Anda di halaman 1dari 9

ENTANG PEMBERSIHAN DIRI

Syaikh Muhammad Effendi Saad As Sinkawani Al Jawi

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

Manusia yang hidup pasti memerlukan kebersihan diri. Manusia yang hidupnya kotor, tidak
seorangpun yang ingin berkawan dengannya, atau menghampirinya, atau bermuamalah
dengannya. Tegasnya, ia dibenci orang dan senantiasa dipandang sebagai orang yang
menjijikkan di mata orang banyak, sehingga ia merasa dirinya terpencil dari mereka. Karena
itulah, apabila badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, ia akan segera
membersihkannya atau menukarnya dengan yang lain. Demikian yang dianjurkan oleh
syariat Islam supaya manusia senantiasa berada dalam keadaan bersih suci, baik secara lahir
maupun batin. Tetapi yang selalu diutamakan dan menjadi perhatian manusia selama ini
hanyalah yang tampak secara lahir, sedangkan yang ada di dalam batin sering kali dilalaikan
dan dibiarkan tidak terurus. Karena itu, pembicaraan dalam bagian ini akan mencoba
memberikan petunjuk ke arah tersebut.

Ada dua cara untuk membersihkan diri kita dari hal-hal yang dijauhi oleh agama :
1. Pembersihan diri yang zahir (jasmani) dengan menggunakan air mutlak (air suci yang
mensucikan) sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat Islam.
2. Pembersihan diri secara batin dan jiwa.

Kita hendaknya sadar akan adanya kotoran dalam jiwa atau batin kita. Kotoran itu adalah
dosa dan kesalahan kita sendiri. Cara menyucikannya adalah dengan bertaubat sebenar-
benarnya taubat (taubatan nasuha). Cara menyucikan batin kita ialah dengan masuk atau
menempuh suatu jalan ruhani atau thariqah yang dibimbing oleh guru ruhani atau Mursyid.

Menurut hukum syariat, wudhu akan batal bila kita membuang air kecil atau membuang air
besar, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari, mabuk dan sebagainya. Setelah
bersetubuh atau selepas haid dan nifas, diwajibkan pula kepada kita untuk mandi
membersihkan hadas besar dari badan, yaitu dengan berwudhu dan mandi.

Mengenai wudhu, ada yang mengatakan bahwa Nabi SAW pernah berkata, Setiap kali
seseorang memperbarui wudhunya, maka Allah akan memperbarui imannya pula, dan cahaya
imannya akan berkilau seperti semula dan menjadi semakin terang, atau yang sama
maksudnya dengan hal ini. Apa yang dikatakan Nabi SAW itu sudah jelas karena bukankah
wudhu itu juga menggugurkan kesalahan-kesalahan kecil, yang dilakukan oleh manusia, baik
disengaja atau sebaliknya. Karena itu pula beliau pernah menyatakan lebih lanjut bahwa
pembersihan, yakni wudhu dan mandi dari hadas itu apabila dilakukan berulang kali akan
menjadi cahaya di atas cahaya, wallahualam. Karena itu, syariat Islam menganjurkan tajdid
wal-wudu atau senantiasa memperbarui wudhu ketika akan melaksanakan ibadah shalat
ataupun sesudah membuang hadas kecil.
Dalam mimpinya Nabi SAW pernah mendengar bunyi terompah sahabatnya, Bilal (muazzin
beliau) di dalam surga. Kemudian beliau bertanya kepada Bilal, Hai Bilal ! Apa yang
engkau lakukan sehingga aku mendengar bunyi terompahmu di dalam surga ?
Bilal menjawab, Hai Rasulullah! Tidak ada yang aku lakukan, selain sering memperbarui
wudhuku setiap kali aku berhadas, dan kemudian aku bershalat sunnah al-wudu atau sunnah
wudu selepas itu.
Kini kita mengerti bahwa kebersihan diri amat penting bagi setiap muslim. Selain itu,
manfaatnya sungguh besar bagi orang yang melakukannya, yang seharusnya tidak boleh kita
abaikan.

1. Membersihkan Ruh atau Jiwa

Hakikat batin atau keadaan hati kita juga bisa tercemar, jika kita terus melalaikan diri kita dan
tidak menjaga gerak-geriknya. Sebagaimana yang tampak pada fisik kita yang bisa saja
menjadi kotor, demikian pula batin kita. Ia dapat dikotori oleh perangai dan perbuatan yang
jahat, serta tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Semua tingkah laku
yang buruk akan membahayakan batin kita, termasuk sifat-sifat negatif, seperti sombong,
takabur, dengki, congkak, suka mengadu domba manusia, fitnah, marah, hasad, syirik, dan
banyak lagi.
Ruh atau jiwa juga bisa kotor karena memakan makanan haram, lisan yang mengeluarkan
kata-kata culas dan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati, telinga yang suka mendengar
fitnah dan mengumpat orang, tangan yang suka melakukan perbuatan buruk, kaki yang
melangkah ke tempat maksiat atau mengikuti orang-orang yang zalim, kemaluan yang
melakukan zina, dan sebagainya. Zina dalam hal ini berlaku umum, bukan hanya berlaku
untuk kemaluan, tetapi dapat pula berlaku untuk mata, telinga, hidung, kaki dan tangan, dan
lain sebagainya. Zina mata dilakukan dengan memandang yang terlarang, yakni yang haram,
zina telinga dilakukan dengan mendengarkan hal-hal yang culas, zina hidung dilakukan
dengan mencium, zina tangan dilakukan dengan memegang, dan zina kaki dilakukan dengan
berjalan ke arah kemaksiatan.

2. Bila Kebersihan Batin Tercemar

Apabila kebersihan batin atau ruhani tercemar dan wudhu keruhanian batal, maka
penyucian diri perlu (wudhu atau mandi keruhanian) diperbarui dengan taubat, yaitu
menyadari dosa yang telah dilakukan dengan penuh penyesalan hingga mengeluarkan air
mata, dan dengan berazam dan bertekad tidak akan mengulangi kembali kesalahan atau dosa
yang sama, serta memohon ampun dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari dosa itu.
Masalah ini tampaknya mudah, namun pada hakikatnya tidak demikian, taubatan nasuha
yang harus dilakukan manusia itu mempunyai beberapa persyaratan yang jika tidak terpenuhi,
tidak akan diterima taubat seseorang itu. Penyesalan adalah salah satu syarat taubatan nasuha.
Tegasnya, bertaubat dengan lisan semata tanpa diikuti oleh hati dan perasaan menyesal, tidak
akan berfaedah sama sekali. Malah hal itu bisa membawa manusia pada celaka dan dosa yang
lebih besar. Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dalam bertaubat.
Hati terlebih dahulu harus dibersihkan dari segala yang mengganggu. Pengganggu hati yang
pertama adalah tuntutan dalam diri terhadap kebendaan dan keinginan hawa nafsu yang selalu
mencemarkan hati. Apabila hati telah bersih, niscaya manusia akan mencari jalan menuju
kepada Allah. Ketika itu hatinya akan dipenuhi dengan takut kepada Allah, taqwanya akan
terlihat dari segala gerak-geriknya, karena ketakutannya itu telah menariknya dekat kepada
Allah. Kini ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Apabila hatinya teringat
pada perbuatan yang jahat, tentu sifat takutnya akan menghalangi dan mengingatkannya
tentang balasan Allah. Dalam keadaan seperti inilah taubatnya akan terkesan dan kemudian
menjadi taubatan nasuha.
Mukmin itu harus meninggalkan tabiat yang terdahulu dan bergerak ke arah Tuhannya.
Selagi dia mengikuti jalan yang biasa, yakni jalan tabiatnya yang dahulu, niscaya dia akan
terjerumus ke dalam pengaruh-pengaruh negatif yang akan mencelakakan dirinya. Dia akan
kembali berbuat dosa dan kesalahan yang sudah biasa dilakukannya, karena tabiat sudah
melekat pada dirinya. Dosa yang terus-menerus dilakukan itu melanggar perintah syariat, dan
perintah syariat juga merupakan perintah Allah.
Seandainya dia gagal menahan diri dari perbuatan buruk dan jahat itu, maka hendaknya dia
memohon bantuan kepada Allah dengan jujur dan ikhlas agar Allah melimpahkan taufiq dan
hidayah-Nya sehingga dia dapat meninggalkan dosa dan maksiat itu. Semua perasaannya
seharusnya ditujukan hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang selain Dia.

3. Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat

Shalat adalah menghadirkan diri di hadapan Allah. Bersuci dan berada dalam keadaan suci
merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat.
Orang yang bijaksana mengetahui bahwa kebersihan secara zahir saja tidak cukup. Allah
melihat jauh ke dalam hati (jiwa atau ruh) manusia. Dan hati perlu disucikan. Penyuciannya
ialah dengan cara bertaubat. Hanya dalam keadaan suci, shalat yang kita lakukan akan
diterima Allah.
Hukum ini adalah simbol yang digunakan oleh ahli tasawuf atau orang-orang Sufi. Apabila
shalat itu dilakukan dengan hanya memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki, maka dari segi
hukum zahir, shalat itu sah dan benar. Tetapi dari segi hukum batin, shalat yang dilakukan itu
masih menimbulkan tanda tanya lagi. Adakah shalat yang tidak disertai dengan kekhusyukan
dan merendahkan diri dapat diterima sebagai shalat ? Shalat yang dipenuhi dengan ingatan
tentang sesuatu di luar shalat, misalnya khayalan yang mengganggu dan pikiran-pikiran
tentang keduniaan, apakah itu bisa disebut shalat ? Padahal Nabi SAW mengingatkan bahwa
dalam shalat kita harus khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, menenangkan pikiran,
memfokuskan tujuan, dan sebagainya. Karena itu pula, ada sebagian ulama yang bersikap
keras terhadap masalah ini dengan menghukumkan bahwa semua shalat yang tidak disertai
kesadaran semua gerakan fisikal, tidak dapat dinamakan shalat. Dan bila tidak dinamakan
shalat, maka shalat tidak dapat disebut sebagai shalat yang sesungguhnya.
Semua ini muncul dari banyaknya dosa dalam diri orang itu, banyaknya kesalahan yang tidak
dipedulikannya, yakni dosa belum dihapus dan dibersihkan dengan cara bertaubat. Karena
itu, dirinya kotor, dan bila diumpamakan ia seperti seseorang yang menghadap raja dengan
pakaian kotor. Bagaimanakah orang itu nanti ?
Ingatlah, bahwa hal ini amatlah penting, yang tidak boleh dilalaikan secara terus-menerus.
Segeralah kembali kepada Allah dan menyucikan diri dengan memperbanyak taubat yang
sebenar-benarnya.

Allah berfirman : Dan bertaubatlah (kembalilah) kepada Allah, wahai orang-orang yang
beriman sekalian, mudah-mudahan kamu akan beruntung ! (Q.S. An-Nur: 31)

Allah juga berfirman : Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu bagi setiap hamba yang selalu
kembali bertaubat (bertaubat sebenarnya kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-
peraturannya). (Q.S. Qaaf : 32)

Penyucian badan dengan berwudhu dan mandi adalah perintah menurut syariat dan hukum
agama Islam. Penyucian itu berkaitan dengan waktu. Misalnya, orang yang sudah bersuci,
tetapi tiba-tiba ia tertidur, maka batallah wudhunya. Karena itu, ia harus berwudhu kembali.
Jelasnya, pembersihan zahir ini terikat oleh waktu, malam dan siang, dalam kehidupan di
dunia yang nyata ini.
Contoh yang lain, orang yang merasakan badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran,
maka wajarlah bila dia segera membersihkan badan dan pakaiannya itu. Dia tidak ingin
tampak kotor di antara teman-temannya ataupun di antara orang-orang yang duduk bersama-
samanya. Kemudian dia segera menyucikan diri.

Tetapi penyucian batin atau ruhani tidak terikat oleh waktu. Penyucian ini berlangsung
sepanjang hidup di dunia hingga akhirat. Bila selama ini manusia merasakan betapa beratnya
membersihkan badan dan pakaian mereka, pembersihan diri secara ruhani justru lebih berat
lagi, karena kotoran batin lebih berbahaya daripada kotoran lahir. Kotoran lahir lebih
bertumpu pada keadaan fisik atau jasmani manusia, sedangkan kotoran batin terfokus pada
hubungan dengan Tuhan. Jika hati seseorang kotor, maka semua amalannya terhadap Tuhan
akan terganggu dan tidak terkawal. Karena itu, wajar sekali bila dia harus memberikan
perhatian khusus terhadap permasalahan ini agar dia selamat di dunia dan akhirat.

4. Pembersihan Diri Memerlukan Mujahadah terhadap Nafsu

Nafsu adalah pengeras utama terhadap jiwa dan hati. Jika kita terlalu mengikutkan
kehendaknya, akhirnya kita akan binasa, karena sekali saja nafsu dapat mengalahkan kita,
maka ia akan terus menuntut setiap waktu sehingga kita tidak berdaya lagi.
Terlalu larut dalam hal-hal kenafsuan dan kebendaan dapat mengeraskan hati, melemahkan
akal pikiran, menambah banyak tidur dan lalai, menimbulkan tabiat tamak dan serakah, serta
menarik manusia kepada angan-angan yang kosong. Tabiat-tabiat ini ibarat penyakit yang
kronis, yang apabila menimpa jiwa, maka kecelakaan akan menimpa diri kita. Kecelakaan itu
tidak hanya menimpa kita di akhirat, tetapi juga di dunia.
Akan tetapi, apabila hati seseorang tenang dan tentram, hati itu akan dipenuhi dengan ilmu, di
mana dengan ilmu itu ia akan mendapat Nur atau cahaya untuk menghapuskan segala maksiat
dan dosa, sebagaimana dikatakan bahwa Api neraka akan padam oleh cahaya orang Mumin,
ketika si Mumin itu mendekati api neraka.
Demikianlah perumpamaannya, mudah-mudahan kita mengerti. Para murid Nabi Isa as
pernah memohon kepadanya dengan berkata, Tolonglah ajarkan kepada kami ilmu yang
tertinggi manfaatnya ! Nabi Isa as menjawab, Takutlah kepada Allah, terimalah qadha dan
taqdir-Nya dengan penuh ridha, dan cintailah Dia sepanjang masa.
Itulah yang tertinggi martabatnya. Karena itu, balasannya juga sepadan, yaitu hidup kekal di
dalam surga, wallahu-alam.
ejak dahulu kala semua orang yang berakal, berpendidikan dan berbudaya mendambakan
pensucian jiwa dan perbaikan hati. Mereka menempuh berbagai cara, menerapkan metode-
metode dan meniti banyak jalan untuk menggapai cita-cita tersebut. Namun ada diantara
mereka yang justru menyiksa diri sendiri dengan melakukan perkara-perkara yang
melelahkan dan menyakitkan karena tidak sesuai syariat. Akibatnya, perbuatan-perbuatan ini
menyeret dan menenggelamkan mereka ke dalam syahwat, kelezatan dunia, menzalimi jiwa,
dan menyibukkan diri dengan metode-metode, pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan
kenyataan, dan tidak sejalan dengan akal sehat.

Namun, orang yang bisa bersikap adil, dan bisa menilai perkara-perkara dengan bijak, dia
tidak akan segan untuk menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki yang menjadikan kehidupan
semakin bermakna, yang bisa menenangkan hati, dan mensucikan diri telah dijelaskan cara
dan metodenya oleh al-Quran dan Sunnah dengan sangat jelas, terperinci namun tetap simpel
dan padat serta dijamin mampu menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki.

Allh Azza wa Jalla mengutus para rasul dan mewahyukan kitab-kitab untuk menunjukkan
kepada manusia bagaimana metode menyucikan jiwa dan memperbaiki hati. Realisasi hsl ini
adalah dengan mentauhidkan Allh, yaitu beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan ini
merupakan hikmah penciptaan makhluk, sebagaimana firman Allh Azza wa Jalla.

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku
[adz-Dzriyt /51:56]

Di dalam al-Quran dan as-Sunnah telah dijelaskan bagaimana cara menyucikan jiwa yang
menjadi penentu, apakah seseorang akan hidup bahagia di dunia dan akhirat ataukah
sebaliknya ? Dengan jelas dan gamblang, al-Quran menjelaskan bahwa pondasi, ruh,
sandaran, dan poros pensucian jiwa yang tidak lain adalah mentauhidkan Allh.

Tauhid mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam menyucikan jiwa dan membenahi
hati seorang Muslim. Tauhid mampu menyatukan tujuan dan maksud, serta menyelaraskan
antara ilmu dengan amal. Sehingga pemahaman, akidah, amalan, kehendak, kecenderungan,
dan kegiatan seorang Muslim berjalan menuju satu arah dan serasi, tidak ada kontradiksi.
Dengan demikian, beban kehidupan dapat hilang dari pundak seseorang, akibat dari
kontradiksi antara tujuan dan perbuatan.

Diantara yang bisa menyucikan jiwa dan memperbaiki hati adalah perbaharuan terhadap
keimanan secara berkesinambungan.

Iman itu perlu diperbarui karena dia dapat lusuh seperti pakaian. Oleh karena itu, para
sahabat Raslullh mengandeng tangan saudaranya yang lain seraya mengatakan, Marilah
kita memperbarui iman kita meskipun sesaat kemudian mereka duduk di suatu majlis, lalu
berdzikir kepada Allh.

Dzikrullh, membaca al-Quran, melakukan ketaatan adalah cara ampuh untuk memperbarui
iman yang bersemayam dalam jiwa seorang Mukmin. Karena iman itu bisa bertambah
dengan sebab perbuatan taat dan berkurang dengan sebab kemaksiatan. Dalam usaha
meningkatkan keimanan seorang Mukmin mestinya benar-benar bersandar kepada Allh
sehingga akan menghasil buah yang penuh barakah yaitu kesucian jiwa, sebagaimana di
sabdakan oleh Nabi yang mulia dalam doanya Shallallahu alaihi wa sallam.

Ya Allh ! Berikanlah ketaqwaan kepada jiwaku dan sucikanlah jiwaku, sesungguh Engkau
Pembersih jiwa terbaik

Termasuk jalan untuk mensucikan jiwa dan memperbaiki hati adalah selalu mengingat-ingat
nikmat-nikmat yang Allh Azza wa Jalla berikan kepada kita. Nikmat-nikmat itu terlampau
banyak sehingga terhitung. Allh Azza wa Jalla berfirman.

Dan jika engkau menghitung nikmat Allh kamu tidak akan mampu menghitungnya [an-
Nahl/16:18]

Orang yang senantiasa mengingat nikmat-nikmat ini akan menyadari ketergantungannya


kepada Allh Azza wa Jalla , sehingga dia akan memfokuskan diri dalam beribadah dengan
khusyu. Bagaimana tidak ?! Semua yang dia rasakan saat ini seperti hidup, sehat, harta,
anak, terhormat dan lain-lainnya adalah pemberian dari Allh Azza wa Jalla . Allh
memberikannya dengan cara dan dalam waktu yang Allh Azza wa Jalla pilih, bisa saja
pemberiaan ini diambil setiap saat, tanpa ada yang mampu menghalangi-Nya.

Kesadaran akan pemberian Allh Azza wa Jalla yang melimpah ini bisa mendorong seorang
hamba untuk menyadari kelemahan dirinya dan menyadari betapa ia sangat butuh kepada
Rabbnya dalam semua urusan. Namun, mengingat nikmat mesti diiringi dengan amalan yang
diridhai dan dicintai oleh Allh Azza wa Jalla sehingga bernilai pada hari Kiamat.
Realisasinya yaitu dengan mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-
kemungkaran, dengan tetap mengutamakan amalan-amalan fardhu, karena amalan fardhu
merupakan amalan yang paling bisa mendekatkan seorang hamba kepada Allh Azza wa
Jalla.

Diantara yang dapat menyucikan jiwa adalah melakukan amalan-amalan hati.

Hati ibarat raja bagi anggota badan, jika hati itu baik maka semua anggota badan akan baik
dan apabila hati rusak maka semua anggota badan ikut rusak.

Termasuk perbuatan hati yang paling penting dan paling agung adalah niat dan tujuan
seseorang dalam beramal. Niat ini memiliki peran penting dalam masalah diterima atau
tertolaknya amal seorang Muslim. Oleh karena itu hendaknya kita senantiasa bertakwa
kepada Allh Azza wa Jalla dan memohon kepada Allh Azza wa Jalla agar kita dijadikan
termasuk orang-orang yang ikhlas dalam beramal.

Sarana berikutnya yang bisa menyucikan jiwa dan membenahi hati seorang Muslim adalah
bertaubat dari semua dosa. Karena tidak seorang manusiapun yang luput dari dosa. Ibnu
Qayyim t mengatakan bahwa taubat adalah ibadah yang paling dicintai dan dimuliakan oleh
Allh. Sungguh Allh mencintai orang-orang yang bertaubat. Seandainya taubat itu bukan
amalan yang paling dicintai oleh Allh, tentu Allh tidak menguji manusia yang paling mulia
dengan dosa. (Namun) karena Allh mencintai taubat hamba-Nya maka Allh menguji hamba
tersebut dengan dosa.

Taubat mempunyai kedudukan yang tidak dimiliki ketaatan-ketaatan lain. Oleh karena itu
Allh sangat senang dengan taubat hamba-Nya. Sebagaimana digambarkan oleh Raslullh n
seperti senangnya orang saat menemukan kembali hewan tunggangannya yang hilang padahal
berisi semua bekal perjalanannya, ketika dia sedang safar di tanah yang sangat gersang sekali.

Kegembiraan Allh Azza wa Jalla tentu memiliki pengaruh besar pada hati orang yang
bertaubat. Orang yang bertaubat yang menyadari ini akan merasakan kegembiraan yang tidak
bisa diungkap dengan kata-kata. Ini termasuk rahasia kenapa seorang hamba ditakdirkan
berdosa lalu bertaubat. Karena saat bertaubat, seseorang akan menyadari dengan hati dan
mengakui dengan jujur betapa hina dan rendah dirinya dihadapan Allh Azza wa Jalla .
Kesadaran dan pengakuan seperti lebih dicintai oleh Allh daripada perbuatan-perbuatan
dzahir dalam jumlah yang banyak. Inilah inti penghambaan seseorang kepada Allh Azza wa
Jalla

Memang semua ibadah yang dilakukan seseorang akan memunculkan rasa tunduk dan patuh
kepada Allh, namun ketundukan yang muncul dari taubat lebih kuat daripada yang lainnya.
Perbuatan dosa yang dilakukan seseorang lalu disesali dan bertaubat darinya akan mendorong
dia untuk melakukan berbagai perbuatan taat, baik yang bersifat fisik maupun bersifat amalan
hati seperti muncul rasa takut kepada Allh Azza wa Jalla , malu kepada Allh Azza wa Jalla,
bersimpuh dihadapan Rabbnya mengakui, menangisi kesalahannya serta sangat berharap
magfirah dari Allh Azza wa Jalla . Ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan perbuatan
taat namun menimbulkan rasa ujub pada diri pelakunya.

Taubat yang dilakukan oleh seseorang wajib memenuhi syarat-syaratnya yaitu bertekad untuk
berhenti dari perbuatan dosanya dan bertekad untuk tidak akan mengulanginya, menyesali
dosa-dosa yang telah dilakukan, dan apabilaa dosa itu berhubungan dengan manusia maka
harus ada syarat keempat, yaitu meminta maaf kepadanya. Disamping hal-hal di atas, taubat
seharusnya juga mendorong seseorang untuk tetap istiqamah melakukan berbagai perbuatan
taat. Karena inti taubat itu adalah kembali kepada Allh dengan cara mengerjakan apa yang
Allh cintai dan meninggalkan apa yang Allh benci atau haramkan.

Taubat adalah kembali dari hal-hal yang dibenci menuju hal-hal yang dicintai. Jadi menuju
hal-hal yang dicintai adalah bagian dari taubat, begitu juga meninggalkan hal-hal yang
dibenci adalah bagian dari taubat. Allh Azza wa Jalla berfirman :

Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allh agar kalian beruntung. [an-Nr/24:31]

Semua yang bertaubat adalah orang yang beruntung, namun seseorang tidak dikatakan
beruntung kecuali jika dia menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Allh berfirman :

Dan barangsiapa yang belum bertaubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.
[al-Hujurat/49:11]
Orang yang meninggalkan perintah adalah orang zhalim, sebagaimana orang yang
mengerjakan larangan juga zhalim. Seseorang akan disebut tidak zhalim jika dia menjalankan
kedua-duanya yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Itulah beberapa hal yang bisa membersihkan dan menyucikan jiwa seorang Mukmin. Dan
masih banyak lagi sarana-sarana yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menggapai
kesucian jiwa. Intinya semua yang perintah dan larangan dari Allh dan Rasul-Nya menjadi
sarana untuk membersihkan diri manusia dari noda dosa.

Akhirnya, jika kita hendak menjaga dan ingin menggapai kebersihan jiwa maka hendaklah
kita senantiasa mengambil metode dan sarananya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, dengan
tujuan mencari ridha Allh, dan meniru jejak-jejak orang-orang yang dipilih oleh Allh.

Allh Azza wa Jalla berfirman.

Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allh dan mereka itulah orang-orang
yang berakal. [az-Zumar/39:18]

(Diangkat oleh Adi M Abu Aisyah dari khutbah yang disampaikan Dr. Usamah Khayyat di
Masjidil Haram, pada tanggal 7 Syaban 1432 H, dengan tema Tazkiyatun Nufs Wa Islhul
Qulb dengan sedikit perubahan dan ringkasan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/3845-sucikan-diri-benahi-hati.html

Anda mungkin juga menyukai