Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B.J. Habibie lahir di Pare-pare (Sulawesi Selatan) pada tanggal 25 Juni
1936 anak ke-4 dari delapan putra dan putri dari keluarga Alwi Abdul Djalil
Habibie dan R.A.Tuti Marini Puspawordoyo. Ia hanya kuliah selama satu
tahun di Institut Teknologi Bandung (ITB), karena pada tahun 1955, ia
dikiriim oleh ibunya untuk belajar di Rhenisch Wesfalische Tehnische
Hochscule, Aachen, Jerman. Lalu B.J. Habibie menikah dengan Dr. Hasri
Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 dan dikaruniai dua putra dan lima
cucu.
Setelah belajar di Jerman selama lima tahun, B.J. Habibie memperoleh
DiplomIngenieur dengan prestasi cumlaude dari Fakultas Teknik Mesin
Jurusan Desain dan Kontruksi pesawat terbang. B.J. Habibie muda seorang
muslim taat yang sering berpuasa Sunnah Senin dan Kamis, memperoleh
gelar Doctor Ingenieur di Fakultas Teknik Mesin, jurusan Desain dan
Kontruksi Pesawat Terbang dengan predikat summa cum laude.
Dalam rangka memenuhi panggilan tanah airnya, pada tahun 1974 B.J.
Habibie akhirnya kembali ke Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai
penasihat pemerintah bidang teknologi tinggi pesawat terbang dan teknologi
tinggi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden Republik Indonesia.
Tugas ini diembannya sampai tahun 1978. Akhirnya sebelum pemilu pada
tahun 1997, B.J. Habibie menyampaikan kepada keluarga dan juga sahabat-
sahabat terdekatnya, bahwa ia berencana mengundurkan diri setelah masa
bakti di Kabinet Pembangunan VI berakhir. Namun, manusia itu hanya
berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Pada tanggal 11 Maret 1998
melalui sidang Umum MPR, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Republik
Indonesia yang ke-7.
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie merupakan masa yang tersingkat
bila dibandingkan dengan presiden Indonesia sebelumya, namun pada masa
pemerintahan B.J. Habibie ada banyak kebijakan yang dikeluarkan pada era
pemerintahannya. Inilah yang menjadi tolak ukur dimana Habibie
memberikan dampak yang besar bagi perubahan di Indonesia.
Adapun permasalahan yang dikeluarkan B.J. Habibie pada masanya
seperti penguatan nilai tukar rupiah dari Rp.17.000 menjadi Rp.6.000. Searah
dengan pemikirannya untuk keluar dari krisis ekonomi dan mewujudkan
perekonomian yang sehat, langkah pertama yang dilakukan Habibie ialah
melakukan pemisahan Bank Indonesia BI dari campur tangan Pemerintah.
Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia menghendaki kemandirian BI
dan tidak menghendaki presiden, menteri, atau siapapun ikut campur dalam
urusan Bank Indonesia. Habibie juga terpacu untuk melakukan penataan
ulang mengenai utang swasta domestik dan utang luar negeri serta
mempecepat rekapitalisasi perbankan. Standard and Poor’s Corporation
menyatakan bahwa upaya-upaya yang ditempuh Pemerintah Indonesia dan
didukung IMF itu telah dapat memulihkan disiplin moneter, menstabilkan
nilai tukar rupiah, dan menurunkan inflasi dari 70% pada tahun 1998 menjadi
25% pada maret 1999.
Selain mengatasi krisis ekonomi Habibie juga melakukan reposisi dan
pencabutan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)
sekaligus menghapus bisnis-bisnis militer atau biasa disebut sebagai agenda
reformasi TNI yang merupakan tuntutan masyarakat dalam melaksanakan
reformasi. Pada reposisi ABRI dimana kedudukannya dipisah antara
Kepolisian RI yang mana bertugas untuk keamanan dan ketertiban masyakat
sedangkan TNI bertugas hanya pada pertahanan negara yang dilaksanakan
pada 1 April 1999.
Penghapusan dwinfungsi ABRI dilaksanakan setelah reformasi, peran
ABRI di DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 menjadi 38
orang. Seperti yang telah dinyatakan Jendral TNI Wiranto bahwa secara
bertahap akan mundur dari area politik dan memusatkan perhatian pada
pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi
diperintahkan untuk memilih yaitu kembali kesatuan ABRI, atau pensiun dari
militer untuk berkarir di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam
DPR/DPD makin berkurang dan akhirnya ditiadakan.
Disamping itu bisnis-bisnis militerpun juga ikut dihapuskan. Bisnis-bisnis
militer yang dicabut pada waktu itu seperti, Yayasan Darma Putra Kostrad,
Yamabri, Inkopau, Inkopad, Bank Bahari, Inkopol, bahkan sampai pedesaan
bisnis militer di koperasi dicabut seperti Puskud, dsb.
Dalam rangka mengatasi krisis ekonomi Presiden B.J. Habibie melihat
adanya masalah yang sangat mengganjal yang menjatuhkan kredibilitas
Indonesia di mata international, termasuk melakukan negosiasi dengan
lembaga ekonomi internasional yang mengaitkan dengan masalah HAM (hak
asasi manusia). Hal itu berkaitan dengan masalah Timor-Timur. Isu
pelanggaran HAM di Timor-Timur terus diangkat oleh PBB oleh negara-
negara anti Indonesia.
Indonesia mengambil langkah dalam mengatasi krisis tesebut, kemudian
B.J. Habibie mencari penyelesaian mengenai masalah Timor-Timur. Presiden
B.J. Habibie memberikan kebebasan kepada rakyat Timor-Timur untuk
menentukan nasibnya sendiri, apakah akan bergabung dengan Indonesia atau
memisahkan diri dari Indonesia.
Pada tanggal 30 Agustus 1999 merupakan hari bagi rakyat Timor-Timur
untuk memberikan suara dalam jajak pendapat untuk menentukan akan
bergabung dengan Indonesia ataukah melepaskan diri. Hasil jajak pendapat
diumumkan pada 4 September 1999 di Dili dan New York, dari hasil tersebut
diketahui bahwa 78,2% memilh merdeka dan 21,8% memilih tetap bergabung
dengan Indonesia.
Sehubungan dengan hasil jajak pendapat yang menghendaki Timor-Timur
merdeka, pemerintah Indonesia menyatakan menghormati pilihan tersebut.
Selanjutnya kebijakan yang dikeluarkan ialah undang-undang politik
sebagai dasar penyelenggaraan pemilu. Untuk melaksanakan Pemilu 1999,
lebih dahulu dipersiapkan sejumlah undang-undang sebagai landasan baru
proses pemilu. Undang-undang tersebut antara lain memunculkan ratusan
partai-partai politik sebagai wujud demokrasi. Setelah diseleksi dengan
persyaratan ketat, jumlah partai politik yang awalnya ratusan tinggal 48
partai.
Banyak kalangan baik dari dalam maupun luar negeri menilai bahwa
Pemilu 1999 merupakan pemilu paling demokratis pertama setelah tahun
1995. KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara pemilu diisi
wakil-wakil semua partai politik dan diketuai oleh Rudini. Bahkan ketika
KPU belum berhasil mengumumkan hasil pemilu, Habibie mengambil alih
dan mengumumkan hasil pemilu. Ia menandatangani suara pemenang pemilu
sebagai kepala negara.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses terpilihnya B.J. Habibie menjadi Presiden pada 21 Mei
1998?
2. Bagaimana Perkembangan Ekonomi dan Politik Pada Masa Pemerintahan
B.J. Habibie?
3. Bagaimana proses turunnya B.J. Habibie sebagai Presiden?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui proses terpilihnya B.J. Habibie menjadi presiden

Republik Indonesia yang ke III pada 21 Mei 1998.

2. Untuk Perkembangan Ekonomi dan Politik Pada Masa Pemerintahan B.J.

Habibie

3. Untuk mengetahui proses turunnya B.J. Habibie sebagai Presiden.


BAB II
PEMBAHASAN
A. PROSES TERPILIHNYA B.J. HABIBIE MENJADI PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA YANG KE III
1. Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan Dari Soeharto Ke B.J.
Habibie
Berawal dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda
Kawasan Asia dan berdampak sangat luas bagi perekonomian di
Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam pada bulan Juli 1997,
membuat rupiah semakin terpuruk. Sebagai dampaknya hampir semua
perusahaan modern di Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-
pekerjanya, sehingga angka pengangguran menjadi meningkat.
Krisis ini juga berimbas langsung pada sektor moneter, terutama
melalui penutupan beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan
krisis likuiditas, sehingga perbankan nasional menjadi berantakan. Hal
inilah yang memunculkan krisis kepercayaan dari investor, serta pelarian
modal ke luar negeri.
Kenaikan angka kemiskinan yang melonjak pesat, merupakan dampak
krisis ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat desa maupun kota
semakin menurun, sehingga memicu rawan pangan dan kekurangan gizi.
Di sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan
kenaikan biaya medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas kesehatan
yang berakibat keadaan masyarakat semakin terjepit.
Didorong oleh kondisi yang makin parah, pada bulan Oktober 1997
pemerintah meminta bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk
memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan
penyesuaian struktural perbankan. Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF
sangatlah kecil dalam membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan
seperti kebijakan fiskal dan kebijakan likuidasi. Dimana kebijakan fiskal
bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar sedangkan kebijakan
likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank yang bemasalah.
Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan
mengusahakan rekapitulasi perbankan. Namun pada kenyataannya
kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa hasil yang berarti, malah IMF-lah
yang disalahkan karena justru membuat pekonomian Indonesia lebih
parah selama krisis.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi krisis yang
dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memulihkan
perekonomian, dimana harga-harga bahan kebutuhan pokok tetap
mengalami peningkatan. Karena itulah masyarakat menilai pemerintah
tidak berhasil dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Hal
inilah yang membuat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Rasa ketidakpercayaan ini berakibat pada aksi demo
mahasiswa di awal Maret 1998 yang menuntut pemerintah menurunkan
harga-harga barang dan menindaklanjuti pelaku-pelaku yang menimbun
sembako.
Banyaknya permasalahan besar yang dihadapi bangsa sebagai akibat
krisis ekonomi yang berlarut-larut, mahasiswa melihat bahwa upaya
penaggulangan tidak dilakukan dengan serius. Hal ini tampak dari
penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden
Soeharto di depan Sidang DPR/MPR 1998, dimana presiden sama sekali
tidak memperlihatkan rasa tanggung jawab atas musibah yang menimpa
tanah air. Kemudian mahasiswa melontarkan isu atau tuntutan mengenai
pembubaran Kabinet Pembangunan VII yang dinilai pengangkatan
menterinya tidak profesional dan penuh dengan muatan politik yang
berbau Nepotisme dan Koncoisme, seperti penunjukan Putri Pak Harto,
Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial, kehadiran
Bob Hasan dalam kabinet menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet, dan
penunjukan Wiranto Arismunanjar sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan sangat mengecewakan mahasiswa serta beberapa nama
menteri yang dinilai dekat dengan Tutut.
Puncak dari tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto turun dari
jabatan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang dikenal
dengan Insiden Trisakti. Berawal dari aksi keprihatinan atas musibah
bangsa dan mahasiswa berusaha secara damai keluar kampus menuju
Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi niat itu
ditolak aparat keamanan dan memaksa mereka kembali ke kampus. Tiba-
tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan.
Akibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat
keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998 mahasiswa di kampus-
kampus menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama, siang harinya
terjadi kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran
fasilitas umum dengan disertai aksi penjarahan, perampokan dan
pelecehan seksual terhadap wanita etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya.
Aksi kerusuhan berlangsung sampai tanggal 15 Mei 1998, yang memakan
korban meninggal samapi 1218 orang, itupun belum secara keseluruhan.
Pada tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan mahasiswa
menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang
Istimewa dengan agenda mengganti Soeharto. Upaya Presiden Soeharto
untuk meredam tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah dengan
membentuk Komite Reformasi. Dimana Komite ini bertugas
melaksanakan dan menyerap aspirasi masyarakat untuk melaksanakan
Reformasi. Akan tetapi terjadi penolakan 14 Menteri yang tidak bersedia
untuk duduk dalam susunan jabatan Komite Reformasi hasil Reshuffle
Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu, membuat posisi
presiden terpojok secara politik disamping sebelumnya ada desakan Ketua
DPR Harmoko agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Situasi
ini membuat Soeharto memutuskan untuk berhenti karena desakan
masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah besar dan secara
politik dukungan sudah tidak ada.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta,
Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI,
lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie
langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan
Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan
Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa
bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung
DPR/MPR. Suasana kemenangan itu sempat mendinginkan suasana yang
sebelumnya panas dengan hujatan dan makian lengsernya Soeharto, akan
tetapi tuntutan agar Soeharto mengembalikan uang rakyat mulai
berkumandang.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI
ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan
Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada
Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai
presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie
karena merupakan produk Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada
saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua kalangan
sementara jabatan presiden tidak boleh kosong; ketiga, mahasiswa
berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan
konstitusional.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan
susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan, dimana
seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti
presiden harus membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya
gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa mampu menumbangkan
kekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai berjalan di Indonesia, di
bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar yang dihadapi
Habibie :
1. Masa depan reformasi
2. Masa depan ABRI.
3. Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.
4. Masa depan Soeharto keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya.
5. Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
17 bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan positif.
Isu ke dua mengarah pada pengurangan peranan militer di bidang
politik. Isu ketiga terselesaikan dalam konteks Timor-Timur namun tidak
pada daerah lain, isu ke empat belum terselesaikan dan isu kelima tetap
tidak terpecahkan.
Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah dari aktivis
mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan
perusahaan internasional.
Kondisi saat Habibie memimpin perekonomian sedang dalam keadaan
terpuruk, inflansi ditargetkan 80% untuk satu tahun berjalan. Indonesia
sedang memasuki kekurangan panen akibat badai El NiH’o. Perusahaan
besar seperti Simpati Air, PT Astra Internasional tidak beroperasi lagi.
Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp.10000/$ bahkan mencapai lepel
Rp 15000-17000/$, 113 juta orang Indonesia (56% dari penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan).
2. Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie di Era
Reformasi
Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, maka pada pagi
itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan pimpinan
Mahkamah Agung menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga di Istana
Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden Republik
Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII dinyatakan
demisioner (tidak aktif).
Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan
pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan
mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet
Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan
Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan
dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII.
Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4
Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri
Negara yang memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas
menangani bidang tertentu. Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah
muka lama dari Kabinet Pembangunan VII, dan hanya 16 Menteri baru,
yaitu Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang Subianto, Soleh
Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi
Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin, Ida Bagus Oka,
Hamzah Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar.
Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua unsur-unsur
kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial politik
dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya, jabatan Gubernur
Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet. Karena
Bank Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus
dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun
berdasarkan Undang-Undang.
Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie melantik menteri-
menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie mengatakan
bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk melaksanakan
tugas pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan
hukum. Kabinet dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil
kebijakan dan langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda
pembangunan yang dalam beberapa bidang telah mengalami hambatan
yang merugikan rakyat. Kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie :
1. Pada Bidang Politik
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan pada
masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya
Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil
yaitu: dengan dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde
Baru, peningkatan kebebasan pers, pembentukan parpol dan
percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999, penyelesaian
masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan kroni-
kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.
a. Pembebasan Tahanan Politik
Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik
meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar
negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi
yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan
rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik kaum
separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI, yang telah ditahan
lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi
dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok.
Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok yang sebagian
besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto
melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).
Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar
Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H
Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang
dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang
Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta
melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang
Orde Baru.
b. Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi pers di
dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini,
banyak sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan
pers ini dilengkapi pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers
sehingga organisasi alternatif seperti AJI (Asosiasi Jurnalis
Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh ini tidak ada
pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa
Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang
memperoleh kebebasan yang amat lebar, pemberitaan yang
menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan pemerintah sudah
tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit ditemukan
batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State
University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi
berita televisi baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi
koran di Jakarta, yang kesemuanya seolah-olah menampilkan
kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti ini tidak
pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara
Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut
SIUPP.
c. Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003
ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang politik
lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4
Tahun 1999 tentang MPR dan DPR.
Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan Umum
dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang
terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi
Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98 partai, namun yang
memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol saja.
Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum
Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada
tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang
Pemilu di DPR, adalah :
1) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan
Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi.
2) Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi.
3) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz
meraih 58 kursi.
4) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul
Djalil meraih 51 kursi.
5) Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih
34 kursi.
6) Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra
meraih 13 kursi.
7) Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7
kursi.
8) Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo
meraih 5 kursi.
9) Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5
kursi .
10) Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn)
Edi Sudradjat meraih 4 kursi.
d. Penyelesaian Masalah Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia Internasional
memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak
asasi manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah
kerikil dalam sepatu yang merepotkan pemerintahannya, sehingga
Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan
bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan
setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan
diri dari RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas
berbagai bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain
kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan
serta moneter dan fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara
demokratis dan konstitusional serta secara terhorman dan damai
lepas dari NKRI.
Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah membebaskan
tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos
Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999, kelompok pro
kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan
damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua
Komnas HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio
do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali
Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen
PBB Kofi Annan menandatangani kesepakan melaksanakan
penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap rakyat
Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30
Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur
berlangsung aman. Namun keesokan harinya suasana tidak
menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah
buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4
September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat
Timor-Timur memilih merdeka. Pada awalnya Presiden Habibie
berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih opsi
pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah
mencatat bahwa sebagian besar rakyat Timor-Timur memilih lepas
dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada
daerah lain yang juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti
tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain itu
Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-
Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua.
