TINJAUAN PUSTAKA
Pada tahun 2000, dijumpai lebih dari 4,7 juta kasus kanker pada wanita di seluruh dunia,
54% dari dari kasus ini dijumpai di negara berkembang / belum berkembang. Tumor ginekologi,
termasuk kanker endometrium, vulva, vagina, dan plasenta, insidensinya bervariasi di seluruh
dunia, berkisar 0,6-8% dari seluruh tumor primer pada wanita dan 45% dari seluruh kanker
genital (tidak termasuk kanker serviks dan kanker ovarium). Di Kanada, penyakit-penyakit ini
merupakan 11% dari seluruh neoplasia pada wanita dan 81% dari seluruh kanker genital.5 Yaznil
(2010) dalam penelitiannya mengenai DVT yang mencakup semua pasien tumor ginekologi di
RSUP H. Adam Malik Medan, baik rawat jalan maupun rawat inap, mendapatkan prevalensi dari
kanker endometrium adalah sebesar 2,4%, kanker vulva 1%, dan PTG (penyakit trofoblas ganas)
1% dari seluruh tumor ginekologi, dimana ketiga kanker ini hanya menempati 9,4% dari seluruh
kanker di bidang ginekologi di RS H. Adam Malik Medan.8
Walaupun insidensi dan mortalitas dari kanker serviks dan kanker ovarium merupakan
masalah yang paling banyak dijumpai pada masyarakat, namun kanker genital lain juga dijumpai
dan juga perlu mendapat perhatian, yaitu kanker vagina, vulva, plasenta, dan endometrium.
Karena penyakit neoplastik pada daerah ini jarang, dijumpai sedikit informasi mengenai hal ini,
kebanyakan data yang tersedia adalah dari laporan kasus atau penelitian berbasis rumah sakit.5
2.2.1. EPIDEMIOLOGI
Kanker vagina merupakan jenis kanker yang relatif jarang dari seluruh jenis kanker pada
traktus genitalis wanita, dan hanya kurang lebih 1-3% dari seluruh kanker ginekologi.
Kebanyakan kanker vagina terjadi pada penderita pasca menopause. Rata-rata terjadi pada
wanita usia 60 tahun. Diperkirakan pada tahun 2011 dijumpai 2.570 kasus baru dan 780 wanita
2.2.2. ETIOLOGI
Etiologi pasti kanker vagina masih belum diketahui dengan jelas. Adanya hubungan
dengan perjalanan penyakit pada kanker serviks dianggap ada peran HPV sebagai penyebabnya.
Walaupun menyerupai perjalanan penyakit seperti pada kanker serviks melalui fase neoplasia
intraepitelial, perubahan secara nyata serta progresinya menjadi invasif masih belum banyak
dipahami. Sebanyak 30% pasien dengan kanker vagina memiliki riwayat kanker serviks insitu
ataupun invasif yang telah diterapi setidaknya 5 tahun sebelumnya. Adanya riwayat radiasi pada
daerah pelvis sebelumnya diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kanker vagina.9,10,11
Perdarahan pervaginam yang tidak nyeri dan keputihan merupakan gejala yang paling
umum. Pada tingkat yang lebih lanjut dapat terjadi retensi urin, hematuri, inkontinensia urin, dan
bahkan bisa timbul keluhan tenesmus, konstipasi, atau hematosesia. Kebanyakan lesi berada
pada sepertiga atas vagina, biasanya pada daerah apeks atau pada dinding posterior. Secara
makroskopis, lesi biasanya eksofitik, tetapi dapat juga endofitik. Permukaan ulseratif bisa
muncul pada tahap lanjut dari penyakit.9,10,11,12
2.2.4. SKRINING
Pemeriksaan skrining pada pasien setelah dilakukan histerektomi pada kasus tumor jinak
tidak bermanfaat, akan tetapi pada pasien dengan riwayat CIN dan riwayat menderita neoplasia
invasif perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur dengan tes pap smir.10,11
2.2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis bisa diarahkan dari hasil pemeriksaan pap smear atau didapatkan dengan
biopsi temuan langsung makroskopik lesi tumor pada vagina yang telah dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan histopatologik. Lesi tumor lebih sering ditemukan pada sepertiga proksimal
vagina bagian posterior. Harus diperhatikan permukaan dinding vagina pada pemasangan
spekulum yang sering terlewatkan karena hanya akan menilai serviks. Pada pasien dengan hasil
2.2.6. HISTOPATOLOGI
Paling banyak ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa yang mencapai 80-95%.
Selebihnya adalah adenomakrsinoma, melanoma, dan sarkoma.9,10,11,12,13
Kanker serviks, kanker vulva, kanker metastasis (misal: penyakit trofoblas gestasional).10
2.2.8. STADIUM
Stadium ditetapkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan bila ada indikasi daat dilakukan
sistoskopi, anoskopi/proktoskopi, dan rontgen paru. Informasi CT-scan, MRI, dan limfangiografi
tidak digunakan untuk menentukan staging menurut FIGO, tetapi dapat digunakan untuk
manajemen terapi selanjutnya. Surgical staging dan reseksi kelenjar getah bening yang
membesar bisa dilakukan pada pasien tertentu. FIGO tidak menyertakan kriteria mikroinvasif
pada klasifikasi kanker vagina.9
Stadium Deskripsi
2.2.9. TERAPI
Pada stadium I yang hanya invasi pada sepertiga proksimal vagina bagian belakang dapat
dilakukan vaginektomi radikal (pada bagian atas hingga mencapai daerah bebas tumor
setidaknya 1 cm), dan limfadenektomi pelvis. Bila uterus masih ada, dilakukan histerektomi
radikal. Pada pasien pasca histerektomi dilakukan vaginektomi radikal dan limfadenektomi
pelvis. Bila hasil operasi free margin dari tumor dan tidak didapatkan anak sebar pada spesimen
kelenjar getah bening, maka tidak dilakukan terapi adjuvan.9,11
Pada wanita muda yang memerlukan terapi radiasi dapat dilakukan transposisi ovarium
dan limfadenektomi pada kelenjar yang membesar sebelum tindakan radiasi.10,11
Pada stadium IVA dengan atau tanpa fistula rektovaginal atau vesikovaginal dapat
dipersiapkan untuk kandidat operasi primer eksentreasi dan dapat dikombinasikan dengan diseksi
kelenjar getah bening pelvis dan radiasi preoperatif, dilanjutkan dengan anastomosis rektum
bawah, diversi urinari, dan rekonstruksi vagina. Diseksi kelenjar inguinal dilakukan pada tumor
yang telah menginfiltrasi 1/3 bawah vagina. Pada pasien dengan rekurensi sentral setelah terapi
radiasi, tindakan reseksi pembedahan merupakan pilihan satu-satunya.9,10,11
2.2.9.b.RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan pada hampir semua pasien kanker vagina. Radiasi
yang diberikan adalah radiasi eksterna dikombinasi dengan radiasi intrakaviter/interstisial. Pada
pasien dengan lesi tumor superfisial yang kecil (stadium I/II) dapat diberikan radiasi intrakaviter
saja. Sementara itu, bila lesi tumor lebih besar dan terletak lebih dalam, diberikan radiasi
eksterna dengan dosis 5.000-7.000 cGY, kemudian diberikan radiasi KGB inguinal atau
dilanjutkan dengan brakhiterapi untuk mencapai dosis yang cukup. Bila telah dilakukan
histerektomi, cukup dilakukan radiasi silinder superfisial pada vagina. Namun, bila tebal tumor
lebih dari 5 mm, diperlukan radiasi interstisial untuk mencapai dosis cukup pada tumor primer.
Belum banyak laporan terapi kombinasi dengan kemoterapi, akan tetapi kombinasi konkuren
dengan sisplatin banyak dilaporkan cukup baik hasilnya pada kanker serviks.9,10,11
Pemeriksaan klinis, inspekulo, colok dubur, dilakukan pada setiap kunjungan untuk
mencari kemungkinan rekurensi. Pemeriksaan penunjang lain dilakukan hanya atas indikasi.
Pengamatan lanjutan dilakukan tiap tiga bulan pada tahun pertama dan selanjutnya tiap 4-6
bulan, hingga dilakukan pengamatan lanjutan tiap tahun setelah 5 tahun berikutnya.10
2.2.11. PROGNOSIS
Angka kelangsungan hidup selama 5 tahun secara keseluruhan pada kanker vagina adalah
52%. Meskipun demikian, pada stadium I angka kelangsungan hidup kurang dari 74%, lebih
rendah dari kanker serviks dengan stadium yang sama.9
2.3.1. EPIDEMIOLOGI
Kanker vulva merupakan jenis kanker yang jarang ditemukan. The International
Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) 6th Annual Report yang diterbitkan pada tahun
2006 melaporkan bahwa kanker vulva hanya menempati lebih kurang 4% dari kanker
ginekologi. Temuan insiden karsinoma insitu vulva meningkat dua kali lipat pada tahun 1980
dari satu dekade sebelumnya, sedangkan insiden kanker invasif vulva tetap sama. Pada tahun
2009 diperkirakan dijumpai 3.580 kasus baru di Amerika Serikat dan 900 kematian akibat kanker
vulva. Penyakit ini seringkali ditemukan pada perempuan pascamenopause.9,15,16,17
2.3.2. ETIOLOGI
Faktor etiologi terjadinya kanker vulva belum diketahui secara spesifik. Pruritus kronik
merupakan fenomena awal yang paling sering mendahului terjadinya kanker invasif. Umumnya
terjadi pada penderita obesitas, hipertensi, diabetes, dan nulipara, dan berkaitan dengan resiko
tinggi pada wanita yang mempunyai multiple sexual partner dan merokok. Pada penderita
kanker invasif ditemukan 20 60% mengandung HPV, dan ada hubungannya dengan sifilis.9,16
Kanker vulva dapat tidak menimbulkan gejala, namun kebanyakan (lebih kurang 70%)
pasien mengeluhkan adanya ulkus atau benjolan pada vulva. Dimulai dengan adanya bengkak
atau timbulnya massa di vulva yang sebelumnya dirasakan adanya pruritus yang lama. Kadang-
kadang disertai luka dan perdarahan, serta mungkin keluhan disuri. Secara fisik dapat tampak
luka yang ulseratif, leukoplakia atau seperti wart (kutil). Sebagian banyak tumbuh di labia
mayora, tetapi juga bisa tumbuh primer di labia minora, klitoris, dan perineum. Sebagian tumor
tumbuh secara multifokal. Bila sudah tahap lanjut dapat terjadi pembesaran kelenjar getah
bening pada inguinal.9,15,17
2.3.4. PATOLOGI
Terbanyak sekitar 90% adalah jenis karsinoma sel skuamosa. Jenis lainnya adalah
melanoma, karsinoma sel basal, adenokarsinoma, verukosa, dan sarkoma. Kejadian metastasis
pada kelenjar getah bening berkaitan dengan ketebalan tumor, kedalaman invasi ke stroma,
invasi vaskuler, dan peningkatan jumlah keratin.9,15,18
2.3.5. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan melakukan biopsi pada lesi.
Bila lesi tumor kurang dari 1 cm sebaiknya dilakukan biopsi eksisional. Sebelum dilakukan
tindakan terapi perlu dilakukan evaluasi atau pemeriksaan kolposkopi untuk menilai serviks,
vagina, dan vulva, karena meskipun jarang, kemungkinan bisa didapatkan kelainan prainvasif
atau kanker invasif pada organ tersebut. Namun biopsi luas dengan anestesi lokal biasanya cukup
adekuat untuk menegakkan diagnosis. Hasil biopsi diharapkan meliputi juga jaringan kulit dan
stroma di sekeliling lesi.9,15
2.3.6. STADIUM
Stadium klinis yang digunakan adalah klasifikasi TNM yang diadopsi dari FIGO tahun
1969 yang kemudian telah diperbaharui pada tahun 2008. Data stadium didasarkan pada evaluasi
klinis dari tumor primer dan kelenjar getah bening regional dan pemeriksaan skrining metastasis
terbatas yang diperlukan. Sulitnya membedakan kecurigaan metastasis kelenjar getah bening
Stadium Klinis
- FNAB (fine needle aspiration biopsy) pada kelenjar inguinal yang dicurigai
- Radiologi
- Foto toraks
- Laboratorium : darah lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, tes gula darah
2.3.9. TERAPI
Terapi standar adalah vulvektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening inguinal
(groin) secara en bloc dengan atau tanpa limfadenektomi pelvik. Sejak dilaporkan oleh Taussig
(USA) dan Way (UK) hal tersebut hingga 15 tahun terakhir ini belum ada perubahan yang
berarti. Perubahan terutama dimaksudkan untuk mengurangi morbiditas fisik dan psikologis, di
antaranya adalah: 9
- Menghindari diseksi kelenjar getah bening inguinal pada lesi tumor mikroinvasi
- Menghindari diseksi kelenjar getah bening kontralateral pada kelenjar getah bening
ipsilateral yang tidak mengandung anak sebar
- Memberikan radioterapi ajuvan pada kasus dengan anak sebar kelenjar getah bening
yang multinodul
Penanganan yang dilakukan berdasarkan stadium dari kanker vulva yang ada. Himpunan
Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) dalam buku Pedoman Pelayanan Medik Kanker
- VIN I/II simtomatik dilakukan penanganan dengan bedah laser atau eksisi lokal.
- VIN III (lesi vulva in situ) dilakukan penanganan dengan bedah laser atau eksisi lokal.
- Stadium IA (invasif superfisial) dilakukan eksisi lokal luas, tanpa diseksi KGB
inguinal.
- Stadium IB dilakukan vulvektomi radikal dengan diseksi KGB inguinal dengan insisi
terpisah (tripple incisions technique).
- Jika kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, tetapi tumor primer dapat
direseksi, berikan radioterapi pasca vulvektomi.
- Jika tumor primer tidak dapat direseksi diberikan terapi kemoradiasi. Bila secara
klinis kelenjar getah bening negatif, pertimbangkan reseksi kelenjar terlebih dahulu
dan dilanjutkan dengan radioterapi.
- Bila vulva dan kelenjar getah bening tidak dapat direseksi, terapi kemoradiasi
setelah pembedahan.
Lesi < 2cm, KGB klinis (-) Lesi > 2 cm, KGB klinis (-)
Biopsi eksisional
CT Scan Pelvis
Positif Negatif
Observasi
Pemeriksaan klinis, inspekulo, colok dubur dilakukan pada setiap kunjungan untuk
mencari kemungkinan rekurensi. Pemeriksaan penunjang lain dilakukan hanya atas indikasi.
Pengamatan lanjutan dilakukan tiap tiga bulan pada tahun pertama dan selanjutnya tiap 4-6
bulan, hingga dilakukan pengamatan lanjutan tiap tahun setelah 5 tahun.15
2.3.11. PROGNOSIS
Bila mendapat terapi yang adekuat umumnya memberikan respons kesembuhan yang
cukup baik. Angka kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan pada pasien kanker vulva
70%. Melanoma mempunyai prognosis lebih buruk, rata-rata angka kelangsungan hidup 5 tahun
hanya 21,7%.15
2.4.1. EPIDEMIOLOGI
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat kanker endometrium merupakan
kanker yang terbanyak pada kanker ginekologi. Sekitar 75% dijumpai pada stadium I dimana
angka kelangsungan hidupnya 75% atau lebih.24 Diperkirakan sekitar 39.000 kasus baru terjadi di
Amerika Serikat selama tahun 2002, dan 41.200 kasus baru pada tahun 2006 dengan jumlah
kematian akibat kanker endometrium sebanyak 7.350. Dengan mortalitas sekitar 3,4 per 100.000
wanita diketahui bahwa sebenarnya prognosis kanker ini cukup baik apabila diketahui dan
ditangani dengan tepat. Di Indonesia, penelitian terakhir mendapatkan prevalensi kanker
endometrium di RSCM Jakarta mencapai 7,2 kasus per tahun.19,22,25
Umumnya penderita kanker endometrium berusia sekitar 60 tahun karena 75% kanker ini
terjadi selama periode pascamenopause. Namun pada 25% kasus kanker endometrium terjadi
sebelum menopause dan sekitar 5% kasus terjadi di bawah 40 tahun.19,26
2.4.2. ETIOLOGI
Kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa nulipara mempunyai risiko tiga kali lebih
besar menderita kanker endometrium dibanding multipara. Berbeda dengan kanker payudara,
usia pertama melahirkan tidak memperlihatkan adanya hubungan terhadap terjadinya kanker ini
walaupun masa laktasi yang panjang dapat berperan sebagai proteksi.19,24,25,26
Usia menars dini (< 12 tahun) berhubungan dengan meningkatkan risiko kanker
endometrium walaupun tidak selalu konsisten. Kebanyakan penelitian menunjukkan usia saat
menopause mempunyai hubungan langsung terhadap risiko meningkatnya kanker ini. Sekitar
70% dari semua wanita yang didiagnosis kanker endometrium adalah pascamenopause. Wanita
yang menopause secara alami di atas usia 52 tahun 2,4 kali lebih berisiko jika dibandingkan
sebelum usia 49 tahun.19,24,25,26
2.4.3.b. HORMON
Peningkatan risiko secara bermakna terdapat pada pemakai kontrasepsi oral yang
mengandung estrogen dosis tinggi dengan rendah progestin. Sebaliknya, pengguna kontrasepsi
oral kombinasi estrogen-progestin dengan kadar progesteron yang tinggi mempunyai efek
protektif dan menurunkan resiko kanker endometrium setelah 1-5 tahun pemakaian.19,25
2.4.3.c. OBESITAS
Wanita pra-menopause dengan diabetes menyebabkan dua sampai tiga kali lebih besar
berisiko terkena kanker endometrium jika disertai dengan obesitas. Kemungkinan tingginya
kadar estrone dan lemak dalam plasma pada wanita diabetes menjadi penyebabnya. Hipertensi
menjadi faktor risiko pada wanita pascamenopause dengan obesitas.19
Seseorang dengan riwayat kanker kolon dan kanker payudara meningkatkan risiko
terjadinya kanker endoetrium 2-3 kali lipat. Begitu juga dengan riwayat kanker endometrium
dalam keluarga.19,25
Sebagian besar keluhan utama yang diderita pasien kanker endometrium adalah
perdarahan pascamneopause bagi pasien yang telah menopause dan perdarahan intermenstruasi
bagi pasien yang belum menopause. Keluhan keputihan adalah keluhan yang paling banyak
menyertai keluhan utama.19
2.4.5. SKRINING
Sampai saat ini belum ada metode skrining untuk kanker endometrium. Hanya untuk
pasien yang termasuk dalam risiko tinggi seperti Lynch syndrome tipe 2 perlu dilakukan evaluasi
endometrium secara seksama dengan histeroskopi dan biopsi. Pemeriksaan USG transvaginal
merupakan tes non invasif awal yang efektif dengan prediksi nilai negatif yang tinggi apabila
2.4.6. DIAGNOSIS
2.4.7. PATOLOGI
2.4.8. STADIUM
Terdapat dua jenis stadium pada kanker endometrium, yaitu stadium klinik dan stadium
surgikal. Stadium klinik bertujuan untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan,
sedangkan stadium surgikal untuk menentukan terapi adjuvannya. Kini, penentuan stadium telah
bergeser dari stadium klinik ke stadium surgikal.19,20
Keterangan :
- Kanker endometrium dibagi atas derajat (G) sesuai dengan derajat diferensiasi histologi
- G1 = 5% atau kurang gambaran pertumbuhan padat
- G2 = 6-50% gambaran pertumbuhan padat
- G3 = >50% gambaran pertumbuhan padat
- Keterlibatan kelenjar endoserviks harus diperhatikan hanya pada stadium I dan stadium II
- Pemeriksaan laboratorium yang mencakup darah rutin, faal hati, faal ginjal, elektrolit.
2.4.11. TERAPI
Radiasi atau histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis merupakan pilihan terapi
untuk adenokarsinoma endoserviks yang masih terlokalisasi, sedangkan staging surgikal
(surgical staging) yaitu meliputi histerektomi simpel dan pengambilan contoh kelenjar getah
bening para-aorta adalah penatalaksanaan umum adenokarsinoma endometrium.19
2.4.11.a. PEMBEDAHAN
Pasien dengan kanker endometrium diobati dengan tindakan histerektomi saja atau
histerektomi dan radiasi pasca bedah. Pada stadium dini dengan diferensiasi baik, cukup
dilakukan histerektomi totalis dan salpingo-ooforektomi bilateral. Penentuan stadium surgikal
meliputi insisi mediana, bilasan peritoneum, eksplorasi dan palpasi kemungkinan metastasis ke
organ abdomen, histerektomi total, dan salpingo-ooforektomi bilateral, kemudian uterus dibelah
untuk melihat kedalaman invasi ke miometrium; bila tidak jelas perlu dilakukan frozen section.
Limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dan para-aorta serta omentektomi parsialis
dilakukan berdasarkan kriteria kelompok risiko tinggi. Beberapa ahli hanya melakukan sampel
biopsi pada kelenjar getah bening, terutama pada yang mengalami pembesaran. Kriteria
kelompok risiko tinggi yaitu: 19,24
- Perluasan ke isthmus/serviks
Pada stadium II, dimana terbukti ada keterlibatan endoserviks, prosedur pengangkatan
uterus dilakukan secara radikal (histerektomi radikal), dengan salpingo-ooforektomi bilateral,
diseksi kelenjar getah bening pelvis, dan biopsi paraaorta bila mencurigakan, biopsi peritoneum,
biopsi omentum (omentektomi parsial). Akan tetapi, beberapa ahli tetap melakukan histerektomi
total apabila diyakini bahwa keganasan memang berasal dari endometrium (bukan dari
endoserviks), dengan alasan lokasi kekambuhan terbanyak terdapat di vagina dan angka
kekambuhan yang kurang dari 10%.19,24
Pada stadium III dan IV, dilakukan pembedahan, radiasi, dan/atau kemoterapi. Sangat
dianjurkan untuk melakukan pegangkatan tumor primer walaupun telah terdapat metastasis ke
organ abdomen.19,24
2.4.11.b. RADIOTERAPI
Stadium I dan II yang inoperabel secara medis hanya diberi terapi radiasi, angka
kelangsungan hidup 5 tahunnya menurun 20-30% dibanding pasien dengan terapi operasi dan
radiasi. Pada pasien dengan resiko rendah (stadium IA grade 1 atau 2) tidak memerlukan radiasi
ajuvan pasca operasi. Radiasi ajuvan diberikan apabila: 19,24
- Penderita stadium IB derajat III / IC, derajat 1,2 atau 3, apabila berusia di atas 60 tahun,
dan/atau invasi melebihi setengah miometrium
- Penderita dengan stadium IIIA atau lebih diberi terapi secara tersendiri, tergantung letak
metastasis, dan ajuvan Cisplatin dan Doxorubicin. Perluasan radiasi paraaorta diberikan bila:
- KEMOTERAPI
Kemoterapi diberikan pada pasien dengan kanker endometrium residif. Cisplatin dan
doxorubicin adalah agen yang paling sensitif. Agen kemoterapi lain adalah paclitaxel,
doxorubicin, dan ifosfamide.19,24
- HORMON
Tumor yang mempunyai reseptor estrogen dan progesteron akan memberikan respon
yang lebih baik terhadap terapi hormon. Pemberian progestin oral sama efektifnya dengan
pemberian intramuskular. Sepertiga pasien yang mengalami kekambuhan memberikan respon
terhadap progestin.19 Hormon yang dapat diberikan yaitu: 24
Pengamatan lanjut (follow up) dilaksanakan 2 bulan sekali pada 2 tahun pertama,
selanjutnya setiap 6 bulan pada 3 tahun berikutnya. Setelah 5 tahun, pemeriksaan dilaksanakan 5
tahun sekali. Pemeriksaan terutama ditujukan pada kelenjar getah bening pelvis. Juga
diperhatikan timbulnya massa di pelvis, perdarahan pervaginam, dan gangguan respirasi.
Pemeriksaan penanda tumor tidak ada yang spesifik. Pemeriksaan radiologi (termasuk CT-Scan /
MRI) dilakukan bila ada indikasi.24
2.5.1. EPIDEMIOLOGI
Keganasan ini dapat berasal dari mola hidatidosa dan non-mola hidatidosa. Insiden mola
hidatidosa diperkirakan antara 0,26-2,1 setiap 1.000 kehamilan. Mola hidatidosa merupakan
sebagian dari Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG = Gestational Trophoblastic Disease / GTD).
Sebanyak 9-20% mola hidatidosa dapat bertransformasi menjadi keganasan Penyakit Trofoblas
Ganas (Gestational Trophoblastic Neoplasia / GTN).28
Pada saat ini hampir seluruh kasus penyakit trofoblas ganas dapat diobati tanpa harus
kehilangan fungsi reproduksinya. Hal ini dikarenakan kemajuan dari deteksi dini, pemeriksaan
penanda tumor -hCG yang sensitif dan tersedianya kemoterapi yang sensitif.28
2.5.2. SKRINING
Pemeriksaan -hCG merupakan salah satu tumor marker yang cukup sensitif untuk
menegakkan diagnosis PTG secara dini. Kewaspadaan yang tinggi terhadap keluhan perdarahan,
sub involusi dari uterus pasca mola hidatidosa, abortus atau pasca kehamilan yang lain dengan
ditunjang pemeriksaan -hCG dapat menegakkan diagnosis dini dari PTG.28
Perdarahan pervaginam, pembesaran rahim setelah kehamilan dan adanya gejala klinis
dari metastasis atau komplikasi.28
Diagnosis PTG berdasarkan data klinis dengan atau tanpa histologi. FIGO Oncology
Comittee meyimpulkan bahwa diagnosis tumor trofoblas gestasional pasca mola dapat
ditegakkan bila: 28,29,30
- Hasil pemeriksaan hCG pascamola menetap 4 kali berturut-turut selama 3 minggu atau
lebih (hari ke 1, 7, 14, 21 pascamola).
- Uterus lebih besar dari normal dengan kadar hCG lebih dari normal.
Beberapa jenis tumor trofoblas gestasional yaitu : koriokarsinoma klinis, mola invasif
(MI), koriokarsinoma, dan plasental site trofoblastic tumor (PSTT).29,30,31,32
Penggunaan istilah ini masih menimbulkan kontroversi. Sebagian setuju dengan adanya
bentuk klinis ini, tetapi sebagian lain memakai istilah persistent trophoblastic disease. Yang
dimaksud dengan pengertian koriokarsinoma klinis adalah bila pada penderita pasca mola secara
klinis dan/atau dari laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan
trofoblas tanpa diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA.29
Gambaran umum mola invasif adalah adanya invasi ke miometrium akibatnya dapat
terjadi perforasi atau perdarahan hebat dari uterus. Mola invasif dibedakan dari koriokarsinoma
dari adanya gambaran vili. Secara histopatologis mayoritas terdiri atas sel-sel trofoblas
intermediet yang dapat dibedakan dari sel-sel sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas secara
imunohistokimia.29
Mochizuki mengemukakan bahwa mola invasif sebagian besar terjadi dalam kurun waktu
6 bulan pasca mola. Walaupun jarang menimbulkan metastasis, pengelolaannya sama seperti
pada koriokarsinoma.29,33
PSTT berasal dari jaringan trofoblas di tempat implantasi plasenta mempunyai sifat-sifat
klinik yang berbeda dari koriokarsinoma. Walaupun ukuran tumornya besar, pada PSTT kadar -
hCG tidak dapat dipakai sebagai tolak ukur pemantauan keberhasilan pengobatan yang andal
karena tumor ini mayoritas berasal dari sel-sel trofoblas intermediate yang menghasilkan hCG
lebih rendah daripada sel-sel sinsitio trofoblas. Di samping itu, PSTT lebih resisten terhadap
kemoterapi sehinga sering diperlukan terapi kombinasi dengan pemberian serta dosis yang lebih
intensif.29
2.5.8. KORIOKARSINOMA
Penyakit trofoblas ganas sifatnya unik karena prognosis tidak hanya bergantung kepada
luasnya penyakit secara anatomis, tetapi juga pada adanya faktor-faktor prognostik. Sistem
staging yang dipergunakan pada keganasan-keganasan lain tidak berlaku untuk penyakit ini
karena pada sebagian besar kasus diagnosis tidak ditegakkan atas dasar gambaran histologis,
tetapi dengan menggunakan parameter-parameter klinis dan biokimia.29
Metastasis ke organ-organ yang jauh dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Bahkan
dapat terjadi tanpa disertai adanya penyakit primernya baik pada uterus maupun adneksa.
Staging pada penyakit trofoblas gestasional harus menyertakan faktor-faktor prognosis sebagai
tambahan dari penilaian manifestasi penyakit secara anatomis.29
Sistem staging saat ini untuk tumor trofoblas gestasional menggabungkan staging
anatomis (tabel 2.4) dan suatu sistem skoring prognostik (tabel 2.5). Diharapkan bahwa sistem
staging ini dapat mendukung perbandingan data yang objektif pada berbagai senter.34
Stadium Kriteria
Stadium II Tumor menyebar keluar uterus, tetapi terbatas pada struktur genital (adnexa,
vagina, ligamen latum)
Stadium III Tumor menyebar ke paru-paru, dengan atau tanpa adanya keterlibatan traktus
genital
- Pemeriksaan darah lengkap, termasuk hitung darah tepi, platelet, PT, PTT, fibrinogen,
kreatinin, dan tes fungsi hati
- Kuretase harus dilakukan jika ada perdarahan yang berasal dari uterus. Biopsi pada
tempat metastasis sangat berbahaya karena timbulnya perdarahan banyak pada tempat
biopsi
2.5.13. PENATALAKSANAAN
Jika skor prognostik 7 atau lebih, pasien dikategorikan sebagai risiko tinggi dan
membutuhkan kombinasi kemoterapi dengan pembedahan ataupun radioterapi untuk mencapai
remisi. Pasien dengan stadium I biasanya memiliki skor dengan risiko rendah, dan pasien-pasien
dengan stadium IV memiliki skor dengan risiko tinggi, sehingga perbedaan di antara risiko
rendah dan risiko tinggi berlaku atau diterapkan kebanyakan pada pasien-pasien dengan stadium
II atau III.31,34
Kemoterapi yang digunakan pada PTG risiko rendah, skor WHO kurang dari 6, FIGO
stadium I, II, dan III: 28
- Metotreksat 0,4 mg/kgBB IM tiap hari selama 5 hari, diulang tiap 2 minggu
- Metotrekast 1,0 mg/kgBB selang satu hari sampai 4 dosis dengan ditambahkan
Leukovorin 0,1 mg/kgBB 24 jam setelah MTX, diulang tiap 2 minggu
Kemoterapi yang digunakan pada PTG risiko tinggi, FIGO stadium I, II, dan III dengan
skor WHO lebih dari atau sama dengan 7 atau stadium IV: 28
o Paclitaxel Cisplatin
o Paclitaxel Etoposide
o Paclitaxel 5FU
Pengelolaannya terpisah dari PTG yang lain. Terapi dilakukan secara kombinasi baik
dengan operasi maupun kemoterapi.28
Pengamatan lanjutan untuk penderita PTG dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan hCG tiap minggu hingga kadarnya mencapai normal. Setelah itu dilakukan setiap
bulan selama 6 bulan, selanjutnya tiap 2 bulan sampai 6 bulan berikutnya untuk meyakinkan
hCG benar-benar normal.28