Bab 1 Pendahuluan: Ventricular Septal Defect (VSD), Atrial Septal Defect (ASD) Dan Patent Ductus Arteriosus
Bab 1 Pendahuluan: Ventricular Septal Defect (VSD), Atrial Septal Defect (ASD) Dan Patent Ductus Arteriosus
PENDAHULUAN
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya
gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan
janin. Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang
masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. Angka
kejadian PJB dilaporkan sekitar 810 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya
telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi
secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan
pertama kehidupan1,2. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa
bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang
baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat
mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat
diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta
tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di Indonesia, selain
pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak yang adekuat, diperlukan juga
kemampuan deteksi dini PJB dan pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter
umum yang pertama kali berhadapan dengan pasien5.
Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat
jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat
jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru. Yang
dimaksud disini hanya 2 kelompok besar PJB non sianotik; yaitu (1) PJB non sianotik dengan
lesi atau lubang di jantung sehingga terdapat aliran pirau dari kiri ke kanan, misalnya
ventricular septal defect (VSD), atrial septal defect (ASD) dan patent ductus arteriosus
(PDA), dan (2) PJB non sianotik dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan
tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung, misalnya aortic stenosis (AS), coarctatio aorta
(CoA) dan pulmonary stenosis (PS)2,4.
Penyakit jantung bawaan sianosis dapat kita bagi menjadi lesi sianosis yang disertai
dengan penurunan aliran darah paru dan lesi sianosis yang disertai penambahan aliran darah
2.1 Definisi
Ventricular Septal Defect (VSD) adalah kelainan jantung berupa lubang pada sekat
antar bilik jantung, menyebabkan kebocoran aliran darah pada bilik kiri dan kanan jantung.
Hal ini mengakibatkan sebagian darah kaya oksigen kembali ke paru-paru, sehingga
menghalangi darah rendah oksigen memasuki paru-paru. VSD merupakan malformasi
jantung yang paling sering, meliputi 25% PJB. Gejala utama dari kelainan ini adalah
gangguan pertumbuhan, sulit ketika menyusu, nafas pendek dan mudah lelah. Defek yang
besar dengan pirau kiri ke kanan berlanjut, menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada
sirkulasi paru. Bila tekanan di ventrikel kanan melampaui ventrikel kiri maka akan terjadi
pirau yang terbalik (dari kanan ke kiri), sehingga pasien menjadi sianotik. Keadaan ini
disebut Sindroma Eisenmenger. Pada defek besar proses terjadinya hipertensi pulmonal dapat
terjadi pada anak berumur 1 tahun1,2,5.
2.2 Etilogi
Ventricular Septal Defect (VSD) adalah kelainan jantung bawaan dimana terdapat
lubang (defek/inkontinuitas) pada septum ventrikel yang terjadi karena kegagalan fusi septum
interventrikel pada masa janin2.
Lebih dari 90% kasus penyakit jantung bawaan penyebabnya adalah multi faktor.
Faktor yang berpengaruh adalah :
1. Faktor eksogen : berbagai jenis obat, penyakit ibu ( rubella, IDDM ), ibu hamil dengan
alkoholik.
2. Faktor endogen : penyakit genetik ( dowm sindrom ).
2.3 Patogenesis
Septum ventrikel terbagi menjadi 2 bagian yaitu pars membranacea (bagian membran)
dan pars muscularis (bagian otot). Sedangkan septum muscularis dibagi menjadi 3 bagian:
inlet, trabecular, dan outlet (infundibulum). VSD dapat dibagi berdasarkan letaknya. VSD
yang terletak di pars membrana seringkali meluas ke bagian muskular sehingga sebagian
besar ahli menyebut VSD ini dengan istilah VSD perimembranous (PM). VSD PM
merupakan jenis tersering (70%), selanjutnya trabecular (5-20%), infundibular, dan inlet. Di
Indonesia VSD tipe outlet (atau sub-arterial doubly committed) lebih sering dijumpai (10-
20%) dibanding VSD trabecular. Kelainan lain yang sering menyertai VSD adalah adanya
Ventrikel septal defek yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik yang ringan
pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal dan gambaran elektrokardiogram
right bundle branch. Tekanan intrakardial masih normal dengan shunting left-to-right yang
minimal. Ventrikel septal defek yang sedang sampai besar menimbulkan murmur pansistolik
yang keras dengan expiratory splitting pada suara jantung kedua dan adanya pembesaran
jantung kiri, akhirnya bisa juga terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada
ventrikel kanan meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt1,2.
Tekanan end diastolic ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal dan tekanan end
diastolic ventrikel kiri juga meningkat. Ventrikel septal defek yang sedang biasanya
menyebabkan penurunan tahanan vascular pulmonal, sedangkan VSD yang besar
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan tahanan vaskuler
pulmonal yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang biridectional dan akhirnya
right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan clubbing2,3.
Gambar 6. PA: pembesaran jantung dengan apek meluas ke dinding thorak kiri.
Corakan bronkhovaskuler meningkat
2.6 Komplikasi
1. Gagal jantung kronik
2. Endokarditis infektif
3. Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonar
4. Penyakit vaskular paru progresif
5. Kerusakan sistem konduksi ventrikel4
2.7 Penatalaksanaan VSD
Klasifikasi kondisi fisiologis dan terapi rasional
1. VSD kecil dengan tahanan vascular pulmonal yg rendah. Ukuran shunt mengontrolaliran. Pasien tampak
asimptomatis; EKG dan rontgen normal: tidak perlu terapi
2. Defek sedang dengan tahanan vascular pulmonal yg bervariasi, shg tekanan ventrikel kanan meningkat ttp
krg dr ventrikel kiri. EKG: hipertrofi vent ki, rontgen: peningkatanaliran darah pulmonal: tdk perlu operasi
penutupan slm tahanan pembuluh pulmonalnormal dan jumlah shunting <2 kali dari aliran sistemik. Jika
tahanan vascular pulmonalmeningkat: bedah.
BAB 3
DEMAM REMATIK
3.1. Defenisi
Infeksi demam rematik sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai
reaktivasi rema. Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi penyakit
jantung rematik meruapakan satu satunya komplikasi demam rematik yang paling
permanen sifatnya. Tampaknya komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi demam
rematik yang pertama kali dan seringnya terjadi reaktivasi rema. Itu sebabnya, tidak semua
demam rematik akan berkembang menjadi penyakit jantung rematik. Sebaliknya, tidak semua
penyakit jantung rematik mempunyai riwayat demam rematik yang jelas sebelumnya. Hal ini
mungkin karena gejala gejala demam rematik pada fase dini memang tidak mudah dikenali,
atau demam rematik memang tak jarang hanya bersifat silent attack, tanpa disertai gejala
klinis yang nyata8.
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama
kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria
Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya
merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya (Tabel 1). Apabila ditemukan 2
kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya
infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik.
Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus
selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal
berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam
rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus9.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu
pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis
maupun underdiagnosis10.
Tabel.1. Kriteria Jones (update 1992)
Karditis Klinis :
Ditambah
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
yang meningkat.
Kriteria DR menurut WHO tahun 2002 2003 dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
3.4.1.1. Karditis
Merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan
satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan
dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Penderita
tanpa keterlibatan jantung pada pemeriksaan awal harus dipantau dengan ketat untuk
mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jika karditis tidak muncul dalam
2 3 minggu biasanya jarang akan muncul selanjutnya9.
Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah
satu tanda berikut:
Secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang
berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu
sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan
emosi. Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan tertekan. Tanpa
pengobatan gejala korea ini menghilang dalam 1 2 minggu. Pada kasus yang berat
meskipun denga terapi gejala ini dapat menetap selama 3 - 4 minggu dan bahakan sampai 2
tahun, walupun jarang8.
3.4.1.3. Eritema marginatum
Merupakan ruam yang khas pada demam rematik, berupa ruam yang tidak gatal,
macular dan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit
yang tampak normal, terjadi pada 5 % kasus. Lesi ini berdiameter 2,5 cm dan paling sering
Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah
ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa
yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan
beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika
tidak terdapat karditis9.
3.4.2. Kriteria Minor
Dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik
sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi,
riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang
penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau
bahkan tidak terdiagnosis.
3.4.2.2. Artralgia
Merupakan rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau
jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada
anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis
sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
3.4.2.3. Demam
Perupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis
merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut
ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya
1. Gambaran radiologis
Berguna untuk menilai besar jantung. Tetapi gambaran radiologis mormal tidak
mengesampingkan adnya karditis. Pemeriksaan radiologis secara berseri berguna untuk
menentukan prognosis dan kemungkinan adanya perikarditis.
2. Gambaran elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG awal secara seri berguna dalam mendiagnosis dan tatalaksana
DRA walaupun pemeriksaan ini kadang kadang mungkin normal kecuali adanya sinus
takikardi. Pemanjangan interval PR terjadi pada 28 40 % penderita, jauh leboh sering
daripada penyakit demam yang lain.
3.4.4 Dasar Diagnosis
Highly probable (sangat mungkin)
2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
ASTO
Kultur (+)
ASTO
Kultur (+)
Exception (pengecualian)
Diagnosa DRA dapat ditegakkan bila hanya ditemukan Korea saja atau Karditis
indolen saja10,11
3.5. Penatalaksanaan
< 30 kg
Dosis prednisone di tapering off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan
aspirin. Setelah 2 minggu aspirin diturunkan, 60 mh/kgBB/hari10.
Diberikan pada demam rematik akut, termasuk korea tanpa penyakit jantung rematik.
Lama pencegahan diberikan sampai usia 21 25 tahun pada pasien tanpa bukti
kelainan katup, bukan pasien dengan resiko tinggi. Jika terdapat kelainan katup diberikan
seumur hidup10.
3.5. Prognosis
Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat diagnosis ditegakkan, umur,
ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan
sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa
kanak-kanak. Serangan ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20%
penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun8,9.
A. IDENTITAS
Identitas Pasien:
Nama : An. S
Umur : 8 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : pengadang
No. RM : 298532
MRS : 28 januari 2013
Tanggal Pemeriksaan: 4 Februari 2013
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign :
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Heart Rate : 100 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.7C
CRT : < 2 detik
Berat Badan : 22 kg
Kepala/Leher
Bentuk kepala : normocephali, simetris,
Mata : reflex cahaya pupil +/+, isokor (+), sekret mata (-/-), sclera ikterus (-/-),
konjungtiva anemis (+/+), mata cowong (-/-), edema palpebra (-)
Telinga dan hidung : dbn
Tenggorokan: tonsil T0
Mulut: gigi lengkap, bibir sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-).
Cor :
Inspeksi : iktus kordis tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V-VI LMCS, kuat angkat
Perkusi :
- batas kiri atas : SIC II LPSS
- batas kiri bawah : SIC VI LMCS
- batas kanan atas : SIC II LPSD
- batas kanan bawah : SIC VI LPSS
Kesan : batas jantung adanya melebar
Auskultasi: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising mur mur (+) grade IV-V SIC V Linea
Parasternalis Sinistra, Gallop (-).
- Pulmo :
Inspeksi: pengembangan dada kanan kiri sama, retraksi (-)
Palpasi : pergerakan dinding dada kanan kiri simetris
Perkusi : sonor /sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), massa (-), kelainan kongenital (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Soepel (+), NT (-), hepar, lien, renal ttb.
Perkusi : Timpani (+) diseluruh lapang abdomen
Kulit :
Uro-genital
Kelainan bawaan : (-)
Hb : 10,0 gr/dL
RBC : 4,01*106/L
HCT : 30 %
MCV : 75,1 fL
MCH : 27,2 pg
MCHC : 36,3 gr/dL
WBC : 5,1*103/L
PLT : 205*103/L
Lym : 2,6 103/L
Mid : 0,6 103/L
Gran : 1,9 103/L
Asto 200
Crp 24
Swab
- Batang gram negatif
- Epitel 3-5/lpb
- Leukosit 1-2/lpb
DIAGNOSIS
- ??
RENCANA TINDAKAN
IVFD D5 NS 20 tpm (mikro)
Aspirin 4 x 500 mg
Eritromicin 4 x 250 mg
Ranitidine 3 x 25 mg
Bed rest