Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
APRIL 2016
UNIVERSITAS TADULAKO

AUTOPSI KLINIK

OLEH :
MOH. CAESAR B.A.P.H ( N 111 14 020)
LESTARI IRAWAN HADI ( N 111 14 013 )
MICHELLINE BRIGITA BOLANG ( N 111 14 012)
SITI RAHMA ( N 111 14 015)
WINDY MENTARI ( N 111 14 0)

PEMBIMBING :
dr. ANNISA ANWAR MUTHAHER, SH, M.Kes, Sp.F

DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA


BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

Autopsi dikenal sebagai bagian yang penting dalam dunia kedokteran.


Terpisah dari penegakkan diagnosis, autopsi berhubungan dengan sebab kematian
yang terkait dengan patologi dan penjelasan mengenai interaksi keduanya.
Autopsi adalah suatu pemeriksaan terhadap tubuh jenazah untuk kepentingan
tertentu, meliputi pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan
menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh
ahli yang berkompeten.1,2

Terdapat dua tipe autopsi yang utama, yaitu autopsi forensik dan autopsi
klinik. Autopsi forensik dilakukan pada kasus yang mencurigakan, kekerasan atau
yang tidak diketahui sebab kematiannya. Autopsi klinik dilakukan di rumah sakit
berdasarkan persetujuan keluarga pasien untuk mencari dan mengetahui sebab
kematian.1

Autopsi klinik adalah autopsi yang dilakukan terhadap jenazah dari


penderita penyakit yang dirawat dan kemudian meninggal dunia di Rumah Sakit.
Autopsi sejak dahulu dipandang sebagai baku emas dan alat paling penting untuk
penilaian kualitas diagnosis klinis secara retrospektif serta sebagai alat untuk
pendidikan. Dalam studi-studi penelitian yang membandingkan diagnosis klinis
dan temuan autopsi, memperlihatkan ketidaksesuaian kira-kira 25% dari pasien
meninggal yang dilakukan autopsi.2,3

Penyebab kematian antara rekam medis dengan audit kematian dapat saja
berbeda. Hal ini dikarenakan konteks penentuan penyebab kematian
ditentukansecara klinis, sedangkan sebagai standar baku emaspenyebab kematian
adalah dengan dilakukan autopsi klinik. Sayangnya, penentuan penyebab
kematian dengan autopsi klinik di Indonesia jumlahnya tidak banyak.4

Autopsi klinik semakin berkurang dilakukan sekitar setengah abad


terakhir. Jumlah autopsi di rumah-rumah sakit di Amerika dan Eropa telah

2
menurun secara progresif, mulai dari sekitar 60% pada tahun 1960 menjadi
kurang dari 10% saat ini. Saat ini banyak alasan yang diperkirakan menjadi
penyebab turunnya jumlah autopsi.5

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kata autopsi berasal dari bahasa Yunani (artinya untuk melihat sendiri)
dan menjadi istilah rujukan untuk pemeriksaan sistematis pada orang
meninggal dengan tujuan medis, legal, dan/atau ilmu pengetahuan. Dua tipe
autopsi dasar: autopsi klinik dan autopsi forensik atau medikolegal. Autopsi
klinik dilakukan berdasarkan permintaan keluarga yang bertujuan untuk
membuktikan korelasi diagnosis klinis dan gejala-gejala, penentuan
efektifitas pengobatan, mengevaluasi perjalanan dan durasi proses penyakit,
dan proses edukasi mahasiswa kedokteran. Autopsi forensik atau
medikoloegal dilakukan ketika penyebab kematian tidak jelas, biasanya pada
kasus-kasus yang tidak dapat dijelakan, diperkirakan, atau kematian yang
tidak wajar. Investigasi autopsi medikolegal dapat dilakukan hanya jika surat
investigasi dari yang mempunyai kuasa (jaksa, polisis, dan hakim) telah
dikeluarkan.5
Autopsi klinik semakin berkurang dilakukan sekitar setengah abad
terakhir. Jumlah autopsi di rumah-rumah sakit di Amerika dan Eropa telah
menurun secara progresif, mulai dari sekitar 60% pada tahun 1960 menjadi
kurang dari 10% saat ini. Saat ini banyak alasan yang diperkirakan menjadi
penyebab turunnya jumlah autopsi, antara lain: a) meningkatnya diagnosis
ante-mortem yang terpercaya, menyebabkan permintaan autopsi semakin
sedikit; b) pertentangan masyarakat pada diseksi dan pemeriksaan tubuh
manusia postmortem, mungkin dipengaruhi akibat film-film autopsi yang
kejam; c) evolusi teknologi diagnosis yang membuat validitas pemeriksaan
postmortem menjadi kontroversi; d) alasan ekonomi, autopsi bukan saja
menghabiskan biaya tetapi juga tidak memberikan pendapatan; e) persepsi
bahwa autopsi ini merupakan pekerjaan yang memakan waktu; f) alasan legal,
seperti ketakutan diketahuinya suatu kesalahan dalam tindakan medis yang

4
dapat diperkarakan; dan g) terbatasnya kredibilitas penelitian berbasis
autopsi.5

B. Tujuan
Autopsi adalah suatu cara yang bernilai dalam mencari dan menjelaskan
penyakit baru dan untuk evaluasi metode baru dalam bidang pembedahan dan
diagnostik, penanaman alat dan obat-obatan. Selain itu, rekaman autopsi
mempunyai akses langsung ke arsip yang sesuai untuk penelitian diberbagai
area ilmu pengetahuan, seperti penelitian morfologi kelas, imunohistokimia,
genetik, dan toksologi. Penelitian postmorterm dapat menyibak bagaimana
lingkungan mempengaruhi suatu penyakit.5
Secara global penyebab kematian mendadak yang tak terduga
diakibatkan penyakit jantung. Hal ini terjadi tidak hanya didaerah terpencil
tetapi juga di rumah sakit pemerintah. Fakta seperti ini akan mengakibatkan
gambaran inflasi yang berlebihan pada puncak statistik kesehatan nasional
untuk kesalahan formulasi, dan kebijakan yang tidak diinginkan. Penyakit
pankreas dan kantung empedu banyak menjadi masalah untuk diagnosis dan
jarang disebutkan pada surat keterangan kematian. Dalam beberapa situasi
autopsi klinik dapat membantu untuk menyimpulkan penyebab pasti dari
kematian jika dilakukan. Pada penelitian dimana 406 autopsi konsekutif
dilakukan selama 2 tahun dan mereka mengamati bahwa setiap bertambahnya
10 tahun usia akan meningkatkan 16,2% resiko ditemukannya diagnosis
banding yang dikategorikan dalam kelas I dan II (Ketidaksesuaian mayor)
dalam pembandingan menjadi kelas III, IV, dan V. Usia dan keberadan
keberadaan rumah sakit dipengaruhi oleh distribusi ketidaksesuaian diagnosis
atau penyesuaian antara diagnosis klinis dan autopsi klinik.6
Bahkan dalam investigasi empiris, progresif dan melalui prosedur
invasif, perbedaan antara diagnosis klinis dan diagnosis autopsi adalah 10%.
Hal ini menjadi perhatian khusus oleh seluruh dokter dan pakar kesehatan.
Kemungkinan terjadinya kesalahan tindakan medis jarang terjadi selama
prosedur autopsi forensik. Hal ini berkaitan dengan kemungkiana kesalahan

5
diagnosis. Autopsi forensik dapat menyediakan informasi yang dapata
digunakan untuk memperbaiki perawatan dan menurunkan angka kematian
melalui mencegah kemungkianan terjadinya kelalaian medis.6
Ketika hal ini dijadikan pertimbangan, autopsi klinik akan memberikan
sedikit gambaran pada deteksi awal, penatalaksanaan dan periode bertahan
hidup atau penyembuhan dari pasien dengan mengungkap patologi dari
kondisi sistemiknya. Autopsi klinik telah mengidentifikasi beberapa kelainan
kongenital yang sering diabaikan atau tidak terdiagnosis ketika pasien hidup.
Temuan ini akan membantu dalam konseling genetik keluarga untuk
mengidentifikasi masalah dan memberikan kewaspadaan untuk keadaan di
masa depan. Hal ini juga membantu dalam menghilangkan kesalahan pada
pemikiran relatif bahwa hal ini tidak dapat memberikan banyak penanganan
baik jika temuan autopsi luka yang tidak berkaitan dengan nyawa. Hal ini
baik untuk pembuktian hubungan orang tua dan anaknya, data tersebut akan
menguntungkan dalam kleim asuransi yang mungkin dapat ditolak pada
beberapa keadaan seperti melukai diri sendiri dan lain-lain.6

C. Manfaat

Ilmu kedokteran merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan


adanya autopsi. Hal ini jugakan membantu mengembangkan segala bidang
keilmuan. Contohnya, digunakan secara luas dalam penelitian, pendidikan
dan pelatihan tenaga dan mahasiswa kedokteran. Organisasi kesehatan dan
pelayan kesehatan dapat mencapai kaulitas pelayanan dan penanganan. Hal
ini dapat menunjukkan korelasi diagnosisnya dengan diagnosis autopsi dan
improsvisasi bila diperlukan. Autopsi menunjukan atau mengkonfirmasi
penyebab kematian dalam kasus bedah jantung dan menyediakan informasi
yang secara signifikan lebih dari 20% berbeda dari kesan klink pre-mortem.
Sebagaimana, jenazah autopsi penting untuk menjamin kualitas dalam
tindakan bedah jantung. Ketidaktahuan terhadap ancaman didalam kesehatan
masyarakat dapat diidentifikasi dan diberitahukan keuntungan dalam
masyarakat. Selain diatas ketepatan data merupakan hal yang paling penting

6
dalam statistik kesehatan nasional yang secara tidak langusung menentukan
kebijakan kesehatan nasional.6

Pelaksanaan autopsi klinik akan membawa manfaat bagi keluarga,


institusi penyelenggara pelayanan kesehatan dan individu di dalamnya serta
membawa manfaat bagi masyarakat luas.7,8

a. Keluarga
Bagi keluarga manfaat yang diperoleh antara lain: 7,8
1) Diperolehnya informasi mengenai adanya kemungkinan kelainan
genetik atau kelainan yang sifatnya diturunkan pada generasi
berikutnya dalam garis keluarga.
2) Mengkonfirmasi penyebab kematian, dan memantau adanya
kemungkinan kelalaian medik dalam pelayanan.
3) Berpartisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran.
b. Institusi Pelayanan Kesehatan
Bagi Institusi Penyelenggara pelayanan kesehatan manfaat yang diperoleh
adalah: 7,8
1) Mengkonfirmasi diagnosis klinis yang dibuat selama pengobatan dan
perawatan.
2) Mengetahui asal penyakit dan perjalanan penyakit yang diderita
pasien.
3) Mendidik dokter dan perawat hingga pada gilirannya meningkatkan
kualitas pelayanan.
4) Merancang obat dan pengobatan yang efektif.
5) Mengidentifikasi sebagai akibat dari pengobatan.
c. Masyarakat
Bagi masyarakat, manfaat yang diperoleh adalah: 7,8
1) Mengevaluasi teknologi pemeriksaan kedokteran yang baru.
2) Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan pada pasien.
3) Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan kerja atau
lingkungan tinggal.

7
D. Regulasi Pelaksanaan Autopsi Klinik

Pelaksanaan autopsi klinik dalam praktek kedokteran, secara hukum


berpijak pada landasan:

1. Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009, Pasal 119:9

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan


kesehatan dapaat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.

(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab
kematian.

(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
atas persetujuan tertulis keluarga terdekat terdekat pasien.

(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang


membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak
diperlukan untuk menegakkan diognosis dan/atau penyebab
kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

2. Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009, Pasal 121: (1) Bedah mayat
klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter
sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.9
3. Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009, Pasal 124: (1) Tindakan
bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan
norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.9
4. Pelaksanaan autopsi klinik juga diatur di dalam Peraturan Pemerintah
No. 18 Th. 1981, yaitu:10
1) Pasal 2
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai
berikut :

8
a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya
yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila
sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;
b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat,
apabila di duga penderita menderita penyakit yang dapat
membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya;
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat,
apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat)
jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia
datang ke rumah sakit.
2) Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan data rumah sakit
yang disediakan untuk keperluan itu.
3) Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis
dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan.

Permintaan autopsi klinik juga dapat diajukan oleh institusi


penyelenggara pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, klinik, atau
penyelenggara pelayanan kesehatan resmi yang lain), institusi pendidikan dan
penelitian, atau dari otorita kesehatan RI (departemen kesehatan atau dinas
kesehatan) dengan persetujuan dari pasien sendiri atau keluarga dekatnya atau
yang mewakilinya secara hukum.11

Hasil laporan autopsi klinik dapat dimasukkan dalam rekam medis, dan
dapat diketahui oleh keluarga dan pihak peminta autopsi klinik dengan
mengingat batasan aturan mengenai rekam medis yang tercantum dalam
permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.11

9
E. Proses Pelaksanaan Autopsi Klinik

Autopsi klinik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang dan


peraturan pemerintah yang berlaku. Dalam autopsi tidak semua bagian dari
dalam tubuh dikeluarkan tetapi hanya diambil sebagian kecil yang berupa
irisan yang cukup untuk diperiksa di bawah mikroskop atau dengan alat-alat
lain. Jika pihak ahli waris tidak menyetujui autopsi, maka dapat dilakukan
autopsi sebagian (partial autopsy) saja.11

Autopsi klinik ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang


mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelaksanaan tindakan medis
tersebut dilakukan dengan memerhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat yaitu norma hukum, norma agama, kesusilaan, dan norma
kesopanan. 11

Autopsi klinik harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan


autopsi (bedah mayat) dengan membuka rongga kepala, dada dan perut, serta
melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab
kematian. 11

Pemeriksaan eksternal dan internal dilakukan secara sistematis, mencatat


semua kelainan maupun temuan yang tidak relevan. Sepanjang autopsi,
temuan yang diperoleh yakni tanda-tanda dan gejala klinis dicatat oleh dokter
secara khusus untuk dilihat secara lengkap dalam mencapai korelasi klinikal-
patologis. 11

Semua kelainan yang dicatat dengan teliti juga membantu dalam


mendeteksi berbagai penyakit lain yang mungkin muncul selain penyebab
kematian. Pada akhir autopsi, penyebab dari kematian ditentukan oleh
pemeriksaan makroskopik dari organ dan jaringan sehingga memfasilitasi
dokter penyelesaian dokumen awal. Kemudian dikonfirmasi ke bagian
histopatologi/ pemeriksaan mikrobiologi dengan jaringan yang diawetkan. 11s

10
Dalam autopsi klinik pemeriksaan dalam memberikan informasi lebih
lanjut dari pemeriksaan luar organ yang relevan dan jaringan selalu
dipertahankan untuk pemeriksaan histopatologi/mikrobiologi sebagai
pemeriksaan rutin. Dengan demikian ahli patologi cenderung lebih
mengandalkan pada pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik organ
internal dan jaringan untuk menentukan penyebab kematian, sehingga
pemeriksaan luar kurang begitu penting. 11

Prosedur melakukan autopsi klinik dan autopsi forensik kurang lebih


sama, yaitu:12

1. Pemeriksaan luar.

Seluruh bagian luar dari tubuh jenazah, mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki diperiksa dengan teliti.12

2. Pemeriksaan dalam, terdiri atas:

a. insisi (pengirisan), yaitu untuk membuka rongga kepala, leher,


rongga dada, rongga perut, rongga panggul, dan bagian-bagian lain
yang diperlukan. 12

b. Pengeluaran organ dalam.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan organ-


organ dalam, yaitu: 12

1) Teknik Virchow

Setelah dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ-organ


dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Manfaatnya
kelainan-kelainan yang terdapat pada organ dapat langsung
diperiksa. Kelemahannya hubungan anatomik antar beberapa
organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. 12

2) Teknik Rokitansky

11
Setelah rongga tubih dibuka, organ-organ dilihat dan diperiksa
dengan melakukan beberapa irisan secara in-situ, baru
kemudian seluruh organ-organ tersebut dikeluarkan dalam
kumpulan organ (en-bloc). 12

3) Teknik Letulle

Pada teknik Letulle, setelah organ dibuka, organ-organ leher,


dada, diafragma, dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse)
kemudian diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior
menghadap ke atas. Dengan pengangkatan organ-organ tubuh
secara en masse ini, hubungan antar organ tetap dipertahankan
setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian dari
teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa asisten serta agak sukar
dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ-organ
yang dikeluarkan bersama-sama ini. 12

4) Teknik Ghon

Setelah rongga tubuh dibuka, organ dada dan leher, hati, limpa,
dan organ-organ pencernaan, serta organ-organ urogenital
diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ-organ. 12

c. Pemeriksaan tiap-tiap organ satu persatu.

d. Pengembalian organ tubuh ke tempat semula.

e. Menutup dan menjahit kembali.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah


disebutkan di atas belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul
dalam proses peradilan pidana. Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya
pemeriksaan laboratorium sederhana, toksikologik, mikroskopik,
serologik, DNA, dan sebagainya.2

12
Untuk pemeriksaan toksikologik diperlukan bahan untuk
mengawetkan sampel, yaitu etil alkohol. Jika tidak ada dapat digunakan
wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap
diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut
lebar. Botol pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding,
botol kedua diisijaringan traktus digestivus, botol ketiga traktus urinarius,
dan botol ke empat diisi jaringan lain. 2

Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa


cairan formalin 10% dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan
dipotong-potong dalam ukuran yang tidak terlalu besar (1 x 1 x 2,5 cm)
karena daya tembus formalin terbatas. 2

Dalam hal pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di


tempat dilakukannya autopsi, maka dokter wajib memberitahukan serta
menyerahkan sampel dengan berita acara kepada penyidik. Selanjutnya
penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan penunjang
kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan. 2

F. Contoh Kasus

Seorang wanita berusia 62 tahun ditemukan meninggal di tempat tidur


pada pagi hari. Ia pergi tidur pada malam hari sebelum mengeluh sakit
kepala. Terdapat riwayat penyakit hipertensi, obesitas ringan, dan sakit kepala
hebat namun kesehatan pasien secara umum baik. Keluarga dan dokter yang
merawatnya meminta untuk dilakukan otopsi secara lengkap.13

Penemuan Otopsi

Pada otopsi ditemukan perdarahan subaraknoid yang difus disebabkan


ruptur aneurima berry di pada arteri meningea media. Pada pemeriksaan
makroskopik ditemukan berat jantungnya meningkat menjadi 500 g, terdapat
penebalan di ventrikel kiri menjadi 2,0 cm dan kedua ginjal menunjukkan
permukaan yang granular sesuai dengan nefrosklerosis.13

13
Pada pemeriksaan mikroskopik jantung menunjukkan hipertrofi miosit
dan pembesaran nukleus (barrel shaped). Kedua ginjal menunjukkan
glomerular fibrosis yang tipikal dengan nefrosklerosis. Semua penemuan ini
sangat umum ditemukan pada pasien dengan riwayat hipertensi.13

Secara tidak sengaja ditemukan nodul sebesar 1,5 cm pada payudara


sebelah kiri. Analisis histologi menunjukkan bahwa tumor merupakan
karsinoma duktal invasif.13

Berdasarkan temuan-temuan ini kemungkinan penyebab dari


kematian yaitu :

Bagian 1

a. Perdarahan subarakhnoid
b. Karena atau konsekuensi dari : ruptur aneurisma berry dari arteri
serebri media
c. Karena atau konsekuensi dari : ________________________________

Bagian 2

Kondisi signifikan lainnya : Hipertensi sistemik

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Costache et al. Clinical or Postmortem? The Importance of the Autopsy; a


Retrospective Study. Maedica: a journal of Clinical Medicine. 2014: 9(3);
p.261-265.

2. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan VI. Semarang: Badan Penerbit


Universitas Diponegoro; 2008.

3. Kuijpers et al. The Value of Autopsies in the Era of High-Tech Medicine:


Discrepant Finding Persist. Journal Clinical Pathology. 2014; 67(6): p.512-
519.

4. Anwar et al. Analisis Penyebab Kematian Pasien Kanker Paru. Jurnal


Respirologi Indonesia. 2014: 7(1); p. 34.

5. Vougiouklakis T, Fragkouli K, Mitselou A, Boumba V. A comparison of the


provisional clinical diagnosis of death with autopsy findings. Rom J Leg
Med. 2011: 19; p. 177-182.

6. Pawar JG, Pawar, GS. Pathological Autopsy: Most Valuable Aid in the
Present Medical and Medico Legal Scenario. J Indian Acad Forensic Med.
Jan- March 2012: 34 (1); p.74-76.

7. Idries AM. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Sagung


Seto; 2009.

8. Sudjari S, Hariadi A, Agus MA. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.


Surabaya; 2010

9. Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

10. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh
Manusia

15
11. Kotabagi, et al. 2005. Clinical Autopsy vs Medicolegal Autopsy. MJAFI.
2005: 61 (3); 258-263.

12. Collins KA, Hutchins GM. An Introduction To Autopsy Technique. USA:


College of American Pathologist: 2005.

13. Hoyert D. The Autopsy, Medicine, And Mortality Statistics - National Center
for Health Statistics. Vital Health Stat 3(32). USA: Centers for Disease
Control and Prevention; 2005.

16

Anda mungkin juga menyukai