Anda di halaman 1dari 64

PENGARUH SOSIAL DAN KONTROL SOSIAL

A. KONFORMITAS
1. Definisi Konformitas
sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari
kelompok
perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau
perilaku kelompoknya
definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group
pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh
Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain
menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas.
2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958)

1 2 3
standar line comparison lines
target

12 trial
N = 50
respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial

3. Mengapa Orang Menjadi Konform?


Morton Deutch dan Harold Gerald (1955) :
a. Informational Influence
bahwa kelompok merupakan presentasi fakta atau pengetahuan
tentang situasi. Kelompok merupakan sumber informasi yang objektif.
b. Normative Influence
tekanan untuk mengikuti kelompok
tekanan sosial berasal dari norma-norma kelompok, seperti loyalitas,
solidaritas
ingin mencapai seperti anggota kelompok
tidak ingin kelihatan berbeda
c. Self Categorization (Dominic Abrams & Michael Hogg, 1990)
usaha untuk memelihara konsep atau identitas diri sebagai anggota
kelompok

1 Klara Innata Arishanti, 2006


4. Respon Non Conformity
Terdapat dua respon non conformity, yaitu:
a. Independence
tingkah laku tidak responsif terhadap kelompok
tingkah laku bebas dari norma-norma kelompok
b. Anti conformity atau Counterconformity
oposisi yang konsisten terhadap norma kelompok
dilakukan anti konformis untuk memelihara konsep diri mereka

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konformitas


a. Ukuran Kelompok
pengaruh menguat
makin banyak anggota yang rela patuh pada norma kelompok
b. Unanimous
kelompok sepakat atau kelompok tidak saling berbeda pendapat,
misalnya : parpol, MPR/DPR

6. Perbedaan Individual Dalam Konformitas


a. Non Conformist
independent, efektif secara intelektual, egostrength kuat,
kepemimpinan dan hubungan sosial baik, tidak rendah diri, rigid,
otoriter
b. Orang Yang Konform
memiliki need for afiliation yang besar (Mc Ghee & Trevan, 1967)
mengandalkan kelompok sebagai sumber informasi mereka
(Champbel,1986)
self blame, ragu

7. Zimbardo & Leippe (1991)


Wanita lebih konform daripada pria
Pria lebih luas jalur informasinya
wanita dan pria konform bila informasi tentang sesuatu kurang lengkap
wanita lebih konform pada situasi interaksi tatap muka
dalam situasi tekanan kelompok, wanita lebih konform
supaya wanita lebih independent maka harus memperluas jalur
informasi

B. COMPLIANCE
1. Definisi Compliance
patuh, ada permintaan langsung dari orang lain atau tidak, individu setuju
untuk patuh

2 Klara Innata Arishanti, 2006


2. Teknik-teknik Dalam Compliance
a. The Foot In The Door Effect
Istilahnya ketika meminta sesuatu pada seseorang ibarat seperti kaki
yang sudah melangkah melewati pintu (pasti dikabulkan)
small request dikabulkan maka,
diikuti permintaan yang besar (permintaan yang sesungguhnya)
Eksperimen Jonathan Freedman & Scott Fraser (1966)
Mula-mula meminta izin untuk memasang poster kecil tentang
keselamatan lalu-lintas. Kemudian pemilik rumah mengizinkannya. Di
hari yang lain, ia meminta izin lagi untuk memasang poster yang lebih
besar, maka pemilik rumah mengizinkannya.
Mengapa hal ini terjadi?
$ persepsi diri, memelihara image diri dihadapan orang lain
b. The Door In The Face Effect
Ketika permintaan diajukan, seperti pintu yang ditutup atau sudah pasti
ditolak
diawali suatu permintaan yang berat
subjek akan mau menerima permintaan yang lebih ringan
kemudian
Mengapa hal ini terjadi?
$ permintaan awal sangat besar atau berat, penolakan tidak
membuat subjek menilai dirinya negatif atau buruk
$ permintaan kedua dilakukan oleh orang yang sama
Jerry Burger (1986) menyatakan bahwa thats not all technique
contoh: A menjual permen yang mahal, ia akan memberi harga permen yang
murah pada si B, padahal si B tidak membeli atau tidak ingin permen tersebut.
c. The Low Ball Procedure
Penawaran sangat rendah
Kondisi deal diubah
Terjadi karena : ketika seseorang mengambil keputusan akan malu
apabila merubahnya
The lure technique:
penawaran sangat rendah
harga diubah dengan harga yang tinggi
yang tersedia hanya subtitute product
3. Strategi Compliance
a. bertanya : Would you please
b. menunjukkan keahlian diri : Saya baca di ensiklopedia bahwa
c. alasan pribadi : Saya butuh
d. menggunakan peran hubungan : Bila kamu teman saya.
e. bargaining : Kalau kamu mau bantu saya, maka saya akan
f. mengandalkan norma : Semua orang melakukannya.
g. menggunakan prinsip moral : It would right thing to do
h. menggunakan altruisme : Kesehatan banyak orang tergantung padamu!
i. memuji : Hari ini kamu cantik, deh!

3 Klara Innata Arishanti, 2006


j. bargain dengan objek tertentu (menyuap) : Saya akan beri kamu seratus
ribu kalau kamu mau
k. memancing emosi : Saya akan menangis kalau.
l. mengkritrik pribadi : Kamu terlalu kurus, seharusnya..
m. berbohong : Kata bos kamu disuruh(padahal bos tidak berkata
demikian)
n. mengancam : Saya adukan dosen lho, kalau kamu
o. menggunakan kekerasan : Lakukan sekarang! (dengan diikuti gerakan
fisik)

C. OBEDIENCE
1. Definisi Obedience
patuh
respon permintaan langsung (perintah)
perilaku seseorang yang disebabkan adanya tuntutan dari pihak lain
(orang tua, kelompok, instansi, pemerintah atau negara)
Bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena adanya tuntutan meskipun
sebenarnya ia tidak suka atau tidak mengkehendaki perilaku tersebut dikatakan
kepatuhan.
2. Eksperiment Milgram (1963)
Mengumpulkan 40 orang untuk mengetahui pengaruh hukuman terhadap
prestasi. Kemudian 20 orang menjadi guru dan 20 orang menjadi murid.
Didepan guru, duduk murid dan ditengah-tengah ditaruh bel listrik yang
tegangannya dari rendah ke tinggi. Bel itu akan menyetrum murid apabila
ia melakukan kesalahan (memberikan shock).
Dari guru-guru itu ada guru yang tentu memberikan shock sampai murid
menunjukkan kesakitan. Dan kalau perlu menambahkan tegangannya.
Dasar eksperiment : manusia membutuhkan struktur yang jelas (perintah
dari otoritas yang diakui) untuk bergerak dengan cara patuh pada
peraturan yang ada.
Eksperiment Milgram (1965, 1974) :
orang dapat kejam karena pengaruh situasi
orang baik pun dapat berbuat jahat
3. Eksperiment Zimbardo
Membuat penjara2an lalu diiklankan untuk mencari subjek penelitian dari
mahasiswa. Penelitian direncanakan diadakan selama 2 minggu dengan
imbalan uang.
Subjek dijemput dirumahnya menggunakan mobil bersirine dan diborgol.
Dalam waktu 3 hari mulai terjadi pemukulan yang dilakukan oleh sipir
kepada tahanan.
Pemukulan tersebut sudah sangat kejam sehingga ketika baru berjalan
seminggu, penelitian tersebut dihentikan.
Hal ini terjadi, karena:
adanya kekuasaan
kekuasaan dijadikan sebagai identitas dirinya

4 Klara Innata Arishanti, 2006


Orang dapat menjadi terlalu patuh yang melewati batas, karena:
ada jarak emosional hubungan interpersonal yang tidak
dekat
kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi kekuasaan
kewibawaan institusi
reinterpretasi kognitif
karena pelatihan, misalnya: polisi, tentara
D. SENSE OF CONTROL
1. Definisi Sense of Control
bagaimana manusia menguasai tingkah laku mereka

Humanis vs Skinner manusia dikontrol lingkungan atau stimulus luar



manusia mempunyai pilihan yang bebas
2. Illusion of Control
undian
Eksperimen Langer (1975):
memilih sendiri nomer undian punya ilusi dia bisa
mengontrol pilihannya
kompetisi kalau bisa merasa lebih ahli maka kita akan lebih
berilusi
involvement semakin terlibat dengan suatu tugas maka kita
bisa berhasil
keberhasilan pada tugas (Langer &Roch)
3. Manfaat Belief in Control
memungkinkan peramalan
reaksi manusia lebih positif
lingkungan lebih menyenangkan
lansia (Langer & Robin, 1976) : lebih aktif, semangat dan sosial
4. Perbedaan Individual Dalam Persepsi Kontrol
Locus of control (Julian Rotter, 1966)
Kontrol terhadap lingkungan : - internal
- eksternal
(mencari penyebab dari tingkah laku)
orang eksternal control : lebih mau patuh terhadap social
influence
orang internal control : lebih hati-hati, menghindari natural
disorder (gempa, dll)
5. Reaksi Terhadap Loss of Control
a. Teori Reactance (Jack Brehm, 1966)
apabila kita dibatasi oleh kemampuan kontrol maka akan timbul usaha
atau tingkah laku untuk menjaga kontrol dan personal freedom kita
ancaman terhadap kemerdekaan

5 Klara Innata Arishanti, 2006


keadaan psikologis reactance
menimbulkan tingkah laku yang dapat memelihara kontrol dan
1 personal freedom
b. Learned Helplessness
percaya bahwa hasil yang dicapai independent dari usaha yang ia
lakukan
3 keadaan deficit yang dapat terjadi:
motivational deficit
tidak punya motivasi lagi untuk berusaha
cognitive deficit
sudah tidak bisa belajar lagi
emotional deficit
mengalami depresi
6. Self Induced Dependence
ketergantungan yang dimunculkan sendiri
tuduhan atau anggapan inkompeten
ex : pada lansia (Langer, 1983), pada high school student (Langer &
Benevento, 1978)
potensi manusia hanya dapat dimunsulkan hanya 10%, hanya sedikit
sekali yang dapat dimunculkan

11

6 Klara Innata Arishanti, 2006


AFILIASI, DAYA TARIK, DAN CINTA

A. SENDIRI ATAU BERSAMA-SAMA?


Sebagai social animal, kita membutuhkan hubungan interpersonal.
Eksperimen Stanley Schachter (1959) :
5 orang berpartisipasi dalam eksperimen
tinggal sendirian di sebuah rumah yang tidak berjendela, tetapi
memiliki lampu, tempat tidur, meja, dan kamar mandi
makanan disediakan di luar pintu pada jam-jam makan, namun
partisipan tidak berkesempatan mengetahui pengantarnya
tidak diijinkan adanya orang lain, telpon, buku, majalah, koran, radio
partisipan diperkenankan meninggalkan rumah tersebut kapanpun dia
menginginkan
hasilnya, ternyata ketahanan partisipan untuk tinggal dalam situasi
tersebut berbeda-beda : ada yang hanya bertahan selama 20 menit,
dan ada yang dapat bertahan hingga 8 hari
Dengan demikian tampak bahwa reaksi orang dapat berbeda-beda dalam
menghadapi situasi terisolir. Peter Suedfelt (1982) mencatat bahwa orang
yang mencari kesendirian, dalam situasi isolasi akan menemukan kesegaran,
stimulasi, atau kondusif untuk pengalaman religius. Namun bagi orang-orang
lain, situasi tersebut sangat mengganggu.
Kesepian
Kesendirian tidak sama dengan kesepian :
Kesendirian (aloneness), merupakan kondisi objektif, dapat diamati
Kesepian (loneliness), merupakan pengalaman subjektif, tergantung
interpretasi kita terhadap berbagai situasi
3 elemen kesepian :
merupakan pengalaman subjektif
secara umum merupakan hasil dari perasaan kekurangan dalam
interaksi sosial
dirasa tidak menyenangkan
Perasaan-perasaan pada orang yang kesepian :
Berdasarkan survei, Carin Rubenstein dan Phillip Shaver (1982) menemukan
bahwa terdapat empat faktor umum perasaan yang muncul ketika orang berada
dalam kesepian :
putus asa, panik dan lemah
depresi
bosan, tidak sabar
mengutuk diri sendiri
Tipe-tipe kesepian :
Menurut Robert Weiss (1973), terdapat dua tipe :
Emotional Loneliness : kesepian yang disebabkan kurang dekat-
intim-lekat dalam hubungan dengan seseorang. Misalnya, kesepian

7 Klara Innata Arishanti, 2006


yang dialami oleh oleh mereka yang menduda/janda atau bercerai
dengan pasangannya.
Social Loneliness : merupakan hasil dari ketiadaan teman dan famili
atau jaringan sosial tempat berbagi minat dan aktivitas.
Shaver dkk (1985) menegaskan perlunya membedakan kesepian dalam dua tipe
yang lain :
Trait Loneliness : merupakan pola perasaan kesepian yang stabil,
yang hanya sedikit berubah tergantung situasi. Pada umumnya orang
yang memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah lebih sering
mengalami trait loneliness (Jones, Freemon, & Goswick, 1981; Peplau,
Miceli, & Morasch, 1982).
State Loneliness : merupakan kesepian yang lebih temporer yang
seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dalam
kehidupan. Misalnya, seseorang yang baru saja pindah lokasi tempat
tinggal, menjadi murid baru, dsb. Kesepian ini akan hilang bila telah
ditemukan jaringan sosial yang baru (Shaver, Furman, & Buhrmeister,
1985).
Sebab-sebab kesepian :
Mengenai penyebab kesepian, tidak dapat diketahui dengan pasti karena untuk
mengetahuinya diperlukan penelitian eksperimental yang tidak etis yang
mencakup kondisi yang dirancang untuk membuat orang menjadi kesepian.
Namun demikian, hasil penelitian korelasional menemukan bahwa :
Orang yang kesepian cenderung miskin dalam ketrampilan sosial
(Horowitz & French, 1979) dan oleh orang lain dirasa relatif kurang
trampil dalam berbagai bidang sosial (Sloan & Sloano, 1984).
Orang yang kesepian juga cenderung lebih cemas akan ketrampilan
sosialnya (Sloano & Koester, 1989).
Terdapat dua faktor umum yang berhubungan dengan penyebab kesepian
tersebut di atas, yaitu harga diri yang rendah dantidak adanya kehendak untuk
menggunakan sumber-sumber dukungan sosial (Vaux, 1988).
Reaksi terhadap rasa kesepian :
Reaksi terhadap kesepian sangat bervariasi, dapat berupa reaksi pasif atau aktif
(Rubenstein & Shaver, 1982).
Reaksi pasif : menangis, tidur, makan, minum, menggunakan obat
penenang, terus menerus menonton TV.
Reaksi aktif : melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas seperti
menyalurkan hoby, belajar, berolah raga, ke bioskop, shopping sambil
bersenang-senang, mengusahakan kontak sosial, menelpon, atau
mengunjungi orang lain.
Perbedaan antara pria dan wanita :
Frekuensi kesepian antara pria dan wanita nampaknya sama, namun wanita
lebih mungkin mengakui dirinya kesepian daripada pria. Pria lebih banyak
mengingkari kesepian yang dialaminya. Salah satu alasan untuk hal tersebut
adalah bahwa pria yang kesepian kurang dapat diterima dan lebih sering ditolak
secara sosial (Borys & Perlman, 1985). Menurut stereotip jenis kelamin, pria

8 Klara Innata Arishanti, 2006


dianggap kurang pantas mengekspresikan emosinya, dan pria yang menyatakan
dirinya kesepian berarti menyimpang dari harapan tersebut.
Mengatasi kesepian :
Hal ini tergantung bagaimana atribusi masing-masing orang mengenai
kesepiannya tersebut. Mereka yang menyalahkan kekurangan dirinya sebagai
penyebab kesepian yang dialaminya, cenderung tetap tidak bahagia. Sedangkan
orang yang melihat kesepiannya bersifat temporer, cenderung lebih berbahagia
dan lebih berusaha melakukan tindakan korektif. Salah satu tindakan terbaik
untuk mengatasi kesepian adalah dengan membangun relasi yang bermakna
dengan teman-teman (Cutrona, 1982).
Alasan-alasan Untuk Berafiliasi
Kontak dengan orang lain seringkali merupakan pencegah kesepian. Tetapi
apakah menghindari kesepian merupakan alasan bagi kita untuk berafiliasi ?
Apa yang kita peroleh dari interaksi sosial ? Pada studi awal mengenai afiliasi,
Stanley Schachter (1959) mengajukan empat kemungkinan jawaban untuk
pertanyaan tersebut di atas, yaitu :
Berada di sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan.
Kehadiran orang lain dapat mengalihkan perhatian terhadap diri sendiri
sehingga secara tidak langsung mengurangi kesepian.
Reaksi orang lain dapat memberikan informasi tentang situasi,
sehingga memberikan kejelasan terhadap pikiran-pikiran (kognisi) kita.
Orang lain merupakan pembanding : kita dapat mengevaluasi diri kita
sendiri berdasarkan perilaku orang lain.
Hasil eksperimen Schachter :
Berdasarkan serangkaian eksperimen yang dilakukannya, Schachter
menemukan dukungan yang kuat untuk dugaan pertama, yaitu bahwa berada di
sekitar orang lain secara langsung mengurangi kecemasan. Dugaan-dugaan
yang lain tidak didukung oleh hasil eksperimen.
Afiliasi dapat menurunkan kecemasan karena beberapa alasan :
Kita seringkali mencari bantuan orang lain ketika menghadapi situasi
yang mengancam.
Informasi yang kita peroleh dari orang lain memungkinkan kita
memperoleh kejelasan mengenai situasi yang menimbulkan
kecemasan.
Dukungan emosional dari orang-orang lain memungkinkan kita
menguji respon-respon kita terhadap situasi yang menimbulkan stress.
Namun demikian tentu saja alasan orang untuk berafiliasi bukan hanya untuk
mengurangi stress dan kecemasan. Orang berafiliasi dengan orang lain
kemungkinan karena menyukai orang lain tersebut, karena ingin berbagi minat
(interes), untuk memperoleh dukungan dan mengembangkan identitas diri, dan
sebagainya.