Masalah Timor-Timur tidaklah sesederhana seperti yang
diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata antara
kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra
ini masuk ke dalam kelompok militan yang melakukan teror
pembunuhan dan pembakaran pada warga sipil. Tiga pastor yang
tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan dewanto. Situasi yang
tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi ke
Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror,
menciptakan keamanan mendorong Indonesia harus menerima
pasukan internasional.
e. Pengusutan Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya
Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan Mantan
Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya
dimana proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat.
Bahkan, pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR
No. XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai
pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan
kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie -
dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998
telah mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera
mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan Presiden Soeharto
yang diduga telah melakukan praktik KKN. Namun hasilnya tidak
memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa
Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa
penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana
yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup
bukti untuk melanjutkan penyidikan, kecuali menemukan bukti-
bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada kejelasan.
Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah dinilai gagal
dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta
Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi
demontrasi saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember
1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa
dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa
MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan
membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah
malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya
hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat bersidang. Sampai
sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa
luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan
Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah”
atau ”Tragedi Semanggi”.
f. Pemberian Gelar Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti
Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa
korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal
12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh
pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu
melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada
perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan
Reformasi.
2. Pada Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan pemerintah
berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat awal
terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum
sepenuhnya menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai
kebijakan yang kongkrit dan sistematis seperti sektor riil belum pulih.
Di sisi lain, banyaknya kasus penyelewengan dana negara dan bantuan
luar negeri membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan
ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan
operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang
Nasional Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali
pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih
pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi.
Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak goreng dan
beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap
meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar,
ditemui juga penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan
beras.
3. Pada Bidang Manajemen Internal ABRI
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak
perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama
dalam tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi keputusan politik
dan akademis reformasi internal TNI, antara lain :
a) Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar,
komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera
menyesuaikan diri.
b) TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta merespon
aspirasi rakyat.
c) TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif, sebagai komponen
bangsa yang lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan
distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik Orba.
ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai langkah
perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April 1999.
Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI,
Perubahan Stat Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf
Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan
hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak
yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI
dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta
pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda.
Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai kalangan sebagai
upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari masyarakat,
khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang
diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI.
B. PERKEMBANGAN EKONOMI DAN POLITIK PADA MASA
PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Tugas utama yang diemban oleh Presiden B.J Habibie adalah memimpin
pemerintahan transisi untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi
yang menyeluruh dan mendasar, serta sesegera mungkin mengatasi kemelut
yang sedang terjadi. Menjawab kritik-kritik atas dirinya yang dinilai sebagai
orang tidak tepat menangani keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis
yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan tentang komitmennya
untuk melakukan reformasi di bidang politik, hukum dan ekonomi. Secara
tegas Habibie menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden adalah
sebuah amanat konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya ini ia berjanji akan
menyusun pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan
perubahan yang digulirkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.
Pemerintahnya akan menjalankan reformasi secara bertahap dan
konstitusional serta komitmen terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan
kehidupan politik yang demokratis dan meningkatkan kepastian hukum.
Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya
setelah dilantik sebagai Presiden, pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka yang
disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI, B.J. Habibie menyatakan
tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato tersebut bisa dikatakan
merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan
Reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa point penting dari pidatonya
tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi di ketiga
bidang yaitu :
1) Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-
undangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan
berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana yang diamanatkan
oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2) Di bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-Undang
Subversi.
3) Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undangundang
yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat.
Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakan semua komitmen
yang telah disepakati dengan pihak luar negeri, khususnya dengan
melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai dengan kesepakatan dengan
IMF. Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama regional dan
internasional, seperti yang telah dilaksanakan selama ini dan akan berusaha
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika
pembangunan bangsa Indonesia yang dilandasi atas kepercayaan nasional dan
internasional yang tinggi.
Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya, bahwa pemerintahannya akan
komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomisosial,
meningkatkan kehidupan politik demokrasi dan menegakkan kepastian
hukum. Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie diarahkan pada tiga
bidang tersebut.
a. Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan
Sehari setelah dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet
yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet Reformasi
Pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan
tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin
Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu.
Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20
orang yang merupakan Menteri pada Kabinet Pembangunan era Soeharto.
Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari berbagai elemen kekuatan
politik dalam masyarakat, seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP,
dan PDI), unsur daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat. Untuk pertama kalinya sejak pemerintahan
Orde Baru, Habibie mengikutsertakan kekuatan sosial politik non Golkar,
unsur daerah, akademisi, profesional dan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), sehingga diharapkan terjadi sinergi dari semua unsur
kekuatan bangsa tersebut. Langkah ini semacam rainbow coalition yang
terakhir kali diterapkan dalam Kabinet Ampera.
Pada sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998,
B.J. Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi
krisis ekonomi dengan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan
makanan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian
masyarakat. Pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah
meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat,
dengan memberi peran perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena
terbukti memiliki ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.
Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibie memerintahkan
bahwa departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah
persiapan dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di
bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Perangkat perundang-
undangan yang perlu diperbaharui antara lain Undang-Undang Pemilu,
Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan
dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah.
Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat terhadap reformasi politik,
banyak kalangan menuntut adanya amandemen UUD 1945. Tuntutan
amandemen tersebut berdasarkan pemikiran bahwa salah satu sumber
permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini ada
pada UUD 1945.
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu fleksibel,
sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang disalah gunakan, pengaturan
hak azasi manusia yang minim dan kurangnya pengaturan mengenai
pemilu dan mekanisme demokrasi.
b. Sidang Istimewa MPR 1998
Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan
kaum intelektual terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10-13
November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk menentapkan
langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang.
Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan
keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud dalam
ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain :
1. Terbukanya kesempatan untuk mengamandemen UUD 1945 tanpa
melalui referendum
2. Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR
No.XVIII/MPR/1998).
3. Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua
kali masa tugas, masing masing lima tahun (Tap MPR No.XIII/
MPR/1998).
4. Agenda reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk
memeriksa kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik dan berbagai
perubahan terhadap Dwifungsi ABRI.
5. Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, mendorong
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan
berserikat, dan pembebasan tahanan politik dan narapidana politik.
c. Reformasi Bidang Politik
Sesuai dengan Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi
Pembangunan telah berupaya melaksanakan sejumlah agenda politik, yaitu
merubah budaya politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya,
seperti pemusatan kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi,
terbatasnya partisipasi politik rakyat, menonjolnya pendekatan represif
yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta terabaikannya nilai-nilai
Hak Azasi Manusia dan prinsip supremasi hukum.
Beberapa hal yang telah dilakukan B.J Habibie adalah :
1. Diberlakukannya Otonomi Daerah yang lebih demokratis dan semakin
luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan akan
meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah
ditetapkan melalui Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
2. Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai
politik. Sebelumnya. Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan
partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat
sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum,
partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi
oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang
berhak mengikuti Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam hal
kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.
3. Pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media
massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir dibredel
melalui mekanisme pencabutan Surat Izin Terbit. Hal penting lainnya
dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa
adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi- organisasi
profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota
satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh
pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh
pemerintah.
4. Dalam hal menghindarkan munculnya penguasa yang otoriter dengan
masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa
jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi
Presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
d. Pelaksanaan Pemilu 1999
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai salah satu hasil
terpenting lainnya yang dicapai Habibie pada masa kepresidenannya.
Pemilu 1999 adalah penyelenggaraan pemilu multipartai (yang diikuti oleh
48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu,
pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik, tentang pemilu, dan
tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden
membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya
terdiri dari wakil partai politik dan wakil pemerintah. Hal yang
membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu
1955) adalah dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena
adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan
yang tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999
ini dapat dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak pihak,
ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai tanpa ada kekacauan
yang berarti meski dikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini
juga mencatat masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya. Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum
(KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye, baik karena
kekerasan maupun kecelakaan dibanding dengan 327 orang pada pemilu
1997 yang hanya diikuti oleh tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat
kebanyakan lebih rileks melihat perbedaan. Pemilu 1999, dinilai oleh
banyak pengamat sebagai Pemilu yang paling demokratis dibandingkan 6
kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada
1 September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil
pembagian kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di
DPR, atau 90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul
sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh
120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34 kursi.
e. Pelaksanaan Referendum Timor Timur
Satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden
B.J. Habibie adalah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur
untuk menyelesaikan permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan
dari pemerintahan sebelumnya. Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur
(TimTim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR
No.VI/ M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak
pemah mendapat pengakuan internasional. Meskipun sebenarnya
Indonesia tidak pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-
Tim. Banyak pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik
nyawa maupun harta benda, untuk menciptakan perdamaian dan
pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang sering bergejolak
antara yang pro integrasi dengan yang kontra. Subsidi yang diberikan oleh
pemerintah pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada
provinsi-provinsi lain untuk mengejar ketertinggalan. Namun sungguh
disesalkan bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat tanggapan yang
positif, baik di lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat
Timor-Timur sendiri.
Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan.
