Anda di halaman 1dari 22

PERANCANGAN VIDEO 360 (VIRTUAL REALITY) SEBAGAI MEDIA

UNTUK MENUMBUHKAN EMPATI PADA ANAK USIA DINI


(Studi Kasus PAUD SPS Dahlia)

Proposal Tesis
Magister Desain

Dedit Priyono
(27116074)

Institut Teknologi Bandung


2017
DAFTAR ISI

Bab I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
I.2. Rumusan Masalah
2.1. Pertanyaan Penelitian
2.2. Asumsi
2.3. Hipotesis
2.4. Tujuan
2.5. Lingkup Permasalahan
2.6. Kerangka Berfikir
I.3. Metode Penelitian
I.4. Sistematika (outline) Tesis
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1. Pengertian Empati
II.2. Tingkatan Empati
II.3. Aspek Aspek Empati
II.4. Pengukuran Empati
II.5. Manfaat Empati Pada Anak Usia Dini
II.6. Empati Dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
II.7. Media
II.8. Media Gambar Bergerak (Film dan Video)
II.9. Video 360 Derajat dan Realitas Virtual (VR)
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah mahluk sosial karena manusia hidup di dunia selalu
berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri,
mereka saling membutuhkan satu sama lain untuk memebuhi kebutuhannya
masing masing. Agar interaksi yang terjalin selalu harmonis, maka
diperlukan saling pengertian antar sesama manusia, kepekaan untuk memahami
kebutuhan manusia lain serta empati (Rahmawati 2014).
Empati merupakan kemapuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain, meskipun kita tidak mengalami kejadian seperti yang dialami oleh
orang tersebut (Rahmawati 2014). Pendapat ini sejalan dengan Taufik (2012)
yang menyatakan bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami
apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan
dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami
oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.
Anggadini G.K dan Nusatoro E (2015) menjelaskan bahwa seseorang yang
mempunyai empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang dan
mahluk hidup lainnya, sehingga timbul keinginan untuk berbuat sesuatu yang
menolong atau meringankan penderitaan mahluk hidup. Oleh karena itu,
empati adalah sebuah blok bangunan penting untuk perilaku prososial, atau
tindakan orang mengambil manfaat lain dan masyarakat.
Empati penting untuk kelangsungan hidup individu karena memerlukan
keakuratan dalam persepsi, interpretasi, dan respon terhadap sinyal emosi
orang lain. Karena menurut Eisenberg (2002) dengan empati seseorang dapat
menyesuaikan diri, mempercepat hubungan dengan orang lain, meningkatkan
harga diri, meningkatkan pemahaman diri. Empati merupakan inti emosi moral
yang dapat memahami perasaan orang lain. Empati membuat seseorang
menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorong untuk
menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta menuntun untuk
memperlakukan orang dengan kasih sayang.
Sebagaimana yang kita ketahui tingkat empati masyarakat Indonesia
beberapa tahun belakangan ini cenderung rendah. Informasi yang didapat pada
media online Sistem Informasi Universitas Gajah Mada
(https://ugm.ac.id/id/berita/7649-empati.masyarakat.indonesia.sangat.kurang)
Bisa dilihat dari beberapa masalah atau kasus yang terjadi di tanah air belum
lama ini seperti peristiwa kerusuhan pembakaran sejumlah gedung publik di
Kota Palopo, Sulawesi Selatan oleh massa usai pemilukada. Lalu, disusul
dengan penyerangan oleh kelompok tak dikenal di Lapas Cebongan, Sleman.
Deretan tindak kerusuhan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini tentunya
menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kepala Pusat Studi Kebudayan, Dr. Aprinus Salam, M.Hum, mengatakan
bahwa berbagai bentuk kekerasan dan konflik yang terjadi belakangan ini
merupakan akibat dari minimnya budaya empati di masyarakat Indonesia.
Rendahnya empati ini menurut Aprinus dikarenakan akar kultural Indonesia
tidak dilandasi dengan akar kultural yang mapan. Kebanyakan orang tidak lagi
mau mencoba untuk memahami perasaan dan memposisikan diri di posisi
orang lain.
Tindak kekerasan terjadi dimana mana. Hal ini terjadi karena kultur
empati masyarakat kita sekarang ini sudah hampir sirna, tandasnya, dalam
bincang-bincang dengan wartawan di Pusat Studi Kebudayaan UGM. Aprinus
mencontohkan saat ini masih saja berkembang sejumlah pernyataan
peryataan yang banyak digunakan masyarakat yang bersifat diskriminatif.
Misalnya mengejek orang lain seperti pembantu ataupun pekerjaan kasar
lainnya. Padahal dengan pernyataan-pernyataan tersebut justru membangun
dan memperbesar perbedaan antar individu. Karenanya hal tersebut harus
diminimalisir agar kondisi di masyarakat tetap kondusif.
Misalnya saja pendatang, masyarakat pendatang masih dianggap berbeda
bukan bagian dari masyarakat tersebut. Padahal kalau dilihat kebanyakan
adalah masyarakat pendatang, bukan warga asli, hanya baru saja atau sudah
lama menetap di tempat itu. Hal semacam ini justru memicu timbulnya
prasangka prasangka yang tidak baik dan tentunya tidak membangun kultur
empati, urai Aprinus.
Dalam jurnal Anggadini G.K dan Nusatoro E (2015) dijelaskan bahwa
rendahnya empati pada anak Indonesia juga diungkapkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Hadipranata dalam Wedadjati (2009) mengenai kebersihan,
kejujuran, kerjasama, dan kepemimpinan antara siswa taman kanak kanak
Jepang dengan Indonesia, ternyata menunjukan bahwa anak anak jepang
kebih unggul daripada anak anak Indonesia. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa di Indonesia telah terjadi penurunan kemampuan berempati
sejak anak masih berusia dini.
Fenomena rendahnya tingkat empati anak juga ditemukan pada saat
melakukan observasi awal selama dua hari di PAUD SPS Dahlia Desa
Kebondalem Kecamatan Pemalang mendapati anak anak yang berebut
mainan teman dengan paksa, salah satu teman dijadikan bahan ejekan, tidak
mau berbagi makanan, tidak mau meminta maaf setelah melakukan kesalahan.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu lembaga
pendidikan untuk usia 2 6 tahun, yang berfungsi untuk mengembangkan
enam aspek yang ada pada Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak
(STPPA) dalam Pasal 1 (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Di dalam
salah satu aspek penilaian Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak
(STPPA) empati termasuk dalam aspek nilai Sosial-Emosional, karena
berdasarkan pada indikator analisa dan evaluasi anak pada aspek nilai Sosial-
Emosional. Anak diharuskan untuk berempati.
Teknologi komputer terus berkembang dengan pesat dalam era digital
ini, dan salah satu bagiannya adalah teknologi multimedia. Teknologi
multimedia yang juga ikut berkembang telah membuat penyampaian suatu
informasi dapat disampaikan dengan lebih interaktif dan efektif karena dapat
menjangkau indera manusia, contohnya adalah teknologi Virtual Reality (VR).
Virtual Reality (VR) sebagai sebuah aplikasi teknologi multimedia memiliki
kelebihan dalam mendeskripsikan sebuah keadaan atau sebuah obyek
visualisasi yang ditampilkan tidak hanya dapat dilihat dari satu sudut pandang
saja namun dapat dilihat dari segala sudut, karena memiliki 3 dimensi visual
(Yulianto 2012).
Psotka dalam Pudyanto (2014) menjelaskan Virtual Reality adalah
sebuah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu
lingkungan yang disimulasikan oleh computer (Computer Simulated -
enviroment), suatu lingkungan sebenarnya yang ditiru atau benar benar suatu
lingkungan yang hanya ada dalam imagenasi. Sedangkan mengacu pada Zhang
dan Zheng dalam Wisantama (2015) teknologi Virtual Reality (VR) adalah
sejenis teknologi antarmuka antara manusia dan mesin yang dapat secara nyata
mensimulasikan orang orang seperti berada di lingkungan alami termasuk
penglihatan, Pendengaran, gerakan dan aksi lain. Tidak Hanya dapat dengan
jelas menggambarkan lingkungan secara nyata, tetapi VR juga memungkinkan
pengguna untuk mengamati lingkungan virtual dan merasa seperti di tempat
tersebut.
Penerapan Virtual Reality (VR) untuk berbagai kegiatan sudah cukup
luas, seperti simulasi untuk pendidikan dan pelatihan, arsitektur dan desain
perkotaan, video game, film, arkeologi, pariwisata serta medis.
Dalam perkembangannya saat ini ada 3 jenis perangkat Virtual Reality
(VR) yaitu Desktop VR, Console VR dan Mobile VR. VR yang biasa
digunakan untuk game dan video memberikan sensasi dan pengalaman seperti
merasakan langsung dalam suatu peristiwa yang terjadi dalam dunia maya. VR
Video 360 derajat mulai dipopulerkan oleh youtube sejak tahun 2015 bertujuan
untuk mengganti konsep menonton video dengan tayangan audio visual
melalui layar dengan menonton video dengan menggunakan perangkat VR
agar nantinya lebih interaktif dan tidak membosankan.
Melihat pentingnya empati untuk dikembangkan sejak dini, serta
penerapan teknologi Virtual Reality (VR) yang bisa digunakan di berbagai
bidang, oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian terkait dengan
penerapan Virtual Reality (VR) dalam bentuk video 360 derajat untuk
menumbuhkan empati anak usia dini.

2. Rumusan Masalah
Dalam proses meningkatkan empati pada anak sebagaimana ditunjukan
dalam penelitian Rahmawati (2014) Metode Bermain Peran dan alat
permainan Edukatif untuk meningkatkan Empati Anak Usia Dini dibutuhkan
aspek aspek empati untuk mengetahui adanya empati pada anak.
Perancangan aplikasi VR video dari aspek aspek empati yang bertujuan agar
anak yang menonton aplikasi video VR dapat menumbuhkan rasa empati.
2.1. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan mendasar yang dirumuskan
dalam perumusan masalah yaitu : Adakah pengaruh aplikasi VR video
terhadap empati anak ?.
2.2. Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa video 360
derajat yang ditonton menggunakan perangkat VR dapat menumbuhkan
empati.
2.3. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah tersebut hipotesis penelitian ini adalah
pemanfaatan teknologi video 360 derajat dan VR dapat memicu
tumbuhnya empati.
2.4. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teknologi video 360 derajat
dan Virtual Reality (VR) dalam menumbuhkan empati pada anak.
2.5. Lingkup Permasalahan
Penelitian ini fokus pada perancangan viedo 360 derajat yang dapat
ditonton menggunakan perangkat VR untuk mendukung perkembangan
empati pada anak. Sistem yang dikembangkan hanya pada pembuatan
video VR untuk menumbuhkan empati pada anak.
2.6.Kerangka Berfikir

Target
Kelompok
( Kelompok
Studi kasus )

Penggunaan VR Video

Peningkatan Empati terhadap


target kelompok

3. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan
kuantitatif. Desain eksperimen menggunakan desain Pra-eksperimental (Pre-
Ed) dengan variasi One Group Pre-test Post-test Design. Dalam desain ini,
efek suatu perlakuan terhadap variable akan diuji dengan cara membandingkan
keadaan variabel pada kelompok eksperimen sebelum dan setelah diberikan
perlakuan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala empati dan
pedoman eksperimen.
Ada tiga tahapan dalam eksperimen ini. Tahap pertama adalah
melakukan pretest. Dalam pretest, orang tua atau guru responden melakukan
observasi dan diminta mengisi quisioner. Pretest ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat empati siswa sebelum diberikan perlakuan (treatment).
Tahap selanjutnya kedua adalah treatment, treatment yang diberikan adalah
dengan menontonkan video 360 derajat menggunakan perangkat VR yang
dapat menumbuhkan empati. Tahap Ketiga adalah posttest. Pada saat posttest,
setelah perlakuan (treatment). Orang tua atau guru responden kembali
melakukan observasi dan diminta mengisi quisioner.
4. Sistematika Penelitian
Tesis ini disusun berdasarkan sistematika penulisan yang terbagi dalam 4 bab
berikut ini :
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, pertanyaan penelitian, Asumsi, Hipotesis, Tujuan
Penelitian, Lingkup permasalahan, kerangka berfikir, metode
penelitian, serta sistematika penelitian.
Bab II Kajian Teori
Bab ini akan menjelaskan Kajian teori yang yang memuat 7 (tujuh)
hal yaitu pengertian empati, tingkatan empati, aspek empati,
pengukuran empati, manfaat empati pada anak usia dini, empati dalam
pembelajaran anak usia dini, Pengertian Media, media gambar
bergerak (Film dan Video), Video 360 derajat dan realitas virtual
(VR).
Bab III Perancangan Video 360 dan VR
Bab ini aakan menjelaskan bagaimana perancangan video 360 derajat,
mulai dari menentukan konten video 360, membuat skenario untuk
konten video, proses editing video, cara penggunaan video 360
dengan perangkat VR.
Bab IV Perancangan Penelitian
Di dalam bab ini akan diuraikan secara rinci rencana penelitian yang
akan dilakukan. Rancangan penelitian ini dimulai dari studi literature,
penentuan variabel variabel yang akan diamati, penentuan populasi
dan sampel, instrument yang digunakan dalam pengumpulan data,
teknik penyebaran dan pengumpulan kuisioner, sumber data, teknik
pengumpulan data dan metode analisis data yang digunakan untuk
membahas hasil penelitian tersebut.
Bab V Kesimpulan
Dalam bab ini akan disajikan data hasil penelitian. Analisis diawali
dengan mengetahui sebaran empati awal anak usia dini. Analisis
dilanjutkan dengan pengaruh video 360 derajat dan VR terhadap
perkembangan empati anak usia dini. Dan diuraikan rincian
kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian
yang dapat dilakukan sebagai penelitian lanjutan dari penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Empati
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain, meskipun kita tidak mengalami kejadian seperti yang dialami
oleh orang tersebut (Rahmawati 2014). Pendapat ini sejalan dengan Taufik
(2012) yang menyatakan bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk
memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa
yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan terhadap kondisi yang
sedang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol
dirinya. Hal tersebut diperkuat oleh Hurlock dalam Asih G.Y dan Pratiwi
M.M.S (2010) yang mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan
seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta
kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Anggadini
G.K dan Nusatoro E (2015) menjelaskan bahwa seseorang yang mempunyai
empati dapat merasakan penderitaan orang lain, binatang dan mahluk hidup
lainnya, sehingga timbul keinginan untuk berbuat sesuatu yang menolong atau
meringankan penderitaan mahluk hidup. Oleh karena itu, empati adalah sebuah
blok bangunan penting untuk perilaku prososial, atau tindakan orang
mengambil manfaat lain dan masyarakat.

2. Tingkatan Empati
Hoffman dalam Rieffe C and Ketelaar L and Wiefferink C.H (2010)
menjelaskan bahwa empati dibedakan menjadi empat tingkatan. Meski
tingkatan empati ini diasumsikan berkembang secara berurutan, namun tidak
saling berhubungan (Hoffman, 1990). De Waal dalam Rieffe C and Ketelaar L
and Wiefferink C.H (2010) menduga bahwa tingkatan empati berbeda yang
direpresentasikan pada model boneka Rusia, menunjukkan bahwa setiap
tingkat berikut dibangun ke tingkat sebelumnya. Tingkatan Hoffman antara
lain :
a. Global Empathy
Global Empathy atau yang bisa disebut juga Emotion Contagnion oleh
oleh Hatfield and Cacioppo and Rapson dalam Rieffe C and Ketelaar L and
Wiefferink C.H (2010). Penjelasan Hoffman dalam Rieffe C and Ketelaar
L and Wiefferink C.H (2010) adalah pada tingkat ini adalah bagaimana
bayi memperhatikan emosi orang lain, meskipun secara tidak sadar mereka
telah mempelajari kondisi tekanan tekanan psikologis pada orang lain
dapat mengakibatkan respon afektif serupa. Misal, tangisan satu bayi bisa
memicu respon pada bayi lainnya. Decety and Jackson dalam Rieffe C and
Ketelaar L and Wiefferink C.H (2010) mengasumsikan bahwa setiap orang
sudah mempunyai empati global yang secara otomatis meniru dan
menyinkronkan ekspresi afektif. Namun bayi ini masih belum bisa
membedakan antara diri sendiri dan orang lain yang menyebabkan mereka
bertindak seolah olah apa yang terjadi pada orang lain terjadi pada
mereka Vreeke and Van Der Mark dalam Rieffe C and Ketelaar L and
Wiefferink C.H (2010).
b. Attention to other feelings
Pada tingkat ini dimulai pada usia sekitar satu tahun. Hoffman dalam Rieffe
C and Ketelaar L and Wiefferink C.H (2010) berpendapat bahwa balita
pada tahap ini sudah sadar akan emosi orang lain, dia sudah bisa
memahami bahwa orang lain sedih.
c. Prosocial behavior
Pada tingkat ini Hoffman dalam Taufik (2012) berpendapat bahwa anak
anak sudah menjadi lebih responsif terhadap penampilan emosional orang
lain. Pada tahapan ini mereka mulai memahami bermacam kondisi
emosional dan makna makna istilah untuk berbagai keadaan yang
berbeda. Sebuah studi yang dilakukan oleh Zahn-Waxler, Dkk dalam
Rieffe C and Ketelaar L and Wiefferink C.H (2010) menunjukan bahwa
anak anak pada usia ini mengembangkan kemampuan empatinya
terhadap orang lain. Seperti membantu, berbagi, dan menghibur.
d. Empathy for anothers life condition
Pada tingkat ini perkembangan respon empati masa kanak kanak tidak
hanya terkait dengan situasi, tetapi juga pada tingkat tekanan atau
kekurangan umum lainnya. Tingkat empati ini dapat memotivasi untuk
merasakan empati terhadap orang orang yang hidup kekurangan,
misalnya menyumbangkan sejumlah uang ke badan amal.

