Anda di halaman 1dari 2

TNI BUKAN TENTARA RAKYAT

Coen Husain Pontoh

Pertama mendengar judul TNI bkan tentara rakyat, mungkin yang ada dalam benak kita berpikir
bahwa buku ini ngawur, lalu menimbulkan pertanyaan dasar pada buku ini, kalau TNI bukan tentara
rakyat lalu siapa sebenarnya tentara rakyat, atau yang disebut tentara rakyat harus seperti apa?, atau
kenapa penulis buku tersebut menulis buku dengan judul kontroversi dan mengambil kesimpulan bahwa
TNI memang bukan tentara rakyat, seperti yang ada dalam judul buku tersebut.

Sebelum melangkah jauh baiknya kita mengenal penulis buku tersebut, bang coen mungkin lebih
kita kenal sebagai penulis tetap di website gerakan Indo Progress , tapi selain itu bang coen sebenarnya
adalah mantan aktivis yang tergabung dalam aktivis mahasiswa HMI sam ratulangi, SMID cabang
manado, lalu tergabung dalam organisasi gerakan PRD, aktivitas gerakanya tersebut membwanya
kepenjara tahun 1997-1998 di RT kalisosok Surabaya, selama penjaralah dia menulis sebuah renungan
pemikiran sehingga menjadi sebuah buku yang akan kita diskusikan saat ini.

Jika kita feedback 1997-1998 maka pada saat itu kita melihat sejarah gelora perjuangan
demokrasi sedang berada di puncaknya dalam memperjuangkan kebebasan sipil, hak berdemokrasi,
serta memprjuangkan jatuhnya rezim otoriter Suharto, dan kita semua tahu bahwa rezim Suharto
dibangun diatas kekuatan militer, sehingga kita gampang melihat dimana kekuasaan militer menguasai
berbagai kehidupan kita baik dari sisi ekonomi, social, budaya dan politik, baik dari lapisan paling bawah
hingga teratas.

Menurut gJ adicondro ada tiga hal pokok yang bias jadi pijakan mengapa TNI bukan tentara
rakyat, hal ini berbada dengan mitos atau slogan2 yang seperti menampilkan wajah bahwa TNI adalah
bagian dan rakyat dan berjuang untuk rakyat, pertama TNI kita semacam anti pada gerakan demokratik
di luar struktur kenegaraan, kita pasti sering melihat dimana perjuangan demokratik dan menuntut hak
selalu dicap sebagai pembangkang, perusuh, PKI, teroris, ata seperti di aceh dengan GPK atau GPL, cap
seperti itu mudah sekali menjadi legitimasi Tentara untuk melakukan kekerasan. Semacam anti eksressi
politik massal di luar institusi.

Yang ketiga adalah rekayasa politik demi tujuan praktis para penguasa seperti mendarah daging
dalam diri tentara. Baigamana dalam sejarah Indonesia tentara memnfaatkan kekuatan sipil untuk
mencapai tujuan politiknya, missal dalam kasus letkol Kemal idris dalam sejarah moncong meriam
kearah istana untuk penghapusan mosi, terus bagaimana kasus 1998 para perwira tertinggi TNI AD
memobilisasi masa sipil untuk menyerang para aktivis yang di cap perusuh, dan pengkhianat bangsa.
Selain itu kita sering malihat bagaimana organisasi2 PP, FKPPI pemda panca marga dll. Dibangun untk
melanggengkan kekuasaan hegemoni militer di masyarakat sipil.

Kalau kita ingat kasus kekerasan di Maluku menurut tamrin tamagola, sebenarnya kekerasan
seperti itu sengaja di ciptakan oleh pihak militer terutama AD untuk melanggengkan kekasaanya. Menrut
tamagola, ada empat provokator utama dalam kekisruhan di Maluku, btje sarpara, dicky watimena,
yorris raweyai, dan sultan ternate. Intinya dalam kasus tersebut bagaimana para jendral memperlihatkan
bahwa pangab angkatan lat tidak bisa menyelesaikan kasus di Maluku hanya TNI AD yang bisa
menyelesaikan konflik tersebut.

DWI FUNGSI ABRI

Alasan coen untuk penghapusan dwifungsi abri adalah

1. Abri terlalu mendominasi dan menghegemoni di republic ini. Karena TNI hadir dimana2
2. Terkadang tentara yang katanya tentara rakyat justru hadir dalam bentuknya yang sangar
kejam dan melakukan tindakan represif pada massa rakyat
3. Banyaknya tntutan rakyat akan penghapusan dwifungsi abri

Sejarah dwifungsi abri

Anda mungkin juga menyukai