Referat Nefropati Diabetik
Referat Nefropati Diabetik
PENDAHULUAN
Di antara penyakit degenerative atau penyakit yang tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya dimasa yang akan mendatang, diabetes adalah salah satu di
antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang
adalah akibat dari peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan
pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar,
menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung
koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data epidemiologis Negara
berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang dapat di
telusuri terutama berasal dari Negara maju (Suyono, 2006).
Diabetes Melitus (DM) jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung,
pembuluh darah kaki, syaraf, dll. Nefropati Diabetik merupakan komplikasi
mikrovaskular dari diabetes mellitus. Mekanisme patofisiologi nefropati diabetik
tidak sepenuhnya dimengerti. Abnormalitas awal yang dapat dibuktikan termasuk
hipertensi intrarenal, hiperfiltrasi (laju filtrasi glomerulus meningkat[GFR]), dan
mikroalbuminuria. Secara klinis, alat skrining yang paling penting untuk
mengidentifikasi nefropati dari awal adalah deteksi mikroalbuminuria (Evans, 2000).
Nefropati diabetes yang lanjut juga menjadi penyebab utama
glomerulonekrosis dan stadium terakhir penyakit ginjal di seluruh dunia. Antara 20%
dan 40% dari pasien dengan diabetes pada akhirnya berkembang menjadi nefropati,
meskipun alasan mengapa tidak semua pasien dengan diabetes berkembang menjadi
komplikasi yang tidak diketahui. Riwayat alami nefropati diabetik berbeda sesuai
dengan jenis diabetes dan mikroalbuminuria (didefinisikan sebagai > 30 mg tetapi <
300 mg albumin dalam urin per hari) hadir. Jika tidak diobati, 80% orang yang
memiliki diabetes tipe 1 dan mikroalbuminuria akan berlanjut menjadi nefropati yang
jelas (yakni proteinuria ditandai oleh > 300 mg albuminase dieksresikan per hari).
1
Sedangkan hanya 20%-40% dari merekan dengan diabetes tipe 2 selama periode 15
tahun akan mengalami perkembangan sebagaimana Nielsen et al. memperlihatkan
lebih dari satu dekade yang lalu, secara jelas, prediksi awal perkembangan penyakit
adalah meningkatnya tekanan darah sistol, bahkan dalam rentang prehypertensi.
Diantara pasien yang memiliki diabetes tipe 1 dengan nefropati diabetik dan
hipertensi 50% akan terus berkembang menjadi stadium akhir penyakit ginjal dalam
satu dekade (Dronavalli, 2008).
Di dalam laporan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 1995,
disebutkan bahwa nefropati diabetik menduduki urutan no ketiga (16,1%) setelah
glomeruloefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik (18,51%) sebagai penyebab
paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah di indonesia (Roesli,
2001).
Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab gagal ginjal
terminal juga menjadi masalah di negara lain. Di amerika dan eropa, DM telah
menjadi penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal, seiring dengan
meningkatnya prevalensi diabetes sekitar 20%-30% dari penderita DM baik tipe 1
atau tipe II berkembang menjadi nefropati diabetik. Tetapi pada DM tipe II lebih
sedikit terjadinya nefropati diabetik (ADA, 2003).
Sekitar 35% penderita gagal ginjal terminal yang melakukan cuci darah di
Amerika disebabkan oleh nefropati diabetik. Laporan di eropa menyebutkan
prevalensi sebesar 15%, sedangkan prevalensi di Singapura pada tahun 1992 adalah
25%. Perbedaan prevalensi selain disebabkan adanya perbedaan kriteria diagnosis,
mungkin juga disebabkan oleh perbedaan ras, genetik, geografi, atau faktor-faktor
lain yang belum diketahui mengingat mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok
ginjal. Berbagai upaya dilakukan untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetik
sedini mungkin, sehingga progrefitasnya menjadi gagal ginjal terminal dapat dicegah
atau sedikitnya diperlambat (Roesli, 2001)
BAB II
NEFROPATI DIABETIK
2
2.1. DEFINISI
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada
pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200
ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 6 bulan. Di
Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal
terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di antara semua komplikasi DM (Sudoyo, 2006).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama
stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang
diawali dengan nefropati diabetik (Ayodele, 2004). Progresivitas nefropati diabetik
mengarah stadium akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi
(Kronenberg,2008). Angka kejadiannya nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe
1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena
jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1 karena jumlah
pasien diabetes mellitus tipe 2 leih besar banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes
mellitus tipe 2 dengan end-stage renal failure (ESRF) jumlahnya saat ini meningkat
karena meningkatnya pula prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan secara progresif
akan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan
pembuluh darah (Kronenberg, 2008). Insidensi nefropati diabetik terutama banyak
terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan
kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita (Batuma, 2011).
Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian
tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Prognosis yang buruk akan
muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik dan memburuknya fungsi ginjal
3
yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70-100 kali lebih tinggi dari pada
populasi normal. Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih
rendah yitu sepertiga pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa.
Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3
kali lebih tinggi disbanding pasien nondiabetik dalam penyakit ginjal stadium akhir
(Eppens, 2006).
2.3. PREVALENSI
Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan
bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetik dini dalam
waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut
manjadi nefropati diabetik, maka perjalanan penyakitnya tidak dapat dihambat lagi.
Dengan demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan
mengalami gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplatasi ginjal
(Molitch, 2004).
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari
penderita akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar,
tetapi mengingat jumlah penderita diabetes mellitus tipe - tipe lebih banyak maka
secara keseluruhan jumlah penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 akan lebih banyak (Evans, 2008). Prevalensi nefropati diabetik di
Negara barat sekitar 16%. Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang asia
jumlah penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal
ini disebabkan karena penderita diabetes mellitus tipe 2 di Asia terjadi pada umur
yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih
besar. Di Thailand nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Philipine sebesar
20,8%, sedang fi Hongkong 13,1. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari
2,0% sampai 39,3% (Santoso, 2010).
2.5. ETIOLOGI
6
Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik antara lain
(Hendromartono, 2006):
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140 160 mg/dl
[7.7 8.8 mmol/l]); dimana A1C > 7 8 %
2. Faktor-faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
6. Inflamasi
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced
glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
10. Pelepasan growth factors
11. Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
12. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
13. Gangguan ion pump (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ -
ATPase pump)
14. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
15. Aktivasi protein kinase C
2.6. KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari
pada DM tipe 1 daripada tipe 2, dibagi menjadi 5 tahapan (Sudoyo, 2006).
Tahap 1
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang
disertai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masib reversible dan berlangsung 0-5 tahun
sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang
ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
Tahap 2
7
Pada Tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau
kendali metabolic yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya saja
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolic. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (Silent
Stage) atau disebut juga tahap asimptomatik.
Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam
urin adalah 20 200 ig/menit (30 300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat.
Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahun0tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang
kuat.
Tahap 4
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis
lebih jelas, seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dan juga timbul hipertensi pada
sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG
menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan
dengan tingginya tekanan darah.
8
Gambar 1. Gambaran Histologis Nefropati Diabetik
Sumber: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378874112000888
Tahap 5
Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialysis maupun cangkok ginjal.
9
Gambar 2. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik
2.7. PATOFISIOLOGI
Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut (Sudoyo,
2006).
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih belum
jelas, tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini akan terus
berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap menurut Mogensen. Hipertensi yang
timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong
sklerosis pada ginjal pasien DM. diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama
disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Sudoyo,
2006).
10
Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (Permanasari, 2010) :
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah
kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat
kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukan bahwa
hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak ada yang meragukan,
ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati
dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang
akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran
utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah
meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang
disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah
11
penimbunan matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi
nefropati diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes
dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita
diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya
hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi.
Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis
dari nefron tersebut. Jika dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit
ini akan reversible.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi
ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya.
Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi
protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang
berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-
intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein
meningkat maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan
menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan
monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor ini akan merubah
ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel
mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan akhirnya
terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan
dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik
berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal
sebagai bagian dasar terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan
12
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo intertitial.
Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa
yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati
diabetik. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Bethesda,
2010) :
1) Alur metabolik (metabolik pathway)
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara
proses non enzimatik dengan asam amino bebsa menghasilkan AGEs
(Advance Glycosilation End-products) peningkatan AGEs akan menimbulkan
kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan
aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi
peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa
oleh aktivasi enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan
mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan
osmolaritas membran basal.
13
Gambar 3. Patogenesis Nefropati Diabetik
14
Gambar 4. Mekanisme Polyol Pathyway
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose
reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen
Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol
dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivasi aldose
reduktase cukup untuk mengurangi glutachione (GSH) yang merupakan
tambahan stress oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk
mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD-sebagai kofaktor.
2) Alur Hemodinamik
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah.
Faktor hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti
15
angiotensin II. Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati
diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-
hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokonstriksi
sistemik, meningkatnya tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas
permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstraselular, serta stimulasi
chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan
meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor non Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endoteol kapiler. Hal ini
juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita denga
mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe2, lebih banyak terjadi
kematian akbiat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam
patogenesis diabettik kidney disease masih kontroversial, terutama pada
penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada
awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan
bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati
tetapi mempercepat progresive ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta yang
akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta
juga akan meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan dalam
terjadinya nefropati diabetik (Bethesda,2010).
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya
komplikasi kronik pada DM. perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi
pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial ginjal. Semuanya penyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan
komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan glomerular.
16
Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi
perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulsklerosis (Sudoyo, 2006).
Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya
imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah
maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel juga
berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2.
Dipihak lain hiperinsulinemi seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pemberian
insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah
perubahan yang terjadi akibat angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah
maupun pada sel mesangia. Jelas baik faktor hormonal maupun metabolik berperan
dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler diabetis (Sudoyo, 2006).
Jaringan yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM (jaringan
saraf,jaringan kardiovaskuler, sel endotel pembuluh darah dan sel retina (lensa mata)
mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke
dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian
jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan
glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan untuk energi di otot maupun untuk
disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemi kronik, tidak
cukup terjadi down regulation dari sistem transport glukosa yang insulint dependent
ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa, suatu keadaam yang disebut
sebgai hiperglisolia (Sudoyo, 2006).
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut
yang kemudian berfungsi dan berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi
seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik
protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler (Sudoyo,
2006).
Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya
coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol
17
dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi
(NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sorbitol dan fluktosa keduanya
tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui
membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraseluler, dan sel akan
berkembang , bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel karena proses osmotik.
Sebagai lain akibat keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans
metabolik yang secara keseluruhan akan megakibatkan terjadinya kerusakan sel
terkait (Sudoyo, 2006).
Aktifitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH,
diikuti dengan menurunnyarasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP. Rasio sitosol
NADPH terhadap NADP ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi pembuluh
darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP ini dikenal sebagai
keadaan pseudohipoksia. Hal ini yang penting pula adalah bahwa sitosol NADPH
juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defends antioksidans. Glutein
reduktase juga memerlukan sitosol NADPH untuk menetralisasikan sebagai oksidans
intraseluler. Menurunnya rasio NADPH dengan demikian menyebabkan terjadinya
stress oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hiperglikosolia melalui jalur sorbitol ini
juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolic lain seperti terjadinya
glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi preotein kinase C. Jalur Pembentukan
Produk Akir Glikasi Lanjut (Sudoyo, 2006).
Proses glikaso protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ektraselular.
Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stress oksidatif yang meningkat akibat
berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena
proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya oerubahan pada jaringan dan
perubahan pada sifat sel melalui terjadinya Cross linking protein yang terglikosilasi
tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung,
dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau
perubahan pada tempat pengenalannya sendiri (Sudoyo, 2006).
18
Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (RAGE-
Reseptor for Advance Glycation End Product) mungkin merupakan hal penting untuk
meudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara
RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK)
dan transformasi inti dari factor transkipsi gen target terkait dengan mekanisme
proinflamatori dan molekul perusak jaringan (Sudoyo, 2006).
19
peroksidasi membran lipid, aktifasi factor transkripsi (NF-kB), peningkatan oksidasi
LDL dan kemudan juga pembentukan produk glikasi lanjut.
Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies
oksigen reaktif (reactive oxygen spesies-ROS). Produk glikasi lanjut akan
memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan
produk glikasi lanjut. Spesies oksigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui
proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi
pembentukan ROS, melalui perubahan structural dan perubahan fungsi protein
(pembuluh darah, membran sel dsb).
Seperti yang telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur
biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM
melibatkan berbagai proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM.
22
2.8. DIAGNOSIS
Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan
rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan oleh ADA antara lain pemeriksaan terhadap
adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.
Untuk mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan perhitungan LFG
dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu (Sudoyo, 2006).:
2.9. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.
1. Evaluasi
apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau
makroalbuminuria.
