Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-

BULUSARAUNG DI SULAWESI SELATAN


Setiasih Irawanti

RINGKASAN

Tujuan kajian sosial ekonomi dan kelembagaan ini adalah memperoleh data
dan informasi mengenai kondisi, potensi dan permasalahan sosial ekonomi dan
kelembagaan yang ada di lokasi Taman Nasional (TN) Bantimurung-Bulusaraung
sebagai masukan dalam proses penyusunan rencana pengelolaannya. Di kawasan TN
masih ditemui pemukiman penduduk dari desa-desa sekitarnya sehingga perlu
dipertimbangkan dalam proses pengukuhan khususnya penataan batas, serta dalam
proses penataan hutan khususnya zonasi kawasan.
Pabrik semen Bosowa (konsesi 1.000 Ha) dan 11 industri marmer (konsesi
2,7 Ha s/d 50 Ha) di Kabupaten Maros, serta pabrik Semen Tonasa (konsesi 1.354,7
Ha), 18 industri marmer (konsesi 2,7 Ha s/d 50 Ha), dan penambangan pasir/pasir
silika/batu /batu gunung/semen/emas di Kabupaten Pangkep, dapat memberi
kontribusi pada Penerimaan Daerah, namun dipandang kurang sejalan dengan
kebijakan penunjukan kawasan kars tersebut sebagai kawasan konservasi.
Di Kabupaten Maros 6 diantara 10 obyek wisatanya, serta di Kabupaten
Pangkep 2 diantara 7 obyek wisatanya, berada di desa-desa yang berbatasan
dengan TN. Keberadaan gua-gua di kawasan tersebut merupakan potensi untuk
pengembangan obyek wisata alam, sehingga menjadi peluang kerja dan berusaha
untuk memberdayakan masyarakat serta sebagai sumber Penerimaan Daerah.
Dengan menyediakan sarana prasarana fisik dan kelembagaan, Pemerintah
Kabupaten Maros dapat menghimpun Penerimaan Daerah dari Taman Wisata Alam
Bantimurung yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Mengelola jasa wisata
alam dengan baik dapat menjadikannya sebagai sumber Penerimaan Daerah yang
dapat diandalkan. Selain sejalan dengan penunjukkan kawasan kars Bantimurung-
Bulusaraung sebagai TN, pemanfaatan jasa wisata alam dapat menjadi alternatif
pengganti pemanfaatan tambang yang kurang mendukung upaya konservasi.
Pemerintah Daerah (PEMDA) Sulawesi Selatan membuka peluang untuk
berinvestasi pada usaha pariwisata alam, bahari serta budaya. Dinas Pariwisata
Provinsi telah menjalin kerja sama dengan sejumlah biro perjalanan wisata dan
menyediakan paket-paket wisata. Pengembangan wisata alam di Sulawesi Selatan
dapat menjadi pengungkit bagi berkembangnya pemanfaatan jasa lingkungan
terutama wisata alam yang ada di desa-desa sekitar TN Bantimurung-Bulusaraung.
Stakeholder primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya
dalam menyusun rencana pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung adalah:
1. Pemerintah Pusat melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Balai
Perpetaan Kawasan Hutan Sulawesi Selatan.
2. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Biro Perjalanan Wisata
3. Pemerintah Kabupaten Maros dan jajarannya, Pabrik Semen Bosowa, Industri
Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas Pariwisata Kabupaten,
dan penduduk desa setempat.
4. Pemerintah Kabupaten Pangkep dan jajarannya, Pabrik Semen Tonasa, Industri
Marmer, Penambang pasir/pasir silika/batu gunung /emas, pelaku usaha
tambang lainnya, dan penduduk desa setempat.
Bila pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung dilakukan secara kolaboratif
/kemitraan, stakeholder yang akan berkolaborasi memiliki kepentingan yang
beragam sehingga perlu dibangun kesepahaman, saling percaya, adil, partisipatif,
saling menguntungkan, ada peluang bagi masyarakat dan perlu pendampingan
.
Kata kunci: Bantimurung-Bulusaraung, konservasi, kelembagaan
1

I. PENDAHULUAN

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor


890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 telah ditunjuk areal hutan di Provinsi
Sulawesi Selatan seluas 43.750 Ha sebagai kawasan hutan, diantaranya berupa
Cagar Alam ( 10.282,65 Ha), Taman Wisata Alam ( 1.624,25 Ha), Hutan Lindung
( 21.343,10 Ha), Hutan Produksi Terbatas ( 145 Ha), dan Hutan Produksi Tetap (
10.355 Ha). Kawasan tersebut berada pada Kelompok Hutan Bantimurung -
Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Pangkep, yang merupakan ekosistem kars,
memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi. Di
dalamnya terdapat berbagai jenis flora, antara lain: Bintangur (Calophyllum sp.),
Beringin (Ficus sp.), Nyato (Palaquium obtusifolium), dan flora endemik Sulawesi
Kayu hitam (Diospyros celebica). Selain itu terdapat berbagai jenis satwa liar yang
khas dan endemik seperti Kera hitam (Macaca maura), Kuskus sulawesi (Phalanger
celebencis), Musang sulawesi (Macrogolidia mussenbraecki), Rusa (Cervus
timorensis), burung Enggang hitam (Halsion cloris), Raja udang (Halsion cloris),
Kupu-kupu (Papilio blumei, Papilio satapses, Troides halipton, Troides helena),
berbagai jenis amfibia dan reptilia seperti Ular phyton (Phyton reticulates), Ular
daun, Biawak besar (Paranus sp.), Kadal terbang, dan lainnya. Ekosistem kars Maros
- Pangkep tersebut juga memiliki lansekap kars yang unik, gua-gua dengan ornamen
stalaktit dan stalakmit, gua-gua yang bernilai historis/situs purbakala, panorama
alam yang indah dan air terjun yang dapat dikembangkan sebagai laboratorium
alam untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan konservasi alam serta kepentingan
ekowisata. Kawasan ini juga merupakan daerah tangkapan air bagi kawasan di
bawahnya dan beberapa sungai penting di Provinsi Sulawesi Selatan seperti S.
Walanea, S. Pangkep, S. Pute, dan S. Bantimurung.
Dalam rangka perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, berdasarkan Berita Acara Hasil
Pengkajian dan Pembahasan Tim Terpadu, tanggal 8 Oktober 2004 kawasan hutan
di Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas 43.750 ha Ha tersebut
memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi Kawasan Pelestarian Alam dengan
fungsi Taman Nasional. Upaya perubahan fungsi tersebut dilakukan dengan
memperhatikan beberapa surat dari Pemerintah Daerah setempat, sebagai berikut.
1. Surat Gubernur Sulawesi Selatan No. 660/27/Set, 5 Januari 2004, dan
rekomendasi No 660/472/SET, 7 Pebruari 2003.
2. Keputusan DPRD Prov. Sulawesi Selatan No. 27 Th 2003, 19 Desember 2003.
2

