Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN RESMI SKILL LAB LBM 1

MODUL PHARMACOTERAPY OF RESPIRATORY & GASTROINTESTINAL


SYSTEM DISORDER
PNEUMONIA

Kelompok 1 :

Alfi Inayah (33101400264)


Ana Ibrir Wajha (33101400267)
Auni Irdina (33101400272)
Bagus Riyanto (33101400273)
Bayu Febriyanto (33101400274)
Binta Farahiya Sajida (33101400275)
Nur Aini (33101400314)
Nur Hamidah (33101400315)
Siti Nurul Azizah (33101400334)
Rusda Alina (33101400348)
Ziantifani (33101400347)

PRODI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017

1
I. TUJUAN
Skill lab bertujuan untuk melatih mahasiswa memecahkan suatu kasus tentang
penyakit sistem repirasi dan gartro intestinal yaitu pneumonia sebagai simulasi dalam
pemecahan permasalahan yang sebenarnya dalam dunia klinis. Mahasiswa juga dituntut
untuk dapat mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan Drug Related Problem,
agar mendapatkan hasil rencana pengobatan yang efektif dan efisien. Mahasiswa harus
mampu menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Planning)
untuk memecahkan kasus yang berdasarkan scenario serta pencarian literatur yang
valid.

II. LANDASAN TEORI


A. Penegertian Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru. CAP mengacu pneumonia yang
diperoleh di luar rumah sakit atau diperpanjang perawatan fasilitas pada pasien tanpa
paparan baru ke perawatan kesehatan sistem. Diagnosis CAP membutuhkan
kehadiran klinis fitur yang berkembang selama jam untuk hari dalam kombinasi
dengan radiologi bukti menyusup. Temuan ini dapat lebih didukung oleh pengamatan
pemeriksaan fisik karakteristik atau hipoksemia. Perkiraan kejadian kisaran CAP dari
4 juta sampai 5 juta kasus per tahun dengan menyertainya 10 juta dokter visits. Pada
tahun 2006, ada 1,23 juta rawat inap untuk pneumonia di Amerika Serikat, sama
dengan tingkat 41,3 kasus per 10.000 pembuangan. rekening pasien yang lebih tua
dari 65 tahun untuk sepertiga dari semua kasus pneumonia, tetapi bertanggung jawab
untuk hampir 60% dari rawat inap, karena komorbiditas, termasuk jantung Penyakit,
penyakit paru, dan mellitus.83,84 diabetes Pada tahun 2006, pneumonia, bersama
dengan influenza, adalah penyebab utama kedelapan kematian di keseluruhan
Amerika Serikat, dengan 90% kematian terjadi pada populasi pasien 65 dan lebih
tua. Tingkat kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 5%, sedangkan angka
kematian di dirawat di rumah sakit pasien rata-rata 12% di semua tingkat keparahan,
dan hingga 40% pada pasien yang membutuhkan care.81 intensif Biaya merawat
pasien dengan pneumonia di 2005was sekitar $ 40 miliar, dengan $ 34 miliar pada
biaya langsung (Alldredge, 2012).
HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi setidaknya 48 jam setelah
masuk dan tidak mengerami pada saat rawat inap. VAP mengacu pada pneumonia
yang timbul 48 sampai 72 jam setelah endotrakeal intubasi. HCAP terjadi dalam

2
waktu 48 jam masuk di pasien dengan faktor risiko sebelumnya untuk infeksi yang
disebabkan oleh berpotensi patogen resistan terhadap obat, termasuk rawat inap di
rumah sakit perawatan akut selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari
infeksi; tinggal di sebuah panti jompo atau fasilitas perawatan jangka panjang;
penerimaan terapi, kemoterapi, atau perawatan luka antibiotik IV baru-baru ini dalam
30 hari terakhir dari infeksi saat ini; yang tinggal di dekat kontak dengan seseorang
dengan patogen multidrug-resistant atau menghadiri rumah sakit atau hemodialisis
klinik (Alldredge, 2012).

B. Patofisiologis
CAP
Mekanisme patogen kunci dalam pengembangan CAP adalah menghirup partikel
menular. Aspirasi orofaringeal atau isi lambung dengan infeksi berikutnya bisa
terjadi pada pasien dengan penyakit yang mendasari neuromuskuler, stroke, atau
gangguan kejang, dan pada pasien dengan keadaan kesadaran yang berubah
dihasilkan di gangguan menelan dan penutupan epiglottic. Jarang, penyebaran
hematogen bakteri dari sumber yang jauh ke dalam paru-paru mungkin terjadi, serta
perluasan langsung dari infeksi ke paru-paru dari daerah yang berdekatan, seperti
pleura atau subdiaphragmatic spasi. Setelah bakteri mencapai pohon trakeobronkial,
cacat pada pertahanan paru lokal memudahkan infeksi. Depressedmucociliary
clearance dan epitel bronkial terluka dipicu oleh mediator inflamasi berkontribusi
pada proses patogenik. Selain itu, respon seluler dan humoral tumpul, termasuk
mengurangi kemotaksis granulosit, leukopenia, disfungsional makrofag alveolar, dan
produksi antibodi berkurang atau fungsi pada pasien dengan imunodefisiensi yang
mendasari atau diperoleh, kompromi tuan rumah untuk menyerang patogen
(Alldredge, 2012).
HAP
Mikroorganisme memperoleh akses ke saluran pernapasan bagian bawah melalui
aspirasi patogen orofaringeal dan kebocoran sekresi sekitar manset tabung
endotrakeal di patients. Diintubasi perangkat invasif perawatan, peralatan yang
terkontaminasi, dan transfer mikroorganisme antara staf dan pasien berfungsi sebagai
primer sumber patogen, dan meskipun lebih kontroversial, gastrointestinal tractmay
juga berperan dalam kolonisasi bakteri (Alldredge, 2012).

3
C. Klasifikasi Pneumonia
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang
berbeda penatalaksanaannya.
1. Community acquired pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen
umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak
patogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
2. Nosokomial Pneumonia
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Patogen
yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika
yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif
batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu
mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik
yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp.. Pseudomonas
aeruginosa merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering
dijumpai pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang
resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
3. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret oropharyngeal dan cairan
lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental
terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang
menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi
dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci anaerob.
Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri yang lazim dijumpai
campuran antara Gram negatif batang + S. aureus + anaerob (Depkes. 2005).

D. Faktor Resiko
a. Usia tua atau anak-anak
b. Merokok
c. Adanya penyakit paru yang menyertai
d. Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus Splenektomi
(Pneumococcal Pneumonia)

4
e. Obstruksi Bronkhial
f. Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti
kortikosteroid
g. Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)
(Depkes. 2005)

h. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada pneumonia menurut linda sowden, 2002 adalah
1. Batuk
2. Dipsnea
3. Takipnea
4. Sianosis
5. Melemahnya suara nafas
6. Retraksi dinding thoraks
7. Nafas cuping hidung
8. Nyeri abdomen ( disebabkan iritasi diafragma oleh paru terinfeksi di dekatnya )
9. Batuk paroksimal mirip pertusis ( umum terjadi pada anak yang lebih kecil )
10. Anak-anak yang lebih besar tidak tampak sakit
(Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002)

i. Diagnosa
Pemeriksaan diagnostik
Prosedur diagnostik bagi klien dengan pneumonia dapat mencakup yang berikut,
namun demikian tidak terbatas hanya yang tertera di sini saja, tetapi secara umum
prosedur diagnostik ini sering dilakukan :
1. Ronsen dada untuk memastikan konsolidasi dan distribusi paru, efusi pleural
2. Pemeriksaan sputum untuk kultur dan sensitivitas
3. Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
4. Hematologi : hitung sel darah putih (SDP) untuk pneumonia bakterialis dan
aglutinin dingin dan fiksasi komplemen untuk pemeriksaan virus
5. Torasentesis untuk mendapat spesimen cairan pleural bila terdapat efusi pleural
( Niluh gede, 2002 )

5
j. Algoritma

Figure 1. Approach to empiric antibiotic theraphy in patien with CAP


(Alldredge, 2012).

k. Tatalaksanaa Terapi Pneumonia


1. Non Farmakologi
Prioritas utama untuk mengassessment pasien dengan pneumonia adalah dengan
mengevaluasi adekuat atau tidaknya fungsi respirasi dan untuk menentukan ada
atau tidaknya gejala atau tanda penyakit sistemik, secara spesifik speerti
dehidrasi atau sepsis yang dapat menyebabkan kolaps sirkulasi. Oksigenasi pada
kasus parah, ventilasi mekanis dan resusitasi cairan dapat dilakukan apabila
diperlukan. Terapi nonfarmakologi pendukung adalah dengan dukungan nutrisi
optimal serta mengontrol suhu tubuh.

6
2. Farmakologi
Treatment dari bacterial pneumonia sama dengan terapi infeksi pada umunya dan
untuk terapi inisial dapat digunakan secara empiris yaitu penggunaan antibakteri
spectrum luas yang mampu secara efektif melawan pathogen serambi menunggu
kultur dan evaluasi jenis pathogen dari laboratorium. Beberapa factor yang
mampu membantu untuk mendefinisikan pathogen adalah umur pasien, riwayat
pengobatan, pengobatan sekarang, penyakit penyerta, fungsi organ penting, dan
status klinis. Faktor ini diperlukan sebagai dasar pemilihan regimen antibiotic.

(DiPiro,J.T,dkk. 2005)

7
- Community-Acquired Pneumonia
Pada pneumonia komunitas, bakteri penyebabnya relative konstan. Namun saying
terjadi peningkatan resistensi terhadap antimikroba standar (pneumococcus
resistensi penicillin). Secara empiris sesuai dengan guidline pneumonia
komunitas, pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit (outpatients) dapat
menggunakan golongan macrolida/azalida, doxycycline, atau floroduinolone.
Pada pasien yang dirawat di rumah sakit (inpatients) dibagi dua, yaitu di bangsal
dan ICU. Untuk pasien di bangsal dianjurkan memakai golongan cephalosporin
spectrum luas bersama makrolida, golongan beta laktam bersama makrolida, atau
golongan floroquinolon tunggal. Lain halnya dengan pasien ICU dianjurkan
memakai golongan cephalosporin spectrum luas, golongan beta laktam bersama
floroquinolon atau bersama macrolida.
- Hospitality-Acquired Pneumonia
Pemilihan antibiotic harus lebih diperhatikan karena lebih mudah terjadi
resistensi. Ironisnya penggunaan antibiotic beta laktam yang dapat menyebuhkan
resistensi multiple antibiotic pada organisme rumah sakit, malah mampu
menginduksi perluasan spectrum dari bakteri beta laktamase dan dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi. Secara empiris, penggunaan
antibiotic seperti floroquinolon atau makrolida dapat menjadi pilihan bersama
dengan penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan SARS (Severe Acute
Respiratory Syndrome) ataupu tidak.

(Di Piro,J.T,dkk. 2005)

8
Terapi Pendukung
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :
Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda
sesak, hipoksemia.
Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
Nutrisi
Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
Nutrisi yang memadai.
(Depkes. 2005)

(Fine MJ, Auble TE, Yealy DM, et al.1997)

9
(Fine MJ, Auble TE, Yealy DM, et al.1997)

10
METODE SOAP : Subjective, Objective, Assessment, Plan
Metode SOAP merupakan suatu metode yang digunakan untuk merancang
pemecahan masalah, menganalisis, dan mengevaluasi suatu medikasi yang diberikan
kepada pasien yang bertujuan untuk menemukan metode penyembuhan terbaik bagi
pasien. Metode ini sering dilakukan oleh farmasi klinis yang paling sering ditemui
adalah meng-skrinning resep yang diberikan oleh dokter, sehingga hasil akhir dari
metode ini dapat memberikan informasi baik bagi pasien, ataupun bagi tenaga
kesehatan lain khususnya dokter.
Subjective
Data tentang apa yang dirasakan pasien atau apa yang dapat diamati tentang pasien
yang merupakan gambaran apa adanya mengenai pasien. Diperoleh dengan cara
mengamati, berbicara, dan berespon dengan pasien. Meliputi:
Identitas pasien
Keluhan pasien
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit penderita
Riwayat pengobatan
Kebiasaan

Objective
Riwayat pasien yang terdokumentasi pada catatan medik dan hasil berbagai uji dan
evaluasi klinik.Tanda-tanda vital, hasil test lab, hasil uji fisik, hasil radiografi, CT
scan, ECG, dll. Obat yang digunakan sekarang termasuk dalam data obyektif harus
dikaitkan dengan problem kesehatan pasien. Meliputi :
Data vital sign
Data laboratorium

Assesment
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yangtidak dikehendaki dan kemungkinan
adanya masalah baruterkait obat. Meliputi :
Problem medik
Terapi yang di peroleh

11
DRP yang di temukan dalam kasus antara lain :
1. Over dose
2. Under dose
3. Pemilihan obat tidak tepat
4. Adverse Drug Reaction
5. Interaksi obat
6. Obat tanpa indikasi
7. Indikasi tanpa obat
8. Kepatuhan (compliance) pasien

Plan
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang
dapat dilakukan untukmenyelesaikan masalah. Meliputi :
1. Penetapan tujuan terapi
2. Solusi pada problem DRPs
3. Pemilihan terapi farmakologi berdasarkan farmakoterapi rasional meliputi
4T1W:
a. Tepat indikasi
b. Tepat dosis maksudnya menyesuaikan regimen dosis/rute/bentuk sediaan
obat dengan aturan dan kondisi pasien
c. Tepat obat maksudnya menyesuaikan mekanisme aksi obat dengan
diagnosis dan interaksi dengan obat lain.
d. Tepat pasien maksudnya menganalisis apakah obat-obat yang diberikan
memiliki kontra indikasi dengan pasien
e. Waspada terhadap efek samping obat maksudny menganalisis apakah ada
efek samping dan terapi faramakologi yang berpengaruh terhadap kondisi
pasien.
4. Pemberian informasi kepada penderita (konseling informasi edukasi =KIE)
5. Pemilihan obat yang tepat untuk pasien.
6. Memonitor efek pengobatan yang terjadi.
7. Terapi non farmakologi.

12
III. URAIAN KASUS
Seorang pria berinisial VRZ (21 thn, 70 kg) masuk ke RS (1 april) setelah menderita
sesak napas dan demam 2 hari sebelumnya. Setelah pemeriksaan, pria tersebut di
diagnosa oleh dokter jaga menderita pneumonia. Dokter jaga menyarankan untuk
opname dan pasien menuruti permintaan dokter. Berikut data klinis dan data pemakaian
obat pasien selama dirawat di RS selama 5 hari :

MRS 2 April 3 April 4 April 5 April 6 April 7 April


1 April

suhu 39 C 38,5 C 38,4 C 39 C 38,3 C 38,9 C 38,3 C

RR 30 25 24 21 20 18 19

TD 125/85 120/80 118/80 120/80 120/85 120/80 125/80

HR 80 78 86 82 84 86 82

leukosit 13000/ul 12800/ul - 11300/ ul - 12100/ ul -

Hb 14 g/dl 14,2 g/dl - 14 g/dl - 14,8 g/dl -

demam

13
MRS 2 April 3 April 4 April 5 april 6 April 7 April
1 April

Ceftriaxon
inj. 2x1 gr

Ranitidin 50 - -
mg inj. 2x1

Nebulizer - - - -

Salbutamol - - - -
tb 4 mg 3x1
sprn
Paracetamol
tb 500 mg
3x1
Vit. B
Kompleks

Selama perawatan, pasien mengeluhkan mual, sehingga dokter meresepkan Ranitidin.

Pertanyaan :
Bagaimana kasus di atas diselesaikan dengan metode SOAP berdasarkan cara pandang
farmasis?

14
IV. PENYELESAIAN KASUS
S : Subjective
A. Identitas Pasien :
Nama : Tn. VRZ,
Usia : 21 tahun
BB : BB 70 kg
TB : -
B. Keluhan Pasien : Sesak napas, demam dan mual
C. Riwayat penyakit keluarga : -
D. Riwayat penyakit penderita: -
E. Riwayat Pengobatan : -
F. Kebiasaan atau perilaku hidup : -
O : Objective
A. Data vital sign :
suhu(1 april) 39 C ; suhu(7 april) 38,3 C
RR(1 april) 30(dipsnea) ; RR(7 april) 19 (normal)
TD(1 april) 125/85(pre hipertensi) ; TD(7 april) 125/80(pre
hipertensi)
HR(1 april) 80(normal) ; HR(7 april) 82(normal)
B. Data Laboratorium : -
Leukosit(1 april) 13000/ul (tinggi) ; leukosit(6 april)
12100/ul(tinggi) ---- (5000-11000 normal)
Hb(1 april) 14 gr/dl(normal) ; Hb(6 april) 14,8 gr/dl(normal) ---
- (14-18 normal)
A : Assesment
A. Problem Medik : Pneumonia
B. Terapi yang diperoleh :
Ceftriaxon inj. 2x1 gr (1 april-7 april)
Ranitidin 50 mg inj. 2x1 (1 april-5 april)
Nebulizer (1 april-3 april)
Salbutamol tb 4 mg 3x1 sprn (4 april-6 april)
Paracetamol tb 500 mg 3x1 (1 april-7 april)
Vit. B Kompleks (1 april-7 april)
C. DRP :
15
Pemilihan obat tidak tepat
Berdasarkan skenario pasien merupakan pasien rawat inap di bangsal
sehingga pengobatan lini pertama salah satunya adalah antibiotik gol.
sefalosporin+makrolida
P : Plan
A. Penetapan Tujuan Terapi : mencegah keparahan gejala pneumonia
B. Solusi dari problem DRPs : penambahan antibiotik gol.makrolida
C. Pemilihan terapi farmakologi berdasarkan farmakoterapi rasional meliputi
4T1W
1. Tepat indikasi :
- Ceftriaxon + Claritromycin terapi lini pertama untuk pneumonia(rawat
inap/bangsal)
- Paracetamol analgetik/antipiretik
- Vit. B kompleks suplemen tubuh
2. Tepat dosis :
- Ceftriaxon injeksi 2x1 gram
- Claritromycin tab 250mg 2x1
- Paracetamol tablet 500 mg 3x1
- Vit. B kompleks tablet 1x1
3. a. Tepat obat
- Ceftriaxon antibiotik gol. Sefalosporin generasi 3 dengan mekanisme
kerja menghambat sintesis mukopeptida di dinding sel bakteri
- Clarithormycin : antibiotik yang bekerja menghambat sintesis protein
dengan cara mengikat ribosom subunit 50 s dari bakteri yang sensitif .
- Paracetamol menghambat sintesis prostaglandin di SSP , hambatan
terhadap enzim CoX dan obat ini lebih selektif mengambatCoX2
- Vit. B kompleks
4. Tepat pasien Obat tidak KontraIndikasi dengan pasien sehingga aman
untuk digunakan
5. Waspada terhadap efek samping nausea, pusing, sakit perut
6. Pemberian informasi kepada penderita :
1) Pilihan obat untuk pasien :
2) KIE
a. clarithromycin tab 250mg 2x1

16
b. Cefitriakxon inj. 2x1 gr
c. Ranitidin 50mg inj 2x1
d. Nebulazer :-
e. Salbutamol tab 4mg 3x1 sprn
f. Paracetamol tab 500mg 3x1
g. Vit B compleks 1x1
h. Diminum secara teratur

3) Memonitor efek yang terjadi :


Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran pernapasan, dilakukan
dengan memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada infeksi
yang disertai kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya akan
menurunkan temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda
kesuksesan terapi seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis dan
pneumonia yang menurun; produksi sputum pada bronchitis, pneumonia,
faringitis yang berkurang; produksi sekret hidung berkurang dan nyeri muka
pada kasus sinusitis menghilang; nyeri tenggorokan pada faringitis
menghilang.
Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat,
alergi, interaksi obat. ROB yang banyak dijumpai pada penanganan infeksi
saluran napas

4) Terapi non farmakologi :


a. Pemberian oksigen jika pasien sesak
b. Hidrasi yang cukup
c. Nurtisi yang memadai
d. Fisioterapi dada

17
V. PEMBAHASAN
Dalam skill kali ini, kelompok kami mendapatkan kasus pneumonia. Dimana
penderita bernama Tn. VRZ 21 tahun BB 70 kg dengan keluhan mual. Dan pasien
melakukan rawat inap selama 5 hari atas saran dari dokter , berikut hasil pemeriksaan
lab selama 5 hari seperti terlampir di atas, dan pasien memperoleh terapi obat dari
dokter yaitu

Tujuan dari pemberian obat- obat tersebut adalah mengurangi dan mencegah
perburukan dari gejala pneumonia,meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
Pneumonia pada kasus ini termasuk kedalam pneumonia CAP (Community
acquired pneumonia). Pasien memperoleh terapi yaitu CeftriaksonInj. 2x1 gr, Ranitidine
50 mg inj.2x1,Nebulizer, Paracetamol tb 500 mg 3x1,Vitamin B compleks. Selama
perawatan, pasien mengeluhkan mual, sehingga dokter meresepkan Ranitidin. Namun
setelah pemberian terapi tersebut tidak banyak memberikan perubahan keadaan pasien
terutama demam dan jumlah leukosit yang masih tinggi.
Dari kasus tersebut kelompok kami menyimpulkan bahwa drug related problem
pada kasus ini adalah pemilihan obat yang tidak tepat karena pada kasus ini obat
ceftriaxone diberikan tanpa dikombinasi sedangkan sumber menyebutkan bahwa untuk
pasien rawat jalan atau rawat inap non-ICU dengan faktor-faktor risiko organisme
lainnya, terapi harus dengan baik beta laktam / macrolide kombinasi atau
fluorokuinolon antipneumococcal saja (American Thoracic Society.2001). Keadaan
klinis dan kadar leukosit pasien yang memburuk dapat menjadi indikasi tidak
adekuatnya pengobatan antibiotic (ceftriaxon), karena masih terdapat aktivitas bakteri di

18
dalam tubuh. Tidak adekuatnya terapi antibiotic perlu dikoreksi dengan pengggunaan
terapi kombinasi sesuai guideline pneumonia.
Solusi dari DRP tersebut adalah penggunaan kombinasi antara ceftriaxone dan
claritromycin. Sesuai dengan guideline pneumonia pasien dengan pneumonia
community-acquired dan diopname (in-patient general medical ward) lebih adekuat
diberikan terapi antibiotic kombinasi golongan beta laktam / cephalosporin dan
macrolida. Ceftriaxon merupakan golongan cephalosporin generasi ketiga dan
claritromycin yang merupakan golongan macrolida.
Klaritromisin adalah antibiotik macrolide baru dengan aktivitas in vitro mirip
dengan eritromisin. 35-37 Clarithromycin efektif terhadap berbagai mikroorganisme,
termasuk kokus Gram-positif, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Mycoplasma, klamidia, mycobacteria yang dipilih, Legionella spp. dan protozoa
organisme (Hardy RD .2003). Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P-450
3A4 (CYP3A4) enzim ke bentuk 14-hidroksi aktif dan enam tambahan produk. Tiga
puluh persen sampai 40% dari dosis oral diekskresikan klaritromisin dalam urin baik
tidak berubah atau sebagai aktif metabolit 14-hidroksi.
Untuk penggunaan obat lain telah sesuai dengan indikasinya. Nabulizer
merupakan kebutuhan primer bagi pasien yang mengalami eksaserbasi pneumonia
dengan gejala sesak agar lebih mudah pernafasannya. Namun pada hari keempat pasien
tidak lagi diberikan nabulizer dan digantikan dengan Salbutamol sebab respiration rate
digolongkan hampir stabil. Injeksi Ranitidine digunakan sebagai pencegahan terjadinya
potensi mual muntah. Selain itu juga sebagai pencegahan terjadinya stress ulcer yang
sering terjadi pada pasien yang sedang menjalani pengobatan di rumah sakit
Monitoring yang perlu dilakukan adalah hilangnya gejala, respiration rate,
menurunnya suhu tubuh dan kadar leukosit sebagai tanda adekuatnya terapi antibiotic.
Apabila tidak terjadi penurunan suhu dan leukosit setelah penggunaan kombinasi
antibiotic selama 5 hari, maka diharuskan melakukan tes kultur untuk mengetahui
apakah bakteri tersebut resisten terhadap antibiotic atau tidak dan membutuhkan obat
yang lain atau tidak. Apabila pasien mengalami keadaan yang lebih parah (eksaserbasi)
sehingga diharuskan masuk ke ICU dan mendapatkan perawatan intensif (in-patient
ICU), disarankan kepada dokter untuk menggunakan antibiotic golongan Carbapenem,
atau kombonasi beta laktam dengan Floroquinolon / Macrolida karena di ICU banyak
terdapat Pseudomonas sp. dan bakteri MRSA yang hanya akan efektif apabila pasien
menggunakan antibiotic ini. Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran

19
pernapasan, dilakukan dengan memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada
infeksi yang disertai kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya akan
menurunkan temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda kesuksesan
terapi seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis dan pneumonia yang menurun;
produksi sputum pada bronchitis, pneumonia, faringitis yang berkurang; produksi sekret
hidung berkurang dan nyeri muka pada kasus sinusitis menghilang; nyeri tenggorokan
pada faringitis menghilang. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek
samping obat, alergi, interaksi obat. ROB yang banyak dijumpai pada penanganan
infeksi saluran napas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.2005).
Regimen akhir yang didapatkan dari pembahasan diatas adalahCeftriaxon inj 2x1
gr, Claritromycin tab 250mg 2x1, Ranitidin 50mg inj 2x1, Salbutamol tb 4mg 3x1 sprn,
Paracetamol tb 500mg 3x1, Vit B 1x1.Regimen tersebut sudah disesuaikan pada
algoritma terapi Pneumonia, sehingga kemungkinan besar regimen tersebut aman,
efektif, dan efisien bagi pasien.
Selain dengan menggunakan terapi farmakologi, dilakukan pula dengan terapi non
farmakologi yaitu dengan Pemberian oksigen jika pasien sesak, hidrasi yang cukup,
nurtisi yang memadai, fisioterapi dada (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik.2005).

20
VI. KESIMPULAN
Dari kasus pasien Dari kasus pasien Tn. VRZ didapatkan ceftriaxon,
ranitidin, nebulizer, salbutamol, paracetamol, dan vitamin B kompleks. Kelompok
penulis menambahkan makrolida untuk dikombinasikan dengan ceftriaxone
karena pada sumber ceftriaxone akan lebih efektif jika dikombinasikan, kami
mengkombinasikannya dnegan Claritromycin tab 250mg 2x1. Keputusan
kelompok penulis mengkombinasikan ceftriaxone dengan obat tepat. Selain itu
untuk obat lain seperti Ranitidin 50mg inj 2x1, Salbutamol tb 4mg 3x1 sprn,
Paracetamol tb 500mg 3x1, Vit B 1x1 dipertahankan oleh kelompok penulis
karena untuk PCT dipertahankan karena pada data vita suhu tubuh masih
tergolong deman. Tindakan kelompok penulis adalah tepat. Untuk salbutamol
dipertahankan dari efeksamping salbutamol kelompok penulis juga
mempertahankan Ranitidin jikalau potensi mual muntah timbul, untuk vitamin B
kompleks tetap dipertahankan untuk menambah stabina pasien. Tindakan
kelompok penulis mempertahankan regiman yang didapat pasien adalah tepat.

21
VII. DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society.2001.Guidelines for the Management of Adults with


Community-acquired Pneumonia Diagnosis, Assessment of Severity,
Antimicrobial Therapy, and Prevention. This Official Statement of The
American Thoracic Society was Approved By The ATS Boards of
Directors.
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and
Youngs:Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs: Tenth Edition.
Lippincott Williams &Wilkins.
Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta
DiPiro,J.T,dkk. 2005 . Pharmacoterapy A Pathophysiology Approach. 6th Edition.
New York : McGrawHill Company
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.2005.Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Depkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Ri
Hardy RD, Rios AM, Chavez-Bueno S, Jafri HS, Hatfield J, Rogers BB, et al.
Antimicrobial and immunologic activities of clarithromycin in a murine
model of Mycoplasma pneumoniae-induced pneumonia. Antimicrob
Agents Chemother 2003; 47: 1614-20..
Niluh gede yasmin dkk. 2002. Keperawatan medikal bedah : klien dengan gangguan
sistem pernafasan. Penerbit buku kedokteran : EGC. Jakarta

22

Anda mungkin juga menyukai