RINGKASAN
Tujuan kajian sosial ekonomi dan kelembagaan ini adalah memperoleh data
dan informasi mengenai kondisi, potensi dan permasalahan sosial ekonomi dan
kelembagaan yang ada di lokasi Taman Nasional (TN) Bantimurung-Bulusaraung
sebagai masukan dalam proses penyusunan rencana pengelolaannya. Di kawasan TN
masih ditemui pemukiman penduduk dari desa-desa sekitarnya sehingga perlu
dipertimbangkan dalam proses pengukuhan khususnya penataan batas, serta dalam
proses penataan hutan khususnya zonasi kawasan.
Pabrik semen Bosowa (konsesi 1.000 Ha) dan 11 industri marmer (konsesi
2,7 Ha s/d 50 Ha) di Kabupaten Maros, serta pabrik Semen Tonasa (konsesi 1.354,7
Ha), 18 industri marmer (konsesi 2,7 Ha s/d 50 Ha), dan penambangan pasir/pasir
silika/batu /batu gunung/semen/emas di Kabupaten Pangkep, dapat memberi
kontribusi pada Penerimaan Daerah, namun dipandang kurang sejalan dengan
kebijakan penunjukan kawasan kars tersebut sebagai kawasan konservasi.
Di Kabupaten Maros 6 diantara 10 obyek wisatanya, serta di Kabupaten
Pangkep 2 diantara 7 obyek wisatanya, berada di desa-desa yang berbatasan
dengan TN. Keberadaan gua-gua di kawasan tersebut merupakan potensi untuk
pengembangan obyek wisata alam, sehingga menjadi peluang kerja dan berusaha
untuk memberdayakan masyarakat serta sebagai sumber Penerimaan Daerah.
Dengan menyediakan sarana prasarana fisik dan kelembagaan, Pemerintah
Kabupaten Maros dapat menghimpun Penerimaan Daerah dari Taman Wisata Alam
Bantimurung yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Mengelola jasa wisata
alam dengan baik dapat menjadikannya sebagai sumber Penerimaan Daerah yang
dapat diandalkan. Selain sejalan dengan penunjukkan kawasan kars Bantimurung-
Bulusaraung sebagai TN, pemanfaatan jasa wisata alam dapat menjadi alternatif
pengganti pemanfaatan tambang yang kurang mendukung upaya konservasi.
Pemerintah Daerah (PEMDA) Sulawesi Selatan membuka peluang untuk
berinvestasi pada usaha pariwisata alam, bahari serta budaya. Dinas Pariwisata
Provinsi telah menjalin kerja sama dengan sejumlah biro perjalanan wisata dan
menyediakan paket-paket wisata. Pengembangan wisata alam di Sulawesi Selatan
dapat menjadi pengungkit bagi berkembangnya pemanfaatan jasa lingkungan
terutama wisata alam yang ada di desa-desa sekitar TN Bantimurung-Bulusaraung.
Stakeholder primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya
dalam menyusun rencana pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung adalah:
1. Pemerintah Pusat melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Balai
Perpetaan Kawasan Hutan Sulawesi Selatan.
2. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Biro Perjalanan Wisata
3. Pemerintah Kabupaten Maros dan jajarannya, Pabrik Semen Bosowa, Industri
Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas Pariwisata Kabupaten,
dan penduduk desa setempat.
4. Pemerintah Kabupaten Pangkep dan jajarannya, Pabrik Semen Tonasa, Industri
Marmer, Penambang pasir/pasir silika/batu gunung /emas, pelaku usaha
tambang lainnya, dan penduduk desa setempat.
Bila pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung dilakukan secara kolaboratif
/kemitraan, stakeholder yang akan berkolaborasi memiliki kepentingan yang
beragam sehingga perlu dibangun kesepahaman, saling percaya, adil, partisipatif,
saling menguntungkan, ada peluang bagi masyarakat dan perlu pendampingan
.
Kata kunci: Bantimurung-Bulusaraung, konservasi, kelembagaan
1
I. PENDAHULUAN
B. Metoda Analisis
Analisis data dilakukan menggunakan analisis kuantitatif dan deskriptif.
Data kuantitatif dianalisis menggunakan cara tabulasi, penjumlahan dan rata-rata.
Data kualitatif dianalisis dengan cara menyajikan deskripsi tentang keterkaitan
antara satu aspek dengan aspek lain, keterkaitan kepentingan dan tupoksi (tugas
pokok dan fungsi) antara satu institusi/lembaga dengan institusi/lembaga lain, dan
melakukan komparasi antara fakta lapangan dengan hukum positif yang berlaku.
3
1. Kabupaten Maros
2. Kabupaten Pangkep
Kabupaten Pangkep terdiri dari 12 Kecamatan yang terbagi menjadi 65 Desa
dan 36 Kelurahan. Ibukota Kabupaten Pangkep adalah Pangkajene. Desa dan dusun
di Kabupaten Pangkep yang berbatasan dengan kawasan yang ditunjuk sebagai TN
Bantimurung-Bulusaraung dapat diikuti dalam Tabel 3.
Dinas Pariwisata dan penduduk desa setempat, adalah stakeholder primer yang
perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya dalam rangka menyusun rencana
pengelolaan TN Bantimurung -Bulusaraung kedepan.
Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan telah menjalin kerja sama dengan
sejumlah biro perjalanan wisata dan menyediakan paket-paket wisata menarik.
Paket wisata setengah hari ke Bantimurung untuk menikmati pemandian air
terjun, memasuki gua Mimpi dan Taman Purbakala Leang Leang. Paket wisata 1
hari untuk mengunjungi pulau-pulau kecil Samalona, Kodingareng, Barrang Lompo
dan Bone Tambu menggunakan perahu bermotor, untuk menyelam, berenang atau
berjemur di pantai. Paket wisata 4 hari perjalanan Bugis-Makassar untuk
menyaksikan berbagai objek wisata. Paket kunjungan lima hari di Sulawesi Selatan
dimulai dari Jakarta, Sulawesi Selatan dan kembali ke Jakarta lagi. Paket wisata
lain yaitu Makassar-Singapura-Bangkok-Pattaya, atau Makassar-Kuala Lumpur-Brunei
Darussalam dan Manila.
Selain itu, masyarakat Sulawesi Selatan juga telah menjadikan Bantimurung
sebagai salah satu tujuan wisata mereka. Setiap pekan terakhir sebelum memasuki
Bulan Ramadan, yang biasa disebut minggu terakhir, benar-benar digunakan oleh
masyarakat Sulawesi Selatan untuk mengunjungi sejumlah tempat wisata yang ada
di daerah ini.
Sesuai Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Maros No. 26 Tahun 2000
tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah
Lingkup Pemerintah Kabupaten Maros, dalam Bab XIII dicantumkan adanya Kantor
Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan Bantimurung. PERDA tersebut
ditindaklanjuti dengan Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang Penjabaran
Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung, yang antara lain memuat tugas pokok pengelolaan kawasan
Bantimurung, pemeliharaan sarana prasarana serta pengembangan dan peningkatan
pendapatan, sehingga perlu berkoordinasi dengan pihak terkait dalam rangka
pengembangan dan peningkatan Pendapatan Daerah.
Tugas utama untuk meningkatkan Pendapatan Daerah tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan PERDA No. 12 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama
PERDA No. 11 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga. Untuk
itu diperlukan dana yang cukup memadai, dimana salah satu sumber dana yang
sangat diharapkan kontribusinya adalah hasil retribusi. Upaya pengembangan
tempat-tempat rekreasi dan olah raga dilakukan seiring dengan tuntutan
masyarakat untuk menikmati fasilitas rekreasi dan olah raga yang baik. Sesuai
PERDA No. 12 Tahun 2001 tersebut, struktur retribusi dan besarnya tarif di Taman
Wisata Bantimurung dapat diikuti dalam Tabel 9.
12
Tabel 10. Penerimaan Daerah dari Taman Wisata Bantimurung (Rp) (2005)
Tahun Retribusi Jumlah
Parkir Tempat rekreasi dan OR
2001 16.941.500 910.590.350 927.531.850
2002 19.287.950 1.090.315.500 1.109.603.450
2003 58.378.650 1.229.985.500 1.288.364.150
2004 77.665.500 1.377.322.500 1.454.988.000
Sumber: Diolah dari Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan Bantimurung,
2005
Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) dan Luar Negeri (SATS-LN) yang tidak dilindungi
dari hasil penangkaran atau alam, untuk keperluan komersial dan non komersial.
Sementara itu peredaran tumbuhan atau satwa dipasar dunia harus
mematuhi kesepakatan internasional yang berlaku. Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) merupakan perjanjian
internasional mengenai perdagangan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang
terancam punah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan species
satwa dan tumbuhan di seluruh dunia akibat kegiatan perdagangan. Jenis
tumbuhan dan satwa digolongkan ke dalam tiga kategori sesuai tingkat
kelangkaannya, yaitu:
Appendix I, memuat seluruh jenis flora/tumbuhan dan fauna/satwa yang terancam
punah akibat perdagangan, sehingga perdagangannya dilarang atau diatur secara
ketat. Appendix II, memuat semua jenis yang walau saat ini tidak terancam punah
namun dapat punah apabila perdagangannya tidak diatur secara ketat, karenanya
diterapkan sistem kuota. Appendix III, memuat semua jenis yang dinyatakan
dilindungi oleh peraturan negara anggota CITES untuk membatasi pemanfaatan
berlebihan sehingga pengawasannya memerlukan kerjasama dengan negara-negara
anggota CITES lainnya. Dengan berlakunya CITES, semua species tumbuhan/satwa
liar yang keluar masuk wilayah Republik Indonesia baik untuk kepentingan
komersian maupun non komersial harus diliput oleh dokumen yang diterbitkan oleh
management authority yang ditunjuk (Anonimus, 2003).
Selain itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1994
Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam mengatur bahwa TN, THR, TWA
merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya sehingga perlu dijaga
kelestariannya namun dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata melalui
pengusahaan pariwisata alam. Pengusaha pariwisata alam menyusun Rencana Karya
Pengusahaan Pariwisata Alam berdasarkan Rencana Pengelolaan, memuat rencana
kegiatan untuk mencapai tujuan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan yang
bersangkutan. Pengusahaan pariwisata alam diselenggarakan pada zona
pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan, berupa usaha sarana pariwisata
alam dengan jenis-jenis:
1. Akomodasi: pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja
2. Makanan dan minuman
3. Sarana wisata tirta
4. Angkutan wisata
16
5. Cinderamata
6. Sarana wisata budaya
Persyaratan usaha pariwisata adalah luas kawasan untuk bangunan sarana
prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan, arsitek
bangunan bergaya budaya setempat, dan tidak mengubah bentang alam yang ada.
Pengusahaan pariwisata alam dilakukan oleh Koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
Perusahaan Swasta, atau Perorangan setelah mendapatkan Izin Pengusahaan dari
Menteri Kehutanan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Kepariwisataan
dan Gubernur. Jangka waktu pengusahaan maksimum 30 tahun dan dapat
diperpanjang.
Kewajiban yang harus dipenuhi dalam pengusahaan pariwisata alam antara
lain: Membuat dan menyerahkan Rencana Karya Pengusahaan berdasarkan Rencana
Pengelolaan kepada Menteri, mengikutsertakan masyarakat sekitarnya,
merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya, serta membayar
pungutan atas izin pengusahaan pariwisata dan iuran hasil usaha.
Sementara itu kaitannya dengan butir 4 dan 8 dari kegiatan yang dapat
dikolaborasikan, terdapat Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung, yang antara lain memuat tugas pokok pengelolaan kawasan
Bantimurung, pemeliharaan sarana prasarana serta pengembangan dan peningkatan
pendapatan, sehingga perlu berkoordinasi dengan pihak terkait dalam rangka
pengembangan dan peningkatan Pendapatan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2000. PERDA Kabupaten Maros No. 26 Tahun 2000 tentang Pembentukan,
Susunan Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah Lingkup
Pemerintah Kabupaten Maros. Pemerintah Kabupaten Maros. Maros
Anonimus. 2001. PERDA No. 12 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama PERDA No.
11 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga.
Pemerintah Kabupaten Maros. Maros
Anonimus. 2001. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi
Sulawesi Selatan. Makassar
Anonimus. 2001. Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung. Bupati Maros. Maros
Anonimus. 2003. Kabupaten Maros Dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Maros, Maros
Anonimus. 2004. Data dan Informasi Kantor Pariwisata dan Seni Budaya.
Pemerintah Kabupaten Maros. Maros