Anda di halaman 1dari 3

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS PRAKTIS

Memotivasi Perkembangan
Skandal Enron, Arthur Andersen, dan WoldCom menimbulkan kemarahan publik,
runtuhnya pasa modal, dan akhirnya Sarbanes Oxley Act 2002, yang membawa reformasi tata
kelola tersebar luas. Skandal perusahaan berikutnya yang melibatkan Adelphia, Tyco, Health-
South, dan lainnya mengingatkan kita untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa
eksekutif perusahaan dapat membuat keputusan yang lebih baik, dan harus melakukannya untuk
mempertahankan profitabilitas dan kelangsungan hidup perusahaan mereka. Kasus pengadilan
berikutnya serta denda terkait, hukuman penjara, dan penyelesaiannya menekankan pada
keputusan untuk mengurangi kekebalan terhadap tindakan hukum.
Perkembangan ini menjadi sangat penting bahwa para eksekutif dan direksi perusahaan
harus memberikan tambahan perhatian pada tata kelola perusahaan dan panduan yang diberikan,
sebagai tambahan peran mereka sendiri dalam perusahaan. Selain itu, sekolah bisnis yang igi
mendapatkan akreditasi mendunia dari Association to Advance Collegiate Schools of Business
(AACBS) dimint untuk memasukkan pendidikan etika ke dalam kebijakan, praktik, dan
kurikulum mereka. Secara hukum menurut Ethic Education Task Force AACSB, kurikulum
sekolah bisnis harus bisa menangani masalah-masalah etika termasuk tnggung jawab social
peusahaan, tata kelola, etika budaya perusahaan, dan pengambilan keputusan etis
Kerangka Kerja Pengambilan Keputusan Etis
Sebuah keputusan atau tindakan dianggap etis atau benar jika sesuai dengn standar
tertentu. Para filsuf telah mempelajari standar mana yang penting selama berabad-abad, dan para
ahli etika bisnis baru saja membangun hal ini dalam pekerjaannya. Kedua kelompok telah
mengungkapkan bahwa tidak cukup hanya satu standar saja untuk memastikan keputusan etis.
Akibatnya, kerangka kerja pembambil keputusan etis mengusulkan bahwa keputusan atau
tindakan akan dibndingkan dengan empat standar penilaian yang komprehensif dari perilaku etis.
Kerangka kerja pengambilan keputusan etis (EDM) menilai etikalitas keputusn atau
tindakan yang dibuat dengan melihat:
a. Konsekuensi atau kekayaan yang dibuat dalam hal keuntungan bersih atau biaya
b. Hak dan kewajiban yang terkena dampak
c. Kesetaraan yang dilibatkan
d. Motivasi atau kebijakan yang diharapkan
Pendekatan Filosofis Sebuah Ikhtisar: Konsekuensialisme (Utilitarianisme), Deontologi,
dan Etika Kebajikan
Pertanyaan dasar yang menarik minat para filsuf adalah Apa yang membuat keputusan
atau tindakan atau orang menjadi lebih maupun kurang baik atau etis? Masing-masing dari tiga
pendekatan filosofis ntuk pengambilan keputusan etis konsekuensialisme, deontology, dan etika
kebajikan berfokus pada konsep yang berbeda dari sebuah tindakan yang benar. Hal ini akan
ditinjau selanjutnya. Meskipun demikian, ingtlah karena para filsuf telah mempelajari apa yang
membuat suatu perbuatan baik atau benar secara moral selama ribuan tahun, tidak mungkin
memberikan pemahaman lengkap tentang konsep filosofis hanya dlam beberapa halaman.
Konskuensialisme, Utilitarianisme, atau Teleologi
Konsekuensialisme berpendapat bahwa sebuah perbuatan benar secara moral jika dan
hanya jika tindakan tersebut mampu memaksimalkan kebaikan bersih. Dengan kata lain,
tindakan dan sebuah keputusan akan menjadi etis jika konsekuensi positif lebih besar daripada
konsekuensi negatifnya. Selain itu, beberapa percaya bahwa hanya tindakan yang dapat
memaksimalkan keuntungan bersih minus konsekuensi negatiflah yang secara moral benar atau
etis.
Utilitarianisme klasik terkait dengan utilitas secara keseluruhan mencakup keseluruhan
varian, oleh karena itu hanya dari manfaat parsial dalam pengambilan keputusan etis dalam
konteks sebuah bisnis, professional, atau organisasi. Konsekuensialissme bagaimanapun juga,
mengacu pada subbagian dari varian yang didefinisikan untuk menghindari pengukuran yang
salah atau permasalahan lain, atau dalam rangka membuat proses menjadi lebih relevan dengan
tindakan, keputusan, atau konteks yang terlibat. Oleh karena fokus konsekuensialisme dan
utilitiarisme berfokus pada hasil atau akhir dari suatu tindakan, teori-teori tersebut sering
dianggap sebagai teologis.
Deontologi
Deontologi berbeda dari konsekuensialisme dalam artian bahwa deontologis berfokus
pada kewajiban atau tugas memotivasi keputusan atau tindakan, bukan pada konsekuensi dari
tindakan. Suatu pendekatan deantologis mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan tugas, hak,
serta pertimbangan keadilan dan mengajarkan para mahasiswa untuk menggunkan standar moral,
prinsip, dan aturan-aturan sebagai panduan untuk membuat keputusan etis yang terbaik.
Etika Kebajikan
Etika kebajikan berfokus pada karakter atau integritas moral para pelaku dan melihat
pada moral masyarakat, seperti masyarakat professional untuk membantu mengidentifikasi isu-
isu etis dan panduan tindakan etis. Untuk ahli etika kebjikan, memiliki kebjikan adalah persoalan
derajat. Sebagai contoh, bersikap jujur dapat diartikan bahwa seseorang harus mengatkan
kebenaran. Akan tetapi, kejujuran seseorang Dapat dianggap lebih kuat atau pada tatanan yang
lebih tinggi jka ia hanya berususan dengan orang atau hal-hal yang jujur, bekerja untuk
perusahaan yang jujur, memiliki teman-teman yang jujur membesarkan anak-anaknya untuk
menjadi jujur, dan seterusnya. Demikian pula, alasan seseorang untuk bertindak bijak itu penting.
Sniff Test dan Aturan Praktis Umum-Tes Awal Etikalitas Sebuah Keputusan
Bagi para manajer dan karyawan lainnya merupakan hal yang wajar jika ditanyai untuk
memeriksa keputusan yang diajukan dengan cara pendahuluan yang cepaat untuk melihat apakah
perlu dilakukan analisis etika tambahan yang menyeluruh. Tes cepat ini sering disebut sebagai
sniff test. Jika salah satu dari tes cepat hasilnya negatif, karyawan diminta untuk mencari seorang
pengawas etika untuk berkonsultasi, atau melakukan analisis penuh terhadap tindakan yang
diusulkan. Analisis ini harus disimpan, dan mungkin ditinjau oleh pengawas etika.
Sayangnya, walaupun sniff test dan aturan praktis ini didasarkan pada prinsip-prinsip etis
dan sering kali sangat berguna, aturan-aturan ini jarang, dengan sendirinya mencerminkan
pemeriksaan yang kompreehensif dari keputusan tersebut dank arena itu membuat individu dan
perusahaan yang terlibat rentan untuk membuat keputusan yang tidak etis. Untuk alasan ini,
teknik analisis dampak pemangku kepentingan yang lebih omprehensif harus diterapkan setiap
sekali keputusan yang diusulkan dipertanyakan atau cenderung memiliki konsekuensi yang
signifikan

Anda mungkin juga menyukai