Anda di halaman 1dari 3

Judul : Borobudur Pagi Hari

Tahun : 1983
Ukuran : 150 cm x 200 cm
Media : Cat Minyak

Borobudur Pagi Hari merupakan salah satu karya Affandi yang terinspirasi oleh megahnya
candi Borobudur dan lingkungan sekitar pada masa itu, saat Affandi melintas dan
memperhatikan Borobudur di pagi hari.
Obyek matahari selalu menarik perhatian di beberapa karya beliau sebagai fokus pendukung
utama. Warna warna dingin dan suasana tenang mendominasi lukisan ini karena
melukiskan suasana pagi hari yang cerah . Dan dilukisan ini Affandy lebih nenonjolkan
obyek alam sebagai latar belakang. Perpaduan warna yang digunakan semakin menghidupkan
lukisan tersebut karena warna yang digunakan padu antara warna satu dengan warna yang
lain.
Dan dilukisan tersebut gambar candi Borobudur terlihat sangat jelas tanpa kita harus
menganalisis makna lukisan tersebut. Dan bentuk mataharinya tidak menyerupai matahari
tetapi itu semua malah membuat lukisan tersebut bagus karena menyatu dengan warna langit
yang ada pada lukisan tersebut. warna hijua di lukisan tersebut menggambarkan pepohonan
yang ada di situ. walaupun gambar pohon tersebut tidak jelas tetapi sangat bagus. warnyapun
juga kontras dengan warna lainnya.

Karya J.W. Pieneman, "Penaklukan Diponegoro" (atas) dan karya Raden Saleh
"Penangkapan Diponegoro". (foto: google)
SOSOK Pangeran Diponegoro rupanya menarik perhatian dua maestro lukis tempo doeloe.
Ada dua versi lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, yang pertama
hasil karya seorang pelukis Belanda, J.W. Pieneman, dan yang kedua hasil karya pelopor
seni lukis modern Indonesia, Raden Saleh (1807-1880). Meskipun inspirasinya sama, yaitu
tentang penangkapan Pangeran Diponegoro, tetapi interpretasi lukisan ini jauh berbeda.

J.W. Pieneman membuat lukisan tentang tema ini lebih dahulu daripada Raden Saleh.
Lukisan Pieneman yang berjudul Penaklukan Diponegoro menggambarkan peristiwa
penangkapan Pangeran Diponegoro dari perspektif kolonial. Di dalam lukisannya, Pieneman
menciptakan sosok sang pangeran yang tidak berdaya dengan raut muka lelah seolah
kehilangan akal, pasrah, dan tangan terbentang. Selain itu, terdapat hamparan tombak
yang menandakan kalah perang. Di bagian belakang tampak Jenderal de Kock setengah
bertolak pinggang sambil menunjuk ke arah kereta tahanan yang siap membawanya ke
tempat pengasingan. Dua pengikut Pangeran Diponegoro dalam lukisan tersebut terlihat
sangat menyesali perbuatannya, sampai menyembah-nyembah pada Jenderal de Kock.

Lukisan Raden Saleh yang mengusung tema sama diberi judul Penangkapan Diponegoro.
Lukisan ini selesai dibuat pada 1857. Karya Raden Saleh merupakan wujud reaksinya
terhadap lukisan Pieneman. Dalam lukisan Raden Saleh digambarkan Pangeran Diponegoro
berwajah tegas dan berwibawa. Kepalanya tegak menghadap ke depan. Tangan sang
pangeran mengepal seakan menahan marah dan menggenggam sebuah tasbih. Yang unik
dalam lukisan Raden Saleh adalah tidak ada satu pun senjata di pihak Pangeran
Diponegoro. Berbeda dengan Pieneman yang memperlihatkan hamparan tombak, di
lukisan Raden Saleh tidak ada satu pun tombak terlihat. Bahkan sebilah keris, yang
menjadi salah satu ciri khas Pangeran Diponegoro dan selalu ditaruh di pinggangnya, tidak
ada. Ini menandakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat Idul Fitri, tepatnya 28
Maret 1830. Selain itu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya juga mempunyai niat
baik dalam perundingan yang kemudian berubah menjadi penangkapan.

Raut wajah Jenderal de Kock dalam lukisan Raden Saleh tampak begitu segan terhadap
Pangeran Diponegoro. Tangannya tidak bertolak pinggang dan menunjuk seperti pada
lukisan Pieneman, tetapi mempersilakan dengan sopan menuju kereta tahanan. Lucunya,
semua orang Belanda dalam lukisan Raden Saleh berkepala besar dalam artian yang
sesungguhnya. Seluruh orang Belanda di sini mempunyai kepala yang melebihi proporsi
tubuh mereka. Mungkin ini semacam sindiran pada pemerintah kolonial yang diibaratkan
berkepala besar (sombong/angkuh) atau seperti buto seberang dalam pewayangan. Yang
menarik ialah, Raden Saleh memberi warna merah putih di bagian atas sorban hijau
Pangeran Diponegoro. Apakah warna itu sudah menjadi simbol perlawanan rakyat
Indonesia dalam menentang kolonialisme pada masa itu hingga akhirnya menjadi warna
bendera kita? Entahlah. Yang pasti dua warna tersebut punya arti sendiri di mata Raden
Saleh. Ketika peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro (1830), Raden Saleh tengah
berada di Eropa. Setelah tinggal beberapa tahun, kemudian ia pulang ke Hindia dan mulai
memburu informasi tentang penangkapan sang pangeran melalui kerabat-kerabat dekat
kerajaan, lalu menuangkannya di atas kanvas. Lukisan tersebut kemudian diberikan Raden
Saleh untuk Raja Belanda, Willem III, sebagai hadiah. Mungkin pemberian lukisan ini
semacam sindiran terhadap Raja Belanda tersebut, bahwa peristiwa yang sesungguhnya
terjadi ialah peristiwa yang tergambar dalam lukisannya, bukan lukisan Pienema.

Setelah lebih dari seratus tahun berada di Belanda, pada 1976 lewat kunjungannya, Ratu
Juliana mengembalikan lukisan ini ke pihak Indonesia. Sejak saat itu lukisan tersebut
berada di Istana Negara, tepatnya di Museum Istana (Bruijn dan Pattopang, 2007). Selain
lukisan Penangkapan Diponegoro, pengagum pelukis legendaris Perancis Ferdinand Victor
Eugene Delacroix ini juga menghasilkan lukisan-lukisan lain yang juga bermuatan politis, di
antaranya Perkelahian dengan Singa, Gunung Merapi dan Merbabu, dan Antara Hidup dan
Mati. Lukisan Perkelahian dengan Singa dan Gunung Merapi dan Merbabu dibuat pada
1870. Kedua lukisan tersebut dibuat sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah
kolonial atas perlakuan semena-mena terhadap dirinya. Ia ditangkap dan diadili oleh
pemerintah kolonial karena dituduh terlibat dalam pemberontakan di Tambun, Bekasi pada
1869. Ketika pemimpin pemberontakan, Bassa Kolot, yang menyamar sebagai dirinya
tertangkap, ia dibebaskan namun tetap di bawah pengawasan. Pada lukisan Antara Hidup
dan Mati yang dibuat pada 1848, tergambar seekor banteng besar melawan singa jantan
dan betina. Banteng besar merupakan lambang perlawanan rakyat Indonesia, sedangkan
dua ekor singa adalah lambang kolonial (Winaya, 2008). Melalui karyanya ia juga
menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain, seperti berburu singa, rusa,
dan banteng.

Raden Saleh meninggal di Bogor pada 23 April 1880, konon karena diracun oleh
pembantunya yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan kalau ia
meninggal karena pembekuan darah. Lukisannya yang berjudul Penangkapan Diponegoro
memang fenomenal. Ia mampu menghadirkan peristiwa sejarah penting dalam karya
lukisnya. Menurut Bruijn dan Pattopang (2008), lukisan ini bisa menjadi simbol identitas
bangsa. Alasannya, pertama, lukisan ini dibuat oleh maestro pelukis Indonesia, yaitu Raden
Saleh. Kedua, subjek lukisan adalah seorang pahlawan bangsa, yaitu Pangeran
Diponegoro. Ketiga, lukisan ini memiliki nilai estetika yang tinggi. Lebih dari itu, lukisan ini
menggambarkan sebuah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia,
yaitu penangkapan pemimpin Perang Jawa, Pangeran Diponegoro. Di dalam historiografi
sejarah Indonesia, Perang Diponegoro atau Perang Jawa memang peristiwa perlawanan
terhadap kolonial yang terbilang besar. Perang yang berlangsung selama lima tahun (1825-
1830) ini menewaskan dua ratus ribu orang, sedangkan yang mengalami penderitaan
berjumlah sepertiga dari penduduk Jawa kala itu, kira-kira dua juta orang (Kartodirdjo,
380-381: 1999). Perang ini juga menguras kas keuangan pemerintah pusat. Sudah
merupakan kewajiban untuk menjaga warisan karya seni yang bernilai ini dengan sebaik-
baiknya. Raden Saleh membuktikan, lewat karya seni, dirinya juga bisa melawan
penjajahan. ***

Anda mungkin juga menyukai