Anda di halaman 1dari 9

1

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epiblefaron merupakan suatu kondisi kelainan kongenital pada palpebra,
dimana muskulus pretarsal dan kulit palpebra inferior berada di atas margo
palpebra inferior dan membentuk lipatan horizontal, sementara palpebra berada
dalam posisi normal. Hal ini menyebabkan bulu mata berada pada posisi vertikal.
Epiblefaron sebaiknya dibedakan dengan entropion, dimana pada entropion margo
palpebra berputar kearah kornea, sedangkan pada epiblefaron, kulit dan otot
pretarsal yang menyebabkan bulu mata memutari tepi tarsal, dan margo palpebra
berada dalam posisi normal.1

2.2 Epidemiologi
Epiblefaron sering ditemukan pada anak-anak di Asia Timur (Cina, Korea,
Jepang) yaitu sebanyak 12,6% pada rentang usia 7-14 tahun. Penelitian
retrospektif di Singapura menunjukkan rata-rata usia pasien epiblefaron adalah 9
tahun, dan 51,9 % dari total 108 pasien adalah laki-laki. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa 90,7% pasien memiliki epiblefaron bilateral dan 70,5%
epiblefaron terjadi di palpebra inferior. Dari seluruh pasien yang diteliti, 82,4%
diantaranya memiliki keratopati.2,3

2.3 Patogenesis
Etiologi epiblefaron belum diketahui secara pasti. Walaupun demikian,
epiblefaron dianggap suatu kelainan kongenital, dimana terdapat defek anatomis
yang diyakini sebagai akibat kegagalan adhesi otot refraktor pada palebra inferior
dengan lamela anterior yang menyebabkan kulit dan otot terlipat ke atas.1
Otot refraktor kelopak mata bawah adalah struktur berlapis ganda. Lapisan
anterior berasal dari ligamen Lockwood menyatu dengan septum orbita dan
jaringan submuskular fibrosa dan melekat pada permukaan anterior lempeng tarsal
inferior dan lapisan subkutaneus melalui otot orbikularis okuli. Lapisan posterior
adalah lapisan traksi utama pada refraktor kelopak mata bawah, termasuk serat
2

otot halus dan masuk ke permukaan anterior, inferior, dan posterior lempeng tarsal
inferior. Lempeng tarsal tidak menggulung ke dalam melainkan tetap pada posisi
normal, sehingga pada epiblefaron lapisan posterior tidak terlalu memegang
peranan signifikan dalam proses terjadinya epiblefaron. Faktor utama yang
diyakini sebagai proses terjadinya epiblefaron adalah lapisan anterior otot
refraktor palpebra inferior.4
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab epiblefaron adalah lemahnya perlekatan
antara otot orbikularis okuli pars tarsalis dan tarsus yang berada di bawah kulit,
sehingga menyebabkan terbentuknya lipatan kulit dekat margo palpebra dan
mendorong bulu mata ke arah kornea. Hal-hal tersebut menyebabkan kulit dan
otot terlipat ke atas, sehingga bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat
menyentuh serta mengiritasi kornea.4

2.4 Manifestasi Klinis


Epiblefaron biasanya terjadi secara bilateral pada palpebra inferior. Pada
epiblefaron, dimana bulu mata mengarah ke bola mata dan dapat menyentuh serta
mengiritasi kornea, gejala yang ditemukan dapat bervariasi. Gejala dimulai dari
asimptomatik, rasa mengganjal, gatal, perih, mata merah, berair-air dan fotofobia.
Keparahan gejala tergantung dari jumlah dan ketebalan bulu mata. Apabila bulu
mata pasien cenderung banyak dan banyak, maka gejala yang ditimbulkan
semakin parah. Penurunan ketajaman penglihatan juga bisa terjadi akibat
astigmatisasi yang disebabkan oleh epiblefaron.5

2.5 Penegakkan Diagnosis


Penegakkan diagnosis epiblefaron dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik pada kelopak mata.5
2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis dapat digali mengenai informasi tentang perkembangan
penyakit. Keluhan utama yang biasanya membawa pasien datang untuk
berobat adalah adanya rasa mengganjal (seperti ada benda asing). Keluhan
lainnya dapat berupa adanya kotoran mata, fotofobia, hiperlakrimasi,
3

penurunan tajam penglihatan, sering menggosok mata, gatal, dan sering


berkedip.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Epiblefaron adalah abnormalitas perkembangan palpebra yang ditandai
dengan adanya lipatan kulit tambahan dan adanya peregangan otot orbikularis
okuli pada pars tarsalis yang melewati dan saling tumpang tindih dengan
margo palpebra. Maka melalui inspeksi, dapat dilihat bahwa ketika silia yang
normal mengarah ke depan, maka pada epiblefaron silia mengarah ke kornea.
Selain itu, karena epiblefaron mendorong silia ke arah kornea dan/atau
konjungtiva maka pada pemeriksaan fisik juga ditemukan gejala-gejala
berupa iritasi konjungtiva atau kornea, mata merah, dan epifora.5

2.6 Diagnosis Banding


Terdapat beberapa penyakit yang memiliki gejala menyerupai gejala yang di
alami oleh pasien epibleparon. Beberapa diantaranya adalah entropion,
distrikiasis, dan trikiasis.1
2.6.1 Entropion
Entropion adalah suatu keadaan di mana margo palpebra terputar ke arah
dalam sehingga silia menyentuh bola mata dan jarang terjadi pada anak-anak.
Keadaan margo palpebra terputar ke dalam dapat dikarenakan skar pada
lamela posterior, involusional retraktor, atau karena kelemahan kelopak mata
horizontal.1
Involusional entropion adalah penyebab entropion terbanyak pada orang
usia lanjut, lebih sering terkena palpebra inferior karena palpebra superior
memiliki lempeng tarsal yang lebih lebar dan lebih stabil.1
Tanda dan gejalanya antara lain iritasi ocular, rasa mengganjal pada
mata, hiperlakrimasi, injeksi konjungtiva, palpebra inferior terlipat ke dalam
dengan bulu mata yang tersembunyi (bisa intermitten ataupun terus-menerus
yang terjadi pada saat mata ditutup paksa atau berkedip dalam posisi supine.2
4

Gambar 2.1 Involusional Entropion


Sikatrikal entropion adalah entropion yang disebabkan oleh skar dan
pemendekan permukaan konjungtiva palpebra. Hal ini biasa disebabkan oleh
infeksi, penyakit inflamasi, trauma kimia, dan post operasi. Gejala dapat
berupa iritasi ocular, rasa mengganjal, nyeri, mata merah, hiperlakrimasi,
banyak kotoran mata, skar pada konjungtiva, dan keratopati. Sikatrikal
entropion dapat terjadi baik pada palpebra superior, inferior, maupun kedua
palpebra.

2.5.2 Distikiasis
Distikiasis berasal dari kata di yang berarti dua dan stichos yang
berarti baris. Distikiasis merupakan suatu kelainan di mana terdapat sebaris
bulu mata tambahan yang berasal dari orifisium glandula Meibom. Hal ini
disebabkan oleh adanya pembentukan bulu mata abnormal pada apparatus
pilosebasea Meibom, kelainan ini bersifat dapat bersifat acquired (didapat),
maupun kongenital (autosomal dominan), dan jarang ditemukan. Glandula
Meibom itu sendiri dapat tidak berkembang sempurna, atrofi, maupun
normal. Silia pada distikiasis umumnya lebih halus, lebih pendek, dan
memiliki pigmen yang kurang.1,3
5

Gambar 2.2. Distikiasis dengan Barisan Bulu Mata Tidak Komplit

Distikiasis yang didapat terjadi ketika glandula Meibom (sebasea) yang


normal pada lempeng tarsal ditransformasikan menjado folikel rambut (unit
pilosebasea) oleh stimulis mekanik ataupun kimiawi. Stimulus ini dapat
berupa kronik inflamasi seperti blefaritis dan meibomitis, kondisi sikatrik
pada mukosa seperti sindrom Steven-Johnson, luka bakar kimia yang berat,
dan trauma pada glandula Meibom.3
Pertumbuhan bulu mata yang abnormal pada glandula Meibom dapat
diliat dengan lebih baik pada pemeriksaan slit lamp, di mana bulu mata yang
abnormal dapat terlihat baik pada satu atau lebih kelopak mata, dan barisan
bulu mata yang lengkap jarang ditemukan. Pertumbuhan bulu mata yang
abnormal ini dapat menyebabkan iritasi pada kornea.1

2.5.3 Trikiasis
Trikiasis adalah suatu kondisi yang didapat (acquired) di mana bulu mata
terputar ke arah bola mata. Pada trikiasis, bulu mata tumbuh secara abnormal,
yang ditandai dengan adanya satu atau lebih silia palpebra superior atau
inferior yang terbalik ke dalam. Bulu mata ini dapat sangat halus, tipis, dam
tidak berpigmen (rambut lanugo), dan hanya dapat dilihat secara mikroskopis.
Pada beberapa ras, trikiasis pada pada palpebra inferior umumnya tumbuh
dekat pungtum. Pada kebanyakan kasus, trikiasis terjadi sebagai akibat proses
penuaan pada kelopak mata, dan tidak terdapat penyakit yang mendasari.3,4
6

Gambar 2.3 Trikiasis

Pada trikiasis, bulu mata berada pada arah yang salah setelah tumbuh
melalui folikel dengan sudut ganjil, baik melalui glandula meibom, maupun
melalui area pada kelopak mata maupun konjungtiva yang normalnya bebas
dari pertumbuhan bulu mata. Pada trikiasis, margo palpebra dan barisan bulu
mata berada pada posisi yang normal (hanya bulu mata yang terputar ke
dalam mengenai kornea), sedangkan pada entropion, palpebra terbalik ke arah
dalam sehingga bulu mata menggesek bola mata.Pasien biasa mengeluhkan
adanya sensasi benda asing dalam mata dan iritasi permukaan ocular kronik.
Abrasi kornea, injeksi konjungtiva, secret mukoid, dan epifora biasa
ditemukan. Pada kasus yang berat, ulkus kornea yang nyata dapat terlihat.3,4

2.7 Penatalaksanaan

Pada banyak kasus, epiblefaron akan sembuh secara spontan seiring dengan
bertambahnya usia, umumnya pada usia enam atau tujuh tahun , ketika tulang
wajah mengalami perkembangan. Pengobatan mungkin saja dibutuhkan apabila
terdapat beberapa gejala iritasi okuler, misalnya pemberian lubrikasi topikal yang
dapat mengurangi gejala. Akan tetapi, lubrikasi topikal tidak akan melembutkan
bulu mata, tetapi hanya membuat bulu mata tidak terlalu bersifat merusak.6

Indikasi untuk intervensi operasi meliputi konjungtivitis kronik, keratopati


disertai lakrimasi dan fotofobia, kebiasaan menggosok mata akibat gatal yang
mengganggu, dan sering berkedip, serta apabila gejala masih menetap hingga usia
di atas sembilan tahun.6,7

Adapun tujuan operasi adalah untuk menciptakan perlekatan atau adesi antara
lamela anterior dengan retraktor palpebra inferior yang dapat mendesak silia
7

palpebra inferior sehingga membalikkan arahnya agar tidak ke arah dalam.8

Prosedur operasi secara kosmetik meliputi insisi kulit di bawah bulu mata
(insisi subsiliar), eksisi sejumlah kecil kulit dan otot orbikularis okuli pars tarsalis,
dan kemudian fiksasi kulit yang berbantal silia ke bawah tarsus dengan eversi
(prosedur Hotz yang dimodifikasi). Tingkat kesuksesan teknik ini adalah sebesar
90%. Prosedur ini biasanya membutuhkan waktu 30 menit untuk setiap palpebra
dan dilakukan dibawah anestesi umum untuk anak-anak. Namun, terdapat angka
rekurensi sebesar 4,9% hingga 23% dengan teknik ini. Untuk mengurangi
rekurensi, dilakukan penambahan teknik, yaitu membagi margo palpebra (lid
margin splitting technique) pada operasi koreksi epiblefaron. Prosedur ini meliputi
eksisi kulit dan otot dan teknik penjahitan kulit silia (a cilia-everting suture
technique).8

2.8 Komplikasi
Oleh karena adanya gesekan antara silia dan permukaan bola mata, maka
dapat menimbulkan komplikasi seperti konjungtivitis, keratopati, keratititis,
maupun ulkus kornea. Selain itu, komplikasi yang dapat timbul adalah adanya
gangguan refraksi dalam hal ini adalah astigmat. Selain akibat entropion itu
sendiri, komplikasi yang dapat timbul adalah sebagai akibat dari teknik
pemnedahan, misalnya teknik penjahitan non insisional Quickert yang memiliki
angka rekurensi dan infeksi yang tinggi yaitu 23% - 29%. Modifikasi Hotz adalah
teknik yang paling banyak digunakan hingga saat ini, tetapi terdapat banyak
reseksi kulit sehingga dapat menyebabkan ektropion dan retraksi kelopak mata.7

2.9 Prognosis
Prognosis epiblepharon adalah baik. Prognosis dalam segi fungsi, apabila
pasien belum mengalami komplikasi dan segera ditangani , maka prognosisnya
akan baik. Dari segi berulangnya penyakit, apabila pasien telah dilakukan
operasi, maka tindakan re-operasi atau operasi kembali jarang dilakukan karena
setelah sekali koreksi, epiblepharon tidak mengalami rekurensi.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Konjungtiva. Dalam:


Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 97-118.

2. Ilyas, S., 2010. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

3. Olver J, Cassidy L. Ophthamology at a Glance: Basic optics and refraction.


Massachussets: Blackwell Science Ltd; 2005.

4. Shen S. Epiblepharon-A development eyelid anomaly Singapore:


www.singhealth.com.sg; 2009 [Diunduh 16 Juni 2017].

5. Jonathan J. Dutton GSG, Alan D. Proia. Diagnostic Atlas of Common Eyelid


Disease. New York: Informa Healthcare; 2007. 265 p.

6. Sang Won Hwang SIK, Jong Hyun Kim, Na Jum Kim, Ho-Kyung Choung.
Lid margin split in the surgical correction od epiblepharon. Acta Ophtalmol.
2008;86:87-90.

7. Hirohiko Kakizaki IL, Yasuhiro Takahashi, Dinesh Selva. Eyelash inversion


in epiblepharon : Is it caused by redundant skin? Clinical Ophtalmology.
2009;3:247-50.

8. Jeffrey A. Nered KDC, Mark A. Alford. Rapid Diagnosis in Ophtalmology :


Oculoplastic and reconstructive surgery. Jay S D, Marian S. Macsai, editor.
England: Mosby Elsevier; 2008. 267 p.
9

Anda mungkin juga menyukai