Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL

Hubungan Hukum dan Moral

Hukum Memiliki hubungan erat dengan moral karena sebuah hukum memerlukan moral.
Hukum tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai moralitas sehingga kualitas hukum sebagian
besar ditentukan oleh mutu moralnya. Sebaliknya moral juga membutuhkan hukum karena moral
akan berada di awang-awang bila tidak diungkapkan dalam masyarakat secara eksplisit dalam
bentuk hukum.
Oleh karena itu, hukum bisa meningkatkan dampak moralitas. Sebagai contoh,
menghormati orang lain merupakan prinsip moral yang penting.Tidak semua moral harus
diterjemahkan dalam bentuk hukum karena hukum juga harus membatasi diri dengan mengatur
hubungan-hubungan antar manusia yang relevan. Bahkan tidak selalu antara moral dan hukum
saling berkaitan karena ada hukum yang berlaku (hukum positive) bertentangan dengan moral
sehingga harus ditolak.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan quid leges sine moribus? (apa artinya undang-undang jika tidak disertai
moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu
kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral
harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya
angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.

Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab
dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-
undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dan moral. Untuk itu
dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan
hukum.

Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak
kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral
sangat jelas.

Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :


1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam
kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif
dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih
banyak diganggu oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap utis
dan tidak etis.

2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri
sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.

3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas.
Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma
etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan
etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak
tenang.

4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun
hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui
oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang
melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan
suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.

Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :

1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam sedangkan
moral berdasarkan hukum alam.

2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia), sedangkan
moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).

3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,

4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara,
sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.

6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral
secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).

2.2.4 Problematika Hukum

Problema paling mendasar dari hokum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh
pengemban kekuasaan. Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:

a. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia yang
berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah yang banyak
sangat dibutuhkan.

b. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami intervensi
kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan
aparatur penegak hukum.

c. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini berakibat
pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang dianggap adil.

d. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan keterbatasan


aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.

e. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan pemahaman


aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan perundang-undangan
tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.

Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol
negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang
lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu
dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat merasakan apa
yang dijanjikan dalam hukum.

Anda mungkin juga menyukai