Anda di halaman 1dari 6

Kasus Etika Profesi Akuntansi

Etika Profesi Akuntan


Etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai-nilai
moral.
ilustrasi prinsip-prinsip etika
keterpercayaan (trustworthiness) mencakup kejujuran, integritas, reliabilitas, dan loyalitas.
Penghargaan (respect) mencakup gagasan-gagasan seperti kesopanan, kesopansantunan,
harga diri, toleransi, dan penerimaan.
Pertanggungjawaban (responsibility) berarti bertanggung jawab atas tindakan seseorang serta
melakukan pengendalian diri.
Kesepadanan (fairness) dan keadilan mencakup isu-isu tentang kesejajaran, sikap tidak
memihak, proporsionalitas, keterbukaan, serta perlindungan hukum. Perhatian (caring) berarti
secara sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan sesamanya.
Kewarganegaraan (citizensip) termasuk didalamnya adalah kepatuhan pada undang-undang
serta melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara agar proses dalam masyarakat
berjalan dengan baik.

Contoh kasus
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April tahun 2005
adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota KPU yang diduga melakukan tindakan usaha
penyuapan terhadap auditor BPK. Ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu

(1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia
yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

(2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal
adalah KPU, dan

(3) pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor, yang perannya
diharapkan sebagai pihak independen, berintegritas, dan kredibel, untuk meyakinkan
kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pemberi kerja, dan
KPU sebagai penerima kerja.
Dari teori etika. Profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti
kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan
perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak,
diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip
yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga
harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau
interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa
auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan
moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity),
bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap
kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi
(due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W
Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau
tidak.
1. PRINSIP-PRINSIP ETIKA
Prinsip etika akuntan indonesia terdiri dari enam yaitu tanggung jawab, dalam
melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus berusaha
menjadi profesional yang peka serta memiliki pertimbangan moral atas seluruh
aktivitas mereka. Kepentingan publik, para anggota harus menerima kewajiban untuk
bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan publik, menghargai
kepercayaan publik, serta menunjukan komitmenya pada profesionalisme. Integritas,
integritas adalah mempertahankan dan memperluas keyakinan publik, para anggota
harus menunjukkan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas
tertinggi. Obyektivitas dan Indepensi, anggota harus mempertahankan obyektivitas
dan terbebas dari konflik antar kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab
profesionalnya, anggota yang berpraktek bagi publik harus berada dalam posisi yang
independen baik dalam penampilan maupun dalam kondisi sesungguhnya ketika
menyediakan jasa audit maupun jasa astetasi lainnya. Due care, seorang anggota
harus selalu memperhatikan standar tekhnik dan etika profesi ; selalu berusaha untuk
meningkatkan kompetensidan kualitas jasa yang diberikannya, serta melaksankan
tanggung jawab profesional sesuai dengan kemampuan terbaiknya. Lingkup dan sifat
jasa, anggota yang berpraktek bagi publik harus memperhatikan prinsip-prinsip pada
kode etik profesi dalam menentukan lingkup dan sifat jasayang akan disediakannya.

DILEMA ETIKA
Dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus
membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya..
Dalam tahun-tahun terakhir, kerangka-kerangka kerja resmi telah dikembangkan
untuk membantu masyarakat menyelesaikan dilema etika. Tujuan kerangka kerja
adalah mengidentifikasikan berbagai isu etika dan memutuskan serangkaian tindakan
yang tepat dengan menggunakan nilai yang dianut oleh individu itu. Pendekatan enam
langkah berikut ini dimaksudkan agar dapat menjadi suatu pendekatan yang relatif
sederhana untuk menyelesaikan dilema etika.
memperoleh fakta-fakta yang relevan
mengidentifikasikan isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut.
menentukan siapa yang akan terkena pengaruh dari keluaran(outcome)dilema tersebut
dan bagaimana cara masing-masing pribadi atau kelompok itu dipengaruhi.
mengidentifikasikan berbagai alternatif yang tersedia bagi pribadi yang
harus menyelesaikan dilema tersebut.
mengidentifikasikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada setiap alternatif.
memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

4. KEWAJIBAN BAGI SEORANG AKUNTAN PUBLIK ( AP ) dan ( KAP )


Bebas dari kecurangan (fraud), ketidakjujuran dan kelalaian serta menggunakan
kemahiran jabatannya (due professional care) dalam menjalankan tugas
profesinya.Menjaga kerahasiaan informasi / data yang diperoleh dan tidak dibenarkan
memberikan informasi rahasia tersebut kepada yang tidak berhak. Pembocoran
rahasia data / informasi klien kepada pihak ketiga secara sepihak merupakan tindakan
tercela.
5. Menjalankan PSPM04-2008 tentang Pernyataan Beragam (Omnibus Statement)
Standar Pengendalian Mutu (SPM) 2008 yang telah ditetapkan oleh Dewan Standar
Profesional Akuntan Publik (DSPAP) Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI),
terutama SPM Seksi 100 tentang Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik
(SPM-KAP).
Mempunyai staf / tenaga auditor yang profesional dan memiliki
pengalaman yang cukup. Para auditor tersebut harus mengikuti Pendidikan
Profesi berkelanjutan (Continuing Profesion education) sebagai upaya
untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang
audit dan proses bisnis (business process). Dalam rangka peningkatan
kapabilitas auditor, organisasi profesi mensyaratkan pencapaian poin
(SKP) tertentu dalam kurun / periode waktu tertentu. Hal ini menjadi
penting, karena auditor harus senantiasa mengikuti perkembangan bisnis
dan profesi audit secara terus menerus.
Memiliki Kertas Kerja Audit (KKA) dan mendokumentasikannya dengan
baik. KKA tersebut merupakan perwujudan dari langkah-langkah audit
yang telah dilakukan oleh auditor dan sekaligus berfungsi sebagai
pendukung (supporting) dari temuan-temuan audit (audit evidence) dan
opini laporan audit (audit report). KKA sewaktu-waktu juga diperlukan
dalam pembuktian suatu kasus di sidang pengadilan.

5. LARANGAN BAGI SEORANG AKUNTAN PUBLIK ( AP ) dan ( KAP )


Akuntan Publik dilarang melakukan 3 (tiga) hal :

1. dilarang memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan (general audit)
untuk klien yang sama berturut-turut untuk kurun waktu lebih dari 3 tahun.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kolusi antara Akuntan Publik
dengan klien yang merugikan pihak lain.

2. apabila Akuntan Publik tidak dapat bertindak independen terhadap pemberi


penugasan (klien), maka dilarang untuk memberikan jasa.

3. Akuntan Publik juga dilarang merangkap jabatan yang tidak diperbolehkan


oleh ketentuan perundang-undangan / organisasi profesi seperti sebagai
pejabat negara, pimpinan atau pegawai pada instansi pemerintah, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau
swasta, atau badan hukum lainnya, kecuali yang diperbolehkan seperti jabatan
sebagai dosen perguruan tinggi yang tidak menduduki jabatan struktural dan
atau komisaris atau komite yang bertanggung jawab kepada komisaris atau
pimpinan usaha konsultansi manajemen. Sedangkan, KAP harus menjauhi

Ada 4 larangan yaitu,

1. memberikan jasa kepada suatu pihak, apabila KAP tidak dapat


bertindak independen.

2. memberikan jasa audit umum (general audit) atas laporan keuangan


untuk klien yang sama berturut-turut untuk kurun waktu lebih dari 5
(lima) tahun.

3. memberikan jasa yang tidak berkaitan dengan akuntansi, keuangan dan


manajemen.
4. mempekerjakan atau menggunakan jasa Pihak Terasosiasi yang
menolak atau tidak bersedia memberikan keterangan yang diperlukan
dalam rangka pemeriksaan terhadap Akuntan Publik dan KAP.

6. TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH AUDITOR BPK


Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah
bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima
kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan
komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan
mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana
W Kusumah, walaupun dengan tujuan mulia, yaitu untuk mengungkapkan indikasi
terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan
adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini
adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan
KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga,
menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu
dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor
juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah
satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi.
Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan.
Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan
profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan
prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar
mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana
tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah
diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan
korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya
terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap
kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus
tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga
tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan
dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi
kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh
pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan
oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan
mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK,
maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis
yang ujungnya adalah dugaan korupsi.KPU tampaknya tidak paham bagaimana
menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa
tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya
tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang
hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah
kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan
semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel,
transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang
berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam
rangka mencapai aman pada proses pemeriksaan.
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal,
dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah
Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah. Secara teoritis-
normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana
kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket
sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara
rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu
penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun
jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja.
Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan
bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar,
transparan, dan akuntabel. Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta
informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita
bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak
menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan
tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran
uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan
benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan
korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
7. PEMBELAJARAN UNTUK PARA AUDITOR DI INDONESIA
Belajar dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus
menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang
kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi.
Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel,
transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua
ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan.
Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai
pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana
meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan
akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Seandainya saja penerima kerja sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa dana
yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya
harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel,
maka korupsi bisa dikurangi secara sistematis.Andaikan saja auditor di seluruh
Indonesia, termasuk dari BPK harus sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa
betapa berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang
dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya
secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk
memberantas korupsi di negeri ini.

Pada kasus Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga
melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu :
(1) pihak pemberi kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat
Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

(2) pihak penerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam
hal adalah KPU

pihak independen, dalam hal ini adalah BPK sebagai auditor. Dalam konteks kasus Mulyana
W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak,
pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak
etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima
kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus
Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan mulia, yaitu untuk mengungkapkan indikasi
terjadinya korupsi di tubuh KPU. Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak
bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan
profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan
pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi.
Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada
prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang dilakukan adalah bahwa dengan standar
teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar
mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut
dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam
profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau
memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan
profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan
segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah
terjadi, yaitu dengan jebakan.
Dalam kasus ini kembali lagi kepada tanggung jawab moral seorang auditor di seluruh
Indonesia, termasuk dari BPK harus sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa
berat memegang amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat
yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel,
dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai