Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling


sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap 1000
kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis
pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama
kehidupan berakhir dengan kematian. Di Indonesia, dengan populasi 220 juta
penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan terdapat sekitar 40.000
penderita PJB baru tiap tahun.
Dampak PJB terhadap angka kematian bayi dan anak cukup tinggi, oleh
karena itu dibutuhkan tata laksana PJB yang sangat cepat, tepat dan spesifik.
Sebelum era intervensi non-bedah berkembang, semua jenis PJB ditata laksana
dengan tindakan bedah/operasi. Dengan berkembangnya teknologi melalui teknik
kateterisasi dan intervensi, sebagian dari PJB dapat ditata laksana tanpa operasi.
Kelebihan tindakan intervensi non-bedah dibandingkan dengan bedah adalah pasien

terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin jantung-paru, waktu
penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di rumah sakit menjadi lebih
singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas
operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-paru untuk bedah jantung terbuka
berisiko menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak di kemudian hari. Di
samping itu, mengingat sumber daya dan fasilitas bedah jantung yang masih
terbatas di negara berkembang, seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa
operasi menjadi pilihan utama. Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa
penanganan PJB tanpa bedah cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi
alternatif terapi dengan keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.

Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus
PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai,
merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan
ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan
kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46
senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di
8
Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.

Prosedur intervensi dan kateterisasi pediatrik dilakukan oleh dokter ahli yang
mempunyai kompetensi melalui pelatihan khusus mengacu pada modul yang
disusun dan disahkan oleh kolegium terkait.
Permasalahan lain adalah masalah biaya yaitu prosedur intervensi non-
bedah yang masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan operasi. Namun
pada pembedahan, biaya tersebut belum mengikutsertakan biaya tidak langsung
akibat masa rawat pasca-operasi yang lebih panjang, terganggunya aktivitas
8
orangtua ditambah dengan efek psikologis pasien dan keluarganya.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Membuat assessment/penilaian berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidence-


based medicine) dalam tata laksana penyakit jantung bawaan.
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Terwujudnya kajian ilmiah berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidence-


based medicine) tentang tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah.
2. Terwujudnya rekomendasi dalam menetapkan kebijakan program yang
berkenaan dengan tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah.
BAB II

TATA LAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN TANPA


BEDAH

2.1 Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat


sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan
pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-faktor penyebab
PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu hamil
(misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, dan
alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down
(Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan
termasuk PJB. Ibu yang merokok juga dilaporkan berbahaya bagi kehamilannya,
karena berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga
berakibat bayi lahir prematur, cacat bawaan atau meninggal dalam kandungan.
PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi (30% dari seluruh

kelainan bawaan), dan paling sering menimbulkan kematian khususnya pada


neonatus. Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas dua
kelompok, yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis). Berdasarkan
kelainan anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3 kelompok,yakni:
1) Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan (obstruksi) pada bagian

tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar
jantung. Pada PJB kompleks dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke
bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti
sama sekali pada pembuntuan total (atresia).
A. Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal.

Terjadi kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada jantung kanan,


yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kanan. Pada kondisi ini,
jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan sesuai
jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga terjadilah bendungan
sistemik. Gejala klinisnya adalah: pembengkakan kelopak mata, tungkai,
pembesaran hati dan penimbunan cairan di rongga perut. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain adalah pelebaran katup pulmonalis dengan
kateter balon (balloon pulmonary valvuloplasty = BPV) melalui kateterisasi.
B. Stenosis (Penyempitan) Katup Aorta.

Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini ditandai oleh: sesak, batuk,
kadang-kadang dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus
yang bertekanan tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara
lain pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic valvuloplasty =
BAV) melalui kateterisasi.
C. Atresia Katup Pulmonal.

Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada
aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila
duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah dari aorta ke
pembuluh darah paru). Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu
pertama kehidupan bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal.
Untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat
prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus
segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup pulmonal baik
secara bedah maupun non-bedah dengan membuat lubang (perforasi) pada
katup yang buntu tersebut yang dilanjutkan melebarkan lubang yang
terbentuk dengan kateter balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan
DSV harus dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara
arteri subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur Ballock-
Taussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka dengan
memasang stent di DAP.
D. Koarktasio Aorta.

Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan. Bila


penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di rongga perut
(ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi pasien
memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta
yang berat, prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan
pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dapat
dilakukan secara bedah atau non bedah dengan kateter balon.

2) Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau bilik jantung
(septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi
lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi
kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran
darah ke paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang di
sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat bilik). Pirau ini juga
bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh
pulmonal tetap terbuka (DAP= duktus arteriosus persisten). Karena darah
mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan
pasien tidak biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada
jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan gagal jantung
kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri adalah: debaran jantung
kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan
terganggu, sering menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam
kondisi seperti tersebut di atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi
beban volume pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan
obat vasodilator (pelebar pembuluh darah).
A. Defek septum atrium (DSA)

Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah , yakni
memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh
darah vena di lipat paha. Alat penyumbat tersebut antara lain adalah
Amplatzer Septal Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA
sekundum, DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani
dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.
B. Defek Septum Ventrikel (DSV)

Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular, defek dapat
ditutup dengan tindakan non-bedah dengan memasang alat penyumbat
antara lain Amplatzer Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang
dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun
pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap diperlukan
pembedahan.
C. Duktus arteriosus persisten (DAP)

DAP juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan


penyumbat Amplatzer duct occluder (ADO) atau okluder janin lain. Bila DAP
sangat besar atau DAP pada neonatus atau bayi kecil dibawah 6 kg, tindakan
bedah masih merupakan pilihan utama. DAP pada bayi prematur dapat
dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat anti-postaglandin
seperti indometasin atau ibuprofen.

3) Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi
tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh
darah pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri
besar (TGA = transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi
darah yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini
diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang mana akan
diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang tidak disertai DSV saat
usia neonatus perlu diberikan obat prostaglandin E-1 untuk mempertahankan
duktus arteriosus tetap terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan
harus segera diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara
non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial septostomy (BAS).

Di samping kelainan anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut kelainan


pada sistem konduksi jantung. Pacu jantung yang lemah atau adanya blok pada
sistem konduksi jantung, berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak
mencukupi kebutuhan sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung
(pacemaker) permanen. Pada anak yang sudah cukup besar pemasangan pacu
jantung permanen ini dapat dilakukan tanpa bedah dengan menanam batere di
bawah kulit di bahu kiri atau kanan dan memasukkan elektroda ke dalam serambi
atau bilik jantung kanan melalui vena subklavia kiri atau kanan. Tetapi pada bayi
masih diperlukan pembedahan dengan menempelkan elektroda epikardial di
permukaan jantung dan menanam baterenya di bawah kulit di daerah subsifoid.
Di Indonesia, kardiologi intervensi non-bedah pada anak dimulai pada tahun

1989 berupa pelebaran katup mitral dengan balon yang dilakukan di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita Jakarta. Tahun 1998 teknik penutupan DAP dengan coil telah
mulai dilakukan di RS Jantung Harapan Kita yang selanjutnya pada tahun 2002
untuk DAP yang besar ditutup dengan alat ADO dan DSA dengan alat ASO.
Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Jakarta mulai melaksanakan teknik ini
pada awal tahun 2002, diikuti oleh RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dan RS M Hoesin Palembang. Dengan adanya Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) 2 Kardiologi Anak FKUI/RSCM di Jakarta yang telah
diakreditasi oleh Kolegium IDAI Indonesia, perkembangan bidang intervensi ini dapat
dikatakan cukup cepat dan menggembirakan. Intervensi non bedah untuk menutup
DSV dimulai pertama kali di PJT RSCM pada tahun 2004 disupervisi oleh
intervensionist dari Institut Jantung Negara, Malaysia. Sejak itu, 15 kasus DSV pada
anak berhasil ditutup di senter ini, 3 kasus DSV di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, dan 1 kasus di RS Husada Utama, Surabaya. Prosedur-prosedur intervensi
non-bedah ini cukup memberikan harapan bagi masa depan anak-anak di Indonesia
penyandang PJB khususnya DAP, DSA dan DSV.

2.2. Prosedur Kardiologi Intervensi Non-Bedah


2.2.1. Dilatasi

Prosedur ini merupakan tindakan membuka atau melebarkan katup atau pembuluh
darah, seperti pada:
Balloon atrial septostomy

Balloon valve dilatation


Pulmonary valve dilatation critical pulmonic stenosis in the newborn

Aortic valve dilatation

Critical aortic stenosis in the newborn

Angioplasti koarktasio aorta


Mitral valve dilatation

Dilation of branch pulmonary artery stenosis

Dilation of systemic vein stenosis

Pulmonary vein dilation

2.2.2 Oklusi

Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh darah,
seperti pada:
Defek septum atrium

Defek septum ventrikel

Duktus arteriosus persisten

2.2.3 Kardiologi intervensi pediatrik pada penyakit jantung bawaan kompleks

Pulmonary valve perforation in pulmonary atresia with intact IVS

Intravascular stents in congenital heart disease

Closure of abnormal vascular communications: embolization therapy

Stenting of the PDA in duct dependent circulations

Transcatheter replacement of pulmonary valve

2.2.3 PJB yang dapat ditatalaksana dengan kardiologi intervensi non-bedah


Pada kajian ini pembahasan dibatasi pada tatalaksana kardiologi intervensi
non- bedah pada tiga PJB yang cukup tinggi prevalensnya yaitu ductus
arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan defek septum
ventrikel (DSV). Ketiganya akan dibahas secara rinci satu per satu.
34
Algoritma Tata Laksana Defek Septum Atrium

DSA Sekundum

Pirau kecil Pirau Besar

Observasi Bayi Anak/Dewasa

Gagal Gagal HP(-) HP(+)


Evaluasi pada Jantung (-) Jantung (+)
Umur 5-8 th

Medikamentosa PVD(-) PVD(+)

Kateterisasi

Hiperoksia
Berhasil
FR 2 Gagal
FR < 2

Reaktif Non-
Berat 10 kg reaktif
Operasi

Konservatif

Transcatheter Closure Konservatif

Sampai 5 tahun yang lalu, semua DSA hanya dapat ditangani dengan
operasi/ bedah jantung terbuka. Operasi penutupan DSA, baik dengan jahitan
langsung ataupun tidak langsung menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40
tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat,
menyusul ditemukannya mesin pintasan jantung-paru (cardio-pulmonary bypass)
37
setahun sebelumnya. Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang
tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang baik, dengan risiko minimal (angka
kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan
survival (ketahanan hidup) pasca-operasi mencapai 98% dalam pemantauan 27
tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang
dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka angka ketahanan hidupnya
akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti
38,39,40,41
peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Namun demikian, tindakan
operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang
cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif
kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan
untuk menemukan alternatif baru penutupan DSA dengan tindakan intervensi non-
bedah (tanpa operasi), dalam hal ini, alat yang pernah diteliti antara lain Straflex
device, Helex device dan yang terakhir Amplatzer septal occluder. Beberapa alat
tersebut sebelumnya telah menjalani percobaan klinis, di bawah ini akan dibahas
satu per satu berdasarkan urutan alfabet seperti di bawah ini.
Amplatzer septal occluder (ASO).

ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang sendiri (self
expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075 inci yang
teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di
dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat
merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan
akan tertutup sempurna. Diameter pusat lempeng berkisar dari 4-40 mm dengan
tebal 1-2 mm. Lempeng atrium kanan dan kiri adalah 12-16 mm dan lebih besar 8-
10 mm dari pusat lempeng. Tergantung pada ASO yang akan digunakan, ASO
dimasukkan ke dalam delivery sheath yang berukuran 6-12 French dengan
menggunakan delivery cable yang terhubung ke pusat lempeng atrium kanan ASO
dengan sistem mur mikro. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan
Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Di
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama periode September 2002
September 2008 telah dilakukan pemasangan ASO pada 177 pasien DSA, terdiri
dari 46 pasien laki-laki dan 131 perempuan, usia antara 2 59 tahun. Implantasi
ASO berhasil dilakukan pada 154 (87%) pasien. Komplikasi embolisasi terjadi pada
7 (6%) pasien, 3 di antaranya berhasil dikeluarkan dengan kateter pengait
sedangkan sisanya diambil saat dilakukan operasi penutupan DSA. Tidak
42
ditemukan kematian pada prosedur ini. Di PJT RSCM sejak tahun 2002, telah
dilakukan penutupan DSA pada 76 kasus. Pasien terdiri dari 53 perempuan dan
23 laki-laki dengan berat badan berkisar antara 8 sampai 75 kg, dengan rata-rata

20 kg. Angka kematian juga dilaporkan nol. Tindakan ini juga sudah dilakukan di

RS Dr. Soetomo Surabaya.


3.2.3.3 Defek Septum Ventrikel (DSV)

Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu bentuk PJB yang paling
sering ditemukan ditandai adanya defek atau lubang pada sekat/dinding yang
memisahkan ventrikel kiri dan kanan.
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Hasil pembedahan DSV
tipe muskular apikal biasanya kurang optimal karena kesulitan dalam melihat lokasi
dan besar defek, di samping juga memberikan gejala sisa, dan disfungsi ventrikel kiri.
Porstmann dkk. melaporkan penutupan transkateter yang pertama dilakukan
pada DAP tahun 1967, berbagai macam teknik intervensi telah dilakukan untuk
menutup defek intra-kardiak seperti DSA, foramen ovale persisten, fenestrated
62
fontan , dan defek lain yang berhasil ditutup. DSV merupakan salah satu defek
yang dapat ditutup dengan sebuah alat sejak 10 tahun yang lalu, namun
penggunaannya secara luas terbatas dari alat penutup DSV sebelumnya, karena
beberapa sebab yang di antaranya adalah penggunaan kateter delivery yang
berdiameter besar, ketidakmampuan mereposisi dan tingginya rasio residual shunt.
Hal ini disebabkan alat tersebut belum benar-benar dibuat untuk menutup

DSV.

Pada saat ini, dengan adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan
yang lebih baik, penutupan pada DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin
membaik.
Gambar 19. Alat yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A, Rashkind
70
Double Umbrella; B, Sideris Bottoned Device; C dan D, Clamshell Device.

Berdasarkan data yang tersedia, lebih dari 150 pasien dengan DSV dilakukan
penutupan transkateter dengan menggunakan Rashkind double umbrella, The Bard
clamshell,The Button device, The Amplatzer septal occluder, Amplatzer duct
occluder or Amplatzer muscular VSD Occluder atau The Gianturco coils.
DSV sering ditemukan sebagai defek tersendiri (20%) atau dapat merupakan
bagian dari PJB kompleks; seperti tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. DSV
merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada kelainan kromosom. Gangguan
hemodinamik yang terjadi pada DSV disebabkan akibat pirau kiri ke kanan melalui
defek (lubang) pada sekat/dinding ventrikel.
Secara anatomis DSV diklasifikasikan sesuai dengan letak defeknya, yaitu :
1) DSV perimembran, 2) muskular dan 3) sub-arterial doubly committed.

Berdasarkan fisiologi, klasifikasi DSV adalah sebagai berikut: 1) DSV defek


kecil dengan resistensi vaskular paru normal, 2) DSV defek sedang dengan
resistensi vaskular paru bervariasi, 3) DSV defek besar dengan peningkatan
resistensi vaskular paru ringan sampai sedang, 4) DSV besar dengan resistensi
vaskular paru tinggi. Sebelum kardiologi intervensi non-bedah berkembang,
sebagian besar DSV ditata laksana dengan pembedahan, namun risikonya lebih
tinggi karena harus menggunakan mesin pintasan jantung-paru. Komplikasi yang
dapat terjadi sama dengan pada penutupan DSA, ditambah dengan kemungkinan
terjadinya blok atrioventrikular total, kerusakan katup aorta, atau sumbatan pada
aliran alur keluar ventrikel kiri.

24
Gambar 20. Defek Septum Ventrikel.

Langkah Diagnostik

A. Anamnesis

1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala
(asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung
(murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2
normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum
maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan
takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan
sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi
interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat.
Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas
keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering
ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal
jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien
tampak sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering
mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah
dan tidak terlokalisasi.

76
B. Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiografi (EKG)

Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan

LVH atau BVH.

2. Foto Rontgen toraks

Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal dengan


corakan vaskular paru normal. Pada DSV sedang, terdapat
kardiomegali dan peningkatan corakan vaskular paru dan tampak
penonjolan segmen pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan corakan
vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi

Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna dapat


ditentukan besar defek, arah pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi
ventrikel.
4. Kateterisasi jantung

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya
pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar
dapat ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi
pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.

Medikamentosa

1. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi.

2. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya furosemid 1-2 mg/kgBB/hari,


vasodilator misalnya kaptopril 0,5 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu
dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian makanan berkalori
tinggi dilakukan dengan frekuensi sering secara oral/enteral (melalui NGT).
Anemia diperbaiki dengan preparat besi.
3. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap
infeksi endokarditis.
4. Penutupan DSV dapat dikerjakan dengan intervensi non-bedah
menggunakan Amplatzer VSD occluder atau dengan tindakan bedah.

Indikasi dan waktu penutupan DSV

Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung serta
retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa, dilakukan
operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru.
Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah ataupun
bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2.
Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus dilakukan
kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru dan responsnya
terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV cara bedah ataupun
non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru dibawah 7 Wood Unit.
Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah diberikan
oksigen 100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan penutupan DSV
tidak dianjurkan lagi.
DSV

Gagal Jantung(+) Gagal jantung (-)

Medikamentosa Prolap Stenos HP Menutup Mengecil


Katup Infundi spontan
Aorta bulum
PVD(+) Kath
PVD(-)

Gagal Berhasil Kateteri- Kateterisasi FR < 2 FR 2


sasi

Reaktif Non-
reaktif

Evaluasi dalam
6 bulan
Konservatif

Transcatheter closure atau bedah

76
Algoritma tata laksana Defek Septum Ventrikel

Alat Yang Digunakan

Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder AVO)
terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang
digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD
Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak
defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya
asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan
pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh
yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium.
Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan
kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk
aslinya saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya.
Ukuran alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4
mm 16 mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga
40 mm). Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron
dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan
pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda
dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve
dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO
bertujuan untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena
sisi apeks yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada
77
dalam ventrikel kiri.

Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A,
Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD
occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric Amplatzer
VSD occluders.

78
Teknik Pemasangan Alat

Pemasangan Ampaltzer membranous VSD Occluder pada DSV tipe perimembran

Prosedur ekokardiografi trans-torasik

Prosedur ini penting untuk menentukan ukuran DSV. Ukuran DSV ditentukan pada 2
diameter atau aksis. Diameter ini diukur dengan ekokardiografi 2-dimensi, bukan dari
lebar Doppler berwarna. Pada pandangan parasternal sumbu panjang diukur minor
axis = a, dan pada pandangan parasternal sumbu pendek diukur major axis = b.
Ukuran AVO yang akan digunakan yaitu akar dari a dikali b.

Prosedur pemasangan TEE yaitu :

1. Lokasi : mid-esofagus 4 ruang jantung (frontal), dan aksis basal sumbu


pendek.
2. Catat semua kelainan yang ditemukan
3. Ukur fungsi jantung dan ukuran ruangan-ruangan jantung

4. Evaluasi bagian jantung seperti otot papilaris dan korda tendinea dari katup
mitral
5. Periksa adanya regurgitasi pada katup atrioventrikular

6. Ukur besar defek pada waktu diastolik akhir

Melakukan kateterisasi jantung dengan anestesi umum

1. Pertahankan waktu pembekuan darah aktif > 250 selama kateterisasi

2. Evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan darah yang diukur


pada vena dan arteri femoralis
3. Ukur besar defek dan jarak ke katup aorta melalui TEE dan angiografi kiri

Pertahankan arteriovenous loop agar tetap stabil

1. Memasukkan kateter Judkin Right (JR) 4F bersama dengan Terumo

guide

wire atau koroner wire ke dalam ventrikel kiri (Gambar 22)

Gambar 22

2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan
menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis
atau masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter
JR masuk ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti
dengan soft J tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di
dorong ke atrium kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke
arteri pulmonal (Gambar 23).

Gambar 23
3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah di-

snare (Gambar 24).

Gambar 24

4. Masukkan kateter MP 2 melalui sheath yang ada di vena femoralis


bersama dengan Amplatz snare masuk ke vena kava superior, alat snare
dibuka dengan mendorongnya keluar dari kateter. Kemudian ujung
noodlewire di snare, lalu ditarik sampai keluar dari vena femoralis.
5. Masukkan dilator ke dalam delivery sheath dan pastikan dengan terkunci
dengan baik
6. Masukkan delivery sheath bersama dilator menyusuri noodlewire dari
vena femoralis ke atrium kanan sampai bertemu dengan kateter JR.
7. Gerakkan sistem tersebut sebagai satu kesatuan sampai ujung dilator
mencapai aorta asenden (Kissing catheter technique) (Gambar 25)

Gambar 25
8. Tarik dilator sampai sedikit di bawah ujung delivery sheath.

9. Pelan-pelan tarik kembali delivery sheath sampai ujungnya setinggi katup


aorta.
10. Dorong Amplatzer noodlewire dari kateter JR sehingga terbentuk loop
yang masuk ke ventrikel kiri, kemudian delivery sheath didorong sehingga
ujungya masuk menyusuri loop tadi, masuk ke ventrikel kiri (Gambar 26)

Gambar 26

11. Tarik Amplatzer noodlewire keluar melalui vena atau arteri femoralis

Penempatan alat

1. Pilih alat yang sama ukuranya dengan ukuran DSV

2. Masukkan delivery cable ke dalam pusher catheter, lalu masukkan ke


dalam loading catheter yang sudah dipasang katup hemostasis.
3. Pasangkan AVO pada ujung delivery cable.

4. Putar AVO ke kiri agar marker pengunci pada AVO masuk ke dalam
marker yang ada pada pusher catheter.
5. Pasang plastic versa, tarik kabel kuat-kuat, lalu plastic versa dikunci.

6. Loading AVO ke dalam loading catheter dengan menarik pusher catheter.

Waktu me-loading AVO, sebaiknya dilakukan di dalam garam larutan

NaCl 0,9%.

7. Flush catheter dengan normal salin untuk membuang gumpalan udara di


dalam AVO.
8. Masukkan loading catheter ke dalam delivery sheath, dorong pusher
catheter sampai ujung distal AVO membuka di apeks ventrikel kiri.
9. Tarik delivery system secara bersaman sampai lempeng kiri menyentuh
septum.
10. Buka bagian proksimal AVO dengan menarik delivery sheath tanpa
menarik pusher catheter (Gambar 27)
Gambar 27

11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya
diarahkan ke apeks ventrikel kiri
12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa
atau insufisiensi katup
13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan
mengevaluasi pintasan
14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa
sentimeter, lalu kunci kembali
15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter.

16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan
arah dengan jarum jam
17. Ulangi angiografi ventrikel kiri

18. Buat angiografi di aorta asenden untuk mengevaluasi regurgitasi pada


katup aorta

78
Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder (AMVO) untuk DSV tipe muskular

Pemasangannya menggunakan teknik kateter (pendekatan melalui sisi kanan atau


kiri). Pendekatannya tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular. Umumnya
defek pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan melalui vena femoralis,
sedangkan defek rendah lebih mudah ditutup dengan cara pendekatan transjugular.
Teknik kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum dan
ekokardiografi transesofagus.

Tahap-tahapnya :

1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk
dengan cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan
pemasangan sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi
hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup
aorta diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan
sama baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta
dan DSV masuk ke ventrikel kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).

Gambar 28

5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare
dimasukkan untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena
femoralis kanan. Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access
wire (Gambar 29).

Gambar 29

6. Delivery sheath dengan dilatornya dimasukkan melewati akses vena


menyusuri guidewire untuk masuk melewati DSV dan masuk ke dalam
ventrikel kiri. Medium kontras disuntikkan untuk memastikan bahwa ujung
sheath dalam posisi yang benar di dekat apeks ventrikel kiri.
7. AMVO dipasang pada delivery cable, kemudian di-loading ke dalam loading
catheter dalam cairan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Loading catheter
dimasukkan ke dalam delivery sheath, kemudian didorong sampai ujung
distal AMVO membuka di ventrikel kiri. Delivery sheath beserta kabel ditarik
sampai lempeng kiri AMVO menyentuh septum. Untuk membuka bagian
proksimal AMVO, delivery sheath ditarik tanpa menarik delivery cable,
sehingga AMVO membuka di dalam DSV (Gambar 30).

Gambar 30

8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat
dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan
kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih
besar atau kecil.

Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama
penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzer
muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung
menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook Sheath dari
vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah exchange guide wire
menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena jugularis keluar menuju arteri
femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar alat tersebut (panah) keluar dari bagian
distal selubung selama menarik alat dari vena jugularis.
LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri selama posisi
LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan dari
kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan tidak ada
residual shunt.
Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV tipe mid-
muskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun, dengan berat badan 40 kg
(DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan untuk memperbaiki hypertrophic
cardiomyopathy diikuti dengan Operasi Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan
tekanan sistolik A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk
melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna kanan. C, gambar
Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang dikeluarkan dari kateternya (selubung),
dimana kateter delivery masih di posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah
lempeng ventrikel kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan
lempeng ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat alat
sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan dari kateternya
(panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit setelah alat pada posisinya dan
minimal foaming hilang setelah beberapa hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi
38 mmHg.

Isu Sekitar Penutupan DSV Tipe Perimembran

Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi non-bedah


yang relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan posisi DSV
yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting di
sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat
rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang
ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok atrio-ventrikular (AV)
komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah
dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, blok komplit AV pasca-
penutupan DSV secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah
sakit sehingga dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung
permanen. Sebaliknya, blok komplit AV pasca-penutupan DSV dengan Amplatzer,
terjadi lambat setelah pasien dipulangkan. Tindakannya adalah sama yaitu dengan
pemasangan pacu jantung permanen. Dari berbagai data yang berasal dari
beberapa negara di Eropa, Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan
penutupan DSV dengan AVO cukup aman. Pengalaman melakukan penutupan DSV
pada 14 kasus di RSCM hasilnya cukup baik, dan pada pemantauan sampai dengan

4 tahun pasca-pemasangan tidak ditemukan blok AV komplit.

Isu ke-2 yaitu mengenai rekomendasi FDA. Hingga saat ini, FDA belum
mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan penutupan DSV perimembran dengan
AVO. Namun demikian bukti-bukti dari data yang berasal dari beberapa negara di
Eropa, Australia dan Asia sudah cukup menyatakan bahwa penutupan DSV
perimembran dengan AMVO cukup aman. Rekomendasi FDA sebenarnya tidak bisa
dipakai sebagai tolok ukur untuk memulai suatu prosedur baru, karena sistem yang
digunakan FDA berlaku mundur. Penggunaan sistem baru, termasuk AVO yang
sebenarnya adalah produksi Amerika sendiri belum boleh digunakan di sana, tapi di
negara lain di luar Amerika mereka pakai. Nanti setelah data keamanannya dinilai
cukup, baru keluar rekomendasi dari FDA. Hal ini terjadi pada pemakaian ADO pada
DAP dan ASO pada DSA hingga akhirnya rekomendasi FDA keluar. Pada
pertemuan terakhir bulan Mei 2008 di Jeju, Korea, tindakan penutupan DSV dengan
AVO masih tetap boleh dikerjakan sambil memantau kemungkinan adanya efek
samping, termasuk blok AV komplit.
BAB IV
DISKUSI

Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana


dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak
kompleks. Sedangkan untuk kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan
masih merupakan pilihan. Pada kajian ini, ruang lingkup pembahasan dibatasi untuk
tiga PJB yang sering ditemukan yaitu, duktus arteriosus persisten (DAP), defek
septum atrium (DSA) dan defek septum ventrikel (DSV).
Menurut panduan yang dibuat AGA Medical Coorperation, perusahaan yang
memproduksi Amplatzer Occluder, dokter yang boleh memasang Amplatzer ini
adalah dokter yang pernah mendapatkan pelatihan khusus (trained doctor). Untuk
keamanan pasien (patient safety), intervensionist harus memberitahu dokter bedah
jantung untuk mengantisipasi kemungkinan ada masalah atau komplikasi yang
mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini.
Diagnosis DAP ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Pada dasarnya DAP masih normal ditemukan pada bayi
13
baru lahir dan umumnya akan menutup secara spontan pada hari keempat. Oleh
karena itu, pada algoritma tata laksana DAP, dapat dilihat bahwa tindakan intervensi
non-bedah hanya dilakukan pada bayi yang tidak memiliki gejala gagal jantung dan
setelah diberikan terapi medikamentosa menunjukkan perbaikan, kemudian pada
umur >12 bulan atau berat badan >6 kg baru dilakukan tindakan intervensi. Tindakan
pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa gagal memberikan perbaikan.
Setelah prosedur intervensi non-bedah selesai dilakukan pasien dapat
langsung dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya yang mana kal ini
tidak mungkin dilakukan pada intervensi bedah. Selain prosedur, lama perawatan
dan waktu pemulihan yang lebih singkat, risiko dan komplikasi yang lebih kecil, pada
prosedur intervensi non-bedah ini juga tidak akan ditemukan luka parut bekas
sayatan di dadanya. Sayangnya di Indonesia prosedur non-bedah ini relatif lebih
mahal dari pada prosedur bedah.
Pada kasus DSA, jenis DSA yang paling sering ditemukan adalah DSA
sekundum dan pilihan terkini yang secara luas sudah diterima di hampir seluruh
negara adalah penutupan dengan tindakan transkateter. Gambaran klinis DSA
tergantung pada besarnya defek. Pada defek yang kecil, sebagian besar tidak
menimbulkan gejala klinis dan anak tampak sehat. Keluhan baru timbul pada usia
dekade ke-2 dan ke-3 setelah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru.
DSA umumnya idealnya dianjurkan ditutup saat usia pra sekolah (3 4
tahun). Meskipun beberapa ahli menyarankan penutupan DSA dilakukan sesegera
mungkin dengan alasan bahwa beban jantung kanan akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia, lebih disarankan jika memungkinkan untuk menunggu hingga
anak sedikitnya berusia 3 4 tahun. Selain itu, seiring pertumbuhan ukuran DSA
cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan massa tubuh.
Segera setelah dilakukan prosedur penutupan DSA secara non bedah,
dianjurkan agar pasien tetap dievaluasi dengan pemeriksaan klinis,
elektrokardiografi, foto Rontgen toraks, serta pemeriksaan ekokardiografi
transtorasik. Prosedur yang sama dilakukan setiap 1, 6 dan 12 bulan setelah
implantasi. Direkomendasikan pemberian ASA dosis 5 mg/kg BB setiap hari selama
6 bulan setelah implantasi.

Seperti penutupan DAP trans kateter, penutupan DSA cara non-bedah ini
lebih efektif, aman dan menguntungkan bagi pasien. Kendalanya di Indonesia adalah
biaya tindakan penutupan DSA secara non-bedah dengan pemasangan ASO yang
lebih mahal dibandingkan dengan prosedur bedah.
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Pada saat ini, dengan
adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan yang lebih baik, penutupan pada
DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin membaik.
Diagnosis pada DSV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis pada DSV juga bergantung pada
ukuran defek. Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi yang
relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan karena posisi
DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting
di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat
rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang
ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok AV komplit. Sebenarnya
kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir
sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, AV blok komplit pasca-penutupan DSV
secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga
dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya,
AV blok komplit pasca-penutupan DSV dengan transkateter, terjadi lambat setelah
pasien dipulangkan. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa,
Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan transkateter
cukup aman.
Tindakan penutupan DSV secara non-bedah dengan pemasangan AVO di
Indonesia belum banyak dilakukan. Selain karena prosedurnya yang cukup sulit juga
biaya yang cukup tinggi hampir 2 kali biaya secara bedah.
BAB V ANALISIS
BIAYA

5. 1 Cost-effectiveness dari sisi medis

Faktor prosedur :

Keuntungan dari prosedur penutupan dengan transkateter pada DAP, DSA,


DSV adalah: penggunaan anestesia yang lebih singkat, durasi rawat inap
yang lebih singkat, tidak memerlukan perawatan ICU, pemakaian analgesia
yang lebih singkat dan nyeri pasca tindakan yang lebih ringan daripada
pasien yang mengalami pembedahan; produk-produk darah juga jarang
diperlukan.
Efektivitas

Angka keberhasilan dengan prosedur transkateter adalah 95,7% dan dengan


pembedahan 100%. Pemeriksaan echocardiography yang dilakukan 3 bulan
setelah prosedur memperlihatkan bahwa terdapat sedikit residual shunts
pada pasien yang mengalami transkateter (angka penutupan yang sempurna
91 %). Pada kelompok pasien yang mengalami pembedahan tidak ada

residual shunts.

Komplikasi lebih rendah daripada bedah

Komplikasi yang ditimbulkan pada penggunaan intervensi transkateter


sebesar 7,2% dan pada pembedahan 24%. Pada kedua prosedur angka
mortalitas sebesar 0%.
Waktu pemulihan juga singkat

Rata-rata pasien yang mengalami transkateter dirawat selama satu hari


(kisaran 1-2 hari) dan untuk yang mengalami pembedahan enam hari
(kisaran 4-20 hari). Pasien dapat kembali ke aktivitas normal rata-rata setelah
dua minggu pada kelompok transkateter dan pada pembedahan rata-rata 5,5
minggu.
Kenyamanan

Orangtua yang anaknya mengalami pembedahan mengkhawatirkan


mengenai prosedur yang invasif, efek bypass kardiopulmonal, dan jaringan
parut yang ditimbulkan. Sedangkan orangtua yang anaknya menjalani
tindakan transkateter mengkhawatirkan kemungkinan lepasnya alat serta
keamanan alat dalam jangka panjang.
5.2 Cost-effectiveness dari sisi ekonomi

Tabel Perbandingan Biaya

Terdapat perbedaan biaya antara beberapa senter, baik untuk tindakan intervensi
non-bedah ataupun bedah. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan biaya antara
RSCM dan RS Jantung Harapan Kita.

Jenis Biaya Bedah Biaya Non-Bedah Biaya Bedah Biaya Non-Bedah


Tindakan (RSCM) (Rp) RSCM (Rp) RSJ-HK (Rp) RSJ-HK (Rp)

Tinda Lama Tindak Lama Tindak Lama Tindak Lama


kan Perawat an Perawatan an Perawatan an Perawatan
an
(2 Hari) (6 Hari) (2 Hari)
(6 Hari)

DAP 19,4 jt 1,1 jt 36,0 jt 0,4 jt 12 jt 800 rb 24,9 jt 400 rb


DSA 46,0 jt 2,0 jt 52,6 jt 1,1 jt 28,5 jt 1,2 jt 44 jt 400 rb
DSV 53,8 jt 1,8 jt 69,3 jt 1,1 jt 35 jt 1,2 jt 44 jt 400 rb
BAB VI
REKOMENDASI

Pada prosedur invasif seperti pada kebanyakan tindakan di bidang kardiologi,


penelitian menggunakan randomisasi (randomized control trial) tidak etis, karena
menyebabkan subyek terpajan dengan prosedur-prosedur invasif. Oleh karena itu,
dalam literatur sulit mendapatkan literatur dengan level of evidence Ia atau Ib,
dengan demikian hampir tidak pernah mendapatkan rekomendasi A.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, direkomendasikan hal-hal berikut ini :

1. Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana


dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak
kompleks. Pada keadaan tersebut, tindakan intervensi merupakan terapi
pilihan antara lain karena dapat terbebas dari komplikasi operasi yang
ditimbulkan. [Rekomendasi B]
2. Pada PJB dengan kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan
masih merupakan pilihan, terapi intervensi non bedah hanya sebagai
tindakan paliatif. [Rekomendasi B]
3. Tindakan pemasangan Amplatzer dilakukan oleh dokter yang mempunyai
kompetensi yang telah mendapatkan pelatihan (trained doctor) khusus
mengacu pada modul yang disusun dan disahkan oleh kolegium terkait.
[Rekomendasi B]
4. Untuk keamanan pasien (patient safety), dokter kardiologi memberitahu
dokter bedah jantung untuk mengantisipasi jika ada masalah atau komplikasi
yang mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini.
[Rekomendasi B]
5. Biaya langsung tindakan intervensi saat ini lebih tinggi, namun mengingat
keterbatasan SDM dokter bedah jantung dan fasilitasnya, tindakan intervensi
non- bedah perlu mendapatkan prioritas. [Rekomendasi C]
DAFTAR PUSTAKA

1 Rosenthal G. Prevalence of congenital heart disease. In: Garson A, Bricker JT,


Fisher DJ, Neish SR. The science and practice of pediatric cardiology. 2nd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. h. 1083-105.
2 Ho KK, Anderson KM, Kennel WB, Grossman W, Levy D. Survival after the onset
of congestive heart failure in framingham heart study subjects. Circulation
1993;88:107-15.

3 Statistik Indonesia. Available in : http://www.datastatistik-indonesia.com. Last


th nd
updated January 4 2007. Cited at August 2 2007.
4 Mullins CE. History of pediatric international catheterization: pediatric therapeutic
cardiac catheterization. Pediatric Cardiol 1998; 19: 3-7.
5 Kato H. Foreword: Catheter interventional treatment for pediatric heart disease-a
new therapeutic strategy. Pediatr Int 2001; 43:527-8.
6 Djer MM. Interventional Pediatric Cardiology in Indonesia, a multicenter
experience. Dipresentasikan pada Konika XIII;2005 Juli 4-7; Bandung, Indonesia.
7 Andrews RE, Tulloh RMR. Interventional cardiac catheterization in congenital
heart disease. Arch Dis Child 2004; 89:1168-73.
8 Putra ST. Kemajuan di bidang kardiologi intervensional. Dalam: 50 Tahun Ikatan

Dokter Anak Indonesia: Untuk Mereka Kita Bekerja. Balai Penerbit IDAI; 2005. h.

105-8.

9 Heartkids Victoria Incorporated, Family Support Group. Frequently Asked


Questions. Department of Cardiology, Royal Childrens Hospital Website,
Melbourne, 2000.
10 American Heart Association. Family Health: Children and Heart Disease, How A
Cardiologist Diagnoses Heart Defects. American Heart Association Website,
USA, 2000.
11 Dalvi B. Interventional cardiology. Bombay Hospital Journal. Available at :
http://www.bhj.org/journal/2006_4803_july/html/int_card_416_428.html. Last
th
updated 27 Juli 2007. Cited at August 19 2007.
12 Ravishankar C, Nafday S, Green RS, Kamenir S, Lorber R, Stacewicz-
Sapuntzakis M, Bridges ND, Holzman IR, Gelb BD. A trial of vitamin A therapy to
facilitate ductal closure in premature infants. J Pediatr, Vol. 143, pp 644-8, 2003.
13 Buyse ML. Birth Defects Encyclopedia, pp 548-549, Blackwell Scientific

Publications, Cambridge, MA, 1990.

