sekolah dan Kedinasan 471.023.698.000,00
11.3 Subsektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan 114.116.236.000,00
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
11.4 Subsektor Pemuda dan Olah Raga 11.699.627.000,00

12 SEKTOR KEPENDUDUKAN DAN


KELUARGA SEJAHTERA 440.524.075.000,00
12.1 Subsektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 440.524.075.000,00

13 SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL,


KESEHATAN, PERANAN W ANITA, ANAK DAN
REMAJA 829.066.848.000,00

13.1 Subsektor Kesejahteraan Sosial


151.188.095.000,00
13.2 Subsektor Kesehatan 677.878.753.000,00
14 SEKTOR PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN 27.804.202.000,00
14.1 Subsektor Perumahan dan Permukiman 20.113.788.000,00
14.2 Subsektor Penataan Kota dan Bangunan 7.690.414.000,00
15 SEKTORAGAMA 1.741.627.031.000,00
15.1 Subsektor Pelayanan Kehidupan Beragama
273.392.621.000,00
15.2 Subsektor Pembinaan Pendidikan Agama
1.468.234.410.000,00

16 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN DAN


TEKNOLOGI 498.472.557.000,00
16.2 Subsektor Hmu Pengetahuan Terapan dan Dasar 312.183.984.000,00
16.3 Subsektor Kelembagaan Prasarana dan Sarana
IImu Pengetahuan dan Teknologi 46.046.551.000,00
16.5 Subsektor Kedirgantaraan 2.528.400.000,00
16.6 Subsektor Sistem Informasi dan Statistik 137.713.622.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 485


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

17 SEKTOR HUKUM
982.783.903.000,00
17.1 Subsektor Pembinaan Hukum Nasional
866.469.326.000,00
17.2 Subsektor Pembinaan Aparatur Hukum
116.314.577 .000,00
18 SEKTOR APARATUR NEGARA DAN PENGA
6.423.755.838.000,00
WASAN
6.035.892.093.000,00
18.1 Subsektor Aparatur Negara
18.2 Subsektor Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan
Pengawasan 387.863.745.000,00

19 SEKTOR POLITIK, HUBUNGAN LUAR


NEGERI, PENERANGAN, KOMUNIKASI 2.710.591.890.000,00
DAN MEDIA MASSA
20 19.1 Subsektor Politik 122.747.763.000,00
19.2 Subsektor Hubangan Luar Negeri 1.978.397.732.000,00
19.3 Subsektor Penerangan, Komunikasi dan Media
Massa 609.446.395.000,00

20 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN


9.909.684.950.000,00
20.2 Subsektor Angkatan Bersenjata Republik
9.695.086.646.000,00
Indonesia
20.3 Subsektor Pendukung 214.598.304.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 486


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran pembangunan sebesar yang terdiri Dari : Rp 82.448.300.000.000,00

(dalam rupiah)
Nilai Rupiah
Rupiah Pil\jamau Proyek dan
Kredit Ekspor JumIah

01 SEKTOR INDUSTRl 239.089.900.000,00 390.128.000.000,00 629.217.900.000,00


01.1 Subsektor Industri 239.089.900.000.00 390.128.000.000,00 629.217.900.000,00
02 SEKTOR PERTANIAN DAN
KEHUTANAN 3.290.131.600.000,00 1.323.130.000.000,00 4.613.261.600.000,00
02.1 Subsektor Pertanian 3.267.129.600.000,00 1.122.100.000.000,00 4.389.229.600.000,00
02.2 Subsektor Kehutanan 23.002.000.000,00 201.030.000.000,00 224.032.000.000,00
03 SEKTOR PENGAlRAN 1.404.650.000.000,002.061.555.000.000,00 3.466.205.000.000,00
Subsektor Pengembangan Somber
03.1 358.000.000.000,00 1.163.427.000.000,00 1.521.427.000.000,00
Daya Air
03.2 Subsektor Irigasi 1.046.650.000.000,00 898.128.000.000,00 1.944.778.000.000,00
04 SEKTOR TENAGA KERJA 1.123.535.000.000,0078.547.000.000,00 1.202.082.000.000,00
04.1 Subsektor Tenaga KeIja 1.123.535.000.000,0078.547.000.000,00 1.202.082.000.000,00
SEKTOR PERDAGANGAN,
05
PENGEM-
BANGAN USAHA NASIONAL,
KEUANGAN DAN KOPERASI 18.741.867.600.000,00 293.714.000.000,00 19.035.581.600.000,00
Subsektor Perdagangan Dalam
05.1 97.138.600.000,00 12.954.000.000,00 110.092.600.000,00
Negeri
Subsektor Perdagangan Luar
05.2 51.600.000.000,00 13.760.000.000,00 65.360.000.000,00
Negeri
Subsektor Pengembangan Usaha
05.3 6.220.000.000,00 0,00 6.220.000.000,00
Nasional
05.4 Subsektor Keuangan 17.010.929.000.000,00 212.255.000.000,00 17.223.184.000.000,00
Subsektor Koperasi dan Pengusaha
05.5 1.575.980.000.000,00 54.745.000.000,00 1.630.725.000.000,00
Ked1

Departemen Keuangan Republik Indonesia 487


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

SEKTOR TRANSPORTASI,
06
METEO-
ROLOGI DAN GEOFISIKA 2.630.829.000.000,005.795.791.000.000,00 8.426.620.000.000,00
06.1 Subsektor Prasarana JaMn 2.003.129.000.000,003.240.438.000.000,00 5.243.567.000.000,00
06.2 Subsektor Transportasi Darat 251.700.000.000,00 1.328.531.000.000,00 1.580.231.000.000,00
06.3 Subsektor Transportasi Laut 166.000.000.000,00 286.110.000.000,00 452.110.000.000,00
06.4 Subsektor Transportasi Udara 190.000.000.000,00 890.612.000.000,00 1.080.612.000.000,00
06.5 Subsektor Meteoro1ogi, Geofisika,
Pencarian dan Penye1amatan
20.000.000.000,00 50.100.000.000,00 70.100.000.000,00
(SAR)
07 SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERGI 774.025.000.000,00 5.833.638.000.000,00 6.607.663.000.000,00
07.1 Subsektor Pertambangan 52.825.000.000,00 16.500.000.000,00 69.325.000.000,00
07.2 Subsektor Energi 721.200.000.000,00 5.817.138.000.000,00 6.538.338.000.000,00
08 SEKTOR PARIWISATA, POS
DAN TELEKOMUNIKASI 82.900.000.000,00 835.200.000.000,00 918.100.000.000,00
08.1 Subsektor Pariwisata 57.700.000.000,00 35.100.000.000,00 92.800.000.000,00
08.2 Subsektor Pos dan Te1ekomunikasi 25.200.000.000,00 800.100.000.000,00 825.300.000.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 488


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

09 SEKTOR PEMBANGUNAN
DAERAH DAN 3.540.106.000.000,00
11.005.675.600.000,00
TRANSMIGRASI 14.545.781.600.000,00
Subsektor Pembangunan 3.540.106.000.000,00
09.1 10.116.725.600.000,00
DaerOO 13.656.831.600.000,00
09.2 Subsektor Transmigrasi dan
Pemukiman PerambOO Hutan 888.950.000.000,00 0,00 888.950.000.000,00
SEKTOR LINGKUNGAN
10
IllDUP
DAN TATA RUANG 579.157.600.000,00353.579.000.000,00 932.736.600.000,00
10.1Subsektor Lingkungan Hidup 502.380.600.000,00296.579.000.000,00 798.959.600.000,00
10.2Subsektor Tata Ruang 76.777.000.000,00 57.000.000.000,00 133.777.000.000,00
SEKTOR PENDIDIKAN,
11
KEBUDA-
Y AAN NASIONAL,
KEPERCA Y AAN
TERHADAP TUHAN YANG
MAHA
ESA, PEMUDA DAN OLAH 3.562.559.000.000,00
4.818.705.800.000,00
RAGA 8.381.264.800.000,00
3.471.858.000.000,00
11.1 Subsektor Pendidikan 4.464.872.800.000,00
7.936.730.800.000,00
Subsektor Pendidikan Luar
11.2
SekolOO
dan Kedinasan . 225.555.000.000,00 90.701;000.000,00 316.256.000.000,00
Subsektor Kebudayaan
11.3
Nasional dan Ke-
percayaan Terbadap Tuban
67.550.000.000,00 0,00 67.550.000.000,00
Yang Maba Esa
Subsektor Pemuda dan 0100
11.4 60.728.000.000,00 0,00 60.728.000.000,00
Raga
SEKTOR KEPENDUDUKAN
12
DAN
KELUARGA SEJAHTERA 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00
12.1 Subsektor Kependudukan dan
Keluarga Berencana 244.050.000.000,00350.254.000.000,00 594.304.000.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 489


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

SEKTOR
13
KESEJAHTERAAN
SOSIAL, KESEHATAN,
PERANAN
WANITA, ANAK DAN 1.878.826.000.000,00
2.908.073.400.000,00
REMAJA 4.786.899.400.000,00
Subsektor KesejOOteraan .
13.1 317.853.400.000,00 653.948.400.000,00
Sosial 336.095.000.000,00
1.515.981.000.000,00
13.2Subsektor Kesehatan 2.029.740.000.000,00
3.545.721.000.000,00
Subsektor Peranan Wanita, Anak dan Rernaja
13.3 26.750.000.000,00 587.230.000.000,00
560.480.000.000,00
SEKTOR PERUMAHAN
14
DAN
1.505.122.000.000,00
PERMUKIMAN 1.713.320.500.000,00
3.218.442.500.000;00
Subsektor PerumOOan dan 1.354.877.000.000,00
14.1 1.704.720.500.000,00
Permukiman 3.059.597.500.000,00
Subsektor Penataan Kota dan
14.2 8.600.000.000,00150.245.000.000,00 158.845.000.000,00
Bangunan
-
15 SEKTOR AGAMA 312.710.000.000,00314.696.000.000,00 627.406.000.000,00
Subsektor Pelayanan
15.1 23.300.000.000,00 2.156.000.000,00 25.456.000.000,00
Kehidupan Beragarna
Subsektor Pembinaan
15.2 289.410.000.000,00312.540.000.000,00 601.950.000:000,00
Pendidikan Agama
SEKTOR ILMU
16
PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI 568.054.000.000,00332.400.000.000,00 900.454.000.000,00
Subsektor Teknik Produksi
16.1 174.133.000.000,00168.782.000.000,00 342.915.000.000,00
dan Teknologi
Subsektor llmu Pengetahuan
16.2
Terapan
dan Dasar 58.691.000.000,00 2.509.000.000,00 61.200.000.000,00
Subsektor Kelembagaan
16.3
Prasarana dan
Sarana llmu Pengetahuan dan 64.900.000.000,00153.435.000.000,00 218.335.000.000,00

