Puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan berbagai nikmat dan karunianya sehingga
memudahkan kami untuk dapat menyusun makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Bahasa
Indonesia
Terima kasih pula kepada dosen Bahasa Indonesia kami yang senantiasa memberi motivasi dan
dukungannya untuk dapat menyemangati kami dalam menyusun makalah Bahasa Indonesia ini.
Dalam kesempatan kali ini kami menyusun makalah yang berjudul Bahasa Hukum .
Dengan berhubungannya akan hal Bahasa Indonesia semoga makalah ini dapat di ambil pelajaran
bagi para pembaca sekalian. Untuk itu kami berharap dapat menerima masukan berupa saran atau
kritikan yang dapat memperbaiki kami dalam penyusunan makalah ini dan selanjutnya.
Dan kami mohon dibukakan pintu maaf berupa hal-hal yang kiranya tercantum didalam
penulisan ini yang kiranya sama atau terkutip dari penulis lain yang lupa kami cantumkan
namanya. Dengan rasa hormat kami hanturkan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada
mereka sekalian.
HALAMAN JUDUL.
PRAKATA.
DAFTAR ISI..
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan..
D. Manfaat..
BAB II PEMBAHASAN
A. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Indonesia
B. Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia..
C. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia..
D. Ragam Bahasa Indonesia..
H. Definisi, Karakteristik dan Cakupan Bahasa Hukum Indonesia..
I. Sejarah Perkembangan Bahasa Hukum
J. Landasan Yuridis Bahasa Hukum.
K.Urgensi Penerapan Bahasa Hukum...
L. Problem Penerapan Bahasa Hukum.
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
Jika masyarakat pada umumnya saja sangat dianjurkan belajar bahasa hukum, apalagi mahasiswa
yang tengah menempuh pendidikan hukum, seluk beluk bahasa hukum harus dipahami sampai
di luar kepala. Dalam tulisan ini rumusan masalah yang diajukan adalah:
1. Apa hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa hukum Indonesia ?
2. Apa definisi, karakteristik, sejarah bahasa hukum Indonesia?
3. Apa landasan penerapan bahasa hukum Indonesia ?
4. Apa urgensi dan problem penerapan bahasa hukum dalam praktik hukum di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat
Dengan karya tulis tentang Bahasa Hukum Indonesia ini maka diharapkan dapat memberikan
manfaat dalam memperdalam pemahaman tentang ilmu-ilmu hukum serta praktiknya. Lalu karya
tulis ini dapat menjadi acuan dalam penulisan-penulisan lain dengan tema terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara, bahasa Indonesia dalam kedudukan dan fungsinya sebagai bahasa resmi negara,
berfungsi menjadi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan (4) bahasa resmi di dalam
pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Dalam beberapa artikel, dijelaskan bahwa bahasa hukum Indonesia merupakan salah satu ragam
bahasa.
Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Bahasa hukum Indonesia
masuk dalam kategori ragam bahasa fungsional. Ragam bahasa fungsional dikaitkan dengan
profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga
dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. Ragam bahasa hukum seharusnya tetap
memenuhi kaidah tata bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
Menurut pandangan para ahli, karakteristik bahasa hukum Indonesia adalah sebagai berikut :
Rumusan tentang bahasa hukum Indonesia tersebut sebenarnya sudah dibahas dan diputuskan
berlaku sejak Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I tanggal 25-28 Juni 1938. Di arena kongres,
Soekardjo Wirjopranoto memberikan saran kepada peserta kongres untuk membahas materi
"Bahasa Indonesia dalam Badan Perwakilan." Materi tersebut dipaparkan dan berhasil
dipertahankan Raden PandjiSoeroso dan menghasilkan keputusan penting yang menjadi embrio
bahasa hukum Indonesia. Peserta KBI memutuskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang
sah untuk dalam ragam tulis peraturan perundang-undangan.
Dalam KBI ke-2 tanggal 28 Oktober - 2 November 1954, A.G. Pringgodigdo dan Kuntjoro
Purbopranoto berbicara tentang Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan dan Administrasi.
