Anda di halaman 1dari 60

1

SKENARIO A BLOK 28
Dokter Thamrin, dokter di RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar
100 meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang melaju dengan
kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah.
Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
Dokter Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan
membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat kejadian, terlihat sang sopir,
laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan
nyeri paha kiri.
Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:
- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitas bernapas
- Tanda vital: laju respirasi: 40x/menit, nadi: 110x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan
- Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
- GCS: 13 (E: 3, M: 6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang sopir
ke UGD, setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke
RSMH.
Data pemeriksaan fisik:
Kepala
Inspeksi: Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm.
Pemeriksaan lain dbn.
Leher : trakea bergeser kekiri, vena jugularis distensi
Thorax
Inspeksi : Gerakan dada asimetris, kanan tertinggal frekuensi 40x/menit. Tampak memar di
sekitar dada kanan bawah sampai ke samping. JVP distensi. Trakea bergeser ke
kiri.
Auskultasi : Suara napas kanan melemah. bising napas kiri terdengar jelas. Bunyi jantung
terdengar jelas cepat frekuensi 110 x/menit.
Palpasi : Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping (lokasi memar).
Krepitasi pada costae 9-11 kanan depan.
Perkusi : Hipersonor di dada kanan, sonor di dada kiri.

Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar.
Auskultasi : Bising usus normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-).
Ekstremitas
Inspeksi : Deformitas, lebam/memar, hematom pada paha tengah kiri.
2

Palpasi : Nyeri tekan.


ROM : Pasif dan aktif terdapat limitasi gerakan.

I. Klarifikasi Istilah
1. Trauma:semua jenis kekerasan yang menimpa tubuh sehingga terjadi kerusakan
atau gangguan pada struktur dan fungsi jaringan atau organ yang terkena.
2. Merintih: mengeluh atau mengesah karena kesakitan dan sebagainya.
3. Sesak (dyspnea): kondisi dimana dibutuhkan usaha berlebih untuk bernafas dan
aktivitas bernafas menjadi aktivitas sadar.
4. Tergeletak: terlentang, terkapar, terletak begitu saja.
5. Nyeri: suatu sensasi subjektif yang merupakan suatu tanda sedang atau telah
terjadinya kerusakan jaringan.
6. Deformitas: kelainan bentuk.
7. GCS (Glasgow Coma Scale): skala yang dipakai untuk menentukan atau menilai
tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan umum.

II. Identifikasi Masalah


1. Dokter Thamrin, dokter di RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang.
Sekitar 100 meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang
melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil
hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar
keluar melalui kaca depan. Dokter Thamrin yang mendengar tabrakan langsung
pergi ke tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya.
Di tempat kejadian, terlihat sang sopir, laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih,
mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan nyeri paha kiri.
2. Melalui pemeriksaan sekilas, didaptkan gambaran:
- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitas bernapas
- Tanda vital: laju respirasi: 40x/menit, nadi: 110x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan
- Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
- GCS: 13 (E: 3, M: 6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang
sopir ke UGD, setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk
dirujuk ke RSMH.
3. Data pemeriksaan fisik:
Kepala
Inspeksi: Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm.
Pemeriksaan lain dbn.
Leher : trakea bergeser kekiri, vena jugularis distensi
Thorax
3

Inspeksi : Gerakan dada asimetris, kanan tertinggal frekuensi 40x/menit. Tampak


memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping.
Auskultasi : Suara napas kanan melemah. bising napas kiri terdengar jelas. Bunyi
jantung terdengar jelas cepat frekuensi 110 x/menit.
Palpasi : Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping (lokasi
memar). Krepitasi pada costae 9, 10, 11 kanan depan.
Perkusi : Hipersonor di dada kanan, sonor di dada kiri.
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar.
Auskultasi : Bising usus melemah.
Perkusi : nyeri ketok (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+), defans muskular (+)
Ekstremitas
Inspeksi : paha kiri tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri.
Palpasi : Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
ROM : Pasif limitasi gerakan dan aktif limitasi gerakan.

III. Analisis Masalah


1. Dokter Thamrin, dokter di RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang.
Sekitar 100 meter dari RSUD, terjadi kecelakaan lalu lintas. Mobil minibus yang
melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil
hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya penumpang mobil terlempar
keluar melalui kaca depan. Dokter Thamrin yang mendengar tabrakan langsung
pergi ke tempat kejadian dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya.
Di tempat kejadian, terlihat sang sopir, laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih,
mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan dan nyeri paha kiri.
1.1. Apa saja peralatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan trauma sederhana?
I. Alat bantu pernafasan
1. Intubasi
- Pipa endotrakeal dan konektornya - untuk dewasa dan anak-
anak
- Introducer, bougie, forsep magill
- Laringoskop, bilah laringoskop, lampu laringoskop dan
betere
4

- Alat tambahan: syringe untuk mengembangkan cuff,


manometer, forsep klip, pipa endotrakeal leher angsa, jelly
untuk pelicin, plester, filter penyerap cairan.
2. Alat bantu nafas lain
- Sederhana : nasofaring dan Guedel
- Supraglotik : laryngeal mask dan combitube
- Infraglotik : krikotirotomi set dan pipa krikotiroid

3. Masker oksigen: (termasuk masker oksigen untuk FiO2 bertekanan


tinggi, tubing dan nebulizer)
4. Alat suction
- Sistem utama: biasanya terpasang pada kendaraan transport
- Portable suction
- Suction tubing, alat pemegang suction, kateter, cadangan alat
tersebut.
5. Self inflating hand ventilator, mask dan PEEP (positive end
expiratory pressure) valve.
6. Ventilator portable dengan alarm (alarm disconnect dan
overpressure).
7. Sirkuit ventilator dan cadangannya.
8. Spirometer dan manometer cuff ( pengukur tekanan cuff pipa
endotrakeal)
9. Capnograf (pengkur kadar karbondioksida)
10. Alat drainase pleura :
- Kateter interkosta dan kanula-nya.
- Set alat bedah beserta alat dan benang jarit.
- Heimlich type valve dan drainage bags
11. Sistem oksigen utama (biasanya sudah ada di kendaraan transport
medis) yang sudah cukup terisi oksigen dengan flowmeter dengan
outlet dinding yang standar.
12. Tabung oksigen cadangan dengan flowmeter dan outlet standar.

II. Alat bantu sirkulasi


1. Defibrilator/monitor/pacu jantung eksterna beserta dengan leads,
elektroda dan pads.
2. Peralatan pemberian cairan intravena:
- Berbagai cairan infus : kristaloid isotonik, dekstrose, koloid.
- Infus set dan blood set.
- Kanula intravena berbagai ukuran: perifer dan sentral
- Ekstensi intravena set (three way dan needle free injection
system)
- Syringe, jarum
5

- Alcohol swipes (untuk desinfeksi kulit), plester dan peralatan


dressing - intravena.
- Pressure infusion bag
- Arteri line.
3. Peralatan monitoring tekanan darah
- Kanula arteri beserta arteri tubing dan transdusernya.
- Monitor tekanan darah invasif dan non invasif.
- Sphygmomanometer aneroid (non merkuri) dan cuff
berbagai macam ukuran yang kompatibel dengan
monitor elektronik atau manual.
- Oksimeter nadi dengan probe jari dengan berbagai
macam jenis serta ukurannya.
4. Syringe / infusion pump (minimal 2 buah) dan tubing yang sesuai.

III. Peralatan Lainnya.


1. Kateter urine dan drainase/ bag penampung urine.
2. Gastric tube beserta bag penampungnya.
3. Cervical collar, peralatan immobilisasi tulang belakang, splints.
4. Termometer (non merkuri) dan atau probe temperatur/ monitor.
5. Selimut reflektif dan kain penutup yangberfungsi sebagai penahan
panas (thermal insulation drapes).
6. Perban, plester, gunting heavyduty.
7. Sarung tangan

1.2. Bagaimana tindakan awal yang dapat dilakukan pada kasus kecelakaan lalu
lintas?
a. Peralatan yang dibutuhkan
1. Pembalut biasa
2. Kasa steril, plester/perban, kapas
3. Tourniquet, alat suntik
4. Alat-alat bedah sederhana (minor surgical set)
5. Tandu, bidai
b. Prinsip tatalaksana awal
1. Penilaian keadaan umum pasien
2. Primary survey (ABCDE)

A : AIRWAY.
Jika pasien sadar: dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi
airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar: 1) Look: ada sumbatan airway atau
tidak; 2) Listen: suara-suara nafas; 3) Feel: hembusan nafas pasien.
Untuk mengetahui dan menilai pasien sadar atau tidak, kita menilai dengan
mengajak bicara pasien. Jika pasien dapat menjawab dengan baik maka dapat
dinilai kesadaran pasien dan tidak adanya sumbatan pada jalur pernapasan
pasien.
6

Salah satu tanda adanya sumbatan pada pasien adalah :


Mendengkur : pangkal lidah (snoring)
Suara berkumur : cairan (gurgling)
Stridor : kejang / edema pita suara (crowing)
Jika terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda bunyi nafas
tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
1) Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam saluran
nafas. Penanganannya melalui suction. Terdapat dua jenis suction yakni,
yang elastic dan yang rigid. Pilih saction yang rigid karena lebih mudah
diarahkan. Jangan melakukan tindakan yang berlebihan di daerah laring
sehingga tidak timbul vagal refleks.
2) Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi pada URT.
3) Snore (mengorok) = biasanya obstruksi karena lidah terlipat dan pasien
dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang pertama dengan membuka
mulut pasien dengan jalan; chin lift atau jaw trust. Kemudian diikuti
dengan membersihkan jalan nafas melalui finger sweep (cara ini tidak
amam karena memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau
melalui bantuan instrumen.
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien yang mengalami
trauma basis crania (Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater). Cirinya adalah keluar darah atau cairan bercampur darah dari
hidung atau telinga. C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi:
1) Multipel trauma
2) Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3) Penurunan kesadaran.
4) Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan terakhir.
Jika terjadi dalam waktu yang lama keadaan pasien akan makin parah
maka akan muncul tanda-tanda berupa yaitu :
1) Gelisah (hipoksia)
2) Gerak otot nafas tambahan (tracheal tug, retraksi sela iga)
3) Gerak dada dan gerak paradoksal
4) Sianosis (Tanda lambat)

Ada berbagai cara pembebasan jalan nafas yaitu :


1) Sumbatan pangkal lidah
Jaw thrust
Chin lift
Jalan nafas orofaring
Jalan nafas nasofaring
Intubasi trakea / LMA
2) Bersihkan cairan
7

Penghisap / suction
3) Sumbatan di plica vocalis
Cricothiroidotomy
Nilai jalan nafas pada kasus: tidak ada obstruksi (pasien dapat bicara,
mengeluh daerah sakit), gerakan udara pada hidung, mulut, dada. Bersihkan
jalan nafas jika ada darah. Pada kasus ini, tidak ada gangguan airway

B : BREATHING.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi: fungsi paru baik, dinding dada dan diafragma. Nilai frekuensi
pernafasannya, lihat ada sesak atau tidak, lihat ada trauma di thorax atau tidak,
tanda-tanda sianosis juga harus diperhatikan.
Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
Penderita tampak nyaman
Frekuensi cukup
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
Gerakan dada kurang baik
Ada suara nafas tambahan
Sianosis
Frekuensi kurang atau lebih
Perubahan status mental (gelisah)
Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
Tidak ada gerakan dada atau perut
Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau pasien sadar
maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang. Keadaan dada
pasien yang mengembung apalagi tidak simetris mungkin disebabkan
pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya dilakukan
perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh
pneumotorak sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.
Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan needle 14 G di
daerah yang hipersonor atau pengguanan chest tube.
Jika terdapat henti napas :
Hal yang dapat dilakukan antara lain resusitasi paru, bisa dilakukan melalui :
a. Mouth to mouth
b. Mouth to mask
c. Bag to mask (Ambu bag).
Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :
a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
8

b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.
c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask
inilah pilihan utama pada pasien sianosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.
Catatan : pada pasien pneumotoroaks perhatikan adanya keadaan pergesaran
mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena
jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung
Penanganan breathing pada kasus: nilai ventilasi dan oksigenasi, buka leher
dan dada, observasi perubahan pola pernapasan: tentukan laju dan dalam
pernafasan, dan look, listen, feel (diketahui tanda-tanda pneumothoraks)
dekompresi segera dan penanganan awal dengan insersi jarum yang berukuran
besar (needle thoraco syntesis) pada ICS 2 di linea midclavicula. Pada kasus
ini, adanya tanda pneumothoraks sehingga perlu dilakukan needle
compression di ICS 2 linea midclavicula.

C : CIRCULATION.
Setelah melakukan penangan pada sistem pernapasan, sistem sirkulasi dapat
segera dinilai dengan cara :
- Memeriksa denyut nadi (radialis atau karotis). Pada orang dewasa dan
anak-anak, denyut nadi diraba pada arteri radialis dan arteri carotis (medial
dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut
nadi adalah pada a. Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas.
Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit.
Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100
kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit
yang terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit
sedangkan pada anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila
ditemukan bradikardi merupakan tanda diagnostik yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan
- Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian
terhadap adanya masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi
oksigen ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.
9

- Pemeriksaan sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan


napas dan system pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas,
nadi radialis maupun nadi karotis dapat pula teraba.
- Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan.
Cegah bertambahnya jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap
terjadinya shock. Penanganan luka secara baik dilakukan setelah korban
stabil.
- Jika ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha
menarik napas satu atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita
akan ditemukan dalam keadaan tidak sadar. Pada perabaan nadi tidak
ditemukan arteri yang tidak berdenyut, maka harus dilakukan masase
jantung luar yang merupakan bagian resusitasi jantung paru (RJP, CPR).

Penanganan pada kasus: nilai TD, nadi, warna kulit, dan sumber perdarahan.
Bersihkan dan tutup luka dengan perban

D : Dissability.
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara
terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk
melakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem AVPU pada
keadaan ini lebih jelas dan cepat:
1) Awake (A)
2) Verbal response (V)
3) Painful response (P)
4) Unresponsive (U)
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic pasien. Status
neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow Coma Scale) dan keadaan
pupil serta kecepatannya.
Nilai GCS pasien pada kasus: 13 cedera otak sedang.

E: Exposure.
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka/trauma lain secara
generalis tetapi jaga agar pasien tidak hipotermia.
Berdasarkan pengamatan klinis pada kasus diduga:
Fraktur femur: Pasang bidai, apabila tidak ada bebat anggota gerak yang
sakit ke anggota gerak yang sehat
Fraktur costa: diberi analgesik dosis rendah IV agar tidak nyeri sehingga
mempermudah pernafasan

1.3. Bagaimana anatomi toraks, abdomen, dan ekstremitas bawah?


Thorax
10

Struktur Dinding Thorax


Dinding thorax di sebelah luar dilapisi oleh kulit dan otot-otot yang
melekatkan gelang bahu pada tubuh. Dinding thorax dilapisi oleh pleura
parietalis. Di bagian posterior dinding thorax dibentuk oleh pars thoracica
columna vetebralis; di anterior oleh sternum dan cartilagines costales; lateral
oleh costae dan spatium intercostae; superior oleh membrana suprapleuris;
dan inferior oleh diafragma yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas
abdomen.
Sternum terletak di garis tengah dinding anterio thorax. Sternum dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu manubrium sterni, corpus sterni, dan processus
xiphoideus. Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum yang masing-
masing sisanya bersendi dengan clavicula, cartilagines costales I dan bagian
atas cartilagines costales II. Corpus sterni bersendi dengan manubrium sterni
pada bagian atas melalui symphisis manubriosternalis dan bersendi dengan
processus xiphoideus pada bagian bawah melalui symphisis xiphosternalis.
Pada setiap sisi corpus terdapat lekukan-lekukan untuk bersendi dengan
bagian bawah cartilagines costales II dan cartilagines costales III sampai VII
melalui junctura synovialis. Processus xiphoideus merupakan bagian sternum
yang paling bawah dan paling kecil.
Cartilagines costae merupakan batang cartilago hyalin yang
menghubungkan 7 costae bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan
costae VIII, IX, dan X dengan kartilago tepat diatasnya. Cartilagines costales
XI dan XII berakhir pada otot-otot abdomen. Cartilagines costae berperan
penting dalam elastisitas dan mobilitas dinding thorax.
Costae terdiri dari 12 pasang yang semuanya melekat pada vetebrae
thoracicae. Tujuh pasang costae yang teratas melekat pada bagian anterior
sternum melalui cartilagines costales. Pasangan costae VII sampai X di
anterior melekat satu dengan yang lain dan ke costa VII melalui cartilagines
costales dan junctura synovialisyang kecil. Pasangan costae XI dan XII tidak
mempunyai perlekatan di depan dan dinamkan costae fluctuantes. Setiap
costae mempunyai caput, collum, tuberculum, corpus, dan angulus costae.
11

Gambar 1. (A)Permukaan anterior sternum. (B) Sternum, costae dan cartilagines


costales (Snell, 2102).

Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru
serta pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang
mudah bergerak dan meluas ke atas sampai apertura thoracis inferior dan
pangkal leher, dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke
depan sampai sternum dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis.
Mediastinum berisi sisa thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar,
trachea dan esofagus, ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan
nervus phrenicus, dan truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum
inferius. Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri
besar, trachea, esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus.
Mediastinum inferius dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi
pericardium dan jantung, mediastinum anterius yang merupakan ruang antara
pericardium dan sternum, dan mediastinum posterius yang terletak dia antara
pericardium dan columna vetebralis.
12

Gambar 2. Pembagian mediastinum (Snell, 2012).

Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis
dan di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus
abdominis, musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus
abdominis serta fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis
melanjutkan diri menjadi cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.
Struktur Umum Viscera Abdomen
Abdomen dapat dibagi menjadi empat kompartemen anatomis, yaitu
(Williams, 2013): Regio thorax, regio peritoneum, regio retroperitoneum, dan
regio pelvis. regio thorax berisi diafragma, hati, limfa, dan lambung. Regio
peritoneum disebut juga true abdomen yang berisis lambung, usus halus dan
usus besar, omentum, rahim, dan terkadangan puncak dari vesika urinaria.
Regio retroperitoneum mencakup pembuluh-pembuluh darah besar, ginjal,
kolon, uterus, pankreas, dan duodenum. Regio pelvis dibentuk oleh
sambungan tulang-tulang pelvis.
13

Gambar 3. Susunan Umum Viscera Abdomen (Snell, 2012)

Ekstremitas Bawah (Femur)


Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Femur bersendi dengan acetabulum untuk
membentuk articulatio coxae di atas dan dengan ibia dan patella untuk
membentuk articulatio genus di bawah. Ujung atas femur memiliki caput,
collum, trochanter major, dan trochanter minor. Caput membentuk kira-kira
dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae untuk
membentuk articulatio coxae. Fovea capitis merupakan lekukan pada pusat
caput untuk tempat melekatnya ligamentum capitis femoris.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat
(pada wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur.
Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Corpus
femoris permukaan anteriornya licin dan bulat, sedangkan permukaan
posterior mempunyai rigi yang disebut linea aspera. Linea aspera ini adalah
tempat melekatnya otot-otot dan septa intermuscularis.

1.4. Bagaimana fisiologi pernapasan dan sirkulasinya?


Ventilasi merupakan proses pergerakan udara keluar-masuk paru secara
berkala, dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 diantara darah kapiler paru
dengan udara atmosfer segar. Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan
mengubah secara berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara
antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan penciutan berkala paru.
Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-
14

ganti secara tidak langsung akan menimbulkan inflasi dan deflasi periodik
paru dengan cara berkala mengembang kempiskan rongga thorak, dan paru
secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi aktif dari m. diafragma dan m.
intercostalis externus meningkatkan volume rongga thorak, sehingga
menyebabkan tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat mulainya
inspirasi, menurun sekitar -6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih
diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada
akhirnya udara mengalir ke dalam paru.
Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi saluran
pernapasan. Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang
bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat
rendah, dan laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien tekanan yang
tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi pernapasan meningkat
secara patologis akibat dari penyakit paru obstruktif kronik, gradien tekanan
harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju
aliran udara konstan.
Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus
berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat
rongga dada, menyebabkan tekanan intrapleura berkurang sampai -30 mmHg,
dan menyebabkan derajat inflasi paru yang lebih besar.
Sistem sirkulasi tubuh secara garis besar dibedakan menjadi sirkulasi
darah besar dan kecil. Darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior
dan inferior akan masuk ke atrium kanan untuk selanjutnya dipompakan
melewati katup bicuspidalis ke ventrikel kanan. Setelah itu, melalui arteri
pulmonalis darah ini akan dialirkan menuju paru-paru. Terjadi pertukaran
antara oksigen dari atmosfer dengan CO2 dari darah yang dialirkan
sebelumnya. Difusi oksigen masuk ke dalam sel. Sel-sel darah yang membawa
oksigen bersamanya akan menuju jantung kembali melalui vena pulmonalis.
Sampai di atrium kiri, darah kembali dipompakan melewati katup trikuspidalis
ke ventrikel kiri. Darah yang berada di ventrikel kiri dipompakan ke seluruh
tubuh melalui aorta. Dari aorta darah menuju arteri lalu ke arteriol dan kapiler-
kapiler kecil untuk memperfusi jaringan. Struktur kapiler yang seperti
anyaman membuat difusi oksigen lebih optimal terjadi.
15

1.5. Apa saja trauma yang mungkin terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada
kasus?
Pada suatu kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita
yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan (collision)
berturut-turut sebagai berikut:
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada
posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara:
a. Tabrakan depan (frontal)
b. Tabrakan samping (T-Bone)
c. Tabrakan dari belakang
d. Terbalik (roll over)
Pada kasus tabrakan depan (frontal)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau
sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan
sangat tergantung dari arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam
rongga tubuh akan melaju ke arah depan dan mungkin akan mengalami
perlukaan langsung atau pun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam
rongga tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang
mengalami tabrakan terpental ke depan atau keluar dari mobil. Selain itu
barang-barang yang berada dalam mobil turut terpental dan menambah cedera
pada penderita.

Kronologis kejadian pada skenario (trauma tumpul, tabrakan frontal):


Mobil minibus melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon beringin
(tabrakan depan/frontal) mengalami fase 1,2,3,4 bagian depan mobil
hancur dan kaca depan pecah sopir terlempar keluar melalui kaca depan
terjadi multipel trauma.
Pada kasus ini kemungkinan terjadi adalah trauma biomekanika.
Trauma biomenaknika adalah ilmu yang mempelajari proses/mekanisme
kejadian kecelakaan saat sebelum, saat, dan sesudah kejadian sehingga dapat
diketahui proses kejadiannya dan dapat diprediksi kemungkinan organ tubuh
yang terkena cidera.
Kejadian mobil minibus yang menabrak pohon beringin di depannya
disebut dengan tabrakan frontal. Benturan frontal adalah benturan dengan
16

benda yang didepan kendaraan, secara tiba-tiba kecepatannya berkurang. Pada


kejadian ini, dengan penderita tanpa sabuk pengaman, akan terjadi beberapa
fase, yaitu:
Fase 1
Bagian bawah penderita tergeser kedepan, biasanya lutut akan
menghantam dashboard dengan keras yang menimbulkan bekas benturan pada
dashboard tersebut.
Kemungkinan trauma yang akan terjadi:
Fraktur femur karena menahan beban berlebihan
Dislokasi sendi panggul karena terdorong kedepan
Dislokasi lutut atau bahkan fraktur lutut karena benturan yang keras pada
dashboard

Gambar 4. Fase 1 Tabrakan Frontal (Wahyu, 2015)

Fase 2
Bagian atas penderita turut tergeser kedepan sehingga dada dan atau
perut akan menghantam setir.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi:
Cedera abdomen sampai terjadinya perdarahan dalam karena terjadinya
perlukaan/rupture pada organ seperti hati, limpa, lambung dan usus
Cedera dada seperti fraktur costae
Ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-paru, jantung,
dan aorta
17

Gambar 5. Fase 2 Tabrakan Frontal (Wahyu, 2015)

Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil bagian depan atau
bagian samping.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi:
Trauma kepala (berat, sedang, ringan)
Fraktur servikal

Gambar 5. Fase 3 Tabrakan Frontal (Wahyu, 2015)


Dan pada kasus ini terjadi peristiwa terlempar keluar atau
ejeksi.Trauma yang dialami dapat lebih berat bila terlempar keluar dari
kendaraan.Kemungkinan terjadinya trauma meningkat 300% jika terlempar
keluar.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi:
Multipel trauma
Trauma kepala
Trauma organ dalam
Fraktur servikal

1.6. Bagaimana mekanisme:


1.6.1. Dada sesak
Secara anatomi, paru-paru terletak di rongga thoraks. Trauma pada
daerah thoraks yang menyebabkan costae fraktur ditandai dengan adanya
krepitasi pada costae 9,10,11 kanan depan dapat menyebabkan robekan
pada pleura. Pleura terdiri atas 2 bagian yaitu pleura parietalis yang
18

membungkus rongga dada dan pleura visceralis yang melekat pada organ
paru, dimana diantara kedua pleura ini terdapat rongga pleura. Tekanan
pada rongga pleura dipertahankan stabil, dimana tekanan ini lebih rendah
dari pada tekana atmosfer untuk mencegahnya kolaps paru. Robekan
pada dinding dada membuat udara dari luar yang bertekanan positif
masuk mengisi rongga pleura yang bertekanan lebih kecil. Udara ini
terperangkap dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar sehingga
menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura meningkat. Tekanan yang
semakin tinggi mendesak organ didalamnya yaitu paru ke arah dalam.
Keadaan seperti ini awalnya dikompensasi tubuh dengan menggunakan
usaha napas tambahan. Namun, tekanan yang tinggi di intrapleura
melebihi tekanan parenkim paru sehingga menyebabkan udara dalam
alveoli terdorong keluar dan alveoli sulit untuk recoil. Kesulitan
compliance paru terjadi dalam waktu sangat cepat pada keadaan ini.
Gangguan pada kesulitan bernafas tersebut digambarkan dengan sesak
nafas pada pasien.

Penyebab sesak pada kasus ini adalah karena tension pneumothoraks.

Mekanismenya:
Trauma pada thoraks costae fraktur kebocoran udara paru
udara masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way
valve) tekanan intrepleural tinggi paru-paru kanan kolaps sesak

1.6.2. Nyeri di dada kanan


Trauma kompresi pada thoraks menyebabkan kosta pada tempat trauma
akan lebih melengkung dan akhirnya terjadi fraktur multipel pada kosta
9-11 kanan bawah, atau yang biasa disebut dengan flail chest. Saat
rongga dada mengembang sewaktu inspirasi, gerakan fragmen kosta
yang patah akan menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan
jaringan lunak sekitar sehingga terjadilah stimulasi saraf yang akan
dipersepsikan dengan nyeri pada dada kanan.
19

Kecelakaan lalu lintas trauma tumpul pada thorax fraktur iga 9, 10,
11 krepitasi iga 9, 10, 11 dan tulang iga menusuk pleura dan parenkim
paru menekan saraf-saraf parietal nyeri

1.6.3. Nyeri perut


Kemungkinan bila terjadi perdarahan intra abdomen yang serius pasien
akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung
sel darah merah dan akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila
suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda tanda perforasi
dan tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam
trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan (mungkin menandakan
iritasi peritonium karena cairan gastrointestinal atau darah), nyeri
spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah
terjadi peritonitis umum.

Tabel 1. Cedera Organ Terkait Fraktur Langsung


Organ/area yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait
Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Rupture lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera pankreas
Fraktur prosessus transversalis lumbal Cedera ginjal
Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera uretra

1.6.4. Nyeri paha kiri


Pada pasien terjadi fraktur femur kiri tertutup akibat trauma yang
dialami (disebabkan oleh terlempar keluarnya sang supir dari dalam
mobil melalui kaca depan dan mendarat pada bagian kiri dari tubuh
sehingga terjadinya transfer energy yang melebihi toleransi jaringan
sehingga terjadi disrupsi jaringan dan terjadi suatu trauma, terutama
pada femur). Fraktur tersebut akan menyebabkan terpecahnya frakmen-
frakmen tulang yang dapat mengenai serabut syaraf disekitarnya yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
20

Selain itu, pada fraktur femur juga dapat terkena pembuluh darah
yang menyebabkan terjadinya eksudasi darah ke jaringan dan
menimbulkan hematoma, hematoma ini akan merangsang reaksi
inflamasi dengan mengeluarkan bradikinin dan merangsang nosiseptor
dan menyebabkan timbulnya rasa nyeri.

1.6.5. Merintih
Merintih atau grunting terjadi akibat udara yang secara paksa
berusaha melewati glottis yang tertutup secara partial. Glotis yang
tertutup secara partial menunjukkan usaha tubuh untuk mempertahankan
tekanan akhir respirasi yang positif (positive end-respiratory pressure)
dan menjaga agar alveoli tetap terbuka (tidak colaps). Ketika udara
memasuki rongga pleura, maka hal ini menyebabkan hilangnya tekanan
negatif intrapleura yang mencegah paru agar tidak kolaps pada akhir
ekspirasi. Hal ini akan menyebabkan kolaps pada paru, sehingga salah
satu usaha yang dilakukan tubuh untuk mencegah kolapsnya alveoli ini
adalah penutupan glotis (Birney et al., 2005).
Pada kasus terjadi trauma pada thoraks yang menyebabkan
fraktur pada costae. Fraktur ini menyebabkan kebocoran udara paru.
Udara masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi sehingga
tekanan intrapleural tinggi. Paru-paru kanan kolaps dan menimbulkan
sesak. Usaha bernafas menjadi lebih kuat untuk mengembangkan paru
lebih besar. Usaha ini akan menekan costae yang fraktur dan akan
timbul nyeri saat bernafas (merintih).

2. Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:


- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas dan kesulitas bernapas
- Tanda vital: laju respirasi: 40x/menit, nadi: 110x/menit; lemah, TD: 90/50 mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan
- Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
- GCS: 13 (E: 3, M: 6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang
sopir ke UGD, setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk
dirujuk ke RSMH.
2.1. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan diatas?
Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas
21

Penurunan kesadaran pada kasus dapat diakibatkan oleh pendarahan akibat


anemia yang diderita akibat perdarahan akibat fraktur yang diderita.
Penurunan kesadaran juga dapat diakibatkan oleh kekurangan oksigen
akibat tension pneumothorax.
Wajah dan bibir terlihat kebiruan, konjungtiva anemis (+)
Pada kasus, terjadi hipoperfusi pada jaringan akibat tidak tercukupinya
kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi sianosis sehingga wajah dan bibir
tampak biru.

Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin


Adanya pendarahan menyebabkan berkurangnya volume darah dalam
vaskular (hipovolemia). Hal ini menyebabkan tekanan arteri berkurang.
Kemudian baroreseptor arteri (sinus karotikus dan arkus aorta) dan
reseptor regangan vaskular merespon penurunan tersebut. Perubahan yang
ditangkap oleh reseptor tersebut memberikan stimulus kepada saraf
simpatis yang menyebabkan keringat dingin.
Terlihat deformitas di paha kiri
Terjadi fraktur pada paha kiri yang disebabkan oleh trauma saat
kecelakaan lalu lintas sehingga terjadi kelainan bentuk pada paha kiri.

2.2. Bagaimana cara membawa pasien ke UGD pada kasus?


a) Persiapan pra-Rumah Sakit
Koordinasi dokter lapangan dan dokter rumah sakit yang baik
Pemberitahuan sebelum pengiriman pasien
Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, dan riwayat
penderita
b) Nilai sementara, pindahkan ke tandu dengan metode log roll, bawa ke
UGD RSUD.

2.3. Bagaimana penatalaksanaan awal di UGD pada kasus?


Setelah dilakukan primary survey dan di bawa ke UGD puskesmas maka
dilanjutkan dengan:
1) Resusitasi:
a. Airway: jaga jalan nafas agar tetap lancar (jaw thrust atau chin lift), atau
pasang naso-pharyngeal airway. Berikan oksigen 2-4 L/menit.
b. Breathing/ventilasi/oksigenisasi: berikan oksigen, bila tanpa intubasi
sebaiknya oksigen diberikan dengan face-mask. Pemakaian pulse
oximeter baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. Pada kasus ini,
pasang chest tube di ICS 5 linea axillaris anterior.
22

c. Circulation (dengan kontrol perdarahan): setelah perdarahan terbuka di


atasi (bebat tekan pada kepala), perdarahan tertutup pada pahadikurangi
dengan meninggikan kaki dari jantung(kaki digantung), tapi tetap
memperhatikan aliran ke ujung kaki agar tidak terjadi iskemik dan
kematian jaringan. Terdapat gangguan sirkulasi(diduga syok stage 3) :
pemberian cairan kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30
menit dan kateter urin untuk monitoring perfusi ginjal dan
hemodinamika pasien terkait syoknya. Jaga suhu tubuh jangan sampai
hipotermi.
d. Disability : periksa GCS lagi
e. Exposure: luka di dahi dan pelipis diobati dengan antiseptik.
Untuk fraktur femur dapat dilakukan reposisi (mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula) dengan traksi lalu diikuti dengan
imobilisasi. Biasanya dilakukan traksi skelet pada tuberositas tibia selama 20
minggu. Hal ini dilakukan mengingat femur yang dikelilingi oleh otot yang
kuat memungkinkan terjadinya dislokasi kembali di dalam gips. Fraktur
yang dapat diatasi denga traksi adalah intertrokanter dan subtrokanter,
diafisis oblik, segmental,komunitif, fraktur suprakondiler tanpa dislokasi
berat, dan fraktur kondilus femur. Untuk fraktur kollum femur dapat
dilakukan pemasangan fiksator tulang secara operatif atau mengganti
fragmen patahan tulang dengan prosthesis yang dilakukan pada pasien lanjut
usia.
Untuk fraktur iga dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri. Jika
analgesik tidak menghilangkan nyeri, harus dilakukan anastesi blok
interkostal yang meliputi segmen di kaudal dan cranial iga yang patah.
Karena perdarahan iga yang baik, penyembuhan dan penyatuan tulang
biasanya berlangsung cepat dan tanpa halangan atau penyulit.

2.4. Bagaimana kriteria merujuk pasien pada kasus ini? 3


Indikasi rujuk
a. Dari kemampuan petugas kesehatan yang bekerja. Apabila petugas
kesehatan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi trauma hingga
tuntas, maka sebaiknya dirujuk.
b. Kemampuan pusat pelayanan kesehatan. Apabila di RSUD tidak terdapat
fasilitas yang mencukupi dari diagnosis hingga tatalaksana untuk
mengatasi pasien trauma, sebaiknya dirujuk.
23

Persiapan sebelum merujuk pasien trauma dari RSUD ke RSMH


a. Keadaan pasien harus stabil selama di UGD.
b. Mengkonfirmasi indikasi rujuk pada klinis pasien dan atau atas permintaan
kerabat pasien.
c. Lengkapi catatan biodata pasien, serta riwayat tindakan, pengobatan, serta
respon yang diberikan selama pasien di UGD.
d. Menginfomasikan kepada petugas pendamping selama perjalanan mengenai
stabilisasi pasien (jalan napas, cairan, suhu), tindakan khusus yang mungkin
diperlukan, serta perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi selama di
perjalanan.
e. Siapkan surat rujukan.

3. Data pemeriksaan fisik:


Kepala
Inspeksi: Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm.
Pemeriksaan lain dbn.
Leher : trakea bergeser kekiri, vena jugularis distensi
Thorax
Inspeksi : Gerakan dada asimetris, kanan tertinggal frekuensi 40x/menit. Tampak
memar di sekitar dada kanan bawah sampai ke samping.
Auskultasi : Suara napas kanan melemah. bising napas kiri terdengar jelas. Bunyi
jantung terdengar jelas cepat frekuensi 110 x/menit.
Palpasi : Nyeri tekan pada dada kanan bawah sampai ke samping (lokasi
memar). Krepitasi pada costae 9, 10, 11 kanan depan.
Perkusi : Hipersonor di dada kanan, sonor di dada kiri.
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar.
Auskultasi : Bising usus melemah.
Perkusi : nyeri ketok (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+), defans muskular (+)
Ekstremitas
Inspeksi : paha kiri tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri.
Palpasi : Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
ROM : Pasif limitasi gerakan dan aktif limitasi gerakan.
III.1. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan
kepala?
Tabel 2. Interpretasi dan Mekanisme Pemeriksaan Kepala
Keadaan korban Keadaan normal Intepretasi Mekanisme
Kepala: Terdapat Tidak ada luka Terjadi perlukaan Kecelakaan
luka lecet di dahi pada bagian dahi benturan(trauma) kapitis
dan pelipis kanan dan pelipis jaringan kulit tergores
diameter 2-4 cm, luka lecet di dahi dan pelipis
24

yang lain dbn

III.2. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan


leher?
Tabel 3. Interpretasi dan Mekanisme Pemeriksaan Leher
Keadaan korban Keadaan normal Intepretasi Mekanisme
Trakea bergeser ke Trakea berada di Ada yang Trauma tumpul mengai
kiri tengah menyebabkan trakea thoraks fraktur iga
terdorong tension pneumothoraks
kanan udara di rongga
pleura peningkatan intra
pleural trakea bergeser ke
kiri (menjauhi sisi yang
mengalami pneumothoraks)
Distensi vena JVP 5-2 Ada yang Trauma tumpul mengenai
jugularis menghalangi aliran thoraks fraktur iga
balik vena tension pneumothoraks
kanan uda di rongga
pleura peningkatan
tekanan intrapleura
menghambar venous return
distensi vena jugularis

III.3. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan


thoraks?
Tabel 4. Interpretasi dan Mekanisme Pemeriksaan Thoraks
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
Thorax: gerakan dinding dada Simetris Gangguan pada pulmo
asimetris, kanan tertinggal, dekstra
RR 40x/min RR: 16-24 x/menit Takipneu
memar di sekitar dada kanan bawah - Trauma pada dada kanan
sampai samping
krepitasi pada costae 9, 10, 11 kanan - Fraktur costae 9,10,11
depan
perkusi: kanan hipersonor, kiri sonor Sonor kedua paru Pneumothoraks paru kanan
auskultasi bunyi napas kanan Bunyi napas jelas Paru kanan kolaps
melemah bising napas kiri jelas
jantung jelas cepat HR 110x/min HR: 60-100x/menit Takikardi

III.4. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan


abdomen?
Interpretasi telah terjadi akut abdomen yaitu peritonitis. Trauma abdomen
dapat menyebabkan perforasi organ dalam abdomen yang menyebabkan
25

perdarahan. Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan


memberikan tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular (otot dinding perut
menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat), pekak hati bisa
menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Bising usus menurun
sampai hilang akibat kelumpuhan sementara peristaltik usus (Wilson et al.,
2008).

III.5. Apa intepretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan


ekstremitas?
Tabel 5. Interpretasi dan Mekanisme Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas (paha kiri):
-Inspeksi:
Tampak deformitas, memar, Deformitas tertutup menandakan adanya fraktur tulang femur
hematom pada paha tengah kiri yang tertutup. Memar dan hematom menandakan adanya
cedera akibat trauma di daerah tersebut.
-Palpasi:
Nyeri tekan, krepitasi,
Nyeri tekan menandakan adanya cedera di daerah tersebut,
kemungkinan karena fraktur.
-ROM
aktif: limitasi gerakan,
pasif: limitasi gerakan ROM yang terdapat limitasi gerakan menandakan adanya
inflamasi sehingga menghambat terjadinya pergerakan oleh
tulang, sendi, dan otot. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur
tulang.

III.6. Bagaimana initial assessment pada kasus?


Sebagian besar negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi
peningkatan jumlah yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang.
Penambahan jalan raya dan penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan
laju jumlah korban dan kematian korban trauma. Banyak fasilitas kesehatan di
perifer tidak mampu menangani banyak korban sekaligus dari kecelakaan
yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya. Luka bakar yang berat
juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.
26

Beberapa perbedaan besar antara negara-negara berpenghasilan tinggi


dan yang rendah mendesakkan adanya kursus Primary Trauma Care ini
karena:
Jauhnya jarak yang harus ditempuh korban untuk mencapai rumah sakit
dengan fasilitasi medik yang memadai.
Lamanya waktu yang dibutuhkan korban untuk mencapai rumah sakit
Tidak adanya peralatan canggih dan penyediaan obat-obat yang penting
Tidak adanya tenaga kesehatan terdidik untuk menjalankan alat medik dan
merawatnya.
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam
menetapkan prioritas. Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang
mengancam jiwa dengan Survey Primer, seperti:
Obstruksi jalan nafas
Cedera dada dengan kesukaran bernafas
Perdarahan berat eksternal dan internal
Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan
dilakukan berdasar prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman
penolong dan fasilitas yang ada.
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure) ini disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5
menit.

Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat


banyak sistim yang cedera:
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan
bebas? Jika ada obstruksi maka lakukan :
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Suction / hisap (jika alat tersedia)
Guedel airway / nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
27

Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada

Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil

Sirkulasi
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma
Scale
Awake =A
Respons Bicara (Verbal) =V
Respons Nyeri =P
Tak Ada Respons =U

Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.
Pemeriksaan Ekstremitas
Pemeriksaan harus meliputi :
warna dan suhu kulit
28

perabaan nadi distal


tempat-tempat yang berdarah
deformitas ekstremitas
gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif
gerakan ekstremitas yang tak wajar dan adanya krepitasi
derajat nyeri bagian yang cedera
Pengelolaan cedera ekstremitas harus ditujukan pada :
memelihara aliran darah ke jaringan perifer
mencegah infeksi dan nekrosis kulit
mencegah kerusakan pada syaraf perifer
Masalah-masalah khusus
Hentikan perdarahan aktif dengan cara menekan langsung pada bagian
yang berdarah. Pemakaian torniket lebih merugikan karena jika terlupa
untuk melonggarkan akan mengakibatkan ischemia yang merusak
jaringan.
Fraktur terbuka. Setiap luka yang berada dekat fraktur harus dianggap
sebagai luka-luka yang saling berhubungan. Prinsip pengobatan meliputi:
menghentikan perdarahan eksternal
immobilisasi dan mengatasi nyeri
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini mendesak / menekan pembuluh darah
dan syaraf tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya
terjadi iskemia atau bahkan nekrosis otot.
Bagian ekstremitas yang teramputasi harus ditutup kasa steril yang
dibasahi NaCl 0,9% kemudian dibungkus dengan kantong plastik steril.
Potongan ekstremitas ini dapat dipertahankan sampai 6 jam tanpa
pendinginan, sedang jika didinginkan dapat bertahan sampai 18 20 jam.

III.7. Bagaimana tatalaksana transfer pasien ke rumah sakit rujukan?


Transfer atau mobilisasi adalah proses memindahkan pasien kasus
gawat darurat dari satu tempat ketempat lain. Manajemen mobilisasi yang baik
memindahkan pasien ke rumah sakit rujukan haru memenuhi syarat yakni
keadaannya stabil dan jalan nafas dijamin terbuka/ bebas. Lakukan monitor
(pengawasan ketat) dari nadi dan pernafasan.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum merujuk pasien:
- Komunikasikan tentang urutan penilaian dan tindakan serta hasil yang
didapat, riwayat perjalanan trauma, termasuk mekanisme trauma,
29

penemuan pemeriksaan fisik, pengobatan yang telah diberikan dan respon


yang ada serta pemeriksaan atau pencitraan yang dilakukan dan hasilnya.
- Menentukan tempat tujuan rujukan. Prinsip dalam menentukan tempat
rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan dan
terdekat. Termasuk fasilitas pelayanan swata dengan tidak mengabaikan
kesediaan dan kemampuan penderita.
- Pemberian informasi kepada penderita dan keluarganya tentang perlunya
rujukan untuk mendapat pertolongan fasilitas pelayanan kesehatan yang
lebih mampu
- Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui telepon
atau radio komunikasi disampaikan kepada tempat rujukan untuk
memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk dan bagaimana
keadaan pasien sehingga kebutuhan medis pasien bisa segera dipersiapkan
- Persiapkan surat rujukan, kebutuhan transportasi dan cara transportasi
serta perkiraan pasien tiba ke pusat rujukan.
- Dalam kasus gawat darurat maka seorang tenaga medis perlu
mendampingi penderita dalam perjalanan untuk menjaga keadaan umum
penderita

III.8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada kasus?


- X-Ray
- Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dan Laparotomi
Untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan ataupun cairan akibat
trauma intraabdominal. Indikasi dilakukannya DPL antara lain:
a. unexplained abdominal pain
b. trauma thoraks bagian bawah
c. hipotensi, penurunan Ht tanpa sebab yang jelas
d. pasien yang mengalami trauma abdomen dan disertai gangguan neurologis
e. Pasien dengan trauma abdomen dan medula spinalis
f. Fraktur pelvis

III.9. Apa komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus?


Komplikasi pada tension pneumothorax
Gagal napas akut (3-5%)
Henti jantung-paru
Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
Kematian
timbul cairan intra pleura, misalnya.
30

Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.


Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
Syok

Komplikasi fraktur costae:


Komplikasi yang timbul akibat adanya fraktur costa dapat timbul
segera setelah terjadi fraktur, atau dalam beberapa hari kemudian setelah
terjadi.Besarnya komplikasi dipengaruhi oleh besarnya energi trauma dan
jumlah costae yang patah.
Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa terdapat komplikasi
akibat fraktur costae. Pada fraktur costa ke 1-3 akan menimbulkan cedera pada
vasa dan nervus subclavia, fraktur costa ke 4-9 biasannya akan mengakibatkan
cedera terhadap vasa dan nervus intercostalis dan juga pada parenkim paru,
ataupun terhadap organ yang terdapat di mediastinum, sedangkan fraktur costa
ke 10-12 perlu dipikirkan kemungkinan adanya cedera pada diafragma dan
organ intraabdominal seperti hati,limpa,lambung maupun usus besar.
Pada kasus fraktur costa simple pada satu costa tanpa komplikasi dapat
segera melakukan aktifitas secara normal setelah 3-4 minggu kemudian,
meskipun costa baru akan sembuh setelah 4-6 minggu.

Komplikasi awal :
Pneumotoraks, efusi pleura, hematotoraks, dan flail chest, sedangkan
komplikasi yang dijumpai kemudian antara lain contusio pulmonum,
pneumonia dan emboli paru. Flail chest dapat terjadi apabila terdapat fraktur
dua atau lebih dari costa yang berurutan dan tiap-tiap costa terdapat fraktur
segmental,keadaan ini akan menyebabkan gerakan paradoksal saat bernafas
dan dapat mengakibatkan gagal nafas.

III.10. Bagaimana prognosis pada kasus?


Dubia et Bonam jika ditangani dengan segera

IV. Learning Issue


Anatomi Thorax, Abdomen, Ektremitas
1. Thorax
Struktur Dinding Thorax
Dinding thorax di sebelah luar dilapisi oleh kulit dan otot-otot yang
melekatkan gelang bahu pada tubuh. Dinding thorax dilapisi oleh pleura parietalis.
31

Di bagian posterior dinding thorax dibentuk oleh pars thoracica columna


vetebralis; di anterior oleh sternum dan cartilagines costales; lateral oleh costae
dan spatium intercostae; superior oleh membrana suprapleuris; dan inferior oleh
diafragma yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas abdomen.
Sternum terletak di garis tengah dinding anterio thorax. Sternum dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu manubrium sterni, corpus sterni, dan processus
xiphoideus. Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum yang masing-
masing sisnya bersendi dengan clavicula, cartilagines costales I dan bagian atas
cartilagines costales II. Corpus sterni bersendi dengan manubrium sterni pada
bagian atas melalui symphisis manubriosternalis dan bersendi dengan processus
xiphoideus pada bagian bawah melalui symphisis xiphosternalis. Pada setiap sisi
corpus terdapat lekukan-lekukan untuk bersendi dengan bagian bawah cartilagines
costales II dan cartilagines costales III sampai VII melalui junctura synovialis.
Processus xiphoideus merupakan bagian sternum yang paling bawah dan paling
kecil.
Cartilagines costae merupakan batang cartilago hyalin yang menghubungkan 7
costae bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan costae VIII, IX, dan X
dengan cartilago tepat diatasnya. Cartilagines costales XI dan XII berakhir pada
otot-otot abdomen. Cartilagines costae berperan penting dalam elastisitas dan
mobilitas dinding thorax.
Costae terdiri dari 12 pasang yang semuanya melekat pada vetebrae
thoracicae. Tujuh pasang costae yang teratas melekat pada bagian anterior
sternum melalui cartilagines costales. Pasangan costae VII sampai X di anterior
melekat satu dengan yang lain dan ke costa VII melalui cartilagines costales dan
junctura synovialisyang kecil. Pasangan costae XI dan XII tidak mempunyai
perlekatan di depan dan dinamkan costae fluctuantes. Setiap costae mempunyai
caput, collum, tuberculum, corpus, dan angulus costae.
32

Gambar 6. Permukaan anterior sternum. B. Sternum, costae dan cartilagines


costales (Snell, 2102).

Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru serta
pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang mudah
bergerak dan meluad ke atas sampai apertura thoracis inferior dan pangkal leher,
dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke depan sampai sternum
dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis. Mediastinum berisi sisa
thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, trachea dan esofagus,
ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan nervus phrenicus, dan
truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum inferius.
Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri besar, trachea,
esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus. Mediastinum inferius
dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi pericardium dan jantung,
mediastinum anterius yang merupakan ruang antara pericardium dan sternum, dan
mediastinum posterius yang terletak dia antara pericardium dan columna
vetebralis.
33

Gambar 7. Pembagian mediastinum (Snell, 2012).

2. Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis dan
di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus abdominis,
musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus abdominis serta
fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi
cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.

Struktur Umum Viscera Abdomen


Abdomen dapat dibagi menjadi empat kompartemen anatomis, yaitu
(Williams, 2013): Regio thorax, regio peritoneum, regio retroperitoneum, dan
regio pelvis. regio thorax berisi diafragma, hati, limfa, dan lambung. Regio
peritoneum disebut juga true abdomen yang berisis lambung, usus halus dan usus
besar, omentum, rahim, dan terkadangan puncak dari vesika urinaria. Regio
retroperitoneum mencakup pembuluh-pembuluh darah besar, ginjal, kolon, uterus,
pankreas, dan duodenum. Regio pelvis dibentuk oleh sambungan tulang-tulang
pelvis.
34

Gambar 8. Susunan Umum Viscera Abdomen

3. Ekstremitas Bawah (Femur)


Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Femur bersendi dengan acetabulum untuk
membentuk articulatio coxae di atas dan dengan ibia dan patella untuk
membentuk articulatio genus di bawah. Ujung atas femur memiliki caput, collum,
trochanter major, dan trochanter minor. Caput membentuk kira-kira dua pertiga
dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae untuk membentuk
articulatio coxae. Fovea capitis merupakan lekukan pada pusat caput untuk tempat
melekatnya ligamentum capitis femoris.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut
ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Corpus femoris permukaan
anteriornya licin dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai rigi yang
disebut linea aspera. Linea aspera ini adalah tempat melekatnya otot-otot dan
septa intermuscularis.

Fisiologi Pernapasan dan Sirkulasi Darah


Ventilasi merupakan proses pergerakan udara keluar-masuk paru secara
berkala, dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 diantara darah kapiler paru dengan
udara atmosfer segar. Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru (Gambar 3). Kontraksi dan relaksasi
otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung
35

akan menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan cara berkala mengembang
kempiskan rongga thorak, dan paru secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi
aktif dari m. diafragma dan m. intercostalis externus meningkatkan volume rongga
thorak, sehingga menyebabkan tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat
mulainya inspirasi, menurun sekitar -6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih
diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada
akhirnya udara mengalir ke dalam paru.
Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi saluran pernapasan.
Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada kaliber
saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat rendah, dan laju aliran udara
biasanya bergantung pada gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer.
Apabila resistensi pernapasan meningkat secara patologis akibat dari penyakit paru
obstruktif kronik, gradien tekanan harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas
otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.
Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus
berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat rongga dada,
menyebabkan tekanan intrapleura berkurang sampai -30 mmHg, dan menyebabkan
derajat inflasi paru yang lebih besar.
Sistem sirkulasi tubuh secara garis besar dibedakan menjadi sirkulasi darah besar dan
kecil. Darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan inferior akan masuk ke
atrium kanan untuk selanjutnya dipompakan melewati katup bicuspidalis ke ventrikel
kanan. Setelah itu, melalui arteri pulmonalis darah ini akan dialirkan menuju paru-
paru. Terjadi pertukaran antara oksigen dari atmosfer dengan CO2 dari darah yang
dialirkan sebelumnya. Difusi oksigen masuk ke dalam sel. Sel-sel darah yang
membawa oksigen bersamanya akan menuju jantung kembali melalui vena
pulmonalis. Sampai di atrium kiri, darah kembali dipompakan melewati katup
trikuspidalis ke ventrikel kiri. Darah yang berada di ventrikel kiri dipompakan ke
seluruh tubuh melalui aorta. Dari aorta darah menuju arteri lalu ke arteriol dan
kapiler-kapiler kecil untuk memperfusi jaringan. Struktur kapiler yang seperti
anyaman membuat difusi oksigen lebih optimal terjadi.
Trauma Kepala dan Leher
Trauma kepala atau trauma kapitis merupakan suatu ruda paksa (trauma) yang
mengenai struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan/atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Manurut Brain Injury
Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, tidak
36

bersifat kongenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau


benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-
Brown, & Thomas, 2006).
A. Karakteristik
a. Jenis kelamin
Secara keseluruhan, laki-laki dua kali lebih banyak mengalami trauma kepala
dibandingkan perempuan. Namun, pada usia yang lebih tua perbandingannya hampir
sama. Ini dapat terjadi pada usia tua disebabkan oleh terjatuh sehingga angka
mortalitas untuk laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger,
Levine, Jane et al., 1984).
Menurut Brain Injury Association of America, laki-laki cenderung mengalami
trauma kepala 1,5 kali lebih banyak dari perempuan (CDC, 2006).
b. Umur
Risiko trauma kepala adalah usia 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena kelompok
usia ini banyak berpengaruh dengan alcohol, narkoba, dan kehidupan sosial yang
tidak bertanggung jawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury
Association of America, dua kelompok usia yang mengalami risiko tertinggi adalah
usia 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC, 2006).

B. Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi/area terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua,
yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada
kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara
tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai
kepada duramater (Anderson, Heitger, & Macleod, 2006). Kemungkinan kecederaan
atau trauma adalah seperti berikut:
a. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut(Duldner,
2008):
37

Simple: retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit


Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering.
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
Compound: retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural.
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat
(Graham & Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-
tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal
keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah pada orbital
mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media
dan posterior (Garg, 2004).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian
ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004).
b. Luka memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh
darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak
rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada
frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat
suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
c. Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan olehbenda bermata tajam dimana
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan
seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang
ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan
dapat menimbulkan jaringan parut.
d. Abrasi
38

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis
tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial
terlepas setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
C. Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah
beberapa hari.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan perlahan-lahan meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
39

c. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
d. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
e. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Dimana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hantaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright,
Aronowski, Barreto, 2008).

D. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Glasgow Coma Score (GCS)


Glasglow Coma Score adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada tingkat setiap kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah:
1. Proses membuka mata (eye opening)
2. Reaksi geraka motoric ekstermitas (best motor response)
3. Reaksi bicara (best verbal response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma Kepala disimpulkan dalam suatu tabel GCS.
Tabel 6. Skala Koma Glasglow
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (dekerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara-suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
40

Berdasarkan Skala Koma Glasglow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
1. Trauma kapitis ringan, skornya 14-15
2. Trauma kapitisi sedang, skornya 9-13
3. Trauma kapitis berat 3-8
a. Trauma Kepala Ringan
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,
2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak
karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada
penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).
b. Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c. Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al.,
1986). Pada sebuah penelitian, penderita cedera kepala berat akan menunjukkan
kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004).

Trauma Thoraks dan Abdomen


Trauma abdomen Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga
terletak diantara toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding
41

(abdominal wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis,dan
ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan
dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior
abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan
horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian
atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale.
yaitu:
1) Hypocondriaca dextra
meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu, sebagian duodenum, fleksura
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra
meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian
proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum dan
jejenum.
5) Umbilicalis
meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.
6) Lateralis sinistra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan
ileum.
7) Inguinalis dextra
meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8) Pubica
meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra
meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan 12.
Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n.
torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding
abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup pelvis
sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit
menentukan lokasi
42

nyeri. Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi nervi spinalis C5


mengakibatkan iritasi pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di bahu, yang
disebut Kehr sign
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat
cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh
yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ.
Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan
fungsi membran sel, gangguan integritasendotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat
pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated intravascular
coagulation). Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan
trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga
algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi
organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ
yang mengalami kerusakan.
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:
a.Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b.Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme
utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga
kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi
adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada
organ padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen pada organ berongga dan menyebabkan ruptur.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum abdomen
tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-
akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab
utama kematian dini pasca trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum
abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan
mengirim pasien ke ruang operasi.
Trauma tajam
43

Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh
tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka
yaitu:
luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka
bacok (vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan
tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ
viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai
organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan
iritasi pada peritoneum.
Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar,
patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan
mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan
maupun organ dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul
disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai
kelenturan (non complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum
mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.
Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ
padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distalorgan yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkangaya
potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction
2) Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra
atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,biasanya terjadi pada
organ-organ padat seperti lien, hati, dan ginjal.
3.) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen
yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ
44

berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ
yang terkena cedera.
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan
tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 7. Cedera Organ Terkait Fraktur Langsung
Organ/area yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait
Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Rupture lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera pankreas
Fraktur prosessus transversalis lumbal Cedera ginjal
Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera uretra

Trauma Ekstremitas
Fraktur Femur
Fraktur femur dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur mempunyai insiden yang cukup tinggi di antara jenis-jenis
patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur di daerah kaput, kolum, trokanter, subtrokanter, suprakondilus biasanya
memerlukan tindakan operatif.
b. Fraktur kolum femur
Dapat terjadi akibat trauma langsung, pasien terjatuh dengan posisi miring dan
trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalanan. Pada
trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada wanita
usia tua yang tulangnya sudah mengalami osteoporosis.

Etiologi
a. Trauma
b. Gaya meremuk
c. Gerakan puntir mendadak
d. Kontraksi otot ekstrem
e. Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma

Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih besar dari
yang dapat tulang serap. Pada dasarnya ada dua tipe dasar yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur, kedua mekanisme tersebut adalah: Yang pertama mekanisme
45

direct force dimana energi kinetik akan menekan langsung pada atau daerah dekat
fraktur. Dan yang kedua adalah dengan mekanisme indirect force, dimana energi
kinetik akan disalurkan dari tempat tejadinya tubrukan ke tempat dimana tulang
mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi pada titik atau tempat yang
mengalami kelemahan.
Pada saat terjadi fraktur periosteum, pembuluh darah, sumsum tulang dan
daerah sekitar jaringan lunak akan mengalami gangguan. Sementara itu perdarahan
akan terjadi pada bagian ujung dari tulang yang patah serta dari jaringan lunak (otot)
terdekat. Hematoma akan terbentuk pada medularry canal antara ujung fraktur
dengan bagian dalam dari periosteum. Jaringan tulang akan segera berubah menjadi
tulang yang mati. Kemudian jaringan nekrotik ini akan secara intensif menstimulasi
terjadinya peradangan yang dikarakteristikkan dengan terjadinya vasodilatasi,
edema, nyeri, hilangnya fungsi, eksudasi dari plasma dan leukosit serta infiltrasi dari
sel darah putih lainnya. Proses ini akan berlanjut ke proses pemulihan tulang yang
fraktur tersebut.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi:
a. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit
b. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
c. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
d. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
e. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
f. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

Tabel 8. Perbedaan Fraktur pada Femur


Fraktur batang femur Fraktur kolumna femur
Daerah paha yang patahan tulangnya Pada pasien muda biasanya mempunyai
sangat membengkak, ditemukan tanda riwayat kecelakaan berat, sedangkan
fungsio laesa, nyeri tekan dan nyeri pasien tua biasanya hanya riwayat trauma
gerak. ringan, misalnya terpeleset
Tampak adanya deformitas angulasi ke Pasien tak dapat berdiri karena sakit pada
46

lateral atau angulasi anterior, panggul


endo/eksorotasi. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan
Ditemukan adanya pemendekan tungkai endorotasi
bawah Tungkai yang cedera dalam posisi
Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat abduksi, fleksi, dan eksorotasi, kadang
pemerikasaan harus diperhatikan juga terjadi pemendekan
pulaadanya kemungkinan dislokasi sendi Pada palpasi sering ditemukan adanya
panggul dan robeknya ligamentum di hematom di daerah panggul
daerah lutut. Setelah itu periksa juga Pada tipe impaksi biasanya pasien masih
keadaan nervus siatika dan arteri dorsalis bisa berjalan disertai rasa sakit yang tidak
pedis begitu hebat, tungkai masih tetap dalam
posisi netral

Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri dan bengkak
Penyebab trauma
b. Pemeriksaan fisik
Hematom
Edema
Deformitas
Terjadi pemendekan tulang
Krepitasi
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur: menentukan lokasi, luasnya
fraktur/trauma
Scan tulang: menidentifikasi kerusakan jaringan lunak
Pemeriksaan jumlah darah lengkap. Hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi), menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh dari trauma multiple)
Peningkatan SDP: respon stres normal setelah trauma
Arteriografi: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
47

Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah atau cedera
hati

Definisi Fraktur Femur


Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah
fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung
maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur
terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha (Helmi, 2012)
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan
bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas
tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak
langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi Fraktur Femur


Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak
garis fraktur seperti dibawah ini:
a. Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering terjadi
pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko nekrotik
avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik. Penatalaksanaannya
sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi
konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat
dilakukan dengan anestesi general.
b. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan menurut
Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur satu level
48

dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah
dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas
trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu
kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan
alternatif pada pasien dengan usia muda.
c. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara klinis
dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak,
risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi
antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan
penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan
pemasanganplate-screw.
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga
terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan bidai
Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif
pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-
phroc dare screw.

e. Fraktur Kondiler Femur


Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke atas.
Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6 minggu dan
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union
sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.

Proses Penyembuhan Fraktur


Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme
alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan
terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur
dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri,
memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan
49

gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima
tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang
tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis
dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler
di dalamnya (Black & Hawks, 2001).
b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi
sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung
fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2010).
c) Tahap pembentukan kalus (2-6minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang
mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan
periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih
padat, gerakan pada tempat fraktur semakinberkurang pada empat minggu
setelah fraktur menyatu (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
d) Osifikasi (3 minggu-6bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.
Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui
proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu (Smeltzer & Bare, 2010).
50

e) Konsolidasi (6-8bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur berubah
menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan
osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di
belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan
tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum
tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk,2010).
f) Remodeling (6-12bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk
yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010;
Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius
distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur (Smeltzer, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang
secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah
tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur
(Smeltzer,2010).Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar
antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
51

terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi,
atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang
cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi
yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul
dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan
infeksi (Smeltzer, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus,
atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam
sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang.
Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan
bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi
fraktur dengan penyatuan yangburukdan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur
patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri) (Smeltzer, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2010; Bucholz; Heckman; Court-
Brown, 2010).

b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini
adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Smeltzer,2010).
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera atau
alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera (Smeltzer, 2010).
Komplikasi Fraktur Femur
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
52

sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent


jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra
karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya
pada fraktur femur pelvis (Sjamsuhidajat, dkk,2010).
b) Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam
lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ
lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam
sampai satu minggu setelah cidera gambaran khasnya berupa hipoksia,
takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2010).
c) Sindrom kompartemen (VolkmannsIschemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen
ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut
nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas (Smeltzer, 2010).
d) Nekrosis avaskulartulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Sjamsuhidajat, 2010).
e) Atrofiotot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-
sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot
(Sjamsuhidajat, dkk,2010).

Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Trauma


1. Basic Trauma Life Support
- Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam
resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam
penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila,
fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara
mendadak dan total, perlahan lahan dan sebagian, dan progresif
dan/atau berulang.Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi
kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu
dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift. Jaw
thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal. Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian
penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita
dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama
atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan,
mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus
dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami
penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke
belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti
ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang
bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya
dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal
airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-
tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu,
selama melakukan prosedur-prosedur ini harus dilakukan
imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004)

Teknik-teknik mempertahankan airway :


a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan
kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher
pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan
pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang.
Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati hati diangkat ke atas untuk membawa
dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati hati diangkat. Maneuver chin lift
tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini
berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada
pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas
melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan
jalan napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas
bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian
pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari
tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa
orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke
atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut.
Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah
180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw
thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong
pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang
keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir
lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas
bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena
lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang
muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah
ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak
telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan
kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring
dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah).
Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas
pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa)
( Arifin, 2012).
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau
trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan
pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas


dengan cara cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas
(GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat

2. Advanced Trauma Life Support


ATLS merupakan program pelatihan manajemen kasus-kasus trauma
akut bagi petugas pelayanan kesehatan. Program ATLS secara luas
diakui sebagai standar pelayanan untuk penilaian dan tatalaksana awal
trauma. Prinsip umum ATLS adalah menangani pertama kali keadaan
yang paling mengancam jiwa.
Secara garis besar ATLS dibagi menjadi tiga tahapan berurutan:
primary survey, secondary survey, dan tertiary survey. Survei primer
adalah bagian pertama dan terpenting dari penilaian awal pasien
trauma. Pada survei primer, cedera yang mengancam jiwa
diidentifikasi dan secara bersamaan resusitasi dimulai. Langkah-
langkah survei primer adalah ABCDE.
Survei sekunder merupakan pemeriksaan pasien trauma dari kepala
hingga ujung kaki, termasuk anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik
lengkap, dan penilaian kembali tanda-tanda vital. Survei sekunder
dimulai hanya saat survei primer selesai, usaha resusitasi telah
berjalan dengan baik, dan tanda-tanda vital bergerak menuju normal.
Setiap regio tubuh harus diperiksa lengkap dan X-ray dilakukan sesuai
pada bagian yang terindikasi oleh pemeriksaan fisik. Survei tersier
merupakan pemeriksaan yang hati-hati dan lengkap diikuti dengan
penilaian berkala untuk mengenali cedera dan masalah kesehatan lain
yang terlewatkan oleh survei primer dan sekunder. Pelaksanaan survei
tersier mengizinkan perawatan definitif.

V. Hipotesis
Seorang supir minibus, laki-laki 30 tahun, mengalami multiple trauma
akibat kecelakaan lalu lintas.

VI. Kerangka Konsep


Supir minibus, laki-laki, 30 tahun, mengalami kecelakaan
menabrak pohon beringin dan terlempar keluar melalui kaca
depan mobil

Benturan femur Benturan Benturan kepala


Benturan
thorax abdomen
Fraktur femur Lecet dahi & pelipis
sinistra tertutup Ruptur kanan d 2-4 cm
Fraktur c.
jaringan
9,10,11
Deformitas Cedera a. dextra Peritonitis
paha kiri femoralis
sinistra
Menstimulus Merusak Nyeri ketok +
pemb. darah defans
nosi reseptor
Perdarahan sekitar lesi muscular

Nyeri tekan dada Darah ekstravasasi


Hematom paha kanan-samping ke jar. subkutan
tengah kiri

Memar dada kanan


Hipoksia otak bawah -samping
Stimulasi
nosireseptor
Penurunan Merobek pleura
kesadaran visceralis paru
Nyeri tekan
GCS 13
paha kiri
pada palpasi Udara atsmofer masuk mengisi
kavum pleura krn perbedaan
tekanan

Udara terperangkap
dalam kavum pleura
Hipersonor pada
perkusi thoraks Terakumulasi pada
dextra kavum pleura dextra

p kavum pleura dextra


Bunyi napas kanan
Aktivitas
melemah
paru kanan
rendah Efektifitas
Gangguan aliran Mendesak trakea
darah balik vena ventilasi
turun
Gerakan dinding
asimetris, dada Deviasi trakea ke
kanan tertinggal Distensi vena kiri Hipoksia
jugularis
Kompensasi Sianosis
- takikardi
-takipneu
- grunting

VII. Kesimpulan
Seorang supir minibus, laki-laki 30 tahun, mengalami tension
pneumothoraks dextra, trauma abdomen, fraktur femur sinistra tertutup
dan syok et causa trauma multipel.

Anda mungkin juga menyukai