Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Down


2.1.1 Sejarah
Sejarahnya berawal pada tahun 1866, ketika seorang dokter bernama John
Langdon Down, mempublikasikan sebuah esai di Inggris, di mana ia
mendeskripsikan sekelompok anak yang memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan anak-anak lainnya dengan retardasi mental. Down adalah kepala
sebuah rumah sakit untuk anak-anak dengan retardasi mental di Surrey,
Inggris ketika ia membuat perbedaan pertamanya antara anak dengan
kreatinisme (kemudian ditemukan mengalami hipotiroidisme) dan apa yang ia
maksudkan sebagai Mongloid.
Nama yang rasial itu membuat peneliti genetika Asia marah pada awal
tahun 1960an. Kemudian istilah itu tidak dipakai lagi dalam penggunaan
ilmiah dan diganti menjadi Downs Syndrome. Sebuah istilah ilmiah revisi
Amerika, mengubahnya menjadi lebih sederhana menjadi Down Syndrome,
meski Downs Syndrome masih dipakai di Inggris dan beberapa negara di
Eropa.
Pada awal abad ke dua puluh, banyak sekali spekulasi mengenai
penyebab Sindroma Down. Orang pertama yang berspekulasi bahwa itu
mungkin disebabkan oleh adanya kelainan kromosom adalah Waardenburg
dan Bleyer pada tahun 1930an. Tetapi kemudian pada tahun 1959, Jerome
Lejeune dan Patricia Jacobs pertama kali menemukan penyebabnya adalah
trisomi pada kromosom ke dua puluh satu. Kasus mosaik dan translokasi
dipaparkan tiga tahun kemudian (Leshin, 2003).

2.1.2 Etiologi
Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang paling
sering pada bayi baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe
Sindroma Down adalah: trisomi 21 (47, +21), di mana terdapat sebuah salinan

Universitas Sumatera Utara


tambahan pada kromosom 21, diperkirakan 94%. Translokasi Robertsonian
pada kromosom 21, sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah
penyusunan seluruh lengan pada kromosom akosentrik (kromosom manusia
13-15, 21, dan 22) dan juga bisa berupa sebuah translokasi antara kromosom
21 (atau ujung 21q saja) dan sebuah kromosom nonakrosentrik. Trisomi 21
mosaikisme (47, +21/46), terjadi pada 2-3% kasus. Pada bentuk ini, terdapat
dua kelompok sel: sebuah sel normal dengan 46 kromosom dan kelompok lain
dengan trisomi 21.
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh
nondisjunction, sebuah kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah
kegagalan kromosom homolog untuk pemisahan selama meosis I atau meosis
II. Oleh karena itu, satu anak sel menurunkan tiga kromosom pada kromosom
yang terkena dan menjadi trisomi, sedangkan anak sel lainnya menurunkan
satu kromosom yang menyebabkan monosomi.
Kesalahan dalam meosis yang menyebabkan nondisjunction sebagian
besar diturunkan dari ibu; hanya sekitar 5% terjadi selama spermatogenesis.
Kesalahan pada meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu.
Kesalahan yang diturunkan dari ibu paling sering terjadi pada meosis I (76-
80%) dan terjadi pada 67-73% pada kasus trisomi 21. Kesalahan yang
diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada meosis II dan mungkin diakibatkan
oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka terjadi pada 18-20%
kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah biasanya terjadi
pada meosis II.
Mekanisme nondisjunction masih belum jelas. Hal itu mungkin
berhubungan dengan kegagalan pada rekombinasi, di mana proses alami
pemecahan dan penggabungan kembali susunan DNA selama meosis untuk
membentuk kombinasi baru pada gen agar menghasilkan variasi genetik.
Pada beberapa studi, peningkatan risiko pada nondisjunction meosis
telah dihubungkan dengan polimorfik maternal pada gen yang mengkode
enzim yang memetabolisme folat, methylenetetrahydrofolate reductase
(MTHFR) dan methionine synthase (MTRR).

Universitas Sumatera Utara


Diperkirakan 5% kasus kromosom ekstra 21 muncul diakibatkan oleh
kesalahan pada mitosis. Kasus ini tidak berkaitan dengan meningkatnya umur
ibu.
Translokasi trisomi 21, yaitu ketidakseimbangan translokasi
Robertsonian, seluruh lengan panjang pada sebuah kromosom
ditranslokasikan ke lengan panjang pada sebuah kromosom akosentrik melalui
penggabungan sentral. Pada Sindroma Down, bentuk yang paling umum
adalah translokasi yang mengenai kromosom 14 dan 21. Individu yang
memiliki 46 kromosom, tetapi kromosom 14 mengandung lengan panjang
kromosom 14 dan 21. Hal ini memberikan tiga salinan pada lengan panjang
kromosom 21 (dua berasal dari kromosom 21 dan yang ketiga berasal dari
lengan panjang yang ditranslokasikan dari kromosom 14).
Mayoritas translokasi Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21
adalah mutasi yang baru. Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi
terutama selama oogenesis. Sindroma Down yang disebabkan oleh mekanisme
ini tidak berhubungan dengan umur ibu (Roizen et al., 2009).
Sejauh ini, tidak ditemukan hubungan antara Sindroma Down dan diet,
obat-obatan, ekonomi, status, ataupun gaya hidup. Risiko Sindroma Down
juga tidak meningkat meskipun memiliki saudara dengan Sindroma Down.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa Sindroma Down sedikit lebih umum
terjadi pada keluarga dengan penyakit Alzheimer dalam satu atau lebih
anggota keluarga yang lebih tua (Benke et al., 1995).

2.1.3 Genetika
Menurut Hattori et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),
hampir seluruh rangkaian DNA pada lengan panjang kromosom 21 (21q) telah
berhasil ditentukan dan dipublikasikan dalam Nature. Hal ini menunjukkan
sebuah pencapaian baru dalam penelitian Sindroma Down, yang sangat
membantu dalam mengidentifikasikan setiap gen dan rangkaian nonkode pada
21q.

Universitas Sumatera Utara


Panjang dari 21q adalah 31,5 Mb dan diperkirakan 3% dari
rangkaiannya mengkode beberapa protein. Analisis pertama dari 21q
menunjukkan terdapat 225 gen dan 59 pseudogen. Menurut Gardiner et al.
(2003) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), meskipun katalog gen yang
tepat belum dapat disimpulkan, mereka telah memperkirakan 364 gen dan
sangkaan gen dari rangkaian yang selesai dari kromosom 21. Protein yang
dikode oleh gen ini mempunyai beberapa kategori fungsi yaitu faktor
transkripsi, regulator, dan modulator (Sommer dan Henrique-Silva, 2008).
Dalam trisomi 21, kehadiran gen ekstra menyebabkan overexpression
pada gen yang terlibat sehingga meningkatkan produk-produk tertentu. Pada
sebagian besar gen, efek overexpression tersebut memiliki efek yang sedikit
karena tubuh memiliki mekanisme regulasi. Tetapi gen yang terlibat pada
Sindroma Down tampaknya merupakan pengecualian.
Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal meyebutkan
bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya dibutuhkan
untuk membuat efek pada Sindroma Down, yang disebut sebagai critical
region. Kromosom 21 memegang 200-250 gen, tetapi diperkirakan hanya
beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada Sindroma Down
(Leshin, 2003).
Adanya Down Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen
kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab
pada ciri-ciri utama Sindroma Down, telah mendominasi penelitan Sindroma
Down pada tiga dekade terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4Mb
ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan DSCR 2 (Sommer dan Henrique-
Silva, 2008).
Menurut Davies et al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva
(2008), DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of
Calcineurin 1) di overexpress dalam otak fetus Sindroma Down dan
berinteraksi secara fisik dan fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik
sub unit dari kalsium/ calmodulin dependent protein phosphatase. Menurut
Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang

Universitas Sumatera Utara


banyak diekspresikan di otak dan jantung menunjukkan overexpression itu
berhubungan pada patogenesis Sindroma Down, terutama retardasi mental dan
/ atau kelainan jantung. Menurut Vidal-Taboada et al., (2000) dalam Sommer
dan Henrique-Silva (2008), sedangkan DSCR2 lebih banyak diekspresikan
pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan fetus, testis,
dan sel kanker.

Gen-gen yang terlibat dalam Sindroma Down adalah:

Superoxide Dismutase (SOD1) -- overexpression menyebabkan penuaan


dini dan menurunnya fungsi sistem imun. Gen ini berperan dalam
demensia pada tipe Alzheimer
COL6A1 -- overexpression menyebabkan cacat jantung.
ETS2 -- overexpression menyebabkan abnormalitas skeletal.
CAF1A -- overexpression menyebabkan detrimental pada sintesis DNA
Cystathione Beta Synthase (CBS) -- overexpression menyebabkan
gangguan metabolisme dan perbaikan DNA
DYRK -- overexpression menyebabkan retardasi mental.
CRYA1 -- overexpression menyebabkan katarak.
GART -- overexpression menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan
DNA
IFNAR gen yang mengekspresiakn interferon, overexpression
mempengaruhi sistem imun dan organ sistem lainnya (Lewis, 2008).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan
mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai
gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut.
Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja
Sistem saraf pusat: retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(rata-rata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan

Universitas Sumatera Utara


artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
napas atas ke paru mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal
itu sering mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia.
Tingkah laku: spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah
lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami
kecemasan dan keras kepala.
Gangguan kejang: spasme infantil sering terjadi pada masa bayi,
sedangkan kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
Penuaan dini: berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan
rambut lebih awal, hipogonadisme, katarak, kehilangan pendengaran,
hipotiroidisme yang berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit
vaskular degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya
demensia tipe Alzheimer.
Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput
datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic
suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus
maksilaris.
Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%),
strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis,
kongenital katarak (3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat
(30-60%), dan keratokonus pada orang dewasa.
Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar.
Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang
bercelah, pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi,
malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada
pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi
gigi, dan maloklusi.
Telinga: telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.

Universitas Sumatera Utara


Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan
ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas
yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid
berpindah ke belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis.
Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-
50%); hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down
yang berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering
terjadi pada kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung
bawaan yang sering terjadi adalah endocardial cushion defect (43%),
ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%),
tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%).
Sekitar 30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi yang paling
sering adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%).
Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan
Sindroma Down.
Abdomen: rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi.
Sistem saluran cerna (12%): atresia atau stenosis duodenum. Penyakit
Hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan
kriptorkoidisme.
Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan
lipatan fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak
antara dua jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
Sistem endokrin: tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat pada pasien Sindroma
Down. Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi.
Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk
mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia
mieloid. Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar
daripada anak tanpa Sindroma Down. Transient Myeloproliferative

Universitas Sumatera Utara


Disease (TMD) adalah abnormalitas hematologi yang sering mengenai
bayi Sindroma Down yang baru lahir. TMD dikarakteristikkan dengan
proliferasi mieoblas yang berlebihan di darah dan sumsum tulang.
Diperkirakan 10% bayi dengan Sindroma Down mengalami TMD.
Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis,
alopesia areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang (Tarek, 2005).

2.1.5 Skrining Prenatal dan Diagnosis


Sindroma Down adalah abnormalitas kromosom yang paling sering terjadi
pada bayi baru lahir. Umur ibu merupakan satu-satunya faktor risiko untuk
terjadi sindrom ini. Pada ibu dengan umur lebih dari 35 tahun, risikonya akan
meningkat 4 kali. Oleh karena itu, diharapkan semua ibu hamil dengan usia di
atas 35 tahun melakukan skrining prenatal untuk Sindroma Down (Barrs et al.,
2009).
Sebuah penelitian trial telah membandingkan skrining trimester
pertama untuk Sindroma Down dengan skrining trimester kedua (pemeriksaan
yang standard saat ini) dan skrining pada kedua trimester tersebut. Hasilnya
menunjukkan bahwa skrining trimester pertama memiliki efektifitas yang
tinggi, tetapi kombinasi pengukuran pada trimester pertama dan kedua
mempunyai angka deteksi yang lebih tinggi dan angka kesalahan semu yang
lebih rendah (Malone et al., 2005).
Tes integrasi serum memiliki nilai deteksi yang paling tinggi di mana
pengukuran nuchal translucency tidak digunakan. Sedangkan tes quadruple
adalah skrining terbaik pada trimester kedua.
Hasil skrining yang negatif berarti risiko untuk mempunyai bayi
dengan Sindroma Down lebih kecil dari tingkat spesifik cut-off, tetapi itu tidak
menghilangkan kemungkinan untuk mendapat Sindroma Down. Setelah
skrining tes yang positif, akan lebih baik jika orang tua tersebut menemui

