Anda di halaman 1dari 6

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Defenisi
Dermatitis kontak alergi adalah respons alergik yang didapat bila berkontak dengan
bahan-bahan yang bersifat sensitiser/ alergen. Contoh bahan yang dapat memicu dermatitis
kontak alergi antara lain adalah beberapa jenis pewangi, pewarna, nikel, obat-obatan, dan
sebagainya. Umumnya dermatitis kontak alergi lebih sering pada dewasa dibanding bayi
(Ardhie, 2004: 160).

Etiologi
Penyebab utama dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum di proses, di sebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum corneum sehingga
menembus sel epidermis di bawahnya. Bahan-bahan tersebut diantaranya kosmetik, tanaman,
nikel, kromat, obat-obatan. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit, lama pajanan, suhu dan kelembaban,
lingkungan, vehikulum, dan pH.
Faktor individu juga ikut berperan misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh,
terluka, kering, tebal epeidermis bergantung lokasinya) dan status imunologik (sedang sakit,
atau terpajan matahari).

Manifestasi Klinis
Gejala umum yang dirasakan penderita adalah gatal atau pruritus yang umunya
konstan dan seringkali hebat (sangat gatal). Biasanya ditandai dengan adanya lesi eksematosa
berupa eritema, udem, vesikula, dan terbentuknya populovesikula. Ciri khas dermatitis
kontak alergi adalah radang yang secara perlahanmeluas, batas peradangan tidak jelas (difus),
rasa sakit dan panas tidak sehebat pada dermatitis kontak iritan. Perjalanannya dapat akut,
subakut, ataupun kronis.

Jenis-jenis Dermatitis Kontak Alergi


1. Dermatitis akibat nikel
Nikel merupakan penyebab paling sering terjadinya dermatitis kontak pada wanita,
sedangkan pada laki-laki jarang terjadi. Sensitisasi terhadap nikel biasanya terjadi pada masa
kanak-kanak atau pada usia dewasa muda, akibat pemakaian anting-anting dan pemakaian
perhiasan imitasi yang murah. Selain itu, penyebab lainnya adalah kancing logam pada celana
jeans yang menjadi sumber penting dari nikel, dan bercak-bercak eksema disekitar umbilikus
sebenarnya merupakan patognomonik dari sensitivitas terhadap nikel (Graham & Burns,
2005: 69).
Dermatitis akibat nikel yang terdapat pada pergelangan tangan terjadi akibat logam tali
arloji yang dipakai. Setiap orang yang alergi terhadap nikel sebaiknya dianjurkan untuk
melepaskan semua perhiasan imitasi (kecuali bila diketahui tidak mengandung nikel),
penjepit logam yang polos pada suspender, gesper logam pada sepatu, dan ritsleting logam
(Graham & Burns, 2005: 70).
2. Colophony
Zat ini adalah suatu resin yang merupakan komponen dari beberapa plester perekat
(Graham & Burns, 2005: 70).
3. Dermatitis akibat karet
Dalam pembuatan karet digunakan zat-zat kimia untuk mempercepat proses vulkanisasi
(akselerator) dan mencegah terjadinya proses oksidasi (antioksidan). Zat-zat tersebut dapat
menyebabkan timbulnya dermatitis kontak. Pada tahun-tahun terakhir ini terdapat
peningkatan terjadinya reaksi terhadap protein lateks dari karet alami pada sarung tangan
lateks. Sehingga beberapa pabrik kemudian memproduksi sarung tangan yang mengandung
protein lateks bebas dalam jumlah banyak (Graham & Burns, 2005: 70).
4. Kromat
Senyawa kromium banyak digunakan dalam dunia industri. Senyawa ini juga banyak
digunakan penyamakan kulit, dan merupakan bahan penguat dalam semen. Dermatitis akibat
semen biasanya didapatkan pada pekerja-pekerja bangunan (Graham & Burns, 2005: 71).
5. Dermatitis akibat cat rambut
Sensitivitas akibat kontak dengan cat rambut biasanya berupa dermatitis hebat yang
terjadi pada wajah, telinga, dan bagian tepi kulit kepala. Cat rambut juga merupakan
penyebab timbulnya dermatitis kontak pada tangan para penata rambut (Graham & Burns,
2005: 71).
6. Obat-obatan topikal
Dermatitis akibat obat-obatan relatif sering ditemukan dalam praktek dermatologis,
tetapi mungkin tidak sebanyak yang diperkirakan, jika mengingat besarnya jumlah krim,
lotion dan obat yang digunakan sebuah keluarga. Obat-obat topikal yang biasanya
menyebabkan dermatitis kontak adalah antibiotik, terutama neomisin, anestetik lokal (kecuali
lidokain/lignokain, yang jarang menyebabkan sensitisasi), antihistamin, dan bahan-bahan
pengawet dan lain-lain (Graham & Burns, 2005: 71).
7. Dermatitis kontak akibat kerja
Apabila faktor pekerjaan dianggap sebagai penyebab timbulnya dermatitis kontak, maka
riwayat yang rinci, termasuk informasi penting pasti tentang sifat pekerjaan seorang individu,
merupakan hal yang penting. Hendaknya informasi yang disertakanbukan hanya pekerjaan
pasien yang sekarang, tetapi juga informasi rinci tentang pekerjaannya di masa lalu. Carilah
informasi mengenai bahan yang ditangani dalam melaksanakan pekerjaannya, dan apakah
telah terjadi suatu perubahan yang bersamaan dengan permulaan timbulnya dermatitis
(Graham & Burns, 2005: 71).
8. Dermatitis akibat tumbuhan
Di Inggris dermatitis akibat tumbuhan relatif jarang ditemukan, tetapi Primula
obconica merupakan tumbuhan yang biasanya menjadi penyebab dermatitis. Di Amerika
Serikat, yang paling sering menyebabkan timbulnya dermatitis akibat tumbuhan
adalah poison ivy. Dermatitis yang diakibatkan oleh tumbuhan cenderung berupa reaksi
vesikulobulosa berbentuk garis lurus, yang terdapat pada bagian-bagian tubuh yang terbuka
(Graham & Burns, 2005: 72).

Patofisiologi
Ada 2 fase untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi yaitu:
1. Fase primer (induktif/afferen)/ Fase sensistisasi
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergi, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena
adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat dengan
protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan
sel langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang
telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjer getah beningregional untuk berdiferensiasi dan
berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori.
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid
sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.
Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
primer/induksi/fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada
umumnya reaksi sensitisasi ini dipepengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi
alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang
lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan
sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan
tersebut, bisa bulanan atau tahunan.
2. Fase sekunder (Eksitasi/eferen)/ Fase elisitasi
Merupakan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa
sampai timbulnya gejala klinis. Setelah pemajanan alergen pada kulit, antigen tersebut secara
imunologik ditangkap oleh sel langerhans (sel penyaji antigen), kemudian diproses dan
disajikan kepada limfosit T dengan bantuan MHC kelas II. Sel langerhans dan sel keratosit
akan menghasilkan interleukin I (Lymphocyte Activiting Factor) dan sel langerhans akan
mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans yang aktif sebagai penyaji sel
(APCs). Sel ini akan bergerak ke kulit, parakortikal, kelenjer limfe. Sel langerhans
menyajikan antigen dalam bentuk yang sesuai dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR
yang dimiliki oleh sel limfosit T, sel limfosit T itu harus diaktifkan oleh interleukin I yang
dihasilkan oleh sel langerhans dan sel keratosit. Sel T ini akan mengahsilkan interleukin II
(Lumphocyte Proliferating Cell) dan mmenyebabkan sel T berproliferasi. Kemudian terjadi
reaksi imun yang menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantaraan sel T,
karena lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin.
Terjadinya reaksi ini maksimum 24-48 jam. APCs lain seperti sel monosit dan
makrofag hanya dapat merangsang sel T memori , tidak dapat mengaktifkan sel T yang belum
disensitisasi. Pada fase eferen ini sel TH1 terletak di sekitar pembuluh darah kapiler di
dermis.

