Anda di halaman 1dari 15

9.

klasifikasi Iman manusia terbagi menjadi empat :


1. Mukmin Indallah, yaitu Mukmin menurut pandangan Allah semata, yaitu orang yang
mengimankan segala syariat Rasulullah, namun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat.
Secara lahir ia belum bias dikatakan Islam, sehingga tidak diterapkan atasnya hokum
lahiriyah yang terlaku bagi orang Islam, sebagai contoh, bila kelak dia meninggal, maka
tidak boleh di Shalati dan hartanya tidak bisa diwariskan. Sedangkan anak orang
keturunan orang muslim, tetap dihukumi sebagai Muslim, meskipun tidak mengucapkan
kalimat syahadat, dan berlaku padanya hukum duniawi.
2. Mukmin indannas, yaitu mukmin menurut pandangan manusia semata, ialah orang
yang secara lahirnya mengucapkan kalimat syahadat, namun dalam hatinya mengingkari
salah satu syariat Rasulullah, bila kelak dia meninggal tetap diperlakukan sebagai orang
Muslim, sedangkan masalah Batiniyah adalah merupakan urusan Allah. Iman yang
demikian tidak ada artinya sama sekali, dan diancam siksa neraka selama lamanya. ( al
Baqarah. 8 )
3. Mukmin Indallah wa Indannas, yaitu Mukmin menurut pandangan Allah dan manusia,
ialah seseorang yang membenarkan didalam hati atas semua Syariat Rasulullah, dengan
mengikrarkan kalimat syahadat, berlaku padanya hukum duniawi dan Ukhrawi. Iman
yang seperti ini yang di akui oleh Allah dan manusia, dan Allah telah menjanjikan Surga
baginya, itulah Iman Maqbul.
4. Kafir Indallah wa Indannas, yaitu kafir menurut Allah dan manusia, adalah orang yang
tidak mau membenarkan dalam hati atas segala hukum Syara lebih lebih mengucapkan
kalimat syahadat, haram menshalati jenazahnya bila ia mati, Dan hanya nerakalah tempat
yang layak baginya. Itulah yanh disebut dengan Iman Mardud ( tertolak ).






(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ten
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):` Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
peliharalah kami dari siksa neraka.
(QS. 3:191) ::Terjemahan:: ::Tafsir:: ::Asbabun Nuzul::

Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas
mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal
tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-
shal, dan Sualalah.

Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam
unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses
selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar
para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari
seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi
biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep
biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian
besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan
martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di
dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang
sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan
pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk
manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {Allah telah menundukkan bagi
kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {Allah
telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga
telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.}(Q. S. Ibrahim: 33). {Allah telah
menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.}(Q.
S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan
kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa
yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya
sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan.
Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah
kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia
dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun,
segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-
pagar yang tidak boleh dilewati.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-
apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar,
makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat
membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain
sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan
cinta,
rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan
aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan
rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-
perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan
dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu
dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan
yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha
mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh
para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan
makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk
memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk
memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya
hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara
manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah
karuniakan kepadanya.
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah
payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa
manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai
sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan
secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni
sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal
ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang
diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di
miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk
yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya
sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola
bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai
khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal
dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti
meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau
penerus ajaran Allah.
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau
pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam
sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk
khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-Abbasiah. Akan tetapi fungsi
dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah
luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus
ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu
khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari
kerusakan.

Jawaban nomer 6

Manusia telah berupaya memahami dirinya selama beribu-ribu tahun. Tetapi


gambaran yang pasti dan meyakinkan dirinya tak mampu mereka peroleh
hanya dengan mengandalkan daya nalarnya yang subyektif. Oleh karena itu
mereka memerlukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat memandang
dirinya secara lebih utuh, yakni Allah Sang Maha Pencipta yang telah
menurunkan kitab suci Al-Quran yang diantara ayat-ayatnya memberikan
gambaran konkrit tentang manusia.
Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjukkan berbagai aspek
kehidupan manusia, diantaranya :
Dari aspek historis penciptaannya, manusia disebut dengan Bani Adam
(Q.S. Al-Araaf: 31)
Dari aspek biologis, manusia disebut basyar, yang mencerminkan sifat-sifat
fisik kimia biologisnya (Q.S. Al-Mukminun: 33)
Dari aspek kecerdasannya, disebut dengan Insan, yakni makhluk terbaik
yang diberi akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan (Q.S. Ar-
Rahman: 3-4)
Dari aspek sosiologisnya, disebut Annas, yang menunjukkan sifat yang
berkelompok dengan sesame jenisnya (Q.S. Al-Baqarah: 21)
Dari aspek posisinya, disebut Abdun (hamba), yang menunjukkan
kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh
kepadanya.

Nomer 7
oleh Indra AnimeMania pada 16 Oktober 2011 jam 14:46

Pergantian generasi merupakan sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa.
Apakah pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung pada
kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang. Jika dipersiapkan
dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan suatu generasi yang lebih
baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan akan menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk
dari generasi pendahulunya.

Jika kita perhatikan kondisi pada akhir-akhir ini, jelas terlihat adanya gejala demoralisasi di
masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi kita setiap hari di surat kabar
dan televisi. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba menduduki peringkat tertinggi
yang terjadi pada generasi muda. Selain itu arus informasi yang masuk hampir tanpa batas,
seperti mode/gaya hidup orang barat, telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai
suatu kebiasaan dan kebanggaan.

Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita. Apakah selama ini kita
menjaga diri, keluarga dan masyarakat di sekitar kita agar tidak terkena dampak demoralisasi.
Ataukah selama ini kita lupa dan melalaikannya. Padahal Allah dengan jelas memberikan
perintah kepada kita dalam firmanNya, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan
keluargamu dari api Neraka. (At-Tahrim: 6).

Kita harus mewaspadai gejala ini, sebab jika tidak, akan menimbulkan preseden buruk bagi
generasi yang akan datang. Kita bisa membayangkan seperti apa jadinya generasi yang akan
datang jika generasi sekarang seperti ini. Dan inilah yang Allah gambarkan sebagai generasi
yang buruk, suatu generasi yang akan membawa pada kehancuran dan kesesatan. Allah
berfirman, Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
(Maryam: 56). Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang
buruk yaitu adlaush-shalah (menyia-nyiakan shalat) dan wattabausy-syahwat (memperturutkan
hawa nafsu).

Karakter pertama dari generasi yang buruk adalah menyia-nyiakan shalat. Shalat merupakan
tiang agama dan amalan yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat yang memiliki fungsi
langsung berkaitan dengan komunikasi seorang hamba dengan Rabb-nya. Dalam suatu hadits
Rasulullah bersabda, Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah
shalat. Jika ia (shalatnya itu) baik, maka baik pula seluruh amalnya. Sebaliknya jika jelek maka
jelek pulalah seluruh amalnya. (HR. Muslim).

Dari hadits ini menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan utama yang akan mempengaruhi
perbuatan yang lain. Dan secara psikologis orang yang selalu melaksanakan shalat dengan baik
akan mempunyai benteng pertahanan dari perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar, hal ini
akibat adanya ikatan batin yang kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. (Al-Ankabut: 45). Maka jelaslah suatu
kaum atau generasi yang menyia-nyiakan shalat tidak akan mempunyai benteng yang kuat dari
perbuatan yang keji dan munkar, sehingga akan cenderung melakukan kemaksiatan.

Karakter kedua dari generasi yang buruk adalah memper-turutkan hawa nafsu. Ke mana hawa
nafsunya condong, ke situlah ia berjalan. Generasi seperti ini tidak memperdulikan apakah
sesuatu yang ia lakukan halal atau haram, dosa atau berpahala, yang terpenting bagi mereka
tercapai semua yang diinginkannya. Dalam hal berpakaianpun yang penting mode atau sedang
trend, tidak peduli apakah pakaian tersebut menutupi aurat atau malah mempertontonkan aurat.
Generasi seperti ini hanya akan membawa kesesatan hidup di dunia dan di akhirat. (fanaudzu
billah)

Oleh karena itu, persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak suatu keharusan yang
tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik yang
berkaitan dengan akidahnya, pendidikannya, muamalahnya, juga yang berkaitan dengan
akhlaknya, sehingga pergantian generasi yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang
lebih baik daripada pendahulunya.

Banyak teladan yang bisa kita ikuti dari para nabi dalam mempersiapkan generasi yang akan
datang. Sebagai contoh, dalam Al-Quran diungkapkan bahwa para nabi pun mempersiapkan
masalah peralihan generasi ini dengan sebaik-baiknya. Kita bisa lihat pada surat Al-Baqarah ayat
132 dan 133, Allah berfirman:

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub.
(Ibrahim berkata): Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir ketika
Yaqub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu
sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: Kami akan menyembah Tuhan-mu dan Tuhan
nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepadaNya.

Kita lihat di sini, bahwa akhlak dan akidah generasi pengganti para nabi itu sama. Ada
persamaan ideologi dan idealisme antara generasi pendahulu dengan generasi berikutnya. Kata
wawashsha dalam ayat 132 di atas berarti berwasiat, mendidik atau mengajarkan. Ini
menunjukkan bahwa upaya mempersiapkan gene-rasi pengganti supaya lebih baik daripada
generasi pendahulunya dilakukan melalui proses pendidikan dan pembinaan. Dan, nilai-nilai atau
ideologi yang diwasiatkan atau diwariskan oleh generasi pendahulu itu tidak lain adalah nilai-
nilai dan ideologi Islam. Kata bi ha dalam ayat ini menunjukkan pengertian pada kalimat
sebelum-nya (pada ayat 131), yaitu keislaman.

Kemudian, dalam ayat 132 ini digunakan kata isthafa yang mengandung arti ada kesadaran
untuk memberikan alternatif terbaik. isthafa ini bukan sekadar memberikan pilihan, atau
disuruh memilih, tetapi mengajarkan, memilih, dan memberikan alternatif terbaik. Innallaha
isthafa lakum ad-diina (sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini buat kalian). Jika kata-
kata diin (agama) disertai alif-lam (ini disebut alif-lam marifat), maka kalimat ini
menunjukkan kekhususan terhadap agama yang dimaksud, yaitu Islam. Ini berbeda dengan kata
diin (tanpa alif-lam), yang berarti agama dalam arti luas. Jadi, yang dimaksud ad-diin dalam
ucapan Ibrahim ini adalah jelas diinul Islam. Sehingga pada akhir ayat ini dinyatakan: fa la
tamutunna illa wa antum muslimuun (maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk
agama Islam). Ini menunjukkan, bahwa bukan kematiannya yang perlu kita takuti, tetapi yang
harus ditakuti adalah mati tidak dalam keadaan Islam. Jika mati pun dilarang kecuali dalam
keadaan Islam, maka apalagi pada waktu hidup. Inilah yang berkaitan dengan islamiyyatul hayah
atau Islamisasi kehidupan, baik ekonomi kita, pendidikan, politik, ataupun teknologi dan lain-
lainnya.

Ayat selanjutnya, Al-Baqarah ayat 133, mengungkapkan tentang bagaimana perhatian


(kekhawatiran) Nabi Yaqub terhadap anak-anaknya (generasi pengganti) dalam hal akidah dan
ideologi mereka. Dalam ayat ini Allah menggambarkan, Adakah kamu hadir ketika Yaqub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia ber-kata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu
sembah sepeninggal-ku?
Inilah yang dikatakan pewarisan keyakinan, akidah dan ideologi serta prinsip hidup (manhajul
hayah) yang harus kita persiapkan bagi generasi penerus kita. Dan jawaban mereka (generasi
putra-putra Nabi Yaqub) sesuai dengan akhlak dan akidah generasi pendahulunya. Seperti
kelanjutan ayat tadi, Mereka menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk
patuh kepadaNya.

Inilah contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata-mata berkaitan dengan
masalah materi, tetapi juga berkaitan dengan manhajul hayahnya, prinsip hidupnya.

Dari teladan di atas jelas terlihat bahwa dalam mempersiap-kan generasi diawali dari keluarga.
Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan seorang anak menjadi faktor terpenting
yang mempengaruhi watak dan perkembangan psikologisnya. Keluarga yang penuh barakah,
sakinah, dan diliputi oleh mawaddah wa rahmah (ketulusan cinta dan kasih sayang) merupakan
lingkungan yang baik dalam membentuk generasi rabbani. Dan, inilah sebetulnya tujuan utama
dari pernikahan sebagaimana yang Allah firmankan, Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum: 21).

Generasi Rabbani adalah generasi yang baik, penuh dengan keridhaan dan kasih sayang Allah
serta hidupnya selalu dihiasi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam surat Al-Furqaan, Allah
menyebutkan mereka sebagai ibaddurrahmaan, yakni hamba yang disayangi dan dikasihi Allah.
Generasi Rabbani sebagai seorang muslim adalah tumpuan dan harapan yang akan membawa
kemajuan Islam dan tegaknya kalimatullah di bumi ini.

Dalam surat Al-Maidah ayat 54 Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka
mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mumin dan bersikap keras terhadap
orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha
Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.
Dari ayat ini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik dari generasi rabbani yang
pertama adalah yuhibbu-hum wa yuhibbuunahu, mereka mencintai Allah, melaksanakan
perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, tidak mau terlibat dalam kebobrokan-kebobrokan mental
generasinya, mempunyai hati yang bersih, dan Allah pun mencintai mereka. Karakter kedua
yaitu adzillatin alal muminin aizzatin alal kafirin, rendah hati terhadap orang mumin dan
keras terhadap orang kafir. Dan karakter yang ketiga adalah mereka bergerak dan berjuang di
jalan Allah dan mereka tidak khawatir atau takut terhadap celaan orang-orang yang suka
mencela. Karena mereka menyadari bahwa itu merupakan suatu resiko dalam perjuangan.

Inilah generasi rabbani yang merupakan sosok muslim yang ideal. Mudah-mudahan kita bisa
membimbing dan mendidik keturunan dan keluarga kita agar menjadi generasi-generasi rabbani
yang akan meneruskan perjuangan dan tegaknya diinul Islam. Sebab jika tidak maka tunggulah
kehancurannya.

nomer 9
oleh Indra AnimeMania pada 16 Oktober 2011 jam 11:22

Konsistensi Keagamaan

Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas secara
benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang dapat
menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura. Meskipun
demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya temporal atau
aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap konsisten seseorang
terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap agama yang dipeluknya.
Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya membentuk sebuah pandangan
hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah persoalan yang mudah. Di antara
langkah-langkahnya adalah;

a. Pengenalan

Seseorang harus mengenal dengan jelas agama yang dipeluknya, sehingga bisa membedakannya
dangan agama yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pokok dan cabang
yang terdapat dalam sebuah agama. Jika ada orang yang menyatakan bahwa semua agama itu
sama, maka hampir dipastikan bahwa ia sebenarnya tak mengenali agama itu satu persatu.

b. Pengertian

Ajaran agama yang dipeluk pasti memiliki landasan yang kuat, tempat dari mana seharusnya kita
memandang. Mengapa suatu ajaran diajarkan, apa faedahnya untuk kehidupan pribadi dan
masyarakat, apa yang akan terjadi jika manusia meninggalkan ajaran tersebut dan lain-lainnya,
ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan mengantarkan kita kepada sebuah
pengertian. Seseorang yang mengerti ajaran agamanya akan dengan mudah mempertahankannya
dari upaya-upaya pengacauan orang lain. Ia juga dapat menyiarkan ajaran agamanya dengan baik
dan bergairah.