Dalam kongres tersebut menghasilkan tujuh keputusan penting, baik berupa saran kepada
pemerintah maupun tentang tata bahasa hukum Indonesia. Keputusan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Supaya Pemerintah segera membentuk Panitia Negara, seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 145 UUDS, dengan ketentuan bahwa di samping tugas yang dimaksud dalam pasal
tersebut, supaya kepada Panitia dibebankan jugakewajiban sebagai berikut :
a. Mengadakan pembetulan/penyempurnaan, yang dipandang perlu dalam bahasa Indonesia
di dalam Undang-undang. Undang-Undang Darurat, PeraturanPeraturan Pemerintah dan
Peraturan-Peraturan Negara
yang lain, misalnya:
1) Kata "kebutuhan", sebab kata ini adalah kata cabul dalam bahasa daerah;
Umumnya, kata-kata cabuldari bahasa daerah janganlah dipergunakan.
2) Kata retributie (lihat Pasal 2 LN 1953 No. 4); demikian juga seperti kata-kata rel,
ondernemeng dalam TLN No. 353, diimporteer, paberikasi rokok, di dalam TLNNo.
350, legaliseer, aparatur, TLN 351, inrichting vanhet onderwijs TLN 351; umumnya
kata-kata asing yang mudah mendapat penggantiannya jangandipergunakan.
b. Memeriksa bahasa rancangan Undang-Undang Darurat, dan Peraturan-Peraturan
Negara yang lain, sebelum ditetapkan.
c. Menjaga supaya istilah- istilah hukum bersifat tetap, terang, dan jangan berubah
sebelum mendapatpersetujuan Panitia tersebut.
2. Di dalam Panitia tersebut di Sub I didudukkan sebagai anggota selain daripada
ahli-ahli hukum dan bahasa, jugaahli-ahli adat, ahliahli agama dan ahli-ahli hukum
agama.
3. Di dalam Seksi Hukum dari Komisi Istilah hendaklah jugadidudukkan ahli-ahli
hukum agama sebagai anggota.
4. Untuk mencapai keseragaman istilah hukum yang dipakai dalam dunia ilmu
hukum pada perguruan tinggi dan para sarjana hukum pada waktu-waktu yang
tertentumengadakan pertemuan.
5. Supaya pihak pemerintah tetap memakai istilah yang sama untuk satu pengertian
hukum, misalnya: "atas kuasa Undang-Undang," (Undang-Undang Dasar Pasal 101 ayat
1)kontra "berdasarkan" dalam LN 1953 no.4.
6. Supaya sesuatu istilah senantiasa ditulis dalam bentuk yang sama, misalnya:
"diubah", "dirubah", "dirobah", (LN1954 No. 39). LN 1953 No. 4 Pasal 1). "Dewan
Pemerintah Harian", (TLN 353) kontra "Dewan Pemerintah Daerah",(UURI 1948 no. 22).
7. Menyetujui seluruhnya kesimpulan-kesimpulan dari no. 1 s/d 6, yang diperbuat oleh
Saudara Mr. Koentjoro Poerbopranoto pada akhir praeadvisnya, yang berbunyi
sebagai berikut:
a. Bahasa hukum Indonesia adalah bahagian dari bahasa umum Indonesia yang
meliputi lapangan hukum dalam masyarakat Indonesia dan pemeliharaan hukum serta
penyelenggaraan pengadilan oleh instansi-instansi yang diakui oleh undang-undang.
Instansi-instansi itu adalah instansi-instansi resmi pengadilan, pun pula badanbadan
atau petugas-petugas yang menurut adat dan agama diserahi penyelenggaraan hukum
adat, dan hukum agama, termasuk Pengadilan Swapradja (dimana masih ada).
b. Bahasa Indonesia dalam perundang-undangan dan administrasi adalah bahagian
bahasa-hukum Indonesia tertulis, yang dipergunakan dalam perundang-undangan dan
administrasi, yaitu oleh instansi-instansi resmi yang diserahi dengan penyelenggaraan
administrasi dan pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk pengitaban
hukum (codificatie) dan pencatatan hokum (rechtsregistratie).
c. Persoalan-persoalan mengenai bahasa Indonesia pada umumnya pula terhadap
dan pengaruh pada bahasa hukum (termasuk pula bahasa perundang-undangandan
bahasa administrasi) kita.
