Anda di halaman 1dari 3

Masa Pemerintahan B.J.

Habibie (1998–1999)
Dalam UUD 1945 Pasal 8 disebutkan jika presiden
mengundurkan diri, akan digantikan oleh wakil presiden
hingga masa jabatannya berakhir. Berdasarkan ketentuan
tersebut, B.J. Habibie kemudian dilantik oleh Mahkamah
Agung sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan
Soeharto. Rakyat Indonesia berharap Presiden B.J. Habibie
dapat melaksanakan cita-cita reformasi yang selama ini
disuarakan oleh rakyat dan mahasiswa.
Pelantikan B.J. Habibie sebagai presiden secara tidak
langsung menyebabkan kondisi sebagai berikut.
1. Ketegangan politik menurun. Pelantikan Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998
2. Desakan untuk memberlakukan demokratisasi dalam menandai dimulainya periode reformasi
sistem politik makin kuat. Sumber: Sejarah Indonesia Jilid 10: Zaman Reformasi, Bina
Sumber Daya MIPA, 2013
3. Muncul desakan untuk mengadakan pemilu guna memilih
anggota legislatif.
4. Desakan untuk mengusut berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi pada masa
Orde Baru makin kuat.
Beberapa saat setelah pelantikan Presiden B.J. Habibie, MPR memberi mandat kepada Presiden B.J. Habibie
untuk memimpin pemerintahan transisi, melaksanakan agenda reformasi secara menyeluruh dan mendasar,
serta sesegera mungkin menyelesaikan kemelut yang sedang terjadi. Berdasarkan mandat tersebut Presiden
B.J. Habibie menerapkan beberapa kebijakan berikut.
1. Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Pada 22 Mei 1998 Presiden B.J. Habibie membentuk kabinet baru bernama Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet ini terdiri atas 4 menteri koordinator, 20 menteri yang memimpin departemen,
dan 12 menteri yang memimpin bidang tertentu.
2. Membebaskan Tahanan Politik
Pada masa pemerintahannya, Presiden B.J. Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada beberapa
tahanan dan narapidana politik masa Orde Baru, seperti Sri Bintang Pamungkas yang masuk penjara
karena mengkritik kebijakan Presiden Soeharto. Selain Sri Bintang Pamungkas, Presiden B.J. Habibie
membebaskan Muchtar Pakpahan (Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang dijatuhi hukuman
karena dituduh memicu kerusuhan di Medan pada 1994. Presiden B.J. Habibie menyatakan penahanan
tokoh-tokoh yang berseberangan dengan pemerintah dapat mencederai sistem demokrasi.
3. Menjamin Kebebasan Pers
Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1994 tentang pemerintah dapat membatalkan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi faktor yang menghalangi perkembangan pers pada masa Orde
Baru. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan B.J. Habibie ketentuan pembatalan SIUPP dihapuskan.
Kemerdekaan pers pada masa pemerintahan B.J. Habibie makin nyata dengan pengesahan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pers yang kemudian menjadi Undang-Undang Pers pada 13 September 1999.
Undang-undang inilah yang menjamin perlindungan pers dan tugas-tugas wartawan. Meskipun pada
masa pemerintahannya pers mendapatkan kebebasan, Presiden B.J. Habibie mengimbau pers agar
dapat memisahkan antara informasi dan propaganda pihak-pihak tertentu. Kondisi ini menyebabkan
pertumbuhan sejumlah organisasi jurnalis, penerbitan surat kabar, dan percetakan pers.
4. Pembentukan Partai Politik
Presiden B.J. Habibie melakukan perubahan di bidang politik dengan mengesahkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Undang-undang ini menjelaskan setiap warga negara
Indonesia diberi kebebasan untuk membentuk sebuah partai politik sesuai UUD 1945. Sejak berlakunya
undang-undang tersebut, terbentuk banyak partai politik. Jumlah partai politik yang dinyatakan sah
menurut keputusan pengadilan sebanyak 98 partai. Dapat disimpulkan, kebijakan politik Presiden
B.J. Habibie memberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta mengemukakan pendapat
dapat berjalan dengan baik.
5. Melaksanakan Pemilu 1999
Pada 1999 pemerintah mengadakan pemilu. Pemilu 1999 merupakan pemilu multipartai yang
diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dan berlangsung secara damai. Untuk
melaksanakan pemilu, pemerintah membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggotanya berasal