3. Aspek Aspek Empati


Davis dalam Badriyah (2013) memaparkan bahwa terdapat 4 aspek
empati, yaitu :
a. Perspective taking, yaitu kecenderungan sesorang untuk mengambil sudut
pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky dan Ku
dalam Taufik ( 2012) mendefinisikan perspective taking sebagai putting
oneself in the shoes of another atau menempatkan diri sendiri ke dalam
posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis dan sosial penting
bagi keharmonisan interaksi antar individu. Menurut Galinsky dalam
Taufik (2012) bahwa perspective taking dapat menurunkan stereotype dan
pandangan buruk terhadap kelompok lain secara lebih efektif dibandingkan
dengan melakukan penekanan terhadap stereotype. Badriyah (2013)
menjelaskan bahawa apabila konsep perspective taking ini dikaitkan
dengan theory of mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi
mental orang lain, memahami dari perspektif mereka, dan dapat pula
menginterpretasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang
lain. Daya kognisi berkaitan erat dalam mengoptimalkan kemampuan
seseorang untuk berfikir dan memahami kondisi orang lain, melalui
pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Setiap orang mempunyai
kemampuan yang berbeda beda dalam melakukan perspective taking,
karena tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012)
perspective taking terbagi dalam 2 bentuk: (1) membayangkan bagaimana
seseorang akan berfikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi
anggota kelompok lain, (2) Membayangkan bagaimana seseorang anggota
kelompok lain berfikir dan merasakan.
b. Fantasy yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajenatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal
dalam buku, film, sandiwara yang dibaca atau yang ditontonnya.
c. Empathic Concern yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang
lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.
d. Personal Distress yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri
sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang
tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai empati negatif.
Badriyah (2013) menjelaskan bahwa ada satu aspek tambahan penting
untuk dilihat yang dikutip dari buku Taufik yaitu aspek komunikatif,
munculnya aspek komunikatif didasarkan pada asusmsi bahwa masing
masing aspek akan terpisah apabila tidak terjalinnya komunikasi. Bierhoff
dalam Taufik (2012) juga mengatakan bahwa yang dimaksud komunikatif ialah
perilaku yang mengekspresikan perasaan perasaan empatik. Wang, dkk
dalam Taufik (2012) komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari
pikiran pikiran empatik (intellectual empathy) dan perasaan perasaan
(empathic emotions) terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata
kata dan perbuatan.

4. Pengukuran Empati
Berbagai macam alat ukur empati telah diciptakan oleh para ahli, mulai
dari alat ukur empati yang bersifat sederhana hingga kompleks, dari alat ukur
empati yang bersifat umum hingga lebih spesifik untuk mengukur subempati
tertentu (Taufik, 2012). Alat ukur empati yang digunakan adalah adaptasi dari
alat ukur yang sudah ada sebelumnya, yaitu :
a. FPATE (Feshbach and Powell Audiovisual Test For Empathy)
Alat ukur empati untuk anak yang diciptakan oleh feshbach dari hasil revisi
alat ukur sebelumnya FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of
Empathy). Taufik (2012) menjelaskan bahwa Alat ukur ini didesain secara
khusus untuk digunakan pada anak anak usia empat hingga delapan
tahun. Berbeda dengan alat ukur FASTE yang hanya menggunakan
gambar, Taufik (2012) menjelaskan bahwa FPATE menggunakan sebuah
tayangan film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan,
kemarahan, atau ketakutan.
b. Empathy Questionnaire (EmQue)
Empathy Questionnaire (EmQue) adalah alat ukur yang disusun oleh Rieffe
C and Ketelaar L and Wiefferink C.H pada tahun 2010. Alat ukur ini
merupakan kuisioner yang diisi oleh orang tua atau guru responden dengan
cara orang tua atau guru mengobservasi perilaku anak. EmQue memiliki 20
item soal yg mewakili level empati dari teori Hoffman (1987), yaitu
emotion contagion, attention to other feelings, dan prosocial behavior
(Rieffe, C and Ketelaar, L and Wiefferink, C.H, 2010).

5. Manfaat Empati Pada Anak Usia Dini


Dengan adanya empati, akan berdampak terhadap perilaku prososial.
Seperti yang dijelaskan Hoffman dalam Taufik (2012) empati berkaitan secara
positif dengan perilaku menolong. Ada Juga bukti bukti eksperimental bahwa
empathic distress akan membangkitkan individu untuk menolong orang lain,
dan observer yang mengalami empathic distress lebih tinggi akan memberikan
pertolongan secara tepat kepada korban yang mengalami kesakitan. Sementara
itu jika mereka tidak melakukan pertolongan maka observer empathic distress
menjadi merasa bersalah dan mereka merasa lebih baik jika memberikan
pertolongan. Saphiro E.L (1998) menjelaskan bahwa mereka yang mempunyai
kemampuan empati kuat cenderung tidak begitu agresif dan rela terlibat dalam
perbuatan prososial, misalnya menolong orang lain dan kesediaan berbagi,
Anak anak yang empati lebih disukai teman teman dan orang dewasa serta
lebih berhasil, baik disekolah maupun tempat kerja. Bersikap empati memilki
kemampuan yang lebih besar untuk menjalin hubungan akrab dengan pasangan
hidup dan teman bila kelak dewasa. Anak yang mempunyai empati pasti
menjadi anak yang menyenangkan dalam pergaulan, bisa menjadi orang yang
mampu menempatkan diri dan mengetahui situasi dan kondisi. Dengan empati
pula, anak bisa mengerti apakah temannya sedang sedih serta tahu apa yang
perlu dilakukan untuk menolong temannya.
6. Empati Dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
Berdasarkan salah satu landasan sosiologi dalam pengembangan
kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yaitu a) sesuai dengan
tuntutan (harapan) dan norma yang berlaku dimasyarakat. b) bersifat inklusif
untuk membentuk sikap saling menghargai dan memperlakukan semua anak
setara, bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun. Serta Standar Tingkat
Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) dalam Pasal 1 (2) Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar
Pendidikan Anak Usia Dini. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak
(STPPA) adalah kriteria tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh.
Pada Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) Empati
termasuk dalam aspek nilai Sosial-Emosional, karena berdasarkan pada
indikator analisa dan evaluasi anak pada aspek nilai Sosial-Emosional yang
mengharuskan anak untuk berempati.

7. Media
Secara etimologi, kata media merupakan bentuk jamak dari medium,
yang berasal dari bahasa latin medius yang berarti tengah. Sedangkan dalam
Bahasa Indonesia, kata medium dapat diartikan sebagai antara atau
sedang sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang
mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan).
Menurut Sachram dalam Mahnun (2012) berpendapat bahwa media adalah
information carrying technologies that can be used for instruction. The
media instruction, consequently are extensions of the teacher, menurutnya
media adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran. Mahnun (2012) menyimpulkan bahwa media
berkaitan dengan perantara yang berfungsi menyalurkan pesan dan informasi
dari sumber yang akan diterima oleh si penerima pesan yang terjadi dalam
proses pembelajaran. Media mempunyai banyak klasifikasi jenis media seperti
yang dijelaskan Kemp dan Dayton dalam Sabayasa (2017), mereka
menemukakan klasifikasi jenis media sebagai berikut : (1) media cetak, (2)
media yang dipamerkan (displayed media), (3) overhead transparency (OHP),
(4) rekaman suara, (5) slide suara dan film strip, (6) presentasi multi gambar,
(7) video dan film, (pembelajaran berbasis komputer).

8. Media Gambar bergerak (Film dan Video)


Gambar bergerak atau motion pictures merupakan jenis media yang
mampu memperlihatkan gambar bergerak yang terintegrasi dengan unsur
suara, contoh jenis media ini yaitu film dan video (Sabayasa, 2017). Sabayasa
juga menjelaskan bahwa kedua jenis media ini memiliki features atau
kemampuan yang luar biasa sebagai sebuah media komunikasi, Video dan film
mampu menampilkan informasi dan pengetahuan dalam sebuah tayangan yang
realistik. Media video memiliki beberapa kelebihan, seperti yang jelaskan oleh
Heinrich, dkk dalam Sabayasa (2017). Mereka mengemukakan beberapa
kelebihan yang dapat diberikan oleh medium video dalam mengkomunikasikan
informasi dan pengetahuan yaitu :
a) Video dapat menayangkan gambar bergerak (motion pictures), dan
dapat memperlihatkan informasi yang mengandung unsur gerak
didalamnya. Kemampuan untuk menampilkan unsur gambar bergerak
merupakan atribut dari medium video.
b) Video dapat memperlihatkan berlangsungnya suatu proses secara bertahap.
Gerakan gerakan yang bertahap dapat diperlihatkan secara efektif melalui
medium ini. Misalnya pertumbuhan bunga dapat ditayangkan dengan teknik
slow motion.
c) Video dapat dipergunakan sebagai medium observasi yang aman.
Gambar gambar berupa objek yang direkam di dalam sebuah program
video dapat diobservasi secara aman oleh pemirsanya. Objek yang direkam
tersebut mungkin akan menimbulkan bahaya jika diobservasi secara
langsung. Contohnya, bahan bahan kimia yang digunakan dalam suatu
percobaan akan berbahaya jika diamati dari dekat. Namun jika percobaan
kimia tersebut direkam dalam program video, maka hal tersebut dapat
menghilangkan bahaya yang ditimbulkannya.
d) Video dapat dipergunakan untuk mempelajari suatu keterampilan atau
kecakapan tertentu. Pelajaran atletik misalnya, dapat dipelajari secara efektif
melalui medium video. Fasilitas yang ada pada video seperti halnya
kemampuan untuk memperlambat gerak (slow motion) dan memberhentikan
gambar yang sedang bergerak (freeze frame) dapat dipergunakan untuk
menganalisi bagian atau proses tertentu dari suatu gerakan.
e) Dramatisasi yang terdapat di dalam sebuah program video, dapat
menggugah emosi pemirsa. Medium video, oleh karenanya, dapat berperan
dalam membentuk sikap individu dan sikap sosial. Dalam dunia bisnis
dan industri medium video dipergunakan untuk melakukan observasi dan
menganalisis hubungan sosial antar-individu.
f) Video dapat dipergunakan untuk melakukan penghayatan atau apresiasi
terhadap budaya bangsa atau etnis lain. Medium ini dapat dipergunakan
untuk merekam upacara atau ritual yang unik dan langka yang berlangsung
dalam suatu etnis, sehingga pemirsa dapat melihat upacara tersebut sebagai
suatu pengalaman belajar.
g) Medium video dapat dipergunakan untuk memberikan pengalaman yang
sama (common experience) terhadap sekelompok pemirsa yang berada pada
suatu tempat yang berbeda. Pengalaman yang sama, yang dapat ditayangkan
melalui medium video, akan mendorong pemirsa untuk berperan efektif
dalam menciptakan diskusi tentang suatu topik.

9. Video 360 derajat dan realitas virtual (VR)


Video 360 derajat merupakan video yang dibuat dengan sistem kamera
yang dapat merekam seluruh pemandangan dengan sudut mencapai 360 derajat
secara berkelanjutan, sehingga orang yang melihat video tersebut bisa melihat
video dari berbagai sudut. Pengalaman menonton video 360 derajat akan
menyajikan sebuah pengalaman yang terasa lebih nyata dan terasa seperti
aslinya.
Realitas virtual (VR) merupakan salah satu teknologi yang berkembang
saat ini, Gamberini, dkk dalam Herlambang dan Aryoseto (2016) menjelaskan
bahwa Virtual Reality (VR) adalah sebuah teknologi yang dapat membuat
penggunya memasuki dan berinteraksi di lingkungan maya (virtual).
Di Youtube Akademi Pembuat Konten
(https://creatoracademy.youtube.com/page/lesson/spherical-video?hl=id#yt-
creators-strategies-1) menjelaskan bahwa 360 dan VR diciptakan dengan
maksud agar pemirsa berinteraksi dengan konten dan mengalami konten.
Penggunaan konten video 360 derajat dengan menggunakan headset VR dapat
membuat anda merasa ikut dalam aksi adegan tersebut karena setiap mata
melihat sudut pandang yang berbeda, sudut pandang ini memberikan
kedalaman stereoskopik yang memberikan efek sebagaimana di dalam
kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Anggiandini, G.K dan Nusantoro E (2015). Meningkatkan empati melalui layanan


penguasaan konten dengan teknik permainan boneka. Indonesian
journal of guidance and conseling : Theory and application 4 (1).
Asih, G.Y dan Pratiwi M.M.S (2010). Perilaku sosial ditinjau dari empati dan
kematangan emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, Vol
1, No.1, Desember 2010
Badriyah, L (2013). Pengaruh Empati dan Self-Control Terhadap Agritivitas
Remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Skripsi Tahun
2013
Fesbach, N.D dan Roe, K (1968). Empathy in six and seven years old. Child
development, 39, 133-145
Iis, N (2012). Pengembangan Empati anak usia dini melalui mendongeng di
taman kanak kanak asyiyah pariaman. Jurnal Pesona PAUD,
ISSN 2337-8301, Vol.1, No.04.
Garaigordobil, M (2014) A Comparative Analisis of Empathy in Childhood and
adolescence : Gender differences and Associated Socio-emotional
Variables. International Journal of Psychology and Psychological
Therapy, 9, 2, 217 235.
Herlambang, P.M dan Aryoseto, L (2016). Potensi Virtual Reality Berbasis
Smartphone sebagai media belajar Mahasiswa kedokteran. CDK
Journal, CDK-241 / Vol.43, no.6, 412 415.
Mahnun, N (2012). Media Pembelajaran (Kajian terhadap langkah langkah
pemilihan media dan implementasinya dalam pembelajaran). Jurnal
Pemikiran Islam, Vol.37, No.1, 27 34.
Pudyanto, A F (2014) Pemodelan Virtual Reality One Day service sebagai media
informasi pendaftaran mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Skripsi 2014.
Rahmawati, A (2014). Metode Bermain peran dan alat permainan edukatif untuk
meningkatkan empati anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, Vol
3, Edisi 1, 382 389.
Rieffe, C and Ketelaar, L and Wiefferink, C.H (2010). Assesing empathy in young
children : Construction and validation of an empathy Quistionnaire
(EmQue). Journal Personality and Individual Differences, 49, 362-
367.
Sabayasa, A. Materi 2 : Jenis dan Klasifikasi Media Pembelajaran. Data diperoleh
melalui situs internet:
https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/PTP/Konten
Materi/91 Anas Sabayasa/diklat 113/modul 218/Buku/Materi
2_Media Pembelajaran dan Pengelolaan Bahan Belajar_Jenis
Klasifikasi Media.pdf, Diunduh pada tanggal 10 April 2017
Saphiro, L.E (1998). Mengajarkan Emotional Intellegence Pada Anak.
Terjemahan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Supeni, MG (2014). Empati perkembangan dan pentingnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Download : http://download.portalgaruda.org/,
Vol.40 No.1, 60-71
Taufik (2012). Empati Pendekatan Psikologi sosial. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada.
Yulaelawati, E dan Restuningsih, K (2015). Kurikulum Pendidikan Anak Usia
dini : Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Jakarta : Direktorat
Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini.

Yulianto, D A (2012) Pemodelan Virtual Reality sebagai media promosi digital


pada perum japunan asri
Wisantama, K (2015) Virtualisasi fasilitas umum dikampus Universitas Sumatera
Utara (USU). Skripsi 2015
Empati Masyarakat Indonesia Sangat Kurang, data diperoleh melalui situs internet
: https://ugm.ac.id/id/berita/7649-
empati.masyarakat.indonesia.sangat.kurang. diunduh tanggal 9
april 2017.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 137 tahun
2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.
Diperbanyak oleh : Dinas Pendidikan Jawa Tengah Tahun 2015.
Pengantar Video 360 derajat dan realitas Virtual. Data diperoleh melalui situs
internet:https://creatoracademy.youtube.com/page/lesson/spherical-
video?hl=id#yt-creators-strategies-1. Diunduh pada tanggal :
tanggal 10 April 2017

Anda mungkin juga menyukai