Anda di halaman 1dari 7

Mangrove Sumut Tergerus, Burung Migran

pun Menyusut
Wanadri 13 Jun, 2017 Artikel, Artikel Lingkungan, Berita Terbaru, Lingkungan

Rombongan burung migran yang menempuh ribuan kilometer setiap tahun. Foto: Jussi
Mononen/WorldMigratoryBirdDay.org

Hasil pemantauan, burung-burung migran di Sumatera Utara terus mengalami penurunan setiap
tahun diduga karena hutan mangrove sebagai tempat mereka mencari makan, terus tergerus.

Chairunas Adha Putra, biasa disapa Nchay, dari Komunitas Birdding Sumatera, mengatakan,
Sumut terutama pesisir timur Deli Serdang, merupakan persinggahan burung migran cukup besar.

Fase ini, katanya, ditemukan ada 34 spesies burung air migran, enam spesies dilindungi di
Indonesia yaitu kelompok gajahan, bahkan ada yang masuk status terancam punah.

Untuk burung migran yang singgah ke Sumut berfluktuasi. Dalam beberapa bulan, katanya, bisa
ada 10.000-an, terutama Desember, Januari dan Februari. Bulan-bulan ini, musim puncak burung
migran singgah ke Sumut.

Bisa lebih 10.000-an pada bulan-bulan itu, katanya Di sela Komunitas Birdding Sumatera
memperingati Hari Burung Migran Dunia (World Migratory Bird Day) 2017, Mei lalu.

Pada bulan berikutnya, burung migran akan menurun, karena kembali ke wilayah mereka untuk
berkembang biak, yakni pesisir Rusia maupun Tiongkok.

Jenis burung pantai biasa di pesisir pantai timur Deli Serdang, antara lain, cerek pasit mongolia,
trinil kaki merah, gajah besar, dan biru laut ekor blorok.

Pesisir Deli Serdang, Asahan, sampai dengan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai, merupakan
wilayah yang sering jadi perlintasan burung migran dalam jumlah cukup besar. Mereka singgah
untuk makan.
Sayangnya, jumlah mereka terus turun dari tahun ke tahun. Dia menduga, karena perubahan hutan
mangrove, yang jadi sumber pangan burung pantai. Kala mangrove berkurang, akan berpengaruh
pada penurunan burung migran.

Dia mengusulkan, pemerintah melakukan studi burung migran lebih serius dan monitoring guna
mengetahui kondisi terbaru. Lalu, diikuti upaya konservasi wilayah pesisir, terutama mangrove
dan hamparan rumput, sebagai habitat utama bagi burung pantai bermigrasi.

Indonesia, kata Nchay, belum punya konservasi burung migran. Baru status perlindungan, dalam
PP Nomor 7/1999, ada beberapa burung pantai dilindungi.

Dalam penetapan perlindungan burung migran, perlu memperhatikan data apakah terjadi
penurunan, mengalami populasi tetap atau malah naik, hingga harus riset.

Onrizal, Lektor Kepala di Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU),
mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan hutan mangrove terluas di dunia, sekitar 3,7
juta hektar.

Sebelumnya, ada satu juta hektar mangrove hilang termasuk di Sumut, sebagian besar karena
konversi jadi tambak dan perkebunan sawit. Ancaman kerusakan mangrove terus terjadi.

Kerusakan mangrove, katanya, tentu, berdampak pada burung migran karena pakan mereka
berkurang, misal, ikan-ikan yang hidup di ekosistem mangrove.

Terik Asia, burung pantai migran. Foto diambil Mei 2017 di Pesisir Langkat. Foto: Ayat S
Karokaro

Edukasi

Pada kegiatan ini, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Medan, fotografer, hingga peneliti
dan pakar hadir dalam pemutaran video dan foto-foto hasil pemantauan komunitas Birdding
Sumatera. Mereka merekam pergerakan burung migran dari seluruh dunia yang singgah di pesisir
Sumatera Utara.
Fotografer senior, Andi Lubis hadir menunjukkan kebolehan dalam melakukan pengambilan dan
produksi video burung air dan burung migran dari berbagai wilayah pesisir Sumut.

Kepada Mongabay dia mengatakan, salah satu alasan tertarik memproduksi visual dan audio
burung air dan burung migran ini, karena memiliki tantangan tersendiri. Dia merasa perlu
menyajikan video dan foto-foto ini sebagai sarana edukasi publik.