3. Rekomendasi Bupati Maros No. 660.1/532/Set, 13 Nopember 2002.


4. Rekomendasi DPRD Kab. Maros No. 660.1/347/DPRD/2002, 17 Desember 2002.
5. Surat Bupati Pangkep No. 430/13/DLHK, 15 Maret 2003.
6. Surat Ketua DPRD Kab. Pangkep No. 005/194/Sek-DPRD, 30 Juli 2003.
Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/Menhut-II/2004, tanggal
18 Oktober 2004, kawasan hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung - Balusaraung
seluas 43.750 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi
Sulawesi Selatan ditunjuk sebagai Taman Nasional BantimurungBulusaraung.
Sebagai tindak lanjutnya, Kepala Badan Planologi Kehutanan perlu mengatur
pelaksanaan pengukuhannya serta Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam perlu melakukan pengelolaan kawasan hutan tersebut sebagai TN.
Mempertimbangkan hal tersebut, penyusunan rencana pengukuhan dan
pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung seyogyanya dapat mengakomodasi
kepentingan dan partisipasi dari seluruh stakeholder terkait lainnya. Laporan ini
menyajikan data dan informasi hasil kajian sosial ekonomi dan kelembagaan di
lokasi TN Bantimurung-Bulusaraung, dengan harapan dapat bermanfaat bagi proses
pengukuhan dan penyusunan rencana pengelolaannya.

II. METODE PENELITIAN


A. Lokasi
Kajian ini dilakukan di 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan. Instansi yang dikunjungi adalah
Dinas Pariwisata Propinsi, Balai Konservasi Sumbardaya Alam (BKSDA) dan Balai
Perpetaan Kawasan Hutan (BPKH) Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep serta obyek wisata
Bantimurung. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder,
menggunakan metoda konsultasi dan pencatatan.

B. Metoda Analisis
Analisis data dilakukan menggunakan analisis kuantitatif dan deskriptif.
Data kuantitatif dianalisis menggunakan cara tabulasi, penjumlahan dan rata-rata.
Data kualitatif dianalisis dengan cara menyajikan deskripsi tentang keterkaitan
antara satu aspek dengan aspek lain, keterkaitan kepentingan dan tupoksi (tugas
pokok dan fungsi) antara satu institusi/lembaga dengan institusi/lembaga lain, dan
melakukan komparasi antara fakta lapangan dengan hukum positif yang berlaku.
3

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Menurut administrasi pemerintahan, TN Bantimurung-Bulusaraung terletak
di Wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep dengan batas-batas
Kabupaten Barru (sebelah utara), Kabupaten Bone (sebelah timur), Kabupaten
Maros (sebelah selatan) serta Kabupaten Maros dan Pangkep (sebelah barat).
Secara geografis kawasan tersebut terletak pada 433 502 Lintang Selatan
dan 11938 11957 Bujur Timur.
Lokasi kawasan TN ini sangat strategis karena dibagian utara kawasan TN ini
melintas jalan propinsi yang menghubungkan kota Makassar dan Pare-Pare,
sedangkan di bagian timur melintas jalan propinsi yang menghubungkan kota
Makassar dan Bone (Anonimus, 2004).

1. Kabupaten Maros

Tabel 1. Desa dan Dusun disekitar kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung


Kecamatan Desa Dusun yg Berbatasan TN KK dlm
Kawasan
Mallawa Samaenre Bontosiring, Rea Malempo
Bentenge Tanete, Bentenge, Rea Toa
Barugae Balang Lohe, Mamappang,Takke Hatu 30
Camba Cempaniga Tabonggae, Gattareng, Malisu
Timpuseng Matajang, Ara 100
Pattiro Deceng Maddenge, Satoa Ujung
Pattanyameng Ulebali, Mangnga, Bontotanga
Baji Pamai Padangh Alla, Madallo, Parang, Laniti 147
Mario Pulana
Cenrana Labuaja Pattiro 1
Laiya Matajang, Bontopanno, Bontomanai
Lebbotengae Parigi, Tanatekko
Rompegading Bululoha, Moncongjai, Pattiro, Labuaja 10
Limapoccoe Watang Bengo, Kampung Baru 30
Simbang Samangki Samanggi Baru, Samanggi, Pattunuang, Tallasa 250
Jenetaesa Bantimurung
Bantimurung Kallabirang Pakalu, Tompobalang
Leang-Leang Samaluri, Baratodong, Abbo 7
Tompo Bulu Bonto Somba Cindakko, BontoBonto, Bara 80
Bontomanurung Sejahtera, Bahagia, Baru
Bontomanai Tala-Tala, Malolo
6 21 52 655
Sumber: Diolah dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I bekerjasama dengan LSM, 2005

Wilayah Kabupaten Maros terdiri dari 12 Kecamatan, yang terbagi menjadi


80 Desa dan 23 Kelurahan. Desa dan dusun yang berbatasan dengan kawasan yang
4

ditunjuk sebagai TN Bantimurung-Bulusaraung dapat diikuti dalam Tabel 1.


Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa di dalam kawasan yang ditunjuk
sebagai kawasan TN masih ditemui pemukiman penduduk dari desa-desa yang
berada disekitarnya. Hal tersebut tentu perlu mendapat perhatian agar dapat
dihindari timbulnya konflik dikemudian hari.
Di Kabupaten Maros juga terdapat beberapa obyek wisata yang
direncanakan akan dilengkapi dengan sarana prasarana pendukung agar potensinya
dapat menarik kunjungan wisatawan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Data potensi obyek wisata Kabupaten Maros (2004)


No Nama Obyek Spesifik daya tarik Lokasi Jarak dr
Maros
1 Bantimurung Air terjun, kupu2, goa, lembah, Kel. Kalabbirang 10 km
bukit karst Kec. Bantimurung
2 Taman Goa dng lukisan purbakala Kel.Leang-leang 11 km
prasejarah Kec. Bantimurung
Leang-leang
3 Goa Pattunuang Goa yg punya stalaktit dan Ds Samangki 15 km
staklamit , sungai, flora fauna Kec Simbang
dan legenda masyarakat
4 Cagar Alam Goa 2200 m, flora/fauna langka Ds Samangki 20 km
Karaenta Kec Simbang
5 Sungai Pute Sungai, hutan, bakau, nipah, Ds Bonto 5 km
onggokan, batu pipih di bukit Lempangan
karst Kec Bontoa
6 Bulu Sipong Bukit karst, goa dng lukisan2 Ds Bonto 15 km
Lempangan
Kec Bontoa
7 Bonto Somba Air terjun, flora/fauna, Ds Bonto Somba 25 km
pemandangan alam Kec Tompobulu
8 Pantai Kuri Pasir putih, vegetasi, sejuk, Ds Nisombalia 20 km
perkampungan nelayan Kec Marusu
9 Rea Toa Air panas, pemandangan alam Ds Samaenre 50 km
Kec Mallawa
10 Leang PanningE Goa, stalakmit/stalaktit, Ds Batu Putih 55 km
kelelawar, pemandangan alam Kec Mallawa
Sumber: Diolah dari Data dan Informasi Kantor Pariwisata dan Seni Budaya, 2004,
Pemerintah Kabupaten Maros.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa diantara 10 obyek wisata yang


dipandang potensial, 6 diantaranya berada di desa-desa yang berbatasan dengan
kawasan TN, sehingga terbuka peluang kerja dan usaha di bidang jasa wisata alam
bagi penduduk desa setempat. Saat ini Bantimurung merupakan satu-satunya obyek
wisata alam di Kabupaten Maros yang telah memiliki nilai jual. Wisata alam yang
tersedia di Bantimurung antara lain air terjun, tempat pemandian, gua, dan kupu-
kupu.
5

Di lapin pihak, batuan karbonat di kawasan kars TN tersebut memiliki nilai


ekonomi tinggi sebagai bahan baku tambang marmer dan semen. Di Kabupaten
Maros terdapat pabrik semen Bosowa yang memiliki konsesi seluas 1.000 Ha dan 11
industri marmer yang memiliki konsesi bervariasi antara 2,7 Ha sampai 50 Ha
(Anonimus, 2004). Berkembangnya industri tersebut tentu memberi kontribusi
kepada Penerimaan Daerah dan pendapatan masyarakat setempat, namun
pemanfaatan batuan karbonat dari kawasan kars tersebut dipandang kurang sejalan
dengan upaya penunjukan kawasan kars tersebut sebagai kawasan konservasi.
Berdasarkan uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa Pemerintah
Kabupaten Maros dan jajarannya, serta stakeholder terkait lainnya, seperti Pabrik
Semen Bosowa, Industri Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas
Pariwisata Kabupaten, dan masyarakat desa yang terkait, adalah stakeholder
primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya dalam rangka
menyusun rencana pengelolaan TN Bantimurung -Bulusaraung kedepan.

2. Kabupaten Pangkep
Kabupaten Pangkep terdiri dari 12 Kecamatan yang terbagi menjadi 65 Desa
dan 36 Kelurahan. Ibukota Kabupaten Pangkep adalah Pangkajene. Desa dan dusun
di Kabupaten Pangkep yang berbatasan dengan kawasan yang ditunjuk sebagai TN
Bantimurung-Bulusaraung dapat diikuti dalam Tabel 3.

Tabel 3. Desa dan dusun disekitar kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung


Kecamatan Desa Dusun yg Berbatasan TN KK dlm
Kawasan
Balocci Tompo Bulu Bulu-Bulu, Padang Tanga 220
Balocci Baru Sumpabita, Rambae 208
Kel. Tonasa Lingk. Tonasa, Majennang
Kel. Balleanging Padang Tangalo, Tompo Balang 100
Kel. Kassi Kassi, Jannayya
Tondong Malaka Cole-Cole, Tompo Malaka
Tallasa Bantimurung Bantimurung, Parang Luara
Bonto Birau Bonto, Birau
Desa Lanne Lanne, Manjalling
Minasa Tene Kel. Kalabbirang Pattalassang
Panaikang Leang Lonrong, Cinden
Kel. Bontoa Bontoa 100
Kel. Minasa Tene Matojeng
Kel. Biraeng Bellae, Langa
Bakka Lamerangeng, Soreang
3 15 27 628
Sumber: Diolah dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I bekerjasama dengan LSM, 2005
6

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa didalam kawasan yang ditunjuk


sebagai TN masih terdapat pemukiman penduduk dari desa-desa yang berbatasan
dengan kawasan tersebut. Hal tersebut tentu perlu mendapat perhatian agar dapat
dihindari timbulnya konflik dikemudian hari.
Diantara desa-desa tersebut terdapat potensi desa yang sangat beragam,
terutama potensi wisata, budaya, alam dan tambang yang terkait dengan
keberadaan kawasan TN sebagaimana dapat diikuti dalam Tabel 4.

Tabel 4. Potensi desa/dusun sekitar TN di Kabupaten Pangkep (2005)


No Kecamatan Berbatasan dengan TN Potensi Obyek Penam-
Desa/Kel. Dusun/Lingk. Desa Wisata Bangan
1 Balocci Tompo Bulu Bulu-Bulu Gula aren Bulu -
saraung
Balocci Baru Sumpabita Wisata Sumpabi Batu gng
ta
Kel. Tonasa Tonasa - - Batu
Kel. Balleanging Padang Tangalo Kemiri, Assulo- Marmer
Mente ang (gua)
Kel. Kassi Kassi - - Batu gng
2 Tondong Malaka Cole-Cole Perkebunn - Batu gng
Tallasa Tambang Batubara
Emas
Psr silika
Marmer
Bantimurung Bantimurung Perkebunn Pemandi Batu
Tambang an Era Marmer
Tallasa Emas
Bonto Birau Bonto Wisata Gua Marmer
Birau Tambang Leang Psr silika
Paniki
Desa Lanne Lanne Wisata Situs gua Psr silika
Manjalling Tambang
3 Minasa Kel. Kalabbirang Pattalassang Pemandian Leang Pasir
Tene Surukang
Panaikang Leang Lonrong Pemandian Leang Batu gng
Gua Lonrong
Kel. Bontoa Bontoa - - -
Kel. Minasa Matojeng - - -
Tene
Kel. Biraeng Bellae Wisata Gua -
Langa purbakala
Bakka Lamerangeng - - -
Soreang
Sumber: Diolah dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I bekerjasama dengan LSM, 2005

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa di desa-desa sekitar kawasan TN


Bantimurung-Bulusaraung yang termasuk wilayah Kabupaten Pangkep teridentifikasi
adanya potensi sumberdaya alam, baik berupa potensi wisata alam seperti
pemandian, gua/situs, wisata purbakala, maupun sumberdaya tambang seperti
pasir, pasir silika, batu, batu gunung, marmer, dan emas. Potensi tersebut sebagian
7

telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten untuk memacu Penerimaan


Daerah, namun sebagaian baru dimanfaatan secara lokal oleh penduduk setempat.
Di Kabupaten Pangkep juga telah berdiri pabrik Semen Tonasa yang memiliki
konsesi seluas 1.354,7 Ha, serta 18 industri marmer dengan luas konsesi bervariasi
antara 2,7 Ha sampai 50 Ha (Anonimus, 2004).
Selain itu, wilayah Kabupaten Pangkep juga memiliki beberapa obyek wisata
yang dewasa ini sedang dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten sebagai aset
daerah, sebagaimana dapat diikuti dalam Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat
diketahui bahwa diantara 7 obyek wisata yang ditawarkan oleh PEMDA Pangkep, 2
diantaranya berada di desa yang berbatasan dengan kawasan TN Bantimurung-
Bulusaraung. Pemanfaatan jasa wisata alam dipandang masih sejalan dengan upaya
penunjukkan kawasan TN sebagai kawasan konservasi.

