PENDAHULUAN
terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin jantung-paru, waktu
penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di rumah sakit menjadi lebih
singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas
operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-paru untuk bedah jantung terbuka
berisiko menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak di kemudian hari. Di
samping itu, mengingat sumber daya dan fasilitas bedah jantung yang masih
terbatas di negara berkembang, seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa
operasi menjadi pilihan utama. Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa
penanganan PJB tanpa bedah cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi
alternatif terapi dengan keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.
Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus
PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai,
merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan
ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan
kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46
senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di
8
Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
Prosedur intervensi dan kateterisasi pediatrik dilakukan oleh dokter ahli yang
mempunyai kompetensi melalui pelatihan khusus mengacu pada modul yang
disusun dan disahkan oleh kolegium terkait.
Permasalahan lain adalah masalah biaya yaitu prosedur intervensi non-
bedah yang masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan operasi. Namun
pada pembedahan, biaya tersebut belum mengikutsertakan biaya tidak langsung
akibat masa rawat pasca-operasi yang lebih panjang, terganggunya aktivitas
8
orangtua ditambah dengan efek psikologis pasien dan keluarganya.
1.3 Tujuan
tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar
jantung. Pada PJB kompleks dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke
bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti
sama sekali pada pembuntuan total (atresia).
A. Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal.
Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini ditandai oleh: sesak, batuk,
kadang-kadang dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus
yang bertekanan tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara
lain pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic valvuloplasty =
BAV) melalui kateterisasi.
C. Atresia Katup Pulmonal.
Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada
aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila
duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah dari aorta ke
pembuluh darah paru). Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu
pertama kehidupan bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal.
Untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat
prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus
segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup pulmonal baik
secara bedah maupun non-bedah dengan membuat lubang (perforasi) pada
katup yang buntu tersebut yang dilanjutkan melebarkan lubang yang
terbentuk dengan kateter balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan
DSV harus dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara
arteri subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur Ballock-
Taussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka dengan
memasang stent di DAP.
D. Koarktasio Aorta.
2) Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau bilik jantung
(septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi
lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi
kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran
darah ke paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang di
sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat bilik). Pirau ini juga
bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh
pulmonal tetap terbuka (DAP= duktus arteriosus persisten). Karena darah
mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan
pasien tidak biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada
jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan gagal jantung
kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri adalah: debaran jantung
kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan
terganggu, sering menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam
kondisi seperti tersebut di atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi
beban volume pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan
obat vasodilator (pelebar pembuluh darah).
A. Defek septum atrium (DSA)
Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah , yakni
memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh
darah vena di lipat paha. Alat penyumbat tersebut antara lain adalah
Amplatzer Septal Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA
sekundum, DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani
dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.
B. Defek Septum Ventrikel (DSV)
Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular, defek dapat
ditutup dengan tindakan non-bedah dengan memasang alat penyumbat
antara lain Amplatzer Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang
dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun
pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap diperlukan
pembedahan.
C. Duktus arteriosus persisten (DAP)
3) Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi
tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh
darah pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri
besar (TGA = transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi
darah yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini
diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang mana akan
diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang tidak disertai DSV saat
usia neonatus perlu diberikan obat prostaglandin E-1 untuk mempertahankan
duktus arteriosus tetap terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan
harus segera diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara
non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial septostomy (BAS).
1989 berupa pelebaran katup mitral dengan balon yang dilakukan di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita Jakarta. Tahun 1998 teknik penutupan DAP dengan coil telah
mulai dilakukan di RS Jantung Harapan Kita yang selanjutnya pada tahun 2002
untuk DAP yang besar ditutup dengan alat ADO dan DSA dengan alat ASO.
Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Jakarta mulai melaksanakan teknik ini
pada awal tahun 2002, diikuti oleh RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dan RS M Hoesin Palembang. Dengan adanya Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) 2 Kardiologi Anak FKUI/RSCM di Jakarta yang telah
diakreditasi oleh Kolegium IDAI Indonesia, perkembangan bidang intervensi ini dapat
dikatakan cukup cepat dan menggembirakan. Intervensi non bedah untuk menutup
DSV dimulai pertama kali di PJT RSCM pada tahun 2004 disupervisi oleh
intervensionist dari Institut Jantung Negara, Malaysia. Sejak itu, 15 kasus DSV pada
anak berhasil ditutup di senter ini, 3 kasus DSV di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, dan 1 kasus di RS Husada Utama, Surabaya. Prosedur-prosedur intervensi
non-bedah ini cukup memberikan harapan bagi masa depan anak-anak di Indonesia
penyandang PJB khususnya DAP, DSA dan DSV.
Prosedur ini merupakan tindakan membuka atau melebarkan katup atau pembuluh
darah, seperti pada:
Balloon atrial septostomy
2.2.2 Oklusi
Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh darah,
seperti pada:
Defek septum atrium
DSA Sekundum
Kateterisasi
Hiperoksia
Berhasil
FR 2 Gagal
FR < 2
Reaktif Non-
Berat 10 kg reaktif
Operasi
Konservatif
Sampai 5 tahun yang lalu, semua DSA hanya dapat ditangani dengan
operasi/ bedah jantung terbuka. Operasi penutupan DSA, baik dengan jahitan
langsung ataupun tidak langsung menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40
tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat,
menyusul ditemukannya mesin pintasan jantung-paru (cardio-pulmonary bypass)
37
setahun sebelumnya. Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang
tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang baik, dengan risiko minimal (angka
kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan
survival (ketahanan hidup) pasca-operasi mencapai 98% dalam pemantauan 27
tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang
dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka angka ketahanan hidupnya
akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti
38,39,40,41
peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. Namun demikian, tindakan
operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang
cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif
kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan
untuk menemukan alternatif baru penutupan DSA dengan tindakan intervensi non-
bedah (tanpa operasi), dalam hal ini, alat yang pernah diteliti antara lain Straflex
device, Helex device dan yang terakhir Amplatzer septal occluder. Beberapa alat
tersebut sebelumnya telah menjalani percobaan klinis, di bawah ini akan dibahas
satu per satu berdasarkan urutan alfabet seperti di bawah ini.
Amplatzer septal occluder (ASO).
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang sendiri (self
expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075 inci yang
teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di
dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat
merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan
akan tertutup sempurna. Diameter pusat lempeng berkisar dari 4-40 mm dengan
tebal 1-2 mm. Lempeng atrium kanan dan kiri adalah 12-16 mm dan lebih besar 8-
10 mm dari pusat lempeng. Tergantung pada ASO yang akan digunakan, ASO
dimasukkan ke dalam delivery sheath yang berukuran 6-12 French dengan
menggunakan delivery cable yang terhubung ke pusat lempeng atrium kanan ASO
dengan sistem mur mikro. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan
Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Di
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama periode September 2002
September 2008 telah dilakukan pemasangan ASO pada 177 pasien DSA, terdiri
dari 46 pasien laki-laki dan 131 perempuan, usia antara 2 59 tahun. Implantasi
ASO berhasil dilakukan pada 154 (87%) pasien. Komplikasi embolisasi terjadi pada
7 (6%) pasien, 3 di antaranya berhasil dikeluarkan dengan kateter pengait
sedangkan sisanya diambil saat dilakukan operasi penutupan DSA. Tidak
42
ditemukan kematian pada prosedur ini. Di PJT RSCM sejak tahun 2002, telah
dilakukan penutupan DSA pada 76 kasus. Pasien terdiri dari 53 perempuan dan
23 laki-laki dengan berat badan berkisar antara 8 sampai 75 kg, dengan rata-rata
20 kg. Angka kematian juga dilaporkan nol. Tindakan ini juga sudah dilakukan di
Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu bentuk PJB yang paling
sering ditemukan ditandai adanya defek atau lubang pada sekat/dinding yang
memisahkan ventrikel kiri dan kanan.
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Hasil pembedahan DSV
tipe muskular apikal biasanya kurang optimal karena kesulitan dalam melihat lokasi
dan besar defek, di samping juga memberikan gejala sisa, dan disfungsi ventrikel kiri.
Porstmann dkk. melaporkan penutupan transkateter yang pertama dilakukan
pada DAP tahun 1967, berbagai macam teknik intervensi telah dilakukan untuk
menutup defek intra-kardiak seperti DSA, foramen ovale persisten, fenestrated
62
fontan , dan defek lain yang berhasil ditutup. DSV merupakan salah satu defek
yang dapat ditutup dengan sebuah alat sejak 10 tahun yang lalu, namun
penggunaannya secara luas terbatas dari alat penutup DSV sebelumnya, karena
beberapa sebab yang di antaranya adalah penggunaan kateter delivery yang
berdiameter besar, ketidakmampuan mereposisi dan tingginya rasio residual shunt.
Hal ini disebabkan alat tersebut belum benar-benar dibuat untuk menutup
DSV.
Pada saat ini, dengan adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan
yang lebih baik, penutupan pada DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin
membaik.
Gambar 19. Alat yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A, Rashkind
70
Double Umbrella; B, Sideris Bottoned Device; C dan D, Clamshell Device.
Berdasarkan data yang tersedia, lebih dari 150 pasien dengan DSV dilakukan
penutupan transkateter dengan menggunakan Rashkind double umbrella, The Bard
clamshell,The Button device, The Amplatzer septal occluder, Amplatzer duct
occluder or Amplatzer muscular VSD Occluder atau The Gianturco coils.
DSV sering ditemukan sebagai defek tersendiri (20%) atau dapat merupakan
bagian dari PJB kompleks; seperti tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. DSV
merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada kelainan kromosom. Gangguan
hemodinamik yang terjadi pada DSV disebabkan akibat pirau kiri ke kanan melalui
defek (lubang) pada sekat/dinding ventrikel.
Secara anatomis DSV diklasifikasikan sesuai dengan letak defeknya, yaitu :
1) DSV perimembran, 2) muskular dan 3) sub-arterial doubly committed.
24
Gambar 20. Defek Septum Ventrikel.
Langkah Diagnostik
A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala
(asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung
(murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2
normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum
maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan
takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan
sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi
interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat.
Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas
keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering
ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal
jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien
tampak sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering
mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah
dan tidak terlokalisasi.
76
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya
pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar
dapat ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi
pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.
Medikamentosa
Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung serta
retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa, dilakukan
operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru.
Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah ataupun
bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2.
Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus dilakukan
kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru dan responsnya
terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV cara bedah ataupun
non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru dibawah 7 Wood Unit.
Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah diberikan
oksigen 100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan penutupan DSV
tidak dianjurkan lagi.
DSV
Reaktif Non-
reaktif
Evaluasi dalam
6 bulan
Konservatif
76
Algoritma tata laksana Defek Septum Ventrikel
Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder AVO)
terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang
digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD
Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak
defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya
asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan
pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh
yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium.
Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan
kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk
aslinya saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya.
Ukuran alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4
mm 16 mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga
40 mm). Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron
dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan
pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda
dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve
dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO
bertujuan untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena
sisi apeks yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada
77
dalam ventrikel kiri.
Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A,
Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD
occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric Amplatzer
VSD occluders.
78
Teknik Pemasangan Alat
Prosedur ini penting untuk menentukan ukuran DSV. Ukuran DSV ditentukan pada 2
diameter atau aksis. Diameter ini diukur dengan ekokardiografi 2-dimensi, bukan dari
lebar Doppler berwarna. Pada pandangan parasternal sumbu panjang diukur minor
axis = a, dan pada pandangan parasternal sumbu pendek diukur major axis = b.
Ukuran AVO yang akan digunakan yaitu akar dari a dikali b.
4. Evaluasi bagian jantung seperti otot papilaris dan korda tendinea dari katup
mitral
5. Periksa adanya regurgitasi pada katup atrioventrikular
guide
Gambar 22
2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan
menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis
atau masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter
JR masuk ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti
dengan soft J tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di
dorong ke atrium kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke
arteri pulmonal (Gambar 23).
Gambar 23
3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah di-
Gambar 24
Gambar 25
8. Tarik dilator sampai sedikit di bawah ujung delivery sheath.
Gambar 26
11. Tarik Amplatzer noodlewire keluar melalui vena atau arteri femoralis
Penempatan alat
4. Putar AVO ke kiri agar marker pengunci pada AVO masuk ke dalam
marker yang ada pada pusher catheter.
5. Pasang plastic versa, tarik kabel kuat-kuat, lalu plastic versa dikunci.
NaCl 0,9%.
11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya
diarahkan ke apeks ventrikel kiri
12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa
atau insufisiensi katup
13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan
mengevaluasi pintasan
14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa
sentimeter, lalu kunci kembali
15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter.
16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan
arah dengan jarum jam
17. Ulangi angiografi ventrikel kiri
78
Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder (AMVO) untuk DSV tipe muskular
Tahap-tahapnya :
1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk
dengan cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan
pemasangan sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi
hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup
aorta diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan
sama baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta
dan DSV masuk ke ventrikel kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).
Gambar 28
5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare
dimasukkan untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena
femoralis kanan. Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access
wire (Gambar 29).
Gambar 29
Gambar 30
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat
dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan
kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih
besar atau kecil.
Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama
penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzer
muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung
menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook Sheath dari
vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah exchange guide wire
menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena jugularis keluar menuju arteri
femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar alat tersebut (panah) keluar dari bagian
distal selubung selama menarik alat dari vena jugularis.
LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri selama posisi
LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan dari
kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan tidak ada
residual shunt.
Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV tipe mid-
muskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun, dengan berat badan 40 kg
(DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan untuk memperbaiki hypertrophic
cardiomyopathy diikuti dengan Operasi Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan
tekanan sistolik A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk
melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna kanan. C, gambar
Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang dikeluarkan dari kateternya (selubung),
dimana kateter delivery masih di posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah
lempeng ventrikel kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan
lempeng ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat alat
sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan dari kateternya
(panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit setelah alat pada posisinya dan
minimal foaming hilang setelah beberapa hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi
38 mmHg.
Isu ke-2 yaitu mengenai rekomendasi FDA. Hingga saat ini, FDA belum
mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan penutupan DSV perimembran dengan
AVO. Namun demikian bukti-bukti dari data yang berasal dari beberapa negara di
Eropa, Australia dan Asia sudah cukup menyatakan bahwa penutupan DSV
perimembran dengan AMVO cukup aman. Rekomendasi FDA sebenarnya tidak bisa
dipakai sebagai tolok ukur untuk memulai suatu prosedur baru, karena sistem yang
digunakan FDA berlaku mundur. Penggunaan sistem baru, termasuk AVO yang
sebenarnya adalah produksi Amerika sendiri belum boleh digunakan di sana, tapi di
negara lain di luar Amerika mereka pakai. Nanti setelah data keamanannya dinilai
cukup, baru keluar rekomendasi dari FDA. Hal ini terjadi pada pemakaian ADO pada
DAP dan ASO pada DSA hingga akhirnya rekomendasi FDA keluar. Pada
pertemuan terakhir bulan Mei 2008 di Jeju, Korea, tindakan penutupan DSV dengan
AVO masih tetap boleh dikerjakan sambil memantau kemungkinan adanya efek
samping, termasuk blok AV komplit.
BAB IV
DISKUSI
Seperti penutupan DAP trans kateter, penutupan DSA cara non-bedah ini
lebih efektif, aman dan menguntungkan bagi pasien. Kendalanya di Indonesia adalah
biaya tindakan penutupan DSA secara non-bedah dengan pemasangan ASO yang
lebih mahal dibandingkan dengan prosedur bedah.
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Pada saat ini, dengan
adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan yang lebih baik, penutupan pada
DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin membaik.
Diagnosis pada DSV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis pada DSV juga bergantung pada
ukuran defek. Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi yang
relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan karena posisi
DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting
di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat
rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang
ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok AV komplit. Sebenarnya
kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir
sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, AV blok komplit pasca-penutupan DSV
secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga
dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya,
AV blok komplit pasca-penutupan DSV dengan transkateter, terjadi lambat setelah
pasien dipulangkan. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa,
Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan transkateter
cukup aman.
Tindakan penutupan DSV secara non-bedah dengan pemasangan AVO di
Indonesia belum banyak dilakukan. Selain karena prosedurnya yang cukup sulit juga
biaya yang cukup tinggi hampir 2 kali biaya secara bedah.
BAB V ANALISIS
BIAYA
Faktor prosedur :
residual shunts.
Terdapat perbedaan biaya antara beberapa senter, baik untuk tindakan intervensi
non-bedah ataupun bedah. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan biaya antara
RSCM dan RS Jantung Harapan Kita.
Dokter Anak Indonesia: Untuk Mereka Kita Bekerja. Balai Penerbit IDAI; 2005. h.
105-8.
Chapter 273. Oskis Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott
26 Boehm W, Emmel M, Sreeram N. The Amplatzer duct occluder for DAP closure :
indications, technique of implantation and clinical outcome. Images Paediatr
Cardiol 2007;31: 16 26.
27 The Amplatzer duct occluder for DAP closure: indications, technique of
implantation and clinical outcome. Available at :
www.impaedcard.com/issue/issue31/boehmw/boehmw.htm. Last updated 2007.
th
Cited at August 6 2007.
28 How Your Doctor Will Implant the Duct Occluder. Available at :
www.amplatzer.com/products/DAP_devices/implanting_duct_occluder.html. Last
th
updated 2007. Cited at August 5 2007.
29 Jang GY, Son CS, Lee JY, Kim SJ. Complication after Transcatheter Closure of
34 Defek Septum Atrium dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.
2004; h:133-4.
36 Harper RW, Mottram PM, McGaw DJ. Closure of secundum Atrial Septal Defects
With the Amplatzer Septal Occluder Device : Techniques and Problems.
Catheterization and Cardiovascular Interventions 57:508-24 (2002).
37 Swan L,Gatzoulis MA.Closure of atrial septal defects: is the debate overEur Heart
J 2003;24:130-2.
38 Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Long-
term outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 27-
32 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50.
54 Lewis DA, Loffredo CA, Corre-Villasenor A, Wilson PD, Martin GR. Descriptive
epidemiology of membranous and muscular ventricular septal defects I the
Baltimore-Washington infant study. Cardiol Young 1996;6:281-90.
55 Roguin N, Du ZD, Barak M, Nasser N, Hershkowitz S, Milgram E. High
prevalence of muscular ventricular septal defects in neonates. J Am Coll Cardiol
1995 15;26:1545-8.
57 Kirklin JW, Barrat-Boyes BG, eds. Cardiac Surgery.2nd ed. New York, NY :
Churchill Livingstone, 1993:749-824.
58 Rome JJ, Keane JF, Perry SB, Spevak PJ, Lock JE. Double-umbrella closure of
atrial septal defects: initial clinical applications. Circulation 1990;82:751-8.
59 Rao PS, Berger F, Rey C, Haddad J, Meier B, Walsh KP, Chandar JS, Lloyd TR,
de Lezo JS, Zamora R, Sideris EB. Results of transvenous occlusion of
secundum atrial septal defects with the fourth generation buttoned device:
comparison with first, second and third generation devices. International Buttoned
Device Trial Group. J Am Coll Cardiol 2000;36(2):583-92.
60 Masura J, Gavora P, Formanek A, Hijazi ZM. Transcatheter closure of secundum
atrial septal defects using the new self-centering Amplatzer septal occluder: initial
human experience. Cathet Cardiovasc Diagn 1997;42:388-93.
61 Windecker S, Wahl A, Chatterjee T, Garachemani A, Eberli RF, Seiler C, Meier B.
62 Bridges ND, Lock JE, Castaneda AR. Baffle fenestration with subsequent
transcatheter closure. Circulation 1990;82:1681-5.
63 Lock JE, Block PC, McKay RG, Baim DS, Keane JF. Transcatheter closure of
ventricular septal defects. Circulation 1988;78:361-8.
64 Bridges ND, Perry SB, Keane JE, et al. Preoperative transcatheter closure of
congenital muscular ventricular septal defects. N Engl J Med 1991;324:1312-7.
65 O'Laughlin MP, Mullins CE. Transcatheter occlusion of ventricular septal defect.
66 Preminger TJ, Sanders SP, van der Velde ME, Castaneda AR, Lock JE.
"Intramural" residual interventricular defects after repair of conotruncal
malformations. Circulation 1994;89(1):236-42.
67 van der Velde ME, Sanders SP, Keane JF, Perry SB, Lock JE. Transesophageal
echocardiographic guidance of transcatheter ventricular septal defect closure. J
Am Coll Cardiol 1994;23:1660-5.
68 Rigby ML, Redington AN. Primary transcatheter umbrella closure of
perimembranous ventricular septal defect. Br Heart J 1995;73(6):585-6.
69 Vogel M, Rigby ML, Shore D. Perforation of the right aortic valve cusp:
complication of ventricular septal defect closure with a modified Rashkind
umbrella. Pediatr Cardiol 1996;17(6):416-8.
70 Du ZD, Hijazi ZM. Transcatheter Closure of Ventricular Septal Defect. Diunduh
dari : http://www.bcbsnc.com/services/medical-policy/pdf/ . tanggal : 1 September
2007.
71 Amin Z, Berry JM, Foker JE, et al. Intraoperative closure of muscular ventricular
septal defect in a canine model and applicability of the technique in a baby. J
Thorac Cardiovasc Surg 1998; 115: 1374-6.
72 Janorkar S, Goh T, Wilkinson J. Transcatheter closure of ventricular septal
defects using the Rashkind device: initial experience. Catheter Cardiovasc Interv
1999;46:43-8.
I. 2004; h:132.
77 Hijazi ZM. Catheter Closure of Atrial Septal and Ventricular Septal defects Using
The Amplatzer Devices. Heart, Lung and Circulation 2003; 12. pS63-
S72(supplement).
78 AGA Medical Corporation. Implanting the Membranous VSD Occluder. 2007.