Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Down (juga disebut trisomi 21) adalah gangguan genetik yang terjadi pada 1
dari 800 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama kerusakan kognitif. Sindrom Down terkait
dengan ketidakmampuan belajar ringan sampai sedang, perkembangan terhambat, ciri wajah dan
otot rendah nada awal masa bayi. Banyak individu dengan sindrom Down juga memiliki
penyakit jantung, leukemia, penyakit Alzheimer, masalah gastro-intestinal, dan masalah
kesehatan lainnya. Gejala sindrom Down berkisar dari ringan sampai berat.

Harapan hidup untuk individu dengan sindrom Down telah secara dramatis meningkat
selama beberapa dekade karena perawatan medis dan keterlibatan sosial telah membaik.
Seseorang dengan sindrom Down dengan kesehatan yang baik rata-rata akan hidup sampai usia
55 atau di luar.

Sindrom Down dinamai setelah dokter Langdon Down, yang pada tahun 1866 pertama
menggambarkan sindrom sebagai gangguan. Meskipun dokter Down membuat beberapa
pengamatan penting tentang sindrom Down, ia melakukan tidak benar mengidentifikasi apa yang
menyebabkan gangguan. Sampai tahun 1959 bahwa para ilmuwan menemukan asal-usul genetik
sindrom Down.

1
BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI

Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai
tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini
akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Sindrom
Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Yaitu berupa kelainan pada kromosom no 15 dan
21, yang biasanya kedua kromosom ini berdekatan. Karena salah satu penyebab yang tidak
seharusnya, terjadilah pemecahan yang disebut dispuntum. Karena suatu penyebab, dapat juga
keadaan ini disebut translokasi yang sifatnya sama karena jumlahnya, tetapi pada pembentukan
gamet berlainan. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling
memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang
paling sering terjadi. Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada
kromosom nomor 21, yang seharusnya dua menjadi tiga, yang menyebabkan jumlah seluruh
kromosom mencapai 47 buah, sehingga disebut trisomi 21. Pada manusia normal jumlah
kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom. Akibat proses tersebut, terjadi goncangan
sistem metabolisme di dalam sel. Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor keturunan.2
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan kemampuan
mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan mental yang
lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan tubuh yang abnormal,
pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan
berbagai masalah kesehatan lain.3

2
EPIDEMIOLOGI

Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi
pada manusia. Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000
kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit memperkirakan
tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru
per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua
kelompok etnis dan di antara semua golongan tingkat ekonomi. Kebanyakan anak dengan
Sindrom Down dilahirkan oleh wanita yang berusia datas 35 tahun. Sindrom Down dapat terjadi
pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam.
Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5 per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita
retardasi mental sekitar 10 %, secara statistik lebih banyak di lahirkan oleh ibu yang berusia
lebih dari 30 tahun, prematur dan pada ibu yang usianya terlalu muda.4

ETIOLOGI

Penyebab kelainan kromosom adalah terjadinya pemecahan kromosom dan pecahnya


hilang/melekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi. Pengaturan kembali yang
dilakukan sel dapat menghasilkan keseimbangan normal tetapi dapat juga menjadi tidak
seimbang. Jika terjadi keseimbangan normal, total materi genetik didalam sel dengan kromosom
normal. Pengaturan semacam ini biasanya tidak akan menimbulkan sindrom klinis. Apabila
terjadi ketidakseimbangan maka terjadi kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan
sel-sel tersebut. Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotif klinis.

Dijumpai penderita Sindrom Down yang hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah
penderita Sindrom Down translokasi 46.t (14q21q). Setelah kromosom dari orang tuanya
diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk
satu autosom 21, 1 autosom 14 dan 1 autosom translokasi 14q21q. Jelaslah bahwa bahwa ibu
merupakan carrier yang walaupun memiliki 45 kromosom 45.XX.t (14q21q) ia adalah normal.
Sebaliknya, laki-laki carrier Sindrom Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya ,
sampai sekarang belum diketahui. (Suryo. Genetika Manusia. 2001).

3
KLASIFIKASI

Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Tipe
pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom
21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet,
2003).

Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus (Lancet, 2003)

Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai
kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si
penderita lebih ringan. (Lancet, 2003).

PATOFISIOLOGI

Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam
nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur
tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas.
Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk untaian
kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam urutan
tertentu.

Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks.
Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam
setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang
pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal dari
kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung

4
23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang
tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.

Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki
45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q 21q.
jelaslah bahwa ibu itu merupakan carrier yang walupun memiliki 45 kromosom 45.xx.t
(14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki carrier Sindrom Down translokasi tidak
dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui. (Suryo.Genetika
Manusia. 2001) (Patofisiologi, Edisi 4. 1994)

Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis
I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh
spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :

a Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar
untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.

Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah


ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak
ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya trisomi
21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom
(47,XX,+21 atau 47,XY,+21).

5
Gambar (1). Kariotipe Trisomi 21.
Sumber:http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/genetics/diseases/downs_s
yndrome.htm

Jika pada trisomi 21 karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada
kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan yang
lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua cara:non-
disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan pemisahan sel
dengan trisomi 21, atau embryo dengan Down syndrome mengalami non-disjunction dan
beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal.
Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah
kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi 14q21q.
Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q). Perkawinan
laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier Down syndrome secara teoritis menghasilkan
keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. (Suryo, 2005). Pada Down
syndrome translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan kromosom normal.

6
Jumlah kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian tambahan dari kromosom ke-21, anak
akan memiliki fitur Down syndrome.6

Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak anak
yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.

Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang
tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan
penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita
sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio
21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama
retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).

Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid dan malabsorpsi


intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan
meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap
proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang
abnormal. Sebagai contoh, anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi
terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab
peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).

Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti
Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir
keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi

7
hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak anak dengan
sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang
berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).

MANIFESTASI KLINIS

Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang dari
normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.8 Secara
fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu: 1,8,9
Sutura sagitalis yang terpisah
Fisura palpebralis yang oblique
Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
plantar crease jari kaki I dan II
Hiperfleksibilitas
Peningkatan jaringan sekitar leher
Bentuk palatum yang abnormal
Tulang Hidung hipoplasia
Kelemahan otot
Hipotonia (Kaplan)
Bercak Brushfield pada mata (Prof Suci, Baby Down Syd)
Mulut terbuka
Lidah terjulur
Lekukan epikantus
single palmar crease pada tangan kiri
single palmar crease pada tangan kanan
Brachyclinodactily tangan kiri
Brachyclinodactily tangan kanan

Jarak pupil yang lebar


Tangan yang pendek dan lebar
Oksiput yang datar

8
Ukuran telinga yang abnormal
Kaki yang pendek dan lebar
Bentuk atau struktur telinga abnormal
Letak telinga yang abnormal
Kelainan tangan lainnya
Kelainan mata lainnya
Sindaktili
Kelainan kaki lainnya
Kelainan mulut lainnya

Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur anak,
misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi yang
tinggi pada sindroma Down, maka gejalagejala tersebut dianggap sebagai cardinal sign dan
petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi yang perlu
diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik
pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada umumnya mirip dengan
ras Mongoloid.8

Gambar (3). Neonatus dengan Sindroma Down.

9
Gambar 4. Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down.

Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga kelainan
klinis antara lain: 9,11,12
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung bawaan
yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%),
secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat septum atrium (6%), dan
isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada patent ductus arteriosus (16%) dan
pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial cushion defects terkait
dengan sindroma Down.
Vision disorders
Hearing disorders
Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih sehingga sering
mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
Wheezing airway disorders
Congenital defek pada gastrointestinal tract
Coeliac disease
Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
Transient myeloproliferative disorder
Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
Atlanto-axial instability,
Anomali saluran kemih
Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata, Vitiligo
Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea corporis,
Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis marmorataivedo
reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis plantar

10
Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan kesabaran
sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan kecemasan dan keras
kepala.
Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan anak-anak
dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja berada pada risiko
tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder dan conduct disorder.
Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome, gangguan depresi, dan dapat terjadi
selama transisi dari remaja sampai dewasa.
Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi, sedangkan-kejang
tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.

Gambar (5). Tanda & gejala sindrom Down

Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh

Temuan Fisik

Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering
kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down

11
mempunyai ciri ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari
yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi
tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007).

Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan
pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi
pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).

Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka
sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat
apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).

Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah, ceria,
cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal
dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003)

Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak anak sindrom
Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit
yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang
meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita
sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang orang lanjut usia
(Am J., 2009).

Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang rata,
occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat,
sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus
maksilaris (John A. 2000).

Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena fissure
palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan

12
refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%), conjunctivitis,
ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan
keratoconus (Schlote, 2006).

Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung
dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006).

Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna,
pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi serta
kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).

Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis
media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira 6080% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga (William W. Hay
Jr, 2002).

Hematologi

Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,


termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang
lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor
myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada
kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient
Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM)
(Lanzkowsky, 2005).

Penyakit Jantung Kongenital

Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.

13
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular Septal Defects
(AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal Defect
(32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated
Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent Ductus
Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis(9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects
adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira kira 30%
mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka (Baliff JP, 2003).

Atrioventricular septal defects (AVD)

Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan


anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio.
Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of
the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary venous return.
Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua
dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang
akhirnya akan menjadi left-to-right shuntpada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi
gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan
(William 2002).

AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan ada salah satu, atau kedua dua
katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui
septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup
atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi jaringan
endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup
mitral.

Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita


mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium primum pada
septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum

14
ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada
ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya
terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal
jantung kongestif (Kallen B.,1996).

Ventricular Septal defect (VSD)

Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of
great arteries,dan corrected transpositions (Freeman SB, 1998)

Secundum Atrial Septal Defect (ASD)

Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang
menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum
interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini juga
disebut sebagai shunt. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB,
1998).

Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang sering
ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah yang
kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup
pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini
akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat
yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal
defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur. Akibatnya
akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis

15
berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve
stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena darah masih lagi
bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah
lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).

Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal menutup
dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi
antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita (Amik K,
2008).

Immunodefisiensi

Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).

Sistem Gastrointestinal

Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte
antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).

Sistem Endokrin

Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem


endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga
10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis,

16
dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada
penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur (Merritt's, 2000).

Gangguan Psikologis

Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.
Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum
Autisme (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

Trisomi 21 mosaik

Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel trisomik
yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).

FAKTOR RISIKO

Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walaubagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.

Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih
tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya
anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).

Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan umur ibu
yang hamil:

17
- 20 tahun: 1 per 1,500

- 25 tahun: 1 per 1,300

- 30 tahun: 1 per 900

- 35 tahun: 1 per 350

- 40 tahun: 1 per 100

- 45 tahun: 1 per 30

DIAGNOSIS
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil yang
memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan
nilai IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada
usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika uji yang lebih
canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat retardasi mental
diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe retardasi mental, yang
mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi mental ringan, sedang, berat,
dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV antara
lain : 13
a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau
kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya
fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam
kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat

18
diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan
diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun

Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan


intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya retardasi
mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi baku.

Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, sindroma X rapuh,
dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya menyebabkan
sekurangnya retardasi mental sedang. 13
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual
yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak sekarang adalah
secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan wawancara
psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi
anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan
penyebab dan prognosis.
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh,
dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat keluarga retardasi
mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat penyakit, klinisi sebaiknya
menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual
pasien.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik tertentu
yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma Down ini dan
kemungkinan memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma Down
dapat dilihat dari gambaran klinis fisik pasien yang telah dijelaskan sebelumnya. 13

19
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah
uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT
test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan
di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang
disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon
human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education
and Research (MFMER), 2011).

b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji
untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk
diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi terutama sindroma Down, di mana dengan
mengambil sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara transabdominal antara usia
kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35
tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.

c. Chorionic villus sampling (CVS)


CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji
untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga
14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.

d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)

20
PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih
tinggi (Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER), 2011).

e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping sangat
penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom Down, karyotyping
dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang tepat. 10

Gambar (6). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21)10

Gambar (7). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 dari lengan isochromosome arm 21q
tipe [46,XY,i(21)(q10)]10

f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)

21
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua diagnosis
prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi untuk trisomi 21
sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara sejarah keluarga sindroma
Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk mosaicism dengan FISH diindikasikan
pada pasien tertentu dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka dengan Alzheimer
onset dini.

g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk mengidentifikasi
penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik. 10

h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial bones dan
sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk menyingkirkan
atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan sebelum anesthesia
diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression. Penurunan sudut iliac dan
acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.10

Diagnosis Banding Sindroma Down


Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah : 14
a. Hipotiroidisme
Terkadang gejala klinis sindroma Down sulit dibedakan dengan hipotiroidisme. Secara kasar
dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan hipotiroidisme sangat lambat dan malas,
sedangkan anak dengan sindroma Down sangat aktif
b.Akondroplasia
c. Rakitis
d.Sindrom Turner
e. Penyakit Trisomi

Penyakit Angka Kelainan Keterangan Prognosis

22
kejadian
Trisomi 21 1 dari 700 bayi baru Kelebihan Perkembangan Biasanya bertahan
(Sindroma Lahir kromosom fisik & mental sampai usia 30-40
Down) 21 terganggu, tahun
ditemukan
berbagai
kelainan fisik
Trisomi 18 1 dari Kelebihan Kepala kecil, Jarang bertahan
(Sindroma 3.000 bayi kromosom telinga terletak sampai lebih dari
Edwards) baru lahir 18 lebih rendah, beberapa bulan;
celah bibir/celah keterbelakangan
langit-langit, mental yg terjadi
tidak memiliki sangat berat
ibu jari tangan,
clubfeet, diantara
jari tangan
terdapat selaput,
kelainan jantung
& kelainan
saluran
kemihkelamin
Trisomi 13 1 dari Kelebihan Kelainan otak & Yang bertahan
(Sindroma 5.000 bayi kromosom mata yg berat, hidup
Patau) baru lahir 13 celah bibir/celah sampai lebih dari 1
langit-langit, tahun, kurang dari
kelainan jantung, 20%;
kelainan saluran keterbelakangan
kemih-kelamin mental yg terjadi
& kelainan sangat berat
bentuk telinga

PENATALAKSANAAN

23
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat
mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus mendapatkan
support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau
fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.

MEDIKAMENTOSA

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan
pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan
terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah
infeksi yang adekuat.

NON MEDIKAMENTOSA

1 Fisio Terapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar untuk
mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang
tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down
Syndrome dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang
dapat mengganggu posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome menyesuaikan
gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya, sehingga
selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Dapat dilakukan seminggu sekali

2 Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3 Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan sensorik
dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS tergantung pada orang lain
atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak memperdulikan

24
orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa
menggunakan alat.
4 Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kemampuan
akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan pelajaran dari sekolah
biasa.
5 Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah rangsangan /
sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang mengalami gangguan
integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar, motorik halus dll.
Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan
otak akan meningkat.
6 Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah berusia
lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-
norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7 Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan medis
tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih belum pasti
manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang membuktikan manfaatnya,
meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS. Terapi alternatif tersebut di
antaranya adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh tertentu
dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat senang
dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka dengan
begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan mengakibatkan
fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil yang
sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf otak
yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang ringan pada
syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya sehingga
daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun dengan
pemijatan pada bagian tubuh tertentu.

25
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama
dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan
medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat beberapa keadaan di mana
anak dengan sindroma Down memerlukan perhatian khusus antara lain: 8
a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru lahir dan
rutin pada anak sindroma Down
b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada bayi baru
lahir
c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma Down dan
pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja
d. Kelainan tulang
e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama
menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan social
f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk sindroma Down
dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sindroma Down
g. Perawatan mulut dan gigi
h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun
i. Konseling genetik.

PROGNOSIS

Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan
berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan,
seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar 44% penderita sindroma
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer
yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.14
Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid.

26
Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga
penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan.
Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80%
kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi untuk menderita kelainan
jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut maka angka harapan hidupnya
berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai
dewasa.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85%
bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50
tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita
sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula
transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan
mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan
adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada
saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar
Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang
disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,
2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil dapat
mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus,
retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah
dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

27
KOMPLIKASI
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi, ada yang
menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat, antara komplikasi yang
timbul termasuk:

Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular

Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak penderita
sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung. Apabila resistensi pada
vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat
dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan
pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung dilakukan setelah
anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang dilakukan lebih baik.
Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi
sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen B, 1996).

Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler, symptom
biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah
pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal.
Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-
pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita hipertensi
arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah
alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley
R, 2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah terjadinya kerusakan
vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini
(prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan
mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal
(Livingstone, 2006).

28
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada penderita sindrom
Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana didapatkan rendahnya
kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom Down (Tyler, 2004)
Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita leukemia. Hal
ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat berhubungan dengan defek
pada kromosom 21.
Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom Down
lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-paru.
Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala demensia sering
muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita demensia juga mempunyai
kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang menyebabkan
penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya sleep apneu tinggi.
Obesitas. Penderita sindrom Down mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk
menjadi obes daripada penduduk umum.
Lain-lain. Sindrom Down juga bisa dikaitkan dengan keadaan kesehatan yang lain,
termasuk masalah gastrointestinal, masalah tiroid, menopause awal, kehilangan
pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah penglihatan.

Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa kehamilan 10-
16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau ibu mengalami keguguran
sebelum usia kehamilan 6-8 minggu.

PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui


amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu
hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down syndrome atau mereka yang hamil di atas
usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki
resiko melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome tidak bisa
dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom.
Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5 bulan) sampai
14minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan segala hal

29
terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya sudah siap
secara mental.

Amniocentesis - Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut ibu bagian
bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang cukup akan dicapai mulai
sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis prenatal, kebanyakan amniocenteses dilakukan
antara 14 dan 20 minggu kehamilan.

Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan. Dalam
prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher rahim dan masuk ke dalam
rahim ke berkembang ke plasenta di bawah bimbingan USG. Pendekatan alternatifnya adalah
transvaginal dan transabdominal. Penggunaan kateter memungkinkan sampel sel dari chorionic
vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan dilakukan analisis kromosom untuk menentukan
kariotipe janin.

Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat menurunkan
angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular misalnya Gene targeting atau
Homologous recombination gene dapat dinon-aktifkan. Sehingga suatu saat gen 21 yang
bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom down dapat di non aktifkan.8-10

30
BAB III
SIMPULAN

Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan


fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kelainan
sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor 21 sehingga
kelainan ini disebut trisomi 21. Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami
keterbatasan kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau
pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan
tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung bawaan, alzheimer,
leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain. Diagnosis sindroma Down dapat ditegakkan
melalui penelusuran riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan sitogenik, amniosentesis, interphase fluorescence in situ hybridization
(FISH), ekokardiografi, dan skeletal radiografi). Penderita sindroma Down ini biasanya bertahan
sampai usia 30-40 tahun. Pada penderita sindroma Down biasanya ditemukan adanya kelainan
jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel dan meningkatnya resiko terkena leukemia. Jika
terdapat kedua penyakit tersebut, maka angka harapan hidupnya berkurang, tetapi jika kedua
penyakit tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.

31
DAFTAR PUSTAKA

1 Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia, Universitas


Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270
2 Adkinson R.L, Brown M.D. Disorders of gender differentiation and sexual development in
Elseviers Integrated Genetics 2007. p 17-20
3 Reed E.P. medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-Hill
Companies. 44th ed. 2005. p 1670
4 N Heyn, Sietske. 2011. Available at: Down
Syndrome.http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm. [Accessed on June
8th 2013.
5 Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down Syndrome.
Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews. 2007; 13: 221
227.
6 Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on June 6th
2013.
7 Mayo C.S Down syndrome. Available at http://www.mayoclinic.com/health/down-
syndrome/DS00182. Accessed on June 2rd 2013.
8 Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html. Accessed on June 3rd 2013.
9 Down syndrome. Genetics Home Reference. 30 Aug 2010. Available at
http://www.ghr.nlm.nih.gov/condition/down-syndrome. Accessed on June 3rd 2013.
10 Care C. masalah sindrom Down. 2009. Available at http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html. Accessed on June 3rd 2013.
11 Saharso D. Sindroma Down. 2006. Available at http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=061214-irky208.htm.
Accessed on June 6th 2013.
12 Lyle R. Down syndrome. 2004. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164. Accessed on June 6th 2013.
13 Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
14 Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al. 2009.

32
15 Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the
United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:1565-1571.
16 Sindrom Down. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31669/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on
June 8th 2013.

33

Anda mungkin juga menyukai