Dia bilang, banyak orang menyukai dan menonton perilaku burung. Selain hiburan juga sisi
pendidikan, terutama mengenal spesies satwa ini.

Sejak 2014, dia sudah keliling ke sekolah-sekolah, memperkenalkan dan menarik minat siswa
mengenai burung air dan burung migran. Ini penting, untuk mengetahui ketertarikan anak-anak
melihat burung, terlebih burung-burung itu berdekatan dengan dekat tempat tinggal mereka,
katanya.

Dalam setiap kunjungan ke sekolah, dia menampilkan sisi hiburan dengan menyelipkan edukasi.
Tujuan dia, penyadartahuan kepada generasi penerus bangsa, betapa penting burung di alam liar
hingga tak memburu atau membunuh mereka.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/

Indonesia Adalah Jalur Penting Migrasi


Burung, Anda Mengetahui?
Wanadri 24 May, 2017 Artikel, Artikel Lingkungan, Berita Terbaru, Lingkungan

Belahan Bumi utara mulai memasuki musim dingin, sumber makanan terus berkurang. Saat itu
jutaan burung melakukan tradisi tahunannya, terbang ke belahan Bumi selatan. Pengembaraan ini
yang kita kenal dengan sebutan migrasi burung atau migratory bird.

Alasan kuat kenapa burung-burung bermigrasi adalah bukan menghindari suhu dingin semata,
tetapi juga mencari makan untuk melangsungkan hidupnya. Suhu dingin mengakibatkan cadangan
makanan mereka berkurang.

Burung merupakan satwa homeotermis, tidak terpengaruh suhu lingkungan karena dapat
mengatur suhu tubuhnya, tutur Zaini Rakhman, Ketua Raptor Indonesia (Rain) saat memaparkan
perilaku raptor bermigrasi, pada peringatan Hari Migrasi Burung Sedunia atau World Migratory
Bird Day di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Setiap tahun, ribuan burung raptor bermigrasi ke Bumi bagian selatan melalui dua jalur. Pertama,
koridor daratan sebelah timur (Eastern inland corridor) yaitu jalur yang dilalui para raptor dari
tenggara Siberia melalui timur Tiongkok menuju semenanjung Malaysia, lalu mendarat di
Indonesia yakni Jawa, Bali, dan Lombok.

Kedua, Koridor Pantai Pasific (Coastal pacific corridor) yaitu jalur yang akan dilalui oleh burung-
burung dari timur Rusia yang melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina
dan menepi di wilayah Sunda Besar. Dalam sekali migrasi, mereka dapat terbang hingga jarak
15.000 kilometer dengan waktu tempuh 50 70 hari, ungkap Zaini.

Dalam perjalanan migrasinya, raptor biasa terbang siang hari. Ketika malam, mereka mencari
tempat singgah untuk istirahat (roosting). Di tempat peristirahatan, mereka dapat menghabiskan
waktu 3 sampai 14 hari untuk mencari makan dan kemudian kembali melanjutkan perjalanannya
(stop over).
Uniknya, para raptor itu menggunakan jam internal yang mereka miliki untuk mendeteksi lokasi
matahari dan magnet bumi. Dengan bantuan udara panas, mereka dapat terbang tinggi dan
meluncur deras. Perilaku itu dapat mengehemat tenaga mereka selama perjalanan migrasi ke
tempat tujuannya.

Tidak kurang 60 jenis raptor setiap tahunnya bermigrasi ke Asia Tenggara, 19 di antaranya ke
Indonesia sebelum akhirnya kembali ke habitat berbiaknya. Sebut saja sikep-madu asia (Pernis
ptilorhyncus), elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap nipon (Accipiter gularis), baza
hitam (Aviceda leuphotes), elang kelabu (Butastur indicus), dan alap-alap kawah (Falco
peregrinus).

Diperkirakan, puluhan ribuan burung bermigrasi ke daerah hangat di Asia, termasuk Indonesia.
Ancaman selalu mengintai burung-burung migran tersebut, mulai dari perubahan iklim, bencana
alam, kerusakan hutan, hingga perburuan. Beberapa kejadian seperti kerusakan hutan akibat alih
fungsi lahan dan kebakaran menghambat migrasi mereka.