d. Dalam mencari, menggali, menghimpun, danmembentuk istilah hukum Indonesia
seyogyanya dipakai dasar :
1. bahan-bahan dari bahasa daerah yang meliputi seluruh daerah Hukum Indonesia;
2. kata-kata istilah dari bahasa asing yang menurut sejarah dan pemakaiannya sudah
memperolehkedudukan yang kuat dalam masyarakat Indonesia;
3. kata-kata istilah bentukan baru yang menurut perhitungan baik berdasarkan isinya
maupun pengucapannya dapat diterima dan dipahami olehmasyarakat umum.
e. Dalam lapangan administrasi sangat besar gunanya kesamaan bentuk atau
keseragaman guna melancarkan penyelesaian surat-menyurat dan memudahkan
pemecahan soal yang dihadapi. Berhubung dengan itu lazimlah dipakai dalam
administrasi cara penyelesaian soal yang disebut "afdoening volgens
antecedent/precedent."
f. Adalah satu keuntungan besar dalam sejarahkebudayaan bangsa kita bahwa sebagai
salah satu hasil revolusi bangsa Indonesia telah dapat ditetapkan satu bahasa kesatuan
dan bahasa resmi, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa hukum bukanlah bahasa baru. Kaidah kalimat, bentuk kata, kosa kata, dan tata tulisnya
tak berbeda sama sekali dari bahasa Indonesia pada umumnya. Bedanya, bahasa yang dipakai
dalam bidang hukum menggunakan istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian sesuai
kebutuhan dan kelaziman yang berlaku di bidang hukum.
Model bahasa demikian, yang lazim dipakai dalam bidang tertentu seperti hukum, disebut laras
bahasa. Penulis yakin kaidah tata bahasa yang digunakan untuk bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan sana sekali tidak berbeda dari kaidah yang digunakan pada ragam resmi
pada umumnya. Misalnya: (i) kata terpilih harus kata yang baku; (ii) harus melambangkan
konsep dengan tepat, lazim, dansaksama; (iii) struktur kalimat harus benar, lugas, jelas, dan
masuk akal; (iv) kata dan kalimat harus bermakna tunggal atau monosemantis, tidak boleh
ambigu, tidak boleh memiliki tafsiran ganda; dan (v) komposisinya harus lazim di bidang
hukum.
Bahasa Indonesia bidang hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
bentuk penggunaan bahasa Indonesia ragam resmi karena dipakai untuk menuliskan hukum dan
peraturan resmi. Kalimat di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan, kata penulis,
pada umumnya mirip formula. Bagaimana formula kalimat itu, antara lain, sudah disinggung
dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
J. Landasan Yuridis Bahasa Hukum
Secara umum, eksistensi bahasa Indonesia dilandasi atas Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Bab XV pasal 36 dan pasal 36c. Pasal 36 berbunyi: Bahasa negara
ialah bahasa Indonesia, dan pasal 36c berbunyi: Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.Amanah
di dalam UUD 1945 tersebut kemudian diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan
lainnya, di antaranya yakni:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, sertaLagu Kebangsaan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 Tanggal 18
Juli 2001 tentang TeknikPenyusunan dan Materi Muatan Produk-Produk HukumDaerah.
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
Beberapa hal penting dalam peraturan perundangundangan tersebut yang perlu digaris
bawahi adalah :
1. Pada Bab III UU Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi : Bahasa Peraturan Perundang-undangan
pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan
Perundangundangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan
pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan
hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
2. Sedangkan dalam UU No. 24 Tahun 2009 :
Pasal 26 : Bahasa Indonesia wajib digunakan dalamperaturan perundang-
undangan.
Pasal 27 : Bahasa Indonesia wajib digunakan dalamdokumen resmi negara.
Pasal 31 : (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintha Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. (2) Nota kesepahaman
atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing
ditulis juga dalam bahasanasional pihak asing tersebut dan / atau bahasa Inggris.
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi DaerahNomor 21 Tahun
2001 Tanggal 18 Juli 2001:
a. Ragam bahasa yang dapat dipakai dalam menyusun produk-produk hukum di Daerah
adalah Bahasa
Perundang-undangan dengan kriteria :
Ragam bahasa perundang-undangan termasuk Bahasa Indonesia yang
tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia yang menyangkut pembentukan kata,
penyusunan kalimat maupun pengejaannya. Ragam bahasa perundang-undangan
mempunyai corak dan gaya khas yang berdiri kejernihanpengertian, kelugasan,
kebakuan dan keserasian.
Jika merumuskan ketentuan peraturan perundangundangan, maka pilihan kalimat
yang lugas dalam arti kalimatnya tegas, jelas dan mudah ditangkap pengertiannya,
tidak berbelit-belit dan objektif. Kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan
salah tafsiran atau menimbulkan pengertian yang berbedabeda setiap pembaca.
Hindari pemakaian istilah yang pengertiannya sedemikian kabur dalamm
hubungan kalimat kurang jelas. Istilah yang dipakai sebaiknya sesuai dengan
pengerttian yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Upaya pemberian arti
kepada istilah yang menyimpang dan arti yang biasa dipakai pada umumnya.
Contoh: Pertanian meliputi pula
peternakan dan perikanan.
Hindari pemakaian :
1) Beberapa istilah yang berbeda untuk pengertian yang sama. Contoh:
Istilah gaji, upaya, pendapatan digunakan untuk pengertianpenghasilan.
2) Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah
penangkapan diartikanjuga penahanan atau pengamanan.
Untuk mendapatkan kepastian hukum, istilah dan arti dalam Peraturan Pelaksanaan harus
disesuaikan dengan istilah dan arti. Yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajatnya. Contoh: Pengertian pajak Daerah harus disesuaikan
dengan istilah pajak Daerah dalam undang-undangNomor 34 Tahun 2000.
Apabila istilah tertentu dipakai berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan susunan
peraturan perundang-undang dapat dibuat definisi yang tempatkan dalam Bab (tentang)
ketentuan umum. Contoh: Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan Daerah danPembangunan Daerah.
Jika Istilah tertentu dipakai berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan susunan suku
kata dalam peraturan perundang-undangan dapat menggunakan singkatan atau akronim.
Contoh: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi APBD. (2) Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah menjadi BAPPEDA.
Singkatan nama atau badan atau lembaga yang belum begitu dikenal umum dan bila tidak
dimuat dalam ketentuan Umum, maka setelah tulisan lengkapanya, singkatannya dibuat
diantara tanda kurung.
Contoh:
Pemakaian kata dan, atau, dan atau. (1) Untuk menyatakan sifat yang kumulatif
digunakan kata dan. Contoh: A dan B wajib memberikan ; (2) untuk menyatakan
sifat alternatif atau ekslusif digunakan kata atau. Contoh: A atau B wajib
memberikan... ; (3) Untuk menyatakan sifat alternatif ataupun kumulatif digunakan frasa
danatau. Contoh: A dan atau B dapat memperoleh...Untuk menyatakan istilah hak
digunakan kataberhak. Contoh: Setiap Pegawai Negeri Sipil berhakuntuk mendapat
pensiun.
Untuk menyatakan kewenangan, digunakan kata dapat atau kata boleh. Kata dapat
merupakan kewenangan yang melekat pada seseorang, sedangkan kata boleh tidak
melekat pada diri seseorang. Untuk menyatakan istilah kewajiban
digunakan kata wajib.
Contoh:
1) Menteri Dalam Negeri dapatmemberikanpertimbangan/penghargaan/sanksi kepada
setiapPNS di jajaran Departemen Dalam Negeri.
Untuk menyatakan istilah sekedar kondisi atau persyarakatan, digunakan kata harus. Contoh:
Untuk menduduki suatu jabatan tertentu seseorang calon pejabat harus terlebih dahulu
mengikuti pendidikan penjenjangan.Untuk menyangkal suatu kewajiban atau kondisi yang
diwajibkan digunakan frasa tidak diwajibkan atau tidak wajib. Contoh: Warga negara yang
belum berumur 18 tahun dan belum kawin tidak diwajibkan untuk pemilihan umum.
c. Teknik Pengacuan
Untuk mengacu ayat atau pasal lain, digunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam.
Contoh:
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 18...
Jika mengacu ke peraturan lain, pengacuan dengan urutan pasal, ayat dan judul peraturan
perundangundangan. Contoh: sebagaimana dimaksid dalam Pasal 28 ayat (3)
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Usahakanlah agar setiap pasal atau kebulatan ketentuan tanpa mengacu ke Pasal lain.
Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh: Izin penggalian tambang batubara, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18...Pengacuan hanya boleh dilakukan ke paraturan yangtingkatnya sama atau
lebih tinggi.
Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang
diacu dan hindarkan penggunaan frasa pasal yang terdahulu atau asal tersebut diatas atau
pasal ini.
Contoh:
Panitia Pemilihan, sebagaimana dimaksud dalamPasal 34 ayat (3), bertugas....
Jika ketentuan dari pengaturan yang diacu memamg dapat diperlakukan seluruhnya, maka
istilah tetap berlaku digunakan. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang telah ada
terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (92) dan Peraturan Daerah tentang Retribusi yang
telah ada yang tekait dengan Pasal 18 ayat (3) masihtetap
berlakusebelumdiberlakukannya Peraturan Daerah berdasarkanUndang-Undang ini.
Pernyataannya tetap berlaku dengan pengertian bahwa digunakan jika ketentuan yang
diacu itu sebagaian diberlakukan atau diberlakukan dengan
perubahan.
Contoh:
Pertauran Daerah tentang Pajak Daerah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan tetap berlaku 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 34
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan RetribusiDaerah.
1) Pemakaian Huruf Abjad, meliputi: (1) Huruf Abjad, (2) Huruf Vokal, (3) Huruf
Konsonan, (4) Huruf Diftong, (5) Gabungan Huruf Konsonan, (6) Huruf
Kapital, (7) Huruf Miring, (8) Huruf Tebal.
2) Penulisan Kata, meliputi: (1) Kata Dasar, (2) Kata Turunan, (3) Bentuk Ulang, (4)
Gabungan Kata, (5) Suku Kata, (6) Kata Depan di, ke, dan dari, (7) Partikel, (8)
Singkatan dan Akronim, (9) Angka dan Bilangan, (10) Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -
mu, dan nya, (11) Kata si dan sang.
3) Pemakaian Tanda Baca, meliputi : (1) Tanda Titik [. ],(2) Tanda Koma [, ], (3)
Tanda Titik Koma [ ; ], (4) Tanda Titik Dua [ : ], (5) Tanda Hubung [ - ], (6)
TandaPisah [ -- ], (6) Tanda Seru [ ! ], (7) Tanda Tanya [ ? ], (8)Tanda Elipsis [
], (8) Tanda Petik [ ], (9) Tanda PetikTunggal [ ], (10) Tanda Kurung [( )],
(11) TandaKurung Siku ([ ]), (11) Garis Tanda Mirin [ / ], TandaPenyingkat atau
Apostrof [']. 4) Penulisan Unsur Serapan.
Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam
masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang
modern, maka dalam penggunannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika dan etika bahasa Indonesia.
Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah, komposisi, gaya bahasanya,
dan kandungan artinya yang khusus. Bahasa hukum yang dipergunakan sekarang masih bergaya
orde lama, masih banyak yang kurang sempurna dari sisi semantik, bentuk dan komposisi
kalimatnya. Hal tersebut dikarenakan para sarjana hukum di masa lalu, tidak pernah
mendapatkan pelajaran bahasa hukum yang khusus dan tidak pula memperhatikan dan
mempelajari syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasaIndonesia.
Kelemahan itu timbul karena bahasa hukum yang dipakai dalam seluruh cakupan hukum,
menggunakan istilah berasal dari hukum Belanda. Para kalangan terpelajar dari Belanda yang
pertama kali membuat peraturan-peraturan di bumi pertiwi. Para ahli hukum Belanda ini tentu
lebih menguasai tata bahasa Belanda daripada tata bahasa pribumi saat itu.
Bahasa hukum Belanda lebih mewarnai hukum di Indonesia karena dalam sejarahnya bangsa
Indonesia lama di bawah kendali bangsa Belanda. Pada saat Kongsi Perdagangan Hindia Timur
(Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) didirikan tahun 1602 dan berkuasa dengan
didukung militer Belanda, terbit peraturan dagang dalam menyelesaikan perkara istimewa
perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah
yang dikuasainya, disamping dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan
tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui plakat. Pada tahun 1642 plakat-plakat
tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama Statuta van Batavia (peraturan
dasar Batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama Niewe Bataviase Statuten
(peraturan dasar Batavia yang baru). Aturan-aturan yang dibuat Belanda itu pun terus
berkembang, bahkan sampai pada masa penjajahan Jepang, sebagian tetap berlaku, selama tidak
bertentangan dengan Kekaisaran Jepang.
