Anda di halaman 1dari 7

Nama : Darul Kutni

NIM : 03031181520001
Shift : Rabu, 13.0014.40 WIB
Kelompok : 2

PENGARUH TEBAL ISOLASI TERMAL TERHADAP EFEKTIVITAS


PLATE HEAT EXCHANGER

1. Pendahuluan
Heat exchanger merupakan alat yang digunakan untuk proses perpindahan
panas antara dua atau lebih fluida yang berbeda temperaturnya. Di dalam heat
exchanger terjadi perpindahan panas dari fluida yang temperaturnya lebih tinggi
ke fluida lain yang temperaturnya lebih rendah. Di samping itu juga akan terjadi
perpindahan panas dari lingkungan. Perpindahan panas ke atau dari lingkungan
umumnya tidak diharapkan terjadi karena akan dapat mengurangi efektivitas heat
exchanger. Untuk mengurangi besar perpindahan panas ini, suatu heat exchanger
dilengkapi dengan isolator termal. Pada suatu heat exchanger yang berbentuk
silinder dikenal tebal isolator kritis. Pada ketebalan kritis tersebut, perpindahan
panas dari atau ke lingkungan yang terjadi adalah maksimum. Sedang pada heat
exchanger yang berbentuk kotak tidak dijumpai adanya tebal isolator kritis. Hal
ini berarti secara teori semakin tebal isolator yang digunakan maka semakin kecil
perpindahan panas ke limgkungan atau pun dari lingkungan sendiri.
Maka, pertimbangan dalam menentukan tebal isolator yang digunakan
adalah faktor biaya. Semakin tebal isolator yang digunakan berarti semakin besar
biaya yang harus disediakan. Meskipun tidak dijumpai tebal isolator kritis pada
heat exchanger yang berbentuk kotak, namun diduga perpindahan panas ke
lingkungan tidak akan linier terhadap ketebalan isolator. Karena itu, di lakukan
penelitian pada suatu plate heat exchanger (berbentuk kotak) dan mengetahui
bagaimana pengaruh ketebalan isolator untuk efektivitas heat exchanger.
Di dalam suatu heat exchanger selalu terjadi perpindahan panas ke median
lingkungan atau dari median lingkungan yang tidak diharapkan sebelumnya.
Untuk mengurangi perpindahan panas ini digunakan isolator termal. Efektivitas
heat exchanger akan meningkat jika panas yang hilang ke median lingkungan atau
dari median lingkungan dapat dikurangi. Secara teoritis untuk heat exchanger
berbentuk kotak semakin tebal isolator termal yang digunakan semakin kecil pula
panas yang akan mengalir ke median lingkungan atau dari lingkungan.
Pada dasarnya heat exchanger ini memiliki prinsip yang sama dalam
teori perpindahan panas yaitu menggunakan teori konveksi yaitu perpindahan
panas melibatkan perpindahan partikel-partikel yang ada di sekitarannya. Dalam
hal ini terkadang mendapatkan beberapa kendala dalam melakukan upaya
perpindahan dikarenakan sering yang terjadi heat lost pada heat exchanger ini,
seiring dengan masalah itu dilakukan lah suatu upaya dari mengurangi heat lost
yang terjadi yaitu penambahan isolasi pada perancanaan heat exchanger.
Alat heat exchanger yang digunakan dengan skala kecil dengan kerangka
luar terbuat dari besi dengan tebal 3 mm, plat yang digunakan almunium dengan
tebal 1mm, penampang tempat aliran udara panas dan dingin (lebar 50 mm dan
tinggi 15 mm), dimensi heat exchanger (lebar 56 mm dan juga tinggi 53 cm),
Temperatur udara panas masuk 110 oC, Temperatur udara dingin masuk 27 oC.

Gambar 1.1. heat exchanger tanpa isolasi dan tanpa perlakuan khusus
(sumber: Ekadwi, A. 2001)

2. Prinsip Kerja Pengujian


Dalam hal ini di pergunakan isolator termal yang dipakai glasswool tipe
1625 dengan ketebalan 2,5 cm, 5 cm, 7,5 cm, 10 cm, 12,5 cm. Dan juga rockwool
tipe Mighty Roll dengan ketebalan 2,5 cm, 5 cm, 7,5 cm. Lalu dikerjakanlah suatu
pembungkusan isolasi termal dengan beberapa tahapan yaitu pertama dengan cara
membungkus heat exchanger dengan isolator termal, setelah itu kedua mengatur
DC regulator pada tegangan tertentu, kemudian dihubungkan ke blower yang
dihubungkan dengan elemen pemanas, sehingga blower dapat menghasilkan suatu
udara dengan kecepatan tertentu, lalu mengatur AC regulator pada saat tegangan
tertentu sehingga udara panas keluar elemen pemanas pada temperatur 110 oC.
Setelah itu diukurlah temperatur udara yang keluar dari elemen pemanas
dengan thermocouple. Selanjutnya temperatur udara panas mencapai harga yang
ditentukan yaitu 110 oC, blower dihubungkan dengan heat exchanger, kemudian
Mengatur DC regulator pada tegangan tertentu dan dihubungkan dengan blower
untuk menghasilkan udara dengan suhu 27oC yang mengalir dengan kecepatan
tertentu. Sehabisnya memasang thermocouple pada ujung keluaran udara panas
dan udara digin pada heat exchanger Menunggu heat exchanger menjadi dingin.

