Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri pariwisata dikatakan sangat krusial karena perannya terhadap

pemerolehan devisa negara dalam jumlah yang besar. Sebagai penghasil devisa yang

besar, banyak negara khususnya negara-negara berkembang terdorong untuk

menggali dan mengembangkan potensinya dalam sektor ini. Indonesia merupakan

salah satu negara berkembang yang berperan aktif dalam pembangunan

pariwisatanya. Hal ini dikarenakan potensi Indonesia yang merupakan negara

kepulauan dan memiliki keindahan alam berlimpah. Selain itu Indonesia memiliki

ragam budaya yang begitu variatif dan unik, serta masyarakatnya yang ramah

terhadap wisatawan. Fakta tersebut mendukung peluang Indonesia sebagai surga

pariwisata.

Industri pariwisata merupakan industri yang besar karena produknya tidak dapat

saling menggantikan atau unsubstitutive (Suwantoro, 2004:52). Sepanjang tahun

2014, sektor pariwisata Indonesia berkontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp

136,000,000,000,000,. Dampak ekonomi yang begitu nyata akibat aktivitas

pariwisata dapat membawa semua pihak untuk secara bebas memanfaatkan semua

peluang usaha yang tergabung dalam industri pariwisata.

Meski begitu peranan pariwisata yang dianggap penting tidak dapat terlepas dari

hal-hal negatif yang seolah mengimbanginya. Kemajuan industri pariwisata dan

1
2

kesuksesan dalam pemerolehan jumlah kunjungan wisatawan khususnya wisatawan

asing, sering dianggap menyisahkan problematika karena terjadinya degradasi

budaya. Oleh sebab itu munculah istilah pariwisata seperti dua sisi mata pisau

dimana di satu sisi pariwisata dinilai dapat mempreservasi budaya namun di sisi lain

pariwisata justru dianggap merusak nilai budaya itu sendiri (Bum dan Holden dalam

Ardika 2007:94). Hal ini menjadi kritikan penting bagi para stakeholder pariwisata.

Hingga saat ini peranan pariwisata masih menjadi perdebatan di antara berbagai

pakar atau akademisi khususnya dalam hal preservasi budaya. Tergesernya pola

perilaku masyarakat tradisional yang berubah menjadi kebarat-baratan, dan

berkurangnya nilai-nilai kesakralan suatu budaya yang saat ini ramai

dikomodifikasikan demi memenuhi kebutuhan wisatawan, merupakan topik menarik

dalam kajian-kajian pariwisata budaya.

Pitana dan Diarta (2009:75) menyatakan bahwa sumber daya budaya merupakan

alasan yang biasanya menjadi latar belakang wisatawan melakukan suatu perjalanan

wisata. Oleh sebab itu meski masih menjadi polemik dalam hal pengembangannya,

banyak daerah yang tetap mengembangkan potensi wisatanya khususnya di bidang

pariwisata budaya. Salah satu daerah tersebut adalah Gorontalo.

Gorontalo merupakan provinsi ke 32 di Indonesia. Kota ini terkenal dengan

kerajinan sulaman Karawo. Sebagai provinsi baru, Gorontalo mulai mandiri dalam

menata perekonomiannya serta mengembangkan berbagai sektor demi peningkatan

Anggaran Belanja Pemerintah Daerah atau APBD dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Dari berbagai sektor yang dikembangkan, pariwisata merupakan salah


3

satu sektor yang mendapat perhatian penuh dari pemerintah mengingat sumber daya

alam serta kebudayaan yang dimiliki sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Gorontalo sebagai destinasi baru tidak kalah dengan destinasi-destinasi populer

di Indonesia yang kaya akan berbagai atraksi menarik. Destinasi Gorontalo juga

memiliki berbagai atraksi yang indah dan memukau seperti pantai, taman bawah laut,

bukit, agrowisata, ekowisata, museum, situs-situs bersejarah, menara, wahana-

wahana pemandian seperti waterboom dan waterpark, desa religi, air terjun, dan

kerajinan sulaman Karawo beserta festival budaya Karawo. Keberadaan daya tarik

tersebut didukung dengan adat dan budaya yang unik serta lestari hingga saat ini.

Pengembangan daya tarik wisata alam dan buatan yang dipadukan dengan keunikan

budaya akan menghadirkan ketertarikan di hati wisatawan baik wisatawan asing

maupun wisatawan domestik.

Suatu karya seni budaya biasanya menjadi penunjang berbagai atraksi wisata

yang ditawarkan destinasi pariwisata. Namun di Gorontalo salah satu karya seni

budaya dapat berperan ganda sebagai cinderamata khas daerah dan sebagai daya tarik

wisata. Karya seni budaya tersebut adalah sulaman Karawo. Karawo merupakan

ekspresi budaya tradisional dalam bentuk sulaman yang diwariskan secara turun

temurun dan dinilai memiliki estetika seni yang tinggi. Saat ini berbagai upaya dalam

preservasi Karawo dilakukan salah satunya dengan mengadakan festival budaya

Karawo.

Pengembangan sulaman Karawo di destinasi Gorontalo dinilai berpotensi

sebagai suatu daya tarik karena sejarahnya yang panjang dan keunikan yang ada pada

sulaman Karawo. Untuk pengembangan dan preservasi Karawo, pemerintah


4

mengadakan festival budaya Karawo. Festival budaya tersebut sudah menjadi agenda

tahunan pemerintah provinsi dan dilaksanakan secara besar-besaran sejak tahun 2011

hingga saat ini. Tujuan pemerintah dalam pelaksanaan festival ini untuk

memasyarakatkan Karawo dan membuat sulaman Karawo mendunia. Aktualisasi

sulaman Karawo hingga ke tingkat dunia secara tidak langsung menjadi promosi

pariwisata Gorontalo sehingga ada harapan sulaman Karawo dapat mendatangkan

wisatawan domestik dan wisatawan asing ke Gorontalo. Harapan agar wisatawan

berkunjung ke Gorontalo tentunya didukung oleh atraksi wisata yang menarik,

aksesibilitas yang memadai, amenitas atau akomodasi dan berbagai fasilitas yang

dibutuhkan wisatawan selama berada di Gorontalo, serta adanya organisasi atau

orang-orang yang mengurus destinasi Gorontalo sebagai poin pelengkap atau

anciallary.

Festival budaya Karawo yang diselenggarakan setiap tahun adalah upaya

pemerintah dalam melestarikan serta mempromosikan seni budaya daerah guna

meningkatkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat dan wisatawan. Festival

budaya Karawo diselenggarakan secara akbar dengan melibatkan seluruh SKPD

(satuan kerja perangkat daerah) kota dan kabupaten di Gorontalo serta turut

diramaikan oleh instansi-instansi swasta khususnya instansi Perbankan yang sangat

berperan aktif. Perhelatan akbar ini disaksikan oleh banyak masyarakat hingga

menteri dan beberapa duta besar asing yang diundang. Kemeriahan festival budaya

Karawo memiliki nilai sebagai daya tarik yang keindahan dan keunikannya memiliki

nilai jual yang tinggi.


5

Pada dasarnya sulaman khas daerah sangat jarang dijadikan sebagai motivasi

wisatawan untuk berkunjung. Wisatawan pada umumnya tertarik dengan atraksi-

atraksi wisata alam dan buatan serta budaya yang menyangkut pola hidup

masyarakat. Namun sulaman Karawo dikemas sedemikian rupa seperti festival

budaya Karawo maka diyakini dengan sendirinya akan menjadi suatu daya tarik yang

sayang untuk dilewatkan. Berwisata di suatu sentra kerajinan dengan melihat-lihat

berbagai macam kerajinan serta proses penyulaman akan menjadi pariwisata edukatif

bagi wisatawan. Sulaman Karawo juga menginspirasi masyarakat untuk membuat

kue khas daerah yang namanya kue Karawo, di atasnya dihiasi motif bunga seperti

motif sulaman Krawo. Kue Karawo sangat renyah dan memiliki cita rasa yang tinggi

sehingga diminati banyak orang. Keberadaan kue Karawo dapat menambah keunikan

daya tarik sulaman Karawo. Peranan sulaman Karawo sebagai daya tarik didukung

dengan pendapat Ardika (2003:25) yang menyatakan bahwa sifat sosio budaya

merupakan faktor kedua setelah faktor iklim dan sumber daya alam sebagai daya

tarik utama bagi para wisatawan. Sementara tiga unsur sosio budaya menurut Ardika

(2003:24) adalah sejarah, tradisi dan kerajinan.

Sulaman Karawo yang produknya sangat variatif juga memiliki peran sebagai

pendamping semua daya tarik wisata yang ada di Gorontalo yaitu sebagai

cinderamata khas daerah. Minat dan daya beli wisatawan terhadap sulaman Karawo

saat ini sangat diharapkan oleh berbagai pihak mengingat penyelenggaraan festival

budaya Karawo sebagai promosi budaya menghabiskan biaya yang cukup fantastis

yaitu lebih dari Rp 1,000,000,000.


6

Pentingnya pengembangan sulaman Karawo sebagai suatu tarik agar pariwisata

Gorontalo makin dikenal dengan keindahan dan keunikannya, budaya daerah tetap

lestari dengan eksistensi sulaman Karawo di sektor pariwisata, serta peningkatan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat khususnya pengrajin dan para pelaku usaha.

Sulaman Karawo juga akan memperkuat identitas daerah dan menambah khasanah

budaya Indonesia.

Pengembangan sulaman Karawo sebagai daya tarik wisata tidak terlepas dari

relevansi budaya dan pariwisata. Karya seni budaya dan pariwisata merupakan dua

hal yang saling terkait seperti pada bagan yang dirancang oleh Suwantoro (2004:52).

Bagan tersebut mendeskripsikan peranan souvenir atau kerajinan khas suatu daerah

dalam sebuah rangkaian perjalanan wisata. Bagan tersebut secara tidak langsung

menjelaskan bahwa shopping atau berbelanja merupakan kegiatan yang sering

dilakukan wisatawan dan biasanya dilakukan pada akhir perjalanan mereka di suatu

daerah tujuan wisata dalam rangkaian aktivitas berwisatanya. Kegiatan berbelanja

oleh para wisatawan merupakan momentum penting bagi suatu destinasi dalam

memperkenalkan kerajinan khas daerahnya.

Surwantoro (2004 : 17-36) juga menyatakan bahwa kebudayaan dan kesenian

merupakan dua hal penting yang menjadi salah satu alasan para wisatawan

melakukan suatu perjalanan wisata. Pariwisata di satu sisi dianggap sebagai wahana

bagi masyarakat dalam upaya mengurangi jumlah pengangguran dan membantu

perekonomian masyarakat. Oleh karena itu budaya yang dipreservasi melalui

pariwisata dinilai bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.


7

Hal yang sama dijelaskan oleh Marpaung dan Bahar (2002:39) terkait dengan

budaya dan pariwisata bahwa pariwisata merupakan suatu wadah yang seharusnya

menjadi aset bagi masyarakat dimana mereka dapat menyalurkan kemampuan

berkreasi dan berimajinasi dalam menciptakan suatu produk khas dan bernilai tinggi

bagi perekonomiannya.

Pendapat lain yang mendukung keterkaitan seni kerajianan khas daerah dengan

pariwisata adalah pendapat Yoety (2008:130) yang menjelaskan bahwa dalam ilmu

pariwisata, terdapat elemen-elemen yang perlu diketahui khususnya dalam usaha

pengembangan. Elemen-elemen tersebut adalah something to see, something to do,

dan something to buy.

Something to see artinya sesuatu yang bisa dilihat atau ditonton yang

disuguhkan sedemikian rupa agar dapat menarik minat wisatawan. Something to do

adalah fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk dipergunakan atau dinikmati oleh

wisatawan demi mendapatkan kesenangan yang merupakan tujuan berwisata.

Something to buy dalam hal ini berupa fasilitas belanja dan produk khas suatu daerah

yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan terhadap cinderamata khas

daerah yang dikunjungi. Dari ketiga elemen tersebut kerajinan sulaman Karawo

dapat digolongkan sebagai something to buy yaitu souvenir atau oeleh-oleh khas

Gorontalo.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas, sulaman Karawo dinilai sangat

berpotensi dalam pengembangannya di sektor pariwisata. Pelaksanan festival budaya

Karawo dalam kurun waktu enam tahun idealnya dapat memperlihatkan progres

positif terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang menyaksikan


8

festival budaya Karawo secara signifikan. Permintaan konsumen dalam hal ini

adalah wisatawan terhadap produk sulaman Karawo juga sepatutnya mengalami

peningkatan secara merata pada semua pelaku usaha di Gorontalo. Namun hal

tersebut belum berjalan sesuai harapan banyak orang khususnya para peaku usaha.

Penikmat suguhan karnaval, tari-tarian, dan berbagai macam kegiatan budaya pada

penyelenggaraan festival budaya Karawo masih didominasi masyarakat lokal. Selain

itu suatu fenomena yang terjadi dismpaikan oleh para pelaku usaha Karawo yaitu

terjadi peningkatan permintaan barang pada saat menjelang festival budaya Karawo.

Namun setelah kegiatan tersebut dilaksanakan, penjualan Karawo cenderung stabil

seperti sebelumnya dan tidak mengalami peningkatan pasca promosi secara besar-

besaran. Hal ini perlu digaris bawahi dimana promosi belum memerankan fungsinya

terhadap penjualan produk.

Konsumen sulaman Karawo lebih didominasi oleh pegawai negeri sipil atau

PNS dan honorer serta karyawan dan karyawati swasta untuk pembuatan seragam

kantor. Selain itu memang terdapat konsumen yang merupakan wisatawan domestik

namun masih dapat dikatakan jarang apalagi wisatawan asing, mereka sangat jarang

untuk membeli kerajinan sulaman Karawo bahkan hampir tidak ada di antara mereka

yang membeli kerajinan sulaman Karawo.

Berbagai upaya promosi sulaman Karawo dilaksanakan di antaranya adalah

pameran, fashion show dan festival budaya Karawo, dengan harapan agar kerajinan

sulaman Karawo mendatangkan rupiah dari luar daerah Gorontalo bahkan

mendulang dolar dari para wisatawan asing. Harapan dari peran sulaman Karawo

tersebut akan menciptakan perputaran ekonomi yang ideal dimana uang dari luar
9

Gorontalo masuk dan beredar di Gorontalo. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi

saat ini, uang orang Gorontalo untuk orang Gorontalo juga padahal Gorontalo

memiliki karya seni budaya yang bernilai ekonomis dan berdaya saing.

Kesenjangan di atas perlu diatasi dengan strategi pengembangan sulaman

Karawo sebagai suatu daya tarik. Pariwisata dapat menguntungkan sulaman Karawo

dalam rangka pencapaian popularitas sulaman Karawo di kalangan wisatawan dan

pemertahanan eksistensinya sebagai suatu produk yang memiliki daya tarik. Karawo

juga diyakini dapat memajukan pariwisata, dimana sebagai kerajinan khas daerah

yang memiliki daya tarik dapat mendatangkan wisatawan baik untuk menyaksikan

festival budaya Karawo maupun untuk berburu Karawo di destinasi pariwisata

Gorontalo. Hal ini mencerminkan adanya simbiosis mutualisme antara sulaman

Karawo dan pariwisata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan mengenai realita yang terjadi terkait sulaman Karawo,

maka dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dan perlu

dipecahkan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi wisatawan asing dan wisatawan domestik terhadap sulaman

Karawo?

2. Bagaimana perkembangan sulaman Karawo sebagai daya tarik wisata hingga saat

ini?

3. Bagaimanakah strategi pengembangan sulaman Karawo sebagai daya tarik wisata

di destinasi pariwisata Gorontalo?


10

1.3 Tujuan Penelitian

Terdapat dua tujuan yang meliputi penelitian ini, yaitu tujuan umum dan tujuan

khusus. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Tujuan Umum

Mengembangkan sulaman Karawo sebagai produk lokal dan warisan budaya

daerah yang bersifat tak benda atau intangible agar menjadi daya tarik bagi

wisatawan yang berkunjung ke Gorontalo.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui persepsi wisatawan asing dan wisatawan domestik mengenai

sulaman Karawo.

b. Mengidentifikasi tahap perkembangan sulaman Karawo hingga saat ini.

c. Merumuskan strategi pengembangan Sulaman Karawo sebagai daya tarik di

destinasi pariwisata Gorontalo.

1.4 Manfaat Penelitian

Penilitian ini memiliki dua macam manfaat yaitu manfaat secara akademis dan

manfaat secara praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran mengenai

perkembangan sulaman Karawo, pengembangan dan preservasinya agar dapat

menjadi sumber informasi bagi para akademisi maupun pemerhati pariwisata

untuk melakukan penelitian lanjutan atau pun sebagai referensi kajian pustaka.
11

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi tidak

hanya dalam bidang pariwisata tetapi juga dalam bidang budaya, kesenian, dan

pemasaran.

2. Manfaat Praktis

c. Penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pengrajin dan disainer

dalam menciptakan disain-disain baru sesuai dengan ekspektasi wisatawan.

d. Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam

evaluasi promosi sulaman Karawo.

e. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para stakeholders dalam

pengembilan keputusan untuk pengembangan sulaman Karawo dalam

pemerolehan profit bersama secara merata serta dengan memperhatikan

keberlanjutannya.
12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Budaya dilihat dari sifatnya memiliki dua peranan penting dalam sektor

pariwisata yaitu sebagai daya tarik wisata budaya serta pendamping daya tarik wisata

alam dan buatan yang merupakan atraksi utama pada suatu destinasi pariwisata.

Peranan budaya yang multi fungsi akan selalu dibutuhkan karena budaya merupakan

identitas suatu destinasi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang hampir

seluruh provinsinya memiliki pantai yang dikembangkan sebagai suatu daya tarik

wisata, namun objek pantai setiap daerah memberi suguhan berbeda dengan adanya

budaya masing-masing daerah. Akulturasi alam dan budaya dapat menjadikan suatu

destinasi diminati seperti Pulau Dewata Bali yang popular sebagai laboratorium

hidup pariwisata. Destinasi Bali mampu menarik hati wisatawan asing dan domestik

karena budayanya yang unik. Budaya Bali tidak hanya berperan saat dipadukan

dengan keindahan alam tapi juga mampu berdiri sendiri sebagai daya tarik wisata

tanpa adanya daya tarik alam, contohnya upacara Ngaben, pagelaran Seni tari,

festival Ogoh-ogoh dan lain sebagainya.

Penelitian mengenai pengembangan sulaman Karawo merupakan refleksi dari

paparan di atas bahwa budaya harus mampu menjelama sebagai suatu daya tarik

yang eye catching atau menarik perhatian dan mendukung berbagai aktivitas
13

pariwisata Gorontalo sebagai destinasi pariwisata. Festival Budaya Karawo dan

pengadaan sentra kerajinan sulaman Karawo dapat berperan sebagai atraksi wisata

yang seharusnya dikembangkan. Peranan sulaman Karawo yang lain adalah sebagai

cinderamata khas daerah yang disiapkan untuk kebutuhan wisatawan yang

berkunjung di Destinasi Gorontalo. Kerajinan sulaman bukanlah satu-satunya strategi

yang menunjang daya tarik wisata utama yang dapat menarik wisatawan. Berbagai

budaya masyarakat dapat dikembangkan sebagai suatu daya tarik seperti pada

penelitian Matlovicova dan Pompura (2013) yang berjudul The Culinary Tourism in

Slovakia Case Study of the Traditional Local Sheep's Milk Products in the regions of

Orava and Liptov. Sukenti (2014) yang berjudul Gastronomy Tourism in Several

Neighbor Countries of Indonesia: a Brief Review. Penelitian Putri dkk (2013),

Pengembangan Makanan Khas Bali Sebagai Wisata Kuliner (Culinary Tourism) di

Desa Sebatu Kecamatan Tegalalang Gianyar. Penelitian Lertputtarak (2012) The

Relationship between Destination Image, Food Image, and Revisiting Pattaya,

Thailand.

Keempat penelitian di atas adalah penelitian mengenai wisata kuliner yang

diwariskan secara turun temurun dan pada umumnya berperan sebagai pendukung

daya tarik utama suatu destinasi dalam menarik wisatawan. Berbagai strategi dari

beberapa perspektif diteliti demi pengembangan kuliner yang merupakan warisan

budaya dan berkaitan erat dengan pariwisata.

Penelitian Matlovicova dan Pompura (2013) bertujuan untuk pengembangan

pariwisata di Slovakia khususnya di dua daerah Orava dan Liptov di bidang kuliner

dengan bahan dasar susu domba yang merupakan bahan unggulan Slovakia. Susu
14

domba di Orava dan Liptov tersebut hingga tahun 2013 belum dikembangkan

sebagai bahan dasar daya tarik wisata kuliner padahal selain susu domba, tradisi

menggembala domba juga merupakan suatu daya tarik yang dapat dikembangkan.

Potensi susu domba dan tradisi menggembala domba di Orava dan Liptov diyakini

dapat membuka lapangan kerja baru dimana kegiatan tersebut bisa diaplikasikan

pada skala nasional.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Sukenti (2014) yang bertujuan untuk

mengembangkan kuliner Indonesia dengan melakukan perbandingan terhadap empat

Negara tetangga terlebih dahulu yaitu Hongkong, Singapore, Thailand, dan Malaysia

dalam dalam hal pariwisata gastronomi. Keempat Negara tersebut dianggap maju

dalam pariwisata kuliner karena para stakeholder fokus dalam pengembangan wisata

kulinernya. Sukenti menjelaskan bahwa pengembangan wisata gastronomi

Hongkong, Singapore, Thailand, dan Malaysia merupakan alternatif untuk menutupi

kekurangan mereka terhadap minimnya sumber daya alam yang dimiliki sehingga

pariwisata mereka tetap maju dan eksis di kanca internasional. Berdasarkan hal

tersebut, Sukenti berharap agar pariwisata Indonesia bisa lebih maju lagi mengingat

potensi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam serta tanah yang subur untuk

lahan pertanian. Kekayaan Indonesia sangat mendukung daya tarik baik alam

maupun buatan agar dapat berdampingan dengan pariwisata gastronomi yang

memiliki potensi cukup besar.

