Anda di halaman 1dari 8

Tulisan ini bertujuan untuk melihat dan menganalisa batas-batas dan kemungkinan demokrasi

melalui pembacaan terhadap karya-karya Robert Dahl, terutama bukunya Democracy and Its
Critics (1989). Dalam karyanya ini Dahl mengajukan sebuah gagasan penting mengenai
konsep polyarchy(poliarkhi) sebagai pengganti dari ide demokrasi-pluralisme. Gagasan Dahl
didasarkan pada kondisi bahwa perkembangan masyarakat telah berubah dari model negara-
kota (city-state) sebagaimana dalam Rousseau, menjadi negara-bangsa (nation-state) yang
menurut Dahl di dalamnya penuh dengan persoalan yang jauh lebih kompleks dan luas.
Namun selain itu, tulisan ini juga ingin melihat gagasan demokrasi Dahl secara lebih luas dan
umum, dan menjabarkan pandangan Dahl mengenai batasan-batasan yang dimiliki
demokrasi, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa direngkuh oleh demokrasi.

Pluralisme dan Demokrasi


Kalau kita ingin membuat semacam kategorisasi terhadap pemikiran Robert Dahl, setidaknya
David Held mengkategorikannya sebagai seorang pluralis (Held 2000: 200). Bagi Held, Dahl
merupakan seorang pluralis yang mencoba memaknai demokrasi secara kritis, dengan
mengajukan argumen bahwa di dalam demokrasi terdapat sejumlah persoalan. Dahl
mengutarakannya demikian:
Advocates of democracy sometimes appear to believe that the values of democracy constitute
the complete universe of value: if you could have a perfect democracy, they imply, then you
would have a perfect political order, maybe even a perfect society. But this is surely too
restricted a vision. Democracy is only a part, though an important part, of the universe of
values, goods, or desirable ends. (Dahl 1989: 8 )

Pandangan pluralis Dahl sangat menekankan bahwa kekuasaan harus disebar secara luas
pada pelbagai macam kelompok kepentingan, yang tujuannya agar tidak satu kelompok pun
bisa mengklaim sebagai yang-paling mewakili rakyat secara keseluruhan. Di sinilah titik
penting argumen Dahl yang menjelaskan bahwa fungsi sesungguhnya dari demokrasi liberal
adalah sebagai poliarkhi. Pandangan pluralisme Dahl sangat dipengaruhi oleh tulisan James
Madison dalam Federalist Paper No.10. Dalam bukunya Preface to Democratic
Theory (1956), Dahl mengutip Madison yang menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya
terbagi-bagi dalam berbagai faksi yang berpotensi melahirkan konflik, dan Dahl setuju pada
Madison, bahwa dalam keadaan tersebut yang paling mungkin adalah menghadapi akibat-
akibat dari adanya faksionalisasi, dan bukannya justru menghilangkannya, sebagaimana
argumentasi Dahl, Whatever the explanation for conflict may be, its existence is one of the
prime facts of all community life (1967: 6). Jadi menurut Dahl salah satu tujuan dari demokrasi
adalah membuat regulasi damai atas konflik (Dahl 1970: 62).
Dahl mengajukan lima kriteria rujukan yang menjadi syarat mutlak untuk bisa membuat
kategorisasi apakah sebuah sistem sudah bisa dikatakan demokratis sepenuhnya. Dahl
(1989) mengamati bahwa effective participation by citizens dan voting equality among
citizens kerap diambil sebagai dua figur kriteria yang melekat dalam proses demokrasi.
Namun, Dahl menyatakan bahwa setiap asosiasi atau perkumpulan yang mengelola dan
mengatur dirinya secara sendiri-sendiri, haruslah dilihat sebagai suatu hal ideal dan
memenuhi syarat hanya dalam pengertian yang sempit (Dahl 1989: 108-111). Dahl kemudian
menjabarkan kriteria ketiga yang menjadi syarat yakni enlightened understanding, di mana
pada saat ditambahkan dua kriteria sebelumnya, kriteria ini berhasil menggambarkan secara
lengkap prosedur demokrasi yang utuh yang menghormati agenda-agenda demokrasi dan
hubungannya dengan demos (rakyat), sebagaimana diuraikan Dahl,
Democracy has usually been conceived as a system in which rule by the people makes it more
likely that the people will get what it wants, or what it believes is best, than alternative systems
like guardianship in which an elite determines what is best. But to know what it wants, or what
is best, the people must be enlightened, at least some degree [Thus] each citizen ought to
have adequate and equal opportunities for discovering and validating the choice on the
matter to be decided that would best serve the citizens interests (Dahl 1989: 111-112).

