Anda di halaman 1dari 41

Case Report Session

KETOASIDOSIS DIABETIK

111

Oleh:

Lily Fajriati 1210312054

Preseptor :
Dr. Rusdi, Sp. A (K)
DR.Dr. Yusri Dianne Jurnalis, Sp. A (K)
Dr. Almirah Zatil Izzah, Sp. A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
Ketoasidosis diabetik (KAD) didefinisikan sebagai kondisi yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di dalam
tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan peningkatan produksi hormon-
hormon kontra regulator yakni glukagon, katekolamin, kortisol dan growth
hormone.1 Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut yang paling serius
yang dapat terjadi pada anak-anak dengan diabetes mellitus (DM) tipe-1 dan
merupakan kondisi gawat darurat yang sering menimbulkan morbiditas dan
mortalitas. Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80% pada penderita anak baru
dengan DM tipe-1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan Amerika Utara
angkanya berkisar antara 15-67%, sedangkan di Indonesia dilaporkan 33-66%.2-4
Jumlah pasien diabetes mellitus di Indonesia sampai tahun 2012 berkisar antara
800 pasien.4 Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,6-8 per
1000 penderita diabetes, dengan mortalitas < 30 tahun. Ketoasidosis diabetik
dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per
tahun di Amerika Serikat.1,4,5
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM tipe-1 yang
disebabkan oleh kekurangan insulin. Sering ditemukan pada penderita DM tipe-1
yang tidak patuh jadwal suntikan insulin, pemberian insulin yang dihentikan
karena anak tidak makan/sakit serta pada kasus baru DM tipe-1. Kekurangan
insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat digunakan oleh sel untuk
metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel, akibatnya kadar glukosa
dalam darah meningkat (hiperglikemia). Pada anak sakit walaupun tidak makan,
didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis sehingga tetap terjadi
hiperglikemia. Benda keton yang terbentuk karena pemecahan lemak disebabkan
oleh ketiadaan insulin. Akumulasi benda keton ini menyebabkan terjadinya
asidemia, dan asidemia ini dapat menimbulkan ileus, menurunkan kemampuan
kompensasi terhadap poliuria, dan menimbulkan diuresis osmotik menyebabkan
terjadinya dehidrasi berat. Makin meningkatnya osmolaritas karena hiperglikemia
dan asidosis yang terjadi, menyebabkan penurunan fungsi otak sehingga dapat
terjadi penurunan kesadaran. Oleh karena itu pada penderita KAD ditemukan
berbagai tingkatan dehidrasi, hiperosmolaritas, dan asidosis. Bila tidak segera
ditangani dengan tepat maka angka kematian karena KAD cukup tinggi.6
Namun demikian, pendekatan yang paling baik adalah melakukan
pencegahan, agar penderita DM tipe-1 tidak jatuh dalam KAD yaitu dengan
disiplin memberikan insulin sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Oleh karena itu
pemberian insulin merupakan hal yang penting pada penderita DM tipe-1 baik
dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan sakit. Pada KAD, insulin yang
diberikan adalah jenis kerja pendek (short actingHumulin R atau Actrapid),
diberikan secara kontinu intra vena dosis kecil 0,1 U/kgBB/jam dalam jalur infus
tersendiri (sebaiknya menggunakan syringe pump atau infusion pump agar
pemberiannya tepat). Bila pada penilaian pendahuluan terhadap pasien ditemukan
tanda-tanda renjatan, segera lakukan penanganan renjatan sesuai standar.
Pemberian cairan yang tepat baik dalam tonisitas, jumlah, dan kecepatan
pemberian juga mampu menurunkan kadar gula darah. Pemantauan harus
dilakukan dengan cermat dan gangguan elektrolit harus di atasi dengan baik.7
Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan pada pengelolaan kasus-
kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitasnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus Tipe-1


2.1.1 Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel- pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idipatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.7
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (International Society of Pedatric
and Adolescence Diabetes tahun 2009)8
I. DM Tipe-1 (destruksi sel- )
a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
Kromosom 12, HNF-1 (MODY3)
Kromosom 7, glukokinase (MODY2)
Kromosom 20, HNF-4 (MODY1)
Kromosom 13, Insulin promoter factor (IPF)-1,(MODY4)
Kromosom 17, HNF-1 (MODY5)
Kromosom 2, Neuro D1 (MODY6)
Mutasi DNA Mitokhondrial
Kromosom 11, KCNJ11 (Kir6.2)
ABCC8 (reseptor sulfonillurea 1 (SUR1)), dan lain-lain
b. Defek genetik pada kerja insulin (resisten insulin tipe-a, leprechaunisme,
sindrom rabson-mendenhall, diabetes lipoatropik, dan lain-lain)
c. Kelainan eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreatomi, neoplasia,
kistik fibrosis, hemokromatosis, fibrokalkulus pankreatopati, dan lain-lain)
d. Gangguan endokrin (akromegali, sindrom cushing, glukagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, dll)
e. Terinduksi obat dan kimia
f. Vakor (pentamidin, asam nikotinik, glukokortikoid, hormon tiroid,
diazoxid, agonis -adrenergik, tiazid, dilantin, -interferon, dll)
g. Infeksi (rubela kongenital, sitomegalovirus, coksakie b4, dan lain-lain)
h. Diabetes jenis lain bentuk immune-mediated (Sindrom Stiff-man, Reseptor
antibodi insulin, Sindrom poliendokrin autoimun defisiensi I dan II, dll)
i. Sindrom genetik lain yang kadang-kadang berhubungan dengan diabetes
(Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram,
Ataksia Friedreich, Korea Huntington, Sindrom Laurence-Moon-Biedl,
Distropi miotonik, Porfiria, Sindrom Prader-Willi, dll)
IV. Diabetes mellitus kehamilan
Keterangan
HNF: hepatocyte nuclear factor
MODY: maturity-onset diabetes of the young

Perbedaaan DM tipe 1, tipe 2, dan monogenik berimplikasi pada


keputusan pemberian terapi dan tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan petanda
autoantibodi diabetes seperti ICA (Islet Cell Antibodes), GAD (Glutamic Acid
Decarboxylase), IA2 (Autoantobodi terhadap tirosin fosfat), IAA (Autoantibodi
terhadap insulin), dan/atau HbA1 dapat membantu menegakkan diagnosis
diabetes, meskipun HbA1C tidak rutin digunakan untuk mendiagnosis diabetes.
Insulin puasa dan C-peptide dapat membantu membedakan DM tipe 1 dengan DM
tipe 2. Biasanya kadar insulin puasa dan C-peptide normal atau meningkat. Pada
pasien yang diterapi dengan insulin, pengukuran C-peptide sebaiknya saat kadar
glukosa tinggi (> 144 mg/dL) untuk menstimulasi C-peptide yang akan terukur
jika sekresi insulin endogen masih ada. Keadaan ini sukar dibedakan dengan DM
tipe 1 periode honeymoon yang berlangsung 2-3 tahun.7
Tabel 2. Karakteristik klinis DM tipe 1, DM tipe 2, dan monogenik pada anak dan
dewasa8
Karakteristik Tipe 1 Tipe 2 Monogenik
Genetik Poligenik Poligenik Monogenik
Onset 6 bulan sd dewasa Pubertas (pada Sering setelah
muda lebih tua) pubertas kecuali
glukokinase dan
diabetes neonatal
Gambaran klinis Sering akut, cepat Bervariasi; dari Bervariasi;
perlahan, sedang insidensial pada
sd berat glukokinase
Berhubungan Ya Tidak Tidak
dengan
Autoimun
Ketosis Sering Tidak Sering terjadi pada
diabetes neonatal
tapi jarang pada
bentuk lain
Obesitas Banyak Meningkat pada Banyak pada
populasi populasi
Akantosis Tidak Ya Tidak
nigrikans
Angka kejadian >90% Beberapa negara < Perempuan 1-3%
(% pada semua 10%
kasus diabetes
anak)
Orangtua 2-4% 80% 90%
diabetes

2.1.2 Kriteria Diagnostik


Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler <
126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah.7,8
Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut: 7,8
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang
menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L)
2. Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >
200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan tes
toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi TTG
pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-
gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah
tidak menyakinkan. Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75
g/kgBB (maksimum 75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-
250 ml air) dalam jangka waktu 5 menit. Tes toleransi glukosa dilakukan
setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga
hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan. Selama
tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifi tas fi sik anak tidak dibatasi. Anak
dapat melakukan kegiatan rutin seharihari. Sampel glukosa darah diambil pada
menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa :
a. Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa 140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau
Kadar glukosa darah pada jam ke 2 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
b. Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:
Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
c. Anak dikatakan normal apabila :
Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

2.1.3 Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan
insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun.
Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada
anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 %
penderita baru DM tipe-1 berusia > 20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan
sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita
DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa,
namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor
genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan
faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim
HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin
dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.7

2.1.4 Gambaran klinis


Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Biasanya gejala-gejala poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
yang cepat menurun terjadi antara 1 sampai 2 minggu sebelum diagnosis
ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan hiperglikemia maka
diagnosis DM tidak diragukan lagi. Insidens DM tipe-1 di Indonesia masih rendah
sehingga tidak jarang terjadi kesalahan diagnosis dan keterlambatan diagnosis.
Akibat keterlambatan diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase
ketoasidosis yang dapat berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat
terjadi karena penderita disangka menderita bronkopneumonia dengan asidosis
atau syok berat akibat gastroenteritis. Kata kunci untuk mengurangi keterlambatan
diagnosis adalah kewaspadaan terhadap DM tipe-1. 7,8
Diagnosis DM tipe-1 sebaiknya dipikrkan sebagai diferensial diagnosis pada
anak dengan enuresis nokturnal (anak besar), atau pada anak dengan dehidrasi
sedang sampai berat tetapi masih ditemukan diuresis (poliuria), terlebih lagi jika
disertai dengan pernafasan Kussmaul dan bau keton. Perjalanan alamiah penyakit
DM tipe-1 ditandai dengan adanya fase remisi (parsial/total) yang dikenal sebagai
honeymoon periode. Fase ini terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual
pankreas sehingga pankreas mensekresikan kembali sisa insulin. Fase ini akan
berakhir apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis
ada tidaknya fase ini harus dicurigai apabila seorang penderita baru DM tipe-1
sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus
dikurangi untuk menghindari hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang
dibutuhkan sudah mencapai < 0,25 U/kgBB/hari maka dapat dikatakan penderita
berada pada fase remisi total. Di negara berkembang yang masih diwarnai oleh
pengobatan tradisional, fase ini perlu dijelaskan kepada penderita sehingga
anggapan bahwa penderita telah sembuh dapat dihindari. Ingat, bahwa pada saat
cadangan insulin sudah habis, penderita akan membutuhkan kembali insulin dan
apabila tidak segera mendapat insulin, penderita akan jatuh kembali ke keadaan
ketoasidosis dengan segala konsekuensinya. 7,8

2.2 Ketoasidosis Diabetik


Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat yang dapat
mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik
disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan
peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan
ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan
keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi
badan keton (-hidroksibutirat dan asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan
asidosis metabolik.7
Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik,
dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD
mencakup hiperglikemia (gula darah > 11 mMol/L atau 200 mg/dL) dengan pH
vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan
glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.1,2
Ketoasidosis diabetik pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan derajat
keparahan asidosis, dari ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L), moderat (pH
< 7,20; bikarbonat < 10) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4).

2.2.1 Epidemiologi dan Faktor Risiko


Kejadian ketoasidosis diabetik pada anak meliputi wilayah geografik yang
luas dan bervariasi bergantung onset diabetes dan sebanding dengan insidensi
IDDM di suatu wilayah. Frekuensi di Eropa dan Amerika Utara adalah 15%-
16%. Di Kanada dan Eropa, angka kejadian KAD yang dirawat dan jumlah pasien
baru dengan IDDM telah diteliti, yaitu sebanyak 10 dari 100.000 anak.5
Onset KAD pada IDDM lebih sering terjadi pada anak yang lebih muda
(berusia < 4 tahun), memiliki orang tua dengan IDDM, atau mereka yang berasal
dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Pemberian dosis tinggi obat-
obatan seperti glukokortikoid, antipsikotik atipik, diazoksida, dan sejumlah
immunosuppresan dilaporkan mampu menimbulkan KAD pada individu yang
sebelumnya tidak mengalami IDDM.6
Risiko KAD pada IDDM adalah 110% per pasien per tahun. Risiko
meningkat pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek atau sebelumnya
pernah mengalami episode KAD, anak perempuan peripubertal dan remaja, anak
dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan makan), dan kondisi keluarga
yang sulit (termasuk status sosial ekonomi rendah dan masalah asuransi
kesehatan). Pengobatan dengan insulin yang tidak teratur juga dapat memicu
terjadinya KAD.3
Anak yang mendapat terapi insulin secara teratur dan terkontrol jarang
mengalami episode KAD. Sekitar 75% episode KAD berkaitan dengan kelalaian
pemberian insulin atau pemberian yang salah. Angka mortalitas KAD di sejumlah
negara relatif konstan, yaitu 0,15% di Amerika Serikat, 0,18% di Kanada, 0,31%
di Inggris. Di tempat dengan fasilitas medik yang kurang memadai, risiko
kematian KAD relatif tinggi, dan sebagian penderita mungkin meninggal sebelum
mendapatkan terapi.2 Edema serebri terjadi pada 57% - 87% dari seluruh kematian
akibat KAD. Insidensi edema serebri relatif konstan pada sejumlah negara yang
diteliti: Amerika Serikat 0,87%, Kanada 0,46%, Inggris 0,68%. Dari penderita
yang bertahan, sekitar 10-26% mengalami morbiditas yang signifikan. Meski
demikian, sejumlah individu ternyata tidak mengalami peningkatan morbiditas
dan mortalitas bermakna setelah kejadian KAD dan edema serebri.1

