Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketika prinsip-prinsip atau peraturan tertentu terkandung dalam kode etik


tidak sepenuhnya

berlaku untuk masalah tertentu yang dihadapi oleh seorang


akuntan professional, para pembuat

keputusan dapat berpedoman kepada prinsip-prinsip untuk sampai pada keputusan


etis yang dapat

dipertahankan. Apakah yang dimaksud dengan prinsip-prinsip umum etika dan


bagaimana

penerapannya? Dibutuhkan suatu pembahasan tentang prinsip-prinsip etika dan


bagaimana

mengembangkan sebuah kerangka keputusan menyeluruh praktis dan komprehensif


berdasarkan

bagaimana tindakan yang diusulkan akan mempengaruhi pemangku


kepentingan untuk membuat

keputusan.
Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat suatu topic yang berjudul
Proses Pengambil

Keputusan Etis (Seven Steps) menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini.
Penulis berusaha untuk

menyusun makalah ini semenarik mungkin agar para masyarakat


khususnya mahasiswa dan pelajar

lainnya dapat memahami serta dapat menerapkan kerangka keputusan secara


menyeluruh yang praktis

dan komprehensif berdasarkan pada bagaimana tindakan yang diusulkan


akan mempengaruhi untuk

membuat keputusan etis.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana cara pengambilan keputusan yang etis

2. Apa saja pendekatan dalam pengambilan keputusan Etis

3. Bagaimana langkah-langkah dalam pengambilan keputusan etis yang


digariskan oleh
America Accounting Association

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian dan teori pengambilan keputusan

2. Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan dalam pengambilan keputusan

3. Untuk mengetahui langkah-langkah/proses dalam pengambilan keputusan etis


sehingga

dapat mengambil keputusan etis

1.4. Manfaat Penulisan

1. Untuk menambah wawasan dan kerangka berpikir penulis

2. Untuk memenuhi dan melengkapi tugas etika profesi yang bermuatan


softskill

3. Sebagai bahan refrensi bagi pembaca, khususnya mahasiswa yang


mengambil mata

kuliah Etika Profesi


BAB II

ISI

2.1. Pendahuluan

2.1.1. Memotivasi Perkembangan

Skandal Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom menimbulkan kemarahan publik,


runtuhnya

pasar modal, dan akhirnya Sarbanes Oxley Act 2002, yang membawa
reformasi tata kelola tersebar luas.

Skandal perusahaan berikutnya yang melibatkan Adelphia, Tyco, Health-South,


dan lainnya

mengingatkan kita untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa


eksekutif perusahaan dapat

membuat keputusan yang lebih baik, dan harus melakukannya untuk


mempertahankan profitabilitas dan

kelangsungan hidup perusahaan mereka. Kasus pengadilan berikutnya serta


denda terkait, hukuman

penjara, dan penyelesaiannya menekankan pada keputusan untuk


mengurangi kekebalan terhadap
tindakan hukum.

2.1.2. Kerangka Kerja Pengambilan Keputusan Etis

Sebagai respon terhadap keputusan yang dapat dipertahankan secara etis,


makalah ini

menyajikan kerangka kerja yang praktis, komprehensif, dan beraneka ragam


untuk pengambilan

keputusan etis. Kerangka ini menyertakan persyaratan tradisional untuk


profitabilitas dan legalitas,

serta persyaratan yang akan ditampilkan filosofis secara penting dan yang
baru ini dituntut oleh

pemangku kepentingan. Hal ini dirancang untuk meningkatkan pertimbangan


etis dalam menyediakan:

Pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menganalisis isu-isu penting yang


harus

dipertimbangkan dan dipertanyakan atau tantangan yang harus diungkap

Pendekakatan untuk menggabungkan dan menerapka faktor keputusan yang


relevan
dalam tindakan praktis.