Kemudianm Dahl juga menunjukkan bahwa tiga kriteria tersebut belum pula memadai. Ia
menambahkan kriteria keempat sebagai persyaratan, yakni bahwa warganegara (demos)
harus memiliki control of the agenda, yakni kesempatan secara khusus untuk memutuskan
bagaimana sesuatu (matters) harus ditempatkan dalam agenda mengenai sesuatu tersebut
(those matters), yang mana akan diputuskan dalam proses yang demokratis (Dahl 1989: 112-
114). Terlebih lagi, Dahl menekankan bahwa kontrol terakhir atas agenda oleh warganegara,
mengandaikan warganegara memiliki kualitas untuk memutuskan dalam: (1) sesuatu yang
mensyaratkan atau tidak sebuah keputusan yang sifatnya mengikat; (2) mereka yang
melakukan, yang artinya mereka memiliki kualifikasi untuk memutuskan bagi diri mereka
sendiri sebagai suatu kolektif, dan (3) atau mereka mendelegasikan otoritas mereka (Dahl
1989: 114).

Kriteria keempat tersebut menjabarkan demokrasi representatif, yang secara jelas


menciptakan batas-batas mengenai agenda pada mana keputusan kolektif akan dibuat. Ini
artinya kemungkinan pemusatan dalam tata-bahasa politik (political lexicon) atas hak-hak
individu (seperti non-intervensi oleh pihak lain dalam soal-soal wilayah privat) adalah bersifat
selaras (consonant) dengan ideal demokrasi.
Empat kriteria di atas bagi Dahl masih pula belum memadai. Ia menambahkan kriteria kelima
sebagai persayaratan, yaitu inclusive, di mana the demos must include all adult members
of the association except transients and person proved to be mentally defective (Dahl 1989:
119-131). Dahl menyimpulkan bahwa jika demokrasi merupakan sebuah ideal, dan lima
kriteria di atas harus diterapkan secara bersamaan, dan itu merupakan standar dalam proses
politik.

Bagi Dahl, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana tidak dimungkinkan adanya
tirani mayoritas, atau kekuasaan mayoritas. Dahl menggarisbawahi bahwa demokrasi harus
memberi ruang bagi kekuasaan minoritas atau berbagai minoritas, agar kompetisi antara
ragam dan banyak kelompok bisa berlangsung, dan bukan menjadi milik kelompok mayoritas
semata.

Poliarkhi
Robert Dahl juga dianggap banyak merujuk pemikiran Joseph Schumpeter, yakni menolak
demokrasi sebagai sebuah bangunan ideal dan mengajukan neologisme untuk mendesain
dunia yang riil, sebagaimana dikatakan Dahl: since (in my view) no large system in the real
world is fully democratized I prefer to call the real world systems polyarchies (Przeworski
1999: 23). Poliarkhi menjadi salah satu sentrum pemikiran Dahl.

Dalam artikelnya Poliarchy, Pluralism and Scale (1984) Dahl menguraikan bahwa poliarkhi
bisa dilihat dari lima perspektif yang berbeda:
Pertama, sebagai tipe sebuah rezim. Di sini Dahl menguraikan bahwa poliarkhi dapat dilihat
secara sederhana sebagai sejenis rezim yang diperuntukkan memerintah negara modern.
Berbeda dengan rezim-rezim abad sembilanbelas dan kebanyakan rezim negara-bangsa,
perbedaannya bisa dilihat pada dua gambaran umum: pertama, umumnya memiliki toleransi
tinggi terhadap oposisi; kedua, umumnya memberikan kesempatan yang luas bagi partisipasi
dalam mempengaruhi perilaku pemerintah. Menurut Dahl, Poliarkhi bisa dibedakan dengan
rezim-rezim lainnya dengan adanya tujuh institusi: (1) Adanya hak pilih yang terdistribusikan
secara luas dan universal; (2) Hak yang lebih luas untuk dapat maju menduduki jabatan publik;
(3) Pemilu yang fair; (4) Perlindungan ekstensif bagi kebebasan berekspresi, termasuk
mengkritik pemerintah dan lainnya; (5) Adanya arus informasi alternatif dan kompetitif yang
tidak di bawah kontrol pemerintah; (6) Kebebasan seluasnya untuk membentuk organisasi
yang relatif otonom, termasuk partai oposisi; (7) Respon yang tinggi dari pemerintah kepada
pemilih dan hasil pemilu.
Kedua, sebagai produk dari demokratisasi negara-bangsa. Artinya, poliarkhi dapat juga
dipahami baik secara historis maupun melalui perkembangannya sebagai seperangkat
institusi yang secara gradual berkembang menjadi besar, sekalipun tidak esklusif, sebagai
sebuah produk dari upaya untuk menciptakan demokratisasi dan liberalisasi institusi-institusi
politik di dalam negara-bangsa. Buat Dahl, dalam perspektif ini poliarkhi merupakan institusi
modern yang unik yang dikondisikan oleh sejarah, yang beradaptasi dengan ide-ide dan
praktik demokratis semenjak abad delapanbelas menuju negara-bangsa modern dalam skala
yang luas.

Ketiga, suatu keharusan bagi proses demokratis. Poliarkhi di sini bisa juga dipahami sebagai
seperangkat institusi politik yang sudah seharusnya, yang diadakan untuk menunjukkan
kepuasan umum atas proses demokrasi pada saat ditujukan untuk mengaplikasikan proses
tersebut dalam skala besar, misalnya skala negara-bangsa.

Keempat, sebagai sebuah sistem yang dikontrol oleh kompetisi. Maksudnya, poliarkhi dapat
dipahami sebagai sistem kontrol politik, yakni sebagai konsekuensi dari seperangkat institusi
yang sudah disebutkan pada perspektif sebelumnya. Pejabat tertinggi di dalam pemerintahan
negara, menghadapi penggantian terhadap diri mereka di kemudian hari melalui pemilihan
umum, dan mendorong mereka untuk memperoleh insentif dengan melakukan modifikasi atas
tingkah-polah mereka sebagai cara untuk memenangkan kembali pemilihan dalam suatu
kompetisi politik dengan kandidat, partai atau kelompok lainnya.

Kelima, sebagai sebuah sistem hak. Dahl, mengintepretasikan poliarkhi sebagai sebuah
sistem hak pada mana sejumlah hak-hak dijamin dan dilindungi secara institusional. Setiap
institusi dalam poliarkhi, sebagai disebut dalam perspektif pertama, memberikan otorisasi bagi
sejumlah hak yang menjadi syarat bagi eksistensi dan fungsi dari institusi tersebut.
Lima cara berpikir atau intepretasi Dahl tersebut, merupakan suatu yang berbentuk kesatuan,
bukan berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana dijelaskan Dahl,
But the point I wish to emphasize here is that the five ways of thinking about polyarchy that I
have just described are not inconsistent with one another. On the contrary, they complement
one another. They simply emphasize different aspects or consequences of the institutions that
serve to distinguish polyarchal from nonpolyarchal regimes. (Dahl 1984: 230).

Menurut Charles Tilly, pada saat Dahl bergeser dari asosiasi lokal ke rezim nasional, ia
berpegang pada pemahaman orientasi-proses, sekaligus berpindah membicarakan institusi.
Menurut Tilly, Dahl memahami institusi sebagai sesuatu yang berisi praktik-praktik toleransi,
yang disebut Dahl sebagai polyarchal democracy (demokrasi poliarkhi) dengan tujuh
institusinya. Bagi Tilly, kriteria Dahl atas demokrasi poliarkhi menggambarkan sebuah proses
yang sedang berjalan, seperangkat interaksi yang reguler di antara warganegara dan
penguasa, yang melampaui standar prosedural pada umumnya (Tilly 2007: 10).

Dalam bab Why Polyarchy Developed in Some Countries and Not Others (Dahl 1989), Dahl
menguraikan sederet daftar mengenai kondisi-kondisi yang kondusif bagi terselanggaranya
poliarkhi (istilah yang digunakan Dahl bagi demokrasi pluralis). Kondisi-kondisi tersebut di
antaranya: tingkat rata-rata kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keragaman
dalam berbagai posisi, populasi urban yang besar, banyaknya kelompok kepentingan, budaya
politik yang cenderung pluralis, bebas dari intervensi asing yang anti-pluralis (Dahl 1989: Bab
18). Implikasi yang relevan terhadap persoalan ini adalah pada saat kondisi yang
memungkinan hadir, sangat sulit bagi kelompok kepentingan untuk menata aturan bagi
permainan demokratis sebagaimana yang mereka inginkan. Namun di situ pula terdapat
intensif yang meski kurang, namun layak untuk dicoba, dibandingkan jika kondisi tersebut
tidak hadir.

Dahl menilai bahwa ketakutan banyak kaum liberal seperti James Madison, Alexis De
Tocqueville dan John Stuart Mill terhadap bangkitnya demos yang dapat mengancam
kebebasan melalui tekanan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas, sama sekali tidak pada
tempatnya. Bagi Dahl tirani mayoritas tidak akan terjadi, karena pemilihan-pemilihan umum
yang berlangsung mengekpresikan preferensi keberagaman kelompok yang saling
berkompetisi, ketimbang harapan atas adanya mayoritas yang solid. Menurut Dahl, para
pendukung demokrasi tidak perlu takut kepada excessively strong faction. Karena itu Dahl
menyatakan bahwa poliarkhi suatu situasi kompetisi yang terbuka bagi pendukung pemilu
di antara proporsi besar populasi orang dewasa memastikan adanya kompetisi di antara
kelompok kepentingan. Poliarkhi merupakan pelindung (safeguard) dari demokrasi,
sebagaimana dinyatakan Dahl,
The real world issue has not turned out to be whether a majority. Much less the majority, will
act in tyrannical way through democratic procedures to impose its will on a (or the) minority.
Instead, the more relevant question is the extent to which various minorities in a society will
frustrate the ambitions of one another with the passive acquiescence or indifference of a
majority of adults or voters.
[] if there is anything to be said for the processes that actually distinguish democracy (or
polyarchy) from dictatorship the distinction comes [very close] to being one between
government by minority and government by minorities. As compared with the political
processes of a dictatorship, the characteristics of polyarchy greatly extent the number, size,
and diversity of the minorities whose preferences will influence the outcome of governmental
decisions. (Dahl 1956: 133)

Jadi, bagi Dahl karakter demokratis dari suatu rezim dijamin oleh keberadaan beragam
kelompok atau keberagaman minoritas. Menurut Dahl, demokrasi bisa didefinisikan sebagai
pemerintahan berbagai minoritas. Nilai dari proses demokratisnya akan disandarkan pada
aturan yang dibuat oleh oposisi minoritas yang beragam, ketimbang membuat kedaulatan
mayoritas.

Dalam pemikiran Dahl, model demokrasi yang cocok untuk poliarkhi adalah demokrasi
konsosional (consociational democracy) atau consociationalism, yakni suatu konsep yang
dipopulerkan oleh Arend Lijphart (1977) untuk menggambarkan suatu bentuk pemerintahan
yang sesuai bagi masyarakat yang multikultural atau beragam, di mana pembagian-
kekuasaan di tingkat eksekutif dikombinasikan dengan pendelegasian kekuasaan sampai ke
tingkat bawah, yakni komunitas, di dalam segala hal yang memungkinkan mereka dapat
mengatur diri mereka sendiri. Lipjhart mencotohkan sejumlah negara seperti Lebanon setelah
perang dunia kedua dan juga Austria pernah mempraktikan model ini (Lijphart 1977).

Menurut Dahl, teori demokrasi konsosional merupakan cara paling realistis untuk
mengakomodasi konflik-konflik laten yang hampir mustahil untuk dihindarkan, dan sekaligus
melihatnya dengan tujuan untuk merawat dan menjaga perdamaian serta stabilitas. Dahl
mengidentifikasi bahwa ada ancaman konflik dalam demokrasi yang merupakan persoalan
permanen di dalam masyarakat karena masyarakat segmented into strong and distinctive
subcultures. Meski demikian, Dahl tetap yakin bahwa demokrasi pluralis tetap bisa dihadirkan
jika its leader have succeeded in creating consociational arrangement for managing sub-
cultural conflicts (Dahl 1989: 263). Bagi Dahl tendensi ini layak mendapatkan perhatian dan
perlakuan khusus.

Dahl merujuk konsep demokrasi konsosional pada Arend Lijphart, yang mengidentifikasi
adanya cross cutting cleavages dalam masyarakat, seperti misalnya pemisahan pembagian
agama tidak sama dengan pembagian kelas (Lijphart 1977: 7581). Lijphart menggambarkan
demokrasi konsosional sebagai pemerintahan demokratis di mana the political leaders of all
significant segments of the plural society cooperate in a grand coalition to govern the country
dan membedakannya dengan model adversarial atau model government-versus-
opposition (Lijphart 1977: 25). Lijphart mengambil contoh Swiss Federal Council dan Austrian
Cabinet sebagai contoh empiris. Pendekatan ini dikembangkan secara bertahap di sejumlah
negara Eropa, seperti Belanda, Austria, Belgia dan Switzerland, pertama-tama dilakukan
untuk menemukan forum dan praktik pemerintahan untuk mengakomodasi populasi Protestan
dan Katolik, sekaligus mengadopsi pembagian sekuler, antara liberal dan sosial-demokrat.
Mungkin saja dalam semangat tersebut Dahl menyatakan dukungannya pada model
demokrasi konsosional, bukan sebagai teori yang bisa diaplikasikan secara umum, melainkan
sebagai preskripsi untuk menjaga dan merawat stabilitas dalam masyarakat yang terbagi
dalam strong and distinctive subcultures (Dahl 1989: 264).

Penutup
Dahl memberikan ide baru dalam teori demokrasi plural, yakni soal poliarkhi, suatu istilah yang
sebelumnya sudah digunakan sejmlah filsuf dan pemikir, namun ditegaskan ulang secara
lebih lengkap oleh Dahl. Teori Dahl bisa jadi berjalan di sejumlah negara-negara Eropa yang
terus menerus berhadapan dengan soal mayoritas-minoritas baik dalam hal agama, etnis dan
bahasa, sehingga menjalankan politik demokrasi konsensus dan konsosional dalam
berhadapan dengan persoalan tersebut. Dalam ide Dahl, model demokrasi yang diajukan
Lijphart, yakni demokrasi konsosional, bisa menampung ide poliarkhi yang ditawarkan Dahl.
Di Indonesia, model konsensus berlaku di tingkat provinsi atau kabupaten, di mana mayoritas
agama dan etnisitas menjadi persoalan yang sensitif. Misalnya di Kupang ada konsensus jika
walikota beragam Katolik maka wakilnya atau Sekda beragama Protestan, atau sebaliknya.
Demikian juga di Maluku, sebelum konflik, jabatan gubernur dan wakil gubernur/sekwilda akan
diduduki secara berimbang antara agama Islam dan Kristen. Atau sejumlah wilayah lainnya
yang melakukan pembagian porsi kekuasaan atas dasar etnisitas.
Di satu sisi model ini mengabaikan kompetisi demokrasi yang fair dan kebebasan orang untuk
memilih dan dipilih sebagaimana argumen Dahl, namun di sisi lain praktik ini ditujukan untuk
menjaga agar pluralitas tetap berlangsung sehingga dominasi mayoritas tidak terjadi. Model
konsensus dan konsosional bisa jadi mengabaikan hak dan kompetisi yang fair, namun tujuan
politik adalah menciptakan kebaikan umum (common good), jadi kalau model konsensus dan
konsosional dapat menjamin terciptanya kebaikan umum pada suatu rentang waktu, maka
bagi Robert Dahl itulah pilihan terbaik yang harus dipilih pada saat itu.

Kepustakaan Rujukan
Dahl, Robert A., A Preface to Democratic Theory (Chicago: University of Chicago Press,
1956).
Dahl, Robert A., Pluralist Democracy in the United States (Chicago: Rand McNally, 1967).
Dahl, Robert A., Modern Political Analysis (2nd Edition) (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1970).
Dahl, Robert A., Polyarchy, Pluralism, and Scale dalam Scandinavian Political Studies,
Vol.7, No.4 (1984).
Dahl, Robert A., A Preface to Economic Democracy (Berkeley: University of California Press,
1985).
Dahl, Robert A., Democracy and Its Critics (New Haven: Yale University Press, 1989).
Held, David, Models of Democracy (2nd Edition), (Cambridge: Polity Press, 2000)
Lijphart, Arend, Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration (New Haven: Yale
University Press, 1977).
Lijphart, Arend, Thinking About Democracy: Power Sharing and Majority Rule in Theory and
Practice (London: Routledge, 2008).
Przeworski, Adam, Minimalist Conception of Democracy: A Defense dalam Ian Shapiro and
Casiano Hacker-Cordn (Eds), Democracys Value (Cambridge: Cambrdige Univerist Press,
1999).
Tilly, Charles, Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007).

Anda mungkin juga menyukai