c. Penghayatan

Penghayatan terhadap suatu agama lebih tinggi nilainya daripada sekedar pengertian. Ajaran
yang hidup dalam dan menjadi sebuah kecenderungan yang instingtif mencerminkan tumbuhnya
sebuah kesatuan yang tak terpisahkan antara agama dan kehidupan. Interaksi seseorang terhadap
ajaran agamanya pada fase ini tidak sekedar dengan pikirannya tetapi lebih masuk ke relung-
relung hatinya. Dengan penghayatan yang dalam seseorang dapat mengamalkan ajaran
agamanya, melahirkan keyakinan atau keimanan yang mendorongnya untuk melaksanakan
agama dengan tulus ikhlas.

d. Pengabdian

Seseorang yang tidak lagi memiliki ambisi pribadi dalam mengamalkan ajaran agamanya akan
dapat memasuki pengabdian yang sempurna. Kepentingan hidupnya adalah kepentingan
agamanya, tujuan hidupnya adalah tujuan agamanya, dan jiwanya adalah warna agamanya.
Orang yang memilki fase bagaikan sudah tidak memilki diri lagi, karena demikianlah hakikat
penghambaanyaitu . Fase penghambaan ini disebut ibadah, yaitu penyerahan diri secara total dan
menyeluruh kepada Tuhannya. Penghambaan ini akan menjelmakan pengamalan cara ibadah
tertentu (ritual, mahdhah)dan meletakkan seluruh hidupnya dibawah pengabdian kepad
Tuhannya (ghair mahdah)

e. Pembelaan

Apabila kecintaan seseorang terhadap agamanya telah demikian tinggi, maka tak boleh ada lagi
perintang yang menghalang jalannya agama. Rintangan terhadap agama adalah rintangan
terhadap dirinya sendiri, sehingga ia akan segera melakukan pembelaan. Ia rela mengorbankan
apa saja yang ada pada dirinya harta benda bahkan nyawa, bagi nama baik dan keagungan agama
yang dipeluknya. Pembelaan ini juga disebut jihad, yaitu suatu jiwa yang sungguh-sungguh
dalam membela agamanya.

Itulah makna konsistensi keagamaan seseorang yang tampak pada jalankehidupannya. Sejarah
mencatat fenomena ini dalam berbagai agama dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan manusia. Para pahlawan muncul dalam berbagai bangsa. Dalam kaitan ini Allah SWT
berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S: Al-Hujurat, 49:15)

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa agama, sangat perlu bagi manusia terutama bagi
orang yang berilmu, apapun disiplin ilmunya. Karena dengan agama ilmunya akan lebih
bermakna. Bagi kita umat islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu
agama islam.

nomer 8
oleh Indra AnimeMania pada 16 Oktober 2011 jam 11:16

Tinjauan Semantik (Berdasarkan Arti Kata)

Dalam Al-Quran, ada istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia :

1. Basyar

2. Insan

3. An-as

Ada istilah lain yang jarang dipergunakan dalam Al-Quran dan dapat dilacak pada salah satu
dari tiga kunci istilah di atas, yaitu : Unas, Anasiy, Insiy, dan Ins.

Unas

Unas disebut lima kali dalam Al-Quran dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia.

Misalnya

1. Dalam surat 2:60. Unas dipergunakan untuk menunjuk-kan 12 golongan pada Bani Israil

2. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna Pada hari kami memanggil setiap unas dengan
imam mereka.

Anasiy

Anasiy hanya disebut satu kali, yaitu dalam QS. 25:49. Anasiy adalah bentuk jamak dari insan,
dengan mengganti nun oleh ya atau boleh jadi juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy yang
menjadi karasiy.
Ins

Ins disebut 18 kali dalam Al-Quran, dan selalu dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan
makhluk manusia yang mukallaf.

Misalnya QS. 6:112,128,dan130

Kembali ke tiga istilah kunci tadi

1. BASYAR

Basyar disebut 27 kali dalam Al-Quran. Dalam seluruh ayat tersebut, basyar memberikan makna
pada manusia sebagai makhluk biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku,
bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (3:47) ; atau
bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar
manusia biasa yang seperti kita, bukan superman.

Kata basyar dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam kali) di antara
ayat-ayat yang disebutkan di muka.

Nabi Muhammad saw. disuruh Allah untuk menegaskan bahwa secara biologis ia seperti
manusia yang lain, Katakanlah aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu, hanya saja aku
diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu(18:110 ; 41:6). Tentang para nabi, orang-
orang kafir selalu berkata, bukankah ia basyar seperti kamu, ia makan apa yang kamu makan,
dan ia minum apa yang kamu minum(23.33). Ayat ini ditegaskan dalam Surat 25:7, Mereka
berkata: Bukankah rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Ketika wanita-
wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf a.s., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan
basyar, tetapi tidak lain ini kecuali malaikat yang mulia (12:31).

Secara singkat konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: makan,
minum, seks, berjalan di pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat untuk menafsirkan basyarun
mitskulum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa. Kecenderungan para Rasul
untuk tidak jatuh pada dosa atau kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tetapi sifat-sifat psikologis
(spiritual) sama tepatnya juga untuk menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam
bentuk yang sebaik-naiknya (95:4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologis manusia. Kata
insan menunjukkan karakteristik psikologis (spiritual) manusia.
2. INSAN

Insan disebut 65 kali dalam Al-Quran. Kita dapat mengelompokkan konteks insan dalam tiga
kategori, yaitu :

1. Insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah

2. Insan dihubungkan dengan sifat-sifat negatif dalam diri manusia.

3. Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.

Kecuali kategori yang ketiga yang akan kita jelaskan kemudian semua konteks insan
menunjuk pada sifat-sifat psikologis dan spiritual.

Pada Kategori Pertama, kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan
hewani. Menurut Al-Quran, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu Yang mengajar
dengan pena, mengajarkan insan apa yang tidak diketahuinya (96:4,5), Ia mengajarkan (insan)
al-bayan (55:3). Manusia diberikan kemampuan untuk mengembangkan ilmu dengan daya
nalarnya.

Dalam hal manusia sebagai makhluk pemikul amanah (33:72). Menurut Fazlur Rahman, amanah
adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah Al-Quran mengetahui
nama-nama semuanya dan kemudian menggunakannya, dengan inisiatif moral insani, untuk
menciptakan tatanan dunia yang baik.

Karena manusia memikul amanah, maka insan dalam Al-Quran juga dihubungkan dengan
konsep tanggungjawab (75:36 ; 75:3 ; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8 ; 31:14 ;
46:15) ; amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan apa yang
dikerjakannya(53:39).

Pada Kategori Kedua, kata insan dihubungkan dengan sifat-sifat negatif pada diri manusia.

Menurut Al-Quran, manusia itu :

01. Cenderung dzhalim dan kafir (14:34 ; 22:66 ; 43:15)

02. Tergesa-gesa (17:11 ; 21:37)


03. Bakhil (17:100)

04. Bodoh (33:72)

05. Banyak membantah atau mendebat (18:54 ; 16:4 ; 36:77 )

06. Resah, gelisah, dan segan membantu (70:19,20,21)

07. Ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (84:6 ; 90:4)

08. Tidak berterima kasih (100:6)

09. Berbuat dosa (96:6 ; 75:5)

10. Meragukan hari akhirat (19:66)

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk
paradoksal (bertentangan), yang berjuang mengatasi konflik antara dua kekuatan yang saling
bertentangan : kekuatan untuk mengikuti ftrah (memikul amanah Allah) dan kekuatan untuk
mengikuti sifat-sifat negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan kategori ayat-ayat insan
yang ketiga.

Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep
insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, tanah
(15:26 ; 55:14 ; 23:12 ; 32:7). Demikian pula basyar berasal dari tanah liat, tanah (15:28 ; 38:71 ;
30:20) dan air (25:54). Dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan
secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi, manusia adalah
gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang
pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua
unsur insani. Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan.