dari wakil-wakil partai politik dan pemerintah.
Pemerintah membuka kesempatan kepada lembaga-lembaga, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri yang akan memantau jalannya pemilu 1999. Akan tetapi, pemilu ini pada akhinya menghasilkan
formatur parlemen dan MPR baru. Sebagian besar anggota MPR yang baru dilantik menolak pidato
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Setelah penolakan itu, Presiden B.J. Habibie membatalkan
pencalonannya sebagai kandidat calon presiden.
6. Referendum Timor Timur
Kebijakan penting Presiden B.J. Habibie pada masa pemerintahannya
adalah penyelesaian masalah Timor Timur dengan cara yang dapat
diterima masyarakat internasional. Presiden B.J. Habibie menawarkan dua
pilihan kepada rakyat Timor Timur. Pilihan pertama adalah otonomi luas,
sedangkan pilihan kedua adalah rakyat Timor Timur merdeka dan terpisah
dari Indonesia. Berdasarkan hasil referendum, sebagian besar rakyat Timor
Timur memilih merdeka dari Indonesia.
Pada 4 September 1999 Sekjen PBB, Kofi Annan yang berkedudukan di
New York, Amerika Serikat, mengumumkan hasil referendum di Timor Timur.
Hasil referendum tersebut yaitu 79% penduduk memilih merdeka dari
Indonesia dan 21% tetap memilih menjadi bagian Indonesia dengan status
otonomi luas. Menghadapi kenyataan tersebut, Presiden B.J. Habibie meminta
MPR membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam Kofi Annan
ketetapan yang memberikan pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor Sumber: https://web.archive.org/
web/20210112135831/
Timur sesuai hasil perjanjian New York. Ketetapan yang dimaksud adalah https://www.un.org/sg/en/
mengesahkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia secara terhormat. content/kofi-annan, diunduh
6 Maret 2021
7. Memperbaiki Perekonomian Negara
Masalah ekonomi merupakan fokus utama pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Ia berhasil
memperbaiki nilai tukar rupiah dari Rp17.000,00 per US$ menjadi Rp7.000,00–Rp8.000,00 per US$. Pada
minggu pertama pemerintahan B.J. Habibie, ia memisahkan Bank Indonesia menjadi lembaga independen
dan bebas dari intervensi pemerintah. Presiden B.J. Habibie melakukan program reformasi ekonomi untuk
mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Program ini berisi langkah-langkah berikut.
a. Melakukan reformasi perbankan dalam rangka program pemulihan ekonomi sejalan dengan
penjadwalan kembali utang luar negeri Indonesia.
b. Menetapkan undang-undang antimonopoli yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
sebagai langkah ke arah penegakan lingkungan bisnis yang transparan.
c. Memprioritaskan jumlah suplai beras yang memadai dengan harga terjangkau karena jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terus bertambah.
d. Melibatkan pedagang menengah, kecil, dan koperasi untuk ikut serta dalam distribusi beras guna
mencegah monopoli dan penimbunan beras oleh para pedagang besar.
8. Kebijakan Otonomi Daerah
Kabinet Reformasi Pembangunan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah untuk mendekatkan negara dengan masyarakat. Otonomi daerah merupakan upaya dari
Presiden B.J. Habibie dalam mengatasi kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah. Selama ini segala
urusan pemerintahan dan keuangan terpusat di Jakarta. Akibatnya, banyak daerah penghasil sumber daya
alam seperti Riau, Sumatra Selatan, Irian Jaya, dan Kalimantan hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan
otonomi daerah, Presiden B.J. Habibie berharap Indonesia mampu keluar dari krisis ekonomi.
Pada 20 Oktober 1999 MPR mengadakan rapat paripurna ke-13 dengan agenda pemilihan presiden.
Beberapa calon presiden di antaranya Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Yusril Ihza Mahendra.
Akan tetapi, Yusri Ihza Mahendra menyatakan pengunduran dirinya menjelang pelaksanaan voting pemilihan
presiden. Melalui dukungan Poros Tengah (koalisi partai-partai Islam) yang dipelopori oleh Amien Rais,
Abdurrahman Wahid memenangi pemilihan presiden dalam pemungutan suara. Sementara itu, Megawati
Soekarnoputri ditetapkan sebagai wakil presiden.

Anda mungkin juga menyukai