Indonesia sebagai salah satu wilayah penting yang menjadi jalur utama berbagai jenis burung
migran, turut mengalami hal tersebut. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia yang terus terjadi,
menyebabkan raptor yang bermigrasi ke Nusantara berkurang.

Cukup sulit memperdiksi kapan pastinya burung-burung itu tiba di Indonesia. Setiap tahun selalu
ada pergeseran waktu, salah satu penyebabnya adalah bencana alam yang memengaruhi jalur
migrasinya, tutur Zaini.

Tantangan

Dalam kesempatan yang sama, Ragil Satriyo dari Wetlands International Indonesia
mengungkapkan, tantangan terkini konservasi burung bermigrasi adalah kurangnya edukasi dan
penyadartahuan kepada masyarakat sehingga banyak beredar persepsi yang salah. Seperti, daging
burung enak dan tidak dimiliki siapapun sehingga bebas untuk ditangkap atau diburu. Bahkan,
diduga membawa virus flu burung. Burung yang bermigrasi dianggap membawa dan
menyebabkan virus flu burung. Padahal teori dan praktiknya tidak seperti itu, jelas Ragil.

Tantangan lainnya adalah minimnya data yang berkesinambungan. Jumlah burung yang
bermigrasi ke Indonesia sangat banyak, tapi tidak diimbangi dengan jumlah para ahli dan
pengamatnya.

Untuk itu, keterlibatan masyarakat dalam menjaga kelestarian burung harus terus ditingkatkan
dengan citizen science. Konsep ini merupakan keterlibatan masyarakat dan warga negara dalam
kegiatan ilmiah. Warga diajak aktif berkontribusi pada ilmu pengetahuan, dengan upaya
intelektualnya maupun lingkungan sektiar, dan sumber daya yang dimilikinya.

Kita menggunakan konsep citizen science untuk mengajak masyarakat terlibat langsung. Kita
ajak juga mengamati burung. Sudah banyak bentuk citizen science ini dalam bentuk web laporan
online dan blog. Bahkan bisa diunduh di Android Playstore, terang Ragil.
Salah satu bentuk citizen science. Tampilan Atlas Burung Indonesia, situs pelaporan
pengamatan burung online. Sumber: Atlasburung.web.id

Hari Migrasi

Dalam kamus Dictionary of Birds disebutkan bahwa migrasi merupakan pergerakan populasi
burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari
makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak memungkinkan. Di tempat baru tersebut,
burung-burung ini tidak akan berbiak, dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asal pada
musim berbiak berikutnya (Campbell, 1985).

Berkaca dari makna tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan migrasi yang dilakukan burung
merupakan cara untuk beradaptasi berkaitan dengan ketersedian pakannya di alam akibat
perubahan cuaca di tempat asalnya.

Perayaan Hari Migrasi Burung Sedunia atau World Migratory Bird Daya (WMBD) selalu
diperingati setiap tahunnya pada minggu kedua Mei. Tahun ini, perayaan WMBD 2017
mengusung tema Their future is our Future. A healthy planet for migratory birds and people.
Tema tersebut seolah menjelaskan adanya keterhubungan erat antara manusia dan alam,
khususnya manusia dan satwa yang bermigrasi.
Tampilan aplikasi Burungnesia yang dapat didownload langsung di playstore android.
Sumber: Google playstore

Satwa yang bermigrasi dalam hal ini adalah burung. Burung dan manusia tinggal di planet yang
sama dan menggunakan sumber daya yang sama. Tema tersebut menunjukkan bahwa konservasi
untuk burung melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan juga penting bagi
kelanjutan masa depan umat manusia.

Sebagai negara yang menjadi lintasan utama dan tujuan akhir berbagai jenis burung migrasi,
Indonesia tentunya memiliki peran penting dalam melestarikan burung-burung migran tersebut.
Kita menyadari setiap tahunnya jumlah burung yang bermigrasi ke Indonesia semakin berkurang.
Kepedulian kita bersama harus ditingkatkan, terutama pada upaya keselamatan berbagai jenis
burung yang bermigrasi itu, ungkap Fransisca Noni dari Burung Nusantara.
Peta jalur migrasi burung pemangsa. Sumber: Raptor Indonesia

Sumber: http://www.mongabay.co.id/

Previous Post Ternyata Dibalik Ritual Adat Bonokeling, Ada Kearifan terhadap Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai