Anda di halaman 1dari 17

Gagal Jantung Akut (GJA) termasuk dalam standar

kompetensi dokter Indonesia (SKDI) tingkat kemampuan 3B.


Artinya, dokter umum harus memiliki kemampuan untuk
mendiagnosis klinis gagal jantung akut dan memberikan
terapi pendahuluan sebelum merujuk pasien ke dokter
spesialis.

Materi kali ini akan fokus membahas tatalaksana GJA yang


dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer, dengan
tambahan tatalaksana yang dapat kamu berikan di IGD
rumah sakit. Diagnosis GJA dapat kamu pelajari lebih lanjut di
ebook materi pertemuan pertama.

Kebanyakan GJA diseabkan oleh penyakit jantung koroner


(PJK). Sehingga PJK harus menjadi diagnosis banding
pertama ketika mendapatkan pasien dengan gejala GJA.
Target terapi awal adalah secepatnya memperbaiki gejala-
gejala atau keluhan yang muncul dan menstabilkan kondisi
hemodinamik.

Tatalaksana pasien GJA harus dilakukan dengan


strategi pengobatan yang berdasarkan bukti (evidence based
medicine), dan dipertimbangkan secara objektif. Penanganan
GJA sebaiknya dilakukan menurut program management GJ.
Salah satu guideline yang dapat digunakan adalah guideline
AHA dan ESC.
Tatalaksana Gagal Jantung Akut

Di bawah ini dirangkum beberapa terapi dan obat-obatan


yang dapat diberikan kepada pasien GJA. Penting untuk
menyesuaikan kondisi klinis pasien (indikasi) ketika
memberikan terapi. Kontraindikasi tetap harus diberikan
ketika memberikan obat-obatan tertentu, misalnya pemberian
beta bloker yang dikontraindikasikan pada pasien dengan
GJA.

Oksigen
Oksigen diberikan secepat mungkin pada penderita
hipoksemia

Tabel 1. Target pengobatan pada Pasien dengan


GJA

Segera/saat perawatan di ruang intensif (ED, ICU,


CCU) Immediate
- Memperbaiki keluhan-keluhan
- Memperbaiki oksigenisasi
- Memperbaiki perfusi ogan dan hemodinamik
- Mencegah kerusaka jantung dan ginjal
- Perawatan di ruang intensif sesingkat mungkin.
Saat perawatan di ruang perawatan (Intermediate)
- Stabilkan pasien dan optimalkan strategi terapi
- Mulai pengobatan terapi farmakologi yang tepat
untuk penyelamatan (life / saving)
- Pertimbangkan pemasangan alat bantu (device
therapy) untuk pasien yang tepat.
- Perawatan di RS sesingkat mungkin
Jangka panjang dan penanganan saat berobat jalan
- Rencanakan strategi perawatan lanjut
- Diingatkan untuk penyesuaian pola hidup yang
tepat.
- Penjelasan mengenai pencegahan sekunder
- Pencegahan perawatan ulang
- Memperbaiki kualitas hidup dan harapan hidup.

Sumber: Buku Ajar PAPDI Edisi 6

Gambar 1. Algoritme terapi awal dari GJA

Hati-hati memberikan oksigen pada pasien Penyakit Paru


Obstruktif Kronis (PPOK) karena dapat menyebabkan
hiperkapnia (I B).

Ventilasi Non lnvasive (VNI)

Indikasi. VNI diindikasikan pada semua pasien dengan


edema paru kardiogenik akut (acute cardiogenic pulmonary
oedema) dan GJA hipertensif. Tindakan VIN dengan positif
end-expiratory pressure (PEEP) akan segera memperbaiki
semua parameter klinis melalui perbaikan fungsi ventrikel kiri,
karena dapat mengurangi after load ventrikel kiri. Namun,
perlu diingat bahwa VIN harus hati-hati dilakukan pada pasien
dengan syok kardiogenik dan gagal jantung kanan.
Kontra lndikasi

Pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan kognitif


berat, ansietas)
Diperkirakan perlu segera pemakaian intubasi endotrakial
karena hipoksia yang progresif)
Hati-hati pada penyakit obstruksi saluran napas berat

Efek yang tidak diinginkan

Perburukan dari gagal jantung kanan


Mukosa membran yang jadi kering akibat pemakaian yang
lama
Hiperkapnia
Ansietas dan claustrophobia
Pnemotoraks
Aspixia

Morfin dan Analog Morfin pada GJA

Morfin dapat dipertimbangkan pada stadium awal GJA,


terutama bila pasien gelisah, sesak napas, menunjukkan
gejala ansietas atau nyeri dada.

Morfin diberikan secara bolus 2,55 mg IU dan dapat diulang


seperlunya. Beberapa hal yang harus diperhatikan misalnya
fungsi respirasi. Pada pasien kadang muncul efek samping
nausea, anti-emetic dapat diberikan bila perlu. Hati-hati
pemberian morfin pada pasien dengan hipotensi, bradikardia,
AV block dan retensi CO2.
Loop Diuretika

Indikasi Diuretika (contohnya furosemide) dapat diberikan


pada pasien GJA dengan tanda-tanda volume overload (IB)
atau kongesti paru yang nyata.

Beberapa hal yang perlu diingat :

Manfaat simptomatik diuretic sudah terbukti dan sudah


diterima secara universal
Pasien dengan hipotensi (sistolik < 90 mmHg),
hiponatremia berat dan asidosis memiliki respons terapi
yang bervariasi
Dosis tinggi diuretika dapat memicu hipoalbuminemia,
hiponatremia dan meningkatkan kemungkinan hipotensi
apabila diberikan bersamaan dengan ACE-I atau ARB
Tabel 2. Indikasi dan Dosis Diuretik pada GJA

Retensi Diuretika Dosis Perkalian


air
Harian
(mg)

Sedang furosemide 20-40 - Oral atau IV


atau sesuai klinis
0,5-1 Dosis ditirasi
Bumetanide -
atau - Monitor K, Na,
10-20
torasemide creatinin,
tekanan darah

Berat Furosemide 40-100 - i.v ditinggikan


- Lebih baik
Furosemide 5-40 daripada bolus
infus mg/jam dosis tinggi
- Oral atau
intravena
Bumetanide 1-4 - Oral

Torasemide 20-100

Refraktor Ambah HCT 50-100 - Kombinasi lebih


terhadap baik daripada
diuretik loop
diuretikdosis
tinggi
Atau 2,5-10 - Lebih poten bila
metolazone CCT<30mL/men
it
- Terutama bila
25-50 fungsi renal baik
Atau dan K normal
spinolaktone atau rendah.

Dengan Acetazolamide 0,5 - i.v

Alkalosis

Refraktor Tambah - pertimbangkan


terhadap dopamine ultrafiltrasi dan
diuretika HD apabila ada
dan HCT atau gangguan renal
dobutamine dan
Hiponatremia

Opsi terapi alternatif seperti pemakaian vasodilator IV


dapat mengurangi keluhan dan mengurangi pemakaian
diuretic dosis tinggi.

Bagaimana cara pemberian loop diuretik pada GJA

Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-40mg I.V (0,5 1


mg bumetadine; 10-20 mg torasemide) atau harus sama
atau lebih dari dosis sehari-hari yang biasa didapat. Pada
fase awal ini pasien harus sering diawasi terutama
mengenai produksi urine. Pemasangan kateter urine
umumnya perlu untuk memonitor produksi urine, dan
mengetahui secara cepat respons pengobatan.(I C)
Pada pasien dengan bukti adanya volume overload dosis
furosemide IV dapat ditingkatkan, sesuai dengan fungsi
renal dan pemakaian oral diuretika yang sudah lama
sebelumnya. Pada pasien seperti ini, pemakaian
furosemide IV secara continous (IV drips) dapat diper-
timbangkan sesudah pemberian initial. Pemakaian
furosemide tidak boleh melebihi 100 mg untuk 6 jam
pertama, dan 240 mg pada 24 jam pertama.

Kombinasi dengan diuretika lain


Diuretik thiazide dapat dikombinasi dengan furosemide (loop
diuretika). Pada pasien yang resisten terhadap diuretika. Pada
GJA dengan volume overload, dapat diberikan
hidrochlorothiazide (HCT) 25 mg dan aldosteron antagonis
(spironolaktone 25-50mg) per oral.

Kombinasi diuretika dengan dosis rendah, kadang lebih


efektif, memiliki efek samping yang kurang, bila dibandingkan
diuretika tunggal dengan dosis tinggi.

Efek Samping Diuretika


Hipokalemia, hipomatremia, hiperuricemia
Hipovolemia, dehidrasi, produksi urine harus dimonitor
Aktivasi neurohormonal
Dapat memicu hipotensi apabila sebelumnya dapat ACE-
I/ARB

VASODILATOR

Vasodilator direkomendasikan pada stage awal dari GJA


apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik,
tekanan sistolik < 90 mmHg atau penyakit valvuler obstruktif
yang serius (IB)

Vasidilator yang sering diberikan diantaranya adalah


nitroglycerine (NGT), isosorbide dirutrate (ISDN) dan
nitropusside.
Indikasi : Pemberian nitrat IV atau nitroprusside
direkomendasikan bila tekanan darah sistolik >110 mmHg.
Hati-hati memberikan nitrat bila tekanan darah sistolik pasien
berkisar antara 90 dan 110 mmHg.

Efek vasodilator diantaranya adalah dapat menurunkan


tekanan sistolik, mengurangi tekanan pengisian jantung sisi
kiri dan sisi kanan dan tekanan vaskuler sistemik dan
memperbaiki sesak napas. Aliran darah koroner biasanya
masih baik apabila tekanan darah diastolik masih baik/tidak
terlalu rendah.

Beberapa hal yang perlu diingat :


Vasodilator mengatasi kongesti paru tanpa
mempengaruhi strok volume atau meningkatkan
konsumsi oksigen pada miokardium, terutama pada
penderita SKA
Calcium antagonis tidak direkomendasikan pada GJA.
Vasodilator jangan diberikan apabila sistolik <90 mmHg,
dapat mengurangi perfusi organ.
Hipotensi harus dicegah terutama bila ada disfungsi renal.
Hati-hati pada stenosis aorta.
Nitrat (nitrogliserin dan ISDN) dan Sodium nitroprusside
biasanya diberikan dengan cara intravena, per infuse.
Nitroglycerine, merupakan hal yang sering dipakai pada
GJA, dengan efek utama adalah venodilator. Nitroprusside
memiliki vasodilator yang poten, antara penurunan preload
dan afterload.
Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada
pemberian nitrat, tachipilaxis sering sesudah pemberian
24-48 jam, diperlukan peningkatan dosis dengan nitrat.
Pemberian nitroprusside harus dilakukan dengan hati-hati
pada penderita SKA, karena dapat menyebabkan tekanan
darah turun dengan tiba-tiba.

Obat-obat inotropik
Inotropik agent harus harus dipertimbangkan pada
keadaan low output states, adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau kongesti, walaupun pemberian vasodilator
dan atau diuretika dapat memperbaiki gejala.

lndikasi Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita


dengan tekanan sistolik yang rendah, atau cardiac index yang
rendah dengan adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
kongesti. Tanda-tanda hipoperfusi seperti, kulit dingin, basah
(claming skin) pada pasien yang disertai vasokonstriksi
dengan asidosis, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi
hati atau gangguan kesadaran, terutama bila pasien dengan
dilatasi dan hipokinetik dari ventrikel. Bila memang diperlukan
harus diberikan sedini mungkin. Pasien harus dalam
monitoring EKG (IIa B).

Dobutamine

Dobutamine adalah obat inotropik positif, bekerja melalui


stimulasi reseptor untuk menginduksi efek inotropik positif
dan efek chronotropik. Efek stimulasi ini sebanding dengan
dosis yang diberikan.

Dosis awal antara 2-3 g/kg/menit secara infus intravena,


tanpa didahului oleh bolus, atau loading dose. Dosis boleh
dinaikkan secara progressif tergantung symptom response
diuretika, dan gambaran klinisnya.

Efek hemodinamik dobutamine akan sesuai dengan dosisnya


dan dapat ditingkatkan sampai 15 g/kg/menit. Apabila
sebelumnya pasien mendapat beta blocker, maka dosis bisa
ditingkatkan jadi 20 g/kg/menit, untuk memperbaiki efek
inotropiknya. Tekanan darah harus dimonitor secara
continuous.

Eliminasi obat berlangsung cepat apabila infuse dihentikan,


sehingga perubahan klinis pasien akan cepat terjadi. Oleh
sebab itu harus hati-hati apabila dobutamine akan dihentikan.
Penurunan dosis secara gradual secara bertahap misalnya 2
g/kg/menit, dan secara bersamaan pemakaian oral harus
dioptimalkan (II B).

Dopamine

Dopamine adalah obat yang menstimulasi reseptor B-


adrenergik, secara langsung dan tidak langsung, dengan efek
resultan meningkatkan kontraktilitas miokardium dan cardiac
output, dan merupakan efek inotropik tambahan.

Infus dopamine dosis rendah ( 2-3 g/kg/menit) akan


menstimulasi reseptor dopaminergik, tetapi hanya sedikit efek
diberikan terhadap diuresis. Dosis tinggi dopamine dapat
dipakai untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, tetapi
perlu diingat bahwa obat ini dapat meningkatkan risiko
takikardi, aritmia, dan stimulasi lfa adenergik.

Kombinasi dopamine dan dobutamin harus diberikan secara


hati-hati bila frekuensi denyut jantung >100 kali permenit.
Stimulasi alfa adenergik pada pemakaian dosis tinggi dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan peninggian resistensi
vaskuler sistemik. Dosis rendah dopamine sering dikombinasi
dengan dobutamin dosis tinggi (IIC).
Vasopressor

Vasopressor (Norepinephrine) tidak direkomendasikan


sebagai terapi awal (first line agents) pada GJA, dan hanya
diberikan pada penderita dengan syok kardiogenik apabila
kombinasi obat-obat inotropik dan pengaturan cairan gagal
menaikkan tekanan darah sistolik > 90 mmHg, dengan perfusi
perifer yang tidak adekuat, meskipun ada perbaikan cardiac
output (IC).

Pasien dengan sepsis yang menyebabkan GJA mungkin


memerlukan vasopressor, sementara syok kardiogenik
biasanya disertai oleh tahanan
vaskuler sistemik yang tinggi.

Penggunaan vasopressor harus hati-hati dan harus dihentikan


secepat mungkin. Noradrenalin bisa dikombinasi dengan
inotropik lain pada syok kardiogenik, walau idealnya diberikan
lewat "central line".

Epinephrine tidak direkomendasikan sebagai inotropik atau


vasopressor pada pasien syok kardiogenik, dan hanya dibatasi
sebagai terapi penyelamatan (rescue therapy) pada pasien
dengan henti jantung (cardiac arrest) (IIC)

Glikosida Jantung
Dalam tatalaksana GJA, glikosida jantung hanya menaikkan
sedikit kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian
mungkin bermanfaat untuk menurunkan laju ventrikel pada
keadaan rapid atrial fibrilasi (IIC)
ALUR PENANGANAN GJA

Sesudah penilaian awal di IGD, semua pasien harus diberikan


terapi oksigen, dan NIV (jika memungkinkan). Target terapi
pada fase prehospital IGD adalah segera memperbaiki
oksigenasi jaringan dan mengoptimalkan hemodinamik dan
secara bersamaan segera memperbaiki gejala klinis yang
muncul.

Selanjutnya, pasien diberikan strategi terapi spesifik yang


harus didasarkan ciri khas kondisi klinis yang terutama seperti
berikut ini.

GJK Dekompensasi

Direkomendasikan pemberian vasodilator bersamaan dengan


loop diuretic. Pertimbangkan pemakaian dosis tinggi dari
diuretic pada penderita yang sudah mendapat diuretika lama
sebelumnya dan penderita dengan disfungsi ginjal. Obat-obat
inotropik dapat diberikan pada penderita hipotensi, dan
pasien dengan hipoperfusi.

Edema Paru
Morphine biasanya diindikasikan, terutama apabila sesak
disertai rasa nyeri dan ketakutan. Vasodilator dapat
direkomendasikan asal tekanan darah normal atau tinggi dan
diuretika apabila ada volume over-load atau retensi air.

Inotropik diperlukan apabila ada hipotensi dan tanda-tanda


hipoperfusi organ. Intubasi atau ventilasi mekanik mungkin
diperlukan untuk memperoleh oksigensasi yang adekuat.
GJ Hipertensif

Direkomedasikan vasodilator dengan monitoring yang ketat


dan terapi diuretic dosis rendah pada penderita dengan
volume overload, atau edema paru.

Syok Kardiogenik

Pembebanan cairan apabila secara klinis diperlukan (250 mL/


10 menit) diikuti inotropik, apabila tekanan darah sistolik
masih < 90 mmHg. Apabila dengan inotropik gagal
menaikkan tekanan darah dan tanda hipoperfusi organ masih
menetap, norepinephrin boleh ditambahkan dengan sangat
hati-hati, Pompa intraaortic ballon (iABP) dan
intubasi harus dipertimbangkan. Alat bantu jantung (LVADs)
mungkin dipertimbangkan apabila potensial kausa dari GJA
adala reversibel, dan dapat sebagai jembatan ( bridge) untuk
tindakan selanjutnya. (misalnya operasi).

GJ Kanan

Pembebanan cairan biasanya tidak efektif, ventilasi


mekanikal harus dihindari. Obat-obat inotropik diperlukan
apabila ada tanda-tanda hipoperfusi jaringan. Harus dipikirkan
adanya emboli paru atau infark akut ventrikel kanan.

GJA pada SKA

Semua pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) dan


tanda-tanda GJ harus diperiksakan echocardiografi dan
menilai fungsi sistolik dan diastolic. Fungsi katup dan
menyingkirkan gangguan jantung lainnya atau komplikasi
mekanis dari infark jantung akut (IC).
Tatalaksana SKA dapat disesuaikan dengan Guideline dari
PERKI (2015). Pada penderita SKA dengan komplikasi GJA,
reperfusi dini (dengan PCI) dapat memperbaiki output kliis
(rujuk ke Guideline PERKI 2015). Jika PCI atau bedah (CABG)
tidak tersedia boleh juga diberikan fibrinolitik pada pasien
dengan STEMI.

Syok kardiogenik pada pasien SKA harus segera dipasang


IABP, corangiografi koroner, dan revaskularisasi primer (PCI)
harus dipertimbangkan secepat mungkin (IC).

ACE I tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. Akan


tetapi pasien dengan risiko tinggi dan mulai masuk pada
keadaan GJK, ACE I/ARB memegang peranan penting pada
fase awal GJA pasien infark jantung akut, terutama bila
dijumpai tanda-tanda gagal jantung atau bukti gangguan
fungsi sistolik ventrikel kiri.

Kedua obat ini dapat mencegah remodeling, mengurangi


morbiditas dan mortalitas. Belum ada kesepakatan kapan
memulai obat-obat ACE i/ARB pada penderita GJA. Pada
umumnya disetujui pemberiannya sebelum pasien KRS.
Apabila terjadi perburukan dari gagal jantung pada pemberian
ACE i/ARB, obat ini harus diteruskan selama mungkin (IA).

REFERENSI

The Criteria Committee of The New York Heart Association.


Nomenclature and criteria for Diagnosis of Disease of the Heart
and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. pp253-256.
Kenneth Dickstein, Alain Cohen-Solal, Garasimos Filippatos, et al.
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29, 2388-2442.
Sharon Ann Hunt, Abraham WT., Marshall H.Chin, et al. 2009
Focused Update Incorporated Into the ACC/AHA 2005 Guidelines
for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults.
(Full Text). Circulation. 2009; 119 : e391-e479).
Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, et a1. Executive summary of the
guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure:
the Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J 2005; 26 : 384-416.

Anda mungkin juga menyukai