Universitas Sumatera Utara


konsultan genetika untuk memberikan informasi yang lengkap dan pilihan
manajemen.
Determinasi kariotip fetus adalah diagnosis defenitif. Pada trimester
pertama, kariotip didapat dari sampel khorionik vili. Pada trimester kedua,
dilakukan amniosintesis untuk analisis kromosom (Barrs et al., 2009).
Metode analisis sitogenik yang banyak digunakan adalah in situ
hybridization (FISH) pada nukleus interfase, menggunakan spesifik probe dari
kromosom 21. Metode alternatif yang saat ini dilakukan di beberapa negara
adalah quantitative fluoresence PCR (QF-PCR). Pada metode ini, penanda
polimorfik DNA (mikrosatelit) pada kromosom 21 digunakan untuk
menentukan adanya tiga alel yang berbeda. Metode lainnya adalah dengan
mengukur salinan rangkaian DNA termasuk pada multiple amplifiable probe
hybridization (MAPH) dan multiplex probe ligation assay (MPLA)
(Antonarakis, 2005).

2.1.6 Manajemen
Semua bayi dengan Sindroma Down harus dievaluasi mengenai penyakit
jantung bawaan dengan mengkonsultasikan ke ahli kardiologi anak.
Ekhokardiogram direkomendasikan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak
memiliki gejala ataupun tidak tampak pada pemeriksaan fisik. Evaluasi klinis
jantung harus berkesinambungan karena risiko prolaps katup mitral dan
regurgitasi aorta yang tinggi pada masa remaja dan dewasa muda.
Pendengaran: bayi baru lahir harus dinilai pendengarannya dan, jika
ada kelainan, maka dibutuhkan evaluasi brainstem auditory evoked response
dan otoacoustic emission. Pendengaran harus dievaluasi secara teratur sejak
masa kanak-kanak.
Ganggua n oftalmologi: penilaian oftalmologi harus dilakukan pada
bayi baru lahir atau paling tidak pada umur 6 bulan untuk menilai strabismus,
nistagmus, dan katarak. Anak-anak yang mengalami hal tersebut harus
melakukan penilaian penglihatan secara berkala.

Universitas Sumatera Utara


Fungsi tiroid: tes fungsi tiroid harus dilakukan pada saat bayi baru
lahir. American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan agar
skrining harus diulang pada umur 6 dan 12 bulan, dan kemudian setiap tahun.
Tinggi dan berat badan harus diukur setiap tahun karena adanya kombinasi
deselerasi dari pertumbuhan linear berkaitan dengan pertambahan berat badan
adalah indikator yang sensitif untuk hipotiroid.
Hematologi: pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan pada saat
lahir untuk mengevaluasi kelainan mieloproliferatif dan polisitemia. Bayi
dengan TMD harus diikuti setiap 3 bulan sampai umur 3 tahun dan setiap 6
bulan sampai umur 6 tahun.
Penyakit periodontal: penyakit periodontal sering pada anak-anak dan
dewasa dengan Sindroma Down. Mekanisme ini diperkirakan karena
perubahan flora normal pada mulut, dengan frekuensi Actinobacillus
actinomycetemcomitansi yang lebih tinggi. Gigi yang tumpang tindih,
kurangnya kebersihan gigi, dan defisiensi sistem imun juga berpengaruh.
Atlantoaksial yang tidak stabil: AAP merekomendasikan pemeriksaan
radiografi pada keadaan atlantoaksial yang tidak stabil atau subluksasio pada
umur 3 sampai 5 tahun. Selain itu, juga dibutuhkan evaluasi neurologis untuk
menilai adanya kerusakan medula spinalis. Skrining ini sebaiknya dilakukan
paling tidak setiap tahun. Anak yang mempunyai gejala neurologis harus
dilakukan pemeriksaan MRI untuk mengetahui apakah terdapat kompresi
medula spinalis dan harus diperlukan pengobatan defenitif.
Pengobatan alternatif: stres oksidatif, ketidakseimbangan produksi dan
pembuangan oksigen, dapat mempengaruhi beberapa gejala dan ciri dari
Sindroma Down, seperti menurunnya sistem imun, penuaan dini, gangguan
fungsi mental, dan keganasan. Suplemen dengan nutrisi antioksidan telah
diajukan untuk terapi Sindroma Down. Suplemen yang dimaksud mencakup
zink, selenium, megavitamin dan mineral, vitamin A, vitamin B6, dan
koenzim Q10. Tetapi dari hasil penelitian, hal ini tidak memberikan pengaruh
yang signifikan bagi pasien.

Universitas Sumatera Utara


Konseling: konseling dapat dimulai sejak diagnosis prenatal ataupun
pada kasus yang dicurigai. Diskusi tersebut sebaiknya mencakup tentang
variabilitas dari manifestasi dan prognosis. Pengobatan medis dan edukasi dan
juga penting untuk dibicarakan (Roizen et al., 2009).

