Anda di halaman 1dari 8

Disorganisasi Keluarga

A. Latar belakang Masalah

Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah
dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling
ketergantungan. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang
memberikan pengaruh yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja.
Dengan kata lain, secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila
mereka bersama keluarganya.
Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) Reproduksi, (b) Sosialisasi, (c)
Edukasi, (d) Rekreasi, (e) Afeksi, dan (f) Proteksi. Sehingga pengaruh keluarga
sangat besar terhadap pembentukan pola kepribadian anak. Keberfungsian
sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta
adaptasi antara keluarga dengan anggotanya, dengan lingkungannya, dan
dengan tetangganya, dan lain-lain.
Kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga
yang ideal salah satunya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota
keluarganya. Namu, jika keberfungsian sosial keluarga itu tidak berjalan dengan
baik akan mengakibatkan terjadinya disorganisasi keluarga yaitu adanya
perpecahan dalam keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan pola
perilaku anak, biasanya sering mengarah ke dalam hal-hal yang negatif seperti
kenakalan remaja.
Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat memenuhi gambaran ideal
sebuah keluarga yang baik. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dewasa ini
telah banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian pada waktu
bersamaan, perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak
menguntungkan bagi keluarga. Misalnya adanya gejala perubahan cara hidup
dan pola hubungan dalam keluarga karena berpisahnya suami/ ibu dengan anak
dalam waktu yang lama setiap harinya. Kondisi yang demikian ini
menyebabkan komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga
menjadi kurang intens. Hubungan kekeluargaan yang semula kuat dan erat,
cenderung longgar dan rapuh. Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali,
telah mengganggu hubungan interpersonal dalam keluarga.
Dalam kaitannya dengan permasalahan remaja, rintangan perkembangan remaja
menuju kedewasaan itu ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi anak
di waktu kecil di lingkungan rumah tangga dan lingkungan masyarakat, di mana
anak itu hidup dan berkembang. Jika seorang individu dimasa kanak-kanak
mengalami rintangan hidup dan kegagalan, maka frustasi dan konflik yang
pernah dialaminya dulu itu merupakan penyebab utama timbulnya kelainan-
kelainan tingkah laku seperti kenakalan remaja, kegagalan penyesuaian diri dan
kelakuan kejahatan. Ekspresi meningkatnya emosi ini dapat berupa sikap
bingung, agresivitas yang meningkat dan rasa superior yang terkadang
dikompensasikan dalam bentuk tindakan yang negatif seperti pasif terhadap
segala hal, apatis, agresif secara fisik dan verbal, menarik diri dan melarikan
diri dari realita ke minuman alkohol, ganja atau narkoba, dan lain-lain.
Dewasa ini permasalahan remaja masih cukup menonjol, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Tidak kurang Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono,
mengkhawatirkan kondisi remaja pada saat ini. Dikemukakan bahwa berbagai
fenomena kegagalan sekarang ini antara lain disebabkan pembinaan keluarga
yang gagal. Lebih jauh dijelaskan bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua
tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja (Media Indonesia , 30
Juni : 16). Selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak
juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah
postitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60 % dari 71.281 orang.
UNICEF Indonesia menyebut angka 30 % dari 40-150.000; dan Irwanto
menyebutkan angka 87.000 pelacur anak atau 50 % dari total penjaja seks (Sri
Wahyuningsih, 2006).
Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang Kenakalan remaja Sebagai
Perilaku Menyimpang Hubungannya Dengan Keberfungsian keluarga yang
ditulis oleh Masngundi HMS bahwa ternyata terdapat hubungan negatif antara
kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Yang artinya semakin
meningkatnya keberfungsian keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan,
peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-
anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah.
Kebiasaan anggota keluarga yang lebih tua, terutama orang tua, sangat
berpengaruh terhadap nilai-nilai yang dimiliki anak. Pertama-tama anak akan
melakukan penipuan atau imitasi terhadap perilaku orang lain, terutama orang
terdekatnya. Bila dalam komunikasi keluarga banyak nilai-nilai kekerasan dan
diskriminasi, maka anak akan menirunya. Misalnya terjadi kekerasan kepada
isteri, maka anak-anak akan meniru pola ini hingga dewasa, sampai ada
penyadaran yang kuat baik diri sendiri maupun lingkungan yang mendukung
untuk menghentikan kekerasan itu.
Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah
dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (Soerjono, Soekanto, 1985 : 73).
Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu
dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya Rules of
Sociological Methode dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal
karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku
dikatakan normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan
demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu
dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak sengaja. Jadi kebalikan dari
perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/ jahat yaitu perilaku yang
disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.
Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang Potret Kehidupan Remaja
Pengguna Narkoba di PPI Surabaya Utara yang mana menyebutkan bahwa
faktor penyebab penyalahgunaan narkoba pertama disebabkan oleh pola
pengasuhan, pengawasan serta perhatian orang tua terhadap anaknya kurang.
(Sukartini, 2006 : 5)
Akhir-akhir ini banyak kita jumpai permasalahan mengenai disorganisasi
keluarga, diantaranya adalah perceraian. Kasus perceraian pasangan suami isteri
sudah mencapai angka yang sangat menghawatirkan, jadi bisa dibayangkan
betapa sebenarnya banyak keluarga di sekitar kita mengalami satu fase
kehidupan yang sungguh tidak diharapkan. Perceraian senantiasa membawa
dampak yang mendalam bagi anggota keluarga meskipun tidak semua
perceraian membawa dampak yang negatif.
Fenomena kekerasan ini dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya terjadi pada
sektor domestik atau urusan rumah tangga (Domestic violence), tetapi juga
terjadi pada sektor publik atau lingkungan kerja (Public violoence). Sebutlah
kekerasan fisik sampai pada sangsi sosial atau psikologis.
Hal ini senada dengan data yang dihimpun oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) APIK. Dalam laporannya, selama 4 bulan awal 2007, LBH APIK
menerima lapioran sebanyak 140 kasus. Dari total laporan kasus tersebut, 83
diantaranya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 26 kasus
perceraian dan hak setelah bercerai, 10 kasus ingkar janji, 6 kasus
ketenagakerjaan, serta 2 kasus nikah di bawah tangan. Sementara itu, kasus
pemalsuan surat nikah, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan terjaring operasi
yustisi masing-masing tercatat 1 laporan. Sedeangkan 9 laporan sisanya dalam
kategori kekerasan lain-lain.
Dari jumlah laporan tersebut, jenis kekerasan psikis dan ekonomi menempati
posisi teratas, sebanyak 28 kasus. Kemudian diikuti oleh kekerasan fisik-psikis
21 kasus, serta kekerasan fisik-psikis-ekonomi 17 kasus. Sisanya masuk
kategori kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual yang berdiri sendiri.
Sementara itu, tingkat penyelesaian seluruh laporan bervariasi. Dari data
tersebut, 30 laporan sedang menjalani proses Perdata, 9 laporan menjalani
proses Pidana, 6 laporan dalam tahap Mediasi, dan 38 sisanya masih dalam
konsultasi.
Berawal dari hal tersebut, maka perlu dicari usaha-usaha untuk menanggulangi
perceraian. Agar apa yang diusahakan dapat berhasil dengan baik maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor determinan
penyebab masalah perceraian tersebut. Perceraian adalah berakhirnya jalinan
seorang suami atau isteri dalam sebuah keluarga untuk melakukan tugas-
tugasnya karena suatu sebab.
Menyadari bahwa di satu sisi keluarga merupakan lingkungan sosial pertama
dan utama bagi tumbuh kembangnya remaja, pada sisi lain remaja merupakan
potensi dan sumber daya manusia pembangunan di masa depan, maka
diperlukan program yang terencana. Program terencana dimaksud akan dapat
dicapai, apabila tersedia data dan informasi yang obyektif dan aktual tentang
permasalahan keluarga maupun remaja. Dalam kerangka itu diperlukan
penelitian ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana disorganisasi dalam keluarga militer di Surabaya ?
2. Bagaimana dampak terhadap kenakalan remaja ?

C. Tujan Penelitian
1. Mengetahui tentang disorganisasi dalam keluarga militer di Surabaya,
2. Mengetahui dampak terrhadap kenakalan remaja dan cara mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk memperkaya kajian mengenai kenakalan remaja,
2. Memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah kenakalan remaja dengan
memanfaatkan keluarga sebagai basisnya,
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refleksi orang tua dan
pemerintah tentang penanganan kenakalan remaja akibat disorganisasi keluarga.

KAJIAN TEORI

Disorganisasi pada keluarga militer di Surabaya. Dengan menggunakan teori-


teori sebagai berikut:

A. Teori Differential Association

Teori ini dikembangkan oleh E. Sutherland yang didasarkan pada arti penting
proses belajar. Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan para
remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang
melandasinya adalah A criminal act occurs when situation appropriate for It, as
defined by the person, is present (Gialombardo : 1972). Selanjutnya
menurutnya perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proposisi
guna mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan
perilaku.
Proposisi tersebut antara lain :
Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara negatif dan
berarti perilaku tersebut diwarisi (genetik). Jika ada salah satu anggota keluarga
yang berposisi sebagai pemakai maka hal tersebut lebih mungkin disebabkan
karena proses belajar dari obyek modal dan bukan hasil genetik.
Kedua, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses
interaksi dengan orang lain dan proses komunikasi dapat berlangsung secara
lisan dan melalui bahasa isyarat.
Ketiga, proses mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan
pergaulan yang sangat akrab. Remaja dalam pencarian status senantiasa dalam
situasi ketidak sesuaian baik secara biologis maupun psikologis. Untuk
mengatasi gejolak ini biasanya mereka cenderung untuk kelompok dimana ia
diterima sepenuhnya dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal ini
mempelajari norma-norma dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah
kelompok negatif niscaya ia harus mengikuti norma yang ada.
Keempat, apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang
dipelajari meliputi : teknik melakukan, motif atau dorongan serta alasan
pembenar termasuk sikap.
Kelima, arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan
hukum.
Keenam, seseorang menjadi delinkuen karena akses dari pola pikir yang lebih
memandang aturaan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya
penyimpangan dari pada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus
diperhatikan dan dipatuhi.
Ketujuh, Differential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu,
prioritas, dan intensitasnya.
Delapan, terdapat stimulus-stimulus seperti: keluarga yang kacau, depresi,
dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah elemen yang
memperkuat respon.
Sembilan, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakan pernyataan
akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum

B. Teori Kenakalan Remaja

Teori ini dikemukakan oleh Albert K Cohen. Fokus perhatian teori ini mengarah
pada suatu pemahaman bahwa perilaku delinkuen banyak terjadi di kalangan
laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk gang . Perilaku delinkuen
merupakan cermin ketidak puasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas
menengah yang cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang
ada dipandang sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan
sesuai dengan keinginan mereka sehingga menyebabkan kelompok usia muda
kelas bawah ini mengalami Status Frustation . Menurut Cohen para remaja
umumnya mencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya
karena adanya perbedaan dalam strutur sosial.

C. Teori Netralisasi
Teori ini dikembangkan oleh Matza dan Sykes. Menurut teori ini orang yang
melakukan perilaku menyimpang disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk
merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan
mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara mengikuti arus
pelaku lainnya melalui sebuah pembenaran (netralisasi). Berbagai bentuk
netralisasi yang muncul pada orang yang melakukan perilaku menyimpang.
Pertama, the denial of responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai
korban dari tekanan-tekanan sosial, misalnya kurang kasih sayang, pergaulan
dan lingkungan, yang kurang baik dan sebagainya.
Kedua, the denial of injury, mereka berpandangan bahwa perbuatan yang
dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat.
Ketiga, the denial of victims, mereka biasanya menyebut dirinya sebagai
pahlawan atau the evenger, dan menganggap dirinya orang yang baik dan
berada.
Keempat, condemnation of the condemnesr, mereka beranggapan bahwa orang
yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang munafik, hipokrit atau pelaku
kejahatan terselubung.
Kelima, appeal to higher loyality, mereka beranggapan bahwa dirinya
terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukum dengan kepentingan
kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung
misalnya kelompok gang atau saudara kandung. (Atmasasmita, 2005)

D. Teori Kontrol Sosial

Teori ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai


kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni tidak melakukan
penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyuimpang (tidak baik). Baik
tidaknya perilaku individu sangat bergatung pada kondisi masyarakatnya.
Artinya perilaku baik dan tidak diciptakan oleh masyarakat itu sendiri (Hagan :
1987). Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial
seseorang dengan masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya
perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol, dan zat
adiktif lainnya.

E. Teori Patologi

Teori ini menyebut satu peristiwa sebagai penyakit sosial murni dengan ukura
moralistik. Artinya semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma
kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, koral, hak milik, solidaritas
kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal.
(Kartono, 1981).

F. Kekerasan (Violence)

Kekerasan atau violence adalah suatu serangan (Assault) baik terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Sumber kekerasan terhadap
manusia salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender
(Gender-related violence) yang terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan/
kekuasaan dalam masyarakat. Macam kekerasan antara lain :
a. Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan.
Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan
seksual tanpa adanya kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan
ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai faktor, seperti ketakutan, malu,
keterpaksaan ekonomi, sosial, dan kultural, bahkan tidak jarang karena adanya
ancaman tertentu,
b. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga
(Domestic violence). Termasuk kekerasan/ penyiksaan terhadap anak (Child
abuse),
c. Penyiksaan organ alat kelamin (Genital mutilation), seperti penyunatan
terhadap anak perempuan, yang salah satu alasannya adalah untuk mengontrol
perempuan,
d. Prostitusi/ pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang
merugikan perempuan,
e. Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini
termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan
dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang,
f. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan strerilisasi dalam Keluarga Berencana
(Enforced sterilitaton). Keluarga berencana di banyak masyarakat menjadi
sumber kekerasan terhadap perempuan. Padahal persoalannya tidak saja pada
perempuan melainkan juga berasal dari kaum lelaki. Karena telah terjadi bias
gender, maka perempuan yang dipaksa untuk melakukan sterilisasi, meskipun
sering kali membahayakan kaum perempuan baik secara fisik maupun kejiwaan,
g. Kekerasan terselubung (Molestation). Misalnya memegang/ menyentuh
bagian tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaanya,
h. Kekerasan terrhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi
dilakukan dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual (Sexual and
emotional harassment). Jenis kekerasan ini yang banyak terjadi adalah
unwanted attention from men. Pelecehan yang terjadi dalam bentuk lelucon
jorok secara vulgar dan ofensif di hadapan keum perempuan, menyakiti, atau
membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang
terhadap kehidupan/ kegiatan seksualnya/ kehidupan pribadinya dalam struktur
organisasi kerja, atau menyentuh/ menyenggol bagian tubuh tanpa serela/ seizin
yang bersangkutan. (Narwoko, 2006 : 343).

Anda mungkin juga menyukai