Wakil Presiden pendamping Presiden SBY, ini seorang ekonom bertangan dingin. Tangan dingin
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan Doktor Ekonomi Bisnis lulusan
Wharton School University of Pennsylvania, AS 1979, ini terbukti selama menjabat Ketua Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (1998-1999)) Menteri Keuangan (2001-2004), Menko
Perekonomian (2005-2008), maupun sebagai Gubernur Bank Indonesia (2008-2009).
Hanya saja, dia terlibat dalam skandal Bank Century (2008). Dia sangat berperan dalam
kebijakan FPJP dan bailout Bank Century sebesar Rp.6,7 triliun, yang oleh Badan Pmeriksa
Keuangan (BPK) dan DPR dinilai bermasalah dan berbau korupsi. Kebijakan bailout Bank
Century itu dilakukan dengan alasan menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis keuangan
global yang episentrumnya terjadi di Amerika.
Namun, diduga terjadi rekayasa kebijakan dan penyimpangan aliran dana bailout Bank Century
itu. Bahkan diduga mengalir ke partai politik penguasa dan pasangan Capres-Cawapres tertentu.
Maklum, pengucuran dana p.6,7 triliun itu dilakukan menjelang dan bertepatan hiruk-pikuk
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Dengan terungkapnya kasus bank Century ini, banyak pihak menjadi paham mengapa Presiden
Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dalam Pemilu Presiden 2009 diusung Partai Demokrat
kembali sebagai Calon Presiden, secara mengejutkan memilih Wakil Presiden Republik
Indonesia (2009-2014)
Boediono sebagai Cawapresnya. Ketika pilihan itu diumumkan dan dideklarasikan 15 Mei 2009,
tidak banyak pihak yang memahaminya.
Prof. Dr. Wakil Presiden Republik Indonesia (2009-2014)
Boediono yang memiliki jejak rekam dalam tata kelola ekonomi disebut akan berpihak kepada
kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Namun, entah kenapa beberapa pihak
melemparkan tudingan yang menyebut Wakil Presiden Republik Indonesia (2009-2014)
Boediono menganut ekonomi neoliberalisme dan terlalu berpihak kepada asing. Maka, Prof. Dr.
Boediono merasa sedih dan tidak tahu mengapa diberi label sebagai antek neoliberalisme dan
terlalu berpihak kepada asing. Sebab, menurutnya, sejak awal dalam kebijakan ekonomi, ia
selalu mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat yang belum mendapatkan
manfaat pembangunan.
Jejak Rekam
Selama menjabat Lihat Daftar Menteri
Menteri Keuangan, suami dari Herawati dan ayah dua anak (Ratriana Ekarini dan Dios
Kurniawan), ini berhasil membenahi bidang fiskal, masalah kurs, suku bunga dan pertumbuhan
ekonomi juga berhasil mengakhiri kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional).
Bersama tim dalam kabinet dan Bank Indonesia, Master of Economics, Monash University,
Melbourne, Australia (1972), itu berhasil menstabilkan kurs rupiah pada kisaran Rp 9000-an per
dolar AS. Begitu pula dengan suku bunga berada dalam posisi yang cukup baik merangsang
kegiatan Lihat Daftar Tokoh Pengusaha
bisnis, sehingga pertumbuhan ekonomi menaik secara signifikan. Pria berpenampilan kalem dan
santun serta terukur berbicara itu juga dinilai mampu membuat situasi ekonomi yang saat itu
masih kacau menjadi dingin.
Saat baru menjabat Menkeu, langkah pertama yang dilakukan ekonom berpenampilan rapih dan
low profile itu adalah menyelesaikan Letter of Intent dengan IMF yang telah disepakati
sebelumnya serta mempersiapkan pertemuan Paris Club September 2001. Paris Club ini
merupakan salah satu pertemuan penting karena menyangkut anggaran 2002. Setelah itu, dia
bersama tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong, secara terencana mengakhiri kerjasama dengan
IMF (Dana Moneter Internasional) Desember 2003.
Departemen Keuangan di bawah kendali pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu
pun berhasil melampaui masa transisi pascaprogram IMF, yang sebelumnya sudah dia ingatkan
akan sangat rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa percaya
(confidence) pasar. Apalagi kala itu, Pemilihan Umum 2004 juga berlangsung. Kondisi rawan itu
pun berhasil dilalui tanpa terjadi guncangan ekonomi.
Dia berhasil menggalang kerjasama dengan Bank Indonesia dan tim ekonomi lainnya, kecuali
dengan Menko Ekonomi RI, 1999-2000
Kwik Kian Gie yang kala itu tampak berbicara sendiri sebagai Lihat Daftar Menteri
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas.
Kemudian sebelum terbang ke Sibolga, Kamis (1/12/2005) pagi, Presiden Republik Indonesia
Keenam (2004-2014)
Presiden SBY mengakui telah bertemu Boediono, memintanya memperkuat tim ekonomi.
Menurut Presiden, Boediono cukup meyakinkan untuk mengelola makro-ekonomi dengan baik.
Namun, menurut Presiden Republik Indonesia Keenam (2004-2014)
Presiden SBY, Boediono mengaku ingin beristirahat sambil berbuat baik bagi negara tanpa harus
bergabung di kabinet. "Tetapi saya minta, Pak Boediono kalau negara memerlukan, kalau rakyat
menghendaki dan Anda harus masuk pemerintahan, tentu itu amanah," kata Presiden SBY.
Pasar pasar pun menyambutnya dengan antusias. IHSG dan mata uang rupiah langsung menguat.
Nilai tukur rupiah pun langsung naik di bawah Rp 10.000 per dolar AS. Boediono, ekonom
bertangan dingin, dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung
pemulihan sektor riil dan moneter. Juga perdagangan di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ) naik
signifikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ langsung ditutup menguat hingga
23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level
1.100.
Diungkapkan, inflasi tahun 2005 yang lebih buruk dari tahun 2004 dinilai jauh dari harapan.
Tentu ada faktor yang bisa menjelaskan mengapa inflasi buruk. Harus ada keterpaduan atau
harmoni kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia.
Presiden SBY, kala itu berharap, Boediono akan mampu membenahi kinerja ekonomi Indonesia,
terutama di sektor riil dan terkait dengan tingginya laju inflasi saat itu menyusul kenaikan harga
BBM pada 1 Oktober 2005 diiringi tingginya tingkat konsumsi pada bulan puasa Ramadhan dan
Lebaran November 2005.
"Mengapa saya akan menata kembali tim ekonomi karena kita ingin semuanya tertata baik,
makro-ekonomi, mikro-ekonomi, jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Ada yang
harus bergerak cepat, yaitu ekonomi, tetapi harus ada yang menjaga stabilitas jangka panjang,
sustainability dan balance, kata Presiden SBY.
Presiden menginginkan orang yang tepat di posisi yang tepat untuk mendukung kerja tim yang
kuat. Pemilihan figur didasarkan pada kemampuan melakukan koordinasi dan kerja sama tim
yang baik. Presiden berkepentingan dengan dua hal itu, untuk memiliki dewan menteri dan tim
kerja yang baik.
Kemudian, Presiden SBY kepada DPR mengajukan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia,
menggantikan Burhanuddin Abdullah. Pengajuan nama Boediono ini 'terpaksa' dilakukan setelah
sebelumnya DPR menolak Agus DW Martowardojo (Dirut Bank Mandiri) dan Raden Pardede
yang diajukan Presiden untuk mengisi jabatan Gubernur Bank Indonesia. Pada tanggal 9 April
2008, DPR secara aklamasi menyetujui dan mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank
Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah.