Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang dengan masalah utamanya adalah
distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu
terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.
Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan
tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik. Dalam
distribusi pendapatan baik antar kelompok berpendapatan, antar daerah perkotaan dan daerah
pedesaan, atau antar kawasan dan provinsi dan kemiskinan merupakan dua masalah yang masih
mewarnai perekonomian Indonesia.

Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara
sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini.
Perbedaannya terletak pada besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang
terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah
penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
mengatasinya. Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka
kemiskinan yang relative kecil dibanding negara sedang berkembang,.

Sebagai bagian dari dunia internasional, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan bangsa agar setara dengan
negara-negara lainnya di dunia. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diambil dan
dilaksanakan sejatinya diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berbagai
upaya untuk mencapai tujuan tersebut telah banyak dilakukan, termasuk menjalin hubungan
kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dan alat ukur pendapatan ?
2. Bagaimana karakteristik kemiskinan dan factor penyebab kemiskinan ?
3. Apa pilihan kebijaksanaan yang efektif dan efisien guna mengatasi kemiskinan ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk bahan pembelajaran perekonomian
Indoneia di Universitas dan khususnya untuk memperoleh data dan informasi tentang Distribusi
pendapatan nasional dan tingkat kemiskinan di Indonesia, serta menentukan pilihan kebijakan
atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien dalam upaya penanggulangannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Distribusi Pendapatan

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang
keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian
pendapatan yang diterima masing-masing orang; dan distribusi fungsional atau distribusi
kepemilikan faktor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini kemudian
dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.

2.1.1 Distribusi Pendapatan Ukuran

Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran


pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh
para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh
setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya.

Contoh, Tabel 1 di bawah ini yang memperlihatkan distribusi pendapatan yang walaupun
datanya hipotetis, namun biasa ditemui di satu negara berkembang.

Tabel 1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan Pangsa


Pendapatan Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)
(unit uang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9

3
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (pendapatan nasional) 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga termiskin dibagi
dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya = 14/51 = 0,28.

Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau
lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi
(15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari
pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel
tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang
masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20
persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen
(dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8)
menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen populasi terendah (kuintil
1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen teratas (kuintil ke
lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.

4
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran,
yakni: (1) Rasio Kuznets, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.

(1) Rasio Kuznets

Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan


dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20 persen anggota
kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio yang sering disebut sebagai
rasio Kuznets inilah (dinamai berdasarkan nama pemenang Nobel Simon Kuznets), yang sering
dipakai sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang
sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu negara. Rasio ketimpangan dalam contoh
ini adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 0, 28.

(2) Kurva Lorenz

Sumbu horisontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase


kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok terendah (penduduk

5
yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60
terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung
yang meliputi 100 persen atau seluruh populasi atau jumlah penduduk.
Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-
masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada
titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya.
Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah
penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau
populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang
tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga
perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan
kepada 75 persen dari jumlah penduduk.Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna"
(perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.

(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat

6
Rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut koefisien
Gini (Gini coefficient), mengambil nama dari ahli statistik Italia yang merumuskannya pertama
kali pada tahun 1912. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini
untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70,
sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar
antara 0,20 hingga 0,35.

2.1.2 Distribusi Fungsional

Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi
(functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari pendapatan
nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan
modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase
pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi
yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total
yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari
tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja
menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan
perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.

Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga
per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi
tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari asumsi
utilitas (pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf
minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh
setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga
kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan seluruh
tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah keseluruhan pembayaran upah,
yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran upah (total wage bill).

2.1.3 Perkembangan Indeks Ketimpangan

Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964/65

7
sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007 untuk menghitung koefisien
Kuznets.

Tingkat ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65


hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang.
Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan
Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita
bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih
timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun
1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPMA dan UUPMDN dan beberapa
kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan Suharto lebih banyak
dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga distribusi pendapatan di
perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan di Jawa, yakni
program pembangunan pertanian dan pedesaan, terutama program BIMAS-INMAS, lebih
banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih
merata (koefisien Gini menurun). Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih
timpang, sedangkan di pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65
menuju 1976.

Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan
bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan
oleh koefisien Kuznets maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-2004) bagian
pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20 persen dan bagian
yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen), sehingga koefisien Kuznets
juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga menunjukkan hal
yang sama dari 0,33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun
2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40
persen termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga
koefisien Kuznets mengalami penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh koefisien Gini yang
menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih timpang. Memburuknya distribusi pendapatan
dari tahun 2006 ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kuznets dan menaiknya
8
koefisien Gini) mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat
naiknya harga bensin ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok
kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para demonstran
yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.

2.2 Kemiskinan

Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni penduduk
yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis
kemiskinan internasional. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak
tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan
perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang
hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut dapat
dan memang terjadi di mana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan, walaupun
persentasenya terhadap jumlah penduduk berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.

2.2.1 Mengukur Kemiskinan absolut

Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau hitungan per kepala
(headcount), H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di
bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian
dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala (headcount index), H/N. Garis
kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat
menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut
sepanjang waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum di
mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan seseorang
sangat buruk.

Dalam banyak hal, metode dan penyederhanaan perhitungan jumlah penduduk yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung banyak
keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang
kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat
mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga di bawah ini,
meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih berada di bawah garis

9
kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada yang ada di negara
B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut
penduduknya.

Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang
diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip anonimitas,
independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua prinsip yang
pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik yang digunakan untuk
membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa
yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau
sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda memberi sejumlah uang kepada
seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka
kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran
kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai
monotonisitas yang kuat (strong monotonicity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas,
namun bukan yang kuat. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal
lain konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya
perekonomian akan menjadi lebih miskin.

2.2.2 Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin

Kita telah memahami dari pembicaraan sebelumnya bahwa perpaduan tingkat pendapatan
per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata akan menghasilkan
kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi
pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah kemiskinan absolut. Akan
tetapi sebagaimana telah diungkapkan, tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin
lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut. Pemahaman terhadap hakikat distribusi ukuran
pendapatan merupakan landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan satu negara yang
berpendapatan rendah.

Di Indonesia, nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani. Hal ini
disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak
bersifat cultivation, seperti halnya di pertanian. Pendapatan nelayan tiap hari sangat tergantung
pada berapa jumlah ikan yang ia bisa tangkap di laut dan jual di pasar pada hari itu. Jelas jumlah

10
ikan yang ia bisa kumpulkan selama, misalnya, tiga bulan jauh lebih sedikit daripada hasil
seorang petani pada saat panen. Ditambah lagi, industri ikan di Indonesia tidak berkembang
seperti industri-industri pengolahan komoditas-komoditas pertanian. Dengan demikian, di
Indonesia nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi daripada nilai tambah dari produk-
produk ikan.

Pertanyaannya sekarang: kenapa sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di


Indonesia. Kemungkinan ada tiga faktor penyebab utama. Pertama, tingkat produktivitas yang
rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor tersebut terlalu banyak, sedangkan tanah,
kapital, dan teknologi terbatas dan tingkat pendidikan petani yang rata-ratanya sangat
rendah. Kedua, daya saing petani atau dasar tukar domestik (terms of trade) antar komoditas
pertanian terhadap komoditas industri semakin lemah. Perbedaan harga ini disebabkan antara
lain oleh perbedaan nilai tambah antara hasil pertanian dan hasil industri serta tata niaga yang
lebih menguntungkan produsen di sektor industri. Ketiga, tingkat diversifikasi usaha di sektor
pertanian ke jenis-jenis komoditas bukan bahan makanan yang memiliki prospek pasar (terutama
ekspor) dan harga yang lebih baik masih sangat terbatas.

2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan

Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor


tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya atau utama serta
mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai
contoh, sering dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang
rendah. Sekarang ini, seseorang hanya dengan tingkat pendidikan SD akan sangat sulit
mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor modern (formal) dengan pendapatan yang baik. Akan
tetapi, pertanyaannya adalah: apakah tingkat pendidikan yang rendah itu adalah penyebab
utama/sebenarnya? Apabila banyak orang di Indonesia hanya berpendidikan SD karena orang tua
mereka tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan, maka jelas penyebab sebenarnya adalah
masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan oleh kemiskinan (orang tua mereka). Kalau
ditelusuri ke belakang, pertanyaan selanjutnya adalah: kenapa orang tua mereka miskin dan
jawabannya juga karena pendidikannya rendah? Jadi terdapat semacam lingkaran setan
(vicious circle) dalam masalah timbulnya kemiskinan.

11
Hal Ini selanjutnya disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem
penghargaan (rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat atau
Amerika Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang kegiatan (sektor
atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai dengan jenis
pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor berupa kegiatan informal
dengan upah yang rendah.

2.2.4 Pertumbuhan dan Kemiskinan

Biasanya, banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk
kepada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural
pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat yang santer terdengar di kalangan
pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan
akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat yang
mengatakan bahwa konsentrasi penuh untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat
tingkat pertumbuhan sebanding dengan argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan
yang rendah akan mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat juga. Khususnya, jika terdapat
redistribusi pendapatan atau aset dari golongan kaya ke golongan miskin, bahkan jika melalui
pajak progresif, terdapat kekhawatiran bahwa jumlah tabungan akan menurun, Namun,
sementara tingkat tabungan golongan menengah biasanya adalah yang tertinggi, tingkat tabungan
marjinal golongan miskin pun sebenarnya tidak kecil, jika dipandang dari perspektif
menyeluruh. Selain tabungan keuangan, golongan miskin cenderung membelanjakan tambahan
pendapatan untuk memperoleh gizi yang lebih baik, pendidikan untuk anak-anak mereka,
perbaikan kondisi rumah, dan pengeluaran-pengeluarn lain yang lebih mencerminkan investasi
dan bukan konsumsi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang kaum miskin. Paling tidak
terdapat lima alasan mengapa kebijaksanaan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak
harus memperlambat laju pertumbuhan.

Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin
tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya,
dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai
sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini secara bersama-sama

12
menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil daripada jika distribusi pendapatan lebih
merata.

Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan
fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang sudah
maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karena hematnya atau hasrat
mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang besar dari pendapatan mereka di
dalam perekonomian negara mereka sendiri.

Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh
golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan yang rendah, dapat
menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat.

Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan


permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian, secara
menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya
untuk barang-barang mewah impor.

Kelima dan yang terakhir, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi
ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat
bagi meluasnya partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya
kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong
negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi.

Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
penanggulangan kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan.

2.3 Pilihan Kebijaksanaan

Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi


pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus


dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi. Kebijaksanaan ini dapat berupa:

13
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan
regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan tingkat upah minimum
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas
permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh menjadi
terlalu mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja. Bagian upah
pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi
lebih besar.

b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah


dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan penawaran. Ini bisa
dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak bagi
pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk investasi), penetapan
kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal
seperti traktor dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi.

Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor produksi sangat
bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara meraih pemerataan pendapatan
dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum miskin, namun apa yang telah dikerjakan oleh
Indonesia selama ini bertentangan, sehingga distribusi pendapatan tetap dan malah makin
timpang dan jumlah orang miskin tetap dalam jumlah yang besar.

2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini akan
sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor produksi) di antara
berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal finansial seperti saham
dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih
baik.

Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang membatasi
jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba)
saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan
asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit
komersial dengan bunga pasar yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi)
bagi para wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut pinjaman mikro seperti kredit usaha rakyat,
kredit usaha tani,dan sebagainya.

14
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu contoh
yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan yang mempunyai
sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak properti
perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada mereka
yang kaya raya.

4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang
miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik dilaksanakan melalui beras
murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi kesehatan bagi golongan miskin
(jamkesmas).

Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan


distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata ketimpangan
distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang luput dari
program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang
yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas bantuan
yang disediakan

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi ukuran dapat
dibuat kurva Lorens, atau dihitung koefisien Kuznets dan koefisien Gini yang dapat dipakai
untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Ukuran yang paling
biasa dipakai di Indonesia adalah Koefisien Kuznets, koefisien Gini, sedangkan kurva Lorens
tidak. Distribusi fungsional memberikan kerangka analisis kebijaksanaan yang menjelaskan
keadilan distribusi pendapatan berdasarkan kepemilikan faktor produksi. Dari data mengenai
koefisien Gini dapat dikatakan bahwa ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan
pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan
yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan
di pedesaan Jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau
kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa dan juga di
Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa
dan di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun 1976, namun
tetap pada ketimpangan sedang. Bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat
kita katakan bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap pada ketimpangan yang sedang baik ditunjukkan oleh
koefisien Kuznets maupun koefisien Gini, meskipun pada awalnya (2032-2004) sedikit membaik
untuk kemudian menjadi sedikit lebih timpang pada 2005 dan membaik lagi 2006 untuk akhirnya
memburuk lagi tahun 2007.

Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan
yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata lain,
banyak penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di
bawah garis kemiskinan internasional. Ada beberapa ukuran untuk penduduk miskin, yakni
dengan menghitung jumlah mereka atau disebut hitungan per kepala (headcount), indeks per
kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap, total atau average
atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human poverty index (indeks

16
kemiskinan manusia = IKM). Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang
telah diterima secara luas oleh para ekonom,yakni prinsip-prinsip anonimitas, independensi
populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kriteria yang sering dipakai di Indonesia
adalah jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Data menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi telah menurunkan persentase penduduk miskin dari lebih dari 40 persen
dari jumlah penduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen
dari jumlah penduduk (atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian sebagai
akibat dari krisis ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah penduduk (atau
sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami penurunan sehingga
menjadi sekitar 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37 juta orang) pada tahun 2007.

Jumlah penduduk miskin yang banyak ini merupakan tugas penting dan berat mengingat
tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk keperluan itu pemerintah
perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta karakteristiknya, serta menentukan
sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk
dapat menyusun berbagai kebijakan yang memihak kaum miskin. Berbagai kebijaksanaan yang
bertujuan untuk memperbaiki distribusi pendapatan kukuran dan fungsional telah dilaksanakan
oleh pemerintah, namun sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian
pendapatan pada tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan jumlah
orang miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak penduduk yang
mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun menikmatinya.

3.2 Referensi / Daftar Pustaka

Nehan, Ketut. Perekonomian Indonesia.2016.Udayana Press

17

Anda mungkin juga menyukai