14 Becker SM, Al Halees Z, Molina C, Paterson RM. Consanguinity and congenital


heart disease in Saudi Arabia. Am J Med Genet 2001;99:8-13.
15 Botto LD, Correa A, Erickson JD. Racial and temporal variations in the
prevalence of heart defects. Pediatrics 2001a;107:e32.
16 Borgmann S, Luhmer I, Arslan-Kirchner M, Kallfelz HC, Schmidtke J. A search for
chromosome 22q11.2 deletions in a series of 176 consecutively catheterized
patients with congenital heart disease: no evidence for deletions in nonsyndromic
patients. Eur J Pediatr 1999;158:958-63.
17 Van Overmeire B, Chemtob S. The pharmacology closure of the patent ductus
arteriosus. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine, Vo. 10, pp 177-184, 2005.
18 De Felice C, Mazzieri S, Pellegrino M, Del Pasqua A, Toti P, Bagnoli F, Rosati E,
Latini G. Skin reflectance changes in preterm infants with patent ductus
arteriosus. Early Human Development 2004:78:45-51.
19 ODonnell C, Neutze JM, Skinner JR, Wilson NJ. Transcatheter patent ductus
arteriosus occlusion: evolution of techniques and results from the 1990s. J
Pediatr Child Health 2001; 37:451-6.
20 Faella HJ, Hijazi ZM. Closure of the patent ductus arteriosus with the amplatzer
DAP occluder: immediate results of the international clinical trial. Cathet
Cardiovasc Intervent 2000; 51:50-4.
21 Ferencz C, Loffredo CA, Correa-Villasenor A, Wilson PD, eds. Patent arterial
duct. I: Genetic and Environmental Risk Factors of Major Cardiovascular
Malformations: The Baltimore-Washington Infant Study 1981-1989. Armonk, NY:
Fuytura Publishing Co., Inc; 1997: pp. 285-99.
22 Stoll C, Alembik Y, Dott B, Roth PM, De Geeter B. Evaluation of prenatal
diagnosis of congenital heart disease. Prenat Diagn 1993;13:453-61.
23 McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, Jr. Jones MD. Patent Ductus Arteriosus.

Chapter 273. Oskis Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott

William and Wilkins. A Wolters Kluwer Business. 2006; h. 1578-82.

24 Types of congenital heart defects. Available at :

http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/chd/ chd_types.html. Cited at August


th
10 2007.

25 Duktus Arteriosus Persisten dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

Edisi I. 2004; h:138.

26 Boehm W, Emmel M, Sreeram N. The Amplatzer duct occluder for DAP closure :
indications, technique of implantation and clinical outcome. Images Paediatr
Cardiol 2007;31: 16 26.
27 The Amplatzer duct occluder for DAP closure: indications, technique of
implantation and clinical outcome. Available at :
www.impaedcard.com/issue/issue31/boehmw/boehmw.htm. Last updated 2007.
th
Cited at August 6 2007.
28 How Your Doctor Will Implant the Duct Occluder. Available at :
www.amplatzer.com/products/DAP_devices/implanting_duct_occluder.html. Last
th
updated 2007. Cited at August 5 2007.
29 Jang GY, Son CS, Lee JY, Kim SJ. Complication after Transcatheter Closure of

Patent Ductus Arteriosus. Korean Med J 2007;22: 484-90.

30 Roebiono P, Harimurti GM, Rahayoe AU, and Sakidjan I. Transcatheter closure


of Patent Ductus Arteriosus. 10-year experience at the National Cardiovascular
th
Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17 ASEAN Congress of
Cardiology, Hanoi, Vietnam. ASEAN Heart Journal 2008; 17, Suppl: p73
31 Djer MM. Pengaruh Penutupan Duktus Arteriosus Persisten Transkateter
Menggunakan Amplatzer Duct Occluder pada kadar nikel darah dan efek
toksiknya serta pola perubahan dimensi dan faal ventrikel kiri. Ringkasan
Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juni 2008.
32 Anonymous. Atrial Septal Defect (ASD). Available in :

www.childrens.com/cardiology/diagnoses/atrial_septal_defect.cfm. Last updated

2006. Cited at September 4th 2007.

33 Latiff HA, Alwi M, Samion H, Kandavello G. Transcatheter closure of the defects


within the oval fossa using the Amplatzer septal occluder. Cardiol Young 2002;
12:224-8.

34 Defek Septum Atrium dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.

2004; h:133-4.

35 Allen HD, et al. Pediatric Therapeutic Cardiac Catheterization. AHA Scienticic

Treatment. Circulation. 1998;97:609-625.

36 Harper RW, Mottram PM, McGaw DJ. Closure of secundum Atrial Septal Defects
With the Amplatzer Septal Occluder Device : Techniques and Problems.
Catheterization and Cardiovascular Interventions 57:508-24 (2002).
37 Swan L,Gatzoulis MA.Closure of atrial septal defects: is the debate overEur Heart

J 2003;24:130-2.

38 Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Long-
term outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 27-
32 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50.

39 Shah D, Azhar M, Oakley CM, Cleland JG, Nihoyannopoulus P. Natural history of


secundum atrial septal defect in adults after medical or surgical treatment: a
historical prospective study. Br Heart J 1994;71:224-7.
40 Konstantinides S, Geibel A, Olschewski M, Gornandt L, Roskamm H, Spillner G
et al. A comparison of surgical and medical therapy for atrial septal defect in
adults. N Engl J Med 1995;333:469-73.
41 Jemielity M, Dyszkiewicz W, Paluszkiewicz, Perek B, Buczkowski P, Ponizynski
A. Do patients over 40 years of age benefit from surgical closure of atrial septal
defects? Heart 2001;85:300-3.
42 Harimurti GM, Rahajoe AU, Roebiono P, and Sakidjan I. Closing secundum atrial
septal defect with Amplatzer septal occlude: Six years experience at the National
th
Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17
ASEAN Congress of Cardiology, Hanoi, Vietnam.ASEAN Heart Journal 2008;17,
Suppl: p74-5.
43 Chan KC, Godman MJ, Walsh K, Wilson N, et al. Transcatheter closure of atrial
septal defect and interatrial communications with a new self expanding nitinol
double disc device ( Amplatzer septal occluder ) : multicentre UK experience.
Heart 1999;82: 300-6.
44 Vida VL, Barnoya J, O?fConnel M, Leon-Wyss J, Larrazabal LA, Castaneda AR.

Surgical versus percutaneous occlusion of ostium secundum atrial septal


defects: results and cost-effective considerations in a low-income country. J Am
Coll Cardiol 2006;47:326-31.
45 Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan
medik rs jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita 2003.
46 Ebeid MR. Interventional Pediatric Cardiology : Percutaneous Catheter Closure of
Secundum Atrial Septal Defects: A Review. The Journal of Invasive Cardiology.
Volume 14 Issue 1 (January) January 2002 Pages: 25 31.
47 Cardoso CO, Filho RIR, Machado PR, Francois LMG, Horowitz ESK, Leite RS.

Effectiveness of the Amplatzer device for Transcatheter Closure of an Ostium


secundum Atrial Septal Defect. Arq Bras Cardiol 2007; 88(4) : 338-42.
48 Fischer G, Kramer HH, Stieh J, Harding P, Jung O. Transcatheter closure of
secundum atrial septal defects with the new self-centering Amplatzer Septal
Occluder. European Heart Journal (1999) 20, 541 9.
49 Chessa M, Carminati M, Butera G, Bini RM, Drago M, Rosti L, et al. Early and
late complications associated with transcatheter occlusion of secundum atrial
septal defect. J Am Coll Cardiol, 2002; 39:1061-5.
50 Swan L, Gatzoulis MA. Closure of atrial septal defects: is the debate over?

European Heart Journal (2003) 24, 130-2.


51 Hughes ML, Maskell G, Goh TH and Wilkinson JL. Prospective comparison of
costs and short term health outcomes of surgical versus device closure of atrial
septal defect in children. Heart 2002;88:67-70.
52 Thomson JDR, Aburawi EH, Watterson KG, Doorn CV, Gibbs JL. Surgical and
transcatheter (Amplatzer) closure of atrial septal defects: a prospective
comparison of result and cost. Heart 2002;87:466-9.
53 Ventricular septal defect. MedlinePlus Medical Encyclopedia. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/18095.htm tanggal 10
Agustus 2007.

54 Lewis DA, Loffredo CA, Corre-Villasenor A, Wilson PD, Martin GR. Descriptive
epidemiology of membranous and muscular ventricular septal defects I the
Baltimore-Washington infant study. Cardiol Young 1996;6:281-90.
55 Roguin N, Du ZD, Barak M, Nasser N, Hershkowitz S, Milgram E. High
prevalence of muscular ventricular septal defects in neonates. J Am Coll Cardiol
1995 15;26:1545-8.

56 Shirali GS, Smith EO, Geva T. Quantiation of echocardiographic predictors of


outcome in infant with isolated ventricular septal defect. Am Heart J
1995;130:1228-35.

57 Kirklin JW, Barrat-Boyes BG, eds. Cardiac Surgery.2nd ed. New York, NY :
Churchill Livingstone, 1993:749-824.
58 Rome JJ, Keane JF, Perry SB, Spevak PJ, Lock JE. Double-umbrella closure of
atrial septal defects: initial clinical applications. Circulation 1990;82:751-8.
59 Rao PS, Berger F, Rey C, Haddad J, Meier B, Walsh KP, Chandar JS, Lloyd TR,
de Lezo JS, Zamora R, Sideris EB. Results of transvenous occlusion of
secundum atrial septal defects with the fourth generation buttoned device:
comparison with first, second and third generation devices. International Buttoned
Device Trial Group. J Am Coll Cardiol 2000;36(2):583-92.
60 Masura J, Gavora P, Formanek A, Hijazi ZM. Transcatheter closure of secundum
atrial septal defects using the new self-centering Amplatzer septal occluder: initial
human experience. Cathet Cardiovasc Diagn 1997;42:388-93.
61 Windecker S, Wahl A, Chatterjee T, Garachemani A, Eberli RF, Seiler C, Meier B.

Percutaneous Closure of patent foramen ovale in patients with paradoxical


embolism: long-term risk of recurrent thromboembolic events. Circulation
2000;101(8):893-8.

62 Bridges ND, Lock JE, Castaneda AR. Baffle fenestration with subsequent
transcatheter closure. Circulation 1990;82:1681-5.
63 Lock JE, Block PC, McKay RG, Baim DS, Keane JF. Transcatheter closure of
ventricular septal defects. Circulation 1988;78:361-8.
64 Bridges ND, Perry SB, Keane JE, et al. Preoperative transcatheter closure of
congenital muscular ventricular septal defects. N Engl J Med 1991;324:1312-7.
65 O'Laughlin MP, Mullins CE. Transcatheter occlusion of ventricular septal defect.

Cathet Cardiovasc Diagn 1989;17:175-9.

66 Preminger TJ, Sanders SP, van der Velde ME, Castaneda AR, Lock JE.
"Intramural" residual interventricular defects after repair of conotruncal
malformations. Circulation 1994;89(1):236-42.
67 van der Velde ME, Sanders SP, Keane JF, Perry SB, Lock JE. Transesophageal
echocardiographic guidance of transcatheter ventricular septal defect closure. J
Am Coll Cardiol 1994;23:1660-5.
68 Rigby ML, Redington AN. Primary transcatheter umbrella closure of
perimembranous ventricular septal defect. Br Heart J 1995;73(6):585-6.
69 Vogel M, Rigby ML, Shore D. Perforation of the right aortic valve cusp:
complication of ventricular septal defect closure with a modified Rashkind
umbrella. Pediatr Cardiol 1996;17(6):416-8.
70 Du ZD, Hijazi ZM. Transcatheter Closure of Ventricular Septal Defect. Diunduh
dari : http://www.bcbsnc.com/services/medical-policy/pdf/ . tanggal : 1 September
2007.

71 Amin Z, Berry JM, Foker JE, et al. Intraoperative closure of muscular ventricular
septal defect in a canine model and applicability of the technique in a baby. J
Thorac Cardiovasc Surg 1998; 115: 1374-6.
72 Janorkar S, Goh T, Wilkinson J. Transcatheter closure of ventricular septal
defects using the Rashkind device: initial experience. Catheter Cardiovasc Interv
1999;46:43-8.

73 Rodes J, Piechaud JF, Ouaknine R, Hulin S, Cohen L, Magnier S, Lecompte Y,


Lefevre T. Transcatheter closure of apical ventricular muscular septal defect
combined with arterial switch operation in a newborn infant. Catheter Cardiovasc
Interv 2000;49:173-6.
74 Hijazi ZM, Hakim F, Al-Fadley F, et al. Transcatheter closure of single muscular
ventricular septal defects using the Amplatzer Muscular VSD Occluder: Initial
results and technical considerations. Cathet Cardiovasc Interv 2000;49:167-172.
75 Latiff HA, Alwi M, Kandhavel G, et al. Transcatheter closure of multiple muscular
ventricular septal defects using Gianturco coils. Ann Thorac Surg 1999; 68: 1400-
1.
76 Defek Septum Ventrikel dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi

I. 2004; h:132.

77 Hijazi ZM. Catheter Closure of Atrial Septal and Ventricular Septal defects Using
The Amplatzer Devices. Heart, Lung and Circulation 2003; 12. pS63-
S72(supplement).
78 AGA Medical Corporation. Implanting the Membranous VSD Occluder. 2007.

Anda mungkin juga menyukai