Sebanyak 8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan
PBB telah dikeluarkan. Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa
untuk memulihkan citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali
berupaya menyelesaikan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang
dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dalam perundingan Tripartit
Indonesia menawarkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi
Timor-Timur. Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip
yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi
antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia.
Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan
referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur memilih otonomi
atau kemerdekaan.
Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-
Timur secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan
Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-
masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan
referendum. Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan setelah
berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah
menawarkan alternatif lain. Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak
Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka adalah wajar dan
bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika pemerintah
mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu
mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai,
baik- baik dan terhormat.
Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999
sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak pendapat yang
diumumkan PBB pada 4 September 1999, adalah 78.5% menolak dan
21,5% menerima. Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk
kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan
pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 45, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka Presiden
Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat
tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan
pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai dengan
perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan pemisahan Timor-
Timur dan RI secara baik, terhormat dan damai, untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional
yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
f. Reformasi Bidang Ekonomi
Sesuai dengan Tap MPR tentang pokok-pokok reformasi yang
menetapkan dua arah kebijakan pokok di bidang ekonomi, yaitu
penanggulangan krisis ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai rupiah
dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga
terjangkau, serta berputarnya roda perekonomian nasional, dan
pelaksanaan reformasi ekonomi.
Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan
mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional yang dimodifikasi
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang
semakin memburuk. Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama
yaitu :
1. Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2. Memperkuat basis sektor riil ekonomi.
3. Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling
menderita akibat krisis.
Secara perlahan presiden Habibie berhasil membawa perekonomian
melangkah ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan kepemimpinan
nasional dari Soeharto kepada Habibie. Pemerintahan Habibie berhasil
menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembali
berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai tukar
rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp.
6.700,-/dolar AS pada bulan Juni 1999. Padahal pada bulan yang sama
tahun sebelumnya masih sekitar Rp. 15.000,-/dollar AS. Meski saat
naiknya eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit
melemah mencapai Rp. 8000,-/dolar AS.
Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis di
bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dan krisis ekonomi,
Pemerintah telah melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Program Jaring Pengaman Sosial, terutama di bidang kesehatan dan
pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi
krisis.
ada masa Presiden B.J. Habibie pembangunan kelautan Indonesia
mendapat perhatian yang cukup besar. Pembangunan kelautan merupakan
segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan
Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk
didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan
bangsa Indonesia.
g. Reformasi Bidang Hukum
Sesuai Tap MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum
diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi
di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya
reformasi di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Keberhasilan
menyelesaikan 68 produk perundangundangan dalam waktu yang relatif
singkat, yaitu hanya dalam waktu 16 bulan. Setiap bulan rata- rata dapat
dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka
produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat
sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).
Untuk meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi
kepolisian telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari
organisasi Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, fungsi
kepolisian negara dapat lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan
hukum.
Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan
nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini
seakanakan disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Penyempurnaan Undang-Undang Dasar
dipandang penting untuk menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang
akan datang semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi
dan tuntutan ke arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan.
Untuk itu pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No 11/1978
mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum
diberlakukannya amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut.
Pada tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum
MPR hasil pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR
periode 1999-2004 dilantik. Lewat mekanisme voting, Amin Rais dari
Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar
Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada 14 Oktober
1999, Presiden B.J. Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR. Dalam
pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung jawaban
Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober 1999, dari sebelas fraksi yang
menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara
tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan
putusannya. Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan
balik atas pertanggungjawaban Habibie itu. Pada umumnya masalah yang
dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah
ekonomi dan masalah Hak asasi Manusia.
Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan
umum fraksi- fraksi, MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini
hari akhirnya menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui
proses voting. Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais
menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa
pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober
1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya. Presiden Habibie
memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia
ikhlas menerima keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung
jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga menyatakan
mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya.
Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda
pemilihan presiden dilaksanakan. Beberapa calon diantaranya adalah
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra.
Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya
beberapa saat menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden.
Lewat dukungan poros tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman
Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan
suara. Ia mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene adalah pemenang pemilu
1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Presiden Habibie
yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.
C. BERAKHIRNYA MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal
21 mei 1998, maka Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan
kedudukannya sebagai presiden. Pelimpahan ini memunculkan reaksi pro dan
kontra dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi
pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena keberadaan Habibie
dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto. Bahkan
beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal lain
yang melemahkan legitimasi Habibie dalam memimpin pemerintahan ialah ia
tidak dipilih secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu
paket pemilihan pola musyawarah mufakat dengan Soeharto.
Selain itu, beberapa tokoh memberi komentar pemerintahan Habibie
sebagai ”pemerintahan transisi” (Nurcholis Majid). ”Belum lepas dari
bayang-bayang Soeharto” (Amien Rais), ”Melakukan reformasi hanya pada
kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto”
(Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi
Habibie sebagai presiden.
Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan yang dicapai oleh
pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi Pembangunan
dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, penyelenggaraan
pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan
reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR/MPR
sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Dalam
jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah
Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan
kemerdekaan bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999
pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan
dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur
lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak berhenti dengan lepasnya Timor-
Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia Internasional mengenai masalah
pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban militer Indonesia
sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal ini mencoreng
Indonesia di Dunia Internasional.
Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur tersebut, terjadi kasus
yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian
Jaya lewat Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok
separatisnya yang menuntut kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum.
Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua
MPR Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan
pidato pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan
terhadap pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi
PDI-Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan
Kebangsaan Indonesia dan Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya,
masalah-masalah yang dipersoalkan oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah
masalah Timor-Timur, KKN termasukan pengusutan kekayaan Soeharto, dan
masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung DPR/MPR yang sedang
bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat
keamanan. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie
dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais
menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama
Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari
pencalonan presiden. Habibie juga iklas terhadap penolakan
pertanggungjawabannya oleh MPR. Menyusul penolakan MPR terhadap
pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan pengunduran Habibie
dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden,
yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah calon
PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang
mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No.
VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999
Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan Ketetapan MPR No.
VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Terpilihnya
Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden
Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban
Presiden RI B.J. Habibie.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, Pada masa
pemerintahannya, B.J. Habibie dapat menjawab tuntutan visi reformasi
dengan serangkaian kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya.
Dibuktikan dengan kemampuannya dalam mengatasi krisis moneter atau
ekonomi di Indonesia, menghapuskan bentuk diskriminasi dalam
kerusuhan Mei 1998 yang menyerang etnis Tionghoa di Indonesia,
mengeluarkan Undang-Undang tentang Pers dan Kebebasan Masyarakat
Indonesia dalam Melaksanakan Pemilu, serta kebijakan-kebijakan baru
lainnya. B.J. Habibie mengambil berbagai keputusan dalam pelaksanaan
pemerintahannya, karena menyadari bahwa demokrasi adalah sebuah
konsep yang perlu secara berkesinambungan dikembangkan untuk
mencapai Indonesia modern. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa,
dalam pelaksanaannya sebagai seorang pemimpin bangsa, B.J. Habibie
mampu dikatakan atau termasuk dalam pemimpin visioner, yang berartikan
gaya kepemimpinan yang melihat visi ke depan dan mengambil langkah
untuk mewujudkannya.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat disampaikan, semoga MAKALAH dapat
berguna bagi penulis lain yang ingin mengkaji lebih dalam teori tentang “
MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE “
DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.


Simanjuntak.S.H. 2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar
Mandiri Abadi
Setyohadi.tuk. 2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor:
Rajawali Corpuration.
Jasmi, Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Kencana Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama
Soemardjan, Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
fiyah, M. S. (2021). Reformasi Ekonomi Habibie 1998-1999: Sebuah Kebijakan
Atasi Krisis Ekonomi Orde Baru. Sejarah dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya,
dan Pengajarannya, 249-262.
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehinggan penulis mampu
untuk menyelesaikan MAKALAH Sejarah Indonesia yang berjudul “ MASA
PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE “
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
Kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penulis
KELOMPOK 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
A. LATAR BELAKANG....................................................................
B. RUMUSAN MASALAH................................................................
C. TUJUAN PEMBAHASAN............................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................
A. PROSES TERPILIHNYA B.J. HABIBIE MENJADI PRESIDEN
RI YANG KE III............................................................................
B. PERKEMBANGAN EKONOMI & POLITIK PADA MASA
PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE...............................................
C. BERAKHIRNYA MASA PEMERINTAHAN
B.J. HABIBIE.................................................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................
A. KESIMPULAN...............................................................................
B. SARAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
MAKALAH SEJARAH INDONESIA
“ MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE “

OLEH
KELOMPOK 1
1. DION DUNGGIO
2. AFDAL LAHABU
3. ARDIYANTO IMRAN
4. ADITIYO DAUD
5. NANDITO CUI
6. SINDI PUAD
7. ISRAWATI POTABUGA

SMA NEGERI 9 GORONTALO UTARA


KABUPATEN GORONTALO UTARA
TAHUN AJARAN 2023

Anda mungkin juga menyukai