Pemeriksaan Penunjang
Tes tempel (patch test) dapat dilakukan untuk membuktikan alergi akibat kontak dengan
alergen. Pada pemeriksaan ini alergen yang kemungkinan menjadi penyebab dilarutkan dalam
media yang sesuai. Bahan-bahan tes ditempatkan pada lempengan-lempengan tipis yang
ditempelkan pada kulit (biasanya di daerah punggung) selama 48 jam. Reaksi positif (sesudah
48 jam, atau kadang-kadang lebih lambat) memastikan adanya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (tipe IV) terhadap bahan penyebab alergi tadi (Graham & Burns, 2005:17).
Istilah uji tempel berarti suatu metode pemeriksaan yang melibatkan pemakaian secara
sengaja sejumlah bahan yang dicurigai menyebabkan dermatitis alergi, ke kulit, di bawah
kondisi terkontrol. Hal ini umunya dilakukan oleh pelayanan spesialistik, tetapi satu kali
pemberian bahan yang dicurigai ke kulit yang tidak terkena (mis. lengan bawah bagian
dalam) dapat bermanfaat. Setelah 48 jam, tempat penempelan akan diperiksa untuk mencari
tanda-tanda dermatitis alergik. Pemeriksaan lanjutan pada 96 jam juga penting dilakukan.
Diperkirakan bahwa hingga 30% reaksi yang positif akan lolos jika hal ini tidak dilakukan
karena beberapa senyawa menimbulkan reaksi yang muncul belakangan (mis. lanolin,
neomisin) (Brown dkk, 2012: 318).

Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan harus dimulai dari anamnesis yang cermat mengenai pajanan bahan-bahan
pemicu (sensitizer) (Brown dkk, 2012: 171):
1. Galilah keterangan lengkap tentang kemungkinan sumber penyebab di temapt kerja dan
rumah.
2. Ketahuilah semua hal yang dilakukan di tempat kerja, hobi dan kebiasaan waktu senggang.
3. Catat semua kosmetik, toiletries dan obat yang dipakaikan ke kulit.
Apabila penyebab dermatitis pasien tidak jelas, maka dibutuhkan penyelidikan untuk melacak
penyebabtersebut dan melakukan tes tempel (patch test). Tes tempel merupakan bagian yang
penting dalam pemeriksaan penunjang. Tes tempel berbeda dengan tes tusuk (prick test) atau
tes gores (scratch test). Tes tempel merupakan respon hipersensitivitas tipe lambat, dimana
perlu waktu 48 jam untuk timbulnya reaksi, sedangkan tes tusuk atau tes gores menimbulkan
respon hipersensitivitas cepat, yang timbul dalam waktu hanya beberapa menit. Sederatan
alergen yang umum menjadi penyebab dermatitis digunakan dalam tes tempel yang rutin,
namun deretan alergen lain, yang merupakan komponen dari agen-agen topikal atau alergen
ditempat kerja, juga tersedia. Sebagian besar alergen dicampur dalam parafin lunak putih
dalam konsentrasi tertentu, karena banyak alergen yang menjadi iritatif apabila berada dalam
konsentrasi yang tinggi dan menyebabkan timbulnya reaksi postif palsu. Tunggu sampai
eksema akut sembuh sebelum melakukan tes tempel. Reaksi yang positif bisa menyebabkan
eksaserbasi eksema (Graham & Burns, 2005: 72).

Penatalaksanaan
Obati serangan akut dengan kortikosteroid topikal poten, ditambah kompres dengan
larutan kalium permanganat (1:10.000) jika terdapat komponen vesikular atau bulosa (Brown
dkk, 2012: 172).
Pemberian steroid topikal yang poten hendaknya digunakan untuk meredakan
eksema/dermatitis sebelum dilakukan tes tempel. Begitu suatu alergen sudah ditemukan
sebagai penyebabnya, maka pasien dianjurkan untuk menghindarinya. Apabila komponen
dalam obat-obatan yang menjadi penyebabnya maka dokter keluarga pasien harus diberi tahu
obat-obat apa saja yang tidak boleh dipakai. Steroid topikal potensi poten diantaranya:
betametason valerat (betnovate), fluokinolon asetonid (synalar), fluokinoid (metosyn),
hidrokortison butirat (locoid) (Graham & Burns, 2005: 211).
Komplikasi
Pada kasus yang hebat, dermatitis menyebar luas ke seluruh tubuh disebut eksematisasi.
Sering terjadi perubahan sekunder dari tempat kontak awal ke bagian-bagian tubuh sekitar
atau bahkan ke bagian tubuh yang jauh dan tidak berkontak langsung (Brown dkk, 2012:
171).
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dapat menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau pajanan
dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari (Djuanda, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
Ardhie, Ari Muhandari. 2004. Dermatitis dan Peran Steroid dalam Penanganannya. Jurnal
Dexa Media. 4 (17).
Brown, Robin Graham, dkk. 2012. Dermatologi Dasar Untuk Praktik klinik.Jakarta: EGC.
Brown, Robin Graham & Tony Burns. 2005. Lecture Notes: Dermatologi. Jakarta: Erlangga.
Djuanda S, Sularsito SA. 1999. Dermatitis dalam buku, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, ed. 3. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai