SKENARIO A BLOK 28
Dokter Thamrin, dokter di RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar
100 meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah.
Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
Dokter Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan
membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat kejadian, terlihat sang sopir,
laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan
nyeri paha kiri.
Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:
- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitas bernapas
- Tanda vital: laju respirasi: 40x/menit, nadi: 110x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan
- Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
- GCS: 13 (E: 3, M: 6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang sopir
ke UGD, setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke
RSMH.
Data pemeriksaan fisik:
Kepala
Inspeksi: Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm.
Pemeriksaan lain dbn.
Leher : trakea bergeser kekiri, vena jugularis distensi
Thorax
Inspeksi : Gerakan dada asimetris, kanan tertinggal frekuensi 40x/menit. Tampak memar di
sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. JVP distensi. Trakea bergeser ke
kiri.
Auskultasi : Suara napas kanan melemah. bising napas kiri terdengar jelas. Bunyi jantung
terdengar jelas cepat frekuensi 110 x/menit.
Palpasi : Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping (lokasi memar).
Krepitasi pada costae 9-11 kanan depan.
Perkusi : Hipersonor di dada kanan, sonor di dada kiri.
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar.
Auskultasi : Bising usus normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-).
Ekstremitas
Inspeksi : Deformitas, lebam/memar, hematom pada paha tengah kiri.
2
I. Klarifikasi Istilah
1. Trauma:semua jenis kekerasan yang menimpa tubuh sehingga terjadi kerusakan
atau gangguan pada struktur dan fungsi jaringan atau organ yang terkena.
2. Merintih: mengeluh atau mengesah karena kesakitan dan sebagainya.
3. Sesak (dyspnea): kondisi dimana dibutuhkan usaha berlebih untuk bernafas dan
aktivitas bernafas menjadi aktivitas sadar.
4. Tergeletak: terlentang, terkapar, terletak begitu saja.
5. Nyeri: suatu sensasi subjektif yang merupakan suatu tanda sedang atau telah
terjadinya kerusakan jaringan.
6. Deformitas: kelainan bentuk.
7. GCS (Glasgow Coma Scale): skala yang dipakai untuk menentukan atau menilai
tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan umum.
1.2. Bagaimana tindakan awal yang dapat dilakukan pada kasus kecelakaan lalu
lintas?
a. Peralatan yang dibutuhkan
1. Pembalut biasa
2. Kasa steril, plester/perban, kapas
3. Tourniquet, alat suntik
4. Alat-alat bedah sederhana (minor surgical set)
5. Tandu, bidai
b. Prinsip tatalaksana awal
1. Penilaian keadaan umum pasien
2. Primary survey (ABCDE)
A : AIRWAY.
Jika pasien sadar: dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi
airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar: 1) Look: ada sumbatan airway atau
tidak; 2) Listen: suara-suara nafas; 3) Feel: hembusan nafas pasien.
Untuk mengetahui dan menilai pasien sadar atau tidak, kita menilai dengan
mengajak bicara pasien. Jika pasien dapat menjawab dengan baik maka dapat
dinilai kesadaran pasien dan tidak adanya sumbatan pada jalur pernapasan
pasien.
6
Penghisap / suction
3) Sumbatan di plica vocalis
Cricothiroidotomy
Nilai jalan nafas pada kasus: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut, dada. Bersihkan
jalan nafas jika ada darah. Pada kasus ini, tidak ada gangguan airway
B : BREATHING.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi: fungsi paru baik, dinding dada dan diafragma. Nilai frekuensi
pernafasannya, lihat ada sesak atau tidak, lihat ada trauma di thorax atau tidak,
tanda-tanda sianosis juga harus diperhatikan.
Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
Penderita tampak nyaman
Frekuensi cukup
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
Gerakan dada kurang baik
Ada suara nafas tambahan
Sianosis
Frekuensi kurang atau lebih
Perubahan status mental (gelisah)
Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
Tidak ada gerakan dada atau perut
Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar
maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada
pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan
pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan
perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh
pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.
Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di
daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.
Jika terdapat henti napas :
Hal yang dapat dilakukan antara lain resusitasi paru, bisa dilakukan melalui :
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).
Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :
a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
8
b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.
c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask
inilah pilihan utama pada pasien sianosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.
Catatan : pada pasien pneumotoroaks perhatikan adanya keadaan pergesaran
mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena
jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung
Penanganan breathing pada kasus: nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher
dan dada, observasi perubahan pola pernapasan: tentukan laju dan dalam
pernafasan, dan look, listen, feel (diketahui tanda-tanda pneumothoraks)
dekompresi segera dan penanganan awal dengan insersi jarum yang berukuran
besar (needle thoraco syntesis) pada ICS 2 di linea midclavicula. Pada kasus
ini, adanya tanda pneumothoraks sehingga perlu dilakukan needle
compression di ICS 2 linea midclavicula.
C : CIRCULATION.
Setelah melakukan penangan pada sistem pernapasan, sistem sirkulasi dapat
segera dinilai dengan cara :
- Memeriksa denyut nadi (radialis atau karotis). Pada orang dewasa dan
anak-anak, denyut nadi diraba pada arteri radialis dan arteri carotis (medial
dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut
nadi adalah pada a. Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas.
Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit.
Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100
kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit
yang terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit
sedangkan pada anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila
ditemukan bradikardi merupakan tanda diagnostik yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan
- Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian
terhadap adanya masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi
oksigen ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
9
Penanganan pada kasus: nilai TD, nadi, warna kulit, dan sumber perdarahan.
Bersihkan dan tutup luka dengan perban
D : Dissability.
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara
terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk
melakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem AVPU pada
keadaan ini lebih jelas dan cepat:
1) Awake (A)
2) Verbal response (V)
3) Painful response (P)
4) Unresponsive (U)
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status
neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan
pupil serta kecepatannya.
Nilai GCS pasien pada kasus: 13 cedera otak sedang.
E: Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka/trauma lain secara
generalis tetapi jaga agar pasien tidak hipotermia.
Berdasarkan pengamatan klinis pada kasus diduga:
Fraktur femur: Pasang bidai, apabila tidak ada bebat anggota gerak yang
sakit ke anggota gerak yang sehat
Fraktur costa: diberi analgesik dosis rendah IV agar tidak nyeri sehingga
mempermudah pernafasan
Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru
serta pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang
mudah bergerak dan meluas ke atas sampai apertura thoracis inferior dan
pangkal leher, dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke
depan sampai sternum dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis.
Mediastinum berisi sisa thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar,
trachea dan esofagus, ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan
nervus phrenicus, dan truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum
inferius. Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri
besar, trachea, esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus.
Mediastinum inferius dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi
pericardium dan jantung, mediastinum anterius yang merupakan ruang antara
pericardium dan sternum, dan mediastinum posterius yang terletak dia antara
pericardium dan columna vetebralis.
12
Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis
dan di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus
abdominis, musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus
abdominis serta fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis
melanjutkan diri menjadi cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.
Struktur Umum Viscera Abdomen
Abdomen dapat dibagi menjadi empat kompartemen anatomis, yaitu
(Williams, 2013): Regio thorax, regio peritoneum, regio retroperitoneum, dan
regio pelvis. regio thorax berisi diafragma, hati, limfa, dan lambung. Regio
peritoneum disebut juga true abdomen yang berisis lambung, usus halus dan
usus besar, omentum, rahim, dan terkadangan puncak dari vesika urinaria.
Regio retroperitoneum mencakup pembuluh-pembuluh darah besar, ginjal,
kolon, uterus, pankreas, dan duodenum. Regio pelvis dibentuk oleh
sambungan tulang-tulang pelvis.
13
ganti secara tidak langsung akan menimbulkan inflasi dan deflasi periodik
paru dengan cara berkala mengembang kempiskan rongga thorak, dan paru
secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi aktif dari m. diafragma dan m.
intercostalis externus meningkatkan volume rongga thorak, sehingga
menyebabkan tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat mulainya
inspirasi, menurun sekitar -6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih
diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada
akhirnya udara mengalir ke dalam paru.
Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi saluran
pernapasan. Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang
bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat
rendah, dan laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien tekanan yang
tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi pernapasan meningkat
secara patologis akibat dari penyakit paru obstruktif kronik, gradien tekanan
harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju
aliran udara konstan.
Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus
berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat
rongga dada, menyebabkan tekanan intrapleura berkurang sampai -30 mmHg,
dan menyebabkan derajat inflasi paru yang lebih besar.
Sistem sirkulasi tubuh secara garis besar dibedakan menjadi sirkulasi
darah besar dan kecil. Darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior
dan inferior akan masuk ke atrium kanan untuk selanjutnya dipompakan
melewati katup bicuspidalis ke ventrikel kanan. Setelah itu, melalui arteri
pulmonalis darah ini akan dialirkan menuju paru-paru. Terjadi pertukaran
antara oksigen dari atmosfer dengan CO2 dari darah yang dialirkan
sebelumnya. Difusi oksigen masuk ke dalam sel. Sel-sel darah yang membawa
oksigen bersamanya akan menuju jantung kembali melalui vena pulmonalis.
Sampai di atrium kiri, darah kembali dipompakan melewati katup trikuspidalis
ke ventrikel kiri. Darah yang berada di ventrikel kiri dipompakan ke seluruh
tubuh melalui aorta. Dari aorta darah menuju arteri lalu ke arteriol dan kapiler-
kapiler kecil untuk memperfusi jaringan. Struktur kapiler yang seperti
anyaman membuat difusi oksigen lebih optimal terjadi.
15
1.5. Apa saja trauma yang mungkin terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada
kasus?
Pada suatu kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita
yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan (collision)
berturut-turut sebagai berikut:
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada
posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara:
a. Tabrakan depan (frontal)
b. Tabrakan samping (T-Bone)
c. Tabrakan dari belakang
d. Terbalik (roll over)
Pada kasus tabrakan depan (frontal)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau
sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan
sangat tergantung dari arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam
rongga tubuh akan melaju ke arah depan dan mungkin akan mengalami
perlukaan langsung atau pun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam
rongga tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang
mengalami tabrakan terpental ke depan atau keluar dari mobil. Selain itu
barang-barang yang berada dalam mobil turut terpental dan menambah cedera
pada penderita.
Fase 2
Bagian atas penderita turut tergeser kedepan sehingga dada dan atau
perut akan menghantam setir.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi:
Cedera abdomen sampai terjadinya perdarahan dalam karena terjadinya
perlukaan/rupture pada organ seperti hati, limpa, lambung dan usus
Cedera dada seperti fraktur costae
Ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-paru, jantung,
dan aorta
17
Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil bagian depan atau
bagian samping.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi:
Trauma kepala (berat, sedang, ringan)
Fraktur servikal
membungkus rongga dada dan pleura visceralis yang melekat pada organ
paru, dimana diantara kedua pleura ini terdapat rongga pleura. Tekanan
pada rongga pleura dipertahankan stabil, dimana tekanan ini lebih rendah
dari pada tekana atmosfer untuk mencegahnya kolaps paru. Robekan
pada dinding dada membuat udara dari luar yang bertekanan positif
masuk mengisi rongga pleura yang bertekanan lebih kecil. Udara ini
terperangkap dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar sehingga
menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura meningkat. Tekanan yang
semakin tinggi mendesak organ didalamnya yaitu paru ke arah dalam.
Keadaan seperti ini awalnya dikompensasi tubuh dengan menggunakan
usaha napas tambahan. Namun, tekanan yang tinggi di intrapleura
melebihi tekanan parenkim paru sehingga menyebabkan udara dalam
alveoli terdorong keluar dan alveoli sulit untuk recoil. Kesulitan
compliance paru terjadi dalam waktu sangat cepat pada keadaan ini.
Gangguan pada kesulitan bernafas tersebut digambarkan dengan sesak
nafas pada pasien.
Mekanismenya:
Trauma pada thoraks costae fraktur kebocoran udara paru
udara masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way
valve) tekanan intrepleural tinggi paru-paru kanan kolaps sesak
Kecelakaan lalu lintas trauma tumpul pada thorax fraktur iga 9, 10,
11 krepitasi iga 9, 10, 11 dan tulang iga menusuk pleura dan parenkim
paru menekan saraf-saraf parietal nyeri
Selain itu, pada fraktur femur juga dapat terkena pembuluh darah
yang menyebabkan terjadinya eksudasi darah ke jaringan dan
menimbulkan hematoma, hematoma ini akan merangsang reaksi
inflamasi dengan mengeluarkan bradikinin dan merangsang nosiseptor
dan menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
1.6.5. Merintih
Merintih atau grunting terjadi akibat udara yang secara paksa
berusaha melewati glottis yang tertutup secara partial. Glotis yang
tertutup secara partial menunjukkan usaha tubuh untuk mempertahankan
tekanan akhir respirasi yang positif (positive end-respiratory pressure)
dan menjaga agar alveoli tetap terbuka (tidak colaps). Ketika udara
memasuki rongga pleura, maka hal ini menyebabkan hilangnya tekanan
negatif intrapleura yang mencegah paru agar tidak kolaps pada akhir
ekspirasi. Hal ini akan menyebabkan kolaps pada paru, sehingga salah
satu usaha yang dilakukan tubuh untuk mencegah kolapsnya alveoli ini
adalah penutupan glotis (Birney et al., 2005).
Pada kasus terjadi trauma pada thoraks yang menyebabkan
fraktur pada costae. Fraktur ini menyebabkan kebocoran udara paru.
Udara masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi sehingga
tekanan intrapleural tinggi. Paru-paru kanan kolaps dan menimbulkan
sesak. Usaha bernafas menjadi lebih kuat untuk mengembangkan paru
lebih besar. Usaha ini akan menekan costae yang fraktur dan akan
timbul nyeri saat bernafas (merintih).
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma
Scale
Awake =A
Respons Bicara (Verbal) =V
Respons Nyeri =P
Tak Ada Respons =U
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.
Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan harus meliputi :
warna dan suhu kulit
28
Komplikasi awal :
Pneumotoraks, efusi pleura, hematotoraks, dan flail chest, sedangkan
komplikasi yang dijumpai kemudian antara lain contusio pulmonum,
pneumonia dan emboli paru. Flail chest dapat terjadi apabila terdapat fraktur
dua atau lebih dari costa yang berurutan dan tiap-tiap costa terdapat fraktur
segmental,keadaan ini akan menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas
dan dapat mengakibatkan gagal nafas.
Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru serta
pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang mudah
bergerak dan meluad ke atas sampai apertura thoracis inferior dan pangkal leher,
dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke depan sampai sternum
dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis. Mediastinum berisi sisa
thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, trachea dan esofagus,
ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan nervus phrenicus, dan
truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum inferius.
Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri besar, trachea,
esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus. Mediastinum inferius
dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi pericardium dan jantung,
mediastinum anterius yang merupakan ruang antara pericardium dan sternum, dan
mediastinum posterius yang terletak dia antara pericardium dan columna
vetebralis.
33
2. Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis dan
di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus abdominis,
musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus abdominis serta
fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi
cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.
akan menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan cara berkala mengembang
kempiskan rongga thorak, dan paru secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi
aktif dari m. diafragma dan m. intercostalis externus meningkatkan volume rongga
thorak, sehingga menyebabkan tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat
mulainya inspirasi, menurun sekitar -6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih
diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada
akhirnya udara mengalir ke dalam paru.
Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi saluran pernapasan.
Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada kaliber
saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat rendah, dan laju aliran udara
biasanya bergantung pada gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer.
Apabila resistensi pernapasan meningkat secara patologis akibat dari penyakit paru
obstruktif kronik, gradien tekanan harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas
otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.
Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus
berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat rongga dada,
menyebabkan tekanan intrapleura berkurang sampai -30 mmHg, dan menyebabkan
derajat inflasi paru yang lebih besar.
Sistem sirkulasi tubuh secara garis besar dibedakan menjadi sirkulasi darah besar dan
kecil. Darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan inferior akan masuk ke
atrium kanan untuk selanjutnya dipompakan melewati katup bicuspidalis ke ventrikel
kanan. Setelah itu, melalui arteri pulmonalis darah ini akan dialirkan menuju paru-
paru. Terjadi pertukaran antara oksigen dari atmosfer dengan CO2 dari darah yang
dialirkan sebelumnya. Difusi oksigen masuk ke dalam sel. Sel-sel darah yang
membawa oksigen bersamanya akan menuju jantung kembali melalui vena
pulmonalis. Sampai di atrium kiri, darah kembali dipompakan melewati katup
trikuspidalis ke ventrikel kiri. Darah yang berada di ventrikel kiri dipompakan ke
seluruh tubuh melalui aorta. Dari aorta darah menuju arteri lalu ke arteriol dan
kapiler-kapiler kecil untuk memperfusi jaringan. Struktur kapiler yang seperti
anyaman membuat difusi oksigen lebih optimal terjadi.
Trauma Kepala dan Leher
Trauma kepala atau trauma kapitis merupakan suatu ruda paksa (trauma) yang
mengenai struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan/atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Manurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, tidak
36
B. Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi/area terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua,
yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara
tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai
kepada duramater (Anderson, Heitger, & Macleod, 2006). Kemungkinan kecederaan
atau trauma adalah seperti berikut:
a. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut(Duldner,
2008):
37
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis
tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial
terlepas setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
C. Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah
beberapa hari.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan perlahan-lahan meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
39
c. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
d. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
e. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Dimana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hantaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright,
Aronowski, Barreto, 2008).
Berdasarkan Skala Koma Glasglow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
1. Trauma kapitis ringan, skornya 14-15
2. Trauma kapitisi sedang, skornya 9-13
3. Trauma kapitis berat 3-8
a. Trauma Kepala Ringan
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,
2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak
karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada
penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).
b. Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c. Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al.,
1986). Pada sebuah penelitian, penderita cedera kepala berat akan menunjukkan
kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004).
(abdominal wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis,dan
ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan
dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior
abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian
atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale.
yaitu:
1) Hypocondriaca dextra
meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu, sebagian duodenum, fleksura
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra
meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian
proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum dan
jejenum.
5) Umbilicalis
meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.
6) Lateralis sinistra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan
ileum.
7) Inguinalis dextra
meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8) Pubica
meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra
meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan 12.
Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n.
torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding
abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup pelvis
sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit
menentukan lokasi
42
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh
tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka
yaitu:
luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka
bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan
tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ
viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai
organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan
iritasi pada peritoneum.
Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar,
patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan
mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan
maupun organ dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul
disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai
kelenturan (non complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum
mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.
Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ
padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distalorgan yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkangaya
potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction
2) Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra
atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,biasanya terjadi pada
organ-organ padat seperti lien, hati, dan ginjal.
3.) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen
yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ
44
berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ
yang terkena cedera.
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan
tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 7. Cedera Organ Terkait Fraktur Langsung
Organ/area yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait
Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Rupture lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera pankreas
Fraktur prosessus transversalis lumbal Cedera ginjal
Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera uretra
Trauma Ekstremitas
Fraktur Femur
Fraktur femur dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara jenis-jenis
patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya
memerlukan tindakan operatif.
b. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring dan
trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada
trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada wanita
usia tua yang tulangnya sudah mengalami osteoporosis.