3. AN-NAS

Konsep kunci yang ketiga adalah An-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial.
Inilah istilah manusia yang paling banyak disebut dalam Al-Quran (240 kali).

Berikut ini adalah beberapa hal yang memperkuat pernyataan bahwa An-Nas menunjuk pada
manusia sebagai makhluk sosial.
1. Banyak ayat menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu
lazimnya dikenal dengan ungkapan Wa min an-Nas (dan di antara sebagian manusia). Dengan
memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman,
tetapi sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang
hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraannya
tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat tentang Allah tanpa
ilmu, petunjuk, dan Al-Kitab (22:3,8 ; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah
(22:11 ; 29:10), yang menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6) ; di samping ada sebagian
orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah.

2. Dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-nas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian
besar manusia mempunyai kualitas yang rendah baik dari segi ilmu maupun dari segi iman.
Menurut Al-Quran kebanyakan manusia itu tidak berilmu (7:187 ; 45:26), tidak bersyukur
(40:61 ; 2:243), tidak beriman (11:17 ; 12:103 ; 13:1), fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah
(10:92), kafir (17:89 ; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18). Ayat-ayat ini
dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman
(4:66 ; 38:24), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (18:22 ; 7:3) , yang bersyukur
(34:13 ; 7:10), yang selamat dari azab Allah (11:116), yang tidak diperdayakan setan (4:83).
Surat 6:116 menyimpulkan butir kedua ini : Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi,
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.

3. Al-Quran menegaskan bahwa petunjuk Al-Quran bukanlah hanya dimaksudkan pada


manusia secara individual, tetapi juga manusia secara sosial. An-Nas sering dihubungkan Al-
Quran dengan petunjuk atau Al-Kitab (2:185 ; 57:25 ; 4:170 ; 14:1 ; 24:35 ; 39:27 dan
sebagainya).

KESIMPULAN

Dari uraian di muka tampak bahwa Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk biologis,
psikologis, dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik
biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk
psikologis dan makhluk sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang dilambangkan Al-Quran sebagai
unsur tanah. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk pada taqdir Allah di alam
semesta sama taatnya seperti matahari, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia sebagai insan dan An-Nas bertalian dengan
unsur hembusan ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tetapi ia diberikan kekuatan untuk
tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi makhluk yang mukhayyar. Ia menyerap
sifat-sifat rabbaniyah menurut ungkapan Ibn Arabi seperti sama , bashar , kalam , qadar. Ia
mengemban wilayah ilahiyah . Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab.

Karena pada manusia ada sifat-sifat negatif dan positif sekaligus, menurut Al-Quran, kewajiban
manusia ialah memenangkan sifat positifnya. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah
yang dipikulnya. Secara konkrit, kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat
Islam yang sudah dirancang sesuai dengan amanah. Al-Quran tidak lain daripada rangkaian ayat
yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.

Ada dua komponen penting yang membentuk hakikat manusia dan membedakannya dari
binatang : potensi untuk mengembangkan iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan dan
meng-implementasikan keduanya dalam hidup dan kehidupan disebut amal shalih.

Karena itu dapat disimpulkan bahwa ilmu dan iman adalah dasar yang membedakan manusia dan
makhluk lain. Inilah hakikat kemanusiaannya. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.

Dalam pandangan Al-Quran, sedikit sekali orang yang berhasil mengembangkan iman dan ilmu
ini sekaligus. Sedikit orang yang beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi yang
beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al-Quran, Allah mengangkat
derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa
derajat (58:11). Makna hidup manusia diukur dari sejauh mana ia berhasil beramal sebaik-
baiknya, yakni sejauh ia mengembangkan iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan
kehidupan dan kematian untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya
(67:2)

Sesungguhnya Kami jadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan untuk Kami uji
mereka, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya (18:7).

Ini semua menunjukkan bahwa Al-Quran menyatakan hidup ini medan untuk membuktikan
amal shalih.

Anda mungkin juga menyukai