Gambar 1.2. trayek pada isolasi heat exchanger


(Sumber: Ekadwi, A. 2001)

Dapat dilihat bahwa temperatur keluar udara dingin maupun udara panas
akan meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan udara panas dan juga dingin.
Hal ini bersesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa kecepatan aliran yang
tinggi membuat bilangan reynold meningkat. Kenaikan bilangan reynold membuat
bilangan nusselt meningkat dan hal ini membuat koefisien perpindahan panas
konveksi meningkat. Kenaikan koefisien konveksi membuat perpindahan panas di
antara udara panas dan juga dingin semakin baik, dimana hal ini dapat teramati
oleh melalui cara kenaikan temperatur yang ada di dalam gambar di atas.
Hal ini juga menunjukkan bahwa efektivitas heat exchanger meningkat
dengan bertambahnya ketebalan isolator termal yang dipakai, baik dengan
glasswool maupun rockwool. Namun, peningkatan tersebut tidak terjadi terus.
Setelah mencapai efektivitas maksimum, meskipun tebal isolator ditambah
efektivitas menurun. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwasannya ada ketebalan
isolator termal yang optimum untuk suatu heat exchanger yang di berikan.
Dari penelitian yang dilakukan, didapat bahwa untuk isolator glasswool,
ketebalan optimum untuk plate heat exchanger yang dipakai adalah 7,5 cm.
Sedang untuk isolator rockwool, ketebalan optimum adalah 5 cm. Dan kesimpulan
yang di dapati yaitu Efektivitas plate heat exchanger meningkat jika ketebalan
isolator termal bertambah hingga suatu harga maksimum dan kemudian akan
berkurang. Efektivitas plate heat exchanger dengan isolator rockwool lebih tinggi
dibanding dengan isolator glasswool untuk ketebalan yang di buat sama.

PENGARUH PROSES PENGINTEGRASIAN PANAS TERHADAP


KONVERSI AMONIAK PADA INTERCOOLER REAKTOR AMONIAK
DENGAN ANALISIS EKSERGI DAN PINCH

1. Pendahuluan
Pada industri kimia, salah satu komponen yang mempengaruhi tingginya
biaya produksi adalah biaya bahan bakar. Harga bahan bakar meningkat dari
tahun ke tahun sehingga mempengaruhi harga jual produk di pasar. Di sisi lain,
isu lingkungan hidup menjadi faktor yang juga mempengaruhi biaya produksi,
karena adanya kegiatan industri maka akan menghasilkan limbah yang
memerlukan suatu instalasi pengolahan limbah. Industri pupuk merupakan salah
satu industri kimia dengan biaya produksi tinggi, sedangkan harga jual relatif
rendah. Karena itu pabrik pupuk perlu diintegrasikan dengan pabrik lain, seperti
pabrik amoniak yang mampu untuk menunjang pabrik pupuk baik itu dari segi
penyedian bahan baku maupun menghasilkan produk amoniak yang dapat dijual
langsung ke pasar dengan harga jual yang akan lebih tinggi pada umumnya.
Amoniak yang diproduksi oleh suatu unit yang dipelajari membutuhkan
energi yang cukup besar. Untuk memproduksi 1 ton amoniak cair dibutuhkan gas
alam 13.617 MMBTU sebagai fuel dan 24.570 MMBTU sebagai bahan baku,
dengan total produksi keseluruhan dalam satu harinya sebesar 792 ton per hari.
Reaksi pembentukan amoniak ini dapat terjadi antara gas nitrogen dan hidrogen
berlangsung pada temperatur dan tekanan tinggi. Secara termodinamika, semakin
tinggi temperatur dan tekanan, maka konversi akan semakin rendah. Reaksi yang
terjadi adalah eksotermis dimana reaksi menghasilkan panas buang ke lingkungan.
2. Analisis Eksergi Dan Pinch
A. Analisis eksergi
Dalam termodinamika, eksergi merupakan persilangan antara hukum I
dan hukum II termodinamika. Hukum I termodinamika menyatakan bahwa tidak
ada energi yang berubah secara kuantitas, tetapi terjadi perubahan energi secara
kualitas. Perubahan energi pada sistem sama dengan perubahan energi terhadap
lingkungan. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa terjadi perubahan
dari kualitas tinggi kekualitas rendah, dalam hal ini terjadi perpindahan dari
temperatur tinggi ke temperatur rendah, dan tidak semua panas dapat diubah
menjadi kerja, akan tetapi ada panas yang hilang selama proses terjadi. Hukum II
termodinamika menitik beratkan pada perubahan entropi (S) sedangkan Hukum I
termodinamika menitik beratkan perubahan entalpi (H) yang dapat dirumuskan:

Ex in + Ex gen = Ex out + Ex acc + Ex loss (2.1)

Keterangan :
Ex in : Eksergi masuk
Ex gen : Eksergi general
Ex out : Eksergi keluar
Ex acc : Eksergi diterima
Ex loss : Eksergi terbuang

B. Analisis pinch
Yang dimaksud dengan pinch technology adalah suatu metodologi yang
didasarkan pada prinsip-prinsip termodinamika untuk mengurangi pemakaian
energi pada overall suatu proses. Teknologi pinch digunakan untuk merancang
dan mengembangkan jaringan alat penukar panas, dengan mengintegrasikan aliran
panas (sebagai sumber panas) dengan aliran dingin (sebagai penyerap panas).
Tujuan yang ingin dicapai adalah pemanfaatan panas yang ada di dalam aliran.
Hasil analisa dengan teknologi pinch, mulai diaplikasikan didalam
industri pada tahun 1980-an. Didalam tahap awal pada analisis pinch ini adalah
diketahuinya neraca massa dan neraca panas pada suatu peralatan atau proses,
sehingga dapat tentukan peluang-peluang utama (target) untuk penghematan
energi dan selanjutnya dibuat suatu disain dari Heat Exchanger Network (HEN).
Perancangan dengan teknik pinch ini akan mampu menentukan target energi, yaitu
energi minimum yang seharusnya diperlukan pada suatu jaringan alat penukar
panas. Alat bantu yang dipergunakan dalam teknologi pinch adalah diagram grid,
problem table (tabel masalah), kurva composite, dan kurva grand composite,
Untuk menganalisis pinch pada suatu peralatan, ada dua data yang menjadi acuan
utama, yaitu data dari flowsheet dan data-data thermal. Data pada flowsheet
menunjukkan deskripsi proses keseluruhan, sedangkan data thermal menunjukkan
data-data pada suatu jaringan heat exchanger. Dari data thermal akan diperoleh
suatu target untuk konsumsi energi minimum, dan ditunjukkan composite curve.
Dalam analisa ini dilakukan cara melakukan survei suhu pada lingkungan
sekitar baik itu pagi, siang, sore, dan malam. Data yang di dapati bahwa suhu pada
waktu pagi menuju siang temperaturnya berada di 482,9 oC, waktu siang menuju
sore temperaturnya berada di 464,7 oC, pada waktu sore hari menuju yang akan
menuju malam suhunya berada di 384 oC. Hal ini menunjukan bahwa intensitas
panas yang di telah dan dapat dalam lingkungan akan sangat berpengaruh.
Dari analisis eksergi dan analisis pinch di dapat kesimpulan bahwa dari
analisis eksergi diketahui bahwa titik-titik kehilangan panas yang paling tinggi
terdapat pada setiap bed, hal ini disebabkan karena terlalu beratnya beban heat
exchanger di antara bed sehingga temperatur masuk di setiap bed tidak dapat
konstan. Dengan adanya jaringan alat penukar yang telah dimodifikasi maka
beban heat exchanger dapat dikurangi dan suhu masuk bed dapat di jaga konstan.
Akibat pengaruh temperatur lingkungan yang berbeda pada saat setiap
pagi, sore dan bahkan malam hari, maka konversi akan bervariasi dimana konversi
amoniak yang paling tinggi terjadi pada waktu pagi hari, dimana pada waktu pagi
kehilangan eksergi lebih rendah sehingga konversi lebih besar dibandingkan pada
waktu siang dan malam hari. Dalam melakukan uji ini haruslah menghindari dari
kesalahan-kesalahan didalam perhitungan, karena pada awal analisa di lakukan
dengan mengupayankan perhitungannya terlebih dahulu dibandingkan dari pada
dengan langsung memodifikasi reaktor. Didalam intercooler pun harus hendaklah
temperatur yang masuk menyesuaikan pada lingkungan agar dapat mengintegritas
dari pada kinerja yang akan berlaku pada sistem dari produksi amoniak.
DAFTAR PUSTAKA

Bustan, M.D. 2010. Pengaruh Proses Pengintegrasian Panas Terhadap Konversi


Amoniak Pada Intercooler Reaktor Amoniak Dengan Analisis Eksergi Dan
Pinch. Vol. 13(2): 117-123.
Ekadewi, A. 2001. Pengaruh Tebal Isolasi Termal Terhadap Efektivitas Plate
Heat Exchanger. Vol. 3(1): 73-78.

Anda mungkin juga menyukai