Etiologi
a. Trauma
b. Gaya meremuk
c. Gerakan puntir mendadak
d. Kontraksi otot ekstrem
e. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma
Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih besar dari
yang dapat tulang serap. Pada dasarnya ada dua tipe dasar yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur, kedua mekanisme tersebut adalah: Yang pertama mekanisme
45
direct force dimana energi kinetik akan menekan langsung pada atau daerah dekat
fraktur. Dan yang kedua adalah dengan mekanisme indirect force, dimana energi
kinetik akan disalurkan dari tempat tejadinya tubrukan ke tempat dimana tulang
mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi pada titik atau tempat yang
mengalami kelemahan.
Pada saat terjadi fraktur periosteum, pembuluh darah, sumsum tulang dan
daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami gangguan. Sementara itu perdarahan
akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah serta dari jaringan lunak (otot)
terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry canal antara ujung fraktur
dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan tulang akan segera berubah menjadi
tulang yang mati. Kemudian jaringan nekrotik ini akan secara intensif menstimulasi
terjadinya peradangan yang dikarakteristikkan dengan terjadinya vasodilatasi,
edema, nyeri, hilangnya fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta infiltrasi dari
sel darah putih lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan tulang yang
fraktur tersebut.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi:
a. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit
b. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
c. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
d. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
e. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
f. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri dan bengkak
Penyebab trauma
b. Pemeriksaan fisik
Hematom
Edema
Deformitas
Terjadi pemendekan tulang
Krepitasi
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur: menentukan lokasi, luasnya
fraktur/trauma
Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
Pemeriksaan jumlah darah lengkap. Hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi), menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh dari trauma multiple)
Peningkatan SDP: respon stres normal setelah trauma
Arteriografi: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
47
Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah atau cedera
hati
dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah
dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas
trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu
kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan
alternatif pada pasien dengan usia muda.
c. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara klinis
dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak,
risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi
antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan
penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan
pemasanganplate-screw.
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga
terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan bidai
Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif
pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-
phroc dare screw.
gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima
tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang
tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis
dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler
di dalamnya (Black & Hawks, 2001).
b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi
sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung
fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2010).
c) Tahap pembentukan kalus (2-6minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang
mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan
periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih
padat, gerakan pada tempat fraktur semakinberkurang pada empat minggu
setelah fraktur menyatu (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
d) Osifikasi (3 minggu-6bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.
Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui
proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu (Smeltzer & Bare, 2010).
50
e) Konsolidasi (6-8bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur berubah
menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan
osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di
belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan
tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum
tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk,2010).
f) Remodeling (6-12bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk
yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010;
Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur (Smeltzer, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah
tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur
(Smeltzer,2010).Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar
antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
51
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi,
atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang
cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi
yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul
dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan
infeksi (Smeltzer, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus,
atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam
sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan
bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yangburukdan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur
patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri) (Smeltzer, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2010; Bucholz; Heckman; Court-
Brown, 2010).
b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini
adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Smeltzer,2010).
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera atau
alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera (Smeltzer, 2010).
Komplikasi Fraktur Femur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
52
V. Hipotesis
Seorang supir minibus, laki-laki 30 tahun, mengalami multiple trauma
akibat kecelakaan lalu lintas.
Udara terperangkap
dalam kavum pleura
Hipersonor pada
perkusi thoraks Terakumulasi pada
dextra kavum pleura dextra
VII. Kesimpulan
Seorang supir minibus, laki-laki 30 tahun, mengalami tension
pneumothoraks dextra, trauma abdomen, fraktur femur sinistra tertutup
dan syok et causa trauma multipel.