2.2.2 Patofisiologi
Interaksi berbagai faktor penyebab defisiensi insulin merupakan kejadian
awal sebagai lanjutan dari kegagalan sel secara progresif. Keadaan tersebut dapat
berupa penurunan kadar atau penurunan efektivitas kerja insulin akibat stres
fisiologik seperti sepsis dan peningkatan kadar hormon yang kerjanya berlawanan
dengan insulin. Secara bersamaan, perubahan keseimbangan hormonal tersebut
akan meningkatkan produksi glukosa, baik dari glikogenolisis maupun
glukoneogenesis, sementara penggunaan glukosa menurun. Secara langsung,
keadaan ini akan menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa > 11 mmol/L atau >
200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan laju
filtrasi glomerulus, dan hiperosmolaritas.7
Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas,
oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam
asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh
semakin meningkatnya asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.
Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar, asidosis, dan gangguan
elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan hormonal dan
menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus. Akibatnya,
dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa
poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan
menurunkan nilai pCO2 dan buffer asidosis, menyebabkan keadaan berlanjut
menjadi koma. Derajat keparahan KAD lebih terkait dengan derajat asidosis yang
terjadi: ringan (pH 7,2 7,3), moderat (pH 7,1 7,2), dan berat (pH < 7,1).7
Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia
biasanya didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan.
Hiperkalemia serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke
ekstrasel karena adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi
tubular renal. Terjadinya penurunan kadar fosfat dan magnesium serum juga
akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat efek dilusi akibat osmolaritas
serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur dengan menambahkan kadar
natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL.
Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan menyebabkan
peningkatan osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang
dilakukan secara cepat dapat memperlebar gradien osmolaritas serum dan
intraserebral. Cairan bebas kemudian akan memasuki jaringan otak dan
menyebabkan edema serebri beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu,
resusitasi cairan dan koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan
monitoring ketat.3
Edema serebri paling sering terjadi pada 412 jam setelah terapi diberikan,
namun dapat pula terjadi sebelum terapi dilakukan, dan pada beberapa kasus dapat
terjadi kapan pun selama terapi diberikan (tidak terikat waktu). Gejala dan tanda
edema serebri cukup bervariasi dan meliputi keluhan nyeri kepala, penurunan
bertahap atau memburuknya derajat kesadaran, nadi yang melambat, dan tekanan
darah yang meningkat.2,4
Pada penelitian in vitro pada hewan coba dan manusia, terjadinya edema
serebri dipicu oleh penyebab lain (misalnya trauma dan stroke) menunjukkan
bahwa mekanisme etiopatologik edema serebri pada KAD cukup kompleks.
Sejumlah mekanisme telah dianalisis, termasuk peranan iskemia/hipoksia serebral
dan peningkatan berbagai mediator inflamasi, yang akan meningkatkan aliran
darah ke otak serta mengganggu transpor ion dan air melalui membran sel.
Adanya osmolit organik intraselular (mioinositol dan taurin) dan
ketidakseimbangan osmotik selular juga merupakan faktor yang penting. Pada
pemeriksaan imaging anak dengan KAD menggunakan ultrasonografi, CT Scan,
dan MRI, menunjukkan berbagai derajat edema serebri yang terjadi meskipun
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan.2

2.2.3 Diagnosis
Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula
darah > 11 mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mmol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glukosuria, ketonuria, dan
ketonemia.2
Beberapa pemeriksaan laboratoris dapat diindikasikan pada pasien KAD,
yaitu:1,5
1. Gula darah
Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah
selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian
terapi. Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa
turun secara progresif atau bila diberikan infus insulin.
2. Gas darah
Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah
dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis
karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan
trauma pada anak.
3. Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan
(pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10
mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L).
4. Kalium
Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat,
meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat
adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium
kembali ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat
selama terapi diberikan. Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan
bersamaan dengan monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi.
5. Natrium
Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia.
Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6
mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium
untuk setiap 3 mmol/L glukosa). Kadar natrium umumnya meningkat selama
terapi. Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan
berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.
6. Ureum dan Kreatinin
Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa keton,
sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat
memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD.
7. Kadar keton
Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur ketoasidosis,
dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Terdapat
dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH
>7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L.
8. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)
Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien
yang tidak mendapat penanganan sesuai standar.
9. Pemeriksaan darah rutin
Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak terdapat
infeksi.
10. Urinalisis
Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton per
24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan.
11. Insulin
Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana
rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya
senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil
pemeriksaan.
12. Osmolaritas serum
Osmolaritas serum umumnya meningkat

Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD,


yaitu:5
1. CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke
arah koma, selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.
2. Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5
1. EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium.
Perubahan karakter EKG akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem.
Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu:
a. Interval QT memanjang
b. Depresi segmen ST
c. Gelombang T mendatar atau difasik
d. Gelombang U
e. Interval PR memanjang
f. Blok SA

Hiperkalemia dapat terjadi akibat overkoreksi kehilangan kalium, dengan


perubahan EKG sebagai berikut:
a. Kompleks QRS melebar
b. Gelombang T tinggi
c. Interval PR memanjang
d. Gelombang P hilang
e. Kompleks QRS difasik
f. Asistole

Penilaian rutin derajat kesadaran:


a. Menentukan derajat kesadaran per jam sampai dengan 12 jam, terutama pada
anak yang masih muda dan mengalami diabetes untuk pertama kali. Penilaian
menggunakan GCS direkomendasikan untuk penentuan derajat kesadaran.
b. Skor maksimum normal GCS adalah 15. Skor 12 atau kurang menunjukkan
gangguan kesadaran yang bermakna. Skor yang terus menurun menunjukkan
edema serebri yang semakin berat

2.2.4 Tatalaksana
Anak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan
dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan terdekat.
Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan reevaluasi
berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli. Dokter anak yang
telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga
dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai
pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter
biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama,
gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan
risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus
dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. 7,8
Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD,
yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian
cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8
Penanganan pasien anak dengan KAD, antara lain:3
1. Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar,
yaitu airway, breathing, dan circulation.
2. Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by
mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi,
diberikan antibiotik.
3. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama adalah resusitasi cairan dan
pemeriksaan laboratorium adalah:
a. Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam
atau kurang
b. Glukosa: Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai
250 300 mg/dL selama rehidrasi.
4. Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia,
asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium
ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.
5. Monitoring
Perlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien,
mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama
periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup:2
a. Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam
b. Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila
terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine
perlu dilakukan
c. Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil
hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T
d. Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan
dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi
inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk)
e. Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas
darah harus diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan
elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya
stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi.
f. Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk
menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak
jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah,
penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable,
mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan
kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.
6. Cairan dan Natrium
Osmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan
menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa
penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi insulin
menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5 L bersamaan dengan
kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama, cairan
ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan
hemodinamik jarang terjadi pada KAD.
Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi
di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian
cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar glukosa darah
dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus.
Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD, antara lain:6
a. Mengembalikan volume sirkulasi efektif
b. Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel
c. Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance
glukosa dan keton dari dalam darah
d. Menghindari edema serebri
7. Insulin
Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan
konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam
normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan
ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan cara yang berbeda
(subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak bukti yang menunjukkan
pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar terapi efektif.
Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam,
yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 200 unit/mL dalam 60 menit,
cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi
kemungkinan resistensi insulin dan yang paling penting menghambat proses
lipolisis dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan menstimulasi
peningkatan ambilan glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi
bergantung normalisasi kadar glukosa darah.2,3
Adapun pedoman pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain:5
a. Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi
b. Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan
pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus
c. Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin
setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin.
Pengaturan kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis
0,1 U/Kg/jam
d. Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa
secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 300 mg/dL
8. Kalium
Pada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 36
mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar
kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan
buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada awal kejadian
dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang terjadi berkaitan
dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan hiperkalemia terjadi akibat
penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi asidosis akan
memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum
menurun.3,8
Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD,
antara lain:3,7
a. Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium
b. Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium
asetat
c. Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang
membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui
NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat
daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi
d. Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan
intravena
e. Apabila kadar kalium serum 3,55,0, tambahkan 30 mEq/L
f. Apabila kadar kalium serum 5,05,5, tambahkan 20 mEq/L
g. Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu
dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena
h. Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG
untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG
9. Fosfat
Penurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa,
penurunan berkisar antara 0,52,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada
data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan
semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat
akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah
berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu
penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap
oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai
beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian
prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada
terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari
keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang
dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari
hiperkloremia.2
10. Asidosis
Asidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin.
Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan
memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan
menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara
spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi
jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan
ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.2
11. Edema Serebri
Terapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan
tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan.
Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak
kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian
tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap
keterlambatan pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena
diberikan 0,25 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema
serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan
setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal.
Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat
digunakan sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu
dilakukan sesuai kondisi. Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait
dengan edema serebri yang terkait dengan KAD.2,3,7

2.2.5 Pencegahan
2.2.5.1 Sebelum Diagnosis
Diagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak
dengan risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi
terhadap individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu
menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kesehatan oleh
dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78%
hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai
tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih
mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.2,3
2.2.5.2 Sesudah Diagnosis
Pada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan
dengan edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang
merujuk pada episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD
yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi
yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan
kesehatan.2
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. TNS
No. MR : 914866
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur/Tanggal Lahir : 13 tahun 2 bulan / 6 Juli 2017
Alamat : Parak Laweh Padang
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Tanggal Masuk RS : 1 September 2017

ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu kandung pasien
Keluhan utama :
Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 7 jam sebelum masuk Rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


- Sesak nafas yang meningkat sejak 7 jam yang lalu, tidak berbunyi menciut,
tidak dipengaruhi oleh suhu, cuaca, makanan, aktivitas. Sesak nafas tampak
cepat dan dalam.
- Muntah sejak 1,5 jam yang lalu, frekuensi 2 kali jumlah 3-4 x setiap kali
muntah, muntah tidak menyemprot.
- Nyeri perut sejak 1 hari yang lalu, terutama dirasakan di daerah ulu hati
- Riwayat sering buang air kecil frekuensi > 8 kali setiap hari, sering merasa
haus, sering merasa lapar sejak 2 hari yang lalu.
- Penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu. Berat badan sebelumnya 45kg
ditimbang sekitar 1 bulan yang lalu, saat ini berat badan anak 42 kg. Nafsu
makan anak meningkat namun terjadi penurunan berat badan.
- Demam disangkal, kejang tidak ada
- Batuk pilek tidak ada, kebiruan tidak ada
- Perdarahan pada mulut, gusi, hidung dan saluran cerna tidak ada
- Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada
- Riwayat gigi berlubang atau nyeri pada gigi tidak ada
- Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada
- Riwayat nyeri saat berkemih tidak ada. Riwayat BAK warna putih keruh tidak
ada, riwayat BAK seperti air cucian daging tidak ada, riwayat BAK berpasir
tidak ada.
- Buang air kecil terakhir 2 jam yan lalu, jumlah cukup
- Buang air besar warna frekuensi dan konsistensi biasa

Riwayat Penyakit Dahulu


- Anak telah dikenal menderita DM tipe 1 sejak usia 11 dan telah mendapat
novorapid dan levemir. Pasein sudah dirawat karena DM tipe 1 dan KAD
sebelumnya.
- Pasien pertama kali datang pada tanggal 27 mei 2015 dengan keluhan utama
sesak nafas, dan dilakukan pemeriksaan gula darah tertinggi: 451 mg/dL, keton
urin ++ dengan hasil AGD asidosis metabolik. Pasien dirawat selama 19 hari di
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dilakukan pemeriksaan HbA1c : 17,5%
dan C-peptide : < 0,1. Kolesterol total : 178, HDL: 37, LDL : 104, Trigliserida:
187. Anak di diagnosis dengan ketoasidosis diabetikum, DM tipe 1.
- Pasien masuk kembali ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 17 juni
2017 dirawat selama 24 hari dengan keluhan utama sesak nafas hasil
laboratorium GDS 555 mg/dl dengan keton urin +++ dari hasil AGD
didapatkan Ph : 7,11 HCO3- : 21,1 di diagnosis dengan ketoasidosis
diabetikum, insulin dependent diabetes mellitus dan kandidiasis
vulvovaginalis.
- Pasien ini tidak teratur dalam pengontrolan gula darah dan injeksi insulin.

Riwayat Penyakit Keluarga


tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit Diabetes, Hipertensi,

jantung, ginjal dan kelainan sistem imun.


: Pasien

: Laki-laki

:Perempuan

Riwayat Persalinan
Lama hamil : 39-40 minggu
Cara lahir : spontan
Ditolong oleh : bidan
Berat badan lahir : 3.500 gram
Panjang badan lahir : 49 cm
Saat lahir langsung menangis kuat
Kesan : riwayat persalinan baik

Riwayat Makanan dan Minuman


Bayi ASI : 0 24 bulan
Susu formula : 3 24 bulan
Nasi tim : 6 15 bulan
Anak Makanan utama : 3 kali sehari, menghabiskan 1 porsi
Daging : 2 kali seminggu
Ikan : 2 kali seminggu
Telur : 3 kali seminggu
Sayur : setiap hari
Buah : 4 kali seminggu
Kesan : kualitas cukup, kuantitas cukup
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar Umur
BCG 0 bulan, skar (+)
DPT 1 2 bulan
DPT 2 3 bulan
DPT 3 4 bulan
Polio 1 2 bulan
Polio 2 3 bulan
Polio 3 4 bulan
Hepatitis B 0 2 bulan
Hepatitis B 1 3 bulan
Hepatitis B 2 4 bulan
Hepatitis B 3 -
HIB 1 -
HIB 2 -
HIB 3 -
Campak 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Tengkurap : Umur 5 bulan
Duduk : Umur 7 bulan
Berdiri : Umur 9 bulan
Gigi pertama : Umur 8 bulan
Bicara : Umur 12 bulan
Membaca : Umur 6 tahun
Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan baik

Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Nama Jonedi Vivi
Umur 41 tahun 41 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Jualan IRT
Penghasilan Rp 5.000.000 -
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit Tidak ada Tidak ada
Saudara Kandung
1. Tiara (perempuan) 13 Tahun pasien
2. Erika (perempuan) 10 tahun sehat
2. Rangga (laki-laki) 7 tahun sehat
3. Sherlina (perempuan) 2 tahun sehat
4. Rilian (perempuan) 1 tahun sehat

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : PDAM
Jamban : Jamban didalam rumah
Pekarangan : Sempit
Sampah : dibuang ke penampungan sampah
Kesan : Higiene dan sanitasi cukup baik

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
Keadaan umum : berat
Kesadaran : GCS E3M6V5 somnolen
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,40C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 42 kg
BB/U : 85,7 %
TB/U : 96,5 %
BB/TB : 95,4 %
Status Gizi : Gizi kurang
Edema : Tidak ada.
Ikterus : Tidak ada.
Kulit : Teraba hangat
Anemia : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada.
Kepala : Bulat, simetris
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Reflek
cahaya +/+. Pupil isokor, diameter 3 mm kanan dan 3 mm
kiri.
Hidung : Nafas cuping hidung ada.
Telinga : Tidak ditemukan kelainan, sekret tidak ada
Tenggorok : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.
Gigi dan Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, karies tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O.
KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Thorak : Normochest
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada ada pada
epigastrium dan intercosta, pernafasan cepat dan dalam
(kusmaul).
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midclavikularis
sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Kanan : Linea sternalis kanan
Kiri : RIC V , 1 jari medial dari garis midclavikularis sinistra
Atas : RIC II, linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama regular, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali
lambat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Genitalia : Flour Albus ada, status pubertas A2M2P2
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik,
Reflek fisiologis : refleks biceps (++/++), refleks triseps
(++/++), refleks patella (++/++), refleks achilles (++/++)
Refleks patologis : babinsky group (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin
Tanggal 03/01/2017 (nilai rujukan)
Hb (gr/dL) 15,6 12 15
Ht (%) 45 35 45
Eritrosit (juta) 5,38 4,0 - 5,4
Leukosit /mm3 35.640 4.500-13.500
Trombosit /mm3 417.000 150.000-400.000
Retikulosit (%) 0,5 0,5 1,5
DC
Basofil 0 02
Eosinofil 0 14
N. Batang 0 05
N. Segmen 67 29 65
Limfosit 32 29 - 65
Monosit 1 2 11
Darah Sewaktu (mg/dL) 542 < 200
Gambaran Darah Tepi Eritrosit : anisositosis normokrom
Leukosit : jumlah meningkat dengan netrofilia shift to the right
Trombosit : jumlah meningkat dan morfologi normal
Kesan : leukositosis, trombositosis

AGD (Analisis Gas Darah)


Tanggal 03/01/2017 Nilai Normal
pH 6,82 7,35-7,45
pCO2 (mmHg) 18 35-45
pO2 (mmHg) 31 93-100
HCO3- (mmol/L) - 24-28
Na + (mmol/L) 138 135-145
K + (mmol/L) 5,2 3,5-5
Ca ++ (mmol/L) 9,2 8,1-10,4
Kesan : Asidosis Metabolik
Ureum : 28 mg/dL
Creatinin : 0,7 mg/ dL
Kesan : dalam batas normal

Urine
Tanggal 03/12/2016 Nilai Rujukan
A. Fisis
Warna Kuning Kuning coklat
Kekeruhan Positif Negatif
B. Mikroskopis
Eritrosit 0 1/ LPB 5
Leukosit 0 1 / LPB 1
Silinder Granuler Negatif
Epitel (+) gepeng Positif
Kristal Tidak ada Negatif
C. Kimia
Protein (++) Negatif
Glukosa (++) Negatif
Bilirubin Positif Negatif
Urobilinogen Positif Positif
Benda keton (+++) Negatif

DIAGNOSIS KERJA
Ketoasidosis diabetikum
Insulin Dependent Diabetes Mellitus
Kandidiasis oral + kandidiasi vulvovaginalis
DIAGNOSIS BANDING
Ketoasidosis diabetikum ec Susp. Diabetes Mellitus tipe 2
Suspek Diabetes Mellitus tipe 2

PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan
Oksigen 2 L/menit kanul nasal
IVFD NaCl 0,9% tts cepat (makro)
Insulin 4,2 cc/jam (0,5 cc insulin dalam 50 cc NaCl 0,9%) ( 0,1
cc/kgBB/jam
GDR tiap 1 jam
Keton urin tiap 2 jam

Resusitasi cairan
a. Derajat dehidrasi = ringan: 3% (A)
b. Defisit cairan = 3% x 42 x 1000 ml = 1260 cc (B)
c. Kebutuhan rumatan dalam 48 jam = 1260ml + 2 (1000+500+440) =
3880cc (C)
d. Kebutuhan total 48 jam = (B + C) = 51400 cc 35tpm makro

2. Tatalaksana Medikamentosa
ampisilin 4x200 mg gr iv
gentamisin 2x 100 mg iv
ketokonazol 2x 200 mg po

3. Edukasi
Patuhi pemakaian obat, terutama insulin

Rencana Pemeriksaan

- Cek gula darah/ jam, benda keton urin/ 2 jam


- Cek AGD, elektrolit dan urinalisis
- Pemeriksaan feses Rutin, kultur darah

FOLLOW UP
Jumat/ 01-09-17
Jam 11.00 wib
S/ Anak masih tampak gelisah, anak mulai sadar, anak masih
dipuasakan, demam tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak
ada, BAK ada warna keruh jumlah cukup
O/ Keadaan umum , Kes, TD, Nadi, Nafas, T
sakit berat sadar 110/70mmHg 104 x/i 26x/i 36,7C
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit teraba hangat, turgor kulit kembali cepat
Thoraks normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi
Pulmo bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising
usus (+)
Ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik

Laboratorium Ph: 6,8 pCO2: 18 pO2: 101 HCO3- :- BE (E):-


GDR: 542 mg/Dl
Kesan : Asidosis Metabolik
Saran : koreksi Bicnat

A/ Ketoasidosis diabetik ec susp diabetes mellitus tipe 1


Suspek diabetes mellitus tipe 1
Gizi kurang

P/ Oksigen 2 L/menit kanul nasal


IVFD NaCl 0,9% kolf 35 tpm (makro)
Insulin 4,2 cc/jam (0,5 cc insulin dalam 50 cc NaCl 0,9%)
Sementara Puasa
Cek GDR/jam, benda keton/2 jam
Konsultasi
supervision endokrinologi anak dr. Eka Agustia Rini, Sp.A (K)
Setuju koreksi bicnat dosis
Berikan ketokonazol
Pantau gula darah dan keton urin
Analisis gas darah post koreksi
Beri antibiotik lini pertama
Saran: koreksi bicnat
x 0,3 x 42 x15 = 48 mEq dalam Nacl 0,9% 100cc =200 cc /
jam = 133 tts/i makro
Antibiotik ampisilin 4 x 2 gr (IV) H-1
Gentamisin 2 x100 mg (IV)

Kebutuhan cairan :
5040 cc 200cc = 100 cc/ jam

Jam 12.00 wib GDR : 275 gr/dl


Saran : Nacl 0,9 % lanjutkan

Jam 13.00 wib GDR : 175 gr/dl


Saran : ganti infus D5 NS + KCL 10 mEq/ Kolf

Jam 14.00 wib S/ anak masih tampak sesak dan gelisah


Demam dan kejang tidak ada, anak masih dipuasakan.
Perdarahan tidak ada, BAK ada. GDR : 191 mg/dl
O/ Keadaan umum , Kes, Nadi, Nafas, T
sakit berat sadar 98x/i 26 x/i 37C
mata : tidak anemis, tidak ikterik
thorax: normochest, simetris, retraksi tidak ada
cor dan pulmo dalam batas normal
abdomen : distensi tidak ada, supel, bising usus (+) normal
ekstrimitas : akral hangat CRT < 2 detik
Hasil Labor Ph: 6,95 pCO2: 43 pO2: 26 HCO3- :9,5 BE (E):-22,3 SO2 :
20% (tercampur darah vena )
Kesan : asidosis metabolik
Konsul Endokrin Tidak perlu koreksi bicnat
anak Pantau gula darah dan keton urin

A/ KAD + Insulin Dependent Diabetes Melitus


Candidiasis vulvovaginalis
P/ Lanjut Terapi

Sabtu/ 02-01-17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak sadar, masih nampak sesak nafas dan gelisah, demam
tidak ada, muntah tidak ada, kejang tidak ada, BAK ada warna
keruh jumlah cukup.
O/ Keadaan umum , Kes, Nadi, Nafas, T
sakit berat sadar 108x/i 20 x/i 36,9C
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada
tidak ada
Pulmo bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising
usus (+)
Ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik

Laboratorium AGD : pH = 7,02 , pCO2 = 9 mmHg, pO2 = 159 mmHg


Urinalisis : proteinuria (++), ketonuria (+++)

A/ Ketoasidosis diabetik ec diabetes mellitus tipe 1


diabetes mellitus tipe 1
Candidiasis vulvovaginalis

P/ Cek keton urin / 2 jam cek GDR/jam


IVFD DS NS + KCL 10 meq 100 cc/jam
Ampisilin 4 x 2 gr iv H-2
Gentamisin 2 x 100 mg iv
Ketokonazol 2 x 200 mg po
Minggu/3-01-17
Jam 06.00 WIB
S/ Anak sadar, sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, muntah
tidak ada, kejang tidak ada, BAK ada warna keruh jumlah
cukup.
O/ Keadaan umum , Kes, TD, Nadi, Nafas, T
sakit sedang CM 100/70mmHg, 98x/i 22 x/i 37C
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit teraba hangat, turgor kulit kembali cepat
Thoraks normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada
tidak ada
Pulmo bronkovesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Cor irama reguler, bising tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising
usus (+)
Ekstremitas akral hangat, CRT < 2 detik

Laboratorium GDR terakhir : 141 mg/dL


Urinalisis : ketonuria (+)

A/ Ketoasidosis diabetik
Insulin dependent diabetes mellitus
kandidiasis vulvovaginalis

P/ Makan Biasa 2000 kkal


- Makan pagi 400 kkal
- Snack pagi 200 kkal
- Makan siang 600 kkal
- Snack siang 200 kkal
- Makan malam400 kkal
- Snack malam 200 kkal
Novorapid : 11 12 11
Levemir : 17 17
Ampisilin 4 x2 gr IV H-3
Gentamisin 2 x 100 mg IV
Ketokonazol 2 x 200 mg PO

Jam 12.00 WIB


S/ Anak sudah mulai makan, toleransi baik, tidak ada demam,
tidak ada kejang, muntah dan mual tidak ada. BAK ada
jumlah cukup

O/ Keadaan Umum kes HR RR


Sakit sedang sadar 108x/i 24x/i

Mata : tidak anemis, tidak ikterik


Thoraks : normochest, simetris
Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi tidak ada, supel, timpani, bising usus (+)
normal
Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Insulin dependent diabetes melitus


Kandidiasis vulvovaginalis

P/ Lanjutkan terapi

Resume Pindah
Seorang pasien anak perempuan usia 14 tahun dirawat di
HCU anak selama 3 hari dengan diagnosis :
- Ketoasidosis diabetikum
- Insulin dependent diabetes melitus
- Kandidiasis vulvovaginalis dan kandidiasis oral
Kondisi saat ini :
S/ demam tidak ada, sesak nafas tidak, kejang tidak ada.
Anak sadar penuh, telah mulai makan dan injeksi insulin
novorapid dan levemir sub kutis sejak pagi ini gula darah
masih belum stabil. Keton urin telah negatif sejak pagi ini
( lebih kurang 8 kali pemeriksaan) BAK ada jumlah cukup.

O/ Keadaan Umum kes HR RR TD T


Sakit sedang sadar 108x/i 24x/i 120/70 37 C
Mata : tidak anemis, tidak ikterik
Thoraks : normochest, simetris, retraksi tidak ada
Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi tidak ada, supel, timpani, bising usus (+)N
Genital : flour albus (+)
Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik

Hasil Laboratorium :
Hb : 15,6 gr/dl
Leukosit : 35.640 /mm
Ht : 45%
Hitung jenis : 0/0/0/0/67/37/1
AGD : Ph: 6,8 pCO2: 18 pO2: 101 HCO3- :- BE (E):-
GDR: 542 mg/Dl keton urin : ++( masuk)
GDR : 275-175-97-137-345-397-391
Na : 138
K : 5,2
Ca : 9,2
Ur : 48
Cr : 0,7
Keton urin : ++/+/-/-/-/-/-

Terapi saat ini :


Makan biasa 2000 kkal
- Makan pagi 400 kkal
- Snack pagi 200 kkal
- Makan siang 600 kkal
- Snack siang 200 kkal
- Makan malam400 kkal
- Snack malam 200 kkal
Novorapid : 11 12 11
Levemir : 17 17
Ampisilin 4 x2 gr IV
Gentamisin 2 x 100 mg IV
Ketokonazol 2 x 200 mg PO
Cek gula darah per 3 jam
Keton urin per hari

Senin/4-9-17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak tidak demam, kejang dan sesak nafas tidak ada. Anak
tidak menghabiskan makan yang diberikan padanya.
Perdarahan tidak ada.anak mengeluhkan nyeri perut. Muntah
tidak ada. BAK ada jumlah cukup.
O/ Keadaan Umum kes HR RR TD T
Sakit sedang sadar 108x/i 24x/i 120/70 37 C

Mata : tidak anemis, tidak ikterik


Thoraks : normochest, simetris
Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi tidak ada, supel, timpani, bising usus (+)N
Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Insulin dependent DM
Kandidiasis Vulvovagunalis

P/ Makan biasa 2000 kkal


- Makan pagi 400 kkal
- Snack pagi 200 kkal
- Makan siang 600 kkal
- Snack siang 200 kkal
- Makan malam400 kkal
- Snack malam 200 kkal
Novorapid : 11 12 11
Levemir : 17 17
Ampisilin 4 x2 gr IV H-4
Gentamisin 2 x 100 mg IV
Ketokonazol 2 x 200 mg PO
Ranitidin 2 x 150 mg PO
Gula darah per 3 jam
Konseling psikologis anak

Selasa/ 05-9 17
Jam 07.00 WIB
S/ Anak sadar penuh, demam, kejang dan sesak nafas tidak ada.
Intake sudah diberikan sejak 2 hari yang lalu dengan toleransi
baik. Muntah tidak ada,kadar gula darah cukup stabil,
tertinggi malam 258 mg/dl pagi ini120 mg/dl.
Insulin SC diberikan dosis 1,5 mg/kgbb/hari.
Keputihan masih ada berkurang dibandingkan sebulan lalu.
Bercak keputihan di mulut sudaj tidak ada
Konsul psikologi sudah dilakukan
BAB dan BAK tidak ada keluhan

O/ Keadaan Umum kes HR RR TD T


Sakit sedang sadar 98x/i 20x/i 120/80 36.6 C
Kulit : teraba hangat
Mata : tidak anemis, tidak ikterik
Mulut : kandidiasi oral tidak ada
Thoraks : normochest, simetris
Cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi tidak ada, supel, timpani, bising usus (+)N
Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/ Insulin dependent DM
Kandidiasis Vulvovagunalis