2.1.7 Prognosis
Prognosisnya sangat bergantung pada adanya dan keparahan dari cacat
jantung. Kemungkinan pasien untuk mengalami penyakit saluran napas
meningkat dan dapat terjadi akut leukemia. Apabila sindroma ini mengenai
laki-laki maka akan menjadi infertil. Hampir 80% pasien tanpa cacat jantung
dapat mencapai umur 30 tahun; 60% dari semua pasien masih hidup pada usia
50 tahun. Tinggi badan pada umur 18 tahun antara 136-145 cm untuk wanita
dan 140-162 cm untuk laki-laki. Dari usia dekade keempat, penyakit
Alzheimer harus diperhatikan (Weidemann, 1995).

2.2 Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada Sindroma Down


Sangat penting untuk mengetahui insidensi dan karateristik anatomi dari PJB pada
Sindroma Down, sebab PJB merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi
kelangsungan hidup pasien tersebut (Hayes et al., 1997). Pengetahuan itu juga
berguna untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan yang sesuai sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Secara umum insidensi PJB pada populasi umum adalah 0,8 persen.
Insidensi PJB pada anak dengan Sindroma Down dapat mencapai 50 persen. Tipe
cacat jantung pada anak dengan Sindroma Down dapat dibagi menjadi tiga
kategori umum:

1. Atrioventricular septal defects (AVSD)


2. Ventricular septal defect (VSD), atrial septal defect (ASD), atau patent
ductus arteriosus(PDA)
3. Penyakit jantung kompleks lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Atrioventricular septal defects paling sering terjadi pada pasien ini, yaitu sekitar
60% dari seluruh PJB yang ditemukan pada Sindroma Down. Ventricular septal
defect, ASD, dan PDA terjadi pada 20 persen dari kasus, meskipun cacat ini lebih
sering terjadi pada populasi umum dibandingkan AVSD. Penyakit jantung bawaan
kompleks lainnya adalah Tetralogy of Fallot dan sindroma hipoplastik jantung
kiri.

Sebagai tambahan pada PJB pada Sindroma Down, peningkatan tekanan


darah pada paru (hipertensi pulmonal) memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada
pasien dengan Sindroma Down. Tekanan yang tinggi ini mungkin berkaitan
dengan malformasi jaringan paru, meskipun penyebab pastinya tidak diketahui.
Tekanan yang lebih tinggi itu dapat mengurangi aliran darah ke paru
sehingga mengurangi gejala yang mirip gagal jantung kongestif pada bayi dengan
AVSD lengkap atau VSD yang besar (Cincinnati Children's Hospital Medical
Center, 2006).

2.2.1 Atrioventricular Septal Defects (AVSDs)


Pada kelainan ini tidak terjadi pemisahan antara cincin katup mitral dan katup
trikuspid sehingga terdapat satu lubang besar cincin katup atrioventrikuler
yang menghubungkan kedua atrium dan kedua ventrikel secara bersamaan
(Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Kelainan ini sering menyertai Sindroma
Down. Kemungkinan terjadinya AVSD ini meningkat 1000 kali dibandingkan
pada anak tanpa Sindroma Down (Sherman, 2007).
Karena tingginya tekanan pada ventrikel kiri yang memompa darah ke
seluruh tubuh, maka darah akan merembes ke ventrikel kanan melewati
lubang di dinding pusat jantung (septum) ketika ventrikel berkontraksi. Hal ini
akan meningkatkan tekanan di ventrikel kanan sehingga akan menyebabkan
hipertensi pulmonal.
Gejala awal adalah berupa sulit makan, penambahan berat badan,
pernapasan cepat dan tidak teratur, serta derajat sianosis di mulut, jari tangan
dan kaki. Pemeriksaan klinis menunjukkan pembesaran hati dan jantung, dan

Universitas Sumatera Utara


diagnosis gagal jantung dapat terjadi. Hal ini disebabkan aliran darah dari
satu sisi ke sisi lain, sehingga jantung harus memompa lebih berat dari
keadaan biasa. Akibatnya jantung gagal memompa. Tidak semua anak
menunjukkan gejala pada masa awal kehidupan dan tidak semua juga
memiliki gejala seperti ini (NACD, 2009).
Mayoritas kasus AVSD membutuhkan intervensi bedah pada 6 bulan
pertama kehidupan, karena tingginya angka kematian di atas usia 1 tahun dan
hipertensi pulmonal yang terjadi lebih awal. Anak dengan Sindroma Down
yang menderita AVSD memiliki kelangsungan hidup yang paling jelek (Hayes
et al., 1997).

2.2.2 Ventricular Septal Defects (VSDs)


Terdapat lubang di antara dinding ventrikel. Karena tingginya tekanan di
ventrikel kiri, hal ini menyebabkan darah yang kaya oksigen akan mengalir ke
ventrikel kanan dan kembali ke paru-paru. Jumlah darah yang mengalir
bergantung ukuran lubang dan tekanan antara kedua ventrikel. Adanya aliran
abnormal tersebut mengakibatkan terdengar murmur.
Secara umum, pasien dengan VSD yang kecil tidak menunjukkan
gejala dan dapat ditemukan ketika terdengar murmur pada pemeriksaan rutin.
Pasien dengan VSD sedang terlihat bernapas dengan cepat, penambahan berat
badan yang buruk, dan lambat ketika makan (NACD, 2009).
Pasien dengan defek kecil tidak memerlukan pengobatan apapun,
kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif. Jika
pada umur 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terdapat pembesaran
jantung maka dianjurkan penutupan defek (Soeroso dan Sastrosoebroto,
1994).

2.2.3 Atrial Septal Defects (ASDs)


Pada cacat ini terdapat lubang di atrium. Akibat tingginya tekanan di sisi
sebelah kiri jantung, maka darah yang kaya oksigen akan mengalir ke kanan
jantung melalui lubang tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Terdapat tiga tipe ASD; yang paling sering adalah lubang di tengah
dari septum. Lubang di bagian bawah septum sering dikaitkan dengan masalah
katup mitral yang lemah. Dan yang lebih jarang adalah lubang di atas dari
septum.
Biasanya pasien dengan ASD tidak menunjukkan gejala dan dapat
ditemukan ketika terdengar murmur pada pemeriksaan rutin. Anak dengan
masalah ini dapat mengalami berat badan yang tidak bertambah dan gagal
tumbuh.

Lubang yang kecil biasanya tidak menimbulkan masalah. Jika terdapat


di bagian tengah maka dapat menutup dengan sendirinya. Tetapi, lubang yang
sedang dan besar tidak dapat menutup. Oleh karena itu, pembedahan
dianjurkan pada tahun pertama kehidupan (NACD, 2009).

2.2.4 Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada cacat ini terdapat hubungan langsung antara aorta dan arteri pulmonal,
yang seharusnya menutup setelah lahir. Hal ini menyebabkan tingginya
tekanan di jantung kiri dan meningkatkan jumlah darah yang masuk ke paru-
paru (NACD, 2009).
Jika hanya terdapat sedikit hubungan maka bayi tidak akan
menunjukkan gejala. Defek yang besar akan menimbulkan gagal jantung
kongestif, nadi lebar, dan kebanyakan nadi arterial sangat melambung. Bayi
akan sulit bernapas, lelah, dan buruknya penambahan berat badan.
Tanpa memandang umur, penderita dengan PDA memerlukan
penutupan dengan pembedahan. Pada penderita dengan PDA kecil,
kebijaksanaan untuk menutup adalah untuk mencegah endarteritis atau
komplikasi lambat lainnya. Pada penderita dengan PDA sedang dan besar,
penutupan diselesaikan untuk menangani gagal jantung kongestif (Bernstein,
2000).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5 Tetralogy of Fallot (TF)
Kelainan ini mencakup empat masalah jantung yang berbeda, yaitu defek
septum ventrikel perimembranous, stenosis pulmonal infundibular, overriding
aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Manifestasi klinis TF mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru
lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh.
Manifestasi klinis TF mula-mula dapat mirip dengan defek septum ventrikel
dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga
anak masih kemerahan. Apabila derajat stenosis bertambah, akan timbul
sianosis.
Pengobatan operatif terdiri dari 2 jenis, yakni operasi paliatif untuk
menambah aliran darah paru, dan bedah korektif. Bedah paliatif dilakukan
dengan melakukan shunt procedur, yang tujuannya adalah untuk menambah
aliran darah ke paru. Bedah korektif adalah dengan koreksi total pada pasien
TF dilakukan dengan cara menutup defek septum ventrikel dan eksisi
infundibulum (Pradoso, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai