Anda di halaman 1dari 10

STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )

PENANGANAN GIGITAN ULAR

KLINIK SKN JOB PTJM

DISIAPKAN DIKETAHUI DISETUJUI DISIAPKAN


SASARAN
OLEH OLEH OLEH TANGGAL.
PENANGANAN
GIGITAN
ULAR
04/14/11

Haryadi B dr. Heppi B.N. HSE Spv


(Field Paramedic) (Field Doctor) JOB PTJM
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

I. DEFINISI
Gigitan ular berbisa di Indonesia belum ada data angka kejadiannyanya, baik data
kesakitan ataupun kematian akibat gigitan ular berbisa. Walaupun termasuk kasus yang
jarang terjadi, tetapi bila pekerja yang alergi terhadap bisa ular mempunyai risiko tinggi
kematian bila tergigita ular berbisa. Di Amerika Serikat, dari jumlah 7000 s.d 8000 korban
yang digigit ular berbisa, sebanyak 7 orang meninggal dunia. Angka ini akan meningkat jika
korban tidak mendapat pertolongan medis. Di Asia yaitu di India, angka korban meninggal
karena gigitan ular berbisa sekitar 24.000 sd 25.000 orang, tidak termasuk korban yang tidak
dilaporkan.

II. PENYEBAB
Ular merupakan golongan reptilia (melata) carnivora. Sebagian besar ular tidak
berbisa, hanya sebagian kecil ular yang berbisa. Untuk membedakan ular berbisa dengan
ulat tidak berbisa, dengan membedakan jenis gigitan dan morfologi jenis ular (pola warna
ular, bentuk kepala ular) ,ukuran, bentuk tubuh, perilaku serta bunyi bunyian tertentu yang
mereka buat saat merasa terancam dan bentuk pupil mata. Sebagai contoh, perilaku
bertahan yang sudah banyak dikenal adalah perilaku dari ular kobra dimana mereka akan
menegakkan tubuhnya, membuka tudungnya (hood), mendesis dan melakukan serangan
difensif yang berulang ulang. Pola warna pada ular juga dapat sangat bervariasi. Akan
tetapi, beberapa pola pewarnaan seperti pola bulatan putih dikelilingi lingkaran hitam pada
ular bandotan puspo, atau pola warna hitam dan kuning berselang seling dari kepala hingga
ke ujung tubuh pada ular welang dan weling juga dapat dibedakan dengan mudah. Desisan
keras ular bandotan puspo juga merupakan peringatan dari ular tersebut.
Ular yang berbisa mempunyai pupil mata seperti jarum sedangkan ular tidak berbisa
mempunyai pupil yang bulat (kecuali ular laut, mempunyai pupil bulat , tetapi termasuk
golongan ular yang berbisa)
Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

III. GEJALA DAN TANDA


Gejala dan tanda gigitan ular biasanya yang biasa didapatkan adalah luka bekas
gigitan ular. Pada ular berbisa ditandai dengan gambaran bekas 2 gigitan tarik dan kadang-
kadang diikuti bekas deretan gigi kecil lainnya dan pad ular tidak berbisa didapatkan bekas
luka gigitan 2 baris kecil luka gigitan di bagian depan dan 1 baris bekas lukan gigitan di
bagian belakang lainnya (tamapk pada gambar di bawah ini)

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24
jam)
Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

Gejala khusus gigitan ular berbisa :


Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),
hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)

V. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi tergantung dari jenis bisa dan target organ jenis bisa ular.
Ada yang bersifat Neurotoksik, efek ke jaringan saraf mulai dari paling ringan seperti kaku
otot (hipertonik sampai parese reflek abdominal, kejang dan koma). Efek Hematotoksik
berupa perdarahan di berbagai lokasi tubuh sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Efek ke sistem kardio vaskular (Kardiotoksik ), mulai dari hipotensi sampai henti jantung.

VI. TINDAKAN PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR

VI.1. Korban dibawa ke klinik secepat dan senyaman mungkin (as quickly and
comfortable as possible)

VI.2. Anggota gerak, bagian tubuh yang digigit ular jangan digerakkan, diimobilisasi
dengan bebat atau bidai (splint) atau dengan menggunakan sling (kain)

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR
VI.3. Tidak melakukan tindakan yang berpotensi membahayakan korban yaitu:
- Incisi lokal dan suction mempermudah infeksi, jaringan yang rusak dan
menyebabkan perdarahan persisten, dan tidak menghilangkan bisa ular dari luka
gigitan.
- Penggunaan metode vacuum extractor tidak terbukti bermanfaat bagi korban
manusia dan bisa merusak jaringan lunak.
- Permanganat Kalium dan cryoterapi berpotensi membuat jaringan menjadi
nekrosis.
- Terapi dengan keJutan listrik berbahaya dan tidak terbukti berguna.
- Tourniquet dan kompresi(penekanan) dapat menyebabkan gangren, fibrinolysis,
periferal nerve palsies dan meningkatkan efek lokal bisa pada bagian tubuh yang
tersumbat.
- Metode penekanan dan imobilisasi yang kuat tidak direkomendasikan bila terjadi
nekrosis lokal dan edema yang disebabkan ular golongan Viperidae (ular tanah,
ular hijau, ular bandotan).

VI.4. Mengejar dan menangkap dan membunuh ular tidak disarankan, tetapi bila ular
sudah dibunuh, sebaiknya dibawa dengan pasien ke rumah sakit.

VI.5. Ular mati tidak boleh disentuh dengan tangan tanpa pelindung, karena refleks
gigitan bisa terjadi walaupun ular tampak telah mati.

VI.6. Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48
jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.

Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencegahan infeksi.
(de Jong, 1998)

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR
VI.7. Penatalaksanaan sebelum ke rumah sakit
1. Pasien/korban dibawa/dievakuasi ke rumah sakit dalam posisi berbaring miring, untuk
mencegah aspirasi muntahan.

2. Pemasangan IV line (infus) dengan Nacl atau kristaloid bisa menjadi jalur alternatif jika
pasien dengan gangguan koagulasi bisa mengalami hematom luas setelah injeksi IM
dan SC,
3. Bila terjadi muntah persisten, diberikan injeksi IV clorpromazin 25 sd 50 mg.
4. Bila terjadi syncope/pingsan, syok, angioedema dan gejala anafilaksis lainnya
diberikan adrenaline/epinefrin 0,1 % SC injeksi (0,5 ml untuk dewasa), dan injeksi
antihistamin seperti clorfeniramin maleat IV secara perlahan (10 mg utk dewasa).
5. Bila terjadi respiratory distress, cyanosis, dilakukan pemberian oksigen dan
pemasangan ventilasi buatan dengan ambu bag.
6. Jika pasien tidak sadar dan tidak teraba nadi pada femoral dan carotis, CPR
Resusitasi kardiopumonal segera dilakukan secepatnya.

VI.7.1.Indikasi umum pemberian serum anti bisa ular :


1. Kelainan hemostatis seperti perdarahan sistemik spontan, trombositopeni (<50/1
10e9)
2. Gejala Neurotoksisitas
3. Syok dan hipotensi, gambaran EKG abnormal dan disfungsi gangguan
kardiovaskular
4. Gangguan kesadaran
5. Rhabdomyolisis general
6. Gangguan sistemik lainnya seperti: lekositosis neutrofil, peningkatan enzim creatinin
kinase dan aminotransferase, hemokonsentrasi, anemia berat, myoglobinuria,
hemoglobinuria, hypoxemia dan asidosis.
Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

7. Jika tidak ada gejala sistemik, edema lokal meliputi lebih dari setengah anggota
gerak, edema dan sangat panas, digigit pada jari pembengkakan yang cepat adalah
indikasi pemberian SABU terutama bila digigit ular jenis Cobra Asia, Viperidae dan
Cobra Afrika.

VI.7.2. Indikasi pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular) menurut Depkes (2001)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Derajat Vener Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik


asi

0 0 + +/- <3cm/12> 0

I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/12 jam +


Neurotoksik,
Mual, pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++


Syok, petekia, ekimosis

IV +++ + +++ >ekstrimitas

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

VI.7.3. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes,
2001):

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

SABU (Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang sudah dilemahan), merupakan
antivenom polivalen 1 ml yang berisi:

10-50 LD50 bisa Ankystrodon(ular tanah)


25-50 LD50 bisa Bungarus (ular belang)
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix(ular kobra)
Fenol 0.25% v/v

VI.8. Pencegahan Terhadap Gigitan Ular


Pekerja di daerah di mana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk
memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50%
kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak
semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit
akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

VI.9. Kepustakaan :
1. Workplace Biohazard, ILO Encyclopaedia Occupational Health and Safety,
Geneve, 1998
2. Depkes. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes
RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.. Jakarta. 2001
3. De Jong W.,. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta. 1998
4. Sudoyo, A.W.,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
5. Daley.B.J.,. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical
Care, University of Tennessee School of Medicine. 2006. Diunduh dari :
www.eMedicine.com.
6. Venomous Snake, NIOSH Workplace Safety and Health Topics. Diunduh dari :
www. cdc.gov/niosh/topics/snakes
7. SEAR. 2007.The clinical management of snake Bites in the South East Asian
Region. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Diunduh
dari http://www.searo.who.int/en/Section10/Section17.htm

Paraf
IMI dr. HSE Supv.
STANDAR OPERATIONAL PROSEDUR (SOP )
PENANGANAN GIGITAN ULAR

Anda mungkin juga menyukai