Tabel 5. Data potensi obyek wisata Kabupaten Pangkep


No Nama Obyek Spesifik daya tarik Lokasi Jarak dr
Pangkep
1 Mattampa Kolam renang, Kel. Samalewa 3 km
pemancingan, gua Kec. Bungoro
2 Pulau Kapoposang Diving, terumbu karang, Ds. Mattiro Ujung 90 menit
ikan hias, pantai pasir Kec. Liukang barat laut
putih Tupabiring Makassar
3 Pulau Langkadea Pantai pasir putih, Pesisir barat Speedboat
berenang, menyelam, Pangkajene 25 menit,
bersampan perahu 90
menit
4 Permandian Alam Pemandian alam, gua, Ds. Bantimurung 28 km
Barrutunga pemancingan, panjat Kec.Tondong Tallasa timut kota
tebing, keindahan hutan Pangkajene
alam
5 Taman Purbakala Situs gua, kolam renang, Kel Balocci Baru 17 km
Sumpang Bita seribu anak tangga, bukit Kec. Balocci timur kota
hijau, udara sejuk, kicau Pangkajene
burung
6 Sungai Mas Damai Perkampungan tradisional, Kampung Toli-Toli, Kota
delta singai, tambak, pesisir Pangkajene Pangkajene
hutan bakau
7 Hutan Bakau Menelusiri pantai Kota Pangkajene Pantai
barat
Pangkajene
Sumber: Potensi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pariwisata
dan Budaya Kabupaten Pangkep.

Namun berbeda dengan pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang


dipandang kurang mendukung upaya penunjukan kawasan TN sebagai kawasan
konservasi, karena usaha pertambangan tersebut justru dapat menghancurkannya.
Oleh karena itu, Pabrik Semen, Industri Marmer, Penambangan pasir/pasir
silika/batu gunung/emas, Dinas Perindustrian, pelaku usaha pertambangan lainnya,
8

Dinas Pariwisata dan penduduk desa setempat, adalah stakeholder primer yang
perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya dalam rangka menyusun rencana
pengelolaan TN Bantimurung -Bulusaraung kedepan.

B. Pengembangan Pariwisata: Pengungkit Bagi Pemanfaatan Potensi Jasa


Lingkungan Di Propinsi Sulawesi Selatan

1. Gua sebagai potensi wisata alam


Di dalam kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung banyak terdapat gua-gua
yang memiliki nilai arkeologis dan historis yang sangat potensial bagi
pengembangan wisata alam. Sebaran potensi gua di kawasan TN Bantimurung-
Bulusaraung dapat diikuti dalam Tabel 6. Selain terdapat keindahan lorong
panjang dibawah tanah, stalaktit, stalakmit, flow stone, helektit, pilar dan
sodastraw, di dalam gua juga kadang dijumpai burung walet/kelelawar yang
berkembang biak didalamnya. Secara historis, gua juga merupakan bekas tempat
hunian manusia beribu tahun silam sebelum mereka mengenal cara membangun
rumah tempat tinggal (Anonimus, 2004).

Tabel 6. Sebaran Potensi Gua di TN Bantimurung-Bulusaraung


No Sebaran potensi gua Jumlah Lokasi Administratif
1 TWA Bantimurung 16 gua Kel Kalabbirang, Kec Bantimurung
Kab Maros
2 TWA Gua Pattunuang 40 gua Ds Semangki, Kec Simbang
Kab Maros
3 CA Bantimurung 34 gua Kel Kalabbirang Kec Bantimurung
Kab Maros
4 CA Karaenta 12 gua Kec Simbang dan Kec Camba
(teridentifikasi) Kab Maros
5 CA Bulusaraung 7 gua Kab Maros, Kab Pangkep, Kab Bone
Sumber: Diolah dari Usulan Areal Konservasi TN Bantimurung Bulusaraung
Kabupaten Maros dan Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan, 2004

Selain itu, di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep sedikitnya


terdapat 66 gua prasejarah. Situs gua yang mengandung unsur budaya dan telah
mendapatkan perlindungan, tersebar dikawasan kars Maros Pangkep sebagaimana
dapat diikuti dalam Tabel 7.
Gua-gua tersebut ditemukan di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros
serta Kecamatan Balocci, Pangkajene, Labbakkang dan Bungoro Kabupaten
Pangkep. Ciri yang menarik dari gua prasejarah adalah adanya lukisan pada dinding
gua yang menggambarkan cap tangan, binatang, serta obyek lain yang merupakan
lambang kegiatan religi masyarakat pada masa itu (Anonimus, 2004).
9

Tabel 7. Situs gua dikawasan kars Maros Pangkep


No Nama Situs/Gua
1 Gua Ara
2 Gua Awal
3 Gua Batu Ejaya
4 Gua Bola Batu
5 Gua Cadang
6 Gua Leang Balisao
7 Gua Leang Burung I
8 Gua Leang Burung II
9 Gua Leang Cekondo
10 Gua Leang Karrasa
11 Gua Leang Panisi
12 Gua Leang Pattae
13 Gua Leang Saripa
14 Gua Leang Tomatua
15 Gua Leang Uleleba
16 Gua Panganreang
17 Gua Ulu Leang
18 Gua Sumpang Bitta
Sumber: Diolah dari Usulan Areal Konservasi TN Bantimurung Bulusaraung
Kabupaten Maros dan Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan, 2004

Keberadaan gua-gua tersebut merupakan potensi alam yang dapat


dikembangkan sebagai obyek wisata, sehingga dapat memberi peluang kerja dan
berusaha serta sebagai wahana untuk memberdayakan masyarakat desa setempat,
dan sumber Penerimaan Daerah. Bentuk pemanfaatan jasa lingkungan demikian
disatu pihak dipandang sejalan dengan upaya penunjukkan kawasan kars
Bantimurung-Bulusaraung sebagai TN, serta dilain pihak dapat menjadi alternatif
pengganti pemanfaatan tambang yang dipandang kurang mendukung upaya
konservasi.

2. Kupu-kupu sebagai potensi wisata alam


Keanekaragaman warna kupu-kupu merupakan daya tarik utama bagi Taman
Wisata Alam Bantimurung. Selain untuk dinikmati keindahannya di alam bebas,
kupu-kupu telah dimanfaatkan sebagai koleksi dalam bentuk awetan sehingga telah
diperdagangkan. Pemanfaatan kupu-kupu sebagai komoditas perdagangan ini
umumnya dalam bentuk ornament atau hiasan baik dalam jumlah besar maupun
kecil. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat ini dapat memberikan
keuntungan secara ekonomis sehingga dapat menjadi mata pencaharian untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Di dalam kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung terdapat potensi
penyebaran kupu-kupu yang cukup tinggi, seperti disajikan dalam Tabel 8.
10

Tabel 8. Sebaran Potensi Kupu-kupu di TN Bantimurung-Bulusaraung


No Sebaran potensi kupu-kupu Lokasi Administratif
1 TWA Bantimurung Kel Kalabbirang, Kec Bantimurung, Kab Maros
2 TWA Gua Pattunuang Ds Semangki, Kec Simbang, Kab Maros
3 CA Bantimurung Kel Kalabbirang Kec Bantimurung, Kab Maros
4 CA Karaenta Kec Simbang dan Kec Camba, Kab Maros
5 CA Bulusaraung Kab Maros, Kab Pangkep, Kab Bone
6 TWA Cani Sirenreng Kec Ponre dan Kec Ulaweng, Kab Bone
7 TWA Lejja Ds BuluE Kec Marioriawa, Kab Sopeng
Sumber: Diolah dari Informasi Kawasan Konservasi: Potensi Kupu-kupu di Wilayah
Kerja Balai KSDA Sulawesi Selatan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi
Selatan I. Makassar. 2003

Namun peningkatan pemanfaatan kupu-kupu ini telah menimbulkan


ancaman terhadap kepunahannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7/1999,
terdapat jenis kupu-kupu yang dilindungi di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu jenis
Troides haliphron, Troides helena, Troides hypolitus dan Cethosia myrina
(Anonimus, 2003).

3. Bantimurung: Pengungkit bagi pemanfaatan potensi wisata alam di desa-


desa sekitar Taman Nasional
Semangat mengembangkan pariwisata di Sulawesi Selatan sangat tinggi
karena potensinya yang beragam. Berbagai bentuk wisata alam, wisata budaya,
wisata bahari dan wisata spiritual ada di daerah tersebut sehingga memiliki
peluang yang baik untuk memajukan daerah. Sejumlah objek wisata bermunculan
dan biro-biro perjalanan wisata yang berkantor pusat di Jakarta berusaha membuka
cabang di Makassar. Hal ini tidak terlepas dari adanya dukungan kelancaran sarana
transportasi darat, udara, laut dengan tujuan dalam dan luar negeri.
Wisata alam pemandian air terjun Bantimurung, gua Mimpi, gua Leang-
Leang, Danau Tempe, akuarium laut Pulau Samalona, Pantai Pasir Putih Tanjung
Bira dan perajin kapal pinisinya, wisata budaya Benteng Rotterdams, Tana Toraja,
Taman Purbakala Leang Leang, perkampungan Bugis/Bajo/Kajang, Museum
Lapawawoi Bone, Gojeng Benteng Balangnipa dan rumah adat Arung Lappa, serta
wisata bahari Pulau Lae Lae, Kayangan, Barang Lompo dan Barang Caddi, adalah
ragam bentuk wisata yang tersebar di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Namun
untuk memajukan usaha kepariwisataan diperlukan investasi yang tidak sedikit,
termasuk di antaranya dana untuk promosi. Kini PEMDA Sulawesi Selatan membuka
peluang besar bagi para investor untuk menanamkan investasi di sektor usaha
pariwisata alam, bahari serta budaya. Untuk menunjang suksesnya usaha tersebut,
11

Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan telah menjalin kerja sama dengan
sejumlah biro perjalanan wisata dan menyediakan paket-paket wisata menarik.
Paket wisata setengah hari ke Bantimurung untuk menikmati pemandian air
terjun, memasuki gua Mimpi dan Taman Purbakala Leang Leang. Paket wisata 1
hari untuk mengunjungi pulau-pulau kecil Samalona, Kodingareng, Barrang Lompo
dan Bone Tambu menggunakan perahu bermotor, untuk menyelam, berenang atau
berjemur di pantai. Paket wisata 4 hari perjalanan Bugis-Makassar untuk
menyaksikan berbagai objek wisata. Paket kunjungan lima hari di Sulawesi Selatan
dimulai dari Jakarta, Sulawesi Selatan dan kembali ke Jakarta lagi. Paket wisata
lain yaitu Makassar-Singapura-Bangkok-Pattaya, atau Makassar-Kuala Lumpur-Brunei
Darussalam dan Manila.
Selain itu, masyarakat Sulawesi Selatan juga telah menjadikan Bantimurung
sebagai salah satu tujuan wisata mereka. Setiap pekan terakhir sebelum memasuki
Bulan Ramadan, yang biasa disebut minggu terakhir, benar-benar digunakan oleh
masyarakat Sulawesi Selatan untuk mengunjungi sejumlah tempat wisata yang ada
di daerah ini.
Sesuai Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Maros No. 26 Tahun 2000
tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah
Lingkup Pemerintah Kabupaten Maros, dalam Bab XIII dicantumkan adanya Kantor
Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan Bantimurung. PERDA tersebut
ditindaklanjuti dengan Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang Penjabaran
Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung, yang antara lain memuat tugas pokok pengelolaan kawasan
Bantimurung, pemeliharaan sarana prasarana serta pengembangan dan peningkatan
pendapatan, sehingga perlu berkoordinasi dengan pihak terkait dalam rangka
pengembangan dan peningkatan Pendapatan Daerah.
Tugas utama untuk meningkatkan Pendapatan Daerah tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan PERDA No. 12 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama
PERDA No. 11 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga. Untuk
itu diperlukan dana yang cukup memadai, dimana salah satu sumber dana yang
sangat diharapkan kontribusinya adalah hasil retribusi. Upaya pengembangan
tempat-tempat rekreasi dan olah raga dilakukan seiring dengan tuntutan
masyarakat untuk menikmati fasilitas rekreasi dan olah raga yang baik. Sesuai
PERDA No. 12 Tahun 2001 tersebut, struktur retribusi dan besarnya tarif di Taman
Wisata Bantimurung dapat diikuti dalam Tabel 9.
12

