Anda di halaman 1dari 388

PENCITRAAN PADA

STROKE

Yuyun Yueniwati
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau
pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan dan
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, sebagaimana
dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
PENCITRAAN PADA
STROKE

Yuyun Yueniwati

UB
Press

2016
PENCITRAAN PADA STROKE
2016 UB Press
Cetakan Pertama, Februari 2016
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved
Penulis : Dr. dr. Yuyun Yueniwati P.W., M.Kes. Sp.Rad.
Editor : Ruri Erlangga
Perancang Sampul : Jerry Katon
Penata Letak : Jerry Katon
Pracetak dan Produksi : Tim UB Press
Penerbit:

UB
Press

Universitas Brawijaya Press (UB Press)


Penerbit Elektronik Pertama dan Terbesar di Indonesia
Anggota IKAPI
Jl. Veteran 10-11, Malang 65114 Indonesia
Gedung INBIS Lt. 3
Telp : +62341-554357
Fax : 554357 (call)
e-Mail : ubpress@ub.ac.id; ubpress@gmail.com

ISBN: 978-602-203-923-5
xxviii + 360 hlm, 15,5 cm x 23,5 cm

Dilarang keras memfoto kopi atau memperbanyak sebagian


atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar Ahli

P
uji syukur kami panjatkan ke hadirat
Alloh Tuhan Yang Maha Esa atas
diterbitkannya buku yang berjudul
Pencitraan pada Stroke ini. Sebuah buku
yang diharapkan berguna bagi kita semua.
Dari tahun ke tahun angka kematian
akibat stroke semakin meningkat dan
cenderung terjadi pada usia lebih muda.
Sekitar 2 dari 10 orang yang mengalami
stroke akut akan meninggal dalam satu bulan
pertama dan 3 dari 10 orang meninggal dalam
satu tahun. Penulisan buku ini memang sangat
tepat untuk ikut serta menurunkan angka kematian akibat stroke. Dalam
buku ini dibahas berbagai macam metode pencitraan dan semua hal yang
terkait dengan masing-masing pencitraan, mulai dari pencitraan yang
menggunakan CT scan sebagai deteksi stroke awal kemudian berkembang
menggunakan teknik MRI yang dapat mendeteksi terjadinya stroke
lebih cepat. Seiring dengan kemajuan teknologi maka berkembang pula
teknik pencitraan vaskular mulai dari CTA, MRA, DSA, sampai dengan
TCD. Semua teknik pencitraan ini sangat penting diketahui oleh praktisi
kesehatan terkait dalam menangani penderita stroke. Dengan teknik
dan metode pencitraan yang benar, seorang praktisi dapat menentukan
jenis stroke yang diderita pasien. Hal ini sangat penting dipahami karena
penanganan penderita stroke hemoragik berbeda dengan stroke iskemia.
Semoga semua apa yang dituliskan di buku ini dapat dipahami
dengan baik dan dapat menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi
kita semua, tidak hanya oleh praktisi kesehatan, tapi juga oleh para
mahasiswa, para peneliti, dan masyarakat umum yang peduli terhadap
penanggulangan penyakit stroke.

Malang, Maret 2015

Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes.


Dekan Fakutas Kedokteran
Universitas Brawijaya
Malang

v
vi
Kata Pengantar Ahli

S
ebuah ilmu memang harus
diamalkan dan dibagi sehing
ga manfaatnya dapat dirasakan
oleh kalangan terkait khususnya dan oleh
masyarakat pada umumnya. Saya sangat
mengapresiasi atas penulisan buku yang
berjudul Pencitraan pada Stroke ini. Saya
mengucapkan terima kasih kepada penulis
atas kontribusinya dalam memberikan
panduan, khususnya kepada tenaga
kesehatan terkait sehingga dapat melakukan
prosedur pencitraan yang tepat dan benar
terkait penyakit stroke.
Kita semua tahu bahwa sebagian penyakit stroke bersifat fatal dan
yang lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. Peran radiolog
dalam melakukan pencitraan sangat penting untuk menentukan jenis
stroke. Sampai saat ini, telah ditemukan berbagai macam teknik
pencitraan otak mulai dari CT scan, MRI, dan pencitraan vaskular yang
meliputi CTA, MRA, dan DSA. Selain itu, juga ditemukan terobosan baru
di bidang ultrasonografi yaitu TCD. Semua alat mempunyai keunggulan
dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengetahui semua hal terkait alat-alat tersebut sehubungan dengan
pendeteksian penyakit stroke. Dengan demikian, diharapkan dapat
menemukan jenis stroke yang diderita kemudian menentukan jenis terapi
yang tepat. Dan pada akhirnya, dapat mengurangi risiko terjadinya stroke.
Semoga buku ini dapat memberikan jawaban terkait permasalahan
stroke di Indonesia. Saya berharap buku ini sangat berguna bagi banyak
kalangan, mulai dari praktisi kesehatan terkait, para peneliti, para
mahasiswa, dan pengampu kebijakan berkaitan dengan penatalaksanaan
stroke. Semoga penulis terus dapat berkarya untuk menularkan ilmunya
kepada kita semua.

Malang, 11 Maret 2015

Dr. dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad.(K)


Ketua Kolegium Radiologi Indonesia

vii
viii
Kata Pengantar Penulis

S
iapa yang tidak tahu penyakit stroke. Penyakit ini mengancam
semua kalangan usia dan menjadi penyebab kematian
terbanyak nomor tiga di dunia. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh para ahli medis internasional, mereka menyebutkan
bahwa peluang sembuh total yang dapat diperoleh para penderita stroke
hanya sebesar 15% dan 65% penderita stroke berujung dengan kematian.
Sementara itu, sisanya 20% menjalani sisa hidupnya dengan kelumpuhan.
Permasalahan inilah yang menjadi latar belakang mengapa saya
menulis buku ini. Bahaya stroke yang mengancam kita tidak akan terjadi
jika terdapat penangan awal yang cepat, tepat, dan benar. Berbagai
macam teknik pencitraan diciptakan untuk mendeteksi terjadinya stroke,
mulai dari teknologi yang standar sampai teknologi yang super canggih.
Buku ini mengulas berbagai macam modalitas pencitraan yang berperan
untuk mendeteksi terjadinya stroke lebih awal. Mulai dari penggunaan
CT scan dan MRI yang sudah tersedia di bagian gawat darurat dan
sudah merupakan prasyarat untuk perawatan pasien stroke akut sampai
penggunaan teknologi pencitraan vaskular. Pada saat ini, pencitraan
vaskular yang sudah berkembang antara lain digital subtraction
angiography (DSA), computed tomography angiography (CTA), magnetic
resonance angiography (MRA), dan transcranial color doppler (TCD).
Setiap modalitas mempunyai kelebihan dan keterbatasan tertentu.
Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan stroke
sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak, manifestasi
klinis, berbagai macam modalitas, dan gambaran radiologisnya sangat
penting.
Buku yang berjudul "Pencitraan pada Stroke" ini merupakan jenis
buku ajar yang sangat membantu untuk mengembangkan pengetahuan
dan wawasan kepada para kalangan kesehatan yaitu kedokteran, baik
untuk peserta didik maupun praktisi di bidang radiologi, khususnya bidang
pencitraan terkait penyakit stroke.
Puji syukur alhamdulillah atas peran serta banyak pihak sehingga
pada akhirnya buku ajar ini dapat selesai ditulis. Ucapan terima kasih tak
terhingga kepada ayah anak-anakku, suamiku tercinta atas sharing dan
dukungannya sehingga buku ini dapat hadir di tengah-tengah kita. Saya
juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat pada Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi
Tahun 2015 yang telah memberikan kepercayaan kepada saya. Kepada Ibu

ix
dr.Isnani A. Suryono, M.S. dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
sebagai pendamping yang telah memberikan masukan sehingga buku ini
tampil lebih baik, saya ucapkan banyak terima kasih. Terima kasih juga
kepada editor dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian buku
ini. Kepada UB Press terima kasih banyak atas diberikannya kesempatan
kepada saya untuk menerbitkan buku ini.
Semoga semua ilmu yang kami sampaikan dalam buku ini
dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya. Tiada gading yang tak retak, masukan dan saran
apapun demi kebaikan buku ini di kemudian hari sangat saya harapkan.
Semoga kita dapat melakukan hal terbaik untuk berusaha bersama dalam
mengatasistroke.

Malang, Maret 2015

Penulis

x
Daftar Isi

Kata Pengantar Ahli Dr.dr. Sri Andarini, M.Kes.


Dekan Fakutas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang ......... v
Kata Pengantar Ahli Dr.dr. Aziza Ghanie Icksan, Sp.Rad.(K)
Ketua Kolegium Radiologi Indonesia . ....................................... vii
Kata Pengantar Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ ix
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ xi
Daftar Tabel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xv
Daftar Gambar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xvii
Daftar Arti Singkatan/Istilah . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... xxviii

Bab 1 Peran Penting Modalitas Radiologi terhadap


Stroke ..................................................................................... 1
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 3

Bab 2 Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke .................................. 5


2.1 Apakah Stroke Itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 5
2.2 Bagaimana Epidemiologi Stroke Terjadi? . ............................ 7
2.3 Bagaimana Stroke Diklasifikasikan? . ................................... 8
2.4 Mengetahui Faktor Risiko Stroke . ........................................ 9
2.5 Perbaikan Stroke . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 9
2.6 Bagaimana Diagnosis Stroke Dapat Ditegakkan? . ................ 10
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 11

Bab 3 Memahami Stroke Iskemia ................................................... 13


3.1 Definisi Stroke Iskemia . . . . . . . . . . . ............................................ 13
3.2 Patofisiologi Stroke Iskemia . . . . . ........................................... 14
3.3 Patogenesis Subtipe Stroke Iskemia . ................................... 16
3.4 Diagnosis Stroke Iskemia . . . . . . . . ............................................ 17
3.5 Watershed Infark . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 19
3.6 Transient Ischemic Attack . . . . . . ............................................ 19
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 21

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik ............................................. 23


4.1 Apakah Stroke Hemoragik Itu? ........................................... 24
4.2 Bagaimana Stroke Hemoragik Diklasifikasikan? . .................. 24
4.3 Epidemiologi Stroke Hemoragik . ........................................ 26

xi
4.4 Etiologi Stroke Hemoragik .. . . . . . . . . . . . ...................................... 26
4.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik . . . . . . ...................................... 32
4.6 Manifestasi Klinis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 33
4.7 Manifestasi Klinis ICH . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 35
4.8 Manifestasi Klinis SAH . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 36
4.9 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik . .................................. 39
4.10 Stroke Hemoragik pada Pediatrik . . ...................................... 40
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 41

Bab 5 Anatomi Otak .. ....................................................................... 45


5.1 Embriologi Otak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 45
5.2 Anatomi Otak Secara Keseluruhan . ..................................... 50
5.3 Cairan Serebrospinal dan Subarachnoid Space .................... 56
5.4 Anatomi Vaskular Otak . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 59
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 76

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan ........................... 77


6.1 Apakah CT Scan itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 77
6.2 Komponen Dasar CT Scan . . . . . . . . . . . . ...................................... 78
6.3 Bagaimana Prinsip Kerja CT Scan? . .................................... 81
6.4 Parameter CT Scan .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 83
6.5 Prosedur Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala ..................... 84
6.6 Koefisien Atenuasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 85
6.7 Windowing .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 86
6.8 Anatomi dan Ukuran Normal CT Scan Kepala . .................... 87
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 93

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET .. .................................................. 97


7.1 Mengenal SPECT .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 97
7.2 Mengenal PET .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 101
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 106

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging .............................. 109


8.1 Apakah MRI Itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 109
8.2 Peranan MRI pada Stroke . . . . . . . . . . . . ....................................... 110
8.3 Inilah Komponen MRI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 111
8.4 Ada Berapa Macam Tipe MRI? . . . . . ...................................... 113
8.5 Bagaimana Cara Kerja MRI? . . . . . . . . . ...................................... 114
8.6 Parameter Dasar dan Gambaran Pencitraan MRI . ................ 115
8.7 Kelebihan dan Kekurangan MRI .. ....................................... 117

xii
8.8 Pemeriksaan MRI Kepala .. . . . . . . ............................................ 119
8.9 Interpretasi MRI Kepala . . . . . . . . . . ............................................ 123
8.10 Artefak pada MRI dan Upaya Mengatasinya . ....................... 124
8.11 Tindakan yang Perlu Dilakukan Bila Terjadi Kecelakaan ....... 125
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 126

Bab 9 Mengenal Digital Subtraction Angiography ......................... 129


9.1 Definisi Digital Subtraction Angiography (DSA) ................... 130
9.2 Indikasi dan Kontraindikasi DSA . ........................................ 131
9.3 Evaluasi Preprosedur Pemeriksaan DSA . ............................. 132
9.4 Persiapan sebelum dilaksanakan angiogram ........................ 133
9.5 Peralatan untuk Pemeriksaan DSA . .................................... 135
9.6 Bahan Kontras . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 139
9.7 Sedasi/Analgesik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 139
9.8 Navigasi Kateter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 140
9.9 Flushing Ganda . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 140
9.10 Hand Injection . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 140
9.11 Pencitraan Angiografi dan Standar Proyeksi Foto . ................ 141
9.12 Laju Frame Digital Subtraction Angiography . ...................... 144
9.13 Prosedur Pemeriksaan DSA .. . . . ............................................ 144
9.14 Komplikasi Pemeriksaan DSA . . ........................................... 152
9.15 Gambar Hasil DSA . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 153
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 155

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography ............ 159


10.1 Apakah CTA itu? .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 159
10.2 Inilah Komponen CTA . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 160
10.3 Apakah Kegunaan CTA? .. . . . . . . . . . ........................................... 161
10.4 Prinsip Kerja Mesin CTA . . . . . . . . . . ........................................... 162
10.5 Persiapan Sebelum Pemeriksaan CTA .................................. 164
10.6 Prosedur Pemeriksaan CTA . . . . ............................................ 165
10.7 Indikasi dan Kontraindikasi Pemeriksaan CTA ..................... 166
10.8 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan CTA? . ............. 167
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 169

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography ...................... 171


11.1 Apakah MRA itu? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 172
11.2 Inilah Komponen Mesin MRA . ............................................ 172
11.3 Apakah Kegunaan MRA? . . . . . . . . ............................................ 174
11.4 Apakah Keunggulan dan Risiko Penggunaan MRA? . ............ 174
11.5 Apa Sajakah Keterbatasan MRA? . ....................................... 176

xiii
11.6 Persiapan Sebelum Pemeriksaan .. ....................................... 177
11.7 Prosedur Pemeriksaan MRA .. . . . . . . . . ...................................... 179
11.8 Kontraindikasi Pemeriksaan MRA . ...................................... 182
11.9 Unenhanced MRA (teknik MRA tanpa kontras) . .................. 182
11.10 Contrast-Enhanced MRA . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 187
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 191

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler .. ............................... 193


12.1 Definisi Transcranial Color Doppler . ................................... 195
12.2 Aplikasi Klinis TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 195
12.3 Prinsip Dasar TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 196
12.4 Alat dan Metode pada TCD .. . . . . . . . ....................................... 198
12.5 Akurasi TCD dan Faktor Fisiologis dalam Pemeriksaan
TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 211
12.6 Keterbatasan TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 214
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 215

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia ........................................... 217


13.1 Gambaran CT Scan pada Stroke Iskemia ............................. 217
13.2 Gambaran MRI pada Stroke Iskemia . .................................. 220
13.3 Gambaran Patologis DSA pada Stroke Iskemia . ................... 226
13.4 Gambaran Computed Tomography Angiography pada
Stroke Iskemia .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 229
13.5 Gambaran MRA pada Stroke Iskemia . ................................. 230
13.6 Gambaran TCD pada Stroke Iskemia . .................................. 232
13.7 Gambaran Stroke Iskemia Berdasarkan Waktu . ................... 236
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 253

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik ....................................... 255


14.1 Gambaran Radiologis ICH .. . . . . . . . . . . . ...................................... 257
14.2 Gambaran Radiologis SAH .. . . . . . . . . . . ...................................... 272
14.3 Gambaran Radiologis Etiologi Tertentu . .............................. 283
14.4 Gambaran Radiologis pada Transformasi Hemoragik . ......... 292
14.5 Gambaran Stroke Hemoragik pada Pediatrik . ...................... 304
Rangkuman .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 313

Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 317


Glosarium ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 347
Indeks . . ....... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 353
Riwayat Penulis .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 359

xiv
Daftar Tabel

Tabel 3.1 Skor ABCD untuk memprediksi risiko terjadinya stroke . 20


Tabel 4.1 Daftar tumor yang cenderung mengalami perdarahan ... 29
Tabel 4.2 Daftar kontelasi klinis stroke dan skor ROSIER . ............ 33
Tabel 4.3 Sistem skoring Allen . . . . . . . . ............................................ 34
Tabel 4.4 Sistem skoring Siriraj .. . . . . . ............................................ 35
Tabel 4.5 Berbagai skala klinis untuk menilai tingkat keparahan
SAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 38
Tabel 5.1 Skema pembagian otak . . . ............................................ 54
Tabel 5.2 Komposisi rongga sisterna . .......................................... 59
Tabel 5.3 Jalur dan cabang-cabang yang berasal dari ICA ............ 63
Tabel 5.4 Sistem vertebro-basilar dan percabangannya ................ 67
Tabel 6.1 Nilai rata-rata HU pada beberapa zat .. ......................... 86
Tabel 7.1 Perbandingan antara SPECT, PET, dan fMRI . ................ 101
Tabel 8.1 Interpretasi dasar pada MRI . ....................................... 116
Tabel 9.1 Posisi angiografi untuk target struktur anatomi secara
umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 143
Tabel 9.2 Tingkat kemungkinan komplikasi dalam neuroangio-
grafi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 153
Tabel 11.1 Perbandingan antara pemeriksaan MRA (non-enhanced
MRA & enhanced MRA), CTA, dan DSA . ..................... 175
Tabel 12.1 Depths dan mean velocity arteri intrakranial yang
dievaluasi melalui beberapa pendekatan TCD . ............. 200
Tabel 12.2 Kriteria identifikasi pembuluh darah. ............................ 209
Tabel 12.3 Ringkasan kriteria identifikasi pembuluh darah . ........... 210
Tabel 12.4 Pola khas untuk identifikasi arteri serebral . .................. 211
Tabel 12.5 Akurasi TCD ultrasonografi dengan indikasi .................. 211
Tabel 13.1 Transcranial Doppler ultrasonography pada pasien
dengan tight right middle stenosis serebral arteri . ....... 233
Tabel 13.2 Gambaran MRI pada stroke iskemia . ........................... 236
Tabel 14.1 Sistem skoring SICH . . . . . . . . . ........................................... 260
Tabel 14.2 Nilai duga skoring SICH .. . . ........................................... 261
Tabel 14.3 Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign. Kemudian
dapat dihitung skor spot sign yang akan dipakai untuk
menentukan risiko ekspansi hematoma . ...................... 264

xv
Tabel 14.4 Lima fase perubahan pada stroke hemoragik ................ 269
Tabel 14.5 Skala grading Fisher .. . . . . . . . . . . . ....................................... 275
Tabel 14.6 Sistem grading Spetzler Martin . ................................... 285
Tabel 14.7 Kriteria Boston yang umum digunakan untuk menegak-
kan diagnosis CA . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 287
Tabel 14.8 Sistem grading TH pada CT scan dan MRI ................... 293

xvi
Daftar Gambar

Gambar 1.1 Penanganan yang cepat dan tepat terhadap pasien


stroke dapat menyelamatkannya dari kecacatan
bahkan kematian .. . . . . ............................................ 2
Gambar 2.1 Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otak-
nya akan mati karena terjadi pengurangan aliran
darah dan oksigen ke otak . ................................... 6
Gambar 2.2 Sebagian besar penderita stroke akan mengalami
kecacatan . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 7
Gambar 2.3 Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan
modalitas radiologi seperti ini sangat penting dila-
kukan untuk mengetahui jenis stroke yang diderita
pasien .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 11
Gambar 3.1 Otak yang terkena stoke iskemia . .......................... 14
Gambar 3.2 Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra . .... 15
Gambar 3.3 Pencitraan yang menunjukkan watershed infark . ... 19
Gambar 4.1 Pecahnya pembuluh darah di otak pada stroke
hemoragik .. . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 24
Gambar 4.2 Terjadinya intracerebral hemorrhage dan
subarachnoidhemorrhage . ................................... 25
Gambar 4.3 Tempat predileksi aneurisma . ............................... 30
Gambar 4.4 Warna xantochromia dibandingkan
dengan warnabening air . ..................................... 37
Gambar 4.5 Hasil CT scan kepala tanpa kontras . ..................... 37
Gambar 5.1 Perkembangan embriologi otak mulai hari ke-16
sampai 20 . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 47
Gambar 5.2 Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan
terbentuknya prosensefalon, mesensefalon, dan
rhombensefalon .. . . . . . . ............................................ 48
Gambar 5.3 Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan
terbentuknya telensefalon, diensefalon, mesense-
falon, metensefalon, dan mielensefalon ................. 49
Gambar 5.4 Skema embriologi otak di akhir perkembangan ...... 50
Gambar 5.5 SCALP dan lapisannya . ........................................ 51
Gambar 5.6 Struktur tulang tengkorak dilihat dari sisi:
(a) lateral, (b) frontal, dan (c) inferior .................... 52
Gambar 5.7 Lapisan meningen otak ......................................... 54
Gambar 5.8 Otak dilihat dari irisan: (a) lateral dan (b) sagital ... 55
Gambar 5.9 Sistem ventrikel dilihat dari dari sisi (a) lateral dan
(b) kranial . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 57
Gambar 5.10 Struktur sisterna subarachnoid .............................. 58

xvii
Gambar 5.11 Sirkulasi karotis .. . . . . . . . . . . . ....................................... 60
Gambar 5.12 Sirkulasi anterior . . . . . . . . . . . ....................................... 60
Gambar 5.13 Sirkulasi vertebro-basilar . ..................................... 61
Gambar 5.14 Arteriogram sirkulasi posterior . ............................. 61
Gambar 5.15 Sirkulus Wilisi . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 62
Gambar 5.16 Gambaran normal ICA, ACA, dan MCA:
(a) anterior view dan (b) lateral view .................... 63
Gambar 5.17 Ophtalmic artery dan post communicating artery
dan anterior choroidal artery ................................ 64
Gambar 5.18 Arteri trigeminal yang persisten ............................. 64
Gambar 5.19 a-d Sirkulasi anterior . . . . . . ...................................... 65
Gambar 5.20 MCA dan PCA normal dan duplikasi middle
cerebral artery kiri . . . . . . . . . ...................................... 66
Gambar 5.21 Vertebral artery kiri dengan opasifikasi BA,
cerebellar arteries, dan PCA dan sirkulasi posterior
dan inferior cerebellar artery kiri normal yang
berasal dari VA kiri . . . . . . . . ....................................... 66
Gambar 5.22 Sirkulasi posterior, anterior inferior cerebellar
artery dan superior cerebellar artery normal dan
penestrasi segmen proksimal arteri basilar . ........... 67
Gambar 5.23 Sirkulus Wilisi normal .. . . . ...................................... 68
Gambar 5.24 Skema sirkulus Wilisi . . . . ....................................... 68
Gambar 5.25 Skema arteri carotis interna . ................................. 69
Gambar 5.26 Variasi normal sirkulus Wilisi. Agenesis anterior
communicating artery dan posterior communica-
ting artery . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 70
Gambar 5.27 Variasi normal sirkulus Wilisi: (a) agenesis segmen
A1 kanan ACA dan (b) segmen P1 kiri PCA . ......... 70
Gambar 5.28 Sistem drainase vena serebri . ............................... 71
Gambar 5.29 Angiografi serebri . . . . . . . . . . . ...................................... 72
Gambar 5.30 Angiografi serebri . . . . . . . . . . . ...................................... 72
Gambar 5.31 Sistem vena profunda . . . . . ...................................... 73
Gambar 5.32 Angiografi serebri (a) Venous phase dan sistem vena
serebri superfisial dan profunda . ........................... 73
Gambar 5.33 Sinus venosus serebral pandangan superior . ......... 75
Gambar 6.1 Pesawat CT beserta pasien yang sudah siap
diperiksa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 78
Gambar 6.2 Scan unit yang terdapat di dalam ruang pemeriksa-
an dan operator konsul di ruang terpisah pada
sistem CT scan .. . . . . . . . . . . . ....................................... 79
Gambar 6.3 Bagian-bagian mesin CT scan ............................... 80
Gambar 6.4 Sistem CT scan secara lengkap ............................. 82
Gambar 6.5 Contoh window pada CT scan: (a) brain window
dan (b) bone window .. . . . . ...................................... 86

xviii
Gambar 6.6 Gambaran CT kepala normal: daerah fossa
posterior dan gambaran CT kepala normal daerah
serebellum . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 89
Gambar 6.7 Gambaran CT kepala normal daerah korona
radiata dan gambaran CT kepala normal daerah
sentrum semiovale . . . . ........................................... 89
Gambar 6.8 Gambaran anatomi CT kepala secara keseluruhan . 90
Gambar 6.9 Cara mengukur indeks cella media . ...................... 91
Gambar 6.10 Ukuran CT kepala. Ukuran ventrikel lateral dan
ukuran ventrikel III . . . . ........................................... 91
Gambar 6.11 Ukuran normal lebar vena optalmika . ................... 92
Gambar 6.12 (a) Ketebalan nervus optikus normal pada segmen
retrobular dan (b) ketebalan nervus optikus
terpendek (normal) pada pertengahan orbita . ........ 92
Gambar 6.13 Posisi normal bola mata dibandingkan arkus
interzigomatikus . . . . . . . ............................................ 92
Gambar 6.14 Potongan koronal: (1a) tinggi kelenjar hipofisis,
(1b) lebar kelenjar hipofisis, (2a) lebar chiasma
optikus, (2b) tinggi chiasma optikus, dan
(3) tangkai hipofisis .. ............................................ 93
Gambar 7.1 Kamera gamma yang memancarkan sinar gamma
pada mesin SPECT .. . . ........................................... 98
Gambar 7.2 Mesin SPECT dengan sepasang kamera gamma
berputar mengelilingi pasien yang ditempatkan di
atas meja untuk mengambil gambar pada organ
dalam dan struktur lainnya yang disorot oleh
tracer radioaktif dalam tubuh pasien ..................... 99
Gambar 7.3 Ruang komputer terletak pada ruang berbeda
yang memproses informasi pencitraan . ................. 103
Gambar 7.4 Skema mesin PET dengan detektor gammanya . .... 104
Gambar 8.1 Mesin MRI yang siap digunakan . .......................... 110
Gambar 8.2 Komponen MRI . . . . . . . . ............................................ 112
Gambar 8.3 Sistem MRI . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 113
Gambar 8.4 MRI terbuka dan MRI tertutup .............................. 113
Gambar 8.5 Atom hidrogen yang semula acak, akan mense-
jajarkan diri setelah pemberian medan magnet
luar .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 115
Gambar 8.6 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan
MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 118
Gambar 8.7 Penggunaan head coil untuk pemeriksaan kepala.. 120
Gambar 8.8 Scout potongan aksial standar untuk otak ............. 121
Gambar 8.9 Scout potongan koronal standar untuk otak dan
scout potongan sagital untuk otak . ....................... 121
Gambar 8.10 Irisan aksial T1WI, T2WI, dan scoutnya . .............. 122

xix
Gambar 8.11 Irisan sagital T1WI, T2WI, dan scoutnya . ............. 122
Gambar 8.12 Irisan koronal T2WI dan scoutnya ......................... 122
Gambar 8.13 Irisan aksial proton densitiy dan scoutnya. ............ 122
Gambar 8.14 Pada kasus kecurigaan infark akut A: (T2-weighted
image irisan aksial) tampak area hiperintens pada
sentrum semiovale kiri. B: (diffusion weighted
image irisan aksial) tampak hiperintens . ............... 123
Gambar 8.15 Arah kiri ke kanan adalah fase encoding yang
telah dipilih untuk sebuah penelitian pada
kepala bagian aksial sehingga artefak gerakan
orbital tidak melampaui batas ke otak. ................. 124
Gambar 8.16 Sebuah artefak sinyal tinggi di ruang Csf karena
efek para magnetik akibat menghirup oksigen,
"Pseudo SAH" .. . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 125
Gambar 8.17 Emergency run down unit sederhana. Anda harus
membuka kotak plastik dan melepaskan penutup
tombol untuk memulai. Pemadaman magnet akan
terjadi dalam waktu 2 menit ................................. 126
Gambar 9.1 Pesawat DSA yang mempunyai struktur lengan
berbentuk huruf C (a) atau U (b) ........................... 130
Gambar 9.2 Citra mask dan citra live (citra kontras) pada
pencitraanDSA . . . . . . . . . . . . . ....................................... 131
Gambar 9.3 Skema protokol penggunaan bahan kontras untuk
radiologi intervensi . . . . . . . . . ...................................... 134
Gambar 9.4 Jarum akses yang umum digunakan untuk angio-
grafi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 135
Gambar 9.5 Kawat pemandu (guidewire) ................................ 136
Gambar 9.6 Dilator pembuluh darah .. ...................................... 137
Gambar 9.7 Kateter diagnostik yang direkomendasikan . ........... 138
Gambar 9.8 Typical hemostatic sheath. Ukuran French dari
sheaths menunjukkan diameter dalamnya . ........... 138
Gambar 9.9 Pedang pendek Romawi . ...................................... 140
Gambar 9.10 Cara memegang alat suntik . ................................. 141
Gambar 9.11 Proyeksi PA standar dan lateral ............................ 142
Gambar 9.12 Teknik Seldinger . . . . . . . . . . . . ....................................... 145
Gambar 9.13 Teknik untuk melokalisasi denyut arteri femoralis. .. 147
Gambar 9.14 Kateter angiogram yang diperoleh secara digital . ... 154
Gambar 9.15 Gambaran normal otak angiogram DSA ................ 155
Gambar 10.1 Pesawat CT scan yang digunakan untuk pemerik-
saan CTA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 160
Gambar 10.2 Bagian-bagian mesin CT scan ............................... 161
Gambar 10.3 Gambaran normal arteri otak dengan CTA . ............ 161
Gambar 10.4 Bagan prinsip kerja CT scanner . ........................... 162
Gambar 10.5 Collimator dan detektor . . ...................................... 163

xx
Gambar 10.6 Proses pembentukan citra. .................................... 163
Gambar 10.7 CTA 3D volume-rendered . .................................... 167
Gambar 11.1 MRI yang digunakan untuk pemeriksaan MRA . ..... 172
Gambar 11.2 Komponen MRI yang digunakan sebagai alat
pemeriksaanMRA . . . . . ........................................... 173
Gambar 11.3 Komputer berperan untuk menghasilkan gambar
dari serangkaian proses pencitraan . ...................... 180
Gambar 11.4 Diagram skematik yang menggambarkan prinsip
utama CEMRA . . . . . . . ............................................ 181
Gambar 11.5 Hasil TOF-MRA 3D menunjukkan aneurisme
setebal 6mm yang muncul dari ujung arteri
basillaris (proyeksi anterior) . ................................. 184
Gambar 11.6 Hasil TOF-MRA 3D sirkulus Willisi ...................... 185
Gambar 11.7 Hasil pencitraan CEMRA: arteriogram karotis
interna, proyeksi lateral, fase arteri . ...................... 188
Gambar 11.8 Arteriogram karotis interna: proyeksi AP, fase
arteri .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 189
Gambar 12.1 Probe ultrasound: (a) panah hitam Transcranial
Doppler, panah putih yaitu Transcranial color-
coded sonography. (b) (Ophthalmic), (c)(suboksi-
pital), (d) (temporal) yang menggambarkan ber-
bagai transcranial akustik window dan arah
pemeriksaan selama TCD . .................................... 194
Gambar 12.2 Pemeriksaan TCD pada kepala dan hasil penci-
traannya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 196
Gambar 12.3 Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan
TCD . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 198
Gambar 12.4 Prinsip kerja transducer pada TCD adalah dengan
memberikan suatu gelombang bunyi ke tubuh
manusia dengan menggunakan media transmiter. .. 198
Gambar 12.5 Posisi transduser yang dipakai untuk window TCD.
(A) Transtemporal, (B) transorbital, (C) suboccipital,
dan (D) submandibular ....................................... 199
Gambar 12.6 Skema sirkulus Willisi yang tervisualisasi pada
window transtemporal . ......................................... 201
Gambar 12.7 Sirkulus Willisi pada window transtemporal. Arteri
serebri media (MCA); arteri serebri anterior (ACA),
dan arteri serebri posterior (PCA) . ......................... 202
Gambar 12.8 Tampilan sirkulus Willisi dari window trans-
temporal dengan power Doppler . .......................... 202
Gambar 12.9 Sinyal Doppler dari a. serebri media (MCA)
dengan mean velocity 56cm/sec .......................... 203
Gambar 12.10 Diagram arteri serebri anterior (A), arteri karotis
interna terminal (B), dan arteri serebri posterior (C). .. 203

xxi
Gambar 12.11 Gelombang low-resistance PMD flow normal pada
vaskular sirkulasi posterior .................................... 205
Gambar 12.12 (Kiri) Arteri ophthalmica dan (kanan) carotid
siphon .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 208
Gambar 12.13 Kompresi arteri karotis kommunis. ........................ 209
Gambar 13.1 Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri
media (MCA) dan arteri serebri posterior . .............. 218
Gambar 13.2 Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun
dengan hemiplegia kiri . . . ...................................... 219
Gambar 13.3 Nilai diffusion weighted imaging pada perdarahan
akut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 222
Gambar 13.4 Perdarahan infark akut pada CT vs MRI . ............... 222
Gambar 13.5 Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah
kanan (hari ke-3). Pada serangkaian pencitraan
T2WI (a) dan FLAIR (b) . ...................................... 224
Gambar 13.6 Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan
(24jam setelah serangan iskemia) . ...................... 225
Gambar 13.7 Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri
kiri tengah saat 12 jam setelah onset . .................. 226
Gambar 13.8 Skala grading Qureshi . . . ....................................... 227
Gambar 13.9 Gambaran DSA pada kasus stroke iskemia ............ 228
Gambar 13.10 Gambaran Stroke akut pada wanita 43 tahun yang
telah kehilangan kesadaran . ................................. 229
Gambar 13.11 Pemeriksaan CT angiografi ................................... 230
Gambar 13.12 Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF
MRA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 231
Gambar 13.13 MRI dengan sekuens time of flight (MRA) . ........... 231
Gambar 13.14 Concordant lesion pada MRA . .............................. 231
Gambar 13.15 Gelombang velocity yang tergambar dari TCD pada
pasien dengan stenosis arteri serebri media yang
berat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 232
Gambar 13.16 Tingkat aliran TBI (05) . . . ....................................... 233
Gambar 13.17 Angiografi pada pasien yang sama (contoh kasus
di atas) menunjukkan filling defek/stenosis pada
arteri serebri media kanan . ................................... 234
Gambar 13.18 Oklusi akut intrakranial .. ....................................... 234
Gambar 13.19 Deteksi M-mode TCD terhadap rekanalisasi komplit
dari MCA stem . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 235
Gambar 13.20 Stenosis MCA: velocity meningkat dengan musical
murmur yang mengindikasikan stenosis berat, pada
depth 45 mm pada MCA kiri . .................................. 236
Gambar 13.21 CT infark hiperakut-subakut .................................. 237
Gambar 13.22 Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal
cortical ribbon . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 238

xxii
Gambar 13.23 Tampak gambaran insula kanan yang menghilang
(insula ribbon sign) . . ............................................ 239
Gambar 13.24 Akut infark pada basal ganglia . ............................. 239
Gambar 13.25 Penggunaan irisan tipis ......................................... 240
Gambar 13.26 Computed tomography angiography (CTA) dalam
mendeteksi infark hiperakut. ................................. 240
Gambar 13.27 Infark hiperakut yang menunjukkan penggunaan
computed tomography (CT) lebih baik daripada
FLAIR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 241
Gambar 13.28 Multimodal computed tomography (CT) dalam
penilaian infark akut .. ........................................... 242
Gambar 13.29 Insufisiensi vaskular pada MRI . ............................ 243
Gambar 13.30 Infark emboli hiperakut: CT pada 3 jam, MRI pada
3 jam 30 menit .. . . . . . . ............................................ 244
Gambar 13.31 Infark hiperakut. Gambaran Computed tomography
(CT) lebih baik daripada FLAIR ............................ 245
Gambar 13.32 Difusion-weighted imaging (DWI) infark akut yang
negatif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 245
Gambar 13.33 Infark akut luas korteks subcortex lobus fronto-
temporoparietooccipital . ...................................... 246
Gambar 13.34 Infark akut luas di lobus frontotemporoparieto-
occipital kanan suspek emboli MCA kanan . .......... 247
Gambar 13.35 Infark lakunar akut di hemisfere serebellum kiri
pada MRI T1WI, T2WI dan FLAIR . ....................... 247
Gambar 13.36 Infark akut (24 jam) pada MRI . ............................ 248
Gambar 13.37 Infark akut pada white matter . ............................. 249
Gambar 13.38 Infark akut dengan transformasi hemoragik . .......... 249
Gambar 13.39 Akhir infark subakut infark pada CT dan MRI . ....... 250
Gambar 13.40 Infark subakut di beberapa bagian . ....................... 251
Gambar 13.41 Infark kronis pada CT scan dan MRI . ................... 252
Gambar 13.42 Infark kronis di lobus frontotemporal kanan,
nukleus kaudatus kanan, korona radiata kanan.
Senile brain atrophy . ........................................... 252
Gambar 13.43 Infark kronis dengan degenerasi wallerian . ............ 252
Gambar 14.1 Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan
MRI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 256
Gambar 14.2 CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan
ICH pada thalamus kanan pada fase akut dengan
atenuasi 65 HU (A), 8 hari kemudian (B) dengan
atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C), dan 5
bulan kemudian (D) . . ........................................... 257
Gambar 14.3 CT scan kepala tanpa kontras menunjukkan ICH
akut pada pasien tanpa riwayat koagulopati . ......... 258
Gambar 14.4 CT scan kepala tanpa kontras . .............................. 258

xxiii
Gambar 14.5 CT scan dengan kontras . ...................................... 259
Gambar 14.6 ICH pada thalamus disertai ekstensi IVH . ............. 260
Gambar 14.7 Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hiper-
tensi: thalamus (A), batang otak (B), dan nukleus
lentiformis (C) . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 260
Gambar 14.8 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita
berumur 59 tahun .. . . . . . . . ....................................... 262
Gambar 14.9 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria
berumur 27 tahun .. . . . . . . . ....................................... 262
Gambar 14.10 CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita
berumur 59 tahun .. . . . . . . . ....................................... 263
Gambar 14.11 CTA dari seorang pasien dengan ICH . ................... 263
Gambar 14.12 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria
berusia 85 tahun .. . . . . . . . . . ....................................... 265
Gambar 14.13 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria
berumur 44 tahun .. . . . . . . . ....................................... 265
Gambar 14.14 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita
berumur 98 tahun .. . . . . . . . ....................................... 266
Gambar 14.15 CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien
pria berumur 16 tahun . . . ...................................... 267
Gambar 14.16 Pencitraan PET dari seorang pasien dengan ICH . .. 268
Gambar 14.17 18F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang pasien

dengan ICH .. . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 268


Gambar 14.18 Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A),
T2 (B), dan Gradient Recalled Echo (GRE ) (C) . ... 270
Gambar 14.19 Pencitraan menyajikan ICH dengan IVE dan DSA
yang menunjukkan MMD bilateral . ....................... 270
Gambar 14.20 Pencitraan menunjukkan PIVH dan DSA pada
MMD bilateral dengan circulation affection
posterior . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 271
Gambar 14.21 Pencitraan ICH dan DSA yang menunjukkan MMD
sisi kiri unilateral yang berasosiasi dengan
aneurisme MCA proksimal kanan .......................... 271
Gambar 14.22 TCD pada AVM (arteriovenous malformation) . ...... 272
Gambar 14.23 Gambaran CT scan tanpa kontras pada SAH . ........ 273
Gambar 14.24 SAH mengisi sisterna basalis, sisterna perimesen-
sephalic, dan fissura sylvii . ................................... 273
Gambar 14.25 Angiografi konvensional menunjukkan aneurisma
pada AcomA (A) dan ujung distal PCA (B) . ........... 275
Gambar 14.26 Pasien dengan edema serebri difus menunjukkan
pseudo-SAH pada sisterna basalis . ....................... 276
Gambar 14.27 Perdarahan subarachnoid yang mengisi sisterna
suprasellar (A) dan fissura sylvii (B) . ..................... 276
Gambar 14.28 Hasil SPECT dari seorang pasien dengan SAH ....... 277

xxiv
Gambar 14.29 PET dari seorang pasien dengan perburukan
neurologis . . . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 278
Gambar 14.30 Gambaran SAH pada CT, dan MRI berbagai
sekuens: T1, T2, GRE, dan FLAIR . ....................... 280
Gambar 14.31 Gambaran SAH pada CT (A) dan MRI berbagai
sekuens: T1 (B), T2 (B), FLAIR (D), dan GRE (E) . .. 280
Gambar 14.32 Seorang wanita berumur 56 tahun dengan SAH . ... 281
Gambar 14.33 Gambaran TCD SAH pada seorang pria 66 tahun
yang menjalani embolisasi koil . ............................ 282
Gambar 14.34 Kavernoma multipel . . ........................................... 284
Gambar 14.35 Gambaran MRI sekuen GRE dari pasien dengan
kavernoma multipel .. ............................................ 284
Gambar 14.36 Scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien
wanita berusia 59 tahun. ...................................... 286
Gambar 14.37 Potongan aksial MRI sekuens T2. .......................... 287
Gambar 14.38 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien
pria berusia 42 tahun ........................................... 288
Gambar 14.39 CT scan kepala tanpa kepala kontras . ................... 289
Gambar 14.40 Potongan koronal CT scan kepala tanpa kontras
dari seorang pasien wanita berusia 21 tahun . ....... 289
Gambar 14.41 Hasil CT scan kepala tanpa pemberian kontras
dan paska pemberian kontras . .............................. 290
Gambar 14.42 Contoh khas SAH perimesensephalik non-aneurisma
pada pencitraan CT scan tanpa kontras (A).
Angiografi membuktikan ketiadaan aneurisma (B) . ... 291
Gambar 14.43 Stroke hemoragik pada pasien hamil/nifas . ........... 292
Gambar 14.44 TH terdeteksi menggunaan MRI sekuens GRE
(mata panah hitam) dan DWI sebagai lesi hipo-
intens dikelilingi oleh area hiperintens (mata panah
putih). Hal ini tidak tampak di CT scan ................. 293
Gambar 14.45 Gambaran TH pada MRI. ...................................... 294
Gambar 14.46 CT scan dari seorang pasien pria berumur 75
tahun yang menderita stroke emboli sesuai teritori
MCA kanan . . . . . . . . . . . . . . ............................................ 294
Gambar 14.47 CT scan dengan kontras dari seorang pasien 24
jam setelah serangan stroke iskemia teritori MCA
kanan. Tampak ekstravasasi kontras, membukti-
kan kerusakan BBB .. ............................................ 295
Gambar 14.48 TH pada pasien yang menerima trombolitik. TH
terjadi pada hari kedua paska onset stroke emboli
pada teritori MCA kanan ....................................... 295
Gambar 14.49 CT kepala tanpa kontras . ...................................... 296
Gambar 14.50 Kesepuluh segmen MCA yang dilibatkan dalam
ASPECTS . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........................................... 298

xxv
Gambar 14.51 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien wanita
berusia 65 tahun .. . . . . . . . . . ....................................... 298
Gambar 14.52 CT scan kepala tanpa kontras pada pasien pria
berumur 68 tahun .. . . . . . . . ....................................... 299
Gambar 14.53 CT scan kepala tanpa kontras pada seorang
pasien wanita berusia 79 tahun ............................ 300
Gambar 14.54 Gambar yang menunjukkan kegunaan CTP dalam
menduga risiko terjadinya TH pada pasien dengan
stroke iskemia . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 300
Gambar 14.55 Infark akut dengan transformasi hemoragik . .......... 301
Gambar 14.56 Infark subakut dengan transformasi hemoragik . .... 302
Gambar 14.57 Infark subakut pada korteks subkorteks lobus
temporoparietal kanan dengan kecurigaan transfor-
masi hemoragik .. . . . . . . . . . . . ....................................... 302
Gambar 14.58 Malignant infark subakut CT scan pada 40 jam
setelah timbulnya gejala . ..................................... 302
Gambar 14.59 MRI infark subakut awal hingga kronis . ................ 303
Gambar 14.60 Pemeriksaan USG pada seorang anak dengan usia
gestasi 25 minggu .. . . . . . . . ....................................... 306
Gambar 14.61 MRI (baris atas dan tengah) dari seorang bayi
dengan usia gestasi 38 minggu dan follow up
setelah 3 bulan (baris bawah) . ............................. 307
Gambar 14.62 MRI (baris atas dan tengah) dari neonatus cukup
bulan dengan kesulitan minum dan apneu episodik
dan follow up setelah 2 tahun . ............................. 308
Gambar12.63 MRI pada seorang bayi .. . ...................................... 308
Gambar 14.64 MRI dari seorang bayi berusia 7 bulan . ................. 309
Gambar 14.65 Seorang neonatus dengan usia gestasi 38
minggu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ....................................... 309
Gambar 14.66 Pencitraan USG baseline pada neonatus dengan
usia gestasi 38 minggu . . ...................................... 310
Gambar 14.67 CT scan tanpa kontras menunjukkan SDH pada
seorang bayi dengan acquired prothrombin
complex deficiency . . . . . . . ....................................... 310
Gambar 14.68 Seorang neonatus prematur lahir per abdo-
minam. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................................... 311
Gambar 14.69 CT scan dari neonatus umur 1 hari post natal
dengan kejang menunjukkan ICH periventrikular
dan subkortikal pada lobus frontal, parietal, dan
oksipital bilateral . . . . . . . . . . . . ...................................... 312
Gambar 14.70 CT scan (A) dari neonatus umur 1 jam post natal
dan (B) setelah 10 hari . ....................................... 312
Gambar 14.71 Hasil USG kepala pada neonatus . ......................... 312

xxvi
Daftar Arti Singkatan/Istilah

ACA : Anterior Cerebral Artery


ACAS : The Asymptomatic Carotid Atherosclerosis Study
AchA : Anterior Choroidal Artery
ACoA : Anterior Communicating Artery
ADC : Apparent Diffusion Coefficients
AHA : American Heart Association
AICA : Anterior Inferior Cerebelli Artery
ALARA : As Low as Reasonably Achievable
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
ASA : Anterior Spinal Artery
ASPECTS :  Alberta Stroke Program Early Computed Tomography
Score
AVM : Arterio Venosa Marformation
CA : Cerebral Amyloidosis
CBF : Cerebral Blood Flow
CBV : Cerebral Blood Volume
CEMRA : Contrast Enhanced Magnetic Resonance Angiography
CMRO2 : Cerebral Metabolism Rate for Oxygen
CSF : Cerebro Spinal Fluid
CT scan : Computed Tomography scan
CTA : Computed Tomography Angiography
DIC : Disseminated Intravascular Coagulation
DSA : Digital Subtraction Angiography
DWI : Diffusion-Weighted Imaging
ECASS : European Cooperative Acute Stroke Study
ECD : Extracranial Doppler
EMCO : Extra Corporal Membrane Oxygenation
EPAR : Endovascular Photoacoustic Recanalization
FLAIR : Fluid Attenuated Inversion Recovery
FOV : Field of View
FV : Flow Velocity
FORS : Functional Outcome Risk Stratification
GCS : Glasgow Coma Scale
GMH-IVH :  Germinal Matrix Hemorrhage-IntraVentricular
Hemorrhage
HU : Houndsfield Unit
ICA : Internal Carotid Artery
ICH : Intracerebral Hemorrhage
INR : International Normalized Ratio
ISAT : International Subarachnoid Aneurysm Trial
ISS : Inferior Sagittal Sinus
ITP : Idopathic Trombocytopenic Purpura

xxvii
MAP : Mean Arterial Pressure
MCA : Middle Cerebral Artery
MRA : Magnetic Resonance Angiography
MRI : Magnetic Resonance Imaging
NINDS : National Institute of Neurological Disorders and Stroke
OA : Ophtalmic Artery
OEF : Oxygen Extraction Fraction
PA : Postero Anterior
PC : Phase Contrast
PCA : Posterior Cerebral Artery
PCoA : Posterior Communicating Artery
PET : Positron Emission Tomography
PI : Pulsatility Index
PICA : Posterior Inferior Cerebelli Artery
PT : Protrombin Time
PVHI : Peri-Ventricular Hemorrhagic Infarction
PWI : Perfussion-Weighted-Imaging
SAH : Subarachnoid Hemorrhage
SCA : Superior Cerebelli Artery
SCD : Sickle Cell Disease
SDH : Subdural Hemorrhage
SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography
SPTA : Spasial Peak Temporal Average
SSS : Superior Sagittal Sinus
TCD : Transcranial Color Doppler
TIK : Tekanan Intrakranial
TICA : Terminal-Internal Carotid
TGC : Times Gain Compensation
TH : Transformasi Hemoragik
TIA : Transient Ischemic Attacks
TICA : Terminal Interna Carotid Artery
TOF : Time-of-Flight
TS : Transverse Sinus
USG : Ultrasonografi
VA : Vertebral Artery
VCD : Vascular Closure Devices
WFNS : World Federation of Neurological Surgeon

xxviii
Bab 1
Peran Penting Modalitas
Radiologi terhadap Stroke

K
ejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya
aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini
menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis.
Seseorang yang diperkirakan mendapat serangan stroke sebaiknya segera
dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan evaluasi dan penanganan
secepatnya. Dengan demikian, kematian sel saraf otak yang lebih
banyak dapat dihindari. Pada saat mendapatkan penanganan medis,
awalnya dokter akan melakukan wawancara untuk mengetahui riwayat
penyakit serta melakukan pemeriksaan fisik kepada pasien. Setelah
itu, dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan,
MRI, dan beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan jenis stroke

1
yang diderita pasien. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah
berkembang antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed
tomography angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA),
dan transcranial color doppler (TCD). Di sinilah peran modalitas radiologi
dan seorang radiolog sangat diperlukan (Williandry, 2014).

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 1.1Penanganan yang cepat dan tepat terhadap pasien stroke dapat
menyelamatkannya dari kecacatan bahkan kematian.

Seorang radiolog berperan besar dalam manajemen pasien dengan


stroke sehingga pengetahuan tentang anatomi dasar vaskular otak,
manifestasi klinis, dan gambaran radiologisnya sangat penting. CT scan
non kontras sudah tersedia di bagian gawat darurat dan sudah merupakan
prasyarat untuk perawatan pasien stroke akut di era terapi trombolitik.
Computed tomography (CT) scan adalah suatu pemeriksaan pencitraan
canggih menggunakan sinar-X yang dapat mengevaluasi kondisi otak.
CT scan dapat dilakukan dengan cepat serta peka dalam menilai adanya
perdarahan otak sehingga dokter dapat segera membedakan jenis stroke
yang dialami pasien. Namun, pada banyak kasus stroke iskemia awal
(beberapa jam setelah serangan), CT scan tidak menunjukkan adanya
kelainan (Williandry, 2014).
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan suatu pemeriksaan
pencitraan canggih yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk
mengevaluasi otak. Dengan perkembangan teknologi, teknik pemeriksaan
MRI semakin maju. Adanya teknik yang canggih pada MRI ini mampu
mendeteksi kondisi iskemia di otak kurang dari 6 jam setelah terjadinya
serangan stroke. Sementara itu, kelainan ini baru bisa terlihat 24 jam

2 Pencitraan pada Stroke


setelah serangan jika menggunakan teknik MRI konvensional maupun CT
scan (Williandry, 2014).
Pada keadaan tertentu, misalnya dicurigai terdapatnya kelainan
pembuluh darah seperti aneurisma atau AVM maka dapat dilakukan
pencitraan menggunakan DSA (digital subtraction angiography). Tujuan
penggunaan DSA pada kasus dengan kecurigaan kelainan pembuluh
darah yaitu untuk memberikan informasi tambahan secara lebih detail
terhadap adanya gangguan pembuluh darah tersebut sebelum dilakukan
operasi atau dekompresi. Jika terdapat aneurisma atau AVM maka
tindakan DSA akan dilanjutkan dengan embolisasi. CTA dan MRA
merupakan alat pencitraan tiga dimensi yang dibuat dari irisan-irisan tipis,
menghasilkan data volumetrik yang dapat dinilai dari berbagai perspektif,
baik secara grafis dan kuantitatif. Bila teknologi ini dapat dikombinasikan
dengan tanpa menggunakan injeksi arterial, maka CTA dan MRA dapat
digolongkan ke dalam teknik pencitraan yang non invasif.
Kemajuan teknologi ultrasonografi terbaru saat ini telah memberikan
kemudahan bagi kita untuk mengevaluasi sistem arterial intrakranial
dengan menggunakan transcranial color doppler (TCD), sebagai deteksi
kondisi patologis vaskular pada pasien berisiko. Semua pemeriksaan
pencitraan yang telah disebutkan di atas berperan penting dalam
menangani pasien stroke karena adanya perbedaan dalam jenis terapi
untuk jenis stroke yang berbeda. Dengan adanya pemeriksaan penunjang
mulai dari CT sampai TCD diharapkan dapat meminimalisasi risiko
kecacatan dan kematian yang ditimbulkan oleh stroke.

Rangkuman
1. Kejadian stroke menyebabkan berkurangnya atau terhentinya
aliran darah yang mengakibatkan kematian sel-sel otak. Hal ini
menjadikan serangan stroke sebagai keadaan darurat medis.
2. Setelah pasien stroke mendapatkan penananganan medis awal,
dokter akan melakukan pencitraan otak, dapat melalui CT scan,
MRI, dan beberapa pencitraan vaskular untuk memastikan
jenis stroke yang diderita pasien.
3. Pada saat ini, pencitraan vaskular yang sudah berkembang
antara lain digital subtraction angiography (DSA), computed
tomography angiography (CTA), magnetic resonance angio
graphy (MRA), dan transcranial color doppler (TCD).

Bab 1 Peran Penting Modalitas Radiologi terhadap Stroke 3


4 Pencitraan pada Stroke
Bab 2
Mengenal Lebih Jauh
tentang Stroke

M
endengar namanya, tidak salah jika orang langsung membayang
kannya sebagai sebuah penyakit yang menimbulkan kecacatan,
bahkan kematian. Saat ini, penyakit ini merupakan penyebab
kematian dan kecacatan nomor 1 di Indonesia. Itulah stroke. Kecacatan
fisik yang dideritanya menyebabkan ia tidak mampu mandiri dan dapat
menjadi beban keluarganya. Apakah stroke itu sebenarnya?

2.1 Apakah Stroke Itu?


Menurut World Health Organization (WHO) stroke didefinisikan
sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak

5
dengan tanda dan gejala klinik, baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak (Victor, M. dan Ropper,A.H.,
2001). Chandra B. pada tahun 1996 menjelaskan bahwa stroke adalah
gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan peredaran
darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala dan tanda yang sesuai
dengan daerah fokal pada otak yang terganggu, baik yang terjadi secara
mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa
jam) (Noerjanto M., 2002). Stroke termasuk penyakit serebrovaskular
yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak.

Bekuan darah menyumbat


arteri serebral sehingga
menyebabkan stroke
Bekuan darah
memutuskan aliran
darah

Arteri karotis yang


tidak normal

Arteri
karotis
normal

Sumber: Mayo Clinic, 2015

Gambar 2.1Seseorang yang terkena stroke maka jarigan otaknya akan mati
karena terjadi pengurangan aliran darah dan oksigen ke otak.

Istilah stroke memang banyak digunakan, namun bukan merupakan


istilah yang tepat untuk definisi awal dari defisit neurologis secara tiba-
tiba. Secara klinis, kondisi ini sering disebut cerebrovascular accident.
Stroke atau cerebrovascular accident adalah gangguan pasokan darah
otak yang dapat terjadi karena beberapa kondisi patologis termasuk
aterosklerosis, trombosis, emboli, hipoperfusi, vaskulitis dan stasis vena
yang dapat mempengaruhi pembuluh otak dan menyebabkan stroke
(Turanjanin et. al., 2012).

6 Pencitraan pada Stroke


2.2 Bagaimana Epidemiologi Stroke Terjadi?
Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit
terbanyak ketiga yang menyebabkan kematian di dunia (Price S.A.,
2005; Robbins, 2007; Ralph L., et al., 2006). Persentase orang yang
meninggal akibat kejadian stroke pertama kali adalah 18% hingga 37%
dan 62% untuk kejadian stroke berulang (Siswanto Y., 2010). Data
International Classification of Disease yang diambil dari National Vital
Statistics Reports Amerika Serikat untuk tahun 2011 menunjukkan
rata-rata kematian akibat stroke adalah 41,4% dari 100.000 penderita
(HoyertD.L., Xu J., 2012). Selain itu, kejadian stroke memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi dalam menyebabkan kecacatan.
Menurut World Health Organization (WHO) terdapat 15 juta orang
menderita stroke setiap tahun. Sekitar 5 juta dari mereka meninggal dan
5juta orang lainnya akan menderita cacat permanen. Secara keseluruhan,
insiden stroke per 1.000 orang yang berusia di atas 55 tahun berkisar
antara 4,26,5. Terdapat perbedaan prevalensi stroke di beberapa
negara di dunia dan hal itu mencerminkan pengaruh faktor genetik dan
lingkungan (Liebeskind, 2014).

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 2.2Sebagian besar penderita stroke akan mengalami kecacatan.

Stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak di


Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker dan juga di berbagai
negara di dunia. Setiap tahunnya, 700.000 orang akan mengalami
stroke baru atau berulang. Diperkirakan 500.000 merupakan serangan
pertama dan 200.000 merupakan serangan ulang (Hacke dkk, 2003;
William,2000).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan stroke
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia dan merupakan

Bab 2 Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke 7


pembunuh nomor 1 di RS pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat peningkatan
yang dramatis kejadian stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir.
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke per tahun
(Depkes RI, 2012). Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 dari
1000 populasi. Angka prevalensi ini meningkat dengan meningkatnya
usia. Data nasional Indonesia menunjukkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian tertinggi, yaitu 15,4% (Stroke Association, 2013).
Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke per tahun di Indonesia
dan 200.000 di antaranya merupakan stroke berulang (Price S.A.,
WilsonL.M., 2005). Data statistik dari Stroke Association di Eropa,
menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya stroke berulang adalah
3,1% dalam 30 hari, 11,1% dalam satu tahun, 26,4% dalam lima
tahun, dan 39,2% dalam waktu 10 tahun (Stroke Association, 2013).
Dalam penelitian lain disebutkan bahwa 40% kejadian stroke akan
berulang dalam rentang waktu 10 tahun (Hardie K., 2004). Penelitian
epidemiologi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia didapatkan
bahwa 19,9% kejadian stroke merupakan kejadian stroke berulang
(Soertidewi L., MisbachJ.,2007).
Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan
20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan
institusi setelah 3 bulan dan 1530% menjadi cacat permanen. Stroke
juga merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan, bukan hanya
mengenai seseorang yang dapat menjadi cacat, tetapi juga kepada
seluruh anggota keluarga dan pengasuh yang lain (Goldstein dkk., 2006).

2.3 Bagaimana Stroke Diklasifikasikan?


Para ahli mengklasifikasikan stroke menjadi beberapa macam.
Pengklasifikasian tersebut ada yang berdasarkan gambaran klinis, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi
yang berbeda-beda ini perlu karena setiap jenis stroke mempunyai
cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda, walaupun
patogenesisnya serupa (Victor M. Dan Ropper A.H., 2001).
Klasifikasi modifikasi Marshall untuk stroke adalah sebagai berikut.
~~ Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
1. Stroke Iskemia
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Trombosit serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subarakhnoid
~~ Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu:

8 Pencitraan pada Stroke


1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke-in-evolution
3. Completed stroke
~~ Berdasarkan sistem pembuluh darah:
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebro-basiler

2.4 Mengetahui Faktor Risiko Stroke


Faktor risiko stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan
seseorang untuk menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko
stroke. Kelompok pertama ditentukan secara genetik atau berhubungan
dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi.
Faktor yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras,
riwayat stroke dalam keluarga, dan serangan Transient Ischemic Attack
atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat dari
gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang
termasuk kelompok kedua adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
hiperlipidemia, dan intoksikasi alkohol (Bounameaux, et al., 1999).
Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah
suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan
suatu hal yang terjadi begitu saja sehingga istilah cerebrovascular
accident telah ditinggalkan. Penelitian epidemiologis membuktikan
bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang
untuk menderita stroke (Hankey, 2002).

2.5 Perbaikan Stroke


Data statistik menunjukkan bahwa begitu banyaknya masyarakat
menderita karena stroke, akibat kecacatan yang ditimbulkannya dan
pengaruhnya terhadap berbagai aspek kehidupan. Masih banyak yang
tidak diketahui tentang bagaimana kompensasi otak terhadap kerusakan
yang disebabkan oleh stroke. Pada beberapa sel otak kerusakan dapat
bersifat sementara, tidak mengakibatkan kematian sel, dan hanya
mengakibatkan berkurangnya fungsi otak. Secara umum, perbaikan
stroke dapat digambarkan seperti penjelasan berikut ini (Duncan P.W.,
1998 dan Brandstater M.E. 1996).
1. Sebesar 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir sempurna.
2. Sebesar 25% pulih dengan kelemahan minimum.
3. Sebesar 40% mengalami pemulihan sedang sampai berat dan
membutuhkan perawatan khusus.
4. Sebesar 10% membutuhkan perawatan oleh perawat pribadi di
rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lainnya.
5. Sebesar 15% langsung meninggal setelah serangan stroke.

Bab 2 Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke 9


Terdapat dua tipe perbaikan stroke yang mempengaruhi perilaku
aktifitas kehidupan sehari-hari yaitu tingkat defisit neurologis dan tingkat
fungsional. Perbaikan neurologis merujuk adanya peningkatan hubungan
spesifik antara stroke dengan defisit neurologis seperti defisit motorik,
sensorik, visual, atau bahasa. Perbaikan fungsional merujuk adanya
peningkatan pada aktifitas perawatan diri sendiri dan mobilitas yang
dapat terjadi sebagai konsekuensi dari perbaikan neurologis. Perbaikan
paling sering melibatkan beberapa kombinasi dari peningkatan neurologis
dan fungsional.
Pengelolaan stroke dibagi dalam 3 tahap yaitu: (1) akut,
(2)rehabilitasi aktif, (3) adaptasi terhadap lingkungan/sosialisasi
(RyersonS.D., 1995). Pada fase akut, pasien stroke menjalani pena
nganan medikamentosa yang intensif, pengendalian tekanan darah, gula
darah, dan rehabilitasi pasif. Setelah fase akut terlewati, baru pasien
ditangani rehabilitasi aktif, di samping itu juga beradaptasi dengan
lingkungannya. Adanya pengurangan defisit neurologis pada pasien
stroke terjadi karena hal berikut ini: (1)hilangnya edema serebri, (2)
perbaikan sel saraf yang rusak, (3) adanya kolateral, dan (4) retraining
(plastisitasotak).
Secara umum, impairment yang disebabkan oleh stroke adalah
hemiplagi atau hemiparesis yaitu sebesar 73%-88% pada stroke akut
(Kauhanen M.L., 1999). Perbaikan fungsi motorik pada pasien stroke
berhubungan dengan beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut.
Pasien dengan defisit motorik ringan akan lebih banyak kemungkinan
untuk mengalami perbaikan dibandingkan dengan defisit motorik yang
berat (Chemerinski E., et al., 2001 dan Kotilla M., et al., 1998). Pengaruh
umur dan jenis kelamin terhadap perbaikan fungsi neurologis masih
belum ada kesamaan pendapat dari beberapa peneliti (ChemerinskiE.,
etal., 2001; Denis M., et al., 2000; Lai S.M., etal.,2002).
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa perbaikan status
fungsional tampak nyata pada 3 bulan pertama dan mencapai tingkat
maksimal dalam 6 bulan post stroke. Duncan, P.W. (1993) dalam
penelitiannya melaporkan bahwa perbaikan fungsi motorik dan defisit
neurologis terjadi paling cepat dalam 30 hari pertama setelah stroke
iskemia dan menetap setelah 3-6 bulan, meskipun selanjutnya perbaikan
masih mungkin terjadi (Duncan, P.W., 1998). Sementara itu, peneliti
lain mendapatkan 50% pasien mengalami perbaikan fungsional paling
cepat dalam 2 minggu pertama (Stroke, 2001).

2.6 Bagaimana Diagnosis Stroke Dapat Ditegakkan?


Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia tahun 1999
mengemukakan bahwa diagnosis stroke dapat ditegakkan dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(Bustan, M.N., 2000; Arif, dkk. 2000; Wibowo, S. 2001).

10 Pencitraan pada Stroke


2.6.1 Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri dan keluarga yang
mengerti tentang penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan
mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu kejadian,
penyakit lain yang diderita, dan faktor-faktor risiko yang menyertai stroke.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik
umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia,
paru, dan jantung), pemeriksaan neurologis dan neurovaskular.

2.6.3 Pemeriksaan
Penunjang
Kemajuan teknologi kedok
teran memberikan kemudahan
untuk memb edak an antara
stroke hemoragik dan stroke
iskemia dengan ditemukannya
berbagai modalitas radiologi,
mulai dari computerized tomo
graph scanning (CT Scan),
cerebral angiografi, elektro
ensefalografi (EEG), magnetic
reson ance imaging (MRI),
elektrokardiografi (EKG), peme
riksaan labo r atorium dan
lainnya.
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 2.3Pemeriksaan penunjang


dengan menggunakan modalitas
radiologi seperti ini sangat penting
dilakukan untuk mengetahui jenis stroke
yang diderita pasien.

Rangkuman
1. Menurut World Health Organization (WHO) stroke
didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang
terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik, baik
fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau
dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak.

Bab 2 Mengenal Lebih Jauh tentang Stroke 11


2. Stroke memiliki tingkat mortalitas yang tinggi sebagai penyakit
terbanyak ketiga yang menyebabkan kematian di dunia.
3. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat 15 juta
orang menderita stroke setiap tahun. Sekitar 5 juta dari mereka
meninggal dan 5 juta orang lainnya akan menderita cacat
permanen.
4. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke
per tahun (Depkes RI, 2012). Prevalensi stroke di Indonesia
mencapai 8,3 dari 1000 populasi.
5. Stroke diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis, patologi
anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya.
6. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, stroke dibeda
kan menjadi stroke iskemia dan hemoragik.
7. Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu, stroke dibedakan
menjadi transient ischemic attack (TIA), stroke-in-evolution,
dan completed stroke.
8. Berdasarkan sistem pembuluh darah, stroke dibedakan menjadi
sistem karotis dan sistem vertebro-basiler.
9. Faktor risiko stroke dibedakan menjadi pertama, faktor risiko
yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan
fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi,
contohnya faktor usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke dalam
keluarga, dan serangan transient ischemic attack atau stroke
sebelumnya. Faktor risiko kedua merupakan akibat dari gaya
hidup seseorang dan dapat dimodifikasi, misalnya hipertensi,
diabetes mellitus, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi
alkohol.
10. Secara umum, perbaikan stroke dapat digambarkan seperti
berikut:
- Sebesar 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir
sempurna.
- Sebesar 25% pulih dengan kelemahan minimum
- Sebesar 40% mengalami pemulihan sedang sampai berat
dan membutuhkan perawatan khusus.
- Sebesar 10% membutuhkan perawatan oleh perawat pribadi
di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lainnya.
- Sebesar 15% langsung meninggal setelah serangan stroke.
11. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia tahun
1999 mengemukakan bahwa diagnosis stroke dapat ditegakkan
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan peme
riksaan penunjang.

12 Pencitraan pada Stroke


Bab 3
Memahami Stroke Iskemia

S
troke iskemia atau yang dikenal juga dengan stroke non-hemoragik
merupakan jenis stroke yang paling banyak yang diderita orang.
Oleh karena itu, kita sangat perlu untuk memahami apakah stroke
iskemia itu dan berbagai hal terkait dengannya.

3.1 Definisi Stroke Iskemia


Stroke iskemia yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebab
kan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke
iskemia secara umum diakibatkan oleh aterotrombosis pembuluh darah
serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada stroke iskemia,
penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang

13
menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan
dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung
aorta jantung. Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam
pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya
aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah
arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar
otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir
di dalam darah kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil (ASA, 2011,
Miscbach and Kalim,2011).

Embolus (gumpalan darah) pada


arteri serebral menghalangi aliran
darah menuju ke otak
Lokasi jaringan
otak yang mati

Otak
Embolus
menghalangi
aliran darah

Gumpalan darah Jaringan


terpisah dari Arteri serebral otak mati
tumpukan plak pada dalam otak
arteri karotis di leher
Arah aliran darah
Sumber: Neuroscience, 2012

Gambar 3.1Otak yang terkena stoke iskemia.

Stroke iskemia akut memegang peranan sekitar 80% dari semua


stroke dan merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian di
Amerika Serikat (Srinivasan et al., 2006). Beberapa faktor risiko yang
sering menjadi penyebab stroke iskemia, baik pada usia muda maupun
tua yaitu diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia (Turanjanin
etal.,2012).

3.2 Patofisiologi Stroke Iskemia


Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting pada
diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi otak atau dalam
estimasi lesi yang dapat diakses melalui pembedahan (Kornienko dan
Pronin, 2009).

14 Pencitraan pada Stroke


Sebuah pemahaman patofisiologi yang jelas tentang latar belakang
pengurangan aliran darah otak merupakan poin penting dari setiap
diagnosa iskemia pada otak. Konsekuensi iskemia fokal akut dan tingkat
pengaruh yang merusak tergantung pada tingkat keparahan dan durasi
penurunan aliran darah. Secara umum, hilangnya fungsi daerah otak
yang rusak terjadi ketika aliran darah otak menurun ke level 1520
ml/100 g/menit. Penurunan aliran darah ke level 7080% dari tingkat
normal (di bawah 50 ml/100 g per menit) akan disertai dengan reaksi
sintesis penghambatan albumin. Tingkat ini dianggap sebagai tingkat
kritis pertama iskemia otak. Selanjutnya, penurunan aliran darah sampai
50% dari tingkat normal (sekitar 35 ml/100 g/menit) akan menyebabkan
aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat, asidosis
laktat, dan edema sitotoksik. Terjadinya iskemia otak progresif dan
penurunan aliran darah lebih lanjut (20 ml/100 g/menit) disertai dengan
penurunan sintesis ATP, pengembangan insufisiensi energi, destabilisasi
membran sel, pelepasan pemancar acidergic amino, dan penurunan
fungsi aktif transportasi kanal ion. Saat aliran darah menurun di bawah
tingkat kritis 10 ml/100 g/menit mengarah ke sel depolarisasi membran,
hal ini dianggap sebagai kriteria utama kerusakan sel yang ireversibel
(Kornienko dan Pronin, 2009).
Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup disebut
daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme
energi dan hanya memiliki perubahan fungsional. Pengembangan lebih
lanjut karena terjadinya iskemia menyebabkan habisnya cadangan perfusi
lokal dan neuron menjadi sangat sensitif terhadap penurunan aliran darah
lebih lanjut. Inti dapat mengalami perubahan struktural ireversibel karena
hal ini. Penumbra dapat diselamatkan oleh restorasi aliran darah dan
penggunaan agen pelindung saraf. Penumbra merupakan target utama
untuk diagnosis dini dengan penggunaan metode neuroradiologi modern
dan pengobatan dini (Kornienko dan Pronin, 2009).

Jaringan
yang mati

Sumber: Thurnher, M., 2008

Gambar 3.2Jaringan otak yang mati dan daerah penumbra.

Bab 3 Memahami Stroke Iskemia 15


Pemeriksaan mikroskopis dapat mendeteksi perubahan saraf seperti
pembengkakan mitokondria dan disorganisasi (neuron lebih sensitif
terhadap iskemia daripada astrosit dan oligodendroglia) yang terlihat 20
menit setelah onset iskemia. Perubahan tersebut dapat menjadi satu-
satunya tanda iskemia selama 6 jam pertama. Waktu ekspresi maksimum
edema otak yang merupakan sitotoksik edema yaitu berada di interval
antara 24 hingga 48 jam. Hal ini menyebabkan gyri otak menebal dan
sulitnya membedakan antara grey dan white matter. Durasi iskemia
akut yaitu pada 2 hari pertama. Setelah itu, subakut fase infark dimulai.
Periode ini berlangsung antara 710 hari (setelah onset stroke). Edema
otak pada daerah iskemia maksimal muncul pada 35 hari setelah onset
stroke. Pada tahap ini, edema vasogenik dan sitotoksik edema otak
berlangsung (Kornienko dan Pronin, 2009).
Fase kronis dapat terjadi sampai beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan. Pada periode ini, jaringan nekrotik rusak dan diserap
kembali sehingga terjadi pembentukan encephalomalacia. Gyri yang
keriput dan dilatasi pada bagian yang berdekatan dengan sistem
ventrikel dapat ditemukan dalam kasus-kasus daerah infark relatif besar.
Perubahan patologis yang disebutkan di atas muncul hampir pada semua
jenis infark. Namun demikian, kondisi tertentu dari situs jaringan yang
rusak bervariasi, tergantung pada lokasi, ukuran, dan penyebab iskemia
tersebut (Kornienko dan Pronin, 2009).

3.3 Patogenesis Subtipe Stroke Iskemia


Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri besar,
kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010). Sumber emboli dapat
berasal dari debris ateromatous, stenosis arteri, dan pembuntuan arteri atau
emboli yang berasal dari jantung kiri (fibrilasi atrial) (Herring, 2007). Saat
ini, ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda. Sebagai contoh,
klasifikasi yang dikembangkan di Institut Riset Ilmiah Neurologi dari Russian
Academy of Medical Science berikut ini (Kornienko dan Pronin, 2009).
a. Stroke aterotrombotik
Stroke jenis ini terjadi dalam beberapa tahap, dimulai dengan
peningkatan bertahap dari manifestasi klinis selama beberapa jam atau
hari. Sering kali dimulai saat tidur. Hal ini ditandai dengan adanya lesi
aterosklerotik di arteri sisi stroke. TIA sering mendahului onset stroke.
Ukuran stroke bervariasi dari kecil ke besar. Stroke aterotrombotik bersama
dengan emboli arteri-arteri memegang peranan sebesar 47% dari semua
kasusstroke.
b. Stroke karena emboli jantung
Ditandai oleh kondisi awal yang akut, stroke ini menyerang pasien
dalam keadaan terbangun. Tanda-tanda neurologis fokal paling terlihat pada
awal munculnya penyakit. Lokasi yang paling sering yaitu area arteri karotis

16 Pencitraan pada Stroke


tengah dan biasanya mengenai kortikal-subkortikal dan berukuran sedang
atau besar. Menurut data, ada komponen perdarahan khas untuk jenis stroke
ini. Jenis stroke ini memegang peranan sebesar 22% dari semua kasus stroke
yang ada.
c. Stroke hemodinamik
Bentuk stroke ini ditandai dengan onset akut. Daerah yang paling sering
diserang yaitu bidang yang sesuai dengan suplai darah. Ukurannya dapat
bervariasi dari besar sampai kecil. Sebuah komponen hemodinamik juga
hadir dalam bentuk penurunan tekanan darah dan curah jantung secara tiba-
tiba. Stroke hemodinamik terjadi kurang dari 15% dari semua kasus stroke.
d. Infark lakunar
Infark lakunar adalah lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri
perforans (Zimmerman, 2010). Infark lakunar disebut juga "microstroke",
dengan ukuran mulai dari 1-1,5 cm. Hipertensi arteri sering mendahului
stroke. Lokasi yang paling sering diserang yaitu inti subkortikal, batang
otak, basal ganglia, kapsul internal, korona radiata dan sekitar white matter
dari centrum semiovale (Osborn, 2004; Kornienko dan Pronin, 2009;
Zimmerman, 2010). Ada tanda-tanda neurologis fokal yang khas dan dalam
beberapa kasus hanya satu gejala timbul dengan tidak adanya tanda-tanda
otak secara umum. Terjadinya lakunar stroke sebesar 20% dari semua
kasusstroke.

3.4 Diagnosis Stroke Iskemia


Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi menjadi
tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis. Ada beberapa inkonsistensi di
antaranya dan perubahan patologis dalam jaringan otak. Namun secara
umum, perubahan yang didiagnosis dengan penggunaan CT dan MRI mirip
dengan perubahan makroskopik. Keduanya memiliki karakter yang sama
dan perkembangan dalam proses terjadinya penyakit sesuai dengan tiga
tahap utama yang disebutkan di atas (Kornienko dan Pronin, 2009). Berikut
inipenjelasannya.

3.4.1 Superakut dan stroke akut


CT memainkan peranan yang jauh lebih signifikan dalam diagnosa stroke
daripada MRI karena mayoritas pasien stroke yang dirawat di unit perawatan
intensif rumah sakit lebih mudah untuk melakukan CT scan daripada MRI.
Meskipun pada pemeriksaan CT mendeteksi perubahan iskemia akut,
namun tugas utama pemeriksaan CT adalah untuk menghilangkan adanya
perdarahan dan patologi otak lainnya (seperti tumor, malformasi dan
perdarahan, yang semuanya dapat memiliki manifestasi klinis yang sama
dengan stroke iskemia). Fase stroke akut memiliki batas waktu tertentu,
maksimal 2 hari. Potensi CT dalam mendeteksi stroke akut tergantung

Bab 3 Memahami Stroke Iskemia 17


pada jumlah waktu yang berlalu sejak onset stroke. Selama jam pertama,
pemeriksaan CT tanpa kontras akan menampilkan gambar otak normal lebih
dari 50% kasus (Kornienko dan Pronin, 2009).
Tanda-tanda patologis yang terlihat dalam 12 jam pertama setelah onset
stroke yaitu meningkatnya intensitas sepanjang arteri yang terkena dampak
(hiperdens lebih sering divisualisasikan di cabang-cabang arteri serebral
tengah, atau MCA yang disebut gejala atau fenomena MCA), kaburnya batas-
batas nukleus lentiformis, tidak adanya celah subarachnoid dan kaburnya
batas-batas antara grey dan white matter. Hiperdens MCA merupakan
tanda trombosis. Gejala ini diamati pada 25% kasus stroke iskemia hingga
50% pada pasien stroke di wilayah MCA. Dalam 24 jam pertama, proses
demarkasi wilayah iskemia berlangsung. Daerah iskemia menjadi hipodens
dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya (Kornienko dan Pronin, 2009).

3.4.2 Fase subakut iskemia


Dalam kasus stroke yang disebabkan oleh gangguan aliran darah arteri
besar, CT mengidentifikasi wilayah yang mengalami penurunan densitas yang
tidak hanya mengenai white matter tetapi juga grey matter pada daerah yang
sesuai dengan wilayah arteri yang sesuai. Efek massa akan muncul pada
3 hari pertama dan secara bertahap mengalami regresi pada akhir tahap
subakut (Kornienko dan Pronin, 2009).
Dalam 1520% kasus tanda-tanda perdarahan, hal itu dapat
terlihat pada CT tanpa kontras selama fase subakut. Tanda-tanda tersebut
divisualisasikan dalam bentuk peningkatan densitas lokal yang terletak di
basal ganglia dan samping gyri. Dalam kebanyakan kasus, transformasi
hemoragik dapat diamati pada 46 hari pertama. Mengingat fakta bahwa
integritas struktural dari penghalang sawar darah otak rusak dalam proses
perkembangan iskemia maka sangat mungkin untuk memvisualisasikan
peningkatan kontras patologis sepanjang gyri otak. Peningkatan fokus kontras
di daerah yang terkena dapat terlihat 34 hari setelah onset stroke dan
menetap selama periode yang relatif lama hingga 810 minggu (Kornienko
dan Pronin, 2009).

3.4.3 Fase kronik iskemia


Stroke pada tahap kronis (lebih dari 3 bulan) divisualisasikan pada
CT sebagai daerah dengan CSF densitas (encephalomalacia). Pada
stroke tahap kronis dapat disertai dengan dilatasi kompensasi dari bagian
ipsilateral dari sistem ventrikel. Hal ini mencerminkan penurunan volume
jaringan otak. Perifokal daerah stroke yang mewakili daerah gliosis dapat
memiliki karakteristik hipodens. Peningkatan kontras pada CT tidak lagi
divisualisasikan karena proses reparasi penghalang darah otak selesai
(Kornienko dan Pronin, 2009).

18 Pencitraan pada Stroke


3.5 Watershed Infark
Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan
karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama (Johnson dan
Kubal, 1999). Menurut literatur, lesi ini berperan sekitar 10% dari semua
infark otak. Patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan, tetapi
hipotesis sementara yang diterima menyatakan bahwa penurunan perfusi
di daerah distal dari wilayah vaskular dapat menyebabkan rentan terhadap
infark. Pada pencitraan yang paling sering terlihat yaitu infark perbatasan
zona arteri lentikulostriata dan arteri serebri media (Mangla et al., 2011).

Zona perbatasan cortical


antara ACA dan MCA

Zona perbatasan internal


antara LCA dan MCA

Zona perbatasan cortical


antara MCA dan PCA

Sumber: Smithuis, 2008

Gambar 3.3Pencitraan yang menunjukkan watershed infark.

3.6 Transient Ischemic Attack


Transient ischemic attack (TIA) adalah gangguan neurologis
fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan
biasanya berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap
selama 24 jam. Diagnosis TIA sulit dilakukan dan sekitar 25% kasus
diagnosis klinis TIA tidak benar. Hal ini dapat terjadi karena infark atau
etiologi lain, misalnya perdarahan intrakranial, migrain, atau kejang.
Meskipun TIA memiliki berbagai penyebab, tetapi pada umumnya
disebabkan karena suplai darah sementara yang tidak memadai untuk
suatu wilayah fokus otak. TIA bukan suatu gangguan yang jinak dan
hampir sepertiga pasien akhirnya akan memiliki infark serebral (sekitar
20% dalam waktu 1 bulan kejadian stroke berawal dari TIA). Meskipun
terjadi resolusi gejala, namun demikian TIA memiliki gambaran difusi
yang positif pada MRI. Pengukuran apparent diffusion coefficients (ADC)
dari MR diffusion-weighted images (DWI) dapat menunjukkan difusi yang
menurun ringan (< 25%). Sementara itu, di daerah tanpa gejala kelainan

Bab 3 Memahami Stroke Iskemia 19


pada sinyal DWI, menunjukkan bahwa meskipun tidak ada defisit
fungsional permanen, neuron telah hilang (sekitar 25% dalam beberapa
studi hewan). Dengan demikian, tindakan lanjutan pemeriksaan pada
TIA sangat mendesak. Saat ini, dengan munculnya MDCT dan khususnya
64-slice CT, hal itu menawarkan metode baru dan menarik untuk menilai
seluruh pembuluh darah otak yaitu mulai dari lengkungan ke sirkulus
Wilisi dan hanya memerlukan waktu selama 6 detik (Teasdale dan
Aitken, 2009). Defisit neurologis iskemia reversibel berlangsung kurang
dari 7 hari dan gejala harus menghilang (Zimmerman, 2010). Tidak
ada parameter pencitraan CT/CTA atau MRI yang bisa digunakan untuk
memprediksi stroke berulang setelah TIA dan stroke ringan. Pencitraan
hanya digunakan untuk memprediksi perkembangan stroke dan bukan
untuk memprediksi stroke berulang (Horton et al., 2013). Skor ABCD
mungkin berguna dalam memprediksi risiko terjadinya stroke pada 2 hari
kemudian (Tabel3.1). Evaluasi cepat dan tindakan awal pencegahan
dalam waktu 24 jam secara signifikan terbukti dapat mengurangi risiko
stroke berulang (Liao, 2011).
Tabel 3.1Skor ABCD untuk memprediksi risiko terjadinya stroke
Umur 60 1 poin
Tekanan darah: Tekanan sistol awal 140 atau 1 poin
tekanan diastol awal 90

Ciri-ciri klinis:
Unilateral weaknessv 2 poin, atau
Gangguan berbicara tanpa adanya gangguan gerak 1 poin, atau
Yang lain 0 poin
Durasi TIA:
60 menit 2 poin, atau
1059 menit 1 poin, atau
< 10 menit 0 poin
Diabetes 1 poin
Risiko stroke setelah 2 hari
Tinggi: total 67 poin (risiko: 8,1%)
Sedang: total 45 poin (4,1%)
Rendah: total 03 poin (1,0%)
Sumber: Horton et al., 2013

20 Pencitraan pada Stroke


Rangkuman
1. Metode neuroimaging selalu memainkan peranan penting
pada diagnosis stroke, termasuk dalam mengeksklusi patologi
otak atau dalam estimasi lesi yang dapat diakses melalui
pembedahan.
2. Daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih hidup
disebut daerah penumbra. Daerah ini mempertahankan
terjadinya metabolisme energi dan hanya memiliki perubahan
fungsional.
3. Penyebab paling umum infark meliputi aterosklerosis arteri
besar, kardioembolisme, dan lakunar (Zimmerman, 2010).
Sumber emboli dapat berasal dari debris ateromatous, stenosis
arteri, dan pembuntuan arteri atau emboli yang berasal dari
jantung kiri.
4. Ada beberapa klasifikasi stroke iskemia yang berbeda yaitu
stroke aterotrombotik, stroke karena emboli jantung, stroke
hemodinamik, dan infark lakunar.
5. Berdasarkan pemeriksaan CT dan MRI, biasanya stroke dibagi
menjadi tiga tahap yaitu akut, subakut, dan kronis.
6. Watershed infark adalah lesi iskemia yang terjadi di lokasi
dengan karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri
utama.
7. Transient ischemic attack (TIA) adalah gangguan neurologis
fungsional yang mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular
dan biasanya berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi
lengkap selama 24 jam.

Bab 3 Memahami Stroke Iskemia 21


22 Pencitraan pada Stroke
Bab 4
Memahami Stroke Hemoragik

M
orbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat
pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemia. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya
(Nasissi, Denise, 2010). Stroke hemoragik memegang peranan sebesar
15% sampai 20% dari semua jenis stroke (Lumbantobing, SM, 2003).
Sementara itu, perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari
seluruh stroke dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi daripada infark
serebral (Nasissi, Denise, 2010).
Literatur lain menyatakan hanya 8 18% dari stroke keseluruhan yang
bersifat hemoragik. Namun demikian, pengkajian retrospektif menemukan
bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke merupakan stroke hemoragik.
Namun, pendapat lain menyatakan bahwa peningkatan persentase
mungkin dikarenakan karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti
ketersediaan CT scan ataupun peningkatan penggunaan terapeutik agen

23
antiplatelet dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan (Nasissi,
Denise, 2010).

4.1 Apakah Stroke Hemoragik Itu?


Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan
otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum)
atau perdarahan ke dalam ruang subarachnoid, yaitu ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut
hemoragia subarachnoid). Stroke hemoragik merupakan jenis stroke yang
paling mematikan dan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan stroke
yaitu sebesar 10-15% untuk perdarahan intraserebrum dan sekitar 5%
untuk perdarahan subarachnoid (Felgin, V., 2006).
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi
vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid adalah
aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV) (Price, SA, Wilson,
LM, 2006).

Sumber: Joe Niekro Foundation, 2015

Gambar 4.1Pecahnya pembuluh darah di otak pada stroke hemoragik.

4.2 Bagaimana Stroke Hemoragik Diklasifikasikan?


Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Kedua bentuk
ini memiliki etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, dan gambaran
radiologis yang berbeda (Yates, 2014).

24 Pencitraan pada Stroke


Intracerebral
Hemorrhage

Perdarahan di dalam otak

Subarachnoid
Hemorrhage

Perdarahan di ruang
subarachnoid

Sumber: (a) UF Health, 2015 dan (b) Joe Niekro Foundation, 2015

Gambar 4.2 Terjadinya intracerebral hemorrhage dan


subarachnoidhemorrhage.

4.2.1 Intracerebral hemorrhage (ICH)


Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral.
Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol merupakan penyebab
utama stroke hemoragik. Penyebab lainnya adalah pecahnya aneurisma,
malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah,
terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid (Setyopranoto, I., 2011).
Antara 3040 orang per 10.000 orang per tahun terserang stroke
ICH (Yates, 2014). Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan
primer yang berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan
bukan disebabkan oleh trauma. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula
interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan
10% di hemisfer (di luar kapsula interna). ICH terutama disebabkan oleh
hipertensi (50-68%) (Harsono, 2003).
Angka kematian untuk perdarahan intraserebrum hipertensif sangat
tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium
(di atas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik apabila volume
darah sedikit. Namun, perdarahan ke dalam ruang infratentorium di
daerah pons atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk
karena cepatnya timbul tekanan pada strukturstruktur vital di batang
otak (Price, SA, Wilson, L.M., 2006.).

4.2.2 Subarachnoid hemorrhage (SAH)


Stroke SAH terjadi pada 610 orang per 100.000 orang per tahun
pada populasi negara Barat. Di negara lain, prevalensi SAH berbeda. Di
Jepang dan Finlandia, SAH menyerang 1520 orang per 100.000 orang
per tahun. Pada umumnya, pasien terkena SAH pada usia yang relatif

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 25


muda. Setengah pasien yang terkena SAH berusia < 50 tahun (van Gijn,
et al., 2007).
Perdarahan subarachnoid adalah keadaan akut yaitu terdapatnya/
masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid atau perdarahan yang
terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala
seperti di selaput otak atau bagian bawah otak (Price, SA, Wilson, LM,
2006). SAH menduduki sekitar 7-15% dari seluruh kasus gangguan
peredaran darah otak. SAH paling banyak disebabkan oleh pecahnya
aneurisma (50%) (Harsono, 2003). Sebagian besar kasus disebabkan
oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab
lain adalah malformasi arterivena atau tumor (Setyopranoto, I., 2011).

4.3 Epidemiologi Stroke Hemoragik


Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 per
tahunnya dan sebesar 10-15% merupakan stroke hemoragik, khususnya
perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke
hemoragik lebih besar daripada stroke iskemia. Dilaporkan hanya sekitar
20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.
Selain itu, ada sekitar 40-80% yang akhirnya meninggal pada 30 hari
pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam
pertama. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dari 251 penderita
stroke, ada 47% wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69
tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun). Pasien dengan umur lebih dari
75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih
buruk (Nasissi, Denise. 2010).

4.4 Etiologi Stroke Hemoragik


Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang
terkena stroke atau tidak. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Usia
Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar
30% dari stroke terjadi sebelum usia 65 tahun; 70% terjadi pada mereka
yang 65 tahun ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap
10 tahun di atas 55 tahun (Sotirios A.T., 2000).
b. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus ICH. Area yang sering terkena
adalah thalamus, ganglia basalis, pons, serebellum (Liebeskind, 2014).
Area-area ini merupakan area yang mendapatkan vaskularisasi dari
r. perforantes MCA atau a. basilaris (Wanke, 2007). Sebagai respon
terhadap tekanan darah yang tinggi, arteri-arteri kecil ini akan mengalami

26 Pencitraan pada Stroke


hiperplasia tunika intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika
media, yang meningkatkan risiko nekrosis fokal pada dinding vaskular
dan akhirnya ruptur. Peneliti lain mengusulkan bahwa stres hemodinamik
pada arteri kecil akan mengakibatkan terbentuknya mikro-aneurisma,
yang disebut Charcort-Bouchard aneurisma. Mikro-aneurisma inilah yang
dianggap menjadi penyebab ICH lobar pada pasien dengan hipertensi
tanpa kelainan vaskular (Smith, et al., 2011).
c. Riwayat stroke sebelumnya
d. Alkohol
e. Narkoba
Penggunaan kokain dan phenylcyclidine terkait dengan stroke
hemoragik, meskipun keduanya tidak memiliki sifat anti-koagulan
(Magistris, 2013).
f. Koagulopati dan penggunaan anti-koagulan/trombolitik
Koagulopati pada pasien dengan gagal hati ataupun karena
genetik dapat menyebabkan terjadinya ICH. Pasien dengan status slow
metabolizer terhadap warfarin berisiko menderita ICH jika diberikan
terapi warfarin. Status ini disebabkan oleh polimorfisme pada gen
CYP2C9 (Liebeskind, 2014).
g. Cerebral amyloidosis
Cerebral amyloidosis (CA) sering mengenai pasien manula. CA
bertanggung jawab atas 10% kejadian ICH (Liebeskind, 2014). CA
jarang mengenai pasien berusia < 60 tahun. Gejala CA ditandai dengan
penumpukan amiloid beta-protein pada vaskular sedang dan kecil, pada
leptomeningeal dan korteks, tidak mengenai vaskular ganglia basalis,
substansia alba dan fossa posterior. Tidak sepenuhnya diketahui,
mekanisme yang dicurigai adalah adanya mutasi pada protein prekursor
amiloid tertentu dan pada gen apolipoprotein E. Vaskular yang terkena
akan mengalami fibrosis, nekrosis dan pembentukan aneurisma, yang
akan ruptur dan menyebabkan ICH. Pada umumnya, ICH akan muncul
di korteks subkorteks, terutama di lobus temporal atau oksipital (Smith,
etal., 2011).
h. Malformasi arteriovena dan fistula arteriovena
Beberapa kelainan genetika memiliki manifestasi berupa kelainan
vaskular misalnya malformasi (arteriovenous malformation, AVM) atau
hereditary hemorrhagic telangiectasis (Liebeskind, 2014). Malformasi
vaskular otak dapat dibagi menjadi empat bagian besar yaitu malformasi
vena, capillary telangiectasis, malformasi arteriovenous, dan cavernoma.
Dua kelompok terakhir berpotensi menyebabkan stroke hemoragik.
Prevalensi AVM tidak dapat diketahui karena besarnya proporsi pasien
asimtomatik (Smith, et al., 2011). Berdasarkan hasil otopsi menunjukkan
bahwa hanya sekitar 12% AVM akan menimbulkan gejala selama hidup
dengan manifestasi utama adalah perdarahan (3082%). Perdarahan

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 27


yang terjadi mayoritas adalah SAH (30%), disusul oleh ICH (23%),
intraventricular hemorrhage (IVH, 16%), dan campuran (30%). Risiko
perdarahan tahunan sebuah AVM yaitu sekitar 24% (Wanke, 2007).
Risiko perdarahan ini akan naik hingga mencapai 18% jika sebelumnya
sudah pernah terjadi perdarahan (Smith, et al., 2011). Angka mortalitas
AVM yang ruptur berkisar antara 1015% dengan angka kesakitan
sebesar 50%. Sekitar 37% pasien yang mengalami ruptur AVM akan
mandiri setelah perawatan yang cukup (Wanke, 2007).
Secara histopatologi, AVM terdiri atas sebuah feeding artery yang
mengalami muskularisasi, duplikasi, atau disrupsi lamina elastika, fibrosis
tunika media, dan penipisan fokal dinding vaskular; sebuah draining vein
yang mengalami arterisasi; sebuah nidus jalinan vaskular antara feeding
artery dan draining vein yang memiliki komponen dominan fibrosis
pada dindingnya; dan jaringan parenkim otak gliotik di antara vaskular
penyusun AVM (Wanke, 2007). Pada fistula arteriovena, tidak terdapat
nidus (Smith, et al., 2011).
i. Cavernoma
Cavernoma atau yang disebut juga cerebral cavernous malformation
atau cavernous angioma adalah kelainan vaskular otak yang ditandai
dengan sinosoid yang dilapisi oleh endotel dan tidak memiliki parenkim
otak di antara sinosoid tersebut. Kelainan yang menyumbang 815% dari
seluruh kelainan vaskular intrakranial ini dapat muncul akibat sporadik,
herediter, atau setelah terapi radiasi. Cavernoma tidak menampakkan
predileksi jenis kelamin dan tidak pernah tumbuh aktif. Sekitar 255
cavernoma ditemukan pada populasi pediatrik. Cavernoma multiple
muncul pada 90% kasus herediter dan 25% kasus sporadik sehingga jika
sebuah cavernoma terdeteksi dalam CTA maka harus dicari cavernoma
lainnya (Wanke, 2007).
Diperkirakan sekitar 40% cavernoma tidak memberikan gejala. Pada
umumnya, pasien akan menimbulkan gejala antara dekade ketiga dan
kelima. Gejala yang dapat muncul antara lain defisit neurologi fokal,
kejang, perdarahan berulang, dan sakit kepala kronik. Cavernoma pada
batang otak akan menimbulkan gejala batang otak seperti ataksia,
diplopia, dan gangguan sensorik, akan tetapi tidak pernah menyebabkan
kejang. Kejang yang terjadi tidak berhubungan dengan perdarahan,
melainkan dengan deposit hemosiderin pada jaringan saraf sekitar
cavernoma. Hal ini penting untuk terapi operatif di mana cincin deposit
hemosiderin harus ikut diangkat (Wanke, 2007).
Meskipun jelas bahwa masalah utama yang harus diatasi dari
cavernoma adalah perdarahan, namun pada kenyataannya tidaklah
demikian jelas. Literatur ilmiah mengenai cavernoma memiliki berbagai
macam istilah perdarahan dan definisi. Secara umum, mayoritas literatur
mendukung risiko perdarahan sebuah cavernoma per tahun adalah
0,51% (Wanke, 2007). Risiko untuk perdarahan ulang sebesar 4,5
26% (Smith, et al., 2011). Untuk pasien pada umumnya dan terutama

28 Pencitraan pada Stroke


untuk mereka yang berusia di atas 35 tahun, yang memiliki sebuah
cavernoma berdiameter < 10 mm dengan kejang sebagai gejala pertama
maka pendekatan observasi cukup beralasan. Untuk pasien yang pernah
mengalami perdarahan sebagai manifestasi klinis maka risiko perdarahan
ulang akan tinggi (Wanke, 2007).
j. Vaskulitis
Vaskulitis otak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen
dengan berbagai etiologi yang semuanya ditandai dengan inflamasi
dengan atau tanpa nekrosis dinding vaskular. Informasi klinis yang
diperlukan dalam menentukan jenis vaskulitis sangat ekstensif. Beberapa
di antaranya yaitu umur, jenis kelamin, etnisitas, dan keterlibatan organ
lain (seperti kulit atau paru), penggunaan obat (termasuk narkoba), dan
hasil laboratorium (rheumatoid factor, LED, CRP) (Garg, 2011).
k. Tumor
Tumor otak primer maupun sekunder menyebabkan 114% stroke
hemoragik. Perdarahan dapat berada intra-tumoral maupun meluas ke
parenkim otak sekitar (Smith, et al., 2011).
Tabel 4.1Daftar tumor yang cenderung mengalami perdarahan
Jenis tumor Jenis tumor
Metastasis Gliobastoma/oligodendroglioma
Melanoma Ependimoma/subependimoma
Paru Peripheral neuroectodermal tumor
Ginjal Epidermoid
Tiroid Data dari Osborn A.G. Diagnostic
Choriocarcinoma neuroradiology. St. Louis (MO):
Mosby; 1994
Tumor otak primer
Sumber: Smith, et al., 2011
Pituitari adenoma

l. Aneurisma
Peluang menemukan aneurisma pada orang muda tanpa faktor
risiko lain adalah sebesar 2,3% (van Gijn, et al., 2007). Aneurisma
bertanggung jawab terhadap kejadian SAH. Namun penelitian lain
mencatat 34% ruptur aneurisma berkaitan dengan ICH dan sekitar 1,6%
ruptur ini terkait dengan ICH tanpa SAH. Kejadian yang terakhir ini
mungkin disebabkan oleh aneurisma yang terselimuti oleh atau menjorok
ke parenkim otak (Smith, et al., 2011). Sebagian besar aneurisma
berbentuk sakular (berry aneurysm) (Liebeskind, 2014.) Bentuk lainnya
yaitu fusiform. Sekitar 85% aneurisma sakular terdapat pada sirkulasi
anterior. Sekitar 3035% aneurisma muncul pada AcomA. Sebenarnya,
beberapa aneurisma ini tidak benar-benar melibatkan AcomA, melainkan
mereka muncul dari ACA pada peralihan segmen A1/A2. Sekitar 30%

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 29


aneurisma disumbangkan oleh ICA dan PcomA, sementara bifurkasi
MCA memberikan 20% aneurisma. Sekitar 1015% aneurisma muncul
dari sirkulasi posterior. Sangat jarang terjadi aneurisma muncul dari
a.cerebelli posterior inferior atau a. vertebralis. Aneurisma dapat soliter
(7075%) atau multiple (2530%) (Wanke, 2007).

Arteri Arteri komunikating


serebral anterior
anterior

Arteri serebral
tengah
40%

Arteri
karotis 20%
internal

Arteri komunikating
Arteri posterior
serebral
posterior

Arteri basilar

Sumber: Magistris, 2013

Gambar 4.3Tempat predileksi aneurisma.

Berlawanan dengan anggapan selama ini, aneurisma bukanlah


kelainan kongenital, melainkan sebuah kelainan yang berkembang seiring
waktu, akibat interaksi berbagai faktor. Selain pengaruh lokasi pada
sirkulus Wilisi seperti yang tercermin dari kecenderungan aneurisma
yang muncul pada tempat-tempat tertentu (Wanke, 2007), faktor yang
paling berperan adalah stres hemodinamik dan kelainan genetik yang
menyebabkan kelemahan fokal dinding vaskular. Beberapa kelainan
genetik yang menyebabkan aneurisma adalah autosomal dominan
policystic renal disease, sindroma Loeys Dietz, sindroma Ehler Danlos
tipe IV (Liebeskind, 2014). Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah
aterosklerosis, merokok, alkohol, dan inflamasi (Wanke, 2007).
Risiko ruptur meningkat seiring peningkatan diameter aneurisma.
Namun, sebagian besar aneurisma yang ruptur dan menyebabkan SAH
adalah aneurisma kecil dengan diameter <1 cm. Penjelasan untuk

30 Pencitraan pada Stroke


paradoks ini adalah sekitar 90% aneurisma yang ada berukuran kecil
sehingga jika sebagian kecil dari aneurisma ini ruptur maka jumlahnya
tetap melebihi sebagian besar aneurisma besar yang ruptur (van
Gijn, etal., 2007). Risiko ruptur aneurisma pada primigravida muda
pada trisemester ketiga dapat naik hingga 5 kali lipat mencapai angka
1/10.000 pasien (Zak, et al., 2007).
m. Ruptur kapiler atau vena
Ruptur kapiler atau vena diperkirakan adalah etiologi SAH peri-
mesencephalic atraumatik non-aneurisma (Liebeskind, 2014).
Sebanyak 10% dari seluruh SAH disebabkan oleh ruptur kapiler/vena
perimesensefalik ini (van Gijn, et al., 2007). Sebanyak 2168% SAH
dengan angiografi negatif untuk aneurisma disebabkan oleh etiologi
ini. Meskipun tidak dapat dibedakan dengan yang lain yaitu dengan CT
scan, etiologi ini harus dipikirkan jika menemukan SAH yang terletak
tepat di anterior mesensefalon, sementara petunjuk untuk etiologi lain
tidak ditemukan. Selain itu, dapat ditemukan perluasan ke bagian
anterior sisterna ambien atau ke bagian basal fissura Sylvii. Entitas
klinis ini memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan SAH akibat
ruptur aneurisma arteri (Smith, etal., 2011).
n. Trombosis sinus venosus
Trombosis vena intraserebral atau sinus dural diperkirakan terjadi
34/1.000.000 orang, dengan 75% kasus terjadi pada wanita. Sekitar
39% dari seluruh trombosis ini berakibat pada perdarahan (Smith,
etal., 2011). Hal ini patut dipertimbangkan pada pasien ibu hamil/
nifas karena trombosis sinus venosus menyumbang 6% pada kematian
ibu. Meskipun dapat terjadi kapan saja dalam masa kehamilan/nifas,
insiden paling tinggi terjadi pada minggu kedua masa nifas (Zak,
etal.,2007).
o. Hipertensi dalam kehamilan
Meskipun sangat jarang, terdapat laporan kasus bahwa hipertensi
dalam kehamilan dapat menyebabkan SAH. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kenaikan tekanan darah mendadak selama kehamilan/persalinan
yang disertai dis-autoregulasi vaskular otak sehingga menyebabkan
ruptur arteri pial yang relatif halus (Zak, et al., 2007). ICH pada pasien
hamil dengan preklampsia pun pernah dilaporkan. Disertai dengan tanda
Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES), ICH ini pun
dicurigai disebabkan oleh peningkatan tekanan darah mendadak disertai
dis-autoregulasi vaskular otak (Gasco, et al., 2009).

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 31


4.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik
Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih
sebesar 20 % adalah stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk
perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).
Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini
diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak
akibat hipertensi kronis. Tempat predileksi antara lain thalamus,
putamen, serebellum, dan batang otak. Selain hipoperfusi, parenkim
otak juga terkena kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh
efek massa hematoma atau kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara
keseluruhan (Liebeskind, 2014). ICH memiliki tiga fase, yaitu perdarahan
awal, ekspansi hematoma, dan edema peri-hematoma. Perdarahan awal
disebabkan oleh faktor-faktor risiko di atas. Prognosis sangat dipengaruhi
oleh kedua fase berikutnya. Ekspansi hematoma, yang terjadi dalam
beberapa jam setelah fase perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan
TIK yang pada gilirannya akan merusak BBB (Blood Brain Barrier).
Peningkatan TIK berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini
menyebabkan fase berikutnya yaitu pembentukan edema peri-hematoma.
Fase terakhir ini dapat terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama
terjadi dan merupakan penyebab utama perburukan neurologis, akibat
penekanan bagian otak normal (Magistris, 2013).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter
100400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid
serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien,
peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya
penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil
membuat efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler yang
akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan
volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia
akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di
daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala
neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar
permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh
rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous
malformation (AVM) (Caplan, 2000). SAH mengakibatkan banyak hal.
Selain peningkatan TIK, SAH mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasi

32 Pencitraan pada Stroke


platelet, dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan
bermakna perfusi otak dan iskemia (Liebeskind, 2014).

4.6 Manifestasi Klinis


Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke. Namun
demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau kejang akibat
kelainan ekstrakranial lainnya yang berpotensi sulit dibedakan dengan
stroke, jika presentasi penyakit tersebut atipikal. Terdapat sebuah sistem
skor yang dirancang untuk membantu klinisi guna memilah kasus stroke
dari non-stroke, yaitu skor ROSIER. Skor yang nilainya berkisar antara
2 hingga +5 ini memiliki sensitivitas 92%, spesifisitas 86%, nilai duga
positif 88%, dan nilai duga negatif 91%. Jika seorang pasien memiliki
skor >0, besar kemungkinannya kontelasi klinis yang dialami disebabkan
oleh stroke (Magistris, 2013).

Tabel 4.2Daftar kontelasi klinis stroke (A) dan skor ROSIER (B)
Kasus simptom % Komponen Poin
Onset akut 96 Asymetrical facial 1
Tangan lemah 63 weakness
Kaki lemah 54 Asymetrical arm weakness 1
Gangguan bicara 53 Asymetrical leg weakness 1
Wajah tidak normal 23 Speech disturbance 1
Limb parasthesia 20 Visual field defect 1
Visual disturbances 11 Seizure 1
Facial parasthesia 9
Loss of consciousness 1
Vertigo 6
B
Impaired limb coordination 5 Sumber: Magistris, 2013
Convulsive fits 1
A

Tidak ada satu pun manifestasi klinis yang dapat membedakan antara
kedua subtipe stroke dengan meyakinkan. Meskipun demikian, manifestasi
sistemik seperti mual muntah, sakit kepala, kejang, hipertensi maligna,
dan penurunan kesadaran merupakan tanda peningkatan TIK sehingga
lebih mengarahkan diagnosis ke stroke hemoragik (Liebeskind, 2014).
Reaksi Cushing (hipertensi, bradikardia, dan irregularitas pernapasan)
merupakan tanda peningkatan TIK yang penting. Dibandingkan SAH yang
mendadak, manifestasi klinis ICH membutuhkan waktu hingga hitungan
jam untuk muncul (gradual). Namun tetap lebih dramatis daripada stroke
iskemia (Magistris, 2013). Meskipun demikian, manifestasi klinis yang

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 33


saling tumpang tindih sering terjadi dan sering kali pasien datang dengan
manifestasi atipikal (Smith, et al., 2011).
Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk membantu
membedakan kedua subtipe stroke hemoragik adalah sistem skor Siriraj.
Sistem skoring ini telah tervalidasi di berbagai pusat pelayanan kesehatan
dan cukup dapat diandalkan untuk membedakan kedua subtipe stroke dalam
keadaan Computed Tomography (CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang
cukup sering digunakan adalah skor Allen (Nouira, 2008). Penelitian lain
menyimpulkan bahwa sistem skoring Siriraj lebih sederhana sekaligus lebih
akurat daripada Allen dalam menentukan subtipe stroke (Sherin, 2011). Jika
tersedia, CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus menjadi
patokan dalam membedakan kedua subtipe stroke (Sheta, 2012).
Tabel 4.3Sistem skoring Allen
Variabel Gambaran Klinis Skor
Onset apoplectic (kehilangan Satu atau tidak ada 0
kesadaran, sakit kepala dalam 2 jam, satupun
muntah, leher kaku
Dua atau lebih 21,9
Tingkat kesadaran (24 jam setelah Siap siaga 0
terserang)
Mengantuk 7,3
Tidak sadar 14,6
Plantar responses Fleksor ganda atau 0
ekstensor tunggal
Ekstensor ganda 7,1
Tekanan diastol (24 jam setelah Kali 0,17
terserang stroke, dalam mm Hg)
Marker ateroma (angina, klaudikasio, Tidak satu pun 0
sejarah diabetes
Satu atau lebih 3,7
Sejarah hipertensi Tidak ada 0
Ada 4,1
Kejadian sebelumnya (TIA atau Tidak satu pun 0
stroke)
Beberapa kejadian 6,7
Penyakit jantung Tidak satu pun 0
Murmur aortik atau mitral 4,3
Gagal jantung 4,3
Kardiomiopati 4,3
Fibrilasi atrial 4,3
Kardiomegali (dari radiografi) 4,3

34 Pencitraan pada Stroke


Variabel Gambaran Klinis Skor
Infark miokardial (dalam 6 mo) 4,3
Konstan 12,6
Sumber: Nouira, 2008

Tabel 4.4Sistem skoring Siriraj


Kesadaran Siap siaga 0
Keadaan mengantuk atau 2,5
pingsan
Koma atau semikoma 5
Muntah Tidak 0
Ya 2
Sakit kepala (dalam 2 hari) Tidak 0
Ya 2
Tekanan diastol (dalam mm Hg) Kemungkinan 0,1
Marker ateroma Tidak satu pun 0
sejarah diabetes, Klaudikasio Satu atau lebih 3
berselang, atau angina
Konstan 12
Sumber: Nouira, 2008

4.7 Manifestasi Klinis ICH


Defisit neurologis fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah
otak yang terserang, yaitu seperti berikut ini (Liebeskind, 2014).
a. Hemisfer kanan :  Hemipareis kiri, hipesthesia kiri, buta mata
kiri, afasia.
b. Hemisfer kiri : Hemiparesis kanan, hipesthesia kanan, buta
mata kanan.
c. Serebellum : Penurunan kesadaran drastis, apneu dan
kematian, ataksia ipsilateral, merot.
d. Putamen : Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontra
lateral, hemianopsia homonim, afasia,
apraksia.
e. Thalamus : Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontra
lateral, hemianopsia homonim, afasia, miosis,
kebingungan.
f. Nukleus kaudatus : Hemiparesis kontralateral, kebingungan.
g. Batang otak : Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran,
miosis, instabilitas autonomik, ocular bobbing.

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 35


4.8 Manifestasi Klinis SAH
Kebanyakan aneurisma tidak memberikan gejala sama sekali
hingga pada saat aneurisma itu ruptur (Wanke, 2007). Nyeri kepala
yang terjadi mendadak (thunderclap headache, the worst headache in
my life) merupakan tanda khas untuk SAH (Liebeskind, 2014). Pada
sekitar 30% pasien, sakit kepala ini terjadi pada ipsilateral aneurisma
yang ruptur. Pasien yang datang dengan sakit kepala khas seperti ini
meskipun tidak memiliki tanda defisit neurologis lain, namun memiliki
kemungkinan terkena SAH sebanyak 1016%. Sekitar 515% pasien ini
salah didiagnosis (Lemonick, 2010).
Nyeri kepala pada SAH dapat disertai atau tidak disertai dengan gejala
lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen, hilang kesadaran sesaat,
mual, muntah atau defisit neurologis fokal. Sebaliknya, jika pasien dibawa
ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar, keluhan nyeri kepala mungkin
tidak terlaporkan (Wanke, 2007). Sakit kepala pada beberapa pasien
muncul terlambat. Pada beberapa kasus, sakit kepala ini membaik dengan
pemberian obat anti nyeri (Edlow, 2012). Satu dari lima pasien dengan SAH
melaporkan bahwa beberapa hari sebelumnya terdapat nyeri kepala serupa
dengan intensitas lebih rendah (sentinel headache) (Smith, et al., 2011).
Kaku kuduk hanya muncul 312 jam setelah ruptur dan mungkin
tidak muncul sama sekali pada pasien dengan koma dalam atau dengan
SAH kecil. Nyeri punggung dan/atau tungkai dapat muncul. Gejala
ini disebabkan oleh iritasi radiks nervus lumbosakral oleh darah. Pada
beberapa pasien, gejala dan tanda klinis ringan tersebut dapat terjadi
beberapa hari sebelum ruptur sesungguhnya terjadi (Wanke, 2007).
Pasien dengan SAH disertai paralisis nervus okkulomatorius,
nistagmus, dizziness, dan ataksia sangat sugestif yang diakibatkan
oleh ruptur aneurisma PcomA. Sementara itu, paraparesis dan abulia
terjadi pada ruptur AcomA dan hemiparesis dan afasia menandai ruptur
aneurisma MCA (Ghandehari, 2012).
Meski pungsi lumbal (lumbal puncture, LP) berperan sebagai modalitas
diagnostik baku emas, pencitraan berperan pada kasus SAH dengan tanda-
tanda peningkatan TIK. Hal ini disebabkan karena LP dapat memicu herniasi
sehingga pendekatan LP sebagai modalitas diagnostik pertama terbukti
bermasalah. Selain itu, CT dapat mendeteksi dan menyingkirkan diagnosis
banding yang lain. Pada kasus di mana kecurigaan klinis pada SAH tinggi
namun hasil CT kepala normal maka dilakukan LP 12 jam setelah onset
nyeri kepala. Dasar dari langkah ini adalah xanthochromia, indikator
yang membedakan SAH dari traumatic tap, muncul 12 jam setelah onset
penyakit. Cara lain untuk membedakan SAH dengan traumatic tap yaitu
dengan menggunakan 4 tabung pengambilan sampel Cerebro-Spinal Fluid
(CSF). Jika jumlah eritrosit menurun secara progresif pada keempat tabung
tersebut,maka traumatic tap telah terjadi. Bila xanthochromia positif,
lakukan Computed Tomography Angiography (CTA) untuk menemukan
lokasi aneurisma. Bila xanthochromia negatif, maka tidak diindikasikan

36 Pencitraan pada Stroke


untuk menggunakan CTA. Pendekatan diagnostik ini akan mendeteksi SAH
dengan sensitivitas 100%, spesifisitas 67%, dan nilai duga negatif 99%.
Xanthochromia dinilai menggunakan spektrofotometri atau menggunakan
mata telanjang kemudian dibandingkan dengan air suling di depan latar putih.
Penyebab positif palsu xanthochromia adalah penggunaan rifampin, ikterus,
karoten, dan peningkatan protein CSF (> 150 mg/dL) (Lemonick, 2010).

Sumber: van Gijn, et al., 2007

Gambar 4.4Warna xantochromia (kanan) dibandingkan dengan


warnabening air (kiri).

Hasil CT normal tidak dapat menyingkirkan SAH sepenuhnya.


Gambaran SAH pada CT scan tergantung pada beberapa faktor antara
lain jumlah perdarahan, kadar hematokrit, dan selang waktu. Dengan
mesin CT scan modern, pengambilan citra dalam 24 jam post ictal akan
menunjukkan SAH dengan sensitivitas 95%. Namun demikian, akibat
pengenceran oleh CSF maka setelah beberapa hari kemudian SAH akan
sulit dilihat. Sensitivitas CT dalam mendeteksi SAH akan turun menjadi
80% pada hari ketiga, 70% pada hari kelima, 50% pada hari ketujuh,
dan 30% pada hari keempat belas (Mark, 2013). Bahkan ada sumber
yang menyatakan bahwa sensitivitas CT scan dalam mendeteksi SAH
turun hingga menjadi 0% setelah minggu ketiga (Yuan, 2005).

Sumber: van Gijn, et al., 2007

Gambar 4.5Hasil CT scan kepala tanpa kontras.

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 37


Jika kita perhatikan Gambar 4.5, bagian (A) menunjukkan SAH pada
fissura interhemisfer anterior dan fissura Sylvii kanan kiri. CT scan kontrol
(B) dua hari kemudian tidak memperlihatkan adanya SAH.
Untuk menilai keparahan SAH ada dua sistem skala yang sering
digunakan yaitu Hess dan Hund serta World Federation of Neurological
Surgeon (WFNS). Skala Hess dan Hund dirancang pada tahun 1968
sebagai penyempurnaan dari skala yang lebih lama, skala Botterrel yaitu
untuk mengukur risiko operasi dan untuk membantu dokter bedah saraf
dalam menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi. Kala itu
berdasarkan asumsi pembuatnya bahwa faktor prognostik SAH adalah
keparahan kaku kuduk, tingkat kesadaran, defisit neurologis, dan penyakit
penyerta. Pada tahun 1074, sebuah modifikasi dilakukan pada skala
ini dengan menambahkan skala 0 untuk aneurisma yang belum ruptur
dan 1a untuk defisit neurologis menetap tanpa disertai tanda-tanda SAH
lainnya (Rosen, 2005).
Skala Hess dan Hund terbukti mudah sehingga telah digunakan
secara luas. Namun kelemahan skala ini yaitu batas antar tingkat tidak
tegas, terutama berkaitan dengan tingkat kesadaran. Satu fitur skala
ini adalah tingkat keparahan dinaikkan satu ketika terdapat penyakit
penyerta atau vasospame pada angiografi. Namun penambahan tingkat
ini kadang dilakukan kadang tidak dilakukan (inkonsistensi antar observer
rendah). Sebagai tambahan, tidak semua penyakit penyerta terbukti
cukup signifikan untuk menaikkan tingkat skala. Penyakit penyerta apa
saja yang signifikan untuk menambah tingkat belum diteliti hingga saat
ini. Pada tahun 1988, sebuah panel ahli mengusulkan tentang sistem
skala baru yaitu WFNS. Skala WFNS menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS) sebagai tolok ukur objektif terhadap kesadaran, tidak sama dengan
skala Hess dan Hund. Kelemahan skala WFNS adalah pada tingkat 4,
rentang GCS yang digunakan terlalu luas, yaitu 712. Oleh karena itu,
skala yang sempurna masih perlu dibentuk (Rosen, 2005).
Tabel 4.5Berbagai skala klinis untuk menilai tingkat keparahan SAH
Tingkat Botterell et al. Hunt dan Hess WFNS
1 Kesadaran dengan Asimptomatik atau sakit GCS 15,
atau tanpa tanda kepala ringan dan sedikit tidak ada
perdarahan di ruang yang berhubungan defisit
subarachnoid dengan kuduk yang kaku motorik
2 Mengantuk tanpa Sakit kepala sedang GCS 13
defisit neurologikal sampai parah yang sampai
yang signifikan berhubungan dengan 14, tidak
kekakuan yang berhu ada defisit
bungan dengan daerah motorik
kuduk, tidak defisit
neurologikal lebih dari
kelumpuhan saraf kranial

38 Pencitraan pada Stroke


Tingkat Botterell et al. Hunt dan Hess WFNS
3 Mengantuk dengan Ngantuk, bingung, atau GCS 13
defisit neurologikal defisit fokal ringan sampai 14
dan kemungkinan dengan
adanya pembekuan defisit
intraserebral motorik
4 Sebagian besar Pingsan, hemiparesis GCS 7
defisit neurologikal, dari tingkat sedang sampai 12,
deterioratin yang sampai parah, dengan
disebabkan adanya kemungkinan kekakuan atau tanpa
pembekuan deserebrasi awal, dan defisit
intraserebral yang gangguan vegetatif motorik
besar pada pasien
yang lebih tua
dengan defisit
neurologikal
yang kurang
parah, tapi sudah
menderita penyakit
serebrovaskular
5 Hampir mati atau Koma mendalam, GCS 3
mendekati mati kekakuan deserebrasi, sampai 6,
dengan menurunnya terlihat sekarat dengan
pusat penting dan atau tanpa
kekakuan ekstensor. defisit
motorik
Sumber: Rosen, 2005

4.9 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik


Perdarahan stroke hemoragik terletak pada beberapa bagian yaitu
pada hemisfer serebri, ganglion basalis, batang otak, dan serebelum
(Harsono, 1996).

4.9.1. Hemisfer Serebri


Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer serebri
sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri kiri
mengendalikan kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa
serta berkaitan dengan berpikir matematis atau logis, sedangkan
hemisfer serebri dextra berkaitan dengan ketrampilan, perasaan, dan
kemampuanseni.

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 39


4.9.2. Ganglion Basalis
Fungsional peranan umum ganglion basalis adalah untuk bekerja
sebagai stasiun-stasiun pemrosesan yang menghubungkan korteks
serebrum dengan nukleus-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya
berproyeksi ke korteks serebrum. Kerusakan pada ganglion basalis akan
mengakibatkan penderita mengalami kesukaran untuk memulai gerak
yang diinginkan.

4.9.3. Batang Otak


Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer
serebri dan serebelum diangkat. Medula oblongota, pons dan otak tengah
merupakan bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak.
Kerusakan pada batang otak akan mengakibatkan gangguan berupa
nyeri, suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba, raba diskriminatif, dan
apresiasi bentuk, berat dan tekstur.

4.9.4. Serebelum
Serebelum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebelum
berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap
ruangan. Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh,
limbung, dan terhuyung-huyung. Paleoserebelum, mengendalikan otot-
otot antigravitas dari tubuh. Apabila otot ini mengalami kerusakan akan
menyebabkan peningkatan refleks regangan pada otot-otot penyokong.
Neoserebelum, berfungsi sebagai pengerem pada gerakan di bawah
kemauan, terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian,
serta gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebelum akan
mengakibatkan dysmetria, intenton tremor dan ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan mengubah-ubah yang cepat.

4.10 Stroke Hemoragik pada Pediatrik


Insiden stroke pada pediatrik sekitar 2,513 per 100.000 orang
per tahun. Namun, stroke pediatrik memiliki angka mortalitas tinggi,
sekitar 0,6 per 100.000 orang per tahun. Stroke pediatrik juga sering
disertai sekuele yang membebani pasien, keluarga, dan masyarakat.
Seperti pada pasien dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke
iskemia dan hemoragik. Stroke hemoragik diperkirakan memiliki insiden
0,75,1 per 100.000 orang per tahun. Stroke pediatrik ini mengalami
puncaknya pada usia 6-10 tahun (Lanni, et al., 2011). Sebuah penelitian
menemukan prevalensi ICH asimptomatik pada neonatus cukup bulan
dengan persalinan spontan per vaginama sebanyak 26% (Looney,
2007). Penelitian lain melaporkan SDH sebanyak 46% dari neonatus

40 Pencitraan pada Stroke


asimptomatik yang menjalani persalinan kala 1 dan kala 2 lama. SDH
ini mungkin disebabkan oleh kompresi berkepanjangan yang dialami oleh
janin dan menyebabkan molase lebih lama sehingga merobek vaskular
dura (Rooks, 2008).
Stroke pada pediatrik bersifat asimptomatik dan tanda klinis non
spesifik. Akibatnya, sering kali diagnosis stroke didapatkan dari pencitraan
radiologis yang ditujukan untuk menilai diagnosis banding lain. Berikut ini
merupakan tanda-tanda klinis yang dapat menyertai stroke pada pediatrik
(Gunny & Lin, 2012).
1. Letargi
2. Gangguan makan
3. Hipotoni
4. Hemiplegia kongenital
5. Kemampuan menggenggam (grasp) dan menggapai (reach) yang
asimetri
6. Keterlambatan perkembangan
7. Kejang
8. Apneu
Akibat dari presentasi klinis yang tidak spesifik, pencitraan menjadi
modalitas diagnostik yang penting dan relasi temporal tidak terlalu
dipentingkan dalam mendiagnosis stroke akut pada pediatrik (Gunny &
Lin, 2012).

Rangkuman
1. Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam
jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom
intraserebrum) atau perdarahan ke dalam ruang subarachnoid,
yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan
yang menutupi otak (disebut hemoragia subarachnoid).
2. Terdapat dua bentuk stroke hemoragik, yaitu intracerebral
hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).
Kedua bentuk ini memiliki epidemiologi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, dan gambaran radiologis.
3. Perdarahan intraserebral (ICH) adalah perdarahan primer yang
berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma.
4. Sebesar 70% kasus ICH terjadi di kapsula interna, 20% terjadi
di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di
hemisfer (di luar kapsula interna).
5. Perdarahan subarachnoid adalah keadaan akut yaitu
terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarachnoid
atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar otak,

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 41


tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau
bagian bawah otak.
6. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih besar
daripada stroke iskemia.
7. Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang
terkena stroke atau tidak antara lain usia, hipertensi, riwayat
stroke sebelumnya, alkohol, narkoba, koagulopati dan
penggunaan anti-koagulan/trombolitik, cerebral amyloidosis,
malformasi arteriovena dan fistula arteriovena, cavernoma,
vaskulitis, tumor, aneurisma, ruptur kapiler atau vena, trombosis
sinus venosus, dan hipertensi dalam kehamilan.
8. Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal
patofisiologi. Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di
parenkim otak dan perdarahan subarachnoid.
9. Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Selain
hipoperfusi, parenkim otak juga terkena kerusakan akibat
tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan.
10. Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di
sekitar permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi
darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid
umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation.
11. Selain peningkatan TIK, SAH mengakibatkan vasokonstriksi
akut, agregasi platelet, dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini
mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan iskemia.
12. Terdapat beberapa kontelasi klinis yang mengarah ke stroke.
Namun demikian, seiring pasien dengan sepsis, syncope, atau
kejang akibat kelainan ekstrakranial lainnya yang berpotensi
sulit dibedakan dengan stroke, jika presentasi penyakit tersebut
atipikal. Terdapat sebuah sistem skor yang dirancang untuk
membantu klinisi guna memilah kasus stroke dari non-stroke,
yaitu skor ROSIER.
13. Salah satu sistem skoring yang sering digunakan untuk
membantu membedakan kedua subtipe stroke hemoragik adalah
sistem skor Siriraj. Sistem skoring ini telah tervalidasi di berbagai
pusat pelayanan kesehatan dan cukup dapat diandalkan untuk
membedakan kedua subtipe stroke dalam keadaan Computed
Tomography (CT) scan tidak tersedia. Skor lain yang cukup
sering digunakan adalah skor Allen.
14. Nyeri kepala yang terjadi mendadak (thunderclap headache, the
worst headache in my life) merupakan tanda khas untuk SAH.
Nyeri kepala pada SAH dapat disertai atau tidak disertai dengan

42 Pencitraan pada Stroke


gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen, hilang
kesadaran sesaat, mual, muntah atau defisit neurologis fokal.
15. Stroke pediatrik memiliki angka mortalitas tinggi yaitu sekitar
0,6 per 100.000 orang per tahun. Seperti pada pasien
dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke iskemia
dan hemoragik. SDH ini mungkin disebabkan oleh kompresi
berkepanjangan yang dialami oleh janin dan menyebabkan
molase lebih lama sehingga merobek vaskular dura.
16. Tanda-tanda klinis yang dapat menyertai stroke pada pediatrik
yaitu letargi, gangguan makan, hipotoni, hemiplegia kongenital,
kemampuan menggenggam (grasp) dan menggapai (reach) yang
asimetri, keterlambatan perkembangan, dan kejang.

Bab 4 Memahami Stroke Hemoragik 43


44 Pencitraan pada Stroke
Bab 5
Anatomi Otak

M
asalah utama pada stroke adalah gangguan peredaran darah di
otak sehingga kita perlu memahami perihal tentang otak, mulai
dari embriologi otak, anatomi otak, cairan serebrospinal dan
subarachnoid space, serta anatomi vaskular otak.

5.1 Embriologi Otak


Secara garis besar, perkembangan sistem saraf pusat dibagi atas tiga
periode yaitu (Satyanegara et al., 2010):
1) Periode embrionik (mulai dari konsepsi sampai 8,5 minggu).
2) Periode fetal (mulai dari 8,5 minggu sampai 40 minggu)
3) Periode pascanatal.
Periode embrionik sendiri terdiri atas 23 stadium perkembangan.
Waktu keberlangsungan untuk masing-masing stadium berkisar antara

45
23 hari dengan total waktu kurang lebih 60 hari pertama setelah
ovulasi. Pada akhir periode ini, panjang embrio sudah mencapai 30 mm
dan kemudian dilanjutkan dengan periode fetal. Pada periode fetal tidak
dibagi atas stadium-stadium, namun yang menjadi tolak ukur dalam
pemantauan perkembangan didasarkan atas ukuran dan usia janin
(Satyanegara et al., 2010).
Proses pembentukan susunan saraf pusat manusia dimulai pada
awal minggu ketiga sebagai lempeng penebalan lapisan ektoderm
(neural plate) yang memanjang dari kranial ke arah kaudal. Selanjutnya,
kedua bagian sisi kiri dan kanan akan bertambah tebal dan meninggi,
membentuk lipatan-lipatan saraf yang dikenal sebagai krista neuralis/
neural crest (bagian tengah yang cekung disebut alur saraf (neural
groove). Perkembangan selanjutnya yaitu krista neuralis akan semakin
meninggi dan mendekat satu sama lain serta menyatu di garis tengah
dan selanjutnya terbentuk tabung saraf (neural tube) (Gambar 5.2).
Penutupan tabung saraf tersebut umumnya dimulai dari bagian tengah
(setinggi somit ke-4) dan baru disusul oleh penutupan bagian kranial dan
kaudal. Kedua ujung tabung saraf menutup paling akhir. Dengan demikian,
tabung saraf masih mempunyai hubungan dengan rongga amnion, yakni
bagian (neuroporus) anterior menutup pada usia embrio pertengahan
minggu ketiga (somit 1820), sedangkan neuroporus posterior menutup
pada akhir minggu ketiga (somit25) (Satyanegara et al., 2010).
Setelah tabung neural tertutup, pada bagian anteriornya akan mulai
terbentuk tiga buah gelembung, masing-masing seperti penjelasan berikut
ini (Gambar 5.2) (Satyanegara et al., 2010).
(1) Prosensefalon (otak depan).
(2) Mesensefalon (otak tengah).
(3) Rhombensefalon (otak belakang).

Bagian prosensefalon akan berkembang menjadi 2 bagian penting


yaitu diencephalon dan telencephalon.
Diencephalon akan berkembang menjadi thalamus, hypothalamus,
dan globus pallidus.
Telencephalon akan berkembang menjadi hemisfer serebral, putamen,
nukleus kaudatus dan rhinencephalon dimana pada manusia kurang
berkembang. Bagian ini meliputi lobus olfaktori, septum pellucidum,
subcallosal, supracalosal (Taveras, 1996 dan Sadler, 1997).

Mesensefalon merupakan segmen pendek batang otak di atas


pons, melintang hiatus pada tentorium cerebelli, mengandung cerebral
peduncles, tectum, colliculi (corpora quadrigeminal) (Taveras, 1996 dan
Sadler, 1997).
Rhombencephalon akan berkembang menjadi sebagai berikut.
Celah kistik posterior ventrikel 4.
Metensefalon: cerebellar hemispheres, pons.
Mielensefalon: medulla oblongata (Taveras, 1996 dan Sadler, 1997).

46 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Live Map Discovery, 2015

Gambar 5.1Perkembangan embriologi otak mulai hari ke-16 sampai 20.

Bab 5 Anatomi Otak 47


DAYS 21-22 Neural groove Neural crest
Somite
Neural fold

Intraembryonic
coelom
Anterior Notochord
neuropore

Neural crest
Surface ectoderm

Posterior
neuropore

Notochord
Neural crest
Somite
Neural groove

DAYS 23 Intraembryonic
mesoderm
Anterior
neuropore

Neural tube Notochord


Mesencephalon
Roof of Amnion (cut edge) Prosencephalon
neural tube Surface ectoderm
Somites
Rhombencephalon
Posterior
neuropore
Notochord
Anterior
neuropore
Forebrain prominence Developing heart
Anterior neuropore (prosencephalon)
Yolk sac
Neural tube
Umbilical cord
Heart prominence
Allantois

Neural canal

Posterior neuropore

Yolk stalk
DAYS 25
Somites SAGITTAL VIEW
Amnion

Posterior neuropore

Sumber: Live Map Discovery, 2015

Gambar 5.2Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya


prosensefalon, mesensefalon, dan rhombensefalon.

48 Pencitraan pada Stroke


Pada akhir minggu ketiga atau awal minggu keempat, ketiga
gelembung tadi telah berubah menjadi lima buah gelembung yaitu seperti
berikut ini (Gambar 5.3) (Satyanegara et al., 2010).
(1) Telensefalon yang kelak menjadi hemisfer serebri.
(2) Diensefalon dengan dua buah tonjolan cikal bakal mata.
(3) Mesensefalon yang kemudian tidak terlalu banyak berubah.
(4) Metensefalon yang kelak membentuk pons dan serebelum.
(5) Mielensefalon yang kelak menjadi medula oblongata.

Diensefalon
Telensefalon Mesensefalon

Metensefalon
Optik
Fisura pontine

Mielensefalon

Talamus
Mesensefalon
Polium

Isthmus

Corpus striatum
Resesus optikus
Serebelum
Hipotalamus Medula
oblongata
Sumber: Satyanegara et al., 2010.

Gambar 5.3Perkembangan embriologi otak yang menunjukkan terbentuknya


telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon.

Rongga di dalam gelembung-gelembung akan berkembang dan


membentuk sistem ventrikel cairan otak sebagai berikut (Satyanegara
etal., 2010).
(1) Rongga dalam telensefalon (hemisfer serebri) akan membentuk
ventrikel lateralis kiri dan kanan.
(2) Rongga dalam diensefalon akan membentuk ventrikel III.
(3) Rongga dalam mesensefalon akan membentuk akuaduktus Sylvius
(menghubungkan ventrikel III dan IV).

Bab 5 Anatomi Otak 49


(4) Rongga dalam mielensefalon akan membentuk ventrikel IV.

Rongga di atas akan berhubungan dengan rongga di tengah medula


spinalis.

Pedunkulus serebri
Korpus pienalis Akuaduktus serebri
Malamus Mesensefalon
Lamina kuadrigemina
Pleksus khoroideus
Isthmus
Serebelum
Korpus striatum Mesensefalon
Telensefalon Fosa rhomboideus

Lamina terminalis Mielensefalon


Medula spinalia
Rinensefalon
Hipotalamus Kanalis sentralis

Sumber: Satyanegara et al., 2010.

Gambar 5.4Skema embriologi otak di akhir perkembangan.

5.2 Anatomi Otak Secara Keseluruhan


Berdasarkan American College of Surgeon Comitte on Trauma tahun
2004, anatomi otak dari luar ke dalam meliputi lapisan kulit kepala
(SCALP), tulang tengkorak (kranium), meningen, dan otak itu sendiri.
Berikut ini merupakan penjelasannya.

5.2.1 Kulit Kepala (SCALP)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
a. Skin atau kulit.
b. Connective tissue atau jaringan penyambung.
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika.
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
e. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari


perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala maka akan menyebabkan
banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

50 Pencitraan pada Stroke


Dense connective Aponeurotic
Skin tissue layer
Connective tissue (dense) Skin
Aponeurotic layer

Loose
connectivetissue

Pericranium Bone Pericranium Loose connectivetissue

Sumber: Pokhrel, R.2015 dan Quizlet, 2015


Gambar 5.5SCALP dan lapisannya.

5.2.2 Anatomi Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak atau tengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang
saling berhubungan satu sama lain dengan perantaraan sutura. Tulang
tengkorak terdiri atas tiga lapisan yaitu tabula eksterna, diploe, dan
tabula interna. Pada orang dewasa ketebalan tulang tengkorak bervariasi
yaitu antara 3 mm sampai dengan 1,5 cm, dengan bagian yang paling
tipis terdapat pada daerah pterion dan bagian yang paling tebal pada
daerah protuberantia eksterna. Tulang tengkorak dibagi menjadi dua
bagian yaitu neurocranium (tulang-tulang yang membungkus otak) dan
viscerocranium (tulang-tulang yang membentuk wajah). Neurocranium
terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang lain
(Japardi, I., 2003).
Ada tiga macam sutura yaitu (Japardi, I., 2003).
1. Sutura serrata, dimana tepi dari masing-masing tulang berbentuk
sebagai gigi-gigi gergaji dan gigi-gigi ini saling berapitan.
2. Sutura skualosa, dimana tepi dari masing-masing tulang menipis dan
saling menutupi.
3. Sutura harmoniana atau sutura plana, dimana tepi dari masing-
masing tulang lurus dan saling tepi menepi.

Menurut Japardi, I., (2003) neurocranium dibentuk oleh os. frontale,


os.parietale, os. temporale, os. sphenoidale, os. occipitalis, dan os.
ethmoidalis. Sementara itu, viscerocranium dibentuk oleh os maksilare,
os. palatinum, os. nasale, os. lacrimale, os. zygomatikum, os. concha
nasalis inferior, vomer, dan os. mandibulare.

Bab 5 Anatomi Otak 51


Lateral view
Parietal Coronal suture
bone
Sphenoid bone Frontal bone
greater wing
Sphenoid bone
Frontal bone lesser wing
Ethmoid
Ethmoid bone Nasal bone greater wing
bone
orbital plate
orbital plate Temporal bone
Zygomatic middle nasal Lacrimal bone
Nasal bone
arch concha
Lacrimal bone perpendicular Zygomatic bone
plate
Zygomatic bone
Inferior Maxilla
Occipital Maxilla nasal Vomer
Anterior infraorbital
bone nasal spine concha foramen
Temporal Infraorbital anterior nasal
bone Mandible foramen spine
Ramus Mandible
External Coronoid Ramus
acoustic process
meatus Mental foramen
Mental
foramen
(a) (b)

Maxilla Palatine bone


Incisive fossa transverse palatine suture
Palatine process Zygomatic bone
Median palatine suture Vomer
Nasal aperture Frontal bone
Sphenoid bone Temporal bone
Pterygoid process Zygomatic process
greater wing Mandibular fossa
Foramen ovale External acoustic
meatus
Foramen spinosum Mastoid process
Foramen lacerum Styloid process
Carotid canal
Parietal bone Petrous temporal bone
Jugular fossa
Occipital bone (to jugular foramen)
Hypoglossal canal Mastoidforamen
occipital condyle
Foramen magnum
External occipital crest
External occipital
protuberance
(c)
Sumber: Britannica, 2005

Gambar 5.6Struktur tulang tengkorak dilihat dari sisi: (a) lateral, (b) frontal
dan (c) inferior.

5.2.3 Meningen
Meningen terdiri atas duramater, arachnoid, dan piamater. Berikut ini
penjelasannya masing-masing.
a. Duramater
Duramater disebut juga pachimeningen atau meningen fibrosa
karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater
dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan
limfe. Lapisan dalam duramater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih
dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006).

52 Pencitraan pada Stroke


Duramater terdiri atas 2 lapis yang menempel rapat kecuali pada
tempat-tempat tertentu yang terpisah dan membentuk sinus-sinus
venosus, menutupi tabula interna kalvaria dan basis kranii. Dura ini
melekat cukup erat dengan tabula interna kalvaria pada tepi sutura,
kecuali pada foramina-foramina. Lapisan dalam dura akan melipat-lipat
di dalam rongga kranium. Dua lipatan utama dura yang memisahkan
komponen berbeda dari parenkim otak yaitu tentorium serebelli dan falx
serebri (Rao, 1999; Taveras, 1996).
Tentorium serebelli adalah lapisan dura yang menutupi permukaan
atas serebellum dan memisahkan bagian ini dengan permukaan inferior
posterior hemisfer serebri. Tiap-tiap ujungnya melekat dengan klinoideus
posterior, anterior, dan apeks petrosus. Hasil lipatan dura ini akan
membentuk segitiga kecil tempat keluarnya nervus kranialis pada basis
kranii. Tentorium ini melekat pada garis tengah dengan sisi posterior falx
serebri (Rao, 1999; Taveras, 1996).
Falx serebri memisahkan kedua hemisfer serebri. Bagian ini
merupakan lapisan dura pada garis tengah yang berada di fissura
interhemisfer. Pada sisi anterior falx serebri melekat pada tonjolan tulang
dan permukaan tengah kribiformis os frontal. Pada sisi posterior, falx ini
bergabung dengan tentorium. Tepi bebas dari lipatan dura ini berada di
atas korpus kallosum (Rao, 1999).
b. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit yang berbentuk pipih dan
serabut kolagen (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006). Lapisan arachnoid
mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang berhubungan
dengan duramater dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan
lapisan tersebut dengan piamater. Ruangan di antara trabekula
membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan
sama sekali dipisahkan dari ruang subdural (Junquereira, L.C., Carneiro
J., 1982). Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi duramater
dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam
sinus venous duramater (Junquereira, L.C., Carneiro J., 1982). Bagian ini
dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan
serebrospinal ke darah sinus venous (Junquereira, L.C., Carneiro J. 1982
dan Bevelender, G., Ramaley J.A., 1988). Arachnoid merupakan selaput
yang tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba.
Antara arachnoid dan piamater terdapat ruangan berisi cairan yang
berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan
piameter kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.
c. Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini
melekat pada otak. Piamater mengandung sedikit serabut kolagen dan
membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar
yang menembus otak (Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006).

Bab 5 Anatomi Otak 53


Skin
Periostre
Bone
Superficial layer
Duramater
Superior sagittal Deep layer
sinus Arachnoid
Pia mater
Subdural space
Arachnoid villi
Subarachnoid Blood vessel
space
Longitudinal fissure

Sumber: MyHumanBody.Ca, 2014

Gambar 5.7Lapisan meningen otak.

5.2.4 Anatomi Otak


Otak sebagai sistem saraf pusat dibagi menjadi beberapa bagian
yang bisa digambarkan pada skema berikut ini.

Tabel 5.1Skema pembagian otak


Bagian utama otak Rongga dalam otak
Otak depan Serebrum Ventrikulus lateralis kiri dan kanan
Diensefalon Ventrikulus tertius
Otak tengah Aquaductus cerebri
Otak belakang Pons Ventrikulus quartus dan kanalis
Medulla oblongata sentralis
Serebellum
Sumber: Snell, 1997

Kedua hemisfer serebri memenuhi rongga kepala di atas tentorium.


Keduanya dipisahkan satu dengan yang lain pada garis tengah oleh
fissura interhemisfer, yang memanjang ke anterior menuju dasar fossa
kranii anterior. Pada bagian tengah fissura interhemisfer berhenti pada
korpus kallosum sebagai struktur yang menghubungkan kedua hemisfer
serebri (Gray, 1918; Taveras, 1996).
Hemisfer serebri mempunyai permukaan lateral, medial, dan basal.
Hemisfer serebri terdiri atas gray matter dan white matter. Gray matter
yang berada di permukaan serebri disebut sebagai korteks serebri,
sedangkan yang terdapat di dalam serebri disebut ganglia basalis.
White matter pada hemisfer serebri terdiri atas akson-akson komisural,
asosiasi, dan proyeksi. White matter mengandung 12% air lebih sedikit
dibandingkan dengan gray matter. Akan tetapi, bagian white matter
mempunyai lebih banyak lemak daripada gray matter (Gray, 1918;
Taveras, 1996).

54 Pencitraan pada Stroke


Korteks serebri merupakan bagian terluar hemisfer serebri. Pada
masing-masing hemisfer terdiri atas tiga bagian permukaan yang
dipisahkan oleh tiga pembatas/tepi. Batas superior memisahkan
permukaan medial dan lateral, batas inferolateral memisahkan permukaan
inferior dan lateral, batas inferomedial memisahkan permukaan inferior
dan medial. Ketiga permukaan hemisfer serebri berisi sejumlah celah-
celah yang disebut sebagai fissura atau sulkus yang memisahkan
permukaan dari serebrum yang disebut gyri serebri. Keempat sulki di
antaranya membantu membagi hemisfer serebri ke dalam lobus-lobus.
Sulkus lateralis (fissura sylvii) memisahkan bagian terbesar lobus temporal
dengan lobus frontal dan bagian anterior lobus parietal di atasnya. Sulkus
sentralis (fissura rolandi) berawal dari permukaan medial hemisfer, kira-
kira pada pertengahan batas superior. Fissura ini berjalan di permukaan
lateral hemisfer ke arah anteroinferior dan berhenti pada sulkus lateralis
(Gray, 1918; Taveras, 1996).
Cerebral hemispheres
(telencephalon) Parietal lobe

Frontal lobe
Occipittal lobe

Temporal lobe

Cerebellum
(a) (metencephalon)
Pons (metencephalon)
Medulla oblongata (myelencephalon)

Diencephalon

Thalamus
Hypothalamus

Cerebellum
(metencephalon)
Midbrain (mesencephalon)
Pons (metencephalon)
Medulla oblongata (myelencephalon)
(b)
Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996

Gambar 5.8Otak dilihat dari irisan: (a) lateral dan (b)sagital.

Bab 5 Anatomi Otak 55


5.3 Cairan Serebrospinal dan Subarachnoid Space
Cairan serebrospinal/cerebrospinal fluid (CSF) paling banyak
berada di dalam ventrikel yang menghubungkan komponen otak yang
berbeda dan juga berada di dalam sisterna subarachnoid. Dalam jumlah
kecil, CSF terdapat di antara parenkim otak. Ventrikel lateral berada
pada telencephalon, ventrikel ke-3 pada dienchepalon, aqua duktus
pada midbrain, dan ventrikel ke-4 pada hindbrain. Ventrikel dilapisi
oleh ependim yang berguna untuk difusi cairan serebrospinal dan
metabolitnya. Ventrikel lateral dipisahkan oleh 2 lapis septum pelusidum
yang lebih sering menyatu. Walaupun demikian, terkadang kedua lapis
septum tersebut terpisah dan terisi oleh cairan serebrospinal yang
membentuk kavum septum pelusidum. Bila pelebaran terjadi sampai
ke posterior di belakang foramen monroe maka disebut sebagai cavum
verge. Rongga cairan serebrospinal ini berhubungan dengan sisa ventrikel
melalui foramen monroe. Cavum interpositum adalah ruang cairan
serebrospinal lain yang berada pada sisi posterior dari atap ventrikel ke3.
Rongga ini berhubungan dengan sisterna quadrigeminal (Gray, 1918;
Taveras,1996).
CSF diproduksi di dalam ventrikel oleh pleksus choroideus. Bagian
terbesar pleksus choroideus terletak di ventrikel lateralis dan sejumlah
kecil di dalam ventrikel ke-3 dan ke-4. Pleksus choroideus berada di
dekat permukaan ependim dan mengelilingi arteri choroideus (Gray,
1918; Taveras, 1996).
Sering terjadi variasi ringan pada ukuran ventrikel atau sisterna
subarachnoid dan sulki pada kelompok usia dan jenis kelamin yang sama.
Pola hubungan antar ventrikel dan antara ventrikel keempat dengan
sisterna medularis bisa diidentifikasi dengan MRI maupun CT resolusi
tinggi. Potongan sagital dan koronal T1WI MRI menunjukkan penilaian
yang akurat pada bentuk dan ukuran ventrikel dan setiap anomali korpus
kallosum. Potongan midsagital terutama bermanfaat dalam mengevaluasi
bentuk dan konfigurasi aquaductus sylvii (Gray, 1918; Taveras, 1996).
CSF dalam sistem ventrikel dan rongga subarachnoid berada dalam
pergerakan yang konstan. Di dalam sistem ventrikel, aliran CSF bergerak
dari atas ke bawah (cephalocaudal), sedangkan di dalam sisterna
subarachnoid, CSF mengalir dari arah sebaliknya. CSF ventrikel dan
sisterna berhubungan melalui foramen Magendie pada garis tengah dan
foramen Luschka secara bilateral. Di dalam rongga subarachnoid terdapat
cukup banyak CSF. Rongga-rongga sisterna diberi nama sesuai dengan
bagian otak yang mengelilinginya (Gray, 1918; Taveras, 1996).

56 Pencitraan pada Stroke


Massa intermedia Body of Pineal recess
lateral
3rd vetricle ventricle Suprapineal recess
Anterior horn of
lateral ventricle Posterior commissure
Pineal
Atrium of
Interventricular lateral ventricle
foramen (and glomus
choroideum)
Posterior horn
Anterior commissure of lateral
Tectum centricle
Lamina terminalis
Cerebral aqueduct
Interdibular recess
Supraoptic recess 4th ventricle
Optic chiasm
Infundbulum Lateral recess of
Mammillary body 4th ventricle
Amygdaloid nuclear complex Foramen Dorsal
of Luschka cerebellomedulary
Inferior horn of lateral ventricle cistern (cisterna magna)
(a)

Bordering Structures
Ventricular Space
Genu of corpus callosum
Head of caucate nucleus Anterior horn of
lateral ventricle
Septum perucidum Body of lateral ventricle (ventral
to body of corpus callosum)
Body of caucate nucleus 3rd ventricle
Fornix Suprapineal recess
Amygdaloid nuclear
complex Inferior horn of
lateral ventricle
Tail of caudate nucleus
Hippocampal formation
Splenium of corpus Cerebral aqueduct
callosum Atrium of lateral ventricle
(contains glomus
Optic radiations chorodeum)
Tapetum Lateral recess of
4th ventricle
4th ventricle
(b) Posterior horn of
Lateral ventricle

Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996

Gambar 5.9Sistem ventrikel dilihat dari (a) lateral dan (b) kranial.

Sisterna pontomedularis di depan pons dan medulla berhubungan


dengan sisterna serebellopontin di sisi lateral, sisterna magna di sisi
posterior, dan dengan sisterna serebellaris superior di sisi posterosuperior.
Sisterna pontomedularis berlanjut ke superior menjadi sisterna suprasella
dan interpedunkularis. Sisterna ini juga berlanjut ke posterior menjadi
rongga subarachnoid di sekitar colliculus melalui sisterna mesensefalik.
Sisterna sylvii merupakan perluasan ke lateral sisterna suprasella. Semua
sisterna di atas berlanjut di sepanjang permukaan otak pada sulki dan
rongga interhemisfer. CSF hipointense pada T1WI dan hiperintense pada

Bab 5 Anatomi Otak 57


T2WI. Nervus cranialis dan vaskular-vaskular utama berada di dalam
rongga subarachnoid yang dikelilingi CSF (Gray, 1918; Taveras, 1996).
Di daerah tertentu di sekitar otak, terutama di daerah basal, arachnoid
dan piamater dipisahkan oleh rongga yang disebut sisterna subarachnoid
yang terdiri dari bagian-bagian berikut (Gray, 1918; Taveras, 1996).
a. Sisterna basalis, memisahkan chiasma opticus menjadi dua bagian
yaitu sisterna chiasmatis dan sisterna interpedunkularis.
b. Sisterna pontis di sekitar pons lalu bergabung ke anterior dengan sisterna
basalis dan bergabung ke posterior dengan rongga di sekitar medula
oblongata.
c. Sisterna dari galen (berhubungan dengan sisterna ambiens) berada
di antara splenium korpus kallosum dan permukaan superior dari
serebelum dan mesensefalon. Sisterna ini berlanjut ke anterior di
sekitar pedunkuli serebri dengan sisterna basalis dan ke kaudal
dengan sisterna serebelaris superior.
d. Sisterna serebello-medularis atau sisterna magna yang merupakan
rongga antara permukaan inferior dari serebelum dan permukaan
dorsal dari medula oblongata. Sisterna ini berlanjut ke kaudal ke
dalam rongga subarachnoid spinal dan secara langsung berhubungan
dengan cairan ventrikel keempat melalui saluran yang disebut
foramen magendi pada garis tengah dan foramen luschka di lateral.
e. Sisterna lainnya yang kurang dalam adalah sisterna dari korpus
kallosum; sisterna pada fossa di lateral dari serebri, berdekatan
dengan fisura sylvian; dan sisterna dari lamina terminalis, suatu
struktur dangkal di sekitar lamina terminalis.
Rongga subarachnoid berhubungan dengan ventrikel keempat
melalui foramen luscha, magendi dan dengan rongga perineural di sekitar
nervus olfaktorius dan optikus (Gray, 1918; Taveras, 1996).

Subarachnoid space
C. cingulata

C. vena magna cerebri C. corpus callos

Sup. cerebellar cistern

C. lamina terminalis
C. chiasmatis
C. magna (cerebello C. interpenducularis
medullaris) C. pontis
C. ambiens
Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996

Gambar 5.10Struktur sisterna subarachnoid.

58 Pencitraan pada Stroke


Tabel 5.2Komposisi rongga sisterna
Ruang kranium Sisterna Isi
Fossa anterior Sulkus olfaktorius Bulbus dan traktus
olfaktorius
Fossa media Sisterna suprasella Nervus opticus, chiasma,
dan traktus
Pituitary stalk
Arteri karotikus internus
Pangkal arteri serebri
anterior dan media
Arteri komunikans posterior
Sisterna parasella dan Arteri serebri media
sylvii Nervus trigeminus
Fossa posterior Sisterna interpedunkularis Nervus oculomotorius
Arteri basilaris
Arteri serebri posterior
Arteri serebelaris superior
Sisterna mesensefalik Arteri koroidalis
Vena basalis dari rosenthal
Nervus trochlearis
Nervus abducens
Sisterna serebellopontine Nervus fasialis
Nervus akustikus
Sisterna medullaris Arteri vertebralis
Nervus glosopharingeus
Nervus vagus
Nervus hipoglosus
Sumber: Gray, 1918; Taveras, 1996

5.4 Anatomi Vaskular Otak


Otak merupakan organ tubuh manusia yang paling terlindungi,
termasuk di dalamnya sistem pembuluh darah otak. Berat otak 1,5 kg,
sekitar 2% dari berat tubuh manusia, dan mempergunakan 17% dari
cardiac output. Sumber energi otak berasal dari metabolisme aerobik.
Oleh karena itu, otak memerlukan O2 dan glukosa dalam waktu 24
jamsehari.
Pengetahuan tentang wilayah vaskular adalah penting, karena
memungkinkan kita untuk mengenali infark di wilayah arteri dan juga infark
vena. Hal ini juga membantu kita untuk membedakan infark dari patologi
lainnya (Smithuis, 2008). Karena model distribusi pembuluh darah otak
memiliki pengaruh penting pada sejumlah besar lesi patologis yang dapat
terjadi di bagian sistem saraf, penting untuk mempertimbangkan sedikit
lebih rinci bagaimana pembuluh darah otak didistribusikan.

Bab 5 Anatomi Otak 59


Peredaran darah serebri berasal dari 4 arteri, yaitu 2 arteri karotis
interna dan 2 arteri vertebralis. Arteri karotis interna berasal dari
percabangan arteri karotis komunis dan menembus basis kranii melalui
foramen jugularis. Arteri vertebralis masuk ke kranium melalui foramen
oksipital dan tidak seperti arteri lain yang dichotomize, arteri ini
bergabung membentuk arteri basilaris. Secara skematis, sistem arterial
intrakranial dibagi menjadi bagian anterior yang terdiri atas sirkulasi
karotis (Gambar5.11 dan Gambar 5.12) dan bagian posterior yang terdiri
atas sirkulasi vertebro-basilar (Gambar 5.13 dan Gambar 5.14) (Anzalone
& Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000; Patestas & Gartner,2006).
3

III II
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005;
Moeller & Reif, 2000;
1 Patestas & Gartner, 2006

Gambar 5.11Sirkulasi karotis.


I

Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian I adalah


internal carotid artery (ICA), bagian II yaitu middle cerebral artery
(MCA), dan bagian III adalah anterior cerebral artery (ACA). Sementara
itu, nomor 1 menunjukkan medial frontobasal artery, nomor 2 yaitu
callosomarginal artery, nomor 3 yaitu pericallosal artery.

M4 (Cortical)

A5
A4

A3
A2
Lenticulostriate
A2 Braches of M1

A1

M3
(Opercular)

Petrous ICA
M1 (Insular)
A M1 B Cetrical ICA

Sumber: Liebeskind, 2014


Gambar 5.12Sirkulasi anterior.

Gambar di atas menunjukkan bagian-bagian berikut ini.


A. Arteriogram sirkulasi anterior sisi kiri tampak frontal: a. cerebri
anterior segmen proksimal, a. communicans anterior (A1), a. cerebri

60 Pencitraan pada Stroke


anterior segmen distal, a. communicans anterior (A2), a. cerebri
media segmen horizontal (M1), segmen insular (M2), segmen
operkular (M3), dan segmen kortikal (M4).
B. Arteriogram sirkulasi anterior tampak temporal yang menunjukkan
a.cerebri anterior segmen proksimal, a. communicans anterior (A1),
segmen setelah a. communicans anterior dan sebelum pertemuan
rostrum dan genu korpus kallosum (A2), segmen genu korpus kallosum
(A3), dan segmen korpus kallosum dan post callosal (A4 dan A5).

III
c
b
II
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005;
Moeller & Reif, 2000;
a
I Patestas & Gartner, 2006
IV
Gambar 5.13Sirkulasi vertebro-basilar.

Jika kita perhatikan, maka gambar di atas menunjukkan bagian-


bagian berikut ini.
Bagian I menunjukkan vertebral artery (VA), bagian II basilary
artery (BA), bagian III menunjukkan posterior cerebral artery (PCA) dan
bagian IV yaitu anterior spinal artery (ASA). Sementara itu, bagian a
menunjukkan inferior posterior cerebellar artery, bagian b yaitu inferior
anterior cerebellar artery, bagian c yaitu superior cerebellar artery,
bagian d menunjukkan temporooccipital arteries dan bagian e yaitu
medial occipital arteries.

Posterior
Cerebral Arteries

Left SCA
Right SCA

Right AICA Basilar Artery

Left AICA
Right PICA
Left PICA

Vertebral
Arteries

Sumber: Liebeskind, 2014

Gambar 5.14Arteriogram sirkulasi posterior.

Bab 5 Anatomi Otak 61


Berdasarkan Gambar 5.14 terlihat a. vertebralis, a. basilaris,
a.cerebelli inferior posterior (PICA), a. cerebelli inferior anterior (AICA),
dan a. cerebelli superior (SCA).
Kedua teritorial pembuluh darah di atas bergabung menjadi sirkulus
Wilisi dan berasal dari dasar otak (Gambar 5.15). Tiga bagian arteri
berasal dari sirkulus Wilisi, yaitu arteri serebri anterior, medial, dan
posterior. Arteri-arteri ini menyediakan aliran darah ke hemisfer serebri,
sedangkan batang otak dan serebellum secara khusus dialiri oleh cabang-
cabang sirkulasi vertebro-basilar (Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller &
Reif, 2000; Patestas & Gartner, 2006).

IV
b

I III
a

V c

II
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2000;
Patestas & Gartner, 2006

Gambar 5.15Sirkulus Wilisi.

Pada gambar di atas terlihat bagian-bagian berikut ini.


I. Internal carotid artery (ICA) a. Posterior communicating
II. Basilary artery (BA) artery (PCoA)
III. Middle cerebral artery (MCA) b. Anterior communicating artery
IV. Anterior cerebral artery (ACA) (ACoA)
V. Posterior cerebral artery (PCA) c. Superior cerebral artery

5.4.1 Arteri Karotis Interna (ICA=Internal Carotid Artery)


Setelah keluar dari os temporal (pars petrosus), traktus ICA intrakranial
menuju depan ke apeks petrosus dan berjalan di sepanjang sisi sella, di
antara sinus-sinus kavernosus. Segmen ini disebut juga carotid siphon
sesuai dengan jalur lengkungnya di antara sinus kavernosus. Setelah
keluar dari sinus kavernosus, ICA berada di ruang subarachnoid. Cabang-
cabang penting yang berasal dari ICA pada daerah ini termasuk trunkus
meningohipofiseal, trunkus inferolateral, dan ophtalmic artery (OA).
Di antara segmen supra-kavernosus, ICA memiliki arah vertikal dan
masuk ke ruang subarachnoid yang berdekatan dengan prosesus klinoid
anterior. Cabang-cabang yang berasal dari tempat ini termasuk posterior
communicating artery (PCoA) dan anterior choroidal artery (AchA). Hanya

62 Pencitraan pada Stroke


PCoA dan OA yang biasanya terlihat dengan jelas pada gambaran MRA
(Gambar 5.16 a-b dan Tabel5.3) (Patestas & Gartner, 2006; Netter &
Craig, 2000).

Sumber: Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000

Gambar 5.16Gambaran normal ICA, ACA, dan MCA: (a) anterior view dan
(b)lateral view.

Tabel 5.3Jalur dan cabang-cabang yang berasal dari ICA


Pemeriksaan
Segmen Jalur Cabang Kolateral
MRA
Servikal Vaskular space, Tidak ada -
parapharyngeal space
Intrapetrous Carotid canal Carotico-tympanic Tidak terlihat
artery, vidian dan
periostea arteries
Cavernous
C5 Petrous apex at the Meningohypophyseal Tidak terlihat
posterior bend trunkk
C4 Petrous apex at the Inferolateral trunk Tidak terlihat
interior bend
C3 Intradural Segment McConnel's capsular Tidak terlihat
artery
C3-C2 Mostly intradural Ophthalmic artery Terlihat biasa
Supracavernous Di dalam subarachnoid Superior Tidak terlihat
C2-C1 space medial ke anterior communicating
clinoid process dan di
bawah saraf optik

C1 Segmen vertikal yang Posterior Terlihat bagus


terpisah oleh T untuk communicating artery
membentuk anterior dan
middle cerebral arteries Anterial choroidal Jarang terlihat
artery
Sumber: Schneider, 2005

Bab 5 Anatomi Otak 63


Anterior choroidal artery (AchA) berasal dari sisi posterior. PCoA
berjalan di atas nervus kranialisIII dan bergabung dengan posterior cerebral
artery (PCA). Anterior choroidal artery (AchA) merupakan pembuluh darah
terakhir yang berasal dari ICA dan tidak selalu terlihat pada MRA (Gambar
5.17(a) dan Gambar 5.17(b)). Akhir dari ICA dibagi menjadi dua arteri,
yaitu middle cerebral artery (MCA) dan anterior cerebral artery (ACA)
(Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000).

(a) (b)
Sumber: Patestas & Gartner, 2006; Netter & Craig, 2000

Gambar 5.17(a) Ophtalmic artery dan post communicating artery dan


(b)anterior choroidal artery.

Adanya anastomosis karotis-vertebrobasilar yang menetap pada janin,


misalnya arteri trigeminal yang secara langsung menghubungkan ICA
intrakavernosus dengan arteri basilar merupakan bentuk variasi anatomi
ICA yang paling sering ditemukan (Gambar 5.18) (Netter & Craig, 2000).

Sumber: Netter & Craig, 2000

Gambar 5.18Arteri trigeminal yang persisten.

Anterior cerebral artery (ACA) dibagi lagi menjadi dua traktus, yaitu
traktus pre-communicating A1 yang merupakan asal dari arteri lentikular
striata dan arteri Heubners, serta traktus A2 yang bercabang ke arteri

64 Pencitraan pada Stroke


frontal-polar dan orbital-frontal (Gambar 5.19 (a)). Anterior cerebral
artery (ACA) dibagi menjadi marginal callosum artery dan pericallosum
artery pada lengkungan corpus callosum (Gambar 5.19 (b)). Variasi
anatomis ACA yang paling sering adalah azygos ACA (Gambar 5.19 (c))
dan triple pericallosal artery (Gambar 5.19(d)). Anterior communicating
artery membentuk anastomosis antara kedua ACA. Penestrasi dan
duplikasi ACA merupakan anomali anatomis yang jarang ditemukan dan
sering dihubungkan dengan aneurisma yang kecil pada ACoA (Netter &
Craig, 2000). Arteri serebri anterior memperdarahi :
Sebagian besar area media dari hemisphere cerebri (2/3 anterior)
Genu korpus kallosum
Capsula interna limb anterior
Caput nucleus caudatus

a b
(a) anterior cerebral artery (b) callosal artery

d
(d) triple pericallosal artery

c
(c) azygos artery Sumber: Netter & Craig, 2000

Gambar 5.19a-dSirkulasi anterior.

Middle cerebral artery (MCA) dibagi menjadi 4 segmen


(Gambar5.20) yaitu segmen horizontal atau sfenoidal (M1), segmen
insular (M2), segmen operkular (M3), dan segmen M4 yang terletak di
luar fisura sylvii. Segmen horizontal atau sfenoidal (M1) yang merupakan

Bab 5 Anatomi Otak 65


asal dari arteri perforating lentikulostriata yang tidak terlihat dengan MRA.
Variasi anatomis MCA jarang ditemukan dan yang paling sering ditemukan
adalah duplikasi, fenestrasi, dan arteri aksesorius (Gambar5.20(a))
(Netter & Craig, 2000).

a b
Sumber: Netter & Craig, 2000

Gambar 5.20(a) MCA dan PCA normal dan (b) duplikasi middle
cerebral artery kiri.

5.4.2 Sistem Vertebro-Basilar


Sirkulasi vertebro-basilar terdiri atas arteri vertebral, arteri basilar,
dan posterior serebral anterior (PCA) (Gambar 5.20(a)). Posterior inferior
cerebellar artery (PICA) terletak sebelum arteri vertebral kemudian bersatu
membentuk arteri basilar. Arteri ini biasanya bisa dilihat pada MRA
(Gambar5.21(a)). Sebaliknya, cabang-cabang lain (meningeal, spinal,
dan bulbar) jarang terlihat. Untuk variasi asimetris arteri vertebral sering
ditemukan. Variasi yang paling sering ditemukan adalah salah satu arteri
vertebral tidak tampak, hipoplastik, atau segera berakhir di PICA yang
menyebabkan arteri basilar langsung berasal dari arteri vertebral kontralateral
(Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006).

a b
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006

Gambar 5.21(a) Vertebral artery kiri dengan opasifikasi BA, cerebellar


arteries, dan PCA dan (b) sirkulasi posterior dan inferior cerebellar
artery kiri normal yang berasal dari VA kiri.

66 Pencitraan pada Stroke


Arteri basilar berada di antara sisterna pre-pontin dan berakhir
dengan bercabang menjadi dua pada PCA. Kedua anterior inferior
cerebellar artery (AICA) dan kedua superior cerebellar artery (SCA)
berasal dari traktus kaudal arteri basilar. Baik AICA maupun SCA sering
terlihat pada gambaran MRA (Gambar 5.22(a)). Variasi anatomis arteri
basilar jarang ditemukan. Anomali yang paling sering ditemukan adalah
fenestration dari segmen proksimal (Gambar 5.22(b)) (Anzalone &
Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006).

(a) (b)
Sumber: Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig, 2000; Tamraz & Comair, 2006

Gambar 5.22(a) Sirkulasi posterior, anterior inferior cerebellar artery dan


superior cerebellar artery normal dan (b) penestrasi segmen proksimal arteri
basilar.
Segmen perimesensefalik (P2) yang merupakan asal arteri
lentikulostriata dan posterior choroidal artery (PChA) tidak bisa terlihat
pada MRA. Sementara itu, segmen P3 yang berada di belakang lamina
quadrigeminal terbagi menjadi dua cabang dan dapat dilihat dengan
MRA yaitu calcarine artery dan parietoocipital, serta yang paling distal
adalah cabang P4 (Tabel5.4) (Anzalone & Tartaro, 2005; Netter & Craig,
2000; Tamraz & Comair, 2006).

Tabel 5.4Sistem vertebro-basilar dan percabangannya


Cabang Pemeriksaan
Segmen Tempat Mengalir
Kolateral MRA
Vertebral arteries Medullary cistern PICA Terlihat bagus
Basilar artery Prepontine cistern AICA, SCA Terlihat bagus
Perforators Tidak terlihat
PCA Perimesencephalic Posterior Tidak terlihat
cistern choroidal
Lenticulostriate Tidak terlihat
Parieto-occipital Terlihat bagus
Calcarine Terlihat bagus
Sumber: Springer,2005

Bab 5 Anatomi Otak 67


5.4.3 Sirkulus Wilisi
Sirkulus Wilisi merupakan sistem anastomose yang terpenting di
antara sistem karotid dan vertebrobasilar. Sirkulus ini juga menghubungkan
sirkulasi hemisfer kiri dan kanan karena itu memberikan mekanisme yang
memungkinkan untuk kompensasi hemodinamik pada kasus-kasus stenosis
berat atau oklusi ICA dan/atau arteri
basilar. Pada bentuk sempurna yang
terjadi pada 20% kasus, sirkulus
Wilisi dibentuk oleh dua ICA, kedua
traktus ACA, AcoA, kedua PcoA,
dan kedua segmen P1 dari PCA
(Gambar5.24) (Korosec, 2009;
Tamraz & Comair, 2006; Rohkamm,
2004).
Bagian otak yang mendapat
vasku larisasi dari sirkulus Wilisi
Sumber: Korosec, 2009; Tamraz &
Comair, 2006; Rohkamm, 2004
antara lain lamina terminalis,
khiasma optikus, infundibulum,
Gambar 5.23Sirkulus Wilisi tuber cinereum, korpora mamilaria,
normal. dan substansia perforata posterior.
Tiga cabang bersama men suplai
Ant. communicating masing-masing hemisfer otak yang
Int. carotid
Int. cerebral
berasal dari arteri sirkulus Wilisi.
a l Cabang anterior bercabang menjadi
ebr
A.M.
i d cer dua, mensuplai dua serebri anterior,
M
Arterial circle
.
dari pars antero-lateral serebri
A.L
media dan dari pars posterior
serebri posterior. Tiap arteri tersebut
P.M. Post
communicating
memberikan cabang ke dua sistem
arteri yang berbeda. Pertama adalah
sistem ganglionik dimana arteri ini
P.L.
mensuplai thalamus dan korpora
Basilar

Pontine
Internal
auditory
striata. Kedua adalah sistem kortikal
yang berperan dalam mensuplai pia
matter, korteks dan jaringan otak
sekitar. Dua sistem tersebut tidak
ral

beranastomose pada sirkulasi perifer


b
rte
Ve

(Gray, 1918).
Anterior

Semua pembuluh darah sistem


spinal

Posterior ganglionik ini berasal dari sirkulus


inferior
cerebral Wilisi. Sistem ini membentuk enam
kelompok cabang utama, yaitu
Sumber: Gray, 1918 kelompok antero-medial, berasal
dari serebri anterior dan komunikans
Gambar 5.24Skema sirkulus anterior; kelompok postero-medial,
Wilisi.

68 Pencitraan pada Stroke


dari serebri posterior dan komunikans posterior; kelompok antero-lateral
kiri dan kanan, dari serebri media; dan kelompok postero-lateral kiri dan
kanan, dari serebri posterior, setelah menembus pedunculus serebri.
Pembuluh darah sistem ini lebih besar dari sistem kortikal dan disebut
sebagai arteri terminalis (Gray, 1918).
Sistem arteri kortikal merupakan akhir cabang arteri serebri anterior,
media, dan posterior. Sistem ini terbagi dan membentuk anyaman di
substansia piamater, memberikan percabangan yang menembus korteks
serebri secara vertikal (Gray, 1918).
Arteri karotis interna mensuplai otak bagian anterior, mata dan
sekitarnya, dan bercabang ke dahi dan hidung (Gambar 5.25). Pada
orang dewasa, ukurannya sama
dengan arteri karotis eksternal.
Namun demikian, arteri
karotis eksternal pada anak
lebih besar daripada
arteri karotis interna
itu sendiri. Arteri ini
terkadang memiliki
satu atau dua lekukan
dekat pangkal teng
korak, sementara
dalam perjalanannya
melalui kanal karotis
dan di sepanjang
sisi korpus tulang
sphenoid mempunyai
dua leng kungan dan
menye rupai huruf miringS.
Dalam per jalanannya ke otak,
arteri ini dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu pars servikal, pars petrosus,
pars kavernosa, dan pars serebri
(Gray,1918).
Pars servikal, merupakan bagian
dari arteri karotis interna dimulai
pada percabangan dari karotis
komunis, berlawanan dengan batas
atas kartilago tiroid, dan berjalan Sumber: Gray, 1918

tegak lurus ke atas, di depan Gambar 5.25Skema arteri carotis


prosesus transversus dari vertebra interna.
servikalis ketiga atas, ke kanalis
karotis di pars petrosus os temporal. Arteri ini terletak superfisial, di mana
ia termasuk dalam segitiga karotis. Pars servikal terletak di belakang dan
lateral dari arteri karotis eksternal, tumpang tindih dengan sternocleido
mastoideus dan dilindungi oleh fasia, platisma, dan integumen. Setelah

Bab 5 Anatomi Otak 69


itu, lewat di bawah kelenjar parotis, yang dilintasi oleh nervus hypoglossus,
digastricus dan stylohyoideus, dan arteri aurikularis posterior dan oksipital.
Lebih lanjut lagi, arteri karotis interna dipisahkan dari karotis eksternal oleh
m.Styloglossus dan m.Stylopharyngeus, ujung dari prosesus styloid dan
ligamentum styloid, nervus glossopharingeus dan cabang faring dari nervus
vagus. Dalam hubungannya, di belakang berhubungan dengan nervus
capitis longus, ganglion servikalis superior dari trunkus simpatikus, dan
N.laringeus superior; di lateral berhubungan dengan vena jugularis interna
dan n.vagus, saraf terletak di belakang arteri; di medial sejalan dengan
faring, n.laringeus superior, dan arteri faringeus asendens. Di dasar
tengkorak tersebut, n.glossopharingeus, n.vagus, n.akse sorius, dan
n.hypoglossus terletak antara arteri dan vena jugularis interna (Gray,1918).
Sirkulus Wilisi dapat memberikan variasi anatomi yang luas,
baik karena hipoplasia atau agenesis satu atau lebih komponennya
(Gambar5.26). Tempat terjadinya hipoplasia atau agenesis yang
paling sering adalah PCoA (34%) dan traktus A1 (25%) dimana secara
embrionik PCA berasal dari ICA. Hipoplasia atau tidak adanya segmen P1
juga relatif sering ditemukan (sekitar 17%) (Gambar5.27 a-b) (Nitz W,,
2006; Rohkamm, 2004).

Sumber: Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004

Gambar 5.26Variasi normal


sirkulus Wilisi. Agenesis
anterior communicating artery
(panah putih) dan posterior
communicating artery (panah
hitam).

a b
Sumber: Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004

Gambar 5.27a-bVariasi normal sirkulus Wilisi: (a)agenesis segmen


A1 kanan ACA dan (b) segmen P1 kiri PCA.

70 Pencitraan pada Stroke


Anastomose di antara sirkulasi arteri intrakranial dan ekstrakranial
disediakan oleh OA dan arteri leptomeningeal. Pada kondisi patologis
dimana ICA mengalami obstruksi, anastomose ini memungkinkan
revaskularisasi spontan arteri serebri (Nitz W., 2006; Rohkamm, 2004).

5.4.4 Anatomi Vena Serebri


Pembuluh vena otak tidak mempunyai katup dan dindingnya sangat
tipis. Vena ini menembus membran arachnoid dan lapisan meningeal
duramater, dan menuju sinus vena kranial. Sistem vena terdiri atas sinus-
sinus dural, vena diploik, vena meningeal, dan vena-vena serebri superfisial
dan profunda. Secara skematis darah dialirkan dari otak ke sistem vena
profunda (internal veins) dan ke sistem vena superfisial (external veins).
Kedua sistem ini mengalir ke dural sinus venosus yang juga mengumpulkan
darah dari vena-vena diploik dan meningeal. Ini merupakan jalur drainase
vena di otak yang terpenting (Gambar5.28a-b) (Nitz, 2006; Tamraz &
Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman etal.2004).

d I
I

II
II

IV
c
a
III
b

e
III
IV
V (a) V (b)
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004

Gambar 5.28Sistem drainase vena serebri

Berdasarkan gambar di atas maka terlihat bagian-bagian sebagai


berikut.
(a) Tampak samping d. Superior cerebral veins
I. Superior sagital sinus (SSS) e. Sinus confluence (SC)
II. Inferior sagital sinus (ISS)
(b) Tampak atas
III. Sagital sinus (SS)
I. Superior sagital sinus (SSS)
IV. Transverse sinus (TS)
II. Inferior sagital sinus (ISS)
V. Sigmoid sinus
III. Sinus confluence (SC)
a. Internal cerebral vein (ICV)
IV. Transverse sinus (TS)
b. Basal vein (BV)
V. Sigmoid sinus
c. Vein of galen (VG)

Bab 5 Anatomi Otak 71


Sinus-sinus dural terdiri atas superior sagittal sinus (SSS) yang
berjalan sepanjang garis tengah di antara insersi superior falx serebri
dan berakhir pada sekelompok sinus-sinus yang dikenal sebagai torcular
herophili (Gambar 5.29 a-b); inferior sagittal sinus (ISS) yang berasal
dari rostral margin corpus callosum dan berjalan di antara lipatan dural
pada margin inferior falx serebri; dan transverse sinus (TS) yang terdiri
atas tentorium pada tiap sisinya dan berjalan sepanjang insersi permukaan
dalam os oksipital (Gambar 5.30 a-b). Kedua sistem sinus transversum
ini berlanjut ke kaudal dengan sinus sigmoid dan kemudian berakhir di
vena jugular. Sinus transversal kanan umumnya lebih besar daripada kiri,
namun memiliki variasi anatomi yang luas (Nitz, 2006; Tamraz & Comair,
2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004).

a b
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004

Gambar 5.29Angiografi serebri.

a b
Sumber: Nitz, 2006; Tamraz & Comair, 2006; Osborn, Blaser, Salzman et al. 2004

Gambar 5.30Angiografi serebri.

72 Pencitraan pada Stroke


Sinus kavernous berada di pars anterior dari basis kranii pada kedua sisi
sphenoid body, di antara dural space yang merupakan dinding dari berbagai
kanalis, tegak lurus dengan nervus kranialis III, IV, V1-2, danVI. Sinus
kavernosus menerima darah
dari vena optalmikus superior
dan dari pars anterior sinus
spheno-parietal. Sinus petrosal
superior dan sinus petrosal
inferior berturut-turut mengalir
ke pars lateral dan medial
sinus kavernosus pars posterior
(Gambar 5.31). Sinus petrosal
superior memberikan hubungan
antara sinus kavernosus dan
sinus transversum. Sinus venosus
inferior menyediakan hubungan
Sumber: Korosec, 2009; Osborn,
antara sinus petrosal inferior dan Blaser, Salzman, et al. 2004
sinus sigmoid ipsilateral (Korosec,
2009; Osborn, Blaser, Salzman, Gambar 5.31Sistem vena profunda.
et al. 2004)
Vena-vena otak superfisial yang mengalir ke SSS dan TS menyusun
sistem vena superfisial. Sistem vena profunda terdiri atas subependimal,
terminal, kaudatus anterior, dan vena-vena septal yang bergabung menjadi
internal cerebral vein (ICV). Vena-vena ini berjalan di antara ventrikel III
pars superior dan setelah mencapai vena basilar Rosenthal,mengalir ke
vein of galen (VoG) (Gambar 5.32 a-b) (Korosec, 2009; Osborn, Blaser,
Salzman, et al. 2004).

a b
Sumber: Korosec, 2009; Osborn, Blaser, Salzman, et al. 2004

Gambar 5.32Angiografi serebri (a)Venous phase dan (b)sistem vena serebri


superfisial dan profunda.

Berikut ini akan dijelaskan karakteristik masing-masing sinus


venosus.

Bab 5 Anatomi Otak 73


a. Sinus sagitalis superior
Sinus sagitalis superior terletak pada batas yang menempel konveks
dari falx serebri. Sinus ini dimulai pada crista galli dan berakhir di dekat
protuberantia occipitalis interna pada confluens sinuum, tempat pertemuan
sinus sagitalis superior, sinus rectus, sinus occipitalis, dan sinus transversus.
Sinus sagitalis superior menerima vena superior serebri dan berhubungan
pada setiap sisi melalui muara menyerupai celah dengan lakuna vena
lateralis, ekspansi lateral sinus sagitalis superior (Moore et al., 2007).
b. Sinus sagitalis inferior
Sinus sagitalis inferior jauh lebih kecil daripada sinus sagitalis
superior. Sinus tersebut berjalan pada batas bebas konkaf inferior falx
serebri dan berakhir pada sinus rektus (Moore et al., 2007).
c. Sinus rektus
Sinus rektus terbentuk melalui penyatuan sinus sagitalis inferior
dengan vena magna serebri. Sinus ini berjalan secara inferoposterior di
sepanjang garis pelekatan falx serebri ke tentorium serebelli, tempatnya
bergabung dengan confluens sinuum (Moore et al., 2007).
d. Sinus transversus
Sinus ini berjalan di lateral confluens sinuum yang membentuk suatu
sulkus pada os occipitale dan angulus posteroinferior os parietale. Sinus
transversus berjalan di sepanjang pinggir tentorium serebelli yang melekat
di posterolateral dan menjadi sinus sigmoideus ketika mendekati aspek
posterior pars petrosus os temporalis. Darah yang diterima oleh confluens
sinuum didrainase oleh sinus transversus, tetapi jarang sama banyaknya.
Biasanya sinus kiri lebih dominan (lebih besar) (Moore et al., 2007).
e. Sinus sigmoideus
Sinus sigmoideus mengikuti perjalanan berbentuk huruf S pada
fossa kranii posterior yang membentuk sulkus pada os temporale dan
occipitale. Setiap sinus sigmoideus memutar di anterior dan kemudian
terus ke inferior sebagai vena jugularis interna setelah menyilang ke
foramen jugulare (Moore et al., 2007).
f. Sinus occipitalis
Sinus occipitalis terletak pada batas falx serebelli yang menempel
dan berakhir di superior pada confluens sinuum. Sinus occipitalis
berhubungan inferior dengan pleksus venosus vertebralis interna (Moore
et al., 2007).
g. Sinus kavernosus
Sinus kavernosus terletak pada setiap sisi sella turcica di permukaan
atas corpus os sphenoidalis yang berisi sinus sphenoidalis (udara). Sinus
kavernosus terdiri atas pleksus venosus pada vena berdinding sangat
tipis yang memanjang dari fissura orbitalis superior di anterior ke apeks

74 Pencitraan pada Stroke


pars petrosus os temporalis di posterior. Sinus menerima darah dari
vena opthalmica superior dan inferior, vena media superfisialis serebri,
dan sinus sphenoparietalis. Kanal venosus dalam sinus-sinus tersebut
berhubungan satu sama lain melalui kanal venosus di anterior dan
posterior tangkai glandula hipofisis dan kadang-kadang melalui vena-vena
di inferior glandula hipofisis. Sinus kavernosus bermuara di posteroinferiro
melalui sinus petrosus superior dan inferior dan vena emissaria ke pleksus
pterygoideus (Moore et al., 2007).
h. Sinus petrosus superior
Sinus ini berjalan dari ujung posterior vena yang menyusun
sinus kavernosus ke sinus transversus di tempat sinus-sinus tersebut
melengkung secara inferior untuk membentuk sinus sigmoideus. Setiap
sinus petrosus superior terletak di pinggir tentorium serebelli yang
menempel di anterolateral dan menempel ke batas superior (crista) pars
petrosa os temporalis (Moore et al., 2007).
i. Sinus petrosus inferior
Sinus petrosus inferior juga dimulai pada ujung posterior sinus
kavernosus. Setiap sinus petrosus inferior berjalan dalam sulkus di
antara pars petrosus os temporalis dan pars basilaris os occipitalis. Sinus
petrosus inferior mendrainase vena pada sinus kavernosus lateralis secara
langsung ke dalam asal vena jugularis interna (Moore et al., 2007).

Superior
ophthalmic
vein Intercavernous
sinus
Sphenoparietal sinus

Site of section
for C
Cavernous
sinus
End of Sigmoid
sinus: beginning
Superior of internal jugular
petrosal vein.
sinus

Great
Inferior cereblar vein
petrosal
sinus
Tentorial
Simoid notch
sinus
Cerebellar
Straight sinus tentorium
Right
Superior Inferior transverse
sagittal sinus sagittal sinus
sinus
Sumber: Moore et al., 2007

Gambar 5.33Sinus venosus serebral pandangan superior.

Bab 5 Anatomi Otak 75


Rangkuman
1. Dalam kandungan ibu, otak embrio sudah mengalami
perkembangan. Perkembangan sistem saraf pusat dimulai kira-
kira pada minggu ketiga bersamaan dengan perkembangan janin
yaitu sebagai neural plate.
2. Sistem saraf perifer tersusun atas saraf-saraf kranialis, spinalis,
viseralis, dan ganglia otonom.
3. Secara garis besar, otak dibagi menjadi 3 bagian yaitu pro
sencephalon, mesencephalon, dan rhombencephalon.
4. Anatomi otak dari luar ke dalam meliputi lapisan kulit kepala
(SCALP), tulang kepala (kranium), meningen, dan otak itu
sendiri.
5. SCALP terdiri atas skin, connective tissue, aponeurotic layer
epicranium, loose connective tissue, dan pericranium.
6. Secara anatomi tulang-tulang kranium terbagi menjadi 2 yaitu
kalvaria dan tulang wajah.
7. Meningen terdiri atas duramater, arachnoid, dan piamater.
8. Semua bagian tulang tersebut sangat penting dalam identifikasi
kelainan dalam otak karena membantu mengetahui bagian-
bagian otak yang terkait di dalamnya.
9. Cairan serebrospinal/cerebrospinal fluid (CSF) paling banyak
berada di dalam ventrikel yang menghubungkan komponen otak
yang berbeda dan juga berada di dalam sisterna subarachnoid.
10. Di daerah tertentu di sekitar otak, terutama di daerah basal,
arachnoid dan piamater dipisahkan oleh rongga yang disebut
sisterna subarachnoid yang terdiri dari sisterna basalis, sisterna
pontis, sisterna dari galen, sisterna serebello-medularis atau
sisterna magna, sisterna dari korpus kallosum yaitu sisterna
pada fossa di lateral dari serebri.
11. Otak merupakan organ tubuh manusia yang paling terlindungi,
termasuk sistem pembuluh darah otak.
12. Sirkulasi vertebro-basilar terdiri atas arteri vertebral, arteri
basilar, dan posterior serebral anterior (PCA).
13. Sirkulus Wilisi adalah sistem anastomose yang terpenting di
antara sistem karotid dan vertebrobasilar.
14. Bagian otak yang mendapat vaskularisasi dari sirkulus wilisi
antara lain lamina terminalis, khiasma optikus, infundibulum,
tuber cinereum, korpora mamilaria, dan substansia perforata
posterior.
15. Sistem vena terdiri atas sinus-sinus dural, vena diploik, vena
meningeal, dan vena-vena serebri superfisial dan profunda.

76 Pencitraan pada Stroke


Bab 6
Memahami Computed
Tomography Scan

C
omputed Tomography atau CT scan sering kali digunakan
untuk alat diagnosis pada berbagai permasalahan kesehatan di
dunia kedokteran. Pemindaian dengan teknologi computerized
tomography atau biasa disebut CT scan muncul pada awal tahun 1970-
an. Sejak itu, CT scan menjadi alat yang penting untuk pencitraan medis

6.1 Apakah CT Scan itu?


Computed tomography atau CT scan adalah sebuah pemeriksaan di
bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan pencitraan
atau gambaran multipel struktur dalam tubuh. Pencitraan cross-sectional
yang dihasilkan CT scan dapat direformat dalam multipel planar dan

77
bahkan dapat menghasilkan bentuk pencitraan tiga dimensi. Pencitraan
ini dapat dilihat pada monitor komputer dalam bentuk film yang diprint
atau disimpan di dalam CD atau DVD (Kohl, G., 2005).
Computer Tomography (CT) scanner merupakan alat diagnostik
dengan teknik radiografi yang menghasilkan gambar potongan tubuh
secara melintang berdasarkan penyerapan sinar-X pada irisan tubuh
yang ditampilkan pada layar monitor TV hitam putih. Computed
Tomography (CT) biasa juga disebut computed axial tomography (CAT),
computer-assisted tomography, atau (body section roentgenography)
yang merupakan suatu proses yang menggunakan digital processing
untuk menghasilkan suatu gambaran internal tiga dimensi suatu objek
dari satu rangkaian sinar-X yang menghasilkan gambar dua dimensi.
Kata " tomography" diperoleh dari Yunani tomos (irisan) dan graphia
(gambarkan) (Ramadhani, P., 2006).

Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 6.1Pesawat CT beserta pasien yang sudah siap diperiksa.

Pencitraan CT dari organ dalam misalnya tulang, jaringan lunak,


dan pembuluh darah menghasilkan detil gambar yang jauh lebih jelas
daripada sinar-X konvensional, terutama gambaran dari jaringan lunak
dan pembuluh darah. Dengan penggunaan peralatan khusus dan teknik
tertentu untuk menghasilkan dan menginterpretasikan CT scan dari
tubuh, radiolog dapat lebih mudah mendiagnosa masalah-masalah
seperti kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit infeksi, appendisitis,
trauma, dan gangguan muskuloskeletal

6.2 Komponen Dasar CT Scan


CT scan mempunyai 2 komponen utama yaitu scan unit dan
operator konsul. Scan unit biasanya berada di dalam ruang pemeriksaan,
sedangkan operator konsul letaknya terpisah dalam ruang kontrol. Scan
unit terdiri atas 2 bagian yaitu meja pemeriksaan (couch) dan gantry
(Bontrager,2001).

78 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 6.2Scan unit yang


terdapat di dalam ruang
pemeriksaan dan operator
konsul di ruang terpisah pada
sistem CT scan.

Bagian-bagian scan unit adalah sebagai berikut (Tortorici, 1995).

6.2.1 Gantry
Di dalam CT scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan meja
tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri atas beberapa
perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan
suatu gambaran. Perangkat keras tersebut antara lain tabung sinar-X,
kolimator, dan detektor.
a. Tabung sinar X
Berdasarkan stukturnya, tabung sinar-X sangat mirip dengan tabung
sinar-X konvensional, perbedaannya yaitu terletak pada kemampuannya
untuk menahan panas dan output yang tinggi. Panas yang cukup tinggi
disebabkan karena perputaran anoda yang tinggi dengan elektron-elektron
yang menumbuknya. Ukuran fokal spot yang kecil (kurang dari 1 mm)
sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang tinggi.
b. Kolimator
Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi
jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien, serta untuk meningkatkan
kualitas gambar. CT scan menggunakan 2 buah kolimator yaitu pre
pasien kolimator dan pre detektor kolimator.
c. Detektor
Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus tubuh pasien dan
mengalami perlemahan (atenuasi). Sisa-sisa foton yang telah teratenuasi
kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor-detektor menerima sisa-
sisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan memproduksi
sinyal dengan arus yang kecil yang disebut sinyal output analog. Sinyal ini

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 79


besarnya sebanding dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan
penyerapan detektor yang tinggi akan berpengaruh pada kualitas gambar
yang lebih optimal. Ada 2 tipe detektor yaitu solid state dan isian gas
(Tortorici,1995)..

6.2.2 Meja pemeriksaan (couch)


Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien.
Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan ini
maka sinar X yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk
menuju ke detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh, mengingat fungsinya
untuk menopang tubuh pasien selama meja bergerak ke dalam gantry.

Sorotan sinar-X

Mesin CT

Operator

Meja

Sumber: Burgess, L., 2015

Gambar 6.3Bagian-bagian mesin CT scan.

6.2.3 Sistem konsul


Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model yang lama masih
menggunakan dua sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT scan
sendiri dan untuk perekaman serta untuk pencetakan gambar. Model yang
terbaru sudah memakai sistem satu konsul yang memiliki banyak kelebihan
dan banyak fungsi. Bagian dari sistem konsul yaitu sistem kontrol, sistem
pencetak gambar, dan sistem perekaman gambar (Tortorici, 1995).

80 Pencitraan pada Stroke


6.3 Bagaimana Prinsip Kerja CT Scan?
Prinsip yang paling mendasar pada radiografi adalah perbedaan
penyerapan sinar X oleh jaringan tubuh yang berbeda. Jaringan padat
seperti tulang menyerap sinar-X paling banyak sehingga sinar-X yang
menembusnya paling sedikit. Sebaliknya, jaringan yang memiliki
kepadatan rendah seperti lemak atau udara hampir tidak menyerap
sinar-X sehingga hampir seluruh sinar-X yang melewatinya dapat
diteruskan ke film. Radiografi konvensional adalah pencitraan 2 dimensi
dari struktur 3 dimensi sehingga bergantung pada kepadatan jaringan
yang dilalui oleh sinar-X. Perlu diingat dalam radiografi konvensional
bahwa objek yang padat menyerap lebih banyak sinar-X, dapat
mengganggu atau menghalangi gambaran dari objek yang kurang padat
(Kohl, G., 2005).
Berbeda dengan sinar-X konvensional, sumber sinar-X dan detektor
pada CT scan saling berhadapan 180 derajat dan bergerak 360 derajat
di sekitar pasien, mendeteksi secara terus-menerus dan mengirimkan
informasi mengenai atenuasi dari sinar-X yang melalui tubuh pasien.
Pada CT, komputer memanipulasi dan mengintegrasikan data-data
yang didapat dan menghasilkan suatu nilai atau besaran yang didasari
perbedaan atenuasi sinar-X. Didasari oleh nilai atau besaran ini, suatu
gambaran atau pencitraan yang dihasilkan dapat membedakan objek-
objek, bahkan objek dengan perbedaan densitas yang kecil (Kohl,
G.,2005).
CT scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer,
dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan
adanya detektor. Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan
perekonstruksian gambar dengan menerapkan prinsip matematika
atau yang lebih dikenal dengan rekonstruksi algoritma. Setelah proses
pengolahan selesai maka data yang telah diperoleh berupa data digital
yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar
monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor berupa informasi
anatomis irisan tubuh (Rasad, 1999). Pada CT scan, prinsip kerjanya
hanya dapat men-scaning tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun
dengan memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran aksial
yang telah didapatkan dapat direformat kembali sehingga didapatkan
gambaran koronal, sagital, oblik, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi
dari objek tersebut (Tortorici, 1995).

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 81


82
Sumber: Texas Instruments, 2015

Gambar 6.4Sistem CT scan secara lengkap.

Pencitraan pada Stroke


6.4 Parameter CT Scan
Dalam CT scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan
eksposi dan output gambar yang optimal. Adapun parameternya antara
lain sebagai berikut (Tortorici, 1995).

6.4.1 Slice thickness


Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari objek
yang diperiksa. Nilainya dapat dipilh antara 1 mm-10 mm sesuai dengan
keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan
detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan
detail yang tinggi. Jika ketebalan meninggi maka akan timbul artefak dan
bila terlalu tipis akan terjadi noise.

6.4.2 Range
Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa slice thickness.
Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang
berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.

6.4.3 Faktor eksposi


Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
eksposi yang meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA), dan waktu
eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada
tiap-tiap pemeriksaan.

6.4.4 Field of View (FOV)


FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan direkonstruksi.
Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang antara 1250 cm.
FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi karena FOV yang kecil mampu
mereduksi ukuran piksel sehingga dalam rekonstruksi matriks hasilnya
lebih teliti. Namun, bila ukuran FOV lebih kecil maka area yang mungkin
dibutuhkan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.

6.4.5 Gantry Tilt


Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan
gantry (tabung sinar X dan detektor). Rentang penyudutan antara -25
sampai +25 derajat. Penyudutan gantry bertujuan untuk keperluan
diagnosis dari masing-masing kasus yang dihadapi. Di samping itu bertujuan
untuk mengurangi dosis radiasi terhadap organ-organ yangsensitif.

6.4.6 Rekonstruksi matriks


Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari picture
element (piksel) dalam proses perekonstruksian gambar. Rekonstruksi

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 83


matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam memori
komputer yang berfungsi umtuk merekonstruksi gambar. Pada umumnya,
matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 yaitu 512 baris dan 512
kolom. Rekonstruksi matriks berpengaruh terhadap resolusi gambar.
Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi resolusinya.

6.4.7 Rekonstruksi Algoritma


Rekonstruksi algoritma adalah prosedur matematis yang digunakan
dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan karakteristik gambar
CT scan tergantung pada kuatnya algoritma yang dipilih. Semakin tinggi
resolusi algoritma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi gambar yang
akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti
tulang, jaringan lunak, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan
jelas pada layar monitor.

6.4.8 Window width


Window width adalah rentang nilai computed tomography yang
dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor.
Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi
matriks dan algoritma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala
numerik yang dikenal dengan nama nilai computed tomography. Nilai ini
mempunyai satuan Hu (Hounsfield Unit).

6.4.9 Window level


Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan
untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada
karakteristik perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level
menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan.

6.5 Prosedur Teknik Pemeriksaan CT Scan Kepala

6.5.1 Prosedur teknik pemeriksaan CT scan kepala


Prosedur adalah urutan dari rangkaian pemeriksaan yang harus
diikuti. Prosedur teknik pemeriksaan CT scan meliputi persiapan pasien,
posisi pasien, scout view, menentukan parameter scan yang tepat, sampai
mendapatkan kualitas gambar CT scan yang baik (Nuttawan J.,2004).
Adapun prosedur pemeriksaan CT scan kepala meliputi berikut ini
(Nuttawan J., 2004).
a. Persiapan pasien: berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur
pemeriksaan, jika diperlukan injeksi media kontras maka dianjurkan
pasien untuk berpuasa.
b. Posisi pasien: supine di atas meja pemeriksaan; head first. Atur
posisi kepala sehingga OML vertikal tegak lurus.

84 Pencitraan pada Stroke


c. Volume investigasi: dari foramen magnum sampai verteks.
d. Scan parameter:
Slice thickness: 25 mm pada daerah fossa posterior (foramen
magnum sampai tentoral); 510 mm pada daerah hemisfer
(tentorium sampai verteks)
Inter-slice distance/pitch: 1.0
FOV: kira-kira 24 cm.
Gantry tilt: 10120 paralel dengan supra orbito meatal baseline
(untuk mereduksi dosis radiasi pada orbita).
kV: standard
mA: diatur sesuai dengan kualitas gambar yang diperlukan
Rekonstruksi algoritma: soft tissue
Window width: 090 HU (supratentorial brain), 140160 HU
(brain pada daerah fossa posterior), 2000-3000 HU (bone)
Window level: 40 x 1045 HU (supratentorial brain), 30-40 HU
(brain pada daerah fossa posterior), 200-400 HU (bone).

6.5.2 Kriteria Kualitas Gambar CT Kepala


Kriteria visualisasi pencitraan: cerebrum, cerebellum, basis cranii
(Nuttawan, J., 2004).
Kriteria gambarnya adalah sebagai berikut.
a. Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan substansia
gricea.
b. Tampak jelas daerah basal ganglia.
c. Tampak jelas sistem ventrikel.
d. Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan mengelilingi
otak.

6.6 Koefisien Atenuasi


Jaringan yang terdapat dalam setiap unit pencitraan (disebut piksel)
mengabsorbsi sinar-X yang melewatinya dalam proporsi tertentu (misalnya
tulang mengabsorbsi banyak, udara hampir tidak mengabsorbsi).
Kemampuan untuk mengabsorbsi sinar-X ini dikenal dengan atenuasi.
Pada jaringan tubuh yang sama, akan mengabsorbsi sinar-X yang
relatif konstan dan dikenal dengan koefisien atenuasi jaringan. Pada CT,
koefisien atenuasi ini dipetakan dalam skala antara 1000 houndsfield
unit (HU) dan +1000 HU. Dalam hal ini udara dipetakan 1000 HU
dan tulang +1000 HU. Penamaan ini berdasarkan penghargaan kepada
SirJeffrey Houndsfield. Berikut ini merupakan tabel nilai rata-rata HU
pada beberapa zat (Bontranger, K.L.,2001).

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 85


Tabel 6.1Nilai rata-rata HU pada beberapa zat
Nama Zat Nilai HU Nama Zat Nilai HU
Udara 1000 White matter +20 s/d +30
Paru 500 Hati +40 s/d +60
Lemak 100 to 50 J-O Blast +20 s/d +30
Air 0 Jaringan lunak,
+100 s/d +300
Kontras
CSF 15
+700 (tulang
Ginjal 30
tidak kompak) s/d
Darah +30 s/d +45 Tulang
+3000 (tulang
Otot +10 s/d +40 kompak)
Grey matter +37 s/d +45 Sumber: Joseph, N., dan Taffi R., 2010

6.7 Windowing
Sebuah gambaran digital CT scan yang memiliki rentang dinamik 1216
bit per piksel, 212 (4096)216 (65.536) gradasi abu-abu per piksel, tampilan
layar CT scan mampu menampilkan 28 gradasi abu-abu, sedangkan mata
manusia hanya mampu membedakan 25 gradasi abu-abu. Oleh karena itu,
diperlukan suatu teknik dalam CT scan yang disebut dengan windowing,
yang memungkinkan pembaca CT scan untuk fokus pada jaringan tertentu
dalam parameter tertentu yang telah ditetapkan. Jaringan yang diinginkan
dapat diubah menjadi hitam atau putih, tidak hanya berbeda sedikit lebih
abu-abu. Dengan teknik ini, perbedaan dalam densitas jaringan dapat
dimaksimalkan. Gambaran yang dihasilkan bergantung pada window yang
digunakan. Umumnya, pencitraan CT scan menggunakan window yang
dioptimalkan untuk melihat jaringan otak, darah, dan tulang.

(a) (b)
Sumber: Xue, Z., et al., 2012

Gambar 6.5Contoh window pada CT scan: (a) brain window. (b) bone
window.

86 Pencitraan pada Stroke


6.8 Anatomi dan Ukuran Normal CT Scan Kepala
Untuk dapat membaca CT scan kepala kita perlu mengetahui struktur
anatomi dasar kepala dan lokasi anatominya. Beberapa anatomi dasar
harus diketahui untuk dapat membaca CT scan kepala, mulai dari area
parenkim otak seperti basal ganglia hingga sisterna, dan sistem ventrikel.
Bacaan CT scan normal adalah sebagai berikut.
Tidak tampak lesi hipodens maupun hiperdens patologis.
Sulcii, fissura sylvii, dan gyrii normal.
Diferensiasi gray-white matter.

6.8.1 Checklist membaca CT scan (Moeller & Reif, 2000)


Checklist membaca CT scan adalah sebagai berikut.
a. Fissura interhemisphere
Di tengah
Tidak tampak pergeseran
Falx cerebri:
Ketebalan
Densitas
b. Sulci kortikal dari serebrum dan serebellum
Konfigurasi
Jumlah sulcii
Ketebalan sulcii
Permukaannya tidak kasar
Tidak tampak penyempitan atau ekspansi
Berbatas tegas
c. Korteks serebri
Ketebalan
Distribusi (tidak ada jaringan ektopik)
Densitas (tidak ada kalsifikasi atau perdarahan)
Tidak keluar kalvarium
Tidak ada cairan patologis (konveks ataupun konkaf) antara
korteks dengan kalvarium
d. Ventrikel
Bentuk
Ukuran sesuai dengan usia
Simetris (tidak ada pelebaran pada kedua sisi atau salah satu
sisi)
Tidak ada tanda peningkatan tekanan intrakranial (pendataran
sulcii, penyempitan ventrikel, ataupun pembesaran unilateral)
e. White matter
Densitas (homogen terutama pada periventrikel)
Tidak ada hipodensitas
Tidak ada hiperdensitas
Ukuran relatif normal dibanding korteks

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 87


f. Basal ganglia, kapsula interna, kapsula eksterna
Posisi
Ukuran
Densitas
g. Thalamus
Posisi
Ukuran
Densitas
h. Corpus Callosum
Konfigurasi
Ukuran
Densitas
i. Batang otak
Bentuk
Densitas
Tidak ada abnormalitas fokal
j. Serebellum
Bentuk umum simetris
Korteks (ketebalan dan sulcii)
White matter (densitas homogen)
k. Pembuluh darah intrakranial
Alur
Ukuran
Tidak ada dilatasi abnormal
Tidak ada malformasi vaskular
l. Sella dan hipofisis
Ukuran
Konfigurasi
Densitas
Batas
Struktur parasellar
m. Pyramid petrosus
Cerebellopontine angle area
Ketebalan dan simetris
Ruang cairan serebrospinal simetris dan ukuran normal, tidak
tampak massa
n. Sel udara Mastoid
Anatomi
Pneumatisasi
Batas (tidak ada diskontinuitas)
Tidak tampak massa
Tidak ada opasitas cairan
o. Cochlea dan canalis semisirkularis
Anatomi
Konfigurasi
Batas rata

88 Pencitraan pada Stroke


p. Sinus paranasal
Anatomi
Pneumatisasi
Batas (tebal dinding dan tidak ada diskontinuitas)
q. Cavum nasi
Pneumatisasi
Septum nasi di tengah
r. Orbita
Bola mata (posisi, ukuran, densitas, dan tebal dinding)
Otot mata (posisi, alur, densitas, ketebalan)
Nervus optikus (alur dan ketebalan)
Vena optalmika (alur dan ketebalan)
s. Kalvarium
Konfigurasi
Kontur (rata, tidak ada ekspansi atau pertumbuhan tulang,
tidak ada area dengan lesi osteolitik atau osteoblastik)

(a) (b)
Gambar 6.6(a) Gambaran CT kepala normal daerah fossa posterior dan
(b)gambaran CT kepala normal daerah serebellum.

(a) (b)
Gambar 6.7(a) Gambaran CT kepala normal daerah korona radiata dan
(b)gambaran CT kepala normal daerah sentrum semiovale.

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 89


1. Scalp fat
2. Bone
3. Inferior sagittal sinus
4. Corpus callosum
5. Internal cerebral vein
6. Vein of Galen
7. Superior sagittal sinus
8. Parietal lobe
9. Occipital lobe
10. Straight sinus
11. Vermis
12. IV ventricle
13. Cerebellar tonsil
14. Cervical cord
15. Medulla
16. Pons
17. Midbrain
18. Mass intermedia of thalamus
19. Anterior III Ventricle
20. Optic chiasm
21. Pituary gland
22. Sphenoid sinus
23. Nasopharynx
24. Frontal lobe

Gambar 6.8Gambaran anatomi CT kepala secara keseluruhan.

6.8.2 Nilai atenuasi normal


Nilai atenuasi normal dapat kita bedakan menjadi non kontras dan
kontras (Moeller & Reif, 2000).
a. Non-kontras
White matter 39 HU dengan deviasi 2 HU
Korteks 32 HU dengan deviasi 2 HU
b. Kontras
White matter 41 HU dengan deviasi 2 HU
Korteks 33 HU dengan deviasi 2 HU
Perbedaan atenuasi normal antara korteks dengan white matter
maksimal sekitar 7 HU (Houndsfield Unit).

6.8.3 Ukuran-ukuran normal dalam CT scan kepala


Ukuran-ukuran normal dalam CT scan kepala dapat kita lihat sebagai
berikut (Moeller & Reif, 2000).
a. Cella-media index
Cella media index adalah salah satu metode yang digunakan untuk
menilai ukuran ventrikel terhadap jaringan otak dan atrofi serebri. Indeks
yang dibandingkan adalah rasio antara diameter biparietal dari tengkorak
dibandingkan diameter terlebar dari ventrikel lateral pada cella media
(bagian tengah dari ventrikel lateral). Ukuran normal ratio cella media
adalah > 4 (pada gambar garis B banding garis A harus lebih dari 4).

90 Pencitraan pada Stroke


Gambar 6.9Cara mengukur indeks cella media.

b. Cornu anterior dari ventrikel lateral (pada level foramen of Monro)


Usia di bawah 40 tahun < 12 mm
Usia di atas 40 tahun < 15 mm
c. Lebar dari ventrikel III
Pada anak-anak < 5 mm (untuk bayi sedikit lebih kecil)
Pada orang dewasa usia di bawah 60 tahun < 7 mm
Pada orang dewasa usia di atas 60 tahun < 9 mm

Gambar 6.10Ukuran CT kepala: (2) ukuran ventrikel lateral dan (3) ukuran
ventrikel III.

d. Lebar dari vena optalmika


34 mm
Bila terjadi dilatasi maka merupakan pertanda dari peningkatan
tekanan intrakranial.

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 91


Gambar 6.11Ukuran normal lebar vena optalmika.

e. Nervus optikus
Segmen retrobulbar 5.5 mm 0.8 mm
Jarak terpendek (pada pertengahan orbita) 4.2 mm 0.6 mm

(a) (b)
Gambar 6.12(a) Ketebalan nervus optikus normal pada segmen retrobular dan
(b)ketebalan nervus optikus terpendek (normal) pada pertengahan orbita.

f. Posisi bola mata


Batas posterior bola mata adalah 9.9 mm 1.7 mm di belakang
garis interzigomatikus.

Gambar 6.13Posisi normal bola mata dibandingkan arkus interzigomatikus.

92 Pencitraan pada Stroke


g. Hipofisis
Tinggi kelenjar hipofisis pada rekonstruksi sagital adalah
27mm.
Ukuran normal hipofisis dapat bervariasi:
i. Saat hamil dapat mencapai 12 mm
ii. Saat pubertas dapat mencapai 10 mm pada anak perempuan
dan 8 mm pada anak laki-laki
Lebar kelenjar hipofisis pada rekonstruksi koronal (pada wanita
dengan usia produktif) 12.9 1.6 mm
Tangkai hipofisis < 4 mm
h. Chiasma Optikus
Koronal : lebar 918 mm dan tinggi 36 mm
Aksial : lebar 1227 mm dan panjang 49 mm.

Gambar 6.14Potongan koronal: (1a) tinggi kelenjar hipofisis, (1b) lebar


kelenjar hipofisis, (2a) lebar chiasma optikus, (2b) tinggi chiasma optikus,
(3)tangkai hipofisis.

Rangkuman
1. Computed Tomography atau CT scan adalah sebuah pemeriksaan
di bidang medis seperti sinar-X konvensional yang menghasilkan
pencitraan atau gambaran multipel dari struktur dalam tubuh.
2. Pencitraan cross-sectional yang dihasilkan CT scan dapat
direformat dalam multipel planar dan bahkan dapat meng
hasilkan bentuk pencitraan tiga dimensi.
3. Pencitraan ini dapat dilihat pada monitor komputer dalam
bentuk film yang diprint atau disimpan di dalam CD atau DVD.
4. Pencitraan CT dari organ dalam misalnya tulang, jaringan lunak,
dan pembuluh darah menghasilkan detil gambar yang jauh lebih

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 93


jelas daripada sinar-X konvensional, terutama gambaran dari
jaringan lunak dan pembuluh darah.
5. CT scan non-kontras saat ini masih merupakan teknik yang
tersedia paling banyak dan dipilih untuk trombolisis dalam 3
jam pertama setelah onset gejala. CT adalah teknik yang murah,
cepat, dan tersedia hampir di semua rumah sakit yang dapat
menangani stroke akut di negara berkembang.
6. Alasan untuk memberikan tPA secara intravena adalah untuk
merangsang rekanalisasi dari arteri intrakranial yang tersumbat dan
reperfusi pada daerah iskemia sebelum jaringan tersebut rusak.
7. Iskemia penumbra dapat didefinisikan sebagai jaringan dengan
fungsi yang terganggu, namun secara struktural bentuknya utuh
yang mengelilingi daerah yang infark.
8. Prinsip yang paling mendasar radiografi adalah perbedaan
penyerapan sinar-X oleh jaringan tubuh yang berbeda. Jaringan
padat seperti tulang menyerap sinar X paling banyak sehingga
sinar-X yang menembusnya paling sedikit dan begitu juga
sebaliknya.
9. CT scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X,
komputer, dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang
terkolimasi dan adanya detektor.
10. Pada CT scan, prinsip kerjanya hanya dapat men-scaning tubuh
dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan
teknologi komputer maka gambaran aksial yang telah didapatkan
dapat direformat kembali sehingga didapatkan gambaran
koronal, sagital, oblik, diagonal bahkan bentuk tiga dimensi dari
objek tersebut.
11. CT scan mempunyai 2 komponen utama yaitu scan unit dan
operator konsul. Scan unit biasanya berada di dalam ruang
pemeriksaan, sedangkan konsul letaknya terpisah dalam ruang
kontrol. Scan unit terdiri atas 2 bagian yaitu meja pemeriksaan
(couch) dan gantry.
12. Dalam CT scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan
eksposi dan output gambar optimal yang terdiri atas slice thickness,
range, dan faktor eksposi, field of view, gantry tilt, rekonstruksi
matriks, rekonstruksi algoritma, window width, window level.
13. Prosedur teknik pemeriksaan CT scan meliputi persiapan pasien,
posisi pasien, scout view, menentukan parameter scan yang
tepat, sampai mendapatkan kualitas gambar CT scan yang baik.
14. Kriteria kualitas gambar CT scan kepala adalah sebagai berikut.
Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan substansia
gricea.
Tampak jelas daerah basal ganglia.
Tampak jelas sistem ventrikel.

94 Pencitraan pada Stroke


Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan
mengelilingi otak.
15. Kemampuan untuk mengabsorbsi sinar-X ini dikenal dengan
atenuasi. Pada jaringan tubuh yang sama, akan mengabsorbsi
sinar-X yang relatif konstan dan dikenal dengan koefisien atenuasi
jaringan. Pada CT, koefisien atenuasi ini dipetakan dalam skala
antara 1000 houndsfield unit (HU) dan +1000 HU.
16. Mata manusia hanya mampu membedakan 25 gradasi abu-abu.
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik dalam CT scan yang
disebut dengan windowing, yang memungkinkan pembaca
CT scan untuk fokus pada jaringan tertentu dalam parameter
tertentu yang telah ditetapkan.
17. Bacaan CT scan normal adalah sebagai berikut.
Tidak tampak lesi hipodens maupun hiperdens patologis.
Sulcii, fissura sylvii, dan gyrii normal.
Diferensiasi gray-white matter.

Bab 6 Memahami Computed Tomography Scan 95


96 Pencitraan pada Stroke
Bab 7
Mengenal SPECT dan PET

D
alam bidang kedokteran, penemuan radionuklida dilengkapi dengan
dirancangnya alat-alat deteksi radiasi seperti tabung Geiger-Muller
(GM tube), pencacah sintilasi, scanner, probes, kamera gamma
planar, serta terakhir kamera SPECT (Single Photon Emission Computed
Tomography) dan PET (Positron Emission Tomography). Apakah SPECT
dan PET itu? Berikut ini penjelasannya (Masjhur, J.S., 2009).

7.1 Mengenal SPECT


Seperti apakah SPECT itu dan bagaimana peranannya dalam
membantu mengatasi stroke?

97
7.1.1 Definisi SPECT
Single photon emission computed tomography (SPECT) adalah
pencitraan fungsional otak dengantomografi emisi fotontunggal
(single photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan
gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data dua
dimensi. Tomografi emisi positron ini dapat digunakan untuk mengukur
metabolisme serebral regional dan karakteristik neurotransmitter reseptor
lain. Ketika tes pencitraan seperti sinar-X dapat menunjukkan struktur di
dalam tubuh pasien terlihat seperti apa maka pencitraan menggunakan
SPECT menghasilkan gambar yang menunjukkan bagaimana organ dalam
tubuh bekerja. Misalnya SPECT dapat menunjukkan bagaimana darah
mengalir ke jantung atau ke daerah otak yang lebih aktif atau kurang aktif
(Mayo Clinic Staff, 2015).
SPECT membentuk citra transversal dengan distribusi nuklida
pemancar sinar-X atau sinar gamma dalam tubuh pasien. Citra proyeksi
planar standar diperoleh dari putaran 180 (umumnya SPECT untuk
jantung) dan 360 (untuk SPECT bukan jantung). Pada umumnya, SPECT
menggunakan satu atau lebih head/kepala sintilasi kamera yang bergerak
mengelilingi pasien (Liy, N., 2014).

SPECT
scan image

SPECT scanner
Area of
reduced blood
flow

Gamma camera
Gamma rays

Sumber: My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan.

Gambar 7.1Kamera gamma yang memancarkan sinar gamma pada mesin


SPECT.

Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental yang


harus diperhatikan. Pertama yaitu collection effeciency yaitu radiasi
gamma dipancarkan ke segala arah lapisan, namun yang masuk ke detektor
hanya yang dipakai untuk pencitraan. Oleh karena itu, efisiensinya sangat

98 Pencitraan pada Stroke


terbatas, kecuali bila pasien dapat dikelilingi oleh detektor. Kedua yaitu
atenuasi radiasi gamma oleh pasien. Penyederhanaan telah dilakukan
dengan menjumlahkan pencacahan dari dua detektor yang berhadapan
ataupun dari beberapa detektor. Oleh karenanya perlu faktor koreksi.
Namun koreksi atenuasi teliti tidak diperlukan dalam SPECT. Ketiga
adalah masalah umum dalam kedokteran nuklir, yakni waktu koleksi
hanya merupakan fraksi waktu radiasi gamma yang dipancarkan. Dengan
demikian, citra dibentuk dengan foton yang sangat terbatas. Pembentukan
citra dilakukan dengan kepala kamera bergerak mengelilingi pasien
untuk mengambil data dari berbagai sudut.Pengambilan data dapat
secara kontinyu (continues acquisition) selama kepala kamera bergerak,
ataupun pada saat kepala kamera berhenti pada suatu sudut tertentu
(step and shoot acquisition). Bila kepala kamera dapat membentuk citra
ideal maka gerakan kepala kamera dari atas dan bawah pasien secara
bersamaan dengan gerakan 180 seharusnya telah dapat dipakai untuk
rekonstruksi citra transversal (Liy, N., 2014).
Atenuasi medium (setengah ketebalan pasien) mengurangi foton yang
sampai pada head detektor. Hal itu dapat mengakibatkan blur/kekaburan
citra yang dipengaruhi oleh jarak dari kolimator. Untuk mengurangi blur
akibat gerakan kepala kamera, pada pesawat model baru dilengkapi dengan
sistem untuk gerakan kamera mengikuti body contouring (Liy, N., 2014).
Untuk SPECT pada otak memungkinkan gerakan kepala kamera
dengan radius relatif lebih pendek sehingga resolusi spasial dalam citra
menjadi tinggi. Pada pesawat lama, terdapat kesulitan untuk pemeriksaan
kepala yang memasukkan base of the brain (pangkal otak) yang harus
melewati bahu. Namun, pada pesawat modern sudah dapat dilakukan
pencitraan kepala dengan memasukkan bahu pasien pada lapangan
gerakan kepala kamera (Liy, N., 2014).

Sumber: Wikipedia, 2015

Gambar 7.2Mesin SPECT dengan sepasang kamera gamma berputar


mengelilingi pasien yang ditempatkan di atas meja untuk mengambil gambar
pada organ dalam dan struktur lainnya yang disorot oleh tracer radioaktif
dalam tubuh pasien.

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET 99


Mesin SPECT merupakan sebuah perangkat berbentuk lingkaran
besar dan dilengkapi dengan kamera yang dapat mendeteksi pelacak
radioaktif yang diserap tubuh pasien. Selama scan, pasien berbaring di
atas meja, sementara itu mesin SPECT berputar mengelilingi pasien.
Mesin SPECT mengambil gambar dari organ-organ internal pasien dan
struktur lainnya. Gambar-gambar yang dikirim ke komputerlah yang
digunakan untuk memperoleh informasi dalam membuat gambar 3-D
dari tubuh pasien (Mayo Clinic Staff, 2015).
Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah
kolimator parallel-hole. Namun telah diciptakan pula berbagai kolimator
khusus. Sebagai contoh, fan beam kolimator yang merupakan hibrida dari
kolimator konvergen dan paralel. Setiap baris piksel pada paralel kolimator
arah Y sesuai dengan satu irisan citra proyeksi. Dengan kolimator
konvergen, hasil pencitraan akan mempunyai resolusi spasial lebih
tinggi dibanding dengan arah kolimator parallel-hole. Untuk mengurangi
keterbatasan SPECT akibat kolimator dan waktu pengambilan data, telah
dibuat SPECT yang dilengkapi dengan dua atau tiga kamera sintilasi
yang dapat bergerak mengelilingi pasien. Dengan multi kepala kamera
memungkinkan untuk menggunakan kolimator resolusi relatif tinggi pada
suatu batas quantum mottle dalam pencitraan dibanding dengan kepala
kamera tunggal (Stewart, C., 2013).
Kepala kamera ganda saling berhadapan (180) cocok untuk kepala
dan leher, serta seluruh tubuh. Triple head, fixed angle camera bagus
untuk kepala and leher, namun tidak cocok untuk planar seluruh tubuh,
karena keterbatasan lebar kristal. Double head dengan variabel sudut
lebih serba guna dapat digunakan untuk pencitraan kepala dan leher,
seluruh tubuh dengan konfigurasi 180, serta untuk jantung dengan
konfigurasi 90 (Stewart, C., 2013).

7.1.2 Bagaimana Cara Kerja SPECT?


Pencitraan SPECT mengintegrasikan dua teknologi untuk melihat
tubuh yaitu computed tomography (CT) dan bahan radioaktif (tracer).
Tracer merupakan penanda yang memungkinkan dokter untuk melihat
bagaimana darah mengalir ke jaringan dan organ. Sebelum dilakukan
pencitraan SPECT, pasien akan disuntik dengan zat kimia (radiolabled)
yang memancarkan sinar gamma dan dapat dideteksi oleh pemindai.
Komputer mengumpulkan informasi yang dipancarkan oleh sinar
gamma dan menerjemahkannya ke dalam penampang dua dimensi yang
kemudian membentuk gambar 3D (Stewart, C., 2013).
Radioisotop yang digunakan dalam SPECT untuk pencitraan otak
yaitu technetium-99m. Bentuk-bentuk radioaktif dari unsur-unsur alam
akan melewati tubuh pasien dengan aman dan dapat dideteksi oleh
pemindai. Berbagai macam obat-obatan dan bahan kimia lainnya dapat
diberi label dengan isotop. Keberadaan pelacak pada SPECT scan tetap
dalam aliran darah dan tidak diserap oleh jaringan di sekitarnya. Dengan

100 Pencitraan pada Stroke


demikian, hal ini akan membatasi gambar hanya ke tempat darah
mengalir. Scan SPECT lebih murah dan lebih mudah tersedia daripada
PET scan dengan resolusi yang lebih tinggi (Stewart, C., 2013).

7.1.3 Apa Yang Terjadi Selama SPECT?


Scan SPECT melibatkan dua langkah yaitu menerima pewarna
radioaktif (disebut tracer) dan menggunakan mesin SPECT untuk
memindai area tertentu pada tubuh pasien. Pasien akan menerima zat
radioaktif melalui infus intravena (IV) ke pembuluh darah di lengan. Dosis
pelacak sangat kecil, hanya beberapa tetes, dan pasien mungkin merasa
sensasi dingin karena pelacak sudah mulai memasuki tubuh. Pada saat
pelacak radioaktif diserap oleh tubuh, pasien diminta untuk berbaring
di kamar selama kurang lebih 15 menit atau lebih sebelum pemindaian
dilakukan. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin perlu menunggu
beberapa jam antara waktu injeksi dengan pemindaian SPECT. Jaringan
yang lebih aktif akan menyerap lebih banyak bahan radioaktif.

7.1.4 Risiko Pencitraan SPECT


Pada sebagian besar orang, pencitraan SPECT aman dilakukan. Jika
pasien menerima suntikan atau infus tracer radioaktif, mungkin ia akan
mengalami:
Perdarahan, nyeri atau bengkak di tempat jarum dimasukkan di
lengan.
Jarang terjadi reaksi alergi terhadap pelacak radioaktif.
Tim perawatan kesehatan mungkin akan menggunakan jumlah
radiasi terendah untuk melakukan scan. Jika pasien khawatir terhadap
ekspos radiasi, jangan lupa untuk memberitahukannya kepada dokter.
Begitu juga dengan pasien yang sedang hamil atau menyusui juga harus
memberitahukan kepada dokter. Pelacak radioaktif yang digunakan
dalam scan SPECT dapat mempengaruhi perkembangan janin atau saat
menyusui bayi (Mayo Clinic Staff, 2015).

7.2 Mengenal PET


Tidak seperti pencitraan pada SPECT, pencitraan pada PET
mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan modalitas lainnya. Berikut
ini merupakan perbandingannya.
Tabel 7.1Perbandingan antara SPECT, PET, dan fMRI
Teknik Resolusi Keuntungan Kerugian
SPECT (1976) 7-10 mm - Harganya murah - Mengandung bahan
- Banyak tersedia radioaktif
- Resolusi terbatas

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET 101


Teknik Resolusi Keuntungan Kerugian
PET (1984) 5 mm - Resolusi bagus - Mengandung bahan
- Studi metabolik radioaktif
(menggunakan - Mahal
15O, 18F, 11C)
fMRI (1991) 3 mm - Resolusi bagus - Mahal
- Non invasif - Terbatas pada studi
aktivasi

Sumber: Han, A. dan Gillian Lieberman, 2004

7.2.1 Apakah PET Itu?


Positron emission tomography (PET) scan merupakan salah satu
modalitas kedokteran nuklir yang untuk pertama kali dikenalkan oleh
Brownell dan Sweet pada tahun 1953. PET adalah metode visualisasi
metabolisme tubuh menggunakan radioisotop pemancar positron. Oleh
karena itu, citra (image) yang diperoleh adalah citra yang menggambarkan
fungsi organ tubuh. Fungsi utama PET adalah mengetahui kejadian di
tingkat sel yang tidak didapatkan dengan alat pencitraan konvensional
lainnya. Kelainan fungsi atau metabolisme di dalam tubuh dapat
diketahui dengan metode pencitraan ini. Hal ini berbeda dengan metode
visualisasi tubuh yang lain seperti foto rontgen, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI) dan single photon emission
computerized tomography (SPECT) (Liy, N., 2014).
Pencitraan dengan PET merupakan bentuk pencitraan metabolik atau
fungsional yang dapat memberi gambaran serta mempelajari berbagai
fungsi metabolik dalam tubuh pada tingkat seluler. Alat ini berbeda
dengan MRI atau CT scan yang mengidentifikasi patologi dan penyakit
melalui pendeteksian dari perubahan struktur ataupun anatomi di dalam
tubuh. Misalnya, CT scan dan MRI hanya mampu mendeteksi kanker
di payudara, kepala, hati, dan sejumlah titik tubuh lainnya. Sementara
itu, mekanisme kerja organ tubuh yang disebut metabolisme tubuh tidak
dapat dipantau oleh CT scan atau MRI. Sementara itu, pada PET-scan,
aspek anatomi dan metabolik sekaligus masuk ke dalam radar deteksi
alat canggih ini (Liy, N., 2014).
Positron emition tomography-computed tomography (PET-CT)
adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat menggambarkan fungsi seluler
dari tubuh kita secara 3 dimensi dengan menggunakan radiofarmaka.
PET scan akan mendeteksi aktivitas metabolik sel-sel tubuh. PET/CT
menggabungkan modalitas PET dan CT dalam satu perangkat sehingga
pencitraan dari keduanya dapat digabungkan dalam satu gambar
(Prasetiyono, E., 2014).
Jika gambar pada CT scan dibuat dengan sinar-X dari sumber
luar maka sebaliknya, PET menggunakan bahan radioaktif disebut
radiofarmaka atau radiotracer yang disuntikkan ke dalam aliran darah.
Bahan radioaktif tersebut akan ikut dalam metabolisme tubuh dan

102 Pencitraan pada Stroke


terakumulasi dalam organ atau daerah tubuh yang diperiksa, di mana
ia melepaskan sejumlah kecil energi dalam bentuk sinar gamma.
Detektor PET mendeteksi energi ini dan dengan bantuan komputer akan
menghasilkan gambar-gambar struktur dan fungsi organ dan jaringan
dalam tubuh pasien. Tidak seperti teknik pencitraan lain, PET berfokus
pada pencitraan yang menggambarkan proses fisiologis dalam tubuh,
seperti tingkat metabolisme atau tingkat aktivitas berbagai reaksi kimia
lainnya, bukan menunjukkan anatomi dan struktur organ dalam tubuh
(Prasetiyono, E., 2014).
Dengan teknologi terbaru, generasi kedua dari pemindai PET-CT
yang terintegrasi saat ini memberi kemungkinan kombinasi pencitraan
PET-CT. Teknologi ini memungkinkan para dokter mendapat informasi
metabolik maupun struktural berdasarkan penyakit pada pemindaian
tunggal PETCT (Liy, N., 2014).

7.2.2 Perlengkapan PET


PET scanner merupakan sebuah mesin besar berbentuk lingkaran
seperti donat dengan lubang di tengah, mirip dengan mesin CT atau
MRI. Dalam mesin PET scanner terdapat beberapa cincin detektor yang
merekam emisi energi dari radiotracer dalam tubuh pasien. CT scanner
biasanya berbentuk kotak, sebuah mesin besar dengan lubang atau
terowongan pendek di tengah. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan
sempit yang bisa digeser ke dalam dan keluar dari terowongan. Tabung
sinar-X dan detektor sinar-X yang terletak berseberangan satu sama
lain yang disebut grantry berputar mengelilingi pasien. Ruang komputer
memproses informasi pencitraan dan terletak di ruang kontrol terpisah.
Komputer dioperasikan oleh seorang teknolog pemindai yang memonitor
pemeriksaan dengan kontak visual secara langsung dan biasanya dengan
kemampuan untuk mendengar dan berbicara dengan pasien dengan
menggunakan speaker dan mikrofon (RadiologiInfo, 2015).

Sumber: Modern Cancer Hospital Guangzhou, 2012

Gambar 7.3Ruang komputer terletak pada ruang berbeda yang memproses


informasi pencitraan.

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET 103


7.2.3 Prinsip dan Cara Kerja PET
Pencitraan pada PET scanner dimulai dengan memberikan suntikan
radionuklida dari jarum suntik ke tubuh pasien. Aliran radionuklida
melalui tubuh pasien memancarkan radiasi gamma yang terdeteksi oleh
kamera gamma. Dengan adanya hal tersebut maka aktivitas kimia dalam
sel dan organ dapat dilihat (Liy, N., 2014). Bahan radioaktif terakumulasi
dalam organ atau area tubuh pasien yang diperiksa. Radioaktif tersebut
kemudian memberikan sejumlah kecil energi dalam bentuk sinar gamma.
Energi tersebut kemudian dideteksi oleh kamera khusus dan dengan
bantuan komputer maka dapat memberikan gambar secara detail
pada kedua struktur dan fungsi organ dan jaringan dalam tubuh pasien
(RadiologyInfo,2015).

PET
scan image

PET scanner

Area of
reduced
blood flow

Gamma detectors
Gamma rays

Sumber: Sumber: My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan.

Gambar 7.4Skema mesin PET dengan detektor gammanya.

Ketika sebuah positron dipancarkan dari bahan radioaktif bertabrakan


dengan elektron dalam jaringan maka akan dihasilkan sinar gamma.
Tubrukan yang terjadi menghasilkan sepasang foton sinar gamma di arah
yang berlawanan dan terdeteksi oleh detektor sinar gamma yang diatur di
sekitar pasien. Detektor PET terdiri atas jajaran ribuan kilau kristal dan
ratusan tabung photomultiplier (PMTS) yang diatur dalam pola melingkar

104 Pencitraan pada Stroke


di sekitar pasien. Kilau kristal mengkonversi radiasi gamma ke dalam
cahaya yang dideteksi dan diperkuat oleh PMTS (Liy, N., 2014).
Tidak seperti teknik pencitraan lain, pemeriksaan pencitraan
kedokteran nuklir fokus menggambarkan proses fisiologis dalam tubuh,
seperti tingkat metabolisme atau tingkat berbagai aktivitas kimia
lainnya dan tidak menunjukkan anatomi dan struktur dalam tubuh. Area
intensitas yang lebih besar yang disebut hot spot menunjukkan jumlah
besarnya radiotracer yang telah terakumulasi dan menunjukkan adanya
bahan kimia atau aktivitas metabolik yang tinggi. Daerah kurang intens
atau cold spot menunjukkan konsentrasi radiotracer yang lebih kecil
dan aktivitas kimia yang kurang (RadiologyInfo, 2015).

7.2.4 Persiapan Pemeriksaan PET-CT


Sebelum pemeriksaan, pasien puasa selama 6 jam dan hanya boleh
minum air putih. Nutrisi parenteral dan infus harus dihentikan paling
tidak 4 jam sebelum pemeriksaan. Pasien cukup istirahat selama satu
hari sebelum pemeriksaan dan tidak dianjurkan melaksanakan aktivitas
fisik yang tinggi. Pasien akan diberikan radioaktif perunut dalam jumlah
kecil melalui IV. Pasien akan diminta untuk beristirahat selama 60 menit
untuk memberikan waktu agar radionuklida ikut dalam metabolisme
tubuh. Pasien akan menjalani scan dengan PET-CT selama kurang lebih
20-30 menit (Prasetiyono, E., 2014).

7.2.5 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan PET


Scan?
Berikut ini merupakan beberapa keuntungan menggunakan pen
citraan PET.
~~ Pemeriksaan kedokteran nuklir memberikan rincian informasi unik
termasuk informasi detail untuk fungsi dan struktur anatomi tubuh
yang sering kali tak terjangkau menggunakan prosedur pencitraan
lainnya.
~~ Untuk banyak penyakit, scan kedokteran nuklir menghasilkan
informasi paling berguna yang diperlukan untuk membuat diagnosis
atau untuk menentukan pengobatan yang tepat, jika ada.
~~ Kedokteran nuklir lebih murah dan dapat menghasilkan informasi
yang lebih tepat daripada operasi eksplorasi.
~~ Dengan mengidentifikasi perubahan dalam tubuh pada tingkat
sel, pencitraan PET dapat mendeteksi secara dini sebuah penyakit
sebelum jelas diketahui pada tes pencitraan lain seperti CT atau MRI.
Manfaat dari gabungan PET/CT scanner meliputi:
~~ Lebih detail dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi; karena kedua
scan dilakukan pada waktu yang bersamaan tanpa pasien harus
mengubah posisi, dimana hal tersebut ada kemungkinan untuk
sedikit membuat kesalahan.

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET 105


~~ Kenyamanan yang lebih besar bagi pasien yang menjalani dua
pemeriksaan (CT & PET) di satu waktu, bukan pada dua waktu yang
berbeda.
Lalu bagaimana risiko penggunaan PET pada pasien? Berikut ini
merupakan penjelasannya.
~~ Karena dosis radiotracer yang diberikan kecil, diagnostik prosedur
kedokteran nuklir mengakibatkan paparan radiasi untuk pasien yang
relatif rendah dan hal itu dapat diterima untuk pemeriksaan diagnostik.
Dengan demikian, risiko radiasi sangat rendah dibandingkan dengan
potensi keuntungannya.
~~ Prosedur diagnostik kedokteran nuklir telah digunakan selama lebih
dari lima dekade, dan ada yang tidak dikenal dari efek samping
jangka panjang dari paparan dosis rendah tersebut.
~~ Risiko pengobatan selalu diperhitungkan dengan manfaat potensial
untuk prosedur terapi kedokteran nuklir. Pasien akan diberitahu
tentang semua risiko yang signifikan sebelum pemeriksaan dan
memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
~~ Reaksi alergi terhadap radiofarmasi mungkin terjadi, tetapi sangat
jarang dan biasanya ringan. Namun demikian, pasien harus
menginformasikan kepada petugas kedokteran nuklir tentang alergi
yang dimiliki pasien atau masalah lain yang mungkin terjadi selama
pemeriksaan kedokteran nuklir sebelumnya.
~~ Injeksi radiotracer dapat menyebabkan nyeri ringan dan kemerahan
yang harus cepat ditangani.
~~ Wanita harus selalu memberitahukan kepada dokter atau teknolog
radiolog jika kemungkinan ia hamil atau sedang menyusui.

Rangkuman
1. Single photon emission computed tomography (SPECT) adalah
pencitraan fungsional otak dengan tomografi emisi foton tunggal
(single photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan
gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data
dua dimensi.
2. Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental
yang harus diperhatikan yaitu collection effeciency, atenuasi
radiasi gamma oleh pasien, dan waktu koleksi hanya merupakan
fraksi waktu radiasi gamma yang dipancarkan.
3. Mesin SPECT merupakan sebuah perangkat berbentuk lingkaran
besar dan dilengkapi dengan kamera yang dapat mendeteksi
pelacak radioaktif yang diserap tubuh pasien.
4. Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah
kolimator parallel-hole.

106 Pencitraan pada Stroke


5. Pencitraan SPECT mengintegrasikan dua teknologi untuk
melihat tubuh yaitu computed tomography (CT) dan bahan
radioaktif (tracer).
6. Tracer merupakan penanda yang memungkinkan dokter untuk
melihat bagaimana darah mengalir ke jaringan dan organ.
7. Pasien akan menerima zat radioaktif melalui infus intravena (IV)
ke pembuluh darah di lengan.
8. Jika pasien menerima suntikan atau infus tracer radioaktif,
mungkin ia akan mengalami:
Perdarahan, nyeri atau bengkak di tempat jarum
dimasukkan di lengan
Jarang terjadi reaksi alergi terhadap pelacak radioaktif
9. PET adalah metode visualisasi metabolisme tubuh menggu
nakan radioisotop pemancar positron.
10. Pencitraan dengan PET merupakan bentuk pencitraan metabolik
atau fungsional yang dapat memberi gambaran serta mempelajari
berbagai fungsi metabolik dalam tubuh pada tingkat seluler.
11. Positron emition tomography-computed tomography (PET-CT)
adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat menggambarkan
fungsi seluler dari tubuh kita secara 3 dimensi dengan meng
gunakan radiofarmaka.
12. Pencitraan pada PET-scan dimulai dengan memberikan
suntikan radionuklida dari jarum suntik ke tubuh pasien. Aliran
radionuklida melalui tubuh pasien memancarkan radiasi gamma
yang terdeteksi oleh kamera gamma. Dengan adanya hal
tersebut maka aktivitas kimia dalam sel dan organ dapat dilihat.
13. Sebelum pemeriksaan, pasien puasa selama 6 jam dan hanya
boleh minum air putih. Nutrisi parenteral dan infus harus
dihentikan paling tidak 4 jam sebelum pemeriksaan.
14. Penggunaan PET/CT mempunyai beberapa keuntungan dan
risiko yang harus diperhatikan.

Bab 7 Mengenal SPECT dan PET 107


108 Pencitraan pada Stroke
Bab 8
Mengenal Magnetic Resonance
Imaging

S
Saat ini, berbagai kelainan pada jaringan otak dan sekitarnya
sangatlah beragam. Kelainan-kelainan tersebut sering kali
menunjukkan gejala sama pada penyakit yang berbeda. Oleh
sebab itu, pemeriksaan penunjang khususnya imaging atau pencitraan
sangatlah berperan penting untuk membantu tegaknya diagnosis suatu
penyakit (Rasad, 2006).

8.1 Apakah MRI Itu?


Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan salah satu alat
penunjang diagnostik yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan
pada jaringan otak dan sekitarnya. Penemuan MRI ini membuka era baru

109
dalam diagnosis noninvasif lesi suatu organ. MRI memiliki keunggulan
yaitu mampu melakukan 3 macam irisan dan dapat membedakan
jaringan lunak dibandingkan dengan alat pencitraan yang lain (Rasad,
2006 dan Rao, 1999).

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 8.1Mesin MRI yang siap digunakan.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah suatu teknik


penggambaran penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik
inti atom hidrogen. Tehnik penggambaran MRI relatif kompleks karena
gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Alat
tersebut memiliki kemampuan membuat gambaran potongan koronal,
sagital, aksial, dan oblik tanpa banyak memanipulasi tubuh pasien. Bila
pemilihan parameternya tepat, kualitas gambaran detil tubuh manusia
akan tampak jelas sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat
dievaluasi secara lebih teliti (Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004).

8.2 Peranan MRI pada Stroke


MRI tidak terlalu sensitif terhadap perubahan yang berhubungan
dengan stroke iskemia sebelum 8-12 jam. Pengembangan water-diffusion
sequences di akhir tahun 1990-an telah menjadikan MRI sebagai teknik
pencitraan stroke iskemia akut. Perfusion-weighted imaging (PWI)
memberikan informasi semi kuantitatif tentang CBF dan mengidentifikasi
area yang mengalami hipoperfusi. Diffusion-weighted imaging (DWI) dan
nilai kuantitatif dari koefisien difusi diperkirakan dapat mengidentifikasi
kerusakan inti yang irreversible akibat infark. Perbedaan antara kedua
hal tersebut di atas dapat digunakan sebagai estimasi penumbra iskemia
(Rasad, 2006).

110 Pencitraan pada Stroke


Akhir-akhir ini, terbukti bahwa beberapa lesi DWI dapat reversible.
Normalisasi dalam koefisien difusi nyata setelah transient ischemic
attacks (TIA) atau trombolisis dengan rekanalisasi awal telah terbukti.
Saat aliran darah dalam otak dan di sekitar inti iskemia menurun, daerah
oligemicca masih ada dan jaringan otak tetap fungsional dan tidak
terpengaruh. Hal ini tidak dapat dideteksi oleh PWI semikuantitatif.
Sebuah studi yang membandingkan antara MRI-PWI (median transit
time, time to peak, dan CBF (cerebral flow volume)) dengan PET pada
stroke akut telah dipublikasikan. Distribusi relatif dari variabel perfusi
sangat mirip antara perfusi MRI dan PET. Hal ini menunjukkan bahwa
MRI dan PET secara teknik dapat digunakan untuk pemilihan pengobatan
stroke akut (Rasad, 2006).
Bentuk dari fungsi input arteri mengandung banyak informasi
yang berguna. Namun, perubahan sinyal mungkin secara proporsional
berbeda antar jaringan dibandingkan dengan arteri yang lebih besar. Nilai
dekomposisi tunggal, teknik dekonvolusi non parametrik, memungkinkan
estimasi aliran independen relatif yang mendasari struktur pembuluh
darah dan volume pembuluh darah, bahkan pada rasio signal-noise
yang rendah, terkait dengan dekonvolusi per piksel. Akhir-akhir ini,
dijelaskan adanya teknik MRI baru menggunakan pengukuran waktu
relaksasi transversal dan bercirikan hilangnya sinyal yang disebabkan
oleh susceptibility lokal (T2). Urutan ini tergantung pada tingkat
deoxyhemoglobin lokal dan hal ini dianggap mencerminkan respon
metabolisme jaringan apabila terjadi defisit perfusi dan meningkatkan
informasi 'vaskular'. Hal ini merupakan suatu laporan awal yang perlu
konfirmasi lebih lanjut dalam suatu studi independen (Rasad, 2006).
Bahkan dengan kekurangan ini, mismatch antara MRI PWI/DWI
merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk mengidentifikasi
jaringan otak yang berisiko pada fase awal stroke akut (Rasad, 2006).

8.3 Inilah Komponen MRI


Sebuah alat MRI yang lengkap terdiri dari:
1. Sistem magnet untuk menghasilkan medan magnet,
2. Kumparan shimming untuk membuat medan magnet sehomogen
mungkin,
3. Sebuah koil radiofrequency (RF) untuk mengirimkan sinyal radio ke
dalam bagian tubuh yang dicitrakan,
4. Koil penerima untuk mendeteksi sinyal radio yang kembali,
5. Kumparan gradien untuk memberikan lokalisasi sinyal spasial,
6. Komputer untuk merekonstruksi sinyal radio ke dalam gambar akhir,
dan
7. Tenaga listrik dan sistem pendingin
(Hesselink, J.R., 2015)

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 111


Bagian-bagian alat MRI

Koil Pasien
radio
frekuensi

Meja pasien

Koil
gradien

Magnet

Pemindai

Sumber: Viet Can, 2010

Gambar 8.2Komponen MRI.

Agar dapat mengoperasikan MRI dengan baik, kita perlu mengetahui


tentang tipe magnet, efek medan magnet, magnet shielding dan
kumparan shimming dari pesawat MRI tersebut. Sistem pencitraan
berfungsi membentuk citra yang terdiri atas tiga buah kumparan koil,
yaitu gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagital, gradien
koil Y, untuk membuat citra potongan koronal, dan gradien koil Z untuk
membuat citra potongan aksial. Bila gradien koil X, Y dan Z bekerja
secara bersamaan maka akan terbentuk potongan oblik. Sistem frekuensi
radio berfungsi membangkitkan dan memberikan radio frekuensi serta
mendeteksi sinyal. Sistem komputer berfungsi untuk membangkitkan
sekuens pulsa, mengontrol semua komponen alat MRI dan menyimpan
memori beberapa citra. Selain itu, juga terdapat sistem pencetakan citra
yang berfungsi untuk mencetak gambar pada film rongent atau untuk
menyimpan citra (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

112 Pencitraan pada Stroke


Koil magnetik
Koil Frekuensi Koil gradien
Radio

Pemancar Catu daya Penerima


frekuensi radio gradien frekuensi radio

Komputer
Protokol Pengendali
proses
rekonstruksi
gambar
Papan tombol operator
Sumber: Sprawls, P., 2015

Gambar 8.3Sistem MRI.

8.4 Ada Berapa Macam Tipe MRI?


Di dunia kedokteran, ada dua tipe utama MRI yaitu MRI terbuka
(low-field) yang memiliki kekuatan medan magnet sekitar 1,0 tesla (T)
dan MRI tertutup (high-field) yang memiliki kekuatan sekitar 1,5 T
sampai 3 T. MRI terbuka memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan
ruang yang luas, sementara itu MRI tertutup memiliki kerangka (gantry)
biasa yang berlorong sempit (NHS, 2015).

(a) Sumber: dokumentasi pribadi (b) Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 8.4MRI terbuka (a) dan MRI tertutup (b).

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 113


Sebuah MRI scan tertutup biasanya terdiri atas scanner berbentuk
silinder yang tidak nyaman untuk pasien yang berbadan besar dan
membuat beberapa pasien menjadi sesak. Bagi banyak pasien, MRI
terbuka dapat meminimalkan kecemasan dan claustrophobia karena
desainnya yang berbentuk huruf "C" sehingga menawarkan tempat
yang luas dan pasien terletak di antara dua piringan. MRI terbuka juga
digunakan untuk pencitraan intraoperatif atau gambar untuk panduan
intervensi yang merupakan akses mudah yang diperlukan pasien
(NHS,2015).
Kelemahan utama MRI terbuka yaitu sekuen yang diperlukan lebih
lama (panjang waktu untuk mendapatkan gambar), rasio sinyal-ke-bunyi
lebih rendah, dan resolusi spasial lebih rendah. Akibatnya, untuk analisis
bagian tubuh yang lebih kecil seperti sendi (pergelangan tangan, jari
tangan, dan kaki), selalu disarankan untuk menggunakan MRI tertutup
karena kualitas dan detail gambar akan lebih bagus. Selain itu, kekuatan
medan magnet terbuka berkurang secara signifikan dan mungkin tidak
memadai untuk beberapa tujuan scanning (NHS, 2015).
Sebaiknya, suatu rumah sakit memilih MRI yang memiliki tesla tinggi
karena alat tersebut dapat digunakan untuk teknik fast scan yaitu suatu
teknik yang memungkinkan satu gambar irisan penampang dibuat dalam
hitungan detik sehingga kita dapat membuat banyak irisan penampang
yang bervariasi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan banyaknya
variasi gambar, membuat suatu lesi menjadi menjadi lebih spesifik
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

8.5 Bagaimana Cara Kerja MRI?


Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas
atom hidrogen atau proton. Bila atom hidrogen ini ditembakkan tegak
lurus pada intinya dengan radio frekuensi tinggi dalam medan magnet
secara periodik kemudian beresonansi maka proton tersebut akan
bergetar/bergerak menjadi searah/sejajar. Jika radio frekuensi tinggi ini
dimatikan maka proton yang bergetar tadi akan kembali ke posisi semula
dan akan menginduksi dalam satu kumparan untuk menghasilkan sinyal
elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal elektrik
tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer maka akan dapat
disusun menjadi suatu gambar (Rasad, 2006).
Metode ini dipakai karena tubuh manusia mempunyai konsentrasi
atom hidrogen yang tinggi (sekitar 70%). Untuk menghasilkan sebuah
gambar dari proton, minimum dibutuhkan tenaga medan magnet 0,064
Tesla. Untuk suatu medan magnet yang rendah 0,2 Tesla dibutuhkan
kumparan yang normal dimana tenaga listrik diubah menjadi panas.
Untuk suatu medan magnet di atas 0,3 Tesla dibutuhkan suatu kumparan
istimewa/super. Kumparan ini sangat ekstrim dinginnya yaitu 269C
sehingga tahanannya tidak sama sekali nol. Oleh karena itu, kumparan

114 Pencitraan pada Stroke


super ini tidak memakai listrik. Kumparan ini sangat mahal. Saat ini, alat
MRI yang digunakan mulai dari 0,64 Tesla sampai 3 Tesla (Rasad,2006).
Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan
memanfaatkan radio frequency pulses (gelombang radio), mesin MRI
mampu mendapatkan gambaran anatomik secara detail dengan mengacu
proton atom hidrogen pada setiap jaringan tubuh. Struktur atom hidrogen
dalam tubuh manusia saat di luar medan magnet mempunyai arah yang
acak dan tidak membentuk keseimbangan. Kemudian saat diletakkan
dalam alat MRI (gantry) maka atom H akan sejajar dengan arah medan
magnet. Demikian juga arah spinning dan processing akan sejajar
dengan arah medan magnet. Saat diberikan frekuensi radio dengan
panjang gelombang tertentu maka atom H akan mengabsorpsi energi
dari frekuensi radio tersebut. Akibatnya, dengan bertambahnya energi,
atom H akan mengalami pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan
arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio frekuensi yang
diberikan. Sewaktu radio frekuensi dihentikan maka atom H akan
sejajar kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah,
atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian energi
yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus dan
diperkuat. Selanjutnya, komputer akan mengolah dan merekonstruksi citra
berdasarkan sinyal yang diperoleh dari berbagai irisan (Rasad,2006).

Bidang
magnetik
eksternal
Atom hidrogen acak Atom hidrogen sejajar
Tidak ada bidang eksternal
Sumber: Rasad, 2006

Gambar 8.5Atom hidrogen yang semula acak, akan mensejajarkan diri


setelah pemberian medan magnet luar.

8.6 Parameter Dasar dan Gambaran Pencitraan MRI


Ada empat parameter dasar dari gambaran pencitraan MRI yaitu
sebagai berikut (Heggie, 1997).
1. Densitas proton

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 115


2. Longitudinal relaxation time (T1)
3. Transvers relaxation time (T2)
4. Perfusi dan difusi
(Heggie, 1997).
Densitas proton adalah konsentrasi proton dalam jaringan dalam
bentuk air dan makromolekul (protein, lemak, dlan lainnya). Waktu
relaksasi T1 dan T2 menentukan cara proton kembali ke tempat
istirahatnya setelah dorongan RF awal (Hesselink, J.R. 2015).
Setelah semua proses dilakukan maka kita akan peroleh gambaran
hasil pencitraannya. Adapun gambaran yang dihasilkan dapat berupa
beberapa hal berikut ini.
1. Low signal intensity, dihasilkan sinyal listrik yang lemah berupa
sinyal void (kosong/hitam) dan sinyal yang lebih rendah (gelap)
dariotot.
2. Intermediate signal intensity, dapat merupakan sinyal yang sama
dengan otot dan sinyal yang lebih tinggi dari lemak subkutan
(lebihterang).
3. High signal intensity, dihasilkan sinyal elektrik yang kuat berupa
sinyal yang sama dengan jaringan subkutan (terang) dan sinyal
yang lebih tinggi dari jaringan lemak subkutan (sangat terang)
(Rasad,2006).

Ada 3 macam intensitas yaitu hipointens, isointens, dan hiperintens.


Setiap jaringan mempunyai karakteristik yang khas pada T1 dan T2
sehingga bila ada perbedaan intensitas dari jaringan normal, akan mudah
diketahui bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan. Bila didapatkan
T1 yang panjang maka akan didapatkan gambaran hipointens dan bila
T1 pendek akan didapatkan gambaran hiperintens. Sebaliknya, bila
didapatkan T2 pendek maka akan didapatkan gambaran hiperintens dan
bila T2 panjang akan didapatkan gambaran hipointens. Sementara itu,
pada densitas proton yang dinilai adalah kepadatan proton pada jaringan.
Semakin banyak jumlah proton maka semakin tinggi intensitas gambar
yang dihasilkan (Rasad, 2006).

Tabel 8.1Interpretasi dasar pada MRI


Jenis intensitas T1 T2
Hipointens Tulang Tulang
Kalsifikasi Kalsifikasi
Air
Hiperintens Lemak Lemak
Darah Darah
Air
Sumber: Rasad, 2006

116 Pencitraan pada Stroke


Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan
bagian otak yang putih. Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih
sedikit air dibandingkan dengan otak yang abu-abu. Akan tetapi, bagian
yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak yang
abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih
mempunyai waktu T1 yang pendek dan T2 yang pendek (Rasad, 2006).
Pada saat meninjau MRI, cara termudah untuk menentukan urutan
pulsa yang digunakan atau "bobot" dari gambar adalah dengan melihat
cerebrospinal fluid (CSF). Jika CSF cerah (sinyal tinggi) maka itu harus
menjadi gambar T2-weighted. Jika CSF gelap, itu adalah gambar T1.
Setelah itu, perhatikan intensitas sinyal struktur otak. Pada MRI otak,
faktor penentu utama pada intensitas sinyal dan kontras adalah T1 dan
T2 relaxation times. Kontras jelas berbeda pada gambar T1 dan T2-
weighted. Selain itu, patologi otak memiliki beberapa karakteristik sinyal
yang umum (Hesselink, J.R. 2015).

8.7 Kelebihan dan Kekurangan MRI


Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT
scan yaitu:
1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan
lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan
difusi, perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan
CT Scan.
4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring
tanpa mengubah posisi pasien.
5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Notosiswoyo, M., Susy
Suswati, 2004).

Selain mempunyai kelebihan, di satu sisi MRI juga mempunyai


kekurangan misalnya harga MRI lebih mahal daripada CT scan.
Pemeriksaan MRI memerlukan waktu lebih lama sehingga pasien harus
lebih sabar dan ketidaknyamanan ini terkadang menimbulkan masalah.
Scanning MRI tidak aman untuk pasien dengan beberapa implan logam
dan benda asing lainnya. Perhatian terhadap langkah-langkah keamanan
diperlukan untuk menghindari cedera serius pada pasien dan staf. Hal ini
memerlukan peralatan MRI peralatan khusus dan kepatuhan yang ketat
untuk protokol keamanan (Hesselink, J.R. 2015).
Sebenarnya, CT scan dan MRI merupakan sama-sama sebagai lini
pertama modalitas pencitraan untuk stroke (Kidwell et al., 2004). Akurasi
klinis dalam mendeteksi ICH pada CT scan tergantung pengalaman,
berkisar antara 73-87% (Merino & Warach, 2010). Jika MRI dapat
dilaksanakan secepat CT scan, pilihan modalitas jatuh pada MRI (Kidwell
et al., 2004).

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 117


Namun demikian, MRI tidak dapat dilaksakan pada pasien yang
memiliki prosthesis logam (Magistris, 2013). Sekitar 10% pasien yang
masuk ke IRD AS memiliki alat pacu jantung dan prosthesis logam
(Smith, et al., 2011). MRI juga tidak dapat digunakan pada pasien
dengan klaustrofobia (Lovbald & Pereira, 2013).
CT unggul dalam menunjukkan ekstensi perdarahan ke intaventrikel,
sementara itu MRI menunjukkan edema dan herniasi dengan lebih
baik. Karena saat ini dalam praktiknya CT scan lebih tersebar luas dan
permintaan pencitraan CT scan umumnya dapat dilaksanakan dengan
lebih cepat sehingga CT scan menjadi modalitas pencitraan stroke
yang lazim dilaksanakan. CT scan memiliki spesifisitas hampir 100%
dalam mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi. MRI saat ini umumnya
digunakan sebagai follow up dan mencari penyebab perdarahan atau
iskemia, misalnya malformasi vaskular atau cerebral amyloidosis
(Magistris,2013).
Dalam membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia, CT
scan terbukti memiliki cost-benefit ratio paling tinggi (Smith, et al.,
2011). Meskipun terbukti untuk saat ini, CT scan merupakan modalitas
yang paling sering digunakan, namun demikian MRI terus berkembang
untuk membuktikan diri sebagai modalitas unggulan lainnya yang
dalam penggunaannya saling melengkapi dengan CT scan (Lovbald &
Pereira,2013).

A B C

D E F

Sumber: Lovbald & Pereira, 2013

Gambar 8.6Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bahwa modalitas CT


scan (8.6 A) menunjukkan adanya pendataran sulcii yang menjadi tanda
stroke. Pada CT perfusi, tampak area hipoperfusi. MRI menegaskan hal ini
yang ditunjukkan dengan adanya lesi hiperdens pada sekuens T2 (8.6 C).

118 Pencitraan pada Stroke


Sekuens Diffuse Weighted Image (DWI) (8.6 D) dengan tegas menyatakan
adanya area stroke. CT scan daerah leher (8.6 B) menunjukkan adanya
kalsifikasi pada arteri karotis kiri yang dibuktikan lebih lanjut sebagai area
stenosis melalui Digital Angiography Substraction (DSA) (8.6 E). CT scan
setelah trombolisis (8.6 F) menunjukkan adanya luxury perfusion, tanpa
ekstravasasi darah.

8.8 Pemeriksaan MRI Kepala


Pada pemeriksaan MRI kepala, pasien selalu diposisikan supine
dengan meletakkan kepala di dalam koil kepala dan memberi bantal di
bawah kaki (Moeller, 2003).
Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien, antara lain sebagai
berikut.
Pasien dianjurkan untuk ke kamar kecil sebelum dilakukan
pemeriksaan.
Menjelaskan prosedur pemeriksaan.
Pasien mendapatkan informasi dengan melakukan wawancara untuk
mengetahui apakah ada sesuatu yang membahayakan pasien bila
dilakukan pemeriksaan MRI, misalnya: pasien menggunakan alat
pacu jantung, logam dalam tubuh pasien seperti IUD, sendi palsu,
neurostimulator, dan klip anurisma serebral, dan lain-lain.
Menawarkan pelindung telinga apabila diperlukan.
Meminta pasien untuk mengenakan baju pemeriksaan.
Meminta pasien untuk melepas segala sesuatu yang mengandung
logam (gigi palsu, alat bantu mendengar, jepit rambut, perhiasan,
dan benda lainnya).
Jika diperlukan bisa dipasang infus intravena (misalnya adanya
kecurigaan tumor atau multiple sclerosis).
Pastikan pasien memahami prosedur pemeriksaan dan mengisi
kuisioner dengan benar (penekanan terutama terhadap benda-benda
yang mengandung logam) (Moeller, 2003).

Untuk persiapan pelaksanaan pemeriksaan perlu dilakukan beberapa


hal berikut ini.
1. Persiapan console yaitu memprogram identitas pasien seperti nama,
usia dan lain-lain, mengatur posisi tidur pasien sesuai dengan objek
yang akan diperiksa. Memilih jenis koil yang akan digunakan untuk
pemeriksaan, misalnya untuk pemeriksaan kepala digunakan head
coil. Setelah itu, memilih parameter yang tepat, misalnya untuk
citra anatomi dipilih parameter yang repetition time dan echo time
pendek sehingga pencitraan jaringan dengan konsentrasi hidrogen
tinggi akan berwarna hitam. Untuk citra pathologis dipilih parameter
yang repetition time dan echo time panjang sehingga misalnya untuk
gambaran cairan serebro spinalis dengan konsentrasi hidrogen tinggi
akan tampak berwarna putih. Untuk kontras citra antara, dipilih

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 119


parameter yang time repetition panjang dan time echo pendek
sehingga gambaran jaringan dengan konsentrasi hidrogen tinggi akan
tampak berwarna abu-abu.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 8.7Penggunaan head coil untuk pemeriksaan kepala.

2. Untuk mendapatkan hasil gambar yang optimal, perlu penentuan


center magnet (land marking patient) sehingga koil dan bagian
tubuh yang diamati harus sedekat mungkin ke center magnet,
misalnya pemeriksaan MRI kepala, pusat magnet pada hidung.

Untuk menentukan bagian tubuh dibuat scan scout (panduan


pengamatan) dengan parameter, ketebalan irisan dan jarak antar irisan
serta format gambaran tertentu. Hal ini merupakan gambaran 3 dimensi
dari sejumlah sinar yang telah diserap. Setelah tergambar scan scout
pada TV monitor, maka dibuat pengamatan-pengamatan berikutnya
sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan MRI yang menggunakan kontras media, hanya pada
kasus-kasus tertentu saja. Salah satu kontras media untuk pemeriksaan
MRI adalah gadolinium DTPA yang disuntikkan intra vena dengan dosis
0,0 ml/kg berat badan (Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Tahapan pengambilan gambar pada MRI kepala (Moeller, 2003)


Potongan standar untuk mengevaluasi otak pertama kali dibuat
potongan aksial. Dibuat scout tiga potongan (atau sagital dan aksial saja).
Potongan aksial dibuat dengan orientasi pada garis yang melalui batas
anterior dan posterior dari korpus kallosum pararel terhadap garis yang
melewati komisura anterior dan posterior, dibuat potongan pada seluruh

120 Pencitraan pada Stroke


otak dari vertex hingga serebellum, biasanya hingga foramen magnum
dengan ketebalan irisan 56 mm.

Sumber: (Moeller, 2003)

Gambar 8.8Scout potongan aksial standar untuk otak.

Pada tahap ini akan dibuat gambar T2 dan T1 weighted serta proton
density. Selanjutnya, dilakukan pengambilan potongan koronal dengan
orientasi pada potongan aksial. Potongan aksial dan koronal umumnya
dengan ketebalan irisan 6 mm.

a b
Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.9Scout potongan koronal standar untuk otak (a) dan scout
potongan sagital untuk otak (b).

Untuk mendapatkan hasil yang simetris maka sebagai patokan


dengan berorientasi pada septum nasi dan meletakkan bantal di bawah
lutut. Pada pasien kifosis bisa diletakkan bantal di bawah pinggul
demikian juga dengan rasa tidak nyaman pada leher bisa diletakkan
bantal di bawahnya. Bisa diletakkan kaca di atas coil kepala untuk
mengurangi claustrophobia (Moeller, 2003).

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 121


Sumber: Moeller, 2003
Gambar 8.10Irisan aksial T1WI, T2WI, dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.11Irisan sagital T1WI, T2WI, dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.12Irisan koronal T2WI dan scoutnya.

Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.13Irisan aksial proton densitiy dan scoutnya.

122 Pencitraan pada Stroke


a b
Sumber: Moeller, 2003

Gambar 8.14Pada kasus kecurigaan infark akut A: (T2-weighted image


irisan aksial) tampak area hiperintens pada sentrum semiovale kiri. B:
(diffusion weighted image irisan aksial) tampak hiperintens.

8.9 Interpretasi MRI Kepala


Sistematisasi evaluasi MRI kepala yang normal adalah sebagai
berikut.
~~ Fissure interhemisfer serebri pada garis tengah. Kortikal sulki serebri
dan serebelli normal.
~~ Korteks dan white matter menunjukkan perkembangan yang normal
dengan intensitas sinyal yang normal (maturasi sesuai dengan usia)
dan homogen. Anatomi hemisfer serebri dan midbrain dievaluasi
pada potongan sagital dan koronal T1WI MRI. Gray dan white matter
paling baik dievaluasi pada T2WI.
~~ Korteks serebri tidak tampak lesi hiperintens patologis (demielinisasi,
edema, perdarahan) atau hipointens patologis (kalsifikasi, per
darahan). Tidak tampak area yang terpisah dari kalvaria. Tidak
tampak akumulasi cairan (konveks atau konkaf) di antara korteks
serebri dan kalvaria).
~~ Sella dan pituitari bentuk dan ukurannya normal, intensitas sinyal
sebelum dan sesudah pemberian kontras normal. Struktur parasella
(khiasma optikum, sisterna suprasella, karotid siphon, sinus
kavernosus tidak tampak adanya kelainan.
~~ Basal ganglia, kapsula interna-eksterna, thalamus, korpus kallosum
intensitas sinyal normal, bentuk, dan ukuran normal. Tidak tampak
fokus demielinisasi maupun massa.
~~ Sudut serebelopontin simetris normal. Kanalis akustikus internus
berukuran lebar yang normal.
~~ Sisterna subarachnoid normal.
~~ Ventrikel bentuk dan ukurannya normal, simetris (tidak tampak
pelebaran unilateral/bilateral), ventrikel IV tidak melebar, tidak tampak

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 123


tanda-tanda peningkatan intrakranial (sulcal effacement, ventrikel
yang melebar/menyempit) dengan sirkulasi cairan serebrospinal
yangnormal.
~~ Ukuran ventrikel:
Sella media index: B/A > 4 normal.
Kornu anterior ventrikel lateralis (setinggi foramen monro):
Di bawah 40 tahun < 12 mm
Di atas 40 tahun < 15 mm.
Lebar ventrikel III:
< 5 mm pada anak-anak
< 7 mm pada dewasa di bawah 60 tahun
< 9 mm pada dewasa di atas 60 tahun.
~~ Batang otak dan serebellum ukuran dan intensitas sinyal normal,
tidak tampak kelainan fokal.
~~ Pembuluh darah intrakranial posisi dan ukuran normal, tidak tampak
dilatasi maupun kalsifikasi.
~~ Sinus paranasalis dan aircell mastoid perkembangan dan pneumati
sasinya normal, ketebalan mukosa normal.
~~ Kavum nasi pneumatisasi baik, septum nasi di tengah, ukuran concha
nasi normal (Moeller, 2003).

8.10 Artefak pada MRI dan Upaya Mengatasinya


Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut
jenisnya dapat terdiri atas kesalahan geometrik, kesalahan algoritma,
kesalahan pengukuran attenuasi. Sementara itu, menurut penyebabnya
terdiri atas:
a. Artefak yang disebabkan oleh pergerakan fisiologi, misalnya karena
gerakan jantung, gerakan pernapasan, gerakan darah dan cairan
serebrospinal. Gerakan yang terjadi secara tidak periodik seperti
gerakan menelan, berkedip dan lain-lainnya.

Gambar 8.15Arah kiri ke


kanan adalah fase encoding
yang telah dipilih untuk sebuah
penelitian pada kepala bagian
aksial sehingga artefak gerakan
orbital tidak melampaui batas
ke otak.
Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014.

b. Artefak yang terjadi karena perubahan kimia dan pengaruh magnet.

124 Pencitraan pada Stroke


c. Artefak yang terjadi karena letak gambaran tidak pada tempat yang
seharusnya.
d. Artefak yang terjadi akibat dari data pada gambaran yang tidak
lengkap.
e. Artefak sistem penampilan yang terjadi misalnya karena perubahan
bentuk gambaran akibat faktor kesalahan geometri, kebocoran dari
tabir radiofrequens.
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Sumber: Anvekars, B., 2012

Gambar 8.16Sebuah artefak sinyal


tinggi di ruang Csf karena efek para
magnetik akibat menghirup oksigen,
"Pseudo SAH"

Akibat adanya artefak-artefak tersebut maka akan mengakibatkan


gambaran menjadi kabur, terjadi kesalahan geometri, tidak ada gambaran,
gambaran tidak bersih, terdapat garisgaris di bawah gambaran,
gambaran bergaris-garis miring, dan gambaran tidak beraturan.
Upaya untuk mengatasi artefak pada gambaran MRI antara lain
dilakukan dengan cara antara lain waktu pemotretan dibuat secepat
mungkin, memeriksa keutuhan tabir pelindung radio frekuensi,
menanggalkan benda-benda yang bersifat feromagnetik bila memungkinkan,
dan perlu kerja sama yang baik dengan pasien (Notosiswoyo, M. , Susy
Suswati, 2004).

8.11 Tindakan yang Perlu Dilakukan Bila Terjadi


Kecelakaan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
kecelakaan selama pemeriksaan MRI. Bila terjadi keadaan gawat
pada pasien, segera hentikan pemeriksaan dengan menekan tombol
ABORT. Langkah selanjutnya yaitu pasien segera dikeluarkan dari
pesawat MRI dengan menarik meja pemeriksaan dan segera berikan
pertolongan dan apabila tindakan selanjutnya memerlukan alat medis
yang bersifat feromagnetik harus dilakukan di luar ruang pemeriksaan
(Notosiswoyo,M., Susy Suswati, 2004).
Seandainya terjadi kebocoran helium yang ditandai dengan bunyi
alarm dari sensor oksigen, tekanlah EMERGENCY SWITCH. Setelah itu,

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 125


segera membawa pasien keluar ruang pemeriksaan. Kemudian buka pintu
ruang pemeriksaan agar terjadi pertukaran udara karena pada saat itu,
ruang pemeriksaan kekurangan oksigen (Notosiswoyo, M., Susy Suswati,
2004).
Apabila terjadi pemadaman (quenching) yaitu hilangnya sifat medan
magnet yang kuat pada gantry (bagian dari pesawat MRI) secara tiba-
tiba, tindakan yang perlu dilakukan yaitu buka pintu ruangan lebar-lebar
agar terjadi pertukaran udara dan pasien segera dibawa keluar ruangan
pemeriksaan. Hal itu perlu dilakukan karena quenching menyebabkan
terjadinya penguapan helium sehingga ruang pemeriksaan MRI tercemar
gas helium. Selama pemeriksaan MRI untuk anak kecil atau bayi,
sebaiknya ada keluarganya yang menunggu di dalam ruang pemeriksaan
(Notosiswoyo, M., Susy Suswati, 2004).

Sumber: Questions and Answers in MRI, 2014

Gambar 8.17Emergency run


down unit sederhana. Anda
harus membuka kotak plastik dan
melepaskan penutup tombol untuk
memulai. Pemadaman magnet akan
terjadi dalam waktu 2 menit.

Alat di atas digunakan sebagai kontrol untuk mengendalikan dan


mematikan medan magnet. Alat ini biasanya berupa tombol merah besar
yang terletak di dinding ruang magnet dekat pintu. Pada alat ini bisa diberi
label "Magnet Stop" atau "Emergency Run Down". Tombol ini seharusnya
hanya digunakan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa, seperti
pasien diselamatkan dari dalam scanner akibat benda logam atau api di
gantry magnet (Questions and Answers in MRI, 2014).

Rangkuman
1. Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik
tertentu pada gambar Tl dan T2 maupun proton density.
2. Intensitas jaringan biasanya berbeda pada gambar Tl dan T2,
kecuali lemak, darah segar, kalsifikasi, maupun peredaran darah
yang cepat. Intensitas jaringan tersebut mulai dari hipo, iso dan
hiper intensitas terlihat jelas pada T1 dan T2.
3. Cara kerja MRI mengacu pada komposisi tubuh yang terdiri atas
atom hidrogen atau proton.

126 Pencitraan pada Stroke


4. Satu alat MRI yang lengkap terdiri atas sistem magnet, alat
pemancar radio frekuensi tinggi, alat penerima radio frekuensi
tinggi, komputer, tenaga listrik dan sistem pendingin.
5. Mesin MRI adalah sebuah mesin magnet berdaya tinggi. Dengan
memanfaatkan radio frequency pulses (gelombang radio), mesin
MRI mampu mendapatkan gambaran anatomik secara detail
dengan mengacu proton atom hidrogen pada setiap jaringan
tubuh.
6. Ada empat parameter dasar dari gambaran pencitraan MRI yaitu
densitas proton, longitudinal relaxation time (T1), transvers
relaxation time (T2), dan perfusi dan difusi.
7. Gambaran yang dihasilkan MRI dapat berupa low signal
intensity, intermediate signal intensity, dan high signal
intensity.
8. Indikasi MRI antara lain sebagai berikut.
Mendeteksi kelainan-kelainan struktur jaringan lunak, antara
lain pada penyakit tumor dan infeksi.
Memperlihatkan kelainan pada sistem saraf (otak dan
sunsum tulang belakang).
Memperlihatkan struktur vaskular, seperti pembuluh darah
otak dan jantung.
Memperlihatkan struktur sistem biliar intar & ekstrahepatik.
9. Keunggulan pemeriksaan MRI antara lain sebagai berikut.
Kemampuan memperlihatkan struktur organ dengan lebih
teliti dan akurat.
Dapat membedakan gambaran jaringan normal dengan
jelas.
Memperlihatkan gambaran jaringan tubuh dari berbagai
sudut pandang (multiplanar).
Tidak menggunakan sinar X.
Bersifat non invasif.
10. Selain mempunyai kelebihan, di satu sisi MRI juga mempunyai
kekurangan misalnya harga MRI lebih mahal daripada CT scan.
Pemeriksaan MRI memerlukan waktu lebih lama sehingga
pasien harus lebih sabar dan ketidaknyamanan ini terkadang
menimbulkan masalah.
11. Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang
menurut jenisnya dapat terdiri atas kesalahan geometrik,
kesalahan algoritma, kesalahan pengukuran attenuasi.
12. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya
dengan kecelakaan selama pemeriksaan MRI. Bila terjadi
keadaan gawat pada pasien, segera hentikan pemeriksaan
dengan menekan tombol ABORT.

Bab 8 Mengenal Magnetic Resonance Imaging 127


128 Pencitraan pada Stroke
Bab 9
Mengenal Digital Subtraction
Angiography

S
eiring dengan perkembangan teknologi dalam perangkat keras,
perangkat lunak, dan teknologi analisis gambar maka digital
subtraction angiography (DSA), computed tomography angiography
(CTA), dan magnetic resonance angiography (MRA), sekarang telah
menjadi garda depan pencitraan pembuluh darah. Pada kenyataannya,
teknik-teknik tersebut dapat menggantikan angiografi konvensional
dan digolongkan ke dalam standar baku baru dengan memberikan
karakterisasi yang ekuivalen maupun superior terhadap abnormalitas
pembuluh darah otak (Weber, 2001).

129
9.1 Definisi Digital Subtraction Angiography (DSA)
Sejak tahun 1970-an gambar digital telah menggeser peran gambar-
gambar analog. Sementara itu, digital subtraction angiography (DSA)
dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Generasi gambar DSA dimulai
dengan generasi sinar-X oleh tabung yang biasanya terletak di bawah
pasien. Tabung sinar-X bergerak di atas melewati meja radiolusen dan
pasien. Foton yang dikeluarkan ditangkap oleh detektor yang terletak di
atas pasien yang dirangkaikan ke tabung oleh struktur lengan berbentuk
huruf C atau huruf U (Gambar 9.1) (Rubin, 2009).

(a) Sumber: Rubin, 2009 (b) Sumber: The Bangalore Hospital, 2005

Sumber: Rubin, 2009

Gambar 9.1Pesawat DSA yang mempunyai struktur lengan berbentuk


hurufC (a) atau U (b).
Serebral DSA yaitu modifikasi serebral angiografi yang merupakan
suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan kontras ke arah
pembuluh darah menuju otak yang akan diperiksa melalui kateter
(Usman, 2012).
DSA merupakan teknik yang handal untuk memvisualisasikan
pembuluh darah otak manusia. Pada pencitraan yang hanya diambil
dengan sinar-X, pembuluh darah hampir tidak tampak karena rendahnya
kontras antara pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Peningkatan
kontras dilakukan dengan menyuntikkan media radiopaque contrast
terhadap pembuluh yang hendak didiagnosis. Tanpa pemrosesan
lebih lanjut, kontras antara pembuluh dan jaringan di sekitarnya
masih lebih kecil daripada antara tulang dan jaringan sekitar tulang
tersebut sehingga menyebabkan berbagai distorsi ataupun mengurangi
informasi dalam diagnosis pencitraan. Pada teknik subtraksi, terdapat
dua kali pengambilan pencitraan area pembuluh darah yang akan
diamati dengan dua kondisi yang berbeda. Pengambilan pencitraan
yang pertama dilakukan pada pembuluh darah dengan kondisi tanpa
cairan pengontras yang dikenal dengan nama pencitraan mask/plain.
Pengambilan pencitraan yang kedua dilakukan ketika cairan pengontras
telah disuntikkan pada pembuluh darah yang akan diamati yang dikenal
dengan nama pencitraan live/contrast. Pada pencitraan DSA, struktur

130 Pencitraan pada Stroke


latar belakang yang tidak diinginkan akan dihilangkan secara menyeluruh
jika struktur antara pencitraan mask dan pencitraan live mempunyai
distribusi derajat keabuan yang sama (Hidayati, S.C., 2009).

(a) (b)

Gambar 9.2(a) Citra mask dan (b) citra live (citra kontras) pada
pencitraanDSA.
Hasil pemeriksaan serebral DSA sangat komprehensif dalam
memberikan informasi tentang vaskularisasi otak dan tetap menjadi
standar emas untuk mengevaluasi kelainan pembuluh darah otak,
terutama stenosis arteri, malformasi arteriovenosa (AVM) dan aneurisma
otak. Selain itu, DSA juga dilakukan untuk menentukan aliran darah dan
kondisi pembuluh darah (seperti vasospasme, vaskulitis, vaskularisasi
tumor otak). Dengan melakukan prosedur ini, terapi yang optimal dapat
dicapai untuk setiap kelainan pembuluh darah otak (Usman et al., 2012).
Dalam dekade terakhir, telah dilakukan penggunaan agen kontras
yang lebih aman. Selain itu, telah ada kemajuan teknis yang penting
meliputi penggunaan kateter yang lebih kecil, hydrophylic guide wires,
dan sistem pencitraan digital. Namun, penggunaan serebral DSA untuk
beberapa kasus, khususnya di Indonesia, tampaknya telah dikembangkan
secara perlahan-lahan. Namun demikian, beberapa sumber masih
berpendapat bahwa DSA sebagai prosedur mahal dan invasif yang dapat
menyebabkan morbiditas serta mortalitas (Usman et al., 2012).

9.2 Indikasi dan Kontraindikasi DSA


Indikasi untuk diagnostik kateter angiografi serebral meliputi
beberapa hal berikut ini.
1. Diagnosis penyakit neurovaskular primer (misalnya aneurisma
intrakranial, arteriovenous malformasi, fistula arteriovenosa dural,

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 131


stenosis aterosklerotik, stroke iskemia akut, fenomena tromboemboli,
dan vaskulopati).
2. Membantu mencari etiologi penyebab perdarahan (subarachnoid,
parenkimal, intraventrikular)
3. Merencanakan prosedur neurointervensi.
4. Bantuan intra-operasi pada operasi aneurisma.
5. Pencitraan tindak lanjut setelah tindakan terapi (misalnya setelah
pemasangan koil atau kliping, pengobatan fistula arteriovenosa) .
6. Menunjukkan secara lebih jelas dan terperinci pembuluh darah
mana yang menjadi feeder suatu tumor intrakranial berikut peta
perjalanan ke tumor tersebut sehingga dapat menyusun strategi jika
akan dilakukan embolisasi sebelum reseksi .
7. Menentukan ada dan perluasan trauma pada pembuluh darah
cervicocerebral (misalnya pseudoaneurisma) (Adnan et al., 2011;
Usman, 2012; Harrigan et al., 2013).
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk diagnostik angiografi kateterisasi
serebral. Kontraindikasi relatif meliputi hipotensi, hipertensi berat, dan
koagulopati, signifikan secara klinis, sensitif terhadap bahan kontras iodin,
insufisiensi renal, dan gagal jantung kongestif (Harrigan etal, 2013).

9.3 Evaluasi Preprosedur Pemeriksaan DSA


Berikut ini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan untuk evaluasi
preprosedur.
1. Pasien harus ditanya tentang gejala dan tanda-tandanya sehingga
diperoleh indikasi untuk pemeriksaan ini. Selain itu, riwayat prosedur
operasi sebelumnya (terutama vaskular), bukti adanya risiko
atherosklerotik seperti infark miokard atau stroke, diabetes (dengan
perhatian terhadap terapinya), status fungsi ginjal, dan apakah
memiliki riwayat alergi terhadap kontras iodin.
2. Pemeriksaan neurologis singkat harus dilakukan untuk mendapatkan
data dasar mengenai perubahan neurologis yang terjadi selama atau
setelah prosedur. Pemeriksaan fisik preprosedur berfokus terhadap
sistem vaskular dan seleksi lokasi vaskular. Pemeriksaan ini lebih
baik dilakukan oleh orang yang akan melakukan angiografi. Selain itu,
juga dilakukan evaluasi kualitas nadi dan adanya aneurisma, curiga
adanya infeksi, incisi bedah yang masih baru, pannus abdomen
yang besar, atau jaringan parut pada pembuluh darah yang akan
mempengaruhi seleksi dari lokasi akses. Pulsasi distal dari akses
yang akan dikerjakan harus dievaluasi. Hal itu disebabkan karena
salah satu komplikasi angiografi adalah embolisasi distal (harus
dilakukan pemeriksaan pada nadi femoralis, begitu juga dengan arteri
pedis dorsalis dan nadi tibialis posterior). Pemeriksaan fisik harus
mencakup baik sisi kanan dan kiri pasien sehingga lokasi akses yang
berbeda dapat digunakan selama prosedur jika diperlukan.

132 Pencitraan pada Stroke


3. Pemeriksaan darah yang meliputi kadar serum kreatinin dan
parameter koagulasi harus ditinjau. Sebenarnya, tidak ada
pemeriksaan laboratorium yang mutlak diperlukan sebelum memulai
prosedur invasif pada pembuluh darah. Sebagian besar masalah
yang dapat diprediksi dari hasil pemeriksaan laboratorium yang
abnormal terjadi setelah kateter dilepas (misalnya perdarahan dan
gagal ginjal). Jumlah trombosit yang rendah merupakan prediktor
paling penting dari komplikasi perdarahan postprocedural. Untuk
pemeriksaan laboratorium minimal, pada umumnya diperlukan
koagulasi (international normalized ratio [INR], protrombin time
[PT], activated partial thromboplastin time [aPTT], dan jumlah
trombosit) serta nilai serum kreatinin (Harrigan et al., 2013,
Kaufman, 2008).
Pada pasien rawat jalan yang status kesehatannya stabil, pengukuran
serum kreatinin dalam waktu 30 hari dari prosedur angiogram yang
akan dilakukan maka hal itu dapat diterima. Untuk pasien rawat
inap, konsentrasi serum kreatinin dan eGFR harus dinilai dalam
waktu 24 jam dari prosedur angiogram yang akan dilakukan. Pasien
dengan eGFR kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2 berisiko sangat tinggi
terhadap terjadinya contrat-induced nephropathy. Untuk pasien ini,
semua strategi profilaksis yang direkomendasikan harus digunakan,
sebagaimana dibimbing oleh konsultan nephrologist, dan alternatif
untuk penggunaan media kontras iodinasi harus dipertimbangkan.
Penambahan volume cairan intravena dianggap sebagai persyaratan
untuk pasien dengan eGFR kurang dari 60 mL/menit/ 1,73 m2
(Gambar 9.3). Penggunaan metformin harus dihentikan pada pasien
diabetes dengan gangguan ginjal yang sudah ada sebelumnya karena
toksisitas asam laktat yang disebabkan oleh akumulasi metformin
akibat kontras menginduksi terjadinya penurunan fungsi ginjal yang
sebelumnya sudah terganggu. Penggunaan metformin tersebut tetap
tidak diberikan selama 48 jam post prosedur. Keputusan untuk
melanjutkan penggunaan metformin harus didasarkan pada hasil tes
serum kreatinin. Pemeriksaan tindak lanjut serum kreatinin harus
dilakukan 48-96 jam setelah pemberian agen kontras (Goldfarb
etal,2009).

9.4 Persiapan Sebelum Dilaksanakan Angiogram


Sebelum dilakukan angiogram ada beberapa persiapan yang harus
dilakukan seperti penjelasan berikut ini.
1. Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum prosedur. Pasien
rawat jalan tidak perlu berpuasa setelah melewati tengah malam,
tapi disarankan untuk minum cairan bening sampai 2 jam sebelum
prosedur yang dijadwalkan. Infus intravena dekstrosa 5% dalam 0,5%
saline normal harus dimulai pada 100 mL / jam pada pasien normal.

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 133


Skrening untuk Faktor Risiko AKI
Siapa? Semua pasien > 40 tahun; pasien <40 tahun, jika mereka mempunyai faktor
risiko
Kapan? Rawat inap: dalam waktu 24 jam; rawat jalan mendahului 30 d
(menyediakan yang tidak mengalami perubahan intervensi dalam status
kesehatannya)
Bagaimana? eGFR: yang berasal dari SCr yang menggunakan MDRD 4-variabel: atau
CrCl: yang berasal dari SCr yang menggunakan formula Cockcroft-Gault.

Sangat berisiko tinggi Berisiko Berisiko rendah


eGFR<30 mL/min/1,73 m2 eGFR60 mL/min/1,73 m2 eGFR>60 mL/min/1,73 m2

Ekspansi volume
intravena: diperlukan
cairan mengandung
Pemeriksaan nefrologis garam isotonik Cairan bening, 2 jam
sebelum prosedur Protokol: 1 mL/kg/jam, sebelum prosedur
Perhitungkan 12 jam sebelum dan 12 Pertimbangkan ekspansi
penggunaan CO2. sesudah prosedur atau volume intravena
3 mL/kg/jam, 1 jam
sebelum prosedur; dan
1 mL/kg/jam, 3-6 jam
setelah prosedur.

Pengobatan profilaksis
Perhitungkan NAC 1200
mg 2 x sehari; sehari Tidak direkomendasikan
sebelum hari prosedur

Medium kontras Iso-osmolar atau osmolar


Iso-osmolar (iodixanol) rendah

Menggunakan obat
nephrotoxic
Hentikan NSAIDs 24 jam
sebelum prosedur dan 24
jam setelah prosedur
Hentikan metformin

Follow up: SCr pada 48-96 jam, diorder oleh staf radiologi intervensional;
25 triger berhubungan dengan dokter utama, nefrologis, atau memesan dokter
untuk follow up assessment

AKI = cedera ginjal akut; CO2 = karbon dioksida; CrCl = kreatinin; eGFR = perkiraan laju filtrasi
glomerulus; MDRD = modifikasi diet pada renal disease; NSAID = non-steroid anti-inflamasi.

Sumber: Goldfarb et al, 2009

Gambar 9.3Skema protokol penggunaan bahan kontras untuk radiologi


intervensi.

134 Pencitraan pada Stroke


Tingkat cairan dan karakteristik harus disesuaikan pada penderita
diabetes, pasien dialisis, dan pasien dengan gagal jantung kongestif.
Pasien rawat inap harus dipasang infus intravena di tempat sebelum
tiba di ruang angiografi (Kaufman, 2008). Menurut studi Kwon,
aspirasi pulmonum tidak terjadi pada 2.554 pasien dengan angiografi
serebral elektif. Insiden mual dan muntah yang berkaitan dengan
angiografi serebral sangat rendah dan tidak dipengaruhi oleh diet atau
puasa. Hasil penelitian tersebut berpendapat bahwa puasa bukan
merupakan tahap persiapan yang penting untuk beberapa pasien yang
akan menjalani angiografi serebral elektif (Kwon, etal.2011).
2. Memasang foley catheter (hanya jika diperlukan tindakan intervensi)
(Harrigan et al., 2013, Kaufman, 2008).

9.5 Peralatan untuk Pemeriksaan DSA


Beberapa peralatan yang diperlukan untuk DSA antara lain seperti
berikut ini.

9.5.1. Jarum
Semua prosedur angiografi dimulai dengan akses jarum ke vaskular.
Ada berbagai variasi jarum akses ke vaskular, tetapi semua dirancang
untuk memungkinkan masuknya kawat pemandu melalui kanal tengahnya
(Gambar 9.4) (Weber, 2001).
Berdasarkan gambar di
samping dapat kita lihat dari kiri
ke kanan yaitu jarum 18-gauge
Seldinger yang berongga bagian
dalamnya, stylet tajam yang
melampaui ujung tumpul jarum;
stylet; jarum Seldinger dengan
stylet yang dikeluarkan; jarum
18-gauge yang berongga dan
ujungnya tajam (1 dinding);
jarum 21-gauge microaccess
(Kaufman, 2008). Sumber: Kaufman, 2008
Jarum yang paling sederhana
Gambar 9.4Jarum akses yang umum
adalah jarum one-piece dengan
digunakan untuk angiografi.
ujungnya yang tajam dan miring.
Kawat pemandu dimasukkan
langsung melalui jarum setelah ujungnya berada dalam lumen pembuluh
darah. Tipe jarum ini dapat digunakan untuk tusukan arteri dan vena.
Jarum two-piece biasanya memiliki stilet tajam yang membuat kedap
jarum dan meluas sedikit melampaui ujung jarum. Jarum ini memiliki
ujung tumpul, tidak traumatik, dan miring ketika stilet dilepas. Dengan
adanya stilet tajam tersebut memungkinkan jarum untuk menusuk

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 135


pembuluh darah, tetapi setelah stilet dikeluarkan maka risiko cedera
vaskular tidak terjadi. Untuk semua jarum yang berstilet, stilet harus
dikeluarkan terlebih dahulu untuk memasukkan kawat pemandu. Tusukan
pada arteri biasanya harus menggunakan stilet. Ukuran yang paling
umum untuk jarum akses vaskular yaitu yang berdiameter 19 atau 18
gauge dan panjangnya 2 1/4 sampai 5 inci (Kaufman, 2008).

9.5.2. Kawat pemandu (Guidewire)


Kawat pemandu tersedia
dalam berbagai ketebalan, panjang,
wkonfigurasi ujung, kekakuan, dan
bahan konstruksi (Gambar 9.5).
Jika kita perhatikan gambar
di samping maka terlihat dari kiri
ke kanan yaitu straight 0.038-
inch; J-tipped 0.038-inch dengan
introducer device (panah) untuk
meluruskan kawat pemandu selama
insersi ke dalam needle hub; angled
Sumber: Kaufman, 2008
high-torque 0.035-inch; angled
Gambar 9.5Kawat pemandu hydrophilic coated 0.038-inch
(guidewire). nitinol wire dengan pinvise (panah
lengkung) untuk mengontrolnya;
0.018-inch platinum-tipped microwire (Kaufman, 2008).
Secara umum, ketebalan kawat pemandu harus sama atau sedikit
lebih kecil dari diameter lumen di ujung kateter atau perangkat yang
akan melaluinya. Kawat pemandu yang terlalu besar akan macet,
biasanya di ujung kateter. Namun, jika kawat pemandu yang jauh lebih
kecil daripada lubang akhir kateter atau perangkat lain maka akan ada
celah antara kawat pemandu dan kateter yang dapat menyebabkan
cedera pembuluh atau mencegah gerakan halus melalui kawat pemandu
tersebut. Komposisi dan ketebalan inti menentukan tingkat kekakuan
kawat pemandu. Kawat pemandu yang sangat fleksibel penting untuk
menegosiasikan pembuluh darah berliku-liku atau pada penyakit-penyakit
vaskular. Kawat pemandu yang kaku berguna untuk memasukkan kateter
dan perangkat lain. Ujung kawat pemandu yang melengkung memberikan
ting
kat keamanan tambahan pada penyakit-penyakit vaskular. Sebagai
kawat pemandu yang bergerak maju, jika ada plak maka ujung yang
melengkung akan memantul. Panjang kawat pemandu rata yang
digunakan dalam angiografi adalah antara 145160 cm. Kawat pemandu
ekstra panjang tidak digunakan untuk kasus-kasus rutin karena jika terlalu
panjang akan lebih rumit dan mudah terkontaminasi (Kaufman, 2008).

136 Pencitraan pada Stroke


9.5.3 Dilator
Dilator pembuluh darah
adalah kateter plastik pendek
dengan ujung meruncing dan
biasanya terbuat dari bahan
yang lebih kaku daripada
kateter angiografi diagnostik.
Tujuan utama dilator adalah
untuk melebarkan jaringan Sumber: Kaufman, 2008
lunak dan dinding pembuluh Gambar 9.6Dilator pembuluh darah.
darah untuk mempermudah
masuknya kateter atau perangkat lain (Kaufman, 2008).
Pada gambar di atas menunjukkan standar ujung lancip (panah)
dan panjang ujung lancip (kepala panah) yang berguna ketika pelebaran
bertahap diperlukan (Kaufman, 2008).

9.5.4 Kateter
Kateter angiografi biasanya terbuat dari plastik (polyurethane,
polyethylene, teflon, atau nilon). Mengenai bahan kateter yang
tepat, konstruksi, pelapis, diameter dalam, diameter luar, panjang,
bentuk ujung, pola lubang samping, hal itu ditentukan oleh tujuan
penggunaannya(Gambar 9.7). Kateter yang digunakan untuk aortografi
nonselektif yaitu yang berdinding tebal bertujuan untuk mengatasi
injeksi dengan volume besar dan tekanan tinggi. Biasanya, ujung kateter
menggulung mirip seperti ekor babi yang membuat ujung kateter jauh
dari dinding pembuluh darah. Pada kateter juga terdapat beberapa
lubang pada sisi proksimal dari ujung yang menggulung sehingga
sebagian besar media kontras dapat keluar dari kateter. Sebaliknya,
kateter selektif umumnya berdinding tipis dengan lubang tunggal
pada ujungnya, tingkat injeksi lebih rendah dan diarahkan ke sebuah
pembuluh darah kecil (Kaufman,2008).
Banyak kateter cocok untuk angiografi serebral. Ukuran luar
kateter dijelaskan dalam gauge French (French 3 = 1 mm), sedangkan
diameter lubang akhir (dan oleh karena itu ukuran maksimum dari
kawat pemandu kateter yang akan mengakomodasi) digambarkan
dalam per seratus inci. Sebagai aturan umum, penggunaan panjang
kateter 100 cm yang memiliki ujung lengkung, tepat untuk pembuluh
darah dengan lengkungan. Lengkungan sederhana (misalnya lengkung
Berenstein) dapat disesuaikan untuk banyak situasi anatomi dan yang
paling tepat untuk pasien muda dengan pembuluh darah yang lurus
(Harrigan etal,2013).

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 137


Sumber: Harrigan, et al., 2013

Gambar 9.7Kateter diagnostik yang direkomendasikan.

Berdasarkan gambar di atas menunjukkan 5F angled taper, bagus


untuk semua tujuan kateter diagnostik. 4 atau 5F vertebral bagus untuk
semua tujuan kateter diagnostik, lebih kaku daripada angled taper, tetapi
serupa dalam bentuknya. 4 atau 5F simmons 1 untuk angiografi spinal.
4 atau 5F simmons 2 atau 3 untuk arteri karotid kommunis kiri, bovine
configuration; tortuous arkus aorta, pasien berusia >50 tahun. 4 atau
5F Newton utuk anatomi turtous, pasien berusia >65 tahun. 5F CK-1
(aka HN-5) untuk arteri karotid kommunis kiri atau arteri vertebralis
kanan. 5F H1 (aka Headhunter) untuk arteri subklavian kanan, arteri
vertebraliskanan (Harrigan, et al., 2013).

9.5.5. Sheath (selubung)


Sebagian besar intervensi vaskular serta prosedur diagnos tik
menggunakan selubung akses vaskular. Perangkat ini memiliki berbagai
ketebalan dengan konstruksi terbuka di salah satu ujungnya dan
tertutup dengan katup hemostatik pada ujung yang lain (Gambar 9.8)
(Kaufman,2008)
Perangkat ini memiliki sisi lengan jernih yang dapat dihubungkan
ke constant flush (untuk mencegah pembentukan trombus di dalam
selubungnya) atau ke monitor
tekanan arteri. Tujuan adanya
selubung ini yaitu untuk
mempermudah beberapa kali
pertukaran kateter melalui
situs akses tunggal. Perangkat
yang konturnya tidak teratur
atau tidak meruncing dapat
Sumber: Kaufman, 2008
dimasukkan melalui selubung
Gambar 9.8Typical hemostatic tanpa takut menyebabkan
sheath. Ukuran French dari sheaths trauma pada akses pembuluh
menunjukkan diameter dalamnya. darah. Dalam beberapa kasus,

138 Pencitraan pada Stroke


selubung yang panjang dapat meluruskan akses arteri yang berliku-liku
(tortuous). Selubung tersedia dalam berbagai ukuran panjang, tergantung
pada permintaan prosedur. Selubung pendek lebih sering digunakan
selama prosedur diagnostik dan selubung panjang digunakan untuk
intervensi. Trans-femoral angiography dapat dikerjakan dengan atau
tanpa selubung (Kaufman, 2008).

9.6 Bahan Kontras


Semua alat yang dijelaskan sebelumnya dimaksudkan untuk
memfasilitasi pengiriman bahan kontras ke dalam sistem vaskular.
Bahan kontras yang ideal memiliki sifat radioopasitas baik, bercampur
baik dengan darah, mudah digunakan, murah, dan tidak membahayakan
pasien (Kaufman, 2008). Agen kontras nonionik lebih aman dan jarang
menyebabkan alergi daripada agen kontras ionik. Iohexol (Omnipaque ,
GE Healthcare, Princeton, NJ) merupakan agen kontras nonionik dengan
osmolalitas rendah, harga relatif murah, dan mungkin agen kontras yang
paling umum digunakan dalam angiografi serebral.
1. Diagnostik angiogram: Iohexol , 300 mg I/mL
2. Prosedur neurointervensi: Iohexol , 240 mg I/mL
Pasien dengan fungsi renal normal dapat mentoleransi sebanyak
400800 mL Iohexol, 300 mg I/mL tanpa menimbulkan efek samping
(Harrigan et al., 2013).

9.7 Sedasi/Analgesik
Beberapa jenis zat yang biasanya digunakan untuk sedasi atau
analgesik yaitu:
1. Midazolam (Versed) 12 mg IV untuk sedasi; berdurasi kurang
lebih 2 jam.
2. Fentanyl (Sublimaze) 2550 mg IV untuk analgesik; berdurasi
kurang lebih 2030 menit.
Penggunaan sedasi harus seminimal mungkin, jika penggunaan
obat penenang berlebih membuat sulit untuk mendeteksi perubahan
neurologis yang hampir tidak terlihat selama prosedur. Agitasi paradoks
telah dilaporkan hingga 10,2% dari pasien, terutama pada pasien tua dan
pasien dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau masalah psikologis
Flumazenil (Romazicon ) 0,20,3 mg IV dapat memulihkan efek ini
(Harrigan et al., 2013).

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 139


9.8 Navigasi Kateter
Kateter diagnostik seharusnya
masuk bersama dengan kawat
hidrofilik. Kawat akan menjaga ujung
kateter dari gesekan dengan dinding
pembuluh darah dan menyebabkan
diseksi. Ketika memasukkan kawat
dan kateter menuju lengkung aorta
dari arteri femoral, ujung kawat harus
diikuti dengan visualisasi fluoroskopik
langsung. Rakitan kateter/kawat
tidak boleh dimasukkan dengan
panjang <810 cm dari ujungnya,
karena panjang kawat yang masuk
pendek dapat menjadi seperti
sebuah tombak sehingga dapat
Sumber: Harrigan et al., 2013 menyebabkan cidera pada intima.
Sebuah rakitan kateter/kawat dengan
Gambar 9.9Pedang pendek
hanya beberapa cm mencuat dari
Romawi.
kawat dapat menyerupai pedang
pendek Romawi (Gambar 9.9)
(Harrigan et al.,2013).

9.9 Flushing Ganda


Flushing ganda terdiri atas aspirasi isi kateter dengan 10-mL jarum
suntik saline heparin, diikuti oleh aspirasi parsial dan irigasi saline
dengan jarum suntik. Manuver ini bertujuan untuk membersihkan
gumpalan beku dan gelembung udara dari kateter dan harus dilakukan
setiap kali kawat dikeluarkan dari kateter, sebelum injeksi kontras. Hal ini
perlu diperhatikan karena untuk mencegah darah mengalami koagulasi
dan berpotensi menjadi emboli. Sementara itu, gelembung udara dalam
sistem sirkulasi juga dapat menyebabkan oklusi pembuluh darah kecil
jika disuntikkan intravaskuler (Harrigan et al., 2013).

9.10 Hand Injection


Sebuah alat suntik 10 ml yang berisi kontras harus terhubung
pada kateter dan alat suntik harus dijentik-jentikkan dengan jari tengah
beberapa kali untuk mengeluarkan gelembung yang terjebak. Alat suntik
harus dipegang dalam posisi vertikal dengan pendorong diarahkan ke
atas untuk memungkinkan gelembung naik dari kateter (Gambar 9.10)
(Harrigan et al., 2013).

140 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Harrigan, et al., 2013
Gambar 9.10Cara memegang alat suntik.

Perhatikan gambar di atas. Gambar (a) menunjukkan cara yang


benar yaitu alat suntik dipegang dengan tangan ketika alat suntik tersebut
tersambung dengan kateter. Posisi ini menempatkan pendorong dalam
posisi tegak untuk memungkinkan gelembung udara naik dari kateter
yang terhubung. Gambar (b) menunjukkan cara yang salah yaitu alat
suntik dipegang dalam posisi horisontal sehingga gelembung udara dapat
masuk (Harrigan et al., 2013).
Untuk pembuluh darah yang lebih besar, seperti arteri karotid
komunis, pendorong pada jarum suntik dapat ditekan dengan telapak
tangan sehingga menghasilkan kekuatan yang cukup. Untuk pembuluh
darah yang lebih kecil seperti arteri vertebralis, cukup menekan pendorong
dengan menggunakan ibu jari . Angiografi dapat dilakukan dengan sekali
suntikan cepat sebanyak 46 mL kontras (70%) yang dicampur dengan
saline (30%). Pasien harus diinstruksikan untuk berhenti bernapas
("Jangan bergerak, jangan napas, jangan menelan) selama beberapa
detik selama angiogram, kemudian diperintahkan untuk mulai bernapas
lagi (Harrigan et al., 2013).

9.11 Pencitraan Angiografi dan Standar Proyeksi Foto


Untuk pencitraan angiografi dan standar proyeksi foto ada
beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan yaitu sebagai berikut (Mauro,
etal.,2014).
1. Biplane angiography adalah standar untuk angiografi serebral. Hal ini
memungkinkan untuk mendapatkan gambar ortogonal yang secara
bersamaan dengan injeksi kontras tunggal sehingga membatasi
waktu dan jumlah kontras yang dibutuhkan untuk memvisualisasikan
pembuluh darah otak secara adekuat. Monoplanar angiografi serebral
dapat diterima hanya bila peralatan biplane tidak tersedia. Selain itu,
penggunaan pencitraan monoplanar dibatasi oleh ketidakmampuan
untuk melakukan kalibrasi optik otomatis dan menggambarkan
pandangan ortogonal sekaligus.

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 141


2. Saat melihat gambar angiografi, kontras dan kecerahan gambar harus
disesuaikan sehingga pembuluh darah menjadi semitransparan.
Dengan demikian, dapat memungkinkan visualisasi aneurisma,
cabang pembuluh darah, atau filling defect (misalnya trombus
intraluminal) yang mungkin bisa tidak terlihat.
3. Fitur gambaran lainnya yang harus diperhatikan selama angiografi
serebral antara lain:
a. kontur dan ukuran pembuluh darah,
b. pola aliran kontras,
c. fase vena, dan
d. anatomi tulang.
"Standar" proyeksi postero-anterior (PA) arah sinar-X biasanya
membentuk sudut 1520 dalam arah kranial untuk membuat
superimposisi atap orbita dan batas os petrosum. Hal ini telah menjadi
proyeksi foto angiografi tradisional untuk injeksi karotid karena
memberikan gambaran yang baik pada struktur arteri dan memungkinkan
proyeksi standar tanpa memperhitungkan berapa sudut yang dibentuk
kepala pasien terhadap meja. Proyeksi foto ini sering digunakan karena
tidak memerlukan angulasi X-ray C-arm. Proyeksi caldwell biasanya
dilakukan dengan sudut sinar-X sekitar 25 kraniokaudal dengan
titik keluarnya nasion sehingga piramid os petrosus sejajar dengan
sepertiga dasar orbita untuk memberikan gambaran struktur orbita
dan supratentorium yang tidak terhalangi piramid os petrosus. Posisi
towne dilakukan dengan sudut sinar-X sekitar 3040 kranial yang
menjajarkan piramid os petrosus di bawah batas superior dari orbita dan
merupakan proyeksi PA standar untuk pencitraan fossa posterior, karena
menggambarkan arteri serebral posterior dengan baik. Sementara itu, foto
waters sangat baik untuk menunjukkan panjang arteri basilar. Proyeksi
sub-mentovertex sangat berguna untuk mengevaluasi bifurcatio arteri
serebri media dan Acomm (Harrigan et al., 2013). Proyeksi Haughton
digunakan untuk mengevaluasi arteri PCOM, arteri karotid siphon, arteri
ophthalmic, serta arteri karotid internal parasellar dan supraklinoid
(Mauro, et al., 2014).
a b e f

c d g

Sumber: Harrigan et al., 2013

Gambar 9.11Proyeksi PA
standar dan lateral.

142 Pencitraan pada Stroke


Berdasarkan Gambar 9.11, gambar (a) menunjukkan PA standar.
Tulang-tulang petrosus segaris dengan margin atas orbita. Gambar(b)
menunjukkan straight PA. Angulasi baik kranial maupun kaudal
tidak dilakukan. Pada kasus ini, tulang petrosus berada di tepi bawah
orbita. Gambar (c) menunjukkan caldwell. Gambar (d) menunjukkan
towne. Foramen magnum dapat dilihat melalui calvaria. Gambar (e)
menunjukkan waters. Gambar (f) menunjukkan submentovertex. View
dilihat dari bawah, angulasi kaudal sebanyak mungkin, vertex tengkorak
harus dibingkai oleh mandibula. Gambar (g) menunjukkan proyeksi
lateral. Pada pandangan lateral lurus, dasar fossa anterior kanan dan kiri
tumpang tindih langsung (Harrigan et al., 2013).
Proyeksi foto tertentu biasanya digunakan untuk mengoptimalkan
tampilan struktur anatomi tertentu seperti yang tercantum dalam
Tabel9.1. Semua pandangan ini harus dilakukan dengan collimation
sumber sinar-X yang baik di atas area tujuan untuk meminimalkan radiasi
hamburan dan dengan detektor pencitraan sedekat mungkin dengan
kepala untuk meminimalkan degradasi gambar dari geometris magnifikasi
(Harrigan et al., 2013).
Tabel 9.1Posisi angiografi untuk target struktur anatomi secara umum
Tampilan tambahan/
Target Tampilan optimal
komentar
Carotid bifurcation Standard PA Ipsilateral
Lateral
Anterior intracranial Standard PA
Lateral
ICA cavernous segment Caldwell Haughton
Lateral
ICA ophthalmic segment Caldwell Transorbital oblique
Lateral
Posterior communicating Haughton Lateral
artery aneurysms Transorbital Oblique
ICA bifurcation Transorbital Oblique Sometimes submentoverfex
Middle cerebral artery Transorbital oblique
aneurysms submentoverfex
Middle cerebral artery Lateral with Haughton
candelabra Water with oblique
Vertebral artery origin Towne The vertebral artery arises
from the posterior aspect
of subclavian artery
Posterior circulation Water Ipsilateral oblique
Lateral
Basilar artery Water Ipsilateral oblique
Lateral Water will "elongate" the
basilar artery trunk

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 143


Tampilan tambahan/
Target Tampilan optimal
komentar
PCA, SCA, AICA, PICA Towne Towne elongates PCA.
Ipsilateral oblique helps
Lateral Caveat: Paired vessels
overlap
Basilar apex aneurysms Water Ipsilateral oblique
Lateral
ICA: internal carotid artery, PCA: posterior cerebral artey, SCA: superior
cerebellar artery, AICA: anterior inferior cerebellar artery, PICA: posterior
inferior cerebellar artery.
Sumber: Harrigan et al., 2013

9.12 Laju Frame Digital Subtraction Angiography


Kebanyakan angiografi serebral dapat dilakukan dengan 35 fps
(frames per second). Tingkat yang lebih tinggi (misalnya 820 fps)
berguna untuk pencitraan malformasi arteriovenous dan lesi high flow
lainnya. Biasanya, frame rate variable dapat digunakan untuk membatasi
dosis radiasi, karena frame rate yang lebih tinggi (3/s) dibutuhkan
dalam fase arteri, sedangkan tingkat yang lebih rendah (0,51/s) dapat
digunakan dalam fase vena. Untuk standar arteriografi serebral, sekuens
pencitraan 1012 s memungkinkan untuk visualisasi arteri, kapiler, dan
fase vena (Harrigan et al., 2013).

9.13 Prosedur Pemeriksaan DSA


Pencitraan vaskular invasif dilaksanakan berdasarkan teknik yang
diterapkan oleh Sven Seldinger pada tahun 1953. Inovasi bagus ini,
sekarang dikenal dengan nama Seldinger. Hampir semua prosedur invasif
pembuluh darah dan perangkat menggunakan teknik ini (Kaufman,2008).
Pada metode Seldinger dilakukan pertukaran kateter dan memasukkan
preshaped wire dan kateter (Gambar 9.12) (Rubin, 2009). Jika beberapa
gambar prekontras diambil sehingga dapat mencakup semua fase
siklus jantung yang berbeda maka pemilihan penutup yang sesuai akan
mengakibatkan hampir semua gambar yang penuh zat kontras akan
disajikan bebas dari artefak. Teknik yang sama dapat digunakan pada
individu-individu yang tidak mampu menahan napas untuk waktu yang
lama. Pasien seperti ini harus diminta untuk bernapas normal selama
pelaksanaan prosedur. Beberapa pengambilan gambar diperoleh sebelum
injeksi media kontras sehingga penutup yang cocok untuk distraction
yang tersedia untuk setiap fase respirasi. Teknik ini sangat cocok untuk
angiografi viseral. Pengenalan IVDSA dianggap sebagai terobosan besar dan
awalnya diprediksi akan menggantikan intra-arteri angiografi. Berdasarkan
pengalaman telah membuktikan bahwa IVDSA sering menghasilkan

144 Pencitraan pada Stroke


gambar nondiagnostik karena gerakan pasien, rendahnya cardiac output
dan pembuluh darah yang tumpang tindih. Teknik ini mungkin juga
memerlukan volume media kontras sangat banyak yang nantinya tidak
hanya membatasi jumlah film yang dapat diperiksa/diperoleh selama satu
prosedur, tetapi juga membuat teknik ini tidak sesuai untuk pasien yang bila
dilakukan pemberian zat kontras yang sangat banyak akan menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan sehingga indikasi penggunaan teknik
ini sekarang terbatas (Adam etal,2008).
Setelah pasien disiapkan, pasien diberikan injeksi bolus zat kontras
dengan menggunakan alat fast spoiled gradient-recalled sequence.
Setelah itu, DSA dilakukan setiap 0,975 detik setelah dimulainya injeksi
bolus zat kontras yaitu 15 mL gadolinium chelates (biasanya pada
8mL/detik, walaupun kecepatan yang lebih rendah digunakan bila sulit
memasukkan jarum besar) untuk durasi hingga 40 detik terutama pada
irisan sagital. Gambar terakhir sebelum kontras tiba (masking image,
kebanyakan sekitar frame kesepuluh) dipilih di cinematic display dan
dikurangi (subtracted) dari gambar selanjutnya. Pengurangan gambar
(subtraction images) dibuat dengan software komersial yang tersedia.
Sekitar 30 gambar yang dikurangi direkonstruksi kembali dalam 1 menit.
Sekitar 20 dari 30 gambar yang dikurangi difilmkan untuk keperluan
evaluasi (Adam et al., 2008).

Tahap 1 Tahap 2

Tahap 3 Tahap 4

Tahap 5 Tahap 6
Sumber: Higgs, 2005; Schummer, 2002; Seldinger 1953

Gambar 9.12Teknik Seldinger.

Pada teknik Seldinger terdapat tahap yang harus dilakukan secara


berurutan seperti yang terlihat pada gambar di atas. Tahap 1: pembuluh

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 145


darah yang diinginkan ditusuk dengan jarum berongga yang tajam disebut
trocar dan jika perlu denga panduan USG. Tahap 2: sebuah kawat
pemandu berujung bulat kemudian dimasukkan melalui lumen trocar.
Tahap 3: trocar ditarik. Tahap4: sebuah "sarung" atau kanula tumpul
sekarang dapat dilewatkan melalui kawat pemandu ke dalam pembuluh
darah. Atau, tabung drainase yang melewati kawat pemandu (seperti
pada drainase dada atau nephrostomi). Tahap5: setelah melewati
selubung atau tabung, kawat pemandu dapat ditarik. Tahap6: teknik
Seldinger selesai (Higgs, 2005; Schummer, 2002; Seldinger 1953).

9.13.1 Tusukan arteri femoralis


Arteri femoralis merupakan akses lokasi yang paling umum untuk
angiografi. Hal ini disebabkan karena arteri femoralis biasanya berada
dekat kulit (bahkan pada orang yang gemuk), cukup besar untuk
mengakomodasi alat angiografi standar, dan mudah untuk dilakukan
kompresi karena di bawahnya terdapat caput femoralis. Untuk semua
pendekatan akses arteri femoralis harus diakses melalui sepertiga tengah
atau lebih rendah dari caput femoralis untuk memfasilitasi kompresi
pada akhir prosedur. Sebuah instrumen logam tumpul dapat ditempatkan
pada kulit pada titik akses kemudian difluroskopi untuk menentukan
hubungannya dengan caput femoralis. Lokasi masuk pada kulit harus 1
sampai 2 cm lebih rendah dari lokasi masuk yang dimaksudkan ke dalam
arteri agar dapat tetap membuat sudut 45 derajat dari jarum terhadap
arteri selama tusukan (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008).
Berikut ini merupakan prosedurnya (Harrigan et al., 2013;
Kaufman,2008).
1. Mempersiapkan area lipatan paha.
2. Palpasi denyut nadi femoralis pada lipatan inguinal dan kemudian
dilakukan anestesi lokal (lidokain 12%).
Peringatan! Jangan menyuntikkan anestesi terlalu arah lateral.
Penyuntikan langsung pada saraf dapat menyebabkan neuropati
femoral yang berlangsung selama berjam-jam.
3. Membuat sayatan 5 mm sejajar dengan lipatan inguinal dengan
pisau bedah 11-blade. Hal ini untuk memfasilitasi penyisipan kateter
selama prosedur dan jalan keluar darah pada saat terjadi perdarahan
postprosedural.
4. Jarum dipegang kuat pada hub-nya dengan satu tangan, sementara
kulit difiksasi oleh ujung-ujung jari kedua dan ketiga tangan yang
lain (salah satu di atas dan satu di bawah). Jarum maju perlahan-
lahan melalui kulit pada sudut 45 derajat sampai denyut arteri dapat
dirasakan yang ditransmisi melalui jarum. Jika jarum masuk pada
arteri maka aliran darah harus berdenyut dan pancarannya kuat dari
jarum 18-gauge, tapi hanya bisa menetes pada jarum 21gauge.
5. Upayakan tusukan pada satu dinding pembuluh darah terutama jika
penggunaan heparin atau antiplatelet. Lakukan hal ini hingga darah

146 Pencitraan pada Stroke


pertama kali tampak pada stylet berongga pada jarum. Setelah itu,
jarum dimasukkan hingga 12 mm. Kemudian stylet dimasukkan
lebih dalam melampaui ujung jarum.
6. Membuat dua tusukan pada dua dinding pembuluh darah dengan
menusukkan jarum melalui kedua dinding pembuluh darah,
keluarkan stylet, dan dengan perlahan jarum ditarik hingga diperoleh
darah yang berpulsatil.
7. Ketika darah arteri dengan tanda warna merah terang berdenyut
didapatkan maka secara perlahan J-wire didorong masuk melalui
jarum sepanjang 810 cm.
8. Mengganti jarum dengan sheath 5F dan difiksasi dengan jahitan.

Femoral head Common


femoral artery

Sumber: Kaufman, 2008

Gambar 9.13Teknik untuk


melokalisasi denyut arteri
femoralis.

9.13.2. Katerisasi arteri karotis


Katerisasi arteri karotis dilakukan dengan cara seperti berikut ini.
1. Mendorong masuk kateter diagnostik melalui kawat hidrofilik pada
arkus aorta ke posisi proksimal arteri innominate.
2. Menarik kembali kawat ke dalam kateter dan kateter ditarik kembali
secara perlahan dengan ujung kateter menghadap superior sampai
ke arteri innominate. Mendorong masuk kawat ke arah superior pada
arteri karotis komunis kanan diikuti dengan kateter.
3. Untuk melakukan pada arteri karotis kiri, tarik kateter dengan lembut
dan perlahan-lahan keluar dari arteri innominate dengan kawat di
dalam kateter dan ujung menghadap ke kiri pasien sampai kateter
"klik" ke dalam arteri karotis komunis kiri. Kemudian memajukan
kawat ke superior yang diikuti dengan kateter.
4. Untuk pasien yang lebih tua (>50 tahun) dan dengan konfigurasi
arkus bovine maka kateter Simmons II sangat membantu untuk
mengakses arteri karotid komunis kiri.
5. Jika kateterisasi arteri karotis interna selektif direncanakan, pertama
melakukan angiografi sistem karotis servikal untuk memeriksa
stenosis arteri karotis interna pada setiap pasien yang memiliki risiko

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 147


aterosklerosis. Kateterisasi arteri karotis internal harus dilakukan di
bawah bimbingan road map.
6. Memutar kepala pasien menjauh dari karotid yang dikateterisasi
memungkinkan kawat dan/atau kateter untuk masuk pembuluh
darah lebih mudah.
7. Setelah karotid umum dikateterisasi, kepala diputar menjauhi sisi
yang dikaterisasi dan akan memberikan fasilitas katerisasi dari karotis
intena kemudian berpaling ke arah ipsilateral yang akan memberikan
fasilitas untuk katerisasi karotis eksternal.
8. Ketika kawat atau kateter sulit maju ke dalam pembuluh darah
tujuan maka pasien diminta untuk batuk. Hal ini sering kali sangat
membantu (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008).

9.13.3. Katerisasi arteri vertebralis


Katerisasi arteri vertebralis dilakukan dengan cara seperti berikut ini.
1. Tempatkan kateter diagnostik melalui kawat hidrofilik masuk ke
dalam arteri subklavia. Memberi kontras sedikit-sedikit secara
intermiten akan dapat membantu identifikasi asal arteri vertebralis.
2. Membuat road map dan meneruskan kawat ke dalam arteri
vertebralis sampai ujung kawat di sepertiga atas bagian servikal dari
pembuluh darah. Menempatkan kawat relatif tinggi dalam arteri
vertebralis sehingga akan mempermudah jalan majunya kateter yang
pada akhinya akan membantu meluruskan kinking dalam arteri yang
mungkin ada di dekat titik asalnya, dan juga akan memfasilitasi jalan
yang lancar dari kateter melewati pintu masuk dari arteri ke foramen
transversarium di C6. Foramen transversarium C6 merupakan tempat
arteri vertebralis membuat transisi dari yang mengambang bebas
menjadi terfiksasi dan merupakan wilayah berisiko untuk terjadinya
diseksi iatrogenik jika kateter menggores dinding pembuluh darah.
3. Selain itu, arteri vertebralis membuat sudut ke lateral di C2. Jadi
memerlukan kehati-hatian untuk tidak melukai pembuluh darah
pada lokasi tersebut dengan kawat.
4. Setelah kawat dikeluarkan dan dilakukan pembilasan ganda
kemudian dilakukan angiogram dengan ujung kateter. Hal ini untuk
memeriksa ada tidaknya diseksi pembuluh darah selama kateterisasi.
5. Ketika pembuluh darah kinking maka pasien diminta untuk
memiringkan kepalanya menjauhi arteri vertebralis yang dikaterisasi.
(Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008).

9.13.4 Manajemen lokasi tusukan arteri femoralis


Standar emas untuk manajemen arteriotomi setelah angiogram
adalah kompresi manual.
1. Lepaskan sheath dan berikan tekanan pada daerah inguinal 1-2 cm
lebih superior dari kulit incisi.

148 Pencitraan pada Stroke


2. Berikan tekanan sekitar 15 menit. Untuk pasien yang mendapat
terapi aspirin dan/atau clopidogrel maka waktu yang dibutuhkan
lebih lama, biasanya sekitar 40 menit.
3. Pada akhir periode waktu, tekanan pada daerah inguinal dilepaskan
perlahan-lahan kemudian diberikan balutan yang memberi tekanan.
4. Chito-seal pada (Abbott Laboratories, Abbott Park, IL) dan
Syvek NT Patch (Marine Polymer Technologies, Inc., Danvers,
MA) merupakan agen hemostatik topikal yang dapat diterapkan
untuk sayatan setelah pengangkatan selubung untuk mempercepat
hemostasis.
5. Sebuah balon kompresi (FemoStopplus Femoral Compression
System, Radi Medical Systems, Wilmington, MA) dapat menekan
lokasi, tapi balon harus dikempiskan setelah 1 jam untuk mencegah
cidera tekanan pada kulit.
6. Setelah kompresi, pasien harus tetap pada posisi supine selama
5 jam, kemudian diperbolehkan ambulasi, tetapi tetap di bawah
observasi keperawatan untuk 1 jam sebelum keluar dari rumah sakit.
(Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008)

9.13.5. Vascular closure devices


Kompresi manual merupakan "standar emas" dalam mencapai
hemostasis dari lokasi arteriotomi. Namun demikian, kompresi
manual dibatasi oleh lamanya proses antikoagulan sehingga perlunya
tirah baring yang lebih lama, ketidaknyamanan pasien, dan tuntutan
waktu bagi penyedia layanan kesehatan. Sementara itu, perangkat
penutupan vaskular (VCD) dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan
memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk hemostasis, ambulasi, dan
mempercepat waktu keluar dari rumah sakit (Schwartz et al., 2010).
Selain itu, VCD sangat berguna terutama pada pasien yang juga mendapat
terapi antiplatelet atau antikoagulan. Namun demikian, terdapat risiko
yang lebih besar dari komplikasi dengan penggunaan VCD. Pada analisis
secara keseluruhan lebih disukai kompresi mekanik daripada VCD dalam
meta-analisis untuk menilai keamanan VCD pada pasien yang menjalani
prosedur koroner perkutan (Harrigan et al., 2013). Komplikasi vaskular
yang mungkin terjadi antara lain perdarahan daerah paha (hematoma,
penurunan hemoglobin 3 g/dl, perdarahan retroperitoneal, atau perforasi
arterial), pseudoaneurisma, arteriovenous fistula formation, obstruksi
atau infeksi (Smilowitz et al., 2012).
Beberapa vascular closure devices (VCD) untuk arteri femoralis
antara lain sebagai berikut.
1. Perclose Pro-glide (Abbott Vascular, Abbott Park, IL, Inc.).
a. Metode penutupan: jahitan prolin yang ditempatkan di
arteriotomi. Dilakukan pada angiogram arteri femoralis dimana
lokasi tusukan harus minimal 1 cm dari cabang utama pembuluh
darah, seperti bifurkasio arteri femoralis.

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 149


b. Keuntungannya: arteri yang sama dapat kembali ditusuk segera
jika diperlukan.
2. Angio-Seal (St. Jude Medical, St. Paul, MN).
a. Metode penutupan: perangkat ini akan membuat mechanical
seal dengan mengapit arteriotomi antara jangkar bioabsorbable
dan spons kolagen (larut dalam 60-90 hari). Dapat digunakan
pada tempat percabangan arteri femoralis.
b. Jika perlu dilakukan tusukan ulang dari arteri femoralis yang
sama dalam waktu 90 hari maka lokasi masuk tusukan yang
baru harus 1 cm proksimal ke lokasi tusukan sebelumnya.
3. Mynx Cadence (AccessClosure, Mountain View, CA).
Perangkat ini menempatkan sebuah sealant glycolic pada lokasi
arteriotomi tersebut. (Smilowitz et al., 2012).

9.13.6. Manajemen post angiografi


Beberapa hal yang harus diperhatikan pada manajemen post
angiografi antara lain sebagai berikut.
1. Tirah baring dengan kaki yang diluruskan, jarak kepala 30 dari
tempat tidur selama kurang lebih 5 jam, kemudian turun dari tempat
tidur selama 1 jam (jika device vasculur closer digunakan maka tirah
baring dengan kepala berjarak 30 dari tempat tidur selama 1 jam
kemudian turun dari tempat tidur selama 1 jam).
2. Evaluasi tanda-tanda vital setiba di ruang pemulihan kemudian setiap
1 jam sampai pasien keluar dari rumah sakit. Perlu penanganan
lebih lanjut jika tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan
25 mmHg, dan nadi > 120.
3. Periksa lokasi tusukan dan denyut nadi distal saat tiba di ruang
pemulihan kemudian cek ulang setiap 15 menit sebanyak 4x, setiap
30 menit sebanyak 2x, dan setiap 1 jam sampai pasien keluar dari
rumah sakit. Perlu penanganan lebih lanjut jika:
a. perdarahan atau hematoma pada lokasi tusukan
b. denyut nadi distal tidak teraba
c. ekstremitas dingin atau berwarna biru
4. Periksa lokasi tusukan setelah ambulasi.
5. Cairan intravena: normal saline (0,9% NaCl) pada tingkat
pemeliharaan sampai pasien rawat jalan.
6. Lanjutkan diet pra-angiogram.
7. Melanjutkan obat rutin.
8. Cairan per oral 400 mL. (Harrigan et al., 2013; Kaufman, 2008)

9.13.7. Pertimbangan angiografi pada kondisi tertentu


Beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk angiografi antara
lain sebagai berikut.

150 Pencitraan pada Stroke


1. Pasien yang menerima terapi heparin: pemberian heparin harus
dihentikan 6 jam sebelum angiogram.
Jika kondisi urgent maka angiogram masih dapat dillakukan pada
pasien yang mendapat terapi atau koagulopati dengan risiko minimal.
Tusukan awal harus dilakukan dengan satu set mikropunktur untuk
meminimalkan potensi perdarahan.
2. Warfarin
Warfarin adalah obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penggumpalan darah atau trombosis. Trombosis adalah
suatu keadaan terjadinya penggumpalan darah yang tidak normal
di dalam pembuluh darah sehingga mengganggu sirkulasi darah di
dalam tubuh manusia.
3. Pasien yang mengkonsumsi metformin. Metformin terkait dengan
laktat asidosis namun jarang terjadi, tetapi telah dilaporkan
memiliki tingkat kematian sebesar 50%. Penggunaan metformin
boleh dilanjutkan 48 jam setelah prosedur dan setelah hasil serum
kreatinin tidak berubah. Prosedur angiogram ini dapat dilakukan
bahkan jika pasien telah mengkonsumsi metformin sebelumnya pada
hari yang sama dengan dilakukannya prosedur angiogram. Meskipun
penggunaan metformin tampaknya dikaitkan dengan asidosis
laktat, sebuah artikel sistematis telah mempertanyakan apakah ada
hubungan sebab akibat atau tidak.
4. Trombositopenia. Jumlah platelet minimal untuk angiografi adalah
75,000/mL.
5. Pasien diabetes. Pasien dengan terapi insulin: mengurangi dosis
insulin menjadi setengah dari dosis biasanya pada pagi hari saat
dilakukan angiografi ketika pasien berpuasa. Lakukan prosedur
seawal mungkin di hari tersebut dan kemudian diet seperti biasa dan
insulin harus dilanjutkan.
6. Pasien hamil: kadang-kadang angiogram kateter sangat diperlukan
misalnya dalam kasus trauma kepala dan leher dengan kemungkinan
cidera vaskular, epistaksis spontan, dan AVM intrakranial. Angiografi
serebral dapat dilakukan dengan aman selama kehamilan.
a. Informed consent dari pasien atau walinya harus mencakup
risiko secara teoritis terhadap cidera pada janin.
b. Perlindungan terhadap uterus dengan apron timbal, dosis
maksimal kepada janin kurang dari 0,1 rem selama angiografi
serebral. Secara umum, malformasi janin hanya terjadi jika dosis
ambang di atas 100200 mGy (~ 1020 rem).
c. Agen kontras iodin secara fisiologis tidak bereaksi dan
menimbulkan sedikit risiko bagi janin.
d. Memberikan hidrasi yang cukup untuk menghindari dehidrasi
janin.
e. Fluoroskopi: minimalkan waktu dan pulsa/s selama prosedur.

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 151


f. Pasien anak-anak: menggunakan modalitas pencitraan non-
invasif bila memungkinkan. Meskipun komplikasi neurologis
jarang terjadi, anak-anak memiliki tingkat komplikasi akses
femoralis lebih tinggi daripada orang dewasa. Dalam serangkaian
176 angiogram serebral anak, tidak ada komplikasi neurologis
terjadi tetapi komplikasi lokasi tusukan (pangkal paha hematoma,
perdarahan, atau denyut nadi distal lemah) terjadi pada 4,5%.

9.14 Komplikasi Pemeriksaan DSA


Sementara angka komplikasi yang timbul sangat bervariasi, namun
dari rangkuman beberapa jurnal yang terbit pada tahun 20002010,
angka komplikasi keseluruhan berkisar antara 0,05%4,5% dimana
85%90% dari angka tersebut bersifat reversibel. Komplikasi yang paling
parah (selain kematian) adalah terjadinya stroke (iskemia/perdarahan),
trans ischemic attack, gangguan orientasi, lalu disusul hematoma, luka
pada bidang tindakan yang tidak kunjung sembuh, dan nyeri pada lokasi
bekas tindakan (Usman, 2012).

9.14.1 Komplikasi neurologis


Komplikasi neurologis pada angiografi serebral yang paling sering
terjadi antara lain kejadian iskemia otak yang terjadi sebagai akibat
dari tromboemboli atau emboli udara dari kateter dan kawat. Penyebab
lainnya adalah gangguan plak aterosklerotik dan diseksi pembuluh
darah. Komplikasi neurologis yang jarang meliputi kebutaan kortikal
sementara dan amnesia. Dalam analisis prospektif dari 2.899 angiogram
serebral diagnostik, Willinsky dan rekan melaporkan tingkat keseluruhan
komplikasi neurologis sekitar 1,3%. Dari jumlah tersebut 0,9% adalah
sementara atau reversibel dan 0,5% permanen. The Asymptomatic
Carotid Atherosclerosis Study (ACAS) melaporkan tingkat komplikasi
neurologis sekitar 1,2% dengan angiografi. Risiko komplikasi tampaknya
berhubungan dengan proses penyakit yang mendasarinya. Pasien dengan
penyakit aterosklerosis karotis memiliki risiko komplikasi neurologis
dengan angiografi serebral yang lebih tinggi. Faktor risiko lain untuk
komplikasi neurologis termasuk kejadian iskemia otak, usia lanjut, waktu
prosedur angiografi yang lama, dan diagnosis hipertensi, diabetes atau
gagal ginjal (Harrigan, et al., 2013).
Risiko komplikasi neurologis pada pasien dengan perdarahan
subarachnoid, aneurisma intrakranial, dan malformasi arteriovenosa
ditemukan relatif rendah dalam meta-analisis studi prospektif angiografi.
Untuk pasien ini, tingkat keseluruhan komplikasi neurologis adalah
sebesar 0,8%, dan tingkat komplikasi neurologis permanen adalah
0,07%. The Joint Standards of Practice Task Force of the Society of
Interventional Radiology, the American Society of Interventional and

152 Pencitraan pada Stroke


Therapeutic Neuroradiology dan the American Society of Neuroradiology
memberi ulasan mengenai komplikasi yang dilaporkan dalam seri klinis
dan menghasilkan pedoman untuk tingkat kemungkinan komplikasi
dalam neuroangiografi (Tabel 9.2). Angka-angka dalam pedoman ini
dapat dikutip untuk kepentingan informed consent pasien (Harrigan
etal,2013).
Tabel 9.2Tingkat kemungkinan komplikasi dalam neuroangiografi
Komplikasi yang
diperkirakan-ambang
batas spesifik (%)
Komplikasi Defisit neurologis reversibel 2.5
neurologis
Defisitneurologis permanen 1
Komplikasi non- Gagal ginjal 0.2
neurologis
Oklusi arteri yang membutuhkan 0.2
bedah trombektomi atau
trombolisis
Fistula arteriovenosus/ 0.2
pseudoaneurisma
Hematoma yang memerlukan 0.5
transfusi atau evakuasi bedah
Semua komplikasi 2
utama
Sumber: Harrigan et al., 2013

9.14.2 Komplikasi non-neurologis


Komplikasi non-neurologis angiografi serebral melalui arteri femoral
meliputi hematoma pangkal paha dan retroperitoneal, reaksi alergi,
pseudoaneurisma arteri femoral, tromboemboli dari ekstremitas bawah,
nefropati, dan emboli paru. Dalam review 2.899 angiografi serebral,
hematoma terjadi pada 0,4% dari prosedur, reaksi alergi kutaneus terjadi
pada 0,1%, dan pseudoaneurisma sekitar 0,03% dari prosedur (Harrigan
et al., 2013).

9.15 Gambar Hasil DSA


Gambar yang diperoleh secara digital dapat ditampilkan sebagai
gambar asli atau dikurangi (subtracted) dan gambar positif atau negatif
(tulang tampak hitam, udara tampak putih, atau tulang tampak putih
dan udara tampak hitam). Dengan subtraksi digital, intensitas tiap pixel
dan pada tiap frame pertama kali dirubah menjadi bentuk logaritmik
dan kemudian disubtraksi dari gambar yang disamarkan secara digital

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 153


kemudian menghasilkan perbedaan gambar. Jika pasien diam dan tidak
ada yang disuntikkan, tidak ada perbedaan gambar (blank). Dengan
mengosongkan latar belakang, DSA mencapai sensitivitas yang lebih
besar daripada gambar asli. Kontras yang disuntikkan dapat dilihat
sebagai gambaran hitam dengan latar belakang putih kosong, atau
sebaliknya (Gambar 9.14). Teknik subtraksi, sering bermasalah dengan
adanya sejumlah artefak. Mungkin yang paling sering ditemui adalah
artefak gerak. Gerakan latar belakang yang seragam tidak menyebabkan
artefak, tetapi latar belakang dari tubuh manusia jelas tidak mungkin
seragam (Rubin, 2009).

A B

C D
Sumber: Rubin, 2009

Gambar 9.14Kateter angiogram yang diperoleh secara digital.

Gambar yang sama dapat ditampilkan sebagai: gambar asli


dengan gambar objek warna hitam dengan latar belakang putih kosong
(A); gambar negatif terbalik (inverted negative image) (B); digitally

154 Pencitraan pada Stroke


subtracted(C); atau gambar yang disubtraksi dan dibalik (subtracted and
inverted) (D) (Rubin, 2009).
Pada pemeriksaan DSA, perhatian khusus harus diberikan pada
penghapusan artefak gerakan. Gerakan pernapasan perlu dikontrol
(penggunaan klip-hidung dapat membantu) dan dalam kasus pemeriksaan
perut dan panggul, efek buang air besar dapat diminimalkan dengan
penggunaan agen paralitik. Akuisisi palsu yang banyak merupakan teknik
sederhana dan sering kali terabaikan untuk mencegah efek dari gerakan
yang tak bisa dihentikan seperti artefak di paru yang dihasilkan oleh
arteriogram gerak jantung (Adam et al., 2008).

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 155


1 Internal carotid artery Cervical segment
2 Internal carotid artery Vertical petrous segment
3 Internal carotid artery Horizontal petrous segment
4 Presellar (Fischer C5) segment internal carotid artery
6 Horizontal (Fischer C4) intracavernous internal carotid artery
9 Ophithalmic artery
10 & 11 Proximal and distal supradinoid segmet internal carotid artery
12 Posterior communicating artery
13 Anterior choroidal arteries
14 Internal carotid artery bifurcation
15A1 Segment of anterior cerebral artery
17 Recurrent artery of Heubner
20 Proximal A2 segment anterior cerebral artery
21 Callosomarginal branch of anterior cerebral artery
28 Pericallosal branch of anterior cerebral artery
31 M1 segment of middle cerebral artery
32 Lateral lenticulostriate arteries
33 Bifurcation/trifurcation of middle cerebral artery
35 Orbitofrontal branch of middle cerebral artery
Tampak samping 43 Sylvian point
44 Opercular branches of middle-cerebral artery
45 Sylvian (insular) branches of middle cerebral artery

1 Vertebral artery
2 Posterior inferior cerebellar artery
2v Vermian branch of PICA
2h Hemispheric branch of PICA
3 Basilar artery
4 Anterior inferior cerebellar artery (AICA)
5 Superior cerebellar artery (SCA)
5h Hemispheric branch of SCA
6 Posterior cerebral artery (SCA)
6.2 P2 Segment of posterior cerebral artery
7 Posterior communicating artery
8 Posterior temporal branch of PCA
9 Parieto-occipital branch of PCA
10 Calcarine branch of PCA
11 Anterior thalamoperforators
12 Posterior thalamoperforators
13m Medial posterior choroidal arteries
13L Lateral posterior choroidal arteries
14 Vertebral-basilar junction
15 Splenial branch (posterior pericallosal artery) of PCA
17 Anterior spinal artery
Tampak depan ** Region of quadrigeminal plate cistern
Sumber: Rubin, 2009

Gambar 9.15Gambaran normal otak angiogram DSA.

Rangkuman
1. Seiring dengan perkembangan teknologi dalam perangkat
keras, perangkat lunak, dan teknologi analisa gambar maka
computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance
angiography (MRA), dan digital subtraction angiography
(DSA) sekarang telah menjadi garda depan pencitraan
pembuluhdarah.
2. Serebral DSA yaitu modifikasi cerebral angiografi yang
merupakan suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan
kontras ke arah pembuluh darah menuju otak yang akan
diperiksa melalui kateter.

156 Pencitraan pada Stroke


3. Hasil pemeriksaan serebral DSA ini sangat komprehensif dalam
memberikan informasi tentang vaskularisasi otak dan tetap
menjadi standar emas untuk mengevaluasi kelainan pembuluh
darah otak, terutama stenosis arteri, malformasi arteriovenosa
(AVM) dan aneurisma otak.
4. Terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasi dalam
pemeriksaan dengan DSA. Indikasinya antara lain diagnosis
penyakit neurovaskular primer, membantu mencari etiologi
penyebab perdarahan, merencanakan prosedur neurointervensi,
dan lainnya. Tidak ada kontraindikasi absolut untuk diagnostik
angiografi kateterisasi serebral.
5. Beberapa evaluasi preprosedur untuk pemeriksaan DSA yaitu
pasien harus ditanya tentang gejala dan tanda-tandanya
sehingga diperoleh indikasi untuk pemeriksaan ini, pemeriksaan
neurologis singkat harus dilakukan untuk mendapatkan data
dasar mengenai perubahan neurologis terjadi selama atau
setelah prosedur, pemeriksaan darah yang meliputi kadar serum
kreatinin dan parameter koagulasi harus ditinjau.

Bab 9 Mengenal Digital Substraction Angiography 157


158 Pencitraan pada Stroke
Bab 10
Mengenal Computed Tomographic
Angiography

C
omputed Tomographic Angiography (CTA) merupakan salah satu
terobosan dalam bidang radiologi diagnostik.

10.1 Apakah CTA itu?


CTA dikembangkan setelah munculnya CT scan spiral (heliks)
yang pertama kali ditemukan di awal tahun 1990-an. CT scan spiral
memungkinkan melakukan pencitraan tubuh dalam waktu yang cepat
sehingga dapat menangkap zat kontras yang disuntikkan dalam sekali
waktu pencitraan. Sejak dikenal
kannya teknologi multidetector-row,
CTA menjadi teknik standar yang mudah dilakukan dalam pencitraan
pembuluh darah.

159
Sumber: Dokumen pribadi

Gambar 10.1Pesawat CT scan yang digunakan untuk pemeriksaan CTA.

Computerized tomographic angiography disebut juga CT angiografi


atau CTA adalah sebuah tes yang menggabungkan antara teknologi dari
CT scan konvensional dengan angiografi tradisional untuk menghasilkan
gambar pembuluh darah dalam tubuh secara detail (Gambar 10.1)
(Vascular Web, 2009).

10.2 Inilah Komponen CTA


Angiografi dilakukan dengan menggunakan:
- Sinar-X dengan kateter
- Computed tomography (CT)
(Radiology Info, 2015)

CT angiografi menggunakan CT scanner untuk menghasilkan gambar


detail baik untuk pembuluh darah dan berbagai jaringan di bagian tubuh.
Bahan kontras kaya yodium (pewarna) biasanya disuntikkan melalui
kateter kecil dan ditempatkan di vena lengan. Setelah itu, dilakukan CT
scan, sementara kontras mengalir melalui pembuluh darah ke berbagai
organ tubuh. Setelah scanning, gambar akan diproses menggunakan
komputer dan perangkat lunak khusus dan direview pada berbagai bidang
dan proyeksi (Radiology Info, 2015).
CT scanner biasanya berbentuk kotak atau bulat besar dengan
lubang atau lorong pendek di tengah. Pasien akan berbaring di meja
pemeriksaan sempit yang bisa digeser ke dalam dan keluar dari lorong.
Tabung sinar-X akan mengelilingi pasien dan elektronik detektor sinar-X
terletak berseberangan satu sama lain dalam sebuah cincin yang disebut
gantry. Komputer yang memproses informasi pencitraan terletak di ruang

160 Pencitraan pada Stroke


kontrol terpisah, di mana seorang teknisi mengoperasikan pemindai dan
memonitor pemeriksaan pasien (Radiology Info, 2015).

1. Lorong (lubang) gantri


2. Mikrofon
3. Garis arah sinar laser
sagital
4. Lampu panduan
pasien
5. Indikator lampu
pencahayaan sinar-X
6. Tombol darurat stop
7. Kontrol panel gantri
8. Garis arah lampu laser
eksternal
9. Meja pasien
10. Monitor ECG gating
Sumber: AndyC, 2010
Gambar 10.2Bagian-bagian mesin CT scan.

10.3 Apakah Kegunaan CTA?


Selama bertahun-tahun, CTA bersama dengan MRA menggantikan
hampir pada semua prosedur diagnostik pembuluh darah dari yang
sebelumnya yaitu kateter angiografi invasif. Pertama kali, CTA digunakan
untuk pencitraan aorta dan arteri pulmonalis, kemudian arteri karotis,
arteri renalis, dan arteri splanknik. Saat ini, penggunaan CTA sudah
mulai digunakan pada arteri perifer dan sirkulus Willisi. Perkembangan
terkini, CTA sedang dikembangkan untuk pencitraan arteri koroner (Rubin
etal.,2009).

Sumber: Rubin et al., 2009


Gambar 10.3Gambaran normal arteri otak dengan CTA

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography 161


Dokter menggunakan CTA untuk mendiagnosis dan mengevaluasi
banyak penyakit pembuluh darah dan kondisi terkait seperti cedera,
aneurisma, penyumbatan (termasuk dari bekuan darah atau plak),
pembuluh darah yang tidak teratur dan pasokan darah ke tumor bawaan
(terkait kelahiran), kelainan jantung, pembuluh darah atau berbagai
bagian tubuh yang mungkin dipasok oleh pembuluh darah abnormal
(Radiology Info, 2015).
Selain itu, dokter juga menggunakan CTA untuk berbagai keperluan
seperti:
- Untuk memeriksa pembuluh darah setelah operasi
- Untuk mengidentifikasi kelainan seperti aneurisma, di aorta, baik di
dada dan perut, atau di arteri lain,
- untuk mendeteksi aterosklerosis (plak) penyakit arteri karotis leher
yang dapat membatasi aliran darah ke otak dan menyebabkan
stroke.
- Untuk mengidentifikasi aneurisma kecil atau malformasi arteri
(hubungan abnormal antara pembuluh darah) di dalam otak atau
bagian lain dari tubuh.
- mendeteksi penyakit aterosklerosis yang telah mempersempit
arteri ke kaki dan membantu mempersiapkan untuk intervensi
endovaskular atau operasi.
(Radiology Info, 2015).

10.4 Prinsip Kerja Mesin CTA


Dalam banyak hal, prinsip kerja CT scan` sangat mirip dengan
pemeriksaan sinar-X lainnya. Sinar-X adalah bentuk radiasi seperti cahaya
atau gelombang radio yang dapat diarahkan pada tubuh. Bagian tubuh
yang berbeda menyerap sinar-X dalam derajat yang berbeda. Dalam
pemeriksaan sinar-X konvensional, sejumlah kecil radiasi diarahkan
dan melewati tubuh, merekam gambar pada piringan perekam gambar
khusus. Tulang tampak putih pada sinar-X, jaringan lunak, seperti organ-
organ seperti jantung atau hati, muncul dalam warna abu-abu dan udara
tampak hitam (Radiology Info, 2015).

Sumber: Tasfir, Abel. 2012


Gambar 10.4Bagan prinsip kerja CT scanner.

162 Pencitraan pada Stroke


Dengan menggunakan tabung sinar-X sebagai sumber radiasi yang
berkas sinarnya dibatasi oleh kollimator, sinar-X menembus tubuh dan
diarahkan ke detektor. Intensitas sinar-X yang diterima oleh detektor
akan berubah sesuai dengan kepadatan tubuh sebagai objek. Sementara
itu, detektor akan merubah berkas sinar-X yang diterima menjadi arus
listrik, dan kemudian diubah oleh integrator menjadi tegangan listrik
analog. Tabung sinar-X tersebut diputar dan sinarnya diproyeksikan dalam
berbagai posisi. Besar tegangan listrik yang diterima diubah menjadi
besaran digital oleh analog ke digital converter (A/D converter) yang
kemudian dicatat oleh komputer. Selanjutnya diolah dengan menggunakan
image processor dan akhirnya dibentuk gambar yang ditampilkan ke layar
monitor TV. Gambar yang dihasilkan dapat dibuat ke dalam film dengan
multi imager atau laser imager (Tasfir, Abel. 2012).
Sebuah sinar sempit (narrow beam) yang dihasilkan oleh sinar-X
didadapatkan dari perubahan posisi dari tabung sinar-X, hal ini juga
dipengaruhi oleh collimator dan detektor. Secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut :

Tabung Filter Collimator


Sinar-X
Objek

Collimator Collimator
Sumber: Tasfir, Abel. 2012

Gambar 10.5Collimator dan detektor.

Sinar-X yang telah dideteksi oleh detektor kemudian dikonversi


menjadi arus listrik yang kemudian ditransmisikan ke komputer dalam
bentuk sinyal melaui proses berikut:

Preamp Logger Logger


Detektor A/D convertor
CPU

Konversi dari intensitas


yang diterima melalui
sinar-X menjadi energi Energi foto -> arus listrik
foto.
Sumber: Tasfir, Abel. 2012
Gambar 10.6Proses pembentukan citra.

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography 163


Setelah diperoleh arus listrik dan sinyal aslinya, maka sinyal tadi
dikonversi ke bentuk digital menggunakan A/D convertor agar sinyal
digital ini dapat diolah oleh komputer sehingga membentuk citra yang
sebenarnya. Hasilnya dapat dilihat langsung pada monitor komputer
ataupun dicetak ke film (Tasfir, Abel. 2012).
Dengan CT scan, sorotan sinar-X dan satu set detektor elektronik
sinar-X berputar di sekitar pasien, mengukur jumlah radiasi yang diserap
oleh seluruh tubuh pasien. Pada saat yang sama, meja pemeriksaan
bergerak melalui scanner sehingga sorotan sinar-X mengikuti garis edar
spiral. Sebuah program komputer khusus memproses volume data yang
besar untuk dibuat gambar penampang (irisan) dua dimensi dari tubuh
pasien yang kemudian ditampilkan pada monitor. Teknik ini disebut heliks
atau spiral CT (Radiology Info, 2015).
Ketika irisan gambar dipasang kembali oleh perangkat lunak
komputer, hasilnya adalah pandangan tiga dimensi interior tubuh yang
sangat detail. Ketika bahan kontras dimasukkan ke aliran darah selama
prosedur, bahan kontras tersebut membuat pembuluh darah terlihat
jelas. Pada pemeriksaan tersebut pembuluh darah tampak putih cerah
(Radiology Info, 2015).

10.5 Persiapan Sebelum Pemeriksaan CTA


Pasien harus mengenakan pakaian nyaman dan pakaian longgar
untuk pemeriksaan. Biasanya, rumah sakit akan memberikan baju khusus
untuk dikenakan selama prosedur. Benda logam, termasuk perhiasan,
kacamata, gigi palsu dan jepit rambut, dapat mempengaruhi gambar
CT dan harus ditanggalkan atau dilepas sebelum pemeriksaan. Pasien
juga diminta untuk melepas alat bantu dengar dan benda-benda yang
berhubungan dengan perawatan gigi. Untuk pasien wanita akan diminta
untuk melepas bra yang mengandung logam. Selain itu, pasien juga
diminta untuk melepaskan setiap tindikan jika memungkinkan (Radiology
Info, 2015).
Pasien akan diminta untuk tidak makan atau minum apa pun selama
beberapa jam sebelumnya karena akan digunakan bahan kontras untuk
pemeriksaan. Pasien harus memberi tahu dokter tentang semua jenis obat
yang sedang dikonsumsi dan pasien perlu menceritakan apakah ia alergi
atau tidak. Jika pasien diketahui memiliki alergi terhadap bahan kontras
atau "pewarna," dokter mungkin meresepkan obat (biasanya steroid) untuk
mengurangi risiko reaksi alergi. Obat-obatan ini umumnya perlu diminum
12 jam sebelum pemberian bahan kontras (Radiology Info, 2015).
Untuk menghindari penundaan yang tidak perlu, pasien sebaiknya
menghubungi dokter sebelum waktu pemeriksaan. Selain itu, pasien juga
perlu menginformasikan adanya penyakit baru atau kondisi medis lainnya
dan apakah memiliki riwayat penyakit jantung, asma, diabetes, penyakit

164 Pencitraan pada Stroke


ginjal atau masalah tiroid. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko efek
buruk yang tidak biasa (Radiology Info, 2015).
Wanita harus selalu menginformasikan kepada dokter mereka dan
teknisi CT jika ada kemungkinan hamil. Jika pasien sedang menyusui
pada saat pemeriksaan, maka ia harus bertanya kepada dokter bagaimana
untuk melanjutkan. Hal ini dapat membantu untuk memompa ASI
sebelum waktu pemeriksaan dan tetap aman digunakan setelah bahan
kontras telah dibersihkan dari tubuh pasien yaitu sekitar 24 jam setelah
pemeriksaan (Radiology Info, 2015).

10.6 Prosedur Pemeriksaan CTA


Persiapan pasien yang matang merupakan prasyarat pemeriksaan
CTA pembuluh darah otak. Pada pasien yang dalam keadaan bingung,
irritable, atau tidak kooperatif harus dilakukan imobilisasi kepala dengan
isolasi atau pemberian sedatif kerja singkat untuk mengurangi artefak
akibat gerakan kepala (Rubin et al., 2009).
Untuk mendapatkan opasifitas vaskular yang homogen harus
menggunakan power injektor dengan kecepatan injeksi 3 sampai 5 mL
per detik. Untuk semua pemeriksaan neurovaskular, material kontras
sebanyak 80100 mL biasanya sudah adekuat. Dengan MultidetectorCT
(MDCT), dosis dapat dikurangi khususnya pada pemeriksaan volume
anatomi kecil (misalnya pada pemeriksaan sirkulus Willisi) yang
dicitrakan dengan kecepatan akuisisi yang tinggi ( misal 16 irisan CT).
Untuk meyakinkan bahwa material kontras didorong melalui sistem vena
melewati akhir injeksi kontras sebenarnya, bolus cairan salin (misalnya
40mL, kecepatan injeksi 35 mL per detik, sama seperti yang digunakan
pada media kontras) harus diinjeksikan segera setelah pemberian kontras
(Rubin et al., 2009).
Pencitraan hanya boleh dilakukan pada saat fase plateau
enhancement pembuluh darah. Oleh karena besar variasi waktu sirkulasi
setiap pasien dapat diketahui maka sinkronisasi pencitraan yang dimulai
dengan datangnya zat kontras dalam arteri otak harus direncanakan
secara per individual. Sinkronisasi penting untuk meyakinkan zat kontras
berfungsi maksimal di dalam pembuluh darah bila CT irisan tunggal
digunakan. Akan tetapi menjadi lebih penting lagi bila MDCT digunakan
untuk menginginkan pencitraan arteri dengan sedikit atau tidak ada
tumpang tindih vena dan memberikan waktu transit arteri vena di dalam
otak sekitar 6-8 detik (Rubin et al., 2009).
Untuk tujuan sinkronisasi, terdapat dua metode. Pertama, injeksi tes
bolus yaitu dengan cara memasukkan zat kontras dalam jumlah sedikit
(1520mL). Setelah ditunggu sekitar 10 detik, pencitraan dosis rendah
yaitu CT scan pada tingkat midservikal atau pada tingkat sinus frontalis
(misalnya 15 irisan pada kecepatan satu gambar per detik) dilakukan
untuk menentukan datangnya waktu tes bolus. Berdasar pada waktu

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography 165


kedatangan tes bolus, pemeriksaan CTA dapat direncanakan secara
adekuat dan berdasar atas fisiologi masing masing individu. Oleh karena
itu, dengan tes bolus, diperlukan dua injeksi terpisah, salah satunya
untuk penilaian waktu kedatangan yang diikuti oleh pencitraan diagnostik
dengan zat kontras dosis penuh (Rubin et al., 2009).
Untuk pencitraan sistem vena, tidak diperlukan penyesuaian timing
individual. Biasanya, pencitraan dimulai 30 detik setelah zat kontras
dimasukkan, dimana opasifitas yang baik dapat mencapai vena otak dan
sinus. Pencakupan volume yang diperiksa tergantung pada permintaan
klinis. Untuk pencitraan arteri serebral, protokol standar meliputi
arkus anterior tulang C1 sampai atas sinus frontalis. Tergantung pada
permintaan klinisnya, pencitraan sampai potongan sentral (misalnya
untuk pencitraan stenosis arteri serebri media) atau bahkan dapat meluas
meliputi pembuluh darah servikal. Sementara itu, untuk pencitraan vena,
seluruh kepala diperiksa. Protokol untuk melakukan pemeriksaan CTA
tergantung pada detail alat yang akan digunakan (Rubin et al., 2009).

10.7 Indikasi dan Kontraindikasi Pemeriksaan CTA


Berikut ini akan dijelaskan bagaimana indikasi dan kontraindikasi
pemeriksaan CTA.

10.7.1 Indikasi Pemeriksaan CTA


Tujuan utama pemeriksaan CTA adalah untuk mengetahui status
arteri intrakranial dan servikal guna mendeteksi tempat oklusi, dapat
menggambarkan diseksi arteri, untuk mengetahui kualitas aliran darah
kolateral, dan mengetahui penyakit aterosklerotis. Informasi ini dapat
membantu memprediksi lokasi dan keberadaan infark pembuluh darah
secara akurat serta dapat membantu ahli neuroradiologi dalam memandu
sebelum melakukan trombolisis intraarterial. Selain itu, CTA juga penting
untuk mendeteksi trombosis sistem vertebrobasilar karena keberadaanya
yang sulit dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan CT tanpa kontras
(de Lucas et al., 2008).
Indikasi klinis pemeriksaan CTA antara lain sebagai berikut (de Lucas
et al., 2008).
a. Evaluasi dugaan kelainan stenotik/oklusif arteri serebral dan arteri
pre-serebral yang dapat menyebabkan TIA dan CVA bilamana
pemeriksaan pencitraan lainnya kurang memberikan informasi.
b. Kecurigaan adanya gangguan sistem vertebrobasilar pada pasien
dengan gejala yang mengarah pada gangguan vertebrobasilar
(misalnya hilangnya pandangan binokular, vertigo, disartria, dan
diplopia).
c. Traumatic vascular injury.
d. Dugaan adanya trombosis pada pembuluh darah besar atau sinus
dura.

166 Pencitraan pada Stroke


e. Perdarahan subarachnoid, subdural, dan perdarahan intraserebral
oleh akibat trauma maupun aneurisma serebral.
f. Curiga adanya AVM.
g. Anomali kongenital sirkulasi serebral atau karotis.
h. Abnormalitas pembuluh darah pada penyakit sickle cell.
i. Dugaan obstruksi dan atau invasi sinus dura.

10.7.2 Kontraindikasi Pemeriksaan CTA


Penggunaan zat kontras intravaskular pada CTA dapat menimbulkan
kontraindikasi pencitraan sebagai berikut (de Lucas et al., 2008).
~~ Adanya riwayat alergi zat kontras atau pada pemberian kontras
sebelumnya.
~~ Gangguan fungsi ginjal, bila diperlukan pemberian zat kontras
terionisasi.
~~ Penderita penyakit multipel mieloma.

10.8 Apakah Keuntungan dan Risiko Penggunaan CTA?


CTA mempunyai kelebihan
yaitu dapat distandarkan sehingga
menjadikannya sebagai teknik pilihan
pada kasus-kasus pem buluh darah
akut. CTA memberikan informasi
tiga dimensi dengan resolusi spasial
yang tinggi dan mampu memberikan
evaluasi lumen pembuluh darah
beserta dinding pembuluh darahnya
dan struktur jaringan sekitar secara
simultan (Rubin et al., 2009).
Pada gambar di samping,
anatomi arteri terlihat sangat baik Sumber: Adam, 2008

serta mengisi vena serebral interna Gambar 10.7CTA 3D volume-


dan sinus venosus. rendered.
Angiografi dapat menolong
seorang pasien untuk tidak menjalani operasi. Jika operasi tetap diperlukan
maka operasi dapat dilakukan lebih akurat. CT angiografi mampu mendeteksi
penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah yang memungkinkan
berpotensi untuk terapi perbaikan yang harus dilakukan. CT angiografi dapat
menunjukkan anatomi secara lebih detail dan tepat daripada magnetic
resonance imaging (MRI), terutama di pembuluh darah yang kecil. Banyak
pasien dapat menjalani CT angiografi bahkan kateter angiografi konvensional
(kateterisasi) untuk mendiagnosis masalah pembuluh darah (Radiology
Info,2015).
CT angiografi lebih cepat, non-invasif dan memiliki sedikit komplikasi.
Sementara itu, kateter angiografi menempatkan kateter (tabung plastik)

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography 167


biasanya pada selangkangan kemudian dimasukkan ke dalam pembuluh
darah utama. Setelah itu, disuntikkan bahan kontras dan mungkin
memerlukan sedasi atau anastesi umum. CT angiografi adalah cara yang
sangat bermanfaat untuk mendeteksi arteri (seperti penyempitan pembuluh
darah di jantung) dan penyakit vena serta kelainan struktural jantung
sebelum ada gejala atau pada saat gejalanya belum jelas berhubungan
dengan penyakit pembuluh darah, misalnya serangan jantung (Radiology
Info, 2015).
Pemeriksaan CT angiografi merupakan pemeriksaan yang memerlukan
biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kateter angiografi. Pada CT
angiografi berpotensi menimbulkan rasa kurang nyaman karena bahan kontras
disuntikkan ke vena lengan dan bukan menjadi kateter yang dimasukkan ke
dalam arteri atau vena besar. Tidak ada radiasi menetap dalam tubuh pasien
setelah pemeriksaan CT. Sinar-X yang digunakan dalam CT scan seharusnya
tidak memiliki efek samping langsung (Radiology Info,2015).
Sebagian besar pasien yang menjalani pemeriksaan CT angiografi
secara lengkap tanpa mengalami efek samping. Namun demikian, selalu
ada kesempatan timbulnya kanker akibat paparan radiasi yang berlebihan.
Namun, manfaat diagnosis yang akurat jauh melampaui risiko yang ada.
Jika seorang pasien memiliki riwayat alergi terhadap bahan kontras sinar-X,
dokter mungkin akan menyarankan untuk mengambil obat pencegahan
khusus, seperti steroid, selama beberapa jam atau beberapa hari sebelum
CT angiografi dilakukan. Tujuannya untuk mengurangi kemungkinan reaksi
alergi. Pilihan lainnya yaitu pasien menjalani pemeriksaan berbeda yang
tidak memerlukan bahan kontras iodinasi (Radiology Info, 2015).
Pada pasien yang berisiko gagal ginjal dan yang sudah memiliki
keterbatasan fungsi ginjal, pemberian bahan kontras iodinasi berpotensi
lebih merusak fungsi ginjal. Sebaiknya, bertanyalah kepada dokter dan
ahli radiologi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai risiko
ini. Jika sejumlah besar bahna kontras sinar-X kontras bocor keluar dari
pembuluh darah yang disuntikkan dan menyebar di bawah kulit di mana IV
ditempatkan, hal itu dapat merusak kulit, pembuluh darah dan saraf. Jika
pasien merasa kesakitan atau sensasi kesemutan selama atau segera setelah
bahan kontras diinjeksikan maka pasien harus segera menginformasikan
kepada perawat/teknolog. Jika ada kemungkinan sedang hamil, pasien
harus selalu menginformasikannya kepada dokter dan operator (Radiology
Info,2015).
Ada beberapa produsen kontras intravena yang menyarankan jika
seseorang sedang menyusui, ia dianjurkan untuk tidak menyusui selama 24
48 jam setelah diberikan media kontras. Namun demikian, ada juga yang
menunjukkan bahwa aman untuk terus menyusui setelah menerima media
kontras intravena. Oleh karena itu, seorang pasien sangat perlu berkonsultasi
kepada dokter mengenai hal ini (Radiology Info, 2015).

168 Pencitraan pada Stroke


Rangkuman
1. CTA adalah pemeriksaan radiologi invasif minimal dengan
memasukkan media kontras melalui pembuluh darah vena yang
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pada tubuh dengan
menggunakan modalitas CT scan.
2. Sejak dikenalkannya teknologi multidetector-row, CTA menjadi
teknik standar yang mudah dilakukan dalam pencitraan
pembuluh darah.
3. Awalnya, CTA digunakan untuk pencitraan aorta dan arteri
pulmonalis, kemudian arteri karotis, arteri renalis, dan arteri
splanknik, serta sekarang sudah mulai menginjak pada arteri
perifer dan sirkulus Willisi. Perkembangan terkini, CTA sedang
dikembangkan untuk pencitraan arteri koroner.
4. CTA mempunyai kelebihan yaitu dapat distandarkan sehingga
menjadikannya sebagai teknik pilihan pada kasus-kasus
pembuluh darah akut. CTA memberikan informasi tiga dimensi
dengan resolusi spasial yang tinggi dan mampu memberikan
evaluasi lumen pembuluh darah beserta dinding pembuluh
darahnya dan struktur jaringan sekitar secara simultan.
5. Persiapan pasien yang matang merupakan prasyarat pemeriksaan
CTA pembuluh darah otak.
6. Untuk mendapatkan opasifitas vaskular yang homogen harus
menggunakan power injector dengan kecepatan injeksi 3 sampai
5 mL per detik. Untuk semua pemeriksaan neurovaskular,
material kontras sebanyak 80100 mL biasanya sudah adekuat.
7. Sinkronisasi penting untuk meyakinkan zat kontras berfungsi
maksimal di dalam pembuluh darah bila CT irisan tunggal
digunakan. Akan tetapi menjadi lebih penting lagi bila MDCT
digunakan untuk menginginkan pencitraan arteri dengan sedikit
atau tidak ada tumpang tindih vena dan memberikan waktu
transit arteri vena di dalam otak sekitar 6-8 detik.
8. Untuk tujuan sinkronisasi, terdapat dua metode yaitu injeksi tes
bolus dan pencitraan sistem vena.
9. Tujuan utama pemeriksaan CTA adalah untuk mengetahui status
arteri intrakranial dan servikal guna mendeteksi tempat oklusi,
dapat menggambarkan diseksi arteri, untuk mengetahui kualitas
aliran darah kolateral, dan mengetahui penyakit aterosklerotis.
10. Indikasi klinis pemeriksaan CTA antara lain sebagai berikut.
Evaluasi dugaan kelainan stenotik/oklusif arteri serebral
dan arteri pre-serebral yang dapat menyebabkan TIA dan

Bab 10 Mengenal Computed Tomographic Angiography 169


CVA bilamana pemeriksaan pencitraan lainnya kurang
memberikan informasi.
Kecurigaan adanya gangguan sistem vertebrobasilar pada
pasien dengan gejala yang mengarah pada gangguan
vertebrobasilar (misalnya hilangnya pandangan binokular,
vertigo, disartria, dan diplopia).
Traumatic vascular injury.
Dugaan adanya trombosis pada pembuluh darah besar atau
sinus dura.
Perdarahan subarachnoid, subdural, dan perdarahan intra
serebral oleh akibat trauma maupun aneurisma serebral.
Curiga adanya AVM.
Anomali kongenital sirkulasi serebral atau karotis.
Abnormalitas pembuluh darah pada penyakit sickle cell.
Dugaan obstruksi dan atau invasi sinus dura.
11. Penggunaan zat kontras intravaskular pada CTA dapat menimbul
kan kontraindikasi pencitraan sebagai berikut.
Adanya riwayat alergi zat kontras atau pada pemberian
kontras sebelumnya.
Gangguan fungsi ginjal, bila diperlukan pemberian zat
kontras terionisasi.
Penderita penyakit multiple myeloma.
12. CTA mempunyai kelebihan yaitu dapat distandarkan sehingga
menjadikannya sebagai teknik pilihan pada kasus-kasus
pembuluh darah akut. CTA memberikan informasi tiga dimensi
dengan resolusi spasial yang tinggi dan mampu memberikan
evaluasi lumen pembuluh darah beserta dinding pembuluh
darahnya dan struktur jaringan sekitar secara simultan.
13. Angiografi dapat menolong seorang pasien untuk tidak menjalani
operasi.
14. CT angiografi lebih cepat, non-invasif dan memiliki sedikit
komplikasi.
15. Pemeriksaan CT angiografi merupakan pemeriksaan yang
memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan
kateter angiografi.
16. Pada pasien yang berisiko gagal ginjal dan yang sudah memiliki
keterbatasan fungsi ginjal, pemberian bahan kontras iodinasi
berpotensi lebih merusak fungsi ginjal.
17. Ada beberapa produsen kontras intravena yang menyarankan jika
seseorang sedang menyusui, ia dianjurkan untuk tidak menyusui
selama 2448 jam setelah diberikan media kontras.

170 Pencitraan pada Stroke


Bab 11
Mengenal Magnetic Resonance
Angiography

I
ndikasi penggunaan modalitas diagnostik yang noninvasif pada
vaskular semakin meningkat pada dekade terakhir seiring dengan
perkembangan teknologi yang pesat. Kemajuan di bidang pencitraan
pembuluh darah otak juga semakin meningkat. Salah satu modalitas
diagnostik yang banyak digunakan saat ini khususnya di bidang neurologi
adalah Magnetic Resonance Angiography (MRA).

171
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 11.1Mesin MRI yang digunakan untuk pemeriksaan MRA.

11.1 Apakah MRA itu?


Magnetic Resonance Angiography (MRA) merupakan suatu metode
menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA telah
mengalami revolusi lebih dari beberapa dekade, menggantikan angiografi
kateter sebagai alat diagnostik utama untuk mengevaluasi hampir semua
teritorial pembuluh darah khususnya pada teknik yang menggunakan
kontras (Rubin et al., 2009).
MR angiografi (MRA) menggunakan medan magnet yang kuat,
gelombang radio dan komputer untuk mengevaluasi pembuluh darah dan
membantu mengidentifikasi kelainan atau mendiagnosis aterosklerosis
(plak) penyakit. Pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi pengion
dan memerlukan suntikan bahan kontras yaitu gadolinium yang
mungkin kurang menyebabkan reaksi alergi daripada bahan kontras
iodinasi. Angiografi merupakan tes medis yang membantu dokter untuk
mendiagnosis dan mengobati kondisi medis dan penyakit pembuluh
darah. Pemeriksaan angiografi menghasilkan gambar pembuluh darah
utama di seluruh tubuh dan dapat dilakukan dengan salah satu dari
tiga teknologi pencitraan dan dalam beberapa kasus bahan kontras yang
diberikan (RadiologyInfo, 2015).

11.2 Inilah Komponen Mesin MRA


Angiografi dilakukan dengan menggunakan komponen berikut ini:

172 Pencitraan pada Stroke


- Fluoroscopy (x-ray) untuk membantu menempatkan kateter ke dalam
pembuluh darah tubuh
- Computed tomography (CT)
- Magnetic resonance imaging (MRI)
(RadiologyInfo, 2015)

Sumber: Moyer, B., 2015

Gambar 11.2Komponen MRI yang digunakan sebagai alat


pemeriksaanMRA.

Pada magnetic resonance angiography (MRA), medan magnet yang


kuat, gelombang frekuensi radio dan komputer menghasilkan gambar
arteri utama dalam tubuh secara detail. MR angiografi tidak menggunakan
radiasi pengion (sinar-X). MRA dapat dilakukan dengan atau tanpa bahan
kontras. Jika diperlukan, bahan kontras biasanya diberikan melalui
intravena (IV) dengan menggunakan kateter kecil yang ditempatkan
di pembuluh darah di lengan pasien. Unit MRI tradisional yaitu tabung
berbentuk silinder besar yang dikelilingi oleh magnet melingkar. Pasien
akan berbaring di meja pemeriksaan yang dapat bergerak ke pusat
magnet (RadiologyInfo, 2015).
Beberapa unit MRI yang disebut sistem short-bore dirancang
sehingga magnet tidak sepenuhnya mengelilingi pasien. Beberapa mesin
MRI yang lebih baru memiliki diameter bore yang lebih besar sehingga
pasien merasa lebih nyaman, terutama untuk pasien yang berbadan
besar atau pasien dengan klaustrofobia. Mesin MRI lain yang terbuka di
kedua sisinya (MRI terbuka). Mesin MRI terbuka juga sangat membantu
bagi pasien yang badannya lebih besar atau pasien dengan klaustrofobia
(RadiologyInfo, 2015).

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 173


Unit MRI terbuka yang lebih baru memberikan gambar berkualitas
sangat tinggi untuk berbagai jenis pemeriksaan. Akan tetapi, unit MRI
terbuka yang lebih kuno tidak memberikan kualitas gambar yang sama.
Beberapa jenis pemeriksaan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
MRI terbuka. Workstation komputer yang memproses informasi
pencitraan terletak di ruang terpisah dari scanner (RadiologiInfo, 2015).

11.3 Apakah Kegunaan MRA?


Magnetic resonance angiography (MRA) adalah modalitas pencitraan
di bidang kesehatan yang digunakan untuk melihat gambaran pembuluh
darah guna menegakkan diagnosis. Setelah munculnya magnetic
resonance imaging (MRI), segera disadari bahwa modalitas pencitraan
ini dapat memperlihatkan gambaran pembuluh darah. Sejak saat itu,
metode pemeriksaan MRA semakin dikenal, baik yang bersifat noninvasif
maupun invasif minimal untuk menilai kelainan sistem pembuluh
darah. MRA sangat menarik karena dapat digunakan untuk memberikan
informasi sistem pembuluh darah dengan tiga dimensi, memberikan
informasi kecepatan dan laju aliran darah, dan menghasilkan angiogram
tanpa harus menggunakan zat kontras maupun sinar radiasi. Selain itu,
magnetic resonance juga baik untuk menggambarkan jaringan lunak.
Oleh karena itu, pada pemeriksaan ini dapat sekaligus dinilai baik
kelainan pembuluh darah maupun efeknya pada jaringan lunak (Anzalone
& Tartaro, 2005; Korosec, 2009).
Pada pemeriksaan neuroimaging, MRA juga dapat digunakan
untuk mendapatkan informasi mengenai difusi, perfusi (volume darah
serebri, aliran darah serebri, dan mean transit time) dan fungsi otak
yang memungkinkan evaluasi dengan menggunakan modalitas tunggal
(Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).

11.4 Apakah Keunggulan dan Risiko Penggunaan MRA?


Sebelum munculnya MRA, untuk pencitraan vaskular masih
menggunakan DSA. DSA digunakan untuk diagnosis kelainan pembuluh
darah intrakranial, walaupun kegunaannya untuk menyingkirkan kelainan
pembuluh darah pada perdarahan intrakranial, menilai sirkulasi darah
pada tumor, dan untuk evaluasi trombosis vena sangat terbatas. Selain
itu, fungsinya untuk menyingkirkan trombosis arteri juga terbatas sehingga
menyebabkan sulit untuk segera menegakkan diagnosis pada stroke akut
(Anzalone & Tartaro, 2005). Selain itu, kelebihan MRA dibandingkan DSA
yaitu MRA bersifat noninvasif dan memberikan gambaran tiga dimensi
(3D) (Korosec, 2009).

174 Pencitraan pada Stroke


Tabel 11.1Perbandingan antara pemeriksaan MRA (non-enhanced MRA
& enhanced MRA), CTA, dan DSA
Digital
No. Non-enhanced MRA Enhanced MRA CT Angiography Substraction
Angiography
1. Tanpa Tanpa Menggunakan Menggunakan
menggunakan menggunakan radiasi radiasi
radiasi radiasi
2. Tanpa Menggunakan zat Menggunakan zat Menggunakan zat
menggunakan zat kontras dadolinium kontras iodin kontras iodin
kontras chelat
3. Dapat menghasilkan Dapat Dapat Gambaran yang
gambaran 2D/3D menghasilkan menghasilkan dihasilkan 2D
gambaran 2D/3D gambaran 3D
4. Sering menimbulkan Jarang Sering
motion artefak menimbulkan menimbulkan
motion artefak motion artefak
5. Kontraindikasi Kontraindikasi Kontraindikasi Kontraindikasi
pasien dengan pasien dengan pasien dengan pasien dengan
penggunaan bahan penggunaan bahan alergi terhadap alergi terhadap
metal, misalnya alat metal, misalnya alat zat kontras dan zat kontras dan
pacu jantung dan pacu jantung dan gangguan fungsi gangguan fungsi
lain sebagainya lainnya ginjal ginjal
6. Pasien dengan Pasien dengan
claustrophobia claustrophobia
harus dianestesi harus dianestesi
terlebih dahulu terlebih dahulu
7. Waktu pemeriksaan Waktu pemeriksaan
lama lama
8. Dapat sekaligus
memberikan
gambaran vaskular
dan jaringan lunak
9. Pemberian kontras
intravena
10. Dapat menilai
kecepatan dan laju
aliran darah
Sumber: Moeller & Reif, 2003

MRA merupakan teknik pencitraan non-invasif yang tidak melibatkan


paparan radiasi pengion. Detail gambar pada beberapa pembuluh darah
dan aliran darah dapat diperoleh tanpa harus memasukkan kateter
IV ke dalam pembuluh darah. Jika diperlukan, kateter IV ukuran kecil
dimasukkan ke dalam vena kecil di lengan sehingga tidak ada risiko
merusak pembuluh darah utama karena merupakan prosedur yang kurang
invasif (RadiologyInfo, 2015).

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 175


Lamanya prosedur pemeriksaan MRA lebih singkat daripada prosedur
angiografi kateter tradisional dan tidak memerlukan waktu pemulihan.
Pasien dapat kembali ke aktivitas normal sehari-hari segera setelah
pemeriksaan MRA. MR angiografi lebih murah dibandingkan kateter
angiografi. Bahkan meskipun tanpa menggunakan bahan kontras, MRA
dapat memberikan gambar berkualitas tinggi pada beberapa pembuluh
darah sehingga sangat berharga bagi pasien yang rentan terhadap reaksi
alergi atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Bahan kontras
digunakan untuk pemeriksaan MRI kemungkinan kurang menyebabkan
reaksi alergi daripada bahan kontras berbasis yodium yang digunakan
untuk sinar-X konvensional dan CT scan (RadiologyInfo, 2015).
Secara umum, pemeriksaan MRA hampir tidak menimbulkan risiko
bagi pasien jika semua prosedur pemeriksaan telah diikuti. Jika sedasi
digunakan maka ada risiko jika sedasi dilakukan berlebihan. Namun
demikian, teknolog atau perawat memonitor tanda-tanda vital pasien
untuk meminimalkan risiko ini. Meskipun medan magnet yang kuat tidak
berbahaya terhadap pasien, perangkat medis implan yang mengandung
logam mungkin menyebabkan kegagalan atau masalah selama
pemeriksaan MRA (RadiologyInfo, 2015).
Saat ini, sudah dikenal adanya komplikasi fibrosis sistemik
nefrogenik, tapi hal itu jarang terjadi. Komplikasi MRA ini diyakini
disebabkan oleh suntikan dosis tinggi bahan kontras berbasis gadolinium
pada pasien dengan fungsi ginjal yang sangat buruk. Penilaian secara
hati-hati pada fungsi ginjal sebelum melakukan suntikan bahan kontras
akan meminimalkan risiko komplikasi yang sangat langka ini. Jika bahan
kontras disuntikkan maka ada sedikit risiko yaitu munculnya reaksi alergi.
Reaksi alergi ini biasanya ringan dan mudah dikendalikan dengan obat.
Jika pasien mengalami gejala alergi, seorang ahli radiologi atau dokter
akan segera memberikan bantuan (RadiologyInfo, 2015).

11.5 Apa Sajakah Keterbatasan MRA?


Di antara banyak kelebihan, MRA tetap memiliki keterbatasan.
Tidak seperti CT angiografi, MRA tidak dapat melihat dan menangkap
gambar deposit kalsium dalam pembuluh darah. Kejelasan gambar
MRA pada beberapa arteri tidak sesuai dengan yang diperoleh pada
kateter konvensional berbasis angiografi. Evaluasi MRA, khususnya pada
pembuluh darah kecil, mungkin sulit dilakukan (RadiologyInfo, 2015).
Terkadang sulit untuk membuat gambar terpisah antara arteri dan
vena dengan MRA. Seorang pasien yang mengalami kesulitan atau tetap
berbaring, mungkin mereka memiliki gambar MRA dengan kualitas buruk.
Beberapa pemeriksaan melibatkan pemantauan detak jantung atau
mengharuskan pasien untuk menahan napas selama 15 sampai 25 detik
pada suatu waktu untuk mendapatkan gambar MRA berkualitas tinggi.
Setiap jenis gerak, seperti gerakan pasien, gerakan pernapasan, atau

176 Pencitraan pada Stroke


gerakan tak terkendali lainnya dapat secara signifikan mengurangi kualitas
gambar dan berpotensi membatasi diagnosis (RadiologyInfo,2015).
Gambar berkualitas tinggi dapat diperoleh jika pasien dapat tetap
diam dan mengikuti instruksi menahan napas pada saat gambar sedang
direkam. Jika pasien cemas, bingung atau sakit parah, pasien merasa sulit
untuk diam berbaring selama pencitraan. Seseorang yang berat badannya
berlebih mungkin tidak sesuai dengan beberapa jenis mesin MRA.
Terdapatnya implan atau benda logam lain kadang-kadang mempersulit
untuk mendapatkan gambar yang jelas (RadiologyInfo, 2015).
Gerakan pasien dapat memiliki efek yang sama. Sebuah detak jantung
yang sangat tidak teratur dapat mempengaruhi kualitas gambar yang
diperoleh dengan menggunakan teknik waktu pencitraan berdasarkan
aktivitas listrik jantung, seperti elektrokardiografi (EKG). Meskipun tidak
ada alasan untuk mempercayai bahwa magnetic resonance imaging
dapat merugikan janin, ibu hamil biasanya disarankan untuk tidak
menjalani pemeriksaan MRA selama trimester pertama, kecuali sangat
diperlukan tindakan medis. Suntikan kontras selama kehamilan biasanya
dihindari kecuali jika benar-benar diperlukan untuk pengobatan kesehatan
(RadiologyInfo, 2015).
Keterbatasan MRA yang lain yaitu semua teknik pemeriksaan MRA
rentan terhadap hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada gambar.
Tiga hal yang dapat menyebabkan kerusakan gambar pada semua teknik
MRA adalah intravoxel dephasing, signal saturation, dan signal ghosting
(Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).

11.6 Persiapan Sebelum Pemeriksaan


Biasanya untuk melakukan pemeriksaan MRA, pasien diminta untuk
mengenakan baju khusus yang sudah disediakan rumah sakit. Pedoman
aturan makan dan minum sebelum pemeriksaan MRA bervariasi pada
fasilitas yang berbeda. Kecuali pasien diberi tahu sebaliknya maka pasien
dapat mengikuti rutinitas sehari-hari seperti biasa dan mengonsumsi obat
seperti biasa (RadiologyInfo, 2015).
Pada pemeriksaan MRA, pasien menerima suntikan bahan kontras
ke dalam pembuluh darah di lengan. Ahli radiologi atau teknolog mungkin
bertanya jika pasien memiliki asma atau jika pasien memiliki alergi
terhadap obat tertentu, makanan atau lingkungan. Bahan kontras yang
digunakan untuk pemeriksaan MRA yaitu gadolinium. Bahan ini tidak
mengandung yodium dan cenderung kurang menyebabkan reaksi alergi
seperti yodium yang digunakan sebagai bahan kontras pada CT scan
(RadiologyInfo, 2015).
Ahli radiologi dan teknolog juga harus tahu jika pasien memiliki
masalah kesehatan yang serius dan operasi apa yang telah dijalani
pasien. Beberapa pasien dengan gangguan ginjal atau hati mungkin tidak
dapat menerima bahan kontras selama pemeriksaan MRA. Pasien wanita

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 177


harus selalu memberi tahu dokter atau teknolog jika ada kemungkinan
bahwa mereka sedang hamil (RadiologyInfo, 2015).
MRA telah digunakan untuk pemindaian pasien sejak tahun 1980-an
dan tidak ada laporan efek sakit pada wanita hamil atau bayi mereka yang
belum lahir. Namun demikian, karena bayi yang belum lahir akan berada
dalam medan magnet yang kuat maka wanita hamil tidak dianjurkan
menjalani pemeriksaan ini pada trimester pertama kehamilan, kecuali
potensi manfaat pemeriksaan MRA diasumsikan lebih besar daripada
risiko potensialnya. Wanita hamil tidak boleh menerima suntikan bahan
kontras gadolinium kecuali jika benar-benar diperlukan untuk pengobatan
(RadiologyInfo, 2015).
Jika pasien sedang menyusui pada saat pemeriksaan maka ia harus
bertanya kepada dokter bagaimana aturan yang harus dipatuhi. Hal ini
dapat membantu pasien untuk memompa ASI sebelum pemeriksaan
supaya dapat digunakan setelah bahan kontras diinjeksikan sampai
akhirnya telah dibersihkan dari tubuh pasien yaitu sekitar 24 jam setelah
pemeriksaan. Jika pasien memiliki claustrophobia (takut ruang tertutup)
atau kecemasan, pasien dapat meminta dokter untuk memberikan resep
obat penenang ringan sebelum pemeriksaan yang dijadwalkan. Bayi dan
anak kecil biasanya membutuhkan sedasi atau anestesi supaya mereka
tidak bergerak saat menjalani pemeriksaan MRA sampai selesai. Apakah
seorang anak membutuhkan sedasi atau tidak, tergantung pada usia anak
dan jenis pemeriksaan yang dilakukan. Sedasi yang moderat dan sadar
dapat disediakan di sebagian besar fasilitas. Seorang dokter atau perawat
mengkhususkan diri dalam pemberian sedasi atau anestesi untuk anak-
anak selama pemeriksaan dengan tujuan untuk memastikan keselamatan
anak (RadiologyInfo, 2015).
Perhiasan dan aksesoris lainnya harus ditinggalkan di rumah atau
ditanggalkan sebelum pemeriksaan MRA scan. Karena benda-benda
tersebut dapat mengganggu medan magnet pada unit MRI. Berbagai
jenis benda logam dan elektronik tidak diperbolehkan berada dalam
ruang pemeriksaan ini. Benda-benda tersebut antara lain perhiasan, jam
tangan, kartu kredit dan alat bantu dengar, semua yang bisa dirusak pin,
jepit rambut, ritsleting logam dan barang-barang logam yang sama yang
dapat mengubah gambar MRA, pena perawatan pembersih gigi, pisau
saku, kacamata, dan pernak-pernik tubuh. Dalam kebanyakan kasus,
pemeriksaan MRA aman untuk pasien dengan implan logam, kecuali
untuk beberapa jenis. Orang dengan implan tidak dapat dipindai dan
tidak harus masuk ke area pemindaian MRA: implan koklea (telinga),
beberapa jenis klip yang digunakan untuk aneurisma otak, beberapa
jenis kumparan logam yang ditempatkan dalam pembuluh darah hampir
semua defibrilator jantung dan alat pacu jantung (RadiologyInfo, 2015).
Pasien harus memberitahukan kepada teknolog jika ia memiliki
perangkat medis atau elektronik dalam tubuhnya. Benda-benda tersebut
dapat mengganggu pemeriksaan atau berpotensi menimbulkan risiko,
tergantung pada sifat dan kekuatan magnet MRI. Banyak implan yang

178 Pencitraan pada Stroke


ditanamkan akan memiliki sebuah pamflet yang menjelaskan risiko MRI
untuk perangkat tertentu. Jika ia memiliki pamflet, hal ini berguna untuk
menjadi hal yang diperhatikan bagi teknolog atau scheduler sebelum
pemeriksaan dilakukan. Beberapa perangkat implan memerlukan waktu
singkat setelah penempatan (biasanya enam minggu) sebelum menjadi
aman untuk pemeriksaan MRA (RadiologyInfo, 2015).
Contohnya berikut ini, tetapi tidak terbatas pada:
- katup jantung buatan
- obat infus port yang ditanamkan
- kaki palsu atau sendi prostesis metalik
- stimulator saraf yang ditanamkan
- pin logam, sekrup, pelat, stent atau staples bedah
(RadiologyInfo, 2015).

Secara umum, benda-benda logam yang digunakan dalam bedah


ortopedi tidak menimbulkan risiko selama proses MRI. Namun, baru-
baru ini penempatan sendi buatan memerlukan penggunaan prosedur
pencitraan lain. Jika ada pertanyaan terhadap keberadaannya maka
sinar-X dapat dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi setiap
benda logam. Pasien yang memiliki benda logam di bagian-bagian tubuh
tertentu, mereka juga mungkin memerlukan sinar-X sebelum pemeriksaan
MRA. Pasien harus memberitahukan kepada teknolog atau ahli radiologi
jika kemungkinan terdapatnya setiap pecahan peluru, peluru, atau
potongan logam lainnya yang mungkin ada dalam tubuh pasien akibat
kecelakaan sebelumnya. Benda asing yang berada di dekat mata dan
terutama bersarang di mata sangat penting. Pewarna yang digunakan
dalam tato mungkin mengandung zat besi dan bisa memanas selama
pemeriksaan MRA, tapi hal ini jarang menyebabkan masalah. Tambalan
gigi dan kawat gigi biasanya tidak terpengaruh oleh medan magnet, tapi
benda-benda tersebut dapat mendistorsi gambar pada daerah wajah
atau otak sehingga ahli radiologi harus memberitahukan kepada mereka
(RadiologyInfo, 2015).

11.7 Prosedur Pemeriksaan MRA


Tidak seperti pemeriksaan sinar-X konvensional dan computed
tomography (CT) scan, MRI tidak menggunakan radiasi pengion.
Sebaliknya, gelombang radio mengarahkan keselarasan atom hidrogen
yang secara alami ada dalam tubuh saat pasien berada di pemindai
tanpa menyebabkan perubahan kimia dalam jaringan. Sebagaimana
atom hidrogen kembali ke keselarasan biasanya, atom-atom tersebut
memancarkan energi yang bervariasi sesuai dengan jenis jaringan tubuh
dari mana ia berasal. MR scanner menangkap energi ini dan menciptakan
gambar scan jaringan berdasarkan informasi ini (RadiologyInfo, 2015).

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 179


Medan magnet dihasilkan dengan melewatkan arus listrik melalui
kumparan kawat pada sebagian besar unit MRI. Kumparan lain yang
terletak di mesin dan dalam beberapa kasus ditempatkan di sekitar bagian
tubuh yang dicitrakan akan mengirim dan menerima gelombang radio
kemudian menghasilkan sinyal yang terdeteksi oleh kumparan. Komputer
kemudian memproses sinyal dan menghasilkan serangkaian gambar yang
masing-masing menunjukkan irisan tipis tubuh (RadiologyInfo, 2015).

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 11.3Komputer berperan untuk menghasilkan gambar dari


serangkaian proses pencitraan.

Gambar kemudian dapat dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda


berdasarkan penjelasan radiologi. Sering kali, diferensiasi abnormal
(penyakit) jaringan pada jaringan normal lebih baik menggunakan MRI
dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain seperti sinar-X, CT, dan
USG. Ketika bahan kontras dimasukkan ke aliran darah selama prosedur,
maka akan memperjelas pembuluh darah yang diperiksa yaitu pembuluh
darah menjadi tampak putih cerah. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan
pada pasien rawat jalan. Pasien akan diposisikan di atas meja pemeriksaan
yang dapat bergerak. Tali dan guling dapat digunakan untuk membantu
pasien supaya diam dan mempertahankan posisi yang benar selama
pencitraan. Perangkat yang berisi koil mampu mengirim dan menerima
gelombang radio yang dapat ditempatkan di sekitar atau berdekatan
dengan daerah tubuh yang sedang dipelajari (RadiologyInfo,2015).
Jika bahan kontras akan digunakan dalam pemeriksaan MRA maka
dokter, perawat atau teknolog akan memasukkan kateter intravena (IV)
yang juga dikenal sebagai garis IV ke pembuluh darah di tangan atau
lengan. Sebuah larutan garam dapat digunakan untuk menyuntikkan

180 Pencitraan pada Stroke


bahan kontras. Larutan ini akan menetes melalui IV untuk mencegah
penyumbatan kateter IV sampai bahan kontras disuntikkan. Pasien akan
ditempatkan ke dalam magnet pada unit MRA dan ahli radiologi dan
teknolog akan melakukan pemeriksaan saat bekerja di depan komputer
di luar ruangan. Jika bahan kontras digunakan selama pemeriksaan,
maka bahan kontras akan disuntikkan ke dalam garis intravena (IV)
setelah serangkaian awal scan. Serangkaian gambar tambahan akan
diambil selama atau setelah injeksi. Ketika pemeriksaan selesai, pasien
akan diminta untuk menunggu sampai teknolog atau radiolog mengecek
gambar dalam kasus gambar tambahan yang diperlukan. Jalur intravena
pasien akan dihapus. Pemeriksaan MRI pada umumnya terdiri atas
serangkaian proses, beberapa di antaranya dapat berlangsung beberapa
menit. Seluruh pemeriksaan biasanya diselesaikan dalam waktu sekitar
60 menit dalam sekali pencitraan (RadiologyInfo, 2015).

Sumber: Ridgway, J.P., 2012

Gambar 11.4Diagram skematik yang menggambarkan prinsip utama


CEMRA.

Diagram (a) menunjukkan waktu relatif pada peristiwa penting


dalam akuisisi CE-MRA. Setelah injeksi intravena zat kontras ke subjek,
ada penundaan dalam perjalanan bolus kontras melalui sisi kanan dan
kiri jantung sebelum memasuki sistem arteri. Diagram skematik(b)
menunjukkan secara kualitatif bagaimana intensitas sinyal berhubungan
dengan jenis jaringan untuk sekuen T1-weighted MRA. Nilai-nilai indikatif
untuk waktu relaksasi T1 juga ditampilkan. Tanpa pengenalan agen
kontras, jaringan lemak akan memiliki sinyal terang di gambar dan darah
dalam lumen pembuluh tidak akan terlihat. Pengenalan agen kontras
ke dalam darah mengurangi waktu relaksasi T1 dan meningkatkan
intensitassinyal.

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 181


11.8 Kontraindikasi Pemeriksaan MRA
Kontraindikasi pemeriksaan MRA maupun pemeriksaan radiologis
lainnya yang menggunakan agen kontras antara lain sebagai berikut
(Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003).
- Ada alat logam dalam tubuh, tetapi bagi mereka yang mempunyai
sejumlah kecil logam dan tidak terletak di daerah pencitraan maka
masih dapat dilakukan MRA.
- Semua pasien yang memiliki klip bedah intrakranial akibat
aneurisma.
- Memiliki kondisi yang memerlukan perangkat eksternal untuk
perawatan (misalnya, tangki O2 portabel).
- Claustrophobia, MRA masih dapat dilakukan.

11.9 Unenhanced MRA (teknik MRA tanpa kontras)


Penggunaan teknik MRA yang luas dapat dikategorikan sebagai
phase contrast (PC), time-of-flight (TOF), atau teknik MRA dengan
kontras. Selain itu, dikenal dua teknik lain yang juga berguna untuk
menilai pembuluh darah, yaitu dark blood imaging dan steady state free
precession (Korosec, 2009; Nitz, 2006). Kali ini, kita akan memahami
apa dan bagaimana teknik MRA tanpa kontras ini.
Pada pemeriksaan angiografi konvensional digital substraction
angiography (DSA), diperlukan pemberian zat kontras untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah. Setelah dilakukan kateterisasi arteri dan
penyuntikan zat kontras ionik, bisa didapatkan gambaran dua dimensi
dari lumen pembuluh darah. Computed Tomography Angiografi (CTA)
juga bisa digunakan untuk pemeriksaan ini, namun memiliki efek radiasi
yang tinggi (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
Unenhanced MRA berbeda dengan DSA atau teknik angiografi lain
karena tanpa penggunaan zat kontras sehingga bersifat noninvasif. Selain
itu, kelebihan MRA dibandingkan angiografi konvensional adalah dapat
memperlihatkan gambaran jaringan ekstravaskular selain gambaran
pembuluh darah sehingga dapat menunjukkan hubungan antara
abnormalitas aliran darah dengan kelainan jaringan lunak (Anzalone &
Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
Pada MRA, prinsip pemeriksaannya adalah berdasarkan static
tissue parameters, longitudinal relaxation time T1, transverse relaxation
time T2, dan proton density. Pemeriksaan ini juga sensitif terhadap
aliran dan pergerakan yang sering menyebabkan terjadinya artefak pada
gambaran MRA. Namun pemeriksaan pada MRA menggunakan flow-
induced signal variations untuk menggambarkan pembuluh darah serta
untuk mendapatkan informasi tentang kecepatan dan arah aliran darah
(Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).

182 Pencitraan pada Stroke


Berbeda dengan pemeriksaan contrast-enhanced MRA (CE-MRA)
dan angiografi konvensional dimana tampak gambaran kontras mengisi
pembuluh darah, pada pemeriksaan unenhanced MRA gambaran yang
terlihat adalah merupakan aliran/pergerakan darah di pembuluh darah
(Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
Teknik MRA didesain secara khusus dimana aliran darah menghasilkan
sinyal hiperintens karena sinyal dari jaringan disupresi (bright-blood
angiography). Kemungkinan lain flowing spin dapat menunjukkan gambaran
hipointens jika dibandingkan dengan stationary background (black-
blood angiography). Di antara kedua teknik ini, bright-blood MRA secara
klinis lebih dapat diterima secara luas. Ada dua pendekatan yang dapat
dipergunakan untuk membentuk bright-blood MRA, yaitu time-of-flight
(TOF) dan phase-contrast (PC) angiography. Walaupun dalam TOF dan PC
MRA pemberian kontras tidak diperlukan, namun dapat dipergunakan pada
situasi tertentu untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih
jelas (Anzalone & Tartaro, 2005; Nitz, 2006).
Flow effects dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu time-
of-flight dan phase contrast seperti yang akan dijelaskan berikut ini
(Korosec, 2009; Nitz, 2006).

11.9.1 Time-Of-Flight (TOF)


Teknik TOF MRA berbeda dengan teknik phase contrast dimana
pada teknik TOF MRA tidak terjadi pengurangan sinyal sehingga
beberapa sinyal dari jaringan statis akan menetap pada angiogram. Selain
itu, TOF tidak menyediakan informasi yang cukup mengenai kecepatan
atau laju aliran volume sehingga metode ini terutama ditujukan untuk
menilai anatomi sistem pembuluh darah. Perbedaan antara aliran darah
dan jaringan statis pada teknik TOF diperoleh dengan cara memanipulasi
besarnya sifat kemagnetan, misalnya sifat kemagnetan besar untuk
pergerakan darah dan sifat kemagnetan kecil untuk jaringan statis. Hal ini
menyebabkan sinyal yang meningkat pada pergerakan darah dan sinyal
menurun pada jaringan statis (Korosec, 2009; Nitz, 2006).
Dengan teknik TOF ini, sinyal intravaskular tergantung pada sifat
aliran dan parameter MR. Pasien harus berhati-hati dalam menyesuaikan
untuk meyakinkan mendapat sinyal intravaskular. Pada kasus Time of
Flight MRA (TOF MRA) misalnya, data harus didapatkan secara tegak
lurus (dan idealnya ortogonal) terhadap arah aliran dan waktu antara
getaran frekuensi radio (RF) (waktu repetisi (TR), harus cukup panjang
untuk memberikan inflow proton yang adekuat pada irisan gambaran.
Waktu repetisi ditentukan oleh laju aliran yang diharapkan dalam area
yang diinginkan, dan biasanya 35 mili detik atau lebih. Sebagaimana
waktu akuisisi data adalah berbanding lurus dengan TR (waktu akuisisi
= TR jumlah tahap fase-encoding jumlah layer jumlah eksitasi).
Suatu TR sebenarnya lebih besar dari kemungkinan tersingkat untuk
gradien echo pencitraan (35 mili detik) harus digunakan, dengan

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 183


resultan adanya perpanjangan waktu pencitraan. Selain itu, karena yang
dominan adalah orientasi kepala-kaki arteri besar (misalnya aorta ilio-
femoral dan pembuluh darah infra-poplitea) maka harus menggunakan
axial plane, juga memperpanjang akuisisi data yang memperlihatkan
bahwa diperlukan jumlah irisan yang lebih banyak. Walaupun waktu
akuisisi TOF MRA lebih panjang, namun ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Pertama, sebagai akibat dari aliran darah secara fisiologis
yang menyebabkan penggunaan TR menjadi relatif panjang. Kedua, yaitu
dengan membutuhkan pencitraan aksial sehingga memberikan cakupan
spatial kurang bagus dibandingkan dengan pencitraan sagital atau
koroner (Rubin et al., 2009).

Sumber: Coltman, 2001

Gambar 11.5Hasil TOF-MRA 3D menunjukkan aneurisme setebal 6mm yang


muncul dari ujung arteri basillaris (proyeksi anterior).

Arteriogram atau venogram selektif dapat diperoleh dengan


menggunakan getaran saturasi yang ditempatkan di hilir irisan pencitraan
MRA (untuk menghilangkan venous return dari arah yang berlawanan)
atau hulu dari irisan pencitraan untuk menciptakan suatu venogram
(Rubin et al., 2009).

Keterbatasan TOF MRA


TOF MRA tergantung pada kenyataan bahwa darah memasuki
volume di bawah dengan pertimbangan kecepatan yang tinggi
dan berlalu dengan cepat. Dengan demikian, TOF MRA menerima
gelombang RF sangat sedikit. Untuk menjaga efek inflow tetap setinggi
mungkin, semua proton dalam volume pencitraan harus segera diisi
dengan TR berturut-turut, walaupun mungkin inflow maksimal tidak
diperlukan dalam praktik klinis. Tampak miring dari pembuluh darah
yang dicitrakan dalam kaitannya terhadap orientasi irisan dan TR yang

184 Pencitraan pada Stroke


pendek, keduanya mempengaruhi signal-to-noise ratio (SNR) sebagai
akibat dari proton yang dalam keadaan ini mengalami getaran RF lebih
singkat di irisan pencitraan. Tingkat keparahan dan panjangnya stenosis
juga cenderung berlebihan pada gambar TOF MRA karena intra-voxel
dephasing sekunder untuk turbulensi, alirannya lambat atau berdenyut.
Sebagai akibat keterbatasan TOF MRA yaitu gagal menawarkan alternatif
pemeriksaan non-invasif yang layak dibandingkan dengan arteriografi
konvensional dan tidak memiliki dampak yang besar pada praktik klinis
(Rubin etal,2009).
Pemeriksaan unenhanced MRA didasarkan pada fenomena aliran
yang kompleks sehingga kondisi fisiologis dari teritorial pembuluh
darah yang akan diperiksa sangat diperlukan. Pada kepentingan klinis
rutin, unenhanced MRA terbukti menjadi metode yang baik untuk
pemeriksaan pembuluh darah otak (sirkulus Willisi) yang non invasif.
Akan tetapi, kelemahan unenhanced MRA yaitu hilangnya sinyal pada
area turbulensi atau pada aliran yang sangat lambat. Pada kasus-kasus
berat, hal ini dapat menyebabkan munculnya gambaran patologis,
misalnya stenosis, aneurisma, dan lain-lain (misdiagnosis). Apalagi TOF
dan PC angiografi sangat sensitif terhadap pergerakan sehingga dapat
menimbulkan artefak (motion artifacts). Walaupun motion artifacts
ini sering muncul karena adanya pergerakan pasien yang diakibatkan
waktu pemeriksaan yang cukup lama, namun dapat juga terjadi pada
area dengan aliran yang sangat pulsatile, misalnya pada karotis, aorta,
dan terutama pada arteri perifer, dan di regio toraks dan abdomen
seiring dengan pernapasan dan kerja jantung. Oleh karena itu, jika
pemeriksaan unenhanced MRA ini dilakukan, diperlukan pemahaman
yang tepat mengenai teknik pemeriksaan untuk mendapatkan gambaran
yang baik dan interpretasi yang tepat mengenai hasil pemeriksaan
(Korosec, 2009; Nitz, 2006).

Sumber: Rubin et al., 2009

Gambar 11.6Hasil TOF-MRA 3D sirkulus Willisi.

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 185


Berdasarkan Gambar 11.6, PCoA kiri (3); AICA kanan (10); PICA
kiri(8); ICA (1); arteri oftalmika (2); MCA (4); ACA (5); ACoA (6), VA(7);
BA (9); SCA(11).

11.9.2 Phase Contrast (PC)


PC MRA (PCA) mirip dengan angiografi konvensional dimana
keduanya menyebabkan pengurangan sinyal dari jaringan statis. Hasilnya,
hanya sinyal dari aliran darah yang terlihat pada angiogram. Di sisi lain, PC
MRA berbeda dengan angiografi konvensional karena pada teknik PC MRA
tidak dibutuhkan pemberian zat kontras. Mekanisme yang bertanggung
jawab untuk membangkitkan sinyal pada PC adalah pergerakan dari darah.
Perbedaan antara aliran darah dan jaringan statis pada teknik PC diperoleh
dengan cara memanipulasi fase magnetisasi sehingga fase magnetisasi
nol untuk jaringan statis dan tidak nol untuk jaringan bergerak (Rubin
etal.,2009).
PCA sekarang jarang digunakan dalam MRA klinis. Metodologi
yang mendasari teknik ini agak rumit dan seperti TOF MRA, gambar
yang dihasilkan rentan terhadap artefak dan akuisisi data menjadi lebih
memanjang. Istilah 'fase' mengacu pada sudut dimana magnetisasi
transversal relatif terhadap sumbu referensi. Ketika proton bergerak,
misalnya dalam darah yang mengalir, perubahan fase sebanding dengan
jarak proton yang bergerak (terhadap kecepatan darah) yang disebabkan
oleh gradien pencitraan, khususnya gradien seleksi-irisan dan gradien
frekuensi-encoding. Sebagaimana gradien sebenarnya terdiri atas sepasang
getaran gradien yang diterapkan dalam arah yang berlawanan (yang disebut
gradien bipolar), efek masing-masing gradien pada fase proton untuk
jaringan stasioner (yaitu latar belakang, tak bergerak) adalah sama dan
berlawanan, dan efeknya menetralkan. Untuk proton bergerak (ikut aliran
darah), posisi masing-masing proton akan berubah antara getaran berturut-
turut mengakibatkan perubahan fase relatif terhadap proton stasioner yang
sebanding dengan kecepatan (Rubin et al., 2009).
Pengamatan gradien yang disebabkan oleh perubahan fase
memberikan dasar untuk angiografi fase-kontras dimana gradien getaran
dirancang untuk menghasilkan perubahan fase pada berbagai kecepatan
yang diberikan. Dengan cara ini, sinyal tidak saling menetralkan, informasi
fase diawetkan selama rekonstruksi gambar. Kecerahan pixel berbanding
lurus dengan pergeseran fase yang didapat oleh sebuah proton yang
bergerak dalam medan magnet dan kecepatan. Dalam praktiknya, karena
metode ini hanya sensitif untuk komponen kecepatan yang diterapkan
sepanjang gradien aliran encoding sehingga akuisisi harus diulang
sebanyak empat kali untuk menghasilkan sebuah 'angiogram'. Urutan
aliran kompensasi awal diikuti oleh tiga akuisisi aliran encoding, satu untuk
setiap arah aliran (kepala-kaki, kiri-kanan, anteroposterior) yang diikuti
dengan kompleks pengurangan untuk menghasilkan gambar angiografik
akhir. Jika fase tidak berubah untuk proton statis maka pengurangan akan

186 Pencitraan pada Stroke


menekan sinyal jaringan latar belakang sepenuhnya sehingga memfasilitasi
pembuatan gambar berkualitas tinggi (Rubin et al., 2009).
Salah satu tantangan utama PCA yaitu berkaitan dengan kebutuhan
operator untuk memilih secara tepat gradien kecepatan encoding. Selama
intensitas sinyal sebanding dengan kecepatan maka kisaran kecepatan
dalam pembuluh darah yang diinginkan harus disimpulkan atau diukur
untuk memungkinkan operator mengatur gradien kecepatan-encoding
(Venc) dengan benar. Hal ini mengasumsikan adanya pengetahuan apriori
pada kecepatan aliran darah dalam arteri yang relevan. Hal ini dapat diukur
dengan cepat secara langsung dengan memperoleh serangkaian gambar
2D dengan PC yang berbeda nilai fase-encodingnya. Akan tetapi, hal ini
memakan waktu dan adanya aliran yang berbeda kecepatan dalam arteri
terlampir dalam satu bidang pandang dapat memperlihatkan adanya
artefak (Rubin et al., 2009).

Keterbatasan unenhanced MRA dan kebutuhan agen kontras


Pada setiap tahap evolusi MRA, selalu dilaporkan adanya akurasi
tinggi hampir untuk semua teknik bila dibandingkan dengan angiografi
kateter. Akan tetapi, teknik TOF dan PC MRA kurang mendapatkan minat
yang luas dari para ahli kesehatan dalam praktik klinis karena memerlukan
waktu pemeriksaan yang panjang, resolusi yang suboptimal, dan sering
munculnya artefak. TOF MRA digunakan untuk mengevaluasi penyakit
yang melibatkan bulb karotis dan arteri femoro-popliteal dan pedal karena
wilayah pembuluh darah ini yang cocok untuk teknik ini. Hal ini disebabkan
karena pembuluh darah ini relatif lurus, yang berarti bahwa 'inflow' bisa
dipastikan cukup. MRA juga dibuat sebagai suatu modalitas akurat untuk
menggambarkan arteri intra-kranial proksimal (meskipun faktanya bahwa
arteri menunjukkan lekuk-lekuk yang jelas) karena volume jaringan yang
relatif kecil perlu dilindungi. Selain itu, pada kenyataannya aliran darah
konstan dalam arteri serebral selama siklus jantung mengoptimalkan sinyal
intravaskular (Rubin et al., 2009).

11.10 Contrast-Enhanced MRA


Contrast-enhanced magnetic resonance angiography (CEMRA)
merupakan teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh darah. Teknik
yang berkembang pada CEMRA selama dekade terakhir telah banyak
mengalami perkembangan tidak hanya pada kualitas gambar namun juga
pada kecepatan, ketersediaan, dan kemudahan penggunaannya. Dengan
menggunakan zat kontras gadolinium(Gd)-chelate, CEMRA menghasilkan
data yang lebih baik jika dibandingkan dengan angiografi konvensional.
Selain itu, CEMRA bersifat noninvasif dan memiliki keuntungan
dibandingkan angiografi konvensional dan CT angiografi karena tidak
terpapar radiasi atau zat kontras ionik yang nefrotoksik (Anzalone & Tartaro,
2005). Nefrotoksisitas merupakan pertimbangan utama pada pasien

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 187


dengan kelainan vaskular karena sebagian besar pasien juga merupakan
penderita diabetes melitus dan/atau gangguan fungsi ginjal. Hal inilah yang
menyebabkan penggunaan zat kontras ionik tidak diinginkan (Korosec,
2009; Moeller & Reif, 2003).

Sumber: Moeller & Reif, 2003.

Gambar 11.7Hasil
pencitraan CEMRA:
arteriogram karotis
interna, proyeksi lateral,
fase arteri.

Berdasarkan gambar di atas 1 = A. karotis interna bag. servikal, 2 =


bagian os petrosus, 3 = bagian os cavernosa (siphon), 4 = A.oftalmikus,
5 = choroidal (ophthalmic) crescent, 6 = A. khoroid anterior, 7 = A.
serebri anterior, 8 = A.pericallosal, 9 = A. callosomarginal, 10 = cabang
A. serebri media (Moeller & Reif, 2003).
Karena rasio signal to noise yang tinggi tidak sesuai dengan
resolusi spasial, maka teknik contrast-enhanced hampir secara umum
menggantikan teknik non-kontras dalam praktik klinis. Tidak seperti teknik
TOF dan PCA, dimana sinyal intravaskular tergantung pada sifat aliran
yaitu pada toleransi perubahan laju aliran sebagai akibat dari penyakit
pembuluh darah, maka sinyal intravaskular CEMRA tergantung pada efek
shortening T1 yang disebabkan oleh injeksi zat kontras paramagnetik
(biasanya gadolinium based). Oleh karena itu, gambar dapat diperoleh
di bidang apapun termasuk koronal, yang memberikan cakupan anatomi
terbaik untuk hampir semua wilayah pembuluh darah di luar otak. Selain
itu, kemampuan untuk mengeksploitasi akuisisi 3D ultrafast (dengan
menggunakan TRs sesingkat mungkin), memungkinkan akuisisi gambar
yang cepat dan dengan mudah dapat ditampung dalam satu kali tahanan
napas. Hal itu merupakan faktor penting ketika melakukan pencitraan
di dada dan perut. Untuk menghasilkan 'arteriogram selektif, gambar
diperoleh selama perjalanan arteri pertama dari agen kontras sebelum
kedatangannya dalam pembuluh darah vena (Rubin et al., 2009).
Sinkronisasi akuisisi data dengan bolus arteri puncak merupakan
salah satu tantangan utama CEMRA sebagai laju transit media kontras
dari tempat injeksi vena perifer ke pembuluh darah yang diinginkan dan
dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk denyut jantung, stroke volume,
dan ada atau tidaknya steno-oklusif proksimal. Meskipun waktu sirkulasi

188 Pencitraan pada Stroke


dapat diukur dengan menggunakan tes bolus atau dapat disimpulkan
dengan membuat beberapa asumsi tentang status kardiovaskular pasien,
proses ini sekarang dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan
pendekatan MR fluoroscopic. MR fluoroscopic yaitu suatu teknik yang
menunjukkan datangnya media kontras secara real time pada tampilan
monitor sehingga merupakan sinyal waktu yang tepat untuk akuisisi data
(Rubin et al., 2009).

Jika kita perhatikan


gambar maka terlihat nomor
1 = A.karotis interna segmen
petrosus, 2 = bag. cavernosus,
3 = bag. supraclinoid
(subarachnoid), 4 = A. serebri
anterior segmen prekomunikans,
terletak di atas fosa hipofisis,
5=A.pericallosal dan
callosomarginal, saling
tumpang tindih, terletak di garis
tengah, 6=A.choroid, 7 = A.
lenticulostriata, 8 = A.serebri
media div.mayor, 9=cab.
cortical yang masuk ke dalam
ruang kranium.

Sumber: Rubin et al., 2009

Gambar 11.8Arteriogram karotis interna: proyeksi AP, fase arteri.

Sifat unik k-space (susunan data dari mana gambar akhir yang
dihasilkan) dimana garis pusat menentukan kontras gambar dan garis-
garis perifer menentukan resolusi gambar, hal itu dapat dimanfaatkan
secara unik untuk menghasilkan gambar CEMRA yang sangat baik. Dalam
keadaan pada saat menahan napas tidak diperlukan (misalnya MRA perifer
dan pencitraan arteri karotis) selama pengumpulan garis tengah yang
ditandai oleh kontras di k-space selesai selama puncak arteri dan sebelum
media kontras mencapai vena maka pengumpulan yang terus-menerus di
garis perifer k-space selama peningkatan vena, hal itu tidak mengakibatkan
kontaminasi gambar. CEMRA kini menjadi standar acuan untuk MRA
terhadap semua teknik-teknik baru yang harus diukur (Rubin et al., 2009).
Pemeriksaan CEMRA didasarkan pada shortening effect T1 pada zat
kontras Gd-chelate di darah. Hal ini berbeda dengan teknik MRA time-
of-flight (TOF) dan phase contrast (PC) yang memanfaatkan pergerakan
aliran darah untuk menimbulkan sinyal pembuluh darah. Dengan adanya
Gd di pembuluh darah, sinyal vaskular pada CEMRA tidak terhalang oleh
sejumlah artefak seperti hilangnya sinyal dari aliran lambat yang dapat

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 189


menyebabkan kesalahan penilaian, misalnya stenosis atau gambaran
menyerupai oklusi vaskular (Rubin et al., 2009).
Dengan CEMRA, arteri akan dapat terlihat bila pengambilan
gambar dilakukan ketika obat masuk fase arterial. Namun demikian, jika
pengambilan gambar dilakukan selama fase vena maka akan terlihat
gambaran vena.

Persiapan pasien
Sebagaimana pemeriksaan MR scan yang lain, persiapan pasien
yang baik akan mengurangi lama pemeriksaan dan meningkatkan efisiensi
klinis. Selain pemeriksaan terhadap kontraindikasi yang biasa pada
pemeriksaan magnetic resonance (misalnya pacemakers) dan penggunaan
zat kontras Gd-chelate (misalnya kehamilan), pasien yang akan menjalani
pemeriksaan CEMRA sebaiknya diperiksa oleh seorang dokter. Lebih baik
jika ahli radiologi atau anggota dari bagian radiologi harus memeriksa
pasien sebelum dilakukanya prosedur untuk menjelaskan apa yang harus
dilakukan, pastikan tidak ada kontraindikasi, periksa nadi dan pastikan
bahwa premedikasi cukup. Kualitas gambar pada CEMRA intra abdomen
dan toraks akan lebih baik bila dilakukan sambil menahan napas. Pangkal
paha harus dicukur jika yang akan digunakan pendekatan femoral. Hal
ini telah menjadi rutinitas bagi pasien untuk puasa dalam jangka waktu
yang tertentu sebelum prosedur dilakukan untuk menghindari risiko
aspirasi selama ada kemungkinan reaksi terhadap media kontras (Rubin
etal.,2009).
Pada hampir semua pemeriksaan CEMRA, pasien diposisikan dengan
kaki terlebih dulu pada scanner dengan posisi telentang, kecuali pada
pemeriksaan neurovaskular dimana digunakan koil kepala atau sistem
neurovaskular kepala dan leher. Dengan demikian, pasien harus diposisikan
dengan kepala terlebih dahulu masuk pada scanner (Anzalone & Tartaro,
2005; Moeller & Reif, 2003).
CEMRA biasanya dilakukan dengan menggunakan zat kontras
Gdchelate ekstraselular yang banyak dijual di pasaran. Kecepatan injeksi
berpengaruh terhadap konsentrasi puncak dari Gd serta pencapaian SNR
arteri. Pada umumnya, pemberian dengan kecepatan injeksi yang lebih
cepat akan menyebabkan peningkatan SNR arteri, namun menyebabkan
penyangatan vena yang lebih awal. Rata-rata kecepatan injeksi 2ml/
detik ideal untuk diterapkan pada hampir semua pemeriksaan CEMRA,
walaupun akan lebih baik jika diberikan dengan kecepatan yang lebih tinggi
(Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003).
Pada kebanyakan pemeriksaan CEMRA, rata-rata dosis zat kontras
yang dibutuhkan yaitu 0,150,2 mmol/kg (sekitar 2030 ml). Jika waktu
pemberian sesuai, dapat diberikan dosis yang lebih rendah (0.1 mmol/kg).
Pada umumnya, penggunaan dosis zat kontras yang lebih besar memiliki
keuntungan karena dapat memperpanjang fase arterial dan sebagai
cadangan bila ternyata dibutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih panjang
(Anzalone & Tartaro, 2005; Moeller & Reif, 2003).

190 Pencitraan pada Stroke


Hal terakhir yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian kontras
adalah pemberian larutan saline. Pemberian saline (sekitar 30 ml)
sebaiknya digunakan pada semua pemeriksaan CEMRA. Pemberian saline
akan memastikan bahwa semua zat kontras masuk melalui vena perifer
menuju atrium kanan sehingga dapat dipastikan bahwa konsentrasi Gd
akan cukup mengisi arteri yang lebih distal (Anzalone & Tartaro, 2005;
Moeller & Reif, 2003).

Rangkuman
1. Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan suatu
metode menciptakan gambaran pembuluh darah dengan MRI.
MRA telah mengalami revolusi lebih dari beberapa dekade,
menggantikan angiografi kateter sebagai alat diagnostik utama
untuk mengevaluasi hampir semua teritorial pembuluh darah
khususnya pada teknik yang menggunakan kontras.
2. MRA merupakan modalitas pencitraan di bidang medis yang
dapat memperlihatkan gambaran pembuluh darah untuk
tujuan diagnosis dan terapi. Kelebihan MRA dibandingkan
DSA yaitu MRA bersifat noninvasif dan memberikan gambaran
tigadimensi.
3. Angiografi dilakukan dengan menggunakan:
- Fluoroscopy (x-ray) untuk membantu menempatkan kateter
ke dalam pembuluh darah tubuh
- Computed tomography (CT)
- Magnetic resonance imaging (MRI)
4. Kelebihan MRA dibandingkan DSA yaitu MRA bersifat noninvasif
dan memberikan gambaran tiga dimensi. MRA merupakan
teknik pencitraan non-invasif yang tidak melibatkan paparan
radiasi pengion. Kelebihan utama MRA dibandingkan CTA untuk
menilai pembuluh darah intrakranial adalah karena sifatnya yang
tidak menggunakan sinar-X, tidak selalu harus menggunakan zat
kontras, dan lebih baik dalam membedakan arteri dan vena.
Dalam hal pemeriksaan pembuluh darah otak, gabungan antara
pemeriksaan MRI dan MRA kepala akan menghasilkan nilai
diagnostik yang lebih tinggi.
5. Pada pemeriksaan neuroimaging, MRA juga dapat digunakan
untuk mendapatkan informasi mengenai difusi, perfusi (volume
darah serebri, aliran darah serebri, dan mean transit time) dan
fungsi otak yang memungkinkan evaluasi dengan menggunakan
modalitas tunggal.
6. Biasanya untuk melakukan pemeriksaan MRI, pasien diminta
untuk mengenakan baju khusus yang sudah disediakan rumah
sakit, pedoman aturan makan dan minum, masalah kesehatan

Bab 11 Mengenal Magnetic Resonance Angiography 191


yang dimiliki pasien, pasien yang sedang menyusui atau hamil
haris mengkonfirmasikan ke dokter atau ahli radiologi.
7. Namun MRA tetap memiliki keterbatasan. Semua teknik
pemeriksaan MRA rentan terhadap hal-hal yang menyebabkan
kerusakan pada gambar. Tiga hal yang dapat menyebabkan
kerusakan gambar pada semua teknik MRA adalah intravoxel
dephasing, signal saturation, dan signal ghosting.
8. Kontraindikasi pemeriksaan MRA maupun pemeriksaan
radiologis lainnya yang menggunakan agen kontras antara lain
sebagai berikut:
- Ada alat logam dalam tubuh, tetapi bagi mereka yang
mempunyai sejumlah kecil logam dan tidak terletak di daerah
pencitraan maka masih dapat dilakukan MRA.
- Semua pasien yang memiliki klip bedah intrakranial akibat
aneurisma.
- Memiliki kondisi yang memerlukan perangkat eksternal untuk
perawatan (misalnya, tangki O2 portabel).
- Klaustrofobia, MRA masih dapat dilakukan.
9. Unenhanced MRA berbeda dengan DSA atau teknik angiografi
lain karena tanpa penggunaan zat kontras sehingga bersifat
noninvasif. Selain itu, kelebihan MRA dibandingkan angiografi
konvensional adalah dapat memperlihatkan gambaran jaringan
ekstravaskular selain gambaran pembuluh darah sehingga
dapat menunjukkan hubungan antara abnormalitas aliran darah
dengan kelainan jaringan lunak.
10. Teknik MRA didesain secara khusus dimana aliran darah
menghasilkan sinyal hiperintens karena sinyal dari jaringan
disupresi (bright-blood angiography).
11. Di antara kedua teknik ini, bright-blood MRA secara klinis lebih
dapat diterima secara luas. Ada dua pendekatan yang dapat
dipergunakan untuk membentuk bright-blood MRA, yaitu time-
of-flight (TOF) dan phase-contrast (PC) angiography.
12. Contrast-enhanced Magnetic Resonance Angiography (CEMRA)
merupakan teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh
darah. Teknik yang berkembang pada CEMRA selama dekade
terakhir telah banyak mengalami perkembangan tidak hanya
pada kualitas gambar namun juga pada kecepatan, ketersediaan,
dan kemudahan penggunaannya.

192 Pencitraan pada Stroke


Bab 12
Mengenal Transcranial Color
Doppler

P
ada saat ini, terdapat kecenderungan bahwa stroke menyerang
generasi muda yang masih produktif. Tidak dapat dipungkiri bahwa
peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan
wabah kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang
melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Kemajuan teknologi ultrasonografi terbaru saat ini telah memberikan
kemudahan bagi kita untuk mengevaluasi sistem arterial intrakranial
dengan menggunakan Transcranial Color Doppler (TCD), sebagai deteksi
kondisi patologis vaskular pada pasien berisiko (Katz, M.L., 2003).
Setelah transient ischemic attack (TIA), pasien berada pada risiko
tinggi untuk mendapatkan serangan vaskular lebih besar. Risiko stroke

193
pada 90 hari pertama setelah TIA sekitar 4% hingga 20%, dengan
separuh serangan terjadi pada 2 hari pertama. Sementara itu, risiko
stroke pada 1 tahun setelah TIA berkisar antara 7% sampai 21%, dan
setelah itu menurun dengan rata-rata per tahun 2% sampai 6% pada 4
hingga 5 tahun berikutnya (Holzer, K., et al., 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Katrin Holzer pada tahun
2009, didapatkan data 13,8% pasien yang mengalami stroke iskemia
atau TIA, sebesar 3,1% juga mengalami infark miokard atau sindroma
koroner akut, dan 3,1% menjalani revaskularisasi arterial. Color Doppler
Ekstrakranial (Extracranial Doppler = ECD) menunjukkan adanya
stenosis ekstrakranial lebih dari 50% dan oklusi pada 19,3% pasien. TCD
menunjukkan adanya stenosis intrakranial pada 9,2% dan pola aliran
kolateral akibat stenosis ekstrakranial pada 3,1% kasus. Analisis data
menyimpulkan bahwa abnormalitas ECD dan TCD merupakan prediktor
untuk terjadinya serangan iskemia otak baru. Abnormalitas pada TCD juga
merupakan prediktor serangan iskemia kardiovaskular. Dengan demikian,
pasien TIA dengan TCD abnormal dikatakan mempunyai risiko tinggi
untuk berkembang menjadi serangan iskemia otak dan kardiovaskular di
masa yang akan datang (Holzer, K., et al., 2009).
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menguasai teknik
pemeriksaan TCD dan memberikan interpretasi yang tepat agar dapat
dilakukan terapi yang dini dan adekuat.

Sumber: Bathala, L., Man Mohan Mehndiratta, Vijay K Sharma, 2013

Gambar 12.1(a) Probe ultrasound: (a) panah hitam Transcranial Doppler,


panah putih yaitu Transcranial color-coded sonography. (b) (Ophthalmic),
(c)(suboksipital), (d) (temporal) yang menggambarkan berbagai transcranial
akustik window dan arah pemeriksaan selama TCD.

194 Pencitraan pada Stroke


Keunggulan TCD adalah tidak menimbulkan efek samping pada saat
pendeteksian tidak seperti halnya pada sinar-X atau efek radiologi lain
yang mengandung radioaktif sehingga lebih aman menggunakan TCD
(Interactive and Atracctive Physics, 2010).

12.1 Definisi Transcranial Color Doppler


Ultrasonografi Transcranial Color Doppler (TCD) merupakan
pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang ditimbulkan oleh
pembuluh darah basal intraserebral. Keuntungan utama TCD adalah
non invasif, murah, dapat dikerjakan dengan mesin yang portable, dan
dapat digunakan untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai
resolusi yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon
dinamik serebrovaskular. Di samping itu, TCD saat ini telah dinyatakan
dapat digunakan untuk mendeteksi circulating cerebral emboli, yang
tidak dapat terdeteksi dengan modalitas imaging lainnya (Markus, H.S.
etal.,2010).

12.2 Aplikasi Klinis TCD


Teknik TCD telah diperkenalkan sebagai metode untuk mendeteksi
vasospasme arteri serebri yang terjadi setelah perdarahan subarachnoid.
Selama 20 tahun terakhir, aplikasi klinis TCD makin berkembang
dan beberapa penelitian menghasilkan kegunaan lain TCD yaitu untuk
mengevaluasi hemodinamik serebrovaskuler intrakranial. Secara khusus
TCD telah digunakan untuk menginvestigasi beberapa hal berikut ini.
Diagnosis penyakit vaskular intrakranial.
Monitoring vasospasme pada perdarahan subarachnoid.
Skrining pada anak dengan penyakit sickle cell.
Mendeteksi jalur kolateral intrakranial.
Evaluasi efek hemodinamik penyakit oklusif ekstrakranial terhadap
aliran darah intrakranial.
Monitoring intraoperatif.
Deteksi emboli serebri.
Monitoring evolusi dari serebral sirkulatori arrest.
Menggambarkan subclavian steal.
Evaluasi sistem vertebrobasilar.
Deteksi feeding arteri pada AVM.
Monitoring regimen antikoagulan atau terapi trombolitik.
Monitoring selama intervensi neuroradiologi.
Tes functional reserve.
Monitoring setelah trauma kepala (Katz, M.L., 2003, Rasulo, 2008).

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 195


12.3 Prinsip Dasar TCD
Operator TCD harus mengerti bahwa spektral gelombang Doppler
yang dihasilkan selama pemeriksaan TCD adalah berdasar pada
hemodinamik. Gelombang yang dibentuk awalnya tidak menunjukkan
informasi anatomis. TCD merupakan teknik ultrasonografi canggih sejak
dikombinasikannya informasi hemodinamik dengan landmark anatomi
sehingga mampu mengidentifikasi arteri intrakranial dengan akurat.
Kita juga perlu memahami bahwa TCD berfungsi mengukur kecepatan
aliran darah dan bukan mengukur cerebral blood flow. Jika didapatkan
peningkatan kecepatan arteri intrakranial pada TCD, hal ini mungkin
dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut ini.
Peningkatan volume darah tanpa perubahan diameter lumen.
Penurunan diameter lumen (stenosis) tanpa perubahan volume aliran
darah.
Bisa juga karena kombinasi peningkatan volume aliran darah (volume
flow) dan penurunan diameter lumen pembuluh darah (Rasulo F.A.,
2008, Katz, M.L., 2003).
Kualitas gambar TCD bergantung pada pengetahuan yang adekuat
tentang kontrol instrumen alat. Display warna penting karena membantu
peletakan yang tepat dari volume sampel Doppler. Interpretasi pemeriksaan
TCD dibuat dari informasi spektral window Doppler. Untuk itu, sinyal
Doppler perlu dibuat dari beberapa kedalaman sepanjang jalur arteri.
Display color Doppler membantu operator untuk menentukan posisi arteri
yang akan dinilai spektral gelombangnya (Katz M.L., 2003).

Sumber: Aichi Medical University Hospital, 2012.

Gambar 12.2Pemeriksaan TCD pada kepala dan hasil pencitraannya.

196 Pencitraan pada Stroke


Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan posisi sampel volume
pada tampilan color Doppler dan mengoptimalkan sinyal Doppler adalah
mengambil setting depth dan mengatur sudut pengambilan. Orientasi
warna konvensional pada pemeriksaan TCD diset sebagai warna merah
untuk menunjukkan aliran darah yang mengarah/mendekati transduser dan
biru untuk menunjukkan aliran darah yang menjauhi transduser (Katz M.L.,
2003).
Dengan menjaga gambaran warna ini tetap tidak berubah (konstan),
akan memudahkan operator menentukan petunjuk arah aliran darah pada
arteri intrakranial. Gambaran aliran darah arteri intrakranial bergantung
pada beberapa instrumen kontrol yang dapat mempengaruhinya. Oleh
karena itu, estimasi ukuran arteri tidaklah akurat hanya dari display color
Doppler (Katz M.L., 2003).
Evaluasi arteri intrakranial dengan TCD dilakukan dengan
menggunakan transduser frekuensi rendah (2 MHz). Sampel volume besar
digunakan untuk membuat sinyal yang baik dari rasio noise. Window
temporal sangat bagus dipakai pada 90% pasien, namun akan sulit
dilakukan pada pasien yang lebih tua, dan lebih tepat jika digunakan
probe dengan frekuensi 1MHz (Schatlo, B. dan Ryszard M. Pluta, 2007,
KatzM.L., 2003, Rasulo F.A., 2008).
Dengan TCD, area scanning yang kecil sebagai pintu gerbang
awal (510 mm) dapat diletakkan pada segmen arteri spesifik yang
telah teridentifikasi pada gambar color flow. Velocity arteri intrakranial
yang didapatkan dari TCD dianggap sudut 0. Pada beberapa penelitian,
peneliti melaporkan bahwa penggunaan TCD dengan menggunakan
velocity peak sistolik dan end diastolik telah digunakan di samping mean
velocity (time average peak velocities) (Katz M.L., 2003).
Perbedaan velocity antar arteri intrakranial penting untuk diketahui
dan penjelasannya sebagai berikut.
1) Velocity tertinggi adalah a. serebri media (MCA),
2) Jika velocity a. serebri anterior (ACA) lebih besar dari MCA >25%,
ACA mungkin hipoplasi, stenosis, memberi kolateral, atau mungkin
terdapat infark pada distribusi MCA.
3) Velocity sirkulasi anterior lebih besar dari sirkulasi posterior (Katz
ML, 2003).
Pada pasien asimptomatik dewasa, asimetris antara sisi kanan dan
kiri mungkin bisa minimal. Perbedaan antara sisi kiri dan kanan dilaporkan
kurang dari 30% pada vaskular normal dan dengan anatomi sirkulus
Willisi yang tidak terganggu. Perbedaan yang kecil secara umum tidak
mengindikasikan adanya kondisi patologis. Jika didapatkan perbedaan
saat pemeriksaan TCD, sebaiknya pemeriksaan diulang pada arteri yang
velocitynya lebih rendah. Perbedaan dikatakan abnormal bila lebih dari
30%. Di samping itu, mungkin juga sulit untuk menginterpretasikan
asimetri pada PCA dan a. vertebralis karena variasi anatomi dan atau
hipoplasi yang sering terjadi pada arteri tersebut (Katz M.L., 2003).

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 197


Pulsatility index (PI) juga penting untuk menilai adanya obstruksi flow
vaskular. Berkurangnya flow pada distal obstruksi akan memiliki PI yang
rendah/menurun (velocity diastolik lebih dari 5060% dari peak sistolik).
Sinyal Doppler yang didapatkan pada proksimal obstruksi akan memiliki
resistensi yang tinggi (contohnya pada peningkatan tekanan intrakranial),
sedangkan PI (pulsatilitas spektral gelombang) akan meningkat. PI normal
pada MCA berkisar antara 0,51,1 (Katz M.L.2003).
Pelebaran spektral yang biasanya tampak pada stenosis arteri
ekstrakranial dianggap tidak berpengaruh pada interpretasi TCD (Katz
M.L. 2003).

12.4 Alat dan Metode pada TCD

12.4.1 Peralatan pada TCD


Peralatan yang digunakan untuk TCD bervariasi mulai dari yang kecil
dan portable sampai yang besar dan mesin statis. Mesin portable dapat
digunakan untuk pemeriksaan bedsite.

Sumber: Katz ML, 2003, Stroobant, 2000

Gambar 12.3Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan TCD.

Transducer yang digunakan untuk pemeriksaan TCD berfrekuensi


rendah (1-2 MHz) yang berbentuk seperti bulpoin.

Transducer
Sumber: Interactive and Atracctive
Media dipindahkan Physics, 2010
Sudut Doppler
Gambar 12.4Prinsip
kerja transducer pada TCD
Sebaran isi Arah aliran adalah dengan memberikan
suatu gelombang bunyi
ke tubuh manusia dengan
Profil kecepatan
menggunakan media
transmiter.

198 Pencitraan pada Stroke


12.4.2 Posisi Pasien
Pemeriksaan TCD dikerjakan pada pasien dalam posisi supine.
Posisi ini memungkinkan akses window transtemporal, transorbital,
dan submandibular, sedangkan posisi lain digunakan untuk pendekatan
window suboccipital. Pemeriksaan suboccipital dapat juga dikerjakan
pada posisi supine dan kepala dihadapkan ke satu sisi, dengan pasien
posisi duduk dan kepala ditundukkan ringan ke depan dada atau dengan
pasien tidur miring ke satu sisi dengan kepala menekuk ringan sehingga
dagu menyentuh dada. Pemeriksaan dengan window suboccipital
dikatakan lebih mudah bila pasien dapat bertahan pada posisi tidur
miring (Katz M.L., 2003; Rasulo FA, 2008).
12.4.3 Posisi Operator
Operator duduk dekat kepala pasien dan menstabilkan lengan yang
memeriksa dengan meletakkan siku pada meja periksa. Posisi lengan
bawah akan mencegah pergerakan spontan dari tangan yang dapat
menyebabkan hilangnya sinyal Doppler arteri intrakranial dan mencegah
artefak karena gerakan yang dapat mempengaruhi gambaran sinyal.
Pada posisi ini operator juga dapat mendapat akses yang sama baiknya
antara sisi kanan dan kiri kepala, yang akan menghasilkan orientasi
terbaik transduser terhadap tubuh. Penting bagi operator untuk menjaga
kenyamanan dan segi ergonomis posisi saat melakukan pemeriksaan TCD.
Kemampuan mekanik dan alignment tubuh dapat mencegah munculnya
nyeri dan injuri bagi pasien dan operator (Katz M.L., 2003).
12.4.4 Window/lokasi pemeriksaaan TCD
Pemeriksaan TCD yang lengkap meliputi pendekatan melalui:
transtemporal suboccipital
transorbital submandibular

A
C
D
Sumber: Katz M.L., 2001, Rasulo F.A., 2008

Gambar 12.5Posisi transduser yang dipakai untuk window TCD.


(A)transtemporal, (B) transorbital, (C) suboccipital, dan (D) submandibular.

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 199


Depths (mm) dan mean velocity (cm/sec) arteri intrakranial yang
dievaluasi melalui beberapa pendekatan TCD antara lain seperti pada
Tabel 12.1 berikut ini.
Tabel 12.1Depths dan mean velocity arteri intrakranial yang dievaluasi
melalui beberapa pendekatan TCD
Mean Velocity
Window Arteri Depth (mm)
(cm/sec)
Transtemporal Middle Cerebral 3067 62 12
Anterior Cerebral 6080 50 11
Terminal Internal Carotid 6067 39 9
Posterior Cerebral 5580 39 10
Posterior Communicating
Anterior Communicating
Transorbital Ophthalmic 4060 21 5
Internal Carotid (siphon) 6080 47 10
Suboccipital Vertebral 4085 38 10
Basilar > 80 41 10
Submandibular Distal Internal Carotid 3570 37 9
Sumber: Katz, M.L., 2003

12.4.5 Window Transtemporal


Window transtemporal digunakan untuk mengevaluasi a. serebri
media (MCA), a. serebri anterior (ACA), a. serebri posterior (PCA), dan
bagian terminal dari a. karotis interna (TICA) sebelum bifurkatio (Rasulo
F.A., 2008).
Pendekatan transtemporal dilakukan dengan memposisikan pasien
supine dengan kepala lurus. Transduser diletakkan pada cephalad os
temporal ke arcus zygomaticus, bagian anterior telinga. Pemberian gel
akustik yang agak banyak penting untuk memastikan kontak yang baik
antara transducer dan kulit untuk mengoptimalkan sinyal Doppler (Katz
M.L., 2003).
Window transtemporal bervariasi dalam ukuran dan lokasinya pada
beberapa pasien dan mungkin juga bervariasi pada satu sisi dengan sisi
yang lain pada satu pasien. Window ini bisa tidak didapatkan pada >30%
populasi pada saat pemeriksaan TCD dan sulit terdeteksi pada pasien tua,
wanita, dan pada ras afroamerika (Katz M.L., 2003).
Orientasi marker transducer sebaiknya diletakkan pada arah anterior
dengan sudut transduser sedikit ke superior. Orientasi ini menghasilkan
gambar transvers obliq view yang memiliki keuntungan dapat mem
perlihatkan sirkulasi anterior dan posterior intrakranial pada beberapa
pasien. Hemisfer ipsilateral adalah sebagai sisi paling atas dan hemisfer

200 Pencitraan pada Stroke


kontralateral yang berada pada sisi terbawah pada monitor, dimana sisi
anterior berada di sisi kiri dan posterior di sisi kanan (Katz M.L., 2003).
Dengan window transtemporal dan setting depth yang baik
(1416cm), skull kontralateral memberikan echo dekat area terbawah dari
gambar. Transduser harus digerakkan pelan-pelan sepanjang permukaan
kulit untuk mendapat window transtemporal yang terbaik. Setelah
didapatkan lokasi terbaik, setting depth diatur pada 8-10 cm. Visualisasi
sistem arterial kontralateral mungkin dapat dilihat pada beberapa pasien,
namun sebaiknya dievaluasi secara terpisah melalui window ipsilateral
untuk mendapatkan sudut transduser yang terbaik. Pada pasien yang
hanya bisa dengan window transtemporal unilateral, mengevaluasi sisi
kontralateral masih memungkinkan dan hal itu memberikan informasi
perkiraan (Katz M.L., 2003).
Setelah meletakkan transduser pada window transtemporal,
transduser kemudian disudutkan ke arah sedikit inferior untuk
mengidentifikasi landmark tulang. Struktur anatomi ini memastikan
bahwa operator telah ada pada level yang benar pada skull untuk
mendapatkan sirkulus Willisi. Reflective echo yang meluas ke anterior
adalah lesser wing os sphenoid dan reflective echo dari petrous ridge os
temporal akan meluas ke posterior. Lobus temporal ipsilateral merupakan
puncak dari gambar. Setelah mendapat visualisasi landmark intrakranial
ini, gray scale dioptimasi menggunakan gain dan kontrol TGC (times gain
compensation). Kontrol warna kemudian dihidupkan dan pemeriksaan
dimulai dengan menggambarkan a.karotis interna terminal (t-ICA) yang
terletak dekat dengan foramen lacerum. T-ICA berada pada depth 60
67mm, dengan mean velocity normal 39 9 cm/detik, dan arah aliran
darah bergantung pada konfigurasi anatomi arteri (Katz M.L., 2003).
Walaupun sirkulasi anterior dan posterior dapat tervisualisasi dengan
simultan pada beberapa pasien, sering kali untuk melihat anatomi pasien
diperlukan beberapa pemeriksaan. Dengan mengubah sedikit posisi dan
sudut transduser pada kulit, kita dapat mengevaluasi sirkulasi intrakranial
anterior dan posterior (Katz M.L., 2003).

Cerebral penducles

Ipsilateral

2
M2 4
M1 6
A1
8
A2 P1 P2 10
Contralateral

Sumber: Katz M.L., 2001

Gambar 12.6Skema sirkulus Willisi yang tervisualisasi pada window


transtemporal.

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 201


Berdasarkan Gambar 12.6 terlihat arteri serebri media (M1 dan M2);
a.serebri anterior (A1 dan A2), dan a.serebri posterior (P1 danP2).

Sumber: Katz M.L., 2001

Gambar 12.7Sirkulus Willisi pada window transtemporal. Arteri serebri


media (MCA); arteri serebri anterior (ACA), dan arteri serebri posterior
(PCA).

Sumber: Katz M.L., 2001

Gambar 12.8Tampilan sirkulus Willisi dari window transtemporal dengan


power Doppler.

Transduser disudutkan ke anterior dan ke superior sehingga akan


tampak sirkulasi anterior (a. serebri media dan anterior). Sphenoid wing
dapat digunakan sebagai landmark karena a.serebri media (MCA) melalui

202 Pencitraan pada Stroke


di dekatnya. Cabang utama MCA akan tampak merah karena aliran darah
secara normal mendekati transduser. Depth umumnya 3067 mm dan
mean velocity normal 6212 cm/detik. Cabang M2 umumnya tampak
merah, namun bisa juga biru saat kurva dan aliran darahnya menjauhi
transducer (Katz M.L., 2003).

Sumber: Katz M.L., 2001

Gambar 12.9Sinyal Doppler


dari a. serebri media (MCA)
dengan mean velocity
56cm/sec.

Arteri serebri anterior (ACA) ditunjukkan sebagai warna biru karena


alirannya menjauhi transduser menuju midline. Transduser harus
disudutkan sedikit ke anterior dan superior untuk memvisualisasikan
ACA. Depth umumnya 6080 mm dan mean velocity normal 50 11
cm/detik, dan color PRF harus dikurangi untuk menunjukkan arteri ini
karena velocitynya yang lebih rendah. Walaupun bukan merupakan
pemeriksaan yang rutin, bagian proksimal dari segmen A2 sering kali
dapat tervisualisasi, tergambar dengan warna biru yang ekstensi ke arah
anterior pada midline menuju ke fisura interhemisfer (Katz M.L., 2003).

(A) (B) (C)


Sumber: Anthony R, 1996

Gambar 12.10Diagram arteri serebri anterior (A), arteri karotis interna


terminal (B), dan arteri serebri posterior (C).

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 203


Pada Gambar 12.10 bagian (A) menunjukkan diagram yang meng
gambarkan transduser diposisikan pada anterior window transtemporal.
Spektral Doppler yang didapat dari sampel volume pada depth 6075
mm menunjukkan velocity 4176 cm/detik. Arah aliran darah menjauhi
transduser. Bagian (B) merupakan diagram yang menunjukkan a.karotis
interna terminal. Diagram menunjukkan posisi transducer pada medial
window transtemporal. Spectral window Doppler didapat dari sampel
volume pada depth 6065 mm, menggambarkan aliran normal dengan
velocity 3048 cm/detik. Aliran darah mendekati transduser. Semetara itu,
bagian (C) menunjukkan A. serebri posterior (P1). Diagram menunjukkan
posisi transduser pada window transtemporal posterior. Spektral didapat
dari depth 6075 mm, menunjukkan aliran normal dengan velocity 33
64 cm/detik, dengan aliran darah mendekatitransduser.
Sirkulasi posterior dapat tervisualisasi dengan menyudutkan
transduser sedikit ke posteroinferior, menggunakan landmark anatomi
pedunkulus serebri. Normal 2 pedunkulus serebri identik, sama ukuran
dan bentuknya, serta isoechoic. A. serebri posterior (PCA) melingkupi
sekitar pedunkulus serebri. Segmen P1 dari PCA tampak merah karena
aliran darah normal mendekati transduser. Color PRF harus diturunkan
untuk memvisualisasikan PCA karena velocity aliran darah yang rendah.
Depth umumnya antara 5580 mm dan mean velocity 39 10 cm/
detik. Segmen P2 dari PCA mungkin dapat tergambar merah (mendekati
transduser) sedikit distal dari pangkal a. communicating posterior, namun
dapat juga tergambar biru distal dari jalur sekitar pedunkulus serebri.
Hal ini dapat bervariasi karena vaskular yang turtous dan orientasi dari
transduser. Sering kali segmen P1 ipsilateral dan kontralateral dapat
tervisualisasi dekat dengan asalnya pada terminal a. basilaris. Segmen
P1 terlihat berwarna merah dan segmen P1 kontralateral berwarna biru
(Katz ML, 2003).
Arteri communicating anterior (ACoA) tidak tervisualisasi karena
ukurannya yang sangat pendek. Sementara itu arteri communicating
posterior (PCoA) lebih panjang dan sering tervisualisasi, menghubungkan
sirkulasi anterior dan posterior. Mean peak velocity pada PcoA yaitu 36
15 cm/detik dan arah aliran darah dapat mendekati atau menjauhi
transduser. Color PRF harus diturunkan untuk memvisualisasikan PCoA.
Keuntungan lain, dengan power Doppler imaging dapat membantu
menunjukkan lokasi PCoA karena arteri ini sering berjalan pararel dengan
garis kulit (Katz ML, 2003).
Hal penting yang harus diingat yaitu bahwasannya Transcranial Color
Doppler hanyalah gambar 2 dimensi. Arteri intrakranial yang turtous
sering kali tidak dapat ditampilkan seluruh panjangnya pada jalur yang
kontinyu. Pada kasus ini, gambar grey scale dan informasi color pixel
dapat membantu mengarahkan gerakan sampel volume Doppler melalui
lokasi anatomi yang benar dan operator dapat menggunakan imaging
transducer untuk mendapatkan informasi hemodinamik yang memadai
guna melakukan pemeriksaan TCD (Katz ML, 2003).

204 Pencitraan pada Stroke


12.4.6 Window Subocciptal
Window suboccipital (transforaminal) dapat memberikan informasi
tentang distal a. vertebralis (VA) dan a. basilaris (BA) (Rasulo FA, 2008).
Ketika mengevaluasi sistem vertebrobasilar, hasil yang terbaik bisa
didapatkan dengan memposisikan pasien berbaring pada satu sisi dengan
kepala sedikit menunduk ke arah dada. Posisi ini akan meningkatkan gap
antar kranium dengan atlas. Orientasi marker dari transduser diposisikan
pada sisi kanan pasien dan transducer diletakkan pada aspek posterior dari
leher, inferior dari nuchal crest. Gambar terbaik dari window suboccipital
didapatkan dengan transduser diletakkan dekat midline dengan beam
ultrasound diarahkan ke pertengahan hidung. Transduser (wide ultrasound
beam) diletakkan lebih inferior dari leher dan disudutkan lebih superior
untuk mendapat gambaran sistem arteri vertebrobasilar (Katz ML, 2003).

Sumber: Georgios, 2008

Gambar 12.11Gelombang low-resistance PMD flow normal pada vaskular


sirkulasi posterior.

Jika kita perhatikan gambar di atas maka (A) menunjukkan


PCoA (ditandai dengan pita biru pada depth 5372 mm dengan
window transtemporal. MCA tampak lebih superfisial (pita merah).
(B)menunjukkan VA (window suboccipital). (C) menunjukkan BA
(window suboccipital/transforaminal). (D) menunjukkan puncak basiler
(ipsilateral PIPCA-pita merah pada depth 5673 mm dan kontralateral
PIPCA-pita biru pada depth 7486 mm dengan window transtemporal).
(E)menunjukkan arteri serebelli posterior inferior/PICA-merah pada depth

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 205


5867 mm pada window suboccipital tampak ipsilateral VA dan BA
secara simultan tervisualisasi pada PMD display (Georgios, 2008).
Area anechoic sirkular besar yang digambarkan dari window
suboccipital ini merupakan foramen magnum dan refleksi hiperechoic
yang lebar adalah dari os occipital. Depth dari struktur anatomi ini
bervariasi pada beberapa pasien bergantung pada ketebalan soft tissue
suboccipital. Saat landmark anatomi telah didapatkan, gambar grey scale
dioptimasi dengan menggunakan image gain dan kontrol TGC. Kontrol
warna/Doppler dihidupkan dan a. vertebralis kanan akan tampak pada
sisi kiri gambar (monitor) dan a. vertebralis kiri pada sisi kanan gambar
(monitor). Arteri basilaris posisinya lebih dalam (terbawah pada gambar)
terhadap arteri vertebralis. Depth gambar harus diset antara 1012 cm.
Aliran darah pada arteri vertebralis normal umumnya menjauhi transduser
sehingga tampak berwarna biru. Sistem vertebrobasilar tampak sebagai
blue Y pada gambar. Operator tidak selalu dapat memvisualisasikan
sistem vertebrobasilar dalam bentuk Y yang kontinyu karena bentuk
yang turtous dari arteri basilaris dan vertebralis. Bahkan jika "Y"sign
dapat divisualisasikan dengann color flow imaging, kebanyakan sisi distal
dari a. basilaris tidak dapat secara jelas tampak pada gambar. Arteri
basilaris sering turtous dan gambaran dari bagian distalnya memerlukan
tambahan manuver "dig-in" dengan transducer (Katz M.L., 2003).
Saat didapatkan gambar "Y"-sign, operator perlu menggerakkan
transduser sedikit ke inferior namun bertujuan lebih rostral untuk
menggambarkan perjalanan dari distal a. basilaris. Penting untuk diingat
bahwa distal a. basilaris umumnya ditemukan pada depth 10 cm,
sedangkan "Y"-junction dari a. vertebralis didapatkan pada depth antara
78.5 cm. Sampel volume Doppler ditempatkan di arteri vertebralis
dan akan didapatkan gelombang spektral Doppler. Sampel volume
dapat digerakkan dari satu sisi ke sisi yang lain atau dapat dievaluasi
melalui beberapa bagian a. vertebralis secara individual. Mean velocity
pada a. vertebralis normal adalah 38 10 cm/detik dan mean velocity
pada arteri basilaris yaitu 41 10 cm/detik. Jika sirkulasi posterior
mempunyai velocity yang lebih rendah daripada sirkulasi anterior
mungkin operator perlu menurunkan color PRF untuk menggambarkan
sistem vertebrobasilar. Operator juga perlu memilih posisi transduser
pada leher atau menyesuaikan sudutnya untuk mencari letak a. basilaris
yang lebih dalam. Menggerakkan transduser sedikit ke inferior sering
dapat menghasilkan gambar yang lebih baik daripada distal a. basilaris.
Untuk mengikuti a. basilaris hingga distal, sebaiknya operator tidak
menampilkan gambaran color Doppler. Pada kasus ini, operator sebaiknya
menggunakan transduser untuk mendapatkan Doppler hemodinamik
seperti pada pemeriksaan non-imaging TCD. Sampel volume digerakkan
sepanjang jalur yang diperkirakan merupakan a. basilaris. Bagian
terminal a. basilaris pada percabangannya ke PCA kanan kiri tidak dapat
digambarkan melalui window ini (Katz M.L., 2003).

206 Pencitraan pada Stroke


12.4.7 Window Transorbital
Window transorbital (orbital) memberikan akses untuk mengevaluasi
a. ophthalmica (OA) dan a. karotis interna pada level siphon (Rasulo,
2008). Evaluasi melalui transorbital memberikan informasi tentang
a. ophthalmica dan karotid siphon. United States Food and Drug
Administration (FDA) telah memperkenalkan transduser dari beberapa
pabrik untuk evaluasi mata. Penting saat melakukan pemeriksaan ini yaitu
untuk menurunkan setting power secara signifikan sebelum mengevaluasi
mata. Dilaporkan bahwa dengan menggunakan power output yang rendah
akan didapatkan gambaran color Doppler yang bagus. Di samping itu,
waktu pemeriksaan juga harus seminimal mungkin. Walaupun belum ada
yang meneliti bioefek akibat pemeriksaan ultrasonografi pada mata, setting
power dari sistem color Doppler dapat meningkatkan risiko terjadinya
kerusakan mata. Level output akustik maksimal yang direkomendasikan
oleh FDA untuk pemeriksaan pada mata adalah dengan intensitas spasial
peak temporal average (SPTA)-nya antara 17 mW/cm2 dan mechanical
index (MI)-nya 0,28. Pemandu prinsip untuk penggunaan ultrasonografi
sebagai diagnostic adalah ALARA ("as low as reasonably achievable"),
yaitu serendah dan seaman mungkin (Katz M.L., 2003).
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien supine dan transduser
diletakkan secara gentle dekat dengan bulu mata. Pelepasan lensa
kontak hanya dibutuhkan jika pasien merasa tidak nyaman. Disarankan
menggunakan gel yang banyak dan juga dianjurkan untuk tidak menekan
bulu mata. Perhatian terhadap control instrument penting untuk
meminimalisir artefak yang ditimbulkan oleh pergerakan involuntair
bola mata. Kadang kala sangat membantu bagi kita untuk menyarankan
pasien untuk memfokuskan matanya pada satu sisi yang berlawanan
selama dilakukan pemeriksaan (Katz M.L., 2003).
Orientasi marker dari transduser harus diletakkan medial, menuju
hidung, ketika kita melakukan pemeriksaan pada mata kanan dan kiri.
Pemeriksaan pada salah satu mata menghasilkan gambar dengan medial
(nasal) pada sisi kiri dan temporal pada sisi kanan monitor. Variasi teknik
ini adalah dengan marker orientasi yang diarahkan pada sisi kanan pasien
saat mengevaluasi satu mata. Orientasi transduser ini akan menghasilkan
gambar carotid siphon dengan medial (nasal) pada sisi kiri monitor
saat memeriksa mata kiri dan medial pada sisi kanan monitor saat
mengevaluasi mata kanan. Globe berada pada puncak/bagian teratas dari
gambar (monitor) (Katz M.L., 2003).
Carotid siphon didapatkan pada depth 6080 mm dan mean velocity
47 14 cm/detik. Arah aliran darah bergantung pada segmen mana
(parasellar, genu, supraclinoid) dimana terinsonasi. Aliran darah (blood
flow) pada genu tampak 2 arah, mendekati transduser dan menjauhi
transduser pada segmen supraklinoid (Katz M.L., 2003).
Untuk mengevaluasi a. ophtalmica, setting depth sampel volume
Doppler diatur antara 4060mm. Gambar yang terbaik dari segmen
superfisial ini akan didapatkan dengan menggunakan frekuensi yang

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 207


lebih tinggi (7,510MHz) dari transducer linear array. Ultrasound beam
harus diarahkan sedikit ke medial sepanjang plane anterior-posterior.
OA umumnya dapat ditemukan dekat dengan nervus opticus. Color
PRF harus diturunkan untuk memvisualisasikan arteri ini. Aliran darah
umumnya mendekati transduser dengan mean velocity normal 21
5 cm/detik. Sinyal Doppler memiliki pulsatilitas yang tinggi karena OA
mensuplai darah ke globe dan strukturnya (Katz M.L., 2003).

Sumber: Antony, 1996

Gambar 12.12(Kiri) Arteri ophthalmica dan (kanan) carotid siphon.

Berdasarkan gambar di atas, diagram menunjukkan transducer


diletakkan di window transorbital. Spektral Doppler diambil dari depth
4560 mm menunjukkan aliran darah normal dengan velocity 2149 cm/
detik. Aliran darah mendekati transduser (kanan) carotid siphon. Diagram
menunjukkan posisi transduser pada window transorbital. Spektral
Doppler diambil pada depth 6075 mm, menunjukkan velocity normal
5060 cm/detik. Aliran tampak 2 arah (bidirectional) (Anthony,1996).

12.4.8 Window Submandibular


Window submandibular dipakai untuk mengevaluasi bagian distal arteri
karotis interna (ICA) ekstrakranial.
Pendekatan melalui submandibular merupakan kelanjutan dari
evaluasi duplex imaging ekstrakranial distal arteri karotis. Transducer
diletakkan pada angulus mandibula dan disudutkan sedikit ke medial
dan diarahkan menuju karotid kanal. Marker orientasi transduser
ditempatkan di arah superior. Aliran darah distal ICA yaitu menjauhi
transduser dan tergambar berwarna biru. Evaluasi Doppler yang hati-hati
dapat membedakan sinyal ICA yang resistensinya rendah dari sinyal yang
resistensinya tinggi dari ECA. Aliran vena kurang pulsatil dan mengarah
mendekati transduser (warna merah). Sudut transduser harus diatur

208 Pencitraan pada Stroke


mengikuti bagian retromandibular dari ICA. Mean velocity di segmen ICA
normal 37 9 cm/detik (Katz M.L., 2003).
Pada akhir pemeriksaan TCD, gel ultrasonografi dibersihkan dari
pasien. Gel yang menempel di transduser juga dibersihkan dengan
desinfektan (Katz M.L., 2003).
Dapat disimpulkan bahwa kriteria yang digunakan untuk meng
identifikasi masing-masing arteri intrakranial adalah sebagai berikut.
Tabel 12.2Kriteria identifikasi pembuluh darah

1. Menggunakan kranial window


2. Sampel volume depth (mm)
3. Arah aliran (menuju atau menjauhi transduser, dua arah)
4.Jarak (mm) dimana pembuluh darah dapat ditulusuri tanpa
bercabang
5. Hubungan dengan persimpangan TICA/MCA/ACA
6.Sudut transduser dalam hubungannya dengan kepala dan kranial
window pasien
7. Kecepatan aliran relatif (MCA>ACA>PCA = BA = VA)
8. Respon terhadap kompresi common carotid artery

Catatan: ACA: anterior cerebral artery; BA: basilar artery; MCA:


middle cerebral artery; PCA: posterior cerebral artery; TICA: terminal
internal carotid artery; VA: vertebral artery.
Sumber: Anthony R, 1996

Sumber: Anthony R, 1996

Gambar 12.13Kompresi arteri karotis kommunis.

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 209


Tabel 12.3Ringkasan kriteria identifikasi pembuluh darah

210
Arah aliran Hubungan dengan
Depth (relatif terhadap TICA/MCA/ACA Kecepatan Respon terhadap
Arteri Window (mm) transducer) Juction (cm/detik) kompresi carotid
MCA (M1) Transtemporal 4565 Toward At 4686 , 0
MCA/ACA bifurcation Transtemporal 6065 Bidirectional At ... , 0
ACA Transtemporal 6075 Away Anterosuperior 4176 , 0, r
PCA (P1) Transtemporal 6075 Toward Posteroinferior 3364 0, (fetal origin:
, 0)
PCA (P2) Transtemporal 6075 Away Posteroinferior 3364 0, (fetal origin:
, 0)
TICAv Transtemporal 6075 Toward Inferior 3048 0, r
Opthalmic artery Transorbital 4560 Toward ... 2149 0
CS, supraclinoid Transorbital 6075 Away ... 5060 0, r
CS, genu Transorbital 6075 Bidirectional ... ... 0, r
CS, parasellar Transorbital 6075 Toward ... 5060 0, r
Vertebral artery Transforaminal 6585 Away ... 2755 ...
Basilar artery Transforaminal 90120 Away ... 3057 ...
Catatan: arteri kommunikating anterior dan posterior hanya terdeteksi oleh transcranial Doppler sonography jika mereka beraksi sebagai
rute sirkulasi kolateral (menunjukkan peningkatan aliran darah). ACA = anterior cerebral artery, CS = carotid siphon, MCA = middle
cerebral artery, PCA = posterior cerebral artery, r = reversal of flow, TICA = terminal internal carotid artery, = decreased flow,
= increased flow.
Sumber: Anthony R, 1996

Pencitraan pada Stroke


Gambar 12.13 menunjukkan gambaran transcranial Doppler pada
MCA kiri selama kompresi arteri karotis kommunis yang menunjukkan
penurunan aliran. Hal ini mengindikasikan bahwa arteri kini bergantung
pada vaskular yang dikompresi. Tanda panah menunjukkan periode
selama kompresi.
Tabel 12.4Pola khas untuk identifikasi arteri serebral
Kompresi Kompresi
Pembuluh Arah Depth Arah
ipsilateral kontralateral
darah pemeriksaan (mm) aliran
karotid karotid
Arteri serebral Anterior 6075 Menjauh Pembalikan Kecepatan
anterior aliran meningkat
MCA Perpendicular 3560 Menuju Mengurangi Tidak
kecepatan berubah
Arteri serebral Posterior 5570 Menuju Tidak ada Tidak
posterior perubahan atau berubah
penambahan
kecepatan
Sumber: (Sloan, M.A. et al., 2004)

Tabel di atas merupakan pola normal yang diharapkan pada individu


dengan anatomi sirkulus Willisi normal dan tanpa patologi vaskular atau
intrakranial. Pemeriksaan individu mungkin berbeda.

12.5 Akurasi TCD dan Faktor Fisiologis dalam


Pemeriksaan TCD

12.5.1 Akurasi TCD dalam pemeriksaan diagnostik


Bagaimana akurasi TCD dalam pemeriksaan diagnostik? Kita akan
mempelajarinya pada tabel berikut ini.
Tabel 12.5Akurasi TCD ultrasonografi dengan indikasi
Sensitivitas Spesifitas Eviden/
Indikasi Standar acuan
(%) (%) kelas
Sickle cell disease 86 91 Conventional angiography A/I
Right-to-left cardiac shunts 70100 >95 Transesophageal A/II
Intracranial steno-occlusive Conventional angiography
disease
Anterior circulation 7090 9095 B/IIIII
Posterior circulation 5080 8096 B/III
Occlusion
MCA 8595 9098 B/III
ICA, VA, BA 5581 96 B/III
Extracranial ICA stenosis Conventional angiography
Single TCD variabel 378 60100 C/IIIII

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 211


Sensitivitas Spesifitas Eviden/
Indikasi Standar acuan
(%) (%) kelas
TCD battery 4995 42100 C/IIIII
TCD battery and carotid duplex 89 100 C/IIIII
Vasomotor reactivity testing Conventional angiography, B/IIIII
 70% extracranial ICA clinical outcomes
stenosis/occlusion
Carotid endarterectomy EEG, MRI, clinical outcomes B/II
Cerebral microembolization Experimental model,
pathology, MRI,
neuropsychological tests
General B/IIIV
Coronary artery bypass graft B/IIIII
surgery microembolization
Prosthetic heart valves C/III
Cerebral thrombolysis Conventional angiography, B/IIIII
MRI angiography, clinical
outcome
Complete occlusion 50 100
Partial occlusion 100 76
Recanalization 91 93
Vasospasm after spontaneous
subarachnoid hemorrhage:
Intracranial ICA 2530 8391
MCA 3994 70100
ACA 1371 65100
VA 44100 8288
BA 77100 4279
PCA 4860 7887
Vasospasm after traumatic Conventional angiography IIII
subarachnoid hemorrhage
Cerebral circulatory arrest and 91100 97100 Conventional angiography, II
brain death EEG, clinical outcome
TCD = transcranial Doppler, MCA = middle cerebral artery, ICA = internal carotid artery, VA = vertebral
artery, BA = basilar artery, ACA = anterior carotid artery, PCA = posterior carotid artery
Sumber: MA Sloan, 2004

12.5.2 Faktor Fisiologis Yang Mempengaruhi


Pemeriksaan TCD
Faktor fisiologis apa saja yang mempengaruhi pemeriksaan TCD?
Berikut ini penjelasannya (Katz, M.L., 2003).
a. Usia
Kecepatan pada TCD dipengaruhi oleh usia pasien. Kecenderungan
turunnya kecepatan dengan meningkatnya usia diakibatkan oleh
perubahan cardiac output dan berhubungan dengan penurunan cerebral
blood flow dengan bertambahnya usia.

212 Pencitraan pada Stroke


b. Jenis kelamin
Daya tembus os temporal dengan ultrasonografi umumnya lebih sulit
pada wanita dibanding pria. Namun dalam hal sinyal Doppler intrakranial,
tidak ada perbedaan yang bermakna.
c. Hematokrit
Hematokrit (Hct) merupakan presentasi dari jumlah sel darah
merah yang menentukan viskositas darah. Viskositas darah sangat
mempengaruhi kecepatan aliran darah. Kecepatan darah akan meningkat
pada anemia (Hct < 30%) untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan
oksigen yang adekuat. Pada anemia peningkatan kecepatan terjadi di
seluruh arteri intrakranial. Jika peningkatan kecepatan hanya terjadi
secara fokal/lokal pada segmen/arteri tertentu saja maka perlu dipikirkan
penyebab lainnya. Akan sulit untuk mengidentifikasi stenosis intrakranial
pada pasien dengan hematokrit yang rendah.
d. Demam
Demam akan meningkatkan cerebral blood flow sekitar 10% untuk
setiap peningkatan temperatur 1 derajat. Melakukan pemeriksaan TCD saat
pasien sedang demam akan menghasilkan peningkatan kecepatan arteri
intrakranial dibandingkan dengan baseline. Oleh karena itu, pada pasien
dengan kondisi demam maka pelaksanaan TCD harus dijadwal ulang.
e. Hipoglikemia
Pasien hipoglikemia juga akan mengalami peningkatan cerebral
blood flow untuk meningkatkan pengiriman glukosa ke otak. Hal ini belum
begitu mempengaruhi hasil TCD sampai glukosa kurang dari 40 mg.
f. Karbon dioksida
Perubahan parsial tekanan CO2 pada arteri mempengaruhi cerebral
blood flow dan kecepatan arteri intrakranial. Hiperventilasi [defisiensi
CO2 = hipokapnia] menyebabkan penurunan mean velocity MCA dan
peningkatan P.I. hipoventilasi [ekses CO2 = hiperkapnia] menyebabkan
peningkatan kecepatan MCA dan penurunan P.I.
g. Heart rate/cardiac output/tekanan darah
Kecepatan arteri intrakranial juga merupakan refleksi dari heart rate.
Sebagian besar operator TCD yang berpengalaman menolak melakukan
pemeriksaan pada pasien yang sedang merasakan nyeri dan gelisah atau
pada kondisi yang menyebabkan perubahan heart rate. Aritmia jantung
akan tergambar pada data TCD. Data harus diambil beberapa kali untuk
menghindari bradikardi atau takikardi yang ekstrim.
Perubahan cardiac output yang ringan tidak akan terlalu berpengaruh
terhadap CBF, namun penurunan cardiac output yang berat akan
mengakibatkan penurunan kecepatan yang signifikan.
Ketika terdapat perubahan dari tekanan darah maka arteriol
serebri akan merespon untuk menjaga volume konstan (autoregulasi).

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 213


Peningkatan tekanan darah menyebabkan arteriol konstriksi akan
meningkatkan resistensinya untuk menjaga aliran darah tetap konstan.
Pada orang dewasa, perubahan kecil tekanan darah tidak berpengaruh
terhadap CBF. Tekanan darah harus meningkat atau menurun dengan
berat sampai autoregulasi tidak dapat mengkompensasi dan terjadi
peningkatan CBF pada hipertensi dan penurunan CBF pada hipotensi.
h. Aktifitas otak
Pemeriksaan TCD menunjukkan peningkatan kecepatan PCA saat
merespon stimulasi visual dan saat terjadi peningkatan aktifitas metabolik
dan CBF regional, yang tergambar pada tes verbal, spasial, dan manual.
Perubahan kecepatan selama aktifitas kognitif tidak menyebabkan
kesalahan yang signifikan saat pemeriksaan TCD. Efek ini umumnya
kecil, singkat, dan bilateral.

12.6 Keterbatasan TCD


Selain kelebihan yang terdapat pada teknik TCD, ada beberapa
kelemahan TCD seperti penjelasan berikut ini.

12.6.1 Flow velocity (FV) vs cerebral blood flow (CBF)


TCD tidak dapat mengukur diameter vaskular secara pasti. TCD
hanya memberikan informasi tentang FV saja, bukan CBF. Dua hal ini
berhubungan sebagai FV=blood flow volume/blood vessel diameter.
Asumsi tehadap perubahan satu faktor hanya bila faktor lain dianggap
normal/konstan. Belum ada metode yang dapat mengukur diameter
pasti dari vaskular dengan menggunakan TCD. Adanya hubungan antara
diameter dan aliran adalah jika aliran dianggap konstan, sedangkan jika
diameter berkurang maka FV akan meningkat. Hal inilah yang dijadikan
dasar penggunaan TCD untuk mendiagnosis stenosis pembuluh darah
atau spasme (Hugh, 2000).

12.6.2 Sudut insonasi sangat mempengaruhi hasil


pemeriksaan
Bentuk spektrum kecepatan TCD merepresentasikan darah yang
memiliki velocity terbesar pada segmen vaskular yang diperiksa.
Kecepatan yang diperiksa merupakan proporsi terbalik dari kosinus dari
sudut yang dibentuk antara ultrasound beam dan vektor kecepatan. Jika
sudutnya 0, kosinusnya adalah 1, dan jika sudutnya 15 maka kosinus
akan lebih dari 0,96. Oleh karena itu antara range ini, kesalahan yang
disebabkan oleh perubahan sudut insonasi adalah kurang dari 4%.
Sementara itu, menaikkan sudut hingga 30 akan meningkatkan kesalahan
hingga 15% (Baumgartner, 1997).

214 Pencitraan pada Stroke


Pengaturan sudut yang tidak tepat akan sangat mempengaruhi
interpretasi. Nilai mutlak FV yang dinilai pada waktu yang berbeda
seharusnya dibuat jika probe sudah terfiksasi pada seluruh posisi pada
keseluruhan pemeriksaan. Sinyal power Doppler berhubungan dengan
total aliran yang diobservasi dengan Doppler yang berhubungan dengan
sudut insonasi, area pembuluh darah, dan hematokrit (Dahl A, 1989).
Beberapa operator menggunakan sinyal power Doppler sebagai
marker sudut konstan selama pemeriksaan (Moppett, I.K., dan R.P.
Mahajan, 2004).

Rangkuman
1. TCD menawarkan manfaat baru dan penting bagi pasien.
Dengan menggunakan landmark anatomi dan kontrol instrumen
yang memadai, akan didapatkan evaluasi yang akurat tentang
hemodinamik arteri intrakranial secara kompleks.
2. Ultrasonografi Transcranial Color Doppler (TCD) merupakan
pemeriksaan untuk mengukur blood flow velocity yang
ditimbulkan oleh pembuluh darah basal intraserebral.
3. Keuntungan utama TCD adalah non invasif, murah, dapat
dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan
untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi yang
tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon dinamik
serebrovaskular. Di samping itu, TCD saat ini telah dinyatakan
dapat digunakan untuk mendeteksi circulating cerebral emboli,
yang tidak dapat terdeteksi dengan modalitas imaging lainnya.
4. Hal yang penting diingat pada pemeriksaan TCD antara lain
sebagai berikut.
a. Gali riwayat penyakit pasien (fokus pada riwayat penyakit,
faktor risiko, dan gejala yang dialami).
b. Perhatikanlah status pembuluh darah ekstrakranial.
c. Pemeriksa harus familiar/memahami anatomi arteri
intrakranial.
d. Pemeriksa harus mengerti bagaimana kontrol masing-masing
warna Doppler dan pengaruhnya terhadap gambar, serta
bagaimana masing-masing kontrol saling mempengaruhi.
e. Gunakan display color/power Doppler sebagai petunjuk
untuk mendapat informasi spektral gelombang Doppler.
f. Gunakan sampel volume Doppler yang besar (1015mm)
dan perkirakan sudut 0.
g. Perhatikan konfigurasi spektral gelombang Doppler.

Bab 12 Mengenal Transcranial Color Doppler 215


h. Bandingkan spektral gelombang Doppler antara sirkulasi
anterior dan posterior dan antara kiri dan kanan.
i. Tetapkan kriteria diagnostik standar untuk aplikasi yang
diinginkan (Katz ML, 2003).
5. Teknik TCD telah diperkenalkan sebagai metode untuk
mendeteksi vasospasme arteri serebri yang terjadi setelah
perdarahan subarachnoid. Selama 20 tahun terakhir, aplikasi
klinis TCD makin berkembang dan beberapa penelitian
menghasilkan kegunaan lain TCD yaitu untuk mengevaluasi
hemodinamik serebrovaskular intrakranial dan digunakan untuk
menginvestigasikan beberapa kelainan.
6. Operator TCD harus mengerti bahwa spektral gelombang Doppler
yang dihasilkan selama pemeriksaan TCD adalah berdasar pada
hemodinamik.
7. Peralatan yang digunakan untuk TCD bervariasi mulai dari
yang kecil dan portable sampai yang besar dan mesin statis.
Mesin portable dapat digunakan untuk pemeriksaan bedsite.
Transduser yang digunakan untuk pemeriksaan TCD berfrekuensi
rendah (12 MHz) yang berbentuk seperti bulpoin.
8. Pemeriksaan TCD dikerjakan pada pasien dalam posisi
supine. Posisi ini memungkinkan akses window transtemporal,
transorbital, dan submandibular, sedangkan posisi lain
digunakan untuk pendekatan window suboccipital.
9. Operator duduk dekat kepala pasien dan menstabilkan lengan
yang memeriksa dengan meletakkan siku pada meja periksa.
Posisi lengan bawah akan mencegah pergerakan spontan dari
tangan yang dapat menyebabkan hilangnya sinyal Doppler arteri
intrakranial dan mencegah artefak karena gerakan yang dapat
mempengaruhi gambaran sinyal.
10. Pemeriksaan TCD yang lengkap meliputi pendekatan melalui
transtemporal, transorbital, suboccipital, dan submandibular.
11. Faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi pemeriksaan TCD
antara lain usia, jenis kelamin, hematokrit, demam, hipoglikemia,
karbon dioksida, tekanan darah, dan aktivitas otak.
12. Beberapa keterbatasan TCD antara lain tidak dapat mengukur
diameter vaskular secara pasti dan pengaturan sudut insonasi
sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
13. Dengan memahami anatomi arteri intrakranial, mengerti
prinsip dasar dari TCD, mengetahui teknik pemeriksaan TCD,
diharapkan kita dapat menginterpretasikan semua data yang
kita peroleh dengan sebaik-baiknya sehingga sangat besar
manfaatnya bagi pasien.

216 Pencitraan pada Stroke


Bab 13
Pencitraan pada Stroke Iskemia

P
ada berbagai macam kasus stroke, pencitraan selalu berperan
dalam menentukan jenis stroke yang diderita pasien dan setelah itu
menentukan jenis terapi yang akan dilakukan. Dengan demikian,
kita perlu mengetahui bagaimana gambaran berbagai macam modalitas
radiologi pada stroke iskemia. Berikut ini penjelasannya.

13.1 Gambaran CT Scan pada Stroke Iskemia


Pencitraan memainkan peran yang penting dalam trombolisis.
Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau gambaran
perdarahan di computed tomography (CT) tanpa kontras diperlukan
untuk studi pencitraan yang memuaskan. Pemeriksaan CT yang modern
harus mencakup CT perfusi dan CT angiografi. Computed tomography
perfusi melukiskan jaringan iskemia (penumbra) dengan menunjukkan
peningkatan waktu transit yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF)

217
dan volume darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan
infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun.
CTangiografi dapat menggambarkan letak oklusi dan membantu
mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis. Sebuah studi lengkap
CT (CT tanpa kontras, CT perfusi, dan CT angiografi) dapat dilakukan
dan dianalisis dengan cepat dan mudah oleh ahli radiologi secara umum
dengan menggunakan protokol standar yang sederhana dan bahkan dapat
memfasilitasi untuk mendiagnosis pasien kepada ahli radiologi kurang
yang berpengalaman (Lucas et al., 2008).

13.1.1 Gambaran computed tomography scan tanpa


kontras
Computed tomography scan tanpa kontras harus dilakukan sesegera
mungkin pada stroke. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi
hemoragik dan peran kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan
atau penyakit lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi
arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis (Harold P. Adams
etal., 2007). Peran kedua CT tanpa kontras yaitu mendeteksi tanda-
tanda iskemia yang disebabkan karena infark. Temuan utama pada CT
adalah daerah hypoattenuating di kortikal-subkortikal dalam suatu
wilayah vaskular (Lucas et al., 2008).

ANTERIOR MIDDLE CEREBRAL POSTERIOR


CEREBRAL ARTERY ARTERY CEREBRAL ARTERY

Sumber: Lucas et al., 2008

Gambar 13.1Infark pada wilayah arteri ACA, arteri serebri media (MCA) dan
arteri serebri posterior.

Gambar (atas) menggambarkan wilayah (raster) dari ACA, arteri


serebri media (MCA) dan arteri serebri posterior. CT scan (bawah)
menunjukkan infark pada wilayah arteri tersebut (Lucas et al., 2008).

218 Pencitraan pada Stroke


13.1.2 Gambaran computed tomography perfusion
Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras iodinasi
bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral. Ini melibatkan pencitraan
secara terus-menerus selama 45 detik di atas potongan jaringan yang
sama (1-32 bagian) selama administrasi kontras kecil secara dinamis
(50 mL) dan kontras dengan aliran tinggi secara bolus (laju injeksi 45
mL/detik). Sebelum dilakukan pemeriksaan ini, pemeriksaan fungsi ginjal
perlu diperiksa terlebih dahulu untuk mengurangi keterlambatan kontras
dan mencegah terjadinya kontras-induced nefropati dan merupakan
komplikasi yang jarang pada pasien stroke akut yang menjalani
pemeriksaan multimodal CT scan (Lucas et al., 2008). Tidak ditemukan
adanya defisit neurologis baru atau komplikasi jantung setelah injeksi
bahan kontras pada tingkat aliran tinggi (Koenig et al., 1998).
Pada stroke akut, inti jaringan infark irreversible dikelilingi oleh daerah
perifer atau disebut penumbra yang menerima suplai darah kolateral dari
arteri yang tidak terkena dan arteri di wilayah leptomeningeal. Sel-sel di
penumbra berpotensi diselamatkan dengan rekanalisasi awal. Penelitian
terbaru telah menunjukkan bahwa terapi trombolitik intravena mungkin
bermanfaat bagi pasien di luar 3 jam pertama. Pasien dipilih secara
hati-hati berdasarkan temuan perfusi mismatch. Beberapa penulis telah
melaporkan ambang batas untuk infark inti ketika CBV kurang dari 2 L/
menit dan untuk jaringan iskemia ketika MTT mencapai lebih dari 145%
(Lucas et al., 2008).

Sumber: Lucas et al., 2008

Gambar 13.2Stroke akut (6 jam evolusi) pada wanita 46 tahun dengan


hemiplegia kiri.

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (a) yaitu nonenhanced


CT scan yang menunjukkan tanda titik (panah) di MCA kanan,

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 219


kehilangan diferensiasi materi putih & abu-abu dan mengaburkan basal
ganglia. Bagain (b-e) peta Perfusi CT dari MTT (b), CBV (c), dan CBF
(d) dan peta ringkasan (e) menunjukkan MTT diubah dan CBF di daerah
frontotemporal kanan, sugestif iskemia, dan subkortikal berkurang
daerah dengan penurunan CBV, sugestif dari inti infark. Perhatikan
area peningkatan CBF dan CBV di nucleus caudatus kanan dan inti
lentikular, yang mewakili tahap pertama dari iskemia otak (kompensasi
dengan suplai dari cadangan serebrovaskular). Bagian (f) Gambar MR
aksial T2-weighted menunjukkan hiperintens daerah frontoparietal
kanan dan nucleus caudatus yang berkaitan dengan infark akhir di
bidang iskemia.

13.2 Gambaran MRI pada Stroke Iskemia


Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional, FLAIR
imaging, diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted imaging, dan
time of flight. Berikut ini penjelasannya.

13.2.1 Gambaran MRI Konvensional


Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark
subakut dan kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-weighted
dan T2-weighted spin echo atau fast spin echo dan tambahan
gradient echo imaging untuk perdarahan. T1-weighted imaging (waktu
pengulangan 400600 ms, waktu gema 2035 ms) umumnya dilakukan
untuk memberikan definisi anatomi dan deteksi methemoglobin dalam
perdarahan subakut. T2-weighted imaging (waktu pengulangan >2.500
ms, waktu gema 80120 ms) digunakan untuk menunjukkan letak dari
cedera parenkim, direpresentasikan sebagai daerah dengan kadar air
meningkat. Fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) baru-baru ini
telah diadopsi untuk menggantikan proton density weighted imaging dan
untuk mempercepat pemeriksaan fast spin echo konvensional, khususnya
untuk area otak yang berdekatan dengan ventrikel dan sulkus kortikal
(Marks, 2008).
Temuan pada pencitraan konvensional dalam perkembangan infark
serebral dapat dikenali dengan baik dan memiliki stereotip serupa dengan
yang terlihat pada CT. Perubahan ini terlihat pada iskemia parenkim yang
ditandai dengan peningkatan kadar air jaringan. Hal ini meningkatkan
cairan dalam jaringan sehingga terjadi pemanjangan T1 dan waktu
relaksasi T2. Perubahan sinyal T2, meskipun lebih sensitif terhadap
akumulasi air jaringan daripada gambar T1-weighted, namun sering
kali masih normal dalam 8 jam pertama setelah infark. Secara bertahap
selama tahap akut, T2-weighted akan menjadi lebih hiperintens di wilayah
iskemia, terutama selama 24 jam pertama. Pada 24 jam, kira-kira 90%
dari pasien yang mengalami infark akan menunjukkan perubahan dalam

220 Pencitraan pada Stroke


T2-weighted dibandingkan dengan perubahan T1-weighted yang hanya
sekitar 50%. Perubahan sinyal ini terlihat pada 24 jam pertama dan yang
terbaik terlihat di grey matter dan baik divisualisasikan dalam struktur
grey matter bagian dalam seperti thalamus atau basal ganglia. Sering kali
white matter tidak menunjukkan perubahan yang cukup dalam jangka
waktu 24 jam pertama. Fast spin echo juga dapat menunjukkan trombosis
atau aliran lambat dilihat sebagai hilangnya kekosongan dalam arteri
lingkaran Willis dan arteri yang melintasi ruang subarachnoid dalam sulki
kortikal. Perubahan sinyal ini dalam arteri dapat dikenali segera setelah
kejadian tromboemboli dimulai dan mungkin mendahului akumulasi air
dalam parenkim (Marks,2008).
Perubahan morfologi yang bersamaan dengan perkembangan edema
vasogenik yang terjadi kemudian, sering akan terlihat dengan spin
echo imaging. Peningkatan hasil edema vasogenik di otak terutama di
daerah korteks sebagai pembengkakan girus atau pendataran sulkus
dapat dilihat pada kedua T1- dan T2weighted imaging. Hal ini dapat
divisualisasikan pada hari pertama, tetapi menjadi lebih jelas setelah
awal terjadinya infark (>24 sampai 48 jam). Perubahan sinyal pada T1
dan T2 juga menjadi lebih jelas dalam periode ini karena daerah infark
akut menjadi lebih jelas. Jika daerah otak yang terpengaruh besar, selama
periode ini efek massa dengan herniasi dapat terlihat (memuncak pada
3 sampai 4 hari setelah infark). Hal ini juga harus dicatat bahwa fast
spin echo telah menggantikan teknik conventional spin echo di sebagian
besar pusat kesehatan. Teknik ini kurang sensitif terhadap T2 karena
beberapa pulsa 180 derajat. Oleh karena itu, dengan fast spin echo
imaging, deteksi perdarahan akut berkurang berdasarkan sensitivitas
yang lebih rendah terhadap perubahan kerentanan magnetik. Hal ini
penting untuk melengkapi evaluasi MRI pasien stroke dengan pencitraan
gradient echo yang sangat sensitif terhadap variasi kerentanan yang
menyertai perdarahan intraparenkim (Gambar 13.33 dan Gambar 13.34)
(Marks,2008).
Jika kita perhatikan Gambar 13.3 terlihat FLAIR (A), T2-weighted
fast spin echo (B), dan gradient echo (C). Perdarahan yang luas hanya
terlihat gambar gradient echo (CT tidak ditampilkan, tidak menunjukkan
bukti perdarahan). Gambar diffusion-weighted (D) dan diffusion
coefficient maps (E) menunjukkan difusi terbatas pada posterior
terhadap lesi perdarahan yang heterogen, konsisten dengan infark akut.
Tujuan teknik difusi di daerah perdarahan akut adalah untuk menyelidiki
jaringan nonhemorrhagic yang berdekatan dengan perdarahan, dalam
hal ini adalah jelas dalam distribusi vaskular arteri besar (arteri serebri,
divisiposterior).

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 221


A

Sumber: Marks, 2008


E
Gambar 13.3Nilai
diffusion weighted
imaging pada
perdarahan akut.

Sumber: Marks, 2008

Gambar 13.4Perdarahan infark akut pada CT vs MRI.


Berdasarkan Gambar 13.4, meskipun tidak ada bukti perdarahan di
kedua CT (A) atau FLAIR (B) di infark serebral kanan tengah, gradient
echo jelas menunjukkan perdarahan akut yang luas (C). Sensitivitas
MRI menggunakan gradient echo imaging untuk perdarahan akut dapat
melebihi computed tomography.

222 Pencitraan pada Stroke


Hal ini juga diketahui bahwa peningkatan kontras gambar MRI
konvensional memainkan peran penting dalam diagnosis infark subakut
dan masih dianggap sebagai ciri khas dari diagnosis. Peningkatan
intensitas parenkim girus di infark subakut biasanya dimulai menjelang
akhir minggu pertama, ketika efek massa telah selesai dan berlangsung
selama sekitar 6 sampai 8 minggu. Dalam periode ini, perubahan yang
relatif terlihat adalah hiperintens pada T2 yang lebih jelas. Pada sekitar
20% kasus akan ada daerah dengan peningkatan sinyal pada gambar
T1 yang menunjukkan adanya komponen perdarahan (Marks, 2008).
Pada fase kronis infark serebral biasanya dimulai ketika integritas
penghalang darah-otak telah pulih, edema telah menghilang, dan sebagian
besar resorpsi jaringan nekrotik telah selesai. Hal ini membutuhkan waktu
lebih lama pada infark yang lebih besar, tetapi biasanya terjadi dalam
waktu 6 minggu. MRI infark kronis ditandai dengan zona yang lebih
kecil dan terlihat lebih baik daripada yang terlihat di scan sebelumnya.
Hilangnya elemen selular dan atrofi fokus menjadi jelas. Hal ini ditandai
sebagai pelebaran sulki dan pembesaran ventrikel. Intensitas sinyal
meningkat karena kandungan air yang lebih besar, terbentuk kavitasi kistik
yang merupakan sebagian besar berupa jaringan sisa, terutama terlihat
pada infark yang lebih besar. Seiring waktu berjalan, lesi terus menyusut
dengan perubahan atrofi menjadi lebih jelas dan infark itu sendiri menjadi
kurang jelas (Marks, 2008).

13.2.2 Gambaran FLAIR


Sekuens ini sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan
stroke iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan T2
weighted imaging. Gambar FLAIR sinyal CSF nol didasarkan seperti
gambar cairan di T1. FLAIR telah sangat membantu dalam evaluasi
parenkim otak dan telah terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi infark
bila dibandingkan dengan pencitraan T2WI dalam evaluasi stroke. Baru-
baru ini, FLAIR imaging telah digunakan dalam evaluasi fase hiperakut
stroke (< 6 jam setelah timbulnya gejala). Sekuens FLAIR tidak mampu
mendeteksi infark dalam periode waktu yang akut dengan banyak
sensitivitas yang tinggi. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa teknik
ini dapat menunjukkan pembuluh darah yang tersumbat atau pembuluh
darah dengan aliran berkurang akan tampak hiperintens sehingga
terlihat kontras tinggi untuk hipointens terhadap CSF sekitarnya.
Namun, jika dibandingkan secara langsung dengan teknik baru seperti
DWI, teknik FLAIR telah terbukti nyata kurang sensitif dibandingkan
DWI. Di luar periode waktu hiperakut, periode akut, dan jangka waktu
subakut (infark kurang dari 10 hari) sekuens FLAIR menunjukkan lebih
baik dari T2WI FSE. Keterbatasan lebih lanjut dari FLAIR dibandingkan
dengan pencitraan T2WI adalah kurangnya spesifisitas hipointens pada
perdarahan akut, yang pada FLAIR mirip sebagai daerah kistik yang
mengandung air (Marks, 2008).

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 223


Sumber: Marks, 2008

Gambar 13.5Infark iskemia dari kortikal dan subkortikal sebelah kanan (hari
ke-3). Pada serangkaian pencitraan T2WI (a) dan FLAIR (b).

13.2.3 Gambaran Diffusion-Weighted


Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi
ini dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut dalam
awal 6 jam setelah onset gejala (Mirsen, 2014). Pengembangan teknik
MRI baru ini mampu menilai perubahan iskemia hiperakut di tingkat
parenkim seperti DWI dan PWI yang sebagian besar disebabkan oleh
pengembangan kecepatan tinggi T2. Teknik T2* merupakan teknik
sensitif yang bisa memetakan perubahan gerak proton dan pola perfusi
serebral secara jelas. Metode kecepatan tinggi ini sangat penting dalam
mengurangi artefak gerak (Marks, 2008).
DWI telah merevolusi evaluasi MRI pada tahap awal atau infark
hiperakut karena sensitivitas yang tinggi terhadap infark dinyatakan
tidak tampak dan sudah menjadi sekuens pencitraan rutin pada pasien
stroke. Hal ini menggunakan teknik untuk pemetaan kontras proton yang
mencerminkan lingkungan air di mikrovaskular. DWI sensitif terhadap
gerakan translasi atau difusi air jarak pendek. Proton yang berpindah
akan memperoleh perubahan fase dan mengakibatkan kehilangan sinyal
(atau gambar lebih gelap) pada gambar DWI. Gambar yang diperoleh
responsif terhadap perfusi berbasis kapiler. Untuk gerakan yang lebih cepat
menggunakan kekuatan gradien lebih rendah dan untuk gerakan lambat
difusional menggunakan kekuatan gradien yang lebih tinggi (Marks, 2008).
Pada umumnya, gambar DWI dan gambar ADC dibaca bersama-
sama dan dapat dibandingkan dengan gambar konvensional yang
digunakan dalam protokol. Nilai tambah gambar ADC ditemukan dalam
kasus hiperintens pada DWI. Hal ini dapat disebabkan oleh salah satu
(atau keduanya) yaitu difusi yang terbatas dan perubahan T2. Dalam
kasus ini yang kadang-kadang merupakan sinyal hanya tinggi karena T2

224 Pencitraan pada Stroke


pada DWI maka peta ADC harus dilihat karena peta ADC menunjukkan
secara kontras berdasarkan perbedaan difusi . Di sisi lain, jika tidak ada
hiperintens terlihat di DWI, maka tidak ada infark akut dan tidak perlu
untuk peta ADC, karena peta ADC sendiri memiliki sensitivitas yang
sangat rendah dan akurasi untuk infark akut. Kebanyakan infark non akut
tidak menunjukkan hiperintens pada DWI, meskipun terjadi pemanjangan
T2 di wilayah infark. Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu, kontras aditif
yang diberikan oleh perubahan T2 akan meningkatkan penemuan infark
akut pada DWI dibandingkan dengan peta ADC (Marks, 2008).

Sumber: Marks, 2008

Gambar 13.6Iskemia akut pada genu korpus kallosum kanan (24jam


setelah serangan iskemia).

Jika kita perhatikan gambar terlihat T2WI (a) dan T1WI (b) gambar
DWI (c) menunjukkan fokus perubahan sinyal. Pergeseran ringan dan
kompresi anterior horn dari ventrikel lateral kanan terlihat. Infark lakunar
lama terlihat dalam kapsul eksternal kanan. Studi difusi (c) menunjukkan
karakteristik hiperintens yang menyingkirkan kemungkinan dari tumor.

13.2.4 Gambaran Perfusion-Weighted


Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan agen
kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada pelabelan arteri.
Pencitraan perfusi menggunakan agen kontras paramagnetik saat ini lebih
banyak digunakan. Gambar yang diperoleh setelah injeksi bolus dari agen
kontras akan mendeteksi perubahan intensitas gambar saat melewati
pembuluh darah kapiler. Agen kontras magnetik seperti disprosium atau
gadolinium-DTPA akan menimbulkan pemendekan T2* dan menghasilkan
kehilangan sinyal dalam jaringan perfusi. Agen-agen ini tetap dalam
ruang intravaskular ketika penghalang darah otak yang utuh merangsang
gradien medan magnet lokal di tempat pembuluh darah kapiler. Suatu
sinyal yang hilang diamati ketika agen kontras bergerak masuk dan keluar
dari jaringan. Aliran darah otak regional dan waktu transit yang relatif juga
dapat dihitung. Namun, aliran darah otak regional tidak dapat dihitung
secara akurat, kecuali profil konsentrasi pasokan arteri pada jaringan

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 225


yang dikenal. Satu atau lebih dari peta hemodinamik ini kemudian dapat
ditampilkan bersama dengan urutan pencitraan lainnya (Marks, 2008).
Selain injeksi agen kontras, pencitraan aliran darah dapat dilakukan
oleh pelabelan magnetis proton air. Hal ini menyediakan metode yang
sama sekali non-invasif untuk pencitraan perfusi menggunakan air jaringan
dan agen kontras endogen. Meskipun PWI secara luas dianggap penting
untuk triase stroke terapi, harus disadari bahwa PWI yang dilakukan
dengan teknik berbeda dapat menunjukkan volume berbeda pula secara
signifikan dari jaringan yang terkena. Oleh karena itu, perbandingan
ukuran lesi pada PWI dengan gambar DWI mungkin berbeda secara
signifikan dengan mengubah metodologi perfusi (Marks, 2008).

Sumber: Marks, 2008

Gambar 13.7Iskemia akut di cabang terminal dari arteri serebri kiri tengah
saat 12 jam setelah onset.

Berdasarkan gambar di atas terlihat pencitraan T2WI (a), DWI (b)


menunjukkan perubahan sinyal di area lobus parietalis kiri (panah). DWI
menggambarkan volume lesi yang lebih baik. Gambar PWI (c, d).

13.3 Gambaran Patologis DSA pada Stroke Iskemia


Angiografi serebral tetap menjadi standar emas untuk mem
visuali
sasikan anatomi serebrovaskular. Namun, dengan meningkatnya
ketersediaan dan keandalan CTA dan MRA, DSA lebih jarang digunakan

226 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010

Keterangan: ACA, anterior cerebral artery; BA, basilar artery; LSA, lenticulostriate
arteries; LMC, leptomeningeal collaterals; MCA, middle cerebral artery; VA, vertebral
artery.
Gambar 13.8Skala grading Qureshi.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 227


untuk tujuan murni diagnostik dan lebih sering untuk intervensi.
Pada hiperakut stroke, angiografi serebral biasanya dilakukan ketika
direncanakan pengobatan trombolisis intra-arteri atau intervensi mekanis.
Tujuan awal evaluasi angiografik pada pasien dengan stroke iskemia
yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi dan adanya kolateral ke daerah
yang terkena. Sebagian besar pasien dengan stroke iskemia akut yang
ditemukan memiliki oklusi arteri persisten. Sebagian besar (5060%) dari
oklusi arteri ditemukan dalam MCA dan arteri karotis interna (1525%).
Sekitar 10% dari individu memiliki oklusi dalam sistem vertebrobasilar.
Oklusi arteri pada stroke akut dinilai menggunakan sistem Qureshi. Skor
pada skema grading dapat memprediksi rekanalisasi paska terapi dan
tingkat pemulihan neurologis serta kematian 7 hari setelah tindakan
terapi. Pola pengisian pembuluh darah yang abnormal, seperti aliran
anterograde lambat dengan stasis kontras berkepanjangan, pengisian
retrograde melalui jalur kolateral, dan arteriovenous shunting membantu
dalam karakterisasi infark serebral pada pembuluh darah tersumbat
(Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010; Xavier, 2003).
Dalam keadaan subakut, angiografi serebral digunakan untuk meng
konfirmasi tingkat keparahan patologi serebrovaskular. Modalitas non-
invasif seperti CTA, MRA, dan USG, dalam sebagian besar kasus, mampu
mengidentifikasi adanya patologi vaskular. Namun, ketika kuantifikasi
stenosis dibutuhkan (misalnya, ketika seorang pasien ditemukan memiliki
penyakit arteri karotis dan sedang dirujuk untuk operasi atau prosedur
endovaskular) angiografi merupakan modalitas pilihan. Selain itu, angiografi
lebih sensitif dibandingkan metode non-invasif dalam mengidentifikasi
penyempitan arteri di lokasi tertentu, misalnya asal arteri vertebralis dan
karotis siphon (Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010; Xavier, 2003).

Sumber: Moey et al., 2012

Gambar 13.9Gambaran DSA pada kasus stroke iskemia.

Berdasarkan Gambar 13.9 terlihat bagian (A) yaitu oklusi pada arteri
serebri media segmen M2 kanan (panah) dan bagian (B) yaitu reperfusi
setelah terapi endovaskular.

228 Pencitraan pada Stroke


13.4 Gambaran Computed Tomography Angiography pada
Stroke Iskemia
Peran utama CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri
intrakranial dan dengan demikian dapat membantu menentukan letak
oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit
aterosklerosis. Informasi ini membantu secara akurat untuk memprediksi
tingkat dan lokasi infark dan sangat berguna dalam memberikan
bimbingan untuk neuroradiologi intervensi sebelum melakukan
trombolisis intraarterial jika tersedia. CTA juga dapat memberikan
gambaran yang terbaik pada trombus dalam aneurisma besar yang tidak
dapat divisualisasikan oleh DSA dan dapat mempengaruhi perawatan
bedah atau terapi endovaskular (Ashley etal., 2011). CT angiografi
sangat penting untuk mendeteksi trombosis dari sistem vertebrobasilar
karena daerah ini sangat sulit untuk dideteksi oleh nonenhanced CT dan
batang otak sering tidak termasuk dalam cakupan CT perfusi. Perangkap
utama sering disebabkan oleh oklusi arteri basilar yang terlewatkan
karena nonenhanced CT. Pada kondisi ini dilakukan CT perfusi, tetapi
tidak dilakukan CT angiografi. CT angiografi dapat membantu mendeteksi
adanya filling defect yang mengisi pembuluh darah yang disebabkan
oleh trombosis arteri besar dengan sensitivitas 89% dibandingkan dengan
angiografi konvensional (Lucas et al., 2008).

(a) (b)
Sumber: Lucas et al., 2008

Gambar 13.10Gambaran Stroke akut pada wanita 43 tahun yang telah


kehilangan kesadaran.

Gambar di atas merupakan temuan di awal nonenhanced CT


normal dan CT angiografi tidak dilakukan. Bagian (a) yaitu tindak lanjut
nonenhanced CT scan (36 jam evolusi) menunjukkan otak tengah
hypoattenuating (panah) dan arteri basilar hyperattenuating (panah).
Bagian (b) CT angiogram membantu mengkonfirmasi cacat pengisian arteri
basilar (panah) terkait dengan pons infark dan obstruksi arteri basilar.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 229


Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 13.11Pemeriksaan CT angiografi.

13.5 Gambaran MRA pada Stroke Iskemia


Magnetic resonance angiography (MRA) merupakan sebuah teknik
berdasarkan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menggambarkan
pembuluh darah. Magnetic resonance angiography digunakan untuk
menghasilkan gambar arteri (dan kurang umum untuk vena) dalam
rangka untuk mengevaluasi adanya stenosis (penyempitan abnormal),
oklusi, aneurisma (dilatasi dinding pembuluh darah, berisiko pecah) atau
kelainan lainnya.
MRA sering digunakan untuk mengevaluasi arteri leher dan otak,
aorta dada dan perut, arteri ginjal, dan kaki. Metode untuk MRA
didasarkan pada aliran darah dan berdasarkan fakta bahwa darah dalam
pembuluh mengalir untuk membedakan pembuluh darah dari jaringan
statis lainnya. Dengan demikian, dapat dihasilkan gambar pembuluh
darah. Arus MRA dapat dibagi ke dalam kategori PC-MRA dan TOF
MRA. Fase kontras MRA (PC-MRA) memanfaatkan perbedaan fase
untuk membedakan darah dari jaringan statis. Sementara itu, time of
flight MRA (TOF MRA) membedakan aliran darah yang berputar akan
mengalami eksitasi pulsa lebih kecil dari jaringan statis, misalnya ketika
pencitraan irisan tipis (Kornienko dan Pronin, 2009).
.

230 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Kornienko dan Pronin, 2009
Gambar 13.12Trombosis arteri serebral tengah kanan pada TOF MRA.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat 3D TOF MRA:


rekonstruksi MIP di aksial (a) dan proyeksi koronal (b) dan rekonstruksi
3D (c) menunjukkan bahwa arteri serebri tidak divisualisasikan dalam
setiap segmen dari seluruh panjang arteri.

Ima 3 Ima 4 Ima 5 Ima 6

W 7030 W 7030 W 7030 W 7030


C 4859 C 4859 C 4859 C 4859

Ima 7 Ima 8 Ima 9 Ima 10

W 7030 W 7030 W 7030 W 7030


C 4859 C 4859 C 4859 C 4859

Ima 11 Ima 12 Ima 13 Ima 14

W 7030 W 7030 W 7030 W 7030


C 4859 C 4859 C 4859 C 4859

Sumber: dokumentasi pribadi


Gambar 13.13MRI dengan sekuens time of flight (MRA).

Sumber: Kumar, G., et al., 2010


Gambar 13.14Concordant lesion pada MRA.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 231


Berdasarkan Gambar 13.14, gambar (A) menunjukkan angiogram
leher: common carotid artery (CCA) dan internal carotid artery (ICA)
yang mempunyai kemampuan lebih besar daripada pasangannya. CCA
kiri menunjukkan penyempitan di situs bifurkasi tingkat tinggi dan ICA kiri
tidak terfisualisasikan. Vertebral kiri dominan. Intrakranial (IC) angiografi
(MRA): L middle cerebral artery (MCA) mengisi dari sisi kanan, dan ini
menjelaskan alasan mengapa meskipun tidak adanya bagian IC pada ICA,
tapi hanya infark watershed yang terlihat (B). Gambar fluid attenuated
inversion recovery (FLAIR) menunjukkan infark pada zona DAS sisi kiri(C).

13.6 Gambaran TCD pada Stroke Iskemia


TCD secara luas digunakan di beberapa negara untuk mendeteksi
stenosis intrakranial yang biasanya disebabkan oleh penyakit atheromatus/
atherosklerosis. Stenosis dapat teridentifikasi dengan adanya tingginya
kecepatan/velocity jet yang mayoritas terdeteksi pada arteri serebri
media. Stenosis intrakranial dapat terdeteksi pada beberapa pasien stroke
akut (Hugh S, 2010).
Stenosis pada arteri intrakranial menyebabkan abnormalitas TCD
yang khas. Stenosis ringan akan meningkatkan peak velocity yang
sering kali tanpa perubahan lain dari pola Doppler. Stenosis sedang
sampai berat menyebabkan peningkatan peak velocity yang lebih besar,
disertai spectral broadening (pelebaran spektral), peningkatan kecepatan
diastolik, dan terbentuk aliran turbulen (LD DeWitt, 1988).

Sumber: LD DeWitt, 1988


Gambar 13.15Gelombang velocity yang tergambar dari TCD pada pasien
dengan stenosis arteri serebri media yang berat.

232 Pencitraan pada Stroke


Bentuk gelombang ditunjukkan pada Gambar 13.15. Catatan area
fokal pada kecepatan tinggi pada MCA kanan. MCA: middle cerebral
artery; ACA: anterior cerebral artery; PCA: posterior cerebral artery; OA:
ophtalmic artery; CS: carotid siphon; VA: vertebral artery; BA: basilar
artery.
Pada contoh kasus pasien dengan stenosis MCA berat, didapatkan
data sebagai berikut.
Tabel 13.1Transcranial Doppler ultrasonography pada pasien dengan
tight right middle stenosis serebral arteri
Patient values
Normal values Depth (mm) Velocity (cm/sec)
Depth velocity
Artery (mm) (cm/sec) Right Left Right Left
MCA 5055 62 12 45/55/60/65 55 190/>200/>200 50
ACA 65 52 12 65 70 40 40
PCA 70 42 10 70 70 40 30
OA 4555 24 8 55 55 35 35
CS 70 54 13 70 70 35 35
VA 6080 36 9 70 70 25 25
BA 85 100 42 10 85 30
Sumber: LD DeWitt, 1988

5 Normal

4 Stenotic

3 Damperred

2 Blunted

1 Minimal

0 Absent

Sumber: Zsolt Garami, 2008

Gambar 13.16Tingkat aliran TBI (05).

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 233


Penurunan drastis dari peak velocity sering terjadi pada segmen
distal stenosis, saat stenosis melebihi 6080%. Beberapa penelitian
melaporkan adanya korelasi yang baik antara abnormalitas TCD dan
stenosis yang tergambar secara angiografi (LD DeWitt, 1988).

Sumber: LD DeWitt, 1988

Gambar 13.17Angiografi pada pasien yang sama (contoh kasus di atas)


menunjukkan filling defek/stenosis pada arteri serebri media kanan.

Sumber: Andrei V, 2002

Gambar 13.18Oklusi akut intrakranial.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat intracranial


sausagelike thrombus pada MCA dan sisa aliran yang tergambar dari
digital substraction angiography (gambar kiri bawah), dan PMD atau

234 Pencitraan pada Stroke


M-mode TCD (gambar kanan bawah). Magnetic resonance angiography
menunjukkan flow void pada lokasi trombus. Gambar menunjukkan
ultrasound beam pathway. Single-gate spectral display dan fokus
insonasi ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan panah putih.

Sumber: Andrei V, 2002

Gambar 13.19Deteksi M-mode TCD terhadap rekanalisasi komplit dari MCA


stem.

Gambar di atas merupakan data dari seorang laki-laki 62 tahun


dengan skor NIHSS 12 yang telah diterapi dengan 0,9 mg/kg TPA
intravena pada 112 menit setelah onset stroke. Saat bolus TPA, PMD
menunjukkan tingginya resistensi pada jalur aliran di mid-M1 MCA
dan terdeteksi aliran pada MCA kontralateral yang mengindikasikan
bahwa insonasi window transtemporal sudah baik. Pada 30 menit,
PMD menunjukkan proses rekanalisasi dengan resistensi damped pada
proksimal dan mid-MCA, dan resistensi yang tinggi pada M1 proksimal
M2 MCA. Gambar spektral TCD menunjukkan perbaikan aliran dari
damped (= lembah) menjadi sinyal stenotik yang tinggi. Mikroemboli
juga dapat terlihat pada PMD dan TCD (panah). Pada 60 menit, PMD dan
TCD menunjukkan aliran dengan resistensi rendah pada distal M1M2
yang mengindikasikan rekanalisasi komplit MCA. Sudut insonasi sedikit
diatur untuk memfokuskan beam pada segmen proksimal M1 (pre-TPA)
dan cabang M2 (60 menit) (AndreiV., 2002).
Stenosis MCA, ACA, intrakranial ICA, dan BA juga dapat
teridentifikasi dengan TCD. Tidak adanya sinyal MCA pada depth yang
biasanya ditemukan MCA (5060 mm), sedangkan sinyal ACA and PCA
tetap tertangkap baik. Hal ini mengindikasikan window temporal intak,
namun tidak ada aliran pada MCA. Tidak ditemukannya sinyal ACA atau
PCA bukanlah indikator tepat adanya oklusi bila window transtemporal
tergambar adekuat (L.D. DeWitt, 1988).
.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 235


Sumber: Zsolt Garami, 2008

Gambar 13.20Stenosis MCA: velocity meningkat dengan musical murmur


yang mengindikasikan stenosis berat, pada depth 45 mm pada MCA kiri.

13.7 Gambaran Stroke Iskemia Berdasarkan Waktu


Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu awal
setelah infark. Hal ini mencerminkan perubahan mendasar yang relatif
mirip secara patofisiologis. Pada bagian ini akan dijelaskan setiap fase
berdasarkan waktu infark dan gambaran pada CT dan MRI (Tabel 13.2)
(Zimmerman, 2010).
Tabel 13.2Gambaran MRI pada stroke iskemia
Tahap T1W1 T2W1 DWI ADC
Hiper akut Isointes, Isointens Cerah Rendah
(0-6 jam) kemungkinan
beberapa
kehilangan sulci
Akut (6 Intensitas Intensitas Cerah
jam-4 hari) rendah, efek tinggi
massa

236 Pencitraan pada Stroke


Tahap T1W1 T2W1 DWI ADC
Subakut Intensitas Intensitas tinggi Pseudo
(4-14 hari) tinggi sekunder sampai norma
bersinar melalui T2 lisasi
Intensitas Intensitas tinggi
tinggi sekunder sampai
bersinar melalui T2
Kronis Intensitas Tinggi
tinggi
Sumber: Zimmerman, 2010

13.7.1 Infark hiperakut (0-6 jam)


Kejadian awal yang mengarah ke infark yaitu insufisiensi vaskular
karena oklusi fokal proksimal, distal, atau stenosis. Dalam kebanyakan
kasus pencitraan rutin, tidak akan menunjukkan oklusi kecuali bila
ada oklusi emboli pembuluh darah besar (misalnya MCA atau arteri
basilaris). Oklusi vaskular menyebabkan penurunan perfusi yang cukup
parah atau berkepanjangan sehingga memulai terjadinya kaskade
iskemia. Dalam waktu 5 menit hipoksia, pompa membran normal yang
menjaga kesenjangan antara tingginya konsentrasi natrium ekstraselular
dan rendahnya natrium intraselular gagal melakukan tugasnya. Natrium
memasuki sel dan masuknya natrium tersebut menghasilkan peningkatan
osmotik. Air memasuki sel secara pasif kemudian menciptakan edema
sitotoksik. Selain itu, kalsium memasuki sel yang pada gilirannya
akan mengaktifkan enzim intraselular yang mulai melisiskan organel
intraselular dan endapan protein. Ini menghasilkan lisis sel dan pelepasan
asam amino perangsang (glutamin dan glutamat) dan zat vasoaktif yang
selanjutnya mempengaruhi status metabolisme sel-sel yang berdekatan
(Zimmerman, 2010).
Selama fase hiperakut, CT mungkin normal atau kemungkinan juga
menunjukkan tanda dense vessel, ketika ada oklusi emboli dari pembuluh
darah proksimal (Gambar 13.21).

A B C D
Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.21CT infark hiperakut-subakut.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 237


Berdasarkan Gambar 13.21 terlihat bagian (A) menunjukkan gambar
aksial pada tingkat sirkulus Willis pada 3 jam yang menunjukkan hiperdens
di proksimal arteri serebral tengah sisi kiri, menunjukkan oklusi emboli
pada proksimal (panah). Bagian (B) menunjukkan fokus hiperdens di fisura
sylvii kiri yang merupakan indikasi dari emboli distal (panah). Bagian (C)
menunjukkan fokus hiperdens di ujung arteri basilar tampak pada 4 jam
tanpa bukti lain infark (panah). Bagian (D) menunjukkan pemeriksaan
ulangan pada 24 jam kemudian menunjukkan hiperdens basilar yang
menetap dengan edema baru dari batang otak dan atas kiri dari serebellum,
menunjukkan infark akut. Catatan: hidrosefalus dengan kornu temporal
yang melebar (panah) sekunder untuk infark akut serebellar.
Temuan awal pada parenkim yaitu hilangnya intensitas grey
matter normal tanpa adanya efek massa. Grey matter menjadi isodens
terhadap white matter yang berdekatan sehingga menyebabkan hilangnya
normal cortical ribbon (Gambar 13.22) atau kehilangan kemampuan
untuk membedakan basal ganglia atau thalamus dari kapsula interna.
(Gambar12.23).

A B C
Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.22Gambaran yang menunjukkan hilangnya normal cortical


ribbon.

Jika kita perhatikan gambar di atas, bagian (A) menunjukkan


pemindaian pada 4 jam awal menunjukkan hilangnya intensitas kortikal
normal bersama insula (insula ribbon sign) dan kelengkungan gyrus
(panah). Perhatikan bahwa sulkus terlihat karena tidak ada efek massa.
Bagian (B) menunjukkan pemeriksaan ulang pada 36 jam menunjukkan
hipodens absolut yang merata pada white-grey matter sesuai teritori arteri
serebral tengah kanan. Efek massa hadir dengan hilangnya sulkus. Batas
infark yang jelas dan lurus (panah). Bagian (C) menunjukkan pemeriksaan
ulang pada 4 hari menunjukkan peningkatan efek massa ditandai dengan
herniasi subfalkine. Tampak lesi hiperdens dalam infark yang merupakan
perdarahan reperfusi (panah).

238 Pencitraan pada Stroke


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.23Tampak gambaran insula kanan yang menghilang (insula


ribbon sign).

Hilangnya intensitas kortikal dapat terjadi pada 3 jam awal


tapi biasanya lebih yaitu membutuhkan 4 sampai 6 jam untuk
berkembang. Temuan ini sangat halus dan sering terlewat oleh pengamat
berpengalaman. Munculnya PACS telah memfasilitasi deteksi infark
hiperakut. Seseorang dapat meningkatkan deteksi hilangnya intensitas
grey matter dengan mempersempit jendela pada gambar CT sehingga
menonjolkan perbedaan intensitas abu-abu dan putih (Gambar 13.24).
Selain itu, akan sangat membantu untuk melihat beberapa irisan secara
bersamaan. Infark hiperakut yang dapat terdeteksi biasanya relatif
besar. Sementara itu, melihat gambar secara bersamaan akan dapat
meningkatkan kemungkinan untuk mendeteksi kelainan ini (Zimmerman,
2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.24Akut infark pada basal ganglia.

Pada gambar di atas, bagian (A) menunjukkan CT scan sekitar 4 jam,


menunjukkan hipodens relatif di basal ganglia kanan dibandingkan dengan
kiri (panah panjang). Hipodens normal di kapsula interna yang terlihat
di sebelah kiri (panah pendek) tidak dapat dibedakan dari ganglia basal
yang berdekatan karena hipodens ini. Bagian (B) menunjukkan diffusion-
weighted MR sekitar 1 jam setelah CT menunjukkan hiperintens yang jelas.
Dengan CT tanpa kontras dapat dengan mudah dan handal untuk
menyingkirkan stroke karena perdarahan, menunjukkan trombus dan

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 239


menunjukkan tanda-tanda awal iskemia otak. Hal ini penting untuk
membedakan tanda-tanda edema otak, seperti kehilangan insular ribbon,
mengaburkan nukleus lentikular, hilangnya diferensiasi white-grey
matter, dan pendataran sulkal dari daerah hypoattenuation (Rabinstein
dan Resnick, 2009).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.25Penggunaan irisan tipis.

Jika kita perhatikan gambar di atas bagian(A) menunjukkan CT scan


sekitar 5 jam, menunjukkan hilangnya intensitas grey matter normal pada
insula kiri, kortek girus kiri, dan basal ganglia kiri (perhatikan ketidak
mampuan untuk mengidentifikasi kapsula interna dan kapsula eksterna).
Bagian (B) menun jukkan bagian yang sama dengan irisan tipis untuk
meningkatkan visualisasi hilangnya intensitas grey matter normal.
Cara lainnya adalah untuk menilai gambar dari pemeriksaan CTA
dilakukan sebagai bagian dari multimodal CT untuk pencitraan pada
infark akut. Otak yang normal akan menjadi hiperdens karena kontras
intravascular, sedangkan otak yang mengalami infark tidak akan
berubah dalam intensitasnya sehingga membuat infark terlihat lebih jelas
(Gambar12.26) (Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.26Computed tomography angiography (CTA) dalam mendeteksi


infark hiperakut.

Berdasarkan gambar di atas, bagian (A) merupakan gambar tanpa


kontras, menunjukkan hilangnya densitas grey matter yang normal di

240 Pencitraan pada Stroke


distribusi arteri serebral tengah kiri (MCA). Bagian (B) menunjukkan
gambar CTA menunjukkan hipodens relatif jelas di MCA kiri dan distribusi
arteri serebral anterior. Lesi tampak lebih jelas dan lebih luas daripada
gambar tanpa kontras.
Hilangnya intensitas kortikal biasanya digambarkan sebagai edema
sitotoksik. Dalam edema sitotoksik, ada pergeseran air dari ruang
ekstraselular ke ruang intraselular tanpa peningkatan dalam jumlah
total air jaringan. Selain itu, pada tahap ini infark sering ada hiperintens
yang sedikit atau tidak ada pada FLAIR dan T2WI (Gambar 13.27).
Penyebabnya lebih mungkin dari perubahan awal pada CT karena
menurunnya aliran darah otak. Grey matter lebih gelap daripada white
matter karena memiliki volume darah yang lebih tinggi. Volume darah
yang menurun membuat grey matter menjadi isodens terhadap white
matter. Konsep ini membantu menjelaskan beberapa pengamatan
mengenai infark akut yang biasanya memakan waktu sekitar 24 jam
untuk hipodens pada basal ganglia yang terlihat dalam cedera anoxic akut
(misalnya menghirup asap dan hampir tenggelam). Penundaan relatif ini
dalam perkembangan hipodens mencerminkan fakta bahwa pada cedera
anoxic tidak ada penurunan aliran darah, melainkan terjadi penurunan
kadar oksigen dalam darah. Telah diamati bahwa infark yang terlihat
jelas pada CT dalam waktu 4 jam dari onset gejala memiliki prognosis
yang lebih buruk daripada infark dengan ukuran sama yang tidak tampak
hingga 612 jam. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena adanya defisit
perfusi yang lebih mendalam sehingga infark ini menjadi jelas dalam
beberapa jam pertama. Salah satu cara untuk meningkatkan deteksi infark
adalah melalui evaluasi CTA. Grey matter biasanya menjadi hiperdens
dibandingkan dengan otak yang mengalami infark (Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.27Infark hiperakut yang menunjukkan penggunaan computed


tomography (CT) lebih baik daripada FLAIR.

Jika kita perhatikan gambar di atas maka terlihat bagian (A)


menunjukkan CT scan pada 3 jam pertama menunjukkan hilangnya
densitas grey matter normal pada insula basal ganglia kiri dan korteks
frontal dan parietal tanpa efek massa. Bagian (B) menunjukkan gambar
FLAIR diperoleh pada 4 jam pertama tidak menunjukkan hiperintens

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 241


di daerah yang terkena. Bagian (C) menunjukkan diffusion-weighted
image menunjukkan hiperintens luas di basal ganglia dan korteks
merupakan gambaran infark hiperakut. Bagian (D) menunjukkan pada
diffusion coefficient map menunjukkan hipointens difus yang merupakan
gambaran akibat difusi yang terbatas.
Meskipun infark besar dalam wilayah MCA dapat dideteksi dalam
waktu 6 jam pada sekitar 75% kasus (pembacaan oleh ahli), namun
demikian, sensitivitas secara keseluruhan untuk mendeteksi semua infark
pada CT hanya 45% pada 24 jam pertama. Rendahnya sensitivitas
ini terjadi karena buruknya kinerja CT dalam mendeteksi infark kecil
di kortikal, infark serebellar, dan infark white matter. Bahkan ketika
infark terdeteksi, sejauh mana sebenarnya luas yang terkena infark sulit
untuk ditentukan. Salah satu kontraindikasi utama untuk penggunaan
TPA intravena adalah infark dengan ukuran yang luas (infark yang
melibatkan lebih dari sepertiga dari distribusi MCA). Peran utama CT
tanpa kontras adalah untuk mengidentifikasi infark hemoragik dan
untuk mengecualikan proses seperti perdarahan noniskemik (misalnya
perdarahan karena hipertensi), massa, atau infeksi yang klinisnya seperti
stroke. Karena keterbatasan ini, evaluasi CT infark dalam fase hiperakut
harus dilakukan bersamaan dengan CTA dan CTP (multimodal CT). CTA
dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi stenosis atau oklusi, dan CTP
dapat menentukan apakah ada bagian otak yang dapat diselamatkan oleh
terapi trombolitik (Gambar 13.28) (Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.28Multimodal computed tomography (CT) dalam penilaian


infark akut.

242 Pencitraan pada Stroke


Berdasarkan Gambar 13.28, bagian (A) menunjukkan unenhanced
CT scan pada sekitar 4 jam menunjukkan hipodens di lateral kanan
posterior dari basal ganglia dan insula (panah). Bagian (B) menunjukkan
sumber gambar dari CT angiography (CTA) menunjukkan fokal defek
mengisi di arteri serebral media (MCA) kanan proksimal dari bifurkasi
(panah). Bagian (C) merupakan CTA gambar yang menunjukkan oklusi
cabang MCA proksimal (panah). Catatan: CTA gambar kanan-kiri terbalik.
Bagian (D) menunjukkan CT perfusi (CTP) volume darah otak (CBV) peta
menunjukkan fokus penurunan volume di wilayah otak yang hipodens
pada CT. Peta aliran darah otak (CBF) (E) dan rata-rata waktu transit
(MTT) (F) menunjukkan inti infark otak dikelilingi oleh wilayah besar yang
mengalami penurunan perfusi (otak berisiko-penumbra).
Beberapa temuan MRI yaitu adanya insufisiensi pada vaskular
(Gambar 13.29). Penting untuk diingat bahwa hipointens intraluminal
khas adalah akibat dari efek aliran daripada sinyal intrinsik darah. Darah
merupakan cairan protein yang relatif isointens T1 dan pada T2 hiperintens.
Darah setelah pemberian kontras menjadi T1 hiperintens. Ketika aliran
melambat maka sinyal intrinsik darah dapat ditangkap. Oklusi kronis
atau aliran yang sangat lambat dalam pembuluh besar (misalnya arteri
karotis) dimanifestasikan oleh isointens sehingga hiperintens pada T1WI
dan hiperintens pada T2WI. Infark hiperakut adalah T1 isointens dan
T2 isointens hingga agak hiperintens. T2 hiperintens paling bermakna di
FLAIR (kadang-kadang hanya dalam retrospeksi) dan biasanya terbatas
pada grey matter pada infark tromboemboli. Dalam 24 jam pertama,
FLAIR hiperintens terlihat pada sekitar 80% kasus, tetapi terlihat dalam
waktu kurang dari 6 jam pada dua per tiga dari kasus yang dipelajari
(Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.29Insufisiensi vaskular pada MRI.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 243


Berdasarkan Gambar 13.29, bagian (A) merupakan sebuah gambar
gradient echo MRI menunjukkan hiperintens berdekatan dan hipointens di
wilayah arteri karotis interna distal dan arteri serebral media. Bagian(B)
merupakan CT scan menunjukkan hiperdens di segmen horizontal dari
arteri serebral media kanan (MCA) (panah). Bgaian (C) menunjukkan
gradient echo scan pada pasien yang sama menunjukkan hipointens tidak
adanya hiperintens akibat mengalirnya darah bila dibandingkan ke MCA
kiri (panah). Bagian (D) menunjukkan anteroposterior kateter angiogram
dari arteri karotid kanan menunjukkan oklusi lengkap dari arteri karotis
interna. Bagian (E) menunjukkan gradient echo MRI menunjukkan
fokus hipointens, menunjukkan gumpalan akut (panah). Bagian (F)
menunjukkan gambar FLAIR menunjukkan intraluminal hiperintens pada
distal dari clot, indikasi aliran yang lambat (panah).
Diffusion-weighted imaging akan meningkatkan sensitivitas untuk
mendeteksi infark akut lebih besar dari 90% pada periode hiperakut
(Gambar 13.30). Gambar 13.31 DWI hiperintens dengan peta ADC
hipointens dapat dilihat dalam beberapa menit dari timbulnya iskemia
pada hewan coba dan dalam kasus-kasus klinis di mana pasien
mengalami kegagalan dalam menampilkan infark selama atau sebelum
pemeriksaan MRI. Perubahan awal ini merupakan hasil dari edema
sitotoksik. Pada 5% sampai 10% dari kasus, studi awal DWI adalah
normal ketika terdapatnya infark (seperti ditegaskan oleh temuan klinis
atau studi pencitraan berikutnya). Sebagian besar dari kasus-kasus
ini yaitu infark kecil di batang otak inferior atau infark serebellar yang
dikaburkan oleh artefak dari dasar tengkorak (Gambar 13.32). Sensitivitas
DWI mengalami penurunan dalam rentang waktu 816 jam, yaitu waktu
periode pemulihan parsial dari fungsi selular sehingga mengakibatkan
resolusi transien DWI dan kelainan ADC (Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.30Infark emboli hiperakut: CT pada 3 jam, MRI pada 3 jam 30


menit.

244 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan Gambar 13.30, bagian (A) merupakan CT yang
menunjukkan hilangnya diferensiasi putih abu-abu di lobus oksipital
kanan (panah). Bagian (B) merupakan gambar FLAIR yang menunjukkan
halus T2 hiperintens di gyri temporal dan oksipital (panah). Bagian (C)
merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens di
gyri yang terpengaruh. Bagian (D) merupakan peta ADC menunjukkan
hipointens yang jelas, menunjukkan dibatasi difusi. Bagian (E) merupakan
gradient echo scan yang menunjukkan fokus hipointens yang dicurigai
di wilayah cabang arteri serebral posterior, menunjukkan gumpalan
intraluminal. Bagian (F) merupakan follow-up CT scan pada 30 jam yang
menunjukkan hipodens mutlak dan penipisan sulkal.

Sumber: Zimmerman, 2010)

Gambar 13.31Infark hiperakut. Gambaran Computed tomography (CT)


lebih baik daripada FLAIR.
Berdasarkan gambar di atas maka bagian (A) merupakan CT scan
pada 3 jam yang menunjukkan hilangnya kepadatan normal materi
abu-abu di basal ganglia kiri dan korteks frontal dan parietal tanpa efek
massa. Bagian (B) merupakan gambar FLAIR diperoleh pada 4 jam yang
menunjukkan tidak ada hiperintens di daerah yang terkena. Bagian (C)
merupakan difusion-weighted imaging yang menunjukkan hiperintens
luas di ganglionic dan kortikal menunjukkan infark hiperakut. Bagian(D)
merupakan apparent diffusion coefficient map yang menunjukkan
hipointens yang difus mengindikasikan terjadi difusi yang terbatas.

Sumber: Zimmerman, 2010)

Gambar 13.32Difusion-weighted imaging (DWI) infark akut yang negatif.

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 245


Jika kita perhatikan Gambar 13.32, maka bagian (A) menunjukkan
DWI awal pada pasien dengan sindroma meduler lateral pada 8
jam. Bagian (B) merupakan pemeriksaan diulangi pada 24 jam, DWI
menunjukkan hiperintens halus di posterior kanan lateral medula (panah).

13.7.2 Infark akut (6 jam sampai 3 hari)


Berlanjutnya iskemia akan menyebabkan kerusakan saraf dan
kematian (edema sitotoksik) meningkat. Sel-sel endovaskular rusak
sehingga terjadi sawar darah otak dan kebocoran cairan ke dalam ruang
ekstravaskular. Dengan meningkatnya air jaringan, pembengkakan lokal
otak terjadi. Ekstravasasi sel darah merah juga dapat terjadi meskipun
perdarahan biasanya tidak ada atau terjadi pada tingkat ringan.
Gumpalan dalam pembuluh darah proksimal dapat menetap atau menuju
ke pembuluh distal. Pembuluh darah kolateral leptomeningeal bisa
melebar untuk memberikan beberapa perfusi ke otak yang terkena. Luas
dan tingkat di mana edema vasogenik berkembang tergantung pada aliran
darah ke otak yang terkena. Jika tidak ada reperfusi, edema yang terjadi
ringan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang. Jika
aliran cepat diperbaiki kembali (secara spontan atau akibat pengobatan)
tetapi pembuluh darah rusak, edema akan meningkat dengan cepat dan
perdarahan dapat terjadi. Edema vasogenik menghasilkan hipodens
yang jelas pada otak yang terkena. Pada infark tromboemboli, grey
matter menjadi hipodens dan bengkak (pendataran gyri). Sulit untuk
membedakan antara infark lakunar akut dan kronis berdasarkan studi
tunggal CT (Zimmerman, 2010).

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.33Infark akut luas korteks subcortex lobus frontotemporo


parietooccipital.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat paling kiri yaitu nukleus
kaudatus, kapsula interna kiri suspek karena emboli di arteri serebri
media kiri segmen M1 setelah cabang lentikulostriata. Sementara itu,
paling kanan menunjukkan infark lakunar subakut di kapsula interna
kanan limb anterior.

246 Pencitraan pada Stroke


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.34Infark akut luas di lobus frontotemporoparietooccipital kanan


suspek emboli MCA kanan.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.35Infark lakunar akut di hemisfere serebellum kiri pada MRI


T1WI, T2WI dan FLAIR.

T1 isointens dan T2 hiperintens (terbaik tampak di FLAIR) yang


muncul di otak mengalami infark. Pada infark tromboemboli, T2
hiperintens hanya terbatas pada grey matter yang terkena (Gambar12.36)
(Zimmerman, 2010).

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 247


Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.36Infark akut (24 jam) pada MRI.

Berdasarkan gambar di atas kita dapat melihat FLAIR (A dan B) dan


diffusion-weighted (C dan D) gambar menunjukkan hiperintens di insula
basal ganglia kiri dan white matter (panah di A dan C). Bagian E danF
yaitu ADC map yang menunjukkan hipointens yang merupakan tanda
menurunnya difusi.
Gambaran infark pada DWI hiperintens dan hipointens pada ADC
merupakan tanda difusi yang menurun. Meskipun cakupan dan tingkat T2
hiperintens meningkat selama fase akut infark, tapi tingkat kelainan pada
DWI relatif tetap stabil kecuali ada perkembangan infark yang progresif.
Volume lesi DWI yang diukur dalam waktu 48 jam telah disarankan untuk
menjadi prediktor prognosis pada stroke. Infark lakunar tampak sebagai
fokus T1 isointens dan T2 hiperintens. Seperti halnya dengan CT, MRI sulit
untuk membedakan infark akut dari infark kronis pada T2WI, khususnya
ketika ada beberapa fokus hiperintens dari T2 pada white matter.
Menemukan infark lakunar akut untuk FLAIR pada pasien usia lanjut
seperti mencoba untuk menemukan "Waldo. DWI membuat deteksi infark
lakunar akut menjadi sederhana karena lesi akut akan tampak hiperintens,
sementara itu infark lakunar kronis white matter dan perubahan iskemia
pada DWI merupakan isointens (Gambar 13.37) (Zimmerman, 2010).
Jika perhatikan lagi Gambar 13.37 menunjukkan bagian (A) gambar
FLAIR yang menunjukkan konfluen luas dan multifokal T2 hiperintens.
Bagian (B) merupakan diffusion-weighted scan yang menunjukkan
hiperintens fokal pada infark akut ("Waldo") di frontal white matter
subkortikal kanan (panah).

248 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.37Infark akut pada white matter.

Hipointens pada gradient echo dapat menunjukkan perdarahan.


Beberapa studi telah menunjukkan bahwa urutan gradient echo lebih
sensitif daripada CT dalam mendeteksi transformasi hemoragik yang kecil
pada infark (Gambar 13.38) (Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.38Infark akut dengan transformasi hemoragik.

Jika kita perhatikan gambar di atas bagian (A) yaitu computed


tomography (CT) scan pada 36 jam yang menunjukkan hipodens di frontal
kanan wilayah dari MCA kanan dengan penipisan sulcal. Tampak densitas
heterogen ringan pada pusat, tetapi tidak ada bukti yang adanya perdarahan.
Bagian (B) yaitu FLAIR yang menunjukkan hiperintens heterogen dengan

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 249


isointens relatif gyri. Bgaian (C) yaitu gambar yang menunjukkan T2
hiperintens disertai isointens relatif di sekitarnya. Gambar (D) yaitu gradient-
echo yang merupakan hipointens yang jelas menunjukkan perdarahan.

13.7.3 Infark subakut fase awal (36 jam5 hari)


Aliran darah ke bagian otak yang terkena infark biasanya dibangun
kembali pada 24 sampai 72 jam setelah infark. Clot pada proksimal dan
distal akan mengalami lisis dan bergerak ke hilir. Pada hari ke-3 atau ke-4,
pertumbuhan pembuluh darah baru ke daerah infark dimulai. Pembuluh
darah yang belum matang ini mempunyai sawar darah otak yang "bocor".
Sebagai hasil dari perubahan ini, edema vasogenik meningkat dengan efek
massa progresif yang biasanya mencapai puncak pada sekitar hari ke-5.
Pada infark besar, efek massa dapat menyebabkan herniasi transfalcine
atau herniasi transtentorial.

13.7.4 Infark subakut fase akhir (514 hari)


Edema akan diserap seiring dengan waktu dan sebagai hasilnya akan
terjadi penurunan efek massa. Makrofag dan sel glial akan memasuki
area infark dan mulai menghilangkan jaringan saraf yang mati sehingga
edema sitotoksik akan berakhir. Aliran darah akan kembali. Perdarahan
reperfusi ringan dapat terjadi, tetapi transformasi perdarahan jarang
terjadi. Densitas akan berubah menjadi lebih heterogen. Infark biasanya
tetap hipodens, namun setelah edema berakhir maka mungkin ada
periode sementara ketika infark adalah isodens ke otak normal (efek
kabut) (Gambar 13.39). Efek massa akan berakhir dan mungkin akan
terjadi tanda awal dari fokal atrofi (Zimmerman, 2010).

A B C

D E F
Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.39Akhir infark subakut infark pada CT dan MRI.

250 Pencitraan pada Stroke


Perhatikan Gambar 13.39. Bagian (A) merupakan CT scan 3 hari
setelah timbulnya gejala menunjukkan hipodens fokal di lobus frontal
kiri dan nukleus kaudatus dengan efek massa ringan. Bagian (B) yaitu
CT ulangan pada 11 hari menunjukkan resolusi hipodens yang hampir
lengkap. Infark isodense tidak terlihat. FLAIR (C) dan DWI (D) pada hari
yang sama dengan B menunjukkan hiperintens yang jelas pada pada
infark (C) dengan sisa hiperintens ringan pada DWI (D) T2 shine-through.
E:MRI pada 25 hari menunjukkan sedikit perubahan jelas di FLAIR.
F:Hiperintens kortikal dalam infark pada gambar T1-weighted karena
laminar nekrosis, bukan perdarahan.
Hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2 akan bertahan. Pada
infark tromboemboli, perubahan intensitas ini yang paling bermakna di
subkorteks white matter pada korteks yang terkena infark. Pada daerah
grey matter yang terkena mungkin hampir isointens normal pada T1- dan
T2-weighted. DWI menunjukkan isointens hingga hiperintens ringan.
Pada Peta ADC menunjukkan hiperintens yang menunjukkan peningkatan
difusi. Oleh karena itu, sisa hiperintens pada DWI adalah hasil dari
T2shine-through (lihat Gambar 13.39 D) (Zimmerman, 2010).

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.40Infark subakut di beberapa bagian.

Gambar di atas menunjukkan korteks subkorteks kiri lobus


temporoparietooccipital, capsula interna limb posterior kiri, nucleus
lentiformis kiri dan infark kronis nukleus lentiformis kiri, korteks
subkorteks lobus frontal kiri.

13.7.5 Infark kronis (lebih dari 2 minggu)


Pada fase ini edema telah berakhir. Jaringan saraf yang mati
akan dihilangkan dan diganti dengan gliosis dan degenerasi kistik
(ensefalomalasia kistik). Infark lakunar biasanya berupa rongga kecil berisi
cairan yang dikelilingi oleh zona gliosis dan kehilangan volume fokal.
Tergantung pada ukuran dan lokasi dari infark, hal ini dapat menyebabkan
fokal kortikal atrofi atau dilatasi fokal pada ventrikel yang berdekatan
(Gambar 13.41). Jika infark melibatkan saluran kortikospinalis, akan ada
degenerasi wallerian yaitu atrofi pedunkulus serebral sisi ipsilateral dan
pons (Gambar 13.43) (Zimmerman, 2010).

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 251


Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.41Infark kronis pada CT scan dan MRI.

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan CT


scan menunjukkan fokus hipodens besar di lobus frontal kiri. Lesi lebih
hipodens dari infark akut dan memiliki batas tidak teratur, batas yang
agak cekung. Ada dilatasi dari ventrikel lateral kiri. Bagian (B) yaitu CT
scan pada tingkat yang lebih rendah menunjukkan atrofi dari pedunkulus
serebral sisi ipsilateral (degenerasi wallerian). Bagian (C) yaitu FLAIR
yang dilakukan 1 hari setelah CT menunjukkan pengumpulan cairan besar
dengan batas hiperintens pada T2 menunjukkan ensefalomalasia kistik.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13.42Infark kronis di lobus frontotemporal kanan, nukleus


kaudatus kanan, korona radiata kanan. Senile brain atrophy.

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 13.43Infark kronis dengan degenerasi wallerian.

252 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan Gambar 13.43 terlihat bagian (A) yaitu FLAIR
gambar pada tingkat basal ganglia menunjukkan T2 hiperintens di kapsula
interna limb posterior kiri dengan dilatasi ventrikel lateral sisi ipsilateral.
Bagian (B) dan (C) yaitu gambar aksial FLAIR pada tingkat mesensefalon
(panah), dan medulla menunjukkan atrofi fokal dari batang otak dan T2
hiperintens pada seluruh jaras kortikospinalis.
Gambaran infark otak pada T1 adalah hipointens dan T2 hiperintens.
Korteks sering terkena T1 hiperintens karena laminar nekrosis (bukan
perdarahan atau kalsifikasi). Ensefalomalasia kistik muncul sebagai
wilayah dengan intensitas cairan (T1 hipointens, T2 hiperintens, dan FLAIR
hipointens) dikelilingi oleh T2 hiperintens yang terbaik dinilai di FLAIR.
Pada DWI, infark kronis akan isointense hingga sedikit hipointens. Pada
ADC maps, infark akan hiperintens karena peningkatan difusi dalam otak
infark yang hiposeluler. Infark lakunar memiliki karakteristik intensitas yang
sama seperti ensefalomalasia kistik, meskipun dalam skala yang lebih
kecil. FLAIR sangat penting untuk membedakan infark lakunar kronis dari
perubahan iskemia kronis (tidak adanya sentral hipointens) dan pelebaran
ruang perivaskular (tidak adanya FLAIR hiperintens perifer). Gambaran
degenerasi wallerian menghasilkan fokal atrofi dan minimal hiperintens
pada T2 di batang otak dan pons (Zimmerman,2010).

Rangkuman
1. Temuan pada CT dan MRI berubah dengan cepat pada minggu
awal setelah infark. Biasanya gambaran stroke iskemia pun dapat
kita lihat berdasarkan waktu , misalnya infark hiperakut (06
jam), infark akut (6 jam sampai 3 hari), infark subakut fase awal
(36 jam 5 hari), infark subakut fase akhir (514 hari), infark
kronis (lebih dari 2 minggu), dan di situlah terlihat perubahan
yang terjadi.
2. Pengetahuan tentang tanda-tanda klasik iskemia awal atau
gambaran perdarahan di computed tomography (CT) tanpa
kontras diperlukan untuk studi pencitraan yang memuaskan.
Pemeriksaan CT yang modern harus mencakup CT perfusi dan CT
angiografi.
3. Computed tomography perfusi melukiskan jaringan iskemia
(penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit yang
berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume darah
otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan infark
bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV menurun.
4. CT angiography dapat menggambarkan letak oklusi dan
membantu mencirikan penyakit aterosklerosis pada karotis.
5. CT sangat sensitif untuk penggambaran lesi hemoragik dan peran
kunci CT tanpa kontras adalah deteksi perdarahan atau penyakit

Bab 13 Pencitraan pada Stroke Iskemia 253


lain yang mirip stroke (misalnya neoplasma dan malformasi
arteri) yang bisa menjadi penyebab defisit neurologis.
6. Perfusi CT dilakukan dengan hanya memantau agen kontras
iodinasi bolus yang lolos melalui sirkulasi serebral.
7. Peran utama CT angiografi adalah untuk menunjukkan arteri
intrakranial dan dengan demikian dapat membantu menentukan
letak oklusi, menggambarkan diseksi arteri, aliran darah kolateral,
dan penyakit aterosklerosis.
8. Pada stroke iskemia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
untuk pencitraan menggunakan MRI yaitu MRI konvensional,
FLAIR imaging, diffusion-weighted imaging, perfusion-weighted
imaging, dan time of flight.
9. Evaluasi rutin pasien stroke iskemia (terutama di tahap infark
subakut dan kronis) biasanya mencakup beberapa bentuk T1-
weighted dan T2-weighted spin echo atau fast spin echo dan
tambahan gradien echo imaging untuk perdarahan.
10. FLAIR imaging sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan
stroke iskemia untuk menguatkan hasil MRI konvensional T1- dan
T2weighted imaging.
11. Dengan munculnya DWI MRI scan pada saat ini maka teknologi
ini dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia serebral akut
dalam awal 6 jam setelah onset gejala.
12. Pencitraan perfusi otak dapat dilakukan dengan menggunakan
agen kontras berbasis kerentanan atau teknik berputar pada
pelabelan arteri.
13. Fase-kontras MRA (PC-MRA) memanfaatkan perbedaan fase
untuk membedakan darah dari jaringan statis dan time of flight
MRA (TOF MRA) membedakan aliran darah yang berputar akan
mengalami eksitasi pulsa lebih kecil dari jaringan statis, misalnya
ketika pencitraan irisan tipis.
14. Pada hiperakut stroke, angiografi serebral biasanya dilakukan
ketika direncanakan pengobatan trombolisis intra-arteri atau
intervensi mekanis. Tujuan awal evaluasi angiografik pada pasien
dengan stroke iskemia yaitu untuk menggambarkan lokasi oklusi
dan adanya kolateral ke daerah yang terkena.
15. Dalam keadaan subakut, angiografi serebral digunakan untuk
mengkonfirmasi tingkat keparahan patologi serebrovaskular.

254 Pencitraan pada Stroke


Bab 14
Pencitraan pada Stroke Hemoragik

T
ujuan utama pencitraan kepala di instalasi gawat darurat adalah
untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia dan lesi
otak lainnya. Diharapkan pencitraan dapat menentukan vaskular
yang terlibat, perfusi otak, area penumbra, dan prognosis pasien. Semua
ini dilakukan dalam waktu yang singkat, tanpa menghalangi proses
diagnostik lain dan/atau terapi yang berjalan secara bersamaan. Sejak
diperkenalkan pada tahun 1970, CT scan terbukti sebagai modalitas
yang dapat diandalkan dalam pencitraan stroke. Melalui CT scan, seorang
tenaga kesehatan dapat mendeteksi tanda-tanda stroke yang paling
samarpun. CT scan terbukti lebih mudah dibaca oleh mereka yang
kurang berpengalaman (Lovbald & Pereira, 2013).
Sebenarnya, CT scan dan MRI merupakan sama-sama sebagai lini
pertama modalitas pencitraan untuk stroke (Kidwell et al., 2004). Akurasi
klinis dalam mendeteksi ICH pada CT scan tergantung pengalaman,
berkisar antara 73-87% (Merino & Warach, 2010). Jika MRI dapat
dilaksanakan secepat CT scan, pilihan modalitas jatuh pada MRI (Kidwell
et al., 2004). Namun demikian, MRI tidak dapat dilaksakan pada pasien

255
yang memiliki prosthesis logam (Magistris, 2013). Sekitar 10% pasien
yang masuk ke IRD AS memiliki alat pacu jantung dan prosthesis logam
(Smith, et al., 2011). MRI juga tidak dapat digunakan pada pasien
dengan klaustrofobia (Lovbald & Pereira, 2013).
CT unggul dalam menunjukkan ekstensi perdarahan ke intaventrikel,
sementara itu MRI menunjukkan edema dan herniasi dengan lebih
baik. Karena saat ini dalam praktiknya CT scan lebih tersebar luas dan
permintaan pencitraan CT scan umumnya dapat dilaksanakan dengan
lebih cepat sehingga CT scan menjadi modalitas pencitraan stroke yang
lazim dilaksanakan. CT scan memiliki spesifisitas hampir 100% dalam
mendeteksi perdarahan dan kalsifikasi. MRI saat ini umumnya digunakan
sebagai follow up dan mencari penyebab perdarahan atau iskemia,
misalnya malformasi vaskular atau cerebral amyloidosis (Magistris, 2013).
Dalam membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemia, CT scan terbukti
memiliki cost-benefit ratio paling tinggi (Smith, et al., 2011). Meskipun
terbukti untuk saat ini, CT scan merupakan modalitas yang paling sering
digunakan, namun demikian MRI terus berkembang untuk membuktikan
diri sebagai modalitas unggulan lainnya yang dalam penggunaannya saling
melengkapi dengan CT scan (Lovbald & Pereira,2013).
A B B

D E F

Sumber: Lovbald & Pereira, 2013

Gambar 14.1Fungsi saling melengkapi antara CT scan dan MRI.

Modalitas CT scan (A) menunjukkan adanya pendataran sulcii yang


menjadi tanda stroke. Pada CT perfusi, tampak area hipoperfusi. MRI
menegaskan hal ini yang ditunjukkan dengan adanya lesi hiperdens pada
sekuens T2 (C). Sekuens diffuse weighted image (DWI) (D) dengan tegas
menyatakan adanya area stroke. CT scan daerah leher (B) menunjukkan
adanya kalsifikasi pada arteri karotis kiri, dibuktikan lebih lanjut sebagai
area stenosis melalui digital angiography substraction (DSA) (E). CTscan
setelah trombolisis (F) menunjukkan adanya luxury perfusion, tanpa
ekstravasasi darah.

256 Pencitraan pada Stroke


14.1 Gambaran Radiologis ICH
Bagaimana gambaran radiologis ICH pada berbagai modalitas
radiologi? Kita akan menemukan semuanya pada penjelasan berikut ini.

14.1.1 Gambaran CT Scan dan CTA pada ICH


ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat pada CT
scan kepala tanpa kontras. ICH sering mengalami ekstensi ke intraventrikel,
terutama jika berasal dari ganglia basalis dan batang otak. Pada fase
hiperakut, densitas lesi akan berkisar antara 40-60 Hounsfield Unit (HU)
(Smith, et al., 2011). Pada fase ini, ICH mungkin sulit dibedakan dengan
parenkim otak normal (Smith, et al., 2006). Beberapa lesi mungkin tampak
heterogen, memberi gambaran swirl sign, dan menandakan perdarahan
aktif masih berlangsung. Setelah hematoma terbentuk dengan sempurna
dalam hitungan jam hingga hari, densitas akan naik menjadi 60-80 HU.
Dalam beberapa hari kemudian, lesi akan memiliki densitas 80-100 HU
dan dikelilingi oleh edema peri-hematoma (Smith, et al., 2011). Hal
ini disebabkan oleh ekstrusi plasma dan retraksi bekuan darah. Edema
perihematoma sendiri dapat bertahan hingga 14 hari (Smith, et al., 2006).
Gambaran hiperdens ICH disebabkan oleh kandungan proteinnya yang
tinggi dan massa jenisnya yang berat (Wanke, 2007). Namun terkadang
ICH akut dapat tampak isodens atau bahkan hipodens. Hal ini disebabkan
oleh anemia atau gangguan koagulasi. Tanda lain ICH akibat gangguan
koagulasi adalah adanya fluid-fluid level (Smith, et al., 2011). Akan tetapi,
tanda ini dapat ditemukan pula pada ICH yang disebabkan oleh hipertensi,
tumor, trauma, dan AVM (Smith, et al., 2006).

Sumber: Smith, et.al., 2006

Gambar 14.2CT scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada
thalamus kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU (A), 8 hari
kemudian(B) dengan atenuasi 45 HU, 13 hari kemudian (C) dan 5 bulan
kemudian (D).

Setelah itu, seiring berjalannya waktu densitas ICH akan menurun,


rata-rata 0,71,5 HU/hari. Dalam 16 minggu, ICH akan menjadi isodens
terhadap parenkim otak (Smith, et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh
aktivitas makrofag yang melakukan fagositosis terhadap produk darah,

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 257


dimulai dari bagian perifer hingga ke sentral.
Dalam 4-9 hari, atenuasi ICH akan turun
menjadi sama dengan korteks normal dan
dalam 2-3 minggu menjadi sama dengan
substansia alba normal. Terkadang ICH-nya
sendiri tidak terlihat, namun efek massa yang
prominen menjadi petunjuk akan adanya ICH
di sekitar (Smith, et al., 2006). Gambaran ini
berpotensi untuk dikacaukan dengan abses
pada pemeriksaan CT scan dengan kontras
Sumber: Smith et.al., 2006
akibat kerusakan BBB (Wanke, 2007). Hal ini
Gambar 14.3CT scan disebabkan bahwa pada ICH subakut, memang
kepala tanpa kontras terdapat penyangatan pada perifernya (Smith,
menunjukkan ICH akut et al., 2006). Pada akhirnya, yang tersisa dari
pada pasien tanpa sebuah ICH adalah fokus hipodens (37%),
riwayat koagulopati. slit-like lesion (25%), kalsifikasi (10%), atau
terserap sempurna (27%) (Smith, et al., 2011).
Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumur Broderick yaitu
ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar hematoma, B adalah
diameter tegak lurus terhadap A, dan C adalah jumlah 10-mm-thickness
CT slice. Jika hematoma pada suatu slice CT > 75% hematoma terluas,
slice CT tersebut ikut dihitung dalamC. Namun, jika hematoma pada
suatu slice CT berukuran 2575% hematoma terluas, slice CT tersebut
dihitung setengah. Slice CT dengan hematoma < 25% hematoma terluas
tidak diikutkan dalam perhitunganC (Ghandehari, 2012).
ICH yang mengalami resolusi umumnya akan memberikan
penyangatan cincin (ring enhancement) paska pemberian kontras
pada 16 minggu sejak kejadian stroke dan akan menghilang setelah
26 minggu. Hal ini terjadi akibat hipervaskularisasi dan disrupsi BBB
(Ghandehari, 2012). Pada CT perfusi, area yang mengalami ICH akan
menunjukkan hipoperfusi (tampak sebagai area dengan warna biru)
(Choi, 2011).

Sumber: Choi, 2011

Gambar 14.4CT scan


kepala tanpa kontras.

258 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan Gambar 14.4, terlihat bagian (a) yang
menunjukkan ICH (panah) pada thalamus kanan. Pada CT perfusi
(CTP)(b), tampak area yang terkena ICH hipoperfusi (panah).

A B C D
Sumber: Xu et al., 2013
Gambar 14.5CT scan dengan kontras.

Berdasarkan gambar di atas, bagian (a) menunjukkan ICH pada


ganglia basalis kiri. CTP menunjukkan cerebral blood volume (CBV,
gambar b), cerebral blood flow (CBF, gambar c), dan mean transit time
(MTT, gambar d). Tampak penurunan jumlah pada ketiga parameter
(ditandai dengan warna semakin biru/hitam) dari bagian perifer ICH ke
bagian sentral ICH.
Hipertensi adalah penyebab ICH tersering. ICH supratentorial dapat
dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan terdapat pada white-
grey matter junction) dan deep ICH (pusat area perdarahan pada ganglia
basalis dan thalamus). Jika area yang terlibat dalam ICH luas, meliputi
lobar dan deep, kemungkinan besar berasal dari deep (Smith, et al.,
2006). Beberapa tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab
ICH antara lain sebagai berikut (Ghandehari, 2012).
1. Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r. perforantes MCA atau
a. basilaris. Sekitar 2/3 terletak di basal nuklei dan sekitar 50%
berkaitan dengan IVH.
2. Terdapat di pons atau serebellum.
3. Disertai dengan infark lakuner atau white matter disease.
Apabila pasien berusia di bawah 70 tahun dan/atau memiliki ICH
bukan di tempat predileksi di atas, angiografi mungkin dibutuhkan untuk
menyingkirkan aneurisma. Ruptur aneurisma dapat menyebabkan ICH,
meski SAH lebih sering terjadi (Wanke, 2007). Ekstensi ke IVH sering
terjadi meskipun volume ICH asal sangat kecil sehingga jika menemui IVH
saja, seseorang harus benar-benar yakin tidak terdapat deep ICH. IVH
primer dapat muncul pada pasien dengan hipertensi, aneurisma AcomA,
malformasi vaskular, penyakit moya-moya, dan tumor intraventrikel
(Smith, et al., 2006).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 259


Sumber: Smith, et al., 2006

Gambar 14.6ICH pada thalamus disertai ekstensi IVH.

A B C
Sumber: Smith, et al., 2006

Gambar 14.7Area khas untuk ICH yang disebabkan oleh hipertensi:


thalamus (A), batang otak (B), dan nukleus lentiformis (C).

Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki kelainan yang
mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat karena stroke hemoragik
sekunder ini berpotensi terulang dan berpotensi disembuhkan (Almandoz,
2011). Penelitian membuktikan bahwa mortalitas terapi konservatif pada
pasien dengan ICH yang didasari oleh ruptur aneurisma (salah satu penyebab
ICH sekunder) mencapai 80% (Smith, et al., 2011). Karena pentingnya hal
ini untuk dikenali maka sebuah sistem skoring telah dikembangkan, yaitu
sistem skoring secondary ICH (SICH) (Almandoz,2011).
Tabel 14.1Sistem skoring SICH
Parameter Poin
Kategori NCCT
Probabilitas tinggi 2
Tak tentu 1
Probabilitas rendah 0
Kelompok umur (tahun)
18-45 2

260 Pencitraan pada Stroke


Parameter Poin
46-70 1
71 0
Jenis kelamin
Perempuan 1
Laki-laki 0
Tidak seorang pun mengetahui HTN maupun gangguan koagulasi
Ya 1
Tidak 0
Sumber: Almandoz, 2011

Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada


CT scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin pasien,
serta latar belakang klinis. Terdapat tiga kategorisasi gambaran
perdarahan pada CT san, yaitu probabilitas tinggi, probabilitas sedang,
dan probabilitas rendah. Probabilitas tinggi diberikan jika perdarahan itu
menampakkan salah satu dari tanda seperti pelebaran vaskular sekitar
lesi, kalsifikasi sekitar lesi, sinus venosus yang hiperdens, dan vena
kortikal yang hiperdens. Probabilitas rendah diberikan jika lesi perdarahan
tidak memenuhi satu pun tanda probabilitas tinggi dan terletak pada
tempat predisposisi ICH primer, yaitu batang otak, thalamus, dan
ganglia basalis. Probabilitas sedang terletak di antara probabilitas tinggi
dan rendah. Gangguan koagulasi didefinisikan sebagai salah satu dari
gangguan seperti International Normalization Ratio (INR) > 3, activated
Pro-Thrombine Time (aPTT) > 80 detik, trombosit < 50.000, dan terapi
antiplatelet harian (Almandoz, 2011).

Tabel 14.2Nilai duga skoring SICH


Retrospective Cohort Prospective Cohort All Patients
(N = 623) (N = 222) (N = 845)
Score N (%) % Positive N (%) % Positive N (%) % Positive
CTAs CTAs CTAs
0 37 (5.9) 0 15 (6.8) 0 52 (6.1) 0
1 145 1.4 67 1.5 212 1.4
(23.3) (30.2) (25.1)
2 209 5.3 68 4.4 277 5.1
(33.5) (30.6) (32.8)
3 138 18.1 40 20 178 18.5
(22.2) (18.0) (21.1)
4 61 (9.8) 39.3 21 (9.5) 38.1 82 (9.7) 39
5 28 (4.5) 85.7 10 (4.5) 80 38 (4.5) 84.2
6 5 (0.8) 100 1 (0.4) 100 6 (0.7) 100
AUC (95 % Cl) 0.86 (0.83 0.89) 0.87 (0.82 0.91) 0.87 (0.84 0.89)
MOP >2 >2 >2

Sensitifitas 85.7 86.2 85.8

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 261


Spesifitas 71.1 75.6 72.3

Nilai P < .0001 < .0001 < .0001

Sumber: Almandoz, 2011

A B

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.8CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun.

Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa


kontras dari seorang wanita berumur 59 tahun dengan riwayat hipertensi
dan pemakaian aspirin harian menunjukkan ICH pada lobus temporo-
parieto-occipital kanan (skor SICH = 3). Potongan aksial (B) dari
maximum intensity projection CTA menunjukkan adanya AVM pada
regio temporo-parieto-occipital kanan (mata panah) dengan feeding
artery berasal dari PCA kanan (panah putih) dan draining vein ke sinus
transversus kanan (panah hitam).

A B

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.9CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 27 tahun.

Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa


kontras dari seorang pria berumur 27 tahun tanpa riwayat hipertensi
maupun pemakaian antiplatelet yang menunjukkan ICH pada lobus
occipital kiri (skor SICH = 4). Potongan aksial (B) CTA menunjukkan
sebuah additional shadow pada segmen distal MCA kiri, sesuai dengan
pseudo-aneurisma. Pasien diketahui memakai narkoba intravena.

262 Pencitraan pada Stroke


A B C

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.10CT scan kepala tanpa kontras dr seorang wanita berumur 59 tahun.

Bagian (A) pada gambar di atas merupakan CT scan kepala tanpa


kontras dari seorang wanita berusia 59 tahun tanpa riwayat hipertensi dan
gangguan koagulasi yang menunjukkan ICH pada ganglia basalis kanan
disertai pelebaran vaskular medial lesi (mata panah) (skor SICH =5).
CTA (B) menegaskan bahwa itu adalah vaskular. Hubungan vaskular yang
melebar dengan ICH tampak jelas pada potongan koronal (C) dengan
draining vein ke sinus rektus kanan dan vena serebri internakanan.
Jika seorang pasien dengan stroke hemoragik memiliki skor SICH tinggi,
kemungkinan kelainan vaskular yang menjadi dasar etiologi perlu dipikirkan
dan perlu dilakukan pemeriksaan CTA. Namun jika skor SICH rendah, yang
perlu dipertimbangkan adalah risiko radiasi dari CTA (Choi, 2011). Adanya
fokus penyangatan berarti risiko 91% untuk ekspansi hematoma yang berarti
prognosis yang lebih buruk. Fokus penyangatan ini diberi nama spot sign.
Tanda yang baru dilukiskan dalam waktu dekat ini memiliki spesifisitas 85-
89%, nilai duga negatif 76-96%, dan ratio kemungkinan positif 2,7-8,5
(Magistris, 2013). Tidak ada ketentuan pasti kapan CTA ini harus dilakukan,
tapi beberapa peneliti berpikir jeda waktu 3 jam setelah onset stroke hemoragik
sebagai waktu terbaik untuk melakukan CTA (Smith, et al., 2011).

A B C D

Sumber: Magistris, 2013


Gambar 14.11CTA dari seorang pasien dengan ICH.

Gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.


A. CT scan tanpa kontras menunjukkan ICH pada putamen kiri dan
kapsula interna kiri limb posterior.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 263


B. Setelah penambahan kontras tampak penyangatan kecil (panah
hitam), sesuai dengan spot sign.
C. CT scan beberapa saat kemudian menunjukkan penambahan
penyangatan (panah putih) sesuai dengan ekstravasasi.
D. CT scan tanpa kontras beberapa hari kemudian menunjukkan
ekspansi hematoma hingga intraventrikel.
Penelitian lain menunjukkan pasien dengan spot sign memiliki masa
tinggal di rumah sakit (length of stay) 10 hari lebih lama dibandingkan
mereka yang tidak menunjukkan spot sign. Pasien dengan spot sign ini
juga memiliki angka mortalitas dalam 90 hari (90-day mortality rate)
yang lebih tinggi (40,5%) dibandingkan mereka yang tidak memiliki spot
sign (13.4%) (Magistris, 2013).
Beberapa peneliti lain menetapkan kriteria batasan yang lebih kaku
untuk spot sign. Dua kriteria pertama (Tabel 14.3) membantu memisahkan
spot sign sesungguhnya dari kalsifikasi pleksus khoroid, AVM atau aneurisma
(Almandoz, 2011). Pada pasien dengan skor SICH tinggi, kriteria spot
sign yang kaku ini harus benar-benar dipegang dan sebuah titik hiperdens
harus dipastikan dengan benar apakah merupakan sebuah spot sign karena
dampak terapi dan prognostik yang berbeda. Kriteria ketiga (Tabel 14.3)
membantu memisahkan spot sign dari komponen hematoma dan image
noise. Setelah itu, para peneliti ini membentuk sistem skoring yang dapat
digunakan untuk menentukan nilai duga terhadap ekspansi hematoma pada
ICH primer. Pasien dengan risiko tinggi untuk ekspansi hematoma perlu
mendapatkan terapi hemostatik secepatnya (Almandoz, 2011).
Tabel 14.3Kriteria yang lebih kaku untuk spot sign (A). Kemudian dapat
dihitung skor spot sign (B) yang akan dipakai untuk menentukan risiko
ekspansi hematoma (C)
Karakteristik spot sign Poin
Jumlah spot sign
1-2 1
3 2
Dimensi aksial maksimum
1 pusat pada kontras pooling di 1-4 mm 0
dalam ICH
5 mm 1
Terputus-putus dari normal ke abnormal
vaskulatur berdekatan ke ICH. Atenuasi maksimum
Redaman 120 Hounsfields units. 120-179 HU 0
Beberapa ukuran dan bentuk. 180 HU 1
A B

264 Pencitraan pada Stroke


Ekspansi hematoma Kematian di RS Outcome buruk
Skor spot sign
(%) (%) (%)
0 2 24 29
1 33 41 42
2 50 59 47
3 94 61 54
4 100 64 75
AUC (95% Cl) 0.93 (0.890.95) 0.64 (0.600.68) 0.56 (0.51
0.61)
Nilai P < .0001 < .0001 0.04

C Sumber: Almandoz, 2011

A B C

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.12CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berusia 85 tahun.

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan hasil


CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berusia 85 tahun
dengan riwayat hipertensi dan pemakaian aspirin harian menunjukkan ICH
pada thalamus kanan dengan ekstensi ke intraventrikel (skor SICH = 0).
Setelah pemberian kontras (B), tampak adanya koleksi tunggal kontras
intra-hematoma sesuai dengan spot sign, berdiameter terbesar 2 mm
dengan attenuasi 128 HU (skor spot sign = 1, nilai duga untuk ekspansi
hematoma 2%). CT scan kontrol (C) 18 jam kemudian menunjukkan tidak
ada ekspansi hematoma. Pasien diizinkan pulang setelah perawatan 7 hari.

A B C

Sumber: Almandoz, 2011


Gambar 14.13CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pria berumur 44 tahun.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 265


Berdasarkan Gambar 14.13 menunjukkan bagian (A) yaitu hasil CT
scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 44 tahun
dengan riwayat hipertensi dan pemakaian aspirin harian menunjukkan
ICH pada thalamus kanan (skor SICH = 2). Paska pemberian kontras
(B) tampak 4 fokus koleksi kontras intra hematoma (mata panah) sesuai
dengan spot sign, dengan dimater terbesar spot sign terbesar 7 mm
dan atenuasi 218 HU (skor spot sign = 4, nilai duga untuk ekspansi
hematoma 100%). CT scan kontrol (C) menunjukkan ekspansi hematoma.
Pasien diizinkan pulang setelah perawatan 23 hari.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya spot sign yang hanya
muncul pada delayed CT scan. Prevalensi delayed spot sign ini sekitar
823% dari seluruh spot sign yang ditemukan dalam suatu penelitian. Selain
berguna dalam membantu memisahkan spot sign (morfologi berubah namun
attenuasi tetap, tidak terpengaruh akan fase pengambilan citra) sebenarnya
dari aneurisma/AVM (morfologi tetap namun atenuasi berubah sesuai fase
pengambilan citra dan vaskular besar anatomis terdekat). Penelitian lain
menunjukkan bahwa delayed spot sign ini juga memiliki nilai duga yang
akurat dan jika digabungkan dengan early spot sign akan menaikkan
sensitifitas dan nilai duga negatif sistem skor spot sign. Keuntungan ini
harus dipertimbangkan dengan risiko yang ditimbulkan oleh delayed CT
scan yang berarti tambahan radiasi (sekitar 2,5 mSv, bandingkan dengan
rerata paparan radiasi background tahunan sebesar 3 mSv). Saat ini, belum
ada bukti yang mendukung perlunya pelaksanaan delayed CT scan untuk
mendeteksi delayed spot sign (Almandoz, 2011).

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.14CT scan kepala tanpa kontras dari seorang wanita berumur
98 tahun.

266 Pencitraan pada Stroke


Meskipun dahulu dipercaya bahwa spot sign hanya dimiliki oleh ICH
primer, penelitian terbaru menunjukkan spot sign (menggunakan kriteria
kaku) juga ditemukan pada ICH sekunder dengan insiden lebih rendah.
Meskipun dapat memperkirakan mortalitas yang lebih tinggi, kegunaan
spot sign dalam memperkirakan ekspansi hematoma pada pasien dengan
ICH sekunder masih perlu diteliti (Almandoz, 2011).

A B C

Sumber : Almandoz, 2011

Gambar 14.15CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria
berumur 16 tahun.

Berdasarkan gambar di atas bagian (A) merupakan hasil CT scan


kepala tanpa kontras dari seorang pasien pria berumur 16 tahun
menunjukkan ICH pada lobus frontal kiri dengan ekstensi intraventrikel
(skor SICH = 4). Paska pemberian kontras (B) tampak koleksi kontras
tunggal bulat sesuai dengan aneurisma MCA kiri (mata panah). Pada
potongan superior (C) masih tampak aneurisma tersebut (mata panah)
dan tampak adanya dua koleksi kontras yang tidak berhubungan dengan
vaskular mana pun sesuai spot sign (panah), diameter terbesar spot sign
terbesar 13 mm dengan atenuasi 184 Hu (skor spot sign = 3). Pasien
menjalani clipping dan diizinkan pulang setelah perawatan 13 hari.

14.1.2 Gambaran SPECT dan PET pada ICH


Penelitian menggunakan Single Photon Emission Computed
Tomography (SPECT) dan Positron Emission Tomography (PET) terhadap
stroke hemoragik masih sedikit. Umumnya, penelitian ini mengkaji
parenkim otak yang berdekatan dengan ICH. Penurunan CBF dapat
ditemukan dalam pencitraan SPECT di area sekitar ICH. Tanda yang
tidak selalu muncul ini ditenggarai disebabkan oleh kompresi mekanik
yang disebabkan oleh efek massa ICH. Cerebral metabolism rate for
oxygen (CMRO2) juga menurun dan penurunan ini lebih besar dari
penurunan CBF yang menghasilkan nilai oxygen extraction fraction (OEF)
rendah dibandingkan stroke iskemia yang memiliki nilai OEF tinggi.
Pola ini menyatakan penekanan metabolisme primer sesuai dengan
laporan sebelumnya yang menyatakan adanya disfungsi mitokondria
perihematoma. Peningkatan transien fokal metabolisme glukosa juga
ditemukan pada jaringan perihematoma dan menyatakan proses patologis

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 267


sedang terjadi sehingga berpotensi dapat dihentikan dengan intervensi
terapeutik. Serupa dengan stroke iskemia, area hipometabolisme dapat
ditemukan para parenkim otak normal yang terletak jauh dari ICH (Powers
& Zazulia, 2010).

Sumber: Powers & Zazulia, 2010


Gambar 14.16Pencitraan PET dari seorang pasien dengan ICH.

Gambar di atas menunjukkan pencitraan PET pada pasien dengan


ICH pada putamen (gambar kiri atas) yang menunjukkan penurunan CBF,
OEF, dan CMRO2, dibandingkan kontralateral sesuai dengan disfungsi
metabolik primer.

Sumber: Powers & Zazulia, 2010

Gambar 14.1718F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang pasien dengan ICH.

268 Pencitraan pada Stroke


Gambar 14.17 menunjukkan F-fluorodeoxyglucose PET dari seorang
pasien dengan ICH pada putamen pada 26 jam (atas kiri), 2,2 hari (atas
tengah) dan 4,9 hari (atas kanan) setelah onset serangan menunjukkan
area peningkatan metabolisme (warna putih). Area ini jika di-superposisi-
kan pada CT scan (bawah kiri) akan menghasilkan gambar bawah tengah.
Terlihat area dengan peningkatan metabolisme terletak perihematoma.

14.1.3 Gambaran MRI pada ICH


Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi oleh
tingkat oksidasi hemoglobin dan kadar protein. Faktor ekstrinsik seperti
pulse sequence dan field strength juga berpengaruh (Wanke, 2007).
Terdapat 5 fase perubahan yang dialami oleh hemoglobin dalam eritrosit
yang terdapat dalam sebuah hematoma. Hal yang perlu diingat adalah
terdapat perbedaan antar individu berapa lama waktu yang diperlukan
hemoglobin untuk menempuh kelima fase ini. Bahkan sesama hemoglobin
dalam satu hematoma memiliki jangka waktu yang berbeda-beda dan
hal itu menunjukkan proses dinamis yang tidak berjalan homogen dalam
sebuah hematoma. Fase tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut
(Smith, et al., 2011):
1. Hiperakut: oksihemoglobin intraseluler
2. Akut: deoksihemoglobin intraseluler
3. Subakut awal: methemoglobin intraseluler
4. Subakut akhir: methemoglobin ekstraseluler
5. Kronis: hemosiderin/ferritin ekstraseluler
Tabel 14.4Lima fase perubahan pada stroke hemoragik
Membran
Berisi molekul Oksidasi
Fase Waktu sel darah T1 T2 T3
besi besi
merah
Hiper Jam Oksihemoglobin Fe2+ Utuh
akut
Akut Jam sampai hari Deoksihemoglobin Fe2+ Utuh iso,
Subakut Hari sampai 1 Methemoglobin Fe3+ Utuh
awal minggu
Subakut 1 minggu Methemoglobin Fe3+ Terdegradasi
akhir sampai bulan
Kronik bulan Hemosiderin Fe3+ Terdegradasi iso,
Singkatan: Fe, besi; iso, isointens relatif sampai otak normal; , hiperintens relatif sampai otak,
, hipointens relatif sampai otak
Sumber: Smith, et al., 2006

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 269


Sumber: Smith, et al., 2006

Gambar 14.18Perbandingan ICH akut pada MRI sekuens T1 (A), T2 (B) dan
Gradient Recalled Echo (GRE) (C).

14.1.4 Gambaran DSA pada ICH


Untuk melihat hasil pencitraan digital subtraction angiography (DSA)
pada intracerebral hematoma (ICH), dapat kita lihat pada beberapa kasus
berikut ini.

Kasus 1
Berikut ini merupakan
gambaran pencitraan pada
wanita 45 tahun yang tiba-
tiba mengalami serangan pada
hemiparesis kiri dan sakit kepala.
Berdasarkan gambar di
samping dapat kita perhatikan:
(a) Computed tomography
(CT) kepala menyaji kan ICH
dengan IVE. (b) CT angiografi
menunjukkan prominent
basal collaterals bilateral.
(c) DSA (kanan ICA injeksi)
menunjukkan kepulan asap
yang terlihat di ICA distal
dan MCA proksimal. ICH =
intraserebral hematoma, IVE
= intraventricular extension,
DSA = digital subtraction Gambar 14.19Pencitraan
angiography, ICA = internal menyajikan ICH dengan IVE dan DSA
carotid artery, MCA = middle yang menunjukkan MMD bilateral.
cerebral artery.
Kasus 2
Berikut ini merupakan
hasil pencitraan pada seorang wanita berusia 25 tahun yang
menunjukkan gejala sakit kepala tanpa disertai defisit fokal pada
pemeriksaan.

270 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan
gambar di samping maka ter
lihat bagian: (a) CT kepala
yang menunjukkan pivh. (b) CT
angiografi menunjukkan basal
posterior bilateral moyamoya.
(c)DSA (kiri injeksi arteri verte
bralis) tampilan lateral menun
jukkan jaringan moyamoya di
posterior arteri serebral. (d)DSA
(injeksi ica kanan) yang menun
jukkan supraclinoid ICA stenosis
dengan "puff" klasik. DSA =
digital subtraction angiography,
ICA = internal carotid artery,
pivh = primary intraventricular Gambar 14.20 Pencitraan
hemorrhage. menunjukkan PIVH dan DSA pada
MMD bilateral dengan circulation
affection posterior.
Kasus 3
Berikut ini merupakan
hasil pencitraan pada se
orang wanita 35 tahun yang
mengalami serangan tiba-tiba
pada hemiparesis kanan.
Gambar di samping
menunjukkan bagian:
(a)CTkepala menunjukkan
ganglia basal sebelah kiri
yang berdarah. (b)Tampilan
DSA lateral (injeksi ica kiri)
yang menun jukkan jaringan
pembuluh di dasar frontal
sugestif moyamoya ethmoidal.
(c)DSA (injeksi ICA kanan)
yang berhubungan dengan
Gambar 14.21Pencitraan ICH dan
asimptomatik kanan proksimal
DSA yang menunjukkan MMD sisi kiri
MCA aneurisma (panah).
unilateral yang berasosiasi dengan
DSA = digital subtraction
aneurisme MCA proksimal kanan.
angiography, ICA = internal
carotid artery, MCA = middle
cerebral artery.
Sumber: Srivastava, T., et al., 2014

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 271


14.1.5 Gambaran TCD pada ICH
Untuk memahami bagaimana gambaran TCD pada ICH, lihat gambar
berikut ini.

Sumber: Kyung-Il Jo, 2012


Gambar 14.22 TCD pada AVM (arteriovenous malformation).

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) cerebral angiography


(CAG) sebelum gamma knife surgery (GKS), menunjukkan AVM pada
MCA. (B) Follow-up CAG 2 tahun setelah GKS menunjukkan residual
arteriovenous malformation. (C) Profil ipsilateral transcranial Doppler
(TCD) sebelum GKS. (D dan E) Profil ipsilateral dan kontralateral TCD
2tahun setelah GKS.

14.2 Gambaran Radiologis SAH


Berikut ini kita akan memahami gambaran radiologis SAH pada
berbagai modalitas radiologi.

14.2.1 Gambaran Radiologis CT scan dan CTA pada SAH


Pada pencitraan CT scan tanpa kontras, subarachnoid hemmorage
(SAH) akan tampak sebagai pita hiperdens berlekuk-lekuk seperti ular
(serpingeous) mengisi sub-arachnoid space yang terdapat pada sulcii
dan sisterna (Wanke, 2007). Pada pasien dengan ruptur aneurysma,
darah bisanya berkumpul pada sisterna basalis, sementara jika penyebab
SAH adalah trauma, darah akan berkumpul pada konveksitas otak. Pada
pasien dengan hematokrit < 30%, darah pada SAH dapat terlihat isodens
terhadap parenkim otak (Lemonick, 2010).

272 Pencitraan pada Stroke


A B C
Sumber: Wanke, 2007

Gambar 14.23Gambaran CT scan tanpa kontras pada SAH.

Gambar di atas merupakan stroke hemoragik subarachnoid pada CT


scan tanpa kontras, SAH akan tampak sebagai lesi hiperdens mengisi
sisterna basalis (A) dan fissura sylvii kanan (B). Tampak kalsifikasi pada
dinding aneurisma sisi kiri (B). Pada gambar C, tampak SAH akibat ruptur
a.perikallosal.
Pola SAH dapat digunakan untuk memprediksi lokasi aneurisma
yang ruptur. Bila SAH disertai ICH, kemungkinan ruptur aneurisma terjadi
di AcomA atau MCA. Bila ICH yang terjadi mengenai kedua hemisfer
atau disertai dengan IVH, ruptur aneurisma mungkin terjadi di AcomA
atau distal ACA. ICH lebih sering terjadi pada aneurisma yang ruptur
karena perdarahan yang pertama menyebabkan fibrosis subarachnoid
space sehingga arteri yang bersangkutan akan melekat ke parenkim
otak. Ruptur aneurisma a. serebelli posterior inferior sering disertai IVH
ventrikel keempat dan hidrosefalus (Wanke, 2007).

Sumber: Wanke, 2007

Gambar 14.24SAH mengisi sisterna


basalis, sisterna perimesensephalic, dan
fissura sylvii.

Jika kita perhatikan gambar di atas diperkirakan aneurisma yang


ruptur adalah MCA kiri segmen M2 (panah).
Sekitar 30% pasien dengan SAH memiliki ICH. Hidrosefalus,
perdarahan ulang, dan infark merupakan komplikasi SAH. Pada pasien
yang mengalami perdarahan ulang, sering terjadi perdarahan subdural

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 273


(subdural hemorrhage, SDH). Namun SDH mungkin menyertai SAH
pertama (5%) atau bahkan satu-satu manifestasi radiologis SAH. Infark
dapat terjadi akibat vasospasme vaskular yang terjadi paska SAH.
Meskipun vasospasme ini terdeteksi secara angiografi pada sekitar 70%
pasien dengan SAH, hanya separuh dari angka tersebut yang menjadi
simptomatik (Wanke, 2007).
Terdapat perdebatan mengenai apakah CTA dapat menggantikan
pendekatan CT scan tanpa kontras diikuti LP jika hasil CT scan negatif.
Pendekatan menggunakan CTA ini muncul karena pada kenyataannya
hanya setengah pasien dengan kecurigaan SAH, namun hasil CT scan
negatif sungguh-sungguh menjalani LP. Sebaliknya, pendekatan CTA yang
digunakan pertama kali akan memaparkan pasien terhadap radiasi yang
tidak perlu, mengingat sekitar 2% populasi umumnya memiliki aneurisma
risiko rendah (Lemonick, 2010).
Untuk aneurisma dengan diameter > 5 mm, CTA memiliki sensitivitas
95%, sementara untuk aneurisma dengan diameter < 5 mm, sensitivitas
CTA adalah 70%. Sensitivitas CTA untuk aneurisma dengan diameter < 3
mm adalah 25-64%. Kelemahan CTA yaitu kesulitan mendeteksi aneurisma
yang berada di dekat tulang atau di tempat vaskular saling bertumpukan
(overlap) seperti pada area paraklinoid, segmen terminal internal karotid atau
bifurkasio MCA (Wanke, 2007). Selain tidak invasif, CTA memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan angiografi konvensional yaitu kemampuan
mendeteksi kalsifikasi dinding aneurisma, trombosis intraluminal, lokasi
aneurisma, dan orientasi terhadap bony landmark sekitarnya. Dengan
demikian, peran CTA dalam manajemen pasien dengan ruptur aneurisma
akan semakin bertambah di masa depan (Ghandehari,2012).
Meskipun demikian, kateterisasi angiografi tetap menjadi modalitas
diagnostik baku emas untuk SAH akibat ruptur aneurisma. Angiografi
dapat menunjukkan dengan lebih akurat terhadap jumlah, bentuk,
dimensi, lokasi, topografi, dan perkiraan risiko vasospasme. Karena
prevalesi aneurisma multifokal tinggi, angiografi harus dilakukan pada
4 vaskular otak pada proyeksi minimal anteroposterior, lateral, dan
oblique. Jika hasil angiografi negatif, lakukan kateterisasi selektif pada
a. karotis eksterna untuk menyingkirkan kemungkinan fistula arteriovena
dura. Kemungkinan adanya sirkulasi kolateral dari sirkulasi posterior ke
sirkulasi anterior dapat dinilai dengan melakukan Allcock test. Lakukan
kateterisasi selektif pada a. vertebral kanan atau kiri. Injeksikan kontras
sementara menekan ICA ipsilateral (Wanke, 2007).
Kateterisasi angiografi gagal memperlihatkan aneurisma pada
25% kasus. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan seperti berikut ini
(Ghandehari, 2012).
1. Kesalahan teknik.
2. Vasospasme pre-aneurisma (terjadi pada 70% kasus).
3. Trombosis yang mengisi seluruh aneurisma.
4. Kompresi hematoma peri-aneurisma menyebabkan aneurisma kolaps.
5. Aneurisma yang terlibat terlalu kecil (micro-aneurysm).

274 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Wanke, 2007
Gambar 14.25Angiografi konvensional menunjukkan aneurisma pada
AcomA (A) dan ujung distal PCA (B).

Risiko terjadinya vasospasme dapat diprediksi menggunakan grading


Fisher. Grading ini juga menunjukkan bahwa hasil CT scan normal tidak
dapat menyingkirkan SAH (Mark, 2013 dan Nouira, 2008).

Tabel 14.5Skala grading Fisher


Grup SAH Risiko vasospasme
1 Tak terdeteksi Rendah
2 Difus atau vertikal* ketebalan <1 mm Menengah
3 Terlokalisasi atau vertikal* dengan ketebalan > Tinggi
1 mm
4 ICH atau IVH dengan SAH difus atau tanpa SAH Tinggi
*Yang termasuk vertikal adalah area yang berpotensi menampung SAH dan terletak vertikal.
Area ini meliputi fissura interhemisfer serebri, sisterna ambiens, dan sisterna insular.
Sumber: Wanke, 2007

Meskipun telah tervalidasi dan memiliki reliabilitas inter observer


yang tinggi, terdapat beberapa kelemahan sistem grading Fisher, antara
lain seperti berikut ini (Rosen, 2005).
1. Sistem grading ini dikembangkan pada saat resolusi CT scan 1/10
resolusi CT scan saat ini.
2. Ketebalan SAH yang diukur berdasarkan hasil print out CT scan,
bukan ketebalan SAH sebenarnya.
3. SAH dengan ketebalan < 1 mm pada CT scan jarang ditemukan,
demikian pula dengan SAH yang tidak terdeteksi pada CT scan.
4. Sistem ini tidak meliputi pasien yang datang dengan ICH atau IVH
dan SAH terlokalisir.
Pada pasien dengan edema serebri difus, sisterna basalis, falx, dan
tentorium serebelli dapat tampak hiperdens dan sering disalahartikan
sebagai SAH. Ada beberapa hipotesis terbentuknya pseudo-SAH ini,
antara lain seperti yang dijelaskan berikut ini (Given, 2003).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 275


1. Pada edema serebri difus, terdapat kenaikan permeabilitas BBB yang
menyebabkan kebocoran materi proteinaceous yang akan tampak
hiperdens pada CT scan.
2. Edema serebri menyebabkan ruang subarachnoid menyempit dan
mendesak CSF keluar dari ruang tersebut. Ruang subarachnoid relatif
dipenuhi oleh meningen yang akan tampak hiperdens pada CT scan.
3. Peningkatan TIK yang sering terjadi pada kasus edema serebri
menyebabkan bendungan vena subpial sehingga ruang subarachnoid
akan tampak hiperdens oleh darah.
4. Selama edema serebri, attenuasi parenkim otak secara keseluruhan
menurun sehingga meningen dapat terlihat relatif hiperdens.
Pada gambar berikut pasien terbukti tidak memiliki SAH dengan
otopsi.

Sumber: Given, 2003

Gambar 14.26Pasien dengan edema


serebri difus menunjukkan pseudo-SAH
pada sisterna basalis.

Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan pada ruang
subarachnoid manapun yang umumnya terisi oleh cairan serebrospinal,
misalnya sistem sisterna dan sulcii. Hiperdensitas darah di ruang
subarachnoid tampak pada gambaran CT scan dalam rentang beberapa
menit setelah terjadinya perdarahan. Perdarahan subarachnoid umumnya
disebabkan oleh aneurisma (75%80%). Namun demikian, dapat
juga disebabkan oleh trauma, tumor, arteri-vena malformasi, dan dural
malformasi. Akibat dari granulasi arachnoid menjadi gumpalan sel darah
merah atau produk degradasinya, terjadi komplikasi hidrosefalus pada
20% kasus perdarahan subarachnoid.

Gambar 14.27
Perdarahan
subarachnoid yang
mengisi sisterna
suprasellar (A) dan
fissura sylvii (B).
A B

276 Pencitraan pada Stroke


Kemampuan CT scan mendeteksi adanya perdarahan subarachnoid
bergantung pada beberapa faktor, yaitu generasi dari CT scan, waktu sejak
onset perdarahan, dan pengalaman dari pembaca hasil CT scan. Dalam
beberapa studi, sensitivitas CT scan disebutkan 95% hingga 98% sensitif
untuk mendeteksi perdarahan subarachnoid pada 12 jam pertama sejak
perkiraan onset terjadinya perdarahan. Sensitifitasnya menurun menjadi
80% setelah 3 hari, berkurang menjadi 50% setelah 1 minggu, dan
hanya 30% setelah 2 minggu dari perkiraan onset terjadinya perdarahan.

14.2.2 Gambaran Radiologis SPECT dan PET pada SAH


Serupa dengan ICH, penelitian menggunakan SPECT dan PET pada
SAH juga sedikit. Penelitian menggunakan SPECT dengan radiofarmaka
133Xe, 123I- IMP, Tc99m HMPAO, dan Tc99m ECD menunjukkan penurunan

perfusi. Hal yang perlu diingat adalah SPECT dan PET tidak menunjukkan
vasospasme secara langsung, melainkan efek dari vasospasme tersebut
(Lewis, et al., 2012).

ABaseline

BVasospasm

CPost angioplasty
and intraarterial
papaverline

DPost angiography showing EPost angioplasty with intraarterial


vasospasm papaverline
Sumber: Lewis, et al., 2012
Gambar 14.28Hasil SPECT dari seorang pasien dengan SAH.

Berdasarkan gambar di atas terlihat hasil SPECT pada seorang


pasien dengan SAH yang diakibatkan oleh ruptur aneurisma pada AcomA
yang menunjukkan penurunan perfusi pada teritori MCA kiri dan teritori
watershed MCA/ACA kiri (A, baseline). Dua hari kemudian, pasien terkena
vasospasme. Hasil SPECT (B, vasospasme) menunjukkan perburukan
perfusi pada teritori MCA kiri dan teritori watershed MCA/ACA kiri, dan
area hipoperfusi baru pada teritori ACA kanan kiri, batang otak dan lobus

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 277


frontal sisi kiri bawah. Angiografi (D) menunjukkan vasospasme pada
ACA kanan kiri, dan MCA kanan kiri, yang membaik setelah angioplasti
dan pemberian intra-arterial papaverin (E). Hasil SPECT sebelum pasien
pulang (C) menunjukkan perfusi yang hampir normal kecuali hipoperfusi
ringan pada teritori MCA kanan.
Penelitian yang ada melaporkan penurunan CBF dan CMRO2 secara
global pada pencitraan PET scan disertai OEF normal. Jika terjadi
vasospasme, penurunan CBF akan lebih besar daripada CMRO2 sehingga
OEF akan meningkat (Powers & Zazulia, 2010).

Sumber: Powers & Zazulia, 2010


Gambar 14.29PET dari seorang pasien dengan perburukan neurologis.

Perburukan neurologis pada gambar di atas akibat vasospasme


yang muncul 9 hari setelah serangan SAH menunjukkan area dengan
penurunan CBF pada hemisfer serebri kanan lebih besar daripada
penurunan CMRO2, yang berakibat pada peningkatan OEF. Sisi kanan
pasien merupakan sisi kanan gambar.

14.2.3 Gambaran MRI dan MRA pada SAH


Magnetic Resonance Angiography (MRA) memiliki sensitivitas 95%
dalam mendeteksi aneurisma dengan diameter > 5 mm, dan sensitivitas
50% dalam mendeteksi aneurisma dengan diameter < 5 mm. MRA
kesulitan mendeteksi aneurisma dengan diameter < 3 mm. Hal ini perlu
diingat terutama jika berhadapan dengan kasus skrining atau kontrol paska
coiling suatu aneurisma dengan diamter < 3 mm. Alasan tambahan MRI
dan MRA bukan merupakan modalitas diagnostik pilihan dalam manajemen
SAH yaitu karena pada umumnya pasien dalam keadaan gaduh gelisah
dan membutuhkan banyak peralatan monitoring (Wanke, 2007).
Indikasi MRI/MRA antara lain seperti berikut ini (Yuan, 2005).
1. MRI digunakan pada pasien dengan CTA negatif dengan tujuan
menemukan penyebab lain di luar aneurisma.
2. MRA untuk menemukan aneurisma yang mengalami trombosis yang
menyebabkan CTA negatif.
3. Modalitas follow-up aneurisma atau monitoring post terapi
endovaskular.

278 Pencitraan pada Stroke


4. Sebagai tes skrining bagi mereka yang berisiko tinggi.
5. Pada kasus di mana berdasarkan keterangan klinis, aneurisma sangat
dicurigai, misalnya paresis n. oculomotorius atau nyeri kepala sangat
yang mendadak (thunderclap headache) (Wanke, 2007).
Karena umumnya berasal dari arteri yang mengandung banyak
oksihemoglobin, SAH akan terlihat hiperintens pada T1 dan T2 (Wanke,
2007). Sesaat setelah ruptur aneurisma (iktus), terjadilah perdarahan ke
dalam CSF. Ini berarti terjadi peningkatan kadar protein di dalam CSF yang
akan memendekkan waktu relaksasi T1 sehingga akan tampak hiperintens
pada sekuens T1. Beberapa hari setelah iktus, SAH akan tetap tampak
hiperintens pada T1 akibat pembentukan methemoglobin. Bila SAH yang
terjadi kecil sehingga semua eritrosit terserap oleh tubuh dan tidak terdapat
pembentukan methemoglobin, SAH tidak akan tampak hiperintens pada
T1 (Yuan, 2005)
Berbeda dengan ICH, ia akan cenderung tampak hiperintens pada
sekuens T2 fase akut dan akan menjadi hipointens seiring berjalannya waktu.
SAH belum tentu akan tampak hipointens pada T2. Kadar oksigen yang
tinggi dalam CSF akan menghalangi pembentukan deoksihemoglobin. Di
lain pihak, eritrosit yang terlepas ke dalam CSF akan mengalami overhidrasi.
Gabungan dari kedua faktor ini akan menghasilkan pemendekan waktu
relaksasi T2 sehingga SAH akan tetap tampak hiperintens pada sekuens T2.
Hal ini menjadi masalah karena CSF akan tampak hiperintens pada sekuens
T2 sehingga mengaburkan SAH yang mungkin ada (Yuan, 2005).
Berdasarkan alasan-alasan di atas, SAH sulit dideteksi menggunakan
sekuens standar MRI, yaitu T1 dan T2. Sekuens fluid attenuation inversion
recovery (FLAIR) sangat meningkatkan sensitivitas MRI dalam mendeteksi
SAH di mana SAH akan tampak hiperintens di antara CSF yang disupresi
(hipointens) (Wanke, 2007). Sekuens FLAIR cocok digunakan untuk
mendeteksi SAH kecil, terutama yang berada di fissura sylvii dan sulkus
serebri yang sering terlewatkan. Sekuens ini merupakan sekuens terbaik
untuk mendeteksi SAH yang berusia 5 hari. Meskipun demikian, sekuens
FLAIR tidak menyamai LP dalam sensitivitas sehingga LP tetap menjadi
standar baku emas. Diagnosis banding lesi hiperdens mengisi sulkus pada
sekuens FLAIR yaitu meningitis purulenta, meningitis granulomatosa,
arachnoiditis, metastasis ke meningen, disseminasi tumor primer otak
melalui meningen dan ruptur dermoid (Yuan, 2005).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 279


A B C

Sumber: Yuan, 2005


Gambar 14.30Gambaran
SAH pada CT (A), dan MRI
berbagai sekuens: T1 (B), T2
(C), GRE (D), dan FLAIR (E).
D E

Pada gambar ini SAH (mata panah) mudah dilihat sebagai pita
hiperintens pada MRI sekuens FLAIR.
Sekuens lain yang dapat dengan mudah menunjukkan SAH yaitu
GRE. Sekuens ini sangat sensitif terhadap ion ferri dan ferro, metabolit
hemoglobin yang bersifat para-magnetik. Sekuens GRE akan menampilkan
SAH sebagai area hipointens di antara CSF yang hiperintens. Sekuens
GRE paling sensitif untuk mendeteksi SAH yang berusia > 5 hari. Suatu
hal yang perlu diwaspadai untuk sekuens GRE yaitu artefak blooming
yang sering terbentuk di perbatasan otak dan tengkorak akibat perbedaan
suseptibilitas magnetik keduanya (Yuan, 2005). Meskipun demikian, hasil
pencitran MRI yang negatif terhadap darah belum dapat menyingkirkan
diagnosis SAH sepenuhnya (Kidwell et al., 2004).

A B C

Sumber: Yuan, 2005


Gambar 14.31Gambaran SAH
pada CT (A) dan MRI berbagai
sekuens: T1 (B), T2 (C), FLAIR (D),
dan GRE(E).
D E

280 Pencitraan pada Stroke


Pada Gambar 14.31 SAH (mata panah) mudah dilihat sebagai fokus
hipointens pada MRI sekuens GRE.

14.2.4 Gambaran DSA pada SAH


Vasospasme merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
kematian pada pasien SAH yang bertahan hidup. Sebanyak 50% dari
pasien ini mungkin menimbulkan beberapa derajat serebral vasospasme.
Vasospasme biasanya terjadi pada 7-10 hari setelah perdarahan, dan
diagnosis yang cepat diperlukan untuk memulai terapi yang tepat untuk
menghindari akibat buruk dari iskemia. Saat ini, standar referensi untuk
mendeteksi vasospasme adalah penggunaan DSA.
DSA memberikan gambaran yang akurat tentang pembuluh
intrakranial dan kompleks aneurisma-clip; Namun, hal itu membawa
tingkat komplikasi total sekitar 5% dan tingkat stroke permanen
sekitar 0,5% sampai 1% .TCD merupakan metode non-invasif untuk
mendeteksi vasospasme yang telah terbukti memiliki sensitivitas tinggi
dan spesifisitas dibandingkan dengan DSA. Namun, ketergantungan dan
kesulitan operator untuk mendeteksi vasopasme secara akurat di situs
selain arteri serebri proksimal (MCA) membatasi penggunaannya untuk
metode screening saja, dan diagnosis definitif dibuat oleh DSA.
Berikut ini merupakan contoh gambaran DSA pada SAH.

Sumber: Anderson, G.B., 2000

Gambar 14.32Seorang wanita berumur 56 tahun dengan SAH.

A, Praoperasi gambaran MIP pada sebuah studi CTA yang menunjukkan


arteri communicating aneurisma (panah).
B, Gambaran CTA pascaoperasi yang menunjukkan kliping dari
aneurisma dan penyempitan arteri serebral anterior (panah),
konsisten dengan vasospasme.
C, DSA, pandangan anteroposterior, yang menegaskan vasospasme dan
melibatkan segmen A1 dari arteri serebral anterior (panah).

14.2.5 Gambaran TCD pada SAH


Penggunaan Transcranial Doppler (TCD) ditujukan untuk diagnosis
vasospasme pada subarachnoid hemorraghe (SAH) dengan panduan
guideline nasional. Namun demikian, hal itu tetap tidak berhasil

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 281


digunakan di unit perawatan intensif neurologis di Amerika Serikat. Pada
kenyataannya, saat ini tulisan-tulisan menggunakan 2 sketsa klinis untuk
menggambarkan kesederhanaan dan logika di balik rutinitas pengamatan
sehari-hari pada vasospasme dengan transcranial Doppler sonografi pada
pasien dengan subarachnoid hemorraghe (SAH) dalam preferensi untuk
modalitas lainnya.

Contoh kasus
Seorang pria 66 tahun menjalani embolisasi koil pada fusiform
besar aneurisma di arteri vertebralis kanan distal setelah SAH
besar melewati basal cisterns inferior, yang paling menonjol dalam
fossa posterior dan yang sumur perimesencephalic (Gambar
14.33 (E)). Pasien memerlukan ventilasi mekanis dan drainase
ventrikel eksternal. Status pasien poor neurologic (Skor Glasgow
Coma skala 3) menghindari kecurigaan klinis atau diagnosis
gejala vasospasme. Fungsi ginjal terganggu sebagai kontraindikasi
kontras studi. Pada hari ke6, vasospasme dari arteri serebri kiri
diidentifikasi pada Transkranial Doppler sonografi. Pada minggu
berikutnya, vasospasme dari arteri serebri kiri menjadi berat,
dan itu juga diidentifikasi di anterior bilateral arteri serebral dan
arteri serebral kanan tengah (Gambar 14.33 (A-D)). Vasospasme
merespon untuk terapi hiperdinamik dengan cairan intravena dan
vasopressor dan terselesaikan semua pada hari ke-12. Pasien
akhirnya dipindahkan ke fasilitas keperawatan terampil dengan
defisit residual sekunder infark tertunda (Gambar 14.33 (F-G)).

Sumber: Gyanendra
Kumar, MD, Andrei V.
Alexandrov. 2015

Gambar 14.33
Gambaran TCD
SAH pada seorang
pria 66 tahun
yang menjalani
embolisasi koil.

282 Pencitraan pada Stroke


Gambar A, kejang ringan dan hiperemia pada arteri serebral
tengah kanan (RMCA;> 120 cm / s; rasio Lindegaard, 3.2). B,
kejang parah pada arteri serebral tengah kiri (LMCA;> 200cm / s;
rasio Lindegaard, 6.6). C, vasospasme nyata pada arteri serebral
anterior kanan (RACA;> 120 cm / s; Sloan setengah bulat rasio,
5.3). D, vasospasme nyata pada arteri serebral anterior kiri (LACA;>
120 cm / s; Sloan rasio setengah bulat, 5.5). E, CT kepala. Ada
difus SAH sepanjang basal cisterns inferior yang paling menonjol
dalam fossa posterior dan perimesencephalic cisterns. Hal ini
terlihat di sepanjang Convexities serebral yang lebih menonjol pad
bagian anterior daripada posterior. F dan G, tindak lanjut CT kepala
yang menunjukkan infark subakut dari wilayah frontoparietal kiri.

14.3 Gambaran Radiologis Etiologi Tertentu


Seorang radiolog perlu familiar terhadap beberapa kelainan otak
tertentu yang berpotensi menyebabkan ICH dan/atau SAH, antara lain
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

14.3.1 Kavernoma
Gambaran kavernoma pada CT scan tergantung pada jumlah
kalsifikasi, trombosis, dan perdarahan yang terjadi. Secara umum,
kavernoma akan tampak hiperdens. Pada kavernoma yang mengalami
trombosis, densitas bekuan darah menurun seiring berjalannya waktu.
Kalsifikasi memang tidak berubah, namun kavernoma cenderung untuk
mengalami kalsifikasi parsial. Pada pemberian kontras, sejumlah waktu
harus diberikan antara injeksi dengan pengambilan citra. Ini diakibatkan
oleh aliran darah yang lambat dalam kavernoma. Meskipun telah diberi
jeda antara 10-15 menit, penyangatan kavernoma berkisar dari tidak
menyangat hingga menyangat sangat kuat. Informasi klinis sangat
membantu dalam keadaan di mana kavernoma termasuk salah satu
diagnosis banding. Salah satu diagnosis banding yang penting adalah
oligodendroma yang juga sering mengalami perdarahan intratumoral
(Wanke, 2007).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 283


B

A
Sumber: Wanke, 2007

Gambar 14.34Kavernoma multipel

CT scan dengan kontras dari satu pasien menunjukkan kavernoma


pada supratentorial (A) dan batang otak (B) berbagai sifat penyangatan
yang berbeda-beda satu sama lain.
Modalitas pencitraan untuk mendeteksi kavernoma yaitu MRI, di
mana kavernoma akan memberikan gambaran pop-corn dengan pusat
retikular kompleks berbatas tegas, melukiskan perdarahan di berbagai
usia, atau aliran darah dalam berbagai kecepatan. Umumnya, terdapat
cincin hemosiderin yang mengelilingi seluruh kavernoma. Cincin ini
dapat membantu penegakan diagnosis, terutama pada sekuen GRE
di mana cincin hemosiderakan memberikan sinyal lemah (hipointens)
(Wanke,2007).

Sumber: Wanke, 2007

Gambar 14.35Gambaran MRI sekuen GRE dari pasien dengan kavernoma


multipel.

284 Pencitraan pada Stroke


14.3.2 Arteriovenous Malformation AVM
Kemungkinan AVM sebagai penyebab suatu SAH atau ICH harus
dipikirkan jika pasien masih berusia muda, lokasi perdarahan pada lobus
serebri atau adanya gambaran hiperdens/kalsifikasi berkelok-kelok pada
citra CT scan non-kontras pada pasien asimtomatik (muncul sekitar
pada 20% pasien). Tanda lain yang kurang spesifik adalah area fokal
pada parenkim otak yang mengalami gliosis akibat perdarahan lama
(Wanke,2007).
Meskipun dengan perkembangan teknologi, CTA dan MRA tetap
belum bisa menampakkan AVM dengan memuaskan dilihat dari sudut
pandang hemodinamik dan anatomik sehingga angiografi selektif tetap
menjadi modalitas pencitraan pilihan. Citra angiografi yang diambil
harus dapat menampakkan feeding artery, draining vein dan nidus
pada proyeksi minimal anteroposterior (AP), lateral, dan oblik. Dengan
teknik pelaksanaan yang superior pun, sering kali ketiga komponen AVM
ini tidak terlihat dengan baik, tergangggu dengan vaskular sekitarnya
yang juga mengalami opafikasi. Hal ini menyebabkan beberapa penulis
mengusulkan angiografi superselektif (Wanke, 2007).
Spetzler-Martin mengajukan sebuah sistem grading AVM. Beberapa
dari kriteria penilaian yang digunakan dalam sistem grading ini berasal
dari pencitraan. Sistem grading ini memiliki nilai dari 0 hingga 6, di
mana nilai 6 menunjukkan lesi tidak dapat dioperasi (Smith, et al.,
2011). Ada area tertentu yang dinyatakan eloquent, ini meliputi korteks
sensorimotor, korteks bahasa, korteks visual, hipothalamus, thalamus,
batang otak, nukleus serebelli, atau area otak yang berdekatan dengan
area ini. Non-eloquent area adalah lobus frontal, lobus temporal, dan
hemisfer serebelli.

Tabel 14.6Sistem grading Spetzler Martin


Penampakan Tingkat Poin
Ukuran AVM
Kecil (<3 cm) 1
Sedang (3-6 cm) 2
Besar (>6 cm) 3
Kelancaran berbicara yang berhubungan dengan otak
Tidak fasih 0
Fasih 1
Pola saluran vena
Hanya superfisial 0
Dalam 1
Sumber: Smith, et al.,

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 285


Sumber: Smith, et al., 2011

Gambar 14.36Scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berusia
59 tahun.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan


hasil CT scan kepala tanpa kontras dari seorang pasien wanita berumur
59 tahun yang menunjukkan ICH pada korona radiata kiri dengan ekstensi
intraventrikular dan kalsifikasi di dekatnya. MRI tanpa kontras sekuens T2
(B) menunjukkan adanya flow void multiple yang mencerminkan nidus
sebuah AVM. Tampak pula pelebaran vaskular subpial dan kortikal yang
mewakili draining vein. Digital subtraction angiography (C) mengeaskan
adanya AVM frontotemporal kiri dengan draining vein multiple.

14.3.3 Vaskullitis
Kegunaan CT scan dalam mendeteksi vaskulitis akut terbatas. CT
scan hanya dapat mendeteksi adanya kalsifikasi pada lesi vaskulitis kronis
pada vaskular besar (Garg, 2011) . Angiografi pada pasien dengan ICH
akibat vaskulopati akan menunjukkan multiple beading pada vaskular
yang terkena (Ghandehari, 2012).

14.3.4 Cerebral amyloidosis (CA)


Penyebab ICH primer yang jarang ini umumnya mengenai vaskular
sedang dan kecil pada korteks dan mengakibatkan terbentuknya micro-
aneurisma yang berpotensi ruptur. Perdarahan mikro yang sering terjadi
pada CA tidak terdeteksi oleh CT scan (Smith, et al., 2011). Perdarahan
mikro pada serebellum berkaitan dengan CA (Yates, 2014). Pada MRI
sekuens GRE, perdarahan ini akan tampak sebagai lesi hipointens
(signal drop-out) punctate multiple pada korteks subkorteks (Smith,
etal.,2011).

286 Pencitraan pada Stroke


Tabel 14.7Kriteria Boston yang umum digunakan untuk menegakkan
diagnosis CA
Definite CAA
Demonstrasi pengujian full post-mortem
Hemoragik lobar, kortikal, atau kortiko-subkortikal
CAA parah dengan vaskulopati
Tidak adanya diagnostik lesi lainnya
Probable CAA dengan patologi yang menyertai
Demonstrasi data klinik dan jaringan patologi (evakuasi hematoma atau
kortikal biopsi)
Lobar, kortikal, atau kortiko-subkortikal hemoragik
Beberapa derajad CAA dalam spesimen
Tidak adanya lesi diagnostik lainnya
Probable CAA
Demonstrasi data klinik dan MRI atau CT:
Hemoragik lobar tunggal, kortikal, atau kortiko-subkortikal
Usia 55 tahun
Tidak adanya penyebab lain stroke hemoragik
Sumber: Yates, 2014

Sumber: Smith, et al., 2011

Gambar 14.37Potongan aksial MRI sekuens T2

Jika kita perhatikan lagi gambar di atas terlihat bagian (A)


menunjukkan lesi hipodens samar pada korteks sejajar gyrus pada lobus
oksipital kanan. Pada sekuens GRE (B) tampak lesi hipodens multipel
pada korteks subkorteks lobus oksipital kanan, sesuai dengan signal
drop-out pada serebral amiloid.

14.3.5 Tumor
Tumor primer maupun sekunder dapat menampakkan manifestasi
klinis stroke hemoragik. Beberapa tanda radiologi yang menimbulkan
kecurigaan ICH akibat perdarahan intratumoral antara lain berikut ini.
1. Edema vasogenik di sekitar ICH (Ghandehari, 2012).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 287


2. Edema dan efek massa tidak sesuai (disproportionate) dengan
volume ICH (Ghandehari, 2012).
3. ICH di tempat tertentu yang jarang terjadi pada ICH akibat etiologi
lain (misalnya di korpus kallosum) (Ghandehari, 2012).
4. Nodul yang menyangat di sekitar ICH (Ghandehari, 2012).
5. Penyangatan cincin irreguler (irregular ring enhancement) pada
ICH akut (penyangatan cincin adalah hal normal pada ICH subakut)
(Ghandehari, 2012).
6. Penyangatan nodular atau irreguler di sekitar ICH (Smith, et al.,
2011).
7. Perdarahan lebih heterogen (Smith, et al., 2011).
8. Produk darah dalam hematoma menjalani degradasi yang lebih
lambat (Smith, et al., 2011).
9. Hemosiderin rim ireguler atau inkomplit (Smith, et al., 2011).

Sumber: Smith, et al., 2011

Gambar 14.38CT scan kepala tanpa kontras pada seorang pasien pria
berusia 42 tahun.

Berdasarkan gambar di atas terlihat CT scan tanpa kontras (A)


dan MRI sekuens T1 (B) dari seorang pasien pria berumur 42 tahun
menunjukkan ICH pada thalamus kiri. Paska pemberian kontras, MRI
(C) menunjukkan penyangatan inkomplit nodular sekitar ICH. CT scan
tanpa kontras kontrol (D) 6 minggu kemudian menunjukkan ICH dengan
densitas yang telah turun. MRI sekuens T1 pra-kontras (E) dan paska
kontras (F) menunjukkan massa. Hasil pemeriksaan patologi menyatakan
glioblastoma multiforme.

288 Pencitraan pada Stroke


A B C
Sumber: Smith, et al., 2011
Gambar 14.39CT scan kepala tanpa kepala kontras.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) menunjukkan


ICH heterogen pada subkorteks lobus parietal kanan disertai IVH (pada
gambar B) dan edema vasogenik. Paska penambahan kontras (C), tampak
irregular ring enhancement. Ini merupakan tipikal ICH sekunder akibat
perdarahan intra tumoral.

14.3.6 Trombosis sinus venosus


Beberapa tanda yang mengarahkan diagnosis etiologi ke trombosis
sinus venosus antara lain sebagai berikut.
1. Vena kortikal atau deep vein dengan atenuasi tinggi
(hyperattenuating) (Smith, et al., 2011).
2. Empty delta sign, trombosis pada sinus sagitalis superior
mengakibatkan sinus tersebut tidak terisi darah. Pada CT scan
dengan kontras, sinus yang mengalami trombosis itu akan terlihat
hipodens (Smith, et al., 2011).
3. Edema yang terjadi lebih luas dibandingkan ICH primer (Smith,
etal., 2011).
4. Area yang terlibat tidak sesuai dengan teritori arteri (Smith, et al.,
2011).
5. Pada MRI sekuens T2, sinus yang mengalami trombosis akan tampak
isointens hingga hiperintens, terutama jika disertai ekspansi sinus
(Smith, et al., 2011). Sekuens T1 dan FLAIR akan menunjukkan
trombus sebagai area hiperintens (Zak, et al., 2007).

A B
Sumber: Almandoz, 2011

Gambar
14.40Potongan
koronal CT scan
kepala tanpa kontras
dari seorang pasien
wanita berusia 21
tahun.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 289


Berdasarkan Gambar 14.40 terlihat potongan koronal CT scan
kepala tanpa kontras (A) dari seorang pasien wanita 21 tahun tanpa
riwayat hipertensi atau pemakaian obat antikoagulan menunjukkan
ICH pada lobus parietal kiri disertai hiperdens pada vena kortikal yang
diperkirakan merupakan draining vein area yang terkena (skor SICH =
6). Paska pemberian kontras (B) tampak vena regio parietal kiri dekat
vertex tidak terisi kontras (mata panah), sesuai dengan trombosis sinus
venosus. Pasien kemudian diketahui memakai kontrasepsi oral.
Di lain sisi, seorang radiolog perlu berhati-hati sebelum mengarahkan
diagnosis etiologi ke trombosis sinus venosus karena dampak terapi
yang besar. Pasien akan mendapatkan antikoagulan (meskipun memiliki
ICH) dan menjalani trombektomi mekanikal. Dengan diperkenalkannya
generasi baru CT scan, jeda waktu antara injeksi dan pengambilan
gambar telah berkurang bermakna yang mengakibatkan sinus venosus
normal tidak terisi kontras dengan homogen. Hal ini dapat terjadi sebesar
40-60% untuk sinus transversus dan sigmoid. Jika sinus venosus terisi
kontras pada pencitraan CT dengan kontras, trombosis sinus venosus
dengan yakin dapat disingkirkan. Namun, jika sinus venosus hanya terisi
parsial atau tidak terisi sama sekali disertai dengan ICH yang tidak sesuai
teritori arteri, delayed CT scan harus dilakukan. Jeda waktu untuk delayed
CT scan bisa mencapai 7 menit. Jika sinus venosus tetap tidak terisi,
mungkin trombosis sinus venosus memang terjadi (Almandoz, 2011).

A B C

Sumber: Almandoz, 2011

Gambar 14.41Hasil CT scan kepala tanpa pemberian kontras dan paska


pemberian kontras.

Jika kita perhatikan gambar di atas terlihat bagian (A) merupakan


hasil CT scan kepala tanpa kontras yang menunjukkan ICH pada hemisfer
kanan serebelli dengan ekstensi ke intraventikular. Paska pemberian
kontras (B), tampak sinus transversus kanan dan sinus sigmoid kanan
tidak terisi kontras (mata panah). Delayed CT scan 27 detik kemudian
(C) menunjukkan opasifikasi kedua sinus tersebut dengan yakin
menyingkirkan trombosis sinus venosus sebagai etiologi ICH.

290 Pencitraan pada Stroke


14.3.7 Perimesencephalic non-aneurisma SAH
Jika seorang radiolog menjumpai SAH yang terlokalisasi di sisterna
perimesensephalik saja dan tidak menjumpai SAH di tempat lain,
kemungkinan ruptur kapiler/vena perimesensephalik merupakan
diagnosis banding utama. Angiografi harus dilakukan untuk membuktikan
ketiadaan aneurisma. IVH minimal mungkin dapat ditemukan, namun
jika terdapat IVH dalam jumlah bermakna maka penyebab lainnya harus
dicari (van Gijn, et al., 2007).

Sumber: van Gijn, et al., 2007

Gambar 14.42Contoh khas SAH perimesensephalik non-aneurisma pada


pencitraan CT scan tanpa kontras (A). Angiografi membuktikan ketiadaan
aneurisma (B).

14.3.8 ICH multipel


ICH multipel jarang terjadi dan harus menimbulkan kecurigaan akan
penyebab koagulopati, infark, vaskulitis, serebral amiloidosis, hipertensi,
dan tumor (Smith, et al., 2006).

14.3.9 Kontusi serebral


Terkadang pasien dengan ICH primer yang mengalami penurunan
kesadaran dan terbentur dapat memiliki gambaran radiologis dengan
pasien kecelakaan yang memiliki kontusi serebral. Beberapa hal yang
mendukung ICH akibat trauma misalnya lokasi dekat dengan dasar
tengkorak, lokasi berdekatan dengan coup, disertai dengan fraktur atau
perdarahan ekstra-aksial (Smith, et al., 2006).

14.3.10 Hipertensi dalam kehamilan


Terdapat laporan kasus mengenai terjadinya SAH pada wanita post
partum per vaginam dengan hipertensi dalam kehamilan. Pasien datang

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 291


dengan sakit kepala hebat dan kejang fokal 2 hari setelah melahirkan.
CT scan kepala menunjukkan SAH minimal pada sulcii regio frontal dan
parietal tapi tidak pada sisterna basalis. Angiografi tidak menunjukkan
adanya SAH. Hal ini perlu dicurigai ketika seorang radiolog bertemu
dengan pasien dengan latar belakang klinis yang sesuai dan gambaran
SAH pada CT scan kepala (Zak, et al., 2007). Terdapat juga laporan
kasus ICH pada ibu hamil dengan preklampsia. Pada kasus ini pasien
juga menderita PRES (Gasco, et al., 2009).

A B

Sumber: Gasco, et al., 2009


Gambar 14.43Stroke hemoragik pada pasien hamil/nifas.

Berdasarkan gambar di atas terlihat:


A. SAH (panah) pada sulcii regio frontal (panah) dari pasien post partum
per vaginam dan hipertensi dalam kehamilan (Zak, et al., 2007).
B. ICH yang meluas ke IVH pada seorang ibu hamil dengan preklampsia.
Tanda-tanda PRES dapat dilihat sebagai area hipodens pada lobus
parieto-oksipital kanan kiri.

14.4 Gambaran Radiologis pada Transformasi Hemoragik


Transformasi hemoragik (TH) sebenarnya bukanlah bagian dari
stroke hemoragik, namun akan dibahas dengan singkat karena berpotensi
membingungkan. TH merujuk pada konversi area iskemia menjadi
area perdarahan yang sering terjadi terutama pada pasien dengan
stroke iskemia emboli luas atau pada pasien yang mendapatkan tissue
plasminogen activator (Liebeskind, 2014). TH dapat muncul spontan,
tanpa adanya riwayat trombolisis. TH lebih sering terjadi pada pasien
dengan diabetes mellitus dan hipertensi (Choi, 2011). Umumnya, terjadi
dalam 7 hari pertama. TH dapat terjadi hingga hari ke-14 setelah onset
iskemia (Liebeskind, 2014). Pada pasien yang menerima trombolisis
(misalnya pemberian recombinant tissue-Plasminogen Activator, rt-PA)
atau menjalani trombektomi mekanikal dapat mengalami hal ini lebih
awal (Smith, et al., 2011).

292 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Kidwell et al., 2004

Gambar 14.44TH terdeteksi menggunaan MRI sekuens GRE (mata panah


hitam) dan DWI sebagai lesi hipointens dikelilingi oleh area hiperintens
(mata panah putih). Hal ini tidak tampak di CT scan.

TH terjadi pada 43% stroke iskemia (Neeb, 2013). Peneliti lain


melaporkan angka prevalensi 30% (Choi, 2011). TH dapat berupa
perdarahan petekial multipel atau sebuah hematoma dengan efek massa
yang nyata. Berdasarkan penampakan pada CT scan kepala tanpa kontras,
European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS) membentuk sistem
grading terdapat tranformasi hemoragik. Karena dewasa ini MRI semakin
sering dipakai untuk mengevaluasi stroke, TH sering tampak dalam
pencitraan MRI. Hal ini mendorong sekelompok peneliti mengusulkan
sebuah sistem grading untuk TH pada pencitraan MRI berdasarkan
sistem grading ECASS (Neeb, 2013).
Tabel 14.8Sistem grading TH pada CT scan dan MRI
CT menurut MRI menurut Neeb, 2013
Grade
ECASS Bentuk/Ukuran GRE FLAIR DWI
1 Perdarahan Punctate/linier, hipointens Hipo/iso-intens Hipo-iso-
petekial kecil < 10 mm intens
2 Perdarahan Konfluen, > hipointens Hipo/iso-intens Hipo/iso/hiper-
petekial konfluen 10 mm intens
3 Hematoma Round Hipointens Hiperintens Hipointens
parenkimal dengan sentral dengan batas kuat dengan
meliputi hiperintens hipo/iso-intens aea iso/hiper-
30% area infark dan edema antara sentral intens
disertai efek perifokal dan edema
massa ringan hiperintens perifokal
4 Hematoma Round Hipointens Hiperintens Hipointens
parenkimal Perdarahan dengan sentral dengan batas kuat dengan
meliputi > jauh dari area hiperintens hipo/iso-intens aea iso/hiper-
30% area infark infark dan edema antara sentral intens
disertai efek perifokal dan edema
massa nyata hiperintens perifokal
Sumber: Neeb, 2013

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 293


A

Sumber: Neeb, 2013


Gambar 14.45Gambaran TH pada MRI.

Terdapat kontroversi tentang dampak perdarahan petekial terhadap


perjalanan penyakit pasien dan terapi antikoagulan. Namun, hematoma
> 30% area infark mengakibatkan prognosis yang lebih buruk (Smith,
etal., 2011).

Sumber: Liebeskind, 2014


Gambar 14.46 CT scan dari seorang pasien pria berumur 75 tahun yang
menderita stroke emboli sesuai teritori MCA kanan.

294 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan lagi Gambar 14.46, tampak pada gambar
sebelah kiri terjadi TH yang menjadi konfluen pada hari kedua (gambar
tengah) dan berkembang menjadi ICH pada hari keenam (gambar kanan)
dengan efek massa.
Mekanisme penyebabnya diperkirakan akibat reperfusion injury,
mungkin dari rekanalisasi vaskular yang tersumbat maupun kolateral
dari vaskular di tepi area infark. Akibat kerusakan BBB, eritrosit dapat
mengalami ekstravasasi dari pembuluh kapiler rapuh ini yang berakibat
pada perdarahan petekial atau bahkan ICH (Liebeskind, 2014). Sebagai
usaha tubuh untuk mempertahankan vaskularisasi penumbra pada stroke
iskemia, tekanan darah akan naik. Namun, dinding kapiler yang telah
rapuh akibat iskemia tidak mampu menahan kompensasi tubuh ini,
berakibat pada perdarahan (Elzawahri, 2013).

Sumber: Elzawahri, 2013

Gambar 14.47CT scan dengan


kontras dari seorang pasien 24
jam setelah serangan stroke
iskemia teritori MCA kanan.
Tampak ekstravasasi kontras,
membuktikan kerusakan BBB.

Mekanisme lain yang ditenggarai berperan dalam TH adalah dis-


autoregulasi vascular bed otak karena hipoksia akibat iskemia. Kenaikan
tekanan darah sistemik yang disertai dis-autoregulasi vaskular otak
akhirnya berakibat pada edema dan perdarahan (Elzawahri, 2013).

Sumber: Elzawahri, 2013

Gambar 14.48TH pada pasien


yang menerima trombolitik. TH
terjadi pada hari kedua paska
onset stroke emboli pada teritori
MCA kanan.

Manifestasi TH antara lain adalah sakit kepala unilateral, defisit


neurologis, dan kejang. Sakit kepala merupakan manifestasi utama, berkisar
hingga 62%. Beberapa sumber menyebutkan karakter berdenyut (pounding).
Defisit neurologis yang muncul umumnya berupa plegia atau afasia, namun
dapat berupa perburukan defisit neurologis yang telah ada (Elzawahri, 2013).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 295


Beberapa ciri yang mendukung ke diagnosis TH dibandingkan
dengan ICH primer antara lain seperti berikut ini.
1. Terjadi pada area yang mengalami infark 7-14 hari sebelumnya
(terbukti dengan CT sebelumnya) (Choi, 2011).
2. Edema yang menyertai mengikuti distribusi vaskular, lebih ekstensif
dan lebih sering mencapai korteks dibandingkan dengan ICH primer
berukuran sama (Choi, 2011).
3. Pada teritori MCA, sering terjadi pada area striatokapsular, dan pada
teritori PCA, sering terjadi pada lobus temporal medial dan lobus
oksipital medial (Choi, 2011).
4. Adanya mismatch pada CTP (Choi, 2011).
5. Pada CTP, nilai Perfusion Surface (PS) > 0,23 mL/menit (100)g
(Aviv et al., 2009).
6. Pada MRI, adanya hyperintense acute reperfussion marker (HARM)
sebagai tanda awal kerusakan BBB (Choi, 2011). HARM merupakan
sinyal hiperintens yang tampak pada sekuens FLAIR dalam hitungan
jam hingga hari setelah pasien menerima kontras gadopentate
dimeglumine dan dipercaya disebabkan oleh penumpukan bahan
kontras di ruang subarachnoid sebelum kerusakan BBB. HARM
dapat terjadi di sekitar area iskemia maupun pada area jauh yang
tidak berhubungan dengan area iskemia, menunjukkan kerusakan
BBB juga terjadi pada area yang jauh dari area iskemia awal. Hal ini
membantu menjelaskan mengapa peta PS pada area kontralateral
area iskemia juga menandakan kerusakan BBB (Aviv et al., 2009).

Sumber: Choi, 2011


Gambar 14.49CT
kepala tanpa kontras.

296 Pencitraan pada Stroke


Berdasarkan Gambar 14.49, bagian (a) menunjukkan hyperdense
arterial sign pada MCA kanan (panah tebal) dan loss of insula ribbon
sign (panah tipis), sesuai dengan stroke iskemia akut. Pasien menjalani
trombolisis. CT scan kontrol (b) tiga hari kemudian menunjukkan
adanya perdarahan di nukleus lentiformis sesuai dengan TH. CT perfusi
(C) semakin menegaskan temuan tersebut dengan menunjukkan area
luas (mismatch dengan area perdarahan) pada hemisfer kanan dengan
delayed mean transit time. CTA (D) menunjukkan cut off (panah) pada
MCA kanan segmen MI.
Berbagai penelitian telah berusaha menentukan faktor prediktor apa
yang mampu menduga risiko terjadinya TH setelah pemberian trombolitik.
Moriya et al., menemukan bahwa skor alberta stroke programme early
CT score-diffusion weighted image (ASPECT-DWI) merupakan prediktor
terjadinya TH setelah pemberian rt-PA. Untuk setiap pengurangan 1 poin
pada ASPECTS-DWI, odd ratio untuk TH naik 0,57 (Moriya Y et al.,
2013). Moriya et al., menemukan bahwa perdarahan mikro (microbleed)
yang tampak pada MRI sekuens T2 bukanlah prediktor terjadinya TH
setelah pemberian rt-PA (Moriya Y et al., 2013). Namun demikian, Yates
et al., melaporkan pasien dengan perdarahan mikro terkait dengan risiko
tinggi TH bila diberikan terapi rt-PA (Yates, 2014). Penelitian lanjut untuk
menyelesaikan masalah ini sangat diperlukan.
ASPECT merupakan sebuah sistem skoring yang dirancang untuk
menggantikan sistem sebelumnya, yaitu rule of 1/3 dalam menentukan
keputusan memulai terapi rt-PA intravena (Pexman, 2001). Jika area
yang terlibat dalam stroke iskemia > 1/3 teritori MCA, rt-PA tidak
dilaksanakan karena risiko akan terjadi TH besar (Lovbald & Pereira,
2013). Seorang radiolog bahkan neurolog paling berpengalaman pun
akan sulit menentukan apakah area yang terlibat dalam infark kurang/
lebih dari 1/3 teritori MCA. Hal ini terjadi karena sang radiolog/neurolog
diharuskan memperkirakan volume area yang terlibat dari serangkaian
citra dua dimensi. Sebaliknya ASPECT, sistem skor yang dirancang untuk
menilai gambaran stroke sirkulasi anterior pada CT scan < 3 jam dari
onset, lebih mudah dan memiliki kesepakatan antar observer yang tinggi
(Pexman, 2001). Pada penelitian Moriya et al., sistem skoring ASPECTS
didasarkan pada DWI, bukan pada CT scan (Moriya Y et al., 2013).
ASPECTS dihitung menggunakan dua potogan aksial CT scan kepala
tanpa kontras sejajar orbitomeatal line, yaitu pada level thalamus dan
ganglia basalis (potongan pertama) dan pada level sedikit superior dari
margo superior ganglia basalis sedemikian rupa hingga ganglia basalis tidak
terlihat lagi (potongan kedua). Area teritori MCA yang terdapat dalam kedua
potongan ini dibagi menjadi 10 segmen. Untuk setiap perubahaan iskemia
awal (yaitu edema fokal atau area hipodens pada parenkim) yang terdapat
dari area ini, satu skor dikurangi dari total skor ASPECTS. CT scan normal
memiliki skor ASPECTS 10, sementara CT scan dengan infark iskemia yang
mengenai seluruh teritori MCA akan bernilai 0. Kesepuluh segmen tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut (Pexman, 2001).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 297


Sumber: Pexman, 2001

Gambar 14.50Kesepuluh segmen MCA yang dilibatkan dalam ASPECTS.


Pada Gambar 14.50, terlihat kesepuluh segmen MCA yang meliputi
caput nucleus caudatus (C, segmen 1), nukleus lentiformis (L, segmen
2), kapsula interna (IC, segmen 3), insula (I, segmen 4), korteks anterior
MCA (M1, segmen 5), korteks lateral dari insula (M2, segmen 6), korteks
posterior MCA (M3, segmen 7), teritori anterior MCA (M4, segmen 8),
teritori lateral MCA (M5, segmen 9), dan teritori posterior MCA (M6,
segmen 10) A=sirkulasi anterior, P=sirkulasi posterior.

A B

C D

Sumber: Pexman, 2001

Gambar 14.51CT scan kepala tanpa kontras pada pasien wanita berusia 65 tahun.

Berdasarkan gambar di atas terlihat hasil CT scan tanpa kontras


< 3 jam dari onset (A dan B) dengan hemiparesis kiri dan hemianopia

298 Pencitraan pada Stroke


kiri yang menunjukkan lesi hipodens dan pendataran sulcii pada teritori
MCA kanan: insula (I), korteks anterior MCA (M1), korteks lateral dari
insula (M2), teritori lateral MCA (M5), teritori posterior MCA (M6) dengan
total ASPECTS = 5. Meski terapi IV rt-PA telah diberikan, CT scan
kontrol (Cdan D) menunjukkan infark luas pada teritori MCA kiri. Pasien
dependent selama 3 bulan.

A B

C D

Sumber: Pexman, 2001

Gambar 14.52CT scan kepala tanpa kontras pada pasien pria berumur 68
tahun.

Gambar di atas menunjukkan CT scan kepala tanpa kontras < 3


jam dari onset (A dan B) dengan keluhan afasia global menunjukkan lesi
hipodens dan pendataran pada teritori MCA kiri: insula (I), korteks lateral
dari insula (M2) dengan total ASPECTS = 8. CT scan kontral (C dan D)
menunjukkan infark. Pasien sembuh sempurna.
Meskipun menyediakan suatu struktur yang lebih tertata dalam
mengevaluasi CT scan kepala tanpa kontras < 3 jam dari onset yang
mungkin telah menunjukkan tanda samar nyaris tak terlihat (subtle
change) lebih baik daripada hanya sekedar Gestalt. Hal ini bukan
berarti ASPECTS merupakan suatu sistem sempurna. Terdapat beberapa
pertanyaan misalnya apa batas tegas tiap segmen? Berapa banyak
kelainan yang diperlukan untuk mengurangi satu nilai? Bagaimana jika
misalnya ada lesi hipodens mengenai hanya ujung anterior segmen
insula? Apakah ada kelainan tertentu yang lebih penting dari yang
lainnya? (Pexman, 2001)

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 299


A B

Sumber: Pexman, 2001

Gambar 14.53CT scan kepala


tanpa kontras pada seorang
C D pasien wanita berusia 79 tahun.

Gambar di atas merupakan hasil CT scan kepala tanpa kontras < 3


jam dari onset (A dan B) dengan keluhan hemiparesis kiri menunjukkan
lesi hipodens pada teritori MCA kanan: nukleus lentiformis (L) dan
nukleus kaudatus (C) dengan total ASPECTS = 8. CT scan kontrol (C dan
D) menunjukkan infark. Pasien sembuh sempurna setelah terapi IV rt-PA.
Penelitian lain mencoba melihat kegunaan CTP dalam menduga risiko
terjadinya TH pada pasien dengan stroke iskemia (Aviv et al.,2009).

Sumber: aviv et al., 2009

Gambar 14.54Gambar yang menunjukkan kegunaan CTP dalam menduga


risiko terjadinya TH pada pasien dengan stroke iskemia.

300 Pencitraan pada Stroke


Berdasarkan Gambar 14.54 terlihat CTP (A) dari seorang pasien
dengan stroke iskemia menunjukkan cerebral blood flow (CBF) dengan
rentang dari 0 mL/menit (biru gelap) hingga 150 mL/menit (merah). Peta
CBF menunjukkan area dengan aliran < 25 mL/menit (kuning) dibatasi
oleh garis hitam tebal. Peta permeability surface (PS) yang merupakan
gabungan dari gambar A dan B, menunjukkan area dengan permeabilitias
meningkat dibatasi oleh garis putih tebal. Area serupa kontralateral juga
ditunjukkan sebagai perbandingan. CT scan kontrol (D) menunjukkan
area yang terkena stroke iskemia dengan TH (panah).
Prognosis pasien dengan stroke iskemia yang mengalami TH dapat
turun dengan drastis. Mortalitas pasien ini berkisar 36-63%. Sekitar 80%
yang selamat akan menderita sekuele (Liebeskind, 2014).
Transformasi hemoragik paling sering terjadi selama fase infark
ini (Gambar 14.55). Sementara edema vasogenik meningkat,
edema sitotoksik sebenarnya menurun sebagai akibat kematian yang
menyebabkan lisis sel. Batas infark mulai jelas dan efek massa meningkat.
Tingkat edema dan efek massa ditentukan oleh ukuran infark dan tingkat
rekanalisasi arteri. Dalam kasus yang parah ("malignant infark"), mungkin
ada herniasi transfalcine atau herniasi transtentorial (Gambar 14.57)
(Zimmerman, 2010).

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 14.55Infark akut dengan transformasi hemoragik.


Berdasarkan gambar di atas, terlihat bagian (A) yaitu computed
tomography (CT) scan 3 jam setelah timbulnya gejala yang menunjukkan
hilangnya densitas normal grey matter di korteks temporoparietal kanan
(panah). Pasien yang diobati dengan aktivator jaringan plasminogen
intravena. Bagian (B) yaitu CT scan pada 18 jam menunjukkan infark
dengan transformasi hemoragik.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 301


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 14.56Infark subakut dengan transformasi hemoragik

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 14.57Infark subakut pada korteks subkorteks lobus temporo


parietal kanan dengan kecurigaan transformasi hemoragik.

Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 14.58Malignant
infark subakut CT scan
pada 40 jam setelah
A B timbulnya gejala.

302 Pencitraan pada Stroke


Jika kita perhatikan lagi Gambar 14.58, bagian (A) yaitu pada tingkat
sisterna suprasela yang menunjukkan hipodens pada distribusi arteri
serebral tengah kanan (MCA). Sisterna suprasella menghilang (panah
panjang), kornu temporal kanan (panah pendek) terdesak ke medial dan
kornu temporal kiri melebar, menunjukkan herniasi transtentorial. Bagian
(B) yaitu scan pada tingkat ventrikel lateral yang menunjukkan hipodens
seluruh wilayah MCA yang membentuk batas tidak jelas (panah) dan efek
massa ditandai dengan herniasi transfalcine.
Gambaran infark pada otak adalah agak hipointens pada T1 dan
hiperintens pada T2 (Gambar 14.59 A dan B). Hiperintens pada T2
melibatkan white and grey matter dengan batas yang tidak jelas.
Transformasi hemoragik menghasilkan hipointens ringan hingga
sedang pada T2 dan ditandai hipointens pada susceptibility-weighted
sequences. Dalam kebanyakan kasus, hiperintens pada DWI menetap
(Gambar14.59 C), tetapi hipointens ADC menjadi kurang jelas atau
menghilang jika edema sitotoksik menurun atau ada edema vasogenik
yang luas. (Zimmerman, 2010).

A B C

D E F
Sumber: Zimmerman, 2010

Gambar 14.59MRI infark subakut awal hingga kronis.

Berdasarkan gambar di atas dapat kita lihat Gambar T1-weighted


(T1WI) (A), FLAIR (B), dan gambar diffusion-weighted (DWI) (C)
pada 36 jam menunjukkan pembengkakan gyral ringan dan hipointens
ringan pada T1WI (panah) (A) dan hiperintens kortikal pada FLAIR (B)
(panah) dan DWI (C). T1WI (D) FLAIR (E), dan DWI (F) pada 1 bulan
menunjukkan atrofi fokus dan hipointens pada T1WI (D). Pada FLAIR
(E) T2 hiperintens tampak dalam white matter subkortikal. Korteks yang
sebelumnya hiperintens sekarang isointens (panah). Pada DWI (F), infark
kronis agak hipointens.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 303


14.5 Gambaran Stroke Hemoragik pada Pediatrik
Kasus stroke hemoragik tidak hanya menyerang manusia dewasa,
tapi juga dapat menyerang anak-anak. Bagaimana gambaran radiologis
stroke hemoragik pada anak? Berikut ini merupakan penjelasannya.

14.5.1 Germinal Matrix Hemorrhage-IntraVentricular


Hemorrhage dan Peri-Ventricular Hemorrhage
Infarction
Germinal matrix hemorrhage-intra ventricular hemorrhage (GMH-IVH)
adalah suatu tipe stroke hemoragik pada neonatus yang terbatas hanya pada
germinal matrix. Umumnya, disertai dengan intraventricular hemorrhage.
Sekitar 15% neonatus dengan GMH-IVH juga memiliki peri-ventricular
hemorrhagic infarction (PVHI). Di negara maju, insiden GMH-IVH telah
turun dari 50% pada tahun 1970-an menjadi 20% dewasa ini. Sayangnya,
penurunan insiden ini tidak berlaku untuk neonatus dengan berat lahir <
750 g, dimana PVHI merupakan ancaman terbesar. Insiden GMH-IVH jauh
lebih besar di negara berkembang. Sekitar 90% GMH-IVH terdeteksi dalam
96 jam kehiduan ekstra-uterine pertama (Gunny & Lin,2012).
Pada umur gestasi 7 minggu, neocortex mulai terbentuk dan memiliki
beberapa lapis sel neuron. Lapisan ventricular yang terletak langsung
setelah ventrikel berkembang membentuk lapisan subventricular dan
inner preplate. Lapisan intermediate terbentuk pada umur gestasi 8
minggu sementara lapisan outer preplate dan cortical barulah terbentuk
pada usia gestasi 14 minggu. Lapisan subventricular menjadi tempat
utama proliferasi sel mulai minggu ke-15, membentuk ganglionic
eminence, yang terletak pada dinding lateral kornu frontal dan kornu
temporal ventrikel lateral. Sel-sel yang menyusun ganglionic eminence
mengalami proliferasi pesat hingga minggu ke-18, menyebabkan
ganglionic eminence mencapai ketebalan maksimal pada umur gestasi
20-26 minggu. Setelah minggu ke-18, sel-sel pada posterior ganglionic
eminence mulai mengalami involusi, namun sel-sel yang terdapat pada
anterior ganglionic eminence masih tetap ada hingga minggu ke-28.
Ganglionic eminence akan mencapai involusi final pada umur gestasi
34-36 minggu. Ganglionic eminence menjadi sumber inhibitory gamma
amino butiric acid (GABA) neuron, neuron ganglia basalis, neuron
thalamus, astrosit, dan oligodendrosit (Gunny & Lin, 2012) .
Germinal matriks berasal dari ganglionic eminence, terutama yang
terletak pada kornu frontal ventrikel lateral dan caput nucleus caudatus.
Vaskular germinal matriks sangat rentan terhadap penurunan perfusi
otak. Hal ini dicurigai akibat dari BBB yang inkomplit, membran basalis
immatur, jumlah perisit yang relatif sedikit, dan dinding vaskular tipis.
Beberapa faktor risiko yang terkait dengan GMH-IVH antara lain sebagai
berikut (Gunny & Lin, 2012).

304 Pencitraan pada Stroke


1. Prematur
2. Berat lahir rendah
3. Hipoksia, hiperkapnia, nilai APGAR rendah
4. Persalinan per vaginam
5. Infeksi fetomaternal
Tidak seperti yang selama ini dikira bahwa PVHI adalah GMH-
IVH dengan ekstensi ke parenkim, PVHI sebenarnya merupakan infark
vena. Vena yang berasal dari lobus frontal mengadakan konfluen dan
berakhir sebagai vena terminalis di dalam germinal matriks. GMH yang
terjadi akan menyumbat vena terminalis ini, menyebabkan infark vena
dan akhirnya transformasi hemoragik, berakhir pada terciptanya PVHI,
yang paling nyata pada pertemuan kornu anterior dengan korpus ventrikel
lateral, tempat pertemuan konfluen vena lobus frontal sebelum berbelok
menjadi vena terminalis yang berjalan pada dinding ventrikel lateral.
PVHI berbeda secara patofisiologi dari perventrikular leukomalakia, yaitu
suatu transformasi hemoragik dari infark watershed periventrikel. PVHI
juga berbeda dengan lesi white matter akibat hidrosefalus yang tidak
diterapi. Tetapi karena gambaran pada pencitraan tidak selalu jelas untuk
membedakan ketiga entitas klinis ini, beberapa penulis lebih memilih
menggunakan istilah intraparenchymal hemorrhage (Gunny & Lin, 2012).
Umumnya, pencitraan ultrasonografi merupakan modalitas pertama
yang digunakan untuk mendeteksi GMH. GMH akan tampak sebagai lesi
hiperekoik pada caudothalamic groove. Tanda ini harus dibedakan dengan
plexus choroid normal yang juga hiperekoik. IVH akan tampak sebagai
lesi hiperekoik intraventrikel yang kadang membentuk fluid-debris level.
Komplikasi hidrosefalus mungkin ditemukan. MRI merupakan modalitas
yang digunakan untuk menentukan prognosis. Germinal matriks akan
terlihat sebagai pita intensitas rendah pada dinding lateral ventrikel
lateral, paling tampak pada usia gestasi 24-26 minggu. Pada GMH,
pita ini akan tampak lebih hipointens akibat darah yang mengandung
deoksihemoglobin dan hemosiderin (Gunny & Lin, 2012).
PVHI akan tampak pada pencitraan USG sebagai lesi hiperekoik
berbentuk kipas ganglia basalis dan thalamus dengan pangkal di
caudothalamic groove. Pada MRI, PVHI akan menampakkan sinyal
perdarahan dan edema. Umumnya PVHI tampak asimetri. Setelah
memasuki fase kronis, kista porecenphalic terbentuk dan biasanya
terhubung dengan ventrikel. Jika kista ini terbentuk pada usia gestasi
< 26 minggu saat otak masih belum mampu merespon trauma dengan
gliosis, dinding kista regular akan licin tanpa tanda keterlibatan parenkim
sekitar kista. Jika kista ini muncul setelah usia gestasi 26 minggu, akan
terbentuk jaringan gliosis di sekitar kista. Perdarahan serebellar sering
menyertai GMH dan PVHI. Periventrikular leukomalakia bilateral, lebih
simetris dan lebih posterior (Gunny & Lin, 2012).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 305


Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.60Pemeriksaan USG pada seorang anak dengan usia gestasi 25


minggu.

Gambar di atasmenunjukkan evolusi GWH-IVH menjadi kista


poresenfali pada ganglia basalis kiri, intraventrikular, dan subkorteks
lobus frontal kiri pada hari ke-3 (baris atas), hari ke-16 (baris tengah) dan
hari ke-54 (baris bawah).
Klasifikasi papile yang secara tradisional digunakan untuk menentukan
grading GI, yang membagi GI ke dalam 4 tingkatan, memandang bahwa
ICH hanyalah ekstensi IVH semata. Klasifikasi papile telah ditinggalkan
oleh beberapa peneliti. Meskipun demikian, klasifikasi ini masih
digunakan untuk menentukan prognosis pasien. Angka kemungkinan
hidup (survival rate) GMH grade III dan IV berturut-turut adalah 675
dan 40% dengan risiko terjadinya sekuele berturut-turut 50% dan 75%.
Sebagian besar bayi yang bertahan dari PVHI akan tumbuh menjadi
anak dengan cerebral palsy dengan gangguan fungsional terbatas pada
masa sekolah. Lebih dari separuh bayi yang memiliki kista poresenfali
akan memiliki hemiplegia kontralateral di masa kanak-kanak. Kista yang
terletak di anterior memiliki prognosis yang lebih bagus daripada kista
yang terletak di bagian posterior lobus frontal atau pada lobus parietal.
Hal ini karena kista yang terletak di bagian posterior akan berhubungan
dengan traktus kortikospinalis. Dalam hal ini, pencitraan MRI sangat
membantu dalam menentukan letak kista dan prognosis. Sinyal abnormal
dapat ditemukan sepanjang traktus kortikospinalis meskipun terletak jauh
dari kista. Hal ini disebabkan oleh degenerasi Wallerian. Pasien dengan
GMH akan lebih berisiko terkena gangguan depresi mayor dan obsesif
kompulsif pada usia 16 tahun (Gunny & Lin,2012).

306 Pencitraan pada Stroke


Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.61MRI (baris atas dan tengah) dari seorang bayi dengan usia
gestasi 38 minggu dan follow up setelah 3 bulan (baris bawah).

Bagaimana perkembangan bayi tersebut? Pada hari kedua post


natal, pasien mengalami kejang, sepsis, dan distres nafas. Hasil USG
menunjukkan adanya IVH grade 2 dan intraparenchymal hemorrhage
kiri menunjukkan adanya edema subkorteks lobus frontal kiri dengan lesi
tubular multipel sesuai dengan vena terminalis yang mengalami trombosis.
DWI menunjukkan area perdarahan yang ditandai dengan peningkatan
difusi dan restriksi. Vena ependimal dan kaudatus transversus melebar
fokal dengan perubahan sinyal. Pada potongan koronal, tampak vena
yang mengalami trombosis berbentuk seperti kipas dan dikelilingi oleh
edema (panah). Sinus venosus paten. Follow up setelah 3 bulan (baris
bawah) menunjukkan area poresenfali dikelilingi oleh hemosiderin pada
lobus frontal kiri yang mengalami atrofi. Terdapat mielinisasi asimetri
pada kapsula interna kiri limb posterior (bintang). Pada umur 3 bulan,
pasien kesulitan membuka kepalan tangan kanan.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 307


Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.62MRI (baris atas dan tengah) dari neonatus cukup bulan
dengan kesulitan minum dan apneu episodik dan follow up setelah 2 tahun.

Berdasarkan gambar di atas tampak trombus pada vena ependimal


kiri yang berlanjut hingga vena serebri interna dan vena Galen. Terdapat
infark subkorteks lobus frontal kiri dengan abnormalitas sinyal linier,
sugestif trombosis vena medularis. Follow up 2 tahun kemudian
(baris bawah) menunjukkan jaringan parut dari periventrikular hingga
subkorteks lobus frontal kiri dengan fokal volume loss. Gambaran terakhir
ini berpotensi dikacaukan dengan periventrikular leukomalacia, yang
umumnya bilateral.

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar12.63MRI pada seorang bayi.

Gambar di atas menunjukkan atrofi ekstensif serebellum disertai


ICH serebellum. Tampak pula GMH dan poresenfali pada hemisfer kanan
disertai pelebaran ventrikel lateral kanan.

308 Pencitraan pada Stroke


Gambar di samping
menunjukkan poresenfali multiple
bilateral disertai ICH multiple.
Pasien mengalami epilepsi,
gangguan motorik keempat
ekstremitas, mikroftalmia, dan
katarak kongenital.

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.64MRI dari seorang


bayi berusia 7 bulan.

Gambar di atas menunjukkan poresenfali multiple bilateral disertai


ICH multiple. Pasien mengalami epilepsi, gangguan motorik keempat
ekstremitas, mikroftalmia, dan katarak kongenital.

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.65Seorang
neonatus dengan usia
gestasi 38 minggu.

Pada gambar di atas terlihat seorang neonatus terlihat ngantuk


(drowsy) dan sulit minum pada hari ke-5 post natal. Hasil USG
menunjukkan malformasi vaskular intrakranial. Hasil CT scan kepala
menunjukkan aneurisma vena Galen, yang kemudian diterapi dengan
intra-arterial glue embolization namun menyisakan arteriovenous
shunting. Embolisasi kedua dilakukan. Setelah melakukan prosedur,
terdapat penurunan keadaan dengan tanda peningkatan TIK. CT scan
menunjukkan IVH, hidrosefalus, SDH, SAH dan lesi hipodens pada
lobus parieto-occipital kiri. Beberapa garis linier hiperdens diperkirakan
dari sinus falcine persisten yang mengalami trombosis. Follow up
yang menunjukkan maturasi lesi hipoden sesuai dengan area infark
kemungkinan vena.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 309


14.5.2 Intra-Cerebral Hemorrhage dan Subarachnoid
Hemorrhage pada Pediatrik
Terdapat kesulitan untuk menentukan insiden ICH dan SAH pada
pediatrik karena manifestasi klinisnya yang non-spesifik. Beberapa
laporan menyatakan insiden ICH sebanyak 4,9-5,9 per 10.000 dari
kelahiran hidup. Penelitian lain melaporkan angka yang jauh lebih
kecil, meliputi ICH dan SAH yaitu 6,2 per 100.000 kelahiran hidup.
Manifestasi terbanyak ICH dan SAH pada pediatrik yaitu kejang dan
penurunan kesadaran. Selain defisit neurologis sulit dideteksi pada bayi,
manifestsi lain juga sama non-spesifiknya meliputi letargi, menangis,
irritabilitas, demam, sianosis, diare, dan muntah. Pencitraan menjadi
modalitas diagnostik yang penting (Gunny & Lin, 2012).

A B

C D

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.66Pencitraan
USG baseline pada
neonatus dengan usia
gestasi 38 minggu.

Berdasarkan gambar di atas terlihat bagian (A) normal pada neonatus.


USG 15 hari kemudian (B) menunjukkan peningkatan ekogenisitas sekitar
pleksus khoroid ventrikel lateral kanan disertai pelebaran ventrikel sesuai
dengan IVH. CT scan pada hari ke-20 menunjukkan IVH (C) dan ICH
pada lobus temporal kanan (D).

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.67CT scan tanpa kontras


menunjukkan SDH pada seorang bayi
dengan acquired prothrombin complex
deficiency.

310 Pencitraan pada Stroke


Secara umum, etiologi ICH dan SAH pada pediatrik sama dengan
orang dewasa, namun koagulopati dan trombositopenia menempati
proporsi yang lebih besar (Gunny & Lin, 2012). Koagulopati mungkin
disebabkan oleh gagal hepar, disseminated intravascular coagulation
(DIC), hemofilia, efek samping heparin untuk operasi jantung, atau extra
corporal membrane oxygenation (ECMO). Trombositopenia mungkin
disebabkan oleh idopathic trombocytopenic purpura (ITP) (Jordan
& Hillis, 2007). Ruptur aneurisma tetap menjadi etiologi terbanyak
untuk SAH, namun umumnya ICH idopatik. Faktor risiko terbesar yaitu
prematuritas dan berat lahir rendah (< 1500 g). Pada neonatus cukup
bulan, perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi berturut-turut
adalah SDH, SAH dan ICH (Gunny & Lin, 2012).

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.68Seorang neonatus prematur lahir per abdominam.

Bayi pada gambar di atas mengalami hipertensi pulmoner neonatus


yang berakibat pada hipoksia parenkim hepar dan ginjal kemudian
berkembang menjadi disseminated intravascular coagulation dan
ICH. MRI sekuens T1 potogan sagital (A) menunjukkan lesi pada lobus
oksipital dengan bagian sentral isointens dan bagian perifer hiperintens.
MRI sekuens T2 potongan aksial (B) menunjukkan hematoma pada
lobus oksipital kanan dengan bagian sentral hipointens dan bagian
perifer hiperintens. ICH dipertegas dengan sekuens GRE (C) yang juga
menunjukkan ICH di bagian lain.
USG sering menjadi modalitas pertama yang dilaksanakan untuk
mendeteksi ICH dan SAH yang akan tampak sebagai lesi hiperekoik.
Kesulitan muncul ketika lesi memiliki ekogenisitas tipis. Hal ini
menyebabkan sering kali ICH dan SAH sulit dibedakan dengan pleksus
khoroid normal yang memang hiperekoik atau parenkim otak normal,
terutama jika jumlahnya kecil. CT scan dan MRI menawarkan pemeriksaan
dengan akurasi lebih tinggi dengan hasil tidak bergantung pada keahlian
operator. Sekitar separuh pasien dengan ICH akan tumbuh normal,
sementara separuh lagi akan mengalami sekuele (Gunny & Lin, 2012).

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 311


Gambar 14.69CT scan
dari neonatus umur 1
hari post natal dengan
kejang menunjukkan
ICH periventrikular dan
subkortikal pada lobus
frontal, parietal, dan
oksipital bilateral.

Sumber: Gunny & Lin, 2012

Gambar 14.70CT scan


(A) dari neonatus umur
1 jam post natal dan
(B)setelah 10 hari.

Gambar di atas menunjukkan hasil CT scan (A) dari neonatus umur


1 jam dengan kejang menunjukkan lesi hipodens pada korteks subkorteks
lobus parietal kanan, sesuai dengan infark teritori MCA kanan. CT scan
kontrol (B) 10 hari kemudian menunjukkan transformasi hemoragik pada
area infark.

A B

Sumber: Morgan, 2002

Gambar 14.71Hasil
USG kepala pada
C D neonatus.

Berdasarkan gambar di atas, bagian (A) merupakan potongan koronal


dan bagian (B) merupakan potongan sagital neonatus yang menunjukkan

312 Pencitraan pada Stroke


lesi heterogen hipoekoik dan hiperekoik (panah) disertai massa dengan
hipoekoik dengan dinding hiperekoik (mata panah) di lobus parieto-
oksipital kiri. CT scan tanpa kontras (C dan D) menunjukkan ICH,
SDH dan SAH. Tampak massa isodens di dalam ICH dengan kalsifikasi
berbentuk cincin di dindingnya. Pasien memiliki riwayat keluarga
hereditary hemorrhagic telangiectasis (osler-weber-rendu Syndrome).

Rangkuman
1. Tujuan utama pencitraan kepala di instalasi gawat darurat
adalah untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke
iskemia dan lesi otak lainnya. Diharapkan pencitraan dapat
menentukan vaskular yang terlibat, perfusi otak, area
penumbra, dan prognosis pasien. Semua ini dilakukan dalam
waktu yang singkat, tanpa menghalangi proses diagnostik lain
dan/atau terapi yang berjalan secara bersamaan.
2. ICH akut akan tampak sebagai lesi hiperdens oval atau bulat
pada CT scan kepala tanpa kontras.
3. Volume ICH dapat diperkirakan menggunakan rumur Broderick
yaitu ABC/2 (cc), di mana A adalah diameter terbesar
hematoma, B adalah diameter tegak lurus terhadap A, dan C
adalah jumlah 10-mm-thickness CT slice.
4. Hipertensi adalah penyebab ICH tersering. ICH supratentorial
dapat dibagi menjadi lobar ICH (pusat area perdarahan
terdapat pada white-grey matter junction) dan deep ICH (pusat
area perdarahan pada ganglia basalis dan thalamus).
5. Beberapa tanda yang mendukung hipertensi sebagai penyebab
ICH antara lain sebagai berikut (Ghandehari, 2012).
- Terdapat di area yang divaskularisasi oleh r.perforantes
MCA atau a.basilaris. Sekitar 2/3 terletak di basal nuklei
dan sekitar 50% berkaitan dengan IVH.
- Terdapat di pons atau serebellum.
- Disertai dengan infark lakuner atau white matter disease.
6. Sekitar 10% ICH bersifat sekunder, dalam arti memiliki
kelainan yang mendasari terjadinya ICH. Hal ini penting diingat
karena stroke hemoragik sekunder ini berpotensi terulang dan
berpotensi disembuhkan.
7. Sistem skoring SICH menggunakan gambaran perdarahan pada
CT scan kepala tanpa indikasi kontras, umur dan jenis kelamin
pasien, serta latar belakang klinis.
8. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan adanya spot sign
yang hanya muncul pada delayed CT scan.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 313


9. Meskipun dahulu dipercaya bahwa spot sign hanya dimiliki
oleh ICH primer, penelitian terbaru menunjukkan spot sign
(menggunakan kriteria kaku) juga ditemukan pada ICH
sekunder dengan insiden lebih rendah.
10. Penelitian menggunakan single photon emission computed
tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET)
terhadap stroke hemoragik masih sedikit. Umumnya, penelitian
ini mengkaji parenkim otak yang berdekatan dengan ICH.
Penurunan CBF dapat ditemukan dalam pencitraan SPECT di
area sekitar ICH.
11. Gambaran ICH pada MRI lebih kompleks karena dipengaruhi
oleh tingkat oksidasi hemoglobin dan kadar protein. Faktor
ekstrinsik seperti pulse sequence dan field strength juga
berpengaruh.
12. Pada pencitraan CT scan tanpa kontras, Subarachnoid
hemmorage (SAH) akan tampak sebagai pita hiperdens
berlekuk-lekuk seperti ular (serpingeous) mengisi sub-
arachnoid space yang terdapat pada sulcii dan sisterna.
13. Pola SAH dapat digunakan untuk memprediksi lokasi
aneurisma yang ruptur. Bila SAH disertai ICH, kemungkinan
ruptur aneurisma terjadi di AcomA atau MCA. Bila ICH yang
terjadi mengenai kedua hemisfer atau disertai dengan IVH,
ruptur aneurisma mungkin terjadi di AcomA atau distal ACA.
14. Risiko terjadinya vasospasme dapat diprediksi menggunakan
grading Fisher. Grading ini juga menunjukkan bahwa hasil CT
scan normal tidak dapat menyingkirkan SAH.
15. Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan pada
ruang subarachnoid manapun yang umumnya terisi oleh
cairan serebrospinal, misalnya sistem sisterna dan sulcii.
Hiperdensitas darah di ruang subarachnoid tampak pada
gambaran CT scan dalam rentang beberapa menit setelah
terjadinya perdarahan. Perdarahan subarachnoid umumnya
disebabkan oleh aneurisma.
16. Penelitian menggunakan SPECT dengan radiofarmaka 133Xe,
123I- IMP, Tc99m HMPAO, dan Tc99m ECD menunjukkan
penurunan perfusi. Hal yang perlu diingat adalah SPECT
dan PET tidak menunjukkan vasospasem secara langsung,
melainkan efek dari vasospasme tersebut.
17. Alasan tambahan MRI dan MRA bukan merupakan modalitas
diagnostik pilihan dalam manajemen SAH yaitu karena
pada umumnya pasien dalam keadaan gaduh gelisah dan
membutuhkan banyak peralatan monitoring.
18. DSA memberikan gambaran yang akurat tentang pembuluh
intrakranial dan kompleks aneurisma-clip.

314 Pencitraan pada Stroke


19. Penggunaan Transcranial Doppler (TCD) ditujukan untuk
diagnosis vasospasme pada subarachnoid hemorraghe (SAH)
dengan panduan guideline nasional.
20. Gambaran radiologis etiologi tertentu misalnya karena
kelainan otak antara lain kavernoma, AVM, vaskullitis,
cerebral amyloidosis (CA), tumor, trombosis sinus venosus,
perimesencephalic non-aneurisma SAH, ICH multipel, konstusi
serebral, dan hipertensi dalam kehamilan.
21. Transformasi hemoragik merujuk pada konversi area iskemia
menjadi area perdarahan yang sering terjadi terutama pada
pasien dengan stroke iskemia emboli luas atau pada pasien
yang mendapatkan tissue plasminogen activator.
22. Stroke pediatrik juga sering disertai sekuele yang membebani
pasien, keluarga, dan masyarakat. Seperti pada pasien
dewasa, stroke pediatrik pun terbagi menjadi stroke iskemia
dan hemoragik.
23. Stroke pada pediatrik bersifat asimptomatik dan tanda klinis
non spesifik. Akibatnya, sering kali diagnosis stroke didapatkan
dari pencitraan radiologis yang ditujukan untuk menilai
diagnosis banding lain. Tanda-tanda klinis yang dapat menyertai
stroke pada pediatrik antara lain letargi, gangguan makan,
hipotoni, hemiplegia kongenital, kemampuan menggenggam
(grasp) dan menggapai (reach) yang asimetri, keterlambatan
perkembangan, kejang, dan apneu.

Bab 14 Pencitraan pada Stroke Hemoragik 315


316 Pencitraan pada Stroke
Daftar Pustaka

Adam, Andy, E. Jane Adam, Judith E. Adam, et al. 2008. Adam: Grainger
& Allisons, Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill Livingstone,
Elsevier.
Adamczyk P. & Liebeskind D.S., 2012. Neuroimaging Vascular Imaging:
Computed Tomographic Angiography, Magnetic Resonance
Angiography, and Ultrasound. Elsevier.
ADC, The Austin Diagnostic Clinic, 2015. What is magnetic resonance
angiography? Available at: https://www.adclinic.com/what-is-
magnetic-resonance-angiography/#.VgQ4Ni7pVyw. [Accessed
24 September 2015]
Adnan, et al. 2011. Diagnostic Cerebral Angiography. Textboot of
Interventional Neurology. Cambridge University Press, New
York. hal 1215. http://books.google.co.id/books?id=ajjJwKEC
Dd8C&pg=PA10&lpg=PA10&dq=indication+angiography+ce
rebral.
Ahmed, A. 2013. Imaging of The Pediatric Paranasal Sinuses. South
African Journal of Radiology , 17(3):9197.
Aichi Medical University Hospital, 2012. Stroke Center. Facilities.
Transcranial Doppler supersonic wave device. Guidance of
medical treatment Departments. Available at: http://www.
aichi-med-u.ac.jp.e.gy.hp.transer.com/hospital/sh04/sh0404/
sh040407/index.html. [Accessed 13 Oktober 2015].
Albers G.W., Thijs V.N., Wechsler L et al. 2006. Magnetic Resonance
Imaging Profiles Predict Clinical Response to Early Reperfusion:
The Diffusion and Perfusion Imaging Evaluation for
Understanding Stroke Evolution (DEFUSE) Study. Ann. Neurol.
60(5), 508517.
Almandoz, J. E. D. R. J. E., 2011. Advanced CT Imaging in the Evaluation
of Hemorrhagic Stroke. Neuroimag Clin N Am, Volume 21, pp.
197200.
Alurkar A, Karanam L.S.P., et al. 2012. Endovascular Management of
Fusiform Superior Cerebellar Artery Aneurysms: A Series of
Three Cases with Review of Literature. J Clin Imaging Sci2012,
2:47. DOI: 10.4103/2156-7514.99181. Available at: http://
www.clinicalimagingscience.org/article.asp?issn=2156-
7514;year=2012;volume=2;issue=1;spage=47;epage=47;a
ulast=Alurar.

317
American College of Surgeon Comitte on Trauma. 2004. Cedera Kepala.
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia, penerjemahan edisi 7, Kondisi Trauma IKABI.
American Stroke Association (ASA). Types of stroke. 2011. Available:http://
www.strokeassociation.org/STROKEORG/AboutStroke/Typesof
Stroke/IschemicClots/Ischemic-Clots_UCM_310939_Article.jsp.
[Accessed 22 September 2011].
Anderson, G.B., Rob Ashforth, David E. Steinke, and J. Max Findlay.2000.
CTAngiography for the Detection of Cerebral Vasospasm in
Patients with Acute Subarachnoid Hemorrhage. AJNR Am J
Neuroradiol 21:10111015, June/July 2000.
Andrei V. Alexandrov, 2002. Ultrasound-Enhanced Thrombolysis
for Stroke: Clinical Significance, Department of Neurology
and Radiology, Houston Medical School, The University of
Texas, MSB 7.044-6431 Fannin Street, Houston, TX 77030,
USA, Department of Cerebrovascular Ultrasound, Center for
Noninvasive Brain Perfusion Studies, Stroke Treatment Team,
Houston Medical School, The University of Texas, Houston, TX
77030, USA. [Accessed 24 Februari 2015]
AndyC, 2010. Gantry, CT Gantry External View. Wiki Radiography.
Available at: http://www.wikiradiography.net/page/Gantry.
(Accessed 10 November 2015)
AngioCalc, 2015. Neurovascular Coils. Available at: http://www.angiocalc.
com/percent_volume.php. [Accessed 18 September 2015].
Ansga Erlis R., Helmi Lutsep, Stan Barnwell, Alexander Norbash,
Lawrence Wechsler, Jungreis, Charles A. Woolfenden, Andrew;
Redekop, Gary; Hartmann, Marius, Schumacher, Martin, 2004.
Mechanical Thrombolysis in Acute Ischemic Stroke With
Endovascular Photoacoustic Recanalization, Available at: http://
stroke.ahajournals.org.
Anthony R., Lupetin, M.D., et al, 1996. Transcranial Doppler Sonography
Part 1. Principles, Technique, and Normal Appearances,
RadioGraphics, 15:179191.
Anvekars, B., 2012. Neuroradiology Cases. Effects of Oxygen on FLAIR.
Neuroradiology Unit, S P Institute of Neurosciences,Solapur,Ma
harashtra, INDIA. Available at: http://www.neuroradiologycases.
com/2012_05_01_archive.html. [Accessed 11 Oktober 2015].
Anzalone N., Tartaro A. 2005. Intracranial MR Angiography. In: Schneider
G, Prince M.R, Meaney J.F.M, Ho V.B (eds) Magnetic Resonance
Angiography. Italia. Springer.pp. 103-112.
Arepally Aravind, M.D. FSIR, 2011. Endovascular Therapy for Acute
Ischemic Stroke, Stroke Conference Radiology Associates of

318 Pencitraan pada Stroke


Atlanta Director of Interventional Radiology Piedmont Hospital
Atlanta, Georgia.
Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid 2, Media
Aesculavius, Jakarta: FKUI.
Ashley W.W., et al. 2011. Neurovascular Imaging. In: Winn HR (ed.)
Youmans Neurological Surgery, New York: Elsevier.
Astrup J., Siesjo B.K., Symon L. 1985. Thresholds in Cerebral Ischemia
The Ischemic Penumbra. Stroke 12(6), 723725.
Aviv et al. 2009. Hemorrhagic Transformation of Ischemic Stroke:
Prediction with CT Perfusion. Radiology, 250(3), p. 867.
Aviva, 2015. Procedure: Having a CT Scan. Medical Encyclopedia.
Available at: http://www.aviva.co.uk/health-insurance/home-of-
health/medical-centre/medical-encyclopedia/entry/procedure-
having-a-ct-scan/. [Accessed 12 Oktober 2015].
Baldi, S. et al., 2003. Balloon-Assisted Coil Placement in Wide-Neck
Bifurcation Aneurysms by Use of a New, Compliant Balloon
Microcatheter. AJNR Am J Neuroradiol 24:12221225,
Availablle at: http://www.ajnr.org/cgi/content-nw/full/24/6/1222/
[Accessed 18 September 2015].
Barber P.A., Demchuk A.M., Zhang J., Buchan A.M., 2000. Validity and
Reliability of A Quantitative Computed Tomography Score in
Predicting Outcome of Hyperacute Stroke Before Thrombolytic
Therapy. ASPECTS Study Group. Alberta Stroke Programme
Early CT Score. Lancet 355(9216), 16701674.
Barber P.A., Zhang J., Demchuk A.M., Hill M.D., Buchan A.M. 2001. Why
Are Stroke Patients Excluded from TPA Therapy? An Analysis of
Patient Eligibility. Neurology 56(8), 10151020.
Bathala, L., Man Mohan Mehndiratta, Vijay K Sharma, 2013. Transcranial
doppler: Technique and common findings (Part 1). Annals of
Indian Academy of Neurology. Official Journal of Indian Academy
of Neurology. Volume : 16; Issue : 2; Page : 174-179. Available
at: http://www.annalsofian.org/article.asp?issn=0972-2327;ye
ar=2013;volume=16;issue=2;spage=174;epage=179;aulast
=Bathala. [Accessed 13 Oktober 2015].
Baumgartner R.W., Arnold M., Gonner F. et al. 1997. Contrast-Enhanced
Transcranial Color-Coded Duplex Sonography In Ischemic
Cerebrovascular Disease, Stroke, 28: 2473-8
Bevelender, G., Ramaley J.A., 1988. Dasar-Dasar Histologi Ed ke-8.
Penerjemah Gunarso I.,. Terjemahan dari Essentials of Histology,
8th Ed. Jakarta: Erlangga.