Departemen Keuangan Republik Indonesia 490


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Teknologi
16.4 Subsektor Kelautan 58.700.000.000,00 5.336.000.000,00 64.036.000.000,00
16.5 Subsektor Kedirgantaraan 33.000.000.000,00 0,00 33.000.000.000,00
Subsektor Sistem Informasi
16.6 178.630.000.000,00 2.338.000.000,00 180.968.000.000,00
dan Statistik
17 SEKTOR HUKUM 220.801.000.000,00 9.336.000.000,00 230.137.000.000,00
Subsektor Pembinaan Hukum
17.1 23.715.000.000,00 0,00 23.715.000.000,00
Nasional
Subsektor Pembinaan Aparatur
17.2 54.636.000.000,00 0,00 54.636.000.000,00
Huknm
Subsektor Sarana dan
17.3 142.450.000.000,00 9.336.000.000,00 151.786.000.000,00
Prasarana Huknm

SEKTOR AP ARA TUR


18
NEGARA
DAN PENGA W ASAN 428.291.700.000,00472.510.000.000,00 900.801.700.000,00
18.1 Subsektor Aparatur Negara 417.852.700.000,00472.510.000.000,00 890.362.700.000,00
Subsektor Pendayagunaan
18.2
Sistem Dari
Pelaksanaan Pengawasan 10.439.000.000,00 0,00 10.439.000.000,00
SEKTOR POLITIK,
19
HUBUNGAN
LuAR NEGERI,
PENERANGAN,
KOMUNIKASI DAN
109.447.300.000,00 44.509.000.000,00 153.956.300.000,00
MEDIA MASSA
19.1 Subsektor Politik 7.070.000.000,00 0,00 7.070.000.000,00
Subsektor Hubungan Luar
19.2 17.077 .300.000,00 0,00 17.077 .300.000,00
Negeri
Subsektor Penerangan,
19.3
Komunikasi
dan Media Massa 85.300.000.000,00 44.509.000.000,00 129.809.000.000,00
SEKTOR PERTAHANAN
20
DAN
1.024.400.000.000,
KEAMANAN 1.252.985.000.000,00 2.277.385.000.000,00
00
20.1 Subsektor Rakyat Terlatih

Departemen Keuangan Republik Indonesia 491


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Dari
Perlindungan Masyarakat 10.612.000.000,00 0,00 10.612.000.000,00
1. 024
20.2 Subsektor ABRI 944.873.000.000,00 1.969.273.000.000,00
.400.000.000,00
20.3 Subsektor Pendukung 297.500.000.000,00 0,00 297.500.000.000,00

Pasal 6

Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan
April 1999 dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal7

Keputusan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal ini ditetapkan pada bulan April
1999dengan memperhatikan pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Huruf e dan f
Masalah perkembangan moneter dan perkreditan serta neraca pembayaran dan perdagangan luar
negeri sebagian besar berada di sektor bukan pemerintah. Oleh sebab itu, penyusunan
kebijaksanaan kredit dan devisa dalam bentuk dan arti seperti Pengeluaran Rutin dan
Pengeluaran Pembangunan sukar untuk dilaksanakan, sehingga untuk itu dibuat dalam bentuk
prognosa.

Departemen Keuangan Republik Indonesia 492


Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1999/2000

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal9
Cukup jelas

Pasall0
Cukup jelas

Pasalll
Cukup jelas

Pasal12
Cukup jelas

Pasal 13
Pasal-Pasal Indische Comptabiliteitswet yang dinyatakan tidak berlaku adalah :
1. Pasal 2 Ayat (1) tentang susunan anggaran yang terdiri Dari belanja pegawai, belanja barang,
dan belanja modal;
2. Pasal 2 Ayat (3) tentang kewenangan Gubernur Jenderal menetapkan perincian lebih lanjut
pos; dan
3. Pasal 72 yang mengatur bahwa pengajuan Perhitungan Anggaran N egara (PAN) kepada
Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat tiga tahun setelah tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.

Pasal14
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3819

Departemen Keuangan Republik Indonesia 493

Anda mungkin juga menyukai