Tabel 9. Struktur dan besarnya retribusi di Taman Wisata Bantimurung (2005)


No Fasilitas Struktur retribusi Tarif (Rp)
1 Pintu masuk Domestik Dewasa 3.000
Domestik Anak-anak 2.000
Asing dengan Travel Biro 4.000
Asing tanpa Travel Biro 5.000
2 Sarana Pariwisata
a. Kamar ganti pakaian Dewasa, Anak-anak: per orang 500
b. WC Dewasa, Anak-anak : per orang 500
c. Barugo, Pendopo Unit per hari 75.000
d. Balai Pertemuan Unit per hari 250.000
e. Wisma VIP : Kamar per hari 60.000
Biasa : Kamar per hari 40.000
f. Mess VIP : Kamar per hari 60.000
Biasa : Kamar per hari 40.000
3 Tempat Olah Raga
Lapangan tenis Lapangan per hari 60.000
Sumber: Diolah dari PERDA No. 12 Th. 2001 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan
Olah Raga

Dengan menyediakan sarana prasarana fisik maupun kelembagaan,


Pemerintah Kabupaten Maros dapat menghimpun Penerimaan Daerah dari Taman
Wisata Alam Bantimurung sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Penerimaan Daerah dari Taman Wisata Bantimurung (Rp) (2005)
Tahun Retribusi Jumlah
Parkir Tempat rekreasi dan OR
2001 16.941.500 910.590.350 927.531.850
2002 19.287.950 1.090.315.500 1.109.603.450
2003 58.378.650 1.229.985.500 1.288.364.150
2004 77.665.500 1.377.322.500 1.454.988.000
Sumber: Diolah dari Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan Bantimurung,
2005

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa Penerimaan Daerah Kabupaten


Maros dari Taman Wisata Bantimurung makin meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari tempat rekreasi dan olahraga maupun parkir. Hal ini menunjukkan keseriusan
Pemerintah Kabupaten Maros dalam menggarap Taman Wisata Alam sebagai aset
daerah. Sebagai insentif atas tugas menghimpun retribusi tersebut, dibangun
mekanisme bahwa 10% dari penerimaan retribusi tersebut menjadi insentif bagi
Badan Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan Bantimurung. Saat ini Taman Wisata
Bantimurung bahkan telah menjadi aset andalan bagi Kabupaten Maros, hal ini
menggambarkan bahwa jasa wisata alam apabila digarap dengan baik dapat
menjadi sumber Penerimaan Daerah yang dapat diandalkan.
13

Pemerintah Kabupaten Maros pada tahun 2002 telah menyusun Proposal


Pembangunan Kawasan Wisata Bantimurung dengan harapan dapat menjadi
pengungkit bagi kemajuan obyek wisata di Kabupaten Maros. Demikian pula,
pengembangan pariwisata secara keseluruhan di Propinsi Sulawesi Selatan dapat
pula menjadi pengungkit bagi berkembangnya pemanfaatan jasa lingkungan
terutama potensi wisata alam yang ada di desa-desa yang berbatasan dengan
kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung.

C. Peraturan Perundang-Undangan Terkait


Pasal 13 UU No 41/1999 menyebutkan bahwa hasil inventarisasi hutan yang
diantaranya untuk memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya manusia
serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, antara lain
dipergunakan sebagai dasar untuk pengukuhan kawasan hutan. Sesuai Pasal 15 UU
No 41/1999, pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses penunjukan,
penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.
Sementara itu dalam rangka pengelolaan hutan, Pasal 21 UU No 41/1999
menyebutkan bahwa pengelolaan hutan antara lain meliputi kegiatan tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Tata hutan pada kawasan Taman
Nasional sesuai Pasal 8 PP No 34/2002 meliputi:
1. Penentuan batas kawasan
2. Inventarisasi identifikasi dan perisalahan kondisi kawasan
3. Pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di kawasan dan sekitarnya
4. Pembagian kawasan ke dalam zona-zona (inti, pemanfaatan, lainnya)
5. Pemancangan tanda batas zona
6. Pengukuran dan pemetaan
Berdasarkan hasil tata hutan tersebut, sesuai Pasal 14 PP No 34/2002
kemudian disusun rencana pengelolaan hutan (jangka panjang, jangka menengah,
jangka pendek) dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya
masyarakat serta kondisi lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Keputusan Menteri Kehutanan No. 390/Kpts-
II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, mengatur tentang kerjasama konservasi antara Direktorat
Jenderal yang bertanggung jawab di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dengan Mitra Kerja (Instansi Pemerintah/Lembaga Swasta
/Koperasi/BUMN/BUMD) tanpa ada unsur komersial. Lingkup kegiatan kerjasama
tersebut meliputi:
14

1. Pengkajian potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya


2. Peningkatan kapasitas kelembagaan
3. Rehabilitasi kawasan/pembinaan habitat
4. Perlindungan/pengamanan/penanggulangan kebakaran hutan
5. Pengembangan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan
6. Pendidikan, penelitian, penyuluhan
7. Pemberdayaan masyarakat
Sementara itu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
mengatur bahwa para pihak yang berkolaborasi perlu memiliki kesepahaman dan
kesepakatan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan pengelolaan
Taman Nasional bagi kesejahteraan masyarakat. Para pihak disini adalah semua
pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan kawasan Taman
Nasional, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten,
masyarakat setempat, biro perjalanan wisata, dan lain-lain. Pelaksanaan kolaborasi
oleh para pihak dituangkan secara tertulis dalam bentuk Kesepakatan Bersama.
Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan adalah sebagai berikut.
1. Penataan kawasan
2. Penyusunan rencana pengelolaan
3. Pembinaan daya dukung kawasan
4. Pemanfaatan kawasan
5. Penelitian dan pengembangan
6. Perlindungan dan pengamanan potensi kawasan
7. Pengembangan sumberdaya manusia
8. Pembangunan sarana dan prasarana
9. Pembinaan partisipasi masyarakat
Dalam kaitannya dengan butir 6 dan 9 dari kegiatan yang dapat
dikolaborasikan, terdapat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam No.07/Kpts/Dj-IV/1998 tentang Penangkaran Satwa Liar dan Tumbuhan Alam
mengatur tentang usaha penangkaran, permohonan izin dan penghapusan izin
penangkaran. Izin penangkaran dapat diberikan kepada perorangan, badan usaha
dan lembaga ilmiah, terhadap species yang dilindungi dan tidak dilindungi, baik
untuk tujuan komersial maupun non komersial.
Selanjutnya tentang peredaran tumbuhan atau satwa, Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 62/Kpts-II/1998 tentang Tata Usaha Peredaran Tumbuhan
dan Satwa Liar mengatur tata cara mendapatkan Surat Angkut Tumbuhan dan
15

Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) dan Luar Negeri (SATS-LN) yang tidak dilindungi
dari hasil penangkaran atau alam, untuk keperluan komersial dan non komersial.
Sementara itu peredaran tumbuhan atau satwa dipasar dunia harus
mematuhi kesepakatan internasional yang berlaku. Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) merupakan perjanjian
internasional mengenai perdagangan jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang
terancam punah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan species
satwa dan tumbuhan di seluruh dunia akibat kegiatan perdagangan. Jenis
tumbuhan dan satwa digolongkan ke dalam tiga kategori sesuai tingkat
kelangkaannya, yaitu:
Appendix I, memuat seluruh jenis flora/tumbuhan dan fauna/satwa yang terancam
punah akibat perdagangan, sehingga perdagangannya dilarang atau diatur secara
ketat. Appendix II, memuat semua jenis yang walau saat ini tidak terancam punah
namun dapat punah apabila perdagangannya tidak diatur secara ketat, karenanya
diterapkan sistem kuota. Appendix III, memuat semua jenis yang dinyatakan
dilindungi oleh peraturan negara anggota CITES untuk membatasi pemanfaatan
berlebihan sehingga pengawasannya memerlukan kerjasama dengan negara-negara
anggota CITES lainnya. Dengan berlakunya CITES, semua species tumbuhan/satwa
liar yang keluar masuk wilayah Republik Indonesia baik untuk kepentingan
komersian maupun non komersial harus diliput oleh dokumen yang diterbitkan oleh
management authority yang ditunjuk (Anonimus, 2003).
Selain itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1994
Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam mengatur bahwa TN, THR, TWA
merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya sehingga perlu dijaga
kelestariannya namun dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata melalui
pengusahaan pariwisata alam. Pengusaha pariwisata alam menyusun Rencana Karya
Pengusahaan Pariwisata Alam berdasarkan Rencana Pengelolaan, memuat rencana
kegiatan untuk mencapai tujuan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan yang
bersangkutan. Pengusahaan pariwisata alam diselenggarakan pada zona
pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan, berupa usaha sarana pariwisata
alam dengan jenis-jenis:
1. Akomodasi: pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja
2. Makanan dan minuman
3. Sarana wisata tirta
4. Angkutan wisata
16

5. Cinderamata
6. Sarana wisata budaya
Persyaratan usaha pariwisata adalah luas kawasan untuk bangunan sarana
prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan, arsitek
bangunan bergaya budaya setempat, dan tidak mengubah bentang alam yang ada.
Pengusahaan pariwisata alam dilakukan oleh Koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
Perusahaan Swasta, atau Perorangan setelah mendapatkan Izin Pengusahaan dari
Menteri Kehutanan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Kepariwisataan
dan Gubernur. Jangka waktu pengusahaan maksimum 30 tahun dan dapat
diperpanjang.
Kewajiban yang harus dipenuhi dalam pengusahaan pariwisata alam antara
lain: Membuat dan menyerahkan Rencana Karya Pengusahaan berdasarkan Rencana
Pengelolaan kepada Menteri, mengikutsertakan masyarakat sekitarnya,
merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya, serta membayar
pungutan atas izin pengusahaan pariwisata dan iuran hasil usaha.
Sementara itu kaitannya dengan butir 4 dan 8 dari kegiatan yang dapat
dikolaborasikan, terdapat Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung, yang antara lain memuat tugas pokok pengelolaan kawasan
Bantimurung, pemeliharaan sarana prasarana serta pengembangan dan peningkatan
pendapatan, sehingga perlu berkoordinasi dengan pihak terkait dalam rangka
pengembangan dan peningkatan Pendapatan Daerah.

D. Stakeholder Dan Pengelolaan Kolaboratif


Pengelolaan kolaboratif adalah suatu bentuk manajemen yang
mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan
memandang harkat setiap stakeholder sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan
tatanilai yang berlaku dalam mencapai tujuan bersama. Kemitraan merupakan
persetujuan diantara para stakeholder yang memiliki kepentingan bersama untuk
menjalin kerjasama yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling
memerlukan. Makna kemitraan sangatlah dekat dengan kolaborasi, namun dalam
prakteknya mengalami reduksi dalam makna semantiknya.
Oleh karenanya, dalam pengelolaan kolaborasi/kemitraan terdapat peran
yang setara diantara para stakeholders sehingga masing-masing stakeholders
memberi kontribusi, memikul tanggungjawab dan menerima manfaat yang
proporsional. Supaya masyarakat dapat berperan setara dengan stakeholder lain
17

dalam pengelolaan sumberdaya hutan, maka pemberdayaan masyarakat desa


sekitar hutan merupakan syarat perlu agar pengelolaan kolaboratif/kemitraan
dapat terselenggara dengan baik.
Stakeholder primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya
dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan TN Bantimurung-Bulusaraung
adalah:
1. Pemerintah Pusat melalui BKSDA I dan BPKH Sulawesi Selatan
2. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Biro Perjalanan Wisata
3. Pemerintah Kabupaten Maros dan jajarannya, Pabrik Semen Bosowa, Industri
Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas Pariwisata Kabupaten,
dan masyarakat desa yang terkait.
4. Pemerintah Kabupaten Pangkep dan jajarannya, Pabrik Semen Tonasa, Industri
Marmer, Penambang pasir/pasir silika/batu gunung/emas, pelaku usaha
tambang lainnya, dan penduduk desa setempat.
Stakeholder tersebut memiliki kepentingan yang beragam, ada yang sejalan
dengan upaya konservasi namun ada pula yang berseberangan. Namun dalam
pengelolaan kolaboratif/kemitraan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,
sebagai berikut.
1. Jika tidak terdapat pemahaman yang sama diantara para stakeholder, maka
kolaborasi/kemitraan tidak akan bertahan.
2. Kolaborasi/kamitraan harus dapat beradaptasi terhadap perubahan, baik
perubahan sosial (seperti tata nilai dalam masyarakat), ekonomi (seperti
harga), maupun situasi politik (seperti reformasi).
3. Kolaborasi/kemitraan harus memiliki suatu alat untuk mengadakan negosiasi
ulang di masa mendatang, agar dapat bertahan meski terjadi perubahan,
seperti dalam bentuk kesepakatan bagi hasil, komposisi pemanfaatan lahan,
dan lain-lain yang telah disepakati bersama.
4. Kolaborasi/kemitraan membutuhkan pihak ketiga yang indipenden jika suatu
saat terjadi perselisihan/konflik.
5. Dalam kolaborasi/kemitraan terdapat dua opsi, yaitu dibangun melalui
sistematika legal/hukum yang berlaku di negara tersebut, atau melibatkan
pihak luar/negosiator yang indipenden.
Dengan demikian kata kunci dalam pengelolaan kolaboratif adalah
kesepahaman, adil, partisipatif, saling percaya, saling menguntungkan, ada
peluang bagi masyarakat dan membutuhkan pendampingan.
18

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Di dalam kawasan TN masih ditemui pemukiman penduduk dari desa-desa yang


berada disekitarnya sehingga perlu dipertimbangkan dalam proses pengukuhan
khususnya penataan batas, serta proses penataan hutan khususnya dalam zonasi
kawasan, agar dapat dihindari adanya konflik dikemudian hari.
2. Pabrik semen Bosowa dengan konsesi 1.000 Ha dan 11 industri marmer dengan
konsesi antara 2,7 Ha sampai 50 Ha di Kabupaten Maros, serta pabrik Semen
Tonasa dengan konsesi 1.354,7 Ha, 18 industri marmer dengan konsesi antara
2,7 Ha sampai 50 Ha serta penambangan pasir, pasir silika, batu, batu gunung,
semen, marmer, emas di Kabupaten Pangkep, dapat memberi kontribusi
Penerimaan Daerah dan pendapatan masyarakat setempat namun dipandang
kurang sejalan dengan kebijakan penunjukan kawasan kars tersebut sebagai
kawasan konservasi.
3. Di Kabupaten Maros 6 diantara 10 obyek wisatanya, dan di Kabupaten Pangkep
2 diantara 7 obyek wisatanya, berada di desa-desa yang berbatasan dengan
kawasan TN. Keberadaan gua-gua juga merupakan potensi bagi pengembangan
wisata alam, sehingga menjadi peluang kerja, berusaha dan untuk
memberdayakan masyarakat serta sumber Penerimaan Daerah. Selain sejalan
dengan penunjukkan kawasan kars Bantimurung-Bulusaraung sebagai Taman
Nasional, pemanfaatan jasa wisata alam dapat menjadi alternatif pengganti
pemanfaatan tambang yang dipandang kurang mendukung upaya konservasi.
4. Dengan menyediakan sarana prasarana fisik maupun kelembagaan, Pemerintah
Kabupaten Maros dapat menghimpun Penerimaan Daerah dari Taman Wisata
Alam Bantimurung yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Mengelola jasa
wisata alam dengan baik dapat menjadikannya sebagai sumber Penerimaan
Daerah yang dapat diandalkan.
5. PEMDA Sulawesi Selatan membuka peluang untuk berinvestasi pada usaha
pariwisata alam, bahari serta budaya. Dinas Pariwisata Provinsi telah menjalin
kerja sama dengan sejumlah biro perjalanan wisata dan menyediakan paket-
paket wisata. Pengembangan pariwisata di Propinsi Sulawesi Selatan dapat
menjadi pengungkit bagi berkembangnya pemanfaatan jasa lingkungan
terutama wisata alam di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan TN.
6. Stakeholder primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya
dalam menyusun rencana pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung adalah:
19

a. Pemerintah Pusat melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Balai


Perpetaan Kawasan Hutan Sulawesi Selatan
b. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Biro Perjalanan
Wisata
c. Pemerintah Kabupaten Maros dan jajarannya, Pabrik Semen Bosowa,
Industri Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas Pariwisata
Kabupaten, dan masyarakat desa yang terkait.
d. Pemerintah Kabupaten Pangkep dan jajarannya, Pabrik Semen Tonasa,
Industri Marmer, Penambang pasir/pasir silika/batu gunung /emas, pelaku
usaha tambang lainnya, dan penduduk desa setempat.
7. Bila pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung dilakukan secara kolaboratif
/kemitraan, stakeholder yang akan berkolaborasi memiliki kepentingan yang
beragam sehingga perlu dibangun kesepahaman, saling percaya, adil,
pertisipatif, saling menguntungkan, ada peluang bagi masyarakat dan perlu
pendampingan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1994. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1994


tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taaman Wisata Alam. Departemen
Kehutanan. Jakarta

Anonimus. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang


Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta

Anonimus. 2000. PERDA Kabupaten Maros No. 26 Tahun 2000 tentang Pembentukan,
Susunan Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah Lingkup
Pemerintah Kabupaten Maros. Pemerintah Kabupaten Maros. Maros

Anonimus. 2001. PERDA No. 12 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama PERDA No.
11 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga.
Pemerintah Kabupaten Maros. Maros

Anonimus. 2001. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi
Sulawesi Selatan. Makassar

Anonimus. 2001. Keputusan Bupati Maros No. 23/III/2001 tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi Kantor Pengelola Khusus Bandara dan Kawasan
Bantimurung. Bupati Maros. Maros

Anonimus. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002


Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
20

Anonimus. 2003. Informasi Kawasan Konservasi: Potensi Kupu-kupu di Wilayah Kerja


Balai KSDA Sulawesi Selatan. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi
Selatan I. Makassar

Anonimus. 2003. Keputusan Menteri Kehutanan No. 390/Kpts-II/2003 tentang Tata


Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta

Anonimus. 2003. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang


Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Departemen Kehutanan. Jakarta

Anonimus. 2003. Kabupaten Maros Dalam Angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Maros, Maros

Anonimus. 2004. Data dan Informasi Kantor Pariwisata dan Seni Budaya.
Pemerintah Kabupaten Maros. Maros

Anonimus. 2004. Usulan Areal Konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Kabupaten Maros dan Pangkep propinsi Sulawesi Selatan. Kerjasama Antara
Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kantor Asisten Deputi Urusan Wilayah
Sulawesi Maluku dan Papua - BAPEDALDA Propinsi Sulawesi Selatan Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Anonimus. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/Menhut-II/2004


Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Pada Kelompok Hutan
Bantimurung - Bulusaraung Seluas 43.750 Ha Terdiri Dari Cagar Alam
Seluas 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam Seluas 1.624,25 Ha, Hutan
Lindung Seluas 21. 343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas Seluas 145
Hektar, Dan Hutan Produksi Tetap Seluas 10.355 Ha, Terletak Di
Kabupaten Maros Dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Menjadi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Departemen Kehutanan. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai