PEMBUKA
Permasalahan nilai tukar merupakan suatu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh
indonesia dan seluruh negara. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya semua negara itu tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri melainkan membutuhkan negara lain untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.
Salah satu cara yang dilakukan oleh suatu negara untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah menjalin hubungan dengan negara lain yakni
dengan melakukan perdagangan dengan negara lain.
Jika perdagangan dilakukan dalam satu negara tentu saja dapat dilakukan melalui mata uang
negara yang bersangkutan, tetapi jika dalam perdagangan antar negara tentu saja terdapat dua
mata uang yang berbeda. Seandainya ada mata uang tunggal internasional tidak akan ditemukan
masalah dalam penetapan harga, namun karena mata uang tersebut belum ada maka terdapat
kebutuhan mengkonversikan mata uang yang satu menjadi mata uang yang lain.
Perbedaan nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya
permintaan dan penawaran mata uang tersebut. Kurs merupakan salah satu harga yang lebih
penting dalam perekonomian terbuka, karena ditentukan oleh adanya keseimbangan antara
permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, mengingat pengaruhnya yang besar bagi neraca
transaksi berjalan maupun bagi variabel-variabel makro ekonomi lainnya. Kurs dapat dijadikan
alat untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara. Pertumbuhan nilai mata uang yang
stabil menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil.
Ketidakstabilan nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan pedagangan
Internasional. Indonesia sebagai negara yang banyak mengimpor bahan baku industri mengalami
dampak dari ketidakstabilan kurs ini, yang dapat dilihat dari melonjaknya biaya produksi
sehingga menyebabkan harga barang-barang milik Indonesia mengalami peningkatan. Dengan
melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis
ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri menurun.
SEJARAH SISTEM NILAI TUKAR DIINDONESIA
Pada tahun 1960-an sistem nilai tukar yang dianut oleh negara Indonesia ialah multiple exchange
system, pada Agustus 1971 sampai pada November 1978 pemerintah Indonesia merubah sistem
nilai tukar sebelumnya menjadi sistem nilai tukar tetap atau fixed exchange rate system, dan pada
bulan November 1978 sampai pada September 1992 sistem nilai tukar diubah kembali menjadi
mengambang terkendali atau managed floating system, dimana hal ini dilakukan untuk menjaga
agar nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, namun terhadap mata uang
partner dagang utama. Tidak berhenti sampai pada saat itu, pada bulan September 1992 sampai
Agustus 1997 pemerintah merubah kembali menjadi managed floating dengan crawling band
system, dan terakhir pada bulan Agustus 1997 hingga kini pemerintah memutuskan untuk
menganut sistem mengambang bebas atau floating/flexible system (Bank Indonesia).
Kurs tetap merupakan sistem nilai tukar dimana pemegang otoritas moneter tertinggi suatu negara
(Central Bank) menetapkan nilai tukar dalam negeri terhadap negara lain yang ditetapkan pada
tingkat tertentu tanpa melihat aktivitas penawaran dan permintaan di pasar uang. Jika dalam
perjalanannya penetapan kurs tetap mengalami masalah, misalnya terjadi fluktuasi penawaran
maupun permintaan yang cukup tinggi maka pemerintah bisa mengendalikannya dengan membeli
atau menjual kurs mata uang yang berada dalam devisa negara untuk menjaga agar nilai tukar
stabil dan kembali ke kurs tetap nya. Dalam kur tetap ini, bank sentral melakukan intervensi aktif
di pasar valas dalam penetapan nilai tukar.
Keunggulan :
Kegiatan spekulasi di pasar uang semakin sempit.
Intervensi aktif pemerintah dalam mengatur nilai tukar sehingga tetap stabil.
Pemerintah memegang peranan penuh dalam pengawasan transaksi devisa.
Kepastian nilai tukar, sehingga perencanaan produksi sesuai dengan hasilnya.
Kelemahan :
Cadangan devisa harus besar, untuk menyerap kelebihan dan kekurangan di pasar valas.
Kurang fleksibel terhadap perubahan global.
Penetapan kurs yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi pasar ekspor
impor.
Kurs tetap
Dapat terjadi karena dua hal:
kurs devisa tetap standar emas, yaitu dengan mengaitkan nilai suatu mata uang dengan emas.
Terdiri dari 4 macam kurs valuta asing, yaitu:
kurs paritas arta yasa, menunjukkan perbandingan berat emas yang diperoleh dengan
menukarkan satu satuan uang sebuah negara dengan satu satuan uang negara lain.
kurs titik ekspor emas, yaitu kurs valuta asing tertinggi dalam sistem standar emas.
kurs titik impor emas, yaitu kurs valuta asing terendah dalam sistem standar emas.
kurs valuta asing yang terjadi, merupakan kurs yang bergerak naik turun di sekitar kurs
paritas arta yasa.
kurs devisa tetap standar kertas
pemerintah menetapkan nilai tukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain dan
berusaha mempertahankannya dengan berbagai macam kebijaksanaan.
Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate)
Penetapan kurs ini tidak sepenuhnya terjadi dari aktivitas pasar valuta. Dalam pasar ini masih ada
campur tangan pemerintah melalui alat ekonomi moneter dan fiskal yang ada. Jadi dalam pasar
valuta ini tidak murni berasal dari penawaran dan permintaan uang.
Keunggulan :
Mampu menjaga stabilitas moneter dengan lebih baik dan neraca pembayaran suatu negara.
Adanya aktifitas MD/MS dalam pasar valuta berdasarkan kurs indikasi akan mampu
menstabilkan nilai tukar dengan lebih baik sesuai dengan kondisi ekonomi yang terjadi.
Devisa yang diperlukan tidak sebesar pada nilai tukar tetap.
Mampu memadukan sistem tetap dan mengambang.
Kelemahan :
Devisa harus selalu tersedia dan siap diguankan sewaktu-waktu.
Persaingan yang ketat antara pemerintah dan spekualan dalam memprediksi dan menetapkan
kurs.
Tidak selamanya mampu mengatasi neraca pembayaran.
Selisih kurs yang terjadi dalam pasar valuta akan mengurangi devisa karena memakai devisa
untuk menutupi selisihnya.
Mengambang bersih. Terjadi jika campur tangan pemerintah tidak langsung, yaitu dengan
pengaturan tingkat bunga.
Mengambang kotor. Terjadi jika campur tangan pemerintah secara langsung, yaitu dengan
menjual atau membeli valuta asing.
Penerapannya di Indonesia
Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan
devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Pada sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan
terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak
di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank
Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread
(Teguh Triyono, 2005).
Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah
dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai tukar Rupiah
berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai
tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang
orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta
menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah
pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian
pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan
pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula (hal.54)
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis
d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski
waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan
terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam
negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut
dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari
dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan
dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai
tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter
moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio
perbankan sangat rendah.
Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi
karena krisis bath Thailand. Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia
adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan
ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan
nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah
menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-
harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan
sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di
masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud
fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi
terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih
menunjukkan sedikit surplus
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Pertumbuhan 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65
ekonomi (%)
Tingkat Inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60
Neraca 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -
pembayaran (US$) 10,021
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar
valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
Ada sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan Reinhart
(1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis
ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari Negara yang
bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar
negeri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
Anwar Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri
ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis finansial.
Ada kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria (1998),
dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya
sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya
baik.
Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju
kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain,
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan pada sistim
perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan
mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu
yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Lepi T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu, ada beberapa
faktor lainnya menurut kejadiannya, antara lain :
Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
yang memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya,
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge fundstidak
mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia
pada saat itu, karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif
kecil bermain dalam jumlah besar.
Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi.
Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10;
IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari
ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
Penanaman modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran
yang diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan
moneter yang relatif stabil, kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah
besar.
IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran bantuan yang
dijanjikannya dengan alas an pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Dan Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga
menunda bantuannya menunggu signal dari IMF.
Spekulan domestik juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
erjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik
keuntungan dan merosotnya nilai tukar rupiah.
erdapatnya keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar
AS.
Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh
Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang
ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain,
kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta
nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program
restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan,
dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri
dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian
diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandumpada
tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi
yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan
kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim
perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi
yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang
perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan
perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga,
pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah,
reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta,
dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.