P/ Makan biasa 2000 kkal


- Makan pagi 400 kkal
- Snack pagi 200 kkal
- Makan siang 600 kkal
- Snack siang 200 kkal
- Makan malam400 kkal
- Snack malam 200 kkal
Novorapid : 11 12 11
Levemir : 17 17
Ampisilin 4 x2 gr IV H-5
Gentamisin 2 x 100 mg IV
Ketokonazol 2 x 200 mg PO
Ranitidin 2 x 150 mg PO
Gula darah per 3 jam
Pasien rencana pulang
BAB 4
DISKUSI
Seorang anak perempuan usia 13 tahun dibawa ke RSUP Dr. M. Djamil
Padang dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin meningkat sejak 7
jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas pada anak sudah dirasakan sejak
1 hari sebelumnya, namun semakin bertambah sejak 7 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sesak pada anak dapat disebabkan oleh banyak hal. Sesak tidak
dipengaruhi oleh suhu, cuaca dan makanan sehingga kemungkinan alergi yang
mengarah ke sesak yang disebabkan oleh asma dapat disingkirkan. Sesak
nafas juga tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan pasien tidak memerlukan
bantal yang lebih tinggi saat tidur sehingga kemungkinan sesak yang
dipengaruhi oleh kelainan jantung juga dapat disingkirkan. Sesak nafas pada
anak kemungkinan disebabkan karena kelainan metabolik karena sesak pada
pasien diikuti pola nafas cepat dan dalam (nafas Kussmaul) yang biasanya
ditemukan pada anak dengan ketoasidosis diabetik. Usaha nafas yang cepat
tersebut diikuti dengan adanya nafas cuping hidung dan retraksi epigastrium
serta intercosta yang menandakan adanya usaha nafas berlebih untuk
mendapatkan oksigen. Anak ini telah dikenal menderita DM tipe 1 sejak usia
11 dan telah mendapat novorapid dan levemir. Pasein sudah dirawat karena
DM tipe 1 dan KAD sebelumnya.
Pasien pertama kali datang pada tanggal 27 mei 2015 dengan keluhan
utama sesak nafas, dan dilakukan pemeriksaan gula darah tertinggi: 451
mg/dL, keton urin ++ dengan hasil AGD asidosis metabolik. Pasien dirawat
selama 19 hari di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dilakukan pemeriksaan
HbA1c : 17,5% dan C-peptide : < 0,1. Kolesterol total : 178, HDL: 37, LDL :
104, Trigliserida: 187. Hipotesis yang mengarah ke ketoasidosis diabetik
ditunjang dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ditemukan gejala
klasik diabetes mellitus meliputi anak sering buang air kecil dan sering
terbangun pada malam hari untuk BAK (poliuria), anak sering merasa lapar
(polifagia), dan anak sering merasa haus (polidipsi) keluhan ini sudah
dirasakan sejak usia 10 tahun. Hal ini disebabkan karena glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel akibat menurunnya jumlah insulin. Akibat
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, hal ini mengakibatkan sel hepar akan
berusaha lebih keras lagi untuk memproduksi glukosa melalui glikogenolisis
dan glukoneogenesis kemudian akan timbul hiperglikemia puasa timbul
diuresis osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah terlampaui (>
180 mg/dL). Onset gejala klasik pada pasien ini sesuai pada gambaran
diabetes mellitus tipe 1 pada anak yang biasanya bersifat akut. Selain itu, pada
pasien juga ditemukan penurunan berat badan Hal ini sesuai dengan gambaran
diabetes mellitus pada anak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
perubahan kesadaran dimana anak menjadi somnolen, disertai nafas cepat dan
dalam dengan frekuensi nafas 46 x/ menit. Pola pernafasan ini ditemukan pada
keadaan asidosis, dimana pada anak ini dicurigai menderita ketoasidosis
diabetik diabetes mellitus tipe 1. Pola pernafasan yang cepat dan dalam akan
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan parsial CO2 dalam darah yang
nantinya dibuktikan dengan nilai analisis gas darah. Hiperpneu yang lama
dapat menyebabkan terjadinya depresi pernapasan. Selain itu pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan mata cekung dengan turgor kulit yang
kembali lambat, hal ini menunjukkan tanda-tanda dehidrasi akibat
hiperosmolaritas darah akibat adanya glukosuria.
Hipotesis ketoasidosis diabetik pada pasien ini ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium dengan gula darah sewaktu 542 mg/dL, hal ini dapat
dipastikan bahwa pasien ini mengidap diabetes mellitus. Ditemukannya protein,
glukosa dan benda keton dalam urinalisis mendukung patofisiologi terjadinya
KAD pada pasien ini. Selain itu nilai analisis gas darah dengan pH 6,82(pH < 7,1)
dan HCO3- < 3,0 mmol/L (HCO3- < 5 mmol/L) dapat dikategorikan menjadi
ketoasidosis diabetik berat.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel,
akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiper glikemia). Pada anak sakit
walaupun tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis
sehingga tetap terjadi hiperglikemia. Benda keton yang terbentuk karena
pemecahan lemak disebabkan oleh ketiadaan insulin. Akumulasi benda keton ini
menyebabkan terjadinya asidemia, dan asidemia ini dapat menimbulkan ileus,
menurunkan kemampuan kompensasi terhadap poliuria, dan menimbulkan
diuresis osmotik menyebabkan terjadinya dehidrasi berat. Makin meningkatnya
osmolaritas karena hiperglikemia dan asidosis yang terjadi, menyebabkan
penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Oleh karena
itu pada penderita KAD ditemukan berbagai tingkatan dehidrasi, hiperosmolaritas,
dan asidosis.
Tatalaksana awal untuk KAD pada pasien ini adalah memperbaiki perfusi
jaringan dengan resusitasi cairan, menghentikan ketogenesis dengan pemberian
insulin sehingga memperbaiki asidosis dan glukosa dapat digunakan oleh jaringan
perifer untuk metabolisme dan mencegah terjadinya proteolisis dan lipolisis,
mempertahankan kadar glukosa darah pada tingkat optimal, berada di bawah
kadar renal threshold (180 mg/dL) namun tidak menimbulkan hipoglikemia serta
melakukan koreksi elektrolit. Pasien ini diberikan O2 2 liter/menit, cairan
resusitasi dengan NaCl 0,9% 35 tetes per menit (makro), drip insulin 4,2 cc/jam
(100,8 cc/ hari).

DAFTAR PUSTAKA

1. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas


kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 2003.hal 1-14
2. Dunger DB, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for Paediatric
Endocrinology/ Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society Consensus
Statement on Diabetic Ketoacidosis in Children and Adolescents. Pediatrics
2004;113:133-40
3. Felner EI, White PC. Improving management of diabetic ketoacidosis in
children. Pediatrics 2001;108:735-40.
4. Sperling MA. Diabetes Mellitus in Children dalam Nelson Textbook of
Pediatrics, edisi ke-16. editor: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. WB
Saunders Company, 2000.hal 1770-1777
5. Wolfsdore J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic ketoacidosis in infant, children,
and adolescent: A consensus statement from American Diabetes Association.
Diabetes Care 2006;29(5):1050-9.
6. Harris GD, Fiordalisi I. Physiologic management of diabetic ketoacidemia: A
5-year prospective pediatric experience in 231 episodes. Arch Pediatric
Adolescent Med 1994;148:1046-52
7. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Mellitus Tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.2009

Anda mungkin juga menyukai