9 Klara Innata Arishanti, 2006


Pola-pola Afiliasi Dan Jaringan Sosial
Untuk memahami pola afiliasi, dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian berikut ini :
Bibb Latane dan Liane Bidwell (1977), berdasarkan observasi terhadap
mahasiswa di berbagai kampus di Ohio State dan Universitas North Carolina,
menemukan bahwa sekitar 60% dari subjek yang diamati, terlihat bahwa masing-
masing bersama orang lain, paling sedikit dengan satu orang yang lain. Yang
menarik, wanita lebih banyak ditemukan bersama-sama dengan orang lain. Hal
ini merupakan indikasi bahwa paling tidak di tempat umum, wanita lebih banyak
berafiliasi daripada pria.
Ladd Wheeler dan John Nezlek (1977) yang meneliti pola afiliasi pada
mahasiswa baru menemukan bahwa :
Pada umumnya (56%) afiliasi berkembang antar jenis kelamin yang
sama.
Pada semester pertama, mahasiswa perempuan lebih banyak
meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan teman daripada
mahasiswa laki-laki. Namun pada semester berikutnya, perbedaan ini
sudah tidak nampak. Mengenai hal ini Wheeler & Nazek
menyimpulkan bahwa mahasiswa perempuan mencari interaksi sosial
sebagai cara untuk mengatasi stress pertama memasuki universitas.
Pola afiliasi berhubungan dengan jaringan sosial (social network). Jaringan
sosial, yaitu dengan siapa seseorang menjalin kontak yang nyata (Berscheid,
1985). Berikut ini beberapa informasi mengenai jaringan sosial.
Orang yang berpindah lokasi tempat tinggal, mengalami perubahan
jaringan sosial.
Pada mahasiswa, terdapat perbedaan jaringan sosial antara
mahasiswa laki-laki dan perempuan. Misalnya, pada laki-laki, lebih
banyak berteman dengan lawan jenis. Pada mahasiswa perempuan,
interaksinya lebih sering, dan lebih banyak bertukar informasi dan
dukungan emosional dengan teman. Namun demikian antara
mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam
berinteraksi dengan keluarga.
Penelitian dengan subjek bukan mahasiswa juga menemukan bahwa
wanita, dibanding dengan pria, memiliki kontak yang lebih sering dan
lebih erat dengan teman-teman. Mengenai perbedaan jaringan sosial
antara laki-laki dan perempuan ini, Ladd Wheeler, Harry Reis, dan
John Nezlek (1983) memberikan alasan bahwa wanita lebih
disosialisasikan untuk mengekspresikan emosinya daripada pria.

B. DAYA TARIK (ATTRACTION)


Dasar-dasar Ketertarikan Pertama
Berdasarkan penelitian-penelitian yang melibatkan orang asing (orang yang
sebelumnya tidak dikenal oleh subjek penelitian), dapat disimpulkan bahwa kita
menyukai seseorang jika orang tersebut :

10 Klara Innata Arishanti, 2006


Berdekatan dengan kita secara geografis.
Memiliki kesamaan kepercayaan, nilai-nilai, dan ciri-ciri kepribadian.
Memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita.
Menyenangkan atau dapat kita setujui (sikap, pandangan, dan
perilakunya).
Menarik secara fisik.
Membalas kesukaan kita (kita cenderung tertarik terhadap orang yang
menyukai kita ---- sesuai dengan Balance Theory dari Heider, 1946).
Model-model Teoritik Daya Tarik
Terdapat tiga model yang dipertimbangkan di sini, yaitu :
1. Teori penguat / teori afek (reinforcement/ affect theory)
Teori ini menjelaskan daya tarik interpersonal dengan bersandar pada
konsep reinforcement, yakni kita menyukai orang lain yang memberikan
reward (hal-hal yang menyenangkan) kepada kita dan kita tidak menyukai
orang yang memberikan punishment (hal-hal yang tidak menyenangkan)
kepada kita.
Asumsi yang digunakan model ini : Sebagian besar stimuli dapat
diklasifikasikan sebagai reward atau punishment , dan bahwa stimuli yang
menimbulkan reward menimbulkan perasaan (affect) positif , dedangkan
stimuli yang menimbulkan punishment menimbulkan perasaan (affect)
negatif.
Evaluasi-evaluasi kita terhadap orang lain atau objek-objek adalah
berdasarkan seberapa tingkat perasaan negatif atau positif yang kita alami.
2. Teori pertukaran sosial (social exchange theory)
Pada prinsipnya teori ini tidak menolak asumsi bahwa reinforcement
meruoakan dasar yang penting bagi daya tarik interpersonal, namun teori ini
tidak sesederhana teori reinforcement. Social exchange theory secara khusus
menghubungkan relasi antar dua orang dengan pengeluaran/ kerugian
(costs) dan perolehan/ keuntungan yang didapat oleh masing-masing.
Margaret Clark dan Judson Mills (1979, 1982) menjelaskan bahwa costs
dan benefits dapat didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung jenis
hubungannya:
Dalam relasi antara dua orang yang masih asing, kenalan, rekanan
bisnis, relasi berlangsung berdasarkan pertukaran (exchange)
perolehan yang kaku/ketat. Berlaku aturan : apa yang diberikan dan
apa yang diterima oleh seseorang di dalam hubungan tersebut
haruslah seimbang.
Dalam relasi yang erat, seperti hubungan dengan anggota keluarga
dan teman dekat, orang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan
pihak lain dan kurang mempedulikan keseimbangan antara modal
(input) dan perolehan (outcomes).
3. Teori saling ketergantungan (interdependence theory)
Teori dari John Thibaut dan Harold Kelley (1978, 1959) ini memiliki
kesamaan dengan teori pertukaran sosial, yakni keduanya mengkonsepkan
interaksi antara costs dan benefits. Kekhususan teori ini adalah :

11 Klara Innata Arishanti, 2006


Interdependence theory menjelaskan interaksi perilaku antara dua
orang secara lebih rinci, khususnya dalam hal matriks perolehan
(outcome matrix).
Di dalamnya terdapat konsep comparison level (standard
perbandingan), yaitu standard/ukuran/patokan yang digunakan untuk
mengevaluasi orang lain. Menurut teori ini orang membandingkan
antara apa yang dicapai/diperoleh dalam relasi dengan apa yang
menjadi harapannya. Comparison level diperoleh berdasarkan
pengalaman masa lampau. Relasi yang sekarang dianggap
memuaskan hanya jika apa yang dicapai/diperoleh tingkatannya
melebihi comparison level.
Catatan :
Comparison level ini dapat berubah-ubah sepanjang waktu. Misalnya,
setelah lebih tua kita memiliki tuntutan yang lebih banyak dari suatu
relasi bila dibanding waktu kita muda.
Comparison level juga dapat berubah tergantung situasi. Misalnya,
perhitungan kita mengenai nilai perolehan (reward dikurangi costs)
dapat sangat berbeda dalam hubungan kita dengan seorang dokter
gigi dibanding dalam hubungan kita dengan seseorasng yang
mencintai kita.
C. PENGEMBANGAN HUBUNGAN
Pada bagian ini kita akan membahas dua tipe hubungan yang berkembang,
yakni persahabatan dan cinta.
Persahabatan
Kita mempunyai harapan-harapan tertentu dari sahabat kita. Di sisi lain, terdapat
hal-hal yang tidak kita harapkan dari seorang kenalan. Pada suatu saat kita
merasakan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan persahabatan sehingga
menyebabkan berakhirnya persahabatan. Dari hal-hal tersebut dapat kita
simpulkan bahwa persahabatan diatur oleh serangkaian aturan informal yang
dihargai dan dipelihara. Michael Argyle dan Monika Henderson ( 1984)
menyebutkan adanya empat kriteria berlakunya peraturan dalam hal
persahabatan :
Pada umumnya orang setuju bahwa di dalam suatu persahabatan,
perilaku perlu dibatasi/diatur oleh suatu aturan.
Untuk teman-teman lama dan teman-teman baru, peraturan tersebut
diterapkan secara berbeda.
Kegagalan untuk setia terhadap peraturan seringkali menjadi alasan
berakhirnya sebuah persahabatan.
Terdapat peraturan yang membedakan perilaku antara teman dekat
dengan teman yang tidak terlalu dekat.
Berdasarkan interview dengan mahasiswa-mahasiswa dari Inggris, Italia,
Jepang, dan Hong Kong, selanjutnya Argyle dan Henderson mengidentifikasi
aturan-aturan yang dianggap penting dalam persahabatan :
Berbagi berita kesuksesan dengansahabat.
Memberikan dukungan emosional.

12 Klara Innata Arishanti, 2006


Membantu dengan suka rela ketika dibutuhkan.
Mengusahakan kebahagian sahabat di dalam lingkungannya masing-
masing.
Saling percaya dan menceritakan rahasia satu sama lain.
Tetap bersikap/bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut
ada maupun tidak ada.
Saling membayar hutang dan kebaikan-kebaikan.
Bersikap/bertindak toleran terhadap sahabat.
Tidak mengomel terhadap sahabat.
Catatan :
Aturan ke 7 s/d 9 tidak dapat membedakan antara teman dekat dengan teman
yang kurang dekat.
Hays (1985) dalam penelitiannya terhadap mahasiswa baru membuktikan bahwa
pasangan yang hubungannnya berkembang menjadi sahabat, tindakan-
tindakannya agak berbeda dengan pasangan yang hubungannya tidak
berkembang menjadi sahabat. Pada hubungan yang tidak berkembang menjadi
persahabatan, tampak bahwa kontak mereka semakin berkurang. Sebaliknya,
pada hubungan yang berkembang menjadi persahabatan ditandai pertama-tama
oleh kesibukan aktivitas bersama, lalu aktivitas itu berkurang secara bertahap
karena peningkatan aktivitas lain sebagai mahasiswa tahun pertama. Namun
demikian penurunan jumlah interaksi ini dibarengi dengan peningkatan keintiman
atau kualitas interaksi.
Analisis persahabatan pada jenis kelamin yang berbeda :
Persahabatan pada laki-laki lebih mungkin berkembang dari aktivitas
bersama ; sedangkan persahabatan pada perempuan lebih tergantung
pada komunikasi verbal dan keterbukaan diri ( Hays, 1985).
Derlega, Lewis, Harrison, Winstead, & Costanza (1989) menemukan
bahwa pada persahabatan yang menggunakan sentuhan (misalnya
pelukan atau ciuman, ketika menyambut kehadiran seorang sahabat yang
tiba dari perjalanan, di airport) :
Pada persahabatan antar laki-laki, tingkat keintiman sentuhan mereka
paling rendah di antara pasangan-pasangan sahabat yang lain.
Dalam studi mengenai persepsi terhadap sentuhan, dapat disimpulkan
bahwa laki-laki lebih sering merasakan sentuhan sebagai awal
seksualitas; dan sentuhan laki-laki lebih sering diinterpretasikan secara
seksual dari pada sentuhan perempuan.
Pola-pola persahabatan yang lain :
McAdams, Healy, & Krause (1994) menemukan :
Individu yang memiliki kebutuhan keintiman (need for intimacy) yang lebih
kuat, lebih mungkin untuk mengembangkan persahabatan, dan lebih
mungkin untuk membuka diri terhadap sahabat-sahabatnya.
Individu-individu yang termotivasi oleh kebutuhan untuk berkuasa dan
dominasi (need for power and dominance), lebih mencari kelompok yang
besar untuk beraktivitas/berafiliasi, bukan mencari persahabatan dengan
dengan perorangan.

13 Klara Innata Arishanti, 2006


D. KONSEPSI-KONSEPSI TENTANG CINTA & PENGUKURAN CINTA
Hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan
persahabatan. Cinta romantik berkembang lebih cepat daripada persahabatan.
Cinta romantik nampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih
dapat berakibat negatif, misalnya frustrasi (Berscheid, 1985).
Merawat, merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan
percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat
pasangan daripada minat-minat diri sendiri. Sedangkan kepedulian terhadap
kebutuhan-kebutuhan diri sendiri nampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan
sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius (Steck, Levitane, &
Kelley, 1982).
Seorang psikolog sosial, Zick Rubin (1970, 1973) telah mengembangkan dua
kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi kesukaan dan kecintaan.
Menurut Rubin :
Kesukaan, pertama-tama lebih didasarkan pada afeksi dan respek. Item-
item skala ini dikaitkan dengan kesepakatan tentang kualitas positif
seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman
tersebut.
Kecintaan, bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap
kesejahteraan pihak lain. Item untuk skala ini dihubungkan dengan
kesedihan karena tidak adanya seseorang yang dicintai, pemaafan
terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri.
Beberapa penemuan mengusulkan bahwa cinta bukan merupakan konsep yang
berdimensi tunggal. Misalnya, terdapat dua tipe cinta : passionate (romantik)
dan companionate (Hatfield, 1988; Peele, 1988; Walster & Walster, 1978).
Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar
biasa gembira jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.
Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang
didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang
memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan
jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta
romantik.
John Alan Lee (1973) menunjukkan bahwa cinta itu bervariasi. Terdapat enam
tipe gaya mencinta : cinta romantik, cinta permainan (game-playing love),
cinta persahabatan, cinta yang menguasai (possesive love), cinta yang
logis, dan cinta diri.
Robert Sternberg (1986) mencirikan cinta sebagai segi tiga yang terdiri dari tiga
komponen : keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.
Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap
orang lain.
Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam
hubungan
Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek : Pada tahap awal
hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan

14 Klara Innata Arishanti, 2006


seseoang; Pada tahap lanjut, menunjuk pada tingkat komitmen seseorang
untuk terus mencintai orang tersebut.
Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan
kekuatan dari tiga komponen tersebut diatas. Sebagai contoh :
Tipe suka (liking), mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit
gairah/nafsu dan komitmen.
Tipe infatuation, gairah/nafsunya paling kuat.
Tipe empty love, komitmen yang paling kuat.
Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu,
dan keputusan/komitmen.
Tipe romantic love, mencakup keintiman dan nafsu yang kuat, namun
lemah dalam hal keputusan/komitmen.

Decision/commitment

Empty
love

Consumate
love

Infatuation Liking

Passion Intimacy

Tahap-tahap Perkembangan Cinta


Tahap pertama, dapat disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini dua
orang mulai mengenal satu sama lain. Terbentuk kesan pertama, dan
selanjutnya terjadi interaksi. Banyak hubungan yang tidak pernah
berlanjut melebihi tahap ini, misalnya hubungan dengan dokter gigi yang
merawat gigi kita,sopir bis langganan, seseorang yang pernah kita jumpai
dalam pesta di rumah tetangga.
Tahap kedua, pembentukan hubungan yang nyata. Pada tahap ini terjadi
peningkatan saling ketergantungan. Terjadi peningkatan interaksi dan
kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi
untuk hubungan tersebut; mengkoordinasikan aktivitas satu sama lain;
dan mengantisipasi interaksi-interaksi yang menyenangkan di masa yang
akan datang.
Tahap ketiga, adalah tahap mempererat hubungan. Kemajuan dalam
tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya.
Misalnya, pasangan yang bercinta, seringkali mengidealkan

15 Klara Innata Arishanti, 2006


pasangannya, namun seringkali menemukan karakteristik-karakteristik
yang tidak ideal pada pasangannya.
Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat
pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan Cemburu selalu lahir
bersamaan dengan lahirnya cinta. White (1981) serta White & Mullen
(1989) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor umum yang ada pada
reaksi cemburu : kebutuhan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dan
perasaan kurang/ tidak cakap (inadequacy). Pada laki-laki dan perempuan
terdapat perbedaan :
Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga
diri (self-esteem), khususnya bahwa respek terhadap pasangan
merupakan sumber harga diri, dan bahwa hal ini tergantung sejauh
mana dia mendukung keyakinan-keyakinan akan peran gender
tradisional. Dengan kata lain, kecemburuan pada laki-laki
tampaknya lebih berhubungan erat dengan status.
Pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan
ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.
Meskipun kecemburuan dapat menjadi ancaman dalam perkembangan
hubungan, namun hal ini tidak selalu dialami.
Tahap ke empat, merupakan tahap perkembangan komitmen yang nyata.
Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku. Salah
satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan
(trust). Dalam hal ini kita dapat mempertimbangkan tiga macam
kepercayaan terhadap pasangan :
Kepercayaan yang mencakup predictability, yaitu kemampuan untuk
meramalkan apa yang akan dilakukan oleh pasangannya.
Kepercayaan yang berimplikasi dependability, yaitu mengembangkan
asumsi tertentu tentang karakteristik dan kecenderungan-
kecenderungan internal dari pasangannya. (Predictability maupun
dependability diperoleh berdasarkan pengalaman dan fakta yang telah
lewat).
Kepercayaan yang berimplikasi faith. Pada tahap ini orang
memandang kedepan, yakin bahwa outcome (hasil) tertentu akan
dicapai.
Dalam hubungan yang erat, cinta dan kebahagiaan terkait erat dengan tiga
elemen kepercayaan ini.
Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada
tahap ke empat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta. Namun
demikian pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai
suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan
selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya
komitmen tersebut.
Berdasarkan penelitian Marc Blais (Blais, Sabourin, Boucher, & Valeran,
1990) terhadap subjek yang rata-rata umurnya 38.1 tahun dan telah
berpasangan rata-rata selama 12.6 tahun, ditemukan bahwa individu yang

16 Klara Innata Arishanti, 2006


berpasangan dalam jangka panjang yang motivasi komitmennya bersifat
internal (benar-benar karena pilihannya; bukan karena menghasilkan reward,
menghindari punishment, atau menghindari rasa bersalah), merasakan
perilaku-perilaku mereka yang berorientasi pada hubungan sebagai hal yang
menyenangkan (positif). Persepsi semacam ini berhubungan langsung
dengan kebahagiaan mereka dalam berelasi.
Lebih lanjut, Blais dkk menemukan bahwa motivasi-motivasi dari pihak
perempuan (bukan dari pihak laki-laki), mempengaruhi persepsi
pasangannya (secara nyata memang kita dapat melihat bahwa dalam suatu
hubungan, persepsi masing-masing pihak akan mempengaruhi persepsi
pihak lain). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang
lebih besar dalam mengembangkan dan mengelola hubungan dari pada laki-
laki.

PUTUS CINTA
Perpisahan
Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976)
mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek
sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa
penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan
masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah,
dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.
Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat
dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti
bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun
kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970)
mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan
bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk
memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala
rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek
perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala
cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor
skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut
dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas,
karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam
mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan
merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah
pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup
bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan
datang.
Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu
pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi
berhasilnya suatu hubungan. Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan
daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya
langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah. Kesamaan dalam
agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan

17 Klara Innata Arishanti, 2006


ukuran keluarga (banyaknya anak), ternyata tidak dapat digunakan untuk
meramalkan keberhasilan hubungan jangka panjang.
Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan
keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada
laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan
sebagai suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain
melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada
pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan
berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam
hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan
dengan pasangannya.
Ketidakseimbangan (Inequity) dan Ketidakpermanenan (Impermanence)
Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory), di
dalam suatu hubungan orang tidak hanya mempertimbangkan costs dan
rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain.
Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa
dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan
dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input
dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan
dan costs yang dialami oleh dua belah pihak. Menurut penemuan Davidson
(1984) serta Traupmann, Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang
masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk
sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan
sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut.
Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)
Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng.
Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ? Beberapa faktor
kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan
perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu
muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai. Dari sisi kepribadian,
misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu
tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.

18 Klara Innata Arishanti, 2006


AGRESI DAN KEKERASAN

Selama 5.600 manusia telah merekam sejarahnya: lebih dari 16.600


peperangan telah terjadi, rata-rata 3 peperangan terjadi setiap tahun
(Montagu, 1996). Tempat seperti pulau Fakland dan Teluk Persi di negara Qatar
dan Kuwait menjadi dikenal banyak orang hanya karena perang. Sejak awal
abad 20-an, lebih dari 900.000 rakyat sipil Amerika meninggal akibat tindak
kriminal. Setiap harinya orang membaca surat kabar tentang orang tua yang
menganiaya anaknya, suami-istri berdebat dengan kekerasan fisik, dan orang
diserang dan dibunuh dengan penyebab yang sering kurang masuk akal.
Dari fakta-fakta di atas orang dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa
kekerasan dan tindakan agresif merupakan aspek integral dalam masyarakat.
Para ilmuwan perilaku pun berasumsi bahwa agresi merupakan hasil alami dari
insting membunuh (killer instict) dalam sifat manusia. Sementara yang lain
meyakini bahwa agresi dapat dijelaskan secara lengkap sebagai perilaku belajar
social yang dapat diprediksikan dan potensial untuk dikendalikan.

AGRESI DAN SIFAT MANUSIA


Walaupun agresi merupakan istilah yang sering digunakan sehari-hari, namun
para ilmuwan sosial memerlukan beberapa penjelasan yang lebih spesifik
mengenai agresi. Hal ini mengingat bahwa terdapat kekaburan mengenai apa
artinya menjadi agresif.

Definisi Agresi
Terdapat sejumlah definisi agresi yang telah diusulkan; definisi-definisi tersebut
sering kali merupakan refleksi asumsi teoritik dari penganjurnya.
Teori Psikoanalisa (dikembangkan oleh Freud), mendefinisikan agresi
sebagai dorongan biologis yang mendasar, yang harus diekspresikan.
Perspektif Ethologi (studi perilaku binatang dalam seting alami), Konrad
Lorenz menggambarkan agresi sebagai instink berkelahi yang diarahkan
terhadap anggota spesies yang sama
Para Behavioris, sebaliknya mendefinisikan agresi dalam konteks
perilaku yang nampak; bukan sebagai dorongan dari dalam diri (inner
drive) atau motivasi.
Berdasarkan tinjauan aspek internal dan aspek yang nampak tersebut, definisi
perilaku agresi yang paling banyak diterima oleh para psikolog sosial adalah:
Agresi merupakan berbagai berilaku yang diarahkan untuk membahayakan
makhluk hidup lain.

Definisi tersebut mencakup beberapa deskripsi penting:


1. Membatasi agresi sebagai perilaku yang disertai niat (intensi) menyakiti
atau membahayakan kurban. Dengan batasan ini maka bila tanpa sengaja
pada waktu mengendarai mobil kita menabrak seseorang, itu tidak dapat

19 Klara Innata Arishanti, 2006


dikatakan sebagai agresi. Demikian pula tindakan dokter atau perawat
yang menginjeksi kita untuk pengobatan, tidak dapat dikatakan agresi.
2. Dalam percakapan sehari-hari orang sering mengatakan manajer agresif
atau penjual yang agresif. Secara umum gambaran seperti itu menunjuk
pada seseorang yang kompetitif, energik, dan asertif. Perilaku ini tidak
sesuai dengan definisi aresi, kecuali bila manajer atau penjual tersebut
menyakiti orang lain untuk mencapai keberhasilannya.
3. Definisi agresi tidak hanya mencakup agresi yang membahayakan fisik,
Menghina atau mencaci secara verbal juga termasuk agresi. Demikian
pula menolak untuk memberikan sesuatu yang menjadi kebutuhan orang
lain, dapat dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku agresi. Menendang
dinding tidak termasuk agresi, namun memukul anjing merupakan perilaku
agresi.

Penjelasan Biologis Terhadap Agresi


1. Freud (1930) menulis: Kecenderungan berperilaku agresi merupakan
innate (bawaan lahir), independen (tidak tergantung pada faktor lain, dan
bersifat instinctual. Menurut tradisi psikoanalisa, energi agresi secara
konstan (ajeg) dihasilkan oleh proses tubuh kita. Dengan demikian agresi
didefinisikan sebagai dorongan dasar yang harus diekspresikan.
Pelepasan agresi dapat diekspresikan secara langsung atau tidak
langsung. Pelepasan secara tidak langsung, yang lebih dapat diterima
secara sosial, misalnya dengan debat yang seru atau aktivitas atletik.
Yang tidak dapat diterima secara social, seperti menghina/mencela atau
berkelahi. Pelepasan dorongan agresi yang destruktif tidak selalu
diarahkan terhadap orang lain, melainkan dapat juga terhadap diri sendiri,
yaitu bunuh diri. Bagaimanapun agresi itu dilepaskan, dan agresi
dipertimbangkan sebagai bawaan lahir, Freud yakin bahwa masyarakat
berfungsi mengendalikan agresi.

2. Ethologi (suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink
dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami), sering
berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies
merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973).
Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari
berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari
akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus
eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962). Releaser dapat berupa
ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan.
Agresi, menurut Lorenz (1966) berfungsi untuk melindungi spesies;
dengan demikian agresi bernilai sebagai survival. Lorenz yakin bahwa
organisme lebih agresif terhadap spesiesnya sendiri daripada terhadap
spesies lain.

20 Klara Innata Arishanti, 2006


3. Sociobiology (E.O. Wilson: studi sistematis mengenai dasar biologis
semua perilaku social), yang merupakan perluasan dari teori evolusi
Darwin, berpandangan bahwa agresi merupakan perilaku adaptif.
Keuntungan biologis dari perilaku agresi yaitu mencakup kemampuan
untuk mendapatkan sumber daya lebih besar, mempertahankan sumber
daya yang dimiliki, dan melindungi individu-individu terdekat. Bila berhasil,
agresi individu akan memperkuat posisi kelompoknya dalam
hubungannya dengan kelompok lain.

Penjelasan Sosial Terhadap Agresi


Meskipun perilaku agresi pada binatang yang lebih rendah dapat dijelaskan
berdasarkan proses instink, para ahli ilmu social berpandangan bahwa perilaku
agresi manusia tidak diatur oleh dorongan internal, melainkan dipelajari dari
orang lain. Psikolog J.P. Scott (1958) menyimpulkan bahwa semua hasil riset
menunjukkan bahwa tidak terdapat fakta psikologis yang berupa dorongan
internal atau daya dorong spontan untuk berkelahi; dan bahwa semua stimulasi
agresi berasal dari daya yang tampil dalam lingkungan fisik.
Bila agresi merupakan hasil belajar, bagaimana terjadinya proses belajar
tersebut? Menurut Bandur (1973) melalui dua metode: instrumental learning dan
observational learning.
Instrumental learning. Menurut prinsip ini, perilaku yang diperkuat
(reinforced) atau direspon positif (rewarded) lebih mungkin diulang pada
masa mendatang. Beberapa bentuk reward untuk agresi antara lain:
persetujuan masyarakat, peningkatan status, perolehan uang (untuk
orang dewasa), atau permen (untuk anak-anak). Pada orang yang sangat
terprovokasi, fakta si kurban menderita dapat berarti sebagai bentuk
reinforcement (Baron, 1974; Fesbach, Stiles, & Bitter, 1967).
Observational learning/ social modeling. Menurut banyak penemuan,
ini merupakan cara yang lebih umum dalam menghasilkan perilaku
agresif. Menurut observational learning atau social modeling, kita dapat
mempelajari perilaku baru dengan mengamati tindakan orang lain
(model).
Mereka yang beranggapan bahwa perilaku agresi adalah respon yang
dipelajari, telah mengklaim bahwa masyarakat di mana tidak terdapat
perilaku agresi merupakan manifestasi bahwa belajar memiliki peran
penting terhadap agresi. Misalnya, di Amerika dan Canada, anggota
komunitas yang terisolir seperti suku Amish, Mennonites, dan Hutterites,
berusaha keras untuk mencapai koeksistensi damai. Perilaku agresif pada
masyarakat tersebut tidak mendapatkan reward (Bandura & Walters,
1963).
Gorer (1968) menggambarkan beberapa karakteristik masyarakat yang
memfasilitasi perkembangan dan pengelolaan perilaku non-agresif:

21 Klara Innata Arishanti, 2006


1. Mereka berada di tempat yang kurang dapat diakses, sehingga tidak
ditempati kelompok lain. Bila kelompok lain menginvasi teritori itu, mereka
berpindah ke tempat lain yang lebih sulit dijangkau.
2. Masyarakat itu berorientasi terhadap kenikmatan hidup yang kongkrit,
seperti makan-minum-dan seks, Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut telah memuaskan mereka. Kebutuhan berprestasi atau kekuasaan,
pada anak-anak tidak didukung.
3. Masyarakat tersebut hanya membuat sedikit perbedaan antara pria dan
wanita. Meskipun nampak terdapat perbedaan peran antara pria dan
wanita, namun tidak ada usaha yang dilakukan yang mencerminkan
agresive masculinity (perilaku agresif karena sifat maskulin).

Penjelasan Biologi dan Belajar


Mayoritas masyarakat di dunia menampilkan bentuk agresi (Rohner, 1976).
Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengasumsikan agresi sebagai hasil
dari instink atau proses social. Keberadaan masyarakat non-agresif merupakan
hasil tempaan sifat manusia, dan merupakan sesuatu yang berbeda besar
dengan perilaku-perilaku normal berbagai masyarakat (Eisenberg, 1972).
Menurut faham biologi dan belajar, stimulus yang tidak menyenangkan (aversive
stimuly) yang melibatkan ancaman, menghasilkan arousal (gejolak) fisiologis
yang menyebabkan keseimbangan individual untuk melarikan diri (flee) atau
berkelahi (fight) (Berkowitz & Heimer, 1989). Namun, bagaimanapun kesiapan
instinctual manusia untuk perperilaku agresif, hal itu dapat dipastikan
dimodifikasi oleh pengalaman belajar.

KONDISI-KONDISI YANG MEMPENGARUHI AGRESI


Terdapat berbagai kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan perilaku
agresif. Ada yang berhubungan dengan kondisi motivasional atau afektif, dan
ada pula yang merupakan kondisi di luar individu.

Frustrasi
Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller,
Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan
agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan: terjadinya agresi selalu
mensyaratkan adanya frustrasi (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat
memiliki akibat lain (tidak selalu agresi).
Frustrasi, oleh para teoris dari Yale didefinisikan sebagai kondisi yang
berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian
tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk
melengkapi serangkaian perilaku.
Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang-
kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule &
Percival, 1971). Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi

22 Klara Innata Arishanti, 2006


frustrasi mahasiswa: gagal dalam suatu tugas, kehilangan kesempatan
mendapatkan uang, dan kehilangan kesempatan mencapai grade yang lebih
tinggi. Tiap-tiap tipe frustrasi tersebut menghasilkan tingkat agresi yang hampir
sama. Dibandingkan dengan kelompok kontrol (subjek yang tidak mengalami
frustrasi), tingkat agresi dari subjek yang dirancang mengalami frustrasi (dari
tiga tipe frustrasi) adalah lebih tinggi. Namun tingkat agresi dari tiga tipe frustrasi
itu tidak tinggi sekali.
Dengan hasil eksperimennya tersebut Buss (1967, 1967) menyimpulkan bahwa
frustrasi dan agresi dapat berkaitan hanya bila agresi memiliki nilai instrumental,
yaitu bila perilaku agresif akan membantu mengurangi frustrasi.
Marah, merupakan mediator yang penting dalam keterkaitan frustrasi-agresi
(Krebs & Miller, 1985).
Leonard Berkowitz (1965b, 1969, 1971, 1989) menekankan interaksi antara
kondisi-kondisi dari lingkungan, kognitif internal, dan emosional. Menurut
Berkowitz, reaksi terhadap frustrasi hanya menciptakan kesiapan untuk
bertindak agresi. Lebih lanjut Berkowitz menegaskan bahwa factor penting
yang lain adalah adanya petunjuk agresif dari lingkungan yang memicu perilaku
agresif. Frustrasi menciptakan kesiapan dalam bentuk marah, dan secara nyata
petunjuk stimulus memicu agresi. Lebih lanjut, pemicu itu sendiri dapat
meningkatkan kekuatan respon agresif, khususnya bila respon agresif itu impulsif
(Zillman, Katcher, & Milavsky, 1972).

Efek Senjata
Program riset sistematis yang dilakukan oleh Berkowitz dkk di University of
Wisconsin telah memperkuat anggapan bahwa petunjuk agresif memicu perilaku
agresif.
Dalam salah satu eksperimen Berkowitz (1965), pembantu eksperimenter
(confederate) diperkenalkan sebagai Kirk Anderson (diasumsikan menimbulkan
asosiasi dengan Kirk Douglas, aktor utama dalam film Champion), atau sebagai
Bob Anderson (bukan tokoh agresif). Dalam hal ini petunjuk agresif yang berupa
nilai-nilai confederate nampak mempengaruhi tingkat agresif subjek. Dalam
eksperimen tersebut subjek memberikan sengatan listrik lebih tinggi (berperilaku
agresif) bila:
a. mereka marah,
b. mereka telah menonton film kekerasan,
c. dihadapkan pada orang yang memiliki nama sama dengan petinju dalam
film.
d. sebagai tambahan, subjek yang telah dimarahi selalu lebih agresif
daripada subjek yang tidak dimarahi.
Eksperimen lain dari rangkaian eksperimen Berkowitz (Berkowitz & Lepage,
1967) difokuskan pada petunjuk agresif yang berupa nilai senajata. Dalam
eksperimen ini, beberapa mahasiswa pria diberi sengatan listrik sebanyak satu
atau tujuh kali sengatan oleh mahasiswa lain (Ctt: sebenarnya confederate,
pembantu eksperimenter), dan kemudian diberi kesempatan untuk membalas.

23 Klara Innata Arishanti, 2006


Ketika eksperimen berlangsung, sebuah senapan dan revolver terletak di meja
terdekat. Beberapa subjek yang lain, sebagai kelompok kontrol, tidak mengalami
adanya senjata pada saat berpartisipasi dalam eksperimen. Hasilnya, seperti
yang diduga:
a. mahasiswa yang mendapatkan sengatan listrik lebih banyak oleh
confederate, membalas memberikan sengatan listrik lebih banyak,
b. keberadaan senjata meningkatkan jumlah sengatan listrik, dari rata-rata
4.67 menjadi 6,07.
Efek keberadaan senjata ini memiliki implikasi praktis yang penting. Salah satu
implikasinya adalah bahwa sembarangan meletakkan senjata akan
mendatangkan bahaya. Berkowitz (1968) mengungkapkan: Pestol bukan hanya
mengijinkan kekerasan, namun juga dapat menstimulasi kekerasan. Jari menarik
pelatuk, namun pelatuk dapat juga menarik jari (Guns not only permit violence,
they can stimulate it as well. The finger pulls the trigger, but the trigger may also
be pulling the finger).

Gejolak Umum (General Arousal)


Model frustrasi-agresi menunjukkan bahwa agresi disebabkan oleh jenis emosi
khusus. Model agresi yang lain menunjuk pada kondisi arousal yang umum yang
dapat meningkatkan perilaku agresif.
Menurut teori exitation transfer theory (Zillmann, 1979), gejolak yang
dihasilkan dari suatu situasi dapat ditransfer pada (atau meningkatkan) kondisi
emosi yang lain. Lebih spesifik Zillmann menyatakan bahwa ekspresi marah
atau emosi yang lain, tergantung pada tiga faktor:
a. disposisi atau kebiasaan yang dipelajari individu,
b. sumber energisasi atau arousal,
c. interpretasi individu terhadap kondisi arousal
Dengan demikian bagaimana kita menginterpretasikan suatu peristiwa, itu
penting dalam menentukan apakah kita akan berperilaku secara agresif.

Serangan Verbal dan Fisik


Serangan verbal maupun fisik merupakan provokasi yang lebih kuat terhadap
perilaku agresif, bila dibanding dengan frustrasi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil
eksperimen Geen (1968):
Dalam eksperimennya Geen menciptakan dua situasi frustrasi dalam permainan
puzzle, dan satu situasi lainnya yang memungkinkan para subjek
menyelesaikan/melengkapi puzzle-nya (meniadakan kemungkinan frustrasi).
Kepada para subjek yang telah menyelesaikan tugas melengkapi puzzle,
bagaimanapun juga confederate (pembantu eksperimenter) melakukan
penghinaan terhadap kecerdasan ataupun motivasinya. Akibatnya, agresi para
subjek terhadap confederate dalam kondisi ini lebih kuat daripada subjek-subjek
yang mengalami kondisi frustrasi.
Stuart Taylor dkk (Taylor, 1967; Tailor & Epstein, 1967) juga menguji efek
serangan langsung terhadap agresi. Dalam eksperimen ini diatur sbb: subjek

24 Klara Innata Arishanti, 2006


berinteraksi dengan seorang subjek yang lain dan dimungkinkan untuk saling
memberikan sengatan listrik. Secara umum, eksperimen ini memberikan fakta
nyata bahwa subjek saling berbalasan. Mereka cenderung memberikan
sengatan secara berimbang. Jika salah satu pihak meningkatkan level sengatan,
subjek lain juga meningkatkan intensitasnya.

Anjuran Pihak Ketiga (Third Party Instigation)


Agresi tidak selalu terjadi dalam situasi isolasi. Seringkali ada saksi mata atau
orang-orang lain yang terlibat dalam interaksi. Misalnya dalam pertandingan tinju
bayaran, penonton (audience) dapat memberikan dorongan penuh antusias
kepada petinju favoritnya untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana pengaruh
anjuran pihak ke tiga terhadap frekuensi ataupun intensitas perilaku agresif?
Dalam eksperimen obedience yang dilakukan oleh Milgram (1963, 1965, 1974)
telah dieksplorasi efek anjuran eksperimenter terhadap kehendak individu untuk
memberikan sengatan listrik terhadap orang lain. Dalam eksperimen-eksperimen
Milgram tersebut nampak jelas adanya pengaruh tekanan eksternal (pihak lain)
terhadap subjek yang didorong untuk terus memberikan sengatan listrik,
daripada subjek-subjek yang bertindak sendiri tanpa didorong.
Bagaimana bila pihak lain itu pasif (tidak menganjurkan agresi)? Richard Borden
( 1975) menemukan bahwa pengaruh dari penonton pasif terhadap perilaku
agresif seseorang tergantung pada nilai-nilai yang secara implicit dimiliki oleh
penontonnya. Misalnya, dalam suatu kasus subjek pria berpartisipasi dalam
eksperimen memberi sengatan listrik, ditonton oleh seorang pria atau seorang
wanita. Ternyata subjek yang ditonton oleh pria lebih agresif secara signifikan
(meyakinkan) daripada subjek yang ditonton oleh wanita. Setelah penonton pria
meninggalkan ruang, para subjek mengurangi agresifitasnya; dan agresifitas
mereka tidak terpengaruh oleh kehadiran penonton wanita. Mengapa jenis
kelamin penonton memiliki pengaruh? Mengenai hal ini Borden mengajukan
hipotesis bahwa norma masyarakat kita secara implisit menganjurkan pria
menyetujui agresi atau kekerasan, dan wanita sebaliknya.
Untuk menguji hipotesis tersebut Borden melakukan eksperimen kedua, dimana
penontonnya adalah anggota club karateka (kemungkinan menyetujui agresi)
atau oleh anggota organisasi perdamaian (kemungkinan tidak menyetujui
agresi). Dalam eksperimen ini jenis kelamin penonton bercampur, pria dan
wanita. Hasil eksperimen: subjek yang ditonton oleh anggota club karate lebih
agresif daripada yang ditonton oleh anggota organisasi perdamaian.
Kesimpulan:
Dorongan langsung oleh seorang pengamat atau anggota audience akan
meningkatkan agresi seseorang.
Pengamat yang merefleksikan nilai-nilai agresif dapat menyebabkan
meningkatnya perilaku agresif, seperti halnya efek senjata.

Deindividuasi

25 Klara Innata Arishanti, 2006


Bila orang berada dalam keadaan tidak dapat diidentifikasi (dikenali), mereka
lebih mungkin untuk bertindak anti-sosial (agresi).
Philip Zimbardo (1970) melakukan eksperimen dimana empat orang mahasiswa
diberi tugas memberikan sengatan listrik kepada mahasiswa lainnya. Dua orang
dari mereka diatur berada dalam situasi yang terselubung: tidak pernah saling
memperkenalkan diri dan berada di tempat yang gelap. Dua orang yang lain
ditonjolkan identitasnya: eksperimenter menyambut mereka dengan menyebut
namanya, mereka memakai name-tag (kartu bertuliskan nama sebagai tanda
pengenal), dan mereka saling berinteraksi dengan menyebut nama depan
masing-masing). Seluruh subjek diberi kebebasan memberikan sengatan listrik
satu sama lain, seperti yang mereka kehendaki. Hasilnya, subjek yang berada
dalam kondisi terselubung memberikan sengatan listrik lebih banyak daripada
subjek-subjek yang menggunakan name-tag.
Eksperimen-eksperimen lain yang juga menciptakan situasi anonym seperti di
atas, hasilnya juga menunjukkan bahwa orang cenderung lebih agresif baik
secara verbal maupun fisik bila identitas dirinya terselubung (Cannavale, Scarr,
& Pepitone, 1970; Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952; Mann, Newton, &
Innes, 1982).
Dalam mendiskusikan deindividuasi, yaitu suatu kondisi yang relatif anonym
dimana individu tidak dapat dikenali, Zimbardo (1970) menjelaskan bahwa
deindividuasi meminimalkan kepedulian terhadap evaluasi (penilaian) dan
memperlemah control diri yang normal yang didasari oleh rasa bersalah, malu,
dan ketakutan.
Konsep deindividuasi ini dapat pula diterapkan bagi diri si kurban, bukan hanya
bagi agresor. Misalnya, Milgram (1965) menemukan bahwa orang lebih
berkehendak untuk memberikan sengatan listrik bila mereka tidak melihat si
kurban, dan bila si kurban tidak melihat dirinya. Sedangkan Mann (1981)
menemukan bahwa terdapat beberapa kasus, bila penonton sangat dekat
dengan subjek, maka subjek tidak melakukan serangan.

Obat-obatan
Obat-obatan banyak digunakan oleh masyarakat kita. Terdapat anggapan di
dalam masyarakat bahwa alkohol memfasilitasi agresi, dan sangat umum kartun
ayang menggambarkan tentang pemabuk yang bermusuhan.
Stuart Taylor dkk melakukan serangkaian penelitian dimana berbagai dosis
alcohol atau THC (tetrahidrocannabinol, zat pengaktif utama ramuan marijuana)
diberikan kepada subjek sebelum mereka berpartisipasi dalam eksperimen
agresi. Dalam beberpa siatuasi nampak bahwa efeknya hanya nampak bila bila
seseorang doprovokasi atau diserang (Taylor, Gammon, & Capasso, 1976).
Eksperimen Taylor et al. (1976), dengan alkohol:
Dosis alkohol yang ringan (setara dengan satu cocktail) ternyata
menurunkan agresi bila dibanding dengan kelompok yang tidak
menggunakan alkohol

26 Klara Innata Arishanti, 2006


Dosis alkohol yang lebih besar (setara dengan tiga cocktail) memiliki efek
yang sebaliknya memberikan sengatan listrik yang lebih kuat
Eksperimen Myerscough & Taylor, 1985), dengan THC/marijuana:
Dosis ringan (0.1 mg per kg berat badan) tidak memiliki efek terhadap
perilaku agresif
Dosis yang lebih besar (0.3 mg per kg berat badan) cenderung menekan
perilaku agresif
Dosis yang lebih besar lagi (0.4 mg per kg berat badan) juga tidak
memfasilitasi agresi, melainkan justru mengurangi kehendak individu
untuk membalas serangan aggressor
Eksperimen Taylor (1986) dengan amphetamine: nampak memiliki sedikit
pengaruh terhadap agresi.

Kondisi Lingkungan Fisik


Lingkungan fisik sering mempengaruhi mood. Misalnya, kita mungkin melakukan
protes bila di hari yang panas AC di ruangan tidak bekerja, atau bila kebisingan
di luar ruang terasa mengganggu.
Kebisingan (noise):
Subjek yang diberi gangguan kebisingan yang tinggi dalam eksperimen di
laboratorium, memeberikan sengatan listrik yang lebih tinggi bila disbanding
dengan subjek-subjek lain yang mengalami sedikit kebisingan atau yang sama
sekali tanpa kebisingan (Donnerstein & Wilson, 1976). Namun demikian, pada
umumnya, kebisingan meningkatkan agresi hanya bila individu diprovokasi atau
dibuat marah.
Kualitas Udara:
Udara yang tercemar (asap, rokok) juga dapat memepengaruhi kecenderungan
agresi.
Kualitas udara dapat diukur dengan mengukur kadar ozon, suatu index polusi
udara. Berdasarkan ukuran tsb, James Rotton dan James Frey (1985)
melakukan penelitian berdasarkan arsip, untuk mengetahui hubungan antara
kualitas udara dan tindak criminal. Hasilnya, bila kualitas ozon meningkat, maka
meningkat pula gangguan di dalam keluarga.
Suhu Udara:
Banyak pula orang yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu dan
peristiwa kekerasan. Di Amerika, pada tahun 1960-an mass-media seringkali
menekankan adanya pengaruh musim panas yang berkepanjangan (long hot
summer). Panas, dicatat sebagai penyebab terjadinya kerusuhan. Penyebabnya,
mayoritas gangguan (huru-hara) terjadi pada musim panas (U.S. Riot
Commission, 1968).
Namun demikian, bagaimanapun juga hubungan antara temperatur dan agresi
tidaklah sederhana. Berdasarkan beberapa beberapa hasil penelitian dengan
kawan-kawan, Baron (1977) menjelaskan:

27 Klara Innata Arishanti, 2006


Hubungan antara temperatur dengan agresi dimediatori (ditentukan) oleh
tingginya afek (emosi) negatif atau ketidaknyamanan yang dialami
individu;
Hubungan antara ketidaknyamanan tersebut dengan agresi dapat
digambarkan sebagai kurve linier. Dengan kata lain, dalam level
ketidaknyamanan yang sangat rendah atau sangat tinggi, agresi
diminimalkan. Agresi paling sering terjadi dalam level ketidaknyamanan
yang menengah (sedang).

Peran Marah Terhadap Agresi


Pada bagian ini kita mempertimbangkan bagaimana peran marah dan emosi-
emosi yang berhubungan dalam menyumbang terjadinya agresi. Apakah marah
merupakan bumbu yang diperlukan untuk terjadinya agresi? Bila tidak, apakah
yang memainkan peran dalam perilaku agresif? Untuk menjawab pertanyaan itu
kita bersandar pada model cognitive-neoassociationistic yang dikembangkan
oleh Leonard Berkowitz (1983a; 1983b):

Stimulus Afersif

Afek (emosi) negatif

priming
Dorongan
Marah agresif

(Marah dan dorongan agresif merupakan hasil dari emosi negatif , namun
keduanya juga terhubung di dalam memori)
Menurut model tersebut, yang mendorong agresi secara langsung adalah emosi
negatif, bukan rasa marah. Pengalaman marah dapat menunjang (membuat
lebih mudah diakses) pikiran-pikiran tentang perilaku agresif (Rule, Taylor, &
Doobs, 1987). Efek menunjang tersebut berlangsung dua arah (bi-directional):
berpikir tentang perilaku agresif dapat juga menunjang rasa marah.
Perbedaan Individu Dalam Perilaku Agresif
Agresifitas setiap orang tidaklah sama. Ada orang-orang yang lebih agresif
daripada yang lain. Terdapat fakta bahwa perbedaan individu dalam agresi,
relative bersifat stabil, khususnya pada pria (Huesmann, Lagerspetz, & Eron,
1934; Olweus, 1979,1984b). Anak laki-laki 8 tahun yang di kelas dikenal sebagai
anak yang suka memukul dan mendorong anak-anak lain, lebih besar
kemungkinannya pada usia 30 tahun menjadi pria yang tercatat berbuat criminal,
melecehkan, dan melakukan kekerasan (Eron, 1987).

28 Klara Innata Arishanti, 2006


Alasan stabilitas perilaku agresif tersebut menjadi perdebatan. Beberapa
penemu berargumen bahwa terdapat faktor bawaan yang sangat kuat dalam
kecenderungan agresi, dan menggunakan studi-studi anak kembar untuk
mendukung kesimpulan tersebut (Rushton, Fulker, Neale, Nias, & Eysenck,
1986). Sebaliknya ada yang menemukan fakta bahwa orang tua, teman-teman
sebaya, dan mass-media, memberikan konteks dimana agresi diperkuat atau
diperlemah, yang mendukung kestabilan agresi.
Perbedaan Jenis Kelamin
Mengenai perbedaan jenis kelamin dalam perilaku agresif, juga sering
diperdebatkan atas dasar faktor penentunya, bawaan atau lingkungan.
Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria
lebih agresif, dan bahwa perbedaan tersebut merupakan hasil dari
perbedaan dalam kesiapan biologis untuk berperilaku agresif.
Alice Eagly dan Valerie Steffen (1986) juga menyimpulkan bahwa pria
lebih agresif daripada wanita, namun perbedaan yang nampak dalam riset
psikologi sosial itu kecil dan tidak konsisten. Perbedaan agresi antara pria
dan wanita tersebut lebih besar bila yang diteliti adalah agresi fisik
(perbedaan dalam agresi verbal dan bentuk agresi yang lain lebih kecil).
Di samping itu, ditemukan bahwa terdapat perbedaan keyakinan
mengenai perilaku agresif antara pria dan wanita. Misalnya, wanita lebih
merasa bersalah dan cemas bila berperilaku agresif; lebih peduli terhadap
bahaya yang dialami kurban; dan lebih takut akan bahayanya bagi diri
sendiri. Menurut Eagly & Steffen, keyakinan tersebut mungkin
menentukan sejauh mana kesadaran priadan wanita dalam memilih
perilaku agresif.

Kemampuan Memproses Informasi Sosial


Kenneth Dodge dan Nicki Patrick (1990), setelah mereviu literatur agresi pada
anak-anak berpandangan bahwa perbedaan individu dalam perilaku agresi
mungkin ditentukan oleh perbedaan dalam kemampuan memproses informasi
sosial.
Secara khusus Dodge & Patrick menunjuk perbedaan dalam kemampuan
individu: (1) Untuk menginterpretasi petunjuk-petunjuk dari situasi sosial dan
perilaku orang lain; (2) untuk menghasilkan respon-respon yang dimungkinkan
dalam situasi sosial; (3) Untuk menentukan respon yang mana yang dipilih untuk
dilakukan.
Beberapa proses, mencakup pembuatan atribusi (kesimpulan) mengenai
intensi/niat yang mendasari perilaku orang lain. Proses atribusi tersebut
sebagian mengalami bias, seperti fundamental attribution bias (Ross & Flechter,
1985), yaitu kecenderungan untuk menyimpulkan bahwa tindakan orang lain
dilandasi niat yang bersumber dari sifat pribadinya (disposisional). Remaja dan
anak-anak yang agresif, nampak memiliki apa yang oleh Dodge & Crick disebut
hostile attributional bias. Dalam simulasi ataupun situasi aktual, bila dibanding
anak-anak yang tidak agresif, anak-anak yang agresif lebih suka untuk

29 Klara Innata Arishanti, 2006


mengatribusi tindakan-tindakan orang lain itu sebagai tindakan yang dilandasi
niat bermusuhan. Atribusi mereka mengenai niat orang lain pada umumnya juga
kurang akurat dibanding mereka yang tidak agresif (Crick & Dodge, 1989; Dodge
& Coie, 1987; Dodge & Tomlin, 1987; Sancilo, Plumert, & Hartup, 1989).

30 Klara Innata Arishanti, 2006


PERILAKU PROSOSIAL

Perilaku prososial adalah perilaku yang bermanfaat atau memiliki efek positif
bagi orang lain (Staub 1978; Wispe 1972). Istilah prososial berlawanan
dengan istilah anti sosial yang diterapkan untuk perilaku agresif atau kekerasan.
Perilaku-perilaku yang dapat dipandang sebagai prososialadalah: memberikan
pertolongan dalam situasi darurat, beramal (charity), kerja sama, donasi,
membantu, berkorban, dan berbagi. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah
perilaku menolong dalam kondisi darurat, yang lebih memberikan manfaat bagi
orang lain, bukan bagi diri sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkembang istilah altruism. Altruisme
adalah bentuk khusus perilaku menolong yang dilakukan dengan suka rela,
merugikan bagi pelakunya, dan terutama dimotivasi oleh kebutuhan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain, bukan untuk mengharapkan imbalan
(Batson 1987; Walster & Piliavin, 1972). Dengan demikian altruisme merupakan
perilaku prososial yang lebih bersifat selfless (tidak mementingkan diri sendiri)
daripada selfish (egois, mementingkan diri sendiri).
Berikut ini dibahas mengenai beberapa hal yang dapat diterapkan untuk
membangun masyarakat yang lebih prososial.

APAKAH KITA SUNGGUH-SUNGGUH MAMPU BERPERILAKU ALTRUISTIK?


Pertanyaan ini akan dijelaskan dari beberapa sudut pandang.

Altruisme Menurut teori-teori Psikologi Tradisional


a. Teori Psikoanalisa
Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan
selfish (egois) secara instinktif. Dengan demikian beberapa teoris
psikoanalisa memandang altruisme dalam arti sebagai pertahanan diri
terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri, dan hal ini
menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri
sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain.
Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat
kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), namun para teoris psikoanalisa tetap
memandang bahwa pada dasarnya manusia bersifat selfish.
b. Teori-teori Belajar
Khususnya para teoris psikologi belajar yang menekankan reinforcement
seperti B.F. Skinner dll, beranggapan bahwa kita cenderung mengulangi atau
memperkuat perilaku kita yang memiliki konsekuensi positif bagi diri kita.
Mengenai altruisme mereka berpendapat bahwa dibalik perilaku yang
nampaknya altruisme sesungguhnya adalah egoisme atau kepentingan diri
sendiri. Orang dapat merasa lebih baik setelah mereka memberikan
pertolongan, dapat mengharapkan imbalan di akherat, atau dapat
menghindari perasaan bersalah atau malu yang dapat muncul bila mereka

31 Klara Innata Arishanti, 2006


tidak menolong. Pun bila seseorang tidak dapat mengharapkan hadiah,
penghargaan, imbalan uang, dia mungkin dimotivasi oleh penghargaan-
penghargaan yang lebih lunak (Gelfand & Hartmann 1982).

c. Hipotesis Empati-Altruisme
Batson dkk (Batson 1987, 1990; Batson & Olson 1991;Coke, Batson, &
McDavis 1978) berdasarkan penelitian-penelitian yang mereka lakukan
menemukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku menolong dan empati
(seolah-olah mengalami emosi orang lain). Berdasarkan hal tersebut, muncul
pertanyaan, mengapa perasaan empati terhadap orang lain lebih
memungkinkan kita untuk menolongnya? Batson dengan hipotesis empati-
altruisme menyatakan bahwa emosi empatik dapat menghasilkan motivasi
altruistik yang murni, yaitu menolong dengan tujuan terutama untuk
mengurangi penderitaan si korban, bukan untuk memuaskan kebutuhan diri
sendiri.
Untuk membedakan antara menolong yang dimotivasi secara egoistik dengan
yang dimotivasi secara altruistik atas dasar empati, Batson dkk telah
berusaha mengukur dua reaksi emosi yang berbeda terhadap seseorang
yang mengalami kesulitan (distress):
- Empathic concern: fokusnya, simpati terhadap kesulitan orang lain dan
motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut. Dalam skala pengukur
empathic concern, yang dimasukkan sebagai sifat-sifat yang
merefleksikan hal ini adalah: simpati (sympathetic), belas kasihan
(compassionate), gerakan hati (moved), tidak sampai hati (softhearted),
dan sabar (tender).
- Personal distress: kepedulian terhadap rasa ketidaknyamanan diri sendiri
dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala
pengukur personal distress, reaksi-reaksi yang dianggap mencerminkan
hal ini adalah: ketakutan/kegelisahan (alarmed), cemas/khawatir (worried),
terganggu (disturbed), dan terkejut/bingung (upset).

Altruisme: pengaruh faktor biologis atau budaya?


Berikut ini tinjauan mengenai kemungkinan kontribusi dari faktor biologi maupun
budaya.
a. Altruisme dan Genetik
Perbedaan kapasitas untuk berempati dan altruisme pada orang dewasa
nampaknya memiliki dasar genetik (Mathews et.al 1981; Rusthon et.al. 1986).
J.P. Rusthon dkk menemukan bahwa pada orang-orang yang kembar identik
(identical twins), yang memiliki gen-gen yang sama persis dengan saudara
kembarnya, memberikan respon yang sama terhadap kuesioner yang
digunakan untuk mengukur kecenderungan empatik mereka terhadap orang
lain. Bila salah satu dari mereka skor empatinya tinggi, demikian pula dengan
saudara kembarnya. Korelasi dalam pengukuran empati dan altruisme antar
kembar identik, berturut-turut adalah: .54 untuk empati dan .53 untuk
altruisme. Pada saudara kembar yang bukan kembar identik (fraternal twins),

32 Klara Innata Arishanti, 2006


yang rata-rata memiliki kesamaan gen 50%, kurang memiliki kesamaan
(korelasi untuk empati adalah .20 dan untuk altruisme adalah .25.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada orang-orang yang lebih
altruistik daripada orang lain, sebagian karena genetik yang mereka bawa
pada saat konsepsi. Namun demikian, penemuan bahwa pada orang-orang
kembar identik tidak memiliki kecenderungan prososial yang sama persis
(korelasi altruisme .53), menunjukkan bahwa pengalaman unik yang mereka
miliki juga berpengaruh. Dengan demikian jelas bahwa pengalaman belajar
sosial juga menentukan seberapa prososialnya kita.
b. Altruisme dan Budaya
Faham sosiobiologi berpandangan bahwa evolusi kebudayaan mungkin lebih
penting daripada evolusi biologis dalam membentuk perilaku prososial (Boyd
& Richerson 1990; Campbell 1978). Mekanisme dibalik evolusi biologis
adalah faktor genetik, sedangkan mekanisme di balik evolusi kebudayaan
adalah proses belajar. Dengan demikian, meskipun manusia di manapun
secara biologis memiliki predisposisi selfish, namun beberapa masyarakat
dapat berkembang jauh lebih prososial dari pada masyarakat yang lain
melalui praktek-praktek pengasuhan anak oleh orang tua, latihan religius,
pendidikan, dan menggunakan ide-ide dari budaya yang lain (Boyd &
Richerson 1990).
Perilaku prososial didukung sangat kuat di dalam budaya kolektifis
(collectivist culturs), yaitu budaya dimana kebaikan kelompok (misalnya,
keluarga besar) dianggap lebih penting daripada keinginan-keinginan
individual (Triandis, McCusker, & Hui 1990). Di dalam budaya individualis
seperti Amerika Serikat dan Canada, kurang menekankan tanggungjawab
individu terhadap kesejahteraan orang lain, dan lebih menekankan
kebebasan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi individu.
Salah satu cara masyarakat mempengaruhi anggota-angotanya adalah
dengan menegakkan, menyebarkan, dan memperkuat norma-norma yang
disepakati secara sosial sebagai standard perilaku. Dalam masyarakat yang
relatif individualis pun memiliki norma yang mendorong anggotanya
berperilaku prososial dan membuat mereka merasa harus menolong
(Berkowitz & Daniels 1963). Norma-norma masyarakat yang mendukung
perilaku prososial tersebut adalah:
- Norma tanggungjawab sosial, menyatakan bahwa kita harus menolong
orang yang membutuhkan bantuan (Simmons 1991)
- Norma balas budi, menyatakan bahwa kita harus menolong dan tidak
menyakiti orang yang pernah membantu kita (Gouldner 1960).

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENOLONG


Dalam situasi-situasi khusus, kita harus memutuskan untuk menolong atau tidak.
Terdapat beberapa model yang menggambarkan bahwa keputusan tersebut

33 Klara Innata Arishanti, 2006


melalui tahapan-tahapan. Model-model tersebut menekankan proses kognitif dan
juga emosi-emosi sebagai motivator perilaku menolong.
Berikut adalah model arousal / cost-reward dari Jane Piliavin dkk (1981), yang
diterapkan dalam kondisi darurat, dan dapat diperluas untuk kondisi-kondisi yang
bukan darurat. Terdiri dari lima langkah:
a. Menyadari adanya kebutuhan seseorang untuk ditolong.
b. Mengalami arousal
c. Menginterpretasikan pemicu arousal yang dialaminya dan memberinya
nama
d. Memperhitungkan untung/rugi dari beberapa alternatif tindakan
e. Membuat keputusan dan mengambil tindakan tertentu.

SITUASI-SITUASI YANG MEMPENGARUHI PERILAKU PROSOSIAL


Situasi-situasi yang mempengaruhi perilaku prososial sangat bervariasi, dari
situasi yang darurat (emergencies) hingga yang bukan darurat
(nonemergencies), dari situasi yang kabur (ambiguous) hingga yang jelas (clear-
cut). Dengan demikian tingkat gejolak emosi dan faktor-faktor cost-reward yang
dipertimbangkan juga sangat bervariasi antara situasi yang satu dengan situasi
yang lainnya.

1. Orang Yang Berada Dalam Situasi Membutuhkan Bantuan


Untuk memutuskan apakah seseorang memerlukan bantuan, hal yang
dipertimbangkan adalah :
a. Ciri-ciri Kebutuhan :
(1) Kejelasan kebutuhan. Calon penolong lebih mungkin memberikan
pertolongan jika kebutuhan korban cukup jelas, tidak samar-samar.
Contoh : Korban kecelakaan atau bencana alam lebih jelas membutuhkan
bantuan dari pada orang miskin di kota.
(2) Legitimasi (keabsahan) kebutuhan seseorang. Kebutuhan yang
dianggap lebih sah, lebih mungkin untuk diberikan bantuan. Contoh :
Pengemis yang meminta uang untuk membelikan susu anaknya lebih
mungkin dibantu dari pada pengemis yang meminta uang untuk membeli
kue donat.
(3) Penerimaan atas sebab-sebab kebutuhan seseorang. Calon penolong
lebih mungkin memberikan pertolongan jika penyebab kebutuhan yang
diajukan dapat diterima. Contoh : Mahasiswa yang meminjam catatan
kuliah karena tidak dapat mencatat dengan baik lebih mungkin ditolong
dari pada mahasiswa yang malas dan cenderung bersantai-santai di
kelas.

b. Relasi/ hubungannya dengan calon penolong.


- Dalam hubungan antar anggota keluarga dan sahabat terdapat saling
ketergantungan dan kewajiban untuk saling membantu. Dalam kehidupan
sehari-hari kita lebih banyak menolong keluarga dan sahabat dari pada
menolong orang lain.

34 Klara Innata Arishanti, 2006


- Emosi kita lebih terbangkitkan/bergejolak dan lebih termotivasi untuk
menolong jika keluarga atau sahabat kita mengalami kesulitan dari pada jika
orang lain yang mengalami kesulitan.
- Pada umumnya kita juga cenderung memberikan bantuan untuk orang yang
memiliki kesamaan dengan diri kita atau yang memiliki daya tarik.

2. Pengaruh Keberadaan Orang-orang Lain


Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Darley & Latane (1968), serta
studi yang dilakukan oleh Latane & Nida (1981) terhadap 40 penelitian,
disimpulkan bahwa keberadaan orang-orang lain akan menurunkan
kemungkinan seseorang menolong korban situasi darurat (misal, korban
kecelakaan lalu lintas atau perampokan), dan juga menurunkan kemungkinan
korban menerima bantuan.
y Latane & Nida (1981) menyimpulkan bahwa efek keberadaan orang-orang
lain tersebut sangat konsisten/ajeg, dan bahwa perbedaan keinginan
menolong terbesar ditemukan antara saksi tunggal dengan saksi yang lebih
dari satu orang.
y Hasil eksperimen Darley & Latane (1968) :

35 Klara Innata Arishanti, 2006


100
Persentase yang merespon keadaan darurat 85%

62%

50

31%

0

sendirian dua orang
empat orang

Jumlah saksi

Latane dkk berpendapat bahwa terdapat tiga proses sosial yang menjadi
penyebab dari pengaruh keberadaan orang-orang lain tersebut, yaitu :

a. Proses Pengaruh Sosial (social influence process) : Saksi mengamati


orang lain untuk membantu menginterpretasikan dana memutuskan apa
yang akan dilakukan, dan mereka dapat menyimpulkan bahwa korban
tidak terlalu memerlukan bantuan jika orang-orang lain tidak menunjukkan
tanda-tanda untuk bertindak.

b. Hambatan dari saksi-saksi lain (audience inhibition) atau ketakutan


akan penilaian orang lain (evaluation apprehension) : Para saksi
mengkhawatirkan bagaimana orang-orang lain akan menilai perilakunya.
Pikiran bahwa dirinya menghadapi resiko akan menghambat pertolongan.

c. Kekaburan tanggung jawab (diffusion of responsibility) : Bila terdapat


beberapa orang yang berpotensi menolong maka tanggung jawab untuk

36 Klara Innata Arishanti, 2006


bertindak terbagi, sehingga tiap-tiap individu mungkin menjadi kurang
tanggungjawabnya untuk bertindak.

Catatan :
Namun demikian, pengaruh keberadaan orang-orang lain seperti dijelaskan di
atas dapat dihindari. Sebagai contoh, bila peristiwanya jelas-jelas merupakan
situasi darurat dan para saksi memberikan reaksi, dan bila para saksi
bagaimanapun juga merasakan adanya tanggungjawab pribadi untuk bertindak
(karena rasa tanggung jawab itu sendiri ataupun karena keahliannya).

PENGARUH-PENGARUH PRIBADI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL


Pada bagian ini dijelaskan bagaimana karakteristik individu ikut mempengaruhi
perilaku prososialnya.

y Menurut jenis kelamin : Jenis kelamin tertentu lebih memungkinkan untuk


menolong, tergantung bagaimana situasinya (Eagly & Crowley, 1986).
Contoh :
- Laki-laki lebih mungkin menolong dalam situasi darurat yang
membahayakan.
- Perempuan lebih mungkin untuk memberikan bantuan dan dukungan
emosional dalam situasi sehari-hari karena peran gender tradisionalnya
sebagai perawat/pengasuh.

y Tempat tinggal di kota besar atau di kota kecil /daerah pinggiran : Orang
yang tinggal di daerah pinggiran dan kota kecil lebih suka menolong dalam
berbagai situasi daripada orang-orang yang tinggal di kota besar (House &
Wolf, 1978; Steblay,1987).

Hipotesis urban-overload, diusulkan oleh Milgram (1970) :


Orang yang tinggal di kota besar harus selektif dalam menghadapi
stimulasi lingkungan yang lebih tinggi/kompleks atau mereka tidak dapat
berfungsi. Dengan demikian mereka mengabaikan kebutuhan orang lain,
mengancam orang lain secara kasar, dan memilih-milih untuk menolong
orang lain.

y Contoh dari orang tua :


Dari penelitian ditemukan bahwa para altruis (orang yang menolong demi
mengurangi penderitaan korban, bukan demi dirinya sendiri), misalnya
para penolong orang Yahudi yang terancam Nazi yang penuh resiko
selama Perang Dunia II, telah diasuh secara kuat oleh orang tua yang
memiliki standard moral yang tinggi, sungguh-sungguh merawat, dan
mendidik anaknya untuk peduli terhadap kemanusiaan, tidak hanya untuk
kelompoknya sendiri (Fogelman & Wiener, 1985; London, 1970; Oliner &
Oliner, 1988).

37 Klara Innata Arishanti, 2006


y Aspek-aspek yang membedakan orang yang suka menolong dengan
orang yang kurang suka menolong :

- Kepribadian : Orang yang suka menolong (helpful) mengembangkan


perasaan moralitas yang tinggi. Mereka berpikir secara canggih
mengenai isu-isu moral, peduli terhadap prinsip-prinsip keadilan,
berorientasi terhadap kebutuhan orang lain, dan telah
menginternalisasikan norma tanggung jawab sosial di dalam hatinya
(Eisenberg, 1986; Erkut, Jaquette, & Staub, 1981; Rushton, 1984).
Selain itu mereka juga memiliki kapasitas yang tinggi untuk memahami
sudut pandang orang lain dan berempati (Eisenberg & Miller, 1987);
Underwood & Moore, 1982).
- Rasa kompeten/cakap untuk menolong : Perasaan kompeten untuk
menolong ini merupakan indikasi dari harga diri (self-esteem) dan
penguasaan ketrampilan menolong yang diperlukan dalam berbagai
situasi (Midlarsky, 1984).
- Keterlibatan sosial : Tingkat keterlibatan individu dalam berbagai
bentuk situasi yang memerlukan pertolongan (menjadi pekerja
relawan, merawat anggota keluarga yang sakit, dsb.), berhubungan
dengan tingginya rasa tanggung jawab sosial dan perasaan cakap
(mampu) sebagai penolong (Amato, 1990).

Catatan :
Meskipun tiga aspek tersebut dapat membantu memahami perbedaan antara
orang yang suka menolong dengan orang yang kurang suka menolong, namun
untuk sungguh-sungguh memahaminya, kita juga harus memahami bahwa
karakteristik situasional dan karakteristik pribadi saling berinteraksi
mempengaruhi perilaku menolong.

MENUJU MASYARAKAT PROSOSIAL


Meskipun menolong orang lain belum tentu dihargai, dan meskipun banyak
orang yang yakin bahwa inisiatif individual lebih kuat daripada saling
ketergantungan (interdependence), namun hampir semua orang setuju bahwa
dunia akan menjadi lebih baik jika kecenderungan prososial diperkuat.

Pada anak-anak :
Meskipun tanda-tanda empati dan kecenderungan untuk menolong dan berbagi
telah tumbuh pada masa kanak-kanak, namun bagaimanapun juga anak-anak
relatif masih bersifat egois. Setelah mereka lebih dewasa, normalnya mereka
menjadi lebih prososial. Alasan mereka menolong berkembang, dari alasan ingin
menerima ganjaran (reward) berkembang menjadi persetujuan untuk lebih peduli
terhadap kesejahteraan orang lain /altruistik (Eisenberg & Mussen, 1989).
Perkembangan tersebut sebagian karena kemampuan kognitif anak meningkat
sehingga mereka lebih dapat memahami sudut pandang orang lain dan
berempati.

38 Klara Innata Arishanti, 2006


Dengan demikian, apa yang perlu dilakukan oleh orang tua untuk membantu
perkembangan prososial anak ?

- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua dari anak yang tingkat
empatinya tinggi tidak mentolerir perilaku agresif, dan menunjukkan apa
akibatnya bagi orang lain bila anak gagal /tidak mau berbagi /tidak
memberikan pertolongan. Dengan kata lain : orang tua mengajarkan
empati !

- Sesuai dengan teori belajar, perilaku prososial anak akan diperkuat bila
mereka menerima ganjaran (reward) atas perilaku prososialnya.

- Menampilkan orang-orang yang menjadi model perilaku prososial, juga


memperkuat kecenderungan prososial anak (Eisenberg & Mussen, 1989).

- Perilaku prososial anak diperkuat bila mereka sungguh-sungguh diberi


kesempatan nyata berperilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari.

39 Klara Innata Arishanti, 2006


PERILAKU DI DALAM KELOMPOK

Beberapa ahli psikologi sosial pernah menyatakan bahwa kelompok bukanlah


sesuatu yang riil. Floyd Allport sering mengatakan, Anda tidak dapat
tersandung melewati sebuah kelompok, yang artinya bahwa keberadaan
kelompok hanyalah di dalam benak manusia. Dalam pandangan Allport,
kelompok hanyalah berbagi serangkaian nilai-nilai, gagasan-gagasan, pikiran-
pikiran, dan kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara bersamaan dalam benak
beberapa orang.
Beberapa ahli yang lain berpandangan bahwa kelompok merupakan sesuatu
yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di dalam lingkungan kita (
Durkheim, 1898; Warriner, 1956). Sejalan dengan pandangan ini, adalah
pandangan yang mendukung bahwa perilaku sosial lebih dapat dijelaskan
dengan menekankan keunikan proses-proses kelompok daripada dijelaskan
dalam tingkat individu. Dengan demikian, sebuah kelompok itu lebih dari
sekedar kedatangan secara kebetulan orang-orang yang bersama-sama berbagi
ide. Sebagai contoh, sebuah kerusuhan yang muncul setelah selesainya suatu
pertandingan olah raga. Interaksi sosial semacam ini hanya dapat difahami
dengan menganalisa perilaku dalam tingkat kelompok, sebagai kebalikan dari
tingkat individual. Tajfel (1982) mendukung analisa perilaku kelompok, dan
berpandangan bahwa untuk memahami perilaku sosial perlu mempertimbangkan
kelompok sebagai entitas sederhana yang nyata, karena keanggotaan dalam
kelompok merupakan bagian integral dari konsep diri (self-concept).
Apakah arti sebuah kelompok ? Tidak setiap kumpulan orang dapat
dipertimbangkan sebagai kelompok. Pengertian kelompok berbeda dengan
pengertian agregat.
Agregat, menunjuk pada kumpulan individu yang tidak berinteraksi satu
sama lain. Namun bagaimanapun juga dapat terjadi bahwa suatu agregat
dapat berubah menjadi sebuah kelompok.
Kelompok, adalah suatu kumpulan dua atau lebih orang-orang yang
mengalami interaksi dinamis satu sama lain (McGrath, 1984). Definisi ini
mencakup berbagai jenis kelompok, misalnya sebuah keluarga kecil,
sebuah kelompok kerja yang besar, suatu kelompok eksperimen yang
hanya bertemu pada satu kesempatan, suatu unit militer yang bertugas
bersama-sama dalam hitungan bulan atau tahun.

Perbedaan antara kelompok dengan agregat adalah sebagai berikut :


Agregat tidak memiliki struktur tertentu, sedangkan kelompok memiliki
bentuk organisasi yang definitif dan anggotanya berhubungan satu sama
lain.
Kelompok bersifat dinamis, sedangkan agregat relatif pasif. Anggota-
anggota kelompok saling menyadari keberadaan satu sama lain,
sedangkan orang-orang di dalam agregat seringkali melupakan orang-
orang disekitarnya.

40 Klara Innata Arishanti, 2006


Pada bab ini kita mempelajari bagaimana kelompok-kelompok beraksi :
bagaimana mereka tampil, bagaimana anggota-anggotanya berinteraksi satu
sama lain, dan bagaimana terbentuk dan bubarnya suatu kelompok. Pertama-
tama kita akan mempelajari bagaimana keberadaan orang lain mempengaruhi
perilaku individu.

PENGARUH KEBERADAAN ORANG LAIN


Orang yang pertama kali tertarik mengenai pengaruh keberadaan orang lain
terhadap kinerja (performance) individu ialah Norman Triplett. Sebagai
penggemar balap sepeda, Triplett mengamati bahwa para pembalap membalap
lebih cepat ketika bertanding dengan orang lain daripada bila mereka membalap
sendiri dengan menghitung waktu tempuh. Berdasarkan pengamatannya itu
Triplett (1898) mengusulkan suatu teori yang disebut dynamogenesis, yaitu
pembangkitan aksi/kinerja oleh karena keberadaan orang lain, dan mengujinya
dengan suatu eksperimen.
Pengaruh orang lain ditentukan oleh beberapa faktor. Bibb Latane (1981)
mengusulkan tiga faktor utama didalam teorinya yang disebut social impact
theory : (1) Jumlah orang, (2) Immediacy, (3) Kekuatan (strength)/status.
Jumlah orang : Dengan bertambahnya jumlah orang, bertambah pula
pengaruhnya terhadap individu. Namun demikian setelah mencapai
jumlah tertentu, bertambahnya jumlah orang tidak lagi diikuti dengan
peningkatan pengaruh (Tanford & Penrod, 1984).
Immediacy : Menunjuk pada kedekatan orang-orang lain terhadap
individu yang dipengaruhi. Misalnya, perintah yang didektekan oleh
instruktur yang berteriak keras di dekat orang yang diperintah memiliki
pengaruh yang lebih besar daripada bila perintah dengan volume yang
sama diberikan dari jarak 10 meter.
Kekuatan : yaitu daya (power), status, atau sumberdaya dari agen yang
mempengaruhi. Latane & Harkins (1976) menemukan bahwa siswa-
siswa yang diharapkan bernyanyi di depan penonton yang status
sosialnya tinggi merasa lebih tegang dibanding siswa yang diharapkan
bernyanyi didepan penonton yang status sosialnya lebih rendah.
Berikut ini pengaruh keberadaan orang lain dalam beberapa situasi yang
berbeda-beda :
Pengaruh Audience
Dalam situasi ini seseorang tampil (unjuk performance) dihadapan orang-orang
lain, namun tanpa ada interaksi langsung. Anggota audience merupakan orang-
orang yang mengamati secara pasif (Geen,1980). Misalnya, tampilnya seorang
aktor/aktris dihadapan penonton.
Beberapa penelitian penting yang menyangkut situasi audience adalah sebagai
berikut :
Survei yang dilakukan oleh Borden (1980) mengenai rasa takut, hasilnya
menunjukkan bahwa berbicara dihadapan kelompok lebih menakutkan

41 Klara Innata Arishanti, 2006


bila dibanding berada dalam situasi-situasi di tempat ketinggian,
kegelapan, kesendirian, dan peristiwa kematian.
Para atlet menyatakan bahwa performance mereka lebih baik bila tampil
dihadapan banyak penonton daripada bila stadion sepi (Davis,1969).
Triplett (1890) mengamati bahwa audience dapat meningkatkan
performance. Di sisi lain, bila seorang pembicara publik dihinggapi rasa
takut, audience dapat menurunkan kualitas performance. Mengenai hal ini
Floyd Allport (1920) memperkenalkan dua istilah : social facilitation dan
social impairment/ inhibition.
- Social facilitation, menunjuk pada peningkatan performance
individu karena keberadaan orang-orang lain.
- Social impairment/ inhibition, menunjuk pada penurunan
performance individu karena keberadaan orang-orang lain.
Zajonc (1965) menemukan bahwa respon yang dominan diperlukan pada
saat kehadiran orang-orang lain, maka orang yang terlatih akan
meningkat performance-nya pada saat kehadiran orang-orang lain,
sedangkan orang yang kurang terlatih akan merosot performance-nya.
Contoh untuk teori Zajonc: orang yang sudah terlatih main piano,
performance-nya lebih baik ketika orang lain hadir; sebaliknya seorang
pemula akan lebih banyak membuat kesalahan ketika bermain dalam
sebuah konser piano daripada ketika berlatih di rumah.
Robert Baron (1986) mengemukakan distraction-conflict theory.
Menurut Baron, seseorang dapat mengalami kebingungan/gangguan
karena berbagai alasan. Kebingungan tersebut menyebabkan konflik
perhatian bagi individu yang sedang menampilkan performance-nya, dan
selanjutnya konflik perhatian ini meningkatkan gejolak (arousal) sebagai
respon atas kebutuhan energi yang lebih besar untuk menghadapi
konflik. Peningkatan gejolak dapat berakibat memfasilitasi atau sebaliknya
menghambat performance, tergantung bagaimana cara individu tersebut
dalam menghadapi konflik. Jika terlalu memperhatikan gangguan yang
ada, berarti terjadi interupsi bagi performance dan menghasilkan
hambatan. Sebaliknya, jika individu mengarahkan perhatian terhadap
performance, maka peningkatan gejolak akan meningkatkan performance
bila respon yang diperlukan dominan (dipelajari dengan baik), dan
menghambat performance bila respon yang diperlukan tidak dominan
(tidak dipelajari dengan baik oleh individu).
Pengaruh Keberadaan Coactors
Coactors adalah orang-orang lain yang melakukan aktivitas yang sama dengan
individu. Misalnya, keberadaan para pembalap lain yang tampil bersama individu
pembalap sepeda. Di samping mempunyai pengaruh seperti pengaruh audience
yang pasif, kita dapat menduga bahwa kehadiran coactors juga memberikan
tambahan pengaruh bagi individu yang sedang melakukan unjuk performance.
Beberapa penemuan mengenai hal ini adalah sebagai berikut :
Triplett (1898) menjelaskan bahwa keberadaan coactors menambah
elemen kompetisi.

42 Klara Innata Arishanti, 2006


Dashiell (1930) melaporkan bahwa dalam situasi coactive (adanya orang-
orang lain yang melakukan aktivitas yang sama), subjek eksperimen
melakukan respon dengan kecepatan (rate) yang lebih tinggi namun
kesalahan-kesalahannya juga meningkat bila dibanding ketika ketika
berlatih sendiri, sebagai akibat terjadinya kompetisi.
Seta (1982) berpendapat bahwa keberadaan coactors ini memungkinkan
terjadinya social comaprison, yaitu mengamati perilaku orang lain dan
menjadikannya sebagai dasar mengevaluasi performance kita sendiri.
Social comaprison ini merupakan sumber konflik perhatian. Jika coactors
tampil lebih baik dari diri kita, dan membuat kita mengarahkan perhatian
terhadap performance demi berkompetisi, maka coactors menimbulkan
social facilitation. Di sisi lain, bila orang-orang lain tampil sama baiknya
atau lebih buruk daripada kita, tampaknya coactors tidak memiliki
pengaruh lebih dari penonton biasa (audience).
Pengaruh Keberadaan Anggota Kelompok Yang Lain
Ketika orang menampilkan performance bersama kelompok, seringkali terjadi
penurunan usaha dari individu-individu yang terlibat di dalamnya, yang disebut
social loafing. Penemu adanya pengaruh semacam ini adalah Max Ringelmann
(1913). Untuk menguji hal ini Latane dan kawan-kawan melakukan studi
(Harkins, Latane, & Williams,1980; Latane, William, & Harkins, 1979) dan
menemukan bahwa kelompok telah menghasilkan social loafing , yaitu bahwa
usaha individu-individu menurun secara drastis ketika jumlah anggota kelompok
meningkat.
Mengapa terjadi social loafing ? Terdapat dua kemungkinan jawaban :
1. Karena di dalam kelompok individu-individu kurang dapat dikenali
(Williams, Harkins, & Latane, 1981). Hal ini mirip dengan deindividuasi
yang membuat orang melepaskan kontrol diri karena bersembunyi di
balik kerumunan.
2. Kepercayaan bahwa orang lain di dalam kelompok akan melakukan.
Interaksi di dalam kelompok mungkin menimbulkan harapan akan
performance anggota yang lain. Jika interaksi tersebut menimbulkan
pikiran bahwa anggota yang lain akan bermalas-malasan, kemudian kita
mengimbanginya dengan menurunkan usaha (Jackson & Harkins, 1985).
Namun bagaimanapun juga bila anggota-anggota kelompok secara
khusus menyatakan bahwa mereka akan bekerja sekeras mungkin, maka
efek social loafing dapat dihilangkan.
Cara peningkatan kontribusi individu terhadap hasil-hasil kelompok.
Meskipun dapat menimbulkan social loafing, namun sumbangan individu
terhadap produk kelompok dapat ditingkatkan dengan cara :
1. Menambah tingkat kesulitan tugas, dapat meningkatkan performance
secara keseluruhan (Harkins & Petty, 1982; Jackson & Williams, 1985).
2. Tugas melibatkan konsekuensi personal/ individual (Brickner,
Harkins, Ostrom, 1986). Misalnya, mahasiswa mendapatkan tugas
kelompok yang dapat diyakini memiliki konsekuensi terhadap prosedur

43 Klara Innata Arishanti, 2006


akademik selanjutnya, yaitu sebagai prasyarat untuk menempuh
matakuliah yang lain.

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KELOMPOK


Kelompok dapat berbeda-beda dalam komposisi maupun strukturnya. Dari
komposisinya, kelompok dapat berbeda-beda dalam hal ukuran kelompok
(jumlah anggota), identitas etnik dan jenis kelamin anggota, dan sebagainya.
Struktur kelompok, menunjuk pada sistem peran, norma-norma, dan hubungan
antar anggota yang memberikan kerangka bagi fungsi kelompok tersebut.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ukuran kelompok dan tiga aspek struktur
kelompok, yaitu jaringan komunikasi, kepemimpinan, serta norma dan peran.
Ukuran Kelompok
Usaha-usaha telah dilakukan untuk menentukan ukuran ideal kelompok yang
bertugas memecahkan masalah (problem solving groups), antara lain oleh :
P.E. Slater (1958) menyimpulkan bahwa kelompok yang terdiri dari lima
orang adalah yang paling efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas mental
dimana anggota kelompok mengumpulkan dan saling bertukar informasi,
serta membuat keputusan berdasarkan evaluasi terhadap informasi
tersebut.
Osborn (1957) mengusulkan bahwa ukuran optimum kelompok
pemecahan masalah adalah terdiri dari lima hingga sepuluh anggota.
Kesimpulan mengenai ukuran ideal sebuah kelompok seperti tersebut di atas,
bagaimanapun juga dianggap terlalu menyederhanakan masalah karena empat
alasan (Harrison & Connors, 1984) :
Kriteria untuk menentukan keberhasilan kelompok seringkali bervariasi.
Ukuran kelompok dapat berinteraksi dengan struktur tugas. Suatu tugas
mungkin hanya memerlukan satu orang, sedangkan tugas yang lain
mungkin dapat berhasil dengan ditangani oleh beberapa orang.
Banyaknya struktur di dalam kelompok dapat berinteraksi dengan ukuran
kelompok. Meskipun komposisi kelompok terdiri lebih dari lima orang,
namun seringkali kurang memuaskan darpada kelompok kecil; sebaliknya
kelompok yang lebih besar dapat lebih efektif bila tugasnya terstruktur.
Harus dipertimbangkan situasi lingkungan dan durasi kelompok.
Misalnya, di dalam lingkungan yang eksotis dan penuh tekanan seperti di
stasiun penjelajahan Antartika, kelompok yang lebih besar tampak lebih
memuaskan karena memberikan kemungkinan variasi untuk berinteraksi.
Jaringan Kerja Komunikasi
Ukuran kelompok tidak ada artinya bila anggota-anggota kelompok mengalami
kesulitan komunikasi satu sama lain. Misalnya, kelompok-kelompok yang ada di
dalam dunia nyata, biasanya menetapkan saluran-saluran untuk menyampaikan
pesan. Dosen atau karyawan dari sebuah fakultas tidak diijinkan membicarakan
persoalan-persoalan secara langsung dengan rektor, melainkan
mengkomunikasikannya melalui dekan. Di samping penetapan saluran

44 Klara Innata Arishanti, 2006


komunikasi, perasaan pribadi antar individu-individu juga dapat mempengaruhi
komunikasi.
Menurut Shaw (1964, 1978), penggambaran pola-pola komunikasi menunjuk
pada jaringan komunikasi (communication networks). Berikut ini
digambarkan beberapa jaringan komunikasi.

Wheel Chain Y Circle Comcon

Keterangan :
- Titik, mewakili orang
- Garis penghubung menggambarkan saluran komunikasi.

Meskipun gambaran tersebut abstrak, namun tidak sulit untuk memikirkan situasi
kongkrit untuk masing-masing gambar jaringan komunikasi tersebut di atas.
Untuk bentuk setir (wheel), sebagai contoh, tim sepak bola : gelandang tengah
merupakan pusat komunikasi. Pemain yang lain menyampaikan komentar-
komentarnya terutama kepada gelandang tengah, yang berbicara kepada
masing-masing anggota tim.
Bentuk jaringan komunikasi ini penting karena menentukan cara berfungsinya
kelompok.
Berikut adalah gambaran bagaimana cara berfungsinya kelompok berdasarkan
jaringan komunikasinya.
Bentuk setir/roda (wheel)
Jaringan komunikasi ini memberikan kontrol yang besar terhadap mereka
yang berada dalam posisi pinggir. Mereka dapat berkomunikasivdengan
anggota yang lain, namun harus melalui seseorang yang ditengah-tengah.
Jika jaringan komunikasi ini ditetapkan untuk kelompok yang baru
terbentuk, maka kemungkinan besar orang yang di tengah yang berfungsi
sebagai pusat komunikasi akan muncul sebagai pemimpin.
Bentuk rantai (chain) dan Y
Dengan jaringan komunikasi berbentuk rantai maupun Y, organisasi
menjadi sentralistik, dengan menempatkan seseorang sebagai poros.
Bentuk lingkaran (circle) dan Comcon
Kedua bentuk jaringan komunikasi ini merupakan kebalikan dari bentuk-
bentuk di atas : tidak memfasilitasi seseorang untuk muncul sebagai
pemimpin yang dominan (Leavitt, 1951). Dalam jaringan komunikasi yang
memungkinkan setiap anggota untuk berkomunikasi satu sama lain, tidak
dimungkinkan untuk meramalkan posisi yang mana yang besar
kemungkinannya untuk menjadi pemimpin dan dominan. Kepribadian dan
ketrampilan masing-masing anggotalah yang menentukan.

45 Klara Innata Arishanti, 2006


Efek jaringan komunikasi terhadap produktivitas dan kepuasan anggota :
Orang-orang lebih menyukai posisi di mana mereka lebih dimungkinkan
untuk berpartisipasi dan berkomunikasi. Dengan demikian posisi sentral di
dalam jaringan komunikasi berbentuk lingkaran/setir, rantai, dan Y dapat
dipertimbangkan sebagai paling memuaskan; sedangkan posisi pinggir
diasosiasikan dengan moral kerja yang rendah (Leavitt, 1955).
Jaringan yang memungkinkan desentralisasi komunikasi (misal, jaringan
comcon) berperan meningkatkan moral kerja para anggota dari berbagai
posisi.
Efisiensi Jaringan Komunikasi :
Efisiensi jaringan-jaringan komunikasi ditentukan oleh tugas yang dihadapi oleh
kelompok. Berikut ini gambarannya :
Jaringan yang sentralistik seperti setir/roda dan Y adalah yang paling
efisien bila tugasnya relatif sederhana. Tugas dapat dilakukan dengan
lebih cepat dan lebih sedikit kesalahan.
Jika persoalannya lebih kompleks, jaringan komunikasi yang tidak
sentralistik (bentuk lingkaran dan comcon) lebih efisien. Penyebaran
informasi tidak harus melalui orang tertentu sehingga lebih cepat dan
memungkinkan adanya berbagai kontribusi dari anggota-anggota yang
ada. Di samping itu, pada kelompok dengan jaringan komunikasi
berbentuk lingkaran, efek negatif berkurangnya anggota tidak terlalu
besar.
Kepemimpinan
Mengapa seseorang dapat mencapai sukses dalam memimpin, sedangkan
orang lain gagal? Untuk menjelaskan hal tersebut, berbagai teori telah
dikembangkan:
Pada mulanya fokus teori diarahkan pada kualitas dan perilaku pemimpin.
Misalnya para sejarawan mengusulkan teori kepemimpinan orang besar
(great man), yaitu orang yang mencapai sukses sedemikian rupa dalam
memimpin karena memiliki karisma, inteligensi, dan ciri-ciri serta
kemampuan yang lain (Hook, 1955; Wood, 1913).
Sebuah pendekatan psikologi sosial yang berusaha menemukan ciri-ciri
kepribadian pemimpin (dibandingkan dengan orang-orang yang bukan
pemimpin), menemukan bahwa tidak ada ciri tunggal yang secara
konsisten menjadi ciri pemimpin (Bird, 1940; Jenkins, 1947; Stogdill,
1948).
Sebuah survei dengan menggunakan 150 item, dan terkenal dengan
nama Leadership Behavior Description Questionnaire (LBDQ) telah
dilakukan oleh Hemphill & Coons (1950). LBDQ ini telah
diadministrasikan kepada kelompok subjek dengan variasi yang sangat
luas, dan berhasil memunculkan dua dimensi perilaku kepemimpinan,
yaitu pertimbangan (consideration) dan memprakarsai struktur organisasi
(initiating structure).
- Consideration, adalah sejauh mana pemimpin menunjukkan perilaku
yang mengindikasikan persahabatan, saling percaya, rasa hormat dan

46 Klara Innata Arishanti, 2006


kehangatan dalam hubungannya dengan anggota kelompok lainnya (
Halpin, 1966). Hal ini merefleksikan adanya kesadaran akan
kebutuhan masing-masing anggota kelompok. Pemimpin yang tinggi
ciri pertimbangannya mendorong anggota kelompok untuk
berkomunikasi dan berbagi perasaan dengan dirinya (Korman, 1966).
- Initiating Structure, menunjuk pada perilaku pemimpin dalam
menggambarkan hubungan antara dirinya (pemimpin) dengan dengan
anggota kelompok dan dalam mengusahakan terbentuknya pola-pola
saluran komunikasi dan prosedur organisasi yang jelas (Halpin, 1966).
Hal ini menunjuk pada tugas pemimpin memotivasi kelompok untuk
bergerak mencapai tujuan yang telah dirancang, yaitu dengan
membuat anggota mengenali dan menyetujui tujuan kelompok.
Dua dimensi ini juga ditemukan dalam analisis perilaku kepemimpinan yang
lain (Bales, 1953; Gibb, 1969; Kahn & Katz, 1953).
Dalam perkembangan studi mengenai kepemimpinan, akhirnya disadari
bahwa situasi ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam memimpin.
Beberapa model yang menjelaskan bahwa efektivitas gaya
kepemimpinan tertentu bergantung (contingent) pada situasi di mana
kepemimpinan diuji, telah dikembangkan. Model-model tersebut disebut
Contingency Models. Salah satu model contingency yang terkenal
adalah yang dikembangkan oleh Fred Fiedler (1964, 1967).

Model Contingency dari Fiedler :


Fiedler mendasarkan model kepemimpinannya atas empat komponen : satu
komponen berupa komponen kepribadian pemimpin, dan tiga komponen berupa
komponen-komponen yang menggambarkan situasi dimana pemimpin harus
memimpin.
- Komponen Kepribadian, menunjuk pada gaya kepemimpinan : apakah
dimotivasi untuk sukses mencapai perolehan (outcomes) atau dimotivasi
untuk sukses dalam hubungan interpersonal, yang ditandai oleh kesukaan
pemimpin tersebut terhadap rekan kerja yang yang paling tidak disenangi
(the least prefrred co-worker / LPC). Pemimpin yang rendah skor LPC-
nya, termotivasi untuk meraih sukses dalam hal perolehan, tidak
menyukai rekan kerja yang paling tidak disenangi karena orang tersebut
dianggap menghambat kesuksesan. Sebaliknya, pemimpin yang tinggi
skor LPC-nya, termotivasi untuk meraih sukses dalam hubungan
interpersonal, menyukai rekan kerja yang yang paling tidak disenangi.
- Komponen Situasi, menunjuk pada sejauhmana seorang pemimpin
memiliki kontrol atas situasi tempat dia memimpin. Kontrol situasional
tersebut ditentukan berdasarkan tiga faktor : (a) Hubungan antara
pemimpin dengan anggota; (b) struktur tugas; (c) kekuasaan dari posisi
yang diemban oleh pemimpin.
Tiga faktor tersebut dapat menghasilkan delapan kategori kontrol
situasional, yang rentangnya bergerak dari sangat tinggi hingga sangat
rendah.

47 Klara Innata Arishanti, 2006


Kombinasi antara komponen kepribadian dan situasi tersebut menentukan
keberhasilan seorang pemimpin :
- Pemimpin yang rendah skor LPC-nya (dimotivasi untuk meraih sukses
dalam perolehan) diasosiasikan dengan tingkat efisiensi yang tinggi, baik
di dalam situasi dengan tingkat kontrol situasional tinggi maupun rendah.
- Pemimpin yang tinggi skor LPC-nya (dimotivasi untuk sukses dalam
hubungan interpersonal) menghasilkan efektivitas maksimum hanya jika
berada di dalam situasi dengan tingkat kontrol situasional sedang/
moderat.
- Dalam situasi dimana hubungan pimpinan-anggota kurang baik, tugas
tidak terstruktur, dan kekuasaan pemimpin sangat kuat, tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang menguntungkan.

Peran dan Harapan


Definisi-definisi :
Peran (role), adalah fungsi-fungsi yang ditampilkan seseorang yang
mengemban posisi tertentu di dalam konteks tertentu.
Harapan akan peran (role expectations), adalah asumsi-asumsi
mengenai perilaku seseorang yang mengemban peran tertentu.
Diferensiasi peran (role differentiation), adalah proses muncul dan
berkembangnya bermacam-macam peran melalui perjalanan interaksi
kelompok (Forsyth, 1983).
Pada awal terbentuknya kelompok, peran individu-individu anggota kelompok
seringkali tidak didefinisikan secara jelas. Namun bagaimanapun juga dengan
berkembangnya interaksi di dalam kelompok, akan terjadi diferensiasi peran, dan
lebih jauh lagi berkembang harapan akan aturan-aturan dan prosedur-prosedur
(disebut norma) yang memadai.
Dengan berkembangnya norma, memungkinkan anggota kelompok
membedakan status dan hirarki otoritas anggota-anggota kelompok.
Kecenderungan untuk mengorganisasikan berdasarkan perbedaan status ini
dapat berbeda-beda antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Joseph
Berger dkk (1980) telah mengembangkan suatu model yang disebut teori
karakteristik status (status characteristics theory) untuk menjelaskan proses
pengorganisasian status tersebut. Menurut teori ini perbedaan dalam
mengevaluasi dan meyakini tipe-tipe individu menjadi dasar ketidakseimbangan
di dalam interaksi sosial. Karakteristik suatu status dapat menjadi karakteristik
tertentu yang membuat seseorang merasa berbeda.

INTERAKSI DI DALAM KELOMPOK


Struktur dan komposisi yang diuraikan di atas tampak merupakan sesuatu yang
statis, namun demikian hal tersebut dapat mempengaruhi proses dinamik yang
terjadi di dalam kelompok. Berikut ini diuraikan proses-proses yang terjadi di
dalam kelompok dan kinerja kelompok.

48 Klara Innata Arishanti, 2006


Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Istilah problem solving, menunjuk pada berbagai macam tugas yang variasinya
sangat luas, dari tugas menghitung titik hingga tugas pemecahkan masalah yang
dihadapi oleh manajer-manajer dari organisasi bisnis yang besar.
Di dalam pemecahan masalah, ada tugas-tugas yang dapat dibagi dengan
mudah sehingga keseluruhan tugas dapat diurai ke dalam beberapa sub-tugas
yang khusus, dan masing-masing dapat ditangani oleh seseorang. Di sisi lain,
ada tugas-tugas yang tidak dapat dibagi menjadi beberapa sub-tugas. Kadang-
kadang, meskipun tugas dapat dijabarkan kedalam sub-tugas, namun tidak
cukup jelas bagi partisipan, sehingga pemecahan masalah terhambat (Steiner,
1972). Berikut ini adalah beberapa poin penting mengenai problem solving.
Marjorie E. Shaw (1932) membandingkan antara problem solving
individual dengan problem solving kelompok, dengan meminta subjeknya
berpartisipasi sebagai individu maupun di dalam kelompok yang terdiri
dari empat orang anggota. Dari eksperimen tersebut ternyata bahwa
kelompok lebih memungkinkan untuk memecahkan masalah. Sebanyak
53% kelompok berhasil memecahkan masalah dengan benar, sementara
hanya 8% individu yang dapat memecahkan masalah dengan benar.
Namun bagaimanapun juga kelompok-kelompok tersebut memerlukan
waktu yang lebih lama, yang berarti kurang efisien.
Berdasarkan keuntungan kelompok tersebut, Alex Osborn (1957),
seorang eksekutif di bidang periklanan mulai menganjurkan brainstorming
sebagai cara untuk menghasilkan solusi yang baru dan kreatif bagi
persoalan-persoalan yang sulit.

Aturan dasar brainstorming


1. Menyampaikan sebuah permasalahan untuk dipecahkan, semua anggota
kelompok didorong untuk mengekspresikan ide-ide dan pemecahan yang
muncul di benak.
2. Semua tanggapan dicatat.
3. Setelah ide-ide dilontarkan, tidak ada saran atau solusi yang dievaluasi.
Secara ideal, partisipan diyakinkan bahwa tidak akan ada saran-saran
yang dievaluasi di dalam sesi brainstorming.
4. Adanya elaborasi (penjelasan yang merinci) atas ide seseorang, sangat
dihargai.

Osborn mengaku bahwa dengan menggunakan prosedur brainstorming dapat


lebih sukses dalam memecahkan masalah.

Pemecahan masalah di dalam kelompok harus mempertimbangkan baik


tugas maupun sifat individu yang diserahi tugas. Dengan kondisi tertentu,
kelompok dapat lebih berhasil daripada individu-individu, misalnya jika
tugas dapat dibagi ke dalam beberapa sub-tugas dan ketrampilan
individu-individu tersebut sesuai dengan masing-masing sub-tugas yang
ada.

49 Klara Innata Arishanti, 2006


Bila pembagian tugas tidak spesifik atau jika anggota kelompok kurang
trampil, performance kelompok dapat merosot di bawah potensi yang
dimilikinya (dan juga di bawah performance individu yang menghadapi
tugas seorang diri).

Bahaya-bahaya Pikiran Kelompok (the Perils of Groupthink)


Istilah groupthink diciptakan oleh Irving Janis (1972, 1982). Definisi yang
pertama telah direvisi oleh Janis menjadi lebi sederhana. Berikut ini adalah
kedua definisi groupthink :
Definisi lama :
Groupthink adalah suatu mode berpikir yang digunakan orang ketika
mereka terlibat secara mendalam di dalam kelompok yang kohesif, ketika
anggota-anggota kelompok tersebut berusaha membulatkan motivasi
mereka dalam menaksir serangkaian tindakan alternatif (Janis, 1972).
Definisi baru :
Groupthink, menunjuk pada suatu kecenderungan untuk mencari
kesepakatan dini (Janis, 1982; Janis & Mann, 1977).

Berikut ini adalah gambaran proses yang mendahului serta akibat dari
groupthink.
Kondisi-kondisi yang mendahului :
1. Kohesifitas tinggi
2. Persetujuan yang tidak menentu
3. Penyekatan kelompok
4. Kekurangan metoda untuk menaksir/menilai
5. Petunjuk pimpinan
6. Stress yang tinggi dengan sedikit harapan untuk menemukan solusi
Yang lebih baik daripada yang disukai oleh pimpinan atau orang lain yang
berpengaruh

Kecenderungan mencari kesepakatan

Simptom Groupthink :
1. Ilusi akan kekebalan
2. Rasionalisasi kolektif
3. Keyakinan terhadap moralitas yang melekat pada kelompok
4. Stereotip mengenai out-group
5. Tekanan terhadap orang yang tidak sepakat
6. Self-censorship (menyensor diri sendiri)
7. Ilusi akan kebulatan suara
8. Mengangkat diri sendiri sebagai mind guards

50 Klara Innata Arishanti, 2006


Simptom decision making yang cacat :
1. Survei alternatif yang tidak lengkap
2. Survei tujuan-tujuan yang tidak lengkap
3. Kegagalan dalam menguji resiko-resiko tindakan yang dipilih
4. Miskin informasi
5. Bias dalam pemrosesan informasi
6. Gagal dalam menaksir/menilai kembali alternatif-alternatif tindakan
7. Gagal dalam menyusun rencana

51 Klara Innata Arishanti, 2006


PERILAKU ANTAR KELOMPOK

Secara umum dapat dikatakan, bila terjadi kontak antar kelompok, konflik
sering kali terjadi. Situasi konflik ataupun potensi konflik antar kelompok
begitu sering kita jumpai di dalam masyarakat. Misalnya, konflik antar negara,
antar suku, antar partai, antar kelompok siswa, antara pekerja dengan pihak
manajemen, dan lain-lain. Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk
memahami perilaku antar kelompok. Untuk itu terlebih dahulu perlu diketahui
batasan istilah perilaku dalam kelompok (intergroup behavior).
Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif (1979) mendefinisikan perilaku antar
kelompok sebagai berikut : Kapanpun individu-individu masuk ke dalam
suatu kelompok, dan secara kolektif maupun individual berinteraksi
dengan kelompok lain atau anggota kelompok lain dalam konteks identitas
kelompoknya.
Berikut ini disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku dalam
kelompok.

KESAMAAN DAN PERBEDAAN ANTAR KELOMPOK

Tradisi Psikologi Sosial

Psikologi sosial modern sangat mendukung perspektif interaksionis dari Kurt


Lewin yang merumuskan perilaku sebagai __ B = f (P, E) __, dimana B, P, dan
E berturut-turut adalah behavior (perilaku), the person (individu), dan the
environment (lingkungan). Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa Lewin
(1935,1936) mempertimbangkan perbedaan kepribadian dan perbedaan
individual sama pentingnya dengan perbedaan lingkungan.
Namun demikian, sebagian besar pengikut Lewin ternyata cenderung
menekankan lingkungan sebagai sumber pengaruh yang lebih kuat. Para
psikolog sosial kurang memperhatikan kemungkinan perbedaan individu atau
kelompok. Selanjutnya, bagaimanapun juga semakin lama semakin banyak
psikolog sosial yang mulai menggali dasar-dasar perbedaan kelompok. Anatara
lain melalui usaha yang dilakukan oleh para psikolog lintas budaya (akan kita
bahas kemudian). Variabel kepribadian lebih sering muncul di dalam teori-teori
psikologi sosial.
Pada akhirnya, beberapa psikolog sosial masih menyokong posisi universal
(lebih memperhatikan faktor situasional daripada faktor personal/kepribadian),
namun banyak yang setuju bahwa pola perbedaan antar kelompok merupakan
kunci penting untuk memahami perilaku sosial manusia.

52 Klara Innata Arishanti, 2006


Distribusi yang Overlapping

Istilah-istilah mengenai perbedaan, seperti perbedaan budaya (cultural


differences) dan perbedaan gender/ jenis kelamin (gender differences), dapat
menyesatkan. Istilah-istilah tersebut mengandung asumsi bahwa perbedaan
harus ada.
Ketika kita mencari perbedaan yang kita asumsikan ada, kita menjadi buta
terhadap kesamaan antar anggota kelompok yang berbeda. Misalnya,
kecenderungan antropolog meneliti suatu kelompok atau masyarakat tertentu
dengan berfokus hanya pada aspek-aspek yang berbeda dengan masyarakatnya
sendiri. (ctt : Kecenderungan semacam ini disebut exotic bias). Aspek-aspek
budaya yang bersesuaian dengan budaya peneliti tidak diperhatikan, karena
aspek-aspek tersebut tidak eksotik (exotic).
Apabila kita menemukan perbedaan yang signifikan antara dua kelompok, kita
harus mencegah terjadinya kesimpulan yang sempit. Misalnya, jika secara
statistik kita menemukan perbedaan agresifitas yang signifikan antara laki-laki
dan perempuan, kita tidak menganggap bahwa semua laki-laki lebih agresif
daripada semua perempuan. Kemungkinan terdapat perempuan yang lebih
agresif daripada laki-laki, dan terdapat beberapa laki-laki dan perempuan yang
agresifitasnya kurang-lebih sama.

.50

.40
Proportion

.30

.20

.10

.00

Agresifitas

Keterangan :

Perempuan

Laki-laki

Gambar di atas menunjukkan konsep overlapping distributions. Masing-


masing distribusi tersebut merupakan khayalan skor agresifitas pada perempuan
dan laki-laki, dengan mengasumsikan rentang skor antara 0 s/d 100. Rata-rata
skor kelompok () jelas menunjukkan bahwa :

53 Klara Innata Arishanti, 2006


1. rata-rata laki-laki lebih agresif daripada perempauan; namun demikian
2. terdapat perempuan yang lebih agresif daripada laki-laki; dan
3. terdapat laki-laki dan perempuan yang sama tingkat agresifitasnya.
Sebagian besar perbandingan ciri-ciri psikologis dan perilaku sosial antar
kelompok memberikan hasil semacam ini (distribusi skor antar kelompok saling
tumpang tindih/ overlapping). Dengan demikian seharusnya kita tidak lagi
cenderung berpikir dalam kerangka kategori semacam membandingkan semua
laki-laki dibanding dengan semua perempuan.

Sebab-sebab Perbedaan

Problem yang paling sulit dalam mempelajari perbedaan antar kelompok adalah
menentukan mengapa terjadi perbedaan .
Secara tradisional, peneliti mempunyai tiga pilihan ayang umum untuk
menjelaskan kemungkinan penyebab perbedaan antar kelompok, yaitu faktor
herediter, faktor lingkungan, atau kombinasi faktor herediter dan lingkungan.
y Penjelasan berdasarkan faktor herediter, menekankan pentingnya faktor
genetik dan sering menganggap bahwa perbedaan antar kelompok pasti ada
(Scarr & McCartney, 1983). Misalnya, sosiobiologi beranggapan bahwa
perbedaan perilaku agresif dan mengasuh anak pada laki-laki dan
perempuan, dasarnya adalah faktor biologis.
y Penjelasan berdasarkan faktor lingkungan, memandang bahwa
pengalaman sosialisasi merupakan penyebab perbedaan antar kelompok.
Penjelasan ini mencakup berbagai aspek, antara lain kondisi ekonomi dan
lingkungan, praktek sosialisasi dari orang tua, serta faham mengenai ras dan
jenis kelamin.
y Penjelasan berdasarkan gabungan faktor herediter dan lingkungan,
berusaha menjelaskan perbedaan kelompok berdasarkan dua faktor tersebut.
Meskipun demikian mereka dapat memberikan bobot faktor herediter dan
lingkungan yang berbeda. Misalnya, anak kembar dan keluarganya lebih
banyak memiliki kesamaan dalam hal tinggi badan, namun tidak terlalu sama
dalam hal kepribadian. Oleh sebab itu para penulis memandang bahwa
kepribadian terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

PERBANDINGAN-PERBANDINGAN LINTAS BUDAYA


(Cross-Cultural Comparisons)

Hasil-hasil penelitian psikologi sosial selama ini sebagian besar diperoleh


berdasarkan sampel orang-orang Amerika. Sebagian besar psikolog sosial
tinggal di Amerika. Para peneliti seringkali tanpa banyak berpikir
menggeneralisasikan hasil penemuan dari Amerika untuk budaya yang lain.
Dengan demikian terjadi bias/penyimpangan dalam mengartikan perilaku
masyarakat di luar Amerika, karena penulis/peneliti yang mayoritas tinggal di
Amerika mengacu pada budayanya sendiri dan mengabaikan pengaruh budaya
setempat. Bias semacam ini sering disebut sebagai ethnocentric bias.

54 Klara Innata Arishanti, 2006


Untuk mengantisipasi adanya bias etnosentris ini diperlukan psikologi lintas
budaya. Menurut Harry Triandis (1980), psikologi lintas budaya merupakan studi
sistematis mengenai perilaku dan pengalaman di dalam budaya-budaya yang
berbeda, mempertanyakan apakah perbedaan-perbedaan yang ada dipengaruhi
oleh budaya, atau hasil dari perubahan budaya yang sedang terjadi.

Universal atau Spesifik Budaya ?

Para peneliti di luar Amerika seringkali mempertanyakan kesesuaian teori-teori


dan psrinsip-prinsip dari psikolog sosial Amerika untuk diterapkan di negara
mereka sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ilmuwan sosial
membedakan antara apa yang mereka sebut etic constructs dan emic
constructs.
y Etic Constructs, menyangkut faktor-faktor universal, yang menunjang
semua budaya yang kita kenal atau telah diselidiki. Misalnya, konsep
keluarga, dapat dipertimbangkan sebagai etic constructs, meskipun bentuk
kehidupan keluarga bervariasi antar budaya (Triandis, 1977).
y Emic constructs, merupakan budaya tertentu/spesifik, yang muncul atau
bermakna hanya di dalam suatu kerangka budaya tertentu. Misalnya, konsep
seperti Southern hospitality dan New York minute , kemungkiinan
mempunyai makna hanya di Amerika.

Persoalan timbul bila konstruk emik (emic constructs) murni dianggap sebagai
konstruk etik (etic constructs). Dengan kata lain, persoalan akan muncul bila
penemuan dari suatu budaya (misalnya konsep keseimbangan/equity di dalam
relasi sosial yang erat), dianggap diterapkan pada masyarakat pada umumnya.
Kesimpulan semacam ini disebut pseudoetic.
Tantangan bagi psikologi lintas budaya adalah membedakan antara etic dengan
pseudoetic ini. Untuk itu riset harus dilakukan terhadap lebih dari satu budaya
(Segall, 1986). Di samping itu kita juga harus ingat bahwa cara seseorang
menginterpretasikan hasil penelitian lintas budaya, sebagian ditentukan oleh
latar belakang budayanya sendiri (Geregen, 1985).

PREJUDICE DAN DISKRIMINASI

Istilah prejudice, diskriminasi, dan stereotip, sering digunakan secara


bergantian, namun sebenarnya ketiganya merupakan konsep yang berbeda :
y Prejudice (prasangka), menunjuk pada perasaan negatif atau respon emosi
terhadap sekelompok orang tertentu yang merupakan hasil dari sikap tidak
toleran, tidak adil, atau ketidaksenangan terhadap kelompok tersebut
(Brewer & Kramer, 1985; Harding, Proshansky, Kutner, & Chein, 1969).
Contoh : Perasaan mendongkol karena duduk bersebelahan dengan orang
dari suku tertentu; Marah karena seorang wanita diangkat menjadi pemimpin.
y Diskriminasi, menunjuk pada perilaku yang khusus terhadap anggota suatu
kelompok yang menunjukkan ketidakadilan bila dibanding dengan perilaku

55 Klara Innata Arishanti, 2006


terhadap anggota kelompok lain. Contoh : Berbagi tugas dengan teman-
teman, tetapi tidak mau berbagi dengan seseorang karena berasal dari suku
tertentu; Menolak bekerja sama dengan pemimpin wanita.
y Stereotip, merupakan keyakinan tentang karakteristik anggota dari suatu
kelompok yang teridentifikasi. Stereotip dapat positif, dan dapat pula negatif.
Meskipun stereotip merupakan fondasi bagi terbentuknya prejudice dan
diskriminasi (Bersoff & Verrilli, 1988; Fiske, Bersoff, Borgida, Deaux, &
Heilman, 1990) namun nyatanya orang yang memiliki keyakinan stereotip
terhadap kelompok tertentu, tidak selalu berarti bahwa orang tersebut
memunculkan prejudice atau diskriminasi (Oakes & Turner, 1990). Contoh :
Yakin bahwa si A berwatak keras karena berasal dari suku Batak.

Stimulus

Proses spontan

Stereotip

Mencegah
Keyakinan-keyakinan Proses-proses
negatif kontrol

Ya Tidak

Respon Respon
Non-prejudice prejudice

Keterangan Gambar :
Stereotip terjadi secara spontan. Pencegahan keyakinan-keyakinan stereotip
untuk mencegah respon prejudice, merupakan proses kontrol.

Prasangka dan diskriminasi dapat diarahkan terhadap berbagai kelompok : laki-


laki, perempuan, kulit hitam, orang Amerika, Asia, Hispanik, dsb. Sebagai
ilustrasi bagaimana beroperasinya prasangka dan diskriminasi, berikut disajikan
dua isme yang paling meresap di dalam masyarakat, yaitu rasisme dan
sexisme. Di samping itu juga akan dijelaskan sebab-sebab prasangka dan
diskriminasi.

Rasisme (racism)

Komisi hak-hak sipil Amerika (1969) mendefinisikan rasisme sebagai berbagai


sikap, tindakan, ataupun struktur institusional yang mensubordinasi
(merendahkan) seseorang karena karena warna kulitnya.

56 Klara Innata Arishanti, 2006


Definisi ini menggabungkan antara sikap negatif (prejudice) dengan perilaku
diskriminatif; dan menyatakan bahwa rasisme dapat muncul pada level individu
maupun institusi.

Sexisme (sexism)

Sexisme, seperti rasisme, merupakan gabungan antara sikap-sikap dan


tindakan-tindakan yang merendahkan suatu kelompok sebagai lebih rendah dari
kelompok lain. Namun demikian, dalam sexisme, prejudice dan diskriminasi
diarahkan kepada orang-orang karena identitas gender (jenis kelamin). Pada
umumnya ditujukan terhadap perempuan.

Sebab-sebab Prejudice dan Diskriminasi

Gordon Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1958) mengidentifikasi


adanya enam tingkat analisis, yang oleh para teoris selanjutnya diterapkan untuk
usaha memahami sebab-sebab isme. Berikut ini adalah keenam tingkat analisis
tersebut :

y Penekanan pada sejarah dan ekonomi. Para sejarawan mengingatkan


bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memahami penyebab prejudice tanpa
mempelajari latar belakang konflik yang relevan, dan ini merupakan fakta
yang menyedihkan bahwa sebagian besar prejudice memiliki sejarah yang
panjang. Teori-teori yang berorientasi pada sejarah, menekankan faktor
ekonomi. Misalnya, penganut teori Karl Marx memandang prejudice sebagai
cara untuk mengeksploitasi kelas pekerja.

y Penekanan pada sosiokultural. Para sosiolog dan antropolog menekankan


faktor-faktor sosiokultural sebagai penentu prejudice dan diskriminasi. Faktor
ini mencakup karakteristik masyarakat atau budaya yang mempertinggi
kemungkinan diskriminasi. Misalnya, tekanan kultural terhadap kompetensi
dan training, berkombinasi dengan kelangkaan dan kompetisi kerja. Faktor-
faktor sosiokultural yang lain adalah :
- Peningkatan urbanisasi, mekanisasi, dan kompleksitas.
- Mobilitas dari kelompok tertentu
- Populasi meningkat, berhadapan dengan masalah keterbatasan jumlah
tanah yang dapat digunakan dan kekurangan perumahan yang layak.
- Ketidakmampuan banyak orang untuk mengembangkan standard internal,
cenderung mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain dan
berperilaku konformis.
- Perubahan dalam peran dan fungsi keluarga, bersamaan dengan
perubahan dalam standard moralitas.

y Penekanan pada situasi. Analisis ini berusaha menjawab pertanyaan


mengapa ada orang-orang yang lebih prejudice daripada orang lain?.

57 Klara Innata Arishanti, 2006


Penekanan pada situasi ini merupakan pendekatan psikologi sosial.
Fokusnya : daya-daya lingkungan saat ini merupakan penyebab prejudice.
Dalam hal ini, konformitas terhadap orang lain dipandang sangat
mempengaruhi prejudice.

y Penekanan pada psikodinamik. Faham psikodinamik memandang prejudice


sebagai hasil dari konflik dan maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan
diri) yang dialami oleh individu yang ber-prejudice itu sendiri. Dalam hal ini
teori-teori psikodinamik menggunakan dua pendekatan :

a. Pendekatan pertama, mengasumsikan bahwa prejudice berakar pada


kondisi frustrasi manusia. Frustrasi dan deprivasi (kondisi kekurangan)
menimbulkan impuls marah yang jika tidak terkendali seringkali
disalurkan terhadap etnik minoritas (Allport, 1958). Dalam hal ini kita
dapat melihat bahwa hipotesis frustrasi-agresi memainkan peranan
penting untuk menjelaskan diskriminasi. Para teoris menghipotesiskan
bahwa scapegoating (pengalihan rasa permusuhan kepada kelompok
yang kurang berkuasa) merupakan hasil dari frustrasi ketika sumber
frustrasinya tidak dihadapi saat itu atau tidak dapat diserang karena
alasan tertentu.
b. Pendekatan kedua, mengasumsikan bahwa prejudice hanya berkembang
pada orang-orang yang memiliki struktur karakter yang lemah atau
mengalami cacat kepribadian (personality defect). Pendekatan ini tidak
menerima prejudice sebagai hal yang normal, melainkan hasil dari
kecemasan dan rasa tidak aman yang kuat dari orang yang neurotik.

y Penekanan pada fenomenologi. Menurut penekanan fenomenologi,


persepsi individu terhadap dunia sekelilingnya lebih penting daripada
gambaran objektif dari dunia sekeliling tersebut. Jadi, penekanannya adalah
pada persepsi seseorang pada saat itu. Misalnya, perilaku asertif pada
wanita, mungkin diinterpretasikan sebagai terlalu agresif dan terlalu
menekan, meskipun perilaku tersebut mungkin secara objektif sebanding
dengan perilaku laki-laki dalam situasi yang sama. Hasilnya, perilaku
diskriminatif dapat terjadi.

y Penekanan pada reputasi. Lima pendekatan di atas seluruhnya menyoroti


bahwa sumber prejudice adalah pada diri pelaku prejudice. Pendekatan-
pendekatan tersebut tidak mempertimbangkan bahwa perilaku atau
karakteristik kelompok minoritas mungkin menimbulkan perasaan-perasaan
negatif yang ditujukan terhadap diri mereka. Teori reputasi ini membuat
postulat bahwa kelompok minoritas memiliki karakteristik yang memancing
ketidaksenangan dan permusuhan. Ada beberapa bukti yang mendukung
teori ini. Misalnya Triandis dan Vassiliou (1976), dalam penelitiannya
terhadap orang-orang Yunani dan Amerika, menyimpulkan : Data yang
tersaji menunjukkan bahwa terdapat setitik kebenaran pada sebagian besar

58 Klara Innata Arishanti, 2006


stereotip ketika stereotip tersebut dimunculkan dari orang yang pertama kali
mengenal kelompok yang distereotipkan.
IN-GROUPS DAN OUT-GROUPS

Prejudice dan diskriminasi merupakan dua konsekuensi yang umum terjadi di


dalam interaksi sosial. Di samping itu, terdapat suatu proses khusus yang
seringkali muncul bila kelompok-kelompok terlibat dalam interaksi satu sama
lain. Proses tersebut mencakup pembedaan antara in-group (kelompok di mana
individu tergabung sebagai anggota) dan out-group (kelompok di mana individu
tidak tergabung sebagai anggota).

Kategorisasi dan Identitas Sosial

Berbagai proses kognitif yang menterjemahkan pengalaman ke dalam


representasi mental telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana kelompok
mencapai suatu definisi (Stephan, 1985). Suatu kelompok mengasosiasikan
karakteristik tertentu dengan dirinya dan bagaimana atribut-atribut tertentu
diasosiasikan dengan kelompok yang lain melalui proses-proses perhatian,
encoding (pengkodean informasi yang diterima), dan retrieval (pemanggilan
kembali informasi yang tersimpan dalam memori). Proses semacam ini disebut
sebagai kategorisasi.

Kategori-kategori tersebut mengakibatkan orang mengasumsikan kesamaan di


antara anggota-anggota suatu kategori. Bahkan ketika pembedaan antar
kelompok dilakukan secara semena-mena (arbitrary) , orang yang berada di luar
kelompok cenderung meminimalisir perbedaan antar anggota di dalam suatu
kelompok, dan menonjolkan perbedaan antar anggota kelompok yang berbeda.

Meskipun pengamat dari luar cenderung melihat anggota kelompok relatif


homogen, namun anggota di dalam kelompok itu sendiri menemukan
hetrogenitas antar diri mereka. Misalnya, jika anggota suatu perkumpulan
wanita diminta untuk menggambarkan anggota-anggota di dalam
perkumpulannya dan anggota-anggota dari perkumpulan yang lain, mereka
melihat lebih banyak kesamaan di antara anggota perkumpulan lain. Dengan
kata lain, mereka lebih berkehendak menggunakan kategori stereotip di dalam
menilai anggota perkumpulan yang lain, sementara melihat lebih banyak
perbedaan diantara perkumpulannya sendiri (Linville, 1982). Keterbatasan
pengetahuan mengenai anggota kelompok lain, diperluas secara subjektif
dengan menggunakan informasi stereotip yang dihasilkan dari proses
kategorisasi (Oakes & Turner, 1990).

Di samping proses tersebut di atas, keberadaan kelompok lain dapat membuat


anggota-anggota lebih menyadari identitas kelompoknya sendiri. Berdasarkan
penelitian Charles Perdue, John Dovidio, Michael Gurtman, dan Richard Tyler
(1990) dapat diketahui bahwa di dalam menilai anggota kelompoknya sendiri dan
anggota kelompok lain, individu cenderung merujuk pada kelompoknya sendiri.

59 Klara Innata Arishanti, 2006


Di samping itu, terjadi bias positivitas (yaitu membedakan antara kelompoknya
sendiri dengan kelompok lain dengan menguntungkan kelompoknya sendiri)
sebagai konsekuensi individu mengingat identitas kelompoknya sendiri.

Mengapa terjadi bias positivitas terhadap anggota kelompoknya sendiri ?


Jawabannya dapat ditemukan dalam teori identitas sosial dari Tajfel (1978,
1982). Menurut teori identitas sosial, kelompok di mana kita menjadi anggota
merupakan bagian integral dari konsep diri (self-concept) kita. Dengan demikian,
pembedaan antar kelompok yang dilakukan oleh individu anggota kelompok,
memotivasi mereka untuk mempertinggi harga diri (self-esteem). Misalnya, jika
status kelompok X lebih tinggi daripada kelompok Y, maka saya, sebagai
anggota kelompok X, terkena pula oleh status yang tinggi tersebut (van
Knippenberg & Elmers, 1990).

Pandangan-pandangan dari In-Group dan Out-group

Dalam relasi antar kelompok, pandangan-pandangan dari in-group sering


menjadi rujukan (reference) untuk menilai out-group. Fenomena ini dikenal
sebagai etnosentrisme (ethnocentrism), pertama kali didefinisikan oleh
sosiolog William Sumner (1906) sebagai memandang hal-hal yang ada di dalam
kelompoknya sendiri sebagai pusat dari segala sesuatu, dan semua yang lain
diukur dan dinilai dengan merujuk pada hal-hal yang ada di dalam kelompoknya
sendiri.

Sumner (1906) menggambarkan bahwa evaluasi seseorang terhadap in-group


adalah positif dan menunjukkan perilaku yang loyal terhadap kelompok.
Sebaliknya, evaluasi terhadap out-group adalah negatif, menunjukkan penolakan
dan kekuatiran. Berikut adalah perilaku-perilaku yang menunjukkan
etnosentrisme menurut Sumner :

Orientasi terhadap in-group Orientasi terhadap out-group


- Memandang diri sendiri baik dan - Memandang out-group sebagai rendah,
superior. immoral, dan inferior.
- Memandang standard nilainya sendiri - Menolak nilai-nilai dari out-group.
sebagai universal, kebenaran intrinsik. - Memandang out-group sebagai lemah.
- Memandang diri sendiri sebagai kuat. - Menyetujui pencurian
- Memberikan sanksi terhadap pencuri. - Menyetujui pembunuhan
- Memberikan sanksi terhadap pembunuh. - Tidak ada kooperasi
- Bertindak kooperatif dengan anggota - Tidak ada kepatuhan
kelompok yang lain. - Menolak keanggotaan
- Patuh terhadap otoritas. - Membenarkan pembunuhan terhadap
- Berkehendak untuk mempertahankan out-group di dalam perang.
keanggota- an di dalam kelompok. - Menjaga jarak sosial.
- Berkehendak untuk berjuang dan mati - Perasaan negatif, membenci.
bagi kelompok. - Menggunakan contoh buruk dalam
melatih anak.
- Menyalahkan atas kesulitan-kesulitan in-
group

60 Klara Innata Arishanti, 2006


- Tidak percaya dan kuatir.
Riset-riset selanjutnya, memberikan gambaran etnosentrisme yang lebih
kompleks daripada yang digambarkan oleh Sumner, antara lain dari studi lintas
budaya :
a. Terdapat kecenderungan umum untuk memandang kelompoknya sendiri
sebagai memiliki moral yang unggul dan lebih dapat dipercaya
(Brewer,1986).
b. In-group tidak menggambarkan out-group lebih negatif daripada dirinya
sendiri (Tajfel, 1982).
c. Dalam beberapa kasus, anggota-anggota dari in-group mengakui bahwa
posisi mereka kurang menyenangkan daripada posisi out-group (van
Knippenberg & Elmers, 1990). Dalam hal ini mereka :
- Meminimalkan perbedaan antara dua kelompok, memandang dirinya tidak
terlalu berbeda dengan out-group.
- Mendevaluasi out-group yang lebih unggul.

Selain penilaian negatif terhadap out-group, etnosentrisme juga mengakibatkan


terjadinya pembiasan dalam menjelaskan tindakan-tindakan anggota out-group.
Thomas Pettigrew (1979) memberikan istilah ultimate attribution error , yaitu
mencakup atribusi internal dari anggota-anggota in-group terhadap perilaku yang
diharapkan/positif yang mereka lakukan (artinya, perilaku positif mereka diakui
sebagai faktor yang stabil); di sisi lain mereka menggambarkan perilaku yang
diharapkan/positif yang dilakukan oleh out-group sebagai faktor yang tidak tetap.
Untuk perilaku yang tidak diharapkan (negatif), pola atribusi mereka adalah
sebaliknya.

STRATEGI-STRATEGI INTERAKSI

Kelompok-kelompok dapat berinteraksi dengan kelompok lain dengan beberapa


cara. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan, dipengaruhi oleh situasi yang
ada. Misalnya, situasi tertentu, mendorong terjadinya kerja sama; sedangkan
bila terdapat keterbatasan sumber daya, kemungkinan terjadi kompetisi. Berikut
ini diuraikan beberapa strategi yang dapat dipilih.

Kerjasama dan Kompetisi (Cooperation and Competition)

y Kooperasi, adalah bekerja sama untuk saling menguntungkan.


y Kompetisi, merupakan aktivitas yang diarahkan untuk pencapaian tujuan
dengan mengorbankan orang atau kelompok lain,
Seseorang atau kelompok memilih strategi kompetisi atau kooperasi, tergantung
pada struktur reward yang menyertai situasi yang ada. Terdapat tiga tipe struktur
reward, yaitu kooperatif, kompetitif, dan individualistik.
y Struktur reward kooperatif. Di dalam struktur ini, situasi yang ada
sedemikian rupa sehingga individu atau kelompok dapat mencapai tujuan
hanya jika individu atau kelompok lain mencapai tujuan-tujuan yang sama.

61 Klara Innata Arishanti, 2006


Saling ketergantungan antar individu atau kelompok dalam situasi ini disebut
promotive interdependence (Deutsch, 1973).
y Struktur reward kompetitif. Dalam struktur ini, tujuan-tujuan partisipan
saling terkait secara negatif sehingga keberhasilan salah satu individu atau
kelompok berarti kegagalan bagi individu atau kelompok lain. Istilah untuk
situasi ini, menurut Deutsch adalah contrient interdependence.
y Struktur reward individualistik. Hal ini terjadi bila tujuan individu atau
kelompok tidak saling tergantung, sehingga apa yang dilakukan oleh individu
atau kelompok yang satu, tidak mempengaruhi individu atau kelompok yang
lain.

Tawar-menawar dan Negosiasi (Bargaining and Negotiation)

Sebagian besar konflik antar kelompok, memuat campuran elemen kooperasi


dan kompetisi. Untuk itu, individu atau kelompok harus bekerja sama satu sama
lain untuk mencapai setidaknya sebagian dari tujuan-tujuan mereka. Bargaining
dan negosiasi merupakan pilihan untuk berkompromi.

Istilah bargaining, sering kali digunakan dalam percakapan mengenai interaksi


antar individu. Sedangkan negosiasi, sering digunakan dalam percakapan
mengenai interaksi antar kelompok.

Bargaining (atau negosiasi), didefinisikan sebagai proses dimana dua


kelompok atau lebih, dalam transaksi berusaha menetapkan apa yang dapat
saling diberikan dan diterima (Rubin & Brown, 1975). Inti dari bargaining ,
menurut Rubin dan Brown adalah keterlibatan paling tidak antara dua kelompok,
dalam konflik mengenai suatu isu atau lebih.

Enam langkah proses negosiasi (Pruitt, 1981)


1. Menyetujui adanya kebutuhan untuk bernegosiasi.
2. Menyetujui serangkaian tujuan dan prinsip (misalnya, negosiasi dalam
pengontrolan senjata, menyetujui prinsip dua belah pihak tidak menyerang
satu sama lain).
3. Menyetujui peraturan-peraturan tertentu.
4. Mendefinisikan isu-isu dan menyusun agenda.
5. Menyetujui formula untuk menyelesaikan konflik; mencapai kesepakatan
prinsip.
6. Menyetujui detail-detail implementasi.

Intervensi Pihak Ketiga (Third-Party Intervention)

Sering kali kelompok-kelompok yang berkonflik, gagal mencapai kesepakatan.


Dalam hal ini pihak ketiga dapat dilibatkan demi rekonsiliasi atau mediasi atas
perbedaan yang ada.

62 Klara Innata Arishanti, 2006


Mediasi, didefinisikan sebagai bantuan pihak ketiga terhadap setidaknya dua
kelompok yang bertikai yang mencoba mencapai kesepakatan (Pruitt & Kressel,
1985).

Kadang-kadang mediator memiliki kekuasaan untuk mendesak kedua belah


pihak untuk mencapai solusi tertentu. Proses semacam ini sering disebut
arbitrasi. Mediatornya disebut arbitrator.

PENGURANGAN KONFLIK ANTAR KELOMPOK

Bargaining atau negosiasi merupakan prosedur formal yang dapat digunakan


untuk mengurangi konflik antar kelompok. Prosedur ini dapat berjalan baik bila
isu (hal yang dipermasalahkan) dapat dirumuskan, dan kedua belah pihak
berkehendak untuk mengatasi isu tersebut. Namun demikian, tidak semua
konflik dapat diselesaikan dengan bargaining atau negosiasi. Berikut ini akan
dijelaskan beberapa prinsip dan prosedur yang efektif menurunkan konflik antar
kelompok.

Tujuan-tujuan Superordinat (Superordinate Goals)

Yang dimaksud sebagai superordinate goal adalah tujuan penting yang hanya
dapat dicapai melalui kooperasi. Konflik dapat berkurang bila kedua kelompok
yang bertikai diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang hanya dapat dicapai
bila mereka saling bekerja sama.

Salah satu hasil dari penerapan prosedur ini adalah terjadinya perubahan pada
identitas menonjol yang dimiliki oleh kelompok. Misalnya, setelah memulai kerja
sama, gank Rattlers atau Eagles mulai mempertimbangkan anggota
kelompoknya sebagai kelompok yang lebih umum, yaitu kelompok anak
jalanan.

Kontak Antar Kelompok

Banyak orang yang secara optimistik mengasumsikan bahwa jika dua kelompok
rasial atau kelompok religious bertemu, ekspresi tidak menyenangkan dari
masing-masing kelompok akan terkikis, lalu berkembang sikap positif. Esensi
dari asumsi ini, disebut hipotesis kontak antar kelompok (intergroup contact
hypothesis). Namun demikian, kontak antar kelompok tidak selalu dapat
mengurangi konflik. Ada beberapa kondisi prasyarat yang diperlukan (Amir,
1976; Cook, 1970; Miller & Brewer, 1984); Stephan, 1985) :
1. Situasi harus memberikan acquaintance potential . Artinya orang
membutuhkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain yang
memungkinkan mereka mengetahui bahwa keyakinan-keyakinan mereka
dapat salah.
2. Interaksi harus memberikan informasi yang tidak mendukung keyakinan
mengenai ciri-ciri negatif kelompok lain.

63 Klara Innata Arishanti, 2006


3. Status partisipan di dalam situasi kontak adalah penting : lebih baik jika
memiliki status sosial atau tingkat kekuasaan yang sama.
4. Dukungan institusi untuk terjadinya kontak antar kelompok harus ada.

Pengurangan Ancaman

Dalam situasi hubungan internasional, interaksi antara kekuatan-kekuatan besar


dapat lebih dilihat pada tingkat perimbangan kekuatan-kekuatan daripada tingkat
kontak individual diantara bangsa-bangsa. Contoh konflik yang nyata dapat
dilihat dari konflik antara Israel dengan tetangga-tetangganya mengenai daerah
yang dikuasainya, dan antara United States dengan Jepang mengenai rencana
perdagangan mereka. Psikolog Charles Osgood (1966, 1979) mengusulkan
suatu strategi untuk mengurangi konflik yang disebut GRIT (Graduated and
reciprocated initiatives in tension reduction).

64 Klara Innata Arishanti, 2006

Anda mungkin juga menyukai