Harus diakui, dibanding dengan bahasa asing yang kaya dengan istilah, maka bahasa Indonesia
masih miskin dalam istilah. Sehingga dalam menterjemahkan istilah Belanda para sarjana hukum
membuat istilah sendiri, hal ini menyebabkan seringkali terdapat pemakaian istilah yang tidak
sesuai dengan maksud sebenarnya. Adakalanya dua atau lebih istilah hukum asing diterjemahkan
hanya dengan satu istilah atau satu istilah diterjemahkan menjadi beberapa istilah hukum
Indonesia. Untuk mengatasi kekeliruan pengertian, maka seringkali didapati dalam kepustakaan
hukum penulisnya mencatumkan bahasa aslinya di dalam tanda kurung.
Terjemahan itu kadang-kadang menimbulkan pertanyaan bagi orang awam. Misalnya, istilah
didalam hukum adat yang disebut kawin lari, sebagai terjemahan dari vlucthuwelijk dan
wegloophuwelijk. Tentu orang awam berpikir, tidak ada kawin lari. Yang dimaksud kawin lari
adalah berlarian untuk kawin yang dilakukan oleh bujang gadis seperti berlaku di Batak,
Lampung dan Bali. Kalau di Makassar dikenal dengan silariang. Contoh lain didalam istilah
hukum perdata, dalam istilah hukum perdata Belanda ada dikenal verbindtenis, ada yang
menterjemahkan perikatan ada yang menterjemahkan perjanjian. Ada juga istilah hukum
Belanda overeenkomst, ada yang menterjemahkan perjanjanjian, ada yang menterjemahkan
persetujuan. Hal itu tentu akan membingungkan orang awam dan bagi mereka yang baru belajar
hukum. Begitupula dalam hukum pidana terdapat istilah hukum Belanda yang disebut
straafbaarfeit, ada yang menterjemahkan peristiwa pidana, ada yang menterjemahkan perbuatan
pidana, dan ada pula yang menterjemahkan tindak pidana. Sedangkan maksud sebenarnya adalah
peristiwa yang dapat dihukum. Kemudian ada istilah yang telah menadarah daging di kalangan
hukum ialah barangsiapa, terjemahan dari kata Hij die, yang dimaksud tentunya bukan barang
kepunyaan siapa, tetapi dia yang (berbuat) atau siapapun yang berbuat.
Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan ragam bahasa hukum urgen diaplikasikan.
Pertama, untuk menyempurnakan penerjemahan dan penafsiran teori-teori hukum yang banyak
mengadopsi bangsa asing sehingga dapat mencapai tujuan ideal dalam aplikasinya. Kedua,
kekhasan teori dan praktik hukum terkadang bertentangan dengan semantik dan tata bahasa
Indonesia. Misalnya, apabila ada kalimat yang berbunyi Badu memukul Tatang, maka menurut
ketentuan ilmu bahasa Badu Badu adalah subyek, memukul adalah predikat dan Tatang
adalah obyek. Tetapi didalam kalimat ilmu hukum Tatang itu tidak mungkin menjadi obyek,
tetapi ia adalah subyek (hukum) oleh karena ia adalah manusia. Di dalam ilmu hukum hanyalah
benda atau yang bukan subyek hukum yang menjadi obyek hukum.
Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang bahasa Indonesia, maka
bahasa hukum Indonesia harus tunduk gramatika bahasa Indonesia yang telah ditetapkan.
Karakteristik keresmian atau kebakuan harus tetap ada dalam penggunaan ragam lisan dan
tulisan bahasa hukum Indonesia. Permasalahannya, dalam banyak kajian, dalam praktik
penggunaan bahasa hukum Indonesia banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan tata bahasa
Indonesia, juga dengan karakteristik bahasa hukum lainnya. Misalnya, ketidakjelasan makna dan
kalimat yang ditemukan di dalam teks peraturanperundang-undangan.
Terkadang kekhasan dan corak bahasa hukum Indonesia dijadikan legitimasi bagi para pelaku
hukum untuk tetap mempertahankan kebenaran penggunaan bahasa hukum, meski secara terang
bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Persoalan tersebut terjadi
dilatarbelakangi hal-hal berikut:
1. Praktisi yang berkenaan dengan hukum tidak sepenuhnya memahami tata bahasa
Indonesia. Dalam mempelajari disiplin ilmu hukum atau yang belajar secara khusus di
bidang hukum atau yang terkait, tidak diharuskanmendalami tata bahasa Indonesia.
2. Penggunaan bahasa hukum yang bertentangan dengan tata bahasa Indonesia seolah telah
menjadi konvensi. Mengubahnya berarti melawan kebiasaan yang sudah ada, walaupun
kebiasaan tersebut tidak berdampak baik kepadatujuan ideal hukum.
3. Bahasa Indonesia berkembang lambat. Masih banyak istilah di dunia hukum yang selama
ini merujuk bahasa asing, belum ditemukan padanan kata yang sempurnadalam
terjemahnya.
4. Peraturan perundang-undangan mengharuskan seluruh aktivitas berkaitan dengan praktik
hukum resmi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi tidak secara
tegasmemberikan sanksi bagi pelanggarnya.
5. Bahasa hukum yang sulit dipahami masyarakat awam seolah menjadi stigma identitas
bahasa hukum yang tetap dipertahankan. Perubahan secara mendasar atas tata bahasa
hukum Indonesia menjadi tantangan tersendiri, sebab pasti memunculkan polemik.
Berikut ini adalah kajian-kajian terhadap penggunaan ragam bahasa dalam praktik hukum yang
bertentangan dengan pedoman tata bahasa Indonesia yang diputuskan pemerintah :
1. Sebuah artikel berjudul Bahasa Ragam Hukum dan Sanksi Hukum di Indonesia,
menguraikan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45
tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekertaris Desa Menjadi
Pegawai Negeri Sipil yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai bahasa hukum yang
baikdan benar.
Bab II Pasal 3 ayat 3, tidak memiliki kejelasan keterangan tentang identitas
pangkat/golongan yang diperoleh Sekretaris Desa yang memiliki ijazah lebih tinggi dari
Surat Tanda Tamat Belajar(STTB) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada ayat itu
hanya disebutkan bahwa pangkat/golongan ruang sesuai dengan ijazah SLTA.
Bab V Pasal 12 ayat 3. Diksi istilah dibebankan pada kalimat Biaya ujian
penyetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada APBD
Kabupaten/Kota, tidak tepat. Kata dibebankan pada kalimat di atas memiliki pengertian
seolah-olah ada pihak lain yang mestinya melakukan kewajiban dalam memenuhi biaya
ujian penyetaraan, namun tidak melakukan kewajiban tersebut sehingga biaya
penyetaraan diberikan sebagai beban kepada pihakAPBD Kabupaten/Kota.
2. Berita berjudul Bahasa Hukum Harus Lugas Agar Menimbulkan Kepastian Hukum,
mengungkapkan adanya ketidakjelasan redaksi di dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Ahli sastra bahasa Prof. Siti Chamamah pada
sidang Jusial Review di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada 27 Juni 2014. Chamamah
menilai di dalam UU Praktik Kedokteran tidak terdapat kejelasan, ketegasan, keteraturan
dan keterukuran tata bahasa. Khususnya dalam Bab IX tentang Pembinaan dan
Pengawasan, pasal 71-73. Chamamah berpendapat, ketiga pasal itu terdapat
ketidakberuntunan pola pikir. Berada di dalam bab Pembinaan dan Pengawasan,
Chamamah berpendapat seharusnya ketiga pasal itu fokus kepada subyek dokter dan
dokter gigi. Kenapa tiba-tiba Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2 mengatur tentang setiap
orang? kata Chamamah. Sementara di bagian penjelasan, Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78
hanya tertulis kata Cukup jelas. Dari segi bahasa, undangundang ini kurang
mempertimbangkan kaidah bahasa, ragam bahasa resmi. Berikut adalah isi ketiga pasal
yangdipersoalkan tersebut :
Pasal 72 menyatakan pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran itu diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat atas tindakan yang
diberikan dokter dan dokter gigi. Serta untuk memberikan kepastian hukum bagimasyarakat,
dokter, dan dokter gigi.
Pasal 73 ayat (2) menyatakan, Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau
cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.
3. Karya ilmiah berjudul Penulisan Bahasa Hukum Indonesia Menurut Ejaan Yang
Disempurnakan dan Penerapan Dalma Pembuatan Berita Acara dan Putusan, karangan
Drs.Abdul Aziz, MH.I. menemukan banyak kesalahan tata bahasa di dalam pembuatan
berita acara dna putusan pengadilan. Pada kesimpulannya, Abdul Aziz menyarankan agar
semua orang, termasuk praktisi hukum, termasuk aparat kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan , mematuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pedoman yang ada
selama ini yang menyimpang dari kaidah EYD harus ditinggalkan karena pedoman
seperti itu hanya mengacaukan, bahkan merusak perkembangan bahasa Indonesia di
tanah air. Pedoman ataupun petunjuk teknis dalam penulisan berita acara persidangan
ataupun pembuatan putusan dapat dipergunakan sepanjang pedoman tersebut disepakati
oleh berbagai pihak yang tentu saja diharapkan melibatkan sebagian kalangan ahli bahasa
Indonesia dan yang tidak kalah penting bagi mereka yang memahami bahasa hukum.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahasa Indonesia merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia, yang tercipta pada Hari
Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa
negara, berikut tata bahasanya yang tertuang dalam pedoman ejaan yang telah ditetapkan
pemerintah. Dalam peraturan perundang-undangan, bahasa Indonesia harus dipergunakan
seluruh warga negara Indonesia.
Bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, salah satunya adalah ragam bahasa hukum
yang masuk ke dalam kategori ragam fungsional, dan memiliki corak dan karakteristik
tersendiri. Ragam bahasa hukum telah menjadi diskursus sejak Kongres Bahasa
Indonesia (KBI) I dan keputusannya menjadi rekomendasi atas pembuatan Undang-
Undang Dasar. Dalam penggunaannya secara lisan dan tulisan, ragam bahasa hukum
tetap tunduk terhadap pedoman tata bahasa Indonesia yang berlaku.
Penggunaan ragam bahasa hukum Indonesia dipayungi sejumlah peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yakni: (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, (2)
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, (4)
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 Tanggal
18 Juli 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-Produk Hukum
Daerah, (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.
Dalam penerapan bahasa hukum seperti diamanahkan di dalam peraturan perundang-
undangan, ternyata banyak permasalahannya. Diantaranya adalah latar belakang
pendidikan para praktisi hukum tidak banyak yang memahami tata bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Sehingga di dalam banyak kajian, ditemukan kesalahan tata bahasa dalam
penulisan peraturan perundang-undangan, keputusan
pengadilan, berita acara, kenotarisan dan sebagainya.
B. Saran
Seharusnya dalam penerapan bahasa hukum di Indonesia benar-benar memperhatikan
kaidah tata bahasa yang berlaku. Jika format bahasa hukum yang salah kaprah itu sudah
menjadi konvensi, maka sepatutnya dicarikan solusi agar dilakukan penyesuaian.
Memang banyak faktor yang mempengaruhi
ketidaktaatan penggunaan bahasa hukum di Indonesia. Namun jika seluruh unsur
pelaku hukum memiliki niat untuk melakukan perubahan, maka dapat dipastikan bahasa
Indonesia akan semakin berwibawa. Bahasa Indonesia adalah identitas bangsa Indonesia,
maka hormatilah dengan menggunakannya dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
http://aula.unair.ac.id
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id
http://coretanwnh.blogspot.com
http://elearning.gunadarma.ac.id
http://en.wikipedia.org
http://eprints.undip.ac.id
http://file.upi.edu
http://fudican.files.wordpress.com
http://id.wikipedia.org
http://kbbi.web.id
http://lontar.ui.ac.id
http://luk.staff.ugm.ac.id
http://mankpermahimakassar.blogspot.com
http://muhammadsood.blogspot.com
http://muslich-m.blogspot.com
http://okykidamori.blogspot.com/2013/03/unsur-unsur-danhasil-kebudayaan-di.html
http://paratokohlampung.blogspot.com
http://storage.jak-stik.ac.id
http://wahyuwibowo.blog.unas.ac.id
https://www.academia.edu
http://www.dpr.go.id
http://www.hukumonline.com
http://www.luk.staff.ugm.ac.id
http://www.uin-alauddin.ac.id
https://www.scribd.com
http://zriefmaronie.blogspot.com