Kerangka kerja pengambilan keputusan etis (Ethical Decision MakingEDM)


menilai etikabilitas

keputusan atau tindakan yang dibuat terkena dampak:

Konsekuensi atau kekayaan yang dibuat dalam hal keuntungan bersih atau
biaya;

Hak dan kewajiban yang terkena dampak;

Kesetaraan yang dilibatkan;

Motivasi atau kebijakan yang diharapkan

2.1.3. Pendekatan FilosofisSebuah Ikhtisar: Konsekuensialisme


(Utilitarianisme), Deontologi, dan

Etika Kebajikan

Dorongan untuk meningkatkan pendidikan etika dan EDM karena skandal


Enron, Arthur

Andersen, dan WorldCom, serta reformasi tata kelola, AACSB Ethics


Education Task Force (2004)
menghimbau para mahasiswa bisnis yang mengenal tiga pendekatan
filosofis untuk pengambilan

keputusan etis: konsekuensialisme (utilitarianisme), deontologi, dan etika


kebajikan. Masing-masing dari

tiga pendekatan memberikan kontribusi yang berbeda-beda dalam menghasilkan


pendekatan yang

berguna dan dapat dipertahankan untuk pengambilan keputusan etis dalam


bisnis atau kehidupan

pribadi. Namun, karena prinsip dan teori filosofis bertentangan dengan aspek
lain dan dampak bertentangan dengan praktik bisnis yang dapat diterima,
khususnya dalam beberpa budaya sudut

pandang (pertimbangan) yang ditunjukkan oleh pihak ketiga pendekatan


filsafat untuk menentukan

etikabilitas suatu tindakan dan panduan pilihan yang harus dibuat.

2.1.4. Konsekuensialisme, Utilitarianisme, atau Teleologi

Konsekuensialisme bertujuan untuk memaksimalkan hasil akhir dari sebuah


keputusan. Bagi

mereka, kebenaran dari suatu perbuatan bergantung pada


konsekuensinya. Pendekatan ini sangat
penting bagi keputusan etis yang baik dan pemahaman itu akan
menjadi bagian dari pendidikan sekolah

bisnis terakreditasi AACSB di masa depan. Menurut AACSB,

Pendekatan konsekuensialisme mengharuskan pelajar untuk menganalisis keputusan


dalam hal

kerugian dan manfaatnya bagi pemangku kepentingan dan untuk


mencapai sebuah keputusan

yang menghasilkan kebaikan dalam jumlah besar.

Konsekuensialisme berpendapat bahwa sebuah perbuatan besar secara moral jika


dan hanya jika

tindakan tersebut mampu memaksimalkan kebaikan bersih.


Dengan kata lain, tindakan dan sebuah

keputusan akan menjadi etis jika konsekuensi positif lebih besar dari
konsekuensi negatifnya.

Utilitarianisme klasik yang terkait dengan utilitas secara keseluruhan mencangkup


keseluruhan

varian, oleh karena itu hanya dari manfaat parsial dalam pengambilan
keputusan etis dalam konteks
sebuah bisnis, profesional, atau organisasi. Konsekuensialisme mengacu pada
sub bagian dari varian yang

didefiniskan untuk menghindari pengukuran yang salah atau permasalahan lain,


atau dalam rangka

membuat proses menjadi lebih relevan dengan tindakan, keputusan atau


konteks yang terlibat. Oleh

karena konsekuensialisme dan utilitarianisme berfokus pada hasil atau akhir


dari suatu tindakan, teori-

teori tersebut sering dianggap sebagai teleologis.

2.1.5. Deontologi

Deontologi berbeda dari konsekuensialisme, dalam artian bahwa deontologis


berfokus pada

kewajiban atau tugas memotivasi keputusan atau tindakan, bukan pada


kewajiban atau tugas

memotivasi keputusan atau tindakan. Bukan pada konsekuensi dari


tindakan. Etika deontologi

mengambil posisi bahwa kebenaran bergantung pada rasa hormat yang


ditunjukkan dalam tugas serta
hak dan keadilan yang dicerminkan dari tugas-tugas tersebut.
Akibatnya, suatu pendekatan deontologis

mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan tugas, hak, serta pertimbangan


keadilan dan mengajarkan

para mahasiswa untuk menggunakan standar moral, prinsip dan aturan-aturan sebagai
panduan untuk

membuat keputusan etis terbaik

Penggunaan pendekatan yang sama juga dapat menghasilkan rasa hormat


terhadap hak asasi

manusia dan perlakuannya yang adil bagi semua. Hal ini dapat dicapai
dengan mengadopsi posisi bahwa

sesorang harus memenuhi kewajiban dan tugas yang menghormati moral


atau hak asasi manusia dan

hukum atau kontrak. Lebih jauh lagi, hal tersebut juga dicapai jika
para individu bertindak dengan

kepentingan pribadi yang terkendali daripada kepentingan pribadi semata.


Dibawah kepentingan

orubadi yang terkendali, kepentingan individu juga diperhitungkan dalam


keputusan dimana
kepentingan tersebut tidak diabaikan atau dikesampingkan. Individu
dianggap sebagai akhir daripada

sebagai sarana untuk mencapai akhir dari suatu tujuan 2.1.6. Etika Kebajikan

Konsekuensialisme menekankan konsekuensi dari sebuah tindakan, dan


deotologi

menggunakan tugas, hak, dan prinsip-prinsip sebagai panduan untuk


memperbaiki perilaku moral

sedangkan etika kebajikan berkaitan dengan aspek yang memotivasi


karakter moral yang ditunjukkan

oleh para pengambil keputusan. Tanggung jawab khususnya kesalahan


atau layak dianggap salah salah

baik moralitas atau hukum memiliki dua dimensi: actus reus


(tindakan yang salah) dan mens rea (pikiran

yang salah).

Kebajikan adalah karakter yang membuat orang bertindak etis dan


membuat orang tersebut

menjadi manusia yang bermoral. Kebijaksanaan adalah kunci dari


kebajikan dalam menentukan pilihan
yang tepat diantara pilihan-pilihan yang ekstrem. Tiga kebajikan yang
terpenting atau kebajikan kardinal

lainnya ameliputi kejujuran, integritas, kepentingan pribadi yang terkendali,


belas kasih, kesetaraan,

ketidak-berpihakkan, kerendahan hati, kemurahan hati, dan kesederhanaan.

Kebajikan harus selalu ditanamkan sepanjang waktu, sehingga mereka


menjadi

tertanam/melekat dan bisa menjadi refrensi yang konsisten, jika


anda memiliki kebajikan, itu adalah

bagian dari karakter anda, suatu sifat atau watak yang biasa anda
tunjukkan dalam tindakan. Hal ini

bukan hanya sesuatu yang dapat anda tunjukkan, tetapi sesuatu yang
biasanya atau selalu anda

tunjukkan

Untuk ahli etika kebajikan, memiliki kebajikan adalah persoalan


derajat. Sebagai contoh,

bersikap jujur dapat diartikan bahwa seseorang harus mengatakan


kebenaran. Akan tetapi kejujuran
seseorang dapat dianggap lebih kuat atau berada pada tatanan yang lebih
tinggi jika ia berurusan dengan

orang-orang atau hal-hal yang jujur, bekerja untuk perusahaan yang jujur, teman-
teman yang jujur,

membesarkan anak untuk menjadi jujur, dan seterusnya. Demikian pula,


alasan untuk seseoran

bertindak bajik itu penting.

Ada beberapa keraguan tentang kekuatan etika kebajikan


sebagai pendekatan untuk EDM

sebagai contoh, etika kebajikan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan


yang menggabungkan

kepekaan moral, persepsi, imajinasi, penilaian, dan beberapa klaim


bahwa hal ini tidak mengarah pada

prinsip-prinsip EDM yang mudah digunakan. Kritik lainnya yang relevan,termasuk


bahwa:

Interpretasi kebajikan adalah hal yang sensitif terhadap budaya;

Seperti juga penafsiran dari apa yang dbenarkan atau yang benar;

Persepsi seseorang tentang apa yang benar pada tigkat tertentu


dipengaruhi oleh ego
atau kepentingan pribadi. 2.2. Sebuah Kerangka Komprehensif Pengambilan
Keputusan

2.2.1. Ringkasan Langkah-langkah untuk sebuah Keputusan Etis

Pendekatan EDM komprehensif harus mencangkum empat pertimbangan yang


dijelaskan

sebelumnya dapat digunakan secara terpisah atau dalam kombinasi


gabungan untuk membangtu dalam

pengambilan keputusan etis. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan menyelesaikan


tiga langkah

berikut, menyediakan dasar untuk menantang keputusan yang diusulkan.

1. Identifikasi fakta dan semua kelompok pemangku kepentingan serta


kepentingan yang

mungkin terpengaruh

2. Membuat peringkat para pemangku kepentingan serta kepentingan


mereka, identifikasi

yang paling penting dan lebih mempertimbangkan mereka lebih analisis.


3. Menilai dampak dari tindakan yang diusulkan pada setiap
kepentingan kelompok

pemangku kepentingan berkenaan dengan kekayaan mereka, keadilan


perlakuan, hak-

hak lainnya termasuk harapan kebijakan, menggunakan pertanyaan


kerangka kerja

yang komprehensif, dan memastikan bahwa perangkap umum yang dibahas untuk
tidak

masuk ke dalam analisis.

Akan sangat membantu untuk mengorganisasikan analisis keputusan etis


menggunakan tujuh

langkah (seven steps) yang digariskan oleh American Accounting Association


(1993) sebagai berikut:

1. Identifikasi Fakta (Apa, Siapa, Dimana, Kapan, dan Bagaimana)

Langkah pertama dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab

secara etis adalah menentukan fakta-fakta dalam situasi tersebut. Membedakan


fakta-

fakta dari opini belaka adalah hal yang sangat penting. Perbedaan
persepsi dalam
bagaimana seseorang mengalami situasi dapat menyebabkan banyak perbedaan
etis.

Sebuah penilaian etis yang dibuat berdasarkan penentuan yang cermat atas
fakta-fakta

yang ada merupakan sebuah penilaian etis yang lebih masuk akal
daripada penilaian

yang dibuat tanpa fakta. Seseorang yang bertindak sesuai dengan pertimbangan
yang

cermat akan fakta telah bertindak dalam cara yang lebih bertanggung jawab
secara etis

daripada orang yang bertindak tanpa pertimbangan mendalam.

Begitu anda mengenali bahwa sebuah isu adalah bagian dari situasi yang

menghadang anda, maka anda akan mengumpulkan informasi sebanyak


mungkin

mengenai isu-isu tersebut. Dalam mengidentifikasi fakta-fakta penting,


untuk

mengajukan pertanyaan yang tepat, pertanyaan biasanya diajukan dalam


langkah ini
meliputi:

Apa, yaitu berkaitan dengan isu terbaru apa yang mempengaruhi

situasi saat ini

Siapa, yaitu siapa saja yang terlibat dari pihak-pihak dalam situasi

pengambilan keputusan atau siapa yang menggunakan keputusan etis

tersebut.

Dimana, yaitu menyatakan dimana situasi keputusuan etis tersebut

digunakan oleh pihak-pihak pengambil keputusan etis

Kapan, yaitu pada saat kondisi dan situasi seperti apa keputusan etis

tersebut diambil oleh para pengambil keputusan.

Bagaimana, yaitu bagaimana para pengambil keputusan dapat

mengambil keputusan etis saat situasi tersebut.

2. Menetapkan Isu Etis


Langkah kedua dalam pengambilan keputusan etis yaitu menetapkan isu
etis

yang terbaru. Isu-isu aktual melibatkan apa yang benar-benar diketahui


tentang sebuah

kasus. Misalnya, fakta-fakta yang ada. Meskipun konsep ini tampak tepat
sasaran, fakta

dari suatu kasus tertentu tidak selalu jelas dan mungkin kontroversial.
Pengambilan

keputusan etis yang bertanggung jawab menyaratkan kemampuan untuk


mengenali

sebuah keputusan atau permasalahan sebagai sebuah keputusan etis atau


permasalahan

etis.

Langkah ini terdiri dari dua komponen. Pertama, pemangku


kepentingan utama

(stakeholder) di identifikasi, dan kedua masalah etika harus di identifikasikan


secara

jelas. Setiap komponen dibahas secara terpisah dalam bagian ini.

(a) Buatlah daftar stakeholder (pemangku kepentingan utama)


(b) Tentukan isu/masalah etika

3. Mengidentifikasi prinsip-prinsip utama, aturan, dan nilai

Pada langkah ketiga, proses pengambilan keputusan yang etis harus

mengidentifikasi prinsip-prinsip utama, aturan dan nilai-nilai yang berlaku


serta

mempertimbangkan semua pihak yang mempengaruhi oleh sebuah keputusan, orang-

orang ini biasa disebut sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).

Untuk mengidentifikasi, sebaiknya gunakanlah prinsip-prinsip etika untuk

menentukan alternatif terbaik. Untuk setiap alternatif, dapat mengajukan


pertanyaan

terkait dengan utilitarianisme, hak dan prinsip-prinsip keadilan untuk menentukan

bagaimana alternatif ini dinilai sebagai benar atau salah, baik atau
buruk, tujuannya

adalah untuk memilih alternatif terbaik. Dalam situasi yang ideal, semua prinsip-
prinsip
etika akan mengarah ke alternatif yang sama sebagai yang terbaik.

4. Menentukan Alternatif

Langkah selainjutnya dalam proses pengambilan keputusan etis adalah

membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif, membuat suatu

spreadsheet mental yang masing-masing pemegang kepentingan yang telah di

identifikasi. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan menempatkan diri

terhadap posisi orang lain. Sebuah elemen penting dalam evaluasi


ini adalah

mempertimbangkan cara untuk mengurangi, meminimalisasi, atau mengganti

konsekuensi kerugian yang mungkin akan terjadi. 5. Bandingkan Nilai-nilai


Alternatif, serta melihat apakah muncul keputusan yang

jelas

Bagaimana untuk memutuskan kapan teori menunjukkan alternatif yang

berbeda. Ada situasi dimana prinsip-prinsip etis yang berbeda akan


merekomendasikan
alternatif yang berbeda akan merekomendasikan alternatif yang berbeda.
Dalam sebuah

kasus dimana prinsip-prinsip memberikan rekomendasi campuran dan memilih

rekomendasi untuk mengikuti serta bersiap untuk pembenaran atas pilihan sebaik

mungkin. Pembenaran dapat disediakan mengapa teori-teori menunjukkan


bahwa

alternatif tersebut yang tertarik dan bagaimana dapat sesuai denganbaik


ke dalam

konsepsi tentang apa kehidupan yang baik dan alternatif yang


disarankan oleh teori

lain.

6. Menilai Konsekuensi

Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini adalah pertimbangan cara


untuk

mengurangi, meminimalisasi atau menggantikan konsekuensi kerugian yang


mungkin

terjadi atau menggantikan konsekuensi kerugian yang mungkin terjadi atau


meningkatkan dan memajukan konsekuensi-konsekuensi yang mendatangkan
manfaat.

Selain itu, juga perlu mempertimbangkan kewajiban, hal-hal, dan prinsip-prinsip,


serta

dampakbagi interitas dan karakter pribadi.

7. Membuat Keputusan Anda

Menerapkan alternatif terbaik. Setelah memilih alternatif terbaik yang


tidak

dikesampingkan oleh kendala praktis, selanjutnya memutuskan langkah apa


yang

diperlukan oleh kendala praktis. Selanjutnya, memutuskan langkah apa yang


diperlukan

untuk keluar dari permasalahan. Pengambilan keputusan yang diakhiri dengan evaluasi

yang merupakan langkah terakhir dalam proses pengambilan keputusan sebagai sarana

untuk menilai apakah keputusan kita sudah berdampak baik atau malah tidak
sesuai

dengan apa yang kita harapkan.


Salah satu cara untuk menggunakan metode seven steps atau metode
tujuh

langkah pengambilan keputusan etis adalah untuk memberikan checklist mental,


yaitu

untuk memastikan kelengkapan dalam membuat analisis etis. Kebutuhan


sesorang

dalam membuat keputusan etis mengikuti prosedur keputusan yang


dapat memastikan

bahwa dia telah mempertimbangkan semua faktor yang relevan dan telah

diperhitungkan dampaknya bagi kepentingan diri sendiri. Velasquez


mengembangkan

metode seven steps untuk tujuan ini. Kebanyakan para pengambil keputusan,
ketika

dihadapkan dengan keputusan etis akan mempertimbangkan sebagian besar


faktor

yang relevan.Metodeini jua menyediakan kerangka kerja untuk mencari


kesulitan dan

perselisihan. Dengan memisahkan fakta dari masalah etika. Misalnya,


kerangka
memungkinkan kita untuk menentukan apakah perselisihan adalah atas fakta atau
isu-

isu etis.

Pengambilan keputusan etis adalah proses dialektik. Kenyataannya bahwa

metode tujuh langkah (seven steps) yang tercantum dalam urutan numerik
tidak

menunjukkan urutan logis atau kronologis yang ketat. Kehadiran fakta yang
akan

mengingatkan kita pada kebutuhan untik mempertimbangkan isu-isu etis


tertentu,

tetapi tanpa beberapa pengenalan sebelumnya dari masalah etika. Fakta-


fakta ini tidak

akan memiliki etika signifikan. Menentukan apakah alternatif, siapa para


pemangku

kepentingan, atau apa kendala praktis dalam mencari fakta tambahan


sehingga para

pemangku kepentingan dapat menghasilkan alternatif baru.

2.2.2. Langkah-langkah Menuju Sebuah Keputusan Etis

Anda mungkin juga menyukai