Daftar Pustaka 319


Beitz, A.J., Fletcher T.F., 2006. Nervous System. Di dalam: J.A. Eurell,B.L.
Frappier (editor). Dellmanns Textbook of Veterinary Histology.
Ed ke-6. Oxford: Blackwell Publishing.
Bejot Y., Benatru I., Rouaud O. et al. 2007. Epidemiology of Stroke in
Europe: Geographic and Environmental Differences. J. Neurol.
Sci. 262(12), 8588.
Bennet, J., Mafely, R., & Steinbach, H. 1959. The Significance of Bilateral
Basal Ganglia Calcification. Radiology , 72: 368378.
Biology. Openstax Biology. 2015. The Central Nervous System. Available
at: http://philschatz.com/biology-book/contents/m44749.html.
[Accessed 22 September 2015].
Biology-Forums.com, 2013. The brain. (a) Superior (top) view. (b) Sagittal
view of a sectioned brain to reveal internal feature. Available at:
http://biology-forums.com/index.php?action=gallery;sa=view;
id=9406. . [Accessed 22 September 2015].
Bontranger, K.L.,2001. Text Book of Radiographic Positioning and
Related Anatomy Fifth Edition. St. Louis Missori: The CV Mosby
Company.
Bounameaux H., Cornuz J., Darioli R., Le Floch-Rohr J., Lyrer Ph., Mattle
H., et.al. 1999. Introduction to the Management of Stroke. In:
Bougousslavsky J. ed. Stroke Prevention by the Practitioner.
Cerebrovasc Dis; 9 (suppl 4): 1-68.
Boxerman J.L., Hamberg L.M., Rosen B.R., Weisskoff R.M., 1995.
MR Contrast Due to Intravascular Magnetic Susceptibility
Perturbations. Magn. Reson. Med. 34(4), 555566.
Brandstater M.E., 1996. Stroke rehabilitation. In: Rehabilitation
Medicine, Principles and Practice, 3rd ed. Philadelpia:
Lippincott-Raven Publishers.
Britannica, 2005. Skull Anatomy. Available at: http://www.britannica.
com/science/anatomy/images-videos/Lateral-and-frontal-views-
of-the-human-skull/70984. dan http://www.britannica.com/
science/anatomy/images-videos/Inferior-view-of-the-human-
skull/74450 [Accessed 21 September 2015].
Britannica, 2015. Pituitary gland. Available at: http://www.britannica.
com/science/pituitary-gland. [Accessed 22 September 2015].
Brown R., Piepgras D. 2004. Screening for Intracranial Aneurysms After
Subarachnoid Hemorrhage: Do Our Patients Benefit? Neurology.
2004; 62:354356.
Bugnicourt, J.M., Chillon, J.-M., Massy, Z. A., Canaple, S., Lamy, C.,
Deramond, H., et al. (2009). High Prevalence of Intracranial
Artery Calcification in Stroke Patients with CKD: A Retrospective

320 Pencitraan pada Stroke


Study. Clinical Journal of American Society of Nephrology,
284290.
Burgess, L., 2015. CT Scans. Available at: https://www.pinterest.com/
riversgrayson/ct-scans/. [Accessed 13 Oktober 2015].
Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta:
Rineka Cipta.
Cahyono, ID; Listiyant, J; Harahap, MS. 2009. Regulasi Aliran Darah
Cerebral Dan Aneurisma Cerebral. Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Volume I, Nomor 2.
Caplan LR. 2000. Caplans Stroke: A Clinical Approach. 3rd ed.
Butterworth-Heineman. Boston.
Chemerinski E., Robinson R.G., Kosier J.T., 2001. Improved Recovery
in Activities of Daily Living Associated with Remission of Post
Stroke Depression. Stroke: 32: 113-117.
Choi, P. M. C. L. J. V. S. V. M. H. C. W. H. M. d. P. T. G., 2011. Differentiating
between Hemorrhagic Infarct and Parenchymal Intracerebral
Hemorrhage. Radiology Research and Practice, pp. 112.
Clark WM, Albers GW, Madden KP, Hamilton S. 2000. The rtPA
(Alteplase) 0- to 6-Hour Acute Stroke Trial, Part A (A0276g):
Results of a Double-Blind, Placebocontrolled, Multicenter
Study. Thromblytic Therapy in Acute Ischemic Stroke Study
Investigators. Stroke 31(4), 811816.
Coggins, A., 2013. Imaging in Acute Stroke and TIA. EmergencyPedia.
Available at:https://emergencypedia.files.wordpress.com/2013/
05/f1_large.jpg. [Accessed 10 September 2015].
Coltman, Glenn H. 2001. Magnetic Resonance Imaging for The
Cerebrovascular System. Australian Prescriber Vol. 24 No. 6
2001.
Copper Tube Coils, 2015. Helical Coils Built to Print. Available at:http://
www.coppertubecoils.com/ctcg/tube-coils/copper-helical-coils.
html. [Accessed 18 September 2015].
Crossman, AR dan Neary, D. 2012. Blood Supply of The Brain dalam
Neuroanatomy: An Illustrated Colour Text. Edisi ke 4. Elsevier.
https://www.inkling.com/read/neuroanatomy-illustrated-colour-
text-crossman-4th/chapter-7/blood-supply-of-the-brain
Daghighi, M. H., Rezaei, V., Zarritan, S., & Pourfathi, H. 2007. Intracranial
physiological calcifications in adults on computed tomography
in Tabriz, Iran. Folia Morphol , Vol. 66, No. 2, pp. 115119.
Dahl A, Russell D, Nyberg Hansen R, Rootwelt K. 1989. Effect Of
Nitroglycenn On Cerebral Circulation Measured By Transcranial
Doppler And SPECT, Stroke, 20 1733-6.

Daftar Pustaka 321


Davis SM, Donnan GA, Parsons MW et al. 2008. Effects of alteplase
beyond 3 h after stroke in the Echoplanar Imaging Thrombolytic
Evaluation Trial (EPITHET): a Placebocontrolled Randomised
Trial. Lancet Neurol. 7(4), 299309.
Deepak, S., & Jayakumar, B. 2005. Intracranial Calcifications. J Assos
Physicians India , 53:948.
Delgado Almandoz JE, Schaefer PW, Forero NP, et al. 2009. Diagnostic
Accuracy and Yield of Multidetector CT Angiography in
The Evaluation of Spontaneous Intraparenchymal Cerebral
Hemorrhage. AJNR Am J Neuroradiol;30:121321
Delgado Almandoz J.E., P.W. Schaefer J.N. Goldstein, J. Rosand, M.H. Lev,
R.G. Gonza lez, J.M. Romero. 2010. Practical Scoring System
for the Identification of Patients with Intracerebral Hemorrhage
at Highest Risk of Harboring an Underlying Vascular Etiology:
The Secondary Intracerebral Hemorrhage Score, AJNR Am J
Neuroradiol 31:1653 60.
Demchuk AM, Hill MD, Barber PA, Silver B, Patel SC, Levine SR. 2005.
Importance of early ischemic computed tomography changes
using ASPECTS in NINDS rtPA Stroke Study. Stroke, 36(10),
21102115.
Denis M., O Rouke S. Lewis S., Sharpe M., Warlow C., 2000. Emotional
Outcome After Stroke: Factors Associated with Poor Outcome.
Journal Neorosurg Psychiatry; 68: 42-47.
Depkes. 2012. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. Epi., Info.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian
Kesehatan RI. Hal 122-124
DeWitt L.D. dan Wechsler L.R., 1988. Transcranial Doppler.
Stroke;19(7):915-21.
Diagnostic Brain Imaging (Osborn) Stroke, Amyrsis, 2004.
Di Carlo A, Launer LJ, Breteler MM et al. 2000. Frequency of stroke
in Europe: a collaborative study of population-based cohorts.
ILSA Working Group and the Neurologic Diseases in the Elderly
Research Group. Italian Longitudinal Study on Aging. Neurology
54(11 Suppl. 5), S28S33.
Dimmick, S. J., & Faulder, K. C. 2009. Normal Variants of the Cerebral
Circulation at Multidetector CT Angiography. Radiographics,
1027-43.
Duncan P.W., 1998. Measuring Recovery of Function After Stroke.
In: Goldstein L.B., Restorative Neurology, Advances in
Pharmacotherapy for Recovery After Stroke. New York: Futura
Publishing.

322 Pencitraan pada Stroke


Dzialowski I, Hill MD, Coutts SB et al. 2006. Extent of Early Ischemic
Changes on Computed Tomography (CT) Before Thrombolysis:
Prognostic Value of The Alberta Stroke Program Early CT Score
in ECASS II. Stroke 37(4), 973978.
Eddleman, Christopher S., Hyun Jeong, Ty A. Cashen, et al. 2009. Advanced
Noninvasive Imaging of Spinal Vascular Malformations.
Neurosurg Focus. 2009 January ; 26(1): E9.
Edlow, J. e. a., 2012. Emergency Neurological Life Support: Subarachnoid
Hemorrhage. Neurocrit Care.
Elzawahri, H., 2013. Medscape. [Online] Available at: http://emedicine.
medscape.com/article/1162437 [Accessed 27 Juli 2014].
Family Healthcare & Cardiac Center, 2015. Computed Tomography (CT
Scan). Family Healthcare & Cardiac Center 7404 5th Avenue
Brooklyn NY, 11209. Available at: http://www.nysmarthealth.
com/patient-information/computed-tomography-ct-scan/.
[Acessed 10 November 2015].
Farsad K,Mamourian AC, et al. 2009. Computed Tomographic Angiography
as an Adjunct to Digital Subtraction Angiography for the Pre-
Operative Assessment of Cerebral Aneurysms. Open Neurol J.
http://openi.nlm.nih.gov/ detailedresult .php?img=2682841_
TONEUJ-3-1_F3&req=4.
Felgin, V, 2006. Stroke. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Fiehler J, Albers GW, Boulanger JM et al. 2007. Bleeding Risk Analysis in
Stroke Imaging Before Thrombolysis (BRASIL): Pooled Analysis
of T2*-Weighted Magnetic Resonance Imaging Data From 570
Patients. Stroke 38 (10), 27382744.
Forrest, W., 2007. First PET/MRI Brain Images Debut at SNM 2007.
Available at: http://www.auntminnie.com/index.aspx?sec=ser&
sub=def&pag=dis&ItemID=76221. [Accessed 28 September
2015].
Furlan AJ, Eyding D, Albers GW et al. 2006. Dose Escalation of
Desmoteplase for Acute Ischemic Stroke (DEDAS): Evidence of
Safety and Efficacy 3 to 9 Hours After Stroke Onset. Stroke
37(5), 12271231.
Galcary Herald, 2014. Stroke treatment shouldnt hinge on a stroke
of luck: The Calgary Stroke Program. Available at: http://
calgaryherald.com/health/stroke-treatment-shouldnt-hinge-
on-a-stroke-of-luck-the-calgary-stroke-program. [Accessed 19
September 2015]. Garg, A., 2011.
Vascular Brain Pathologies. Neuroimag Clin N Am, Volume 21, p. 897
926.

Daftar Pustaka 323


Gasco, J. et al. 2009. Hemorrhagic Stroke with Intraventricular Extension
in The Setting of Acute Posterior Reversible Encephalopathy
Syndrome (PRES): Case Report. Neurociruga, Volume 20, pp.
5761.
Georgios Tsivgoulis, MD, RVT; Vijay K. Sharma, MD, RVT; Steven L.
Hoover, MD; Annabelle Y. Lao, MD; Agnieszka A. Ardelt, MD,
PhD; Marc D. Malkoff, MD; Andrei V. Alexandrov, MD, RVT,
2008. Applications and Advantages of Power Motion-Mode
Doppler in Acute Posterior Circulation Cerebral Ischemia,
Stroke,;39: 11971204
Ghandehari, K., 2012. Asian Synopsis of Stroke. s.l.:s.n.
van Gijn, J., Kerr, R. & Rinkel, G., 2007. Subarachnoid Hemorrhage.
Lancet 2007, Volume 369, p. 30618.
Gilman, S. 1998. Imaging the Brain. N Engl J Med , 338:812820.
Given, C. e. a., 2003. Pseudo-Subarachnoid Hemorrhage: A Potential
Imaging Pitfall Associated with Diffuse Cerebral Edema.
American Journal of Neuroradiology, 24(2), pp. 254256.
Go, J., & Zee, C. 1998. Unique CT imaging advantages. Hemorrhage and
Calcification. Neuroimaging Clin N Am , 542558.
Goel, Ayush, Muzio, & Bruno, D. 2014, Intracranial arterial calcification.
Retrieved March 7, 2015, from Radiopaedia.org. Available at:
http://radiopaedia.org/articles/intracranial-arterial-calcification-1
Goldfarb S; Mcculough,P;et al. 2009. Contrast-Induced Acute Kidney
Injury: Specialty-Specific Protocols for Interventional Radiology,
Diagnostic Computed Tomography Radiology, and Interventional
Cardiology. Mayo Clin Proc.;84(2):170-179. Available at: http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2664588/.
Goldstein, L.B., Adams, R., Alberts, M.J., Appel, L.J., Brass, L.M.,
Bushnell, C.D., Culebras, A., DeGraba, T.J., Gorelick, P.B.,
Guyton, J., hart, R.G., Howard, G., Kelly-Hayes, M., Nixon, J.V.
dan Sacco, R.L. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke:
A Guideline From the American Heart Association / American
Stroke Association Stroke Council. Stroke.37:1583-1633.
Golzarian J. S., Sun M. J. Sharafuddin, 2006. Vascular Embolotherapy
A Comprehensive Approach.Volume 1General Principles,Chest,
Abdomen,and Great Vessels, Springer Berlin Heidelberg
NewYork.
Grigoryan, M; Qureshi, AI. 2010. Acute Stroke Management: Endovascular
Options for Treatment. Seminar In Neurology/Volume 30,
no.5. Available at: https://www.thieme-connect.com/products/
ejournals/pdf/10.1055/s-0030-1268868.pdf.

324 Pencitraan pada Stroke


Grotta JC, Chiu D, Lu M et al. 1999. Agreement and Variability in The
Interpretation of Early CT Changes in Stroke Patients Qualifying
for Intravenous rtPA Therapy. Stroke 30(8), 15281533.
Grunwald, I.Q.; Wakhloo, A.K.; Walter, S.; Molyneux, A.J.; Byrne, J.V.;
Nagel, S.; Khn, A.L.; Papadakis, M.; Fassbender, K.; Balami,
J.S.; Roffi, M.; Sievert, H.; Buchan., 2007. A Endovascular
Stroke Treatment Today, American Journal of Neuroradiology.
Available at: http://www.ajnr.org,20113
Guardian, 2012. Quick Response Can Halt Major Stroke Damage.
Available at: http://www.guardian.co.tt/lifestyle/2012-01-30/
quick-response-can-halt-major-stroke-damage. [Accessed 18
September 2015].
Gunny, R. & Lin, D., 2012. Imaging of Pediatric Stroke. Magn Reson
Imaging Clin N Am , Volume 20, pp. 133.
Hacke W, Kaste M, Fieschi C et al. 1995. Intravenous Thrombolysis
with Recombinant Tissue Plasminogen Activator for Acute
Hemispheric Stroke. The European Cooperative Acute Stroke
Study (ECASS). JAMA 274(13), 10171025.
Hacke W, Kaste M, Fieschi C et al. 1998. Randomised Double-
Blind Placebocontrolled Trial of Thrombolytic Therapy with
Intravenous Alteplase in Acute Ischaemic Stroke (ECASS II).
Second EuropeanAustralasian Acute Stroke Study Investigators.
Lancet 352(9136), 12451251.
Hacke, W., Kaste, M., Bogousslavsky, J., et al. 2003. European Stroke
Initiative Recommendation for Stroke Management Update
2003. Cerebrovasculer Disease, 16: 311-37.
Hacke W, Albers G, Al-Rawi Y et al. 2005. The Desmoteplase in Acute
Ischemic Stroke Trial (DIAS): a Phase II MRI-based 9-Hour
Window Acute Stroke Thrombolysis Trial with Intravenous
Desmoteplase. Stroke 36(1), 6673.
Hacke W, Kaste M, Bluhmki E et al. 2008. Thrombolysis with Alteplase
3 to 4.5 Hours After Acute Ischemic Stroke. N. Engl. J. Med.
359(13), 13171329.
Hadizadeh DR; Falkenhausen MV, et al. 2008. Cerebral Arteriovenous
Malformation: Spetzler-Martin Classification at Subsecond-
Temporal-Resolution Fourdimensional MR Angiography
Compared with That at DSA.RSNA Volume 246: Number1
January 2008 http://pubs.rsna.org/doi/pdf/10.1148/radiol.
2453061684.
Halbach, V.V., Christopher F. Dowd, Randall T. Higashida, Peter A.
Balousek, and Ross W. Urwin. 1998. Preliminary Expe
rience with an Electrolytically Detachable Fibered Coil. AJNR

Daftar Pustaka 325


Am J Neuroradiol 19:773777, Available at: http://www.
google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images
&cd=&ved=0CAkQ5TVqFQoTCODszLPK_scCFQMajgodAHk
LpQ&url=http%3A%2F%2Fwww.ajnr.org%2Fcontent%2
F19%2F4%2F773.full.pdf&psig= AFQjCNFR7mExupYYxIuIDt
CXIZviK3CkDw&ust=1442596904191743. [Accessed 18
September 2015].
Han, A. dan Gillian Lieberman, 2004. Functional Brain Imaging with
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Available at: eradiology.bidmc.harvard.edu/.../central/Han.pdf.
[Acessed 6 November 2015].
Handschu R, Garling A, Heuschmann PU, Kolominsky-Rabas PL,
ErbguthF, Neundorfer B. 2001. Acute Stroke Management in
The Local General Hospital. Stroke 32(4), 866870.
Hankey GJ. 2002. Stroke: Your Questions Answered. Edinburg: Churchill
Livingstoke.
Hanson, Eric H., Cayce J. Roach, Erik n. Ringdahl, et al. 2011.
Developmental Venous Anomalies: Appearance on Whole-
Brain CT Digital Subtraction Angiography and CT Perfusion.
Neuroradiology (2011) 53:331341.
Hardie K., Hankey G.J., Jamrozik K., Broadhurst R.J., Anderson C. 2004.
American Heart Association/American Stroke Association. Ten
Years Risk of First Recurrent Stroke and Disability After First
Ever Stroke in the Perth Community Stroke Study. Stroke. AHA
Journal; 35: 731-735.
Harnsberger, H., Osborn, A., Ross, J., Moore, K., Salzman, K., Carrasco,C.,
et al. 2007. Diagnostic and Surgical Imaging Anatomy: Brain,
Head and Neck, Spine. 3rd ed. Salt Lake City, Utah.: Amirsys.
Harold P. Adams J, et al. 2007. Guidelines for the Early Management of
Adults With Ischemic Stroke. Circulation, 115, 478-534.
Harrigan, MR ; Deveikis JP. 2013. Diagnostic Cerebral Angiography dalam
Handbook of Cerebrovascular Disease and Neurointerventional
Technique, DOI 10.1007/978-1-61779-946-4_2, Springer
Science+Business Media New York, p 87116
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,
Edisi Kedua, Yogyakarta.
Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi Pertama. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

326 Pencitraan pada Stroke


Heiss WD. 2008. Imaging The Penumbra: The Pathophysiologic Basis
for Therapy of Ischemic Stroke. Presented at: 10th International
Symposium on Thrombolysis and Acute Stroke Therapy.
Budapest, Hungary, 2123 September 2008.
Heggie J. C. D., Liddell N. A., Maher K. R., 1997. Applied Imaging
Technology, 3rd Ed, St. Vincents Hospital, Melboune.
Hennerici M, Rautenberg W, Schwartz A. 1987. Transcranial Doppler
Ultrasound for The Assessment of Intracranial Arterial Flow
VelocityPart 2. Evaluation of Intracranial Arterial Disease.
Surg Neuroi;27:523532
Herring W, 2007. Recognizing some comman causes of intracranial
pathology. In: Herring W (ed.) Learning Radiology Recognizing
the Basics. Philadelphia: Elsevier-Mosby
Herzig, R; Burval,S et al. 2004. Comparison of Ultrasonography, CT
Angiography, and Digital Subtraction Angiography in Severe
Carotid Stenoses. European Journal of Neurology 11: 774781.
Hesselink, J.R. 2015. Basic Principles of MR Imaging. Available at:
http://spinwarp.ucsd.edu/neuroweb/Text/br-100.htm. [Accessed
9 Oktober 2015].
Hidayati, S.C., 2009. Perbaikan Citra Dalam Digital Subtraction
Angiography Melalui Pengurangan Motion Artifact. Jurusan
Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Available at: http://
digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-3100009036213/7107.
[Accessed 12 Oktober 2015].
Higashida R.T., Furlan AJ, Roberts H et al. 2003. Trial Design and
Reporting Standards for Intra-Arterial Cerebral Thrombolysis for
Acute Ischemic Stroke. Stroke 34(8), e109e137.
Higgs ZC, Macafee DA, Braithwaite BD, Maxwell-Armstrong CA. 2005.
The Seldinger Technique: 50 years on. Lancet 366 (9494):
14079.
Hill MD, Rowley HA, Adler F et al. 2003. Selection of Acute Ischemic
Stroke Patients for Intra-Arterial Thrombolysis with Pro-
urokinase by Using ASPECTS. Stroke 34(8), 19251931.
Hirai,T; Korogi, Y;et al. 2002. Prospective Evaluation of Suspected
Stenoocclusive Disease of the Intracranial Artery: Combined
MR Angiography and CT Angiography Compared with Digital
Subtraction Angiography. AJNR Am J Neuroradiol 23:93101,.
Available at: http://www.ajnr.org/content/23/1/93.full. [Accessed
2 Februari 2002].

Daftar Pustaka 327


Hirsch,R.G.Gonzalez, J.A. W.J. Koroshetz,M.H. Lev, P. Schaefer. 2006.
Acute Iscemic Stroke Intervention and Imaging, Springer Berlin
Heidelberg, NewYork.
Ho dler j von Schulthess Gk Ch.L. Zollikofer (Eds), 2008. Diseases
of the Brain, Head & Neck, Spine Diagnostic Imaging and
Interventional Techniques, Springer-Verlag Italia.
Holzer, K., Suwad Sadikovic, Lorena Esposito, Angelina Bockelbrink,
Dirk Sander, Bernhard Hemmer and Holger Poppert, 2009.
Transcranial Doppler Ultrasonography Predicts Cardiovascular
Events After TIA, BioMed Central Ltd. Available at: http://www.
biomedcentral.com/1471-2342/9/13, [Accessed 5 Januari
2015].
Horton M, et al. 2013. Refinement of Imaging Predictors of Recurrent
Events Following Transient Ischemic Attack and Minor Stroke.
PLOS ONE, 8
Hoyert D.L., Xu J. 2012. NVSS. Deaths: Preliminary Data for 2011.
National Vital Statistics Report;61(6):1-4.
Hurst Robert W. Rosenwasser H Rober, 2008. Interventional
Neuroradiology, Informa Healthcare USA, New York.
Il-Ho, P., Song-Jong, S., Hyuk, C., Tae-Hoon, K., Seung, H., Sang-Hag, L.,
et al. 2010. Volumetric Study in The Development of Paranasal
Sinuses by CT Imaging in Asian: A Pilot Study. International
Journal of Pediatric Otorhinolaringology , 13471350.
Interactive and Atracctive Physics, 2010. Transducer Doppler (TCD).
Available at: http://deriyanfisika.blogspot.co.id/2010/03/
transducer-doppler-tcd.html. [Accessed 13 Oktober 2015].
Japardi, I., 2003. Anatomi Tulang Tengkorak. Available at: repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-iskandar54.pdf.
[Accessed 21 september 2015].
Joe Niekro Foundation.2015 What is a Hemorrhagic Stroke? Available
at: http://www.joeniekrofoundation.com/understanding/what-is-
a-hemorrhagic-stroke/. [Accessed 24 Oktober 2015].
Johnson MH & Kubal WS, 1999. Stroke. In: Lee SH, et al. (eds.) Cranial
MRI and CT. United States: McGraw-Hill.
Jones et al. 2013. Radipedia: Internal Carotid Artery. Available at: http://
radiopaedia.org/articles/internal-carotid-artery-1.
Joseph, N., dan Taffi R., 2010. Quality Assurance and The Helical
(Spiral) Scanner. CEEssentials. Online Radiography Continuing
Education for Radiologic X ray Technologist.
Jotania, Badal, M., Patel, S.V., Patel, S.M., Patel, P., Patel, S.M., etal.
2014. Study of Age Related Calcifications in Pineal Gland,

328 Pencitraan pada Stroke


Choroid Plexus and Falx Cerebri Based on Cranio-Cerebral
Computed Tomograms. International Journal of Research in
Medicine , 3(3);17.
Jung-Gon, L., Kyung-Bok, L., Hakjae, R., Moo-Young, A., Hee-Joon, B.,
Ji-Sung, L., et al. 2014. Intracranial Arterial Calcification Can
Predict Early Vascular Events after Acute Ischemic Stroke.
Journal of Stroke and Cerebrovascular Disease, e331e337.
Junquereira, L.C., Carneiro J. 1982. Histologi Dasar Ed ke-3. Penerjemah
Dharma A., Terjemahan dari: Basic Histology. Jakarta: EGC.
Kanamalla US, Jungreis C, Kochan P, 2008. Direct arotid Cavernous
Fistule dalam Interventional Neuroradiology, Informa health
Care USA, New York.
Kane I, Sandercock P, Wardlaw J. 2007. Magnetic Resonance Perfusion
Diffusion Mismatch and Thrombolysis in Acute Ischemic
Stroke: a Systematic Review of The Evidence to Date. J. Neurol.
Neurosurg. Psychiatry 78(5), 485491.
Katz M.L. 2001. Intracranial Cerebrovascular Evaluation. In: Textbook of
Diagnostic Ultrasonography. Mosby, St. Louis.
Katz M.L. and Alexandrov AV. 2003. A Practical Guide to Transcranial
Doppler Examinations.Summer Publishing Company,
Littleton,CO.
Kava M.P., Tullu MS, et al. 2002. Primary Angitis of the Central Nervous
System. Indian Pediatrics; 39:684689. Available at: http://
www.indianpediatrics.net/july2002/july-684-689.htm.
Kaufman, JA. 2008. Invasive Vascular Diagnosis dalam Image-Guided
Interventions, Saunders, An imprint of Elsevier Inc. Vol 1.
Philadelphia, Pennsylvania.
Kauhanen M.L., 1999. Quality of Live After Stroke: Clinical Functional,
Psychosocial and Cognitive Correlates. Department of
Neurology, University of Oulu and Departmen of Rehabilitation.
Oulu Deaconess Institute. Available at: http://herkules.oulu.fi/
isbn9514279/html/index.html.
Kidwell CS, Saver JL, Mattiello J et al. 2000. Thrombolytic Reversal of
Acute Human Cerebral Ischemic Injury Shown by Diffusion/
Perfusion Magnetic Resonance Imaging. Ann. Neurol. 47(4),
462469.
Kidwell CS, Saver JL, Mattiello J et al. 2001. Diffusion-Perfusion MRI
Characterization of Post-Recanalization Hyperperfusion in
Humans. Neurology 57(11), 20152021.
Kidwell CS, Alger JR, Saver JL. 2004. Evolving Paradigms in Neuroimaging
of The ischemic Penumbra. Stroke 35, 26622665.

Daftar Pustaka 329


Krolu, Y., all, C., Karabulut, N., & ncel, . 2010. Intracranial
Calcifications on CT. Turkish Society of Radiology , 16:263269.
Koenig M, et al. 1998. Perfusion CT of the Brain: Diagnostic Approach
for Early Detection of Ischemic Stroke. Radiology, 209, 8593.
Koenig M, Klotz E, Luka B, Venderink DJ, Spittler JF, Heuser L. 1998.
Perfusion CT of The Brain: Diagnostic Approach for Early
Detection of Ischemic Stroke. Radiology 209(1), 8593.
Kohl, & Gerhard. 2005. The Evolution and State-of-the-Art Principles of
Multislice Computed Tomography. Proceedings of the American
Thoracic Society , Vol. 2, No. 6 (2005), pp. 470476.
Kohrmann M, Juttler E, Huttner HB, Nowe T, Schellinger PD. 2007.
Acute stroke imaging for thrombolytic therapy an update.
Cerebrovasc. Dis. 24(23), 161169.
Kornienko VN & Pronin IN, 2009. Diagnostic Neuroradiology, Rusia,
Springer, 101-60.
Korosec F.R. 2009. Principles of Magnetic Resonance Angiography.
In: Rubin G.D, Rofsky N.M (eds) CT and MR Angiography
Comprehensive Vascular Assessment. Lippincott Williams &
Wilkins. Pp. 5473.
Kotilla M., Numinnen H., Waltimo, Kaste M., 1998. Depression After
Stroke: Result of The Finnstroke Study. Stroke; 29: 368-372.
Krieger DW, et al. 1999. Early Clinical and Radiological Predictors of
Fatal Brain Swelling in Ischemic Stroke. Stroke, 30, 28792.
Kumar, G., Jayantee Kalita, Bishwanath Kumar, Vikas Bansal, Sunil K. Jain,
dan UshaKant Misra. 2010. Magnetic Resonance Angiography
Findings in Patients with Ischemic Stroke from North India.
Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, Vol. 19, No.
2 (March-April), 2010: pp 146-152. Available at: http://www.
researchgate.net/profile/Gyanendra_Kumar5. [Accessed 23
September 2015].
Kummer Rv, et al. 1997. Acute Stroke: Usefulness of Early CT Findings
before Thrombolytic Therapy. Radiology, 205, 32733.
Kwon et al. 2011. Is Fasting Necessary for Elective Cerebral Angiography?.
AJNR Am J Neuroradiol 32:908 10. http://www.ncbi.nlm.nih.
gov/pubmed/21415144.
Ku, YK; Wong,HF, et al. 2010. Subarachnoid Hemorrhage with a Cerebral
Aneurysm not Recognized at Conventional Angiography: A
Retrospective Study. Chin J Radiol, 35: 201-208. www.rsroc.
org.tw/db/Jrs/article/V35/N4/350402.pdf.
Kyung-Il Jo, Jong-Soo Kim, Seung-Chyul Hong, Jung-Il Lee, 2012.
Hemodynamic Changes in Arteriovenous Malformations After

330 Pencitraan pada Stroke


Radiosurgery: Transcranial Doppler Evaluation Review Article,
World Neurosurgery, Volume 77, Issue 2, February 2012, Pages
316321.
Lai S.M., Duncan P.W., Keighley J., Johnson D., 2002. Depressive
Symptoms and Independence in BADL and IADL. Journal of
Rehabilitation Research and Development; 39 (5): 589-96.
Lanni, G. et al. 2011. Pediatric Stroke: Clinical Findings and Radiological
Approach. Stroke Research and Treatment, pp. 112.
Latour LL, Kang DW, Ezzeddine MA, Chalela JA, Warach S. 2004. Early
BloodBrain Barrier Disruption in Human Focal Brainnischemia.
Ann. Neurol. 56(4), 468477.
Lazzaro, MA; Zaidat, O, et al. 2011. Endovascular Embolization of
Head and Neck Tumors. Front. Neurol., 17 October 2011|
doi: 10.3389/fneur.2011.00064. Available at: http://journal.
frontiersin. orgJournal/10.3389/fneur.2011.00064/full.
Lemonick, D., 2010. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Artery.
American Journal of Clinical Medicine, 7(2), pp. 6273.
Lewis, D. H., Toney, L. K. & Baron, J.-C., 2012. Nuclear Medicine in
Cerebrovascular Disease. Semin Nucl Med, Volume 42, pp.
387-405.
Liao MM, 2011. Transient Iischemic Attack and Cerebrovascular
Accident. In: Markovchick VJ, et al. (eds.) Emergency Medicine
Secrets. Elsevier.
Liebeskind, D. S., 2014. Hemorrhagic Stroke. [Online] Available at: http://
emedicine.medscape.com/article/1916662.
Lindegaard K, Bakke SJ, Grolimund P, Aaslid R, Huber P, Nornes H. 1985.
Assessment of Intracranial Hemodynamics In Carotid Artery
Disease By Transcranial Doppler Ultrasound, J. Neurosurg;
63:890898.
Live Map Discovery, 2015. Early Development of The Nervous System,
Available at: http://discovery.lifemapsc.com/library/review-of-
medical-embryology/chapter-135-early-development-of-the-
nervous-system, [Accessed 21 September 2015].
Live Map Discovery, 2015. General Development of The Central
Nervous System, Available at: http://discovery.lifemapsc.com/
library/review-of-medical-embryology/chapter-137-general-
development-of-the-central-nervous-system. [Accessed 21
September 2015].
Liy, N., 2014., CT Scanner, PET, MIR, SPECT. Available at: http://noorliys.
blogspot.co.id/2014/12/ct-scanner-pet-mir-spect.html. [Acessed
6 November 2015]

Daftar Pustaka 331


Look For Diagnosis, 2014. Tomography, X-Ray Computed (CAT Scan, X-Ray;
CT Scan, X-Ray; Computerized Tomography, X-Ray; Tomography,
Transmission Computed; X-Ray Tomography, Computed; Cine-
CT; Tomodensitometry; Electron Beam Computed Tomography;
Computed Tomography). Available at: http://www. lookfor
diagnosis.com/mesh_info.php?term=Tomography%2C+X-
Ray+Computed&lang=1. [Accessed 12 Oktober 2015].
Looney, C. B. e. a., 2007. Intracranial Hemorrhage in Asymptomatic
Neonates: Prevalence on MR Images and Relationship to
Obstetric and Neonatal Risk Factors. Radiology, 242(2), pp.
535542.
Lovbald, K.-O. & Pereira, V. M., 2013. Neuroimaging of Stroke: The
Complemetary Roles of CT and MRI. Clinical Neurology,
Volume2, pp. 3644.
de Lucas, Enrique Marco, Elena Sanchez, Agustin Gutierrez, et al. 2008.
CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for General
Radiologists. RadioGraphics 2008; 28:16731687.
Lucas EMd, et al. 2008. CT Protocol for Acute Stroke: Tips and Tricks for
General Radiologists. RadioGraphics, 28, 167387.
Lumbantobing, SM, 2003. Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Lumbantobing, SM, 2001. Neurogeriatri. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Magistris, F. B. S. M. J., 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology
and Diagnosis, MUMJ, 10(1), pp. 1522.
Makariou, E., & Patsalides, A. D. 2009. Intracranial Calcifications.
Applied Radiology , 4860.
Maldonado, I.L. dan Alain Bonaf, 2012. Stent-Assisted Techniques for
Intracranial Aneurysms. Intech, Open Science Open Minds,
Available at: http://www.intechopen.com/books/aneurysm/stent-
assisted-techniques-for-intracranial-aneurysms. [Accessed 18
September 2015].
Mangla R, et al. 2011. Border Zone Infarcts: Pathophysiologic and
Imaging Characteristics. RSNA, 31, 120114.
Mark, D. e. a., 2013. Nontraumatic Subarachnoid Hemorrhage in the
Setting of Negative Cranial Computed Tomography Results:
External Validation of a Clinical and Imaging Prediction Rule.
Annals of emergency medicine , 62(1), pp. 110.e1.
Marks MP, 2008. Cerebral Ischemia and Infarction. In: Atlas SW (ed.)
MRI of the Brain and Spine. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.

332 Pencitraan pada Stroke


Markus, H.S., Alice King, Martin Shipley, Raffi Topakian, Marisa Cullinane,
Sheila Reihill, Natan M Bornstein, dan Arjen Schaafsmad,
2010. Asymptomatic Embolisation for Prediction of Stroke in
the Asymptomatic Carotid Emboli Study (ACES): a Prospective
Observational Study. Lancet Neurol. 9(7): 663671.
Marincek Borut, Robert F. Dondelinger, 2007. Emergency Radiologi
Imaging and Intervention, Springer Berlin Heidelberg New York.
Maulaz A, Piechowski-Jozwiak B, Michel P, Bogousslavsky J. 2005.
Selecting Patients for Early Stroke Treatment with Penumbra
Images. Cerebrovasc. Dis. 20(Suppl. 2), 1924.
Mauro, M A., Murphy KP , et al. 2014. Image-Guided Interventions. Edisi
ke 2. Elsevier.
Masjhur, J.S., 2009. Perkembangan Aplikasi Teknologi Nuklir Dalam
Bidang Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung.
Mayo Clinic Staff, 2015. Tests and Procedures, SPECT Scan, Mayo Clinic,
Available at: http://www.radiologyinfo.org/en/gallery/index.cfm?
image=836. [Acessed 6 November 2015]
Mayo Clinic, 2015. Stroke, Symptoms and Causes. Available at: http://
www.mayoclinic.org/diseases-conditions/stroke/symptoms-
causes/dxc-20117265, [Accessed 18 September 2105].
Medical Expo, 2015. Occlusion catheter/vascular/balloon/double-lumen
HyperGlide. Available at: http://www.medicalexpo.com/
prod/covidien/product-74674-552299.html. [Accessed 18
September 2015].
Merino, J. & Warach, S., 2010. Imaging of Acute Stroke. Nat. Rev. Neurol,
Volume 6, pp. 560571.
Messe SR, Kasner SE, Chalela JA et al. 2007. CT-NIHSS mismatch does
not correlate with MRI diffusionperfusion mismatch. Stroke 38
(7), 20792084.
Miller Medical, 2015. Fat Injection Harvesting Cannulas (Luer Lock
Hub). Available at: http://www.miller-medical.com/physicians/
products-page/fat-injection/injection-cannulas-luer-lock-hub/,
[Accessed 17 September 2015]. Mirsen TR, 2014. Stroke.
In: Parrillo JE & Dellinger RP (eds.) Critical Care Medicine:
Principles of Diagnosis and Management in the Adult. Elsevier.
Misbach J., Kalim H. 2011. Stroke Mengancam Usia Produktif
[Online]. Jakarta.Available:http://medicastore.com/ stroke/
Stroke_ Pembunuh_ No_3_di_Indonesia.php. 2011. Accessed
27 0ctober 2011]. Moeller T.B, Reif E. 2000. MRI Special

Daftar Pustaka 333


Investigation. In: Moeller T.B, Reif E (eds) Normal Findings in
CT and MRI. New York. Thieme. Pp. 217222.
Modern Cancer Hospital Guangzhou, 2012. PET/CT. Available at:
http://www.asiancancer.com/technology-equipment/111.html.
[Acessed 7 November 2015].
Moeller, T. B., & Reif, E. 2000. Normal Findings in CT and MRI. Stuttgart
- New York: Thieme.
Moeller, Tornsten B., Reif, Emil., 2003. MRI Parameter and Positioining,
Thieme, New York.
Moeller T.B, Reif E. 2003. Magnetic Resonance Angiography. In: Moeller
T.B, Reif E (eds) MRI Parameters and Positioning. New York.
Thieme. Pp. 177195.
Moey, AW; Koblar, SA, et al. 2012. Endovascular Therapy After Stroke in
a Patient Treated with Dabigatran. MJA 2012; 196: 469471.
doi: 10.5694/mja11.11617. Available at: https://www.mja.
com.au/journal/2012/196/7/endovascular-therapy-after-stroke-
patient-treated-dabigatran.
Mohr et al, 2010. Ica 7 Segmen Calcification of The Left Internal
Carotid Artery and Its Implications: a Case Report in Human
Mohr, H., Nazer, MB. and Campos, Available at: http://jms.org.
br/PDF/v27n1a10.pdf.
Molina CA, Saver JL. 205. Extending Reperfusion Therapy for Acute
Ischemic Stroke: Emerging Pharmacological, Mechanical, and
Imaging Strategies. Stroke 36 (10), 23112320.
Moore KL, Dalley AR.2007. Clinically Oriented Anatomy, 5th Ed.,
Lippincott Williams & Wilkins, Toronto. Copyright.
Moppett, I.K., dan R. P. Mahajan, 2004. Transcranial Doppler
Ultrasonography in Anaesthesia and Intensive Care, British
Journal of Anaesthesia, Volume 93, Issue 5, Pp. 710-724.
Morgan, T. e. a., 2002. Intracranial Hemorrhage in Infants and
Children With Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (Osler-
Weber-Rendu Syndrome). Pediatrics, 109(e12), pp. 17.
Moriya Y et al. 2013. Predictors for Hemorrhagic Transformation with
Intravenous Tissue Plasminogen Activator in Acute Ischemic
Stroke. Tokai J Exp Clin Med., 38(1), pp. 2427.
Moyer, B., 2015. Medical Applications. An Overview of Medical Imaging.
Mouser Electronics. Available at: http://www.mouser.com/
applications/medical-imaging-overview/. [Accessed 15 Oktober
2015].

334 Pencitraan pada Stroke


Mullins,E Mark ,MD ,Phd, 2005. Modern Emergent Stroke Imaging,
Pearl, Protocols, and Pifalls, Elsevier, Available at: http://www.
radiologic.theclinics.com.
Mullins ME, 2006. Modern Emergent Stroke Imaging: Pearls, Protocols,
and Pitfalls. In: Wolf RL (ed.) Neuroradiology Essentials.
Philadelphia: Elsevier.
My 29 Live, 2015. Nuclear Heart Scan. Available at: http://my29lives.
blogspot.co.id/2015/03/nuclear-heart-scan.html. [Acessed 7
November 2015].
MyHuman Body.Ca, 2014. The Central Nervous System (3/3). Available
at: http://www.corpshumain.ca/en/Cerveau3_en.php. [Accessed
21 September 2105] National Health Service (NHS). 2009.
Transcranial Doppler Scanning for Children with Sickle Cell Disease.
Available at: http://www.library.nhs.uk/GUIDELINESFINDER/
ViewResource.aspx?resID=315317 2009 Sickle Cell Society/
UK Thalassemia Society.
Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke. Emedicine Medscape.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-
overview]. [Accessed 25 Oktober 2015].
Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
[diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/793821-
overview]
Neeb, L. V. K. G. I. G.-D. F. G. R. G. D. K. C. G. U. F. J., 2013. Adapting the
Computed Tomography Criteria of Hemorrhagic Transformation
to Stroke Magnetic Resonance Imaging. Cerebrovasc Dis Extra,
Volume 3, pp. 103110.
Netter F.H, Craig J.A. 2000. Neuroanatomy. In: Netter F.H, Craig J.A (eds)
Atlas Of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA. Icon Custom
Communications. pp. 1319
Neuroscience, 2012. Experimental Drug May Extend Therapeutic Window
for Stroke. Available at: http://neurosciencenews.com/tpa-tissue-
plasminogen-activator-3k3a-apc-stroke-medicine/. [Accessed:
24 September 2015].
NHS, 2015. Open Magnetic Resonance Imaging (MRI) Scanning
Commissioning Policy. Health Protection Manager, Bath & North
East Somerset Council Public Health Department.
Nitz W., 2006. Magnetic Resonance Angiography, Technical and
Principles. In: Reimer P, Parizel P.M, Stichnoth F.A (eds) Clinical
MR Imaging. 2nd edition. New York. Springer. Pp. 36-40.

Daftar Pustaka 335


Noerjanto M., 20012. Masalah-masalah Dalam Diagnosis Stroke Akut.
In: Management Acute Stroke Temu regional Neurologi Jateng-
DIY ke-XIX. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro:
1-15.
Noltej J & Sundsten J, 2009. Blood Supply of the Brain. In: Noltej J &
Sundsten J (eds.) Human Brain: An Introduction to Its Functional
Anatomy. Elsevier.
Notosiswoyo, M. , Susy Suswati, 2004, Pemanfaatan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) sebagai Sarana Diagnosa Pasien. Media Litbang
Kesehatan Volume XIV Nomor 3.
Nouira, S. e. a., 2008. Accuracy of Two Scores in the Diagnosis of Stroke
Subtype in a Multicenter Cohort Study. Annals of Emergency
Medicine, 53(3), pp. 373378.
Nuttawan, J. 2004, CT Protocol, Radiology Departement Of Takshin
Hospital, Bangkok. N. Valadi, MD, et al, 2006. Transcranial
Doppler Ultrasonography in Adults with Sickle Cell Disease,
Departments of Neurology (N.V., D.R., F.T.N., R.J.A.) and
Hematology (A.K.) and School of Nursing (L.S.B.), Medical
College of Georgia, Augusta; and Departments of Neurology
(G.S.S., A.R.M.), Hematology (P.V.), and Infectious Diseases
(A.C.F.), Federal University of So Paulo, Brazil.
Osborn A.G, Blaser S.I, Salzman K, et al. 2004. Diagnostic Brain Imaging.
Canada. Amirsys. pp.I.4.4I.4.10.
Ostergaard L, Weisskoff RM, Chesler DA, Gyldensted C, Rosen BR. 1996.
High Resolution Measurement of Cerebral Blood Flow Using
Intravascular Tracer Bolus Passages. Part I: Mathematical
Approach and Statistical Analysis. Magn. Reson. Med. 36(5),
715725.
Ostergaard L, Sorensen AG, Kwong KK, Weisskoff RM, Gyldensted C,
Rosen BR. 1996. High Resolution Measurement of Cerebral
Blood Flow Using Intravascular Tracer Bolus Passages. Part II:
experimental comparison and preliminary results. Magn. Reson
Med.. 36(5), 726736.
Pandian JD, Henderson RD, et al. 2006. Cerebral Vasculitis in
Ulcerative Colitis. Arch Neurol.2006;63(5):780. doi:10.1001/
archneur.63.5.780. http://archneur. jamanetwork.com /article.
aspx?articleid=791296.
Paula, B., 2009. Imaging of the Brain after Aneurismal Subarachnoid
Hemorrhage. Kuopio: Kuopio University Publication.
Patestas M.A, Gartner L.P., 2006. Vascular Supply of The Central
Nervous System. In: Patestas M.A, Gartner L.P (eds) A Textbook
of Neuroanatomy. Australia. Blackwell Publishing. pp. 99117.

336 Pencitraan pada Stroke


Pelberg, Robert, Wojciech Mazur. 2011. Vascular CT Angiography Manual.
Springer Dordrecht Heidelberg London New York.
PERDOSSI, P. S., 2011. Guideline Stroke Tahun 2011, Jakarta,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)
Perron, A. D. 2008. How To Read a Head CT Scan. Chicago, Illinois:
Saunders Elsevier.
Pexman, J. W. e. a., 2001. Use of Alberta Stroke Program Early CT Score
(ASPECTS) for Assessing CT Scan for Patients with Acute Stroke.
AJNR Am J Neuroradiol , Volume 22, p. 15341542.
Pexman JH, Barber PA, Hill MD et al. 2001. Use of the Alberta Stroke
Program Early CT Score (ASPECTS) for Assessing CT Scans in
Patients with Acute Stroke. Am. J. Neuroradiol. 22(8), 1534
1542.
Pokhrel, R., 2015. SCALP. Available at: http://www.slideshare.net/
rongon28us/scalp-49531339. [Accessed 21 September 2015].
Powers, W. J. & Zazulia, A. R., 2010. PET in Cerebrovascular Disease.
PET Clin, Volume 5, pp. 83106.
Prasetiyono, E., 2014. Kedokteran Nuklir Sebagai Modalitas (Staging)
Pemeriksaan Ca Hepar. Radiografer RSPAD Gatot Soebroto
Jakarta. Available at: https://eljauhary.files.wordpress.com/.../
kedokteran-nuklir-edi-prasetiyon... [Acessed 6 November 2015].
Price, SA, Wilson, LM, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Price S.A., Wilson L.M., 2005. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2 Ed/6. Jakarta: EGC.
QU, H; Yang, M. 2013. Early Imaging Characteristics of 62 Cases of
Cerebral Venous Sinus Thrombosis. Experimental and Therapeutic
Medicine 5: 233-236. DOI: 10.3892/etm.2012.796. Available
at: http://www.biomedsearch.com/ attachments/00/23/25/
12/23251274/etm-05-01-0233.pdf.
Questions and Answers in MRI, 2014. Motion Artifact. Why are Motion
Artifacts Propagated in The Phase-Encode Direction Instead
of The Frequency-Encode Direction? AD Elster, ELSTER LLC.
Available at: http://mri-q.com/motion-artifact-direction.html.
[Accessed 11 Oktober 2015].
Questions and Answers in MRI, 2014. Emergency Shut Down. Does the
Scanner Have an Emergency "Stop" Button? AD Elster, ELSTER
LLC. Available at: http://mri-q.com/emergency-stop-button.html
[Accessed 11 Oktober 2015].

Daftar Pustaka 337


Quizlet, 2015. Examination of Head & Neck. Available at: https://
quizlet.com/7590276/examination-of-head-neck-flash-cards/.
[Accessed 21 September 2015].
Rabinstein AA & Resnick SJ, 2009. Acute Stroke Imaging. Practical
Neuroimaging in Stroke , First Edition. Saunders.
Rabinstein, A. A., 2013. Subarachnoid Hemorrhage. Neurology, Volume
80, pp. e56e59.
Ralph L., Adams R., Albers G., Alberts M.J., Benavente O., Furie K.,
et al., 2006. American Heart Association/American Stroke
Association. Guideline for Prevention of Stroke in Patients with
Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke. AHA
Journals;37:577-617.
RadiologiInfo, 2015. Positron Emission Tomography Computed
Tomography (PET/CT). Available at: www.RadiologyInfo.org.
[Acessed 7 November 2015].
Radiology Info, 2015. CT Angiography (CTA). Available at: http://www.
radiologyinfo.org/en/info.cfm?pg=angioct. [Accessed 12 Oktober
2015].
Radiology Info, 2015. MR Angiography (MRA). Available at: http://
www.radiologyinfo.org/en/info.cfm?pg=angiomr. [Accessed 12
Oktober 2015].
Ramadhani, P., 2006. Elektronika Kedokteran CT Scanner. Jurusan
Elektro Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Makassar,
Available at :www.unhas.ac.id/...CT%20Scan/PUTRI%20
RAMADHANI%20D411030. [Accessed 12 Oktober 2015].
Rao, Chrisna C. V. G., Lee, S. Howard, 1999. Cranial MRI and CT,
McGraw-Hill, New York.
Rasad, dkk. 1999. Radiologi Diagnostik, Gaya Baru: Jakarta.
Rasad, Sjahriar, 2006. Radiologi Diagnostik, Ed. II, Balai Penerbitan
FKUI, Jakarta.
Rasulo FA, De Peri E, Lavinio A, 2008. Transcranial Doppler
Ultrasonography In Intensive Care, Institute of Anesthesiology
and Intensive Care, Spedali Civili University Hospital of Brescia,
Piazzale Spedali Civili, Brescia, Italy. rasulo@med.unibs, Eur J
Anaesthesiol Suppl.;42:16773.
Read SJ, Hirano T, Abbott DF et al. 2000. The Fate of Hypoxic Tissue
on 18F-Fluoromisonidazole Positron Emission Tomography After
Ischemic Stroke. Ann. Neurol. 48(2), 228235.
Ribo M, Molina CA, Rovira A et al. 2005. Safety and Efficacy of
Intravenous Tissue Plasminogen Activator Stroke Treatment

338 Pencitraan pada Stroke


in The 3- to 6-Hour Window Using Multimodal Transcranial
Doppler/MRI Selection Protocol. Stroke 36 (3), 602606.
Ridgway, J.P., 2012. Cardiovascular Magnetic Resonance Physics
for Clinicians: part II. Journal of Cardiovascular Magnetic
Resonance, 14:66 doi:10.1186/1532-429X-14-66. Available
at: http://www.jcmr-online.com/content/14/1/66. [Accessed 15
Oktober 2015].
Ritzl A, Meisel S, Wittsack HJ et al. 2004. Development of Brain Infarct
Volume as Assessed by Magnetic Resonance Imaging (MRI):
Follow-up of Diffusion-Weighted MRI Lesions. J. Magn. Reson.
Imaging 20(2), 201207.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2 Ed/7. Jakarta : EGC.
Robin Smithuis, 2008. Brain Anatomy, Radiology Department, Rijland
Hospital Leiderdorp, the Netherlands, Radiologyassistant.
Rohkamm R., 2004. Color Atlas of Neurology. New York. Thieme. pp.
1220.
van Rooija, W.J. dan M. Sluzewskia, 2007. Packing Performance of
GDC 360 Coils in Intracranial Aneurysms: A Comparison with
Complex Orbit Coils and Helical GDC 10 Coils, AJNR, 28: 368-
370, Available at: http://www.ajnr.org/content/28/2/368.figures-
only, [Accessed 18 September 2015].
Romero JM, Artunduaga M, Forero NP, et al. 2009. Accuracy of CT
Angiography for The Diagnosis of Vascular Abnormalities
Causing Intraparenchymal Hemorrhage in Young Patients.
Emerg Radiol;16:195201.
Rooks, V. e. a., 2008. Prevalence and Evolution of Intracranial
Hemorrhage in Asymptomatic Term Infants. AJNR, Volume 29,
pp. 10821090.
Rosen, D. a. R. M., 2005. Subarachnoid Hemorrhage Grading Scales: A
Systematic Review. Neurocrit. Care, Volume 2, pp. 110118.
Rubin, Geoffrey D., Neil M. Rofsky. 2009. CT and MR Angiography:
Comprehensive Vascular Assessment. 1st Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
Ryerson S.D., 1995. Hemiplegi in Neurological Rehabilitation. 3rd ed. St.
Louis: Mosby-Year Book Inc.
Sadikin Cindy ,SpRad (K), 2012. Endovascular Treatment of Acute Stroke,
PIT intervensional Radiologi Makasar, Makasar.
Sadler T. W, 1997. Embriologi Kedokteran Langman, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Daftar Pustaka 339


Sanelli, Pina C., Matthew J. Mifsud, Natalie Zelenko, Linda A. Heier. 2004.
CT Angiography for The Evaluation of Cerebrovascular Diseases.
AJR 2005;184:305312 0361803X/05/1841305.
Sarmiento, d. l., Lecumberri, C. G., Lecumberri, C. I., Oleaga, Z. L., Isusi,
F. M., & Grande, I. D. 2006. Intracranial Calcifications on MRI.
Radiologia, 48 (1), 1926.
Sasaki M, Kudo K, Oikawa H. 2006. CT Perfusion for Acute Stroke: Current
Concepts on Technical Aspects and Clinical Applications. Int.
Congr. Ser. 1290, 3036.
Satyanegara, Roslan Y.H., Syafrizal A., Achmad J.M., Erliano S., Ibnu B.,
Sendjaja M., Jovita S., Ivan A., Imam Y., Anne S., 2010. Ilmu
Bedah Saraf Satyanegara, edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Schatlo, B. dan Ryszard M. Pluta, 2007. Clinical Applications of
Transcranial Doppler Sonography, Surgical Neurology Branch,
National Institutes of Neurological Disorders and Stroke, National
Institutes of Health, Bethesda, MD, USA, Recent Clinical Trials,
2, 49-57.
Schneider, G., M.R. Prince, J.F.M. Meaney, V.B. Ho, E.J. Potchen, 2005.
Magnetic Resonance Angiography: Techniques, Indications and
Practical Applications. Springer. Verlag Italia.
Schramm P, Schellinger PD, Fiebach JB et al. 2002. Comparison of CT
and CT Angiography Source Images with Diffusion-Weighted
Imaging in Patients with Acute Stroke Within 6 Hours After
Onset. Stroke 33(10), 24262432.
Schulte,E; Schumacher,U; Rude J. 2010. Blood vessel of The Brain dalam
Thieme Atlas of Anatomy : Hed and Neuroanatmy. Available at:
http://books.google.co.id/books ?id=wlGDPwz_7KoC&printsec=
frontcover#v=onepage&q&f=false.
Schwamm Nogueira, R.G.;, L.H.; Hirsch, J.A, 2009. Endovascular
Approaches to Acute Stroke, Part 1: Drugs, Devices, and Data,
American Society of Neuroradiology, Avaiable at: http://www.
ajnr.org.
Schwartz et al. 2010. Review of vascular closure devices. J Invasive
Cardiol. Dec;22(12):599-607. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/21127366.
Schellinger PD, Fiebach JB, Jansen O et al. 2001. Stroke Magnetic
Resonance Imaging Within 6 Hours After Onset of Hyperacute
Cerebral Ischemia. Ann. Neurol. 49(4), 460469.
Schellinger PD, Fiebach JB, Hacke W. 2003. Imaging-Based Decision
Making in Thrombolytic Therapy for Ischemic Stroke: Present
Status. Stroke 34(2), 575583.

340 Pencitraan pada Stroke


Schummer W, Schummer C, Gaser E, Bartunek R. 2002. Loss of The
Guide Wire: Mishap or Blunder? British journal of anaesthesia
88 (1): 1446.
Seldinger SI. 1953. Catheter Replacement of The Needle in Percutaneous
Arteriography; A New Technique. Acta Radiologica 39 (5): 368
76.
Setyopranoto, I., 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/
Vol.38 no.4/Mei-Juni 2011.
Sherin, A. K. A. R. S. S. N. H. S. G. Z. M., 2011. Comparability and
Validity of Siriraj Stroke and Allen Stroke Score in Differentiation
of Acute Ischaemic and Hemorrhage Stroke. JPMI, 25(3), pp.
206216.
Sheta, Y. A.-S. A.-G. a. M. E.-M., 2012. Accuracy of Clinical Sub-typing of
Stroke in Comparison to Radiological Evidence. British Journal
of Science, 6(2).
Siemonsen S, Fitting T, Thomalla G et al.2008. T2 Imaging Predicts
Infarct Growth Beyond The Acute Diffusion-Weighted Imaging
Lesion in Acute Stroke. Radiology 248(3), 979986.
Siswanto Y. 2010. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stroke
Berulang (Studi Kasus RS DR. Kariadi Semarang). Semarang:
Universitas Diponegoro.
Sloan, M.A.,Alexandrov A.V., Tegeler C.H., Spencer M.P., Caplan L.R.,
Feldmann E., Wechsler L.R., Newell D.W., Gomez C.R., Babikian
V.L., Lefkowitz D., Goldman R.S., Armon C., Hsu C.Y., Goodin
D.S., 2004. Assessment: Transcranial Doppler Ultrasonography:
Report of the Therapeutics and Technology Assessment
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology.
62(9):1468-81.
Smilowitz et al. 2012. Practices and Complications of Vascular Closure
Devices and Manual Compression in Patients Undergoing
Elective Transfemoral Coronary Procedures. Am J Cardiol.2012
Jul 15;110(2):177-82. doi: 10.1016/j.amjcard.2012.02.065.
Epub 2012 Apr 4. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/22482861.
Smith, E., Rosand, J. & Greenberg, S. M., 2006. Imaging of Hemorrhagic
Stroke. Magn Reson Imaging Clin N Am, Volume 14, p. 127
140.
Smith, S. D., Eskey & J., C., 2011. Hemorrhagic Stroke. Radiol Clin N
Am, pp. 2745.
Smithuis R, 2008. Brain Ischemia - Vascular territories [Online]. Radio
logy department of the Rijnland Hospital in Leiderdorp, the
Netherlands. Available at: http://www.radiologyassistant.nl/

Daftar Pustaka 341


en/p484b8328cb6b2/brain-ischemia-vascular-territories.html
[Accessed 7 Desember 2014].
Snell, R. S., 1997. Anatomi Klinik, Ed. III, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Soertidewi L., Misbach J. 2007. Epidemiologi Stroke. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.
NewYork. Thieme Stuttgart. 2000.
Spaeth, J., Krgelstein, U., & Schlndorff, G. 1997. The Paranasal Sinuses
in CT-Imaging: Development From Birth to Age 25. International
Journal of Pediatric and Otorhinolaryngoly , 39(1):2540.
Sprawls, P., 2015. Chapter 2 Magnetic Resonance Imaging System
Components. Sprawls Educational Fundational, Available at:
http://www.sprawls.org/mripmt/MRI02/index.html. [Accessed
11 Oktober 2015].
Srinivasan A, et al. 2006. State-of-the-Art Imaging of Acute Stroke.
RadioGraphics, 26, S75S95.
Stroobant, N; Vingerhoets, G. 2000. Transcranial Doppler Ultrasonography
Monitoring of Cerebral Hemodynamics During Performance of
Cognitive Tasks: A review.Neuropsychology review10(4): 213
31.PMID11132101.
Stroke. 2001. Recovery and Rehabilitation, Available at: file://:
nbmediastroke.htm2001, [Accessed 15 September 2015].
Stroke Association. 2013. Stroke Statistics. London.
Stroke. Validation and Determination of The Penumbra Threshold Against
Quantitative PET. Stroke 39, 870877.
Stewart, C., 2013. Single Photon Emission Computed Tomography.
MyField Clinic and Spine Institute.Cincinnati Ohio. Availabe at:
www.myfieldclinic.com. [Acessed 6 November 2015]
Sumber: Wikipedia, 2015. Single-Photon Emission Computed
Tomography. Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/Single-
photon_emission_computed_tomography. [Acessed 6 November
2015]
Tasfir, Abel. 2012. CT Scan (Computed Tomography Scanner). Available
at: http://abel-tasfir.blogspot.co.id/2012/05/ct-scan-computed-
tomography-scanner.html. [Accessed 12 Oktober 2015].
The Bangalore Hospital, 2005. Cardiac Catheterisation Laboratory.
Cardiology Department.Availble at: http://www.bangalorehospital.
co.in/dept_medi_card.htm. [Accessed 12 Oktober 2015].

342 Pencitraan pada Stroke


Takasawa M, Jones PS, Guadagno JV et al. 2008. How Reliable is
Perfusion MR in Acute.
Tamraz J.C, Comair Y.G. 2006. Atlas of Regional Anatomy of the Brain
Using MRI. New York. Springer. pp. 101113.
Taveras, Juan M, 1996. Neuroradiology, 3rd Ed., Williams & Wilkins
Company, USA.
Teasdale EM & Aitken S, 2009. Vascular Imaging in Ischaemic Stroke
and TIA. An Atlas and Practical Guide Multidetector CT In
Neuroimaging. United Kingdom: Atlas Medical Publishing Ltd.
Terumo Interventional Systems, 2015. Glidewire GT Guidewire. Available
at: http://www.terumois.com/products/guidewires/glidewire-gt.
html. [Accessed 18 September 2015].
The National Institute of Neurological Disorders and Stroke rt-PA Stroke
Study Group. 1995. Tissue Plasminogen Activator for Acute
Ischemic Stroke. N. Engl. J. Med. 333(24), 15811587.
Thomas,B; Krishnamoorthy,T; et al. 2005. Isolated Left Vein of Labbe
Thrombosis. Neurology 2005;65;1135, DOI 10.1212/01.
wnl.0000181352.14678.18. Available at: http://www.
neurology .org/content/65/7/1135.full.pdf+html.
Thurnher, M., 2008. Brain Ischemia - Imaging in Acute Stroke. Radiology
Assistant. Department of Radiology, Medical University of
Vienna. Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/
p483910a4b6f14/brain-ischemia-imaging-in-acute-stroke.html
Tortorici, Marianne R., Patrick Apfel. 1995. Advanced Radiographic and
Angiographic Procedures with an Introduction to Specialized
Imaging. Philadelphia: F. A. Davis. Tofteland & Salyers, 2007.
Subarachnoid Hemorrhage. Hospital Physician, pp. 31-42.
Towbin, R., & Dunbar, J. 1982. The Paranasal Sinuses in Childhood.
Radiographics, 2:253279.
Turanjanin N, et al. 2012. Frequency of Ischmie Stroke Subtypes in
Relation to Risk Factors for Ischmie Stroke. HealthMED, 10,
34638.
Uduma, F., Pius, F., & Mathieu, M. (2012). Computed Tomographic
Pattern of Physiological Intracranial. Global Journal of Health
Science, 4(1):18491.
UF Health, 2015. Stroke Background. UF Health. Center for Translational
Research in Neurodegenerative Disease. College of Medcine.
Available at: http://ctrnd.med.ufl.edu/research/stroke/stroke-
background/. [Accessed 24 Oktober 2015].

Daftar Pustaka 343


Usman, FS ; Sani, AG; dan Husain, S. 2012. Safety of Cerebral Digital
Subtraction Angiography : Complication Rate Analysis. Jurnal
Univ Med Vol. 31 No.1. Available at: http://www.univmed.org/
wp-content/uploads/2012/05/Frizt-Sumantri.pdf.
Venti, M., Acciarresi, M. & Agnelli, G., 2011. Subarachnoid Hemorrhage:
A Neurological Emergency. The Open Critical Care Medicine
Journal, Volume 4, pp. 5660.
Verulashvili, I., Glonti, L., Miminoshvili, D., Maniia, M., & Mdivani, K.
2006. Basal Ganglia Calcification: Clinical Manifestations and
Diagnostic Evaluation. Georgian Med News, 3943.
Victor M., Ropper A.H., 2001. Principles of Neurology. 7th ed. New York:
The Mc Graw-Hill Companies Inc.: 1608-1624.
Viet Can, 2010. Services, How Does an MRI Differ from Other Procedures?
Medical Radiation Imaging. Available at: http://www.vietcan
medical.com/services. [Accessed 10 Oktober 2015].
Wanke, F. F. M., 2007. Imaging of Intracranial Hemorrhage: A Review
Article. Iran. J. Radiol., 4(2), pp. 6576.
Warach S, Chien D, Li W, Ronthal M, Edelman RR. 1992. Fast Magnetic
Resonance Diffusion-Weighted Imaging of Acute Human
Stroke. Neurology 42(9), 17171723.
Weber, Alfred L. 2001. History of Head and Neck Radiology: Past,
Present, and Future. Radiology 2001; 218:1524.
Wechsler LR, Sekhar LN, Luyckx K, Kiok M: The Effects Of Endarterectomy
On The Intracranial Circulation Studied By Transcranial Doppler,
Neurology 1987;37:317.
Wetzel, SG; Kirsch, E, et al. 1999. Cerebral Veins: Comparative Study of CT
Venography with Intraarterial Digital Subtraction Angiography.
AJNR Am J Neuroradiol 1999;20:249-255. Available at: http://
www.ajnr.org/content/20/2/249.long. [Accessed 22 Maret
2014].
WHO. Stroke, Cerebrovascular Accident [Online]. Available at: http://www.
who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/. 2011. [Accessed
26 Oktober 2011].
What-When-How, 2015. The Nervous System (Structure and Function)
(Nursing) Part 2. Available at: http://what-when-how.com/
nursing/the-nervous-system-structure-and-function-nursing-
part-2/. [Accessed 22 September 2015].
Wibowo, S. 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi. Jakarta: Salemba
Medika.

344 Pencitraan pada Stroke


William L.S., Yilmaz E.Y., Yunez A.M.L. 2000. Retrospective Assesment
of Initial Stroke Severity With the NIH Stroke Scale. Stroke. 31:
858-62.
Williandry, M. 2014. Deteksi Stroke Awal dengan CT Scan dan MRI.
Available at: http://rspondokindah.co.id/en/health-articles/
detail/2/deteksi-stroke-awal-dengan-ct-scan-dan-mri#sthash.
bH2FZipN.dpuf. [Accessed 5 Maret 2015].
Wintermark M, Reichhart M, Thiran JP et al. 2002. Prognostic Accuracy
of Cerebral Blood Flow Measurement by Perfusion Computed
Tomography, at The Time of Emergency Room Admission, in
Acute Stroke Patients. Ann. Neurol. 51(4), 417432.
Wintermark M, Meuli R, Browaeys P et al. 2007. Comparison of CT
Perfusion and Angiography and MRI in Selecting Stroke Patients
for Acute Treatment. Neurology 68(9), 694697.
Wintermark M, Albers GW, Alexandrov AV et al. 2008. Acute Stroke
Imaging Research Roadmap. AJNR Am. J. Neuroradiol. 29(5),
e23e30.
Warach S. 2001. Use of Diffusion and Perfusion Magnetic Resonance
Imaging as a Tool in Acute Stroke Clinical Trials. Curr. Control
Trials Cardiovasc. Med. 2, 3844.
Xavier, RA; Qureshi, AI, et al. 2003. Neuroimaging of Stroke: A Review.
South Med J.2003;96(4). Available at: http://www.medscape.
com/viewarticle/452843_4. [Accessed: 21 Maret 2014].
Xu, H. et al. 2013. CT Perfusion Imaging Predicts One-Month Outcome
in Patients with Acute Spontaneous Hypertensive Intracerebral
Hemorrhage. Advances in Computed Tomography, Volume 2, pp.
107111.
Xue, Z., Sameer Antani, L. Rodney Long, Dina Demner-Fushman, dan
George R. Thoma, 2012. Window Classification of Brain CT
Images in Biomedical Articles. AMIA Annu Symp Proc. 1023
1029.
Yates, P. A. e. a., 2014. Cerebral Microbleeds: a Review of Clinical,
Genetic and Neuroimaging Association. Frontiers in Neurology,
Volume 4, pp. 113.
Yayasan Stroke Indonesia. 2012. Tahun 2020 Penderita Stroke Meningkat
2 Kali. Available at: http://www.yastroki.com/, [Accessed: 1
Desember 2014].
Yeung R, Ahmad T, Aviv RI, et al. 2009. Comparison of CTA to DSA
in Determining The Etiology of Spontaneous ICH. Can J Neurol
Sci;36:17680.
Yoon DY, Chang SK, Choi CS, et al. 2009. Multidetector Row CT
Angiography in Spontaneous Lobar Intracerebral Hemorrhage: a

Daftar Pustaka 345


Prospective Comparison with Conventional Angiography. AJNR
Am J Neuroradiol;30:96267.
Yuan, M.-K. e. a., 2005. Detection of Subarachnoid Hemorrhage at
Acute and Subacute/Chronic Stages: Comparison of Four
Magnetic Resonance Imaging Pulse Sequences and Computed
Tomography. J Chin Med Assoc, 68(3), pp. 1317.
Zak, I. T., Dulai, H. S. & Kish, K. K., 2007. Imaging of Neurologic
Associated with Pregnancy and the Post Partum Period.
RadioGraphics, Volume 27, p. 95108.
Zhen, W., Sandeep, M., Karl, K., Yingjian, Y., Hu, J., & Haacke, E. M.
2009. Identification of Calcification with Magnetic Resonance
Imaging Using Susceptibility-Weighted Imaging: A Case Study.
J Magn Reson Imaging, 29(1): 177182.
Zimmerman, R., & Bilaniuk, L. 1982. Age-Related Incidence of Pineal
Calcification Detected by Computed Tomography. Radiology,
142: 659662.
Zimmerman RD, 2010. Vascular Diseases of the Brain. In: Yousem DM &
Grossman RI (eds.) The Requisities Neuroradiology Philadelphia:
Mosby Elsevier.
Zivin JA, 2012. Approach To Cerebrovascular Diseases. Goldmans Cecil
Medicine. New York: Elsevier.
Zsolt Garami, MD, Andrei V. Alexandrov, MD, RVT, 2008. Neurosonology,
Methodist DeBakey Heart and Vascular Center, Department of
Cardiovascular Surgery, The Methodist Hospital, 6550 Fannin
Street, Houston, TX 77030, USA, The University of Alabama at
Birmingham, USA. [Accessed 21 Oktober 2014].

346 Pencitraan pada Stroke


Glosarium

Analgesia = menghilangkan rasa nyeri.


Arachnoid = membran impermiabel halus yang menutupi otak dan
terletak di antara pia mater dan dura mater.
Arteri = pembuluh darah berdinding tebal yang membawa darah
beroksigen dari jantung ke jaringan di semua organ.
Biplane angiography = standar untuk angiografi serebral yang
memungkinkan untuk mendapatkan gambar ortogonal yang
secara bersamaan dengan injeksi kontras tunggal sehingga
membatasi waktu dan jumlah kontras yang dibutuhkan untuk
memvisualisasikan pembuluh darah otak secara adekuat.
Cairan serebrospinal = cairan yang berada di otak dan sterna serta
ruang subrachnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis.
Cairan serebrospinal mempunyai tekanan yang konstan dan
seluruh ruangan berhubungan satu sama lain.
Cavernoma = kelainan vaskular otak yang ditandai dengan sinosoid
yang dilapisi oleh endotel dan tidak memiliki parenkim otak di
antara sinosoid tersebut.
Cella media index = salah satu metode yang digunakan untuk menilai
ukuran ventrikel terhadap jaringan otak dan atrofi serebri.
Computed tomography (CT) perfusi = melukiskan jaringan iskemia
(penumbra) dengan menunjukkan peningkatan waktu transit
yang berarti penurunan aliran darah otak (CBF) dan volume
darah otak normal atau meningkat (CBV), sedangkan jaringan
infark bermanifestasi dengan nyata menurun CBF dan CBV
menurun.
Contrast-enhanced magnetic resonance angiography = merupakan
teknik pilihan untuk pencitraan pada pembuluh darah yang
banyak mengalami perkembangan tidak hanya pada kualitas
gambar namun juga pada kecepatan, ketersediaan, dan
kemudahan penggunaannya.
CT angiography = pemeriksaan radiologi invasif minimal dengan
memasukkan media kontras melalui pembuluh darah vena yang
bertujuan untuk melihat pembuluh darah pada tubuh dengan
menggunakan modalitas CT scan. Peran utamanya yaitu untuk
menunjukkan arteri intrakranial dan dengan demikian dapat

347
membantu menentukan letak oklusi, menggambarkan diseksi
arteri, aliran darah kolateral, dan penyakit aterosklerosis.
CT scan = sebuah pemeriksaan di bidang medis seperti sinar-X
konvensional yang menghasilkan pencitraan atau gambaran
multipel dari struktur dalam tubuh.
Digital subtraction angiography = modifikasi cerebral angiografi yang
merupakan suatu upaya diagnostik dengan cara menginjeksikan
kontras ke arah pembuluh darah menuju otak yang akan
diperiksa melalui kateter.
Dilator = kateter plastik pendek dengan ujung meruncing dan biasanya
terbuat dari bahan yang lebih kaku daripada kateter angiografi
diagnostik.
Duramater = lapisan yang terdiri atas 2 lapis dan menempel rapat
kecuali pada tempat-tempat tertentu yang terpisah dan
membentuk sinus-sinus venosus, menutupi tabula interna
kalvaria dan basis kranii.
Embriologi = bidang ilmu yang mempelajari bagaimana sel tunggal
membelah dan berubah selama perkembangan untuk
membentuk organisme multiseluler.
Faktor eksposi = faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi
yang meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA), dan
waktu eksposi.
Gantry = beberapa perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan
untuk menghasilkan suatu gambaran yang terdiri atas tabung
sinar-X, kolimator, dan detektor.
Gantry tilt = sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan gantry
(tabung sinar-X dan detektor).
Hematokrit = merupakan persentase dari jumlah sel darah merah
yang menentukan viskositas darah.
Infark lakunar = lesi kecil yang disebabkan oleh oklusi arteri perforans
yang disebut juga microstroke, dengan ukuran mulai dari 11,5
cm.
Iskemia penumbra = didefinisikan sebagai jaringan dengan fungsi
yang terganggu, namun secara struktural bentuknya utuh yang
mengelilingi daerah yang infark.

348 Pencitraan pada Stroke


Kolimator = alat yang berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur,
membatasi jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien, serta
untuk meningkatkan kualitas gambar.
Magnetic resonance angiography = suatu metode menciptakan
gambaran pembuluh darah dengan MRI. MRA merupakan
modalitas pencitraan di bidang medis yang dapat memperlihatkan
gambaran pembuluh darah untuk tujuan diagnosis dan terapi.
Magnetic resonance imaging = salah satu alat penunjang diagnostik
yang cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan pada jaringan
otak dan sekitarnya. MRI mampu melakukan 3 macam irisan
dan dapat membedakan jaringan lunak dibandingkan dengan
alat pencitraan yang lain.
Mesencephalon = segmen pendek batang otak di atas pons, melintang
hiatus pada tentorium cerebelli, mengandung cerebral peduncles,
tectum, colliculi (corpora quadrigeminal).
Piamater = membran vaskular yang dengan erat membungkus otak,
menutupi gyri dan menuruni sulki yang paling dalam.
Penumbra = daerah perifer yang mengalami iskemia, tetapi masih
hidup. Daerah ini mempertahankan terjadinya metabolisme
energi dan hanya memiliki perubahan fungsional.
Positron = atau anti elektron ialah antipartikel atau antimateri dari
elektron. Positron memiliki muatan listrik sebesar +1e, spin
, dan memiliki massa sama seperti elektron. Ketika positron
berenergi rendah bertumbukan dengan elektron energi rendah,
pemusnahan terjadi, yang menghasilkan foton sinar gamma.
Positron emission tomography (PET) = adalah metode visualisasi
metabolisme tubuh menggunakan radioisotop pemancar
positron. Oleh karena itu, citra (image) yang diperoleh adalah
citra yang menggambarkan fungsi organ tubuh. Fungsi utama
PET adalah mengetahui kejadian di tingkat sel yang tidak
didapatkan dengan alat pencitraan konvensional lainnya.
Radiografi konvensional = pencitraan 2 dimensi dari struktur 3 dimensi
sehingga bergantung pada kepadatan jaringan yang dilalui oleh
sinar-X.
Radionuklida = atau radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif.
Radionuklida mampu memancarkan radiasi. Radionuklida dapat
terjadi secara alamiah atau sengaja dibuat oleh manusia dalam
reaktor penelitian.

Glosarium 349
Range = perpaduan/kombinasi dari beberapa slice thickness.
Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan
yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.
Rekonstruksi algoritma = prosedur matematis yang digunakan dalam
merekonstruksi gambar.
Rekonstruksi matriks = deretan baris dan kolom dari picture element
(piksel) dalam proses perekonstruksian gambar.
Sindroma subclavian steal = sindroma dimana darah dicuri dari
sirkulus Willisi untuk mencukupi aliran darah ke ekstremitas
superior.
Single photon emission computed tomography (SPECT) = pencitraan
fungsional otak dengan tomografi emisi foton tunggal (single
photon emission tomography/SPET) yang memungkinkan
gambar tiga dimensi aliran darah serebral yang berasal dari data
dua dimensi.
Sirkulasi vertebro-basilar = sirkulasi yang terdiri atas arteri vertebral,
arteri basilar, dan posterior serebral anterior.
Sirkulus Willisi = sistem anastomose yang terpenting di antara sistem
karotid dan vertebrobasilar. Sirkulus ini juga menghubungkan
sirkulasi hemisfer kiri dan kanan karena itu memberikan
mekanisme yang memungkinkan untuk kompensasi
hemodinamik pada kasus-kasus stenosis berat atau oklusi ICA
dan/atau arteri basilar.
Sistem vena profunda = sistem vena yang terdiri atas subependimal,
terminal, kaudatus anterior, dan vena-vena septal yang
bergabung menjadi internal cerebral vein (ICV).
Slice thickness = tebalnya irisan atau potongan dari objek yang
diperiksa.
Stroke = gangguan pasokan darah otak yang dapat terjadi karena
beberapa kondisi patologis termasuk aterosklerosis, trombosis,
emboli, hipoperfusi, vaskulitis dan stasis vena yang dapat
mempengaruhi pembuluh otak dan menyebabkan stroke.
Stroke iskemia = tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Stroke
iskemia merupakan akibat yang ditimbulkan secara umum
oleh aterotrombosis pembuluh darah serebral, baik yang besar
maupun yang kecil.

350 Pencitraan pada Stroke


Supine = merupakan posisi pasien terbaring terlentang dengan kedua
tangan dan kaki lurus dalam posisi horizontal dan posisi ini
merupakan posisi yang paling umum dilakukan.
Teknik Seldinger = sebuah teknik yang dilakukan dengan pertukaran
kateter dan memasukkan preshaped wire dan kateter.
Tracer = disebut juga bahan radioaktif merupakan penanda yang
memungkinkan dokter untuk melihat bagaimana darah mengalir
ke jaringan dan organ.
Transcranial color Soppler = merupakan pemeriksaan untuk mengukur
blood flow velocity yang ditimbulkan oleh pembuluh darah basal
intraserebral. Keuntungannya yaitu non invasif, murah, dapat
dikerjakan dengan mesin yang portable, dan dapat digunakan
untuk monitoring jangka panjang, serta mempunyai resolusi
yang tinggi sehingga sangat ideal untuk memantau respon
dinamik serebrovaskular.
Transient ischemic attack (TIA) = gangguan neurologis fungsional yang
mendadak dan terbatas pada wilayah vaskular dan biasanya
berlangsung kurang dari 15 menit dengan resolusi lengkap
selama 24 jam.
Ultrasonografi = sebuah metode untuk memvisualisasikan bagian-
bagian internal tubuh atau janin dalam rahim dengan
menggunakan gelombang suara ultrasonik, yaitu gelombang
suara yang memiliki frekuensi sangat tinggi (250 kHz 2000 kHz).
Vena = pembuluh darah yang membawa darah menuju jantung.
Darahnya banyak mengandungkarbon dioksida. Umumnya
terletak dekat permukaan tubuh dan tampak kebiru-biruan.
Dinding pembuluhnya tipis dan tidak elastis.
Watershed infark = lesi iskemia yang terjadi di lokasi dengan
karakteristik di persimpangan antara dua wilayah arteri utama.
Window level = nilai tengah dari window yang digunakan untuk
penampilan gambar.
Window width = rentang nilai computed tomography yang dikonversi
menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor.

Glosarium 351
352 Pencitraan pada Stroke
Indeks

A CT Scan 8788
Chiasma Optikus 93
ACA 64
Cold spot 105
Agen pelindung saraf 15
Collection effeciency 98
Agitasi paradoks 139
Computed tomographic angi-
Anamnesis 11
ography 159
Aneurisma 29
Computed Tomography 93
Anatomi otak 45
Constant flush 138
Angiogram
Contrast-Enhanced MRA 187
Persiapan -- 133
Cornu anterior 91
Anterior cerebral artery 64
Couch 80
Aplikasi Klinis TCD 195
CTA 159, 169
Arachnoid 53
Indikasi --
arteri basilaris 60 Kontraindikasi --
Arteri karotis interna 60, 62 CT angiografi
Arteriotomi 148 Peran utama -- , 229
Arteri vertebralis 60 CT scan 93
Ateroma 14 Checklist membaca -- 87
Aterotrombotik Dasar-dasar -- 81
Stroke -- 16 CT Scan
AVM 285 prinsip kerja -- 81

B D
Bahan kontras 139 Daerah penumbra 15
Berat otak 59 Defisit neurologis fokal 35
Biplane angiography 141 Detektor 79
Botterell Diabetes
Skala klinis -- 38 Pasien -- 151
Diagnosis 10
C Diagnostik kateter angiografi
Cairan Serebrospinal 56 131
Cavernoma 28 Diencephalon 55
Cella media index 90 Dilator 137
CEMRA 187 DSA
Cerebral amyloidosis 286 Definisi -- 130
Indikasi -- 131
Cerebral hemispheres 55 Kontraindikasi -- 131
Checklist Peralatan -- 135

353
Pesawat -- 130 Gray matter 54
Serebral -- 130 Guidewire 136
Duramater 52 Gyri serebri 55
E H
eGFR 134 Hamil
Emboli jantung 16 Pasien -- 151
Embriologi otak 45 Hand injection 140
Endapan lemak 14 Hct. lihatHematokrit
Epidemiologi stroke 7 Hematokrit 213
Evaluasi Hemodinamik 17
preprosedur DSA 132 Hipertensi 26
MRI 123 Hipofisis 93
preprosedur
Hipoglikemia 213
DSA 132
Houndsfield unit. lihat jugaNilai
F rata-rata HU
Faktor eksposi 83 I
risiko 9
Falx 53 Impairment 10
Fase Indikasi
kronis 16 CTA
subakut 18 DSA 131
Field of View 83 Infark hiperakut 237
lakunar 17
Fissura sylvii 55
Isian gas 80
FLAIR imaging 223
Flow effects 183186 J
Flushing 140
ganda 140 Janin 64
Foley catheter 135 Jarum 135
Foramen 56,58 K
Foton 79
FOV 83 Kaku kuduk 36
Katerisasi
G arteri karotis 147
arteri vertebralis 148
Ganglionik
Sistem -- 68 Kateter 137
angiografi 137
Gantry tilt 83 diagnostik 138
Germinal Matrix Hemorrhage- Navigasi -- 140
IntraVentricular Hemor- Katrin Holzer 194
rhage 304

354 Pencitraan pada Stroke


Kavernoma 283 MCA 65
Kawat pemandu 136 Meja pemeriksaan 80
Klasifikasi stroke 8 Meningen 52, 54
hemoragik 8 Metformin 151
iskemia 8 Metode Seldinger 144
pembuluh darah 9
Middle cerebral artery 65
stadium/pertimbangan waktu
8 Mikropunktur 151
Koagulopati 150 MRA
Contrast-Enhanced -- 187
Koefisien atenuasi 85
Perbandingan pemeriksaan
Kolimator 79 -- 175
Komplikasi TOF -- 184
Angka -- 152 MR fluoroscopic 189
neuroangiografi 153
MRI 109
neurologis 152
Interpretasi dasar -- 116
non-neurologis 153
Parameter -- 115
Kompresi manual 149 Pencitraan -- 115
Konsul 80 MRI kepala 120122
Kontelasi klinis stroke 33 MRI Kepala
Kontraindikasi Interpretasi -- 123
CTA Multiple mieloma
DSA 131 penyakit --
Kortikal
Sistem -- 68 N
Sistem arteri -- 69
Kriteria identifikasi pembuluh Navigasi kateter 140
darah 209 Nervus optikus 92
Kriteria visualisasi pencitraan 85 Neural
plate 76
k-space 189
Neurocranium 51
Kulit kepala 50
Neuroimaging 14, 21
L Nilai atenuasi normal 90
Nilai rata-rata HU pada beberapa
Laju frame digital 144
zat 86
Laju frame DSA 144
Nyeri kepala 36
Lebar
vena optalmika 91 O
ventrikel III 91
Obat penenang 139
M Onset 36
Magnetic resonance imaging Ovulasi 46
109

Indeks 355
P Proyeksi foto
angiografi 141
Pars servikal 69 Proyeksi PA standar dan lateral
Pasien 142
diabetes 151
Pulsatility index 198
hamil 151
Pediatrik 40 R
Pemeriksaan fisik 11
penunjang 11 radio frekuensi tinggi 114
TCD 199 Radio frequency pulses 115
Pencitraan Radiografi 81, 94
CEMRA 188 Radiolog
vaskular invasif 144 Peran -- 2
perfusi otak 225 Radiologi intervensi 134
Pengelolaan stroke 10 Radiopaque contrast 130
Penumbra Range 83
Daerah -- 15 Rekonstruksi algoritma 84
Penurunan aliran darah 15 matriks 83
Peralatan DSA 135 Restorasi aliran darah 15
Perangkat penutupan vaskular
149 S
Perbaikan stroke 9 SCALP 76
Perfusion-Weighted Imaging Scan
225 parameter 85
Periode unit 78
embrionik 45 Sedasi 139
Persiapan pasien 84 Seldinger
Pesawat DSA 130 Metode -- 144
PET 101, 102 Teknik -- 145
Risiko -- 105 Seldinger, Sven 144
PET-CT 102 Selubung 138
Phase Contrast 186 Serebral DSA 156
Piamater 53 Sheath 138
Piksel 85 Sinar-X 8182
Posisi bola mata 92 Sinus
Posisi pasien 84 dural 72
Positron Emission Tomography kavernosus 73, 74
occipitalis 74
102
petrosal 73
Post angiografi petrosus inferior 75
Manajemen -- 150 petrosus superior 75
Prosedur rektus 74
CT scan 84
356 Pencitraan pada Stroke
sagitalis 74 iskemia 13
sagitalis inferior 74 Stroke iskemia
sagitalis superior 74 Definisi -- 13
sigmoideus 74 Superakut 17
transversus 74
Sven Seldinger 144
venosus 7374
Sirkulasi T
karotis 60
vertebro-basilar 60, 61 TCD 193
Sirkulasi karotis 60 Aplikasi Klinis -- 195
Sirkulasi vertebro-basilar 61, 66 Definisi -- 195
Kelemahan -- 214
Sirkulus wilisi 62, 68, 70 operator 199
Sirkulus willisi Pemeriksaan -- 199
Skema -- 68 Peralatan -- 198
Sistem posisi pasien 199
arterial intrakranial 60 Prinsip Dasar -- 196
ganglionik 68 Teknik -- 195
konsul 80 Teknik
kortikal 68 Seldinger 145
skoring 34 subtraksi 130
Allen 34 TCD 195
Siriraj 35 Terapi insulin 151
Skala Hess dan Hund 38 TGC 201
klinis 38 TIA 19, 21
Skema pembagian otak 54 Time-Of-Flight 183
Skor Times gain compensation 201
ABCD 20
ROSIER 33 Tirah baring 149, 150
Skrening faktor risiko AKI 134 TOF MRA 184
Slice thickness 83 Transcranial Color Doppler 193
Definisi -- 195
Solid state 80
Transducer 198
SPECT 98
Mesin -- 99, 100 Transformasi hemoragik 292
Risiko -- 101 Transient ischemic attack 19, 21
Spektral gelombang Doppler Trombositopenia 151
196 Tulang tengkorak 51
Sphenoid wing 202 Tumor 29, 287
Standar emas 148, 149 Tusukan arteri femoralis 146
Stroke U
aterotrombotik 16
Definisi WHO 5 Ukuran-ukuran normal dalam CT
hemodinamik 17 scan 9092
hemoragik 23

Indeks 357
Ultrasonografi 3
V
Vascular closure devices 149
Vaskulitis 29
Vaskullitis 286
VCD. lihatPerangkat penutupan
vaskular
Velocity 197
Vena serebri 71
Venosus 73
Ventrikel 50, 57
Viscerocranium 51
Volume investigasi 85
W
Warfarin 151
Watershed infark 19, 21
WFNS 38
White matter 54
Window 205
Contoh -- 86
level 84
submandibular 208
suboccipital 205
transorbital 207
transtemporal 200
width 84
Windowing 86
X
Xanthochromia 36

Z
Zat kontras intravaskular

358 Pencitraan pada Stroke


Riwayat Penulis

D
oktor yang bernama lengkap Yuyun Yueniwati
ini lahir di Malang, 31 Oktober 1968. Ia
merupakan anak pertama dari Bapak Wadjib
(almarhum) dan Ibu R.A. Siti Suparsiyah (almarhum).
Hasil pernikahannya dengan dr. Eko Arisetijono Sp.S.
(K) membuahkan 2 orang putra dan seorang putri.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di
SDN Ngaglik I Batu, Malang pada tahun 1981 lalu
menempuh pendidikan menengah pertama di SMPN I
Batu, Malang. Setelah itu, masuk pendidikan menengah atas di
SMA PPSP IKIP Malang dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1987,
ia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan lulus
pada tahun 1994. Untuk mengembangkan kemampuannya sebagai dokter,
ia mengambil Program Pasca Sarjana di Universitas Airlangga Surabaya dan
lulus sebagai Magister (M.Kes.) dalam bidang ilmu FAAL pada tahun 2000.
Ia berhasil menjadi lulusan terbaik IKD Pasca Sarjana UNAIR. Tidak berhenti
di situ, ia pun melanjutkan studinya dengan mengambil spesialisasi radiologi
di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, dan lulus pada tahun
2007. Saat itu, ia berhasil meraih prestasi sebagai juara III Ujian Nasional
BPNRI. Pendidikan tertingginya ia tempuh dengan mengambil Program
Doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, dan lulus
sebagai Doktor pada tahun 2012 dengan prestasi lulus dengan predikat
cum laude dan sebagai wisudawan terbaik UNAIR periode Juli 2012. Pada
tahun 2013, ia mendapatkan gelar konsultan Neuroradiologi dari Kolegium
Radiologi Indonesia (KRI). Selain menempuh pendidikan formal di atas, ia
juga menempuh beberapa pendidikan nonformal yang diikutinya baik di
dalam maupun di luar negeri.
Dalam dunia tulis menulis, ia telah menerbitkan dua buku. Buku
pertamanya yang berjudul Prosedur Pemeriksaan Radiologi dan buku
keduanya dengan judul Deteksi Dini Stroke Iskemia telah mendapatkan
insentif buku ajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Sementara itu, untuk buku ketiganya ini telah
mendapatkan Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi Tahun
2015 dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Direktorat

359
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat.
Awal karirnya dimulai dengan menjadi seorang dokter PTT di
Puskesmas Bareng, Malang. Pada tahun 1996-sekarang, ia aktif sebagai
pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD dr. Saiful
Anwar Malang. Ia juga dipercaya sebagai Sekretaris Program Studi
Radiologi FKUB dari tahun 2012 sampai sekarang.

360 Pencitraan pada Stroke

Anda mungkin juga menyukai