Hal berbeda dalam penelitian Putri dkk (2013), dalam mengembangkan

makanan khas Bali sebagai daya tarik wisata kuliner di Desa Sebatu Kecamatan

Tegalalang Gianyar yang dinilai berpeluang untuk dikembangkan yaitu pelaku atau
15

warga yang menjadi juru masak. Untuk mencapai tujuan penelitian mengembangkan

kuliner khas Bali, juru masak yang dinilai sebagai kunci pengembangannya perlu

dilatih dan dibimbing dalam menciptakan kuliner tradisional yang dapat diminati

wisatawan.

Penelitian lain mengenai wisata kuliner adalah penelitian Lertputtarak (2012)

yang menjelaskan mengenai citra destinasi dan citra makanan yang merupakan

esensi utama dalam pengambilan keputusan kunjungan terhadap suatu destinasi

wisata. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi wisatawan terhadap citra

destinasi dan citra makanan Thailand serta mempelajari hubungan kedua variable

tersebut dan niat para wisatawan untuk kembali lagi pada destinasi ini.

Penelitian-penelitian di atas membuktikan bahwa wisata kuliner yang secara

sederhana dipahami sebagai intangible tourist attraction / daya tarik tak benda dapat

mendampingi daya tarik utama seperti bentuk pariwisata alam, buatan, situs

bersejarah dan lain sebagainya dalam suatu destinasi wisata. Tidak hanya itu,

pariwisata kuliner juga dapat menopang kelemahan sumber daya alam yang ada

dalam memajukan suatu destinasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa wisata

kuliner atau gastronomi dijadikan sebagai kajian pustaka, karena kegiatan memasak

dan kegiatan menyulam merupakan warisan budaya tak benda yang dapat

dikembangkan pada sektor pariwisata dalam perannya sebagai daya tarik wisata pada

suatu destinasi.

Keempat penelitian tersebut menggunakan teori dan metode yang berbeda-beda

dalam penelitiannya. Penelitian Matlovicova dan Pompura (2013) menggunakan

teori Hirarki kebutuhan dan Motivasi manusia oleh A. H. Maslow (1943). Penelitian
16

selanjutnya adalah penelitian Sukenti (2014) dengan metode kualitatif

mendeskripsikan komparasi wisata kuliner empat negara tetangga sebagai bahan

masukan terhadap pariwisata Indonesia. Pnelitian ketiga adalah penelitian Putri dkk

(2013) yang merupakan penelitian pengabdian pada masyarakat dengan metode

diskusi dan praktek langsung dimana para peserta dibimbing oleh pengabdi.

Sedangkan penelitian Lertputtarak (2012) menggunakan teori Persepsi dengan

convinience sampling dan membagikan kuisioner untuk 479 wisatawan asing serta

dengan melakukan wawancara terhadap akademisi dan manager beberapa restoran.

Dalam kajian pustaka ini terdapat juga beberapa rujukan penelitian dimana kain

khas daerah sebagai objek penelitian seperti penelitian sulaman Karawo. Penelitian-

penelitian tersebut adalah Faktor Penyebab Belum Berkembangnya Industri Kecil

Batik Desa Kenongo Kecamatan Tulangan-Sidoarjo oleh Fristia dan Navastara

(2014), selain itu penelitian Hengky (2014) Image Analysis: Performance Gaps of

Batik Craft in Yogyakarta, Indonesia dan penelitian Mohammad (2013) Dampak

Disain Sulaman Karawo Terhadap Minat Remaja Gorontalo Dalam Penggunaannya

Sebagai Pakaian Khas Daerah.

Penelitian Fristia dan Navastara bertujuan untuk menentukan faktor penyebab

belum berkembangnya industri kecil batik Desa Kenongo di Kecamatan Tulangan,

Sidoarjo. Penelitian ini merumuskan beberapa faktor penghambat yaitu minimnya

pengetahuan dalam penggunaan teknologi, keterbatasan tenaga kerja dalam

pengadaan modal, fasilitas-fasilitas yang masih sangat minim seperti fasilitas

pemasaran dan fasilitas pelatihan, belum ada koordinasi antara penjual di setiap toko,

kontinuitas bahan baku yang terbatas, butuh waktu yang lama untuk menjadi
17

pembatik, kurangnya minat pengusaha untuk mengembangkan industri batik kecil,

kurangnya interaksi antara pengusaha dan pengrajin, rendahnya aksesibilitas menuju

usaha batik, kurangnya pengetahuan pengusaha dalam pengolahan limbah yang

ramah lingkungan dan kompetensi tenaga kerja yang rendah dalam produksi batik.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Hengky (2014) tujuannya adalah untuk

mengeksplorasi kesenjangan kinerja kerajinan batik di Yogyakarta yang hasilnya

Terdapat kesenjangan berdasarkan analisis citra antara kenyataan dan harapan para

wisatawan yang mengindikasikan bahwa ekspektasi wisatawan terkait Batik dan

bahannya masih sedikit termuat. Ini berarti bahwa kinerja kerajinan batik dapat lebih

ditingkatkan dengan berinovasi dan beradaptasi berdasarkan segmentasi pasar.

Inovasi dan adaptasi dapat dilakukan sebagai konsep persaingan pasar kerajinan kain

batik yang kembali ke alam dan menggunakan pewarna alami dan berusaha untuk

memenuhi permintaan pasar, harga yang terjangkau, dan ramah lingkungan. Hengki

berpendapat bahwa ini merupakan peluang dan waktu yang tepat untuk

mengembangkan serat kayu putih sebagai bahan baku yang dibuat oleh industri kain

kerajinan batik Indonesia dalam mengatasi masalah bahan baku.

Penelitian berikut adalah penelitian Mohamad (2013) yang meneliti tentang

sulaman Karawo. Menurut Mohamad pada tahun 2013 minat para remaja Gorontalo

dalam menggunakan kain sulaman Karawo masih sangat kurang. Hal itu karena

sulaman Karawo memang belum lama dikembangkan. Berdasarkan keadaan tersebut

penelitian Mohamad bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kurangnya minat

remaja Gorontalo terhadap sulaman Karawo yang merupakan kain khas daerah.
18

Fristia dan Navastara serta Khairunnisa Mohamad menggunakan analisis delphy

dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara terhadap responden dan

informan. Hengky dalam penelitiannya menggunakan analisis Immage atau analisa

citra dan sekaligus merespon harapan Praktisi seni serta Filolog dari Universitas

Gajah Mada.

Pada dasarnya ketiga penelitian di atas dan penelitian Pengembangan sulaman

Karawo Sebagai Daya Tarik di Destinasi Pariwisata Gorontalo memiliki satu tujuan

umum yaitu untuk mengembangkan produk sulaman yang diteliti. Namun masing-

masing penelitian memiliki cara yang berbeda misalnya dari sasaran informan.

Penelitian Fristia dan Navastara memiliki responden dan informan yaitu masyarakat

atau orang-orang yang terlibat langsung dalam usaha industrI kecil di Kenongo. Pada

penelitian Hengki informannya adalah wisatawan kemudian Mohamad adalah

menjadikan remaja sebagai sasaran informannya. Sementara penelitian

penegmabangan sulaman Karawo ini mewawancarai para pelaku usaha sulaman

Karawo, wisatawan asing dan domestik serta pemerintah terkait.

2.2. Konsep

2.2.1 Pengembangan

Sulistiyowati (2010:196) mendefinisikan pengembangan dari perspektif

Ekonomi yaitu penerapan riset atau hasil penelitian terhadap suatu rangkaian rencana

produksi. Rencana produksi yang dimaksud adalah bahan baku, alat, produk, sistem

atau jasa yang perlu untuk diperbaiki sebelum mengkomersialkan produk tersebut

yang kemudian dikonsumsi.


19

Pengertian pengembangan dari perspektif ketenagakerjaan oleh Ibrahim

(2004:120) adalah usaha untuk mendidik karyawan atau tenaga kerja terkait

pekerjaan yang akan ditangani pada masa mendatang. Hal ini merupakan usaha

seseorang untuk meraih suatu jabatan tertentu yang telah direncanakan.

Pengembangan dengan makna yang lebih sederhana menurut Sirait (2006:115)

adalah suatu proses mengubah dan mengupayakan sesuatu yang belum terlatih

menjadi mahir dan yang belum berkembang menjadi maju. Pada dasarnya

pengembangan adalah proses untuk meningkatkan kualitas dari yang kurang baik

menjadi baik dan yang baik menjadi lebih baik.

Berdasarkan definisi-definisi pengembangan dari beberapa sudut pandang di

atas maka terkait dengan penelitian ini pengertian pengembangan disimpulkan

sebagai suatu usaha memperbaiki atau menyempurnakan sulaman Karawo dari

kekurangan-kekurangan yang teridentifikasi demi mencapai tujuan yang telah

direncanakan atau ditargetkan yaitu menjadi suatu daya tarik wisata.

2.2.2 Sulaman Karawo

Menyulam atau membordir adalah suatu kegiatan untuk menghias kain dengan

tujuan memperindah tampilan kain tersebut. Kegiatan menyulam lazimnya dilakukan

oleh perempuan dan hasil sulaman tersebut memiliki nilai jual (Zulkarnaen: 2005).

Pengertian lain menrut Jumanta (2005:2) mengenai sulam adalah karya seni kuno

yang sudah ada sejak lama. Karya seni kuni ini mengandalkan jarum dan benang

sebagai atal dan bahan utamanya dalam mendisain motif kain dengan teknik

menjahit. Sulam juga merupakan teknik menghias kain bersifat eksklusif karena
20

pengerjaannya menggunakan tangan manusia. Kegiatan menyulam pada umumnya

merupakan hobi atau kegemaran seorang pengrajin sulaman karena kegiatan ini

memberi keleluasaan dalam berkreasi dengan banyaknya ragam teknik sulam

(Wirasasti, 2012:8).

Berdasarkan pandangan para ahli terkait sulaman dapat disimpulkan bahwa

sulaman merupakan aktivitas yang pada umumnya dilakukan kaum perempuan untuk

mendisain motif pada bahan yang tadinya tidak menarik menjadi lebih menarik

dengan alat dan bahan dasar utama berupa jarum dan benang sehingga kain tersebut

memiliki nilai jual yang tinggi kepada konsumen.

2.2.3 Warisan Budaya

Terdapat banyak sekali pandangan mengenai warisan budaya salah satunya

warisan budaya dipandang sebagai suatu kekayaan yang memiliki nilai khusus

sehingga dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan tersebut ditandai

dengan disuguhkannya kembali kebudayaan lama oleh generasi terkini dengan

pedoman keaslian nilai yang terkandung dan aturan-aturan yang tetap terjaga, Ardika

(2015:2).

Sementara Hussin (2011) menekankan pentingnya pelestarian warisan budaya

yang merupakan suatu peninggalan dan memiliki nilai berharga bagi seluruh dunia.

Dengan budaya yang diwariskan semua orang mampu melihat potret kehidupan pada

masa lampau. Warisan budaya sebagai potret kehidupan masa lampau akan sangat

disayangkan jika tidak dilestarikan hingga akhirnya menghilang seperti ditelan masa,
21

karena baik warisan budaya itu berwujud atau pun tidak berwujud warisan tersebut

tidak akan pernah terganti.

