CKD Dan ALO
CKD Dan ALO
Oleh:
Moh Hendra Setia Lesmana
125070207111020
A. DEFINISI CKD
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah
proses kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan.CKD dapat
menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2,
atau di atas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya
batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD.
B. ETIOLOGI CKD
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus
dan bilateral.
1. Infeksi : Pielonefritis kronik.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Faktor predisposisi:
1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras
Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)
C. KLASIFIKASI CKD
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal.Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga
banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium
1.Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2 juga
tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik,
walaupun dengan GFR yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi
sisasisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada
stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia
atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 1530% saja dan apabila seseorang
berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul
pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti
tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung
dan penyakit kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal.Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
D. PATOFISIOLOGI CKD
Kerusakan nefron
Produksi EPO
Perpospatemia pruritus kelebihan
Gangguan volume cairan
Integritas Produksi
urokrom perubahan Kulit eritrosit
tertimbun di beban jantung
warna kulit naik
kulit
Anemia
intoleransi aktivitas
E. MANIFESTASI KLINIS CKD
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin angiotensin aldosteron),
gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis
(akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah,
dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi).
Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan
mulut, nafas bau ammonia.
Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati (
kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas.
Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
G. KOMPLIKASI CKD
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2.Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3.Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4.Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5.Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6.Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7.Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8.Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9.Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
H. PENATALAKSANAAN CKD
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk
susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk
perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam.
Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.Pemberian vitamin juga
penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah
sewaktu dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal
jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium,
diuretik, digitalis atau dobutamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD
biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium
bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating
agents (ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara
signifikan.ESAs harus diberikan untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi
hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien juga harus menerima suplemen zat besi
selama menerima terapi ESA karena erythropoiesis yang diinduksi secara
farmakologis dibatasi oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang
lebih sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena tubuh
membentuk banyak sel darah merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi
sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi.Serum ferritin dan persen transferrin
saturation mengalami penurunan setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan
CKD yang menerima dialysis.Karena pasien CKD mengalami gangguan metabolism
zat besi, serum ferritin dan persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih
tinggi daripada individu normal.Maintenance serum ferritin yang disarankan yaitu 200
ng/mL, dan persen transferrin saturation 20%.Sebagian besar pasien CKD
membutuhkan suplementasi zat besi parenteral untuk mencapai kadar zat besi yang
disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena
menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan
menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan
prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh
pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah
mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya.Seorang ahli bedah
menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan
menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir
melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat
atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor
hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver).
2. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara
pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu
sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput
rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari
tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.CAPD
merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu
diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti
pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah
dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal
buatan.
Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata hemo artinya darah, dan dialisis artinya pemisahan
zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah,
melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan
berupa mesindialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah cuci darah.
Hemodialisis (HD) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan
darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui
membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan
dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai
dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan
kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan
meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di
terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari kekuatan
ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia(keseimbangan cairan).
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat dilakukan
terapi adalah :
a. Hipotensi: dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan
b. Kram otot : nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkanruang ekstrasel.
c. Mual atau muntah : merupakan peristiwa yang sering terjadi.
d. Sakit dada : dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
e. Gatal-gatal : dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
f. Demam dan menggigil
g. Kejang
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Kelebihan volume cairan
2. Penurunan curah jantung
3. Intoleransi aktivitas
4. Risiko infeksi
5. Risiko perdarahan
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
7. Gangguan integritas kulit
1. Definisi
- Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadisecara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem parukardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edem paru non kardiogenik)yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepaat sehingga terjadi gangguanpertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Sally, 2009)
- Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke
ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke
pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick,
2000; Hollenberg, 2003).
Klasifikasi ALO:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang
disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan
tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah
lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal
inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).
FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus
adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu)
Tekanan darah tinggi
Diabetes
Penyakit jantung koroner atau katup
Kegemukan
Cedera sistem saraf
Infeksi
3. Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar darimikrovaskular terutama melalui
celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapatmasuk ke ruang alveolar hal
ini disebabkan epitel alveolusterdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika
cairanmemasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkanke ruang
peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikanoleh sistem limfatik ke sirkulasi.
Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik
yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan
tekanan hidrostatik kapiler paru yangdihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik
protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik yangcepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi
cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungandengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan
tekanan ventrikel kiri (18 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskulerdan
ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekananatrium kiri meningkat lebih ti nggi
(>25) maka cairan edemaakan menembus epitel paru,membanjiri alveolus. Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setanyang terus memburuk oleh proses sebagai
berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard danakhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkantekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel
kanan melalui mekanime interdependensi ventrikelakan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi
jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka
sebaliknya, edema parunonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke
dalam intersisial paru danalveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memilikikadar
protein tinggi karena membran pembuluh darahlebih permeable untuk dilewati oleh
protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari
alveoli dan intersisial.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata,
2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukarangas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium inimungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelasmenemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi
pada saat inpsirasi karena terbukanyasaluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur,demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
kerley B).Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafaskecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguanfungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehinggapenumpukan cairan interstisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikitperubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia danhipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital danvolume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right to left intrapulmonary shunt. Penderitabiasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acuterespiratory acidemia.
Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
S3 gallop/kardiomegali (+) meter)
Nadi kuat
(-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)
5. Pemeriksaan Diagnostik
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi
pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang
akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit
membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan
fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar
ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan
jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer,
akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema
paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin,
fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung
(CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro
BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada
kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery
occlusion pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection
fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml
akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure
(Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin
untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi
gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro
BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari
penyakit lainnya (AHA, 2009).
- Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler <
60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan
lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan
vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan
diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax
terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter
vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari
perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara
limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan
arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis
pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya
karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik
dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru
meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan
spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi
film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraineet al, 2005)
Gambar 7. Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
6. Penatalaksanaan
Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik
Penatalaksanaan:
- Posisi duduk.
- Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama
dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC,
2012)
7. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
Identitas :
Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas,
cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma.
Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin
menyertai klien
Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik
seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital
bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miokard
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
c. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam terdapat
perbaikan curah jantung
Indikator: cardiopulmonary status
Intervensi
Indikator Intervensi
Cardiac Care
5 1. Auskultasi suara jantung
3,5 2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung
yang berat
3 3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil,
misal aktivitas ringan yang disertai masa istirahat
1 4. Monitor TTV secara teratur
5 5. Monitor kardiovaskuler status
3 6. Atur periode aktifitas dengan istirahat untuk menghindari
kelelahan.
2,4 7. Lakukan penilaian konprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT,
warna, temperature dan nadi perifer)
3,5 8. Instrusikan pasien dan keluarga tentang pembatasan dan
progres aktifitas klien
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat
bantu nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pola
nafas klien efektif.
Indikator: Respiratory Status
Intervensi
Indikator Intervensi
Respiratory Monitoring
1,2,3 1. Monitor RR, irama, kedalaman dan usaha bernafas.
6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan
supracalavicular.
4 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti
wheezing
9 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
7 5. Monitor dyspnea dan aktivitas yang meningkatkan terjadinya
dyspnea.
Airway Management
8 6. Dorong mengeluarkan sputum/skret pada saat batuk.
7 7. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dyspnea dan
usaha pernafasannya dengan menaikkan tempat tidur dengan
posisi semi fowler.
Ventilation Assistence
5 8. Ajarkan teknik bernapas dengan bibir yang benar yaitu
bernapas dengan bibir yang dirapatkan (pursed-lips breathing).
9. Monitor adanya kelelahan penggunaan otot bantu napas
10. Jaga pemberian terapi oksigen sesuai dengan yang diresepkan.
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat sesuai dengan indikator
Indikator: Respiratory Status : Gas Exchange
Intervensi
Indikator Intervensi
Respiratory Monitoring
4,6 1. Monitor kecepatan, irama dan kedalaman usaha pernafasan
4, 6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot
bantu pernafasan dan retraksi otot intercostae dan
supracalavicular.
4, 6 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti
wheezing
6,7 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
4, 7 5. Monitorpola napas misal: bradypnea, takipnea, hiperventilasi
4 6. Auskultasi suara napas, catat penurunan atau ketiadaan
ventilasi &suara tambahan
4 7. Catat perubahan SaO2 dan perubahan nilai Blood Gas Arteri
7 8. Monitor peningkatan kelemahan dan ansietas
5 9. Monitor hasil pemeriksaan Rontgen dada
1,2,3,4,6,7,8 10. Instruksikan resusitasi yang akan diberikan
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier
Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2012)
Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper
Saddler River
ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 17871847
doi:10.1093/eurheartj/ehs104
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC;
2000
Fauci et al. 2008.Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit.Jakarta : EGC
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease:Causes, diagnosis, treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1035-40