Anda di halaman 1dari 7

Laporan Praktikum Tanggal : Rabu / 17 Maret 2015

M.K. Kimia Analitik PJP : Dede Djuanda, B.Sc, S.Si

PENEPATAN KADAR AIR DAN PENETAPAN KADAR ABU


Oleh:
Kelompok 3
Rico Fernando T B1411097

TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI


FAKULTAS ILMU PANGAN HALAL
UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR
2015
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Air pada bahan pangan tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi


kebutuhan manusia, tetapi mempunyai peranan yang sangat besar bagi bahan
pangan itu sendiri. Keberadaan air dalam bahan pangan sering dihubungkan
dengan mutu bahan pangan, sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan,
penentu indesks kestabilan selama penyimpanan, dan penentu mutu organoleptik
(Nuri et al 2011).
Analisis kadar air dalam bahan pangan sangat penting dilakukan baik pada
bahan pangan kering dan bahan pangan segar. Pada bahan pangan segar terutama
sayuran dan buah-buahan, kadar air sangat erat hubungannya dengan tingkat
kesegaran bahan. Metode analisis kadar air prinsipnya dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Analisis kadar air metode
langsung dilakukan dengan cara mengeluarkan air dari bahan pangan dengan
bantuan pengeringan oven, desikasi, destilasi, dan teknik fisika-kimia lainnya.
Kadar air dapat ditetapkan dengan cara penimbangan ,pengukuran volume atau
cara langsung lainnya (Nuri et al 2011).
Selain air, bahan pangan juga mengandung abu atau komponen anorganik
dalam jumlah yang berbeda. Abu adalah zat anorganik sisa suatu pembakaran zat
organik dalam bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan
kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Penentuan kadar abu dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu menentukan baik atau tidaknya suatu
pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu
parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Mulyo et al 2008). Untuk menentukan
kadar abu dalam bahan, dapat dilakukan dengan pengabuan langsung dan
pengabuan tidak langsung.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui kadar air dalam suatu
bahan pangan dan menentukan kadar abu dalam sampel.

II METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum, yaitu cawan porselin, cawan
alumunium, desikator, gegep besi, gegep kayu, oven, tanur, mortar, sudip, neraca
analitik, pisau, talenan, bunsen, triangle, dan kaki tiga. Bahan yang digunakan,
yaitu sawi, wortel, kentang, dan tahu.
2.2 Metode

2.2.1 Penetapan Kadar Air


Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan

Cawan alumunium dicuci bersih lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105OC
selama 1 jam

Cawan dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator sampai
mencapai suhu ruang ( 15-30 menit) lalu ditimbang (diperoleh A gram )

Sampel yang akan digunakan diperkecil terlebih dahulu ukurannya (Jika
diperlukan) lalu ditimbang sebanyak 5 gr ke dalam cawan alumunium ( diperoleh
B gram)

Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan pada suhu
105OC selama 2 jam

Cawan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu
ruang ( 15-30 menit) lalu ditimbang (diperoleh C gram)

2.2.2 Penetapan Kadar Abu


Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan

Cawan porselen dicuci bersih lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 200OC
selama 15 menit

Cawan por
selen dimasukkan ke dalam tanur dan dipanaskan pada suhu 500OC selama 2 jam
lalu didinginkan dalam desikator selama 10-30 menit lalu ditimbang

Sampel hasil kadar air ditimbang sebanyak 2 gr ke dalam cawan porselen

Cawan porselen dibakar di atas segita porselen dengan bunsen pada api kecil
sampai tidak berasap lagi (menjadi arang)

Dimasukkan ke dalam Tanur dan dipanaskan pada suhu 550OC selama 2 jam (atau
sampai diperoleh abu)

Didingikan ke dalam desikator selama 10 menit lalu ditimbang.
III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 1 Hasil analisis kadar air


Berat setelah
Berat cawan berat cawan +
Sampel dikeringkan Kadar air %
(gr) sampel (gr)
(gr)
Sawi 5.7257 10.9628 6.0714 93.399%
Sawi 4.8131 9.8579 5.1568 93.187%

Tabel 2 hasil analisis kadar abu


Berat cawan berat cawan + Berat cawan +
Sampel Kadar air %
(gr) sampel (gr) abu (gr)
Sawi 11.0058 11.2245 11.0764 32.282%