Berdasarkan pandangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa warisan

budaya merupakan usaha untuk menghadirkan lagi dan menyuguhkannya kepada

para pencinta budaya pusaka budaya sebagai jendela untuk melihat keadaan masa

lampau disetiap daerah bahkan setiap negara dengan mengetahui keunikan dari

kehidupan, estetika seni budaya dan kebiasaan nenek moyang.

Secara filosofis warisan budaya memiliki hakekat sebagai kepribadian atau ciri

khas yang merupakan penanda khusus baik perorangan maupun suatu kelompok

yang dapat membedakannya dengan orang lain atau kelompok lain (Silverman dan

Ruggles dalam Ardika, 2015:1). Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa

di tengah diversivikasi budaya Indonesia yang begitu kaya, warisan budaya baik

tangible maupun intangible merupakan pembeda kongkrit bagi setiap wilayah

dimana hal ini erat kaitannya dengan kebiasaan, norma-norma kehidupan dan agama

pada suatu daerah. Secara teoritis, warisan budaya merupakan ekspresi seni dan

sumber daya yang lahir dari pemikiran-pemikiran orang-orang terdahulu dengan

merumuskan sesuatu yang unik dan khas ke dalam suatu bentuk kongkrit yang dapat

dilihat dan disentuh untuk hal-hal terkait kehidupan masyarakat baik dalam tujuan

sosial, ekonomi dan politik (Hitchock dkk, dalam Ardika 2015:2).

2.2.3 Daya Tarik Wisata

Yoeti (1996:178) mengklasifikasi dua unsur penting dalam pariwisata yaitu

objek wisata dan atraksi wisata. Dimana objek wisata merupakan sesuatu yang
22

dilihat wisatawan tanpa perlu adanya persiapan yang dilakukan orang lain terlebih

dahulu. Contohnya pemandangan, gunung, sungai, lembah, candi, bangunan,

monument, gereja, mesjid, tugu peringatan, dan lain-lain. Semua objek tersebut

dengan sendirinya telah tercipta dan dapat dinikmati keindhannya oleh siapa saja.

Sedangkan atraksi wisata diartikan sebagai suatu hiburan yang melalui tahap

persiapan sebelum disuguhkan kepada wisatawan. Meunurut Yoeti, atraksi tersebut

berupa tari-tarian, nyanyian, kesenian rakyat tradisional, upacara adat, dan lain-lain.

Yoeti berpandangan bahwa atraksi wisata merupakan kegiatan-kegiatan yang

berhubungan dengan budaya lokal.

Pendapat Yoeti di atas merupakan konsep lama objek wisata yang pernah

termuat dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1990 yang saat ini telah diperbaharui

dengan Undang-undang nomor 10 tahun 2009. Perubahan Undang-undang tersebut

berdasarkan penyesuaian perkembangan pariwisata di Indonesia. Objek wisata yang

dalam istilah asingnya adalah tourist attraction kini bertransformasi menjadi daya

tarik wisata. Hal ini seolah menghilangkan batas antara daya tarik alam dan budaya

seperti yang telah diklasifikasi Yoeti di atas. Ada pun pengertiannya berdasarkan

Undang-undang nomor 10 tahun 2009 yakni, daya tarik siwata adalah segala sesuatu

yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman

kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan

kunjungan wisatawan.

Leiper dalam Cros dan McKercher (2015:135) tourist attraction atau daya tarik

wisata merupakan suatu sistem yang terdiri dari wisatawan, atraksi atau daya tarik,

dan penanda. Wisatawan merupakan hal yang paling krusial di suatu daya tarik
23

wisata. Tanpa wisatawan, daya tarik tersebut akan sia-sia jika dikembangkan karena

tujuan utama pengembangan daya tarik wisata adalah untuk menarik wisatawan

berkunjung dan mengeluarkan uang mereka dalam daya tarik wisata tersebut. Daya

tarik atau nucleus adalah fitur-fitur dan karakteristik atau bisa juga berbentuk objek

yang memiliki kelebihan seperti keunikan dan keindahan untuk menarik minat

wisatawan yang berkunjung. Penanda atau marker merupakan bagian informasi dari

daya tarik tersebut dapat pula dengan upaya reperesentasi suatu daya tarik dan

membuat daya tarik tersebut mudah dikenal.

Berdasarkan pengertian dan transformasi pemahaman mengenai daya tarik

wisata, maka dapat disimpulkan daya tarik wisata merupakan suatu hal yang dapat

berbentuk nature yang mengandalkan keindahan sumberdaya alam sebagai daya

tariknya dan juga man made yang merupakan hasil karya manusia serta kebudayaan

masyarakat. Semua jenis daya tarik tersebut memiliki keunikan serta kekuatan untuk

menarik minat wisatawan.

2.2.4 Destinasi Pariwisata

Berdasarkan Undang-undang no. 10 tahun 2009, daerah tujuan pariwisata yang

selanjutnya disebut dengan destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang

berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya

tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang

saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Secara implisit Piatana

dan Diarta (2009:62) mengemukakan bahwa destinasi pariwisata merupakan suatu

kawasan yang di dalamnya terdapat berbagai macam bisnis atau usaha pada sektor
24

pariwisata serta keberadaan sumberdaya alam yang indah dan melimpah dan juga

ketersediaan sumberdaya manusia yang kompoten dalam sektor pariwisata. Hal

demikian dapat dilihat di Bali yang merupakan destinasi pariwisata andalan

Indonesia karena Bali memiliki semua hal tersebut yang membantu eksistensinya di

sektor pariwisata. Secara langsung Pitana dan Diarta (2009:126) juga menjelaskan

bahwa destinasi pariwisata adalah tempat yang merupakan tujuan utama para

wisatawan untuk menghabiskan waktu liburan secara maksimal dan bukan hanya

untuk sementara seperti halnya daerah transit. Daerah itu pun memiliki kejelasan

hukum terhadap batas-batasnya.

Suwena dan Widyatmaja (2010:83) menyebutkan lima unsur penting yang harus

ada pada suatu daerah tujuan wisata atau destinasi wisata namun semuanya dapat

disederhanakan menjadi tiga yaitu daya tarik wisata, sarana dan prasarana wisata,

serta masyarakat. Maka destinasi wisata menurut kedua ahli tersebut adalah tempat

yang menyediakan berbagai fasilitas untuk aktivitas berwisata khususnya unsur-

unsur penting yaitu daya tarik wisata, sarana dan prasarana wisata, serta masyarakat.

Definisi lain dari destinasi pariwisata yang dirumuskan World Tourism

Organiziation (WTO) pada tahun 2004 dalam Prasiasa (2013:20) adalah sebagai

berikut:

a local tourism destination is a phisycal space in which a visitor send at


least one overnight. It includes tourism product such as tourism support
services and attraction, and tourism resources within one days return level
time. It has phisycal and administrative boundaries defining its management
and image and perceptions defining its market competitiveness. Local
destination incorporate various stakeholders often including a host
community, and can nest and network to from larger destination.
25

WTO menekankan bahwa suatu destinasi pariwisata dikunjungi setidaknya

selama satu malam, yang di dalamnya terdapat produk-produk pariwisata seperti jasa

pendukung pariwisata dan daya tarik wisata. Pada pengertiannya juga ditekankan

bahwa destinasi pariwisata memiliki batas-batas baik secara fisik maupun

administrasi.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa destinasi

merupakan suatu lokasi dengan batas yang jelas yang sebelumnya telah dipelajari

dan dicari informasi terkait tempat tersebut untuk dijadikan tujuan berwisata oleh

para wisatawan. Dimana di dalam suatu destinasi terdapat daya tarik sebagai

motivasi utama wisatawan mengunjunginya serta terdapat pula berbagai macam

sarana dan prasarana berwisata, akomodasi dan produk-produk wisata lainnya yang

mendukung kegiatan pariwisata di lokasi atau destinasi tersebut.

2.3 Teori

2.3.1 Persepsi

Menurut Kotler (1993:219) Persepsi adalah proses bagaimana seseorang

menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk

menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Berdasarkan pengertian tersebut

secara logis persepsi bisa saja berbeda-beda meski untuk satu objek yang sama

karena sifatnya individualis. Setiap orang memiliki sifat dan pembawaan yang

berbeda. Orang-orang pun memiliki pengalaman dan sudut pandang yang berbeda.

Sangat besar kemungkinan persepsi akan berbeda-beda pula, hal ini dibuktikan

dengan berbagai perdebatan yang sering terjadi dikarenakan perbedaan persepsi.


26

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang menurut Gaspersz

(1997:35) yaitu pengalaman masa lalu, keinginan serta pengalaman orang lain atau

teman. Pengalaman masa lalu merupakan kejadian yang teah dialami seseorang dan

pengalaman itulah yang membentuk pola pikirnya terhadap hal yang pernah dialami.

Keinginan merupakan pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan keputusan.

Hal yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan seseorang pasti akan ditolak

karena orang tersebut telah memiliki persepsi yang membuatnya tidak suka.

Pengalaman orang lain atau teman-teman juga dapat mempengaruhi persepsi

seseorang. Kebanyakan orang akan menceritakan pengalaman yang mereka alami

kepada teman, saudara atau orang lain yang berkomunikasi dengannya. Pengalaman

yang diceritakan dapat berupa pengalaman yang baik atau sebaliknya.

Teori Persepsi ini akan digunakan untuk membedah rumusan masalah pertama

dan ketiga yaitu mengetahui persepsi wisatawan terhadap sulaman Karawo. Hal ini

dilakukan karena target market sulaman Karawo adalah wisatawan asing dan

wisatawan domestik sedangkan sulaman Karawo dinilai masih belum begitu diminati

wisatawan sehingga perlu ditelusuri apa faktor kurangnya minat wisatawan terhadap

sulaman Karawo dengan mengetahui pandangan mereka mengenai sulaman Karawo.

Setelah melakukan wawancara mendalam terkait persepsi wisatawan dan pembagian

kuesioner, diklasifikasikan persepsi positif dan negatif dari wisatawan. Tujuan

klasifikasi itu adalah utnuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sulaman Karawo di

mata wisatawan, di sinilah keterkaitannya dengan rumusan masalah ketiga. Untuk

persepsi wisatawan yang kurang menyukai atau tidak menyukai akan dimintai

keterangan dari wisatawan juga seperti apa harapan mereka atau bagaimana selera
27

mereka sehingga dapat disesuaikan. Sedangkan persepsi positif akan tetap dijaga

bahkan ditingkatkan demi memenuhi kepuasan wisatawan asing dan domestik.

Kedua hal ini akan menjadi salah satu acuan rumusan strategi pengembangan pada

rumusan masalah ketiga. Selain itu, teori ini juga akan berkaitan dengan teknik

analisis yaitu analisis SWOT.

2.3.2 Siklus Hidup Produk

Kotler (2009:244) berpendapat bahwa setiap perusahaan yang telah

mengeluarkan suatu produk, menginginkan produk tersebut dapat bertahan lama

untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam hal ini sebenarnya perusahaan

menyadari bahwa setiap produk memiliki masanya kapan suatu produk eksis dengan

banyaknya permintaan pasar dan kapan produk itu mengalami penurunan tingkat

konsumsi. Kesadaran perusahaan terhadap perubahan eksistensi produk tidak

menghentikan perusahaan untuk tetap mengupayakan optimalisasi kualitas produk

agar produk dapat bertahan lebih lama.

Dalam ilmu pemasaran, suatu produk memiliki siklus hidup yang terdiri dari

lima tahapan yang menggambarkan proses dari awal produk diluncurkan ke pasar

hingga akhirnya produk ditarik dari pasar. Lima tahapan tersebut terdiri dari tahap

pengembangan produk, tahap pengenalan produk, tahap pertumbuhan produk, tahap

kedewasaan produk dan tahap penurunan produk. Untuk lebih jelasnya Siklus Hidup

Produk dapat dilihat pada Gambar 2.1:


28

Gambar: 2.1
Siklus Hidup Produk
Sumber: Google.

Pada Gambar 2.1 terdapat lima tahapan akan tetapi pada umumnya banyak

orang mengetahui empat tahapan saja yaitu tahap perkenalan, tahap pertumbuhan,

tahap kedewasaan dan tahap penurunan. Satu tahap sebelum keempat tahapan

tersebut adalah pengembangan produk. Pengembangan produk merupakan tahapan

awal dimana perusahaan mengembangkan gagasan mengenai suatu produk baru.

Tahapan berikutnya adalah proses pengenalan. Pada tahap ini produk diperkenalkan

kepada para calon konsumen dengan cara promosi dan mulai memasarkannya. Tahap

selanjutnya adalah tahap pertumbuhan, dalam tahap pertumbuhan ini penjualan dan

laba akan meningkat dengan cepat. Hal tersebut dikarenakan produk sudah dikenal

yang berimplikasi terhadap tingginya permintaan. Setelah tahap pertumbuhan,

produk masuk pada tahap kedewasaan. Dalam tahap ini penjualan masih meningkat

hingga pada tahap berikutnya yaitu tahap kemunduran dimana produk akan

mengalami perubahan. Tahap ini merupakan tahap dimana laba produsen maupun

laba pengecer mulai turun. Hal ini memicu persaingan harga menjadi sangat tajam

sehingga perusahaan perlu memperkenalkan produknya dengan model yang baru.


29

Perlu diingat bahwa tidak semua produk berjalan sesuai siklus di atas. Ada produk-

produk yang kemundurannya terjadi lebih awal dan ada juga produk yang mampu

mempertahankan eksistensinya sebagai produk yang selalu diminati konsumen. Oleh

karena itu perlu ada persiapan untuk antisipasi masalah dalam setiap tahap

perkembangannya. Untuk dapat mengukur tahap perkembangan suatu produk perlu

adanya indikator yang dapat mengukur produk pada setiap tahap di Siklus Hidup

Produk serta strategi pengembangannya. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada

Tabel 2.1:

Tabel 2.1
Indikator dan Strategi Siklus Hidup Produk

KARAKTERISTIK TAHAPAN
Perkenalan Pertumbuhan Kedewasaan Penurunan
Omset Omset rendah Omset meningkat Omset sangat Penurunan omset
secara signifikan tinggi
Biaya per unit Biaya per unit Biaya per unit Biaya per unit Biaya per unit
masih tinggi menurun rendah sangat rendah

Laba Negatif Pningkatan laba Laba sangat Penurunan laba


tinggi
Pesaing Beberapa Meningkat Semakin Sangat banyak
pesaing meningkat
STRATEGI
Produk Menawarkan Menawarkan Merek dan model Fase produk
produk dasar produk disertai yang beraneka yang melemah
tawaran servis ragam
dan garansi
Harga Harga penetrasi Menurunkan Penyesuaian Menurunkan
harga harga di tengah harga
persaingan ketat
Distribusi Distribusi yang Distribusi Distribusi yang Lebih selektif
selektif intensif lebih intensif
Promosi Biaya promosi Mengurangi Meningkatkan Mengurangi ke
dalam jumlah biaya promosi promosi untuk tingkat minimum
yang besar merek bau
Sumber: Kotler (2009:247)

2.3.3 Bauran Pemasaran

Bauran Pemasaran yang istilah asingnya adalah Marketing Mix oleh Kotler

(2004:123) merupakan deskripsi suatu kumpulan alat-alat yang dapat digunakan


30

oleh manajemen untuk mempengaruhi penjualan. Formula dari bauran pemasaran

ini disebut 4P atau formula tradisional. Formula ini kemudian dikembangkan

menjadi 7P dan disebut sebagai extended marketing mix. 3P yang ditambahkan

adalah Personnel, Procedures, dan physical evidence. Saat ini formula Bauran

Pemasaran terdiri dari product, price, place, promotion, physical efidence, process,

dan people atau produk, harga, tempat/distribusi, promosi, bukti fisik/lingkungan,

proses dan personil.

1. Produk

Produk adalah barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan terhadap para

konsumen. Produk merupakan hal yang paling fundamental untuk mencapai suatu

kesuksesan dalam pemasaran. Produk harus dapat memenuhi kebutuhan konsumen

karena para konsumen membeli apa yang mereka butuhkan. Untuk itu suatu produk

hendaknya memiliki fungsi sesuai kebutuhan konsumtif para konsumen (Sutojo dan

Kleinsteuber, 2002:143).

2. Harga

Menurut Mursid (2003:69-84) harga merupakan indikator penilaian suatu

produk berdasarkan modal dan tambahan keuntungan yang diinginkan. Peranan

harga sangat penting karena merupakan poin teratas bagi masyarakat sebagai

pertimbangan dalam pengambilan keputusan membeli suatu produk. Untuk itu

penetepan harga juga memerlukan berbagai pertimbangan dan perlu kehati-hatian.


31

3. Tempat

Dalam Bauran Pemasaran, tempat dimaksudkan sebagai saluran distribusi

dimana pendistribusian dilakukan untuk mempermudah jangkauan konsumen

(Mursid, 2003:85).

4. Promosi

Menurut Mursid (2003:95) promosi merupakan suatu usaha dalam menyebarkan

informasi suatu produk secara aktif, komunikatif, dan persuasif dengan tujuan

mempengaruhi dan membuat para calon konsumen untuk tertarik serta membuat

keputusan untuk membeli produk yang di promosikan atau ditawarkan.

5. Personil

Personil merupakan para pelaku dalam suatu kegiatan pemasaran jasa. Pelaku

adalah semua karyawan dalam suatu perusahaan serta para calon konsumen yang

akan membeli produk atau menggunakan jasa perusahaan tersebut. Dari pihak

perusahaan, sangat penting untuk menentukan kriteria pegawai dan memberikan

pelatihan-pelatihan terhadap karyawan agar dapat memberikan service atau

pelayanan terbaik serta pengaruh yang kuat kepada para calon konsumen.

6. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik artinya bukti fisik dari suatu perusahaan. Suatu perusahaan

akan dianggap keberadaannya dengan adanya symbol perusahaan, moto, visi, misi,

fasilitas-fasilitas kantor, laporan, kartu nama, seragam karyawan, jaminan

perusahaan, dan kekayaan perusahaan. Hal ini juga akan ikut memberi pengaruh

kepada para calon konsumen untuk membeli produk dan menggunakan jasa yang

ditawarkan perusahaan. Karena konsumen memerlukan suatu kejelasan dan kepastian


32

dalam hal mengkonsumsi baik itu barang ataupun menggunakan jasa yang

ditawarkan. Terkait lingkungan fisik, kenyamanan konsumen dalam berbelanja

merupakan suatu poin penting yan harus diperhatikan misalnya suasana yang

berkaitan dengan disain interior dan kebersihan.

7. Proses

Proses merupakan keikut sertaan konsumen dalam pelayanan jasa. Hal ini

merupakan aktivitas para karyawan dalam memberikan pelayanan kepada konsumen

atau juga merupakan transaksi antara pihak perusahaan dan konsumen dengan cara

memberikan pelayanan terbaik dan konsumen memberi bayaran sesuai pelayanan.

Teori ini merupakan teori pemasaran yang akan digunakan untuk membedah

rumusan masalah ketiga. Alasan penggunaan teori ini berdasarkan kesenjangan yang

terjadi yaitu kurangnya minat wisatawan untuk membeli sulaman Karawo. Untuk itu

perlu ditinjau kembali aspek-aspek penting yaitu 7P dalam pemasaran kerajianan

sulaman karawo. Ketiga teori di atas saling berhubungan satu sama lain sehingga

diyakini dapat memberi solusi yang mampu mengembangkan kerajianan sulaman

Karawo sebagai suatu daya tarik di destinasi Pariwisata Gorontalo seperti yang

diharapkan.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan deskripsi yang memuat keterkaitan antara variable-

variabel yang ada untuk menjawab dan memberi suatu solusi terhadap masalah-

masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian ini berangkat dari adanya

suatu fenomena eksistensi warisan budaya sulaman Karawo yang kini dalam proses
33

pelestarian dan promosi. Proses pelestarian ini dengan menghidupkan kembali

eksistensi sulaman Karawo sebagai bahan sandang yang dapat dikenakan oleh

masyarakat Gorontalo secara keseluruhan dan melestarikan pengetahuan serta

keterampilan menyulam dari generasi ke generasi. Hal tersebut dinilai perlu adanya

ekspansi pelestarian sulaman Karawo di sektor pariwisata karena sulaman Karawo

memiliki potensi sebagai daya tarik wisata yang merupakan warisan budaya daerah.

Pada umumnya semua orang mengetahui bahakan UNESCO pun mengakui bahwa

pariwisata memiliki peran dalam pelestarisan budaya. Untuk itu dibutuhkan strategi

dalam pengembangan sulaman Karawo sebagai daya tarik yang merupakan warisan

budaya tak benda di destinasi pariwisata Gorontalo. Pengembangan sulaman Karawo

di sektor pariwisata sangat diharapkan untuk mendatangkan Rupiah dari luar

Gorontalo bahkan untuk mendulang Dolar masuk ke Gorontalo.

Pemerintah Gorontalo telah menggalakkan upaya-upaya promosi sulaman

Karawo demi pelestariannya namun usaha itu hingga kini belum maksimal.

Berdasarkan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam fenomena sulaman

Karawo, maka dirumuskan tiga pokok permasalahan yang perlu dibedah secara

ilmiah dengan menggunakan teori-teori para ahli yang telah ditetapkan dalam

penelitian ini..

Alur pikir dari penelitian ini pada umumnya membahas Pariwisata Gorontalo

yang kemudian dispesifikasi terhadap salah satu daya tarik yaitu sulaman Karawo.

Sulaman Karawo dikembangkan sebagai suatu daya tarik dengan promosi yang

dilakukan secara besar-besaran, namun masih sangat sedikit wisatawan baik asing

maupun domestik yang berminat untuk membeli sulaman Karawo. Dalam penelitian
34

ini ada keterlibatan beberapa stakeholder yaitu wisatawan asing dan domestik, para

pelaku usaha, serta pemerintah terkait. Untuk itu penelitian ini memiliki beberapa

konsep yakni konsep pengembangan, sulaman Karawo, warisan budaya, daya tarik

wisata dan destinasi pariwisata. Terdapat tiga rumusan masalah yang dibedah dengan

beberapa teori. Rumusan masalah yang pertama dibedah dengan teori Persepsi,

rumusan masalah kedua dibedah dengan teori Siklus Hidup Produk, dan rumusan

masalah ketiga dibedah dengan tiga teori yaitu teori Persepsi, teori Siklus Hidup

Produk dan teori Bauran Pemasaran. Pembedahan rumusan masalah dengan teori-

teori yang telah ditentukan memberi suatu hsil penelitian dimana hasil tersebut

melahirkan rekomendasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat alur pikir penelitian ini

dalam bentuk bagan pada Gambar 2.2


35

Pariwisata Gorontalo

Pengembangan Sulaman
Wisatawan Karawo Sebagai Daya Pengusaha dan
Tarik di Destinasi
Pemerintah
Pariwisata Gorontalo

Sulaman Karawo telah dipromosikan


sebagai daya tarik wisata, namun
belum diminati wisatawan asing dan
domestik

Rumusan Masalah 1:
Bagaimana persepsi Teori
wisatawan terhadap kain Persepsi
Karawo?

Konsep:
Pengembangan, Sulaman Rumusan Masalah 2: Teori
Karawo, Warisan Budaya, Sejauh manakah Pengembangan Produk
Daya Tarik Wisata, perkembangan kain Baaru dan Siklus
Destinasi Pariwisata Karawo saat ini? Hidup Produk

Rumusan Masalah 3: Teori


Bagaimanakah strategi Bauran Pemasaran
pengembangan kain
sulaman Karawo?

Hasil

Rekomendasi

Gambar 2.2
Model Penelitian
36

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini secara umum bersifat deskriptif kualitatif dimana diharapkan dapat

membantu pembaca untuk mengetahui berbagai aktivitas, realita, serta paradigma

pemikiran yang berkembang dari para informan Emzir (2011:174). Namun dalam

penelitian ini juga digunakan pendekatan secara kuantitatif sebagai data pendukung.

Adanya Pendekatan data kualitatif secara keseluruhan dan data kuantitatif sebagai

pendukung, maka metode penelitian ini adalah metode campuran.

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan sulaman Karawo di sektor

pariwisata, studi ini juga medeskripsikan karakteristik dan keunikan sulaman

Karawo sebagai pusaka budaya yang bersifat intangible atau tak benda yang

dianggap merupakan potensi sebagai suatu daya tarik dan dapat menunjang

pariwisata Gorontalo. Tujuan yang lain adalah mengetahui persepsi para wisatawan

baik wisatawan asing maupun wisatawan domestik terhadap sulaman Karawo.

Penelitian ini juga mengidentifikasi tahapan perkembangan sulaman Karawo di

Gorontalo, kemudian memberi usulan kebijakan yang dianggap tepat sebagai strategi

pengembangan sulaman Karawo berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Semua

tujuan penelitian ini dapat terlaksana dengan melakukan tahapan-tahapan

pengumpulan data yaitu dengan melakukan observasi, penyebaran kuesioner kepada

responden yakni wisatawan asing dan wisatawan domestik, serta wawancara secara
37

mendalam kepada para informan yang telah ditentukan yaitu; para pelaku usaha dan

pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata Gorontalo dan Dinas

Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Semua data yang

diperoleh diolah dan dikaji sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan solusi

serta kebijakan yang dianggap perlu dan sesuai dalam upaya pengembangan sulaman

Karawo sebagai daya tarik di destinasi pariwisata Gorontalo.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Gorontalo karena di wilayah ini terdapat banyak

toko-toko Karawo dan para pelaku usaha Karawo. Tepatnya di pusat perbelanjaan

souvenir khas Gorontalo di Jl. Jenderal Surapto, Kota Gorontalo. Empat orang

pemilik toko atau pelaku usaha sebagai informan kunci diwawancarai secara

mendalam. Selain itu, untuk mendapatkan data mengenai persepsi wisatawan terkait

sulaman Karawo, dilakukan penyebaran kuesioner di dua daya tarik wisata di Kota

Gorontalo yaitu di monumen pahlawan Nani Wartabone dan pantai Pohe Indah atau

yang dikenal dengan istilah tangga 2000. Alasan pemilihan dua lokasi ini karena

berdasarkan observasi, di sekitar monumen pahlawan Nani Wartabone terdapat

beberapa hotel yang sering dihuni banyak wisatawan asing. Sedangkan pantai Pohe

Indah merupakan daya tarik yang berlokasi di Kota Gorontalo yang sering menjadi

bagian dari kunjungan pada rangkaian city tour.

Wawancara mendalam dilakukan di beberapa instansi yaitu kantor Dinas

Pariwisata dan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi yang berlokasi di

Kota Gorontalo. Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian Perdagangan dan


38

Koperasi memiliki relevansi terkait dengan pengembangan sulaman Karawo

sehingga ditetapkan sebagai sumber informasi mengenai sulaman Karawo. Berikut

ini dapat dilihat secara jelas peta lokasi penelitian pada Gambar 3.1.

Gambar: 3.1
Peta Provinsi Gorontalo dan Peta Kota Gorontalo
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo (2014)

Gambar 3.1 pada bagian kiri merupakan peta provinsi Gorontalo secara

keseluruhan. Pada sudut kiri atas peta itu juga dapat dilihat letak provinsi Gorontalo

yaitu pada bagian utara pulau Sulawesi. Peta pada bagian kanan Gambar 3.1 adalah

peta Kota Gorontalo yang merupakan lokasi penelitian.

3.3 Jenis Dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yang pertama adalah data

kualitatif yang dapat berbentuk gambar, dan kalimat yang bersifat deskriptif.

(Sugiyono, 2009:12). Jenis data ini merupakan jenis data yang tidak dapat diukur
39

secara pasti dengan angka-angka. Perlu adanya penjabaran secara rinci agar dapat

dipahami hal-hal terkait lokasi penelitian, dan hasil wawancara secara mendalam

dengan para informan yaitu pemerintah, dan para pelaku usaha kerajinan sulaman

Karawo yang dalam hal ini adalah para pedagang atau pengusaha Karawo. Selain

data dari hasil wawancara terhadap para informan, ada juga data-data yang berupa

dokumentasi yang dijabarkan sebagai pelengkap. Data kuantitatif berupa angka-anka

diperoleh dari hasil pembagian kuesioner kepada para wisatawan asing dan

wisatawan domestik yang merupakan responden dalam penelitian ini. Semua data

yang diperoleh dideskripsikan secara rinci dan jelas.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Sumber data primer. Data primer merupakan data yang dikumpulkan melalui

interaksi langsung pengumpul dan sumber data (Wibisono, 2003:37). Data

primer ini diperoleh dengan observasi atau pengamatan-pengamatan langsung

yang dilakukan di lokasi penelitian. Selain itu juga dengan mewawancarai para

informan dan hasil kuisioner terhadap para responden.

2. Sumber data Sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui sumber-sumber

tercetak, dimana data tersebut telah dikumpulkan oleh pihak-pihak lain

sebelumnya (Wibisono, 2003:37). Data sekunder ini dapat diperoleh melalui

sumber tak langsung pada instansi terkait yaitu di kantor Perindustrian

Perdagangan dan Koperasi Kota Gorontalo, Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo,

serta data dari kantor Dinas Pariwisata Kota Gorontalo.


40

3.4 Instrumen Penelitian

Sugiyono (2009: 23) mengklasifikasi dua jenis instrument dalam penelitian

kualitatif yaitu peneliti atau human instrument. Selain peneliti sebagai human

instrument, digunakan juga beberapa instrument untuk mendapatkan informasi yang

jelas dari informan yaitu pedoman wawancara, alat tulis menulis, kamera, dan

rekorder. Dalam penelitian ini juga digunakan kuesioner bagi para responden pada

saat proses pengumpulan data karena penelitian ini merupakan penelitian campuran

antara kualitatif dan kuantitatif.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini, data yang diperlukan dikumpulkan sesuai

dengan prosedur yang pada umumnya dilakukan yaitu sebagai berikut (Sugiyono,

2009:22).

3.5.1 Observasi

Proses observasi dilakukan di toko-toko Karawo di pusat perbelanjaan untuk

mengetahui secara langsung siapa saja konsumen Karawo serta motif pembeliannya.

Kegiatan observasi juga dilakukan di dua daya tarik wisata yang telah ditetapkan

sebagai lokasi penyebaran kuesioner serta di kantor Dinas Pariwisata Kota

Gorontalo, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Gorontalo.

3.5.2 Wawancara Mendalam

Wawancara adalah suatu usaha untuk melakukan hubungan komunikasi antara

peneliti dengan informan yang telah ditetapkan. Ada pun metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam. Informan kunci yang
41

ditetapkan secara purposif adalah para pelaku usaha kerajianan sulaman Karawo,

kepala Dinas Pariwisata Kota Gorontalao dan kepala Dinas Perindustrian

Perdagangan dan Koperasi Kota Gorontalo.

3.5.3 Kuesioner

Kuesioner disebarkan kepada wisatawan sebanyak 30 lembar untuk 30 orang di

dua daya tarik wisata. Kuesioner tersebut terdiri dari 10 kuesioner untuk wisatawan

asing dan 20 kuesioner untuk wisatawan domestik. Penyebaran kuesioner dilakukan

untuk mengetahui persepsi wisatawan terkait kerajianan sulaman Karawo. Hasil dari

kuesioner tersebut sangat membantu untuk merumuskan solusi dalam penelitian ini,

serta merumuskan strategi pengembangan sulaman Karawo sebagai daya tarik

wisata.

3.5.4 Dokumentasi

Dokumentasi atau pengumpulan dokumen juga merupakan bagian yang penting

dalam suatu penelitian. Dokumen yang diperoleh dalam bentuk grafik, bahan tertulis,

arsip-arsip dan brosur untuk mendukung data-data yang telah dimiliki. Dokumentasi

ini diperoleh di kantor Dinas Pariwisata, Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo dan

kantor Koperasi Perindustrian dan Perdagangan. Adapun data yang diperoleh di

antaranya informasi mengenai Gorontalo secara umum serta sejarahnya, bentuk-

bentuk promosi yang dilakukan untuk memperkenalkan sulaman Karawo, anggaran

pelaksanaan festival budaya Karawo, dan hal-hal terkait lainnya.


42

3.6 Teknik penetuan Sampel

Teknik penetuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pemilihan

sampel nonprobabilitas atau tidak acak. Terdapat empat jenis pemilihan sampel

dalam teknik ini yaitu secara incidental sampling, purposive sampling, quota

sampling, dan snowball sampling (Silalahi, 2009: 273). Meski terdiri dari empat jenis

sampling atau pemilihan sampel, penelitian ini hanya menggunakan dua jenis saja

yaitu incidental sampling dan purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini

terdiri dari responden dan informan yang secara keseluruhan sejumlah 36 orang. Ada

pun penjelasan secara rinci terkait sampel adalah sebagai berikut:

3.6.1 Responden

Responden penelitian ini adalah wisatawan yang terdiri dari wisatawan asing

dan wisatawan domestik. Teknik penetuan responden adalah secara incidental

sampling atau secara kebetulan. Insidental sampling adalah penentuan sampel secara

kebetulan dimana siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat

dijadikan sample dalam penelitiannya (Sugiono, 2010:67). Penelitian ini

menggunakan 30 kuesioner untuk 30 orang wisatawan yang terdiri dari 10 orang

wisatawan asing dan 20 orang wisatawan domestik. Pada pertemuan yang secara

kebetulan dengan wisatawan tersebut, dimintai kesediaan wisatawan untuk mengisi

kuesioner. Dalam penelitian ini tidak hanya sekedar meminta wisatawan mengisi

kuesioner, tetapi juga jika wisatawan berkenan dapat dimintai waktu untuk

wawancara secara singkat.


43

3.6.2 Informan

Informan adalah orang yang diwawancarai secara mendalam yang ditentukan

dengan menggunakan purposive sampling. Purposive sampling adalah cara untuk

menentukan sampel berdasarkan suatu pertimbangan dimana yang diwawancarai

adalah orang yang ahli dalam bidang yang diteliti oleh peneliti (Sugiono, 2010:67).

Dalam penelitian ini ada enam orang informan yang diwawancarai yakni dua orang

dari instansi pemerintah, kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi serta

kepala Dinas Pariwisata Kota Gorontalo. Selain itu dibutuhkan juga informasi-

informasi dari empat orang pelaku usaha kerajinan sulaman Karawo.

3.7 Teknik Analisis Data

3.7.1 Deskriptif Kualitatif

Teknik analisis data yang digunakan ada dua teknik yang pertama adalah

deskriptif kualitatif. Data yang telah diperoleh selama kegiatan penelitian di lapangan

dengan melakukan observasi dan wawancara mendalam terhadap para informan,

diolah dan dibedah dengan teori yang telah ditetapkan. Ada pun teori yang telah

ditetapkan adalah teori Strategi Siklus Hidup Produk, teori Persepsi, dan teori Bauran

Pemasaran. Hasil pengolahan data dideskripsikan secara rinci hingga memperoleh

hasil akhir yang dapat merumuskan solusi untuk menjawab rumusan masalah.

3.7.2 Skala Likert

Untuk mengukur dan menganalisa persepsi wisatawan terhadap sulaman

Karawo digunakan skala likert. Skala ini sering digunakan sebagai alat untuk

mengukur sikap, pendapat dan persepsi responden terhadap suatu objek yang
44

dikembangkan oleh Rensis Likert (1932) (dalam Utama dan Mahadewi, 2012: 60).

Skala likert adalah skala yang menunjukkan sikap atau persepsi responden terhadap

objek yang diteliti dimulai dari tanggapan yang sangat positif hingga yang sangat

negatif yang terdiri dari lima tingkatan. Dari kelima tingkatan tanggapan responden,

harus ada satu pilihan yang benar-benar mewakili persepsinya terkait pertanyaan

yang diajukan peneliti yang biasanya ada dalam daftar pertanyaan pada kuesioner

(Kusumayadi dan Sugiarto, 2000: 94). Dalam penelitian ini pertanyaan yang ada

pada kuesioner akan diberikan bobot nilai untuk dianalisa

Tabel 3.1
Arti Pembobotan Dengan Skala Likert

Bobot nilai Arti


5 Persepsi yang sangat baik
4 Persepsi yang baik
3 Persepsi yang cukup baik
2 Persepsi yang tidak baik
1 Persepsi yang sangat tidak baik
Sumber : Kusmayadi dan Sugiarto, 2000: 94

Untuk mengidentifikasi baik atau tidaknya suatu produk atau objek yang diteliti

dicari jarak dari skala likert yang digunakan dengan menguangkan angka tertinggi

dalam skala dengan angka terendah dalam skala. Hasil yang diperoleh kemudian

dibagi dengan banyaknya skala yang digunakan. Ada pun formula yang digunakan

adalah sebagai berikut (Dajan, 1996) (dalam Widuri, 2012: 53):


Interval =

Keterangan : R = Nilai skor tertinggi nilai skor terendah

K = Jumlah skala penilaian

5-1 = 0,8
5
45

Dari perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, dapat diketahui bahwa

interval sebesar 0,8. Berdasarkan interval ini, maka dapat ditentukan skala penilaian

seperti yang pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2
Interval Kelas yang Dijadikan Dasar Pemikiran

No Interval Penilaian
1 1,00 - 1,79 Sangat tidak baik atau sangat tidak penting
2 1,80 2,59 Tidak baik atau tidak penting
3 2,60 3,39 Cukup atau Netral
4 3,40 4,19 Baik atau penting
5 4, 20 5,00 Sangat baik atau sangat penting
Sumber: Dajan (1996: 27) dalam Widuri (2012: 54)

Tabel 3.2 merupakan Skala persepsi wisatawan terhadap sulaman Karawo yang

merupakan inti dari setiap pertanyaan dalam kuesioner yang dibagikan.

3.7.3 Analisis SWOT

Teknik analisis data yang kedua adalah dengan analisis SWOT. analisis SWOT

adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

perusahaan (Rangkuti, 1997:19). SWOT merupakan singkatan dari strengts,

weaknesses, opportunities dan threats, maka hal itu menjadi fundasi analisis ini

dengan penalaran yang dapat mengoptimalkan kekuatan (strengths) dan peluang

(opportunities), dan pada saat yang sama mampu meminimalisir kelemahan

(weaknesses) serta ancaman (threats). Dari keempat poin tersebut dapat

dikelompokkan bahwa strengths dan weaknesses merupakan lingkungan internal

sedangkan opportunities dan trheats merupakan lingkungan eksternal. Analisis

SWOT membandingkan kedua lingkungan tersebut. Berikut ini Gambar 3.2

merupakan diagram analisis SWOT oleh Rangkuti (1997:20).


46

Berbagai Peluang

c. Mendukung strategi turn around a. Mendukung strategi agresif


Kelemahan Kekuatan
Internal

d. Mendukung strategi defensive b. Mendukung strategi diversifikasi


Berbagai Ancaman

Gambar: 3.2
Diagram analisis SWOT
Sumber: Rangkuti (1997:20)

Keterangan Gambar 3.2:

Kuadran (a) merupakan situasi yang sangat menguntungkan dimana sulaman

Karawo memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang

ada. Kuadran (b) meskipun menghadapi berbagai ancaman, sulaman Karawo masih

memiliki kekuatan internal. Kuadran (c) sukaman Karawo menghadapi peluang

pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak sulaman Karawo mengalami beberapa

kendala/kelemahan internal. Kuadran (d) ini merupakan situasi yang sangat tidak

menguntungkan, dimana sulaman Karawo menghadapi berbagai ancaman dan

kelemahan internal. Selanjutnya matriks analisis SWOT Rangkuti (1997:88) dapat

dilihat pada Gambar 3.3.


47

Faktor-faktor STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)


internal Tentukan faktor-faktor Tentukan faktor-faktor
kekuatan Internal kelemahan internal

Faktor-Faktor
eksternal

OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO


Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
peluang eksternal memanfaatkan peluang meminimalkan
dengan kekuatan yang ada kelemahan untuk
memanfaatkan peluang

THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT


Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
ancaman eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk mengatasi kelemahan dan
ancaman menghindari ancaman

Gambar 3.3
Matriks analisis SWOT
Sumber: Rangkuti (1997:88)

Keterangan Gambar 3.3:

1. Strategi SO

Strategi ini strategi yang memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan

memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.

2. Strategi ST

Strategi ini adalah strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki

sulaman Karawo untuk mengatasi ancaman.

3. Strategi WO

Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara

meminimalkan kelemahan yang ada.

4. Strategi WT

Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha

meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.


48

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Data disajikan secara naratif yang mengulas permasalahan dan solusi

berdasarkan hasil penelitian. Data yang diperoleh dideskripsikan dengan

menarasikan hasil pengolahan data dan didukung oleh gambar-gambar yang dapat

mengilustrasikan proses penelitian disertai lampiran data-data primer dan sekunder.

Semua data yang disajikan merupakan hasil klasifikasi dan interpretasi penulis

terhadap data yang diperoleh.


49

BAB IV

GAMBARAN UMUM KOTA GORONTALO

4.1 Sejarah Kota Gorontalo

Menurut sejarahnya, Kota Gorontalo merupakan salah satu kota tua di Sulawesi

selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Kota tua atau Kota Gorontalo ini telah

terbentuk sejak 400 tahun yang lalu dengan sistem pemerintahan yang berbentuk

kerajaan. Pada saat itu, Gorontalo adalah salah satu pusat penyebaran agama Islam di

Indonesia bagian timur. Penyebaran agama itu kemudian menjadi jalan bagi Kota

Gorontalo untuk menjadi pusat perdagangan dan pendidikan di wilayah sekitar. Hal

tersebut didukung juga dengan letak Kota Gorontalo yang strategis yaitu di bagian

selatan kota ini menghadap ke teluk Tomini, dan bagian utara menghadap ke laut

Sulawesi. Terdapat banyak kerajaan-kerajaan di Gorontalo yang diatur menurut

hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan tersebut tergabung dalam

satu ikatan kekeluargaan yang disebut Pohalaa. Terdapat lima Pohalaa di

Gorontalo yaitu; Pohalaa Gorontalo, Pohalaa Limboto, Pohalaa Suwawa,

Pohalaa Boalemo dan Pohalaa Atinggola.

Hukum adat yang ada menjdaikan Kota Gorontalo termasuk dalam 19 wilayah

adat di Indonesia. Adat dan agama merupakan dua unsur penting yang tak

terpisahkan di Gorontalo yang menyatu dengan istilah Adat bersendikan Syara dan

Syara bersendikan Kitabullah. Salah satu contoh pengaplikasian peleburan adat dan

agama menjadi satu dalam kehidupan masyarakat Gorontalo adalah pada zaman
50

daulu masyarakat Gorontalo sudah mengetahui dan memiliki keterampilan

menyulam atau Karawo. Karawo dilakukan oleh para gadis yang dipingit agar tidak

bertemu para pria sebelum mereka menikah. Hal ini merupakan aturan adat yang

berhubungan dengan ajaran agama Islam untuk menjaga pandangan dan hati

terhadap lawan jenis sebelum sah sebagai pasangan suami istri.

Seiring berjalannya waktu pada tahun 1889, sistem pemerintahan kerajaan

dialihkan menjadi sistem pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah

Rechtatreeks Bestur. Gorontalo juga mengalami masa-masa penjajahan oleh

kolonial Belanda dan Jepang. Pada saat itu masyarakat Kota Gorontalo tidak tingal

diam dan melakukan segala usaha untuk meraih kemerdekaannya.

Sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Gorontalo telah

lebih dulu merdeka pada tanggal 23 Januari 1942. Kemerdekaan Gorontalo

dipelopori oleh bapak H. Nani Wartabone yang juga telah dikukuhkan oleh

pemerintah RI sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Sejak kemerdekaannya

hingga tahun 1944, Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan sendiri dan akhirnya

menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kemerdekaan

Indonesia yang diraih pada tahun 1945.

Setelah kemerdekaan, Kota Gorontalo merupakan bagian dari provinsi Sulawesi

Utara. Gorontalo yang berstatus sebagai Kotamadya kemudian dimekarkan menjadi

provinsi baru dan berpisah dari provinsi Sulawesi Utara sebagai provinsi ke 32.

Provinsi Gorontalo diresmikan pada tanggal 16 Februari 2001. Provinsi ini tetap

dinamakan provinsi Gorontalo dengan ibu kota, Kota Gorontalo, serta salah satu
51

kabupatennya yaitu kabupaten Gorontalo. Hal yang sangat jarang terjadi di provinsi

lain namun demikiannlah Gorontalo dibentuk.

4.2 Kondisi Geografis Kota Gorontalo

Kota Gorontalo merupakan ibu kota Provinsi Gorontalo. Secara geografis

memiliki luas 79,03 km2 atau 0,65 % dari luas provinsi Gorontalo. Kota Gorontalo

dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Kecamatan dengan luas

terbesar adalah kecamatan Kota Barat. Secara astronomis, Kota Gorontalo terletak

antara 00 28' 17'' - 00 35' 56'' Lintang Utara dan antara 122 59' 44'' - 123 05' 59''

Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Kota Gorontalo memiliki batas-

batas: Utara Kecamatan Bulango Selatan Bone Bolango, Selatan Teluk Tomini,

Barat Sungai Bolango Kabupaten Gorontalo, Timur Kecamatan Kabila

Kabupaten Bone Bolango.

Kondisi topografi Kota Gorontalo adalah tanah datar yang dilalui tiga sungai

yang bermuara di Teluk Tomini dan Pelabuhan Gorontalo. Bagian selatan diapit dua

pegunungan berbatu kapur/pasir. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai

470 meter dan pesisir pantainya landai berpasir (Badan Pusat Statistik Kota

Gorontalo:2014).

4.3 Kondisi Sosio Demografis Kota Gorontalo

4.3.1 Jumlah Penduduk

Penduduk Kota Gorontalo pada tahun 2014 berjumlah 192.031 jiwa dengan

kepadatan penduduk 2.430 orang/km2. Jumlah tersebut terdiri dari jumlah penduduk
52

laki-laki sebanyak 95.523 orang dan 96.508 orang penduduk perempuan. Kota

Gorontalo memiliki sembilan kecamatan yaitu; Kota Barat, Dungingi, Kota Selatan,

Kota Timur, Hulonthalangi, Dumbo Raya, Kota Utara, Kota Tengah, Sipatana.

Kecamatan Kota Tengah merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak

sebesar 26.698 orang. Jumlah penduduk paling sedikit adalah di kecamatan

Hulonthalangi sebesar 16.508 orang.

Sebagian besar penduduk di Kota Gorontalo bermata pencaharian sebagai

buruh/karyawan/pegawai yaitu sebanyak 42.662 orang. Jumlah paling sedikit adalah

sebagai pekerja bebas di pertanian sebanyak 2.612 orang. Hal tersebut tentunya

sangat kontras dengan tingkat mata pencaharian penduduk dalam suatu kabupaten

atau desa. Penduduk kota memang lebih banyak sebagai karyawan atau pegawai.

Lahan pertanian yang semakin lama semakin sedikit di Gorontalo turut berpengaruh

pada jumlah penduduk dengan mata pencaharian sebagai pekerja bebas di pertanian.

Secara keseluruhan penduduk Kota Gorontalo yang berstatus bekerja atau memiliki

mata pencaharian adalah sebanyak 85.215 orang.

Gorontalo yang tidak terlepas dari penduduk-penduduk dengan status

pengangguran, membutuhkan solusi baik dari pihak pemerintah maupun akademisi

untuk membantu dalam hal pemerolehan pekerjaan. Penduduk yang berstatus

pengangguran berjumlah 6.634 orang, sementara yang tercatat sebagai pencari kerja

adalah sebanyak 1.566 orang.

4.3.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat

Pendidikan merupakan hal yang sangat krusial tidak hanya bagi masa depan

anak melainkan juga bagi masa depan bangsa dan negara karena semua anak adalah
53

harapan dalam melanjutkan pembangunan serta memajukan bangsa dan negara.

Inilah sebabnya pemerintah banyak memberi bantuan-bantuan di bidang pendidikan

serta mewajibkan pendidikan selama 9 tahun atau yang dikenal dengan istilah wajib

belajar 9 tahun. Penduduk Kota Gorontalo telah menyadari akan pentingnya

mengenyam pendidikan. Hal tersebut terlihat dengan jumlah siswa pada Taman

Kanak-kanak di Kota Gorontalo tahun 2014 sebanyak 4.381 siswa.

Pemerintah telah berperan aktif untuk mewujudkan wajib belajar 9 tahun.

Banyak siswa dan siswi di Gorontalo melanjutkan hingga ke jenjang pendidikan

selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Atas dan sederajad. Ada pun presentase siswa

pada tingkat Sekolah Dasar dan sederajad hingga ke tingkat Sekolah Menengah Atas

dan sederajad dapat dilihat pada Tabel 4.1:

Tabel 4.1.
Angka Partisipasi Murni Menurut Jenjang Pendidikan di Kota Gorontalo
Tahun 2014.

Jenjang 2013 2014


Pendidikan APM APK APM APK
SD/MI 96,49 112,27 97,16 11,197
SMP/MTS 66,42 74,26 69,77 74,11
SMA/SMK/MA 46,16 65,35 66,89 81,34
Sumber: Kota Gorontalo Dalam Angka 2015

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa siswa pada tingkat Sekolah Dasar dan

sederajad sebesar 97,6 %. 69,77% untuk Sekolah Menengah Pertama dan sederajad,

serta 66,89% untuk Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan

sederajad. Presentase jumlah siswa yang di atas 50% memperlihatkan bahwa

masyarakat Gorontalo memiliki kesadaran akan pentingnya mengenyam pendidikan

khususnya wajib belajar 9 tahun. Meski telah mencapai persentasi di atas rata-rata,
54

namun ke depannya perlu ditingkatkan lagi khususnya untuk pendidikan di tingkat

Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

4.4 Pariwisata Kota Gorontalo

Pariwisata Gorontalo tidak kalah dengan pariwisata di provinsi lain. Gorontalo

menyuguhkan momen berlibur yang tidak terlupakan dengan keindahan panorama

alam yang menakjubkan. Daya tarik yang ditawarkan Gorontalo tentunya dilengkapi

dengan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan wisatawan, salah satu di

antaranya adalah hotel yang merupakan sarana akomodasi penting bagi wisatawan.

Pembangunan hotel di Gorontalo cukup progresif dengan adanya perencanaan yang

sistematis dan pembangunan yang konsisten oleh para stakeholder. Adapun

perkembangan perhotelan di Gorontalo hingga kini dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2
Hotel Berbintang dan Non Berbintang di Gorontalo

No. Tahun Berbintang Non Berbintang


1. 2010 1 41
2. 2011 1 43
3. 2012 2 44
4. 2013 7 43
5. 2014 8 45
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo Tahun 2014

Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa hotel berbintang di Gorontalo masih sangat

sedikit apa lagi pada tahun 2010 hingga 2011 hanya ada 1 hotel. Tahun 2012

bertambah 1 hotel berbintang yang kemudian di tahun berikutnya bertambah lagi 5

hotel. Tahun 2013 merupakan peningkatan pembangunan hotel berbintang yang

tertinggi karena dari jumlah hotel yang bertambah adalah 5 hotel, sedangkan di tahun
55

2014 hanya bertambah 1 hotel, sehingga total hotel berbintang sampai tahun 2014

berjumlah 8 hotel.

Hotel non berbintang di Gorontalo sudah jauh lebih banyak dari hotel

berbintang, namun perkembangannya tidak seprogresif perkembangan hotel

berbintang karena di tahun 2013 terjadi pengurangan jumlah hotel. Pada tahun 2010

hotel non berbintang sebanyak 41 hotel, kemudian meningkat menjadi 43 hotel

dengan bertambahnya 2 hotel baru pada tahun 2011. Pada tahun 2012 bertambah lagi

1 hotel sehingga totalnya sebanyak 44 hotel. Pada tahun 2013 terjadi pengurangan 1

hotel dan jumlah keseluruhannya menjadi 43 hotel. Pembangunan hotel membaik

lagi pada tahun 2015 dengan bertambahnya 2 hotel baru sehingga total hotel non

berbintang terakhir sebanyak 45 hotel.

Hotel yang telah disediakan di Gorontalo tentunya untuk melengkapi fasilitas

bagi para wisatawan. Hal terpenting dalam suatu destinasi adalah daya tariknya yang

dapat memikat wisatawa untuk berkunjung dan berwisata ke tempat tersebut.

Beberapa contoh daya tarik di destinasi pariwisata Gorontalo dapat dilihat pada

Gambar 4.1.
56

Gambar 4.1
Daya tarik wisata di destinasi pariwisata Gorontalo
Sumber: Google

Gambar 4.1 merupakan beberapa daya tarik di destinasi pariwisata Gorontalo

yang dapat memberi kepuasan kepada wisatawan selama perjalanan wisata mereka di

Gorontalo. Keindahan alam dan daya tarik wisata buatan yang dipadukan dengan

berbagai tradisi dan budaya Gorontalo tidak perlu diragukan lagi. Para wisatawan

akan merasakan kenyamanan ketika berwisata di Gorontalo karena banyak pilihan

daya tarik wisata yang belum menjadi mass tourism atau pariwisata masal sehingga

tidak menimbulkan kemacetan dan pastinya wisatawan akan lebih menikmati waktu

mereka. Adapun daftar daya tarik wisata yang berada di Kota Gorontalo dapat dilihat

pada Tabel 4.3.


57

Tabel 4.3
Daftar Daya Tarik Wisata di Kota Gorontalo

No. Kecamatan Jumlah Daya Tarik


1. Kota Barat 5 Bak pemandian Potangna
Benteng Otanaha
Stasiun Ampibi
Makam keramat Ju Panggola
Makam keramat Kali Bandula
2. Dungingi 1 Makam keramat nene Tabibi
3. Kota Selatan 7 Kolam renang Lahilote
Dulohupa
Planet Waterboom
Taman kota
Masjid Baiturrahim
Makam keramat Haji Bu Ulu
3. Kota Timur 1 Majsid tua Boki Owutango
4. Hulontalangi 8 Pantai Pohe Indah
Tapak kaki Lahilote
Gua Bayalo Milale
Monumen Nani Wartabone
Makam keramat Ta Jilo Lyobuo
Makam keramat Pulu Bunga
Makam keramat Titidu Hulawa
Makam keramat Dutongo Pitu loludu
5. Dumbo Raya 3 Pantai Tamboo
Pantai Blue Marlin
Makam keramat Ta Ilayabe
6. Kota Utara 1 Tiara Water Park
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Gorontalo

Tabel 4.3 merupakan daftar daya tarik wisata di Kota Gorontalo menurut

Kecamatan. Selain daya tarik yang menyuguhkan keindahan alam, di Kota Gorontalo

terdapat banyak makam keramat. Wisatawan yang mengunjungi makam keramat

tersebut adalah orang-orang yang melakukan ziarah baik masyarakat lokal Gorontalo

maupun wisatawan domestik yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Makam

keramat tersebut adalah makam tokoh-tokoh agama Islam di Gorontalo.

Anda mungkin juga menyukai