2. Terapi
Pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah dengan:
1) Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes);
2) Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi);
3) Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE inhibitor dan
atau ARB);
4) Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lain (pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas, dll) (Sudoyo, 2006).
3. Rujukan
23
Tatalaksana nonfarmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang
sehat yang meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan kebiasaan merokok serta
membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah
dengan berjalan 3 5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10 12 menit/km, 4
sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam dianjurkan sebanyak 4 5
g/hari (atau 68 85 meq/hari) serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat badan
ideal/hari (Sudoyo, 2006).
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah < 130/80 mmHg.
Obat anti hipertensi yang dianjurkan antara lain ACE inhibitor atau ARB,
sedangkan pilihan lain adalah diuretik, kemudian beta blocker atau calcium
channel blocker (Sudoyo, 2006).
Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berjalan terus, saat LFG
mencapai 10 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit atau
serum kreatinin > 6 mg/dl), dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau
peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan
sebaiknya dialisis dimulai. Pilihan pengobatan lain untuk gagal ginjal terminal
adalah cangkok ginjal, dan di negara-negara maju sudah sering dilakukan
cangkok ginjal dan pankreas sekaligus (Sudoyo, 2006).
2.1.0 PROGNOSIS
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria pada kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%.
Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun
pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan NIDDM yang
baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th) biasanya
ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.
24
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari
bermacam-macam penyebab dalam diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga
memperkirakan coronary and peripheral vascular disease dan kematian dari
penyakit kardiovaskular pada populasi umum nondiabetik. Pasien dengan
proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas yang relatif
rendah dan stabil, dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat lebih
tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien dengan IDDM dan proteinuria
memiliki karakteristik hubungan antara lamanya diabetes /umur dan mortalitas
relatif, dengan mortalitas relatif maksimal pada interval umur 34-38 tahun
(dilaporkan pada 110 wanita dan 80 pria).
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien
dengan IDDM dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada pasien
dengan proteinuria dan IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah onset proteinuria,
dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset proteinuria pada pasien
Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular juga penyebab utama kematian
(15-25%) pada pasien dengan nefropati dan IDDM, meskipun terjadi pada usia
yang relatif muda.
BAB III
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
26
3. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2004. Diabetik nephropathy
areview of the natural history, burden, risk factors and treatment.
Dalam:Journal National Medical Association: 144554.
5. Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F., Naso,
A.,dan Romagnoli, G. 1998. The effect of metabolik control on
development and progression of diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology
Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43.
7. Eppens, M. C., Craig, M. E., Cusumano, J., Hing, S., Chan., A. K. F.,
Howard, N. J., Silink, M., dan Donaghue, K. C. 2006. Prevalence of Diabetes
Complications in Adolescents With Type 2 Compared With Type 1 Diabetes.
Diabetes Care, 29, 1300-6.
10. Gustaviani, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV : Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
IV : Nefropati Diabetik . Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
27
14. Makita, Z., Radoff, S., Rayfield, E., Yang, Z., Skolnik, E., Delaney, V.,
Friedman, E., Cerami, A., dan Vlassara, H. 1991. Advanced glycosylation
end products in patients with diabetik nephropathy. Dalam : New Englan
Journal Medicine, 325, 836-42.
15. Marcantoni, C., Ortalda, V., Lupo, A., dan Maschio, G. 1998. Progression
of renal failure in diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant,
13(Suppl 8), 16-19.
16. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as a
risk factor for nephropathy in non-insulin-dependent diabetiks. Dalam :
Journal Gen Internal Medicine, 13, 842-45.
17. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C.
E., Parving, H-H., Steffes, M. W. 2004. Nephropathy in Diabetes. Dalam :
Diabetes Care January, 27 (Supplemen I), 79-83.
18. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.
http://www.scribd.com/doc/47089834/Nefropati-Diabetikum.
20. Roesli, R. Susalit, E. Djafaar, J. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III
: Nefropati Diabetik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
23. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelinus Simadibrata
K, Siti Setiati. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
FK UI : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam hal 1184-88.
28
24. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Diabetes
Melitus Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.
25. The DCCT Research Group. 1993. The effect of intensive treatment of
diabetes on the development and progression of long-term complications in
insulin- dependent diabetes mellitus. Dalam : New England Journal
Medicine, 329, 977-86.
27. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E.
1998. Role of angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose
metabolism and renal injury in diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12 Suppl
1), 7-11.
28. Waspadji, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III : Gambaran Klinis
Diabetes Melitus Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
29