3.2 Pembahasan
3.2.1 Analisis kadar air
Pada tanggal 11 Maret 2015, dilakukan praktikum Kimia Analitik mengenai
Analisis kadar air. Metode yang digunakan adalah metode pengeringan oven
udara. Penentuan kadar air dengan metode oven dilakukan dengan cara
mengeluarkan air dari bahan dengan bantuan udara panas. Pada metode ini, air
dikeluarkan dari bahan pada tekanan udara 760 mmHg sehingga air menguap pada
suhu 100OC (titik didih air). Penentuan kadar air dalam bahan didasarkan atas
berat yang hilang (gravimetri). Prosedur analisis kadar air dengan metode oven
pada praktikum ini mengacu pada metode resmi internasional, yaitu AOAC 1984
(Association of Official Agricultural Chemists).
Sampel yang digunakan oleh kelompok 3 adalah sawi putih. Berdasarkan hasil
pengamatan, kadar air untuk sampel sawi putih adalah 93,293% (kadar air basis
basah). Data analisis yang diperoleh menunjukkan tingkat accuracy yang tinggi
karena sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa kadar air sawi putih, yaitu
95% (sumber: www.litbang.pertanian.go.id). Ketidaksesuaian hasil yang
diperoleh disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ukuran partikel sampel, posisi
sampel dalam oven, senyawa hidarat dalam bahan , dan jenis air dalam bahan.
Sampel yang berukuran lebih besar akan menyebabkan air lebih sulit
diuapkan. Pada saat dikeringkan, sampel akan mengalami pemekatan pada
permukaannya dan mengakibatkan terjadinya pengerasan (case hardening)
sehingga akan menghambat pengeluaran air dari dalam sampel. Oleh karena itu,
sampel terlebih dahulu dikecilkan ukurannya untuk membuka pori-pori pada
permukaan sampel sehingga air lebih mudah untuk dikeluarkan.
Sampel yang posisinya lebih dekat dengan sumber udara panas akan lebih
cepat menerima panas dibandingkan dengan sampel yang lebih jauh dari sumber
panas. Hal ini tentu akan mempengaruhi jumlah air yang teruapkan pada sampel.
Adanya senyawa hidrat akan menyulitkan penguapan air dalam bahan.
Senyawa hidrat memiliki kemampuan untuk berikatan dengan air (bersifat
higroskopis). Hal ini akan menyebabkan air menjadi lebih sulit untuk dikeluarkan
dari sampel (Nuri et al 2011). Hal ini terutama terjadi pada bahan pangan yang
bersifat higroskopis seperti buah dan sayur yang berkadar gula tinggi.
Jenis air dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis, yaitu air bebas dan air terikat.
Air bebas adalah molekul air yang secara fisik terikat dalam matriks bahan
pangan. Air bebas memiliki sifat mudah menguap apabila dikeringkan. Air terikat
adalah molekul air yang terikat secara kimia pada molekul-molekul pangan lain,
misalnya grup hidroksil dari polisakarida, grup karbonil dan amino dari protein
dan sisi polar lain yang dapat memegang air dengan ikatan hidrogen.
Pembentukan hidrat antara air dengan molekul lainnya menyebabkan air berubah
sifatnya, yaitu tidak dapat membeku dan sulit hilang selama proses pengeringan
(Feri 2010). Oleh karena itu, perbandingan jumlah air bebas dan air terikat dalam
sampel akan mempengaruhi jumlah air yang dapat diuapkan yang dihitung
sebagai kadar air sampel.

3.2.2 Analisis Kadar Abu


Pada tanggal 18 Maret 2015, dilakukan praktikum Kimia Analitik mengenai
Analisis kadar abu. Abu merupakan residu dari suatu bahan pangan yang berupa
bagian anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi
atau dapat diartikan bahwa abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran
suatu bahan organik. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu
bahan pangan. Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan berat setelah
pembakaran dengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum terjadi
dekomposisi dari abu tersebut (Sudarmadji 2003).
Metode yang digunakan adalah metode pengabuan kering. Analisis kadar abu
dengan metode pengabuan kering dilakukan dengan cara mendestruksi komponen
organik sampel dengan suhu tinggi di dalam tanur pengabuan tanpa terjadi nyala
api sampai terbentuk abu berwarna putih keabuan dan berat konstan tercapai (Nuri
et al 2011). Residu yang didapatkan merupakan total abu dari suatu sampel. Suhu
pengabuan yang umum digunakan adalah 500OC.
Sampel yang digunakan adalah sampel sawi hasil analisis kadar air. Hasil
analisis kadar abu pada sawi putih adalah 32,2820 % (kadar abu total). Hasil yang
diperoleh tidak sesuai dengan standar, yaitu 1% (Sudarmadji 2003).
Ketidaksesuaian yang diperoleh disebabkan oleh beberapa faktor, yaiitu sampel
yang digunakan terlalu sedikit, waktu pengabuan, dan interaksi abu dengan
lingkungan.
Sampel yang digunakan terlalu sedikit, yaitu 0,2 gr sedangkan sampel yang
seharusnya digunakan, yaitu 2 gr. Sampel yang terlalu sedikit menyebabkan data
yang diperoleh tidak mewakili atau mencerminkan data sebenarnya. Sedikitnya
sampel abu sawi disebabkan oleh 2 faktor, yaitu sumber sampel dan cawan
porselen yang retak. Sampel abu yang digunakan merupakan sampel hasil analisis
kadar air (pra-pengabuan) yang jumlahnya 0,6894 gr ( 2 gr). Selain itu, cawan
porselen yang digunakan mengalami retak karena dipanaskan pada suhu yang
terlalu tinggi sehingga sebagian sampel terbuang atau tidak dapat digunakan lagi.
Akibatnya, jumlah sampel abu yang dapat digunakan menjadi berkurang hanya
0,2187 gr.
Proses pengabuan bertujuan untuk menghilangkan zat organik yang ada dalam
sampel sehingga diperoleh sisa pembakaran berupa abu. Menurut AOAC 2005,
penetuan kadar abu ini dapat dilakukan secara langsung dengan membakar bahan
pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-600C selama 2-8 jam. Namun, pada saat
praktikum, waktu pengabuan terlalu cepat sehingga diperkirakan tidak semua zat
organik hilang. Hal ini menyebabkan sisa pengabuan yang diperoleh dan dihitung
tidak hanya abu, tetapi campuran abu dengan zat organik yang tertinggal.
Interaksi abu dengan lingkungan disebabkan oleh desikator yang terlalu sering
dibuka tutup. Hal tersebut menyebabkan kondisi di dalam desikator menjadi tidak
terkendali sehingga desikator tidak berfungsi dengan maksimal dan terjadi
interaksi abu dengan lingkungannya. Fungsi deksikator, yaitu untuk menyerap air
dan untuk mencegah cawan terkontaminasi uap air dari udara karena di dalam
deksikator terdapat silika gel yang sifatnya higroskopis untuk menyerap air di
sekitar (Mulyo et al 2008).
Abu bersifat higroskopis. Higroskopis adalah suatu sifat bahan yang dapat
mengikat air (Feri 2010). Jumlah air yang diikat oleh suatu bahan dipengaruhi
oleh RH lingkungan. bahan kering (abu) apabila disimpan pada lingkungan
dengan RH yang relatif tinggi maka akan menyerap air hingga terbentuk kondisi
kesetimbangan. Pada kondisi kering, abu memiliki nilai aw yang lebih rendah
dibandingkan dengan nilai ERH/100 lingkungan. Kondisi tersebut menyebabkan
abu perlahan lahan menyerap air dari lingkungan hingga kondisi kesetimbangan
dengan lingkungannya tercapai, yaitu pada saat Aw pangan sama dengan
ERH/100 (Feri 2010). Hal inilah yang menyebabkan penambahan berat pada
sampel abu sawi sehingga hasil yang diperoleh tidak akurat.

IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa kadar air pada sawi
putih dengan metode oven, yaitu 93,293 % (basis basah). Kadar abu pada sawi
putih dengan metode pengabuan kering, yaitu 32,282 % (total abu). Nilai kadar air
yang diperoleh lebih kecil jika dibandingkan dengan standar sedangkan nilai
kadar abu yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan dengan standar.

DAFTAR PUSTAKA

Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 2005. Official Methods of


Analysis. Arlington: AOAC.
Feri K. 2010. Kimia Pangan (Komponen Makro). Jakarta (ID): Dian Rakyat
Nuri A, Feri K, dan Dian H. 2011. Analisis Pangan. Jakarta (ID): Dian Rakya
Mulyo RA, et al. 2008. Penetapan Kadar Abu (AOAC 2005). Jurnal Gizi. Vol:1-
6
Sudarmadji. 2003. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta (ID):
Liberti

Anda mungkin juga menyukai